representasi anak laki laki dalam film
TRANSCRIPT
REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM
“JOKI KECIL” KARYA YULI ANDARI DAN ANTON
SUSILO
“Analisis Semiotika Roland Barthes”
SKRIPSI
Oleh :
DINI AMALIAH
NIM. 13.01.051.004
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA
FEBRUARI, 2018
ii
iii
REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM
“JOKI KECIL” KARYA YULI ANDARI DAN ANTON
SUSILO
“Analisis Semiotika Roland Barthes”
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Teknologi Sumbawa
sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan
Program Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh :
Dini Amaliah
NIM. 13.01.051.004
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA
2018
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN SKRIPSI
Skripsi ini disusun oleh :
Dini Amaliah
NIM. 13.01.051.004
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Sumbawa, 27 Februari 2018
Pembimbing : Miftahul Arzak, S.Ikom., MA.
NIDN. 0805129001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Apriadi, S.IP., M.A
NIK. 198609192017091204
v
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini disusun oleh :
Dini Amaliah
NIM. 13.01.051.004
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi
Tanggal 27 Februari 2018
Susunan Dewan Penguji
Pembimbing : Miftahul Arzak, S.Ikom., MA.
NIDN. 0805129001
Penguji 1 : Deddy Suprapto, S.S., MA.
NIDN. 0807058001
Penguji 2 : Abbyzar Aggasi, S.IP., M.PA.
NIDN. 0818019001
Mengetahui, Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi
Apriadi, S.IP., MA Aka Kurnia S.F., S.Ag., M.Sn.
NIK. 198609192017091204 NIDN. 0826097501
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Dini Amaliah
NIM : 13.01.051.004
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Komunikasi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-banar
tulisan saya, kecuali kutipan atau ringkasan yang semuanya telah saya jelaskan
sumbernya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi
ini hasil plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sumbawa, 27 Februari 2018
Yang membuat pernyataan,
Dini Amaliah
vii
ABSTRAK
Amaliah, Dini.2018. Representasi Anak Laki – Laki dalam Film Dokumenter Joki
Kecil Karya Yuli Andari dan Anton Susilo (Analisis Semiotika Roland
Barthes). Skripsi. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Teknologi Sumbawa. Pembimbing : Miftahul
Arzak, S. Ikom, MA
Penelitian ini bertujuan untuk melihat representasi anak laki – laki dalam
film joki kecil. Anak laki – laki sebagai joki dalam pacuaan kuda dididik dan
dibesarkan berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat. Menjadi joki
merupakan salah satu bentuk pengajaran orang tua terhadap anak laki – lakinya
untuk mempersiapkannya bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai kepala
rumah tangga yang mencari nafkah untuk keluarganya. Selain itu, menjadi joki
diharuskan memiliki keberanian yang tinggi. Sehingga para orang tua cenderung
melibatkan Sandro untuk mengonstruksi keberanian joki. Namun, pada dasarnya
berada di atas kuda yang berlari kencang memiliki resiko kecelakaan tinggi yang
mengakibatkan munculnya ketakutan pada anak laki – laki yang secara kodrati
sudah dimilikinya. Penelitian ini menggunakan film sebagai media pengumpulan
data, dengan jenis penelitian kualitatif deskriptif yang menggunakan analisis
semiotika Roland Barthes berupa sistem pemaknaan dua tahap yakni denotasi
(makna sebenarnya dari tanda) dan konotasi yang didalamnya terdapat mitos dan
ideologi. Berdasarkan analisis Roland Barthes ditemukan bahwa terdapat dua
mitos dalam film yang menjadi acuan dalam tradisi masyarakat untuk mendidik
anak laki – laki khususnya joki yakni norma maskulinitas dan mistisme yang
dipayungi oleh ideologi patriarki. Selain itu, penggambaran anak laki – laki dalam
film joki kecil menunjukkan bahwa menjadi joki merupakan suatu proses masa
transisi dari anak – anak menjadi dewasa yang selalu mengikuti alur lingkungan
sosialnya. Dalam proses ini terjadi tumpang tindih antara pelestarian budaya dan
hak anak yang mengakibatkan terjadinya eksploitasai anak tanpa disadari dan
adanya hal mistis yang digunakan untuk mengonstruksi keberanian anak laki –
laki. Meski demikian, film joki kecil telah membuka wawasan kita bahwa dibalik
keberanian dan keterampilan yang dimiliki anak laki – laki ada proses panjang
yang tidak mudah untuk dilalui.
Kata kunci : Representasi, Semiotika, Film, Anak Laki – Laki, Pacuan Kuda
Sumbawa
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabil’alamin peneliti panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan karunia dan rahmadNya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian skripsi yang berjudul “Representasi Anak Laki – Laki
dalam Film “Joki Kecil” karya Yuli Andari dan Anton Susilo (Analisis Semiotika
Roland Barthes)” dengan baik. Penelitian skripsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Ilmu Komunikasi.
Peneliti sepenuhnya sadar bahwa selesainya penelitian skripsi ini tidak lepas dari
berbagai pihak. Untuk itu peneliti menghanturkan terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada:
1. Bapak Aka Kurnia S.F. S.Ag.,M.Sn. Selaku Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa.
2. Bapak Miftahul Arzak, S.Ikom., MA. Selaku dosen pembimbing.
3. Bapak Muammar Khadafie, M. Pd. I Selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa.
4. Bapak Deddy Suprapto, S.S., MA., dan Bapak Abbyzar Aggasi, S.IP.,
MPA selaku penguji kelayakan hasil penelitian dalam bentuk skripsi.
5. Bapak Apriadi, S.IP., MA. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.
6. Segenap dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa
atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada peneliti selama
menempuh ilmu di Universitas Teknologi Sumbawa.
7. Ibu Yuli Andari dan Bapak Anton Susilo selaku penulis skenario dan
sutradara film Joki Kecil.
8. Bapak Ahmad Lamo selaku narasumber dalam tulisan ini.
9. Yang terkasih Orang Tua, Ibu dan Bapak yang senantiasa mendoakan dan
memberi motivasi yang selalu membakar semangatku.
10. Yang tercinta Suami terhebatku, Apriadi yang selalu mendukung lewat
materil, moril, kasih sayang, doa dan motivasi.
ix
11. Saudara tersayang yang senantiasa memberi semangat dan kasih
sayangnya.
12. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu dan memberi semangat
Galuh, Ningsih, Kak Indah, Fajri, Novan.
13. Keluarga besar Universitas Teknologi Sumbawa (UTS), khususnya teman-
teman angkatan 2013.
Akhirnya, peneliti mengucapkan banyak terima kasih. Semoga segala bantuan
yang tercurah pada skripsi ini mendapatkan limpahan rahmat serta karuniaNya.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini karena
keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki peneliti. Oleh karenanya, peneliti
mengharapkan kritikan dan saran dari segala pihak demi keberlangsungan
penelitian ini kedepannya.
Sumbawa, 10 Maret 2018
Peneliti
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ……………………………. iv
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN …………………… v
PERNYATAN KEASLIAN TULISAN ………………………………... vi
ABSTRAK………………………………………………………… …... vii
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. xi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………… 6
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 6
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………... 6
1.5 Kajian Pustaka……………………………………………………….. 7
1.6 Kerangka Teori ……………………………………………………… 11
1.7 Metode Penelitian……………………………………………………. 16
1.8 Sistematika Penulisan………………………………………………… 21
BAB II FILM JOKI KECIL DAN REALITA PACUAN KUDA DI
SUMBAWA…………………………………………………………….. 23
BAB III REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM JOKI
KECIL…………………………………………………………………… 28
3.1 Anak Laki – Laki sebagai Penambah Penghasilan Keluarga………… 29
3.2 Anak Laki – Laki : Keberanian dan Keterampilan sebagai Joki…….. 39
3.3 Anak Laki – Laki : Dibalik Keberanian sebagai Joki……………….. 47
BAB IV ANAK LAKI – LAKI DAN LINGKUNGAN SOSIALNYA… 56
4.1 Anak Laki – Laki dalam Pacuan Kuda Sumbawa…………………… 57
4.2 Sandro : Keberanian Semu Anak Laki – Laki………………………. 61
4.3 Anak Laki – Laki sebagai Transisi Menjadi Orang Dewasa………… 66
BAB V PENUTUP……………………………………………………… 69
5.1 Kesimpulan………………………………………………………….. 69
5.2 Saran………………………………………………………………… 71
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 72
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Pertandaan Roland Barthes (Sumber:Fiske dalam Aryanto,
2013:70)…………………………………………………….. 19
Gambar 3.1 Scene Maun dan Tukang Becak…………………………….. 30
Gambar 3.2 Scene bapak A.Rahman, Ayah angkat Syaiful……………… 35
Gambar 3.3 scene pak Masuarang……………………………………….. 37
Gambar 3.4 Scene joki saat pacuan kuda………………………………… 40
Gambar 3.5 Scene jimat joki…………………………………………….. 43
Gambar 3.6 Scene wawancara maun……………………………………. 45
Gambar 3.7 Scene Joki menangis……………………………………….. 47
Gambar 3.8 Scene joki takut naik kuda…………………………………. 50
Gambar 3.9 Scene joki dipukul………………………………………….. 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial
dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi
dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (Undang – Undang Nomor 33
Tahun 2009 bab 1 Pasal 1 tentang Perfilman). Film adalah suatu media
komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu
realita yang terjadi dalam kehidupan sehari – hari. Film memiliki realitas yang
kuat salah satunya menceritakan tentang realitas masyarakat (Kridalaksana dalam
sanjaya,2005). Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang
kompleks yang merupakan dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang
diiringi kata-kata dan musik. Sehingga film merupakan produksi yang multi
dimensional dan kompleks. Kehadiran film di tengah kehidupan manusia saat ini
semakin penting dan setara dengan media lain.
Film dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter
dan film kartun (Effendy, 2007:210). Disini peneliti akan berfokus kepada jenis
film yang ketiga yakni film dokumenter. Menurut Halim dalam bukunya yang
berjudul semiotika dokumenter (2017 : 3-20), film dokumenter adalah sebuah
konstruksi realitas tentang suatu fenomena tertentu yang berfokus pada premis
dan pesan moral tertentu dan diproduksi dengan konsep pendekatan yang subjektif
dan kreatif dengan tujuan akhir mempengaruhi penonton. Secara sederhana, film
dokumenter merupakan film yang mendokumentasikan kenyataan. Dari sisi
2
media, pergerakan film dokumenter kian pesat. Dari sekedar gerilya dari satu
mikrosinema ke mikrosinema lain, hingga menjadi bagian dari festival film
nasional, maupun internasional. Tidak berhenti disitu, penayangan melalui media
televisi juga dilakukan sebagai bagian dari program khusus. Setidaknya, pada
masa sekarang ini media dokumenter tidak bisa hanya sekedar dianggap sebagai
ajang coba – coba para calon filmmaker kampus, tetapi keberadaannya sangat
patut diperhitungkan.
Jika kita melirik lebih jauh ke belakang, di Indonesia sendiri film
dokumenter pertama kali dibuat oleh pihak Belanda pada zaman Hindia Belanda,
yaitu untuk melayani khalayak rumah di Belanda dan juga untuk membujuk
masyarakat dalam mendukung kebijakan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945), film dokumenter adalah satu – satunya film bergenre yang
diperbolehkan oleh Jepang yang digunakan sebagai alat propaganda. Saat itu,
Jepang menutup banyak studio film milik pengusaha Belanda. Selama periode
tersebut, Nippon Eigasha, di bawah kendali Seidenbu (Departemen Propaganda
dari tentara Jepang) menghasilkan banyak film dokumenter (terutama warta
berita) dan fitur dari propaganda perang Jepang (Tina, 2016). Sedangkan menurut
Fauzan Santa dalam Tina (2016),film dokumenter di Indonesia mulai diproduksi
oleh pribumi sebelum tahun 2002 dengan menampilkan kisah reformasi 1998.
Film ini juga diikutsertakan dalam ajang festival film dunia.
Saat ini, film dokumenter sudah semakin berkembang. Jika dulu film
dokumenter dibuat hanya untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa, sekarang
ini film dokumenter telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan mulai dari
3
jurnalistik televisi, features, hingga sebagai alat advokasi terhadap kepentingan
tertentu (IDS,2014). Film dokumenter menjadi semakin digemari dengan adanya
festival – festival film di Indonesia, diantaranya Festival Film Dokumenter (FFD)
di yogyakarta sejak 2002 yang merupakan festival film pertama di Indonesia dan
di Asia Tenggara, yang khusus menangani film dokumenter. Serta Eagle Awards
oleh metrotv sejak tahun 2005 yang mengajak anak-anak muda untuk peduli dan
kritis terhadap keadaan disekitar mereka dan menjadikan mereka para sutradara
dokumenter Indonesia (Coffilosofia,2013).
Dengan adanya festival – festival film khususnya film dokumenter,
memunculkan banyaknya sineas muda yang turut berkreasi dan menunjukkan
dirinya dalam pembuatan film dokumenter di tanah air, tidak terkecuali di
Sumbawa. Jauh sebelum adanya festival film, Sumbawa telah membuat film.
Sekitar tahun 1990-an, Adi Pranajaya seorang putra asli Sumbawa berhasil
melahirkan sebuah film yang berjudul Perang Sapugara. Film ini diangkat dari
sebuah novel sejarah dengan judul yang sama dan dikarang oleh Ratsu yang
merupakan ayah kandung dari Adi Pranajaya. Film Perang Sapugara ini berkisah
tentang Sumbawa pada tahun 1906, dimana pada saat itu adalah awal Belanda
memasuki wilayah Sumbawa. Film televisi 6 episode ini mendapat pujian dari
berbagai media dalam festival Sinetron Indonesia pada tahun 1995 karena
keberanian sutradara untuk tidak menggunakan pemain terkenal, sebab masa itu
semua film selalu mengandalkan pemain terkenal (Devi,2017:7).
Tidak berhenti disitu, pada tahun 2000-an perfilman Sumbawa sudah
semakin berkembang menghadirkan sutradara – sutradara baru seiring dengan
4
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Anton Susilo dan Yuli Andari
diantaranya. Mereka adalah 2 dari banyak sineas muda Sumbawa yang telah
menunjukkan diri melalui karya – karya mereka dalam hal perfilman di tanah air.
Salah satu dari film mereka adalah film dokumenter “Joki Kecil”. Film ini
mendapat banyak apresiasi dan penghargaan dari para penonton dan pembuat film
dokumenter. Hal ini terbukti dengan sederet penghargaan atas pemenangan dalam
ajang festival dan perlombaan film dokumenter yang diraihnya.
Film dokumenter ini menceritakan tentang sebuah permainan rakyat di
Daerah Sumbawa Besar yakni Pacuan Kuda (Main Jaran=dalam bahasa
Sumbawa). Sesuatu yang membedakan dari pacuan kuda di daerah lainnya adalah
Joki alias Penunggang kuda yang masih anak – anak dengan usia berkisar 5 – 12
tahun (Erliana, Ilmiyati, Andari, 2014:60). Selain telah menjadi budaya, joki anak
dipilih karena dengan tubuhnya yang kecil serta bobot tubuh yang ringan diyakini
mampu mengimbangi kuda sehingga kuda bisa berlari kencang.
Selain itu, Pacuan kuda sendiri memiliki ritual – ritual khusus yang
melibatkan Sandro (orang pintar) mengingat pacuan kuda ini adalah sebuah
kompetisi yang mempertaruhkan nama baik agar tidak ada gangguan ilmu hitam
dari pihak lawan. Selain kuda, Joki menjadi salah satu target empuk ilmu hitam
lawan dalam menjatuhkan lawannya. Mulai dari kuda yang tidak mau masuk bilik
start, Joki yang takut karena kuda tidak jinak, sampai kecelakaan yang terjadi di
dalam arena pacuan kuda selalu dianggap sebagai pengaruh dari ilmu hitam.
Hingga terkadang para orang dewasa lupa bahwa seorang Joki hanya seorang anak
5
kecil yang masih harus diberi perhatian dan memiliki rasa takut. Bahkan tidak
jarang para joki diperlakukan tidak selayaknya.
Anak – anak tumbuh dalam ruang lingkup budaya masyarakat yang
didominasi oleh orang dewasa. Anak – anak jarang dibiarkan untuk menentukan
jalannya sendiri termasuk mengatur kebahagiaannya karena penentuan ini
berdasarkan pilihan – pilihan yang diberikan orang dewasa (Cipriani dalam Arzak,
2015:26). Anak – anak dianggap masih belum bisa secara mandiri menentukan
jalannya sendiri, sehingga masih perlu bimbingan dan pengajaran orang dewasa.
Bimbingan dan pengajaran terhadap anak – anak biasanya selalu mengikuti aturan
– aturan yang berada dimasyarakat sesuai dengan adat dan kebiasan, salah satunya
dalam film joki kecil ini.
