saccharomyces cerevisiae
DESCRIPTION
This is an essay about Saccharomyces cerevisiae, on of the bacteriaTRANSCRIPT
-
TK2204 MIKROBIOLOGI INDUSTRI
IDENTIFIKASI JAMUR (YEAST) :
Saccharomyces cerevisiae
Nama / NIM :
1. Samuel / 13012021
2. Novika Suwardana / 13012099
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014
-
1. Taksonomi
Taksonomi dari Saccharomyces cerevisiae adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Divisio : Ascomycota
Kelas : Ascomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Familia : Saccharomycetaceae
Genus : Saccharomyces
Spesies : Saccharomyces cerevisiae
2. Morfologi Saccharomyces cerevisiae
S. Cerevisiae merupakan kelompok mikroba yang tergolong dalam ragi/khamir
(yeast). S. Cereviceae secara morfologis umumnya memiliki bentuk elipsodial dengan
diameter yang tidak besar, hanya sekitar 1-3m sampai 1-7m3.
Yeast yang sangat berperan dalam pembuatan roti ini termasuk eukariota
uniseluler yang mempunyai keunggulan yaitu mudah dikulturkan, pertumbuhannya
cepat, peta genomnya sudah dapat dipetakan dengan jelas serta mudah menerima
transfer gen. S. cerevisiae dapat ditumbuhkan di laboratorium dengan menumbuhkan-
nya pada media tertentu, baik media padat maupun media cair. Dari segi warna, yeast
yang juga sangat berperan dalam proses fermentasi alkohol ini mempunyai warna putih
kekuningan yang dapat dilihat diatas permukaan tumbuh koloni, sehingga tidak seperti
khamir lainnya yang seringkali tidak terlihat dibawah miskroskop karena tidak kontras
dengan mediumnya. Penampilan makroskopisnya yaitu bentuk koloni yang bulat,
warna yang kuning muda-keputihan, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan
memiliki sel bulat dengan askopora 1-8 buah.
-
S.Cerevisiae memiliki dinding sel yang mengandung a-D-Glukan, kitin, dan
manoprotein. Dinding selnya ini diketahui mempunyai 3 lapisan, yaitu lapisan
dalam alkali in-soluble (30-35%), lapisan tengah alkali-soluble glukan (20-22%), serta
lapisan luar adalah glikoprotein(30%) yaitu suatu karbohidrat yang tersusun dari manan
yang terfosforilasi.
3. Fisiologi dan Metabolisme Saccharomyces cerevisiae
Saccahromyses cerevisiae bersifat fakultatif anaerobik mengandung 68-83% air,
nitrogen, karbohidrat, lipid, vitamin, mineral dan 2,5-14% kadar N total. Cara hidupnya
kosmopolitan dan mudah dijumpai pada permukaan buah-buahan, nektar bunga dan
dalam cairan yang mengandung gula, namun ada pula yang ditemukan pada tanah dan
serangga. Selain kosmopolitan, S. Cerevisiae ini dapat pula hidup secara saprofit
maupun bersimbiosis. Komposisi kimia S. cerevisiae terdiri atas : protein kasar 50-
52%, karbohidrat ; 30-37%; lemak 4-5%; dan mineral 7-8% (Reed dan Nagodawithana,
1991) .
S. cerevisiae mempunyai beberapa enzim yang mempunyai fungsi penting yaitu
intervase, peptidase dan zimase . Enzim peptidase mempunyai 96 gen dan yang
homolog inaktif sebanyak 32. Sel-sel ragi S. cerevisiae juga mengandung enzim
maltase yang mengubah maltosa menjadi glukosa, kemudian oleh fermentasi diubah
menjadi etanol, CO dan sedikit bahan-bahan flavor yang mudah menguap pada hasil
akhir.
