referat polio untuk dr. vico

44
REFERAT POLIOMIELITIS BAGIAN SARAF RUMAH SAKIT DR. MARZOEKI MAHDI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, 16 APRIL 2014 Pembimbing: dr. Vico Lie Bing Hoat, Sp. RM Disusun oleh: Ayunda Shinta Nurarliah (03009041) 0

Upload: ntadudul

Post on 19-Jan-2016

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Referat Polio untuk Dr. Vico

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Polio untuk Dr. Vico

REFERAT

POLIOMIELITIS

BAGIAN SARAF RUMAH SAKIT DR. MARZOEKI MAHDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, 16 APRIL 2014

Pembimbing:

dr. Vico Lie Bing Hoat, Sp. RM

Disusun oleh:

Ayunda Shinta Nurarliah (03009041)

0

Page 2: Referat Polio untuk Dr. Vico

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat dan izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.

Referat ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian saraf di RS dr.

Marzoeki Mahdi Bogor.

Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Vico Lie

Bing Hoat, Sp. RM yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini, serta

kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik

bagian saraf di RS dr. Marzoeki Mahdi Bogor. Dan juga ucapan terima kasih kepada

teman-teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah

memberi dukungan dan bantuan.

Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal

mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat kelemahan dan

kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan.

Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberikan

manfaat bagi kita semua.

Bogor, 16 April 2014

Ayunda Shinta Nurarliah

1

Page 3: Referat Polio untuk Dr. Vico

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................1

Daftar Isi.........................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN......................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................4

Etiologi........................................................................................4

Epidemiologi...............................................................................4

Patogenesis..................................................................................5

Gambaran klinis...........................................................................6

Jenis Polio....................................................................................10

Diagnosis Polio............................................................................12

Terapi .........................................................................................13

Rehabilitasi..................................................................................13

Prognosis.....................................................................................13

Vaksinasi polio............................................................................14

BAB III KESIMPULAN..........................................................................28

BAB IV DAFTAR PUSTAKA................................................................29

2

Page 4: Referat Polio untuk Dr. Vico

BAB I

PENDAHULUAN

Poliomelitis atau infantile paralysis, lebih dikenal dengan sebutan polio, adalah

kelainan yang disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat mempengaruhi seluruh

tubuh, termasuk otot dan saraf. Kasus yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan

kematian.1,2,3,4

Populasi beresiko polio terutama menyerang kelompok umur anakanak berusia di

bawah lima tahun (balita). Di banyak negara dengan tingkat polio yang tinggi, 70%80%

penderita di bawah usia 3 tahun dan 80% - 90% dari kasus terjadi pada balita. Setelah

pemberian vaksin polio telah terjadi penurunan infeksi polio yang drastis. Meskipun

program eradikasi polio secara global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih

sangat endemik di beberapa negara seperti India, Afrika Subsahara dan Asia, di mana

kasus-kasusnya masih terus ditemukan. Di Indonesia masih ditemukan kasus polio baru,

hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus polio liar di Indonesia belum berhenti.

World Health  Organization (WHO) memperkirakan   sampai   saat   ini   total   kasus virus

polio liar secara kumulatif berjumlah 304 kasus, tersebar di 10 provinsi

diantaranya Jawa Barat, Banten, Lampung dan Jawa Tengah.4,5,6,7

Polio adalah virus gastrointestinal yang menyebabkan demam, muntah dan

kekejangan otot, serta dapat merusak sistem saaraf dan menyebabkan kelumpuhan

permanen. Polio juga dapat menyebabkan kelumpuhan pada sistem pernapasan dan otot-

otot untuk menelan, sehingga dapat berakhir pada kematian. 1,8

3

Page 5: Referat Polio untuk Dr. Vico

BAB II

PEMBAHASAN

POLIOMIELITIS

Etiologi

Virus poliomielitis tergolong dalam genus enterovirus dan famili picornaviridae,

mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Infeksi

dapat terjadi oleh satu atau lebih dari tipe virus tersebut. Pada sebagian besar kasus dan

ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1. Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi

maupun imunisasi bersifat seumur hidup dari spesifik untuk satu tipe.1

Penyebaran infeksi virus polio terjadi secara fekal oral dan pernafasan. Transmisi

perinatal bisa terjadi dari ibu kepada bayinya. Faktor predisposisi virus polio tergantung

pada status imunitas, neurovirulensi virus dan faktor host.1,2

Epidemiologi

Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadik, dimana tingkat

kejadian polio yang tinggi pertama kali dilaporkan dari daerah Eropa Barat, kemudian

Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950 tingkat kejadian yang tinggi

poliomielitis secara teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000-21.000 kasus

kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920, 90 % kasus pada anak <5 tahun, sedangkan

di awal tahun 1950 kejadian tertinggi adalah usia 5-9 tahun, bahkan belakangan ini lebih

dari sepertiga kasus yang terjadi pada usia >15 tahun.1,3,4,5

Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis terjadi

penurunan jumlah kasus di negara maju. Di Amerika Serikat, angka kejadian turun dari

17,6 kasus poliomielitis per 10.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000

di tahun 1962. Sejak tahun 1972 kejadiannya <0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per

tahun.1,2,6,7

Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi untuk

menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus

polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000 polio belum terbasmi, tetapi jumlah

kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500. Polio tidak ada lagi di Asia Timur,

Amerika Latin, Timur Tengah atau Eropa.6,8,9

4

Page 6: Referat Polio untuk Dr. Vico

Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi polio

meningkat menjadi 1.185 kasus di 17 negara dari 784 di 15 negara pada tahun 2003.

Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria memiliki 763

penderita, India 129, dan Sudan 112 kasus. Pada tahun 2006 ditemukan kasus liar

poliovirus tipe I di Kenya, pada saat itu ditemukan 216 kasus yang dibawa oleh pendatang

dari Somalia yang merupakan negara tetangga dari Kenya.10

Di Indonesia perkembangan polio sejak ditemukannya kasus polio pertama Maret

2005 lalu setelah 10 tahun (1995-2005) tidak ditemukannya lagi kasus polio. Namun

penyakit polio ini kembali mewabah di Indonesia tahun 2005. Hingga tanggal 21

november 2005, ditemukan 295 kasus polio yang terdapat di 40 kabupaten dari 10 propinsi

yakni Banten, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, sumut, Jawa Timur, Sumatera Selatan,

DKI, Riau, dan Aceh.5

Patogenesis

Polio dapat menyebar melalui kontak dengan kotoran yang terkontaminasi

(misalnya, dengan mengganti popok bayi yang terinfeksi) atau melalui

udara, dalam makanan, atau dalam air. Virus masuk melalui mulut dan hidung (portal of

entry), berkembang biak di dalam tenggorokan dan mukosa saluran cerna (Peyer’s

patches), lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah

bening. Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembang biak

dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotelial.

Masa inkubasi ini berlangsung antara 7-14 hari, tetapi dapat pula merentang dari 2 sampai

35 hari. Setelah 3-5 hari sejak terjadinya paparan, virus dapat ditemukan dari tenggorok,

darah dan tinja. Dalam keadaan ini timbul perkembangan virus, tubuh bereaksi dengan

membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat antibodi mencukupi dan cepat maka

virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak terdapat

sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Dalam kebanyakan kasus, hal ini

dapat mengakibatkan terhentinya perkembangan virus dan keuntungan individu memiliki

kekebalan permanen terhadap polio. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari

pembentukan zat anti maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan

terdapat dalam feses untuk beberapa minggu lamanya. Apabila manusia yang rentan

terpapar dengan poliovirus maka satu dari beberapa respons berikut ini akan terjadi, yaitu:

5

Page 7: Referat Polio untuk Dr. Vico

infeksi tidak nyata dan tanpa gejala-gejala, timbul sakit ringan (abortive poliomyelitis,

nonparalytic poliomyelitis, paralyticpoliomyelitis.1,2,16

Berbeda dengan virus lain yang menyerang susunan saraf, maka neuropatologi

poliomeilitis biasanya patognomonik dan virus hanya menyerang sel-sel dan daerah

tertentu susunan saraf, tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama

dan bila ringan, dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah

timbul gejala.

Daerah yang biasanya terkena pada poliomeilitis :1,2,11

Medulla spinalis terutama kornu anterior

Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta formasio

retikularis yang mengandung pusat vital

Serebelum terutama inti-inti pada vermis

Mid brain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-kadang nukleus

rubra.

Talamus dan hipotalamus

Korteks serebri, hanya daerah motorik

Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla

spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing dan

Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak mengakibatkan imunitas

silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis virus ia akan mendapat kekebalan

yang menetap terhadap virus tersebut.1,2

Kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus, kemudian terjadi penyebaran termasuk ke

susunan saraf pusat. Penyebaran virus polio melalui saraf belum jelas diketahui. Penyakit

yang ringan (minor illness) terjadi pada saat viremia yaitu kira-kira hari ketujuh,

sedangkan major illness ditemukan bila konsentrasi virus di susunan saraf pusat mencapai

puncaknya yaitu pada hari ke 12 sampai 14.1,11

Gambaran klinis

Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh polio ada beberapa gejala khas.

Namun hampir 95 persen dari semua orang yang terkena virus polio tidak akan

menunjukkan gejala apapun. Sekitar 5 persen orang yang terinfeksi akan mengalami

gejala ringan, seperti sakit tenggorokan, leher kaku, sakit kepala, dan demam, dan

6

Page 8: Referat Polio untuk Dr. Vico

seringkali terdiagnosis sebagai pilek atau flu. Kelumpuhan otot telah diperkirakan terjadi

pada sekitar satu dari setiap 1.000 orang yang terkena.1

Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9-12 hari, tetapi kadang-kadang 3-35

hari. Gambaran klinis yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai

dengan yang paling berat, yaitu antara lain :2,3,11

Infeksi tanpa gejala

Kejadian infeksi yang asimptomatik ini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup tinggi

terutama di daerah yang standar kebersihannya jelek. Pada suatu endemik polio

diperkirakan terdapat pada 9-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap

penyakit polio. Bayi baru lahir mula-mula terlindungi karena adanya antibodi

maternal yang kemudian akan menghilang setelah usia 6 bulan. Penyakit ini hanya

diketahui dengan menemukan virus di tinja atau meningginya titer antibodi.

Infeksi abortif

Kejadiannya diperkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu daerah yang tingkat

kejadiannya cukup tinggi. Tidak dijumpai gejala khas poliomielitis. Timbul mendadak

dan berlangsung 1-3 hari dengan gejala “minor illness” seperti demam bisa mencapai

39,5 oC, malaise, nyeri kepala, sakit tenggorokan, anoreksia, muntah, nyeri otot dan

nyeri perut serta kadang-kadang diare. Penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit

virus lainnya, hanya dapat diduga bila terjadi di daerah yang epidemik polio.

Diagnosis pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan jaringan. Diagnosis

banding adalah influenza atau infeksi tenggorokannya lainnya.

