revisi responsi kolesistitis dan kolelitiasis 31 januari 2015
DESCRIPTION
Revisi Responsi Kolesistitis Dan Kolelitiasis 31 Januari 2015TRANSCRIPT
RESPONSI KASUS
CHOLECYSTITIS DAN CHOLELITHIASIS
Oleh: Fahimma 105070104111011 Hans Mahagi 105070100111012 Leong Siu Mun 105070108121006 Vidia Meiranda Akib 105070106111013
Pembimbing:dr. Supriono Sp.PD-KGEH
LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWARMALANG
2015
BAB IPENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kolesistitis adalah inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena
obstruksi duktus sisitikus oleh batu empudu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis
melibatkan batu pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10%
termasuk kolesistitis akalkulus (Sudoyo et al, 2006). Kira-kira 10-20% penduduk
Amerika memiliki batu empedu dan sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis
akut. Angka kejadian batu empedu tertinggi pada orang Eropa utara dan populasi
orang Hispanik dan Amerika. Sedangkan untuk Asia dan Afrika, angka kejadian batu
empedu relatif lebih rendah (Ahrend and Pitt, 2004 & Brunicardi, 2007).
Perempuan penderita kolesistitis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki,
sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar
progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga
penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan,
kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut (Bloom et al, 2010).
Prevalensi batu empedu meningkat sepanjang hidup, dan di dunia barat
hampir 10% dari populasi lansia memiliki batu kandung empedu, faktor risiko lain
untuk batu kandung empedu adalah jenis kelamin wanita, obesitas, penurunan berat
badan yang cepat, kehamilan, estrogen eksogen, penyakit hemolitik, biliary tree
infections, hiperkolesterolemia dan sirosis hati. Sekitar 10% pasien dengan batu
empedu akan mengembangkan gejala empedu dalam waktu 5 tahun setelah
diagnosis, dan menurut epidemiologi seperempat akhirnya akan menjalani operasi
(Barak et al, 2009).
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara Barat sedangkan di lndonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Lesmana, 2008).
Kebanyakan pasien dengan kolesistitis akut memiliki serangan kolik bilier, tetapi
beberapa tidak memiliki gejala empedu sebelumnya. Setelah serangan awal
kolesistitis akut, serangan tambahan seperti rasa sakit atau peradangan umum
terjadi. Dalam sebagian kecil pasien, kolesistitis akut dapat hidup berdampingan
dengan choledocholithiasis, kolangitis, atau pankreatitis batu empedu (Strasberg,
2008). Penatalaksanaan untuk kolesistitis dapat dilakukan secara medikamentosa
atau dengan pembedahan. Kolesistektomi untuk kolik bilier rekuren atau kolesistitis
akut adalah prosedur penatalaksanaan bedah utama yang dilakukan oleh ahil bedah
umum, dan kurang lebih 500,000 operasi dilakukan per tahunnya (Steel et al, 2010).
Pada makalah ini, akan dibahas lebih dalam mengenai kolesistitis, baik teori yang
berkembang saat ini serta kasus kolesistitis yang ada.
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum Untuk dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit kolesistitis.
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, epidemiologi, etiologi, faktor
resiko, patofisiologi, manifestasi atau gejala klinis, cara mendiagnosa, diagnosis
banding, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari penyakit kolesistitis.
1.3. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dengan adanya responsi kasus ini dapat bermanfaat
bagi pembaca khususnya dokter muda agar lebih mudah memahami tentang
penyakit cholecystitis baik secara teori maupun klinisi terhadap pasien.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang berupa inflamasi akut pada
dinding kandung empedu yang disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan (murphy
sign +) dan demam. Terdapat dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Sancers, 2007).
Kolesistitis akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya
merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara
tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa. Kolesistitis Kronis adalah
peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai dengan
serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistektomi merupakan
tindakan pembedah pengangkatan kandung empedu (biasanya untuk mengangkat
batu empedu atau kolelithiasis yang hamipr 90% menyebabkan kolesistitis)
(Sancers, 2007).
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian Cholelithiasis dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk etnik,
gender, komorbid, dan genetik. Sekitar 20 juta orang (10-20% dari jumlah orang
dewasa) mengalami batu empedu. Setiap tahun sekitar 1-3% dari orang-orang
menderita batu empedu dan 1-3% diantaranya asimtomatik.
Penelitian di Italia menunjukkan 20% wanita menderita batu empedu,
sedangkan pada pria ditemukan sekitar 14%. Penelitian di Belanda menunjukkan
angka kejadian batu empedu pada usia 30 tahun sekitar 1,8% untuk laki-laki dan
4,8% pada wanita.Pada usia 60 tahun adalah 12,9% pada laki-laki dan 22,4% pada
wanita. Batu kandung empedu lebih banyak terdapat pada wanita dibanding laki-laki.
Hal ini disebabkan karena estrogen mengakibatkan meningkatnya sekresi kolesterol
dan progesteron akan menyebabkan stasis sistem bilier. Selain itu, resiko untuk
timbulnya batu kandung empedu juga meningkat seiring dengan bertambahnya
umur. Insidensi batu empedu meningkat 1-3% tiap tahun. Adalah hal yang sangat
tidak biasa jika terjadi pembentukkan batu pada anak-anak. Anak dengan batu
empedu biasanya memiliki anomali kongenital, malformasi bilier dan penyakit pada
sistem biliernya atau batu pigmen akibat proses hemolitik.
Setiap tahunnya, 1-3% orang mengalami batu empedu dan sekitar jumlah
yang sama mengalami gejala-gejala batu empedu. Batu empedu asimtomatik tidak
berhubungan dengan kematian. Angka kesakitan dan kematian berhubungan
dengan simtomatik Cholelithiasis, Cholecystitis, atau Cholangitis.
Angka kejadian batu empedu tertinggi pada orang Eropa utara dan populasi
orang Hispanik dan Amerika. Sedangkan untuk Asia dan Afrika, angka kejadian batu
empedu relatif lebih rendah (Ahrend and Pitt, 2004 & Brunicardi, 2007).
