representasi anak laki laki dalam film

89
REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM “JOKI KECIL” KARYA YULI ANDARI DAN ANTON SUSILO Analisis Semiotika Roland BarthesSKRIPSI Oleh : DINI AMALIAH NIM. 13.01.051.004 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA FEBRUARI, 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM

“JOKI KECIL” KARYA YULI ANDARI DAN ANTON

SUSILO

“Analisis Semiotika Roland Barthes”

SKRIPSI

Oleh :

DINI AMALIAH

NIM. 13.01.051.004

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA

FEBRUARI, 2018

Page 2: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

ii

Page 3: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

iii

REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM

“JOKI KECIL” KARYA YULI ANDARI DAN ANTON

SUSILO

“Analisis Semiotika Roland Barthes”

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Teknologi Sumbawa

sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan

Program Sarjana Strata Satu (S1)

Oleh :

Dini Amaliah

NIM. 13.01.051.004

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA

2018

Page 4: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

iv

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN SKRIPSI

Skripsi ini disusun oleh :

Dini Amaliah

NIM. 13.01.051.004

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji

Sumbawa, 27 Februari 2018

Pembimbing : Miftahul Arzak, S.Ikom., MA.

NIDN. 0805129001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Apriadi, S.IP., M.A

NIK. 198609192017091204

Page 5: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

v

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini disusun oleh :

Dini Amaliah

NIM. 13.01.051.004

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi

Tanggal 27 Februari 2018

Susunan Dewan Penguji

Pembimbing : Miftahul Arzak, S.Ikom., MA.

NIDN. 0805129001

Penguji 1 : Deddy Suprapto, S.S., MA.

NIDN. 0807058001

Penguji 2 : Abbyzar Aggasi, S.IP., M.PA.

NIDN. 0818019001

Mengetahui, Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi

Apriadi, S.IP., MA Aka Kurnia S.F., S.Ag., M.Sn.

NIK. 198609192017091204 NIDN. 0826097501

Page 6: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

vi

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dini Amaliah

NIM : 13.01.051.004

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Komunikasi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-banar

tulisan saya, kecuali kutipan atau ringkasan yang semuanya telah saya jelaskan

sumbernya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi

ini hasil plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sumbawa, 27 Februari 2018

Yang membuat pernyataan,

Dini Amaliah

Page 7: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

vii

ABSTRAK

Amaliah, Dini.2018. Representasi Anak Laki – Laki dalam Film Dokumenter Joki

Kecil Karya Yuli Andari dan Anton Susilo (Analisis Semiotika Roland

Barthes). Skripsi. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu

Komunikasi, Universitas Teknologi Sumbawa. Pembimbing : Miftahul

Arzak, S. Ikom, MA

Penelitian ini bertujuan untuk melihat representasi anak laki – laki dalam

film joki kecil. Anak laki – laki sebagai joki dalam pacuaan kuda dididik dan

dibesarkan berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat. Menjadi joki

merupakan salah satu bentuk pengajaran orang tua terhadap anak laki – lakinya

untuk mempersiapkannya bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai kepala

rumah tangga yang mencari nafkah untuk keluarganya. Selain itu, menjadi joki

diharuskan memiliki keberanian yang tinggi. Sehingga para orang tua cenderung

melibatkan Sandro untuk mengonstruksi keberanian joki. Namun, pada dasarnya

berada di atas kuda yang berlari kencang memiliki resiko kecelakaan tinggi yang

mengakibatkan munculnya ketakutan pada anak laki – laki yang secara kodrati

sudah dimilikinya. Penelitian ini menggunakan film sebagai media pengumpulan

data, dengan jenis penelitian kualitatif deskriptif yang menggunakan analisis

semiotika Roland Barthes berupa sistem pemaknaan dua tahap yakni denotasi

(makna sebenarnya dari tanda) dan konotasi yang didalamnya terdapat mitos dan

ideologi. Berdasarkan analisis Roland Barthes ditemukan bahwa terdapat dua

mitos dalam film yang menjadi acuan dalam tradisi masyarakat untuk mendidik

anak laki – laki khususnya joki yakni norma maskulinitas dan mistisme yang

dipayungi oleh ideologi patriarki. Selain itu, penggambaran anak laki – laki dalam

film joki kecil menunjukkan bahwa menjadi joki merupakan suatu proses masa

transisi dari anak – anak menjadi dewasa yang selalu mengikuti alur lingkungan

sosialnya. Dalam proses ini terjadi tumpang tindih antara pelestarian budaya dan

hak anak yang mengakibatkan terjadinya eksploitasai anak tanpa disadari dan

adanya hal mistis yang digunakan untuk mengonstruksi keberanian anak laki –

laki. Meski demikian, film joki kecil telah membuka wawasan kita bahwa dibalik

keberanian dan keterampilan yang dimiliki anak laki – laki ada proses panjang

yang tidak mudah untuk dilalui.

Kata kunci : Representasi, Semiotika, Film, Anak Laki – Laki, Pacuan Kuda

Sumbawa

Page 8: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabil’alamin peneliti panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan karunia dan rahmadNya sehingga peneliti dapat

menyelesaikan penelitian skripsi yang berjudul “Representasi Anak Laki – Laki

dalam Film “Joki Kecil” karya Yuli Andari dan Anton Susilo (Analisis Semiotika

Roland Barthes)” dengan baik. Penelitian skripsi ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Ilmu Komunikasi.

Peneliti sepenuhnya sadar bahwa selesainya penelitian skripsi ini tidak lepas dari

berbagai pihak. Untuk itu peneliti menghanturkan terima kasih yang setulus-

tulusnya kepada:

1. Bapak Aka Kurnia S.F. S.Ag.,M.Sn. Selaku Dekan Fakultas Ilmu

Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa.

2. Bapak Miftahul Arzak, S.Ikom., MA. Selaku dosen pembimbing.

3. Bapak Muammar Khadafie, M. Pd. I Selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu

Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa.

4. Bapak Deddy Suprapto, S.S., MA., dan Bapak Abbyzar Aggasi, S.IP.,

MPA selaku penguji kelayakan hasil penelitian dalam bentuk skripsi.

5. Bapak Apriadi, S.IP., MA. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.

6. Segenap dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa

atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada peneliti selama

menempuh ilmu di Universitas Teknologi Sumbawa.

7. Ibu Yuli Andari dan Bapak Anton Susilo selaku penulis skenario dan

sutradara film Joki Kecil.

8. Bapak Ahmad Lamo selaku narasumber dalam tulisan ini.

9. Yang terkasih Orang Tua, Ibu dan Bapak yang senantiasa mendoakan dan

memberi motivasi yang selalu membakar semangatku.

10. Yang tercinta Suami terhebatku, Apriadi yang selalu mendukung lewat

materil, moril, kasih sayang, doa dan motivasi.

Page 9: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

ix

11. Saudara tersayang yang senantiasa memberi semangat dan kasih

sayangnya.

12. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu dan memberi semangat

Galuh, Ningsih, Kak Indah, Fajri, Novan.

13. Keluarga besar Universitas Teknologi Sumbawa (UTS), khususnya teman-

teman angkatan 2013.

Akhirnya, peneliti mengucapkan banyak terima kasih. Semoga segala bantuan

yang tercurah pada skripsi ini mendapatkan limpahan rahmat serta karuniaNya.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini karena

keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki peneliti. Oleh karenanya, peneliti

mengharapkan kritikan dan saran dari segala pihak demi keberlangsungan

penelitian ini kedepannya.

Sumbawa, 10 Maret 2018

Peneliti

Page 10: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ……………………………. iv

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN …………………… v

PERNYATAN KEASLIAN TULISAN ………………………………... vi

ABSTRAK………………………………………………………… …... vii

KATA PENGANTAR ………………………………………………….. viii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………. x

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. xi

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………… 6

1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 6

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………... 6

1.5 Kajian Pustaka……………………………………………………….. 7

1.6 Kerangka Teori ……………………………………………………… 11

1.7 Metode Penelitian……………………………………………………. 16

1.8 Sistematika Penulisan………………………………………………… 21

BAB II FILM JOKI KECIL DAN REALITA PACUAN KUDA DI

SUMBAWA…………………………………………………………….. 23

BAB III REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM JOKI

KECIL…………………………………………………………………… 28

3.1 Anak Laki – Laki sebagai Penambah Penghasilan Keluarga………… 29

3.2 Anak Laki – Laki : Keberanian dan Keterampilan sebagai Joki…….. 39

3.3 Anak Laki – Laki : Dibalik Keberanian sebagai Joki……………….. 47

BAB IV ANAK LAKI – LAKI DAN LINGKUNGAN SOSIALNYA… 56

4.1 Anak Laki – Laki dalam Pacuan Kuda Sumbawa…………………… 57

4.2 Sandro : Keberanian Semu Anak Laki – Laki………………………. 61

4.3 Anak Laki – Laki sebagai Transisi Menjadi Orang Dewasa………… 66

BAB V PENUTUP……………………………………………………… 69

5.1 Kesimpulan………………………………………………………….. 69

5.2 Saran………………………………………………………………… 71

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 72

Page 11: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pertandaan Roland Barthes (Sumber:Fiske dalam Aryanto,

2013:70)…………………………………………………….. 19

Gambar 3.1 Scene Maun dan Tukang Becak…………………………….. 30

Gambar 3.2 Scene bapak A.Rahman, Ayah angkat Syaiful……………… 35

Gambar 3.3 scene pak Masuarang……………………………………….. 37

Gambar 3.4 Scene joki saat pacuan kuda………………………………… 40

Gambar 3.5 Scene jimat joki…………………………………………….. 43

Gambar 3.6 Scene wawancara maun……………………………………. 45

Gambar 3.7 Scene Joki menangis……………………………………….. 47

Gambar 3.8 Scene joki takut naik kuda…………………………………. 50

Gambar 3.9 Scene joki dipukul………………………………………….. 52

Page 12: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial

dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi

dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (Undang – Undang Nomor 33

Tahun 2009 bab 1 Pasal 1 tentang Perfilman). Film adalah suatu media

komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu

realita yang terjadi dalam kehidupan sehari – hari. Film memiliki realitas yang

kuat salah satunya menceritakan tentang realitas masyarakat (Kridalaksana dalam

sanjaya,2005). Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang

kompleks yang merupakan dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang

diiringi kata-kata dan musik. Sehingga film merupakan produksi yang multi

dimensional dan kompleks. Kehadiran film di tengah kehidupan manusia saat ini

semakin penting dan setara dengan media lain.

Film dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter

dan film kartun (Effendy, 2007:210). Disini peneliti akan berfokus kepada jenis

film yang ketiga yakni film dokumenter. Menurut Halim dalam bukunya yang

berjudul semiotika dokumenter (2017 : 3-20), film dokumenter adalah sebuah

konstruksi realitas tentang suatu fenomena tertentu yang berfokus pada premis

dan pesan moral tertentu dan diproduksi dengan konsep pendekatan yang subjektif

dan kreatif dengan tujuan akhir mempengaruhi penonton. Secara sederhana, film

dokumenter merupakan film yang mendokumentasikan kenyataan. Dari sisi

Page 13: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

2

media, pergerakan film dokumenter kian pesat. Dari sekedar gerilya dari satu

mikrosinema ke mikrosinema lain, hingga menjadi bagian dari festival film

nasional, maupun internasional. Tidak berhenti disitu, penayangan melalui media

televisi juga dilakukan sebagai bagian dari program khusus. Setidaknya, pada

masa sekarang ini media dokumenter tidak bisa hanya sekedar dianggap sebagai

ajang coba – coba para calon filmmaker kampus, tetapi keberadaannya sangat

patut diperhitungkan.

Jika kita melirik lebih jauh ke belakang, di Indonesia sendiri film

dokumenter pertama kali dibuat oleh pihak Belanda pada zaman Hindia Belanda,

yaitu untuk melayani khalayak rumah di Belanda dan juga untuk membujuk

masyarakat dalam mendukung kebijakan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang

(1942-1945), film dokumenter adalah satu – satunya film bergenre yang

diperbolehkan oleh Jepang yang digunakan sebagai alat propaganda. Saat itu,

Jepang menutup banyak studio film milik pengusaha Belanda. Selama periode

tersebut, Nippon Eigasha, di bawah kendali Seidenbu (Departemen Propaganda

dari tentara Jepang) menghasilkan banyak film dokumenter (terutama warta

berita) dan fitur dari propaganda perang Jepang (Tina, 2016). Sedangkan menurut

Fauzan Santa dalam Tina (2016),film dokumenter di Indonesia mulai diproduksi

oleh pribumi sebelum tahun 2002 dengan menampilkan kisah reformasi 1998.

Film ini juga diikutsertakan dalam ajang festival film dunia.

Saat ini, film dokumenter sudah semakin berkembang. Jika dulu film

dokumenter dibuat hanya untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa, sekarang

ini film dokumenter telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan mulai dari

Page 14: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

3

jurnalistik televisi, features, hingga sebagai alat advokasi terhadap kepentingan

tertentu (IDS,2014). Film dokumenter menjadi semakin digemari dengan adanya

festival – festival film di Indonesia, diantaranya Festival Film Dokumenter (FFD)

di yogyakarta sejak 2002 yang merupakan festival film pertama di Indonesia dan

di Asia Tenggara, yang khusus menangani film dokumenter. Serta Eagle Awards

oleh metrotv sejak tahun 2005 yang mengajak anak-anak muda untuk peduli dan

kritis terhadap keadaan disekitar mereka dan menjadikan mereka para sutradara

dokumenter Indonesia (Coffilosofia,2013).

Dengan adanya festival – festival film khususnya film dokumenter,

memunculkan banyaknya sineas muda yang turut berkreasi dan menunjukkan

dirinya dalam pembuatan film dokumenter di tanah air, tidak terkecuali di

Sumbawa. Jauh sebelum adanya festival film, Sumbawa telah membuat film.

Sekitar tahun 1990-an, Adi Pranajaya seorang putra asli Sumbawa berhasil

melahirkan sebuah film yang berjudul Perang Sapugara. Film ini diangkat dari

sebuah novel sejarah dengan judul yang sama dan dikarang oleh Ratsu yang

merupakan ayah kandung dari Adi Pranajaya. Film Perang Sapugara ini berkisah

tentang Sumbawa pada tahun 1906, dimana pada saat itu adalah awal Belanda

memasuki wilayah Sumbawa. Film televisi 6 episode ini mendapat pujian dari

berbagai media dalam festival Sinetron Indonesia pada tahun 1995 karena

keberanian sutradara untuk tidak menggunakan pemain terkenal, sebab masa itu

semua film selalu mengandalkan pemain terkenal (Devi,2017:7).

Tidak berhenti disitu, pada tahun 2000-an perfilman Sumbawa sudah

semakin berkembang menghadirkan sutradara – sutradara baru seiring dengan

Page 15: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

4

kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Anton Susilo dan Yuli Andari

diantaranya. Mereka adalah 2 dari banyak sineas muda Sumbawa yang telah

menunjukkan diri melalui karya – karya mereka dalam hal perfilman di tanah air.

Salah satu dari film mereka adalah film dokumenter “Joki Kecil”. Film ini

mendapat banyak apresiasi dan penghargaan dari para penonton dan pembuat film

dokumenter. Hal ini terbukti dengan sederet penghargaan atas pemenangan dalam

ajang festival dan perlombaan film dokumenter yang diraihnya.

Film dokumenter ini menceritakan tentang sebuah permainan rakyat di

Daerah Sumbawa Besar yakni Pacuan Kuda (Main Jaran=dalam bahasa

Sumbawa). Sesuatu yang membedakan dari pacuan kuda di daerah lainnya adalah

Joki alias Penunggang kuda yang masih anak – anak dengan usia berkisar 5 – 12

tahun (Erliana, Ilmiyati, Andari, 2014:60). Selain telah menjadi budaya, joki anak

dipilih karena dengan tubuhnya yang kecil serta bobot tubuh yang ringan diyakini

mampu mengimbangi kuda sehingga kuda bisa berlari kencang.

Selain itu, Pacuan kuda sendiri memiliki ritual – ritual khusus yang

melibatkan Sandro (orang pintar) mengingat pacuan kuda ini adalah sebuah

kompetisi yang mempertaruhkan nama baik agar tidak ada gangguan ilmu hitam

dari pihak lawan. Selain kuda, Joki menjadi salah satu target empuk ilmu hitam

lawan dalam menjatuhkan lawannya. Mulai dari kuda yang tidak mau masuk bilik

start, Joki yang takut karena kuda tidak jinak, sampai kecelakaan yang terjadi di

dalam arena pacuan kuda selalu dianggap sebagai pengaruh dari ilmu hitam.

Hingga terkadang para orang dewasa lupa bahwa seorang Joki hanya seorang anak

Page 16: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

5

kecil yang masih harus diberi perhatian dan memiliki rasa takut. Bahkan tidak

jarang para joki diperlakukan tidak selayaknya.

Anak – anak tumbuh dalam ruang lingkup budaya masyarakat yang

didominasi oleh orang dewasa. Anak – anak jarang dibiarkan untuk menentukan

jalannya sendiri termasuk mengatur kebahagiaannya karena penentuan ini

berdasarkan pilihan – pilihan yang diberikan orang dewasa (Cipriani dalam Arzak,

2015:26). Anak – anak dianggap masih belum bisa secara mandiri menentukan

jalannya sendiri, sehingga masih perlu bimbingan dan pengajaran orang dewasa.

