sampah jadi listrik = insentif...sampah rumah tangga yang berhasil diubah menjadi listrik. tulisan...

16
Vol. IV, Edisi 22, November 2019 Meninjau Pelaksanaan Program Pariwisata p. 8 ISO 9001:2015 Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685 Evaluasi Kebijakan Pembiayaan dan Pelaksanaan Rumah Bersubsidi p. 12 Sampah Jadi Listrik = Insentif p. 3

Upload: others

Post on 20-Jan-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Vol. IV, Edisi 22, November 2019

Meninjau Pelaksanaan Program Pariwisata

p. 8

ISO 9001:2015Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685

Evaluasi Kebijakan Pembiayaan dan Pelaksanaan Rumah

Bersubsidip. 12

Sampah Jadi Listrik = Insentifp. 3

2 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

Meninjau Pelaksanaan Program Pariwisatap.8PERANAN sektor pariwisata nasional semakin penting sejalan dengan perkembangan dan kontribusi yang diberikan sektor pariwisata. Pemerintah telah menggalakkan berbagai program kebijakan untuk mencapai target 20 juta wisatawan mancanegara di tahun 2019. Namun, target jumlah kunjungan wisatawan mancanegara belum tercapai dalam tiga tahun terakhir. Berbagai program kebijakan pemerintah dinilai masih belum fokus untuk menyelesaikan masalah sektor pariwisata. Untuk itu perlunya dilakukan evaluasi atas kebijakan tersebut.

Evaluasi Kebijakan Pembiayaan dan Pelaksanaan Rumah Bersubsidi p.12

Perumahan dan permukiman layak yang dapat diakses seluruh lapisan masyarakat menjadi salah satu sasaran program pemerintah. Pemerintah mencanangkan Program Sejuta Rumah untuk memenuhi hak masyarakat akan kepemilikan hunian yang tidak hanya terjangkau, namun juga layak huni. Pemerintah menawarkan alternatif kebijakan terkait dengan pembiayaan perumahan bersubsidi melalui FLPP, SSB, SBUM, serta pembiayaan lainnya. Namun dalam pelaksanaannya, ditemui beberapa hambatan baik dari pengalokasian kuota pembiayaan yang belum akurat, kurangnya sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, dan adanya pelanggaran dalam tahap pembangunan yang dilakukan oleh pengembang.

Sampah Jadi Listrik = Insentif p.3

Kritik/Saran

[email protected]

Dewan RedaksiRedaktur

DahiriRatna Christianingrum

Martha CarolinaRendy Alvaro

EditorAde Nurul Aida

Marihot Nasution

TAHUN 2019, terdapat Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik baru, yaitu Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS). Dana ini diberikan pada daerah yang mampu mengatasi kondisi darurat sampahnya dan mengubah sampah menjadi energi listrik. Tulisan ini membahas beberapa hal yang mengenai BLPS dan upaya pemerintah dalam penerapan DAK tersebut.

Penanggung JawabDr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E.,

M.Si.Pemimpin Redaksi

Dwi Resti Pratiwi

3Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Sampah Jadi Listrik = Insentifoleh

Marihot Nasution*)

Mulai tahun 2019, pemerintah menyiapkan dana insentif bagi pemerintah daerah sebagai

bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik. “Insentif” ini diberikan dalam rangka operasional penanganan sampah, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Dengan adanya Perpres tersebut beberapa kota di Indonesia ditunjuk sebagai pelopor berdirinya pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Insentif tersebut dinamakan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) diberikan bagi daerah sesuai dengan jumlah sampah rumah tangga yang berhasil diubah menjadi listrik. Tulisan ini memberikan informasi seputar BLPS dan beberapa permasalahan yang muncul dan konsekuensi dari kebijakan BLPS tersebut.

Sampah Sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan

Perpres 35/2018 diterbitkan dalam rangka mengatasi problematika pengelolaan sampah di daerah. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengubah sampah yang tidak lagi dapat dilakukan treatment 3R (reduce, reuse, recycle) menjadi listrik yang dapat digunakan sehari-hari. Langkah ini dapat dilakukan dengan mendirikan PLTSa. Dalam periode 2019-2022, akan ada 12

PLTSa yang beroperasi di 12 wilayah di Indonesia dengan waktu operasional yang berbeda-beda. Rencananya, keduabelas pembangkit tersebut akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 megawatt (MW) dari sekitar 16.000 ton sampah setiap hari.

Hadirnya PLTSa diharapkan akan mendongkrak penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen dalam bauran energi pada 2025 nanti. Hingga akhir 2018, pembangkit listrik bertenaga EBT baru memenuhi 12,4 persen dari total kapasitas pembangkit yang beroperasi. Meskipun demikian, pembangunan PLTSa ini tidak termasuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. PLN mendukung pembangunan PLTSa namun hanya satu pembangunan PLTSa yang merupakan penugasan langsung dari pemerintah untuk PLN yaitu PLTSa Suwung, Denpasar. Kesebelas PLTSa lainnya merupakan penugasan pemerintah pusat bagi pemerintah daerah dalam rangka penanggulangan darurat sampah. Dukungan PLN bagi 11 kota selain Denpasar dalam pembangunan PLTSa hanyalah sebatas PLN sebagai pembeli utama listrik yang diproduksi PLTSa tersebut. Pembangunan PLTSa di 11 kota selain Denpasar dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melakukan penugasan pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau swasta.

