referat penyakit imunologi mata

65
REFERAT PENYAKIT-PENYAKIT IMUNOLOGI PADA MATA Disusun oleh: Made Diah Ayu M. R, S.Ked 07700203 Astri Taufi Ramadhani, S. Ked 072011101037 Dosen Pembimbing: dr. Bagas Kumoro, Sp. M Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya di Lab/ SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD dr. Soebandi 1

Upload: kukuhh07

Post on 11-Dec-2015

44 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Tugas Referat tentang Imunologi pada mata

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Penyakit Imunologi Mata

REFERAT

PENYAKIT-PENYAKIT IMUNOLOGI PADA MATA

Disusun oleh:

Made Diah Ayu M. R, S.Ked 07700203Astri Taufi Ramadhani, S. Ked 072011101037

Dosen Pembimbing:dr. Bagas Kumoro, Sp. M

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya di Lab/ SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD dr. Soebandi

LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

RSD DR SOEBANDI JEMBER2012

1

Page 2: Referat Penyakit Imunologi Mata

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................4

BAB 1. SISTEM IMUN PADA MATA................................................................5

1.1 Konjungtiva............................................................................................6

1.2 Film airmata...........................................................................................7

1.3 Kornea.....................................................................................................8

1.4 Uvea.........................................................................................................8

1.5 Korpus vitreus......................................................................................10

1.6 Retina dan nervus optikus...................................................................10

1.7 Lensa.....................................................................................................10

1.8 Air mata................................................................................................10

1.9 kelenjar lakrimalis...............................................................................11

1.10 Komponen selular dan reseptor..........................................................11

1.11 Imunoglobulin......................................................................................15

BAB 2. PENYAKIT IMUNOLOGI PADA MATA..........................................17

2.1 Penyakit Yang Bergantung Antibodi dan Yang Diperantarai Antibodi................................................................................................17

2.1.1 Konjungtivitis Hay Fever..............................................................18

2.1.2 Konjungtivitis Vernalis..................................................................19

2.1.3 Keratokonjungtivitis Atopik.........................................................24

2.1.4 Rhematoid Disease.........................................................................25

2.1.5 Retinopati Systemic Lupus Erytematous (SLE).........................26

2.1.6 Steven Johnson’s Syndrome..........................................................30

2.2 Penyakit Yang Diperantarai Sel.........................................................31

2.2.1 Sarcoidosis mata.............................................................................31

2.2.2 Oftalmia simpatika dan sindrom Vogt-Koyanagi-harada.........32

2.2.3 Arteritis sel raksasa.......................................................................35

2

Page 3: Referat Penyakit Imunologi Mata

2.2.4 Poliarteritis nodosa........................................................................36

2.2.5 Granuloma Wegener......................................................................36

2.2.6 Penyakit Behcet..............................................................................36

2.2.7 Dermatitis kontak..........................................................................37

2.2.8 Keratokonjungtivitis fliktenularis................................................37

Reaksi Tandur Kornea....................................................................................37

BAB 3. KESIMPULAN.......................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41

3

Page 4: Referat Penyakit Imunologi Mata

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Imunologi Pada Mata.........................................................6

Gambar 2. Konjungtivitis Hay Fever.....................................................................18

Gambar 3. Konjungtivitis Vernal Bentuk Palpebra...............................................20

Gambar 4. Konjungtivitis Vernal Bentuk Limbal..................................................20

Gambar 5. Papil-papil Pada Keratokonjungtivitis Atopik.....................................25

Gambar 6. Vaskularisasi Kornea Pada Keratokonjungtivitis Atopik....................25

Gambar 7. Cotton Wool Patches Pada SLE...........................................................28

4

Page 5: Referat Penyakit Imunologi Mata

BAB 1. SISTEM IMUN PADA MATA

Mata adalah target umum dari respon peradangan yang dipicu oleh

reaksi imunologi lokal dan sistemik hipersensitivitas. Keadaan mata yang

meradang akibat respon imun sangat menonjol karena vaskularisasi mata

yang cukup dan sensitivitas dari pembuluh darah pada konjungtiva, yang

tertanam dalam medium yang jernih. Mata dan jaringan di sekitarnya juga

terlibat dalam berbagai gangguan yang dimediasi oleh imunologi lainnya.

(Bielory, 2000)

Ketika reaksi tersebut terjadi, hal ini tidak jarang dilihat pertama

oleh klinis ahli alergi atau imunologi, yang kemudian berada dalam posisi

untuk menghubungkan temuan okular dan sistemik dan kemudian

mengkoordinasikan terapi untuk mengobati penyakit yang mendasari (bila

ada) bukan hanya gejala lokal pada mata. (Bielory, 2000)

Mata dilengkapi dengan sistem imun baik imunitas alami maupun

spesifik. Mata pada dasarnya dibangun dari 4 lapisan yang umumnya

terlibat dalam reaksi imunologi: (1) bagian anterior yang terdiri dari

lapisan cairan air mata dan konjungtiva, yang memberikan barier utama

mata terhadap aeroalergen lingkungan, bahan kimia, dan agen infeksi, Air

mata mengandung berbagai zat anti bakteri seperti: laktoferin, betalisin,

lisosim, antibodi (2 ) sclera yang terbentuk dari kolagen terutama terlibat

dalam gangguan rematik (jaringan ikat), (3) Uvea yang sangat vaskular,

bagian yang memproduksi aqueous humor, yang terutama terlibat dalam

reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sirkulasi imun kompleks dan

reaksi hipersensitivitas cell-mediated, dan (4) retina, yang secara

fungsional merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat. Mata secara

imunologi unik karena tidak memiliki kelenjar limfe berbentuk di orbita,

kelenjar lakrimal, kelopak mata, atau konjungtiva. Limfosit biasanya

berada di substantia propria dari asinus kelenjar lakrimal dan konjungtiva.

(Bielory, 2000)

5

Page 6: Referat Penyakit Imunologi Mata

1.1 Konjungtiva

Konjungtiva adalah jaringan yang paling imunologi aktif dari mata

bagian luar dan mengalami hiperplasia limfoid dalam menanggapi

rangsangan. Konjungtiva adalah membran mukosa tipis yang

memanjang dari limbus mata ke tepi sudut kelopak mata. Secara

anatomis, konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian: konjungtiva bulbar,

yang meliputi bagian anterior sklera; konjungtiva palpebral, yang

melapisi permukaan bagian dalam kelopak mata, dan ruang yang

dibatasi oleh konjungtiva bulbar dan palpebral, yang merupakan

forniks atau kantung konjungtiva. Secara histologi, konjungtiva dibagi

menjadi 2 lapisan: lapisan epitelial dan substantia propia. Lapisan

epitelial terdiri dari 2 sampai 5 sel sel kolumnar bertingkat, dan lamina

propria terdiri dari jaringan ikat longgar. Substantia propria memiliki

lapisan superficial glandular, dan ada jaringan longgar, lapisan fibrous

dalam yang memungkinkan sejumlah besar cairan menumpuk pada

periorbital angioedema. Drainase dari bagian lateral mata mengalir ke

nodus preauricular sedangkan drainase dari bagian nasal konjungtiva

mengalir ke dalam nodus submental. (Bielory, 2000)

Lapisan epitelial mata biasanya tidak mengandung sel-sel inflamasi

resident seperti sel mast, eosinofil,atau basofil. Sel-sel ini biasanya

ditemukan pada lapisan di bawah permukaan epitel dalam substantia

propria. Sel mast pada konsentrasi hingga 6000/mm3 berada di

jaringan ini, sedangkan sel-sel inflamasi lainnya bermigrasi ke dalam

jaringan untuk menanggapi berbagai rangsangan. Laporan-laporan

awal populasi sel mast pada konjungtiva didasarkan pada tekhnik

immunostaining dan respon fisiologis diferensial untuk berbagai

aktivator sel mast seperti senyawa 48/80. Degranulasi sel mast dalam

konjungtiva dalam respon menanggapi senyawa 48/80 telah dibuktikan

dalam kelinci, tikus, dan marmut. Lebih dari 95% dari sel mast

konjungtiva di substantia propria adalah dari MCTC phenotype.