Bimbingan dan pengajaran terhadap anak – anak biasanya selalu mengikuti aturan

– aturan yang berada dimasyarakat sesuai dengan adat dan kebiasan, salah satunya

dalam film joki kecil ini.

Film ini merepresentasikan anak laki – laki dalam budaya Sumbawa yang

berprofesi sebagai joki dalam usia anak – anak. Ini merupakan suatu bentuk

pengajaran orang dewasa terhadap pembentukan karakter dan jati diri anak laki –

laki yang nantinya akan menjadi penerus sebagai pemegang kekuasaan tertinggi

dalam kehidupan berumah tangga. Peneliti memandang bahwa pengajaran yang

dilakukan oleh orang dewasa dalam film ini melanggar undang – undang tentang

hak anak karena cenderung menggunakan kekerasan. Namun disisi lain, budaya

dalam permainan tradisional harus selalu dilestarikan. Inilah hal yang menjadi

menarik untuk diteliti. Saat budaya harus dilestarikan sementara anak – anak

menjadi alat pelestarian budaya yang pelaksanaannya terkadang bertentangan

dengan undang – undang yang berlaku.

Page 17: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

6

Film ini dipilih karena masih sedikitnya penelitian mengenai film

dokumenter khususnya yang menjadikan anak – anak dalam hal ini anak laki –

laki sebagai objek sentral dalam film. Terlebih lagi dalam film ini anak laki – laki

ditampilkan berada dalam dunia laki – laki dewasa yang demi kepentingan mereka

pribadi bisa memudarkan bahkan mematikan ingatan mereka bahwa joki adalah

seorang anak – anak yang masih harus diperlakukan selayaknya anak – anak. Oleh

karena itu, menarik untuk diteliti tentang bagaimana film tersebut

merepresentasikan anak laki – laki melalui media film dengan genre dokumenter.

Karena film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda, maka penelitian ini

akan meneliti bagaimana tanda dalam film “Joki Kecil” merepresentasikan anak

laki – laki.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana representasi anak

laki – laki dalam film dokumenter “Joki Kecil” ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi anak

laki – laki dalam film dokumenter “Joki Kecil”.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap

pengembangan ilmu komunikasi serta dapat memperkaya literatur – literatur

Page 18: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

7

tentang kajian semiotika khususnya kajian semiotika pada film yang

menggunakan model analisis Roland Barthes.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: sebuah

pengetahuan bagi masyarakat mengenai cara untuk menyampaikan gagasan

melaui tanda tanda dalam sebuh karya visual, dan juga menjadi media informasi

tentang fenomena kontroversi yang terjadi dalam film tersebut.

1.5 Kajian Pustaka

Kajian tentang film memang bukan yang pertama dilakukan oleh penulis,

melainkan banyak penelitian – penelitian terdahulu yang telah melakukannya.

Terlebih lagi penelitian yang membahas mengenai anak – anak dan menggunakan

semiotika sebagai pisau analisisnya, baik yang berbentuk buku, jurnal, bahkan

skripsi. Sejauh penelusuran yang dilakukan, peneliti menemukan beberapa

penelitian terdahulu yang memiliki benang merah terhadap penelitian ini.

Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Andalusia Neneng Permatasari

(2017), Vetriani Maluda (2014), Ari Novitasari (2013), dan Diyah Ayu Iswari

(2011).

Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Andalusiana

Neneng Permatasari pada tahun 2017 dengan judul Representasi Anak pada Film

Perang ( Analisis Semiotika pada Film Life is Beautiful dan The Boy in the

Stripped Pajamas ). Dari kedua film tersebut terdapat kesamaan latar cerita, yakni

pada saat NAZI berkuasa di Eropa. Dengan demikian, film tersebut bercerita

Page 19: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

8

dalam kondisi perang. Selain itu kedua film tersebut juga menceritakan mengenai

tokoh anak – anak pada usia 5 – 7 tahun yang berada pada fase pra-operasional

(memusatkan segala sesuatu pada dirinya) dalam perkembangan kognitif.

Sehingga, penelitian ini membahas tentang bagaimana film dengan latar perang

merepresentasikan anak – anak yang hidup pada masa peperangan atau di daerah

konflik. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika, penelitian

ini menghasilkan bahwa dalam kedua film tersebut anak – anak direpresentasikan

sebagai penerima hak untuk kehidupan yang lebih baik dari kondisi perang. Dari

penelitian tersebut, peneliti tidak menjelaskan mengenai analisis semiotika yang

digunakan mengacu kepada analisis yang dikembangkan oleh siapa. Peneliti

hanya menjelaskan mengenai cara analisis yang dilakukan tanpa ada penjelasan

lebih detail tentang semiotika yang digunakan.

Selanjutnya penelitian kedua berjudul “Representasi Kekerasan pada

Anak (Analisis Semiotik dalam Film Alangkah Lucunya Negeri ini Karya Deddy

Mizwar)” yang dilakukan oleh Vetriani Maluda (2014). Film tersebut

menceritakan tentang nasib anak jalanan yang dididik untuk menjadi copet oleh

bos mereka yakni bang jarot yang selalu memberikan perlakuan kasar dan tidak

adil terhadap anak – anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

interpretatif. Dengan model analisis semiotika Jhon Fiske, peneliti

merepresentasikan kekerasan yang dilakukan oleh bang jarot terhadap anak – anak

dalam film tersebut melalui tiga level yakni level realitas, level representasi dan

level ideologi. Hasilnya ditemukan bahwa banyaknya kekerasan yang dilakukan

bang jarot terhadap anak – anak didiknya. Diantaranya kekerasan fisik, emosional,

dan penelantaran anak. Dalam penelitian ini peneliti hanya memaparkan bentuk

Page 20: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

9

kekerasan yang dilakukan. Namun tidak adanya pemaparan tentang motivasi

melakukan kekerasan serta dampak psikologis yang dihadapi anak – anak yang

mengalami kekerasan.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Ari Novitasari (2013) yang berjudul

Analaisis Semiotik Representasi Anak – Anak dalam film Denias Senandung di

Atas Awan dan Laskar Pelangi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

dengan menggunakan analisis semiotik model Pierce dan kerangka analisis film

dari Fiske. Dalam penelitian ini, peneliti menyatakan bahwa anak – anak dalam

film tersebut sama – sama digambarkan mengalami diskriminasi dan

marjinalisasi. Dalam film Denias Senandung di Atas Awan anak – anak

mengalami diskriminasi terkait etnisitas. Sementara dalam film Laskar Pelangi

anak – anak mengalami diskriminasi terkait perbedaan kelas/ status sosial. Dengan

menggabungkan 2 model analisis yakni analisis semiotik Pierce dan Fiske,

penelitian ini menjadi lebih detail mengenai sistem tanda yang dikemukakan oleh

Pierce. Namun, dalam pembagian analisis Fiske terkait level realitas, level

representasi, dan level ideologi, peneliti menggabungkan level realitas dan level

representasi menjadi satu. Sehingga peneliti terkesan menyamakan pengertian

antara level realitas dan level representasi. Selain itu, dalam penelitiannya, peneliti

tidak menjelaskan secara lebih detail tentang analisis Fiske terkait ketiga level

analisis tersebut.

Penelitian terakhir yakni penelitian yang dilakukan oleh Diyah Ayu

Iswari (2011) dengan judul “Representasi Kekeraasan Anak di Media (Studi

Semiotika Kekerasan pada Anak yang direpresentasikan dalam Film Slumdog

Page 21: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

10

Millionaire)”. Film ini menggambarkan tentang kekerasan yang masih terjadi

pada anak – anak gelandangan di India. Dalam penelitian ini, Iswari menggunakan

metode kualitatif deskriptif dan menganalisis simbol kekerasan pada anak – anak

gelandangan tersebut dengan menggunakan metode semiologi komunikasi yang

diperkenalkan oleh Andrik Purwasito, yaitu tafsir ditujukan untuk

menginterpretasikan pesan dalam tindak komunikasi berdasarkan kaidah

pengujian utama diantaranya : Partisipan komunikasi, konteks komunikasi, fungsi

tanda, bentuk fisik dan non fisik tanda, intertekstual tanda, intersubyektivitas

makna, dan intelektualitas penafsir. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

dalam film tersebut digambarkan adanya kekerasan fisik dan simbolik yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum, warga sipil, sesama anak gelandangan,

preman, juga saudara terhadap anak – anak gelandangan. Sama halnya dengan

penelitian sebelumnya, penelitian ini hanya menganalisis hal – hal yang disajikan

film tanpa menganalisis makna yang terjadi dibalik itu. Termasuk dampak

psikologis yang dialami anak – anak karena mendapat perlakuan tidak sewajarnya

sebagai anak – anak.

Dari penelitian – penelitian tersebut, belum ditemukan penelitian yang

membahas representasi anak laki – laki yang dalam hal ini berprofesi sebagai joki

dalam permainan rakyat Sumbawa pada film dokumenter Joki Kecil. Karena itu,

penelitian sebagaimana dimaksud oleh peneliti masih belum ada ditemukan dalam

penelitian terdahulu khususnya di kabupaten Sumbawa.

Page 22: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

11

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Film Sebagai Representasi Realitas

Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya,

film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil

pengembangan prinsip – prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang

untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888

ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang

asistennya ketika sedang bersin. Lumiere bersaudara memberikan pertunjukan

film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris (Danesi,2010:132).

Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat

komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan

lisan, lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi yakni gambar bergerak yang

menceritakan tentang kehidupan. Disinilah kita menyebut film sebagai suatu

representasi realitas. Karena dibanding media lain, film memiliki kemampuan

yang lebih untuk merepresentasikan kenyataan / kejadian sehari – hari melalui

gambar bergerak.

Dalam sebuah film terdapat narasi dan struktur yang akan membangun film

tersebut. Film seperti cermin dari realitas yang sebenarnya yang berupa

representasi. Representasi yaitu bagaimana dunia dikonstruksi dan

direpresentasikan secara sosial kepada kita. Representasi dan makna kultural

memiliki materialitas tertentu yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra,

buku, majalah, dan program televisi (Barker dalam Slistyarini, 2013:2).

Page 23: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

12

Menurut Graeme Turner makna film sebagai representasi dari realitas

masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai

refleksi dari realitas, film sekedar memindah realitas ke layar tanpa mengubah

realitas itu. Sementara, sebagai representasi realitas, film membentuk dan

menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi,

dan ideologi kebudayaannya. Film dalam merepresentasikan realitas akan selalu

terpengaruh oleh lingkup sosial dan ideologi dimana film tersebut dibuat dan akan

berpengaruh terhadap kondisi masyarakatnya (Irwanto dalam Annisa, 2014:6).

Di dalam film, kehidupan manusia digambarkan kembali berdasarkan apa

yang ada dalam kenyataannya. Hal ini biasa disebut dengan hipperealitas

(kenyataan dalam kenyataan). Namun tidak semua aspek kehidupan dapat

dimasukkan dalam film, dikarenakan bisa jadi ada unsur subjektivitas dari

pembuat film dalam merepresentasikannya. Dengan demikian, audiens akan

melihat dan mengartikan objek dalam film sebagai suatu hal yang dianggap nyata

( Slistyarini,2013:137).

Film dibuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan

pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa di angkat

menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, dan rekonstruksi yang dimulai

saat menulis skenario hingga film selesai dibuat. Meski demikian, menurut Malaki

dalam Taqiyya (2010:23) realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas

sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata, yang merupakan hasil karya

seni dimana di dalamnya diwarnai dengan nilai estetis dan pesan – pesan tentang

nilai yang terkemas rapi. Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah

Page 24: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

13

ingin menggambarkan kembali sesuatu hal yang ada pada cerita di sebuah film

(Budi dalam Taqiyya, 2010).

Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang

menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah

dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu,

bagaimana makna itu digambarkan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana

ia tampil.

Pada tingkat penanda, film adalah teks yang membuat serangkaian citra

fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan

nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas

bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam

genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggaapi orang – orang masa kini

dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat

interpretan ( Danesi,2010:134).

1.6.2 Representasi Anak – Anak dalam Film di Indonesia

Film merupakan salah satu wadah dalam menuangkan aspirasi berdasarkan

realitas, maupun imaji pembuatnya. Melalui film, pembuatnya dapat

mengekspresikan idenya melalui semua elemen yang ada dan dapat digunakan

sebagai media penyampaian pesan yang unik yang mudah menjangkau

masyarakat dalam waktu yang cepat dalam suatu area tertentu (McQuail dalam

Poedjianto, 2014:30).

Anak-anak adalah karakter yang populer dalam industri perfilman di

Indonesia. Meskipun demikian, tidak banyak naskah akademik yang secara

Page 25: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

14

khusus membahas penggambaran anak – anak dalam film Indonesia

(Wibawa,2010). Berbicara mengenai anak – anak tentunya identik dengan yang

namanya keluarga. Menurut KBBI, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak –

anaknya. Keluarga yang sempurna tentunya menjadi dambaan setiap orang.

Dalam film Adit dan Sopo Jarwo, keluarga sempurna digambarkan oleh keluarga

Adit yakni seorang anak yang menjadi tokoh utama dalam serial animasi tersebut.

Adit tinggal bersama ayahnya yang sering lupa serta bunda yang disiplin dan

perhatian terhadap adik kecilnya yang bernama Adel (Eki dalam Samodro, 2005).

Menurut Fredy selaku Head of Creative MD Animasi dalam detik.com (Saraswati,

2017), Tokoh Adit direpresentasikan sebagai inspirator, yang memotivasi teman –

temannya dalam keseharian. Dengan demikian, tokoh Adit yang masih kecil

mampu berpikiran dewasa dan menyalurkan pikiran positif terhadap teman –

temannya juga orang – orang disekitarnya. Contohnya saja tokoh Jarwo yang

memiliki sifat berlawanan dengan Adit. Meski sudah dewasa, Jarwo selalu

memiliki prasangka negatif, dan menimbulkan masalah.

Selain keluarga sempurna seperti film Adit dan Sopo Jarwo, film dengan

penyajian anak – anak diluar struktur keluarga normal juga dirangkaikan dalam

film Rindu Kami Padamu karya Garin Nugroho. Wibawa (2010) dalam

penelitiannya tentang film Rindu Kami Padamu menyatakan bahwa dalam film ini

anak – anak direpresentasikan sebagai orang yang tidak berdaya dan hanya bisa

berharap. Problematika antara anak – anak dan orang dewasa yang harus

ditemukan solusi pemecahan masalah lantaran orang dewasa yang tidak

memahami cara berpikir anak – anak serta penekanan yang dilakukan orang

dewasa atas otoritas yang mereka miliki terhadap anak – anak yang dianggap

Page 26: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

15

sebagai sebuah alat dan diharapkan mengikuti cara mereka berpikir. Meski film

ini menggunakan anak – anak sebagai tokoh utama dan telah mendapatkan ijin

tayang oleh Lembaga Sensor Indonesia, dibeberapa daerah film ini diklasifikasi

sebagai film dewasa yang legal ditayangkan hanya untuk orang dewasa dan

diputar pada tengah malam karena dianggap mempromosikan nilai – nilai seksual

yang tidak sesuai dengan norma – norma agama (Kompas.com dalam Wibawa,

2010).

Beberapa naskah ilmiah yang mendiskusikan representasi anak-anak dalam

perfilman di Indonesia, menyatakan bahwa karakter anak-anak dalam film

dipergunakan untuk mengurangi resiko politik yang mungkin muncul

(Wibawa,2010). Film Denias Senandung di Atas Awan merepresentasikan sosok

Denias sebagai pribadi yang nasionalis. Hal ini ditonjolkan melalui upacara

bendera, seragam merah putih, lagu Indonesia raya, dan penghormatan terhadap

wilayah Indonesia untuk mematenkan bahwa Papua menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari NKRI. Pada posisi ini, pembuat film meletakkan nasionalisme

untuk menghilangkan konflik sosial politik di Papua (Rato,2013:13). Selain itu,

anak – anak juga direpresentasikan sebagai penyalur ideologi dominan. Dalam

film Denias Senandung di Atas Awan, Rato dalam penelitiannya menyatakan

bahwa anak – anak direpresentasikan sebagai Other, yakni stereotip terhadap ras

kulit hitam. Stereotip yang digambarkan pembuat film dalam hal ini adalah orang

– orang dengan ras kulit hitam cenderung primitive, miskin, bodoh, dan suka

berkelahi.

Page 27: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

16

Representasi anak-anak dalam film juga digunakan untuk mengkonstruksi

identitas warga negara. Dalam film Si Unyil misalnya. Karakter Unyil dibuat

sebagai teladan anak – anak dengan penampilan yang selalu menggunakan sarung

dan peci yang merupakan identitas nasional Indonesia (Imanda,2004:45). Kitley

dalam Wibawa (2010) mengatakan bahwa pemerintah Indonesia membangun

sebuah identitas idealis yang homogen mengenai anak-anak Indonesia melalui Si

Unyil. Hal ini tentu memiliki konsekuensi. Ketika Si Unyil dimaksudkan untuk

menyampaikan keberagaman budaya Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya.