Poliomielitis non paralitik

Penyakit ini terjadi 1 % dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan infeksi abortif

yang berlangsung 1-2 hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi kemudian naik

kembali (dromary chart), diserta dengan gejala nyeri kepala, mual dan muntah lebih

berat, dan ditemukan kekakuan pada otot belakang leher, punggung serta tungkai.

Tanda kernig dan brudzinsky positif. Tanda lain adalah bila anak berusaha duduk

dengan sikap tidur, maka ia akan menekukkan kedua lututnya ke atas, sedangkan

kedua lengan menunjang ke belakang pada tempat tidur. Head drop yaitu bila tubuh

penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak, akan menyebabkan kepala

terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya normal. Bila refleks tendon berubah

maka kemungkinan akan terjadi poliomielitis paralitik. Diagnosis banding adalah

meningitis serosa dan meningismus.

7

Page 9: Referat Polio untuk Dr. Vico

Poliomielitis paralitik

Gambaran klinis sama dengan poliomielitis non paralitik disertai dengan kelemahan

satu atau beberapa kumpulan otot skelet atau kranial. Gejala ini bisa menghilang

selama beberapa hari dan kemudian timbul kembali diserta dengan kelumpuhan

(paralitik) yaitu berupa “flaccid paralysis” yang biasanya unilateral dan simetris yaitu

paling sering terkena adalah tungkai. Keadaan ini bisa disertai kelumpuhan vesika

urinaria, atonia usus dan kadang-kadang ileus paralitik. Pada keadaan yang berat dapat

terjadi kelumpuhan otot pernafasan.

Secara klinis dapat dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada

susunan saraf pusat yaitu:1,2,11

a. Bentuk spinal dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung, diafragma, ada

ekstremitas dimana yang terbanyak adalah ekstremitas bawah. Tersering yaitu otot-

otot besar, pada tungkai bawah kuadriseps femoralis, pada lengan deltoid. Sifat

kelumpuhannya ini adalah asimetris. Refleks tendon menurun sampai menghilang

dan tidak ada gangguan sensibilitas.

b. Bentuk bulbospinal didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bulbar.

c. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf kranial

dengan atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi dan temperatur

tubuh. Bila kelemahan meliputi saraf kranial IX, X dan XII maka akan

menyebabkan paralisis faring, lidah dan taring dengan konsekuensi terjadi

sumbatan jalan nafas.

d. Bentuk ensefalitik ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor dan kadang-

kadang kejang.

8

Page 10: Referat Polio untuk Dr. Vico

Gambaran secara umum penderita poliomielitis

Gambar 2.1 Gambaran secara umum pasien polio

\

Gambar 2.2 Penderita polio

Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis secara fokal yang

onsetnya akut dan mengenai anak kelompok < 15 tahun termasuk didalamnya

poliomielitis. Acute Flaccid Paralysis disebabkan oleh beberapa agen termasuk

enterovirus, echovirus, atau adenovirus. Banyak penyakit dari Acute Flaccid Paralysis

yang hampir menyerupai poliomielitis dengan gejala yang sama, sehingga penentuan

9

Page 11: Referat Polio untuk Dr. Vico

diagnosis poliomielitis harus benar-benar teliti bertujuan untuk menentukan manajemen

pengobatan, prognosis dan pencegahan lebih awal.

Berikut adalah diagnosis banding dari Acute Flaccid Paralysis3

Jenis Polio

1. Polio non-paralisis

Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan

sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika

disentuh.

2. Polio paralisis spinal

Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel

tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai.

Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu

penderita dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling

sering ditemukan terjadi pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini

akan diserap oleh pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh

tubuh. Virus Polio menyerang saraf tulang belakang dan syaraf motorik yang

mengontrol gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun,

pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini

biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang

10

Page 12: Referat Polio untuk Dr. Vico

otak. Infeksi ini akan memengaruhi sistem saraf pusat menyebar sepanjang serabut

saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat,virus

akan menghancurkan syaraf motorik. Syaraf motorik tidak memiliki kemampuan

regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap

perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai

menjadi lemas kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada

sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot

pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.

3. Polio bulbar

Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga

batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur

pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang

mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang

berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori

yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan

dan berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang

mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur

pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan

kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita yang menderita polio bulbar akan

meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya

terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim

'perintah bernapas' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan

pada fungsi penelanan; korban dapat 'tenggelam' dalam sekresinya sendiri kecuali

dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan

yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga

sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan 'paru-paru besi' (iron lung).

Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan mengurangi

tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan

mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan

demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah

pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian.

Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 25-75% tergantung usia

penderita. Hingga saat ini, mereka yang bertahan hidup dari polio jenis ini harus

11

Page 13: Referat Polio untuk Dr. Vico

hidup dengan paru-paru besi atau alat bantu pernapasan. Polio bulbar dan spinal

sering menyerang bersamaan dan merupakan sub kelas dari polio paralisis. Polio

paralisis tidak bersifat permanen. Penderita yang sembuh dapat memiliki fungsi

tubuh yang mendekati normal.

Diagnosis Polio

I. Keluhan dan Gejala Penyakit

Gejala meliputi demam, lemas, sakit kepala, muntah, sulit buang air besar,

nyeri pada kaki atau tangan, kadang disertai diare. Kemudian virus menyerang dan

merusakkan jaringan syaraf , sehingga menimbulkan kelumpuhan yang permanen.