Film ini merepresentasikan anak laki – laki dalam budaya Sumbawa yang
berprofesi sebagai joki dalam usia anak – anak. Ini merupakan suatu bentuk
pengajaran orang dewasa terhadap pembentukan karakter dan jati diri anak laki –
laki yang nantinya akan menjadi penerus sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam kehidupan berumah tangga. Peneliti memandang bahwa pengajaran yang
dilakukan oleh orang dewasa dalam film ini melanggar undang – undang tentang
hak anak karena cenderung menggunakan kekerasan. Namun disisi lain, budaya
dalam permainan tradisional harus selalu dilestarikan. Inilah hal yang menjadi
menarik untuk diteliti. Saat budaya harus dilestarikan sementara anak – anak
menjadi alat pelestarian budaya yang pelaksanaannya terkadang bertentangan
dengan undang – undang yang berlaku.
6
Film ini dipilih karena masih sedikitnya penelitian mengenai film
dokumenter khususnya yang menjadikan anak – anak dalam hal ini anak laki –
laki sebagai objek sentral dalam film. Terlebih lagi dalam film ini anak laki – laki
ditampilkan berada dalam dunia laki – laki dewasa yang demi kepentingan mereka
pribadi bisa memudarkan bahkan mematikan ingatan mereka bahwa joki adalah
seorang anak – anak yang masih harus diperlakukan selayaknya anak – anak. Oleh
karena itu, menarik untuk diteliti tentang bagaimana film tersebut
merepresentasikan anak laki – laki melalui media film dengan genre dokumenter.
Karena film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda, maka penelitian ini
akan meneliti bagaimana tanda dalam film “Joki Kecil” merepresentasikan anak
laki – laki.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana representasi anak
laki – laki dalam film dokumenter “Joki Kecil” ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi anak
laki – laki dalam film dokumenter “Joki Kecil”.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap
pengembangan ilmu komunikasi serta dapat memperkaya literatur – literatur
7
tentang kajian semiotika khususnya kajian semiotika pada film yang
menggunakan model analisis Roland Barthes.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: sebuah
pengetahuan bagi masyarakat mengenai cara untuk menyampaikan gagasan
melaui tanda tanda dalam sebuh karya visual, dan juga menjadi media informasi
tentang fenomena kontroversi yang terjadi dalam film tersebut.
1.5 Kajian Pustaka
Kajian tentang film memang bukan yang pertama dilakukan oleh penulis,
melainkan banyak penelitian – penelitian terdahulu yang telah melakukannya.
Terlebih lagi penelitian yang membahas mengenai anak – anak dan menggunakan
semiotika sebagai pisau analisisnya, baik yang berbentuk buku, jurnal, bahkan
skripsi. Sejauh penelusuran yang dilakukan, peneliti menemukan beberapa
penelitian terdahulu yang memiliki benang merah terhadap penelitian ini.
Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Andalusia Neneng Permatasari
(2017), Vetriani Maluda (2014), Ari Novitasari (2013), dan Diyah Ayu Iswari
(2011).
Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Andalusiana
Neneng Permatasari pada tahun 2017 dengan judul Representasi Anak pada Film
Perang ( Analisis Semiotika pada Film Life is Beautiful dan The Boy in the
Stripped Pajamas ). Dari kedua film tersebut terdapat kesamaan latar cerita, yakni
pada saat NAZI berkuasa di Eropa. Dengan demikian, film tersebut bercerita
8
dalam kondisi perang. Selain itu kedua film tersebut juga menceritakan mengenai
tokoh anak – anak pada usia 5 – 7 tahun yang berada pada fase pra-operasional
(memusatkan segala sesuatu pada dirinya) dalam perkembangan kognitif.
Sehingga, penelitian ini membahas tentang bagaimana film dengan latar perang
merepresentasikan anak – anak yang hidup pada masa peperangan atau di daerah
konflik. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika, penelitian
ini menghasilkan bahwa dalam kedua film tersebut anak – anak direpresentasikan
sebagai penerima hak untuk kehidupan yang lebih baik dari kondisi perang. Dari
penelitian tersebut, peneliti tidak menjelaskan mengenai analisis semiotika yang
digunakan mengacu kepada analisis yang dikembangkan oleh siapa. Peneliti
hanya menjelaskan mengenai cara analisis yang dilakukan tanpa ada penjelasan
lebih detail tentang semiotika yang digunakan.
Selanjutnya penelitian kedua berjudul “Representasi Kekerasan pada
Anak (Analisis Semiotik dalam Film Alangkah Lucunya Negeri ini Karya Deddy
Mizwar)” yang dilakukan oleh Vetriani Maluda (2014). Film tersebut
menceritakan tentang nasib anak jalanan yang dididik untuk menjadi copet oleh
bos mereka yakni bang jarot yang selalu memberikan perlakuan kasar dan tidak
adil terhadap anak – anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
interpretatif. Dengan model analisis semiotika Jhon Fiske, peneliti
merepresentasikan kekerasan yang dilakukan oleh bang jarot terhadap anak – anak
dalam film tersebut melalui tiga level yakni level realitas, level representasi dan
level ideologi. Hasilnya ditemukan bahwa banyaknya kekerasan yang dilakukan
bang jarot terhadap anak – anak didiknya. Diantaranya kekerasan fisik, emosional,
dan penelantaran anak. Dalam penelitian ini peneliti hanya memaparkan bentuk
9
kekerasan yang dilakukan. Namun tidak adanya pemaparan tentang motivasi
melakukan kekerasan serta dampak psikologis yang dihadapi anak – anak yang
mengalami kekerasan.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Ari Novitasari (2013) yang berjudul
Analaisis Semiotik Representasi Anak – Anak dalam film Denias Senandung di
Atas Awan dan Laskar Pelangi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan menggunakan analisis semiotik model Pierce dan kerangka analisis film
dari Fiske. Dalam penelitian ini, peneliti menyatakan bahwa anak – anak dalam
film tersebut sama – sama digambarkan mengalami diskriminasi dan
marjinalisasi. Dalam film Denias Senandung di Atas Awan anak – anak
mengalami diskriminasi terkait etnisitas. Sementara dalam film Laskar Pelangi
anak – anak mengalami diskriminasi terkait perbedaan kelas/ status sosial. Dengan
menggabungkan 2 model analisis yakni analisis semiotik Pierce dan Fiske,
penelitian ini menjadi lebih detail mengenai sistem tanda yang dikemukakan oleh
Pierce. Namun, dalam pembagian analisis Fiske terkait level realitas, level
representasi, dan level ideologi, peneliti menggabungkan level realitas dan level
representasi menjadi satu. Sehingga peneliti terkesan menyamakan pengertian
antara level realitas dan level representasi. Selain itu, dalam penelitiannya, peneliti
tidak menjelaskan secara lebih detail tentang analisis Fiske terkait ketiga level
analisis tersebut.
Penelitian terakhir yakni penelitian yang dilakukan oleh Diyah Ayu
Iswari (2011) dengan judul “Representasi Kekeraasan Anak di Media (Studi
Semiotika Kekerasan pada Anak yang direpresentasikan dalam Film Slumdog
10
Millionaire)”. Film ini menggambarkan tentang kekerasan yang masih terjadi
pada anak – anak gelandangan di India. Dalam penelitian ini, Iswari menggunakan
metode kualitatif deskriptif dan menganalisis simbol kekerasan pada anak – anak
gelandangan tersebut dengan menggunakan metode semiologi komunikasi yang
diperkenalkan oleh Andrik Purwasito, yaitu tafsir ditujukan untuk
menginterpretasikan pesan dalam tindak komunikasi berdasarkan kaidah
pengujian utama diantaranya : Partisipan komunikasi, konteks komunikasi, fungsi
tanda, bentuk fisik dan non fisik tanda, intertekstual tanda, intersubyektivitas
makna, dan intelektualitas penafsir. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
dalam film tersebut digambarkan adanya kekerasan fisik dan simbolik yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum, warga sipil, sesama anak gelandangan,
preman, juga saudara terhadap anak – anak gelandangan. Sama halnya dengan
penelitian sebelumnya, penelitian ini hanya menganalisis hal – hal yang disajikan
film tanpa menganalisis makna yang terjadi dibalik itu. Termasuk dampak
psikologis yang dialami anak – anak karena mendapat perlakuan tidak sewajarnya
sebagai anak – anak.
Dari penelitian – penelitian tersebut, belum ditemukan penelitian yang
membahas representasi anak laki – laki yang dalam hal ini berprofesi sebagai joki
dalam permainan rakyat Sumbawa pada film dokumenter Joki Kecil. Karena itu,
penelitian sebagaimana dimaksud oleh peneliti masih belum ada ditemukan dalam
penelitian terdahulu khususnya di kabupaten Sumbawa.
11
1.6 Kerangka Teori
1.6.1 Film Sebagai Representasi Realitas
Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya,
film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil
pengembangan prinsip – prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang
untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888
ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang
asistennya ketika sedang bersin. Lumiere bersaudara memberikan pertunjukan
film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris (Danesi,2010:132).
Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat
komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan
lisan, lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi yakni gambar bergerak yang
menceritakan tentang kehidupan. Disinilah kita menyebut film sebagai suatu
representasi realitas. Karena dibanding media lain, film memiliki kemampuan
yang lebih untuk merepresentasikan kenyataan / kejadian sehari – hari melalui
gambar bergerak.
Dalam sebuah film terdapat narasi dan struktur yang akan membangun film
tersebut. Film seperti cermin dari realitas yang sebenarnya yang berupa
representasi. Representasi yaitu bagaimana dunia dikonstruksi dan
direpresentasikan secara sosial kepada kita. Representasi dan makna kultural
memiliki materialitas tertentu yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra,
buku, majalah, dan program televisi (Barker dalam Slistyarini, 2013:2).
12
Menurut Graeme Turner makna film sebagai representasi dari realitas
masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai
refleksi dari realitas, film sekedar memindah realitas ke layar tanpa mengubah
realitas itu. Sementara, sebagai representasi realitas, film membentuk dan
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi,
dan ideologi kebudayaannya. Film dalam merepresentasikan realitas akan selalu
terpengaruh oleh lingkup sosial dan ideologi dimana film tersebut dibuat dan akan
berpengaruh terhadap kondisi masyarakatnya (Irwanto dalam Annisa, 2014:6).
Di dalam film, kehidupan manusia digambarkan kembali berdasarkan apa
yang ada dalam kenyataannya. Hal ini biasa disebut dengan hipperealitas
(kenyataan dalam kenyataan). Namun tidak semua aspek kehidupan dapat
dimasukkan dalam film, dikarenakan bisa jadi ada unsur subjektivitas dari
pembuat film dalam merepresentasikannya. Dengan demikian, audiens akan
melihat dan mengartikan objek dalam film sebagai suatu hal yang dianggap nyata
( Slistyarini,2013:137).
Film dibuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan
pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa di angkat
menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, dan rekonstruksi yang dimulai
saat menulis skenario hingga film selesai dibuat. Meski demikian, menurut Malaki
dalam Taqiyya (2010:23) realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas
sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata, yang merupakan hasil karya
seni dimana di dalamnya diwarnai dengan nilai estetis dan pesan – pesan tentang
nilai yang terkemas rapi. Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah
13
ingin menggambarkan kembali sesuatu hal yang ada pada cerita di sebuah film
(Budi dalam Taqiyya, 2010).
Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang
menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah
dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu,
bagaimana makna itu digambarkan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana
ia tampil.
Pada tingkat penanda, film adalah teks yang membuat serangkaian citra
fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan
nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas
bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam
genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggaapi orang – orang masa kini
dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat
interpretan ( Danesi,2010:134).
1.6.2 Representasi Anak – Anak dalam Film di Indonesia
Film merupakan salah satu wadah dalam menuangkan aspirasi berdasarkan
realitas, maupun imaji pembuatnya. Melalui film, pembuatnya dapat
mengekspresikan idenya melalui semua elemen yang ada dan dapat digunakan
sebagai media penyampaian pesan yang unik yang mudah menjangkau
masyarakat dalam waktu yang cepat dalam suatu area tertentu (McQuail dalam
Poedjianto, 2014:30).
Anak-anak adalah karakter yang populer dalam industri perfilman di
Indonesia. Meskipun demikian, tidak banyak naskah akademik yang secara
14
khusus membahas penggambaran anak – anak dalam film Indonesia
(Wibawa,2010). Berbicara mengenai anak – anak tentunya identik dengan yang
namanya keluarga. Menurut KBBI, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak –
anaknya. Keluarga yang sempurna tentunya menjadi dambaan setiap orang.
Dalam film Adit dan Sopo Jarwo, keluarga sempurna digambarkan oleh keluarga
Adit yakni seorang anak yang menjadi tokoh utama dalam serial animasi tersebut.
Adit tinggal bersama ayahnya yang sering lupa serta bunda yang disiplin dan
perhatian terhadap adik kecilnya yang bernama Adel (Eki dalam Samodro, 2005).
Menurut Fredy selaku Head of Creative MD Animasi dalam detik.com (Saraswati,
2017), Tokoh Adit direpresentasikan sebagai inspirator, yang memotivasi teman –
temannya dalam keseharian. Dengan demikian, tokoh Adit yang masih kecil
mampu berpikiran dewasa dan menyalurkan pikiran positif terhadap teman –
temannya juga orang – orang disekitarnya. Contohnya saja tokoh Jarwo yang
memiliki sifat berlawanan dengan Adit. Meski sudah dewasa, Jarwo selalu
memiliki prasangka negatif, dan menimbulkan masalah.
Selain keluarga sempurna seperti film Adit dan Sopo Jarwo, film dengan
penyajian anak – anak diluar struktur keluarga normal juga dirangkaikan dalam
film Rindu Kami Padamu karya Garin Nugroho. Wibawa (2010) dalam
penelitiannya tentang film Rindu Kami Padamu menyatakan bahwa dalam film ini
anak – anak direpresentasikan sebagai orang yang tidak berdaya dan hanya bisa
berharap. Problematika antara anak – anak dan orang dewasa yang harus
ditemukan solusi pemecahan masalah lantaran orang dewasa yang tidak
memahami cara berpikir anak – anak serta penekanan yang dilakukan orang
dewasa atas otoritas yang mereka miliki terhadap anak – anak yang dianggap
15
sebagai sebuah alat dan diharapkan mengikuti cara mereka berpikir. Meski film
ini menggunakan anak – anak sebagai tokoh utama dan telah mendapatkan ijin
tayang oleh Lembaga Sensor Indonesia, dibeberapa daerah film ini diklasifikasi
sebagai film dewasa yang legal ditayangkan hanya untuk orang dewasa dan
diputar pada tengah malam karena dianggap mempromosikan nilai – nilai seksual
yang tidak sesuai dengan norma – norma agama (Kompas.com dalam Wibawa,
2010).
Beberapa naskah ilmiah yang mendiskusikan representasi anak-anak dalam
perfilman di Indonesia, menyatakan bahwa karakter anak-anak dalam film
dipergunakan untuk mengurangi resiko politik yang mungkin muncul
(Wibawa,2010). Film Denias Senandung di Atas Awan merepresentasikan sosok
Denias sebagai pribadi yang nasionalis. Hal ini ditonjolkan melalui upacara
bendera, seragam merah putih, lagu Indonesia raya, dan penghormatan terhadap
wilayah Indonesia untuk mematenkan bahwa Papua menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari NKRI. Pada posisi ini, pembuat film meletakkan nasionalisme
untuk menghilangkan konflik sosial politik di Papua (Rato,2013:13). Selain itu,
anak – anak juga direpresentasikan sebagai penyalur ideologi dominan. Dalam
film Denias Senandung di Atas Awan, Rato dalam penelitiannya menyatakan
bahwa anak – anak direpresentasikan sebagai Other, yakni stereotip terhadap ras
kulit hitam. Stereotip yang digambarkan pembuat film dalam hal ini adalah orang
– orang dengan ras kulit hitam cenderung primitive, miskin, bodoh, dan suka
berkelahi.
16
Representasi anak-anak dalam film juga digunakan untuk mengkonstruksi
identitas warga negara. Dalam film Si Unyil misalnya. Karakter Unyil dibuat
sebagai teladan anak – anak dengan penampilan yang selalu menggunakan sarung
dan peci yang merupakan identitas nasional Indonesia (Imanda,2004:45). Kitley
dalam Wibawa (2010) mengatakan bahwa pemerintah Indonesia membangun
sebuah identitas idealis yang homogen mengenai anak-anak Indonesia melalui Si
Unyil. Hal ini tentu memiliki konsekuensi. Ketika Si Unyil dimaksudkan untuk
menyampaikan keberagaman budaya Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya.
Serial ini justru mengeliminasi variasi dan perbedaan dalam keanekaragaman
tersebut dengan membangun sebuah identitas tunggal.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang lebih menekankan pada aspek pemahaman
secara mendalam pada suatu permasalahan. Bersifat deskriptif, biasanya
menggunakan analisis dan lebih menonjolkan proses makna (Afrizal,2015:35).
