referat pioderma

31
BAB I PENDAHULUAN Kulit manusia normal dikolonisasi setelah kelahiran oleh bakteri dengan jumlah yang banyak yang hidup komensal pada epidermis dan aksesorisnya. Beberapa minggu setelah kelahiran, flora kulit neonatus sama seperti orang dewasa (Fredberg, 2003). Pioderma primer dan sekunder kebanyakan disebabkan oleh S. Aureus atau grup A streptococcus. Pioderma yang disebabkan oleh S. aureus terjadi pada individu yang membawa organisme dari hidung, yang bertranslokasi ke kulit dan dapat masuk ke epidermis melalui celah kulit dan menyebabkan infeksi superfisial. Pioderma akibat streptokokus grus A menyebabkan gambaran klinis yang luas menjadi superfisial dan infeksi jaringan lunak invasif, bergantung pada organisme, lokasi anatomis dan faktor host (Fredberg, 2003). Pioderma merupakan penyakit yang paling sering dijumpai. Penyakit ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi. Tidak ada ras tertentu yang cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki maupun perempuan pada semua usia (Djuanda, 2010). 1

Upload: diano-ramadhan-fauzan

Post on 09-Jul-2016

207 views

Category:

Documents


43 download

DESCRIPTION

Usaha sendiri nih bikinnya wkwkwk

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit manusia normal dikolonisasi setelah kelahiran oleh bakteri dengan jumlah

yang banyak yang hidup komensal pada epidermis dan aksesorisnya. Beberapa

minggu setelah kelahiran, flora kulit neonatus sama seperti orang dewasa

(Fredberg, 2003).

Pioderma primer dan sekunder kebanyakan disebabkan oleh S. Aureus atau grup

A streptococcus. Pioderma yang disebabkan oleh S. aureus terjadi pada individu

yang membawa organisme dari hidung, yang bertranslokasi ke kulit dan dapat

masuk ke epidermis melalui celah kulit dan menyebabkan infeksi superfisial.

Pioderma akibat streptokokus grus A menyebabkan gambaran klinis yang luas

menjadi superfisial dan infeksi jaringan lunak invasif, bergantung pada

organisme, lokasi anatomis dan faktor host (Fredberg, 2003).

Pioderma merupakan penyakit yang paling sering dijumpai. Penyakit

ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi. Tidak ada ras tertentu yang

cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki

maupun perempuan pada semua usia (Djuanda, 2010).

1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,

Streptococcus, atau oleh kedua-duanya (Djuanda, 2010).

B. Etiologi

Sebenarnya infeksi kulit dapat pula disebabkan oleh kuman negative-Gram,

misalnya Pseudomonas aerugunosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis,

Escherichia coli dan Klebsiella. Penyebab yang umum ialah kuman positif-

Gram yaitu Streptococcus B hemolyticus dan Staphylococcus aureus

(Djuanda, 2010).

C. Epidemiologi

Pioderma merupakan penyakit yang paling sering dijumpai. Penyakit

ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi. Tidak ada ras tertentu

yang cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki

maupun perempuan pada semua usia (Djuanda, 2010).

D. Faktor Predisposisi

Higiene yang kurang

Menurunnya daya tahan tubuh, biasanya karena kelelahan, anemia,

atau penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma, dan

diabetes mellitus

Telah ada penyakit lain di kulit, hal ini dapat merangsang terjadinya

pioderma yang hampir bisa dipastikan akan memperparah penyakit

kulit sebelumnya tersebut, hal itu juga terjadi karena fungsi kulit

sebagai pelindung yang terganggu oleh penyakit. Karena terjadi

kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan

terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Djuanda, 2010).

E. Klasifikasi

2

Pioderma Primer

Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,

penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.

Pioderma Sekunder

Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak

khas dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit

disertai pioderma sekunder disebut impetigenisata, contohnya:

dermatitis impetigenisata, scabies impetigenisata. Tanda

impetigenisata ialah jika terdapat pus, kustul, bula purulen, krusta

berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening

regional, leukositosis, dapat pula disertai demam (Djuanda, 2010).