AbstrakTahun 2019, terdapat Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik baru,

yaitu Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS). Dana ini diberikan pada daerah yang mampu mengatasi kondisi darurat sampahnya dan mengubah sampah menjadi energi listrik. Tulisan ini membahas beberapa hal mengenai BLPS dan upaya pemerintah dalam penerapan DAK tersebut.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

primer

4 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Meskipun tidak termasuk dalam RUPTL, misi mulia yang diinisiasi oleh Presiden ini diutamakan untuk penanganan sampah, listrik yang dihasilkan hanyalah bonus bagi pemerintah daerah nantinya. Pasalnya, meskipun mengalami darurat sampah, namun PLTSa yang dibangun rata-rata hanya mampu mengolah 1.500-2.000 ton sampah per hari, tidak sebanding dengan jumlah sampah yang masuk ke tiap tempat pembuangan sampah akhir1. Selain itu, jumlah daya listrik yang diproduksi hanya sebesar 10-30 MW, jauh lebih kecil dari target awal pemerintah daerah yang membangun PLTSa2. Sejak Perpres 35/2018 muncul hanya 4 kota dari 12 kota yang telah ditunjuk dan bergerak cepat mewujudkan misi ini. Mereka telah memiliki sistem pengelolaan sampah yang rapi hingga dapat mendirikan PLTSa. Perlu diketahui bahwa pengelolaan sampah merupakan proses panjang yang terdiri atas pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, daur ulang,

atau pembuangan dari material sampah. Namun, banyak pemerintah daerah yang belum memiliki rencana matang pengelolaan sampah.

Penanganan sampah bagi pemerintah daerah tertera dalam peraturan daerah tentang Kebijakan dan Strategi Daerah (Jakstrada) Pengelolaan Sampah yang merupakan turunan dari Perpres No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Bagi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota diwajibkan untuk menyusun dokumen Jakstrada Pengelolaan Sampah paling lama dalam waktu satu tahun sejak ditetapkannya Jakstranas. Namun sampai dengan Januari 2019, tercatat baru 308 kabupaten/kota dan 15 provinsi yang telah menyelesaikan dokumen Jakstrada. Terlihat bahwa komitmen daerah masih lemah dalam penanganan sampah rumah tangga ini.

1) TPST Bantar gebang di Bekasi menerima sampah masuk sebanyak 7.500-8.000 ton per hari.2) Proyek PLTSa di TPST Bantar gebang, Bekasi sebelumnya ditargetkan menghasilkan tenaga 26 MW. Namun, dari hasil uji coba pembangkit listrik tersebut hanya mampu menghasilkan daya sebesar 1 MW dan kini ditargetkan untuk menghasilkan listrik hanya sebesar 9 MW.

Tabel 1. Rencana Pembangunan PLTSa di 12 Kota

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2019

5Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

tahun 2019 sangat bergantung pada hasil evaluasi KLHK terkait kesiapan operasional infrastruktur PLTSa di tahun 2019. Sesuai dengan kesiapannya, Pemerintah Kota Surabaya-lah yang akan menjadi penerima pertama dana tersebut. Dana Bantuan BLPS dalam RAPBN tahun 2020 direncanakan sebesar Rp106,2 miliar atau meningkat sebesar Rp79,3 miliar (294,6 persen) dibandingkan dengan outlook APBN tahun 2019. Namun dengan skema ini, pemerintah daerah dapat berupaya meningkatkan pendapatannya dari berjualan listrik semata dan mengesampingkan kewajiban pengelolaan sampahnya, sehingga perlu ketelitian dari KLHK sebagai verifikator data sampah yang telah dikonversi menjadi listrik.

Perlu diketahui bahwa wewenang untuk menjaga kebersihan dan mengelola sampah daerah merupakan salah satu urusan pemerintah daerah. Pemerintah daerah seharusnya telah memiliki skenario sendiri dalam menanggulangi sampahnya seperti yang tertera dalam Jakstrada masing-masing. Hadirnya Perpres 35/2018 ini merupakan salah satu solusi yang tidak hanya mengatasi darurat sampah namun juga memberi nilai tambah dari sampah. Solusi penanggulangan sampah yang lain dapat diupayakan pemerintah daerah seperti penanaman

Gambar 1. Alur BLPS

BLPS: Insentif Dalam Mengelola Sampah

BLPS adalah belanja yang dikeluarkan dari anggaran belanja daerah kepada pengelola sampah, berdasarkan volume yang dikelola per ton dan merupakan kompensasi atas jasa pengolahan sampah di lokasi tertentu yang ditetapkan, di luar biaya pengumpulan, pengangkutan, dan pemrosesan akhir. Bantuan BLPS diberikan kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk membantu pembiayaan layanan pengolahan sampah untuk percepatan terwujudnya PLTSa. Dana Bantuan BLPS diarahkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan melalui pengurangan sampah secara signifikan.

Dalam Perpres 35/2018, disampaikan bahwa BLPS diberikan kepada setiap daerah senilai Rp500.000 per ton sampah yang telah diproduksi menjadi listrik. Meskipun demikian, alokasi dana bantuan BLPS ini harus terlebih dahulu diusulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Hutan (KLHK) untuk dilakukan verifikasi atas jumlah sampah yang diolah sebelum diajukan kepada Kemenkeu (Gambar 1).