(Bielory, 2000)

6

Page 7: Referat Penyakit Imunologi Mata

Populasi sel mononuklear dari konjungtiva manusia normal

terutama terletak di lapisan epitelial dan termasuk Langerhan’s cells

(LCs) (CD1 +; 85 ± 16 cells/mm2), CD3 + limfosit (189 ± 27

cells/mm2), dan CD4 + / CD8 + limfosit dalam rasio 0.75.9. LCs

diketahui memfasilitasi reaksi imun pada kulit dengan berfungsi

sebagai antigen-presenting cells (APCs) dan tampaknya memiliki

fungsi yang sama pada mata. Menariknya LCs mata diakui oleh marker

CD1 + dan bukan oleh marker timosit CD6+, yang umum ditemukan

di LCs dari kulit atau pada histiosit dari pasien dengan histiocytosis X.

(Bielory, 2000)

1.2 Film airmata

Permukaan konjungtiva dimandikan dengan lapisan tipis dari film

air mata yang terdiri dari lapisan lipid luar, lapisan aqueous tengah,

dan lapisan dalam mucoprotein. Sel Goblet yang menghasilkan musin

didistribusikan sepanjang permukaan konjungtiva. Musin penting

dalam menurunkan tegangan permukaan dari film air mata, dengan

demikian mempertahankan kelembaban permukaan hidrofobik kornea.

Campuran ini menurunkan tingkat penguapan dari bagian aqueous.

Bagian aqueous dari film air mata mengandung berbagai zat terlarut,

termasuk elektrolit, karbohidrat, urea, asam amino, lipid, enzim, tear-

specific prealbumin, dan protein imunologi aktif termasuk IgA, IgG,

IgM, IgE, tryptase, histamin, lisozim , laktoferin, plasmin, dan

ceruloplasmin. Pada konjungtivitis alergi, konsentrasi histamin dalam

airmata bisa mencapai nilai lebih besar dari 100 ng / mL,

dibandingkan dengan nilai normal dari 5 sampai 15 ng/mL.13

Histamin dapat menyebabkan perubahan yang sama dalam mata

seperti pada bagian lain dari tubuh manusia, yang meliputi dilatasi

kapiler, permeabilitas pembuluh darah meningkat, dan kontraksi otot

polos pupil. Sedikitnya 10 uL dari 50-ng/mL konsentrasi fosfat

histamin dapat menyebabkan kemerahan konjungtiva dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah pada 50% dari subyek

7

Page 8: Referat Penyakit Imunologi Mata

yang diteliti. Tingkat histamin dalam air mata ditemukan di kontrol

nonatopic tidak berbeda dari yang ditemukan pada pasien alergi

selama periode bebas gejala. Provokasi alergen konjungtiva dari

subyek atopik hasilnya pada pelepasan berbagai mediator sel mast ke

dalam air mata seperti histamin, tryptase, D2 prostaglandin, dan

leukotrien C4/D4. (Bielory, 2000)

1.3 Kornea

Kornea dilengkapi dengan tight junction antar sel yang melindungi

terhadap masuknya partikel atau molekul asing. Permukaan selnya

ditutupi dengan lapisan jala seperti mikroplika dan mikrovili. Molekul

asing yang mencoba masuk ke dalam kornea harus melalui berbagai

rintangan tadi ditambah lagi dengan adanya serabut-serabut kolagen

pada stroma dan mukopolisakarida. Limfosit tidak dijumpai pada

stroma kornea maka hipersensitivitas lambat tidak dapat terjadi.

Kornea kadang-kadang mengalami peradangan yang biasanya dimulai

pada bagian limbus kemudian meluas ke kornea. Kepadatan struktur

seluler kornea menghambat inisiansi reaksi radang pada kornea, oleh

karena itu transplantasi kornea dapat dilakukan tanpa inflamasi sebab

limfosit tersensitisasi tidak dapat mencapai transplan. Transplantasi

kornea tidak menjadi masalah sebab antigen ABO tidak dijumpai pada

endotel kornea. Keberhasilan transplantasi kornea adalah 90% (10%

ketidakberhasilan karena adanya vaskularisasi atau terjadinya saluran

limfatik karena infeksi kronis). Walaupun kornea tidak mengandung

limfosit tetapi mata setiap beberapa detik sekali dibasahi oleh cairan

yang diproduksi kelenjar tarsalis superior yang mengandung limfosit

yang banyak.(Haryana dan Soesatyo, 1993)

1.4 Uvea

Uvea terdiri dari lapisan kontinu dari iris, badan siliaris, dan

koroid, dengan arsitektur vaskular karakteristik dalam sebuah

8

Page 9: Referat Penyakit Imunologi Mata

"alymphatic" bola mata. Badan siliaris adalah tempat produksi dari

aqueous humor, dan seperti halnya struktur lain yang menghasilkan

filtrat (termasuk glomerulus ginjal [urin] dan pleksus koroid [cairan

serebrospinal]), merupakan bagian yang umum untuk pengendapan

kompleks imun. (Bielory, 2000)

Bagian dalam dari bola mata tidak memiliki pasokan limfatik (tidak

ada drainase kelenjar limfe spesifik), tetapi memiliki modifikasi

limfovaskular yang unik-uvea. Sebaliknya, bagian luar dari bola mata

termasuk konjungtiva kaya dengan pasokan limfatik, mampu

menanggapi antigen asing. Limfatik dari konjungtiva lateral mengalir

ke nodus preauricular (misalnya, parotid node) hanya anterior tragus

dari telinga. Limfatik dari nasal konjungtiva mengalir ke kelenjar

submandibula. (Bielory, 2000)

Aqueous humor dapat mempengaruhi aktivasi sel-T. Reaksi

limfosit campuran ditekan jika tidak sepenuhnya dihapuskan ketika

aqueous humor ditambahkan ke kultur media. Aqueous humor

mengandung berbagai faktor imunosupresif yang mencakup

transforming growth factor-β2, α-melanosit-stimulating hormon,

vasoactive intestinal peptide, dan calcitonin gene-related protein.

Namun, hanya TGF-β2 pada konsentrasi ditemukan dalam aqueous

humor tampaknya memiliki kemampuan untuk menginduksi ACAID.

Sebuah penelitian terbaru melaporkan bahwa konsentrasi kortisol dalam

aquous humor mirip dengan yang ada di plasma, cortisol-binding

globulin hampir tidak ada, sehingga memberikan lingkungan

peningkatan steroid alami. Produksi aqueous humor dan

pengeluarannya merupakan faktor yang mendasari peningkatan tekanan

intraokular (yaitu, glaukoma). Banyak kondisi imunologi yang berbeda

berhubungan dengan kelainan pada kedua area ini. (Bielory, 2000)

9

Page 10: Referat Penyakit Imunologi Mata

1.5 Korpus vitreus

Korpus vitreus tak mempunyai sistem imun. Tetapi karena turnover

korpus vitreus sangat lambat, maka korpus vitreus dapat bertindak

sebagai adjuvant terhadap antigen. (Haryana dan Soesatyo, 1993)

1.6 Retina dan nervus optikus

Retina tidak mempunyai sistem imun sendiri. (Haryana dan Soesatyo,

1993)

1.7 Lensa

Lensa memiliki sistem imun khusus. Pada lensa yang utuh tidal( ada

antibodi atau limfosit atau molekul yang dapat masuk ke dalam lensa.

Lensa sebenarnya penuh dengan antigen yang dapat memacu respons

imunologik. Lensa tersusun atas 4 macam protein. Tiga di antaranya

adalah alfa, beta dan gama kristalin yang bersifat solubel, sedang yang

lain seperti albuminoid dan tidak larut. Protein ini sebetulnya berasal

dari kristalin alpha yang sifatnya seperti albumin. Protein yang paling

antigenik adalah kristalin alfa. Zat albumin sifat sebagai adjuvan

sehingga protein kristalin alpha dapat lebih antigenik. Bagian mata

yang lain seperti konjungtiva dan kelenjar air mata dilengkapi dengan

sistem imun lengkap, seperti limfosit T, B dan makrofag. (Haryana dan

Soesatyo, 1993)

1.8 Air mata

Kelopak mata dapat menyapu partikel dan membersihkan permukaan

mata dan air mata dapat membuang partikel setelah disapu. Dalam air

mata terkandung berbagai jenis Imunoglobulin (IgA, IgG, IgM, IgE).