2.3 Faktor resiko
Faktor risiko terjadinya kolesistitis adalah sebagai berikut:
4F - Perempuan (female)
- Subur (fertile)
- Gemuk (fatty)
- Usia >40 tahun (forthy)
- Hiperlidemia
- Dismotilitas atau statis kandung empedu
- Nutrisi IV jangka panjang
2.4 Etiologi
Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu memiliki batu empedu
(kolelitiasis). Kadang suatu infeksi bakteri terutama bakteri usus seperti e.coli
menyebabkan terjadinya peradangan pada kandung empedu. Kolesistitis tanpa batu
empedu (kolesistitis acalculous) merupakan penyakit yang serius dan cenderung
timbul setelah terjadinya:
- cedera,
- pembedahan
- luka bakar
- sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh)
- penyakit-penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat
infus dalam jangka waktu yang lama).
Sebelum secara tiba-tiba merasakan nyeri di perut kanan bagian atas, penderita
biasanya tidak menunjukan tanda-tanda keradangan pada kandung empedu.
Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang
menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan
kandung empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung
empedu. (Laurentius, 2006). Penyebab terjadinya kolesistitis kronis adalah terdapat
riwayat kolesistitis akut sebelumnya.
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi kolesistitis terbagi menjadi 2 yaitu kolesistitis dengan batu
empedu (kolesistitis calculous) dan tanpa batu empedu (kolesistitis acalculous) :
2.5.1 Kolesistitis calculous
Penyebab utama dari kolesistitis obstruktif adalah batu empedu. Semua
individu yang memiliki batu empedu, 1% sampai 3% akan berkembang menjadi
kolesistitis. Penyebab lain kolesistitis obstruktif meliputi tumor primer dari kandung
empedu atau bile duct, polip jinak kandung empedu, parasit, tumor metastatik ke
kandung empedu atau getah bening dan periportal node. Obstuksi berkepanjangan
kandung empedu menyebabkan kolesistitis. Obstruksi pada leher kandung empedu
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal dan menyebabkan kongesti vena,
ganguan suplai darah, dan gangguan drainase limfatik. Mukosa menjadi iskemik,
dan melepaskan mediator inflamasi, seperti prostaglandin I2 dan E2. Localized
mukosa trauma menyebabkan pelepasan lisosom fosfolipase, mengkonversi lesitin
dalam empedu jenuh kepada lisolesitin. Lecithin biasanya melindungi mukosa
terhadap asam empedu, tetapi lisolesitin adalah deterjen dan toksik terhadap
mukosa. Penebalan dinding terjadi dengan edema, kongesti vaskular, dan intramural
perdarahan. Lama kelamaan akan terjadi komplikasi berupa ulkus mukosa pada
kandung empedu yang ditandai dengan nekrosis dinding mukosa. Secara histologis,
ada infiltrasi padat leukosit neutrofil, mikroabses, dan vaskulitis sekunder. Akhirnya
mungkin ada infeksi bakteri sekunder, akumulasi cairan purulen dengan
pembentukan empiema, dan perforasi dengan peritonitis luas dengan sepsis.
Komplikasi lain kolesistitis termasuk abses hati dan intraabdominal abses. Infeksi
bakteri primer tidak diyakini memainkan peran awal dalam kolesistitis, namun infeksi
sekunder dapat mempersulit hingga 50% dari kejadian klinis. Sekitar 40% sampai
50% dari kasus kolesistitis akut telah ditunjukkan memiliki kultur empedu positif.
Bakteri yang menginfeksi empedu termasuk gram negative basil (Escherichia coli,
Klebsiella spp, Enterobacter spp), anaerob (Bacteroides, Clostridia spp,
Fusobacterium spp) dan gram positif cocci (enterococci). Pertumbuhan berlebih dari
bakteri yang memproduksi gas dalam kandung empedu dapat menyebabkan
kolesistitis emphysematous (Lauentius, 2006).
Gambar 2.1 cholecystitis dan cholelithiasis
2.5.2 Kolesistitis acalculous
Patofisiologi tepat tetap kolesistitis akut acalculous kurang dipahami. Faktor
risiko yang paling dikenal berhubungan dengan stasis empedu dalam kantong
empedu, yang menyebabkan peningkatan viskositas dan pembentukan ,sludge,
yang kemungkinan kontribusi untuk pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Pada
pasien usia lanjut dan pasien pada obat vasokonstriktor untuk manaikkan tekanan
darah, mukosa iskemia mungkin kontribusi untuk terjadinya peradangan lokal dan
nekrosis barrier mukosa. Secara histologis tidak ada perbedaan spesifik antara
calculous akut dan kolesistitis acalculous (Blend, 2007).
2.6 Gejala klinik
Gejala klinik terbagi menjadi 2 yaitu gejala klinik pada kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik
2.6.1 Kolesistitis akut
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolekistitis akut adalah kolik perut
disebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh.
Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa mereda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai adanya
ganggren atau perforasi kandung empedu. Pada kepesputakaan barat sering
dilaporkan bahwa pasien kolekistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia
diatas 40 tahun, tetapi menurut lesmana LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk
pasien pasien dinegara kita. Pada pemeriksaan fisis teraba masa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda perotonitis lokal (murphy sign positif). Ikterus
dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <4 mg/dl). Apabila
konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu disaluran empedu
ekstrahepatik. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta
kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan
nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat,
kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu perlu
dipertimbangkan (Friedman,2007).
2.6.2 Kolesistitis kronik
Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya
sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan
nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang
hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu dikeluarga, ikterus dan
kolik berulang, nyeri lokal didaerah kandung empedu disertai tanda murphy sign
positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis (Friedman,2007).