Dalam proses fermentasi, S. cerevisiae cepat berkembang biak, tahan terhadap
kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan
cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Beberapa spesies Saccharomyces mampu
memproduksi ethanol hingga 13.01 %. Hasil ini lebih bagus dibanding genus lainnya
seperti Candida dan Trochosporon. Pertumbuhan Saccharomyces dipengaruhi oleh
adanya penambahan nutrisi yaitu unsur C sebagai sumber carbon, unsur N yang
diperoleh dari penambahan urea, ZA, amonium dan pepton, mineral dan vitamin. Suhu
optimum untuk fermentasi antara 28 30 C. Dengan adanya oksigen, Saccharomyces
cerevisiae juga dapat melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi karbon
dioksida dan air.
-
Beberapa kelebihan lain S. cerevisiae dalam proses fermentasi yaitu
mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi,
tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat beradaptasi dengan
lingkungannya.
4. Cara Reproduksi
Saccharomyces cerevisiae dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual.
Perkembangbiakan aseksual diawali dengan menonjolnya dinding sel ke luar
membentuk tunas kecil. Tonjolan membesar dan sitoplasma mengalir ke dalamnya,
sehingga sel menyempit pada bagian dasarnya. Selanjutnya nucleus dalam sel induk
membelah secara mitosis dan satu anak inti bergerak ke dalam tunas tadi. Sel anak
kemudian memisahkan diri dari induknya atau membentuk tunas lagi hingga
membentuk koloni. Dalam keadaan optimum satu sel dapat membentuk koloni dengan
20 kuncup.
Perkembangbiakan seksual terjadi jika keadaan lingkungan tidak
menguntungkan. Pada prosesnya, sel Saccharomyces cerevisiae berfungsi sebagai
askus. Nukleus nya yang diploid (2n) membelah secara meiosis, membentuk empat sel
haploid (n). Inti-inti haploid tersebut akan dilindungi oleh dinding sel sehingga mem-
bentuk askospora haploid (n). Dengan perlindungan ini askospora lebih tahan terhadap
lingkungan buruk. Selanjutnya, empat askospora akan tumbuh dan menekan dinding
askus hingga pecah, akhirnya spora menyebar. Jika spora jatuh pada tempat yang
sesuai, sel-sel baru akan tumbuh membentuk tunas, sebagaimana terjadi pada fase
aseksual. Dengan demikian, Saccharomyces cerevisiae mengalami fase diploid (2n) dan
-
fase haploid (n) dalam daur hidupnya. Berikut urutan dari daur reproduksi
Saccharomyces cerevisiae.
a) Pertunasan multipolar, dimana tunas muncul dari sekitar ujung sel
b) Pembelahan tunas, yaitu gabungan antara pertunasan dan pembelahan. Pada
proses ini mula-mula terbentuk tunas, tetapi tempat melekatnya tunas pada
sel induk relatif besar, kemudian terbentuk septa yang memisahkan tunas dari
induk selnya. PadaSaccharomyces cerevisiae, areal tempat melekatnya tunas
pada induk sedemikian kecilnya sehingga seolah tidak pernah terbentuk septa
(tidak dapat dilihat oleh mikroskop biasa)
c) Pembentukan askospora. Pada khamir diploid seperti Saccharomyces
cerevisiae, meiosis dapat terjadi langsung dari sel vegetatif. Spora berbentuk
bulat atau oval dengan permukaan halus.
5. Pemanfaatan
Spesies khamir yang paling umum digunakan dalam industri makanan adalah S.
cerevisiae, misalnya dalam pembuatan roti, tape (peuyeum) dan produksi minuman
beralkohol (bir dan anggur). Selain digunakan dalam industri makanan manusia, S.
cerevisiae jg bisa dimanfaatkan sebagai probiotik makanan ternak. Berikut akan
dijelaskan peranan khamirS. cerevisiae dalam berbagai hal :
5.1 Pembuatan Roti
Proses pembuatan roti merupakan proses fermentasi dari mikroba. Mikroba
yang mula-mula melakukan fermentasi adalah khamir yang terdapat di dalam ragi
yakni S. cerevisiae. Ragi ditambahkan ke dalam campuran adonan roti untuk
menghasilkan gas yang akan mengembangkan adonan, agar bentuk roti menjadi
mengembang dan berpori-pori. Pada waktu yang bersamaan, flavor roti juga
terbentuk. Adonan roti terdiri dari tepung, air, garam, ragi yang berisi S.
cerevisiae dan berbagai jenis bahan tambahan lainnya. Kadang-kadang
ditambahkan gula. Sel-sel ragi S. cerevisiae mengandung enzim maltase yang
mengubah maltosa menjadi glukosa, kemudian oleh fermentasi diubah menjadi
etanol, CO dan sedikit bahan-bahan flavor yang mudah menguap pada hasil akhir.