Tahun 2019 merupakan tahun pertama pengalokasian Dana Bantuan BLPS yang alokasinya sebesar Rp26,9 miliar. Namun realisasi Dana Bantuan BLPS

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2019

6 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

RekomendasiHadirnya BLPS merupakan sinyal positif bahwa pemerintah peduli terhadap penanggulangan sampah di Indonesia. Upaya mengubah sampah menjadi listrik merupakan solusi strategis dalam menambah bauran energi yang telah lama dinanti. Meskipun demikian, hadirnya PLTSa sebaiknya jangan dijadikan andalan dalam menghadirkan listrik, mengingat teknologi yang nantinya digunakan di PLTSa yang akan dibangun hanya mampu menghasilkan listrik berdaya kecil. Bagi pemerintah daerah yang ditunjuk untuk membangun PLTSa ini perlu segera memulai upaya penanggulangan darurat sampah ini. Selain itu, perlu disamakan pola pikir bahwa hadirnya PLTSa dan BLPS ini bukan upaya meningkatkan pendapatan daerah dari penjualan listrik, melainkan tetap difokuskan untuk penanggulangan sampah. Sementara itu, bagi pemerintah pusat sebagai penyalur BLPS perlu teliti dan meningkatkan koordinasi antara Kementerian Keuangan dan KLHK agar dana BLPS ini tidak dimanfaatkan di luar penggunaan dalam penanggulangan darurat sampah menjadi energi (waste to energy).

mindset daur ulang bagi penduduk, kemudahan investasi bagi usaha daur ulang sampah dan sebagainya. Hal tersebut seharusnya sudah menjadi kesadaran bagi pemerintah daerah untuk mengelola sampahnya dan menjaga kebersihan daerahnya. Dengan demikian, pemerintah daerah sebaiknya tidak menunggu dana bantuan dari pemerintah untuk menciptakan daerah yang bersih bebas sampah.

Selain itu, hadirnya DAK seharusnya diutamakan oleh pemerintah pusat sebagai elemen untuk menghadirkan keseimbangan horizontal bagi seluruh wilayah di Indonesia. Namun BLPS

ini akan membuat sejumlah dana transfer ke daerah diberikan pada daerah-daerah tertentu yang dapat dikatakan telah maju (12 kota besar). Hal ini semata karena permasalahan sampah di daerah tersebut sudah mengakar dan penanggulangan dengan cara konvensional tidak lagi sesuai. Dengan demikian, upaya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah dapat menjadi pekerjaan yang lebih berat bagi pemerintah pusat. Hadirnya dana transfer ke daerah lain sebaiknya diupayakan untuk lebih memihak bagi daerah tertinggal dan menyeimbangkan pembangunan kawasan barat dan timur Indonesia.

Daftar Pustaka

Okezone.com. 2019. Ada Dana Bantuan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah, Ini Penjelasan Sri Mulyani. Diakses dari https://economy.okezone.com/read/2019/02/21/20/2021014/ada-dana-bantuan-biaya-layanan-pengelolaan-sampah-ini-penjelasan-sri-mulyani

Kontan.co.id. 2019. Kemkeu siapkan insentif pengelolaan sampah untuk daerah tahun ini, berikut skemanya. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/kemkeu-siapkan-insentif-pengelolaan-sampah-untuk-daerah-tahun-ini-berikut-skemanya

Bisnis.com. 2019. Pemerintah Siapkan

Insentif Pengelolaan Sampah. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190224/99/892581/pemerintah-siapkan-insentif-pengelolaan-sampah

Bisnis.com. 2019. KLHK Minta Masalah Sampah Ditangani Secara Terpadu. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190224/99/892669/klhk-minta-masalah-sampah-ditangani-secara-terpadu

Media Indonesia. 2019. Kementerian LHK Dorong Daerah Raih Insentif Pengelolaan Sampah. Diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/246174-kementerian-lhk-dorong-daerah-raih-insentif-pengelolaan-sampah

7Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

PLN.co.id. 2019. Atasi Masalah Sampah, PLN Dukung Pembangunan PLTSa di Solo. Diakses dari https://www.pln.co.id/media/siaran-pers/2019/09/atasi-masalah-sampah-pln-dukung-pembangunan-pltsa-di-solo

Kompas.id. 2019. Cukup Sekali Angka Nol di Kota Manado. Diakses dari https://kompas.id/baca/utama/2019/07/19/cukup-sekali-angka-nol-di-kota-manado/

Kompas.id. 2019. Fokus PLTSa Bukan untuk Menghasilkan Listrik. Diakses dari https://kompas.id/baca/utama/2019/07/18/proyek-pltsa-

hendaknya-fokus-pada-pengurangan-sampah/

Kementerian ESDM. 2019. Keputusan Menteri ESDM No. 39.K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2019 Sampai Dengan Tahun 2028

Kementerian Keuangan. 2018. Nota Keuangan APBN 2019

Kementerian Keuangan. 2019. Nota Keuangan RAPBN 2020

8 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Pembangunan pariwisata memiliki arti yang sangat penting jika ditinjau dari berbagai aspek.

Dari sisi ekonomi, dalam beberapa tahun terakhir, pariwisata memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), baik melalui devisa maupun perputaran ekonomi. Pada tahun 2015, sektor pariwisata berkontribusi terhadap PDB nasional sebesar 4,13 persen. Nilai ini meningkat pada tahun 2016, dimana kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB mencapai 4,25 persen. Namun, di tahun 2017 terjadi penurunan kontribusi sektor pariwisata menjadi 4,13 persen (Badan Pusat Statistik/BPS, 2019). Bank Indonesia mencatat devisa dari jasa pariwisata yang masuk sepanjang tahun 2018 mencapai US$14,1miliar. Salah satu kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi berdasarkan kondisi fisik serta geografi di Indonesia pada saat ini adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK merupakan kawasan dengan batasan tertentu yang diberikan fasilitas dan insentif khusus sebagai daya tarik investasi atas dasar pertimbangan keunggulan geoekonomi dan geografis wilayah. Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang diberikan tempat khusus pada pengembangan kawasan ini. Sektor pariwisata sebagai penghasil devisa harus diberikan ruang seluas-luasnya untuk mendapatkan investasi