Serial ini justru mengeliminasi variasi dan perbedaan dalam keanekaragaman

tersebut dengan membangun sebuah identitas tunggal.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang lebih menekankan pada aspek pemahaman

secara mendalam pada suatu permasalahan. Bersifat deskriptif, biasanya

menggunakan analisis dan lebih menonjolkan proses makna (Afrizal,2015:35).

Tujuan dari penelitian ini adalah pemahaman secara luas dan mendalam terhadap

suatu permasalahan yang sedang dikaji atau akan di kaji. Dari sumber data, data

yang dikumpulkan lebih banyak berupa huruf, kata ataupun gambar dari pada

angka. Dengan jenis penelitian ini peneliti akan menggambarkan fakta – fakta

dalam film joki kecil yang merepresentasikan joki anak lewat tanda – tanda yang

disebut Barthes yakni makna Denotasi dan Konotasi.

Page 28: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

17

1.7.2 Teknik Pengumpulan data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi. Observasi,

yakni melakukan pengamatan langsung terhadap data – data yang berhubungan

dengan tujuan penelitian. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data

sekunder. Data primer berupa scene dalam film “Joki Kecil” yang

merepresentasikan anak laki – laki. Sedangkan data sekunder berupa dokumen

tertulis seperti literatur dalam surat kabar, majalah, maupun internet, serta buku –

buku yang relevan dengan penelitian.

1.7.3 Teknik Analisis Data

Untuk analisis data, peneliti memulai dengan mengklasifikasi adegan –

adegan dalam film “Joki Kecil” yang sesuai dengan rumusan masalah.

Selanjutnya data dianalisis dengan model semiotika Roland Barthes dalam

mencari makna denotasi dan konotasi masing – masing adegan.

Semiotika berasal dari bahasa yunani yakni Semeion yang berarti tanda

(Tinarbuko, 2009:11). Charles Sanders Pierce dalam Vera (2014:2)

mendefinisikan semiotika sebagai studi tentang tanda dan segala yang

berhubungan dengan tanda tersebut, termasuk caranya berfungsi, hubungannya

dengan tanda lain, penerimaan, dan pengirimannya oleh mereka yang

menggunakannya. Menurut kurniawan dalam Sobur (2009:15-17), Semiotika

berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika.

Secara sederhana, Semiotika dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode

analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya

Page 29: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

18

berusaha mencari jalan di dunia ini, berada ditengah manusia, dan bersama – sama

manusia (Sobur, 2009:15). Bidang kajian semiotika berfokus pada sistem aturan

sebuah wacana yang terdapat dalam teks media serta penekanannya dalam

membentuk sebuah makna. Yakni tentang bagaimana sistem tanda dalam teks

dipahami dan berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan

yang terkandung di dalamnya (Vera, 2014:8-9).

Dalam semiotika Roland Barthes, hampir secara harfiah diturunkan dari

teori bahasa menurut de Saussure. Namun de Saussure hanya menekankan pada

penandaan dalam tataran denotatif, sedangkan Barthes menyempurnakannya

dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Selain itu,

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai

suatu masyarakat (Vera, 2014:27).

Denotasi dalam pandangan Barthes merupakan tataran pertama yang

maknanya bersifat tertutup. Tataran denotasi menghasilkan makna yang eksplisit,

langsung, dan pasti. Denotasi merupakan pandangan yang sebenar – benarnya,

yang disepakati bersama secara sosial, yang merujuk pada realitas. Sementara

konotasi merupakan tataran kedua yang mempunyai makna terbuka atau implisit,

tidak langsung, dan tidak pasti, artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran

– penafsiran baru (Vera,2014:28).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang

disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkap dan memberikan

pembenaran bagi nilai – nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu

Page 30: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

19

(Budiman dalam Sobur, 2009:71). Mitos juga termasuk dalam pemaknaan tataran

kedua.

Gambar 1.1 Pertandaan Roland Barthes

Sumber : Fiske dalam Aryanto (2013:70)

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa signifikansi tahap pertama

merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang disebut denotasi, yakni

makna sebenarnya dari tanda. Menurut Sausure yang dikutip Pradopo dalam

Tinarbuko (2013:12-13), tanda merupakan kesatuan dari dua bidang yang tidak

dapat dipisahkan. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) memiliki

dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yakni penanda (signifier) dan petanda

(signified). Penanda (bentuk) terletak pada tingkat ungkapan (level of expression)

dan memiliki wujud atau bisa disebut sebagai bagian fisik misalnya huruf, kata,

gambar, warna, objek, bunyi, dan sebagainya. Petanda (konsep/makna) terletak

pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) melalui apa yang diungkapkan

pada tingkat ungkapan. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal

(benda) yang lain. Hal ini disebut sebagai referent. Misalnya lampu merah

mengacu pada berhenti. Lampu merah menjadi penanda, sedangkan berhenti

menjadi petanda.

Page 31: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

20

Sedangkan signifikansi tahap kedua digunakan istilah konotasi, yakni

makna subjektif atau intersubjektif. Konotasi menggambarkan interaksi yang

berlangsung saat tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya, serta

nilai – nilai kulturalnya (Barthes dikutip Iriantara dan Ibrahim dalam Tinarbuko,

2013:15). Lebih dalam, gambar tersebut memberi pemahaman tambahan

mengenai bagaimana tatanan penandaan (Signification) merupakan hubungan

antara realitas, tanda, dan budaya yang menghasilkan tanda konotatif (sebagai

bentuk) dan memiliki isi berupa mitos (Aryanto, 2013:69).

Hoed dalam Halim (2017) menyatakan bahwa bila konotasi menjadi tetap,

ia akan menjadi mitos. Sementara jika mitos menjadi mantap, maka ia akan

menjadi ideologi. Banyak sekali fenomena budaya yang dimaknai dengan

konotasi. Jika fenomena tersebut menjadi mantap, maka fenomena tersebut

menjadi mitos yang kemudian menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak

dirasakan lagi oleh masyarakat sebagai hasil dari konotasi.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa makna denotasi

merupakan sebuah realitas atau makna yang paling nyata dari tanda, apa yang

digambarkan/ditampilkan tanda tehadap sebuah objek. Makna konotasi tentang

bagaimana menggambarkan objek, ia bermakna subjektif juga intersubjektif,

sehingga kehadirannya tidak disadari. Sedangkan mitos merupakan makna

terdalam dari konotasi yang jika mantap akan menjadi ideologi.

Page 32: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

21

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas 5 bab yang dirancang dengan sub – sub bab

sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Bab ini berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kajian Pustaka, Kajian Teori,

dan Sistematika Penulisan.

BAB II Film Joki Kecil dan Realita Pacuan Kuda di Sumbawa

Dalam bab ini, peneliti membahas mengenai gambaran umum film

dokumenter “Joki Kecil” serta sejarah pacuan kuda di Sumbawa.

BAB III Representasi Anak Laki – Laki dalam Film Joki Kecil

Bab ini peneliti menyajikan tiga pokok pembahasan yakni anak laki – laki

sebagai penambah penghasilan keluarga, keberanian dan keterampilan anak laki –

laki sebagai joki, dan dibalik keberanian anak laki – laki sebagai joki.

BAB IV Anak Laki – Laki dan Lingkungan Sosialnya

Dalam bab ini peneliti akan membahas hasil dari analisis data pada bab

sebelumnya yakni anak laki – laki dalam pacuan kuda Sumbawa, keberanian anak

laki – laki yang dikonstruksi oleh sandro, dan anak laki – laki sebagi transisi

menjadi laki – laki.

Page 33: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

22

BAB V Penutup

Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran dari

peneliti atas permasalahan yang diteliti.

Page 34: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

23

BAB II

FILM JOKI KECIL DAN REALITA PACUAN KUDA DI SUMBAWA

Joki kecil merupakan salah satu film dokumenter karya Anton Susilo dan

Yuli Andari pada tahun 2005. Film ini memenangkan ajang eagle award tahun

2005 kategori Film dokumenter terbaik sekaligus film favorit pemirsa yang

diselenggarakan Metro TV dan In-Docs dalam kompetisi film dokumenter untuk

pemula. Tidak hanya itu, film ini juga berhasil menyandang gelar best

documentary pada beberapa ajang festival lainnya pada tahun 2006 yakni

Indonesia Short Film Festival KONFIDEN, Jakarta Slingbort Film Festival, dan

Asian Televisi Award. Serta Best Direction Asian Competition Section Tebran

International Short Film Festival (2006) dan menjadi Official Selection di Jakarta

International Film Festival (2005).

Film ini menggambarkan mengenai salah satu permainan rakyat Sumbawa

yang sudah dijadikan tradisi untuk diperlombakan disetiap musim kemarau tiba.

Permainan ini disebut sebagai Pacuan Kuda atau Maen Jaran dalam bahasa

Sumbawa). Sejarah awal mula pacuan kuda di Sumbawa memang belum diketahui

secara pasti, namun dengan adanya beberapa foto koleksi Istana Bala Kuning

memperlihatkan bahwa dimasa kesultanan Sultan Kaharuddin III yang berkuasa

dari tahun 1931 – 1952 menandakan permainan ini telah menjadi kegemaran

masyarakat dari berbagai kalangan termasuk Sultan dan para bangsawan (Andari

dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari (2014:3).

Kuda dalam masyarakat Sumbawa dipandang sebagai harta yang sangat

berharga. Kuda diperlakukan layaknya sebagai sahabat, teman dalam perjalanan,

Page 35: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

24

sarana transportasi, maupun pembantu setia dalam mengelola lahan. Sehingga,

umumnya masyarakat Sumbawa tidak memakan daging kuda. Dalam menjadikan

kuda sebagai kuda pacu, tentu ada kriteria – kriteria khusus dalam pemilihan kuda

yang kemudian ditandai, dikenali dan diyakini secara turun temurun. Selain itu,

pemeliharaan kuda pacu mulai dari makanan, perawatan, dan kebersihan

kandangpun ikut menjadi faktor pendukung (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan

Andari (2014:5).

Pacuan kuda di Sumbawa sudah mengurat – akar dan sangat digemari

sejak lama. Jika dulu pacuan kuda dilakukan untuk mengadu ketangkasan dan

kecepatan kuda hanya untuk hiburan setelah musim panen, saat ini pacuan kuda

dilakukan sebagai sebuah perlombaan untuk mempertaruhkan nama baik pemilik

kuda. Sehingga banyak hal yang dilakukan agar kuda yang dimiliki bisa menang

dan menjadi sebuah kebanggaan. Termasuk dengan memilih joki kuda terbaik

sesuai kriteria pemilik kuda.

Berbeda dengan lomba pacuan kuda Internasional yang notabene Jokinya

adalah orang dewasa yang memiliki serta sudah terlatih dan terbiasa dengan kuda

pacunya, di Sumbawa joki kuda pacu adalah seorang anak laki – laki dengan usia

sekitar 5 – 12 tahun yang sebagian besar baru bertemu dengan kuda pacunya saat

di arena perlombaan. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik terlebih lagi joki kuda

bukan anak – anak yang memiliki otoritas atas kepemilikan kuda pacu yang

ditungganginya, melainkan joki hanya sebatas anak – anak yang dibayar sebagai

pelengkap perlombaan karena menurut peraturan, kuda yang berlomba harus

memiliki joki.

Page 36: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

25

Berbekal bakat menunggang kuda, tanpa harus berkenalan dengan kuda

terlebih dahulu termasuk suatu hal yang luar biasa. Karena pada dasarnya, kuda

Sumbawa yang dijadikan kuda pacu adalah kuda – kuda liar yang terlatih.

Sehingga bagaimanapun, sifat liar dari kuda tidak akan bisa dihilangkan.

Pandangan tersebut menjadikan sebagian besar masyarakat berasumsi bahwa anak

laki – laki yang menjadi joki sangat hebat, kuat, berani, dan tangguh.

Berdasarkan asumsi di atas, film yang berdurasi 19 menit 38 detik ini

menyajikan sisi lain prosesi pacuan kuda yakni dari segi kehidupan, kesenangan,

serta kepedihan yang dialami para anak laki – laki yang menjadi joki kecil. Selain

itu, film ini juga berusaha meretas mitos mengenai Joki kecil yang selama ini

dipandang hebat, berani, kuat, dan punya nyali tinggi. Karena bagaimanapun, joki

tetaplah seorang anak – anak yang punya rasa takut saat kuda tidak bersahabat,

dan rasa sakit saat terjatuh dari kuda. Hal ini terbukti dalam film joki kecil melalui

dua karakter utama joki yakni Maun dan Syaiful.

Maun merupakan seorang anak laki – laki berusia 14 tahun yang sudah

menjadi joki sejak usia 8 tahun (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari

(2014:31). Meski usianya telah melewati batas, tubuhnya yang kecil dan mungil

sehingga massih tergolong ringan menjadikan pemilik kuda masih tertarik untuk

menjadikannya joki. Maun menjadi joki karena ketertarikan dan bakat yang dilihat

oleh pamannya, sehingga maun diajari menunggang kuda secara diam – diam. Ibu

maun sangat menentang keras keinginan anak dan ayahnya yang ingin

menjadikannya joki lantaran takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saat

berada di arena. Namun, karena kemauan keras maun ingin menjadi seorang joki,

hati ibu maunpun luluh dan mengijinkannya menjadi joki.

Page 37: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

26

Dengan diijinkannya maun menjadi joki, selanjutnya ia dibawa ke dukun /

Sandro untuk dimantrai agar terhindar dari pengaruh buruk sihir dan ilmu hitam

serta meneguhkan hatinya agar tidak goyah dan tidak mudah jatuh saat berada

dipunggung kuda. Maun juga diberikan jimat sebagai pelengkap ritual Sandro.

Meski demikian, Maun merasa bahwa jimat tersebut tidak ada gunanya sama

sekali. Hanya sebagai lambang. Karena bagaimanapun, jika kita terjatuh apalagi

dari punggung kuda yang sedang berlari tetap saja akan terasa sakit.

Dalam menjalani latihannya sebagai joki, maun diberi jeruk dan permen

sebagai imbalan karena mau berlatih. Sementara dalam perlombaan, maun akan

diberi uang senilai 20 ribu, 30 ribu,atau 50 ribu tergantung kesepakatan antara

pemilik kuda dan manajer joki. Bahkan maun pernah mendapatkan uang senilai

300 ribu dari hasil menjadi joki. Uang yang didapatnya digunakan untuk membeli

buku, sepeda, baju lebaran, dan lainnya. Secara tidak langsung, berkat menjadi

joki membuat maun memiliki penghasilan sendiri setidaknya untuk memenuhi

kebutuhannya pribadi.

Berbeda dengan kisah maun, kisah lain datang dari Syaiful seorang anak

laki – laki berusia 6 tahun. Syaiful dipilih menjadi joki karena memiliki 2 buah

unyang (pusar) yang diyakini masyarakat Sumbawa sebagai suatu keistimewan.

Anak laki – laki yang memiliki 2 buah unyang dipercaya sangat cocok menjadi

penunggang kuda pacu karena memiliki sifat yang tangguh, kuat, berani, dan tidak

cengeng sehingga mampu mengendalikan kuda pacu. Selain unyang yang

dimilikinya, usia Syaiful masih sangat muda serta postur tubuh yang lebih kecil

dibanding teman – temannya menjadikannya joki favorit pemilik kuda. Hal

tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. Terkadang dia merasa capek

Page 38: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

27

dan bosan karena terlalu sering menunggang kuda dan memiliki sedikit waktu

istirahat (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:37-38).

Dalam film terlihat bahwa syaiful terkadang menolak menaiki kuda.

Tindakan seperti ini bukannya mendapat respon positif dengan memakluminya

sebagai anak – anak, tetapi justru sebaliknya. Syaiful justru menjadi sasaran

kemarahan dan kejengkelan orang – orang disekitarnya. Bahkan syaiful sempat

mendapat kekerasan fisik seperti pukulan agar ia mau menaiki kuda. Tidak hanya

penolakan menaiki kuda, ketakutan saat menaiki kuda saat kuda menjadi liar dn

tidak mau masuk ke bilik startpun terekam dalam film ini. Respon yang samapun

terjadi, dibentak dan dimarahi. Meski dibujukpun dengan nada yang kasar yang

tidak sepantasnya dilakukan terhadap anak – anak.

Jika maun mendapat pertentangan dari orang tua terutama ibunya dalam

menjadi joki dan mengikuti pacuan kuda, syaiful justru didukung orang tuanya.

Dalam pacuan kuda, terdapat kontrak yang bisa membantu menambah

penghasilan keluarga seperti pemberian seekor kerbau oleh pemilik kuda kepada

orang tua syaiful agar anaknya diijinkan menjadi joki selama pacuan kuda

berlangsung. Karena telah adanya kontrak yang dilakukan orang tua syaiful

dengan pemilik kuda, orang tua syaiful seakan membiarkan anaknya membolos

sekolah demi mengikuti pacuan. Tidak jarang syaiful bolos dalam bersekolah

demi mengikuti pacuan kuda. Pacuan kuda terkadang bertepatan dengan waktu

sekolah bahkan saat ujian sekolah. (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari

(2014:39).