-
Selama fermentasi, protein tepung yakni gluten menjadi elastis serta
mempunyai kemampuan untuk menahan CO yang dibentuk oleh khamir S.
cerevisiae. Gluten dipecah oleh enzim proteolitik dan enzim khamir S.
cerevisiae serta pengadukan yang dilakukan pada saat membuat adonan. Suhu awal
dari proses fermentasi sangat penting. Bila terlalu rendah produksi gas akan
terbatas, bila terlalu tinggi gas yang terbentuk akan lebih banyak sehingga semua
sel-sel ragi mati.
5.2 Produksi Bir
Bir dibuat dari malt (barley) dan air, kemudian diberi rasa yang khas dari
bunga betina tanaman hop. Salah satu jenis ragi yang digunakan dalam pembuatan
bir adalah S. cerevisiae, dikenal dengan nama top yaest, digunakan dalam
pembuatan bir secara tradisional dan hasilnya disebut ale type beer yang berwarna
gelap.
Fase pertama dalam pembuatan bir ialah mengkecambahkan barley.
Pengkecambahan dilakukan dengan cara merendam biji-biji di dalam air, silih
berganti dengan pengeringan sebanyak 2 sampai 4 kali pada suhu 10oC sampai
15oC selama 2 5 hari.
Selama perlakuan tersebut, barley akan menyerap air dan bila kandungan
airnya telah berkisar antara 40 45%, barley disebarkan di atas lantai setebal 10
20 cm dan dibiarkan berkecambah. Perkecambahan dapat dipercepat dengan zat
pertumbuhan giberlin sebanyak 1 ppm. Kecambah yang sudah mulai tumbuh
disebut malt, yakni keadaan di mana akar belum keluar dari biji-biji. Malt lalu
dikeringkan di dalam klin dan secara hati-hati di-croched dengan mesin. Malt yang
diperoleh sesudahnya disebut grist, selanjutnya dimasukkan ke dalam
proses mashing.
Pada fase kedua dilakukan mashing yakni proses ekstrasi bahan terlalur
dalammalt yaitu pati (starch) yang akan diuraikan langsung oleh enzim amilase
menjadi maltosa. Protein dan polisakarida lainnya ikut pula terekstrasi, hal ini akan
mempengaruhi mutu hasil akhir. Proses mashing selanjutnya ialah
mencampur grist dengan air dan diaduk perlahan pada suhu 50 70oC selama 1 3
jam. Suhu sekitar 65 70oC cocok untuk penguraian pati menjadi maltosa,
-
sedangkan suhu yang lebih rendah akan menyebabkan penguraian protein dan
polisakarida lainnya. Suhu, waktu dan cara mashing berbeda-beda menurut daerah
asal ir. Sesudah mashing hasil larutan ekstrak sekarang disebutwort.
Pada fase ketiga, wort ditambahkan dengan bunga hop, lalu dipanaskan
agar enzim tidak aktif dan protein mengendap. Wort yang sudah dipanaskan,
didinginkan dan dipisahkan dari materi-materi yang tidak larut kemudian dialirkan
ke dalam bejana untuk difermentasi. Dalam bejana fermentasi, wort diaeransi,
diinokulasi dan difermentasi. Aeransi bertujuan untuk menstimulir pertumbuhan
khamir, manambah jumlah sel-sel dan mendorong sintesa enzim ragi untuk
mengabsorpsi dan melakukan metabolisme. Kondisi fermentasi berlangsung dalam
keadaan anaerob. Tergantung pada macam bir yang akan dihasilkan. Fermentasi
biasanya memakan waktu sampai 8 hari lamanya.