Kadar lg dalam air mata sebanding dengan kadar dalam serum (lebih

rendah). Selain itu dalam mata terdapat lizozim, komplemen dan

histamin dalam kadar rendah. Ig predominan di dalam air mata adalah

IgA. Konsentrasi secretory (s) IgA pada air mata tikus kurang lebih

200 μg/ml yang dihasilkan oleh sel-sel plasma di dalam kelenjar

lakrimal. Jumlah total sel-sel penghasil Ig tersebut meningkat sesuai

dengan pertambahan umur. Sel-sel penghasil Ig lainnya seperti IgG

10

Page 11: Referat Penyakit Imunologi Mata

dan IgM terdapat pula dalam jumlah yang relatif sedikit daripada sel-

sel untuk IgA. Sebagai contoh, pada umur 21 hari (tikus), jumlah sel-

sel penghasil IgA adalah 10 dan 80 kali lebih banyak daripada jumlah

sel-sel penghasil IgM dan IgG masing-masing/kelenjar lakrimal.

(Haryana dan Soesatyo, 1993)

1.9 kelenjar lakrimalis

Kira-kira berjumlah 6–42 kelenjar pada jaringan konjungtiva atas. Sel

radang, limfosit dijumpai pada daerah interstitial dan pada kelenjar

lakrimalis asesoria. Sering dijumpai sel eosinofil dan (basofil tidak

ada) juga dijumpai IgG, IgA, IgD, dan IgE. (Haryana dan Soesatyo,

1993)

1.10 Komponen selular dan reseptor

Komponen seluler dari sistem imun mata dalam banyak hal mirip

dengan sistem imun sistemik, yang tercermin oleh conjunctiva-

associated lymphoid tissue, yang secara histologis sangat mirip dengan

gut-associated lymphoid tissue atau bronchial-associated lymphoid

tissue. Populasi limfosit mirip antara semua sistem mukosa. Limfosit

tersebar di seluruh lapisan epitel konjungtiva dan membentuk lapisan

yang berbeda dalam substantia propria, saat beragreasi dalam folikel.

Sel-sel epitel yang melapisi folikel ini bermodifikasi, menampilkan

mikrovili memanjang dengan beberapa microplicae, dan tidak

mengandung sel goblet. Limfosit intraepitel didominasi CD8 +,

sedangkan dalam substantia propria sama-sama didistribusikan di

antara populasi CD4 + dan CD8 +. Konjungtiva sepenuhnya

dilengkapi untuk menangkap, memproses dan menyajikan antigen.

Secara umum dipercaya bahwa limfosit konjungtiva yang sudah

diaktivasi berjalan ke kelenjar limfe preauricular lokal dan

submandibula dan dari sana bermigrasi ke limpa dan kemudian

kembali ke konjungtiva. Organ drainase limfoid utama pada mata

adalah limpa. (Haryana dan Soesatyo, 1993)

11

Page 12: Referat Penyakit Imunologi Mata

Molekul adhesi sel

Berbagai interaksi imunologi selular membutuhkan adhesi, migrasi,

proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi. Hal ini dimodulasi oleh molekul

adhesi sel yang muncul dalam berbagai struktur mata, termasuk

kornea, konjungtiva, koroid, uvea, dan saraf optik. Pada epitel mata,

molekul adhesi sel juga tampaknya berperan dalam reaksi

hipersensitivitas okular , seperti terlihat pada studi provokasi ocular

allergy dari ekspresi molekul adhesi antar-1 (ICAM-1) (CD54)

molekul pada hewan dan manusia. Molekul ICAM-1 tampaknya

terlokalisasi pada sel epitel kornea dari basal dan lapisan tengah pada

pasien dengan alergi kronis pada mata, seperti keratokonjungtivitis

vernal (VKC). Setelah paparan alergen terhadap subyek alergi,

ekspresi ICAM-1 epithelial konjungtiva terjadi sebagai peristiwa awal

(yaitu, muncul dalam waktu 30 menit setelah stimulasi tertentu).

Waktu yang sama dengan inflamasi infiltrasi (neutrofil, eosinofil,

limfosit, dan monosit). (Haryana dan Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)

Mast sel

Dalam jaringan okular dan adneksa dari satu mata manusia

terdapat sekitar 50 juta sel mast. Penemuan sel mast pada mata telah

didokumentasikan sejak tahun 1937, sel-sel mast dilaporkan di daerah

limbal mata manusia normal. Dalam mata itu sendiri, sel mast

ditemukan di koroid, ciliary body, iris, dan saraf optik. Namun, sel

mast belum ditemukan di kornea dan retina mata normal. Dalam

koroid manusia normal, sejumlah besar sel mast terkonsentrasi di

koroid posterior, terutama sepanjang pembuluh arteri. Pemeriksaan

spesimen biopsi dan kerokan konjungtiva telah memberikan sebagian

besar informasi mengenai keterlibatan sel mast dalam penyakit alergi

pada mata. Selain gangguan alergi okular, sel mast juga telah terlibat

dalam patogenesis gangguan imunologi mata lainnya, seperti neuritis

12

Page 13: Referat Penyakit Imunologi Mata

optik, uveitis dan bentuk konjungtivitis alergi. Sel mast Choroid

mengalami degranulasi selama EAU, 9 hari setelah injeksi awal dari

EAU-inducing protein.

Bentuk dominan dari sel mast ditemukan dalam konjungtiva

normal adalah dari jenis jaringan ikat karena mengandung chymase

dan tryptase. Dalam bentuk yang lebih kronis dari konjungtivitis

alergi, terjadi peningkatan nyata pada sel mast mucosal-type dan juga

migrasi sel mast ke lapisan epitel.

Tidak jelas apakah perubahan dalam jenis sel mast pada alergi

okular yang lebih kronis, seperti keratokonjungtivitis atopik (AKC)

atau VKC, mencerminkan migrasi jenis tiang ke dalam konjungtiva

atau diferensiasi lokal dari sel mast prekursor pada site. Perubahan

mukosa untuk tipe sel mast membutuhkan lingkungan mikro yang

tepat, yang meliputi IL-3, IL-4, IL-9, IL-10, stem cell factor, and

nerve growth factor, yang tampaknya berasal dari suatu variasi dari sel

konjungtiva. Sel epitel konjungtiva dan sel mast telah diakui sebagai

sumber penting dari berbagai kemokin (macrophage inflammatory

protein 1, RANTES, eotaxin, IL-8) dan dengan demikian mampu

terlibat langsung dalam peradangan pada alergi chemokine-mediated.

Neuropeptida seperti substansi P bertindak sebagai mediator kimia

dan sangat aktif dalam peradangan pada alergi. Konsentrasi substansi P

pada airmata ditemukan meningkat pada pasien dengan seasonal

konjungtivitis alergi dan VKC. Nedokromil telah diakui menjadi

stabilisator sel mast dan telah terbukti menurunkan eksperimental

autoimun neuritis. (Haryana dan Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)

Histamin

Sejumlah besar histamin dilaporkan terdapat pada beberapa struktur

mata mamalia, termasuk retina, koroid, dan saraf optik. Reseptor

Histamin telah ditemukan pada konjungtiva, kornea, dan arteri-arteri

opthalmic. Reseptor histamin konjungtiva telah dianalisa lebih lanjut

13

Page 14: Referat Penyakit Imunologi Mata

dengan reseptor anti-H1 dan anti-H2 spesifik untuk menentukan

signifikansi fisiologis masing-masing reseptor dalam menimbulkan

respon peradangan okular. Sel-sel endotel kornea telah ditemukan

memiliki reseptor H1, yang ketika diaktifkan menyebabkan fluks

kalsium dalam hitungan detik dengan hasil produksi prostaglandin E2,

mirip dengan masuknya kalsium pada aktivasi sel mast. Diperkirakan

bahwa jaringan konjungtiva manusia mengandung sekitar 10.000 sel

mast per millimeter. Histamin merupakan mediator utama yang terlibat

dalam alergi dan peradangan pada mata. Kebanyakan reaksi alergi

pada mata melalui efek histamin pada receptor H1. Dalam sebuah

penelitian terbaru, histamin meningkat proliferasi, migrasi, dan

produksi kolagen pada fibroblast normal maupun VKC. Air mata dari

pemakai lensa kontak tanpa gejala memiliki tingkat signifikan

histamin, sedangkan air mata dari pasien yang memiliki masalah

dengan lensa kontak mereka memiliki tingkat lebih rendah, mungkin

mencerminkan perubahan dalam metabolisme histamin. (Haryana dan

Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)

T-limfosit

Reseptor sel-T di konjungtiva yang normal memiliki reseptor sel-T

kelas α/β yang mirip dengan yang ditemukan di sebagian besar darah

perifer dan limfoid limfosit-T manusia. Pada otot ekstra okular

terdapat peningkatan jumlah makrofag bila dibandingkan dengan otot

rangka normal. Kadar CD4 dan CD8 normal, meskipun ada yang

dominan sedikit limfosit CD8. (Haryana dan Soesatyo, 1993; Bielory,

2000)

Eosinofil

Penilaian langsung dari jaringan konjungtiva mengungkapkan eosinofil

yang absen dari epitel normal, bahkan pada pasien dengan seasonal

konjungtivitis alergi yang berada di luar musim alergi mereka,

14

Page 15: Referat Penyakit Imunologi Mata

sedangkan pasien di musim mereka akan mulai memiliki beberapa

infiltrasi dengan eosinophils. Perubahan fungsi eosinofil, bukan jumlah

sel, mungkin penting dalam variasi klinis, seperti keratopati. (Haryana

dan Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)

1.11 Imunoglobulin

Ig dijumpai pada semua struktur mata dan jaringan sekitarnya

kecuali lensa. Konsentrasi tertinggi pada kornea, khoroid, konjungtiva

dan lain-lain. Konsentrasi sedang pada otot dan sklera, dan konsentrasi

rendah dijumpai pada korpus siliare, iris, korpus vitreum, retina.