Penulis lain membaginya menjadi superfisial dan profunda. Fredberg

(2003) membaginya menjadi

F. Pengobatan Umum

Sistemik

Contoh obat untuk pengobatan pioderma

a. Penisilin G prokain dan semi-sintetiknya

- Penisilin G prokain, dosisnya 1,2 juta/hari i.m, obat ini sudah

tidak dipakai lagi karena dianggap tidak praktis dan

pemakaiannya sering menimbulkan syok anafilaktik

3

ImpetigoEktimaFolikulitisFurukulosisKarbunkel

Superfisial

ErisipelasSelulitisFlegmonAbses multipel kelenjar keringatHidraadenitis

Profunda

- Ampisillin, dosis 4×500 mg, ante cunam

- Amoksisilin, dosisnya sama dengan ampisilin, dipakai post-

cunam dan absorbsinya lebih cepat sehingga kadar dalam

plasma lebih tinggi.

- Golongan obat penisilin resisten-penisillinase, contohnya

adalah oksasillin, kloksasillin, dikloksasillin, flukloksasillin.

Dosis 3×250 mg/hari ante-cunam. Kelebihan obat ini adalah

juga berkashiat pada Staphylococcus yang telah membentuk

penisilinase.

b. Linkomisin dan Klindamisin

Dosis linkomisin, 3×500 mg/hari. Klindamisin diabsorbsi lebih

banyak karenanya dosisnya lebih kecil yaitu 4×150 mg/hari/os,

pada infeksi berat dosisnya 4×300-450 mg/hari. Linkomisin agar

tidak dipakai lagi dan digantikan oleh Klindamisin karena potensial

antibakterinya lebih besar dan efek sampingnya lebih sedikit dan

tidak terlalu terhambat oleh adanya makanan dalam lambung.

c. Eritromisin

Dosis 4×500 mg/hari/os. Efektivitasnya kurang dibandingkan

Linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-

penisillinase. Cepat menyebabkan resistensi dan kadang terjadi tak

enak di lambung.

d. Sefalosporin

Bila terjadi pioderma berat yang dengat obat diatas tidak

menunjukan hasil maka dipakailah Sefalosporin. Ada empat

generasi yang berkhasiat untuk kuman gram positif yaitu generasi I

juga generasi IV. Contohnya adalah sefadoksil dari generasi I

dengan dosis dewasa, 2×500 mg atau 2×1000 mg/hari

Topikal

Bermacam obat topical dapat digunakan untuk pioderma, contohnya

basitrasin, neomisin, mupirosin. Neomisin berkhasiat juga untuk

bakteri gram negative, Neomisin dituliskan sering mengalami

4

sensitisasi, sedangkan teramisin dan kloramfenikol sebenarnya tidak

terlalu efektif namun sering dipakai karenanya harganya murah. Obat-

obatan ini biasanya berbentuk salep atau krim.

Selain itu juga baik agar diberikan kompres terbuka contohnya, larutan

permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium

povidon 7,5 % yang dilarutkan 10 kali (Djuanda, 2010).

G. Pemeriksaan

Pada pemeriksaan laboratorik (darah tepi) terdapat leukositosis. Pada kasus

yang kronis dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada

kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus melainkan kuman negative-

Gram. Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, invivo tidak selalu

sesuai dengan in vitro. Terdapat leukositosis pada pemeriksaan lab. Pada

kasus yang sulit sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada kemungkinan

penyebabnya buka kedua bakteri penyebab pioderma yang sering terjadi

(Djuanda, 2010).