Gambar 2.2 sepsis merupakan komplikasi cholecystitis
2.7 Kriteria Diagnosis
2.7.1 Kolesistitis akut
Diagnosis kolesititis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala utama
kolesistitis yang diawali dengan kolelitiasis adalah kolik bilier, yang disebabkan oleh
obstruksi kandung empedu oleh batu. Rasa sakit bersifat episodik, berat, dan
terletak di epigastrium atau kuadran kanan atas dari abdomen. Sering bergantung
dengan asupan makanan atau muncul pada malam hari (Strasberg, 2008). Pasien
umumnya memiliki rasa sakit yang menjalar ke skapula kanan dan belakang, disertai
mual dan muntah. Kolesistitis akut dimulai dengan serangan kolik bilier ini sering
pada pasien yang telah mengalami serangan sebelumnya, tapi rasa sakit terus
berlanjut dan melokalisasi dalam kuadran kanan atas. Rasa sakit menjalar ke
pundak atau skapula kanan dan nyeri ini dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
mereda. Keluhan yang muncul umumnya bervariasi sesuai dengan adanya inflamasi
yang ringan sampai dengan adanya ganggren atau perforasi kandung empedu.
Pada pemeriksaan fisis teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-
tanda perotonitis lokal (murphy sign positif). Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin <4 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi,
perlu dipikirkan adanya batu disaluran empedu ekstrahepatik. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian
serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat
disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi
empiema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan (Friedman,2007).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolekistitis akut.
Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang
(radioopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral
tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga
pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolekistitis akut. Pemeriksaan USG
sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan
besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu
ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.
Kriteria penegakan diagnosis kolesistitis melalui USG meliputi 6 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor (dapat ditegakkan diagnosa kolekistitis apabila memenuhi 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor): untuk kriteria mayor
meliputi: penebalan dinding kandung empedu >3mm, dinding kandung empedu
membentuk garis-garis striae, sonografi murpy sign (+), mukosa kandung empedu
meluruh, cairan perikolekistik, dan gas intramural sedangkan kriteria minor meliputi
pelebaran kandung empedu > 5cm pada diameter transversal dan terdapat
endapan (cont. Seperti batu) dalam kandung empedu (Draghi, 2000)
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99nTc6
iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
mudah. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung
empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong
kolekistitis akut. Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi
mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat pada pemeriksaan USG (Jessurun, 2006).
2.7.2 Kolesistitis kronik
Diagnosis kolesititis kronik dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit
ditegakkan oleh karena gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol seperti
dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan
makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat
penyakit batu empedu dikeluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal didaerah
kandung empedu disertai tanda murphy sign positif, dapat menyokong menegakkan
diagnosis (Friedman,2007). Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi, dan
kolangiograf dapat memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu.
Endoscopic retrograde choledopancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk
memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus (Jessurun,
2006).
2.8 Diagnosis banding
2.8.1 Kolesistitis akut
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba tiba perlu dipikirkan
seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ dibawah diafragma seperti
apendix yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut
dan infark myocard (Laurentius, 2006).
2.8.2 Kolesistitis kronik
Diagnosis banding seperti intolerans lemak, ulkus peptik, kolon spastik,
karsinoma kolon kanan, pankretitis kronik dan kelainan duktus koledokus perlu
dipertimbangkan sebelum diputuskan untuk melakukan kolesistektomi. Pemeriksaan
kolesistografi oral, ultrasonografi, dan kolangiograf dapat memperlihatkan kolelitiasis
dan afungsi kandung empedu. Endoscopic retrograde choledopancreaticography
(ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan adanya batu di kandung empedu
dan duktus koledokus (Laurentius, 2006)
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaikistatus
hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada
fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis
dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin danmetronidazol cukup memadai
untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E. Coli, Strep. Faecalis dan Klebsiela,namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gramnegatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi (Anthony, 2010).
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan
ampisilin/sulbactamdengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga
atau metronidazoledengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV.
Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV.
Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti emetik atau dipasang
nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang
pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut.
Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan
harus dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat
tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit
lainyang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,
pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Bland, 2007)
2.9.2 Terapi pembedahan
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah
terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus
akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena
proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi(Gladden , et
al,2010).
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan
pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut,
misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis
akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan
perkembangan penyakit atau ancaman komplikasimenyebabkan operasi perlu lebih
dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).Komplikasi teknis pembedahan tidak
meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi
yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk
(1) pasien yang kondisi mediskeseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan
operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan
(Gladden, et al,2010).
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar
pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitasuntuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari60
tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada
organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka
panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau
keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang
terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapatdilakukan pada
lain waktu (Hunter, 2009)
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia
ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah
digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dariseluruh
kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurutIbrahim A.
dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalammengenali duktus
sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahandan keganasan
kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakanini yaitu trauma
saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurutkebanyakan ahli
bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai
kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkanangka
kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan dirumah sakit
dan mempercepat aktivitas pasien (David, et al,2008). Pada wanita hamil,
laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester (David, et
al,2008)
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya
adalah:
•Resiko tinggi terhadap anastesi umum
•Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan peritonitis
•Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
•Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan
darah (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).
Selain itu, dapat dilakukan pencegahan kolesistitis pada orang yang
cenderung memiliki batu empedu dengan mencegah infeksi dan menurunkan kadar
kolesterol serum dengan cara mengurangi asupan makanan berlemak tinggi atau
menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin dikenal dapat menghambat
sintesis kolesterol karena menghambat enzim HMG-CoA reduktase (Syamsuhidajat
& Wim de Jong, 2005).
2.10 Prognosis
Pada kasus kolesistitis tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat
dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan
didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,
fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat
mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus
memilikiangka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75
tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah. (Bland, 2007).
BAB IIIKASUS
3.1 IDENTITAS PASIENNama : Ny. S
Jeniskelamin : Perempuan
Tanggallahir : 2 April 1963
Umur : 51 tahun
Alamat : Ternyang RT 003/001 Sumberpucung
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMP
Status : Sudah Menikah
Etnis/suku : Jawa
Agama : Islam
MRS Tanggal : 30 Desember 2014
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri perut kanan atas
Deskripsi riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu sebelum MRS, nyeri
yang dirasakan pasien hilang timbul berulang-ulang dan makin hari makin memberat
rasa nyerinya, nyeri perut ini dirasakan menjalar ke pundak kanan dan tembus ke
pinggang belakang yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam. Selain nyeri perut,
pasien juga mengeluhkan mual (+) muntah (+). Muntah 1x sehari berisi makanan
yang pasien makan. Pasien juga mengeluhkan rasa penuh atau sebah di daerah
epigastrium sejak 3 hari sebelum MRS. Selain itu pasien merasa mata mulai sedikit
menguning beberapa hari setelah nyeri perut timbul. Pasien juga mengeluhkan
demam sumer-sumer sejak 1 minggu sebelum MRS. Riwayat pengobatan yaitu
pasien menggunakan obat anti nyeri yang dibeli di warung untuk mengurangi gejala
nyeri perutnya sejak 1 minggu yang lalu, namun pasien lupa nama obatnya. Tidak
ada riwayat minum jamu-jamuan.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien memiliki riwayat MRS di RSSA pada bulan
Agustus 2013 dengan batu empedu, namun pasien menolak untuk dilakukan operasi
karena alasan pasien masih takut untuk dilakukan operasi.
