sanksi pelanggaran pasal 113 tentang hak cipta · waktu yang udah dijanjikan—dan itulah...
TRANSCRIPT
Sanksi Pelanggaran Pasal 113Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014tentang Hak Cipta (1) Setiaporangyangdengantanpahakmelakukan
pelanggaranhakekonomisebagaimanadimaksuddalampasal9ayat(1)hurufiuntukpenggunaansecarakomersialdipidanadenganpidanapenjarapalinglama1(satu)tahundanataupidanadendapalingbanyakRp100.000.000,00(seratusjutarupiah).
(2) Setiaporangyangdengantanpahakdanatautanpaizinpenciptaataupemeganghakciptamelakukanpelanggaranhakekonomipenciptasebagaimanadimaksuddalampasal9ayat(1)hurufc,hurufd,huruff,danatauhurufh,untukpenggunaansecarakomersialdipidanadenganpidanapenjarapalinglama3(tiga)tahundanataupidanadendapalingbanyakRp500.000.000,00(limaratusjutarupiah).
(3) Setiaporangyangdengantanpahakdanatautanpaizinpenciptaataupemeganghakmelakukanpelanggaranhakekonomipenciptasebagaimanadimaksuddalampasal9ayat(1)hurufa,hurufb,hurufe,danatauhurufg,untukpenggunaansecrakomesialdipidanadenganpidanapenjarapalinglama4(empat)tahundanataupidanadendapalingbanyakRp1.000.000.000.00(satumiliarrupiah).
(4) Setiaporangyangmemenuhiunsursebagaimanadimaksudpadaayat(3)yangdilakukandalambentukpembajakan,dipidanadenganpidanapenjarapalinglama10(sepuluh)tahundanataupidanadendapalingbanyakRp4.000.000.000.00(empatmiliarrupiah).
Untitled-2.indd 2 10/2/2018 07:54:12
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Citra Novy
Untitled-2.indd 3 10/2/2018 07:54:12
SATU KELAS
Copyright ©2018 Novy Citra
Hak cipta dilindungi oleh Undang-UndangDiterbitkan pertama kali tahun 2018 oleh PT Elex Media Komputindo,Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
Penulis : Citra NovyPenyunting : Dion RahmanPenata Letak : Anggia Tri Rachma SariDesainer Sampul : Kansa Airlangga
718031689ISBN: 978-602-04-8557-7
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, JakartaIsi di luar tanggung jawab Percetakan
Untitled-2.indd 4 10/2/2018 07:54:12
1
Satu kelas sama mantan dan gebetan? Kelar hidup lo!
Untitled-1.indd 1 10/4/2018 09:36:01
1
“Hubungan kami sebatas cerita tentang kembang api, berawal dengan percikan yang indah, tetapi nggak
bertahan lama.”-Sandria
Untitled-1.indd 3 10/4/2018 09:36:01
4
ALDEO SANDRIA adalah pacar gue. Iya, itu dia, cewek yang sedang duduk sendirian di dalam kafe. Cewek berkacamata yang rambutnya kebetulan lagi dikucir satu dan sekarang lagi cem berut dengan mata menatap tajam ke arah gue.
Gue yang baru muncul.
Harusnya gue datang dua jam yang lalu, sesuai dengan
waktu yang udah dijanjikan—dan itulah masalahnya.
“Ketiduran lagi? Atau keasyikan main Mobile Legends? Atau
kebablasan nonton pertarungan Naruto dan Sasuke yang udah
lo puter ratusan ribu kali itu?” tanyanya dengan nada sinis.
“Semuanya,” jawab gue enteng seraya duduk di hadapan
nya. “Ini, kan, liburan sekolah, Ya. Semalam gue main game
sampai subuh, habis salat gue langsung tidur sampai siang. Pas
bangun, gue ngelihat laptop nganggur terus nonton Naruto
dan baru ingat kalau jam 4 sore kita ada janji.” Penjelasan gue
semakin membuat wajahnya memerah.
“Lo ingat kalau kita punya janji jam 4 sore saat lihat jam
udah nunjukin jam 4 sore?”