terutama untuk daerah yang sudah mulai diincar oleh wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintah menetapkan empat KEK Pariwisata di Indonesia. Keempat kawasan tersebut adalah Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Mandalika dan Morotai. KEK Pariwisata diperuntukkan bagi kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, pertemuan, pameran serta kegiatan terkait.Selain dengan KEK Pariwisata, Presiden Joko Widodo telah menetapkan Nawacita sebagai program prioritas pembangunan Kabinet Kerja tahun 2015-2019. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 93 Tahun 2017, pembangunan destinasi pariwisata diarahkan untuk meningkatkan daya tarik daerah tujuan wisata sehingga berdaya saing di dalam dan luar negeri. Program ini disebut sebagai 10 Bali Baru. Bercermin pada kemajuan pariwisata Bali dan memberikan sumbangan besar pada PDRB Bali, maka pemerintah memiliki ide untuk “mengkloning” kondisi pariwisata Bali pada destinasi wisata lainnya di Indonesia. Diharapkan wisatawan mancanegara bisa lebih berminat berkunjung ke Indonesia. Sepuluh Bali Baru ini diharapkan mampu menjadi pintu gerbang utama pariwisata nasional agar dapat meningkatkan kunjungan wisatawan yang berkunjung ke Indonesia.

Meninjau Pelaksanaan Program Pariwisataoleh

Adhi Prasetyo SW.*)Rosalina Tineke Kusumawardhani**)

AbstrakPeranan sektor pariwisata nasional semakin penting sejalan dengan

perkembangan dan kontribusi yang diberikan sektor pariwisata. Pemerintah telah menggalakkan berbagai program kebijakan untuk mencapai target 20 juta wisatawan mancanegara di tahun 2019. Namun, target jumlah kunjungan wisatawan mancanegara belum tercapai dalam tiga tahun terakhir. Berbagai program kebijakan pemerintah dinilai masih belum fokus untuk menyelesaikan masalah sektor pariwisata. Untuk itu perlunya dilakukan evaluasi atas kebijakan tersebut.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

sekunder

9Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Belum selesai dengan program wisata 10 Bali Baru, Kementerian Pariwisata Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kementerian Parekraf) menggelar rapat koordinasi nasional (Rakornas) Pariwisata III dengan sejumlah kementerian dan lembaga untuk membahas pengembangan 5 destinasi super prioritas, yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo setelah rapat terbatas pada 15 Juli 2019. Lima destinasi super prioritas yang dibahas dalam Rakornas Pariwisata III, antara lain Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang. Saat ini kelima destinasi super prioritas tersebut sedang dalam proses pengembangan infrastruktur yang ditargetkan selesai pada tahun 2020.Pemerintah telah menjalankan berbagai program pariwisata untuk mencapai target kunjungan wisatawan mancanegara. Namun kenyataannya dalam kurun waktu empat tahun terakhir target tersebut tidak kunjung tercapai. Tahun 2016 pemerintah memasang target 12 juta kunjungan namun hanya tercapai 11,52 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Di tahun 2017, pemerintah menargetkan 15 juta kunjungan dan hanya tercapai 14,2 juta kunjungan. Begitu juga tahun 2018 yang hanya tercapai 15,81 juta kunjungan dari target 17 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Pada tahun 2019, pemerintah juga telah merevisi target kunjungan wisatawan mancanegara dari target 20 juta

wisatawan mancanegara menjadi 18 juta wisatawan asing. Namun, menurut Kementerian Parekraf menyebut target kunjungan wisatawan mancanegara atau wisman sebanyak 18 juta kunjungan kemungkinan akan sulit tercapai hingga akhir tahun 2019 (Tempo, 2019). Dilihat dari data BPS, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sampai dengan Agustus 2019 sebanyak 10,87 juta orang. Jumlah ini masih jauh dari target 18 juta kunjungan hingga akhir tahun 2019. Perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap program pariwisata pemerintah agar kedepannya program pemerintah di sektor pariwisata mencapai sasaran.Hambatan dan KendalaKEK Pariwisata dibentuk dengan harapan untuk memberikan kemudahan para investor untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah memberikan banyak fasilitas bagi investor yang akan masuk ke KEK mulai dari pengurangan bahkan pembebasan PPh, PPN, kepabeanan dan cukai. Dengan adanya investasi ini kedepannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara. Namun, sampai saat ini KEK sektor pariwisata belum terlihat hasilnya. Sejak beroperasinya KEK Pariwisata ini, kawasan wisata Bali masih menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1, dimana Bali masih menjadi destinasi wisata dengan kunjungan tertinggi di Indonesia selama periode tahun 2014-2017.Pengembangan pada setiap wilayah KEK Pariwisata memiliki hambatan dan kendala yang berbeda pula.