Tujuan dari penelitian ini adalah pemahaman secara luas dan mendalam terhadap
suatu permasalahan yang sedang dikaji atau akan di kaji. Dari sumber data, data
yang dikumpulkan lebih banyak berupa huruf, kata ataupun gambar dari pada
angka. Dengan jenis penelitian ini peneliti akan menggambarkan fakta – fakta
dalam film joki kecil yang merepresentasikan joki anak lewat tanda – tanda yang
disebut Barthes yakni makna Denotasi dan Konotasi.
17
1.7.2 Teknik Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi. Observasi,
yakni melakukan pengamatan langsung terhadap data – data yang berhubungan
dengan tujuan penelitian. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berupa scene dalam film “Joki Kecil” yang
merepresentasikan anak laki – laki. Sedangkan data sekunder berupa dokumen
tertulis seperti literatur dalam surat kabar, majalah, maupun internet, serta buku –
buku yang relevan dengan penelitian.
1.7.3 Teknik Analisis Data
Untuk analisis data, peneliti memulai dengan mengklasifikasi adegan –
adegan dalam film “Joki Kecil” yang sesuai dengan rumusan masalah.
Selanjutnya data dianalisis dengan model semiotika Roland Barthes dalam
mencari makna denotasi dan konotasi masing – masing adegan.
Semiotika berasal dari bahasa yunani yakni Semeion yang berarti tanda
(Tinarbuko, 2009:11). Charles Sanders Pierce dalam Vera (2014:2)
mendefinisikan semiotika sebagai studi tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengan tanda tersebut, termasuk caranya berfungsi, hubungannya
dengan tanda lain, penerimaan, dan pengirimannya oleh mereka yang
menggunakannya. Menurut kurniawan dalam Sobur (2009:15-17), Semiotika
berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika.
Secara sederhana, Semiotika dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya
18
berusaha mencari jalan di dunia ini, berada ditengah manusia, dan bersama – sama
manusia (Sobur, 2009:15). Bidang kajian semiotika berfokus pada sistem aturan
sebuah wacana yang terdapat dalam teks media serta penekanannya dalam
membentuk sebuah makna. Yakni tentang bagaimana sistem tanda dalam teks
dipahami dan berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan
yang terkandung di dalamnya (Vera, 2014:8-9).
Dalam semiotika Roland Barthes, hampir secara harfiah diturunkan dari
teori bahasa menurut de Saussure. Namun de Saussure hanya menekankan pada
penandaan dalam tataran denotatif, sedangkan Barthes menyempurnakannya
dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Selain itu,
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai
suatu masyarakat (Vera, 2014:27).
Denotasi dalam pandangan Barthes merupakan tataran pertama yang
maknanya bersifat tertutup. Tataran denotasi menghasilkan makna yang eksplisit,
langsung, dan pasti. Denotasi merupakan pandangan yang sebenar – benarnya,
yang disepakati bersama secara sosial, yang merujuk pada realitas. Sementara
konotasi merupakan tataran kedua yang mempunyai makna terbuka atau implisit,
tidak langsung, dan tidak pasti, artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran
– penafsiran baru (Vera,2014:28).
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang
disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkap dan memberikan
pembenaran bagi nilai – nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu
19
(Budiman dalam Sobur, 2009:71). Mitos juga termasuk dalam pemaknaan tataran
kedua.
Gambar 1.1 Pertandaan Roland Barthes
Sumber : Fiske dalam Aryanto (2013:70)
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa signifikansi tahap pertama
merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang disebut denotasi, yakni
makna sebenarnya dari tanda. Menurut Sausure yang dikutip Pradopo dalam
Tinarbuko (2013:12-13), tanda merupakan kesatuan dari dua bidang yang tidak
dapat dipisahkan. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) memiliki
dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yakni penanda (signifier) dan petanda
(signified). Penanda (bentuk) terletak pada tingkat ungkapan (level of expression)
dan memiliki wujud atau bisa disebut sebagai bagian fisik misalnya huruf, kata,
gambar, warna, objek, bunyi, dan sebagainya. Petanda (konsep/makna) terletak
pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) melalui apa yang diungkapkan
pada tingkat ungkapan. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal
(benda) yang lain. Hal ini disebut sebagai referent. Misalnya lampu merah
mengacu pada berhenti. Lampu merah menjadi penanda, sedangkan berhenti
menjadi petanda.
20
Sedangkan signifikansi tahap kedua digunakan istilah konotasi, yakni
makna subjektif atau intersubjektif. Konotasi menggambarkan interaksi yang
berlangsung saat tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya, serta
nilai – nilai kulturalnya (Barthes dikutip Iriantara dan Ibrahim dalam Tinarbuko,
2013:15). Lebih dalam, gambar tersebut memberi pemahaman tambahan
mengenai bagaimana tatanan penandaan (Signification) merupakan hubungan
antara realitas, tanda, dan budaya yang menghasilkan tanda konotatif (sebagai
bentuk) dan memiliki isi berupa mitos (Aryanto, 2013:69).
Hoed dalam Halim (2017) menyatakan bahwa bila konotasi menjadi tetap,
ia akan menjadi mitos. Sementara jika mitos menjadi mantap, maka ia akan
menjadi ideologi. Banyak sekali fenomena budaya yang dimaknai dengan
konotasi. Jika fenomena tersebut menjadi mantap, maka fenomena tersebut
menjadi mitos yang kemudian menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak
dirasakan lagi oleh masyarakat sebagai hasil dari konotasi.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa makna denotasi
merupakan sebuah realitas atau makna yang paling nyata dari tanda, apa yang
digambarkan/ditampilkan tanda tehadap sebuah objek. Makna konotasi tentang
bagaimana menggambarkan objek, ia bermakna subjektif juga intersubjektif,
sehingga kehadirannya tidak disadari. Sedangkan mitos merupakan makna
terdalam dari konotasi yang jika mantap akan menjadi ideologi.
21
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri atas 5 bab yang dirancang dengan sub – sub bab
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kajian Pustaka, Kajian Teori,
dan Sistematika Penulisan.
BAB II Film Joki Kecil dan Realita Pacuan Kuda di Sumbawa
Dalam bab ini, peneliti membahas mengenai gambaran umum film
dokumenter “Joki Kecil” serta sejarah pacuan kuda di Sumbawa.
BAB III Representasi Anak Laki – Laki dalam Film Joki Kecil
Bab ini peneliti menyajikan tiga pokok pembahasan yakni anak laki – laki
sebagai penambah penghasilan keluarga, keberanian dan keterampilan anak laki –
laki sebagai joki, dan dibalik keberanian anak laki – laki sebagai joki.
BAB IV Anak Laki – Laki dan Lingkungan Sosialnya
Dalam bab ini peneliti akan membahas hasil dari analisis data pada bab
sebelumnya yakni anak laki – laki dalam pacuan kuda Sumbawa, keberanian anak
laki – laki yang dikonstruksi oleh sandro, dan anak laki – laki sebagi transisi
menjadi laki – laki.
22
BAB V Penutup
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran dari
peneliti atas permasalahan yang diteliti.
23
BAB II
FILM JOKI KECIL DAN REALITA PACUAN KUDA DI SUMBAWA
Joki kecil merupakan salah satu film dokumenter karya Anton Susilo dan
Yuli Andari pada tahun 2005. Film ini memenangkan ajang eagle award tahun
2005 kategori Film dokumenter terbaik sekaligus film favorit pemirsa yang
diselenggarakan Metro TV dan In-Docs dalam kompetisi film dokumenter untuk
pemula. Tidak hanya itu, film ini juga berhasil menyandang gelar best
documentary pada beberapa ajang festival lainnya pada tahun 2006 yakni
Indonesia Short Film Festival KONFIDEN, Jakarta Slingbort Film Festival, dan
Asian Televisi Award. Serta Best Direction Asian Competition Section Tebran
International Short Film Festival (2006) dan menjadi Official Selection di Jakarta
International Film Festival (2005).
Film ini menggambarkan mengenai salah satu permainan rakyat Sumbawa
yang sudah dijadikan tradisi untuk diperlombakan disetiap musim kemarau tiba.
Permainan ini disebut sebagai Pacuan Kuda atau Maen Jaran dalam bahasa
Sumbawa). Sejarah awal mula pacuan kuda di Sumbawa memang belum diketahui
secara pasti, namun dengan adanya beberapa foto koleksi Istana Bala Kuning
memperlihatkan bahwa dimasa kesultanan Sultan Kaharuddin III yang berkuasa
dari tahun 1931 – 1952 menandakan permainan ini telah menjadi kegemaran
masyarakat dari berbagai kalangan termasuk Sultan dan para bangsawan (Andari
dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari (2014:3).
Kuda dalam masyarakat Sumbawa dipandang sebagai harta yang sangat
berharga. Kuda diperlakukan layaknya sebagai sahabat, teman dalam perjalanan,
24
sarana transportasi, maupun pembantu setia dalam mengelola lahan. Sehingga,
umumnya masyarakat Sumbawa tidak memakan daging kuda. Dalam menjadikan
kuda sebagai kuda pacu, tentu ada kriteria – kriteria khusus dalam pemilihan kuda
yang kemudian ditandai, dikenali dan diyakini secara turun temurun. Selain itu,
pemeliharaan kuda pacu mulai dari makanan, perawatan, dan kebersihan
kandangpun ikut menjadi faktor pendukung (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan
Andari (2014:5).
Pacuan kuda di Sumbawa sudah mengurat – akar dan sangat digemari
sejak lama. Jika dulu pacuan kuda dilakukan untuk mengadu ketangkasan dan
kecepatan kuda hanya untuk hiburan setelah musim panen, saat ini pacuan kuda
dilakukan sebagai sebuah perlombaan untuk mempertaruhkan nama baik pemilik
kuda. Sehingga banyak hal yang dilakukan agar kuda yang dimiliki bisa menang
dan menjadi sebuah kebanggaan. Termasuk dengan memilih joki kuda terbaik
sesuai kriteria pemilik kuda.
Berbeda dengan lomba pacuan kuda Internasional yang notabene Jokinya
adalah orang dewasa yang memiliki serta sudah terlatih dan terbiasa dengan kuda
pacunya, di Sumbawa joki kuda pacu adalah seorang anak laki – laki dengan usia
sekitar 5 – 12 tahun yang sebagian besar baru bertemu dengan kuda pacunya saat
di arena perlombaan. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik terlebih lagi joki kuda
bukan anak – anak yang memiliki otoritas atas kepemilikan kuda pacu yang
ditungganginya, melainkan joki hanya sebatas anak – anak yang dibayar sebagai
pelengkap perlombaan karena menurut peraturan, kuda yang berlomba harus
memiliki joki.
25
Berbekal bakat menunggang kuda, tanpa harus berkenalan dengan kuda
terlebih dahulu termasuk suatu hal yang luar biasa. Karena pada dasarnya, kuda
Sumbawa yang dijadikan kuda pacu adalah kuda – kuda liar yang terlatih.
Sehingga bagaimanapun, sifat liar dari kuda tidak akan bisa dihilangkan.
Pandangan tersebut menjadikan sebagian besar masyarakat berasumsi bahwa anak
laki – laki yang menjadi joki sangat hebat, kuat, berani, dan tangguh.
Berdasarkan asumsi di atas, film yang berdurasi 19 menit 38 detik ini
menyajikan sisi lain prosesi pacuan kuda yakni dari segi kehidupan, kesenangan,
serta kepedihan yang dialami para anak laki – laki yang menjadi joki kecil. Selain
itu, film ini juga berusaha meretas mitos mengenai Joki kecil yang selama ini
dipandang hebat, berani, kuat, dan punya nyali tinggi. Karena bagaimanapun, joki
tetaplah seorang anak – anak yang punya rasa takut saat kuda tidak bersahabat,
dan rasa sakit saat terjatuh dari kuda. Hal ini terbukti dalam film joki kecil melalui
dua karakter utama joki yakni Maun dan Syaiful.
Maun merupakan seorang anak laki – laki berusia 14 tahun yang sudah
menjadi joki sejak usia 8 tahun (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari
(2014:31). Meski usianya telah melewati batas, tubuhnya yang kecil dan mungil
sehingga massih tergolong ringan menjadikan pemilik kuda masih tertarik untuk
menjadikannya joki. Maun menjadi joki karena ketertarikan dan bakat yang dilihat
oleh pamannya, sehingga maun diajari menunggang kuda secara diam – diam. Ibu
maun sangat menentang keras keinginan anak dan ayahnya yang ingin
menjadikannya joki lantaran takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saat
berada di arena. Namun, karena kemauan keras maun ingin menjadi seorang joki,
hati ibu maunpun luluh dan mengijinkannya menjadi joki.
26
Dengan diijinkannya maun menjadi joki, selanjutnya ia dibawa ke dukun /
Sandro untuk dimantrai agar terhindar dari pengaruh buruk sihir dan ilmu hitam
serta meneguhkan hatinya agar tidak goyah dan tidak mudah jatuh saat berada
dipunggung kuda. Maun juga diberikan jimat sebagai pelengkap ritual Sandro.
Meski demikian, Maun merasa bahwa jimat tersebut tidak ada gunanya sama
sekali. Hanya sebagai lambang. Karena bagaimanapun, jika kita terjatuh apalagi
dari punggung kuda yang sedang berlari tetap saja akan terasa sakit.
Dalam menjalani latihannya sebagai joki, maun diberi jeruk dan permen
sebagai imbalan karena mau berlatih. Sementara dalam perlombaan, maun akan
diberi uang senilai 20 ribu, 30 ribu,atau 50 ribu tergantung kesepakatan antara
pemilik kuda dan manajer joki. Bahkan maun pernah mendapatkan uang senilai
300 ribu dari hasil menjadi joki. Uang yang didapatnya digunakan untuk membeli
buku, sepeda, baju lebaran, dan lainnya. Secara tidak langsung, berkat menjadi
joki membuat maun memiliki penghasilan sendiri setidaknya untuk memenuhi
kebutuhannya pribadi.
Berbeda dengan kisah maun, kisah lain datang dari Syaiful seorang anak
laki – laki berusia 6 tahun. Syaiful dipilih menjadi joki karena memiliki 2 buah
unyang (pusar) yang diyakini masyarakat Sumbawa sebagai suatu keistimewan.
Anak laki – laki yang memiliki 2 buah unyang dipercaya sangat cocok menjadi
penunggang kuda pacu karena memiliki sifat yang tangguh, kuat, berani, dan tidak
cengeng sehingga mampu mengendalikan kuda pacu. Selain unyang yang
dimilikinya, usia Syaiful masih sangat muda serta postur tubuh yang lebih kecil
dibanding teman – temannya menjadikannya joki favorit pemilik kuda. Hal
tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. Terkadang dia merasa capek
27
dan bosan karena terlalu sering menunggang kuda dan memiliki sedikit waktu
istirahat (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:37-38).
Dalam film terlihat bahwa syaiful terkadang menolak menaiki kuda.
Tindakan seperti ini bukannya mendapat respon positif dengan memakluminya
sebagai anak – anak, tetapi justru sebaliknya. Syaiful justru menjadi sasaran
kemarahan dan kejengkelan orang – orang disekitarnya. Bahkan syaiful sempat
mendapat kekerasan fisik seperti pukulan agar ia mau menaiki kuda. Tidak hanya
penolakan menaiki kuda, ketakutan saat menaiki kuda saat kuda menjadi liar dn
tidak mau masuk ke bilik startpun terekam dalam film ini. Respon yang samapun
terjadi, dibentak dan dimarahi. Meski dibujukpun dengan nada yang kasar yang
tidak sepantasnya dilakukan terhadap anak – anak.
Jika maun mendapat pertentangan dari orang tua terutama ibunya dalam
menjadi joki dan mengikuti pacuan kuda, syaiful justru didukung orang tuanya.
Dalam pacuan kuda, terdapat kontrak yang bisa membantu menambah
penghasilan keluarga seperti pemberian seekor kerbau oleh pemilik kuda kepada
orang tua syaiful agar anaknya diijinkan menjadi joki selama pacuan kuda
berlangsung. Karena telah adanya kontrak yang dilakukan orang tua syaiful
dengan pemilik kuda, orang tua syaiful seakan membiarkan anaknya membolos
sekolah demi mengikuti pacuan. Tidak jarang syaiful bolos dalam bersekolah
demi mengikuti pacuan kuda. Pacuan kuda terkadang bertepatan dengan waktu
sekolah bahkan saat ujian sekolah. (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari
(2014:39).
28
BAB III
REPRESENTASI ANAK LAKI – LAKI DALAM FILM JOKI KECIL
Perilaku laki – laki dalam budaya masyarakat sering mengacu pada budaya
/ ideologi patriarki yakni maskulinitas/norma kelelakian. Patriarki merupakan
budaya yang menempatkan posisi laki – laki lebih tinggi dibanding perempuan
(Sanjaya,2005). Sehingga, dalam masyarakat sudah sepantasnya laki – laki sejak
dilahirkan, maka serta merta dilekatkan dengan beragam norma, kewajiban, dan
setumpuk harapan keluarga kepadanya. Beragam aturan dan budaya telah diterima
melalui ritual adat, agama, pola asuh, jenis permainan, petuah hidup, hingga
filosofi hidup. Kondisi tersebut dapat dilihat dari hal – hal sederhana yang dialami
laki – laki dalam kesehariannya, seperti cara berpakaian, penampilan, dan bentuk
aktivitas. Ini menjadi suatu “kewajiban” dari bentuk pencitraan diri seorang laki –
laki agar dianggap sebagai laki – laki seutuhnya (Pleck dalam Kurniawan,2011).