“Iya.” Gue mengangguk. Sikap datar gue ini memancing
amarah dia banget kayaknya. Jadi, akan gue terima setulus hati
kalau lima atau sepuluh detik berikutnya dia menggebok gue
pakai buku Rumus Cepat Matematika yang selalu dia bawa ke
manamana di dalam tasnya—yang kebetulan sekarang ada di
atas meja.
“Lo kenapa, sih?” tanyanya dengan ekspresi wajah gerah.
Gue baru sadar kalau di hadapannya ada dua gelas kosong
bekas Almond Crush, minuman kesukaannya kalau kami lagi
Untitled-1.indd 4 10/4/2018 09:36:01
5
nongkrong di kafe ini. Keterlaluan nggak sih gue bikin dia
menunggu dua jam lamanya sampai menghabiskan dua gelas
tinggi gitu? Pasti perutnya kembung sekarang.
“Gue tanya sama lo. Elo kenapa?” desaknya. “Ini bukan
pertama kalinya lo telat kayak gini!” Dia memelotot, kelihatan
marah banget. “Selama liburan lo juga udah nggak pernah nge
chat duluan. Kalau dichat balesnya lama.” Kedua lengannya
dilipat di depan dada. “Lo bosen ya sama gue?” Pertanyaan yang
terakhir pengin banget gue anggukin kalau nggak memikirkan
perasaannya—dan takut dua gelas kosong itu melayang ke
jidat gue.
Usia pacaran kami hampir satu tahun, dua bulan lagi annive
rsary yang pertama, bulan Agustus tanggal 26 kayaknya. Eh,
benar nggak, sih? Kalau Sandria tahu gue lupa tanggal jadian,
pasti gue udah mendapatkan satu pelototan dan gebokan
singkat. Tapi omongomong, usia pacaran kami kayaknya
nggak bakal sampai satu tahun, kemungkinan besar bakal
gugur sebelum berkembang. Kalau ditanya kenapa, gue juga
nggak tahu. Gue cuma merasakan kebosanan yang kemudian
mengubah hubungan kami jadi seperti ini.
Kami jadian waktu kelas sepuluh kemarin, karena gue dan
dia satu kelas di X MIA 8. Tepatnya, waktu itu kami kebetulan
satu kelompok tugas Fisika, dan saat pulang mengerjakan
tugas dari rumah Ojan—yang samasama satu kelompok
juga—gue memberikan tumpangan pada Sandria buat pulang
karena nggak tega melihat dia pulang sendiri sementara
temanteman yang lain dijemput oleh abang atau orangtuanya.
Lalu, besoknya Ojan bikin gosip di kelas kalau gue lagi PDKTin
Untitled-1.indd 5 10/4/2018 09:36:02
6
Sandria, sampai satu kelas tahu dan godain gue sama Sandria.
Dan, yah, kalian tahu kan peribahasa, Yang dicieciein akan baper
pada waktunya? Nah, itulah gue.
Garagara itu, kalau lihat Sandria bawaannya jadi grogi,
dekatdekat saja jadi salah tingkah. Sandria yang tadinya gue
anggap biasa saja, berubah jadi cewek paling cantik di kelas.
Kalau lihat dia itu bawaannya adem tapi cerah, kayak lihat
masa depan impian. Pokoknya, gue merasakan yang namanya
kasmaran. Sampai akhirnya gue nembak dia lewat telepon, dan
… dia nerima gue.
Sandria memang cantik. Selain cantik dia juga pintar—
bahkan ranking satu di kelas—dan jelas baik. Calon menantu
idaman nyokap banget pokoknya. Namun, semua perasaan gue
tibatiba berubah saat liburan kenaikan kelas—ya, sekarang
ini. Males banget bawaannya menghubungi dia duluan. Dia
nelepon aja kadang nggak gue angkat dengan berbagai alasan.
Kalau dia ngechat, gue balasnya malasmalasan.