Gambar 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Juta Orang)

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2019

Tabel 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara (dalam jiwa)

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2018

Ta-hun

Provinsi/Daerah Wisata

Bali NTB Banten Belitung Maluku Utara

2014 3.766.638 752.306 152.691 3.926 702

2015 4.001.835 1.061.292 125.162 3.498 479

2016 4.927.937 1.404.937 281.758 7.112 437

2017 5.697.739 1.430.249 227.441 9.603 584

10 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

RekomendasiMengingat sektor pariwisata adalah mother industry, maka untuk mengatasi lambatnya pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara

Dalam hal ini yang paling menghambat pengembangan wilayah adalah masalah perizinan. Masalah perizinan menjadi salah satu hambatan pada sektor pariwisata ini yakni proses akuisisi dan perubahan kepemilikan lahan menjadi proses yang dinamis yang membuat lambatnya pengembangan zona wisata. Padahal seharusnya KEK adalah salah satu solusi untuk masalah kerumitan dalam perizinan. Sebab dalam KEK ini berlaku pelayanan satu pintu terpadu (PTSP). Peneliti Utama Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Maxensius Tri Sambodo menemukan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan KEK tidak berjalannya sinergi antara KEK dan daerah sekitar dan belum kongkretnya insentif yang dapat diberikan kepada investor khususnya di sektor pariwisata (cnbcindonesia.com, 2019). KEK Pariwisata yang gencar dikembangkan yakni KEK Mandalika sejak Juni 2014 dan Tanjung Kelayang sejak Maret 2016. Meski sudah dikembangkan sejak lama tapi keduanya belum bisa digunakan untuk menarik investor datang ke Indonesia. Apalagi saat ini sudah ada sebanyak 4.800 KEK di dunia sehingga Indonesia benar-benar harus bersaing. Merujuk Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 2009 mengenai KEK, maka KEK harus siap beroperasi setelah 3 tahun. Namun pada kenyataannya terdapat beberapa KEK yang belum beroperasi seperti KEK Mandalika sudah ditetapkan sejak 5 tahun lalu namun belum berjalan. Begitu juga KEK Tanjung Kelayang yang sudah ditetapkan sejak tahun 2016 namun hingga saat ini belum beroperasi.Permasalahan juga terjadi dalam pengembangan program 10 Bali Baru. Target pengembangan 10 Bali Baru sudah digagas Presiden Joko Widodo sejak 2016 silam, namun sejauh ini realisasinya kurang signifikan sehingga keberadaan potensi wisata tersebut belum bisa dimaksimalkan perkembangannya.Hambatan dalam pengembangan tujuan wisata 10 Bali Baru yaitu pertama, mengenai persoalan minimnya infrastruktur penghubung yang berkoneksi dengan mobilitas wisatawan (aksesibilitas). Infrastruktur

berupa penunjang konektivitas jalan menuju ke lokasi wisata yang akan dituju masih banyak yang perlu dibenahi, baik berupa terminal, dan runway bandara yang masih kurang panjang. Selain itu, infrastruktur berupa dermaga di pelabuhan juga belum dibenahi, contohnya Labuan Bajo yang diandalkan pemerintah sebagai calon Bali baru memiliki pelabuhan yang masih melayani lalu lintas campuran antara kargo dengan penumpang. Walaupun hanya bersifat sebagai pendukung, infrastruktur memiliki posisi yang amat penting bagi keberlangsungan kegiatan masyarakat di suatu wilayah. Aktivitas yang ditampung dalam suatu ruang tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh infrastruktur yang memadai. Hal ini perlu menjadi perhatian karena para investor lebih memilih kawasan-kawasan yang telah memiliki sarana penunjang, terutama sarana yang mampu menarik pasar untuk berkunjung. Kedua, terdapat masalah lainnya yaitu masih minimnya investor dalam membangun sarana dan prasarana umum bagi wisatawan (amenities). Ketersediaan dan dukungan sarana dan prasarana penunjang wisata merupakan hal yang penting, karena merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kemajuan kepariwisataan karena memberikan kemudahan pelayanan bagi wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Hal ini berdampak pada jumlah kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun. Ketiga, adanya persoalan pada kualitas produk wisata yang akan dipromosikan dan dipasarkan (atraksi). Pengembangan dan peningkatan kualitas wisata 10 Bali Baru memiliki beberapa potensi wisata unggulan yaitu obyek wisata alam, wisata cagar budaya dan juga memiliki beberapa wisata kebudayaan dan kesenian daerah yang dapat dikembangkan akan selalu menarik banyak pengunjung.

11Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Daftar PustakaBisnis.com 2019. Anggaran Ditambah Rp6,34 Triliun, 5 Destinasi Super Prioritas Harus Tuntas 2020. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190911/12/1147078/anggaran-ditambah-rp634-triliun-5-destinasi-super-prioritas-harus-tuntas-2020 pada November 2019.Badan Pusat Statistik. 2019. Proporsi Kontribusi Pariwisata Terhadap PDB, 2015 – 2017. Diakses dari https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/05/18/1329/proporsi-kontribusi-pariwisata-terhadap-pdb-2015.html pada November 2019.Cnbcindonesia.com. 2019. Begini Nasib Kawasan Ekonomi Khusus Saat Ini. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20180828135834-4-30557/begini-nasib-kawasan-ekonomi-khusus-saat ini pada November 2019.Bisnis.com. 2019. Sampai di Mana

Progres Pengembangan 10 Bali Baru?. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190716/12/1124663/sampai-di-mana-progres-pengembangan-10-bali-baru pada November 2019.Indonesia.go.id. 2019. Memicu Pertumbuhan dengan KEK. Diakses dari https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/memicu-pertumbuhan-dengan-kek pada November 2019.Koran-jakarta,com. 2019. Pariwisata Bisa Dongkrak Ekonomi. Diakses dari http://www.koran-jakarta.com/pariwisata-bisa-dongkrak-ekonomi/ pada November 2019.Tempo.co. 2019. Wishnutama Sebut Target 18 Juta Turis Asing Sulit Tercapai. Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1264814/wishnutama-sebut-target-18-juta-turis-asing-sulit-tercapai pada November 2019.

ini, pemerintah harus benar-benar fokus mengembangkan destinasi. Pemerintah semestinya menetapkan destinasi prioritas berdasarkan kriteria yang terkait langsung dengan sektor kepariwisataan, yakni kesiapan ekosistem pariwisata di setiap kawasan.