Riwayat penyakit keluarga : Kakak dari pasien pernah didiagnosa terkena batu
empedu 5 tahun yang lalu.
Riwayat sosial : Pasien memiliki hobi makan makanan gorengan sejak masih
muda. Merokok (-) alkohol (-). Pasien seorang IRT memiliki 3 orang anak.
Review of systems: mual (+) muntah (+) demam sumer (+) pusing (-) BAB dan
BAK normal
3.3 PemeriksaanFisik
DeskripsiUmumKesan sakit : tampak sakit sedangGizi : cukup, TB : 150 cm BB: 65 kg BMI: 28.8 (overweight)Tanda-tanda VitalKesadaran : GCS 4 5 6, compos mentisNadi : 84 x/menit, reguler Tekanandarah : 120/70 mmHg (lengan kanan, berbaring)Pernafasan : 20 x/menit, regularTax : 37,1 C
K/L : An (-/-) Ict (+/+) JVP R + 0 cm H2O, 30 degree position
Tho : Bentuk/gerak simetris
Pulmo: SF D = S SN V V
V V
V V
Rh - - Wh - -
- - - -
- - - -
Cor: I: Ictus invisible
Palp: Ictus palpable di ICS V MCL S
Perc: RHM ~ SLD, LHM ~ Ictus
A: S1S2 single, regular, murmur (-) gallop (-)
Abd : flat, soefl, BU (+) N, murphy sign (+)Ext : Akral hangat, edema (-/-)
3.4 PemeriksaanLaboratorium
Tabel 3.1Hematologi
HasilPemeriksaan Satuan Nilai NormalHb 12,6 g/Dl 11,4 – 15,1Eritrosit 4,01 106/Μl 4.0 – 5.0Leukosit 12.700/ Μl 4,7 – 11,3Hematokrit 39,9% 38 – 42TrombosiT 204.000/ Μl 142 – 424MCV 91,00 fL 80 – 93
MCH 30,40 pg 27 – 31MCHC 34,50 g/dL 32 – 36Eosinofil 2,5 % 0 – 4Basofil 0,4 % 0 – 1Neutrofil 69,7 % 51 – 67Limfosit 39,0% 25 – 33Monosit 5,8% 2 – 5
Tabel 3.2 Kimia Klinik
HasilPemeriksaan Satuan Nilai NormalFaalHatiSGOT 35 U/dL 0 – 32SGPT 38 U/dL 0 – 33Albumin 4,11 g/dL 3,5-5,5Bilirubin total 1,11 <1,0Bilirubin direk 0,40 <0,25Bilirubin indirek 0,71 <0,75Alkali fosfatase (ALP) 235 66-220FaalGinjalUreum 27 mg/dL 16,6-48,5Kreatinin 0,78 mg/dL < 1.2PPT dan APTT Dalam Batas NormalElektrolit SerumNatrium 136 mmol/L 136-145Kalium 4,06 mmol/L 3,5-5,0Klorida 101 mmol/L 98-106
3.4 Pemeriksaan USG Abdomen
20 Oktober 2014
Interpretasi USG abdomen :
Hepar : ukuran normal, permukaan reguler, sudut tajam echoparenchym homogen normal, sistem vaskuler/bilier/porta tak tampak kelainan, tak tampak abses/nodul/kista
Vesica felea : ukuran melebar, dinding menebal, tampak gambaran batu dengan ukuran 6.8mm.
Pankreas : ukuran normal, echoparenchym homogen normal tidak tampak lesi kista/solid patologis.
Lien : ukuran normal tepi tajam, permukaan rata, echoparenhym homogen, venalienalis tidak melebar. Tak tampak lesi kistik/nodul/abses
Ren D/S : ukuran normal, echo cortex normal, batas cortex medulla tegas, sistempelvicalyceal tak melebar. Tak tampak batu/kista. Adrenal D/S tidak
membesar
VU : dinding reguler. Tidak tampak batu/massa.
Uterus & adnexa D/S : ukuran normal, tidak tampak lesi patologis
Kesimpulan :
Cholecystitis dengan cholelithiasis
3.4 Laporan Operasi
3.4.1 Persiapan operasi
Pasien direncanakan untuk operasi pada tanggal 14 Januari 2015 di OK
Paviliun RSAA Malang. Persiapan operasi berupa pemberian profilaksis
ciprofloxacine 400 mg dan penyediaan PRC 2 labu sebelum operasi dilakukan.
3.4.2 Laporan Operasi
Diagnosis Pra Bedah : Cholecystitis dan Cholelithiasis
Tindakan Pembedahan : Cholecystectomy, Explore CBD, By pass
choledocojejunostomy
Uraian Pembedahan :
1. Informed Consent
2. Pasien diposisikan tidur terlentang
3. Disinfeksi dan demarkasi lapangan operasi
4. Insisi subcostal
5. Identifikasi Gall Bladder, kemudian dilakukan cholecystectomy
6. Evaluasi Common Bile Duct
7. Dilakukan by pass dari ductus choledocus ke jejunum
8. Pasang drainage
9. Jahit LDL, operasi selesai
10.Kirim sediaan ke Lab PA
3.4.3 Instruksi Post-operasi
Medikamentosa:
IVFD Asering:NS 2:1/ 24 jam
Injeksi Ciproflixacine 2x400 mg
Injeksi Metronidazole 3x500 mg
Injeksi Ketorolac 3x10mg
Injeksi Omeprazole 2x40 mg
Kirim hasil operasi ke lab Patologi Anatomi
Observasi tanda-tanda vital pasien (tensi, nadi, nafas, dan suhu tubuh) dan
tanda akut abdomen, pasien dipindah ke R.13 (Ruang Intensif)
3.4.4 Hasil Patologi Anatomi
Lokalisasi : Gallbladder
Jawaban :
Diterima sediaan kandung empedu, jaringan kandung empedu terdapat
bagian yang sudah terbuka berukuran 8x diameter 2,5 cm, berwarna kecoklatan.