Kelumpuhan permanen hanya terjadi pada kurang dari 1% orang yang

terinfeksi virus polio. Sebagian besar orang yang terinfeksi penyakit polio hanya

merasa seperti sakit flu. Keadaan ini menyebabkan virus polio dapat menyebar

dengan cepat tanpa diketahui, karena sebagian besar anak yang terinfeksi tidak

menunjukkan gejala yang khusus.

II. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik

Penyakit polio dapat didiagnosis dengan 3 cara yaitu :

1. Viral Isolation

Poliovirus dapat dideteksi dari faring pada seseorang yang diduga terkena

penyakit polio. Pengisolasian virus diambil dari cairan cerebrospinal adalah

diagnostik yang jarang mendapatkan hasil yang akurat.Jika poliovirus

terisolasi dari seseorang dengan kelumpuhan yang akut, orang tersebut

harus diuji lebih lanjut menggunakan uji oligonucleotide atau pemetaan

genomic untuk menentukan apakah virus polio tersebut bersifat ganas atau

lemah.

2. Uji Serologi

Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita. Jika

pada darah ditemukan zat antibody polio maka diagnosis bahwa orang

tersebut terkena polio adalah benar. Akan tetapi zat antibodi tersebut tampak

netral dan dapat menjadi aktif pada saat pasien tersebut sakit.

3. Cerebrospinal Fluid (CSF)

12

Page 14: Referat Polio untuk Dr. Vico

4. CSF di dalam infeksi poliovirus pada umumnya terdapat peningkatan

jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah sel

limfositnya dan kehilangan protein sebanyak 40-50 mg/100 ml.

Terapi

Pengobatan pada penyakit polio sampai sekarang belum ditemukan cara atau

metode yang paling tepat. Sedangkan penggunaan vaksin yang ada hanya untuk mencegah

dan mengurangi rasa sakit pada penderita.

Rehabilitasi

Dilakukan dengan beristirahat dan menempatkan pasien ke tempat tidur,

memungkinkan anggota badan yang terkena harus benar-benar nyaman. Jika organ

pernapasan terkena, alat pernapasa terapi fisik mungkin diperlukan. Jika kelumpuhan atau

kelemahan berhubung pernapasan diperlukan perawatan intensif.

Prognosis

Penyakit polio mempunyai prognosis yang buruk, karena pada kasus kelumpuhan

mengakibatkan kurang lebih 50-80 % kematian yang disebabkan oleh polio. Selain itu

karena belum dapat ditemukan obat yang dapat menyembuhkan polio. Pemberian vaksin

juga masih kurang efektif untuk mencegah polio, karena banyak orang yang telah diberi

vaksin polio tetapi masih terkena penyakit ini.

13

Page 15: Referat Polio untuk Dr. Vico

VAKSINASI POLIO

Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan serum

konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Meskipun berbagai cara

penggunaan/memasukkan serum telah dicoba dengan hasil yang kontroversial, namun

akhirnya terbukti (pada wabah tahun 1931), bahwa cara ini tidak mempunyai manfaat yang

bermakna secara klinis.5,6

Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal.

Penelitian berkembang menjadi dua arah yaitu virus yang dimatikan dengan menggunakan

feno/formalin (IPV) atau virus dilemahkan (attenuated vaccine OPV) dengan cara

melakukan pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara tersebut menghasilkan dua

macam vaksin yaitu yang pertama adalah Inactivated Polio Vaccine dan disusul dengan

Oral Polio Vaccine. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan

angka kesakitan akibat virus polio. Kriteria vaksin yang baik adalah vaksin itu harus

antigenik, proporsi vaksin trivalent harus sesuai dengan virus liar yang ada di lingkunan,

replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV mengandung vaksin yang masih

hidup sehingga bisa hidup dan berkembangbiak dalam usus. Imunisasi cara ini tidak hanya

membentuk antibodi humoral yang dapat menghambat virus polio menimbulkan infeksi di

sistem saraf pusat, namun juga merangsang sekretori IgA, antibodi sekretori yang

mencegah perlekatan dan replikasi virus di epitel usus. Virus dapat bertahan sampai 17

bulan setelah imunisasi dan pada anak dengan agammaglobulin, bahkan dapat bereplikasi

terus sampai 684 hari. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang

tinggi, namun karena tidak menimbulkan kekebalan interstinal yang cukup, IPV tidak bisa

menghentikan trasmisi virus polio liar.5,6,

Eliminasi

Eliminasi (elimination) penyakit merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang

bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi suatu penyakit sampai pada tingkat nol di

suatu wilayah geografis. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk

mempertahankan tingkat nol. Contoh: eliminasi tetanus neonatorum, poliomyelitis, di suatu

wilayah. Eliminasi infeksi merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan

menurunkan insidensi infeksi yang disebabkan oleh suatu agen spesifik sampai pada

tingkat nol di suatu wilayah geografis. Eliminasi infeksi bertujuan memutus transmisi

(penularan) penyakit di suatu wilayah. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk

14

Page 16: Referat Polio untuk Dr. Vico

mencegah terulangnya transmisi. Contoh: eliminasi campak, poliomielitis, dan difteri.

Eliminasi penyakit/ infeksi di tingkat wilayah merupakan tahap penting untuk mencapai

eradikasi global.5,6

Untuk mempercepat eliminasi penyakit polio di seluruh dunia, WHO membuat

rekomendasi untuk melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Indonesia melakukan PIN

dengan memberikan satu dosis polio pada bulan September 1995, 1996, dan 1997. Pada

tahun 2002, PIN dilaksanakan kembali dengan menambahkan imunisasi campak di

beberapa daerah. Setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) acute flaccid paralysis (AFP)

pada tahun 2005, PIN tahun 2005 dilakukan kembali dengan memberikan tiga dosis polio

saja pada bulan September, Oktober, dan November. Pada tahun 2006 PIN diulang

kembali dua kali/dosis polio yang dilakukan pada bulan September dan Oktober 2006.