Agar sektor pariwisata ini benar-benar menarik wisatawan mancanegara, pemerintah hendaknya memaksimalkan KEK Pariwisata dan 5 destinasi super prioritas dengan mendorong percepatan pembangunan infrastruktur daerah wisata. Pengembangan infrastruktur di dalam dan di luar kawasan perlu mendapatkan prioritas seperti bandara, air bersih, dan pelabuhan. Pembangunan infrastruktur diharapkan terus didukung oleh kementerian dan lembaga terkait baik pemerintah maupun swasta. Dalam mengembangkan pembangunan pariwisata dibutuhkan sinkronisasi kebijakan. Untuk itu, diperlukan revisi kebijakan agar destinasi pariwisata Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Butuh koordinasi luar biasa baik antar kementerian dan lembaga agar program pembangunan pariwisata dapat berjalan dengan baik. Sebagai contoh koordinasi ketika mengembangkan pariwisata yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dapat membangun jalan, Kementerian Perhubungan diharapkan membangun bandara yang dekat dengan destinasi wisata, membangun pelabuhan dan transportasi yang layak.

Dalam menyusun program pariwisata selanjutnya, pemerintah hendaknya mengevaluasi program yang sudah berjalan yaitu KEK Pariwisata, 10 Bali Baru dan juga 5 program destinasi super prioritas. Dari evaluasi program tersebut sehingga dapat diketahui keunggulan sektor pariwisata di masing-masing wilayah. Keunggulan tersebut yang dimaksimalkan untuk menarik investor. Diharapkan dengan adanya investor yang masuk maka tujuan dari program pariwisata pemerintah dapat tercapai.

12 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Salah satu agenda prioritas nasional yang dirancang pemerintah yaitu meningkatkan kualitas hidup

manusia dan masyarakat Indonesia melalui pembangunan infrastruktur dasar yaitu perumahan dan permukiman layak huni yang dapat diakses setiap lapisan masyarakat. Sasaran dalam agenda ini yaitu meningkatkan akses seluruh masyarakat akan hunian yang layak, aman, dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Target penyediaan infrastruktur perumahan dan permukiman yang paling besar diselenggarakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) dengan sasaran program yaitu meningkatnya dukungan pembiayaan rumah yang layak huni dan berkelanjutan. Adapun salah satu indikator kinerja yaitu tingkat aksesibilitas terhadap bantuan pendanaan dan pembiayaan perumahan untuk rumah tangga Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui rumah bersubsidi. Untuk itu, pemerintah mencanangkan Program Sejuta Rumah guna memenuhi hak masyarakat akan kepemilikan rumah. Hingga 1 Juli 2019, telah dibangun sebanyak 601.205 unit rumah dalam Program Satu Juta Rumah,

yang terbagi dalam 456.974 unit rumah MBR dan 144.231 unit rumah non MBR (Kementerian PUPR, 2019). Rumah subsidi yang tengah ditawarkan pemerintah ini diberikan perlakuan khusus seperti suku bunga rendah dan tetap (berkisar 5 persen per tahun); tenor kredit hingga 20 tahun; uang muka ringan; bebas premi asuransi; dan bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Program Sejuta Rumah diluncurkan tahun 2015 untuk menyiasati backlog perumahan dengan MBR sebagai sasaran utamanya. Backlog diartikan sebagai pertumbuhan kebutuhan rumah yang tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan rumah layak huni sesuai dengan angka tambahan kebutuhan rumah. Kesuksesan dari program ini tidak hanya diukur dari jumlah rumah atau hunian terbangun, namun juga efektivitas bagi MBR sebagai sasaran utama program. Program ini masuk ke dalam anggaran pembiayaan perumahan yang dijalankan oleh Kementerian PUPR (Gambar 1).Jumlah anggaran penyediaan perumahan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 terus menurun. Total anggaran APBN yang mencapai hampir Rp40 triliun untuk penyediaan perumahan ini nyatanya belum banyak

AbstrakPerumahan dan permukiman layak bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi

salah satu sasaran program pemerintah. Pemerintah mencanangkan Program Sejuta Rumah untuk memenuhi hak masyarakat akan kepemilikan hunian yang tidak hanya terjangkau, namun juga layak huni. Pemerintah menawarkan alternatif kebijakan terkait dengan pembiayaan perumahan bersubsidi melalui FLPP, SSB, SBUM, serta pembiayaan lainnya. Namun dalam pelaksanaannya, ditemui beberapa hambatan baik dari pengalokasian kuota pembiayaan yang belum akurat, kurangnya sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, dan adanya pelanggaran dalam tahap pembangunan yang dilakukan oleh pengembang. Adanya permasalahan ini dapat menjadi hambatan dalam pencapaian program pemerintah dalam menutup angka backlog rumah.

Evaluasi Kebijakan Pembiayaan dan Pelaksanaan Rumah Bersubsidi

oleh Rastri Paramita*)

Deasy Dwi Ramiayu**)

sekunder

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

13Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

mengurangi angka backlog perumahan sehingga kebijakan pemerintah selama ini dirasa kurang efektif. Berdasarkan data Kementerian PUPR, backlog rumah di tahun 2019 tercatat sebanyak 5,4 juta rumah. Untuk mengatasi permasalahan backlog ini, dari sisi pembiayaan, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR tengah menyalurkan subsidi perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM). Dari seluruh alternatif kebijakan, yang banyak disoroti saat ini ialah FLPP dan fasilitas SSB (Tabel 1).