Pada pemeriksaan mikroskopik didapatkan kandung empedu dengan mukosa
atrofi, dinding fibrotik, dan infiltrasi sel radang menahun.
Kesimpulan dari Patologi Anatomi : Cholecystitis Chronica
3.4.5 Hasil Laboratoris Post-operasi
15 Januari 2015
HasilPemeriksaan Satuan Nilai NormalHb 11,3 g/dl 11,4 – 15,1Eritrosit 3,58 106/Μl 4.0 – 5.0Leukosit 14.710/ Μl 4,7 – 11,3Hematokrit 32,5% 38 – 42Trombosit 189.000/ Μl 142 – 424MCV 90,80 fL 80 – 93MCH 31,60 pg 27 – 31MCHC 34,80 g/dL 32 – 36Eosinofil 0,0 % 0 – 4Basofil 0,1 % 0 – 1Neutrofil 86,1 % 51 – 67Limfosit 8,6% 25 – 33Monosit 5,2% 2 – 5
Bilirubin Total 0,75 mg/dL <0,1Bilirubin Direk 0,28 mg/dL <0.25Bilirubin Indirek 0,47 mg/dL <0.75Natrium (Na) 133 mmol/L 136-145Kalium (K) 3,67 mmol/L 3,5-5,0Klorida (Cl) 114 mmol/L 98-106
3.4 POMR
Cues and Clues Problem List IDX PDX PTX PMo EdWanita/51tahun
Benjolan di perut kanan
atas sejak 1 minggu
sebelum MRS, nyeri
hilang timbul berulang
dan makin memberat
hari ke hari, nyeri
menjalar ke pundak
kanan dan tembus ke
pinggang kiri belakang
berlangsung selama 1
jam. Selain nyeri perut,
pasien juga
mengeluhkan bagian
mata mulai sedikit
menguning sejak
beberapa hari setelah
nyeri perut timbul, juga
terdapat gejala mual (+)
muntah (+). Pasien juga
mengeluhkan demam
sumer-sumer sejak 1
minggu sebelum MRS.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien
memiliki riwayat MRS di
RSSA pada bulan
Agustus 2013 dengan
batu empedu, namun
1. cholecystitis
1.1 akut
1.2 kronik
- - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Inj. Metochlorpramide
3x10mg
Inj. Ketorolac 3x30mg
Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
PO: Paracetamol
3x500mg (k/p demam)
Subj, VS,
Edukasi
untuk
mengurangi
makanan
bermiyak
pasien menolak untuk
dilakukan operasi
Riwayat sosial : Pasien memiliki hobi
makan makanan
gorengan sejak masih
muda.
Pemeriksaan fisikTax : 37,1 C
Ikterik :+/+
Murphy sign (+)
Laboratory findingLeukosit 12.700
Neutrofil 69,7%
Limfosit 39 %
Monosit 5,8%
OT 35
PT 38
Bil total 1,11
Bil direk 0,40
ALP 235
USG Abdomen
Vesica felea : ukuran melebar, dinding menebal.
Wanita/51tahun
nyeri perut kanan atas
sejak 1 minggu sebelum
MRS, nyeri hilang
timbul berulang ulang
dan makin memberat
dari hari ke hari, nyeri
menjalar ke pundak
kanan dan tembus ke
pinggang belakang
berlangsung selama 1
jam. Selain itu pasien
mengeluhkan bagian
mata mulai sedikit
menguning sejak
2. cholelithiasis - - Pro cholecystectomy
(TS bedah)
Subj, VS,
persiapan
pre op.
beberapa hari setelah
nyeri perut timbul.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien
memiliki riwayat MRS di
RSSA pada bulan
Agustus 2013 dengan
batu empedu, namun
pasien menolak untuk
dilakukan operasi
karena alasan takut
dioperasi
Riwayat sosial : Pasien memiliki hobi
makan makanan
gorengan sejak masih
muda.
Pemeriksaan fisikBMI:28.8 (overweight)
Ikterik :+/+
Murphy sign (+)
Laboratory findingOT 35
PT 38
Bil total 1,11
Bil direk 0,40
ALP 235
USG AbdomenVesica felea : ukuran melebar, dinding menebal, tampak gambaran batu dengan ukuran 6.8mm.
BAB IV
PEMBAHASAN
Kolesistitis merupakan radang pada kandung empedu yang berupa inflamasi
akut pada dinding kandung empedu yang disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
(murphy sign +) dan demam. Terdapat dua klasifikasi yaitu kolesistitis akut dan
kolesistitis kronis berdasarkan waktu terjadinya dan berdasarkan etiologi dibagi
mejadi dua juga yaitu kolesistitis calculous dan kolesistitis acalculous. Faktor resiko
terjadinya kolesistitis dikenal dengan istilah 4F yaitu female, fatty, forthy, dan fertile.
Gejala klinik kolesistitis ditandai dengan adanya kolik perut disebelah kanan atas,
epigastrium dan nyeri tekan (murphy sign +) serta kenaikan suhu tubuh selain itu
juga pada beberapa pasien dapat timbul ikterik. Kadang-kadang rasa sakit menjalar
ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
mereda. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta
kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan
nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat,
kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu perlu
dipertimbangkan. Pemeriksaan penunjang lain berupa USG sebaiknya dikerjakan
secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan
dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan
dan ketepatan USG mencapai 90-95%. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan
zat radioaktif HIDA atau 99nTc6 iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih
rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran duktus koledokus
tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral
atau scintigrafi sangat menyokong kolekistitis akut. Pemeriksaan CT scan abdomen
kurang sensitif dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG. Dengan begitu
klinisi dapat dengan mudah menegakkan diagnosis kolesistitis berdsarkan hasil
anamnesa gejala klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang baik berupa
laboratorium maupun secara radiologis.