Maka dari itu, sejak kecil anak laki – laki akan dibiasakan mengikuti norma –
norma yang telah berlaku secara turun – temurun. Dengan diajari oleh orang –
orang terdekat mereka terutama ayah dan termasuk laki – laki disekitarnya tentang
bagaimana menjadi laki – laki.
Senada dengan hal tersebut, film joki kecil merupakan salah satu cerminan
anak laki – laki yang diajarkan untuk mengikuti budaya dan norma yang telah
berlaku dimasyarakat. Film ini berlokasi di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara
Barat. Sehingga dalam film ini menggambarkan salah satu budaya masyarakat di
Sumbawa yang melekat pada anak laki – laki. Menurut tradisi leluhur masyarakat
Sumbawa, anak laki – laki harus berani dan bertanggung jawab atas segala yang
29
dimilikinya
(http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki diunduh
pada 14 Januari 2018). Joki kecil adalah sebutan identik untuk seorang
penunggang kuda anak laki – laki dalam perlombaan pacuan kuda di Sumbawa.
Tidak semua anak laki – laki bisa menjadi joki di Sumbawa. Biasanya anak laki –
laki menjadi joki kecil dikarenakan ayah mereka dulunya menjadi joki, atau
karena ayahnya sangat menggemari pacuan kuda, bahkan bisa jadi karena
keistimewaan yang dimiliki oleh anak tersebut. Namun tentunya, karena anak
tersebut berada ditengah orang – orang yang terlibat dengan pacuan kuda
Sumbawa.
Dari penjelasan di atas, penulis perlu melihat bagaimana anak laki – laki
khususnya joki direpresentasikan dalam film joki kecil sebagai pelaksana norma
kelelakian yang sudah menjadi budaya dalam masyarakat Sumbawa dengan
bimbingan dan pengajaran dari orang dewasa disekitarnya. Didalamnya penulis
menganalisis scene – scene serta percakapan dalam film yang merepresentasikan
anak laki – laki sebagai joki. Salah satunya adalah anak laki – laki diajari untuk
menjadi sosok yang bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai pencari
nafkah.
3. 1 Anak Laki – Laki sebagai Penambah Penghasilan Keluarga
Menjadi Joki kuda pacu di Sumbawa, bukan semata – mata karena
memiliki kuda pacu. Melainkan memiliki keistimewaan yang dilihat oleh orang –
orang tertentu. Sehingga, Joki adalah suatu profesi bagi anak – anak yang dibayar
oleh pemilik kuda. Menjadi joki mendapat dukungan penuh dari keluarga
30
khususnya ayah, karena mereka juga menjadi sumber pendapatan keluarga
(http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki diunduh
pada 14 Januari 2018). Inilah suatu bentuk pengajaran ayah terhadap anak laki –
lakinya agar mampu belajar tanggung jawab, disamping menjadi joki yang
merupakan bentuk kesenangan / hobi yang dimiliki anak – anak. Dalam film joki
kecil, sutradara menggambarkan anak laki – laki sebagai joki menjadi penambah
penghasilan keluarga. Seperti yang tergambar pada scene berikut :
Gambar 3.1 Scene Maun dan tukang becak
Denotasi dari scene tersebut, maun sedang berada di atas becak hendak
menuju ke lokasi pacuan kuda berlangsung. Terjadi percakapan antara Maun dan
tukang becak :
Tukang becak : Berapa kamu dapat uang waktu pacuan kemarin ?
Maun : Orang kasih saya Rp. 20.000, Rp. 30.000, waktu itu Rp.
50.000
Tukang becak : Bukannya joki suka dikasih sapi ?
Maun : Iya, biasanya begitu. Seandainya bapak saya mengijinkan
saya dari dulu
31
Konotasi dari scene tersebut menyatakan bahwa jelas dengan menjadi joki
anak – anak mampu membantu menambah penghasilan keluarga. Meski dibayar
dengan harga yang tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan, mereka
tetap senang menjadi joki. Faktanya, menjadi joki memiliki resiko cedera fatal
yang lebih tinggi dengan biaya pengobatan yang jauh lebih mahal dari sekedar
uang Rp. 20.000 – Rp. 50.000 per putaran pacuan kuda. Namun, ini adalah suatu
bentuk pengajaran orang tua terhadap tanggung jawab anak laki – laki kelak
sebagai kepala rumah tangga yakni mencari nafkah.
Dari pemaparan di atas, peneliti merujuk pada tulisan Beniharmoni Harefa
dalam Novelia (2017) mengklasifikasikan enam faktor yang menyebabkan
munculnya fenomena pekerja anak, yaitu kemiskinan, urbanisasi, sosial budaya,
pendidikan, perubahan proses produksi, dan regulasi. Dari pengklasifikasian
tersebut, peneliti berfokus pada faktor ketiga yakni sosial budaya karena
permainan rakyat seperti pacuan kuda ini termasuk pelestarian budaya yang
pelaksanaannya dalam lingkungan sosial masyarakat Sumbawa. Menurut Harefa,
dalam masyarakat Indonesia terdapat pandangan bahwa anak – anak diposisikan
sebagai seseorang yang memiliki hutang budi terhadap keluarganya. Sehingga
mereka harus berbakti dalam membalas kebaikan orang tuanya yang dalam hal ini
berupa bantuan untuk mencari nafkah.
Joshi dan Mac dalam Novelia (2017) melanjutkan bahwa faktor sosial
budaya terkait erat dengan teori nilai anak. Nilai anak merupakan bentuk asumsi
dan harapan orang tua terhadap anaknya. Lebih lanjut menurut Novelia dalam
tulisannya memaparkan tentang nilai anak dapat dilihat baik dari sisi nilai sosial,
ekonomi, maupun psikologis. Dalam hal nilai sosial, orang tua menganggap
32
seorang anak memiliki bakat turun – temurun keluarga, sehingga sang anak sangat
diharapkan untuk melanjutkan tradisi. Dari nilai ekonomi, anak diharapkan
menjadi bantuan dalam hal pemasukan keluarga. Sedangkan dari sisi psikologis,
seorang anak dalam kondisi tertentu digunakan untuk mempertahankan citra atau
kebaikan keluarga dimata publik. Sehingga anak bisa mempertahankan
kebanggaan orang tua terhadapnya. Sementara dari sisi anak, anak dikategorikan
sebagai sosok yang tidak sadar dan tidak sepenuhnya menyadari ada hal – hal
yang menguasai dirinya.
Dari faktor tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa anak laki – laki sebagai
joki menjadi korban pelestarian tradisi keluarga dan budaya. Mengingat anak –
anak yang menjadi joki sebagian besar dikarenakan ayahnya dulu mantan joki,
maupun bersinggungan serta memiliki hobi terhadap kuda secara turun temurun.
Sehingga untuk mempertahankan tradisi, anak – anak diajari berkuda untuk
menjadi joki terampil untuk meningkatkan nilai anak dan tentunya bisa membantu
penghasilan keluarga.
Selanjutnya tentang konsep pekerja anak menurut Putri (Nd) konsep
pekerja anak dibagi menjadi anak bekerja dan pekerja anak. Menurutnya anak
bekerja adalah anak yang melakukan sebuah pekerjaan ringan dimana dalam
pekerjaannya masih menghargai haknya sebagai anak dan hanya bekerja sewaktu
– waktu saja dan legal. Sedangkan pekerja anak merupakan anak yang biasanya
melakukan pekerjaan berat dan berbahaya sehingga cenderung menimbulkan
eksploitatif dimana dalam pekerjaannya itu sudah tidak lagi memperdulikan
haknya sebagai anak mulai dari hak pendidikan sampai kesehatannya dan dengan
waktu bekerja yang relatif lama, sifatnya tetap, dan ilegal.
33
Berdasarkan tulisan Putri di atas, penulis menganalisis bahwa joki
termasuk dalam kedua jenis konsep pekerja anak. Jika dilihat dari jenis
pekerjaannya, menjadi joki termasuk jenis pekerjaan yang berat dan berbahaya
karena joki harus memiliki keterampilan khusus dalam mengendarai kuda serta
membutuhkan latihan yang serius dalam mengendalikan kuda dan apabila joki
terjatuh dari kuda yang berlari kencang luka fatal bisa terjadi. Sementara itu, jika
dilihat dari waktu bekerja, pacuan kuda diadakan pada saat adanya hari – hari
besar atau perayaan seperti festival moyo, acara HUT Sumbawa, dan acara – acara
lainnya yang digelar selama 1 minggu penuh. Ini artinya, menjadi joki hanya
sewaktu – waktu saja saat ada perlombaan dan karena joki sebagian besar
merupakan anak yang masih bersekolah, anak – anak harus meninggalkan
sekolahnya sementara waktu. Sedangkan jika dilihat dari segi legal ataupun
ilegalnya pekerjaan ini bagi anak, maka pekerjaan ini termasuk legal karena
sejauh ini anak – anak yang menjadi joki maupun yang menjadikan anak sebagai
joki tidak pernah mendapat kasus seperti kasus mempekerjakan anak dibawah
umur dan sebagainya. Hal ini dianggap hanya sebagai hiburan dan pelestarian
budaya saja. Jika berbicara mengenai eksploitasi anak, menjadi joki termasuk
dalam kegiatan eksploitasi anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Piri (2013:26)
eksploitasi anak yakni mempekerjakan anak dengan tujuan ingin meraih
keuntungan. Dalam hal ini anak – anak dibayar sebagai upah atas hasil kerjaanya
sebagai penambah semangat dalam pekerjaannya dan hasil kerjanya tersebut
digunakan untuk keperluan sekolah dan keperluannya pribadi. Selain itu, anak –
anak bekerja sebagai bentuk pengajaran orang tua terhadap anaknya tentang
disiplin dan tanggung jawab.
34
Senada dengan yang diungkapkan Maun dalam scene yang berbeda,
bahwa dia pernah mendapatkan uang sebesar Rp. 300.000 saat menjadi joki. Dan
uang itu digunakan untuk membeli buku, bayar sekolah, beli tas, dan baju lebaran.
Dari pernyataan maun tersebut, jelas bahwa anak – anak menggunakan hasil
kerjanya untuk keperluannya sendiri. Namun dari sisi yang berbeda, keperluan
dalam hal pendidikan seperti yang diungkapkan maun pada dasarnya menjadi
tanggung jawab orang tua. Pasalnya, kebutuhan sandang, pangan, papan istri dan
anak – anak adalah tugas kepala keluarga termasuk kebutuhan sekolah anak
seperti buku, pembayaran sekolah, tas, hingga baju lebaran. Sebagaimana
dijelaskan dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yakni anak
berhak atas kepeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan, dalam
lingkungan masyarakat yang dapat menghambat atau membahayakan
perkembangannya, sehingga anak tidak lagi menjadi korban dari ketidakmampuan
ekonomi keluarga dan masyarakat. Sehingga, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
anak laki – laki menjadi penambah penghasilan keluarga yang membantu
meringankan sedikit beban orang tua baik dalam kebutuhan pendidikan dan
sebagainya. Dengan demikian, anak laki – laki secara tidak langsung diajari
tentang bagaimana mencari nafkah meski digunakan hanya untuk dirinya sendiri.
Kita kembali kepada percakapan antara maun dan tukang becak tadi,
tukang becak mengatakan Bukannya joki suka dikasih sapi ? dan maun menjawab
Iya, biasanya begitu. Seandainya bapak saya mengijinkan saya dari dulu. Dari
percakapan tersebut, diketahui bahwa menjadi joki tidak hanya berupa uang
sebagai imbalan. Hewan peliharaan seperti kerbau dan sapi pun bisa diberikan.
35
Tergantung kesepakatan dan keikhlasan hati dari pemilik kuda. Hal ini diperkuat
oleh bapak A. Rahman yakni bapak angkat Syaiful di salah satu scene dalam film.
Gambar 3.2 Scene bapak A.Rahman, Ayah angkat Syaiful
Berdasarkan gambar di atas, terdapat denotasi bahwa ayah angkat Syaiful
sedang berbicara dalam sebuah wawancara di dalam film. Menggunakan teknik
pengambilan gambar Close-up yakni objek digambarkan dari dada hingga keatas
dengan tujuan untuk menghasilkan informasi detail tentang objek serta bisa
menunjukkan ekspresi objek (Novitasari,2013:5). Terlihat bahwa bapak A.
Rahman sedang berbicara menjelaskan sesuatu. Beliau mengatakan “akhirnya
saya beri ayahnya kerbau selama dia menunggang kuda saya”.
Konotasinya menunjukkan bahwa anak – anak dijadikan sebagai objek
penambah penghasilan keluarga dengan menjadi Joki kecil. Pemberian upah atau
bayaran terhadap joki dalam pacuan kuda tidak sepenuhnya atas kesepakatan
antara orang tua joki dengan pemilik kuda. Terkadang pemilik kuda yang
berinisiatif untuk memberikan imbalan atas kerja joki, tergantung dari
pekerjaannya. Seperti halnya dengan memberikan imbalan seekor sapi atau kerbau
yang dilakukan oleh bapak A.Rahman.
36
Dengan adanya pemberian upah atau bayaran dalam bentuk barang dalam
hal ini hewan peliharaan, peneliti merujuk pada Undang – Undang No.13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30 yang menyatakan bahwa upah
adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha / pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
pemerintah. Artinya, dalam sebuah pekerjaan upah yang diterima adalah
berbentuk uang. Namun dalam undang – undang yang sama pada pasal 1 ayat 3
menyatakan bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah / imbalan dalam bentuk lain. Meski tidak adanya lanjutan pembahasan
mengenai pasal ini terkait bentuk lain yang diterima, peneliti menganggap bahwa
bentuk lain tersebut bisa berupa barang tergantung dari kesepakatan/perjanjian
kerja yang merujuk pada pasal 1 ayat 30 di atas.
Lebih lanjut, Khoiriyah (2009:23) dalam tulisannya menyatakan bahwa
upah merupakan alat untuk mengikat serta membentuk semangat pekerja untuk
bekerja. Selain itu, tingkat besar kecilnya upah yang diberikan ditentukan oleh
beberapa factor diantaranya ketersediaan tenaga kerja, persaingan tenaga kerja,
potensi tenaga kerja, serta kemampuan untuk membayar tenaga kerja.
Berdasarkan faktor tersebut, jika dikaitkan dengan scene di atas bapak A.Rahman
sebagai pemilik kuda tentu sadar akan terbatasnya joki terampil, banyaknya
persaingan mendapatkan joki, serta kemampuan untuk membayar lebih atas
kelebihan yang dimiliki joki. Sehingga, bapak A. Rahman memberikan ayah
Syaiful seekor kerbau sebagai bayaran menjadi joki kuda pacunya. Beliau
memberikan imbalan seekor kerbau tentu dengan alasan, yakni agar Syaiful
37
mengutamakan menunggang kuda miliknya di arena pacuan serta dengan fokus
berlatih menggunakan kuda milik beliau hingga beliau mengangkat Syaiful
sebagai anak agar bisa selalu berlatih dengan kuda pacu miliknya. Selain faktor
eksternal tersebut, faktor internal juga perlu diperhatikan dalam hal ini, yakni
perasaan dalam hati yang dimiliki seseorang. Karena menurut Bapak Ahmad
Lamo pada dasarnya masyarakat Sumbawa memiliki sifat Lenge Rasa yang tinggi
(Tidak Enak Hati/ Berperasaan tinggi) (wawancara personal, 01 Februari 2018).
Sifat lenge rasa inilah yang dipegang teguh khususnya masyarakat Sumbawa agar
tidak terjadi pembicaraan yang tidak enak dibelakang.
Mengingat dalam tradisi pacuan kuda, seorang joki bisa menjadi joki
untuk kuda siapa saja. Bahkan dari satu hari pacuan kuda, seorang anak bisa
menjadi joki untuk beberapa kuda tanpa harus berlatih terlebih dahulu dengan
kuda tersebut. Karena yang terpenting adalah adanya bayaran dari pemilik kuda
yang dihitung perputaran pacuan kuda baik menang ataupun kalah. Jika kuda telah
berhasil menjadi juara, maka akan ada bonus tambahan dari pemilik kuda untuk
joki.
Gambar 3.3 scene pak Masuarang
38
Seperti pengakuan bapak Masuarang sebagai pemilik kuda pacu dalam
sebuah wawancara dalam film. Denotasi dari gambar menujukkan bahwa bapak
Masuarang sedang duduk dengan berlatar api unggun yang menandakan beliau
sedang berada di lokasi pacuan kuda pada saat malam hari. Beliau menuturkan
dalam wawancaranya bahwa saat kuda menjadi juara kelas/juara umum, joki akan
diberi uang sebesar Rp. 200.000 juga sarung 2 lembar. Sebelumnya, pak
Masuarang menyatakan bahwa joki buat kita rugi, tidak ada keuntungan dalam
mengikuti pacuan kuda. Hanya dapat nama saja dan kegembiraan hati.