Setelah fermentasi sempurna, khamir dipisahkan dengan cara pengendapan,
sentrifugasi dan pengeringan. Bir kemudian dimasukkan ke dalam tong-tong
penyimpanan untuk proses pematangan lebih lanjut, yang memakan waktu kurang
lebih 1 4 minggu pada suhu 5oC. Sesudah itu bir dibotolkan atau dikalengkan,
dipasteurisasi dan siap untuk dipasarkan.
5.3 Pembuatan Wine Anggur
Wine anggur adalah hasil fermentasi gula, glukosa dan fruktosa yang
terdapat di dalam anggur oleh ragi Saccahromyses cerevisiae . S. cerevisiae pada
anggur tumbuh dengan baik pada keasaman yang tinggi (pH 3 4), dan dapat
bertahan pada kadar alkohol lebih dari 10% dan SO2 yang ditambahkan untuk
menghambat bakteri pembusuk. Anggur yang diperoleh dari buah anggur itu ada
yang merah dan ada yang putih. Anggur merah adalah hasil fermentasi anggur
dengan kulit buahnya sedangkan anggur putih adalah tanpa kulit buah.
Dalam produksi wine anggur merah, anggur dihancurkan untuk
mengeluarkan sarinya. Kalium atau natrium metabisulfit ditambahkan pada sari
anggur yang disebut must untuk menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan
khamir liar. Kalium dan natrium metabisulfit tadi mengandung 100 ppm SO2.
Sari anggur atau must (sari anggur yang belum beragi) jika dibiarkan begitu
saja akan berfermentasi secara alamiah oleh khamir yang terbawa anggur. Untuk
-
menjamin kelsngsungan fermentasi yang dikehendaki, ditambah khamir khusus
yakni Salah satu jenis ragi yang digunakan dalam pembuatan bir adalah S.
cerevisiae.
Kondisi selama fermentasi segera berubah menjadi anaerob untuk
mendorong berlangsungnya fermentasi alkohol. Suhu fermentasi berkisar antara 20
25oC, yang memakan waktu beberapa minggu. Kandungan alkohol akan
meningkat menjadi kira-kira 10 15% dan membantu mengekstrasi pigmen merah
dari buah, yang menyebabkan anggur tersebut berwarna merah. Kulit (pulp) buah
yang tidak larut akan terapung di atas cairan anggur. Setelah fermentasi sempurna
kulit tersebut dibuang, kemudian dimatangkan di dalam tong kayu dan biasanya
flavornya ikut terbentuk.
Pembuatan anggur putih sama saja dengan pembuatan anggur merah, hanya
saja kulit buah dan pulp dibuang terlebih dahulu sebelum fermentasi dan suhu
dipertahankan antara 10 15oC.
5.4 Probiotik Makanan Ternak
Menurut definisi Fuller (1992) dan Karpinska et al. (2001), probiotik
adalah imbuhan pakan berbentuk mikroba hidup yang menguntungkan dan
mempengaruhi induk semang melalui perbaikan keseimbangan mikroorganisme
dalam saluran pencernaan. Di bidang peternakan penggunaan probiotik bermanfaat
untuk kesehatan, produksi dan pencegahan penyakit. Shin et al. (1989) menyatakan
bahwa S. cerevisiae termasuk salah satu mikroba yang umum dipakai untuk ternak
sebagai probiotik, bersama-sama dengan bakteri dan cendawan lainnya
seperti Aspergillus niger, A. oryzae, Bacillus pumilus, B. centuss, Lactobacillus
acidophilus, Saccharomyces crimers, Streptococcus lactis dan S. termophilus.