Berdasarkan kasus diatas, pasien wanita berusia 51 tahun mengalami
kolesistitis yang diakibatkan oleh kolelitiasis. Berdasarkan hasil anamnesa dengan
pasien, pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu sebelum MRS,
nyeri yang dirasakan pasien hilang timbul berulang-ulang dan makin hari makin
memberat rasa nyerinya, nyeri perut ini dirasakan menjalar ke pundak kanan dan
tembus ke pinggang belakang yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam. Selain
nyeri perut, pasien juga mengeluhkan mual (+) muntah (+). Muntah 1x sehari berisi
makanan yang pasien makan. Pasien juga mengeluhkan rasa penuh atau sebah di
daerah epigastrium sejak 3 hari sebelum MRS. Selain itu pasien merasa mata mulai
sedikit menguning beberapa hari setelah nyeri perut timbul. Pasien juga
mengeluhkan demam sumer-sumer sejak 1 minggu sebelum MRS. Riwayat
pengobatan yaitu pasien menggunakan obat anti nyeri yang dibeli di warung untuk
mengurangi gejala nyeri perutnya sejak 1 minggu yang lalu, namun pasien lupa
nama obatnya. Tidak ada riwayat minum jamu-jamuan. Berdasarkan riwayat
penyakit dahulu pasien memiliki riwayat MRS di RSSA pada bulan Agustus 2013
dengan batu empedu, namun pasien menolak untuk dilakukan operasi karena
alasan pasien masih takut untuk dilakukan operasi. Berdasarkan riwayat penyakit
keluarga yaitu kakak dari pasien pernah didiagnosa terkena batu empedu 5 tahun
yang lalu. Berdasarkan riwayat sosial, pasien memiliki hobi makan makanan
gorengan sejak masih muda. Anamnesa yang didapatkan ini sesuai dengan teori
dari kolesistitis, yaitu kolesistitis akut merupakan reaksi inflamasi akut pada dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas dan epigastrium
bersifat hilang timbul berulang ulang/episodik dan memberat dari hari ke hari yang
menjalar ke skapula kanan dan punggung belakang yang disertai mual dan muntah
berlangsung selama 60 menit tanpa mereda, nyeri tekan (murphy sign +), dan
demam. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak
di duktus sistikus yang menyebakan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil
kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus). Patogenesis
statis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut masih belum jelas
diketahui. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Pada
kepustakaan barat, sering dilaporkan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya
perempuan, gemuk, dan berusia di atas 40 tahun, dan dijadikan sebagai faktor
resiko dari kolesistitis akut. Hal ini sesuai dengan pasien pada kasus ini, yaitu
wanita, dengan usia 51 tahun, dan BMI 28,8 yang tergolong sebagai overweight.
Pada pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan ikterik (+) dan nyeri tekan
perut kanan atas (murphy sign (+)), dan pemeriksaan penunjang baik secara
laboratoris didapatkan leukositosis, peningkataan faal hati seperti OT,PT, ALP, dan
bilirubin. Hal ini sesuai dengan teori dari kolesistitis, yaitu teraba adanya masa
kandung empedu, nyeri tekan disertasi tanda-tanda peritonitis local (Murphy sign).
Berdasarkan “Tokyo Guidelines for Acute Cholecystitis 2013”, murphy’s sign
diketahui merupakan faktor diagnostic untuk akut kolesistitis. Berdasarkan studi
sebelumnya, telah dilaporkan bahwa murphy’s sign mempunyai sensitifitas sebesar
50-65% dan spesifisitas yang tinggi yaitu 79-96% untuk diagnosis dari kolesistitis
akut. Hal ini menunjukkan bahwa diagnosis akurat dari kolesistitis dapat ditegakkan
ketika terdapat tanda Murphy sign, tetapi tidak adanya Murphy sign bukan berarti
menyingkirkan diagnosis dari kolesistitis. Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi,
perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pemeriksaan
laboratorium, menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian
serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat
disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi
empiema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan. Berdasarkan
“Tokyo Guidelines for Acute Cholecystitis 2013”, tidak ada tes darah yang spesifik
untuk menegakkan diagnosis dari kolesistitis akut. Tetapi, diagnosis dapat
ditegakkan jika ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi umum (abnormal WBC,
peningkatan CRP), peningkatan blood cell count lebih dari 10.000 mm3/dl,
peningkatan CRP lebih dari 3 mg/dl, dan peningkatan ringan dari enzim serum pada
system hepatobilier dan bilirubin.
Pada pasien, secara radiologis berupa USG abdomen terdapat
gambaran vesika felea mengalami penebalan dinding kandung empedu, kandung
empedu distensi dan terdapat gambaran batu empedu dengan ukuran 6.8mm. Hal
ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa nilai kepekaan dan ketepatan USG
mencapai 90-95% dimana kriteria penegakan diagnosis kolesistitis melalui USG
meliputi 6 kriteria mayor dan 2 kriteria minor (dapat ditegakkan diagnosa kolekistitis
apabila memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor): untuk
kriteria mayor meliputi: penebalan dinding kandung empedu >3mm, dinding kandung
empedu membentuk garis-garis striae, sonografi murpy sign (+), mukosa kandung
empedu meluruh, cairan perikolekistik, dan gas intramural sedangkan kriteria minor
meliputi pelebaran kandung empedu > 5cm pada diameter transversal dan terdapat
endapan (cont. Seperti batu) dalam kandung empedu (Draghi, 2000), pada kasus
diatas memenuhi kriteria penegakan diagnosa kolesistitis berupa 1 kriteria mayor
(penebalan dinding kandung empedu) dan 2 kriteria minor (pelebaran kandung
empedu dan adanya endapan berupa batu ukuran 6.8mm didalam kandung
empedu). Pemeriksaan USG sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung
empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Berdasarkan “Tokyo Guidelines
for Acute Cholecystitis 2013”, USG menunjukkan sensitivitas sebesar 50-88% dan
spesifisitas sebesar 80-88%. USG dapat digunakan sebagai pemeriksaan awal
untuk semua kasus dengan suspek kolesistitis akut. Diagnosis dari kolesistitis akut
kalkulus dapat ditegakkan secara radiologis ketika ditemukan beberapa tanda pada
waktu bersamaan seperti penebalan dinding kandung empedu (5mm atau lebih),
cairan pericholecystic, dan adanya nyeri tekan langsung ketika ada penekanan dari
probe pada kandung empedu (ultrasonographic Murphy’s sign). Penemuan pada
USG yang lain meliputi pembesaran kandung empedu, adanya batu pada kandung
empedu, debris echo dan gas imaging. Ultrasonographic Murphy’s sign
menunjukkan nyeri yang terjadi ketika kandung empedu ditekan saat pemeriksaan
dengan probe ultrasonografi. Hal ini lebih spesifik dibandingkan Murphy sign biasa
yang mana dapat menekan kandung empedu secara akurat. Ultrasonographic
Murphy’s sign dapat membedakan antara kolesistitis akut dengan murphy’s sign
positif yang disebabkan oleh kasus lainnya atau untuk diagnosis kasus lain seperti
ulkus duodenum.
