referat miastenia gravis

43
MIASTENIA GRAVIS PENDAHULUAN Miastenia gravis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam. Jolly (1895) adalah orang yang pertamakali menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut. Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis 1 . Anatomi Neuromuscular Junction Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction. 1

Upload: asmin-oktoria-manurung

Post on 03-Jan-2016

798 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MIASTENIA GRAVIS

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kelemahan atau

kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih

kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam. Jolly

(1895) adalah orang yang pertamakali menggunakan istilah miastenia gravis dan

ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak

berlanjut. Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa

fisostigmin merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis1.

Anatomi Neuromuscular Junction

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

1

Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate). Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.

2

Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+

akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut:6

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor) Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275

kDa. Mengandung lima subunit : 2 alfa, beta, delta dan gamma. Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang

memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+. Bisa berikatan dengan erat pada subunit dan dapat digunakan untuk

melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.

Autoantibodi terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia gravis.

3

PREVALENSI

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi

pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50

tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio

perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada

wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,

sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun. Early-onset

miastenia gravis biasanya terjadi pada wanita pada usia 18-50 tahun dan late-

onset miastenia gravis lebih sering pada laki-laki dengan usia 50 tahun ke atas5.

KLASIFIKASI

Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis

dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :

Golongan I : Miastenia Okular

Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular

yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis

unilateral. Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap

pengobatan.

Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan

Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang

kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot-

otot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat

terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.

Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat

Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot

okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang

mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam

keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.

Golongan IV : Krisis miastenia

Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot

yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini

4

merupakan keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita

golongan III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang

sama menderita infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan

otot-otot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan

antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada

waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia

pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita

akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi1.

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kelas subkelas Gejala

IAdanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat

menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

IITerdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta

adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot

okular.

Kelas SubkelasGejala

IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.

Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

IIbMempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau

keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-

otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

IIITerdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.

Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami

kelemahan tingkat sedang.

5

IIIaMempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot

orofaringeal yang ringan.

IIIbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot

anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat

ringan.

IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular

mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

IVaSecara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh

dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami

kelemahan dalam derajat ringan.

IVbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau

keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat

kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan

feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

VPenderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

6

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia. Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik5.

ETIOLOGI

Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan

penyakit-penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan

lupus eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi

merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai

kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia

gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction

akibat penyakit autoimun1. Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot

yang berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor

acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabut-

serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor

antibodi ayng terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses

imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif

menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis.

Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik,

karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar

membran ujung terminal akson motoneuron dan membran motor end plate

menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih

besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehingga potensial aksi

postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu kontraksi otot

skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya

menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat,

7

kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi.

Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik.

Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler

dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga

pada tahap lanjut miastenia gravis4.

Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada penyakit

otot lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan

tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itu

dapat timbul pada setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik

yang sering terkena juga adalah otot wajah dan otot penelan. Pembuktian etiologi

auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa glandula timus mempunyai

hubungan yang erat. Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula

timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur

timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat

germinativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita lupus

eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia

hemolitik eksperimental pada tikus. Gambaran histologik otot yang terkena terdiri

dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada

maworitas penderita miastenia gravis. Kombinasi dengan arthritis rheumatid,

lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai pada

beberapa penderita miastenia gravis4.

PATOFISIOLOGI

Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya

kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh

penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang

normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang

dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada

miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama

dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik1.

8

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini

mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang

menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus

eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah

didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis

secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang

peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis. Tidak

diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan

penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi

terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien

yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Mekanisme pasti tentang

hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita

miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat

dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan

produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada

patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ

sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus

seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien

dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG

dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi

secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa

juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin

pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi

neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor

asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah

reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan

sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area

permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang

baru disintesis5.

9

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang

ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya

terdapat gejala kelainan okular disertai dengan kelemahan otot-otot lainnya. Kira-

kira 15% ditemukan kelemahan ektremitas tanpa disertai dengan gejala kelainan

okular. Yang lainnya kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan

menelan. Anamnesis yang klasik dari penderita dengan miastenia okular adalah

adanya gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu maghrib dan

menghilang pada waktu pagiharinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot-otot

kelopak mata. Bila otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara basal yang

cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk bila percakapan berlangsung

terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni temporer. Adanya kelemahan

rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita seringkali

menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu mengunyah. Keluhan lainnya

adalah disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan1.