H. Bentuk Pioderma

1. IMPETIGO

Impetigo adalah infeksi kulit superfisial yang diakibatkan oleh stafilokokus

atau streptokokus atau keduanya. Biasanya terjadi pada anak dan terlihat

sebagai vesikel berdinding tipis yang mudah pecah , sering pada wajah yang

meninggalkan daerah berkrusta eksudat kuning. Lesi cepat menyebar dan

sangat menular. Tipe bulosa, dengan diameter lepuhan 12 cm dapat terlihat

pada semua umur dan biasanya mengenai wajah dan ekstremitas. Ekzema

atopik, skabies, herpes simpleks, dan lues dapat disertai impetigo

(Gawkrodger, 2002).

5

Terdapat 2 bentuk impetigo krustosa dan impetigo bulosa (Djuanda, 2010).

a) Impetigo krustosa

Penyakit ini disebut juga Impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo

Tillbury FoX. Penyebabnya biasanya Streptococcus B hemolyticus.Tidak

disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak-anak. Tempat predileksi di

muka, yakni disekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber

infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang

cepat memecah sehingga jika penderita dating berobat yang terlihat ialah

6

krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan akan tampak erosi

di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian

tengah.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah glomerulonefritis (2-5%) yang

disebabkan oleh sero tipe tertentu. Penyakit ini harus dibedakan dari

ektima.Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salep antibiotic, kalau

banyak diberi pula antibiotic sistemik (Djuanda, 2010).

Terapi antibiotik yang disarankan jika lesi banyak dan disertai gejala

konstitusi (demam,dll) adalah dengan diberikan antibiotic sistemik, misalnya

penisilin, kloksasilin, atau sefalosporin. Untuk antibiotik topikal dapat

menggunakan polimiksin, neomisin, dan basitrasin (Siregar, 2005).

o Impetigo bulosa

Disebut juga impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet. Biasanya karena

Staphylococcus aureus. Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi

di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama merialia. Terdapat pada anak

dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan bula hipopin.

Kadang-kadang waktu penderita dating berobat, vesikel/bula telah memecah

sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa. Jika

vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan eritema, maka mirip

dermafitosis. Pada anamnesa hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya

terdapat lumpuh. Jika ada, diagnosanya adalah impetigo bulosa. Jika terdapat

hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi salap antibiotic atau

cairan antiseptic. Kalau banyak diberi pula antibiotic sitemik. Faktor

predisposisi dicari, jika karena banyak keringat, ventilasi diperbaiki (Djuanda,

2010).

Terapi antibiotik yang disarankan adalah diberi salep antibiotic

(kloramfenikol 2% atau eritromisin 3%). Jika ada demam, sebaiknya diberi

antibiotic sistemik, misalnya penisilin 30-50 mg/kgBB atau antibiotic yang

sensitive (Siregar, 2005).

7

o Impetigo neonatorum

Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonates.

Kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya likasinya menyeluruh, dapat

disertai demam.

Diagnosa banding dengan sifilis congenital. Pada penyakit ini bula juga

terdapat ditelapak tangan dan kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle nose,

dan pseudo paralisis parrot. Antibiotic harus diberika secara sistemik. Topical

dapat diberikan bedak salisil 2%.

8

Bila tidak ditangani, infeksi yang invasif daat berkomplikasi menjadi selulitis,

limfangitis, dan bakteremia dengan resultan osteomielitis, septik artritis,

pneumonitis, dan septikemi. Exfoliatin yang diproduksi dapat menyebabkan

scalded skin syndrome pada bayi dan dewasa dengan imunokompromis atau

yang memiliki fungsi renal buruk.