Dengan adanya PIN tersebut, frekuensi imunisasi polio bisa lebih dari seharusnya. Tetapi

WHO menyatakan bahwa polio sebanyak tiga kali cukup memadai untuk imunisasi dasar

polio.5,6

Eradikasi

Berbagai manfaat akan diperoleh apabila eradikasi polio global berhasil dicapai,

terutama dunia terbebas dari penyakit polio dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat

penyakit tersebut, mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan

untuk menyelenggarakan imunisasi dan perawatan kasus-kasus polio yang diperkirakan

mencapai US S 1.5 milyar pertahun.5

Pada tahun 1988, dalam sidangnya yang ke 41, WHO telah menetapkan program

eradikasi polio global (global polio eradication initiative) yang ditujukan untuk

mengeradikasikan penyakit polio pada tahun 2000 (ERAPO 2000). Target ini kemudian

diformulasikan lagi pada pertemuan World Summit for Children yang berlangsung tanggal

29-30 September 1990 di New York, yakni dalam sasaran kesejahteraan anak.3,5,6

Terbukanya peluang untuk melaksanakan eradikasi polio dimungkinkan oleh

karena :5,6,9

a. Infeksi polio hanya berlangsung pada manusia, tidak ada binatang reservoir

(binatang pengidap polio) maupun pengidap kronis (chronic carrier).

b. Sumber virus polio dari lingkungan yang dapat bertahan lama tidak ada; virus

polio didaerah tropis diluar tubuh hanya bertahan sekitar 48 jam.

c. Kekebalan berlangsung seumur hidup.

15

Page 17: Referat Polio untuk Dr. Vico

d. Vaksin polio yang efektif telah berhasil dikembangkan, yakni vaksin polio

inaktif pada tahun 1955 oleh Dr. Jonas Salk dan vaksin polio oral (life

attenuated) tahun 1960 oleh Dr. Albert Sabin.

Untuk mencapai eradikasi polio tersebut WHO menetapkan 4 strategi global untuk

mengeradikasi polio pada tahun 2000, yakni:

1. Imunisasi rutin dengan cakupan > 80%

2. NID (National Immunization Days) identik dengan PIN (pecan Imunisasi

Nasional.

3. Surveilans AFP dan surveilans virus polio liar.

4. Mopping-up

Eradikasi polio di Indonesia

Latar belakang kebijaksanaan dan strategi ERAPO di Indonesia adalah kesepakatan

WHA (World Health Assembly) 1988 yang menetapkan dicapainya target eradikasi polio

global pada tahun 2000. Untuk mencapai target tersebut diIndonesia telah ditetapkan

langkah-langkah kegiatan berikut: 3,5

1. Imunisasi rutin dengan OPV sebanyak 4 kali

2. Pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan

3. Surveilans AFP dan virus polio liar.

Analisa SWOT

Dalam upaya untuk mengeradikasi penyakit polio secara global, WHO telah

membuat tahapan dan kegiatan perioritasnya. Tahapan dan kegiatan perioritas ini

berorientasi pada suatu tujuan tertentu, sehingga suatu negara bisa melakukan upaya

eradikasi polio yang direkomendasikan oleh WHO sesuai dengan tahapan dan prioritas

dimana negara tersebut berada. Adapun analisa SWOT (Strength, weakness, opportinity,

threat) dalam eradikasi polio di Indonesia adalah: 5

Analisa 1 tentang Strength

Perlu mengetahui kompetensi yang menonjol dari upaya kesehatan polio. Adanya

endemis polio di Indonesia menunjukkan adanya bukti-bukti virologis dan atau

epidemiologis tentang transmisi virus polio liar di Indonesia; sehingga di Indonesia

dilaksanakan perioritas: A. Melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional Polio (National

Immunizatin Day) Gunanya: untuk menghentikan transmisi virus polio liar di

16

Page 18: Referat Polio untuk Dr. Vico

Indonesia. B. Melaksanakan surveilans AFP yang didukung oleh pemeriksaan

laboratorium C. Memperkuat program immunisasi rutin Polio

Analisa 2 tentang Weakness

Perlunya kejelasan tentang tingkat kelemahan program polio. Dalam hal pelaksanaan

PIN, terdapat kelemahan dalam hal pendistribusian vaksin polio di daerah-daerah

terpencil, sehingga hasil yang diharapkan tidak mencapai target. Misalnya ada

beberapa daerah di Nias, dimana untuk mencapai daerah-daerah yang berbukit di

pegunungan membutuhkan waktu selama 2-3 hari sehingga efektivitas vaksin polio

tidak maksimal walaupun menggunakan termos es. Selain itu juga pelaporan

pelaksanaan PIN tahun 1997 masih belum lengkap, karena pada tahun 1987 dilaporkan

sebanyak 2.319 kasus, namun pelaporan masih belum lengkap sehingga angka terakhir

kemungkinan lebih dari 3.500.4

Analisa 3 tentang Opportinity

Adanya Surveilans AFP dan Surveilans virus polio liar dapat mencapai program

eradikasi polio di Indonesia pada tahun 2000. Surveilans polio bertujuan untuk

memantau adanya transmisi virus polio liar disuatu wilayah sehingga upaya

pemberantasan menjadi terfokus dan efisien. Sasaran surveilans adalah kelompok yang

rentan terhadap polio, yaitu anak berusia dibawah 15 tahun. Untuk meningkatkan

sensitivitas surveilans polio, pengamatannya dilakukan pada semua kelumpuhan yang

terjadi secara akut dan sifatnya layuh. 4

Analisa 4 tentang Threat

Adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) polio di salah satu daerah, menunjukkan masih

lemahnya tingkatan sasaran surveilans polio di Indonesia.