Target alokasi program pembiayaan perumahan melalui FLPP cenderung berfluktuatif, karena disesuaikan dengan alokasi kuota penyaluran pembiayaan lain. Namun untuk fasilitas SSB, target jumlah unit yang disalurkan menurun. Untuk skema lain seperti Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) 312 unit rumah dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) 36.000 unit rumah dengan total anggaran yang dialokasikan dari APBN sebesar Rp11,51 triliun (Kementerian PUPR, 2019). Namun di tahun 2020, kuota untuk

SSB akan dihapuskan dan dialihkan pada skema FLPP dan BP2BT (Pikiran Rakyat, 2019).

Target pengurangan angka backlog melalui pembiayaan Program Sejuta Rumah khususnya untuk MBR masih belum tercapai. Tulisan ini akan membahas permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan pembiayaan sampai dengan permasalahan Program Sejuta Rumah yang terjadi di pengembang.

Pengalokasian Kuota Pembiayaan Belum AkuratSalah satu permasalahan dalam pencapaian Program Sejuta Rumah yaitu alokasi kuota pembiayaan yang kurang dari kebutuhan masyarakat. Pada tahun-tahun sebelumnya, persentase penyerapan pembiayaan melalui skema FLPP lebih tinggi dibandingkan fasilitas pembiayaan lainnya. Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk meningkatkan kuota FLPP tahun 2019 menjadi sebanyak 68 ribu unit, sementara menurunkan alokasi kuota pembiayaan SSB menjadi sebanyak 100 ribu unit. Jika dibandingkan dengan tahun 2015, target alokasi unit fasilitas SSB cenderung menurun dikarenakan pemerintah menyalurkan melalui pembiayaan lain seperti SBUM. Namun sampai dengan Juli ini, fasilitas SSB ini belum direalisasikan (Liputan6, 2019). Hal ini berbanding terbalik dengan kuota FLPP yang justru telah habis pada September ini. Fasilitas SSB kurang dikenal masyarakat karena baru diluncurkan tahun 2015, sementara FLPP diluncurkan sejak tahun 2010.

Akibatnya, rumah subsidi yang telah dibangun tidak bisa diakadkan kepada calon pembeli yang telah membayar uang muka. Walaupun calon pembeli diarahkan untuk mengambil fasilitas lain seperti SSB atau BP2BT, tidak banyak yang tertarik dengan fasilitas tersebut dan lebih memilih menunda akad dengan kuota tahun depan (Tempo, 2019). Habisnya kuota FLPP di tengah tahun tentunya menghambat kinerja keuangan

Gambar 1. Anggaran Penyediaan Perumahan Rakyat (dalam triliun rupiah)

Sumber: Kementerian PUPR

Tabel 1. Target Program Pembiayaan Perumahan Tahun 2015 – 2019

(dalam unit)

Sumber: Kementerian PUPR, diolah

Jenis Pembiayaan

Tahun

2015 2016 2017 2018 2019

FLPP 603.516 89.186 120.000 42.000 68.858

SSB - 386.444 225.000 225.000 100.000

SBUM - - 206.596 344.500 237.000

14 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

pengembang yang harus membayar biaya material yang hampir jatuh tempo dan menunda pembangunan unit rumah baru. Pengembang telah mengajukan kuota dan anggaran tambahan kepada pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan. Namun hingga saat ini belum ada titik terang terkait penambahan kuota ini.

Permasalahan ini sedikit menggambarkan dampak dari pengalokasian kuota rumah bersubsidi yang kurang tepat sasaran dan minimnya sosialisasi alternatif pembiayaan rumah bersubsidi kepada masyarakat. Untuk itu, strategi pemerintah untuk pengalokasian kuota rumah bersubsidi dengan skema pembiayaan yang tepat harus diikuti dengan sosialisasi kepada masyarakat, sehingga alokasi pembiayaan perumahan subsidi lebih efektif dan tepat sasaran.

Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Daerah Tidak SejalanPermasalahan dalam pelaksanaan lainnya yaitu kurang sinkronnya peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, misalnya saja dalam pengadaan lahan rumah bersubsidi. Dalam proses pengadaan lahan, sertifikat lahan yang digunakan merupakan sertifikat induk. Namun ketika rumah dibangun, sertifikat induk tersebut harus dipecah ke dalam beberapa splitsing sertifikat. Pengembang dapat mengajukan pemecahan sertifikat tersebut ke pemerintah pusat, namun kemudian harus diverifikasi ulang oleh Dinas Pertanahan setempat. Adapun sumber daya tenaga pengukur di setiap daerah tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah. Akibatnya, hal ini sangat menghambat pengadaan lahan rumah bagi pengembang.

Selain itu, pada kasus pengadaan lahan di Papua Barat, sebagian besar tanah merupakan tanah adat yang pembebasannya memakan waktu dan biaya. Untuk memulai tahap pembangunan yang dicanangkan oleh pusat, pengembang harus mengajukan

pembebasan lahan kepada pemerintah daerah. Namun pemerintah daerah membutuhkan perizinan dari ketua adat untuk mengalihkan lahan adat menjadi lahan untuk pengembang. Selain perizinan, pembuatan sertifikat tanah membutuhkan waktu yang lama akibat terbatasnya tenaga ukur bersertifikat di daerah (Liputan6, 2018).