Imunoglobulin dapat diproduksi secara lokal atau dapat diangkut

dari sistem pembuluh darah ke berbagai jaringan mata. Cincin imun

kornea yang berkembang pada hewan percobaan kelinci setelah

suntikan intracorneal dari antigen asing terutama terdiri dari leukosit

polimorfonuklear, kompleks imun, dan complement-activated

products. Hal ini dapat terlihat pada pasien dengan corneal melt

syndromes.

Kadar antibody pada airmata dapat diukur dengan beberapa metode

(misalnya, teknik spons [Schirmer tes] atau tabung kapiler). Tidak ada

perbedaan kuantitatif telah dicatat dalam penggunaan teknik spons atau

kapiler dalam pengukuran total IgE airmata.

IgA, menjadi mucosal-related immuno-globulin yang dominan,

didistribusikan berbeda dalam cairan tubuh: 80% atau lebih dari IgA

serum merupakan subclass IgA1, sedankan di sekresi eksternal, IgA1

merupakan 50% sampai 74% dari jumlah total IgA. IgA Sekretori

tidak hanya menampilkan distribusi subclass khas tetapi juga dalam

bentuk polimer melalui penambahan rantai J. Para sekretori IgA

diangkut ke dalam cairan air mata melalui komponen sekretori yang

berasal sel epitel, yang melekat pada rantai J dalam proporsi yang

berbeda dari subclass ketika kita membandingkan serum dengan cairan

air mata. Dalam sistem nonmucosal IgA1 yang mengandung sel-sel

15

Page 16: Referat Penyakit Imunologi Mata

plasma adalah 75% dari jumlah tota IgA yang mengandung jumlah sel

plasma.

Meskipun IgA adalah antibodi utama terdeteksi dalam air mata

normal, IgG juga tampaknya berperan dalam pengendalian

konjungtivitis virus. Kadar IgG dalam airmata meningkat menjadi rata-

rata 1,31 mg/mL, sedangkan IgA air mata terdeteksi pada rata-rata

0,84 mg/mL pada 6 pasien dengan akut hemoragik conjunctivitis.

Tidak ada alergen spesifik IgE antibodi

terdeteksi dalam air mata individu nonatopic, sedangkan IgA antibodi

dalam serum dan air mata pasien dengan konjungtivitis alergi terutama

diarahkan terhadap gugus nonallergenic dan menunjukkan kekhususan

yang secara signifikan berbeda dengan antibodi IgE. (Haryana dan

Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)

Gambar 1. Mekanisme imunologi pada mata

Sumber: Bielory, 2000

16

n _t en UTF-8

2 1

Page 17: Referat Penyakit Imunologi Mata

17

Page 18: Referat Penyakit Imunologi Mata

BAB 2. PENYAKIT IMUNOLOGI PADA MATA

2.1 Penyakit Yang Bergantung Antibodi dan Yang Diperantarai Antibodi

Sebelum penyakit mata dapat disimpulkan bersifat dependen-antibodi,

harus dipenuhi kriteria sebagai berikut (Vaughan dkk, 2002):

1. Harus terdapat bukti adanya antibody spesifik di dalam serum atau

sel-sel plasma pasien.

2. Antigennya harus dapat diidentifikasi dan apabila mungkin

ditentukan karakteristiknya

3. Antigen tersebut harus terbukti menghasilkan suatu respon

imunologik di mata pada hewan percobaan, dan kelainan patologik

yang terjadi pada hewan tersebut harus serupa dengan yang diamati

pada manusia.

4. Lesi serupa harus dapat ditimbulkan pada hewan percobaan secara

pasif disensitisasi dengan serum dari hewan sakit yang diberi

antigen spesifik tersebut.

Pada kondisi-kondisi tersebut, penyakit yang bersangkutan dapat dianggap

diperantarai antibodi hanya bila salah satu kriteria berikut terpenuhi (Vaughan

dkk, 2002):

1. Bila antibody terhadap suatu antigen terdapat dalam jumlah yang

lebih besar di dalam cairan mata dibandingkan di dalam serum

(setelah dilakukan penyesuaian mengenai jumlah total

immunoglobulin dalam masing-masing cairan).

2. Bila terdapat penimbunan abnormal sel plasma di dalam lesi mata.

3. Bile terdapat penimbunan immunoglobulin di lokasi penyakit

4. Bila terdapat fiksasi komplemen oleh immunoglobulin di lokasi

penyakit

5. Bila terdapat penimbunan eosinofil di lokasi penyakit

6. Bila penyakit mata tersebut disertai dengan penyakit peradangan di

bagian tubuh mana pun yang diduga kuat atau telah terbukti

dependen-antibodi.

18

Page 19: Referat Penyakit Imunologi Mata

2.1.1 Konjungtivitis Hay Fever

Penyakit ini ditandai oleh oedem dan hiperemi konjungtiva dan palpebra,

serta rasa gatal yang selalu ada dan pengeluaran air mata. Sering timbul rasa

gatal serupa dihidung serta rinorea. Konjungtiva tampak pucat dan sembab

akibat edema hebat, yang onsetnya sering cepat. Insidens penyakit musiman,

sebagian pasien mampu menentukan onset gejala-gejala pada waktu yang

sama setiap tahun. Waktu-waktu tersebut biasanya berhubungan dengan

pengeluaran serbuk sari oleh rumput, pohon, atau semak tertentu (Vaughan

dkk, 2002; AAO, 2012).

Gambar 2. Konjungtivitis hay fever, tampak adanya kemosis pada konjungtiva.

Sumber: Lang, 2007

Patogenesis Imunologik

Kelainan ini dikenal sebagai salah satu bentuk penyakit atopic dengan

kerentanan herediter yang tak langsung. IgE melekat pada sel mast yang

terletak di bawah epitel konjungtiva. Kontak antigen penyebab dengan IgE

19

Page 20: Referat Penyakit Imunologi Mata

memicu pelepasan zat-zat vasoaktif, terutama leukotrien dan histamine, yang

akan menimbulkan vasodilatasi dan kemosis. (Vaughan, 2002)

Diagnosis Imunologik

Kerokan epitel konjungtiva penderita konjungtivitis hay fever dengan

pewarnaan Giemsa memperlihatkan banyak eosinofil. Individu-individu

tersebut memperlihatkan respon tipe cepat, dengan wheal and flare, ketika

dilakukan uji gores kulit dengan ekstrak serbuk sari atau antigen penyebab

lainnya. Biopsi dari kulit yang diuji kadang-kadang memperlihatkan gambaran

lengkap reaksi Arthus, berupa pengendapan kompleks imun di dinding

pembuluh-pembuluh dermis. (Vaughan, 2002)

Pengobatan Imunologik

a. Imunoterapi,

Dengan cara pemberian serbuk sari atauu allergen yang dicurigai

lainnya secara sublingual atau suntikan subkutis dengan dosis rendah

dan semakin tinggi (ditingkatkan secara bertahap),

b. Antihistamin topical,

c. Penstabil sel mast,

d. Kortikosteroid. (AAO, 2012)

2.1.2 Konjungtivitis Vernalis

Konjungtivitis vernalis adalah konjungtivitis akibat reaksi hipersensitivitas

(tipe I) yang mengenai kedua mata dan bersifat rekuren. Terdapat dua bentuk

utama konjngtivitis vernalis (yang dapat berjalan bersamaan), yaitu (AAO,

2012; Ilyas, 2008) :

1. Bentuk palpebra terutama mengenai konjungtiva tarsal superior.

Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Cobble Stone) yang diliputi

sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edem, dengan

kelainan kornea lebih berat dari tipe limbal. Secara klinik, papil besar ini

20

Page 21: Referat Penyakit Imunologi Mata

tampak sebagai tonjolan besegi banyak dengan permukaan yang rata dan

dengan kapiler ditengahnya.