Menurut Fredberg (2010), pengobatan lokal dengan musiprosin salep atau

krim dan pembersihan krusta serta menjaga kebersihan sudah cukup untuk

kasus yang ringan. Akan tetapi, pada kasus berat, penggunaan antibiotik

sistemik dibutuhkan unutk hasil yang optimal. Bila dilakukan isolasi bakteri,

penggunaaan antibiotik sistemik lebih rasional. Pada orang dewasa dengan

lesi luas atau lesi bula, dikloksasilin 250-500 mg peroral 4x1 atau

eritromisin250-500 mg peroral 4x1 bila alergi dengan penisilin, harus

diberikan. Pengobatan diberikan selama 5 hingga 7 hari (10 hari bila

treptokokus terisolasi). Selain itu, single dose azitromisin oral 500 mg pada

hari pertama, 250 mg pada hari selanjutnya selama 4 hari sama efektifnya

dengan penggunaan dikloksasilin. Bila resisten terhadap eritromisin (biasanya

pada impetigo anak), koamoksiklav 25mg/kg 3x1, cefalexin 40-50 mg/kg

perhari, cefaclor 20mg/kg 3x1, cefaprozil 20mg/kg perhari, atau klindamisin

15 mg/kg 3-4x1 dapat diberikan selama 10 hari sebagai terapi alternatif.

2. FOLIKULITIS

Folikulitis adalah radang folikel rambut.penyebabnya adalah Staphylococcus

aureus.

9

Folikulitis superfisialis: terbatad di dalam epidermis.

Sinonim : Impetigo Bockhart

Gejala klinis : Pustul kecil berbentuk kubah dan mudah pecah pada

infundibulum (ostium) dari folikel rambut, sering pada kepala anak dan

pada area yang berjanggut, aksia, ekstremitas, dan bokong pada dewasa.

Folikulitis profunda: sampai ke subkutan.

Gambaran klinisnya seperti di atas, hanya teraba infiltrate di subkutan.

Contohnya sikosis barbe yang berlokasi di bibir atas dan dagu,

bilateral.Diagnosa banding nya adalah tinea barbe, lokasinya di

mandibula/ submandibula, unilateral. Pada tenia barbe rambut biasanya

rontok dan sediaan dengan KOH positif. Pengobatan dengan antibiotic

sistemik/ topical (Djuanda, 2010) (Fredberg,2003).

10

Terapi antibiotik yang disarankan ialah antibiotic sistemik jika luas : eritromisi

3x250 mg selama 7 – 14 hari ; atau penisilin 600.000 – 1,5 juta IU intramuscular

selama 7 – 14 hari. Antibiotic topical, isalnya kemicetin 2% ; jika eksudasi

kompres PK 1/5.000 (Siregar, 2005). Pengobatan lokal dengan kompres hangat

salin serta krim musiprosin cukup untuk mengontrol infeksi (Fredberg, 2003).

3. FURUNKEL/KARBUNKEL

Furunkel ialah pembentukan abses akut pada multipel folikel rambut., Karbunkel

ialah abses dalam pada kumpulan furunkel yang terasa nyeri. Biasanya disebabkan

oleh Staphylococcus aureus. Keluhan yang muncul adalah nyeri, dengan kelainan

berupa nodus eritem berbentuk kerucut dengan pustule ditengahnya. Kemudian

melunak menjadi abses berisi pus dan jaringan nekrotik lalu memecah membentuk

fistel.

11

Predileksi adalah tempat yang banyak friksi, misalnya aksila dan bokong.

Pengobatan jika hanya sedikit furunkel, cukup dengan antibiotic topical, jika

banyak perlu gabungan dengan antibiotic sistemik. Jika terjadi furunkulosis atau

karbunkel berulang-ulang cari faktor predisposisi, misalnya diabetes mellitus

(Djuanda, 2010).

Terapi antibiotik untuk furunkel yang disarankan adalah antibiotic sistemik :

eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin , jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi

dan selanjutnya dikompres atau diberi salep kloramfenikol 2% (Siregar, 2005).

Setalh diinsisi jangan dilakukan dressing basah karena infeksi dapat menyebar

melalui maserasi kulit (Fredberg, 2003). Sedangkan antibiotik yang diberikan

12

pada karbunkel adalah eritromisin 4x250 mg selama 7 - 14 hari ; penisilin 600.000

IU selama 5 - 10 hari. Antibiotik yang masih sensitif memberi hasil yang

memuaskan seperti sefalosporin atau golongan kuinolon. Basitrasin topikal juga

efektif untuk pengobatan furunkel (Siregar, 2005).