Pelanggaran Tahap Pembangunan oleh PengembangPermasalahan klasik yang terjadi selama ini yaitu adanya pelanggaran dalam tahap pembangunan rumah subsidi yang dilakukan oleh pengembang, misalnya rumah yang kurang layak huni. Dari seluruh penyaluran rumah subsidi sampai dengan tahun 2017 yang melalui FLPP sebanyak 500 ribu unit, jumlah rumah yang tidak layak huni yang tercatat Kementerian PUPR hampir 40 persen atau sekitar 200 ribu unit (Kompas, 2017). Kualitas dari rumah subsidi ini tidak memenuhi standar kelayakan seperti air bersih, sanitasi listrik, dan jalan lingkungan yang memadai. Selain itu, berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP), telah ditemukan berbagai pelanggaran oleh penerima bantuan subsidi seperti spesifikasi material di atas standar rumah subsidi, adanya penambahan jumlah kamar yang tentunya lebih tinggi dari harga rumah subsidi yang ditentukan pemerintah (Detik, 2017). Dari hal ini, pemerintah dapat mencabut status subsidi rumah serta fasilitas pembiayaan subsidi yang telah digunakan sebelumnya. Untuk itu, perlu ditingkatkan pengawasan dari pemerintah serta perlu updating dan pengintegrasian database terkait pelaksanaan pembiayaan perumahan.

RekomendasiUntuk mengoptimalkan upaya pemerintah dalam menutup angka backlog rumah bagi MBR itu, maka direkomendasikan untuk: pertama, menerapkan strategi

15Buletin APBN Vol. IV. Ed. 22, November 2019

Daftar PustakaDetik.com. 2017. Pelanggaran Pada Rumah KPR Bersubsidi Akan Ditindak Tegas. Diakses dari https://finance.detik.com/properti/d-3509007/pelanggaran-pada-rumah-kpr-bersubsidi-akan-ditindak-tegas tanggal 6 November 2019.

Kementerian PUPR. 2019. Menteri Basuki: Permintaan Rumah Subsidi Bertambah. Diakses dari https://www.pu.go.id/berita/view/17170/menteri-basuki-permintaan-rumah-subsidi-bertambah tanggal 13 November 2019.

Kementerian PUPR. 2019. Pemerintah Optimis Capai Target Penyaluran Bantuan Pembiayaan Perumahan. Diakses dari http://pembiayaan.pu.go.id/news/detail/45/Pemerintah-Optimis-Capai-Target-Penyaluran-Bantuan-Pembiayaan-Perumahan tanggal 7 November 2019.

Kompas.com. 2018. 40 Persen Rumah Subsidi Tidak Layak Huni. Diakses dari https://properti.kompas.com/read/2017/08/21/220928021/40-persen-rumah-subsidi-tidak-layak-huni tanggal 13 November 2019.

Liputan6.com. 2019. Kementerian PUPR

Bantah Bantuan Rumah Subsidi Habis. Diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/4032162/kementerian-pupr-bantah-bantuan-rumah-subsidi-habis tanggal 13 November 2019.

Liputan6.com. 2018. Pengembang di Papua Barat Keluhkan Masalah Pembebasan Lahan. Diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/3493078/pengembang-di-papua-barat-keluhkan-masalah-pembebasan-lahan tanggal 13 November 2019.

Pikiranrakyat.com. 2019. Beratkan APBN, Pembiayaan Rumah Subsidi Skema SSB Dihapus di 2020. Diakses dari https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2019/10/30/beratkan-apbn-pembiayaan-rumah-subsidi-skema-ssb-dihapus-di-2020 tanggal 7 November 2019.

Tempo.com. 2019. Kuota FLPP Habis, Pembangunan Rumah Bersubsidi Tersendat. Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1269221/kuota-flpp-habis-pembangunan-rumah-bersubsidi-tersendat/full&view=ok tanggal 13 November 2019.

pengalokasian kuota rumah bersubsidi yang diimbangi dengan sosialisasi kepada masyarakat sehingga penyerapan kuota lebih efektif dan efisien. Pemerintah harus mampu mendorong pengembang untuk menawarkan alternatif pembiayaan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus mampu mensosialisasikan alternatif pembiayaan yang tersedia dan menyalurkannya sesuai dengan kemampuan keuangan masyarakat. Kedua, membenahi regulasi, sinergitas, dan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga tidak kontradiktif dan tumpang tindih. Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pelaksanaan di daerah, mengingat pelaksanaan di daerah cenderung minim pengawasan dan rawan pelanggaran. Pemerintah perlu membuat mekanisme pengawasan yang melibatkan stakeholder terkait, khususnya pemerintah daerah dan bank penyelenggara. Dengan adanya pengawasan ini, maka program penyediaan rumah bersubsidi bagi MBR lebih tepat sasaran dan tidak merugikan masyarakat. Keempat, kinerja pemerintah terkait pelaksanaan Program Sejuta Rumah sebagai bagian dari agenda nasional seyogyanya perlu diinformasikan kepada umum secara berkala. Sedikitnya, informasi terkait target dan penyerapan kuota pembiayaan perumahan dari seluruh jenis fasilitas harus diketahui tidak hanya oleh pengembang, tetapi juga masyarakat. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi acuan pengembang dalam menentukan strategi pembangunan rumah bersubsidi, serta membantu masyarakat agar tidak menunggu kuota tambahan ataupun kuota tahun depan.

“Siap Memberikan Dukungan Fungsi Anggaran Secara Profesional”

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635, Fax. 021-5715635

e-mail [email protected]