Konotasi dari scene tersebut yakni dengan menjadi joki yang terlatih, akan
mampu menambah penghasilan keluarga. Bayaran untuk menjadi joki yang
berkisar Rp. 20.000 – Rp. 50.000 per putaran pacuan kuda, jika dikalikan dengan
jumlah menunggang dan belum lagi bonus yang diterima joki pada saat telah
menjadi juara kelas atau juara umum. Tentu itu bukan nominal yang sedikit bagi
anak – anak, sehingga dari penghasilan tersebut anak – anak bisa membantu
meringankan pengeluaran orang tua untuk keperluannya pribadi.
Nominal pemberian hadiah bonus yang diberikan oleh pemilik kuda tidak
menentu. Tergantung dari keikhlasan pemilik kuda sendiri. Seperti yang
diungkapkan pak Masuarang dalam wawancaranya bahwa Joki membuatnya rugi
karena harus membayar. Ini adalah suatu bentuk Lenge Rasa yang dimiliki
masyarakat Sumbawa. Meski merasa dirugikan, beliau tetap membayar joki
berdasarkan kesepakatan umum yang berlaku.
Berdasarkan ketiga scene tersebut, dapat memberi pemahaman adanya
mitos yang berkembang dalam masyarakat tentang joki bahwa anak laki – laki
39
sejak kecil sudah harus sadar akan fungsinya kelak sebagai pencari nafkah bagi
keluarganya yakni istri dan anak sesuai dengan norma yang berlaku dalam
ideologi patriarki.
Bagaimanapun, mengikuti pacuan kuda merupakan suatu hobi dan
kebiasaan yang sudah mengurat akar di masyarakat Sumbawa. Pelestarian budaya
pun turut serta dalam kelangsungan permainan rakyat ini. Nama baik menjadi
taruhan atas kemenangan dan kekalahan kuda. Hal ini mengakibatkan pemilik
kuda harus pandai – pandai memilih joki yang terampil. Disamping menjadi
proses pengajaran untuk tanggung jawab anak kelak, orang tua menganggap anak
sebagai asset yang bernilai ekonomi sehingga mampu membantu penghasilan
keluarga meski hanya untuk keperluannya sendiri. Pada sub bab selanjutnya,
penulis akan membahas mengenai pengajaran keterampilan dan keberanian joki
sebagai anak laki – laki sehingga layak menjadi joki terampil dan berbakat
sehingga mampu membantu penghasilan keluarga seperti yang ditampilkan dalam
film joki kecil.
3.2 Anak Laki – Laki : Keberanian dan Keterampilan sebagai Joki
Pada pembahasan sebelumnya, peneliti telah menjelaskan tentang anak
laki – laki sebagai penambah penghasilan keluarga. Anak laki – laki telah
dipersiapkan orang tuanya untuk bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai
pencari nafkah dalam keluarga yang ditampilkan dalam scene – scene film joki
kecil. Namun, dalam menjadi joki diperlukan pengajaran tentang berkuda yang
benar agar memiliki keterampilan serta menumbuhkan keberanian dalam diri joki
agar tidak berakibat fatal terhadap keselamatannya.
40
Gambar 3.4 Scene joki saat pacuan kuda
Seperti yang terlihat pada gambar di atas. Denotasi dari gambar tersebut
yakni anak – anak sedang menunggang kuda dengan kostum Joki yakni Helm,
Ketopong, baju dan celana panjang, baju ban (baju yang bertuliskan nomor start
joki), kaos kaki, dan owe (pecut yang terbuat dari kayu rotan untuk memukul
kuda). Gambar berlokasi di arena pacuan kuda dan pacuan kuda sedang
berlangsung.
Konotasi dari gambar tersebut yakni anak – anak sudah diajari untuk
menjadi pemberani dan terampil berkuda. Hal ini tercermin dari kostum dan
perlengkapan yang digunakan joki dalam perlombaan pacuan kuda tidak sesuai
dengan standart keselamatan pada perlombaan pacuan kuda umumnya. Menurut
Pras (2010), peralatan dasar dalam pacuan kuda terbagi dua yakni peralatan bagi
penunggang/joki, dan peralatan bagi kuda. Bagi joki, peralatan dasar yang harus
dikenakan adalah helm standar keselamatan, sepatu tunggang/boot, pelindung
dada, kacamata, dan pecut. Sementara peralatan bagi kuda untuk kenyamanan joki
adalah pelana kuda/saddle, alas pelana, sanggurdi/stirrups, tali
sanggurdi/adjustable stirrup straps, Amben/tali perut, sarung kepala dengan
41
berbagai variasi, kendali besi, tali kekang, dan martingal yang dipakai sebagai
pengendali kuda.
Tanpa kostum dan perlengkapan standart yang memadai, tentunya
memperbesar resiko kecelakaan joki yang akan terjadi. Namun hal tersebut tidak
membuat joki gentar untuk melakukan pekerjaannya. Menurut moch. Amin dalam
wawancara yang dilakukan oleh Beawiharta (2012), menyatakan bahwa anak –
anak sudah belajar mengendarai kuda sejak umur lima tahun. Sehingga, secara
fisik dan mental tentunya mereka sudah terbiasa mengendarai kuda pacu dengan
kecepatan tinggi tanpa peralatan standart. Hal ini mencerminkan bahwa anak –
anak sudah diajari untuk memiliki jiwa berani dan keterampilan berkuda sejak
kecil.
Perlombaan pacuan kuda di Sumbawa pada umumnya menggunakan anak
laki – laki sebagai Joki kuda pacu. Karena berdasarkan tradisi, penunggang kuda
dalam pacuan kuda adalah anak laki – laki. Selain itu, dalam pacuan kuda ini
hanya melibatkan laki – laki sebagai pelakunya. Penggunaan anak perempuan
sebagai joki akan melanggar norma – norma yang berlaku dalam masyarakat,
bahwa anak perempuan diajari untuk mengurus anak dan kebutuhan rumah tangga
tidak seperti anak laki – laki yang akan memiliki tanggung jawab sebagai kepala
keluarga kelak dan berperan dalam lingkungan publik (Bapak A.Lamo dalam
wawancara personal 01 Februari 2018).
Untuk penggunaan kuda sendiri, menurut bapak A.Lamo selaku wakil
ketua Pordasi NTB dalam wawancaranya menyatakan bahwa berbeda dengan dulu
yang hanya menjadikan kuda jantan sebagai kuda pacu, perlombaan pacuan kuda
42
saat ini telah menggunakan kuda jantan dan betina. Saat ini diakui telah adanya
bibit unggul kuda yang mampu berlari kencang dari kelas betina dibanding dulu.
Karena hanya kuda yang memiliki kondisi bagus yang dijadikan sebagai kuda
pacu (Mardinata,2016). Menurut surat keputusan menteri pertanian No.2917 tahun
2011 tentang penetapan rumpun kuda Sumbawa menyatakan bahwa kuda
Sumbawa merupakan salah satu rumpun kuda lokal Indonesia, yang mempunyai
keseragaman bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi
dengan baik pada keterbatasan lingkungan serta memiliki keunggulan sebagai
daya angkut, tarik, dan lari. Lari kuda Sumbawa sendiri bisa mencapai 600 – 800
meter/menit.
Kuda pacu Sumbawa, umumnya memiliki tubuh yang lebih kecil
dibanding kuda pacu sekelas pacuan kuda Internasional. Sehingga anak – anak
dikatakan menjadi joki yang pas untuk menunggangi kuda. Selain itu, karena
bobotnya yang ringan menjadikannya mudah untuk dibawa kuda. Namun tetap
saja, untuk menaiki kuda pacunya, anak – anak harus dibantu orang dewasa
karena ukuran tubuh mereka jauh lebih kecil dibanding kuda yang akan mereka
tunggangi.
Dalam ideologi / budaya patriarki, anak laki – laki harus memiliki sifat
maskulin diantaranya berani, kuat, dan pantang menyerah. Berdasarkan hal
tersebut, banyak hal yang dilakukan oleh orang tua maupun laki – laki yang
terlibat dalam pacuan kuda untuk menambah keberanian joki yang dimiliki,
diantaranya adalah pemberian jimat. Seperti yang terlihat pada salah satu scene
dalam film berikut ini.
43
Gambar 3.5 Scene jimat joki
Denotasi dari gambar tersebut yakni adanya perkataan“Kalau sudah pakai
jimat ini, yang tidak mau naik jadi mau. Tidak berani naik kuda, jadi berani.
Tidak ada rasa sakit”. Begitu pemaparan bapak A. Rahman saat diwawancara
dalam salah satu scene film joki kecil dengan nada yang tegas sambil
memperlihatkan selembar kain berwarna hitam yang bertuliskan ayat – ayat Al –
Quran dan diyakini sebagai jimat seperti yang terlihat pada gambar.
Konotasi dari gambar yakni pemakaian jimat oleh sandro kepada joki
dimaksudkan untuk memberi keberanian terhadap joki saat berada di atas kuda.
Saat joki tidak ingin naik ke atas kuda pacu dengan adanya jimat ini akan
menjadikannya mau. Begitu pula jika joki terjatuh dari atas kuda saat kuda berlari
maka tidak akan terasa sakit.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam budaya masyarakat
masih sangat percaya dengan hal – hal mistis meski telah memasuki era modern
seperti saat ini. Percaya ataupun tidak, inilah mitos yang berkembang dan diyakini
dalam masyarakat.
Gusmian dalam Mujahidin (2016:44) menyatakan bahwa jimat merupakan
suatu benda yang diyakini memiliki kekuatan supranatural dan dipercaya oleh
44
sebagian masyarakat yang berupa secarik kertas, batu mulia, lempengan besi atau
yang lainnya. Penggunaan jimat dipercayai dapat memberikan solusi terhadap
persoalan yang dihadapi, sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pemakainya
maupun pembuatannya oleh pembuat jimat. Meskipun dekat dengan unsur magis,
beberapa praktek penggunaan jimat di masyarakat menampakkan adanya
hubungan dengan keyakinan kepada agama Islam. Hal itu terlihat dalam
penggunaan ayat – ayat Al – Quran dalam benda – benda yang dianggap sebagai
jimat tersebut (Mujahidin,2016:44).
Dalam penelitiannya tentang simbol penggunaan jimat dalam kehidupan
masyarakat ponorogo, Mujahidin menjelaskan bahwa penggunaan jimat oleh
masyarakat ponorogo digunakan untuk mengusir/melindungi gangguan makhluk
halus atau Jin, jimat pagar rumah, jimat kekebalan, jimat penglaris, hingga jimat
penyubur tanah. Ayat dan Surat yang digunakan berasal dari Al – Quran
diantaranya Surat al-Fātihah, Ayat Kursi, Surat Yāsin, Surat al-Syu’arā, Surat
Thaha ayat 39, Surat al-Ikhlāsh, al-Falaq, dan an-Nas.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Sumbawa yang mayoritas
masyarakatnya beragama Islam menggunakan ayat Al – Quran sebagai jimat.
Seperti yang terlihat pada gambar di atas. Jimat yang digunakan untuk joki adalah
selembar kain hitam yang ditulisi ayat Al – Quran. Hal ini diyakini bisa
menjauhkan joki dari gangguan ilmu hitam serta menambah keberanian joki.
Pemberian jimat bisa berasal dari orang tua joki maupun sandro dalam pacuan
kuda. Setiap kuda memiliki sandro masing – masing yang dipercayai
keberadaannya oleh pemilik kuda. Bahkan tidak jarang pemilik kuda merangkap
sebagai sandro. Setiap sandro memiliki jimat sendiri yang dianggap ampuh untuk
45
menambah keberanian joki. Penggunaannya terhadap jokipun berbeda – beda, ada
yang dikalungkan dileher ada pula yang diikatkan diperut joki. Namun,
keberadaan jimat ini dengan segala mitos yang ada bersamanya tidak dibenarkan
oleh salah seorang joki yakni Maun dalam wawancaranya pada scene selanjutnya
dalam film.
Gambar 3.6 Scene wawancara maun
“Kalau saya buat apa jimat, yang penting nyaman di atas kuda. Tidak ada
gunanya. Meski kata sandro tidak akan jatuh, tetap saja jatuh”. Begitu
pemaparan Maun dalam wawancaranya. Menggunakan teknik pengambilan
gambar Close-up yakni objek digambarkan dari dada hingga keatas dengan tujuan
untuk menghasilkan informasi detail tentang objek serta bisa menunjukkan
ekspresi objek (Novitasari,2013:5). Berdasarkan gambar terlihat kesan
meremehkan. Ekspresi meremehkan terlihat dari salah satu bibir yang mengangkat
lebih tinggi (Virdhani,2015).
Dari wawancara tersebut, memiliki konotasi bahwa jimat hanya sebagai
pelengkap ritual. Ekpresi meremehkan yang ditunjukkan maun menggambarkan
bahwa keberadaan jimat memang harus, namun tidak ada gunanya.
46
Kepercayaannya terhadap jimatpun tidak terlalu mendalam. Karena keberadaan
jimat baginya hanya sebagai lambang dan menjadi pelengkap. Meskipun ada, jika
memang joki lalai memegang kuda akan terjatuh juga. Yang terpenting adalah
merasa nyaman di atas kuda. Jika telah merasa nyaman, joki dan kuda bisa bekerja
sama untuk memenangkan perlombaan.
Berada di atas kuda yang berlari kencang, tidak menutup kemungkinan
akan terjadinya kecelakaan saat perlombaan. Jika saat perlombaan anak – anak
sebagai joki terjatuh dan terluka, tidak membuatnya jera dan takut untuk kembali
menunggang kuda saat sembuh. Hal ini mengungkapkan bahwa anak laki – laki
khususnya joki di Sumbawa sudah memiliki karakter dan kekebalan serta
menjadikan profesinya sebagai joki adalah suatu kesenangan (pemeri =dalam
bahasa Sumbawa). Sehingga meskipun mereka terjatuh hingga terluka parah, saat
sembuh mereka akan kembali lagi menjadi joki pada perlombaan selanjutnya. Ini
membuktikan bahwa anak laki – laki memiliki keberanian dalam diri mereka yang
sudah diajari sejak dini.
Hal magis / mistis merupakan kepercayaan turun temurun dari leluhur
yang hingga saat ini masih dilakukan dan dipercaya oleh masyarakat Sumbawa.
Tidak terkecuali dalam pacuan kuda. Segala hal yang dianggap mengganggu
jalannya perlombaan selalu dikaitkan dengan hal magis/sihir yang berasal dari tim
lawan. Meski hal magis diyakini untuk menjadikan anak laki – laki sebagai
pemberani, tetap saja dalam proses pembelajaran ada rasa takut yang dialami joki.
Baik karena faktor internal maupun eksternal diri joki sebagai anak – anak. Oleh
karena itu, tidak lengkap rasanya jika penulis hanya membahas proses
pembelajaran joki tentang keterampilan dan keberaniannya tanpa melihat sisi lain
47
anak laki – laki. Maka, pada sub bab selanjutnya penulis membahas mengenai sisi
lain kepribadian anak laki – laki sebagai proses pembentukan kepribadian joki
agar mampu menjadi terampil sehingga bisa menambah penghasilan keluarga
yang juga ditampilkan dalam film.
3. 3 Anak Laki – Laki : Dibalik Keberanian sebagai Joki
Dalam budaya patriarki laki – laki biasanya disebut maskulin. Maskulin
merupakan sifat yang identik dengan kelelakian/kejantanan misalnya agresif,
dominan, pantang untuk menangis, dan sebagainya. Sifat maskulin terbentuk dari
proses sosial budaya masyarakat yang bersumber dari norma budaya patriarkhi
yang membentuk citra diri laki – laki maupun perempuan dalam masyarakat.
Pencitraan ini telah diturunkan dari generasi ke generasi melalui budaya hingga
menjadi suatu kewajiban yang harus dijalani karena dianggap sebagai faktor
bawaan dari lahir (Kurniawan dalam Annisa, 2012:13). Pengingkaran atas norma
tersebut akan dianggap sebagai ketidakwajaran dalam masyarakat terutama pada
laki – laki. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa secara kodrati laki – laki memiliki
sisi feminin dibalik maskulinitasnya baik dewasa maupun anak – anak. Seperti
dalam film joki kecil yang menampilkan anak laki – laki sebagai joki yang dikenal
sebagai sosok pemberani memiliki sifat feminin.
Gambar 3.7 Scene Joki menangis
48
Seperti halnya gambar di atas yang memiliki denotasi bahwa anak laki –
laki yang berprofesi sebagai joki yang berada di atas kuda sedang menangis
karena takut berada di atas kuda pacunya. Sementara laki – laki dewasa
disampingnya dengan nada membentak mengatakan “Sudah jangan nangis.
Jangan banyak tingkah”.
Konotasinya menunjukkan bahwa anak laki – laki memiliki sifat feminin.