Page 39: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

28

BAB III

REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM JOKI KECIL

Perilaku laki – laki dalam budaya masyarakat sering mengacu pada budaya

/ ideologi patriarki yakni maskulinitas/norma kelelakian. Patriarki merupakan

budaya yang menempatkan posisi laki – laki lebih tinggi dibanding perempuan

(Sanjaya,2005). Sehingga, dalam masyarakat sudah sepantasnya laki – laki sejak

dilahirkan, maka serta merta dilekatkan dengan beragam norma, kewajiban, dan

setumpuk harapan keluarga kepadanya. Beragam aturan dan budaya telah diterima

melalui ritual adat, agama, pola asuh, jenis permainan, petuah hidup, hingga

filosofi hidup. Kondisi tersebut dapat dilihat dari hal – hal sederhana yang dialami

laki – laki dalam kesehariannya, seperti cara berpakaian, penampilan, dan bentuk

aktivitas. Ini menjadi suatu “kewajiban” dari bentuk pencitraan diri seorang laki –

laki agar dianggap sebagai laki – laki seutuhnya (Pleck dalam Kurniawan,2011).

Maka dari itu, sejak kecil anak laki – laki akan dibiasakan mengikuti norma –

norma yang telah berlaku secara turun – temurun. Dengan diajari oleh orang –

orang terdekat mereka terutama ayah dan termasuk laki – laki disekitarnya tentang

bagaimana menjadi laki – laki.

Senada dengan hal tersebut, film joki kecil merupakan salah satu cerminan

anak laki – laki yang diajarkan untuk mengikuti budaya dan norma yang telah

berlaku dimasyarakat. Film ini berlokasi di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara

Barat. Sehingga dalam film ini menggambarkan salah satu budaya masyarakat di

Sumbawa yang melekat pada anak laki – laki. Menurut tradisi leluhur masyarakat

Sumbawa, anak laki – laki harus berani dan bertanggung jawab atas segala yang

Page 40: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

29

dimilikinya

(http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki diunduh

pada 14 Januari 2018). Joki kecil adalah sebutan identik untuk seorang

penunggang kuda anak laki – laki dalam perlombaan pacuan kuda di Sumbawa.

Tidak semua anak laki – laki bisa menjadi joki di Sumbawa. Biasanya anak laki –

laki menjadi joki kecil dikarenakan ayah mereka dulunya menjadi joki, atau

karena ayahnya sangat menggemari pacuan kuda, bahkan bisa jadi karena

keistimewaan yang dimiliki oleh anak tersebut. Namun tentunya, karena anak

tersebut berada ditengah orang – orang yang terlibat dengan pacuan kuda

Sumbawa.

Dari penjelasan di atas, penulis perlu melihat bagaimana anak laki – laki

khususnya joki direpresentasikan dalam film joki kecil sebagai pelaksana norma

kelelakian yang sudah menjadi budaya dalam masyarakat Sumbawa dengan

bimbingan dan pengajaran dari orang dewasa disekitarnya. Didalamnya penulis

menganalisis scene – scene serta percakapan dalam film yang merepresentasikan

anak laki – laki sebagai joki. Salah satunya adalah anak laki – laki diajari untuk

menjadi sosok yang bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai pencari

nafkah.

3. 1 Anak Laki – Laki sebagai Penambah Penghasilan Keluarga

Menjadi Joki kuda pacu di Sumbawa, bukan semata – mata karena

memiliki kuda pacu. Melainkan memiliki keistimewaan yang dilihat oleh orang –

orang tertentu. Sehingga, Joki adalah suatu profesi bagi anak – anak yang dibayar

oleh pemilik kuda. Menjadi joki mendapat dukungan penuh dari keluarga

Page 41: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

30

khususnya ayah, karena mereka juga menjadi sumber pendapatan keluarga

(http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki diunduh

pada 14 Januari 2018). Inilah suatu bentuk pengajaran ayah terhadap anak laki –

lakinya agar mampu belajar tanggung jawab, disamping menjadi joki yang

merupakan bentuk kesenangan / hobi yang dimiliki anak – anak. Dalam film joki

kecil, sutradara menggambarkan anak laki – laki sebagai joki menjadi penambah

penghasilan keluarga. Seperti yang tergambar pada scene berikut :

Gambar 3.1 Scene Maun dan tukang becak

Denotasi dari scene tersebut, maun sedang berada di atas becak hendak

menuju ke lokasi pacuan kuda berlangsung. Terjadi percakapan antara Maun dan

tukang becak :

Tukang becak : Berapa kamu dapat uang waktu pacuan kemarin ?

Maun : Orang kasih saya Rp. 20.000, Rp. 30.000, waktu itu Rp.

50.000

Tukang becak : Bukannya joki suka dikasih sapi ?

Maun : Iya, biasanya begitu. Seandainya bapak saya mengijinkan

saya dari dulu

Page 42: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

31

Konotasi dari scene tersebut menyatakan bahwa jelas dengan menjadi joki

anak – anak mampu membantu menambah penghasilan keluarga. Meski dibayar

dengan harga yang tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan, mereka

tetap senang menjadi joki. Faktanya, menjadi joki memiliki resiko cedera fatal

yang lebih tinggi dengan biaya pengobatan yang jauh lebih mahal dari sekedar

uang Rp. 20.000 – Rp. 50.000 per putaran pacuan kuda. Namun, ini adalah suatu

bentuk pengajaran orang tua terhadap tanggung jawab anak laki – laki kelak

sebagai kepala rumah tangga yakni mencari nafkah.

Dari pemaparan di atas, peneliti merujuk pada tulisan Beniharmoni Harefa

dalam Novelia (2017) mengklasifikasikan enam faktor yang menyebabkan

munculnya fenomena pekerja anak, yaitu kemiskinan, urbanisasi, sosial budaya,

pendidikan, perubahan proses produksi, dan regulasi. Dari pengklasifikasian

tersebut, peneliti berfokus pada faktor ketiga yakni sosial budaya karena

permainan rakyat seperti pacuan kuda ini termasuk pelestarian budaya yang

pelaksanaannya dalam lingkungan sosial masyarakat Sumbawa. Menurut Harefa,

dalam masyarakat Indonesia terdapat pandangan bahwa anak – anak diposisikan

sebagai seseorang yang memiliki hutang budi terhadap keluarganya. Sehingga

mereka harus berbakti dalam membalas kebaikan orang tuanya yang dalam hal ini

berupa bantuan untuk mencari nafkah.

Joshi dan Mac dalam Novelia (2017) melanjutkan bahwa faktor sosial

budaya terkait erat dengan teori nilai anak. Nilai anak merupakan bentuk asumsi

dan harapan orang tua terhadap anaknya. Lebih lanjut menurut Novelia dalam

tulisannya memaparkan tentang nilai anak dapat dilihat baik dari sisi nilai sosial,

ekonomi, maupun psikologis. Dalam hal nilai sosial, orang tua menganggap

Page 43: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

32

seorang anak memiliki bakat turun – temurun keluarga, sehingga sang anak sangat

diharapkan untuk melanjutkan tradisi. Dari nilai ekonomi, anak diharapkan

menjadi bantuan dalam hal pemasukan keluarga. Sedangkan dari sisi psikologis,

seorang anak dalam kondisi tertentu digunakan untuk mempertahankan citra atau

kebaikan keluarga dimata publik. Sehingga anak bisa mempertahankan

kebanggaan orang tua terhadapnya. Sementara dari sisi anak, anak dikategorikan

sebagai sosok yang tidak sadar dan tidak sepenuhnya menyadari ada hal – hal

yang menguasai dirinya.

Dari faktor tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa anak laki – laki sebagai

joki menjadi korban pelestarian tradisi keluarga dan budaya. Mengingat anak –

anak yang menjadi joki sebagian besar dikarenakan ayahnya dulu mantan joki,

maupun bersinggungan serta memiliki hobi terhadap kuda secara turun temurun.

Sehingga untuk mempertahankan tradisi, anak – anak diajari berkuda untuk

menjadi joki terampil untuk meningkatkan nilai anak dan tentunya bisa membantu

penghasilan keluarga.

Selanjutnya tentang konsep pekerja anak menurut Putri (Nd) konsep

pekerja anak dibagi menjadi anak bekerja dan pekerja anak. Menurutnya anak

bekerja adalah anak yang melakukan sebuah pekerjaan ringan dimana dalam

pekerjaannya masih menghargai haknya sebagai anak dan hanya bekerja sewaktu

– waktu saja dan legal. Sedangkan pekerja anak merupakan anak yang biasanya

melakukan pekerjaan berat dan berbahaya sehingga cenderung menimbulkan

eksploitatif dimana dalam pekerjaannya itu sudah tidak lagi memperdulikan

haknya sebagai anak mulai dari hak pendidikan sampai kesehatannya dan dengan

waktu bekerja yang relatif lama, sifatnya tetap, dan ilegal.

Page 44: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

33

Berdasarkan tulisan Putri di atas, penulis menganalisis bahwa joki

termasuk dalam kedua jenis konsep pekerja anak. Jika dilihat dari jenis

pekerjaannya, menjadi joki termasuk jenis pekerjaan yang berat dan berbahaya

karena joki harus memiliki keterampilan khusus dalam mengendarai kuda serta

membutuhkan latihan yang serius dalam mengendalikan kuda dan apabila joki

terjatuh dari kuda yang berlari kencang luka fatal bisa terjadi. Sementara itu, jika

dilihat dari waktu bekerja, pacuan kuda diadakan pada saat adanya hari – hari

besar atau perayaan seperti festival moyo, acara HUT Sumbawa, dan acara – acara

lainnya yang digelar selama 1 minggu penuh. Ini artinya, menjadi joki hanya

sewaktu – waktu saja saat ada perlombaan dan karena joki sebagian besar

merupakan anak yang masih bersekolah, anak – anak harus meninggalkan

sekolahnya sementara waktu. Sedangkan jika dilihat dari segi legal ataupun

ilegalnya pekerjaan ini bagi anak, maka pekerjaan ini termasuk legal karena

sejauh ini anak – anak yang menjadi joki maupun yang menjadikan anak sebagai

joki tidak pernah mendapat kasus seperti kasus mempekerjakan anak dibawah

umur dan sebagainya. Hal ini dianggap hanya sebagai hiburan dan pelestarian

budaya saja. Jika berbicara mengenai eksploitasi anak, menjadi joki termasuk

dalam kegiatan eksploitasi anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Piri (2013:26)

eksploitasi anak yakni mempekerjakan anak dengan tujuan ingin meraih

keuntungan. Dalam hal ini anak – anak dibayar sebagai upah atas hasil kerjaanya

sebagai penambah semangat dalam pekerjaannya dan hasil kerjanya tersebut

digunakan untuk keperluan sekolah dan keperluannya pribadi. Selain itu, anak –

anak bekerja sebagai bentuk pengajaran orang tua terhadap anaknya tentang

disiplin dan tanggung jawab.

Page 45: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

34

Senada dengan yang diungkapkan Maun dalam scene yang berbeda,

bahwa dia pernah mendapatkan uang sebesar Rp. 300.000 saat menjadi joki. Dan

uang itu digunakan untuk membeli buku, bayar sekolah, beli tas, dan baju lebaran.

Dari pernyataan maun tersebut, jelas bahwa anak – anak menggunakan hasil

kerjanya untuk keperluannya sendiri. Namun dari sisi yang berbeda, keperluan

dalam hal pendidikan seperti yang diungkapkan maun pada dasarnya menjadi

tanggung jawab orang tua. Pasalnya, kebutuhan sandang, pangan, papan istri dan

anak – anak adalah tugas kepala keluarga termasuk kebutuhan sekolah anak

seperti buku, pembayaran sekolah, tas, hingga baju lebaran. Sebagaimana

dijelaskan dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yakni anak

berhak atas kepeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan, dalam

lingkungan masyarakat yang dapat menghambat atau membahayakan

perkembangannya, sehingga anak tidak lagi menjadi korban dari ketidakmampuan

ekonomi keluarga dan masyarakat. Sehingga, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

anak laki – laki menjadi penambah penghasilan keluarga yang membantu

meringankan sedikit beban orang tua baik dalam kebutuhan pendidikan dan

sebagainya. Dengan demikian, anak laki – laki secara tidak langsung diajari

tentang bagaimana mencari nafkah meski digunakan hanya untuk dirinya sendiri.

Kita kembali kepada percakapan antara maun dan tukang becak tadi,

tukang becak mengatakan Bukannya joki suka dikasih sapi ? dan maun menjawab

Iya, biasanya begitu. Seandainya bapak saya mengijinkan saya dari dulu. Dari

percakapan tersebut, diketahui bahwa menjadi joki tidak hanya berupa uang

sebagai imbalan. Hewan peliharaan seperti kerbau dan sapi pun bisa diberikan.

Page 46: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

35

Tergantung kesepakatan dan keikhlasan hati dari pemilik kuda. Hal ini diperkuat

oleh bapak A. Rahman yakni bapak angkat Syaiful di salah satu scene dalam film.

Gambar 3.2 Scene bapak A.Rahman, Ayah angkat Syaiful

Berdasarkan gambar di atas, terdapat denotasi bahwa ayah angkat Syaiful

sedang berbicara dalam sebuah wawancara di dalam film. Menggunakan teknik

pengambilan gambar Close-up yakni objek digambarkan dari dada hingga keatas

dengan tujuan untuk menghasilkan informasi detail tentang objek serta bisa

menunjukkan ekspresi objek (Novitasari,2013:5). Terlihat bahwa bapak A.

Rahman sedang berbicara menjelaskan sesuatu. Beliau mengatakan “akhirnya

saya beri ayahnya kerbau selama dia menunggang kuda saya”.

Konotasinya menunjukkan bahwa anak – anak dijadikan sebagai objek

penambah penghasilan keluarga dengan menjadi Joki kecil. Pemberian upah atau

bayaran terhadap joki dalam pacuan kuda tidak sepenuhnya atas kesepakatan

antara orang tua joki dengan pemilik kuda. Terkadang pemilik kuda yang

berinisiatif untuk memberikan imbalan atas kerja joki, tergantung dari

pekerjaannya. Seperti halnya dengan memberikan imbalan seekor sapi atau kerbau

yang dilakukan oleh bapak A.Rahman.

Page 47: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

36

Dengan adanya pemberian upah atau bayaran dalam bentuk barang dalam

hal ini hewan peliharaan, peneliti merujuk pada Undang – Undang No.13 Tahun

2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30 yang menyatakan bahwa upah

adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai

imbalan dari pengusaha / pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan

dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

pemerintah. Artinya, dalam sebuah pekerjaan upah yang diterima adalah

berbentuk uang. Namun dalam undang – undang yang sama pada pasal 1 ayat 3

menyatakan bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima

upah / imbalan dalam bentuk lain. Meski tidak adanya lanjutan pembahasan

mengenai pasal ini terkait bentuk lain yang diterima, peneliti menganggap bahwa

bentuk lain tersebut bisa berupa barang tergantung dari kesepakatan/perjanjian

kerja yang merujuk pada pasal 1 ayat 30 di atas.

Lebih lanjut, Khoiriyah (2009:23) dalam tulisannya menyatakan bahwa

upah merupakan alat untuk mengikat serta membentuk semangat pekerja untuk

bekerja. Selain itu, tingkat besar kecilnya upah yang diberikan ditentukan oleh

beberapa factor diantaranya ketersediaan tenaga kerja, persaingan tenaga kerja,

potensi tenaga kerja, serta kemampuan untuk membayar tenaga kerja.

Berdasarkan faktor tersebut, jika dikaitkan dengan scene di atas bapak A.Rahman

sebagai pemilik kuda tentu sadar akan terbatasnya joki terampil, banyaknya

persaingan mendapatkan joki, serta kemampuan untuk membayar lebih atas

kelebihan yang dimiliki joki. Sehingga, bapak A. Rahman memberikan ayah

Syaiful seekor kerbau sebagai bayaran menjadi joki kuda pacunya. Beliau

memberikan imbalan seekor kerbau tentu dengan alasan, yakni agar Syaiful

Page 48: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

37

mengutamakan menunggang kuda miliknya di arena pacuan serta dengan fokus

berlatih menggunakan kuda milik beliau hingga beliau mengangkat Syaiful

sebagai anak agar bisa selalu berlatih dengan kuda pacu miliknya. Selain faktor

eksternal tersebut, faktor internal juga perlu diperhatikan dalam hal ini, yakni

perasaan dalam hati yang dimiliki seseorang. Karena menurut Bapak Ahmad

Lamo pada dasarnya masyarakat Sumbawa memiliki sifat Lenge Rasa yang tinggi

(Tidak Enak Hati/ Berperasaan tinggi) (wawancara personal, 01 Februari 2018).

Sifat lenge rasa inilah yang dipegang teguh khususnya masyarakat Sumbawa agar

tidak terjadi pembicaraan yang tidak enak dibelakang.

Mengingat dalam tradisi pacuan kuda, seorang joki bisa menjadi joki

untuk kuda siapa saja. Bahkan dari satu hari pacuan kuda, seorang anak bisa

menjadi joki untuk beberapa kuda tanpa harus berlatih terlebih dahulu dengan

kuda tersebut. Karena yang terpenting adalah adanya bayaran dari pemilik kuda

yang dihitung perputaran pacuan kuda baik menang ataupun kalah. Jika kuda telah

berhasil menjadi juara, maka akan ada bonus tambahan dari pemilik kuda untuk

joki.