4. EKTIMA

Ektima ialah ulkus superficial dengan krusta diatasnya disebabkan infeksi

Streptococcus, biasanya Streptococcus B hemolyticus. Gejala yang tampak adalah

krusta tebal berwarna kuning berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat yang

relative banyak trauma. Jika krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus yang

dangkal. Diagnosis bandingnya adalah impetigo krustosa, perbedaannya, impetigo

krustosa sering terjadi pada anak dan berlokasi di muka dan dasarnya adalah erosi,

ektima terjadi pada anak maupun dewasa tempat predileksi tungkai bawah dan

dasarnya adalah ulkus (Djuanda, 2010). Ektima biasanya merupakan impetigo

yang tidak tertangani dengan baik (Fredberg, 2010). Pengobatannya sama seperti

impetigo yang diakibatkan oleh stafilokokus.

13

5. PIONIKIA

Radang sekitar kuku oleh piokokus. Penyebabnya biasanya Staphylococcus

dan/atau Streptococcus B hemolyticus. Gejala klinis dari penyakit ini adalah

didahului trauma, mulai infeksi pada lipatan kuku, terlihat tanda-tanda radang dan

menjalar ke matriks dan lempeng kuku, dapat terbentuk abses subungual.

Pengobatan kompres dengan larutan antiseptic dan berikan antibiotic sistemik.

Jika terjadi abses subungual, kuku diekstraksi (Djuanda, 2010).

6. ERISIPELAS

Erisipelas ialah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus B

hemolyticus (Gawkrodger (2003) mengatakan akibat Strep. Pyogenes). Gejala

klinis, demam, malaise. Lapisan kulit yang diserang ialah epidermis dan dermis,

14

tempat predileksinya tungkai bawah. kelainan yang utama adalah eritema merah

cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda radang akut. Dapat

disertai edem, vesikel dan bula. Terdapat leukosistosis. Jika sering residif

ditempat yang sama dapat terjadi limfedema (Djuanda, 2010).

Diagnosis bandingnya adalah selulitis, namun pada penyakit ini infiltratnya di

subkutan (Djuanda, 2010).

15

Terapi awal diberikan benzylpenicillin selama 2 hingga beberapa hari kemudian

diberikan penisilin V selama 7-14 hari (Gawkrodger, 2003). Terapi antibiotik

yang diberikan adalah penisilin 0,6 - 1,5 mega unit selama 5 - 10 hari,

sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari memberi hasil yang baik (Siregar, 2010).

7. SELULITIS

Inflamasi kulit ini berada lebih dalam daripada erisipelas. Jaringan subkutan

terlibat dan areanya lebih meninggi dan bengkak serta eritemanya lebih tidak

tegas daripada erisipelas (Hunter, 2003). Kadang pada perabaan teraba krepitasi

pada selulitis dan terasa lebih keras daripada erisipelas (Fredberg, 2003). Selulitis

sering diakibatkan adanya trauma sebelumnya dan sering terjadi edema hipostatik.

Streptokokus, stafilokokus dan organisme lain bisa menjadi penyebab.

Pengobatannya berupa elevasi, rawat inap dan antibiotik sistemik (Hunter, 2003).

Rekomendasi untuk pengobatan selulitis adalah flucloxacillin 1g qds jika

diberikan intra vena, sedangkan flucloxacilin 500 mg qds apabila ingin diberikan

terapi peroral. Terapi ini diberikan selama 5-7 hari. Pada kondisi yang berat dapat

ditambahkan clindamycin 300-450 mg per oral qds. Apabila pasien alergi

terhadap penicillin atau suspect MRSA dapat diberikan vancomycin intra vena

16

atau doxycycline 200 mg per oral pada hari pertamaa lalu dilanjutkan dengan 100

mg per oral (GETIA, 2013).

8. FLEGMON

Selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis hanya saja

ditambah dengan insisi (Djuanda, 2010).

9. ULKUS PIOGENIK

Berbentuk ulkus, gambaran klinisnya tidak khas dengan disertai pus diatasnya.