Entah kenapa, tibatiba saja gue merasa jenuh dengan
hubungan kami yang gitugitu aja. Setiap hari pasti ketemu
di sekolah. Pulang sekolah kadang suka nemani dia belajar
di perpustakaan kalau dia lagi nggak ada jadwal bimbel. Saat
weekend kami jalan, atau kadang cuma ngantar dia ke Gramedia
buat beli bukubuku pintar yang ada di list belanjaannya tiap
bulan. Obrolan kami ya gitugitu aja, membahas hobi gue dan
hobinya yang jelasjelas nggak nyambung. Kadang gue ajak
bercanda sambil menyebut, “Kage Bunshin no Jutsu1!” Dia
cuma melongo sambil bilang, “Apaan, sih?” Sebaliknya, kalau
1 Jurus bay angan yang menjadi ciri khas Anime Naruto.
Untitled-1.indd 6 10/4/2018 09:36:02
7
dia bercanda pakai istilah Matematika, kayak, “Nggak berharga
itu, kayak angka nol di belakang koma.” Gue malah melongo
dan mikir kelamaan sampai akhirnya candaan gue sama dia jadi
crunchy banget.
Ada nggak, sih, yang pernah mengalami hal kayak gue?
Bosan, sebosanbosannya sama sebuah hubungan tanpa alasan
yang jelas? Seriusan nanya ini gue.
“Ya.” Yaya maksudnya, panggilan kecil Sandria. Setelah itu
gue berdeham buat minta perhatian. “Lo ngerasain apa yang
gue rasain nggak, sih?” tanya gue hatihati. Kayak lagi mau
mecahin telur, terus takut yang kuningnya pecah.
Sandria memasang wajah nggak mengerti. “Rasain apa?”
Apa gue doang yang merasa kayak gini?
Dua kesulitan terbesar dalam hidup sebagian cowok
adalah saat nembak dan saat mutusin. Nembak= ngeri ditolak.
Mutusin= ngeri digampar. “Lo tahu gerimis, kan?” Gue masih
hatihati ngomongnya.
Raguragu dia mengangguk.
“Gue ini gerimis, dan lo payungnya,” lanjut gue.
“Udahan, deh!” Dia memelotot lagi. “Lo pikir gue bakalan
meleleh dengar rayuan lo setelah keterlambatan lo ini?”
Dia bukan lilin uji nyali, jadi gue tahu dia nggak bakalan
meleleh. Lagi pula, siapa yang mau ngerayu? “Maksud gue—”
“Gue mau balik. Udah nggak mood buat jalan.” Dia
memasukkan buku Rumus Cepat Matematika dan pensilnya
ke dalam tas. “Lo nggak usah anterin gue balik. Gue bisa balik
sendiri.” Dia berdiri, lalu menatap tajam ke arah gue sebelum
pergi.
Untitled-1.indd 7 10/4/2018 09:36:03
8
SANDRIASETELAH pertemuan kami minggu lalu yang diakhiri dengan perdebatan, hubungan kami semakin nggak jelas. Aldeo benar-benar berubah. Selama dua minggu waktu liburan ini, obrolan kami di telepon hanya seperlunya. Kata-katanya nggak manis lagi, nggak ada lagi kejutan konyol semacam kiriman kolase foto berbentuk hati, jarang ada kabar, mendadak sibuk ini dan itu, juga ... sering ingkar janji. Seperti sekarang, saat aku menyuruhnya datang ke tempat yang sama seperti minggu kemarin, dia kembali sulit dihubungi, padahal aku sudah menunggunya lebih dari setengah jam.
Aku menutup telepon ketika suara operator bernada datar kembali terdengar di ujung telepon. Saat aku merasa kesal karena Aldeo nggak mengangkat teleponku untuk ketiga kalinya, dari kejauhan aku melihatnya berjalan dengan terburu-buru, bahkan sempat menabrak seorang pengunjung perempuan yang akan keluar dari pintu kafe. Dia mengangguk-angguk sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali. Ketika seseorang yang tadi ditabraknya sudah berlalu, dia segera masuk. Jemarinya menyisir rambutnya yang sedikit berantakan, lalu kedua tangannya mengusap wajah yang masih kelihatan mengantuk.