Penatalaksaan yang direncanakan untuk pasien ini adalah pemberian
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, injeksi metochlorpramide 3x10mg, injeksi ketorolac
3x30mg, injeksi ceftriaxone 2x1 gram, paracetamol tablet 3x500mg dan pro
dilakukan terapi pembedahan berupa kolesistektomi pada 14 Januari 2015 serta
memberikan KIE pada pasien untuk mengurangi makanan berminyak dan berlemak
agar penyakit ini tidak berulang kembali. Tindakan operasi atau pembedahan yang
dilakukan pada pasien berupa cholecystectomy, explore CBD, dan by pass
choledocojejunostomy. Setelah dilakukan pengambilan kandung empedu, sediaan
dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi untuk dianalisa secara mikroskopik, dan
didapatkan hasil pemeriksaan jaringan kandung empedu dengan mukosa atrofi,
dinding fibrotik, dan infiltrasi sel radang menahun. Kesimpulan dari Patologi Anatomi
yaitu Cholecystitis Chronica.
Berdasarkan teori, diketahui bahwa terapi dari kolesistitis tergantung pada
tingkat keparahan kondisi dan ada atau tidak adanya komplikasi. Kasus tanpa
komplikasi sering dapat diobati secara rawat jalan sedangkan kasus dengan
komplikasi mungkin memerlukan pendekatan secara bedah. Pada pasien yang tidak
stabil, percutaneous transhepatic cholecystostomy drainage tepat untuk dilakukan.
Antibiotik dapat diberikan untuk mengelola infeksi. Terapi definitif melibatkan
kolesistektomi atau penempatan perangkat drainase; Oleh karena itu, disarankan
adanya konsultasi dengan dokter bedah. Konsultasi dengan gastroenterologist untuk
pertimbangan ERCP juga mungkin tepat jika ada kekhawatiran dari
choledocholithiasis.
Untuk kolesistitis, pengobatan awal meliputi istirahat usus (bowel rest),
hidrasi intravena, koreksi kelainan elektrolit, analgesia, dan antibiotik intravena.
Untuk kasus kolesistitis akut yang ringan, terapi antibiotik dengan spektrum luas
antibiotik tunggal memadai. Panduan rekomendasi berdasarkan The Sanford saat ini
meliputi piperasilin / Tazobactam (Zosyn, 3,375 g IV setiap 6 jam atau 4,5 g IV q8h),
ampisilin / sulbaktam (Unasyn, 3 g IV setiap 6 jam), atau meropenem (Merrem, 1 g
IV q8h). Dalam kasus yang mengancam jiwa yang parah, Sanford
merekomendasikan imipenem / cilastatin (Primaxin, 500 mg setiap 6 jam IV).
Regimen alternatif termasuk cephalosporin generasi ketiga ditambah metronidazol
(1 g IV dosis muatan diikuti oleh 500 mg setiap 6 jam IV). Karena perkembangan
cepat kolesistitis acalculous akut menuju gangren dan perforasi, diperlukan adanya
pengenalan dini dan juga intervensi. Perawatan medis suportif harus mencakup
pemulihan stabilitas hemodinamik dan cakupan antibiotik bagi flora usus gram
negatif dan anaerob jika dicurigai adanya infeksi saluran empedu. Jika pasien dapat
diperlakukan sebagai pasien rawat jalan, dapat diberikan dengan antibiotik,
analgesik yang sesuai, dan perawatan tindak lanjut definitif. Kriteria untuk
pengobatan rawat jalan meliputi berikut ini:
Demam dengan tanda-tanda vital stabil
Tidak ada bukti obstruksi oleh nilai-nilai laboratorium
Tidak ada bukti umum penyumbatan saluran empedu pada ultrasonografi
Tidak ada masalah medis yang mendasari, usia lanjut, kehamilan, atau
kondisi immunocompromised
Analgesia yang memadai
Pasien dapat diandalkan dengan transportasi dan akses mudah ke fasilitas
medis
Konfirmasi perawatan lanjutan
Obat berikut tepat dalam perawatan pasien rawat jalan:
Antibiotik profilaksis dengan levofloxacin (Levaquin, 500 mg PO qd) dan
metronidazol (500 mg PO bid), yang harus memberikan perlindungan
terhadap organisme yang umum. Pemberian antibiotic pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan
septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup
memadai untuk mematikan kuman-kuman yang umum terdapat pada
kolesistitis akut seperti E.coli, Strep.faecalls dan Klebsiella.
Antiemetik, seperti oral/rectal promethazine (Phenergan) atau proklorperazin
(Compazine), untuk mengontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan
elektrolit
Analgesik, seperti oxycodone lisan / acetaminophen (Percocet) atau
oxycodone / acetaminophen (Vicodin)
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkaan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah
terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus akan
membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbulnya gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan,
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena
proses inflamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi. Sejak
diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia pada awal
I99I, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat-pusat bedah digestif. Di luar
negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesistektomi.
Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A dkk, sebesar
1,902 kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang
disebabkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu.
Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu
(7%), pefiarahan dan kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan
kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasive mempunyai kelebihan seperti
mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian, secara
kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan
mempercepat aktivitas pasien.