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk palpebra, tampak adanya cobble stone.

Sumber: Lang, 2007

2. Bentuk Limbal,

hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan

hiperplastik gelatin, dengan Trantas dot yang merupakan degenarasi epitel

kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus,

dengan sedikit eosinofil.(Ilyas, 2006; Vaughan, 2000)

Gambar 4. Konjungtivitis vernal bentuk limbal, tampak adanya Horner-Trantas dot.

Sumber: AAO, 2012

21

Page 22: Referat Penyakit Imunologi Mata

Patogenesis Imunologik

Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang

insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV.

Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang

dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang

menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini

akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva

sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat yang berlebihan

ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak

buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal,

oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada

konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam

kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea.

Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi

dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat,

kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan

menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus.

Kondisi yang terakhir ini mungkin berkaitan dengan konjungtivalisasi pada

penderita keratokonjungtivitis dan di kemudian hari berisiko timbulnya

pterigium pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang

dengan cepat akan mengalami degenerasi. (Vaughan, 2002)

Diagnosis Imunologik

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva

untuk mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan

banyak eosinofil dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu,

terdapat basofil dan granula basofilik bebas. (Vaughan, 2002)

22

Page 23: Referat Penyakit Imunologi Mata

Pengobatan Imunologik

Karena konjungtivitis vernalis adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu

diingat bahwa medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberi hasil

jangka pendek, berbahaya jika dipakai jangka panjang.

Opsi perawatan konjungtivitis vernalis berdasarkan luasnya symptom yang

muncul dan durasinya. Opsi perawatan konjungtivitis vernalis yaitu (Vaughan,

2002):

1. Tindakan Umum

Dalam hal ini mencakup tindakan-tindakan konsultatif yang membantu

mengurangi keluhan pasien berdasarkan informasi hasil anamnesis. Beberapa

tindakan tersebut antara lain:

- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau

jari tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan

mekanis dari mediator-mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk

mencegah superinfeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut

menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.

- Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter;

- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa

serbuksari;

- Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi kontak

dengan alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru

harus dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen;

- Kompres dingin di daerah mata;

- Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata

juga berfungsi protektif karena membantu menghalau allergen;

- Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga

disebut sebagai climato-therapy.

2. Terapi topikal

23

Page 24: Referat Penyakit Imunologi Mata

- Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat digunakan irigasi saline

steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10%–20% tetes mata.

Dosisnya tergantung pada kuantitas eksudat serta beratnya gejala.

Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi daripada larutan

20%. Larutan alkalin seperti 1-2% sodium karbonat monohidrat

dapat membantu melarutkan atau mengencerkan musin, sekalipun

tidak efektif sepenuhnya.

- dekongestan

- antihistamin

- NSAID (Non-Steroid Anti-Inflamasi Drugs)

- Untuk konjungtivitis vernalis yang berat, bisa diberikan steroid

topical prednisolone fosfat 1%, 6-8 kali sehari selama satu minggu.

Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai ke dosis

terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Bila sudah terdapat

ulkus kornea maka kombinasi antibiotik steroid terbukti sangat

efektif.

- Antihistamin

- Antibakteri

- Siklosporin

- Stabilisator sel mast seperti Sodium kromolin 4% dan Lodoksamid

0,l%.

3. Terapi Sistemik

- Pada kasus yang lebih parah, bisa juga digunakan steroid sistemik

seperti prednisolone asetat, prednisolone fosfat, atau deksamethason

fosfat 2–3 tablet 4 kali sehari selama 1–2 minggu.

- Antihistamin, baik lokal maupun sistemik, dapat dipertimbangkan

sebagai pilihan lain, karena kemampuannya untuk mengurangi rasa

gatal yang dialami pasien. Apabila dikombinasi dengan

vasokonstriktor, dapat memberikan kontrol yang memadai pada

kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi dosis.

24

Page 25: Referat Penyakit Imunologi Mata

4. Tindakan Bedah

Berbagai terapi pembedahan, krioterapi, dan diatermi pada papil

raksasa konjungtiva tarsal kini sudah ditinggalkan mengingat

banyaknya efek samping dan terbukti tidak efektif, karena dalam

waktu dekat akan tumbuh lagi.

2.1.3 Keratokonjungtivitis Atopik

Dapat mengenai segala usia dan tidak memperlihatkan insiden

musiman. Sering muncul pada penderita dengan riwayat dermatitis

atopi. Kulit palpebra biasanya tampak kering dan bersisik. Konjungtiva

pucat dan sembab. Baik konjungtiva maupun kornea dapat membentuk

jaringan parut pada tahap lanjut. Walaupun penyakit atopic dan

vernalis mungkin terletak pada suatu spectrum penyakit yang sama,

keduanya masih dapat dibedakan. Penyakit atopic cenderung terjadi

pada pasien yang lebih tua dan jarang atau tidak ada eksaserbasi

musiman. Papilla pada penyakit atopic lebih kecil dibandingkan pada

penyakit vernalis dan dijumpai di konjungtiva palpebra inferior dan

superior. Selain itu vaskularisasi kornea dan pembentukan jaringan

parut di konjungtiva jauh lebih sering pada penyakit atopic. Pada

penyakit atopic jumlah eosinofil dalam apusan jauh lebih sedikit dan

jarang mengalami degranulasi.

25

Page 26: Referat Penyakit Imunologi Mata

Gambar 5. Tampak papil-papil kecil pada konjungtiva tarsal pada keratokonjungtivitis atopic.

Sumber: AAO, 2012

Gambar 6. Tampak vaskularisasi kornea pada konjungtiva tarsal pada keratokonjungtivitis atopic.

Sumber: AAO, 2012

2.1.4 Rhematoid Disease

Patogenesis Imunologik

Faktor rheumatoid, suatu antibody IgM yang ditujukan kepada

IgG pasien sendiri, mungkin berperan penting dalam pathogenesis

arthritis rheumatoid. Penggabungan antibody IgM dengan IgG

26

Page 27: Referat Penyakit Imunologi Mata

kemudian diikuti oleh fiksasi komplemen di jaringan dan penarikan

leukosit dan trombosit ke daerah ini. Vaskulitis oklusif, yang terjadi

akibat rangaian proses di atas, diperkirakan merupakan penyebab

terbentuknya nodus-nodus arthritis rheumatoid di sclera dan di bagian

tubuh yang lain. Selain dapat mengenai sclera, antibody juga dapat

menyerang kelenjar lakrimalis. Kerusakan sel-sel asinar di dalam

kelenjar dan invasi sel-sel mononukleus ke kelenjar lakrimalis

menyebabkan berkurangnya produksi air mata sehingga menyebabkan

keratokonjungtivitis sika. (AAO, 2012)

2.1.5 Retinopati Systemic Lupus Erytematous (SLE)

Sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang

ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh autoantibodi

patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem

yang bermanifestasi sebagai “lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah,

perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf

pusat.(Vaughan, 2002)

Manifestasi pada mata didapatkan pada 20% penderita SLE yang dapat

mengenai palpebra, kornea, retina dan saraf optik.5,6 Gambaran kelainan mata

yang dapat ditemukan antara lain (Vaughan, 2002; Patel, 2002):

a. Palpebra

Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang

tak jarang mengenai pipi dan hidung.

b. Konjungtiva

Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis

nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan

penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang

mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa.

27

Page 28: Referat Penyakit Imunologi Mata

Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat

menyebabkan pengerutan konjungtiva.

c. Sklera

Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler

yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan

bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi

skleritis nekrotik yang melanjut dari temapat lesi semula ke segala jurusan

sampai dihentikan dengan pengobatan.

d. Uvea

Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.

e. Retina

Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati

merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses

peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak

kedua setelah keratokonjungtivitis sicca (KCS). 88% penderita retinopati SLE

memiliki penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang

signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif

pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.

Pada mata penderita SLE, kompleks imun didepositkan pada endotel

vaskuler konjungtiva, sklera, koroid, corpus siliaris dan retina yang kemudian

akan mengubah struktur jaringan serta menekan fungsi dari jaringan tersebut.