Ketika tatapan kami bertemu, dia segera melangkah menghampiriku, menarik kursi di hadapanku dan bilang, “Sori, Ya. Tadi—”
“Lupa? Ketiduran? Jalanan macet?” selorohku, membuatnya mengatupkan mulut.
Untitled-1.indd 8 10/4/2018 09:36:03
9
Aldeo berdeham, lalu menggaruk samping leher sambil menghindari tatapanku. “Mau pesan apa?” Dia mengambil buku menu.
“Kita putus ya, Yo.” Ucapanku menghentikan gerakannya membuka buku menu.
Aldeo menatapku dengan mulut menganga. “Tunggu! Tunggu!” Telapak tangannya menghadap padaku, memintaku untuk nggak bicara lagi. “Gue benar-benar baru bangun tidur.” Dia mengacak rambut, mengusap wajahnya dengan gerakan kasar, lalu menatapku.
“Coba ulang,” pintanya.“Kita putus,” ulangku dengan kalimat lebih singkat dan
tentu dengan ekspresi datar andalanku. Aldeo menepuk-nepuk pelan pipinya. “Gue nggak disuruh
pesan minum atau makan dulu?” gumamnya sambil menatapku nggak percaya.
Gue ini gerimis, dan lo payungnya. Ucapan Aldeo minggu lalu terngiang-ngiang dalam ingatanku. Saat mendengarnya, kuputuskan untuk pura-pura nggak mengerti dan pergi. Tujuannya? Memberi waktu untuk menyembuhkan hubungan ini, lagi. Berharap waktu bisa mengembalikannya seperti semula. Namun, nyatanya semua tetap sama, Aldeo semakin menjauh dari jangkauanku, dan aku semakin yakin bahwa hubungan kami memang lebih baik berhenti di sini.
Aldeo adalah gerimis, yang mencoba menembus sebuah payung bernama Sandria. Kami bersama, tapi nggak pernah bisa menyatu. Kami saling menyentuh, tapi nggak pernah bisa membaur. Ada yang menghalangi jika kami bersama, dan mungkin saja aku yang membentengi diriku sendiri tanpa
Untitled-1.indd 9 10/4/2018 09:36:03
10
kusadari. Aku nggak membiarkan Aldeo sepenuhnya masuk ke dalam kehidupanku, dia hanya ada.
Kupikir, awalnya perbedaan sifat dan hobi kami yang hampir bertolak belakang ini akan selalu menyenangkan untuk diceritakan. Namun, ternyata hubungan kami sebatas cerita tentang kembang api, berawal dengan percikan yang indah, tetapi nggak bertahan lama.
“Ya, lo ... yakin?” Satu tangannya mau menangkup punggung tanganku yang berada di atas meja, tapi aku menghindar sebelum tangannya mendarat.
Aku mengangguk. “Menurut gue, keputusan ini juga cukup mewakili apa yang ada di dalam benak lo.”
Aldeo kelihatan akan membantah, tapi hanya berakhir diam.“Gue rasa waktu satu minggu ini cukup untuk meyakinkan
kita, tentang jalan apa yang harus kita ambil selanjutnya.” Aku berucap seraya membenarkan letak kacamata yang sedikit melorot di tulang hidung. “Ada yang mau lo sampaikan sebelum gue pergi?” tanyaku sembari menggantungkan slingbag ke bahu.
“Menurut lo, ini yang terbaik?” Aldeo menatapku dalam-dalam, seperti sedang mencari keyakinan di dalamnya.
Aku mengangkat kedua bahu. “Mungkin, untuk saat ini putus adalah jalan terbaik.”
“Koma, kan?” tanyanya dengan suara pelan dan hati-hati.“Maksudnya?” Aku nggak mengerti dengan pertanyaannya.“Kita putusnya nggak pakai titik. Pakai koma aja,” jelasnya
sambil cengar-cengir. “Siapa tahu nanti balikan. Kan, nggak ada yang tahu?”
Aku berusaha tersenyum, tapi tanganku nggak kuat kepengin menjambak rambutnya. []
Untitled-1.indd 10 10/4/2018 09:36:03