Menangis dalam maskulinitas yang dipegang teguh laki – laki bukan merupakan
sifat yang dimiliki laki – laki. Menangis hanya milik perempuan. Norma
maskulinitas dengan asas kelelakiannya telah mengatur bahwa anak laki – laki
pantang menangis dan harus tampak garang. Pengingkaran atas norma
maskulinitas tersebut akan mengakibatkan turunnya kadar kelelakian seseorang
laki – laki dimata masyarakat, khususnya laki – laki itu sendiri (Kurniawan dalam
Annisa, 2012:13-14). Maka dari itu, anak laki – laki sejak kecil telah diajari untuk
tidak menangis dan harus tampak garang, demi mendapat pengakuan atas diri dan
kelelakiannya. Namun, hal ini tentu menimbulkan dampak negatif bagi anak laki –
laki saat dewasa nanti. Senada dengan yang diungkapkan Kurniawan dalam
Annisa (2012:17) bahwa anak laki – laki sejak kecil tidak dididik untuk
menyelami dan mengelola sisi emosionalnya, karena hal yang berbau emosional
bukanlah milik laki – laki. Sehingga banyak diantaranya yang tidak mampu
memahami secara utuh dinamika perasaannya sendiri. Artinya, jika anak laki –
laki selalu ditekan untuk mengikuti norma kelelakian maupun norma masyarakat
maka yang terjadi adalah penonjolan atas sikap egois dan pemaksaan kehendak
laki – laki karena tidak mampu mengenali emosi dan perasaan orang lain, bahkan
perasaannya sendiri.
49
Lebih lanjut, Kurniawan dalam Annisa (2012:17) menambahkan jika anak
laki – laki menangis, maka akan mendapat teguran dari orang – orang
disekitarnya. Hal inilah yang dilakukan oleh laki – laki dewasa dalam scene di
atas yakni dengan menegur anak laki – laki dan berkata “Sudah jangan nangis.
Jangan banyak tingkah”. Teguran yang dilakukan oleh laki – laki tersebut
merupakan salah satu bentuk pendisiplinan terhadap tingkah laku anak.
Bagaimanapun, menangis merupakan sifat feminin yang dimiliki perempuan.
Namun, teguran yang dilakukan dengan cara membentak seperti yang
dilakukaan laki – laki di atas dapat berdampak negatif terhadap anak – anak.
Diantaranya minder, cuek dan tidak peduli, tertutup, menjadi pemberontak, dan
menjadi pemarah. Informasi yang diterima anak pun tidak akan masuk hingga
pusat otaknya, melainkan hanya diproses dibatang otaknya saja sehingga
mengakibatkan anak sulit untuk berpikir logis. Teguran dengan cara membentak
pun tidak akan mengajarkan apa – apa terhadap anak. Justru anak akan
berkeyakinan bahwa sah – sah saja jika ia berkomunikasi dengan cara
membentak, omelan, atau kemarahan terhadap orang lain seperti perlakuan yang
diterimanya (https://bimba-aiueo.com/hindari-berkata-kasar-dan-membentak-
anak/ diunduh pada 12 Februari 2018). Selanjutnya yang terjadi pada saat anak
menghadapi masalah, solusi yang terpikirkan adalah melakukan hal yang sama
yakni membentak bahkan menghardik orang lain.
Dalam film joki kecil, sutradara menggambarkan akibat dari teguran yang
dilakukan tersebut disalah satu scenenya.
50
Gambar 3.8 Scene joki takut naik kuda
Scene di atas memiliki denotasi yakni anak laki – laki sebagai joki
membelakangi laki – laki dewasa dibelakangnya sambil menangis dan ngomel. Ia
menolak untuk naik ke atas kuda pacunya karena kudanya tidak tenang dan tidak
mau masuk ke bilik start. Sementara laki – laki dibelakangnya memaksa agar ia
naik ke atas kudanya dengan berbicara dengan nada membentak. Beberapa laki –
laki lainnya dibelakang hanya berdiri dan menonton kejadian tersebut. Pada scene
adanya dialog :
Joki : Ini kudanya tidak mau masuk ke bilik, aku gak
mau …(beranjak turun dari kuda)
Laki – laki dewasa : Kenapa ? kok turun ? Hei, sini kamu ! Ayo naik !
Joki : Aku gak mau kalau kudanya tidak tenang, jangan
dimasukkan ke bilik start (Sambil menangis dengan
nada membentak)
Laki – laki dewasa : nggak mau dimasukkan bilik ? Sudah ayo naik !
Konotasi dari scene tersebut yakni bahwa anak laki – laki terpengaruh
dampak negatif dari omelan orang dewasa. Pada scene ini orang dewasa
membentak joki dan bertanya dengan nada kasar. Mengacu pada penjelasan
digambar sebelumnya,bahwa dampak negatif dari perlakuan membentak anak
51
diantaranya anak akan menjadi pemberontak dan pemarah, pada scene ini
menunjukkan hal tersebut.
Pemberontakan secara umum diartikan sebagai penolakan terhadap
otoritas. Pemberontakan terjadi biasanya dkarenakan adanya sikap otoriter
seseorang yang berkuasa. Aksi pemberontakan bisa terjadi karena ketidakserasian
pemikiran akan suatu hal yang dianggap bertentangan. Pada scene di atas, joki
menolak untuk naik ke atas kuda merupakan suatu pemberontakan atas otoritas
orang dewasa terhadapnya. Joki merasa tidak tenang jika harus menaiki kuda yang
tidak tenang, sementara orang dewasa memaksanya agar naik ke atas kuda tanpa
memikirkan yang dirasakan oleh joki.
Bagaimanapun, anak adalah seorang peniru sejati, mereka akan meniru apa
saja yang dilihat dan didengarnya. Sehingga, terjadi pemberontakan oleh joki
terhadap orang dewasa yang memaksa dan membentaknya karena merasa tidak
aman jika berada di atas kuda yang tidak tenang. Dengan nada keras dan kasar
pula ia menjawab pertanyaan yang diajukan orang dewasa terhadapnya. Ini
merupakan akibat perlakuan yang diterima dari orang dewasa disekitarnya.
Aksi membentak oleh orang dewasa termasuk dalam kekerasan verbal.
Namun, dalam film joki kecil tidak hanya kekerasan verbal yang dialami oleh joki
melainkan kekerasan fisik. Terkait kekerasan fisik, sutradara menampilkannya
dalam scene berikut.
52
Gambar 3.9 Scene joki dipukul
Denotasi dari scene tersebut yakni dua orang laki – laki dan seorang joki
yang menangis dan menolak dinaikkan ke atas kuda karena takut. Terlihat seorang
laki – laki yang berlaku sebagai sandro mengangkat tangan hendak memukul joki
karena tidak mau naik ke punggung kuda. Sementara beberapa laki – laki
disekelilingnya menonton kejadian tersebut. Diiringi dengan suara wawancara
dari bapak A. Rahman yang menyatakan bahwa “Kalau Syaiful mogok, saya
panggil sandro untuk ditiup ubun – ubunya. Mungkin ia dipengaruhi sihir”.
Konotasi dari scene tersebut yakni joki mengalami kekerasan fisik.
Memukul adalah salah satu bentuk kekerasan fisik. Terkadang pola asuh
pendisiplinan terhadap anak dilakukan dengan kekerasan (Annisa,2012:23).
Memukul anak dengan tangan, kayu, kulit atau logam akan terus diingat oleh anak
tersebut (Solihin,2014:130). Hal yang demikian terjadi pada joki yang dilakukan
oleh orang dewasa. Dengan dalih adanya sihir yang mempengaruhi, padahal
sebenarnya ini adalah bentuk pendisiplinan anak agar bisa melawan ketakutan
yang sedang dihadapinya.
53
Namun perlakuan tersebut bisa berakibat buruk terhadap perkembangan
anak dimasa mendatang. Seperti yang diungkapkan Annisa (2012:23) bahwa anak
– anak yang pernah mendapat kekerasan, maka ia akan memiliki memori negatif,
dingin, dan menakutkan tentang kekrasan yang pernah dialaminya. Bahkan, jika
dewasa nanti ia bisa berbuat hal yang serupa terhadap anak – anak. Hal ini
menguatkan pendapat Kurniawan (2012) mengenai penguasaan laki – laki
terhadap laki – laki lain sudah terjadi sejak usia belia dan akan berlanjut hingga
dewasa nanti.
Dalam dogma maskulinitas tradisional, perilaku kekerasan laki – laki yang
bersifat negatif cenderung toleran terhadap bentuk kekerasan. Masyarakat
terkadang permisif jika laki – laki berprilaku negatif karena dianggap sebagai
suatu hal yang biasa dilakukan laki – laki. Ini sekaligus menimbulkan asumsi,
selama masih dalam koridor nilai kejantanan, maka tidak ada sesuatu yang tabu
dilakukan oleh laki – laki (Kurniawan,2012). Hal tersebut seperti yang terjadi
dalam scene, saat joki dipukuli lantaran ketakutannya menaiki kuda, laki – laki
disekelilingnya hanya menjadi penonton dan tidak berbuat apa – apa. Padahal
sangat jelas bahwa memukul adalah bentuk kekerasan terhadap anak yang diatur
dalam undang – undang. Itulah yang menjadi budaya dan kepercayaan masyarakat
setempat yang sulit untuk diubah.
Kekerasan berupa pukulan yang terjadi pada joki saat merasa takut
dikaitkan dengan sihir, sehingga yang disalahkan bukan joki melainkan adanya
sihir yang mempengaruhi dirinya. Meniup ubun – ubun dalam tradisi masyarakat
Sumbawa biasanya untuk menghilangkan rasa takut, mengembalikan kepercayaan
54
diri, dan menghilangkan rasa sakit. Dalam perlombaan, hanya sandro yang
diandalkan untuk menyembuhkan segala keluhan joki di arena pacuan kuda.
Pada dasarnya, rasa takut datang begitu saja dan hanya dapat diusir jika
ada rasa aman yang menggantikan posisinya. Rasa takut dapat dihilangkan dengan
menjauhkan anak dari objek yang ditakutinya serta memperhatikannya dari jarak
jauh sambil orang dewasa member penjelasan terhadap anak agar anak merasa
aman dan kembali percaya diri (inspiredkidsmagazine.com dalam Annisa
2012:30). Hal yang berbeda terjadi pada perlakuan yang diterima oleh joki. Saat
joki merasa takut dan menangis karena kuda yang tidak tenang, orang dewasa
justru memarahi dan memaksa joki untuk menaiki kudanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menganalisa bahwa orang dewasa
dalam hal ini tidak memiliki pengetahuan secara psikologis untuk memahami
keinginan anak – anak dan solusi untuk memecahkan masalah yang sedang
dihadapi anak. Orang dewasa cenderung membudayakan pola pengasuhan anak
yang sudah terjadi secara turun temurun sesuai dengan perlakuan yang
diterimanya pada saat masih menjadi anak – anak. Menangis merupakan hal yang
secara kodrati dimiliki oleh semua manusia baik laki – laki maupun perempuan.
Memang secara perasaan, perempuan lebih sensitif dan lebih mudah menangis.
Namun, tidak dipungkiri bahwa laki – laki juga memiliki sisi sensitif yang dapat
membuatnya menangis dan tidak bisa dihilangkan hanya bisa dikendalikan. Inilah
yang menjadi bentuk pengajaran laki – laki dewasa dalam film joki kecil, yakni
anak laki – laki diajari untuk mengolah perasaan dan pemikiran mereka terutama
dalam hal menangis meski caranya yang masih belum sesuai.
55
Dari ketiga scene di atas, menunjukkan bahwa maskulinitas sangat
dipegang teguh sebagai acuan dalam mendidik dan membesarkan anak laki – laki.
Meski cara yang digunakan masih terkesan belum sesuai, inilah perilaku yang
digunakan dan diyakini sebagai mitos yang berkembang dalam masyarakat.
56
BAB IV
ANAK LAKI – LAKI DAN LINGKUNGAN SOSIALNYA
Pada bab sebelumnya, peneliti telah membahas mengenai representasi
anak laki – laki dalam film joki kecil. Berdasarkan penelitian, peneliti menemukan
bahwa anak laki – laki yang berprofesi sebagai joki dipersiapkan untuk menjadi
laki – laki yang sadar akan tanggung jawab, fungsi, serta karakternya kelak
sebagai laki – laki. Anak laki – laki dididik untuk bisa mencari nafkah, memiliki
keberanian tinggi, serta tidak bersifat kewanitaan. Metode dalam mendidik anak
laki – laki dalam film yang mencerminkan laki – laki Sumbawa diwujudkan
dengan perilaku tegas dan cenderung keras, bahkan tidak jarang menggunakan
kekerasan baik secara verbal maupun non verbal.
Berdasarkan analisis Roland Barthes, peneliti juga menemukan bahwa
mitos yang berkembang dalam permainan rakyat Pacuan Kuda Sumbawa yakni
adanya Patrarki, Mistisme,dan Maskulinitas. Dari ketiga mitos tersebut, dapat
ditarik satu ideologi yakni ideologi patriarki karena maskulinitas dan mistisme
pada dasarnya dipayungi oleh ideologi patriarki.
Sehingga pada bab ini peneliti akan membahas secara lebih detail
mengenai keterlibatan anak laki – laki dalam pacuan kuda Sumbawa, Jimat
sebagai simbol pembangkit keberanian terhadap joki dan kehadiran atau peran
laki – laki dewasa dalam pembentukan karakter anak laki – laki pada film Joki
kecil yang merupakan objek penelitian peneliti sehingga dalam bab ini peneliti
membagi pembahasan menjadi tiga sub bab yakni sebagai berikut :
57
4.1 Anak Laki – Laki dalam Pacuan Kuda Sumbawa
Pacuan kuda Sumbawa merupakan sebuah tradisi masyarakat yang sudah
dilakukan secara turun temurun sejak jaman Kesultanan. Pacuan kuda pada saat
itu merupakan sebuah ekspresi kegembiraan masyarakat khususnya petani seusai
masa panen. Mereka berlomba mengadu lari kudanya hanya untuk kesenangan.
Jokinya pun yang merupakan seorang anak laki – laki menunggang kuda untuk
menguji keberanian mereka yang tentunya tanpa bayaran (Andari dalam
Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:30).
Peneliti melihat bahwa tradisi ini telah bergeser dan berubah makna
seiring dengan perkembangan zaman serta pola pikir masyarakat Sumbawa. Saat
ini pacuan kuda Sumbawa menjadi bagian dari pelestarian budaya yang terus
dikembangkan dan diselenggarakan sebagai sebuah perlombaan.
Penyelenggaraannya pun tidak hanya satu kali setahun yakni pada saaat musim
kemarau saja, tetapi bisa empat kali bahkan lebih apabila ada event kebudayaan
maupun sponsor yang mendukungnya seperti pemerintah daerah maupun swasta.
Terlebih lagi hadiah yang diperebutkan sangat fantastis. Jika dahulu pemenang
hanya diberi hadiah sarung seharga puluhan ribu rupiah, saat ini pemenang
memperebutkan sebuah sepeda motor yang bernilai belasan hingga puluhan juta
rupiah (Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:43).
Pacuan kuda ini menjadi sangat populer dimasyarakat karena tingginya
kecintaan masyarakat terhadap kuda serta nilai jual kuda pacu yang relatif lebih
mahal dibanding kuda biasa. Selain itu, pacuan kuda juga menjadi ajang
pertaruhan nama baik pemilik kuda. Seperti yang diungkapkan oleh bapak
58
Masuarang pada gambar 3.3. dalam wawancaranya, beliau mengatakan bahwa
mengikuti pacuan kuda dapat nama dan kegembiraan hati.
Tidak hanya tujuan pacuan kuda yang bergeser dalam pandangan
masyarakat, pemaknaan dan penggunaan joki pun ikut bergeser. Jika dulu anak
laki – laki menjadi joki hanya untuk menguji keberanian dan tanpa bayaran, saat
ini anak laki – laki menjadi joki sebagai sebuah profesi yang menghasilkan dan
mampu menambah penghasilan keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Maun
pada gambar 3.1 bahwa ia menjadi joki diberi bayaran yang uangnya digunakan
untuk membeli keperluan sekolah dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti memandang bahwa pergeseran
budaya ini terjadi akibat sedikitnya joki yang berbakat dan terampil sementara
jumlah kuda yang ikut serta dalam lomba pacuan kuda lebih banyak. Sehingga,
para pemilik kuda harus pandai memilih dan mencari joki untuk kuda mereka.
Keterlibatan anak laki – laki sebagai joki dalam pacuan kuda tentunya menjadi
bagian terpenting dalam pelombaan selain kuda. Pasalnya, tanpa joki kuda tidak
bisa diikutsertakan dalam perlombaan atau bisa didiskualifikasi. “joki dibayar
dan membuat kesepakatan dengan pemilik kuda agar ia mau menunggang kuda
miliknya. Besar bayaran tergantung kesepakatan dari kedua belah pihak. Ada joki
yang dikhususkan hanya untuk satu kuda saja selama perlombaan dan ada pula
yang menjadi joki bergilir” kata bapak A. Lamo. Dengan demikian, joki
diperlakukan sebagai pekerja yang dibayar dan harus memenuhi tanggung
jawabnya.