Gambar 3.3 scene pak Masuarang

Page 49: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

38

Seperti pengakuan bapak Masuarang sebagai pemilik kuda pacu dalam

sebuah wawancara dalam film. Denotasi dari gambar menujukkan bahwa bapak

Masuarang sedang duduk dengan berlatar api unggun yang menandakan beliau

sedang berada di lokasi pacuan kuda pada saat malam hari. Beliau menuturkan

dalam wawancaranya bahwa saat kuda menjadi juara kelas/juara umum, joki akan

diberi uang sebesar Rp. 200.000 juga sarung 2 lembar. Sebelumnya, pak

Masuarang menyatakan bahwa joki buat kita rugi, tidak ada keuntungan dalam

mengikuti pacuan kuda. Hanya dapat nama saja dan kegembiraan hati.

Konotasi dari scene tersebut yakni dengan menjadi joki yang terlatih, akan

mampu menambah penghasilan keluarga. Bayaran untuk menjadi joki yang

berkisar Rp. 20.000 – Rp. 50.000 per putaran pacuan kuda, jika dikalikan dengan

jumlah menunggang dan belum lagi bonus yang diterima joki pada saat telah

menjadi juara kelas atau juara umum. Tentu itu bukan nominal yang sedikit bagi

anak – anak, sehingga dari penghasilan tersebut anak – anak bisa membantu

meringankan pengeluaran orang tua untuk keperluannya pribadi.

Nominal pemberian hadiah bonus yang diberikan oleh pemilik kuda tidak

menentu. Tergantung dari keikhlasan pemilik kuda sendiri. Seperti yang

diungkapkan pak Masuarang dalam wawancaranya bahwa Joki membuatnya rugi

karena harus membayar. Ini adalah suatu bentuk Lenge Rasa yang dimiliki

masyarakat Sumbawa. Meski merasa dirugikan, beliau tetap membayar joki

berdasarkan kesepakatan umum yang berlaku.

Berdasarkan ketiga scene tersebut, dapat memberi pemahaman adanya

mitos yang berkembang dalam masyarakat tentang joki bahwa anak laki – laki

Page 50: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

39

sejak kecil sudah harus sadar akan fungsinya kelak sebagai pencari nafkah bagi

keluarganya yakni istri dan anak sesuai dengan norma yang berlaku dalam

ideologi patriarki.

Bagaimanapun, mengikuti pacuan kuda merupakan suatu hobi dan

kebiasaan yang sudah mengurat akar di masyarakat Sumbawa. Pelestarian budaya

pun turut serta dalam kelangsungan permainan rakyat ini. Nama baik menjadi

taruhan atas kemenangan dan kekalahan kuda. Hal ini mengakibatkan pemilik

kuda harus pandai – pandai memilih joki yang terampil. Disamping menjadi

proses pengajaran untuk tanggung jawab anak kelak, orang tua menganggap anak

sebagai asset yang bernilai ekonomi sehingga mampu membantu penghasilan

keluarga meski hanya untuk keperluannya sendiri. Pada sub bab selanjutnya,

penulis akan membahas mengenai pengajaran keterampilan dan keberanian joki

sebagai anak laki – laki sehingga layak menjadi joki terampil dan berbakat

sehingga mampu membantu penghasilan keluarga seperti yang ditampilkan dalam

film joki kecil.

3.2 Anak Laki – Laki : Keberanian dan Keterampilan sebagai Joki

Pada pembahasan sebelumnya, peneliti telah menjelaskan tentang anak

laki – laki sebagai penambah penghasilan keluarga. Anak laki – laki telah

dipersiapkan orang tuanya untuk bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai

pencari nafkah dalam keluarga yang ditampilkan dalam scene – scene film joki

kecil. Namun, dalam menjadi joki diperlukan pengajaran tentang berkuda yang

benar agar memiliki keterampilan serta menumbuhkan keberanian dalam diri joki

agar tidak berakibat fatal terhadap keselamatannya.

Page 51: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

40

Gambar 3.4 Scene joki saat pacuan kuda

Seperti yang terlihat pada gambar di atas. Denotasi dari gambar tersebut

yakni anak – anak sedang menunggang kuda dengan kostum Joki yakni Helm,

Ketopong, baju dan celana panjang, baju ban (baju yang bertuliskan nomor start

joki), kaos kaki, dan owe (pecut yang terbuat dari kayu rotan untuk memukul

kuda). Gambar berlokasi di arena pacuan kuda dan pacuan kuda sedang

berlangsung.

Konotasi dari gambar tersebut yakni anak – anak sudah diajari untuk

menjadi pemberani dan terampil berkuda. Hal ini tercermin dari kostum dan

perlengkapan yang digunakan joki dalam perlombaan pacuan kuda tidak sesuai

dengan standart keselamatan pada perlombaan pacuan kuda umumnya. Menurut

Pras (2010), peralatan dasar dalam pacuan kuda terbagi dua yakni peralatan bagi

penunggang/joki, dan peralatan bagi kuda. Bagi joki, peralatan dasar yang harus

dikenakan adalah helm standar keselamatan, sepatu tunggang/boot, pelindung

dada, kacamata, dan pecut. Sementara peralatan bagi kuda untuk kenyamanan joki

adalah pelana kuda/saddle, alas pelana, sanggurdi/stirrups, tali

sanggurdi/adjustable stirrup straps, Amben/tali perut, sarung kepala dengan

Page 52: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

41

berbagai variasi, kendali besi, tali kekang, dan martingal yang dipakai sebagai

pengendali kuda.

Tanpa kostum dan perlengkapan standart yang memadai, tentunya

memperbesar resiko kecelakaan joki yang akan terjadi. Namun hal tersebut tidak

membuat joki gentar untuk melakukan pekerjaannya. Menurut moch. Amin dalam

wawancara yang dilakukan oleh Beawiharta (2012), menyatakan bahwa anak –

anak sudah belajar mengendarai kuda sejak umur lima tahun. Sehingga, secara

fisik dan mental tentunya mereka sudah terbiasa mengendarai kuda pacu dengan

kecepatan tinggi tanpa peralatan standart. Hal ini mencerminkan bahwa anak –

anak sudah diajari untuk memiliki jiwa berani dan keterampilan berkuda sejak

kecil.

Perlombaan pacuan kuda di Sumbawa pada umumnya menggunakan anak

laki – laki sebagai Joki kuda pacu. Karena berdasarkan tradisi, penunggang kuda

dalam pacuan kuda adalah anak laki – laki. Selain itu, dalam pacuan kuda ini

hanya melibatkan laki – laki sebagai pelakunya. Penggunaan anak perempuan

sebagai joki akan melanggar norma – norma yang berlaku dalam masyarakat,

bahwa anak perempuan diajari untuk mengurus anak dan kebutuhan rumah tangga

tidak seperti anak laki – laki yang akan memiliki tanggung jawab sebagai kepala

keluarga kelak dan berperan dalam lingkungan publik (Bapak A.Lamo dalam

wawancara personal 01 Februari 2018).

Untuk penggunaan kuda sendiri, menurut bapak A.Lamo selaku wakil

ketua Pordasi NTB dalam wawancaranya menyatakan bahwa berbeda dengan dulu

yang hanya menjadikan kuda jantan sebagai kuda pacu, perlombaan pacuan kuda

Page 53: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

42

saat ini telah menggunakan kuda jantan dan betina. Saat ini diakui telah adanya

bibit unggul kuda yang mampu berlari kencang dari kelas betina dibanding dulu.

Karena hanya kuda yang memiliki kondisi bagus yang dijadikan sebagai kuda

pacu (Mardinata,2016). Menurut surat keputusan menteri pertanian No.2917 tahun

2011 tentang penetapan rumpun kuda Sumbawa menyatakan bahwa kuda

Sumbawa merupakan salah satu rumpun kuda lokal Indonesia, yang mempunyai

keseragaman bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi

dengan baik pada keterbatasan lingkungan serta memiliki keunggulan sebagai

daya angkut, tarik, dan lari. Lari kuda Sumbawa sendiri bisa mencapai 600 – 800

meter/menit.

Kuda pacu Sumbawa, umumnya memiliki tubuh yang lebih kecil

dibanding kuda pacu sekelas pacuan kuda Internasional. Sehingga anak – anak

dikatakan menjadi joki yang pas untuk menunggangi kuda. Selain itu, karena

bobotnya yang ringan menjadikannya mudah untuk dibawa kuda. Namun tetap

saja, untuk menaiki kuda pacunya, anak – anak harus dibantu orang dewasa

karena ukuran tubuh mereka jauh lebih kecil dibanding kuda yang akan mereka

tunggangi.

Dalam ideologi / budaya patriarki, anak laki – laki harus memiliki sifat

maskulin diantaranya berani, kuat, dan pantang menyerah. Berdasarkan hal

tersebut, banyak hal yang dilakukan oleh orang tua maupun laki – laki yang

terlibat dalam pacuan kuda untuk menambah keberanian joki yang dimiliki,

diantaranya adalah pemberian jimat. Seperti yang terlihat pada salah satu scene

dalam film berikut ini.

Page 54: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

43

Gambar 3.5 Scene jimat joki

Denotasi dari gambar tersebut yakni adanya perkataan“Kalau sudah pakai

jimat ini, yang tidak mau naik jadi mau. Tidak berani naik kuda, jadi berani.

Tidak ada rasa sakit”. Begitu pemaparan bapak A. Rahman saat diwawancara

dalam salah satu scene film joki kecil dengan nada yang tegas sambil

memperlihatkan selembar kain berwarna hitam yang bertuliskan ayat – ayat Al –

Quran dan diyakini sebagai jimat seperti yang terlihat pada gambar.

Konotasi dari gambar yakni pemakaian jimat oleh sandro kepada joki

dimaksudkan untuk memberi keberanian terhadap joki saat berada di atas kuda.

Saat joki tidak ingin naik ke atas kuda pacu dengan adanya jimat ini akan

menjadikannya mau. Begitu pula jika joki terjatuh dari atas kuda saat kuda berlari

maka tidak akan terasa sakit.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam budaya masyarakat

masih sangat percaya dengan hal – hal mistis meski telah memasuki era modern

seperti saat ini. Percaya ataupun tidak, inilah mitos yang berkembang dan diyakini

dalam masyarakat.

Gusmian dalam Mujahidin (2016:44) menyatakan bahwa jimat merupakan

suatu benda yang diyakini memiliki kekuatan supranatural dan dipercaya oleh

Page 55: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

44

sebagian masyarakat yang berupa secarik kertas, batu mulia, lempengan besi atau

yang lainnya. Penggunaan jimat dipercayai dapat memberikan solusi terhadap

persoalan yang dihadapi, sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pemakainya

maupun pembuatannya oleh pembuat jimat. Meskipun dekat dengan unsur magis,

beberapa praktek penggunaan jimat di masyarakat menampakkan adanya

hubungan dengan keyakinan kepada agama Islam. Hal itu terlihat dalam

penggunaan ayat – ayat Al – Quran dalam benda – benda yang dianggap sebagai

jimat tersebut (Mujahidin,2016:44).

Dalam penelitiannya tentang simbol penggunaan jimat dalam kehidupan

masyarakat ponorogo, Mujahidin menjelaskan bahwa penggunaan jimat oleh

masyarakat ponorogo digunakan untuk mengusir/melindungi gangguan makhluk

halus atau Jin, jimat pagar rumah, jimat kekebalan, jimat penglaris, hingga jimat

penyubur tanah. Ayat dan Surat yang digunakan berasal dari Al – Quran

diantaranya Surat al-Fātihah, Ayat Kursi, Surat Yāsin, Surat al-Syu’arā, Surat

Thaha ayat 39, Surat al-Ikhlāsh, al-Falaq, dan an-Nas.

Demikian pula halnya dengan masyarakat Sumbawa yang mayoritas

masyarakatnya beragama Islam menggunakan ayat Al – Quran sebagai jimat.

Seperti yang terlihat pada gambar di atas. Jimat yang digunakan untuk joki adalah

selembar kain hitam yang ditulisi ayat Al – Quran. Hal ini diyakini bisa

menjauhkan joki dari gangguan ilmu hitam serta menambah keberanian joki.

Pemberian jimat bisa berasal dari orang tua joki maupun sandro dalam pacuan

kuda. Setiap kuda memiliki sandro masing – masing yang dipercayai

keberadaannya oleh pemilik kuda. Bahkan tidak jarang pemilik kuda merangkap

sebagai sandro. Setiap sandro memiliki jimat sendiri yang dianggap ampuh untuk

Page 56: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

45

menambah keberanian joki. Penggunaannya terhadap jokipun berbeda – beda, ada

yang dikalungkan dileher ada pula yang diikatkan diperut joki. Namun,

keberadaan jimat ini dengan segala mitos yang ada bersamanya tidak dibenarkan

oleh salah seorang joki yakni Maun dalam wawancaranya pada scene selanjutnya

dalam film.

Gambar 3.6 Scene wawancara maun

“Kalau saya buat apa jimat, yang penting nyaman di atas kuda. Tidak ada

gunanya. Meski kata sandro tidak akan jatuh, tetap saja jatuh”. Begitu

pemaparan Maun dalam wawancaranya. Menggunakan teknik pengambilan

gambar Close-up yakni objek digambarkan dari dada hingga keatas dengan tujuan

untuk menghasilkan informasi detail tentang objek serta bisa menunjukkan

ekspresi objek (Novitasari,2013:5). Berdasarkan gambar terlihat kesan

meremehkan. Ekspresi meremehkan terlihat dari salah satu bibir yang mengangkat

lebih tinggi (Virdhani,2015).

Dari wawancara tersebut, memiliki konotasi bahwa jimat hanya sebagai

pelengkap ritual. Ekpresi meremehkan yang ditunjukkan maun menggambarkan

bahwa keberadaan jimat memang harus, namun tidak ada gunanya.

Page 57: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

46

Kepercayaannya terhadap jimatpun tidak terlalu mendalam. Karena keberadaan

jimat baginya hanya sebagai lambang dan menjadi pelengkap. Meskipun ada, jika

memang joki lalai memegang kuda akan terjatuh juga. Yang terpenting adalah

merasa nyaman di atas kuda. Jika telah merasa nyaman, joki dan kuda bisa bekerja

sama untuk memenangkan perlombaan.

Berada di atas kuda yang berlari kencang, tidak menutup kemungkinan

akan terjadinya kecelakaan saat perlombaan. Jika saat perlombaan anak – anak

sebagai joki terjatuh dan terluka, tidak membuatnya jera dan takut untuk kembali

menunggang kuda saat sembuh. Hal ini mengungkapkan bahwa anak laki – laki

khususnya joki di Sumbawa sudah memiliki karakter dan kekebalan serta

menjadikan profesinya sebagai joki adalah suatu kesenangan (pemeri =dalam

bahasa Sumbawa). Sehingga meskipun mereka terjatuh hingga terluka parah, saat

sembuh mereka akan kembali lagi menjadi joki pada perlombaan selanjutnya. Ini

membuktikan bahwa anak laki – laki memiliki keberanian dalam diri mereka yang

sudah diajari sejak dini.

Hal magis / mistis merupakan kepercayaan turun temurun dari leluhur

yang hingga saat ini masih dilakukan dan dipercaya oleh masyarakat Sumbawa.

Tidak terkecuali dalam pacuan kuda. Segala hal yang dianggap mengganggu

jalannya perlombaan selalu dikaitkan dengan hal magis/sihir yang berasal dari tim

lawan. Meski hal magis diyakini untuk menjadikan anak laki – laki sebagai

pemberani, tetap saja dalam proses pembelajaran ada rasa takut yang dialami joki.

Baik karena faktor internal maupun eksternal diri joki sebagai anak – anak. Oleh

karena itu, tidak lengkap rasanya jika penulis hanya membahas proses

pembelajaran joki tentang keterampilan dan keberaniannya tanpa melihat sisi lain

Page 58: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

47

anak laki – laki. Maka, pada sub bab selanjutnya penulis membahas mengenai sisi

lain kepribadian anak laki – laki sebagai proses pembentukan kepribadian joki

agar mampu menjadi terampil sehingga bisa menambah penghasilan keluarga

yang juga ditampilkan dalam film.

3. 3 Anak Laki – Laki : Dibalik Keberanian sebagai Joki

Dalam budaya patriarki laki – laki biasanya disebut maskulin. Maskulin

merupakan sifat yang identik dengan kelelakian/kejantanan misalnya agresif,

dominan, pantang untuk menangis, dan sebagainya. Sifat maskulin terbentuk dari

proses sosial budaya masyarakat yang bersumber dari norma budaya patriarkhi

yang membentuk citra diri laki – laki maupun perempuan dalam masyarakat.

Pencitraan ini telah diturunkan dari generasi ke generasi melalui budaya hingga

menjadi suatu kewajiban yang harus dijalani karena dianggap sebagai faktor

bawaan dari lahir (Kurniawan dalam Annisa, 2012:13). Pengingkaran atas norma

tersebut akan dianggap sebagai ketidakwajaran dalam masyarakat terutama pada

laki – laki. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa secara kodrati laki – laki memiliki

sisi feminin dibalik maskulinitasnya baik dewasa maupun anak – anak. Seperti

dalam film joki kecil yang menampilkan anak laki – laki sebagai joki yang dikenal

sebagai sosok pemberani memiliki sifat feminin.

Gambar 3.7 Scene Joki menangis

Page 59: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

48

Seperti halnya gambar di atas yang memiliki denotasi bahwa anak laki –

laki yang berprofesi sebagai joki yang berada di atas kuda sedang menangis

karena takut berada di atas kuda pacunya. Sementara laki – laki dewasa

disampingnya dengan nada membentak mengatakan “Sudah jangan nangis.