Oral Polio Vaccine (OPV)

Oral Polio Vaccine (OPV) merupakan vaksin pilihan karena dapat menimbulkan

antibodi yang tinggi. Dosis tunggal akan menimbulkan kekebalan pada 50% resipien, 3

dosis akan meningkatkan kekebalan sampai 95%. Kekebalan yang terjadi tidak timbul

secara bersamaan tetapi bersifat sekuensial. Respon pertama terutama terhadap virus tipe 1

(paling imunologik) disusul virus tipe 2 dan terakhir tipe 3. Serokonversi terjadi paling

cepat dengan tipe 1, sedang protektifitas terhadap tipe 3 tercapai setelah 4-5 dosis, bahkan

protektifitasnya dapat mencapai diatas 95% dan tercapai setelah dosis kedelapan.

Keuntungan vaksin ini adalah mudah diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya jauh lebih

17

Page 19: Referat Polio untuk Dr. Vico

murah dibandingkan IPV. OPV selain dapat mencegah

kelumpuhan, juga merangsang kekebalan usus dan

menghambat penempelan, invasi dan replikai virus liar.

Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah

akan menaikkan kadar secretori IgA usus terhadap virus polio

dan memutus rantai hidup virus liar.5,8

Oral polio vaksin (OPV) diberikan dalam bentuk

tetesan melalui mulut. Vaksin ini mengandung sejumlah kecil

virus hidup yang telah dimodifikasi dari masing-

masing tipe polio sehingga tidak menimbulkan penyakit tersebut, dan antibiotik

(neomysin) dalam jumlah amat kecil.

Dosis OPV berisi 3 type virus polio dengan titer

Tipe 1 : 106 TCID (tissue culture infective dose) 50/CCID (cell culture infective

dose) 50 (10 5,5-10 6,5)

Tipe 2 : 105 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 4,5-10 5,5)

Tipe 3 : 10 5,5 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 5,0-10 6)

Gambar 2.2 Oral Polio Vaccine

18

Page 20: Referat Polio untuk Dr. Vico

Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8 °C. Vaksin sangat stabil

namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan perubahan pH setelah

terpapar udara, kebijaksanaan Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial

manganjurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi

(pasca imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijaksanaan WHO membolehkan

botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi,

apabila tanggal kadarluwarsa tidak terlampui, vaksin di simpan dalam keadaan yang

sangat dingin (2-8°C), botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu harus

dibuang.9,11

Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru. Di

unit pelayanan, vaksin polio yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 2 minggu

dengan ketentuan : 9,12

Vaksin belum kadaluarsa

Vaksin disimpan dalam suhu 2º C - 8ºC

Tidak pernah terendam air

Sterilitasnya terjaga

Cara pemberian :

Diberikan secara oral melalui mulut, 1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali (dosis)

pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu. Pada daerah yang tingkat kasus

polionya tinggi (seperti Indonesia) merupakan daerah endemik polio, pemberian extra

imunisasi polio segera setelah lahir (polio 0 pada kunjungan 1) dengan tujuan

meningkatkan cakupan imunisasi. Imunisasi polio 0 diberikan saat bayi akan dipulangkan

19

Page 21: Referat Polio untuk Dr. Vico

dari rumah sakit/rumah bersalin, agar tidak mencemari bayi yang lain mengingat virus

polio hidup dapat dieksresi melalui tinja. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak

imunisasi polio 4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).5,6,9

Penyimpanan OPV

Oral polio vaccine (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur 2-8°C. Vaksin

yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan

digulir-gulirkan, di jaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai orange muda

(sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah

terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dapt dipakai lagi sampai warna berubah dengan

catatan dan tanggal kadarluwarsa harus selalu diperhatikan.5,9

Kontra indikasi OPV

Penyakit akut atau demam (temp. >38,5°C), imunisasi harus ditunda

Muntah atau diare, imunisasi ditunda

Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif oral maupun suntikan,

juga pengobatan radiasi umum

Keganasan dan penderita HIV

Inactivated Polio Vaccine (IPV)

Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan

langsung digunakan secara luas. Pada tahun 1963 mulai digunakan trivalent virus polio

secara oral (OPV) secara luas. Encanced potency IPV (eIPV) yang menggunakan molekul

lebih besar dan menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi digunakan tahun 1988.

Inacctivated polio vaccine merupakan vaksin yang cukup efektif, 2 dosis akan

menimbulkan antibodi yang protektif pada sekitar 90% resipien, sedang 3 dosis akan

meningkatkan protektifitas sampai 99%. Protektifitas terhadap kelumpuhan berkaitan

dengan tingginya kadar antibodi serum. Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah

dinonaktifkan sehingga tidak bisa bereplikasi. Vaksin ini aman dalam arti tidak

menimbulkan kelumpuhan akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi penderita defisiensi

imun, meskipun vaksin tersebut tetap dibuat dari virus liar. Kerugiannya adalah vaksin ini

harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang merangsang timbulnya antibodi IgA sekretori

20

Page 22: Referat Polio untuk Dr. Vico

di usus, sehingga tidak dapat menghambat perlekatan, replikasi polio liar dan tidak dapat

menghentikan trasmisi virus tersebut.2,5,8

Indikasi

Indikasi pemberian Inactivated polio vaccine :5,11

Semua anak harus menerima empat dosis IPV pada bulan 2, 4 dan 6,

dan 4-5 tahun.