59
Keterlibatan anak laki – laki dalam pacuan kuda sudah tidak semata –
mata mengajarkan keberanian terhadap anak melainkan mempersiapkan anak laki
– laki dengan fungsinya kelak sebagai kepala rumah tangga yang mencari nafkah
untuk keluarganya. Senada dengan yang diungkapkan Nurjanah (2017:65) dalam
tulisannya bahwa anak laki – laki kelak saat telah dewasa akan berperan sebagai
sosok yang pantas dan berkewajiban untuk mencari nafkah di luar rumah. Namun,
pengajaran tersebut melanggar hak anak dan cenderung melakukan eksploitasi
terhadap anak. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Martaja dalam
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-eksploitasi-anak-menurut-
para-ahli/ diunduh pada 20 Februari 2018 bahwa eksploitasi anak secara ekonomi
adalah pemanfaatan anak – anak demi mendapatkan keuntungan baik berupa uang
ataupun setara dengan uang. Dengan demikian, anak laki – laki dipekerjakan
sebagai joki dan dibayar oleh pemilik kuda yang menjadi bentuk dari tindak
eksploitasi anak. Anak – anak dibayar dengan uang maupun hewan peliharaan
dapat membantu menambah ekonomi keluarga.
Namun, jika dipandang dari segi budaya anak laki – laki yang menjadi joki
merupakan suatu bentuk pelestarian budaya dan keluarga. Dikatakan sebagai
bentuk pelestarian budaya karena sejak lama penggunaan anak laki – laki sebagai
joki disesuaikan dengan jenis kuda di Sumbawa yang cenderung kecil sehingga
dengan joki kecil kuda akan bisa berlari dengan cepat saat perlombaan. Sementara
sebagai bentuk pelestarian keluarga merupakan tradisi keluarga yang secara turun
temurun sudah bergelut dengan kuda serta kecintaan terhadap kuda dan pacuan
kuda yang semakin tinggi. Hal ini terjadi juga dipengaruhi oleh nilai anak. Saat
anak memiliki bakat untuk menjadi joki, maka orang tuanya akan menuntun dan
60
mengajarinya untuk menjadi joki yang secara sadar ataupun tidak menjurus
kepada tindak eksploitasi anak.
Meski pada dasarnya perilaku tersebut merupakan salah satu cara orang
tua membentuk kepribadian anak laki – lakinya seperti yang peneliti ungkapkan
sebelumnya, secara tidak sadar para orang tua telah melanggar hak anak dan
menambah deretan kasus eksploitasi anak. Sebagaimana yang dituliskan dalam
Undang – Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 ayat 1
yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali
atau pihak lain manapun (dibawah 18 tahun) yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi,
eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman-kekerasan-
dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Pidana atas
pelanggaran tersebut khususnya eksploitasi anak juga diatur dalam Undang
Undang dalam pasal 88 yang berbunyi setiap orang yang mengeksploitasi
ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
denda paling banyak dua ratus juta rupiah.
Dengan adanya Undang – Undang tersebut, nampaknya belum berjalan
baik sesuai aturan yang berlaku. Faktanya, kasus pekerja anak di Indonesia tidak
mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan budaya
yang sudah mengakar dalam masyarakat tradisional dan mereka tidak mengakui
insiden tersebut (Piri,2013:35). Seperti halnya dalam pacuan kuda Sumbawa,
menjadikan anak – anak sebagai joki tidak dipandang sebagai bentuk
mempekerjakan anak yang menjadi bagian dari eksploitasi anak. Melainkan
61
sebagai bentuk pengajaran terhadap fungsi anak laki – laki dalam menjadi laki –
laki saat telah berkeluarga dan sebagai bentuk pengujian atas keberanian anak laki
– laki.
Selain itu, peneliti menemukan bahwa dengan keterlibatan anak laki – laki
dalam pacuan kuda yang semakin sering diadakan bahkan pada waktu sekolah,
mengakibatkan anak – anak lebih memprioritaskan pacuan kuda dibanding
sekolahnya. Karena menjadi joki sudah dibayar dan sudah terlanjur terikat kontrak
dengan pemilik kuda sehingga tidak mungkin ditinggalkan. Padahal seharusnya,
anak – anak lebih mengutamakan pendidikan dibanding yang lainnya. Seperti
yang diungkapkan Piri (2013:28) dalam tulisannya bahwa anak – anak seharusnya
mendapatkan pendidikan yang layak guna menghadapi masa depan sebagai
seorang penerus bangsa.
Terlepas dari masalah tersebut, menjadi joki tentunya dibutuhkan
keterampilan dan keberanian yang harus ditanamkan pada jiwa anak laki – laki
agar tidak mengalami kecelakaan fatal pada saat perlombaan.
4.2 Sandro : Keberanian Semu Anak Laki – Laki
Menjadi joki tentunya memiliki resiko cedera yang sangat besar. Berada di
atas kuda yang berlari kencang tanpa perlengkapan keselamatan yang memadai
menambah besar resiko kecelakaan yang akan terjadi. Berdasarkan hal tersebut,
diperlukan keberanian dan keterampilan yang sangat besar pula yang harus
dimiliki joki. Film joki kecil menggambarkan ketangkasan dan keberanian joki
dalam menunggang kuda pacu. Ini merupakan salah satu metode pengajaran orang
tua terhadap pembentukan keberanian anak laki – lakinya. Namun dibalik itu, ada
62
hal magis yang dipercaya secara turun temurun untuk mempermudah hal tersebut
yakni dengan melibatkan sandro / dukun.
Sandro dalam pacuan kuda sangat penting keberadaannya dalam segala hal
baik dari sisi medis maupun dari sisi magis. Dari sisi medis, sandro dianggap
sebagai pengganti dokter yang diyakini bisa menyembuhkan segala keluhan joki
saat terjatuh dari kuda dan terluka dengan menggunakan ramuan tradisional
maupun air doa. Sedangkan dari sisi magis, sandro dianggap sebagai pelindung
kuda dan joki dari gangguan ilmu hitam yang datang dari pihak lawan selama
perlombaan. Segala hal yang dialami joki dan kuda mulai dari kuda yang
mengamuk dan tidak mau masuk kebilik start, joki yang menolak naik ke atas
kuda, hingga kecelakaan yang dialami joki saat perlombaanpun dianggap sebagai
gannguan dari ilmu hitam. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian, peneliti
menemukan dua media yang digunakan sandro dalam menangkal ilmu hitam dari
pihak lawan yakni dengan menggunakan mantra/jampi – jampi dan jimat.
Merujuk pada tulisan Hariansyah (2017:18-19), Mantra merupakan
sesuatu yang dibacakan oleh dukun/orang pintar. Dalam masyarakat Indonesia,
mantra dikenal sebagai lapalan dengan maksud tertentu baik maksud baik maupun
maksud buruk yang pasti, mantra diyakini memiliki kekuatan magis yang sangat
kuat. Setiap daerah di Indonesia pada umumnya memiliki mantra. Biasanya
menggunakan bahasa daerah masing – masing, bahasa arab karena pengaruh
Islam, bahasa sanskerta karena pengaruh hindu-budha,maupun bahasa Indonesia.
Dalam perkembangannya terjadi peleburan antara mantra dengan unsur Islam dan
tradisi masyarakat setempat dimana mantra itu berada.
63
Di Sumbawa khususnya dalam pacuan kuda seperti yang terlihat dalam
beberapa scene dalam film, sandro meniup ubun – ubun joki sebelum menaiki
kuda pacu saat perlombaan serta pada saat joki terluka dengan melapalkan mantra.
Pelapalan mantra yang dibarengi dengan meniup ubun – ubun joki diyakini agar
joki tidak takut dan tidak gentar saat berada di atas kuda saat kuda berlari serta
menghilangkan trauma atau rasa sakit yang dimiliki joki saat terjatuh maupun
terluka. Hal ini diperkuat oleh bapak A.Lamo dalam wawancara personal peneliti
pada 01 Februari 2018, beliau mengatakan bahwa meniup ubun – ubun joki oleh
sandro agar joki tidak menyerah sebelum berperang (uda api =dalam bahasa
Sumbawa) sehingga joki tetap berani dan percaya diri saat berada di atas kuda.
Selain mantra, untuk meningkatkan keberanian joki dalam perlombaan
juga menggunakan jimat. Jimat pada umumnya menggunakan teks dari ayat Al –
Qur’an yang menjadi tradisi dan berkembang tergantung kepada pemaknaan
pemakainya (Hariansyah,2017:22). Seperti pada gambar 3.5 yakni bapak angkat
Syaiful yang memperlihatkan selembar kain hitam bertuliskan huruf arab gundul
yang diyakini sebagai jimat yang apabila joki takut akan menjadi berani, apabila
dipakai joki tidak akan jatuh, apabila jatuh tidak akan sakit, dan apabila joki tidak
mau naik ke atas kuda dengan adanya jimat tersebut akan naik. Jimat yang
biasanya digunakan dalam pacuan kuda Sumbawa adalah jimat Mentia Tokek
yakni agar tubuh joki lengket seperti tokek di atas punggung kuda dan jimat
Mentia Kapas yang dipercaya bisa meringankankan badan joki saat berada di atas
punggung kuda seperti kapas sehingga kuda berlari seperti tidak membawa beban
(Andari dalam Erliana,Ilmiyati, dan Andari, 2014:34).
64
Pembuatan dan penggunaan jimat menggunakan ayat Al – Qur’an dan
sejumlah bacaan lain diyakini berasal dari ajaran Islam sudah berlangsung secara
turun temurun. Di antaranya menjadikan potongan – potongan ayat, satu ayat,
ataupun beberapa ayat tertentu dikutip dan dijadikan sebagai sarana untuk
menjadikan ayat Al – Qur’an sebagai hal magis yang dibuat dengan beragam
tujuan tertentu. Potongan ayat tertentu dari Al – Qur’an dijadikan sebagai “jimat”
yang dibawa kemana saja oleh orang yang meyakini jimat tersebut sebagai perisai
diri, tolak balak atau menangkis serangan musuh dan unsur jahat lainnya. Di titik
ini, ayat Al – Qur’an telah bertransformasi menjadi “ilmu“ yang diyakini memiliki
kekuatan gaib. Melalui mantra atau jimat sejumlah orang yang meyakini kekuatan
ilmu gaib yang terdapat “di dalam” mantra dan jimat merasa yakin akan kekuatan
gaib yang ada untuk dapat memberikan bantuan hingga memuluskan atau meraih
semua keinginannya (Mulyadi,2017:66).
Dalam keberlangsungan kerja jimat dan mantra tentunya diperlukan
adanya keyakinan kuat dari dalam diri penggunanya. Karena jika tidak, maka
mantra ataupun jimat bisa saja tidak bekerja sesuai dengan tujuan pembuatannya.
Dari perspektif psikologis, adanya mantra dan jimat memungkinkan seseorang
memasuki kondisi rileks yang membantu pembuatnya untuk melakukan
visualisasi untuk kemudian memasuki alam bawah sadar untuk menciptakan
sugesti diri (Gent dalam Hariansyah,2017:19). Seperti yang terjadi pada Maun
dalam ungkapan wawancaranya pada gambar 3.6 yang mengatakan bahwa
pemakaian jimat untuk dirinya hanya sebagai lambing dan tidak ada gunanya. Jika
dibilang tidak akan jatuh, tetap jatuh. Saat jatuh tidak akan sakit, tapi pada
kenyataanya jatuh dari kuda yang berlari kencang di arena perlombaan tentu sakit.
65
Bahkan pada saat merasa takut, dengan adanya jimat akan berani. Padahal jika
kuda sedang tidak tenang, tentu joki sebagai anak – anak akan merasa takut untuk
menaiki kuda terutama di bilik start. Bilik start merupakan salah satu tempat yang
beresiko untuk terjadi kecelakaan. Pipa – pipa besi yang menjadi sekat sempit
bilik start membuat kuda yang bersiap merasa tidak nyaman yangakhirnya
membuat kuda melompat tidak terkendali dan enggan memasuki bilik start
(http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki diunduh
pada 14 Januari 2018). Sehingga wajar jika anak – anak yang berperan sebagai
joki merasa was – was saat berada di bilik start karena takut kaki mereka terjepit,
atau kepala terkena papan start saat kuda tidak terkendali.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa mantra dan
jimat hanya sebagai pelengkap yang digunakan untuk memasuki alam bawah
sadar anak laki – laki agar mempercayai keberadaan jimat dan mantra sebagai
pembantu dalam menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam
perlombaan termasuk untuk menghilangkan rasa takut dan meningkatkan
keberanian. Padahal pada dasarnya, keberanian dan ketakutan yang dimiliki joki
datang dari dirinya sendiri yang terbentuk berdasarkan lingkungan sosialnya.
Kehadiran sandro dalam pacuan kuda dengan segala keampuhannya hanya
menjadi mitos yang berkembang dan dipercaya secara turun temurun oleh
masyarakat Sumbawa. Sehingga pada akhirnya mengurat akar dan lebih
mempercayai hal – hal mistis dalam mengonstruksi keberanian anak laki – laki
sebagai joki. Dalam hal ini, ideologi / budaya patriarki juga berlaku dimasyarakat
karena pelaku yang terlibat pacuan kuda dan hal mistis sandro pada umumnya
didominasi oleh laki – laki baik laki – laki dewasa maupun anak laki – laki.
66
Berdasarkan budaya patriarki, anak laki – laki akan belajar dari laki – laki juga.
Maka dari itu, pada sub bab selanjutnya peneliti membahas bagaimana proses
anak laki – laki berkaca dari tingkah laku laki – laki dewasa yang akan
membentuk karakternya dimasa yang akan datang.
4.3 Anak Laki – Laki sebagai Transisi Menjadi Orang Dewasa
Orang tua dianggap sebagai orang yang telah memahami dan paham
tentang bagaimana menjalani kehidupan. Sementara anak – anak adalah orang
yang baru belajar tentang kehidupan. Anak akan melihat kehidupan sebagaimana
yang diajarkan oleh orang tua mereka melalui hubungan mereka dengan orang tua
baik hubungan yang menyenangkan ataupun tidak. Orang tua menjadi model bagi
anak – anak mengenai berbagai cara dalam menghadapi kehidupan (Youniss dan
Smollar dalam Andayani dan Maharani, 2003:27). Anak perempuan maupun laki
– laki memiliki cara yang berbeda dalam mendidiknya. Anak perempuan akan
cenderung mengikuti aktifitas ibunya, sementara anak laki – laki akan
diikutsertakan dalam aktifitas ayahnya.
Demikian halnya dengan yang tergambar dalam film joki kecil.
Keterlibatan anak laki – laki dalam pacuan kuda tentu tidak terlepas dari pengaruh
orang tua khususnya ayah yang menjadikannya joki sebagai bagian dari cara
mendidik anak laki – lakinya. Anak laki – laki sebagai joki saat berada di atas
kuda terkesan sebagai sosok yang kuat, berani, dan tangguh. Namun dibalik hal
yang nampak tersebut, joki banyak mengalami proses yang tidak mudah dilalui
untuk anak seusianya.
67
Dalam film, kekerasan verbal dan non verbal dialami joki yang dianggap
orang tua sebagai cara mendidik anak laki – lakinya. Dalam hal ini, peneliti
menemukan bahwa orang tua masih belum memahami tata cara mendidik anak
yang seharusnya. Terutama anak yang menjadi joki yang sehari – harinya
berhubungan dengan banyak laki – laki dewasa tidak hanya ayahnya sendiri.
Seperti yang dijelaskan Roucek dan Waren dalam Dhohiri,dkk dikutip Putri (Nd)
yang menyatakan bahwa faktor sosiologis atau lingkungan merupakan faktor
pembentukan kepribadian seseorang. Faktor tersebut akan membentuk
kepribadian seseorang sesuai dengan perilaku atau kepribadian kelompok atau
lingkungan masyarakatnya.
Diperkuat dengan tulisan Satria (2017:28) dalam tulisannya yang
menyatakan bahwa individu yang mendapatkan perilaku kekerasan pada masa
kecil akan menjadikannya sebagai individu yang agresif, sehingga saat dewasa
individu tersebut akan melakukan kembali pengalaman dimasa kecilnya kepada
anak – anaknya. Menurut bapak A.Lamo dalam wawancaranya beliau
mengungkapkan bahwa karakter laki – laki Sumbawa memang keras dan tegas.
Sehingga perlakuan keras dan kasar yang dialami joki sudah merupakan cara
mereka mendidik anak laki – lakinya. Sementara untuk mendidik anak
perempuan, karakter mereka akan mengikuti bagaimana anak perempuan berlaku
seharusnya. Pembagian perlakuan ini diakibatkan oleh sistem patriarki yakni
sistem sosial yang menempatkan laki – laki sebagai sosok otoritas utama dan lebih
mengistimewakan laki – laki. Terdapat perbedaan antara laki – laki dan
perempuan yang dilandasi oleh nilai – nilai budaya masyarakat (Khusyairi dalam
Nurjanah, 2017:20).