Dibedakan dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman gram negative

sehingga perlu dilakukan kultur (Djuanda, 2010).

Antibiotik yang disarankan untuk pengobatan secara sistemik adalah penisilin

600.000 - 1,2 juta IU intramuskular selama 5 - 7 hari; eritromisin 4 x 500 mg

17

selama 7 hari. Siprofloksasin atau sefalosporin memberi hasil yang baik (Siregar,

2005).

10. ABSES MULTIPEL KELENJAR KERINGAT

Infeksi yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, pada kelenjar

keringat berupa abses multiple tak nyeri berbentuk kubah. Didapati pada anak

dengan faktor predisposisi berupa daya tahan tubuh yang menurun juga banyak

keringat, sehingga sering bersama denga miliaria. Kelainan berupa nodus eritema,

multiple, tidak nyeri, berbentuk kubah dan lama memecah. Lokasinya di tempat

yang banyak keringat.

Diagnosis bandingnya adalah furunkulosis, namuan furunkulosis terasa nyeri dan

bentuknya seperti kerucut, dengan pustule ditengah dan lebih cepat memecah.

Pengobatan yaitu antibiotic topical dan sistemik dengan tidak lupa memperhatikan

faktor predisposisi (Djuanda, 2010).

11. HIDRADENITIS

Hidradenitis adalah kelainan kronis berat dari kelenjar apokrin. Banyak papul,

pustul, kista, sinus dan jaringan parut terdapat pada aksila, selangkangan dan

daerah perianal. Kondisi ini mungkin berbarengan dengan akne konglobata.

Penyebabnya belum diketahui tetapi kelainan folikel mungkin penyebabnya.

Peningkatan androgen ditemukan pada beberapa wanita. Hal ini mungkin bukan

merupakan suatu imonodefisiensi atau suatu infeksi primer dari kelebjar apokrin,

walaupun stafilokokus aureus, streptokokus anaerob dan bacterioides spp. Sering

ditemukan. Sebuah grup peneliti mengatakan patogen utama penyebabnya adalah

streptococcus milleri.

Pengobatannya sama seperti akne vulgaris. Antibiotik sistemik membantu lesi

awal untuk berkurang namuntidak efektif untuk lesi abses kronik. Insisi dan

drainase abses dan injeksi intralesi dengan tiamnisolon 5-10 mg/mL dapat

mengurangi insidensi pembentukan scar dan sinus. Klindamisin topikal dapat

mencegah pembentukan lesi baru. Antiandrogen sistemik bisa membantu

18

beberapa wanita. Kasus yang berat membutuhkan operasi plastik untuk

membuang area yang terjangkit (Hunter, 2003)..

12. S4 (STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME)

S4 pertama kali oleh Ritter von Rittershain, sehingga sering disebut penyakit

Ritter. S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan

ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis. Penyakit ini terutama terdapat pada

anak dibawah 5 tahun, pria lebih banyak dari wanita. Etiologinya ialah

Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55 dan/atau faga 71. Sumber infeksi

penyakit ini ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga. Eksotoksin

yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksofoliatin) yang beredar

di seluruh tubuh sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan. Pada kulit

tidak selalu ditemukan kuman penyebab. Fungsi ginjal yang baik diperlukan

untuk mengekskresikan eksofoliatin, pada bayi diduga fungsi ginjal belum

sempurna sehingga penyakit ini terjadi pada golongan usia tersebut (Djuanda,

2010).

19

Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi disaluran nafas bagian

atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema, yang timbul mendadak

pada muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24

jam. Dalam waktu 1-2 hari akan muncul bula-bula berdinding kendur, tanda

nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai

pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tanpak daerah erosif. Akibat

epidermolisis tersebut gambarannya mirip dengan kambustio. Daerah-daerah

tersebut akan mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi.

Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.