Pengujian terhadap S. cerevisiae yang dipakai sebagai feed additive dalam bentuk
probiotik terlebih dahulu diuji secara in vitro dengan melakukan uji kemampuan
daya hidup terhadap asam-asam organik, garam empedu, dan pH rendah (Agarwal
et al., 2000). Berikut tabel pemanfaatan S. cerevisiae untuk berbagai jenis ternak :
-
Jenis ternak Pemanfaatan Sumber (pustaka)
Ruminansia
Sapi Meningkatkan produksi susu
dan bobot badan Wina (2000)
Domba Meningkatkan bobot badan Ratnaningsih (2002)
Unggas
Ayam Menurunkan kuman E. coli
Meningkatkan bobot badan
Kumprecht et al. (1994)
Kompiang (2002);
Kumprechtova et al.(2001)
Hewan air
Udang Meningkatkan sistem
kekebalan tubuh Fox (2002)
Ikan Meningkatkan sistem
kekebalan tubuh Fox (2002)
Aneka ternak
Kelinci Meningkatkan bakteri yang
menguntungkan Tedesco et al. (1994)
Perlu dipertimbangkan pengaruh buruk jika pemberian secara berlebihan
akan mengganggu keseimbangan mikroflora di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan terjadinya pengaruh patogen pada ternak yaitu penyakit
"Saccharomikosis ".
5. Pembuatan Ragi Saccharomyces cerevisiae (Skala Mikro Tradisional)
Berikut ini salah satu contoh pembuatan ragi Saccharomyces cerevisiae yang
dimanfaatkan untuk ragi tape. Dalam pembuatan ragi ini pada skala mikro di Indonesia,
orang-orang sering menambahkan rempah-rempah seperti lengkuas.
5.1 Bahan (1 resep) :
a) Tepung beras 1 kg
b) lengkuas (laos) 25 gram
c) bawang putih 2 siung
d) ubi kayu 1 ons,
-
e) jeruk nipis 1 buah
f) gula pasir 10 gram
g) air bersih 1 liter
h) ragi pasar 2butir/kg tepung beras.
5.2 Alat
a) baskom kecil untuk mencampur bahan
b) pisau untuk mengiris dan mengupas bahan
c) tampah atau loyang untuk menjemur ragi tape
d) plastik transparan sebagai alas
e) cobek untuk menghaluskan bahan.
5.3 Cara membuat
a) Menyiapakan alat dan bahan yang akan digunakan.
b) Lengkuas, bawang putih, jeruk nipis dan ubi kayu dikupas dan dihilangkan
bagian-bagian yang tidak berguna.
c) Bahan-bahan tersebut dihaluskan dengan cara digerus dan diparut.
d) Kemudian dicampur dengan tepung beras. Tambahkan sedikit air hingga
menjadi adonan yang kental.
-
e) Tambahkan ragi pasar 2 butir/kg tepung beras.
f) Adonan dibiarkan selama 3 hari pada suhu kamar dalam keadaan terbuka (akan
ditumbuhi ragi dan kapang secara alami).
g) Setelah 3 hari, buang semua kotoran dan peras adonan tersebut agar airnya
berkurang.
h) Bentuk bulatan-bulatan, kemudian jemur sampai kering.
-
5.4 Ketahanan Penyimpanan Ragi
Umur simpan ragi sangat tergantung pada jenis kemasan yang
digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahman dkk (2011) yang menyatakan
bahwa ragi dalam kemasan plastik bisa tahan hingga 3 bulan, sedangkan ragi dalam
wadah tertutup/kemasan aluminum foil tahan hingga 12 bulan.
Menurut Rahman dkk (2011), ragi padat dalam keadaan normal lebih cepat
rusak dan akan kehilangan daya peragiannya jika disimpan dalam suhu 2 derajat
celcius selama 4 sampai 5 minggu. Ragi padat harus selalu disimpan ditempat dingin
(lemari es).
Ragi yang sudah rusak tidak layak untuk digunakan dalam pembuatan
makanan karena sudah tidak dapat berfermentasi lagi. Menurut Anonima (2012)
agar kondisinya tetap baik, ragi harus disimpan pada suhu 4,50C. Kondisi ragi akan
semakin buruk apabila disimpan pada udara yang panas karena akan meyerap panas
dan kemudian akan beremah. Adanya remah merupakan pertanda bahwa dalam diri
ragi telah terjadi fermentasi yang dikenal dengan istilahautolysis yang disebabkan
oleh enzim dari ragi itu sendiri. Pada akhirnya ragi akan berubah wujud menjadi
massa yang sedikit lengket, berbau tidak enak, berwarna gelap dan tidak bermanfaat
lagi.