The Society of American Gastrointestinal dan Endoscopic Surgeons
mengeluarkan pedoman untuk aplikasi klinis operasi laparoskopi saluran empedu
pada tahun 2010. Serta mencakup rekomendasi rinci untuk membuat keputusan
untuk mengoperasikan, melakukan prosedur, dan mengelola perawatan
pascaoperasi, dengan selalu pertimbangan utama keselamatan pasien.
Rekomendasi adalah sebagai berikut:
Antibiotik sebelum operasi harus dipertimbangkan untuk mengurangi
kemungkinan infeksi luka pada pasien berisiko tinggi, dan terbatas
pada satu dosis sebelum operasi.
Cholangiography intraoperatif dapat meningkatkan pengenalan adanya
cedera/injury dan mengurangi risiko cedera saluran empedu.
Jika cedera saluran empedu terjadi, pasien harus dirujuk ke spesialis
hepatobilier berpengalaman sebelum perbaikan apapun yang
dilakukan, kecuali dokter bedah utama memiliki pengalaman
rekonstruksi empedu.
Kontraindikasi untuk kolesistektomi laparoskopi meliputi berikut ini:
Berisiko tinggi untuk anestesi umum
obesitas morbid
Tanda-tanda perforasi kandung empedu, seperti abses, peritonitis,
atau fistula
Batu empedu raksasa atau dicurigai keganasan
Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati
parah
The Society of American Gastrointestinal dan Endoscopic Surgeons 2010
Guidelines menambah kontraindikasi lain untuk kolesistektomi laparoskopi seperti
syok septik dari kolangitis, pankreatitis akut, kurangnya peralatan, kurangnya
keahlian bedah, dan operasi perut sebelumnya yang menghambat prosedur.
BAB V
KESIMPULAN
Pada makalah responsi ini, dilaporkan seorang pasien wanita berusia 51 tahun mengalami kolesistitis yang diakibatkan oleh kolelitiasis. Berdasarkan hasil anamnesa dengan pasien, pasien merasakan nyeri perut kanan atas yang menjalar ke bahu kanan. Nyeri ini dirasakan selama 1 jam. Pasien juga mengaku disertai dengan demam dan pasien memiliki riwayat terkena batu empedu sekitar 1 tahun yang lalu, dari riwayat sosial, pasien hobi mengkonsumsi makanan berlemak tinggi seperti makanan berminyak atau goreng-gorengan. Pada pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan ikterik (+) dan nyeri tekan perut kanan atas (murphy sign (+)), dan pemeriksaan penunjang baik secara laboratoris didapatkan leukositosis, peningkataan faal hati seperti OT,PT, ALP, dan bilirubin. Pada pasien, secara radiologis berupa USG abdomen terdapat gambaran vesika felea mengalami penebalan dinding kandung empedu, kandung empedu distensi dan terdapat gambaran batu empedu dengan ukuran 6.8mm. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, pasien didiagnosis dengan cholecystitis dan cholelithiasis. Penatalaksaan yang direncanakan untuk pasien ini adalah pemberian IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, injeksi metochlorpramide 3x10mg, injeksi ketorolac 3x30mg, injeksi ceftriaxone 2x1 gram, paracetamol tablet 3x500mg dan pro dilakukan terapi pembedahan berupa kolesistektomi yang dilakukan pada 14 Januari 2015. Pasien diedukasi untuk mengurangi kebiasaan makanan berminyak dan berlemak serta menjaga pola makan, menjaga berat badan tubuh ideal, membiasakan untuk olahraga fisik, untuk mengontrol gaya hidup sehat dan mencegah kambuhnya penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Ahrendt. S.A and Pitt. H.A. 2004. Billiary Tract. In: Townsend C.M., Beauchamp R.D., Evers B.M., Mattox K.M.,ed. Sabiston Textbook of Surgery. 17th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. P.
Barak, Orly, et al. 2009. Conservative Treatment for Acute Cholecystitis: Clinicaland Radiographic Predictors of Failure. IMAJ. Vol 11: 739-743
Bland K. I, Beenken S.W, and Copeland E.E (from e-book). 2007. Gall Blader and Extrahepatic Billiary System. In: Brunicardi F.C., Andersen D.K., Billiar T.R., Dunn D.L.,
Bloom, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis [Diakses pada 24 Januari 2015]. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
Dan L. Longo and Anthony S. Fauci. 2010. Gastroenterology and Hepatology. Harrison’s 17th Edition. China.
David GG, AlSarira AA, Willmott S, et al. 2008. Pengelolaan sakit saluran kandung kemih akut di Inggris. Br J Surg. Br J Surg.
Draghi F, Ferrozi G, Callida F, et al. Power doppler ultrasound of gallblader wall vascularization in inflamation: clinical implication. Eur radiol. 2000;10(10): 1587-90
Friedman LS. 2007. Liver, Biliary Tract, & Pancreas. In: LM Tierney, SJ McPhee, MA Papadakis (eds), Current Medical Diagnosis & Treatment, 46e. New York, McGraw-Hill
Gladden D, Migala A et al. 2009. Cholecystitis eMedicine.com. Gladden D, Migala A
Hunter J.L., Pollock R.E, 2009 ed. Schwartz’s Manual Surgery. Eight edition. United States of America: McGraw-Hill Books Company.
Jessurun J, Albores-Saavedra J. Gallbladder and extrahepatic biliary ducts. In: Damjanov I, Linder J, editors. Anderson’s pathology. 10th edition. St. Louis (MO): Mosby; 2006.p.
Laurentius A. Lesmana. 2006. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi Ke-4. h481-483
R. Sjamsuhidayat. Wim de Jong. 2005. Saluran empedu dan hati. Dalam: R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. H. Sanders G, Kingsnorth AN. 2007. Batu Empedu. BMJ. BMJ. 2007 Aug 11;335(7614):295-9. 2007 Agustus 11; 335 (7614) :295-9.Strasberg, Steven M. 2008. Acute Calculous Cholecystitis. NEJM. 358: 2804-11
Steel, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary COlic Emergency Medicine. [Diakses pada 24 Januari 2015]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. Hal 477-478.