Deposit dapat berkembang pada membrana basalis dari korpus siliaris, kornea

dan saraf-saraf perifer dari corpus siliaris dan konjungtiva. Penderita retinopati

pada SLE mempunyai angka morbiditas yang tinggi. Jika retinopati

berkelanjutan dan menjadi lebih berat atau telah mengenai area makula primer

pada retina maka dapat mengakibatkan kebutaan (Patel, 2002).

Gambaran fundus pada retinopati SLE dapat dibagi dalam 2 bentuk :

28

Page 29: Referat Penyakit Imunologi Mata

a. Akibat SLE murni: pada retina ditemukan gambaran cotton wool

patches yang merupakan gejala utama yang dapat timbul pada

masa toksis, perdarahan superfisial, eksudat putih abu-abu dan

edema papil.

b. Akibat hipertensi yang berlangsung lama: karena SLE

menyebabkan nefropati yang kemudian dapat menyebabkan

hipertensi, maka pada penderita SLE yang lanjut dapat ditemukan

gambaran fundus hipertensi.

Gambar 7. tampak gambaran cotton wool patches pada pasien SLE.Sumber: Patel, 2002

Retinopati pada SLE dapat memberikan gambaran menyerupai retinopati

hipertensi dan retinopati diabetikum, tapi pada retinopati SLE lebih sedikit

daerah iskemik dan penurunan visus. Temuan klasik pada retinopati SLE

adalah gambaran cotton-wool spot (bercak seperti kapas) pada pemeriksaan

funduskopi, yang mana telah berkolerasi dengan area avaskular pada

pemeriksaan angiografi floresensi.

29

Page 30: Referat Penyakit Imunologi Mata

Patogenesis Imunologik

Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan

lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini

termasuk :

1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks

imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen

2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit

antigen-specific T dan Limfosit B)

3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+

4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun.

Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat

ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik,

sehingga antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan

untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan

penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang

terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor

necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin

pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10.

Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu

petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal

menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk

memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody

yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan

dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik

yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.

Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan

kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada

keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan

memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim

30

Page 31: Referat Penyakit Imunologi Mata

perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan

produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada

glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

Diagnosis Imunologik

Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan infiltrasi pada dinding

pembuluh darah oleh material fibrin yang menyebabkan konstriksi vaskular

dan penyebaran trombus hialin. Dinding pembuluh darah bebas dari sel-sel

radang, oleh sebab itu hal ini tidak dipertimbangkan sebagai vaskulitis sejati.

Uji-uji diagnostik mencakup antara lain antibodi anti-DNA dan antibody

mitokondria tipe V. Aktivitas penyakit diikuti oleh peningkatan kompleks

imun dalam darah dan penurunan fraksi komplemen. (Vaughan, 2002)

Pengobatan Imunologik

Penatalaksaan retino pati SLE sesuai dengan penyakit penyebabnya. Obat

paling efektif adalah steroid sistemik dan siklofosfamid intravena dosis

denyut. Retinopati dapat membaik sejalan dengan keberhasilan penanganan

penyakit sistemiknya. Bagaimanapun, penderita tetap harus dimonitor secara

seksama mengenai tanda-tanda eksaserbasi saat gejala sistemik tidak ada.

Terapi antiplatetlet dan antikogulandi indikasikan untuk keadaan retinopati

oklusal. Pemberian kortikosteroid sistemik diindikasikan pada nyeri hebat

optalmoplegia. (Vaughan, 2002)

2.1.6 Steven Johnson’s Syndrome

Penyakit ini paling sering dipicu oleh obat-obatan seperti sulfonamide atau

penyakit-penyakit seperti infeksi herpes simpleks atau mikoplasma. (AAO,

2012)

Patogenesis Imunologik

Menunjukkan hipersensitivitas tipe III yang terdiri dari pengendapan

kompleks imun di dermis dan stroma konjungtiva. Pengendapan ini dapat

31

Page 32: Referat Penyakit Imunologi Mata

menimbulkan konjungtivitis sikatrikan yang berpotensi menyebabkan jaringan

parut dan kekeringan berat di kornea. (Vaughan, 2002; AAO, 2012)

2.2 Penyakit yang Diperantarai Sel

2.2.1 Sarcoidosis mata

Sarkoidosis pada mata ditandai oleh panuveitis yang kadang-

kadang ditandai disertai oleh peradangan nervus opticus,

konjungtiva, dan pembuluh-pembuluh darah retina

2.2.1.1 Patogenesis imunologi

Walaupun banyak infeksi atau alergi telah diajukan sebagai

penyebab sarkoidosis, belum ada satupun yang dapat

dibuktikan. Tampak granuloma nonkaseosa di uvea, nervus

opticus, konjungtiva, dan struktur-struktur adneksa mata

serta di bagian tubuh lain. Adanya makrofag dan sel raksasa

mengisyaratkan terjadinya fagositosis bahan berbentuk

partikel. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa

infeksi mycobacterium merupakan suatu faktor etiologi

Pasien sarkoidosis biasanya anergi terhadap antigen-antigen

mikroba yang sering dijumpai, misalnya antigen mumps,

trichopyton, candida, dan mycobacterium tuberculosis.

Seperti pada gangguan limfoproliferastif lainnya, misalnya

penyakit Hodgkin dan leukemia limfositik kronik, anergi

mungkin mencerminkan supresi aktivitas sel T sedemikian

sehingga respons hipersensitivitas tipe lambat yang normal

terhadap antigen-antigen yang umum tidak dapat terjadi.

Sementara itu, biasanya ditemukan immunoglobulin dalam

serum dengan kadar yang lebih tinggi daripada normal.

32

Page 33: Referat Penyakit Imunologi Mata

2.2.1.2 Diagnosis imunologi

Diagnosis kebanyakan didasarkan pada penarikan

kesimpulan. Fakta yang sangat menunjang adalah hasil uji

kulit yang negative terhadap serangkaian antigen yang

diketahui telah dikenal oleh pasien, demikian juga

peningkatan immunoglobulin dalam serum. Biopsy nodul

di konjungtiva atau pembesaran kelenjar getah bening dapat

memberikan petunjuk histologik adanya penyakit ini. Pada

banyak kasus, pemeriksaan sinar-X toraks memperlihatkan

adenopati hilus. Kadar angiotensin-converting enzyme

dalam serum dapat meningkat.

2.2.1.3 Pengobatan

Memerlukan terapi kortikosteroid dan sesekali dengan obat

imunosupresan.

2.2.2 Oftalmia simpatika dan sindrom Vogt-Koyanagi-harada

Kedua penyakit ini dibahas bersama-sama karena keduanya

memiliki kesamaan gambaran klinis tertentu. Keduanya

diperkirakan mencerminkan suatu fenomena autoimun yang

mengenai struktur berpigmen di mata dan kulit, dan keduanya

dapat memperlihatkan gejala-gejala meningeal

2.2.2.1 Gambaran klinis

Oftalmia simpatika adalah suatu peradangan di mata kedua

(sebelahnya) setelah yang pertama mengalami kerusakan

akibat trauma tembus. Pada kebanyakan kasus, sebagian

uvea mata yang cedera telah terpajan ke atmosfir sekurang-

kurangnya selama 1 jam. Mata yang tidak cedera atau

“yang bersimpatik” memperlihatkan tanda-tanda minor

uveitis anterior setelah rentang waktu 2 minggu hingga

bertahun-tahun lamanya. Walaupun demikian, sebagian

besar kasus terjadi dalam 1 tahun. Sebagai akibat

peradangan pada corpus ciliare, timbul gejala-gejala dini

33

Page 34: Referat Penyakit Imunologi Mata

antara lain bercak-bercak melayang dan hilangnya daya

akomodasi. Penyakit dapat berkembang menjadi

iridosiklitis berat yang disertai nyeri dan fotofobia. Namun,

biasanya mata tetap tenang dan tidak nyeri, sementara

peradangan menyebar ke seluruh uvea. Retina biasanya

tetap tidak terlibat., kecuali ada cuffing perivaskular

pembuluh retina oleh sel-sel radang. Dapat Ada juga

sebuah akumulasi sel-sel epithelioid pada permukaan epitel

pigmen retina (RPE) atau Choroidal yang disebut Dalen-

Fuchs nodul. Dapat timbul edema nervus opticus dan

glaucoma sekunder. Dalam kasus yang berkepanjangan dan

tidak diobati dengan baik, butiran melanin pada koroid dan

epitel pigmen retina (RPE) yang hilang dan perubahan

warna fundus menjadi merah. Ini disebut "sunset glow

fundus " adalah salah satu temuan klinis paling khas pada

sindrom Vogt-Koyanagi-harada dan Oftalmia simpatika.