Meskipun dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi seperti selulitis,

pneumonia dan septicemia. Jika terdapat infeksi ditempat lain maka dapat

dilakukan pemeriksaan bakteriologi. Juga dilihat tipe kuman karena tidak semua

Satphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit ini, hanya tipe tertentu. Pada

kulit tidak ditemukan kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin

(Djuanda, 2010).

20

Pada pemeriksaan histopatologi akan terdapat gambaran yang khas yaitu terlihat

lepuh intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum, meskipun ruang lepuh

sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa

disertai nekrosis sel. Penyakit ini mirip N.E.T (Nekrolisis Epidermal Toksik,

bahkan pada awalnya disebut N.E.T sebelum dilaporkan oleh Ritter).

Perbedaannya S4 umumnya menyerang anak-anak dibawah usia 5 tahun,

mulainya kelainan kulit didaerah muka, leher, dan lipat paha, mukosa umumnya

tidak diserang dan angka kematian lebih rendah (meskipun begitu penyakit ini

adalah pioderma penyebab kematian paling mungkin). Kedua penyakit ini sulit

dibedakan sehingga ada baiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi secara

frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip pengobatan keduanya

berbeda.  Perbedaan terletak pada celah, S4 di stratum granulosum, N.E.T di sub

epidermal. Perbedaan lain pada N.E.T terdapat nekrosis disekitar celah dan

terdapat sel radang (Djuanda, 2010).

Pengobatan antibiotic, kortikosteroid tidak perlu. Penisilin cukup efektif, misalnya

kloksasillin dengan dosis 3x250 mg untuk orang dewasa/hari/os. Pada neonatus,

dosisnya 3x50 mg/hari/os. Obat lain yang dapat diberikan ialah klindamisin dan

sefalosporin generasi I. topical dapat diberikan sufratulle, atau krim antibiotic.

Diperhatikan juga keseimbangan cairan dan elektrolit (Djuanda, 2010).

Kematian dapat terjadi terutama pada bayi berusia kurang dari 1 tahun dengan

prevalensi sekitar 1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak adanya

keseimbangan cairan dan elektrolit juga karena sepsis (Djuanda, 2010).

Pilihan obat pada penyakit Stafilokokus Scalded Skin Syndrom adalah derivat

penicilin misalnya nafcilin. Alternaif lain adalah generasi pertama sefalosporin.

Tetapi jika pasien alergi dengan penisilin dapat diberikan golongan makrolid atau

aminoglikosid. Vancomycin juga dapat menjadi salah satu pilihan apabila pasien

tidak berespon pada nafcilin (King, 2014).

21

BAB III

KESIMPULAN

Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,

Streptococcus, atau oleh kedua-duanya. Pioderma merupakan penyakit yang

sering dijumpai. Faktor Predisposisi adalah higiene yang kurang, lingkungan yang

kotor, menurunnya daya tahan tubuh, telah ada penyakit lain di kulit.

Pioderma dapat bermanifestasi sebagai kelainan kulit superfisial maupun invasif.

Pioderma dapat berinvasi ke aliran darah da menyebabkan penyakit sistemik.

Pioderma bermanifestasi sebagai impetigo, ektima, folikulitis, furunkel/karbunkel,

erisipelas, selulitis, flegmon, abses multipel kelenjar keringat, ulkus piogenik,

hidraadenitis, dan SSSS.

22

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI

Fredberg, I. 2003. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 6th Ed. New

York: Mc Grawhill

Gawkrodger, D. 2002. Dermatology: An Ilustrated Color Text. Sheffield:

Churchill Livingstone

Guideline for the Empirical Treatment of Infections in Adults. 2013. Diunduh dari

http://www.ruh.nhs.uk/about/policies/documents/clinical_policies/blue_clinic

al/Blue_796.pdf 13 May 2016

Hunter, J., Savin, J., Dahl, M. 2003. Clinical Dermatology 3rd Ed. Minessota:

Blackwell

King, R.W. Staphylococca scalded skin syndrome medication. 2016. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1073117-medication#1 13 Mei 2016.

R.S. Siregar. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC

23