Interval yang lebih disukai antara 3 dosis pertama adalah 2 bulan. Jika

perlindungan dipercepat diperlukan, interval minimum antara dosis adalah 4

minggu.

Tidak ada dosis tambahan yang diperlukan jika lebih banyak waktu dari yang

direkomendasikan berlalu antara dosis.

Mereka yang memulai seri vaksin dengan satu atau lebih dosis OPV harus

menerima IPV untuk menyelesaikan seri vaksinasi. Sebuah interval minimal 4

minggu harus berlalu antara OPV dan IPV, tetapi celah minimal 2

bulan adalah lebih baik.

Inactivated polio vaccine dapat diberikan bersamaan dengan semua lainnya secara

rutin direkomendasikan vaksin anak.

Gambar 2.3 Inactivated polio vaccine

Komposisi

Tiap dosis (0,5 mL) mengandung :5,9

Virus polio Tipe 1 : 40 D unit antigen

Virus polio Tipe 2 : 8 D unit antigen

21

Page 23: Referat Polio untuk Dr. Vico

Virus polio Tipe 3 : 32 D unit antigen

2-phenoxyethanol 0,5%

Formaldehid 0,02%

Neomycin

Streptomycin

Polymyxin B

Dosis dan cara pemberian :9

IPV harus diberikan sebanyak 0,5 ml secara intramuscular pada paha, sebaiknya

paha kanan

Menggunakan Autodisable Syringe (ADS) yang steril pada setiap penyuntikan

Bayi harus menerima minimal 4 dosis IPV dengan interval minimal 4 (empat)

minggu

IPV diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan bersamaan dengan vaksin DPT/HB

IPV dapat diberikan dengan aman berbarengan denga vaksin DPT, DT, TT, Td,

Campak, Mumps, Rubella, BCG, Hepatitis B atau Hib dan tidak mempengaruhi

pembentukan respon imunologik yang dihasilkan masing-masing vaksin

Kontraindikasi

Bayi dengan riwayat

hipersensitif terhadap salah satu komponen vaksin termasukk phenoxyethanol,

formaldehid 0,02% neomycin, streptomycin, polymyxin B.

Bayi yang terinfeksi immunodeficiency virus (HIV) baik simptomatik maupun

asimptomatik bukan kontraindikasi IPV, harus diimunisasi dengan IPV menurut

jadwal standar. Tidak ada gejala klinis dengan vaksin polio yang dimatikan telah

dilakukan pada hamil perempuan. Meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan

melaporkakan dampak buruk dari vaksin polio yang dimatikan pada wanita hamil

atau janin yang sedang berkembang, tetapi pemberian polio pada ibu hamil tetap

tidak diberikan.9,11,13

Penyimpanan

Inactivated polio virus merupakan vaksin yang freeze sensitive (tidak kuat terhadap

suhu beku) sehingga harus disimpan dan ditransportasikan pada kondisi suhu 2 – 8 C.5,9

22

Page 24: Referat Polio untuk Dr. Vico

- Pada tingkat provinsi, vaksin harus disimpan dikamar dingin/lemari es pada

suhu 2-8 C

- Pada tingkat kabupaten/kota dan puskesmas, vaksin harus disimpan di lemari es

pada suhu 2-8 C

- Pada pelayanan, vaksin dibawa dengan menggunakan vaccine carrier yang

berisi cool pack (kotak air dingin)

- Berbeda dengan OPV, IPV tidak boleh dibekukan.

Efek samping IPV

Inactivated polio vaccine atau vaksin yang mengandung IPV dapat menyebabkan

nyeri otot, rasa sakit, bengkak atau warna merah di tempat injeksi. Sampai 1 dari 10 anak

mungkin mengalami demam ringan dan kehilangan selera.4

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan suatu kejadian (medik) sakit dan

kematian yang terjadi setelah menerima imunisasi yang disebabkan oleh imunisasi.

Biasanya terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi (dapat lebih lama, 6 bulan). Vaksin

merupakan produk biologis yang mengandung antigen penyakit, sehingga diperlukan

keseimbangan kondisi tubuh yang sehat pada saat pemberian imunisasi sehingga

pembentukan imunogenisitas dan reaktogenesis terbentuk sempurna serta menghasilkan

komplikasi yang lebih minimal.9,17

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang

(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi

simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects),

interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara

klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya

terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan

seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi

terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik,

bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.9

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena

kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin,

kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau kejadian yang timbul secara

23

Page 25: Referat Polio untuk Dr. Vico

kebetulan. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan

prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).

Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata

tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI

diperlukan keterangan mengenai:16,17

1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu

2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik

3. derajat sakit resipien

4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti

5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan

produksi, atau kesalahan prosedur.

Kejadian ikutan pasca imunisasi dibagi menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut

klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:18

1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)

Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik

pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi

pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

Dosis antigen (terlalu banyak)

Lokasi dan cara menyuntik

Sterilisasi semprit dan jarum suntik

Jarum bekas pakai

Tindakan aseptik dan antiseptik

Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik

Penyimpanan vaksin

Pemakaian sisa vaksin

Jenis dan jumlah pelarut vaksin

Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat

kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

2. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung

maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung

24

Page 26: Referat Polio untuk Dr. Vico

misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan

reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi

terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya

ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi

anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah

teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh

produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai

tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau

vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh

pelaksana imunisasi.

4. Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara

kebetulan saja setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan

ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi

setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

5. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam

salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini

sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi

tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

Kejadian ikutan pasca imunisasi atau KIPI dapat terjadi pasca imunisasi IPV tetapi

reaksi ini jarang terjadi, antara lain :5,9

- Reaksi lokal : reaksi eritema kemerahan (pembengkakan pada suntikan).

- Reaksi sistemik : demam, mual dan muntah, iritabilitas, anoreksia, menangis

yang menetap dan keletihan. Polio paralisis, polio paralisis pada resipien

munokompromais, komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

- Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis (VAPP). World Health

Organization mendefinisikan sebagai ; suatu kelumpuhan layuh akut yang

terjadi 4-30 hari setelah menerima OPV, 4-75 hari setelah kontak dengan

penerima OPV, disertai masih adanya kelainan neurologis pada 60 hari setelah

25

Page 27: Referat Polio untuk Dr. Vico

awitan atau penderita meninggal. Prevalensi VAPP tersering pada penderita

imunodefisiensi ( B cell deficiencies ) agamaglobulin atau hipogamaglobulin.5

Imunisasi pada kelompok resiko

Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien

termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah:17

1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu

Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI

dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan

segera

2. Bayi berat lahir rendah

Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:

a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi

cukup bulan

b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan

diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan;

c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang

diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak

menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja

3. Pasien imunokompromais

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau

sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka

panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien

imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap

diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu

pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan

kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg

berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan

pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi

selesai.

4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin

26

Page 28: Referat Polio untuk Dr. Vico

Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk menghindarkan

hambatan pembentukan respons imun.

27

Page 29: Referat Polio untuk Dr. Vico

BAB III

KESIMPULAN

Polio adalah kelainan yang disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat

mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk otot dan saraf. Kasus yang berat dapat

menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian. Meskipun program eradikasi polio secara

global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih sangat endemik di beberapa

negara seperti India, Afrika dan Asia, teritama di Indonesia masih ditemukan kasus polio

baru hal ini menunjukkan  bahwa penyebran virus polio  liar  di   Indonesia belum berhenti.

Ada dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio

vaccine (OPV). Inactivated polio vaccine merupakan vaksin polio yang dimatikan dan

diberikan secara intramuscular dengan dosis 0,5 ml. Sedangkan Oral polio vaccine

merupakan vaksin polio yang dilemahkan dan diberikan secara oral dengan 1 dosis atau 2

tetes. Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan kejadian sakit atau kematian setelah

mendapatkan imunisasi .Pemberian vaksin merupakan pemasukan antigen ke dalam tubuh,

sehingga tubuh dapat memiliki berbagai respon terhadap antigen tersebut.

28

Page 30: Referat Polio untuk Dr. Vico

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Pasaribu S. Aspek diagnostik poliomyelitis. Sumatra utara: Bagian Ilmu Kesehatan

Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara; 2005.

2. Sutiko A, Rahmawaty. Acute flaccid paralysis. Medan: Muslim Indonesia

University; 2005

3. Miller N. The polio vaccine: a critical assessment of its arcane history, efficacy,

and long-term health-related consequences. N.Z. Miller/Medical Veritas 1;2004.

239–51.

4. Australian Government. Imunisasi. Australia: Department of health and ageing;

2005. 21-5.

5. Anonymous. Eradikasi polio dan permasalahannya. Ilmu kesehatan anak XXXV.

Jakarta: Kapita selekta ilmu kesehatan anak IV; 2005.

6. Rina O, Ritarwan K. Upaya eradikasi polio di Indonesia. Jakarta; 2005. 198-203.

7. Ismoedijanto. Progress and challenges toward poliomyelitis eradication in

Indonesia. Surabaya: Department of Child Health, School of Medicine: Airlangga

University Surabaya Indonesia. Vol 34;3: 2003. 598-604.

8. Anonymous. Cessation of routine oral polio vaccine use after global polio

eradication. World Heart Organisztion; 2005.

9. Anonymous. Penyelenggaraan pilot proyek inactivated polio vaccine di provinsi

daerah istimewa Yogyakarta; 2007.

10. Anonymous. Issues from the final push. UNICEF Country Office EPI Update:

Nigeria Press; 2008.

11. Herremans T, Reimerink J, Buisman A, Kimman T, Koopmasn T. Induction of

mucosal immunity by inactivated poliovirus vaccine is dependent on previous

mucosal contact with live virus. Chapter 5; 2007: 73-86.

12. Anonymous. Poliomyelitis. Chapter 13. American Academy of Pediatric : Red

book online; 2011.

13. Anonymous. Poliomyelitis vaccine. German : Medical Diagnostic Center Press;

2008.

29

Page 31: Referat Polio untuk Dr. Vico

14. Weckx L, Schmidt, Hermann, Miyasaki C, Novo. Early immunization of neonates

with trivalent oral poliovirus vaccine. Bulletin of the world health Organization.

1992;7(1): 85-91.

15. Racaniello VR. One hundred years poliovirus pathogenesis. Virology 344: 9-16.

16. Julius E. Suryawidjaja. Resurgensi poliomyelitis :status terkini dari infeksi

poliovirus di Indonesia. Universa Medicina; 2005:24(2): 93-101.

17. Lisnawati L. Generasi sehat melalui imunisasi. Jakarta: trasinfomedia; 2011. 15-56.

30