Untuk alasan yang tidak diketahui, insidens penyakit ini

telah sangat menurun selama beberapa dekade terakhir.

(Sugita dkk, 2006; Asbury, 2007).

Secara histologi, sindrom Vogt-Koyanagi-harada dan

Oftalmia simpatika ditandai dalam fase akut oleh ablasi

retina serosa, penebalan signifikan dari koroid, dan

infiltrasi sel inflamasi yang sudah ditandai ke dalam iris,

badan siliaris, dan koroid. Pada fase tengah-akhir, temuan

histologis khas adalah depigmentasi, dispersi pigmen, dan

fagositosis pigmen di Uvea. Penyakit ini biasanya diawali

oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala,

disakusis, dan kadang-kadang vertigo. Dilaporkan adanya

kerontokan rambut atau uban di beberapa tempat pada

bulan-bulan pertama penyakit. Sering terjadi vitiligo dan

poliosis tetapi tidak penting untuk diagnosis. Walaupun

34

Page 35: Referat Penyakit Imunologi Mata

iridosiklitis awal mungkin membaik dengan cepat,

perjalanan penyakit di bagian posterior sering indolen

dengan efek jangka panjang berupa ablation retinae serosa

dan gangguan penglihatan yang bermakna. (Bielory, 2000)

2.2.2.2 Patogenesis Imunologi

Pada oftamia simpatika dan sindrom Vogt-Koyanagi-

Harada, diperkirakan terjadi hipersensitivitas tipe lambat

terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin, di

mata, kulit, dan rambut. Bahan-bahan terlarut dari segmen

luar lapisan fotoreseptor retina (antigen S retina) telah

diajukan sebagai autoantigen yang mungkin. Pasien

sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya merupakan

keturunan Asia tenggara, yang mengisyaratkan adanya

suatu predisposisi imunogenetik terhadap penyakit.

Immunogenetic studi telah mengungkapkan bahwa HLA-

DRB1 * 0405 dan-DRB1 * 0410 yang berkaitan erat

dengan penyakit VKH dan SO pada populasi Jepang.

Penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui, meskipun

umumnya dianggap diperantarai penyakit autoimun

terhadap sel melanosit karena limfosit dari pasien dengan

penyakit VKH berproliferasi ketika dihadapkan oleh

ekstrak kasar dari melanosit dan limfosit bersifat sitotoksik

pada melanosit in vitro. (Bielory, 2000)

Sediaan histopatologik pada mata yang mengalami trauma

pada pasien oftalmia simpatika mungkin memperlihatkan

sebukan limfosit, sel epiteloid, dan sel raksasa yang

seragam di sebagian besar uvea. Retina di atasnya biasanya

utuh, tetapi dapat terlihat penonjolan sarang-sarang sel

epiteloid melalui epitel pigmen retina sehingga terbentuk

35

Page 36: Referat Penyakit Imunologi Mata

nodul-nodul Dalen-Fuchs. Peradangan tersebut dapat

menghancurkan arsitektur seluruh uvea hingga menyisakan

bola mata atrofi yang menciut.

2.2.2.3 Diagnosis imunologi

Uji kulit dengan ekstrak jaringan uvea manusia atau sapi

yang mudah larut dikatakan dapat mencetuskan respons

hipersensitivitas tipe lambat pada pasien-pasien tersebut.

Beberapa peneliti baru-baru ini memperlihatkan bahwa

biakan limfosit dari pasien dengan kedua penyakit ini

mengalami transformasi menjadi limfoblas (in vitro) bila

ditambahkan ekstrak uvea atau segmen luar sel batang ke

dalam medium biakan. Dalam darah pasien-pasien kedua

penyakit ini ditemukan antibody terhadap antigen uvea,

tetapi antibodi semacam itu sering dijumpai pada setiap

pasien dengan uveitis kronik termasuk mereka yang

mengidap berbagai ententitas penyakit infeksi. Pada

stadium-stadium awal, cairan spinal pasien sindrom Vogt-

Koyanagi-Harada mungkin menunjukkan peningkatan

protein dan jumlah sel mononukleus. Pengobatan kedua

kondisi tersebut sedikitnya memerlukan steroid sistemik

dan sering kali terapi imunosupresif oral.

2.2.3 Arteritis sel raksasa

Arteritis sel raksasa mungkin menyebabkan gangguan berat

pada mata. Kondisi ini dijumpai pada kelompok lansia,

biasanya disertai sakit kepala dan sejumlah keluhan sistemik

termasuk polimialgia rematika. Komplikasi pada mata berupa

neuropati optic iskemik anterior dan oklusi arteri centralis

retinae. Pasien-pasien yang demikian memperlihatkan infiltrasi

luas sel raksasa dan sel mononukleus di dinding pembuluh

darah.

36

Page 37: Referat Penyakit Imunologi Mata

2.2.4 Poliarteritis nodosa

Poliarteritis nodosa adalah suatu vaskulitis yang terutama

mengenai pembuluh berukuran kecil-sampai sedang. Kelainan

ini dapat mengenai segmen anterior dan posterior mata. Kornea

pasien mungkin memperlihatkan infiltrasi sel dan penipisan di

perifer. Pembuluh-pembuluh retina dan siliaris memperlihatkan

peradangan nekrotikans luas yang ditandai oleh serbukan

eosinofil, sel plasma dan limfosit

2.2.5 Granuloma Wegener

Granulomatosis Wegener adalah vaskulitis sistemik lain

dengan potensi manifestasi pada mata. Pada kelainan ini,

peradangan granulomatosa nekrotikans terutama melibatkan

saluran napas atas dan ginjal. Keterlibatan mata biasanya

berupa skleritis dan keratitis ulseratif perifer, tetapi dapat

timbul vaskulitis di retina. Keberadaan cANCA berguna dalam

penegakan diagnosis.

2.2.6 Penyakit Behcet

Posisi penyakit Behcet dalam klasifikasi gangguan imunologi

masih belum jelas. Penyakit ini ditandai oleh iridosiklitis

rekurens disertai hipopion dan vaskulitis oklusif pembuluh-

pembuluh retina. Walaupun penyakit ini memiliki banyak

gambaran penyakit hipersensitivitas tipe lambat, adanya

perubahan gambaran komplemen serum yang mencolok pada

permulaan serangan mengisyaratkan suatu kelainan kompleks

imun. Selain itu, baru-baru ini dideteksi adanya kompleks imun

berkadar tinggi dalam darah pasien-pasien penyakit Behcet.

Sebagian besar pasien dengan gejala-gejala pada matanya

positif untuk HLA-B51- suatu subtype HLA-B5, dan

merupakan keturunan Mediterania timur atau Asia tenggara.

37

Page 38: Referat Penyakit Imunologi Mata

2.2.7 Dermatitis kontak

Dermatitis kontak pada palpebrae menggambarkan penyakit

yang bermakna namun ringan yang disebabkan oleh

hipersensitivitas tipe lambat. Obat-obatan topical- seperti

brimonidin dan atropine, pengawet tetes mata, kosmetik

berparfum, bahan-bahan yang terkandung dalam bingkai kaca

mata plastic, dan bahan-bahan topical lainnya dapat berfungsi

sebagai hapten yang tersensitisasi. Bila bahan yang

menimbulkan sensitisasinya berbentuk tetesan, palpebra

inferior terkena lebih luas daripada palpebra superior. Yang

khas pada dermatitis kontak adalah keterlibatan periorbita

berupa lesi kulit vesicular, eritematosa, dan gatal.

2.2.8 Keratokonjungtivitis fliktenularis

Keratokonjungtivitis fliktenularis mencerminkan suatu respons

hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen mikroba tertentu,

terutama antigen M. tuberculosis dan Staphylococcus aureus.

Reaksi Tandur Kornea

Kornea adalah salah satu dari jaringan manusia yang pertama kali berhasil

ditandur (graft). Kenyataan bahwa resipien tandur kornea umumnya menoleransi

tindakan tersebut dapa disebabkan oleh (1) tidak adanya pembuluh darah atau

limfe di kornea normal, (2) kurangnya sel penampil antigen (antigen presenting

cell), (3) ekspresi ligan Fas oleh sel-sel epitel dan endotel kornea, yang

menginduksi apoptosis sel-sel radang, (4) deviasi imun didapat bilik mata depan

(anterior chamber acquired immune deviation).