Jangan banyak tingkah”.

Konotasinya menunjukkan bahwa anak laki – laki memiliki sifat feminin.

Menangis dalam maskulinitas yang dipegang teguh laki – laki bukan merupakan

sifat yang dimiliki laki – laki. Menangis hanya milik perempuan. Norma

maskulinitas dengan asas kelelakiannya telah mengatur bahwa anak laki – laki

pantang menangis dan harus tampak garang. Pengingkaran atas norma

maskulinitas tersebut akan mengakibatkan turunnya kadar kelelakian seseorang

laki – laki dimata masyarakat, khususnya laki – laki itu sendiri (Kurniawan dalam

Annisa, 2012:13-14). Maka dari itu, anak laki – laki sejak kecil telah diajari untuk

tidak menangis dan harus tampak garang, demi mendapat pengakuan atas diri dan

kelelakiannya. Namun, hal ini tentu menimbulkan dampak negatif bagi anak laki –

laki saat dewasa nanti. Senada dengan yang diungkapkan Kurniawan dalam

Annisa (2012:17) bahwa anak laki – laki sejak kecil tidak dididik untuk

menyelami dan mengelola sisi emosionalnya, karena hal yang berbau emosional

bukanlah milik laki – laki. Sehingga banyak diantaranya yang tidak mampu

memahami secara utuh dinamika perasaannya sendiri. Artinya, jika anak laki –

laki selalu ditekan untuk mengikuti norma kelelakian maupun norma masyarakat

maka yang terjadi adalah penonjolan atas sikap egois dan pemaksaan kehendak

laki – laki karena tidak mampu mengenali emosi dan perasaan orang lain, bahkan

perasaannya sendiri.

Page 60: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

49

Lebih lanjut, Kurniawan dalam Annisa (2012:17) menambahkan jika anak

laki – laki menangis, maka akan mendapat teguran dari orang – orang

disekitarnya. Hal inilah yang dilakukan oleh laki – laki dewasa dalam scene di

atas yakni dengan menegur anak laki – laki dan berkata “Sudah jangan nangis.

Jangan banyak tingkah”. Teguran yang dilakukan oleh laki – laki tersebut

merupakan salah satu bentuk pendisiplinan terhadap tingkah laku anak.

Bagaimanapun, menangis merupakan sifat feminin yang dimiliki perempuan.

Namun, teguran yang dilakukan dengan cara membentak seperti yang

dilakukaan laki – laki di atas dapat berdampak negatif terhadap anak – anak.

Diantaranya minder, cuek dan tidak peduli, tertutup, menjadi pemberontak, dan

menjadi pemarah. Informasi yang diterima anak pun tidak akan masuk hingga

pusat otaknya, melainkan hanya diproses dibatang otaknya saja sehingga

mengakibatkan anak sulit untuk berpikir logis. Teguran dengan cara membentak

pun tidak akan mengajarkan apa – apa terhadap anak. Justru anak akan

berkeyakinan bahwa sah – sah saja jika ia berkomunikasi dengan cara

membentak, omelan, atau kemarahan terhadap orang lain seperti perlakuan yang

diterimanya (https://bimba-aiueo.com/hindari-berkata-kasar-dan-membentak-

anak/ diunduh pada 12 Februari 2018). Selanjutnya yang terjadi pada saat anak

menghadapi masalah, solusi yang terpikirkan adalah melakukan hal yang sama

yakni membentak bahkan menghardik orang lain.

Dalam film joki kecil, sutradara menggambarkan akibat dari teguran yang

dilakukan tersebut disalah satu scenenya.

Page 61: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

50

Gambar 3.8 Scene joki takut naik kuda

Scene di atas memiliki denotasi yakni anak laki – laki sebagai joki

membelakangi laki – laki dewasa dibelakangnya sambil menangis dan ngomel. Ia

menolak untuk naik ke atas kuda pacunya karena kudanya tidak tenang dan tidak

mau masuk ke bilik start. Sementara laki – laki dibelakangnya memaksa agar ia

naik ke atas kudanya dengan berbicara dengan nada membentak. Beberapa laki –

laki lainnya dibelakang hanya berdiri dan menonton kejadian tersebut. Pada scene

adanya dialog :

Joki : Ini kudanya tidak mau masuk ke bilik, aku gak

mau …(beranjak turun dari kuda)

Laki – laki dewasa : Kenapa ? kok turun ? Hei, sini kamu ! Ayo naik !

Joki : Aku gak mau kalau kudanya tidak tenang, jangan

dimasukkan ke bilik start (Sambil menangis dengan

nada membentak)

Laki – laki dewasa : nggak mau dimasukkan bilik ? Sudah ayo naik !

Konotasi dari scene tersebut yakni bahwa anak laki – laki terpengaruh

dampak negatif dari omelan orang dewasa. Pada scene ini orang dewasa

membentak joki dan bertanya dengan nada kasar. Mengacu pada penjelasan

digambar sebelumnya,bahwa dampak negatif dari perlakuan membentak anak

Page 62: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

51

diantaranya anak akan menjadi pemberontak dan pemarah, pada scene ini

menunjukkan hal tersebut.

Pemberontakan secara umum diartikan sebagai penolakan terhadap

otoritas. Pemberontakan terjadi biasanya dkarenakan adanya sikap otoriter

seseorang yang berkuasa. Aksi pemberontakan bisa terjadi karena ketidakserasian

pemikiran akan suatu hal yang dianggap bertentangan. Pada scene di atas, joki

menolak untuk naik ke atas kuda merupakan suatu pemberontakan atas otoritas

orang dewasa terhadapnya. Joki merasa tidak tenang jika harus menaiki kuda yang

tidak tenang, sementara orang dewasa memaksanya agar naik ke atas kuda tanpa

memikirkan yang dirasakan oleh joki.

Bagaimanapun, anak adalah seorang peniru sejati, mereka akan meniru apa

saja yang dilihat dan didengarnya. Sehingga, terjadi pemberontakan oleh joki

terhadap orang dewasa yang memaksa dan membentaknya karena merasa tidak

aman jika berada di atas kuda yang tidak tenang. Dengan nada keras dan kasar

pula ia menjawab pertanyaan yang diajukan orang dewasa terhadapnya. Ini

merupakan akibat perlakuan yang diterima dari orang dewasa disekitarnya.

Aksi membentak oleh orang dewasa termasuk dalam kekerasan verbal.

Namun, dalam film joki kecil tidak hanya kekerasan verbal yang dialami oleh joki

melainkan kekerasan fisik. Terkait kekerasan fisik, sutradara menampilkannya

dalam scene berikut.

Page 63: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

52

Gambar 3.9 Scene joki dipukul

Denotasi dari scene tersebut yakni dua orang laki – laki dan seorang joki

yang menangis dan menolak dinaikkan ke atas kuda karena takut. Terlihat seorang

laki – laki yang berlaku sebagai sandro mengangkat tangan hendak memukul joki

karena tidak mau naik ke punggung kuda. Sementara beberapa laki – laki

disekelilingnya menonton kejadian tersebut. Diiringi dengan suara wawancara

dari bapak A. Rahman yang menyatakan bahwa “Kalau Syaiful mogok, saya

panggil sandro untuk ditiup ubun – ubunya. Mungkin ia dipengaruhi sihir”.

Konotasi dari scene tersebut yakni joki mengalami kekerasan fisik.

Memukul adalah salah satu bentuk kekerasan fisik. Terkadang pola asuh

pendisiplinan terhadap anak dilakukan dengan kekerasan (Annisa,2012:23).

Memukul anak dengan tangan, kayu, kulit atau logam akan terus diingat oleh anak

tersebut (Solihin,2014:130). Hal yang demikian terjadi pada joki yang dilakukan

oleh orang dewasa. Dengan dalih adanya sihir yang mempengaruhi, padahal

sebenarnya ini adalah bentuk pendisiplinan anak agar bisa melawan ketakutan

yang sedang dihadapinya.

Page 64: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

53

Namun perlakuan tersebut bisa berakibat buruk terhadap perkembangan

anak dimasa mendatang. Seperti yang diungkapkan Annisa (2012:23) bahwa anak

– anak yang pernah mendapat kekerasan, maka ia akan memiliki memori negatif,

dingin, dan menakutkan tentang kekrasan yang pernah dialaminya. Bahkan, jika

dewasa nanti ia bisa berbuat hal yang serupa terhadap anak – anak. Hal ini

menguatkan pendapat Kurniawan (2012) mengenai penguasaan laki – laki

terhadap laki – laki lain sudah terjadi sejak usia belia dan akan berlanjut hingga

dewasa nanti.

Dalam dogma maskulinitas tradisional, perilaku kekerasan laki – laki yang

bersifat negatif cenderung toleran terhadap bentuk kekerasan. Masyarakat

terkadang permisif jika laki – laki berprilaku negatif karena dianggap sebagai

suatu hal yang biasa dilakukan laki – laki. Ini sekaligus menimbulkan asumsi,

selama masih dalam koridor nilai kejantanan, maka tidak ada sesuatu yang tabu

dilakukan oleh laki – laki (Kurniawan,2012). Hal tersebut seperti yang terjadi

dalam scene, saat joki dipukuli lantaran ketakutannya menaiki kuda, laki – laki

disekelilingnya hanya menjadi penonton dan tidak berbuat apa – apa. Padahal

sangat jelas bahwa memukul adalah bentuk kekerasan terhadap anak yang diatur

dalam undang – undang. Itulah yang menjadi budaya dan kepercayaan masyarakat

setempat yang sulit untuk diubah.

Kekerasan berupa pukulan yang terjadi pada joki saat merasa takut

dikaitkan dengan sihir, sehingga yang disalahkan bukan joki melainkan adanya

sihir yang mempengaruhi dirinya. Meniup ubun – ubun dalam tradisi masyarakat

Sumbawa biasanya untuk menghilangkan rasa takut, mengembalikan kepercayaan

Page 65: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

54

diri, dan menghilangkan rasa sakit. Dalam perlombaan, hanya sandro yang

diandalkan untuk menyembuhkan segala keluhan joki di arena pacuan kuda.

Pada dasarnya, rasa takut datang begitu saja dan hanya dapat diusir jika

ada rasa aman yang menggantikan posisinya. Rasa takut dapat dihilangkan dengan

menjauhkan anak dari objek yang ditakutinya serta memperhatikannya dari jarak

jauh sambil orang dewasa member penjelasan terhadap anak agar anak merasa

aman dan kembali percaya diri (inspiredkidsmagazine.com dalam Annisa

2012:30). Hal yang berbeda terjadi pada perlakuan yang diterima oleh joki. Saat

joki merasa takut dan menangis karena kuda yang tidak tenang, orang dewasa

justru memarahi dan memaksa joki untuk menaiki kudanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menganalisa bahwa orang dewasa

dalam hal ini tidak memiliki pengetahuan secara psikologis untuk memahami

keinginan anak – anak dan solusi untuk memecahkan masalah yang sedang

dihadapi anak. Orang dewasa cenderung membudayakan pola pengasuhan anak

yang sudah terjadi secara turun temurun sesuai dengan perlakuan yang

diterimanya pada saat masih menjadi anak – anak. Menangis merupakan hal yang

secara kodrati dimiliki oleh semua manusia baik laki – laki maupun perempuan.

Memang secara perasaan, perempuan lebih sensitif dan lebih mudah menangis.

Namun, tidak dipungkiri bahwa laki – laki juga memiliki sisi sensitif yang dapat

membuatnya menangis dan tidak bisa dihilangkan hanya bisa dikendalikan. Inilah

yang menjadi bentuk pengajaran laki – laki dewasa dalam film joki kecil, yakni

anak laki – laki diajari untuk mengolah perasaan dan pemikiran mereka terutama

dalam hal menangis meski caranya yang masih belum sesuai.

Page 66: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

55

Dari ketiga scene di atas, menunjukkan bahwa maskulinitas sangat

dipegang teguh sebagai acuan dalam mendidik dan membesarkan anak laki – laki.

Meski cara yang digunakan masih terkesan belum sesuai, inilah perilaku yang

digunakan dan diyakini sebagai mitos yang berkembang dalam masyarakat.

Page 67: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

56

BAB IV

ANAK LAKI – LAKI DAN LINGKUNGAN SOSIALNYA

Pada bab sebelumnya, peneliti telah membahas mengenai representasi

anak laki – laki dalam film joki kecil. Berdasarkan penelitian, peneliti menemukan

bahwa anak laki – laki yang berprofesi sebagai joki dipersiapkan untuk menjadi

laki – laki yang sadar akan tanggung jawab, fungsi, serta karakternya kelak

sebagai laki – laki. Anak laki – laki dididik untuk bisa mencari nafkah, memiliki

keberanian tinggi, serta tidak bersifat kewanitaan. Metode dalam mendidik anak

laki – laki dalam film yang mencerminkan laki – laki Sumbawa diwujudkan

dengan perilaku tegas dan cenderung keras, bahkan tidak jarang menggunakan

kekerasan baik secara verbal maupun non verbal.

Berdasarkan analisis Roland Barthes, peneliti juga menemukan bahwa

mitos yang berkembang dalam permainan rakyat Pacuan Kuda Sumbawa yakni

adanya Patrarki, Mistisme,dan Maskulinitas. Dari ketiga mitos tersebut, dapat

ditarik satu ideologi yakni ideologi patriarki karena maskulinitas dan mistisme

pada dasarnya dipayungi oleh ideologi patriarki.

Sehingga pada bab ini peneliti akan membahas secara lebih detail

mengenai keterlibatan anak laki – laki dalam pacuan kuda Sumbawa, Jimat

sebagai simbol pembangkit keberanian terhadap joki dan kehadiran atau peran

laki – laki dewasa dalam pembentukan karakter anak laki – laki pada film Joki

kecil yang merupakan objek penelitian peneliti sehingga dalam bab ini peneliti

membagi pembahasan menjadi tiga sub bab yakni sebagai berikut :

Page 68: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

57

4.1 Anak Laki – Laki dalam Pacuan Kuda Sumbawa

Pacuan kuda Sumbawa merupakan sebuah tradisi masyarakat yang sudah

dilakukan secara turun temurun sejak jaman Kesultanan. Pacuan kuda pada saat

itu merupakan sebuah ekspresi kegembiraan masyarakat khususnya petani seusai

masa panen. Mereka berlomba mengadu lari kudanya hanya untuk kesenangan.

Jokinya pun yang merupakan seorang anak laki – laki menunggang kuda untuk

menguji keberanian mereka yang tentunya tanpa bayaran (Andari dalam

Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:30).

Peneliti melihat bahwa tradisi ini telah bergeser dan berubah makna

seiring dengan perkembangan zaman serta pola pikir masyarakat Sumbawa. Saat

ini pacuan kuda Sumbawa menjadi bagian dari pelestarian budaya yang terus

dikembangkan dan diselenggarakan sebagai sebuah perlombaan.

Penyelenggaraannya pun tidak hanya satu kali setahun yakni pada saaat musim

kemarau saja, tetapi bisa empat kali bahkan lebih apabila ada event kebudayaan

maupun sponsor yang mendukungnya seperti pemerintah daerah maupun swasta.

Terlebih lagi hadiah yang diperebutkan sangat fantastis. Jika dahulu pemenang

hanya diberi hadiah sarung seharga puluhan ribu rupiah, saat ini pemenang

memperebutkan sebuah sepeda motor yang bernilai belasan hingga puluhan juta

rupiah (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:43).

Pacuan kuda ini menjadi sangat populer dimasyarakat karena tingginya

kecintaan masyarakat terhadap kuda serta nilai jual kuda pacu yang relatif lebih

mahal dibanding kuda biasa. Selain itu, pacuan kuda juga menjadi ajang

pertaruhan nama baik pemilik kuda. Seperti yang diungkapkan oleh bapak

Page 69: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

58

Masuarang pada gambar 3.3. dalam wawancaranya, beliau mengatakan bahwa

mengikuti pacuan kuda dapat nama dan kegembiraan hati.

Tidak hanya tujuan pacuan kuda yang bergeser dalam pandangan

masyarakat, pemaknaan dan penggunaan joki pun ikut bergeser. Jika dulu anak

laki – laki menjadi joki hanya untuk menguji keberanian dan tanpa bayaran, saat

ini anak laki – laki menjadi joki sebagai sebuah profesi yang menghasilkan dan

mampu menambah penghasilan keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Maun

pada gambar 3.1 bahwa ia menjadi joki diberi bayaran yang uangnya digunakan

untuk membeli keperluan sekolah dan sebagainya.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti memandang bahwa pergeseran

budaya ini terjadi akibat sedikitnya joki yang berbakat dan terampil sementara

jumlah kuda yang ikut serta dalam lomba pacuan kuda lebih banyak. Sehingga,

para pemilik kuda harus pandai memilih dan mencari joki untuk kuda mereka.

Keterlibatan anak laki – laki sebagai joki dalam pacuan kuda tentunya menjadi

bagian terpenting dalam pelombaan selain kuda. Pasalnya, tanpa joki kuda tidak

bisa diikutsertakan dalam perlombaan atau bisa didiskualifikasi. “joki dibayar

dan membuat kesepakatan dengan pemilik kuda agar ia mau menunggang kuda

miliknya. Besar bayaran tergantung kesepakatan dari kedua belah pihak. Ada joki

yang dikhususkan hanya untuk satu kuda saja selama perlombaan dan ada pula

yang menjadi joki bergilir” kata bapak A. Lamo. Dengan demikian, joki

diperlakukan sebagai pekerja yang dibayar dan harus memenuhi tanggung

jawabnya.