68
Perlakuan semacam ini bisa dibilang sebagai perlakuan lingkaran setan
yang akan terus berputar seperti itu secara turun temurun. Seperti yang telah
peneliti paparkan pada gambar 3.7, 3.8, dan 3.9. Laki – laki sebagai sosok otoritas
utama akan melakukan apa yang dianggapnya benar berdasarkan pengalaman
yang pernah dilaluinya. Termasuk kekerasan verbal maupun non verbal yang
diaplikasikannya kepada anak laki – laki yang menjadi joki.
Dunia anak adalah dunia bermain dan sekolah yang diarahkan pada
peningkatan dan akselerasi perkembangan jiwa, fisik, mental, moral , dan
sosialnya (Piri,2013:38). Perlakuan dalam mengarahkan anak sangat penting agar
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak akan sesuai dengan yang
diinginkan orang tuanya. Anak laki – laki akan bercermin dari ayahnya maupun
laki – laki dilingkungan sosialnya, begitu pula sebaliknya. Seperti yang dikatakan
Putri dan Santoso (2012:24) bahwa anak ibarat kanvas putih polos yang siap di
sapu dan diberi warna beraneka ragam sehingga cara mendidik dan membesarkan
anak sangat penting. Ibarat kanvas yang diberi warna, maka apa yang tergambar
itulah yang akan terbaca.
69
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis tentang representasi anak laki – laki dalam film
joki kecil karya Yuli Andari dan Anton Susilo, peneliti menemukan bahwa dalam
budaya Sumbawa anak laki – laki dididik dan dibesarkan dengan pola yang sama
secara turun temurun sesuai dengan lingkungan sosialnya bagaimana orang –
orang dewasa sebelumnya diperlakukan. Anak laki – laki menjadi joki bisa saja
karena ayahnya dulu pernah menjadi joki ataupun sebagai pemelihara kuda.
Kecintaan mereka terhadap pacuan kuda semakin melestarikan budaya
penggunaan anak laki – laki sebagai joki. Meski tidak semua anak laki – laki bisa
menjadi joki, bakat menjadi joki sudah diwariskan secara turun temurun.
Sehingga, anak laki – laki yang menjadi joki merupakan suatu bentuk didikan
orang tua terhadap anak laki – lakinya dalam membentuk norma kelelakiannya
sesuai dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Anak laki – laki secara tidak langsung dipersiapkan untuk menjadi laki –
laki yang bisa bertanggung jawab akan fungsinya kelak sebagai kepala keluarga
yang mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Karena penggunaan joki saat ini
sudah tidak lagi hanya sekedar uji keberanian anak laki – laki dalam menunggang
kuda melainkan telah bergeser menjadi sebuah profesi yang dibayar oleh pemilik
kuda. Bayaran yang diterima joki pun memang tidak seberapa hanya sekitar dua
puluh ribu hingga lima puluh ribu rupiah saja. Nominal ini bisa berlipat ganda
apabila joki bisa membawa kuda yang ditungganginya menjadi juara kelas
70
ataupun juara harapan. Tidak hanya berbentuk uang, hewan peliharaan seperti
kerbau dan sapi pun bisa diberikan kepada joki oleh pemilik kuda tergantung
kesepakatan antara pemilik kuda dan orang tua joki sebelum perlombaan.
Selain itu, dalam perjalanannya menjadi joki, anak laki – laki tidak serta
merta mendapatkan gelar sebagai joki hebat, terampil, dan berani. Tetapi harus
melalui proses panjang yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Perlakuan kasar hingga berujung pada kekerasan baik verbal maupun non verbal.
Hal ini dilakukan semata – mata untuk membentuk kepribadian anak laki – laki
sebegaimana norma kelelakian yang berlaku dalam masyarakat. Keberanian anak
laki – laki dalam pacuan kuda pun terkadang sering dikaitkan dengan kehadiran
sandro yang bersinggungan dengan hal magis berupa mantra dan jimat. Secara
tidak langsung, kehadiran sandro dalam pacuan kuda seakan menghilangkan rasa
keberanian yang ada dalam diri anak laki – laki itu sendiri. Sehingga tidak jarang
anak laki – laki yang menjadi joki hebat karena memiliki sandro yang hebat pula.
Pada faktanya, penggunaan mantra maupun jimat yang diberikan oleh sandro
hanya sebagai pelengkap yang tidak merubah apapun. Jika joki lalai dalam
menunggang kuda maka resiko kecelakaan akan dialaminya. Perlakuan –
perlakuan tersebut secara tidak sadar mengakibatkan pelanggaran terhadap hak
anak dan eksploitasi anak.
Pacuan kuda merupakan salah satu bentuk perwujudan norma maskulinitas
dalam budaya patriarki yang selama ini telah menjadi acuan laki – laki dalam
berperilaku secara sosial dimasyarakat. Karena pada dasarnya, orang – orang yang
terlibat dalam pacuan kuda Sumbawa adalah laki – laki baik dewasa maupun anak
laki – laki. Selain itu, pacuan kuda merupakan suatu pelestarian budaya dan joki
71
anak adalah tradisi mengakibatkan tidak adanya penanggulangan serius baik dari
pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Sehingga kedepannya dengan adanya
film joki kecil ini diharapkan adanya perlombaan pacuan kuda yang ramah anak
yang selalu memperhatikan kondisi anak baik dari sisi psikologis dan
keberlangsungan hak – hak anak yang wajib diperolehnya.
5.2 Saran
Penelitian ini menganalisis tentang representasi anak laki – laki dalam film
joki kecil karya Yuli Andari dan Anton Sussilo. Penelitian ini hanya berfokus
pada bagaimana anak laki – laki ditampilkan dalam scene – scene film sebagai
joki dididik untuk menjadi laki – laki sesuai dengan budaya dalam masyarakat
Sumbawa dengan mengaitkan sedikit mengenai eksploitasi anak dan kehadiran
sandro dalam pacuan kuda Sumbawa. Topik ini mungkin bisa menjadi hal yang
menarik untuk diteliti lebih mendalam pada penelitian selanjutnya. Namun karena
penelitian ini berbicara mengenai kebudayaan lokal Sumbawa, literatur dalam
bentuk tulisan masih sangat minim diperoleh. Sehingga, peneliti harus bertumpu
pada wawancara ahli dalam masyarakat yang berkompeten dibidangnya untuk
memperkuat hasil penelitian.
72
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Afrizal.2015.Metode Penelitian Kualitatif : Sebuah Upaya Mendukung
Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta :
Rajawali Pers
Andayani, Budi dan Orthorita Putri Maharani. 2003. Hubungan Antara Dukungan
Sosial Ayah dengan Penyesuaian Sosial pada Remaja Laki – Laki. Jurnal
Psikologi No.1 Hal. 23-35
Annisa, Ratu. 2014. Representasi Nilai Kesetiaan Anak kepada Orang Tua dalam
Film Animasi Spirited Away (Analisis Semiotika Terhadap Film Animasi
Spirited Away Karya Miyazaki Hayao). Jurnal Skripsi. Program Studi Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Annisa, Rifka. 2012. Penydaran Gender untuk Laki – Laki. Modul Kegiatan
Diskusi 2 Jam untuk Komunitas. Yogyakarta : Oxfom
Aryanto, Imam Karyadi. 2013. Jesus di Holliwood. Cetakan kelima. Yogyakarta :
Kanisius
Arzak, Miftahul. 2015. Wacana Pendidikan bagi Anak di Tabloid “Koran Anak”.
Tesis. Program Studi Kajian Budaya dan Media, Fakultas Sekolah
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta : Jalasutra
Devi, Galuh Y. 2017. Representasi Perempuan Sumbawa dalam Film Fiksi Lokal
Sumbawa (Analisis Film Menya(m)bung Nasib di Negeri Orang). Skripsi.
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas
Teknoloi Sumbawa.
73
Erliana, Ilmiyati, Andari.2014. Joki Kecil Berhak Belajar : Pesan Dari Sekolah
Pinggir Arena. Yogyakarta : CV.Arti Bumi Intaran
Effendy, Onong Uchjana.2007. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Cetakan
ketiga. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Halim, Syaiful. 2017. Semiotika Dokumenter: membongkar Dekonstruksi Mitos
dalam Media Dokumenter. Yogyakarta : Deepublish
Hariansyah. 2017. Mantra Pesisir (Pertemuan Tradisi dan “Ilmu” Masyarakat
Islam Pesisir). Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam At-Turats Vol. 11 No. 1
(2017) Hal. 16-30
Imanda, Tito. 2004. Si Unyil Anak Indonesia. Jurnal. New York University
Iswari, Diyah A. 2011. Representasi Kekeraasan Anak di Media (Studi Semiotika
Kekerasan pada Anak yang Direpresentasikan dalam Film Slumdog
Millionaire). Skripsi. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Khoiriyah, Lilik. 2009. Pengaruh Upah dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan pada CV. Aji Bali Jaya Wijaya Surakarta. Skripsi. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Maluda, Vetriani. 2014. Representasi Kekerasan Pada Anak (Analisis Semiotik
dalam Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” Karya Deddy Mizwar). Jurnal
Vol.2 No.1. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Mulawarman.
Mujahidin, Anwar. 2016. Analisis Simbolik Penggunaan Ayat – Ayat Al – Qur’an
sebagai Jimat dalam Kehidupn Masyarakat Ponorogo. Jurnal Vol.10 Nomor
1 Juni 2016 Hal. 43-64
Mulyadi, Yadi. 2017. Al – Qur’an dan Jimat (Studi Living Qur’an pada
Masyarakat Adat Wewengkon Lebak Banten. Tesis. Prodi Konsentrasi
74
Tafsir, Program Magister Fakultas Ushuluddin, Universitas Isslam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Novitasari, Ari. 2013. Analisis Semiotik Representasi Anak – Anak dalam Film
Denias Senandung di Atas Awan dan Laskar Pelangi. Jurnal Vol.1.
Universitas Airlangga.
Nurjanah, Ade. 2017. Analisis Hukum Tentang Kedudukan Anak Laki – Laki
dalam Hukum Keluarga di Masyarakat Adat Sunda (Studi Kasus di
Kelurahan Pajar Bulan Way Tenong Lampung Barat). Skripsi. Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Permatasari, Neneng A. 2017. Representasi Anak dalam Film Perang (Analisis
Semiotika pada Film Life Is Beautiful dan The Boy in The Stripped
Pajamas). Jurnal Vol. 1 No.1. Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam
Bandung.
Piri, Megalia Tifani. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Eksploitasi
Anak (Kajian Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002). Lex
Administratum Vol.1 No. 2 April-Juni 2013 hal. 25-41
Poedjianto, Sylvia A. 2014. Representasi Maskulinitas Laki – Laki Infertil dalam
Film Test Pack Karya Ninit Yunita. Tesis. Program Magister Media dan
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga.
Putri, Ajeng Gayatri Octorani. Nd. Eksploitasi Pekerja Anak dibawah Umur
Sebagai Bentuk Penyimpangan Sosial (Studi Etnografi Anak – Anak
Pengumpul Koin Dermaga Pelabuhan Merak Kota Cilegon). Jurnal Sosietas
Vol. 5 No. 1
Putri, Anora Mentari dan Agus Santoso. 2012. Persepsi Orang Tua Tentang
Kekerasan Verbal pada Anak. Jurnal Vol. 1 No. 1 Hal.22-29
Rato, Daeng Lanta Mutiara. 2013. Representsi Sosok Anak – Anak Pedalaman
Papua dalam Film Denias, Senandung di Atas Awan. Summary Skripsi.
75
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro.
Satria, Muhammad. 2017. Pengaruh Kekerasan Verbal Orang Tua Terhadap
Komunikasi Verbal Anak di SMA Muhammadiyah I Palembang. Skripsi.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN)
Raden Fatah Palembang.
Slistyarini, Chlaras. 2013. Dilema Identitas Etnis Tionghoa dalam Film Televisi
(FTV) Indonesia (Analisis Semiotik tentang Representasi Identitas Etnis
Tionghoa di Singkawang dalam FTV Bakpao Ping Ping). Naskah Publikasi.
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Informatika,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sobur, Alex.2009. Semiotika komunikasi. Cetakan keempat. Bandung:PT. Remaja
Rosda Karya
Solihin, Lianny. 2004. Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga. Jurnal
No. 03 Th.III
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 2917 Tahun 2011 Tentang Penetapan
Rumpun Kuda Sumbawa.
Taqiyya, Hani. 2011. Analisis Semiotik Terhadap Film In The Name Of God.
Skripsi. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tinarbuko, Sumbo.2013. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : Jalasutra
Undang – Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang – Undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman
76
Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Cetakan Pertama.
Bogor : Ghalia Indonesia
Wibawa, IGAK Satria. 2010. Representasi Anak – Anak dalam Film Rindu Kami
Padamu : Menggugat Peran Bapak dalam Keluarga. Jurnal.
Sumber Internet :
BBC Indonesia. 2013. Joki Cilik di Pacuan Kuda Sumbawa.
http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2013/11/131118_galeri_joki
diunduh pada 14 Januari 2018
Beawiharta. 2012. Joki Anak –Anak di Sumbawa Abaikan Bahaya Demi Uang.
https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/1552837.html
diunduh pada 10 Januari 2018
Bimbaaiueo.com. 2015. https://bimba-aiueo.com/hindari-berkata-kasar-dan-
membentak-anak/ diunduh pada 12 Februari 2018
Coffilosofia.2013. https://coffilosofia.wordpress.com/2013/02/02/sejarah-film-
dokumenter-dan-implikasinya-pada-perkembangan-film-serta-festival-
dokumenter-di-indonesia/ diunduh pada 14 November 2017
https://kbbi.web.id/keluarga.html
International Design School (IDS). 2014.
http://www.idseducation.com/articles/film-dokumenter-adalah-sebuah-
rekaman-aktualitas/ diunduh pada 10 Oktober 2017
Kurniawan, Aditya Putra. 2011. Dinamika Maskulinitas Laki – Laki (Bagian I).
http://lakilakibaru.or.id/dinamika-maskulinitas-laki-laki-bagian-i/ diunduh
pada 10 Januari 2018
Kurniawan, Aditya Putra. 2011. Dinamika Maskulinitas Laki – Laki (Bagian II).
http://lakilakibaru.or.id/dinamika-maskulinitas-laki-laki-bagian-ii/ diunduh
pada 10 Januari 2018
Mardinata, Sulung Lahitani. 2016. Cerita Unik Dibalik Kuda Liar Sumbawa.
https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/2624835/cerita-unik-
di-balik-kuda-liar-sumbawa-ternyata diunduh pada 28 Januari 2018
77
Novelia. 2017. Nilai dan Potensi Anak sebagai Pekerja.
http://validnews.co/NILAI-DANPOTENSI-ANAK-SEBAGAI-PEKERJA-
Ksi diunduh pada 17 desember 2017
Pengertian Eksploitasi Anak.
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-eksploitasi-anak-
menurut-para-ahli/ diunduh pada 21 februari 2018
Pras. 2010. Peralatan dasar Berkuda yang harus Anda Ketahui. http://forum-
sandalwood.web.id/drupal/node/131 diunduh pada 12 Januari 2018
Sanjaya, Ade. 2005. http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-film-
definisi-menurut-para.html diunduh pada 10 Oktober 2017
Sanjaya, Ade. 2005. http://www.landasanteori.com/2017/03/pengertian-budaya-
patriarki-menurut.html?m=1 diunduh pada 08 Maret 2018
Samondro, Dewanto. 2015. Melongok ke Dapur Adit & Sopo Jarwo.
https://m.antaranews.com/berita/511713/melongmok-ke-dapur-adit--sopo-
jarwo diunduh pada 13 Desember 2017
Saraswati, Dyah Paramita. 2017. Mengenal Lebih Dekat ‘Adit Sopo Jarwo’.
https://m.detik.com/hot/tv-news/d-3451474/mengenal-lebih-dekat-adit-sopo-
jarwo diunduh pada 13 Desember 2017
Tina. 2016. http://www.acehmediart.com/2016/08/sekilas-film-dokumenter-di-
indonesia.html diunduh pada 14 November 2017
Virdhani, Marieska Harya. 2015. Ketahui Isi Hati Lewat Ekspresi Wajah.
https://www/google.com/amp/s/lifestyle.okezone.com.amp/2015/01/04/196/
1087630/ketahui-isi-hati-lewat-ekspresi-wajah diunduh pada 30 Januari
2018
78
RIWAYAT HIDUP
Dini Amaliah dilahirkan di Sumbawa, Kabupaten
Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17
Mei 1995. Anak pertama dari pasangan Bapak M. Naim dan
Ibu Hasni (Almh). Pendidikan dasar sampai mendapat gelar
sarjana ditempuh di kampung halamannya di Sumbawa.
Tamat SD tahun 2006 di SDN 14 Sumbawa, tamat SMP
tahun 2009 di SMPN 2 Sumbawa, menamatkan sekolah
menengah atas di SMAN 3 Sumbawa pada tahun 2012.
Pendidikan berikutnya ia tempuh di Universitas Teknologi Sumbawa di
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, dan
menyelsaikannya pada tahun 2018 dengan beasiswa.