Mekanisme selular maupun humoral diperkirakan berperan dalam reaksi tandur

kornea. Penolakan tandur dini (2-4 minggu setelah pembedahan) kemungkinan

merupakan reaksi yang diperantarai sel. Limfosit sitotoksik ditemukan di daerah

limbus dan stroma individu yang mengalami, dan pemeriksaan dengan mikroskop

38

Page 39: Referat Penyakit Imunologi Mata

fase in vivo memperlihatkan serangan sungguhan terhadap sel endotel donor oleh

limfosit-limfosit tersebut. Akan tetapi, sel T CD8 mencit yang dibuat tak sadar

menunjukkan suatu perkembangan respon penolakan yang hebat, dengan

dominasi sel-sel radang hipersensitivitas tipe lambat, ini mengisyaratkan bahwa

sel-sel T sitolitik mungkin tidak penting dalam reaksi penolakan tandur. Limfosit-

limfosit yang memperantarai penolakan tersebut biasanya bergerak ke dalam dari

perifer kornea, membentuk apa yang disebut sebagai “garis penolakan” saat sel-

sel tersebut bergerak ke bagian sentral. Kornea donor menjadi edema setelah

endotel melemah akibat akumulasi sel-sel limfoid.

Penolakan fase lambat suatu tandur kornea dapat terjadi beberapa minggu atau

bulan setelah penanaman jaringan donor ke mata resipien. Reaksi semacam ini

kemungkinan diperantarai oleh antibody karena pada anyaman pembuluh kornea

ditemukan adanya antibody sitotoksik dari serum pasien yang memiliki riwayat

reaksi penolakan tandur multiple. Reaksi-reaksi antibody ini dependen terhadap

komplemen dan menarik leukosit polimorfonuklear, yang mungkin membentuk

cincin-cincin padat di kornea di tempat-tempat pengendapan kompleks imun yang

terbanyak. Pada hewan percobaan, dapat diciptakan reaksi serupa oleh xenograft

kornea, tetapi intensitas reaksi dapat dikurangi secara bermakna dengan

mengurangi populasi leukosit melalui terapi mechlorethamine. (Vaughan, 2000)

Pengobatan

Pengobatan utama reaksi tandur kornea adalah pemberian kortikosteroid. Obat ini

biasanya diberikan dalam bentuk tetes mata (mis, prednisolon asetat 1% setiap

jam) sampai tanda-tanda klinis mereda. Tanda-tanda klinis tersebut adalah

hyperemia konjungtiva di daerah perilimbus, kornea yang keruh, adanya sel dan

protein di bilik mata depan, dan keratik precipitate di endotel kornea. Semakin

dini pengobatan diberikan, semakin baik hasilnya. Beberapa kasus mungkin

memerlukan tambahan kortikosteroid sistemik atau periokular selain terapi tetes

mata local. Steroid intravena dosis tinggi juga efektif bila diberikan sebelum hari

ke 8 onset masa penolakan. Kadang-kadang, vaskularisasi dan kekeruhan kornea

39

Page 40: Referat Penyakit Imunologi Mata

terjadi dengan cepat sehingga pemberian kortikosteroid tidak berguna. Namun,

reaksi tandur kornea yang paling tidak memiliki harapan sekalipun terkadang

masih dapat dipulihkan dengan pemberian kortikosteroid. Siklosporin oral

dilaporkan berhasil dalam pengobatan reaksi penolakan tandur kornea, dan tetes

mata siklosporin juga dapat memberikan manfaat.

Pasien-pasien yang diketahui sering mengalami reaksi penolakan tandur kornea

ditangani dengan cara yang sedikit berbeda, terutama bila penyakit mengenai satu-

satunya mata yang dimiliki. Beberapa ahli bedah mungkin memilih untuk mencari

kecocokan HLA yang dekat antara donor dan resipien. Praterapi resipien dengan

obat-obat imunosupresif, seperti azatioprin, siklosporin, atau, yang terbaru,

mycophenolate mofetil juga terpaksa diberikan pada beberapa kasus. (Vaughan,

2000)

40

Page 41: Referat Penyakit Imunologi Mata

BAB 3. KESIMPULAN

Mata adalah target umum dari respon peradangan yang dipicu oleh

reaksi imunologi lokal dan sistemik hipersensitivitas. Mata dilengkapi

dengan sistem imun baik imunitas alami maupun spesifik. Mata pada

dasarnya dibangun dari 4 lapisan yang umumnya terlibat dalam reaksi

imunologi: (1) bagian anterior yang terdiri dari lapisan cairan air mata dan

konjungtiva; (2 ) sclera, (3) Uvea, dan (4) retina.

Kelainan umunologi pada mata dibagi menjadi 2 macam yaitu yang

diperantarai oleh antibodi dan yang diperantarai oleh sel. Penyakit

imunologi yang diperantarai oleh antibodi antara lain konjungtivitis Hay

fever, konjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopic, penyakit

Rheumatoid, retinopati SLE, dan Stenen Johnson’s Syndrome. Penyakit

imunologi yang diperantarai oleh sel antara lain sarccoidosis mata,

oftalmia simpatika, sindrom Vogt Koyanagi Harada, arthritis sel raksasa,

poliartritis nodusa, reaksi tandur kornea dan lain-lain yang telah

disebutkan pada bab sebelumnya.

Secara garis besar pengobatan penyakit imunologi pada mata adalah

dengan menggunakan agen-agen imunosupresan salah satunya adalah

kortikosteroid. Pemakaiaan kortikosteroid jangka panjang inilah yang

harus diperhatikan oleh para klinisi karena pemakaian kortikosteroid

jangka panjang dapat menimbulkan berbagai macam efek samping baik

lokal maupun sistemik. Oleh karena itu para klinisi sebaiknya selalu

mengvaluasi terapi dari pasien yang menderita penyakit imunologi serta

mengedukasi pasien tersebut untuk kontrol rutin dan mematuhi aturan

penggunaan obat imunosupresan.

41

Page 42: Referat Penyakit Imunologi Mata

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology.2007-2008. Lens and Cataract, p 112-136

2. American Academy of Opthalmology. 2011-2012. Ocular Imunology, p 173-223 dalam External Disease and Cornea Basic and Clincal Science Course. USA: AAO

3. Asbury Taylor, Sanitato James J. Trauma, dalam Vaughan Daniel G, Abury Taylor, Eva Paul Riordan. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. Hal: 372-78

4. Bielory, Leonard . 2000. Allergic and immunologic disorders of the eye Part II: Ocular allergy. Diunduh tanggal 17 Februari 2012. http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(00)75400-5/fulltext

5. Bielory, Leonard . 2000. Allergic and immunologic disorders of the eye Part I: Immunology of The Eye. Diunduh tanggal 17 Februari 2012. http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(00)22516-5/fulltext

6. Gerhard K. Lang. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd. Stuttgart · New York. 2006.

7. Haryana, Sofia Mubarika dan Soesatyo, Marsetyawan. 1993.  Dasar-dasar Imunologik pada Penyakit Mata. Cermin Dunia Kedokteran No. 87. Diun duh tanggal 18 Februari 2012.

8. Ilyas, Sidarta. 2008.Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

9. James, B., Chew, C., Bron, A. 2007. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta : Erlangga Medical Series.

10. Popa, Eliane R. dkk. 1999. Differential B- and T-cell activation in Wegener’s granulomatosis. Diunduh tanggal 17 Februari 2012. http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(99)70434-3/fulltext

42

Page 43: Referat Penyakit Imunologi Mata

11. Patel, Sayjal j. 2002. Ocular manifestations of autoimmune disease. American family physician volume 66, number 6. Diunduh tanggal 20 februari 2012. Www.aafp.org/afp

12. Sugita, Sunao dkk. 2006. Ocular Infiltrating CD4+ T Cells from Patients with Vogt-Koyanagi-Harada Disease Recognize Human Melanocyte Antigens. Diunduh tanggal 17 Februari 2012. http://www.jimmunol.org/content/165/12/7323.full

13. Tim Penyusun. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata. Surabaya : RSUD dr. SoetomoWijana, Nana, 1993. Ilmu Penyakit Mata . Jakarta : Abadi Tegal.

14. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan-Eva, P. 2002. Oftalmologi Umum. Jakarta : Widya Medika.

15. Kanski, Jack J. 2011. Clinical Ophthamology : A System Approach 7th edition. New York : Elsevier.

43