Page 70: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

59

Keterlibatan anak laki – laki dalam pacuan kuda sudah tidak semata –

mata mengajarkan keberanian terhadap anak melainkan mempersiapkan anak laki

– laki dengan fungsinya kelak sebagai kepala rumah tangga yang mencari nafkah

untuk keluarganya. Senada dengan yang diungkapkan Nurjanah (2017:65) dalam

tulisannya bahwa anak laki – laki kelak saat telah dewasa akan berperan sebagai

sosok yang pantas dan berkewajiban untuk mencari nafkah di luar rumah. Namun,

pengajaran tersebut melanggar hak anak dan cenderung melakukan eksploitasi

terhadap anak. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Martaja dalam

http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-eksploitasi-anak-menurut-

para-ahli/ diunduh pada 20 Februari 2018 bahwa eksploitasi anak secara ekonomi

adalah pemanfaatan anak – anak demi mendapatkan keuntungan baik berupa uang

ataupun setara dengan uang. Dengan demikian, anak laki – laki dipekerjakan

sebagai joki dan dibayar oleh pemilik kuda yang menjadi bentuk dari tindak

eksploitasi anak. Anak – anak dibayar dengan uang maupun hewan peliharaan

dapat membantu menambah ekonomi keluarga.

Namun, jika dipandang dari segi budaya anak laki – laki yang menjadi joki

merupakan suatu bentuk pelestarian budaya dan keluarga. Dikatakan sebagai

bentuk pelestarian budaya karena sejak lama penggunaan anak laki – laki sebagai

joki disesuaikan dengan jenis kuda di Sumbawa yang cenderung kecil sehingga

dengan joki kecil kuda akan bisa berlari dengan cepat saat perlombaan. Sementara

sebagai bentuk pelestarian keluarga merupakan tradisi keluarga yang secara turun

temurun sudah bergelut dengan kuda serta kecintaan terhadap kuda dan pacuan

kuda yang semakin tinggi. Hal ini terjadi juga dipengaruhi oleh nilai anak. Saat

anak memiliki bakat untuk menjadi joki, maka orang tuanya akan menuntun dan

Page 71: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

60

mengajarinya untuk menjadi joki yang secara sadar ataupun tidak menjurus

kepada tindak eksploitasi anak.

Meski pada dasarnya perilaku tersebut merupakan salah satu cara orang

tua membentuk kepribadian anak laki – lakinya seperti yang peneliti ungkapkan

sebelumnya, secara tidak sadar para orang tua telah melanggar hak anak dan

menambah deretan kasus eksploitasi anak. Sebagaimana yang dituliskan dalam

Undang – Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 ayat 1

yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali

atau pihak lain manapun (dibawah 18 tahun) yang bertanggung jawab atas

pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi,

eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman-kekerasan-

dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Pidana atas

pelanggaran tersebut khususnya eksploitasi anak juga diatur dalam Undang

Undang dalam pasal 88 yang berbunyi setiap orang yang mengeksploitasi

ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau

denda paling banyak dua ratus juta rupiah.

Dengan adanya Undang – Undang tersebut, nampaknya belum berjalan

baik sesuai aturan yang berlaku. Faktanya, kasus pekerja anak di Indonesia tidak

mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan budaya

yang sudah mengakar dalam masyarakat tradisional dan mereka tidak mengakui

insiden tersebut (Piri,2013:35). Seperti halnya dalam pacuan kuda Sumbawa,

menjadikan anak – anak sebagai joki tidak dipandang sebagai bentuk

mempekerjakan anak yang menjadi bagian dari eksploitasi anak. Melainkan

Page 72: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

61

sebagai bentuk pengajaran terhadap fungsi anak laki – laki dalam menjadi laki –

laki saat telah berkeluarga dan sebagai bentuk pengujian atas keberanian anak laki

– laki.

Selain itu, peneliti menemukan bahwa dengan keterlibatan anak laki – laki

dalam pacuan kuda yang semakin sering diadakan bahkan pada waktu sekolah,

mengakibatkan anak – anak lebih memprioritaskan pacuan kuda dibanding

sekolahnya. Karena menjadi joki sudah dibayar dan sudah terlanjur terikat kontrak

dengan pemilik kuda sehingga tidak mungkin ditinggalkan. Padahal seharusnya,

anak – anak lebih mengutamakan pendidikan dibanding yang lainnya. Seperti

yang diungkapkan Piri (2013:28) dalam tulisannya bahwa anak – anak seharusnya

mendapatkan pendidikan yang layak guna menghadapi masa depan sebagai

seorang penerus bangsa.

Terlepas dari masalah tersebut, menjadi joki tentunya dibutuhkan

keterampilan dan keberanian yang harus ditanamkan pada jiwa anak laki – laki

agar tidak mengalami kecelakaan fatal pada saat perlombaan.

4.2 Sandro : Keberanian Semu Anak Laki – Laki

Menjadi joki tentunya memiliki resiko cedera yang sangat besar. Berada di

atas kuda yang berlari kencang tanpa perlengkapan keselamatan yang memadai

menambah besar resiko kecelakaan yang akan terjadi. Berdasarkan hal tersebut,

diperlukan keberanian dan keterampilan yang sangat besar pula yang harus

dimiliki joki. Film joki kecil menggambarkan ketangkasan dan keberanian joki

dalam menunggang kuda pacu. Ini merupakan salah satu metode pengajaran orang

tua terhadap pembentukan keberanian anak laki – lakinya. Namun dibalik itu, ada

Page 73: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

62

hal magis yang dipercaya secara turun temurun untuk mempermudah hal tersebut

yakni dengan melibatkan sandro / dukun.

Sandro dalam pacuan kuda sangat penting keberadaannya dalam segala hal

baik dari sisi medis maupun dari sisi magis. Dari sisi medis, sandro dianggap

sebagai pengganti dokter yang diyakini bisa menyembuhkan segala keluhan joki

saat terjatuh dari kuda dan terluka dengan menggunakan ramuan tradisional

maupun air doa. Sedangkan dari sisi magis, sandro dianggap sebagai pelindung

kuda dan joki dari gangguan ilmu hitam yang datang dari pihak lawan selama

perlombaan. Segala hal yang dialami joki dan kuda mulai dari kuda yang

mengamuk dan tidak mau masuk kebilik start, joki yang menolak naik ke atas

kuda, hingga kecelakaan yang dialami joki saat perlombaanpun dianggap sebagai

gannguan dari ilmu hitam. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian, peneliti

menemukan dua media yang digunakan sandro dalam menangkal ilmu hitam dari

pihak lawan yakni dengan menggunakan mantra/jampi – jampi dan jimat.

Merujuk pada tulisan Hariansyah (2017:18-19), Mantra merupakan

sesuatu yang dibacakan oleh dukun/orang pintar. Dalam masyarakat Indonesia,

mantra dikenal sebagai lapalan dengan maksud tertentu baik maksud baik maupun

maksud buruk yang pasti, mantra diyakini memiliki kekuatan magis yang sangat

kuat. Setiap daerah di Indonesia pada umumnya memiliki mantra. Biasanya

menggunakan bahasa daerah masing – masing, bahasa arab karena pengaruh

Islam, bahasa sanskerta karena pengaruh hindu-budha,maupun bahasa Indonesia.

Dalam perkembangannya terjadi peleburan antara mantra dengan unsur Islam dan

tradisi masyarakat setempat dimana mantra itu berada.

Page 74: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

63

Di Sumbawa khususnya dalam pacuan kuda seperti yang terlihat dalam

beberapa scene dalam film, sandro meniup ubun – ubun joki sebelum menaiki

kuda pacu saat perlombaan serta pada saat joki terluka dengan melapalkan mantra.

Pelapalan mantra yang dibarengi dengan meniup ubun – ubun joki diyakini agar

joki tidak takut dan tidak gentar saat berada di atas kuda saat kuda berlari serta

menghilangkan trauma atau rasa sakit yang dimiliki joki saat terjatuh maupun

terluka. Hal ini diperkuat oleh bapak A.Lamo dalam wawancara personal peneliti

pada 01 Februari 2018, beliau mengatakan bahwa meniup ubun – ubun joki oleh

sandro agar joki tidak menyerah sebelum berperang (uda api =dalam bahasa

Sumbawa) sehingga joki tetap berani dan percaya diri saat berada di atas kuda.

Selain mantra, untuk meningkatkan keberanian joki dalam perlombaan

juga menggunakan jimat. Jimat pada umumnya menggunakan teks dari ayat Al –

Qur’an yang menjadi tradisi dan berkembang tergantung kepada pemaknaan

pemakainya (Hariansyah,2017:22). Seperti pada gambar 3.5 yakni bapak angkat

Syaiful yang memperlihatkan selembar kain hitam bertuliskan huruf arab gundul

yang diyakini sebagai jimat yang apabila joki takut akan menjadi berani, apabila

dipakai joki tidak akan jatuh, apabila jatuh tidak akan sakit, dan apabila joki tidak

mau naik ke atas kuda dengan adanya jimat tersebut akan naik. Jimat yang

biasanya digunakan dalam pacuan kuda Sumbawa adalah jimat Mentia Tokek

yakni agar tubuh joki lengket seperti tokek di atas punggung kuda dan jimat

Mentia Kapas yang dipercaya bisa meringankankan badan joki saat berada di atas

punggung kuda seperti kapas sehingga kuda berlari seperti tidak membawa beban

(Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:34).

Page 75: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

64

Pembuatan dan penggunaan jimat menggunakan ayat Al – Qur’an dan

sejumlah bacaan lain diyakini berasal dari ajaran Islam sudah berlangsung secara

turun temurun. Di antaranya menjadikan potongan – potongan ayat, satu ayat,

ataupun beberapa ayat tertentu dikutip dan dijadikan sebagai sarana untuk

menjadikan ayat Al – Qur’an sebagai hal magis yang dibuat dengan beragam

tujuan tertentu. Potongan ayat tertentu dari Al – Qur’an dijadikan sebagai “jimat”

yang dibawa kemana saja oleh orang yang meyakini jimat tersebut sebagai perisai

diri, tolak balak atau menangkis serangan musuh dan unsur jahat lainnya. Di titik

ini, ayat Al – Qur’an telah bertransformasi menjadi “ilmu“ yang diyakini memiliki

kekuatan gaib. Melalui mantra atau jimat sejumlah orang yang meyakini kekuatan

ilmu gaib yang terdapat “di dalam” mantra dan jimat merasa yakin akan kekuatan

gaib yang ada untuk dapat memberikan bantuan hingga memuluskan atau meraih

semua keinginannya (Mulyadi,2017:66).

Dalam keberlangsungan kerja jimat dan mantra tentunya diperlukan

adanya keyakinan kuat dari dalam diri penggunanya. Karena jika tidak, maka

mantra ataupun jimat bisa saja tidak bekerja sesuai dengan tujuan pembuatannya.

Dari perspektif psikologis, adanya mantra dan jimat memungkinkan seseorang

memasuki kondisi rileks yang membantu pembuatnya untuk melakukan

visualisasi untuk kemudian memasuki alam bawah sadar untuk menciptakan

sugesti diri (Gent dalam Hariansyah,2017:19). Seperti yang terjadi pada Maun

dalam ungkapan wawancaranya pada gambar 3.6 yang mengatakan bahwa

pemakaian jimat untuk dirinya hanya sebagai lambing dan tidak ada gunanya. Jika

dibilang tidak akan jatuh, tetap jatuh. Saat jatuh tidak akan sakit, tapi pada

kenyataanya jatuh dari kuda yang berlari kencang di arena perlombaan tentu sakit.

Page 76: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

65

Bahkan pada saat merasa takut, dengan adanya jimat akan berani. Padahal jika

kuda sedang tidak tenang, tentu joki sebagai anak – anak akan merasa takut untuk

menaiki kuda terutama di bilik start. Bilik start merupakan salah satu tempat yang

beresiko untuk terjadi kecelakaan. Pipa – pipa besi yang menjadi sekat sempit

bilik start membuat kuda yang bersiap merasa tidak nyaman yangakhirnya

membuat kuda melompat tidak terkendali dan enggan memasuki bilik start

(http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki diunduh

pada 14 Januari 2018). Sehingga wajar jika anak – anak yang berperan sebagai

joki merasa was – was saat berada di bilik start karena takut kaki mereka terjepit,

atau kepala terkena papan start saat kuda tidak terkendali.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa mantra dan

jimat hanya sebagai pelengkap yang digunakan untuk memasuki alam bawah

sadar anak laki – laki agar mempercayai keberadaan jimat dan mantra sebagai

pembantu dalam menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam

perlombaan termasuk untuk menghilangkan rasa takut dan meningkatkan

keberanian. Padahal pada dasarnya, keberanian dan ketakutan yang dimiliki joki

datang dari dirinya sendiri yang terbentuk berdasarkan lingkungan sosialnya.

Kehadiran sandro dalam pacuan kuda dengan segala keampuhannya hanya

menjadi mitos yang berkembang dan dipercaya secara turun temurun oleh

masyarakat Sumbawa. Sehingga pada akhirnya mengurat akar dan lebih

mempercayai hal – hal mistis dalam mengonstruksi keberanian anak laki – laki

sebagai joki. Dalam hal ini, ideologi / budaya patriarki juga berlaku dimasyarakat

karena pelaku yang terlibat pacuan kuda dan hal mistis sandro pada umumnya

didominasi oleh laki – laki baik laki – laki dewasa maupun anak laki – laki.

Page 77: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

66

Berdasarkan budaya patriarki, anak laki – laki akan belajar dari laki – laki juga.

Maka dari itu, pada sub bab selanjutnya peneliti membahas bagaimana proses

anak laki – laki berkaca dari tingkah laku laki – laki dewasa yang akan

membentuk karakternya dimasa yang akan datang.

4.3 Anak Laki – Laki sebagai Transisi Menjadi Orang Dewasa

Orang tua dianggap sebagai orang yang telah memahami dan paham

tentang bagaimana menjalani kehidupan. Sementara anak – anak adalah orang

yang baru belajar tentang kehidupan. Anak akan melihat kehidupan sebagaimana

yang diajarkan oleh orang tua mereka melalui hubungan mereka dengan orang tua

baik hubungan yang menyenangkan ataupun tidak. Orang tua menjadi model bagi

anak – anak mengenai berbagai cara dalam menghadapi kehidupan (Youniss dan

Smollar dalam Andayani dan Maharani, 2003:27). Anak perempuan maupun laki

– laki memiliki cara yang berbeda dalam mendidiknya. Anak perempuan akan

cenderung mengikuti aktifitas ibunya, sementara anak laki – laki akan

diikutsertakan dalam aktifitas ayahnya.

Demikian halnya dengan yang tergambar dalam film joki kecil.

Keterlibatan anak laki – laki dalam pacuan kuda tentu tidak terlepas dari pengaruh

orang tua khususnya ayah yang menjadikannya joki sebagai bagian dari cara

mendidik anak laki – lakinya. Anak laki – laki sebagai joki saat berada di atas

kuda terkesan sebagai sosok yang kuat, berani, dan tangguh. Namun dibalik hal

yang nampak tersebut, joki banyak mengalami proses yang tidak mudah dilalui

untuk anak seusianya.

Page 78: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

67

Dalam film, kekerasan verbal dan non verbal dialami joki yang dianggap

orang tua sebagai cara mendidik anak laki – lakinya. Dalam hal ini, peneliti

menemukan bahwa orang tua masih belum memahami tata cara mendidik anak

yang seharusnya. Terutama anak yang menjadi joki yang sehari – harinya

berhubungan dengan banyak laki – laki dewasa tidak hanya ayahnya sendiri.

Seperti yang dijelaskan Roucek dan Waren dalam Dhohiri,dkk dikutip Putri (Nd)

yang menyatakan bahwa faktor sosiologis atau lingkungan merupakan faktor

pembentukan kepribadian seseorang. Faktor tersebut akan membentuk

kepribadian seseorang sesuai dengan perilaku atau kepribadian kelompok atau

lingkungan masyarakatnya.

Diperkuat dengan tulisan Satria (2017:28) dalam tulisannya yang

menyatakan bahwa individu yang mendapatkan perilaku kekerasan pada masa

kecil akan menjadikannya sebagai individu yang agresif, sehingga saat dewasa

individu tersebut akan melakukan kembali pengalaman dimasa kecilnya kepada

anak – anaknya. Menurut bapak A.Lamo dalam wawancaranya beliau

mengungkapkan bahwa karakter laki – laki Sumbawa memang keras dan tegas.

Sehingga perlakuan keras dan kasar yang dialami joki sudah merupakan cara

mereka mendidik anak laki – lakinya. Sementara untuk mendidik anak

perempuan, karakter mereka akan mengikuti bagaimana anak perempuan berlaku

seharusnya. Pembagian perlakuan ini diakibatkan oleh sistem patriarki yakni

sistem sosial yang menempatkan laki – laki sebagai sosok otoritas utama dan lebih

mengistimewakan laki – laki. Terdapat perbedaan antara laki – laki dan

perempuan yang dilandasi oleh nilai – nilai budaya masyarakat (Khusyairi dalam

Nurjanah, 2017:20).

Page 79: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

68

Perlakuan semacam ini bisa dibilang sebagai perlakuan lingkaran setan

yang akan terus berputar seperti itu secara turun temurun. Seperti yang telah

peneliti paparkan pada gambar 3.7, 3.8, dan 3.9. Laki – laki sebagai sosok otoritas

utama akan melakukan apa yang dianggapnya benar berdasarkan pengalaman

yang pernah dilaluinya. Termasuk kekerasan verbal maupun non verbal yang

diaplikasikannya kepada anak laki – laki yang menjadi joki.

Dunia anak adalah dunia bermain dan sekolah yang diarahkan pada

peningkatan dan akselerasi perkembangan jiwa, fisik, mental, moral , dan

sosialnya (Piri,2013:38). Perlakuan dalam mengarahkan anak sangat penting agar

dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak akan sesuai dengan yang

diinginkan orang tuanya. Anak laki – laki akan bercermin dari ayahnya maupun

laki – laki dilingkungan sosialnya, begitu pula sebaliknya. Seperti yang dikatakan

Putri dan Santoso (2012:24) bahwa anak ibarat kanvas putih polos yang siap di

sapu dan diberi warna beraneka ragam sehingga cara mendidik dan membesarkan

anak sangat penting. Ibarat kanvas yang diberi warna, maka apa yang tergambar

itulah yang akan terbaca.

Page 80: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

69

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis tentang representasi anak laki – laki dalam film

joki kecil karya Yuli Andari dan Anton Susilo, peneliti menemukan bahwa dalam

budaya Sumbawa anak laki – laki dididik dan dibesarkan dengan pola yang sama

secara turun temurun sesuai dengan lingkungan sosialnya bagaimana orang –

orang dewasa sebelumnya diperlakukan. Anak laki – laki menjadi joki bisa saja

karena ayahnya dulu pernah menjadi joki ataupun sebagai pemelihara kuda.

Kecintaan mereka terhadap pacuan kuda semakin melestarikan budaya

penggunaan anak laki – laki sebagai joki. Meski tidak semua anak laki – laki bisa

menjadi joki, bakat menjadi joki sudah diwariskan secara turun temurun.

Sehingga, anak laki – laki yang menjadi joki merupakan suatu bentuk didikan

orang tua terhadap anak laki – lakinya dalam membentuk norma kelelakiannya

sesuai dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat.

Anak laki – laki secara tidak langsung dipersiapkan untuk menjadi laki –

laki yang bisa bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai kepala keluarga

yang mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Karena penggunaan joki saat ini

sudah tidak lagi hanya sekedar uji keberanian anak laki – laki dalam menunggang

kuda melainkan telah bergeser menjadi sebuah profesi yang dibayar oleh pemilik

kuda. Bayaran yang diterima joki pun memang tidak seberapa hanya sekitar dua

puluh ribu hingga lima puluh ribu rupiah saja. Nominal ini bisa berlipat ganda

apabila joki bisa membawa kuda yang ditungganginya menjadi juara kelas

Page 81: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

70

ataupun juara harapan. Tidak hanya berbentuk uang, hewan peliharaan seperti

kerbau dan sapi pun bisa diberikan kepada joki oleh pemilik kuda tergantung

kesepakatan antara pemilik kuda dan orang tua joki sebelum perlombaan.

Selain itu, dalam perjalanannya menjadi joki, anak laki – laki tidak serta

merta mendapatkan gelar sebagai joki hebat, terampil, dan berani. Tetapi harus

melalui proses panjang yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Perlakuan kasar hingga berujung pada kekerasan baik verbal maupun non verbal.

Hal ini dilakukan semata – mata untuk membentuk kepribadian anak laki – laki

sebegaimana norma kelelakian yang berlaku dalam masyarakat. Keberanian anak

laki – laki dalam pacuan kuda pun terkadang sering dikaitkan dengan kehadiran

sandro yang bersinggungan dengan hal magis berupa mantra dan jimat. Secara

tidak langsung, kehadiran sandro dalam pacuan kuda seakan menghilangkan rasa

keberanian yang ada dalam diri anak laki – laki itu sendiri. Sehingga tidak jarang

anak laki – laki yang menjadi joki hebat karena memiliki sandro yang hebat pula.

Pada faktanya, penggunaan mantra maupun jimat yang diberikan oleh sandro

hanya sebagai pelengkap yang tidak merubah apapun. Jika joki lalai dalam

menunggang kuda maka resiko kecelakaan akan dialaminya. Perlakuan –

perlakuan tersebut secara tidak sadar mengakibatkan pelanggaran terhadap hak

anak dan eksploitasi anak.

Pacuan kuda merupakan salah satu bentuk perwujudan norma maskulinitas

dalam budaya patriarki yang selama ini telah menjadi acuan laki – laki dalam

berperilaku secara sosial dimasyarakat. Karena pada dasarnya, orang – orang yang

terlibat dalam pacuan kuda Sumbawa adalah laki – laki baik dewasa maupun anak

laki – laki. Selain itu, pacuan kuda merupakan suatu pelestarian budaya dan joki

Page 82: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

71

anak adalah tradisi mengakibatkan tidak adanya penanggulangan serius baik dari

pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Sehingga kedepannya dengan adanya

film joki kecil ini diharapkan adanya perlombaan pacuan kuda yang ramah anak

yang selalu memperhatikan kondisi anak baik dari sisi psikologis dan

keberlangsungan hak – hak anak yang wajib diperolehnya.

5.2 Saran

Penelitian ini menganalisis tentang representasi anak laki – laki dalam film

joki kecil karya Yuli Andari dan Anton Sussilo. Penelitian ini hanya berfokus

pada bagaimana anak laki – laki ditampilkan dalam scene – scene film sebagai

joki dididik untuk menjadi laki – laki sesuai dengan budaya dalam masyarakat

Sumbawa dengan mengaitkan sedikit mengenai eksploitasi anak dan kehadiran

sandro dalam pacuan kuda Sumbawa. Topik ini mungkin bisa menjadi hal yang

menarik untuk diteliti lebih mendalam pada penelitian selanjutnya. Namun karena

penelitian ini berbicara mengenai kebudayaan lokal Sumbawa, literatur dalam

bentuk tulisan masih sangat minim diperoleh. Sehingga, peneliti harus bertumpu

pada wawancara ahli dalam masyarakat yang berkompeten dibidangnya untuk

memperkuat hasil penelitian.

Page 83: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

72

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Afrizal.2015.Metode Penelitian Kualitatif : Sebuah Upaya Mendukung

Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta :

Rajawali Pers

Andayani, Budi dan Orthorita Putri Maharani. 2003. Hubungan Antara Dukungan

Sosial Ayah dengan Penyesuaian Sosial pada Remaja Laki – Laki. Jurnal

Psikologi No.1 Hal. 23-35

Annisa, Ratu. 2014. Representasi Nilai Kesetiaan Anak kepada Orang Tua dalam

Film Animasi Spirited Away (Analisis Semiotika Terhadap Film Animasi

Spirited Away Karya Miyazaki Hayao). Jurnal Skripsi. Program Studi Ilmu

Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Annisa, Rifka. 2012. Penydaran Gender untuk Laki – Laki. Modul Kegiatan

Diskusi 2 Jam untuk Komunitas. Yogyakarta : Oxfom

Aryanto, Imam Karyadi. 2013. Jesus di Holliwood. Cetakan kelima. Yogyakarta :

Kanisius

Arzak, Miftahul. 2015. Wacana Pendidikan bagi Anak di Tabloid “Koran Anak”.

Tesis. Program Studi Kajian Budaya dan Media, Fakultas Sekolah

Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta : Jalasutra

Devi, Galuh Y. 2017. Representasi Perempuan Sumbawa dalam Film Fiksi Lokal

Sumbawa (Analisis Film Menya(m)bung Nasib di Negeri Orang). Skripsi.

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas

Teknoloi Sumbawa.

Page 84: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

73

Erliana, Ilmiyati, Andari.2014. Joki Kecil Berhak Belajar : Pesan Dari Sekolah

Pinggir Arena. Yogyakarta : CV.Arti Bumi Intaran

Effendy, Onong Uchjana.2007. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Cetakan

ketiga. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Halim, Syaiful. 2017. Semiotika Dokumenter: membongkar Dekonstruksi Mitos

dalam Media Dokumenter. Yogyakarta : Deepublish

Hariansyah. 2017. Mantra Pesisir (Pertemuan Tradisi dan “Ilmu” Masyarakat

Islam Pesisir). Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam At-Turats Vol. 11 No. 1

(2017) Hal. 16-30

Imanda, Tito. 2004. Si Unyil Anak Indonesia. Jurnal. New York University

Iswari, Diyah A. 2011. Representasi Kekeraasan Anak di Media (Studi Semiotika

Kekerasan pada Anak yang Direpresentasikan dalam Film Slumdog

Millionaire). Skripsi. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Khoiriyah, Lilik. 2009. Pengaruh Upah dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja

Karyawan pada CV. Aji Bali Jaya Wijaya Surakarta. Skripsi. Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Maluda, Vetriani. 2014. Representasi Kekerasan Pada Anak (Analisis Semiotik

dalam Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” Karya Deddy Mizwar). Jurnal

Vol.2 No.1. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Mulawarman.

Mujahidin, Anwar. 2016. Analisis Simbolik Penggunaan Ayat – Ayat Al – Qur’an

sebagai Jimat dalam Kehidupn Masyarakat Ponorogo. Jurnal Vol.10 Nomor

1 Juni 2016 Hal. 43-64

Mulyadi, Yadi. 2017. Al – Qur’an dan Jimat (Studi Living Qur’an pada

Masyarakat Adat Wewengkon Lebak Banten. Tesis. Prodi Konsentrasi

Page 85: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

74

Tafsir, Program Magister Fakultas Ushuluddin, Universitas Isslam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Novitasari, Ari. 2013. Analisis Semiotik Representasi Anak – Anak dalam Film

Denias Senandung di Atas Awan dan Laskar Pelangi. Jurnal Vol.1.

Universitas Airlangga.

Nurjanah, Ade. 2017. Analisis Hukum Tentang Kedudukan Anak Laki – Laki

dalam Hukum Keluarga di Masyarakat Adat Sunda (Studi Kasus di

Kelurahan Pajar Bulan Way Tenong Lampung Barat). Skripsi. Fakultas

Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Permatasari, Neneng A. 2017. Representasi Anak dalam Film Perang (Analisis

Semiotika pada Film Life Is Beautiful dan The Boy in The Stripped

Pajamas). Jurnal Vol. 1 No.1. Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam

Bandung.

Piri, Megalia Tifani. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Eksploitasi

Anak (Kajian Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002). Lex

Administratum Vol.1 No. 2 April-Juni 2013 hal. 25-41

Poedjianto, Sylvia A. 2014. Representasi Maskulinitas Laki – Laki Infertil dalam

Film Test Pack Karya Ninit Yunita. Tesis. Program Magister Media dan

Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga.

Putri, Ajeng Gayatri Octorani. Nd. Eksploitasi Pekerja Anak dibawah Umur

Sebagai Bentuk Penyimpangan Sosial (Studi Etnografi Anak – Anak

Pengumpul Koin Dermaga Pelabuhan Merak Kota Cilegon). Jurnal Sosietas

Vol. 5 No. 1

Putri, Anora Mentari dan Agus Santoso. 2012. Persepsi Orang Tua Tentang

Kekerasan Verbal pada Anak. Jurnal Vol. 1 No. 1 Hal.22-29

Rato, Daeng Lanta Mutiara. 2013. Representsi Sosok Anak – Anak Pedalaman

Papua dalam Film Denias, Senandung di Atas Awan. Summary Skripsi.

Page 86: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

75

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Diponegoro.

Satria, Muhammad. 2017. Pengaruh Kekerasan Verbal Orang Tua Terhadap

Komunikasi Verbal Anak di SMA Muhammadiyah I Palembang. Skripsi.

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN)

Raden Fatah Palembang.

Slistyarini, Chlaras. 2013. Dilema Identitas Etnis Tionghoa dalam Film Televisi

(FTV) Indonesia (Analisis Semiotik tentang Representasi Identitas Etnis

Tionghoa di Singkawang dalam FTV Bakpao Ping Ping). Naskah Publikasi.

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Informatika,

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sobur, Alex.2009. Semiotika komunikasi. Cetakan keempat. Bandung:PT. Remaja

Rosda Karya

Solihin, Lianny. 2004. Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga. Jurnal

No. 03 Th.III

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 2917 Tahun 2011 Tentang Penetapan

Rumpun Kuda Sumbawa.

Taqiyya, Hani. 2011. Analisis Semiotik Terhadap Film In The Name Of God.

Skripsi. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Tinarbuko, Sumbo.2013. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : Jalasutra

Undang – Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang – Undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman

Page 87: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

76

Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Cetakan Pertama.

Bogor : Ghalia Indonesia

Wibawa, IGAK Satria. 2010. Representasi Anak – Anak dalam Film Rindu Kami

Padamu : Menggugat Peran Bapak dalam Keluarga. Jurnal.

Sumber Internet :

BBC Indonesia. 2013. Joki Cilik di Pacuan Kuda Sumbawa.

http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki

diunduh pada 14 Januari 2018

Beawiharta. 2012. Joki Anak –Anak di Sumbawa Abaikan Bahaya Demi Uang.

https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/1552837.html

diunduh pada 10 Januari 2018

Bimbaaiueo.com. 2015. https://bimba-aiueo.com/hindari-berkata-kasar-dan-

membentak-anak/ diunduh pada 12 Februari 2018

Coffilosofia.2013. https://coffilosofia.wordpress.com/2013/02/02/sejarah-film-

dokumenter-dan-implikasinya-pada-perkembangan-film-serta-festival-

dokumenter-di-indonesia/ diunduh pada 14 November 2017

https://kbbi.web.id/keluarga.html

International Design School (IDS). 2014.

http://www.idseducation.com/articles/film-dokumenter-adalah-sebuah-

rekaman-aktualitas/ diunduh pada 10 Oktober 2017

Kurniawan, Aditya Putra. 2011. Dinamika Maskulinitas Laki – Laki (Bagian I).

http://lakilakibaru.or.id/dinamika-maskulinitas-laki-laki-bagian-i/ diunduh

pada 10 Januari 2018

Kurniawan, Aditya Putra. 2011. Dinamika Maskulinitas Laki – Laki (Bagian II).

http://lakilakibaru.or.id/dinamika-maskulinitas-laki-laki-bagian-ii/ diunduh

pada 10 Januari 2018

Mardinata, Sulung Lahitani. 2016. Cerita Unik Dibalik Kuda Liar Sumbawa.

https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/2624835/cerita-unik-

di-balik-kuda-liar-sumbawa-ternyata diunduh pada 28 Januari 2018

Page 88: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

77

Novelia. 2017. Nilai dan Potensi Anak sebagai Pekerja.

http://validnews.co/NILAI-DANPOTENSI-ANAK-SEBAGAI-PEKERJA-

Ksi diunduh pada 17 desember 2017

Pengertian Eksploitasi Anak.

http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-eksploitasi-anak-

menurut-para-ahli/ diunduh pada 21 februari 2018

Pras. 2010. Peralatan dasar Berkuda yang harus Anda Ketahui. http://forum-

sandalwood.web.id/drupal/node/131 diunduh pada 12 Januari 2018

Sanjaya, Ade. 2005. http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-film-

definisi-menurut-para.html diunduh pada 10 Oktober 2017

Sanjaya, Ade. 2005. http://www.landasanteori.com/2017/03/pengertian-budaya-

patriarki-menurut.html?m=1 diunduh pada 08 Maret 2018

Samondro, Dewanto. 2015. Melongok ke Dapur Adit & Sopo Jarwo.

https://m.antaranews.com/berita/511713/melongmok-ke-dapur-adit--sopo-

jarwo diunduh pada 13 Desember 2017

Saraswati, Dyah Paramita. 2017. Mengenal Lebih Dekat ‘Adit Sopo Jarwo’.

https://m.detik.com/hot/tv-news/d-3451474/mengenal-lebih-dekat-adit-sopo-

jarwo diunduh pada 13 Desember 2017

Tina. 2016. http://www.acehmediart.com/2016/08/sekilas-film-dokumenter-di-

indonesia.html diunduh pada 14 November 2017

Virdhani, Marieska Harya. 2015. Ketahui Isi Hati Lewat Ekspresi Wajah.

https://www/google.com/amp/s/lifestyle.okezone.com.amp/2015/01/04/196/

1087630/ketahui-isi-hati-lewat-ekspresi-wajah diunduh pada 30 Januari

2018

Page 89: REPRESENTASI ANAK LAKI LAKI DALAM FILM

78

RIWAYAT HIDUP

Dini Amaliah dilahirkan di Sumbawa, Kabupaten

Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17

Mei 1995. Anak pertama dari pasangan Bapak M. Naim dan

Ibu Hasni (Almh). Pendidikan dasar sampai mendapat gelar

sarjana ditempuh di kampung halamannya di Sumbawa.

Tamat SD tahun 2006 di SDN 14 Sumbawa, tamat SMP

tahun 2009 di SMPN 2 Sumbawa, menamatkan sekolah

menengah atas di SMAN 3 Sumbawa pada tahun 2012.

Pendidikan berikutnya ia tempuh di Universitas Teknologi Sumbawa di

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, dan

menyelsaikannya pada tahun 2018 dengan beasiswa.