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius

sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator

palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okuler adakalanya masih

bisa bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua

belah sisi akan melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat

diperjelas dengan test Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh

menatapkan kedua matanya pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari

matanya. Pada ptosis miastenik, kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari

matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah menjalani test tersebut. Setelah

bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan

ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan

ptosisi dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan suara sengau

(paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari

menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga

pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas

10

dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan kesulitan

menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena

diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai

pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher,

sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian otot-otot anggota

gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan,

tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi2.

Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun.

Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut

digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis

dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter,

sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul

kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehingga timbulnya kesukaran

untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan

menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak

dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot

tampak agak menurun3.

Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan

salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi

keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis

otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular

masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular

kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot

bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan

ekstensi kepala.

11

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot

esktraokular (ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot

leher, hingga ke otot ekstremitas.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari

otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran

menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara

sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari

hidungnya5.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa :

1. 30-40% dari penderita dengan miastenia gravis memperlihatkan adanya

“muscle binding complement fixing antibodies “ dalam serumnya dan 90-

100% pada penderita miastenia gravis dengan timoma.

2. Patologi anatomi

a. Timus penderita memperlihatkan adanya proliferasi limfosit.

b. Dalam otot-otot ditemukan limforagia, yang terdiri dari lomfosit-

limfosit yang mengandung zat-zat imunologik.

3. Telah ditemukan antibodi dalam darah penderita miastenia gravis yaitu “acetycholine receptor basic protein antibodies”. Hal ini memyebabkan

12

timbulnya suatu reaksi auto-imunologik, atrofi dari membran post-sinaptik sehingga acetycoline reseptor pada membran post-sinaptik menjadi berkurang. Atrofi membran post-sinaptik ini pula akan menyebabkan melebarnya celah sinaptik sehingga penyeberangan acetycholine akan memrlukan waktu yang lebih banyak. Akibat penyeberangan yang lebih panjang adalah bahwa akan lebih banyak terjadi penguraian dari acetycholine oleh cholinesterase sehingga acetycholine yang sampai pada membran post-sinaptik tidaklah lagi mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi, maka timbullah gejala-gejala miastenia gravis3.

Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:

Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman Class Mean antibodi Titer Percent Positive

R 0.79 24

I 2.17 55

IIA 49.8 80

IIB 57.9 100

III 78.5 100

IV 205.3 89

13

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita

miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat

digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody. Merupakan salah satu tes yang

penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif

pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari

40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,

anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita

miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif

(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-

MuSK Ab.

Antistriational antibodies. Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia

gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-

striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini

bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).

Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia

gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu

kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan

miastenia gravis.

2. Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi

anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat

diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

14

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya

thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan

untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,

terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan

rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari

penyebab defisit pada saraf otak.

3. Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik4 :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG). Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal5.

DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis

suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang

berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di

kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam

batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan

pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a

mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Kelemahan otot

bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada

pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan

15

suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta

regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,

penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta

menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan

penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada

miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga

dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga

mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi

dari leher. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering

dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh

atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh

bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-

jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh

dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan

saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki

dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot

pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan

suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.

Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi

karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-

otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang

ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat

diperlukan. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak

hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini

merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.

Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan

terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan

terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada

mata yang melakukan abduksi5.

16

Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan

dengan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah

aktivitas ringan tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan farmakologik

yaitu tes endrofonium atau dengan tes neostigmin.

Tes klinik, didasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena

1. Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada

miastenia

okular.

2. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot

bahu yang terkena.

3. Pada kasus-kasus bulbar, penderita disuruh menghitung 1 sampai 100

maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.

4. Sukar menelan bila terdapat gejala disfagia.

Tes Farmakologik

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Dengan pemberian injeksi 2 mg edrofonium, bila tidak ada efek samping

dilanjutkan dengan 8 mg yang diberikan intravena. Gejala miastenis gravis

akan membaik dalam waktu 30 detik sampai 1 menit dan efek akan hilang

dalam beberapa menit.

2. Uji Prostigmin (neostigmin)

Dengan pemberian 1,25 mg neostigmin secara intramuskularis, dapat

dikombinasi dengan atropi 0,6 mg untuk mencegah efek samping. Gejalanya akan

membaik dalam waktu 30 detik dan akan berakhir dalam 2 atau 3 jam

3. Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3

tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar

disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-

lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi

prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat1.

17

Untuk penegakan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama

kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi

kurang jelas, penderita menjadi anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan mata secara terus menerus, lama

kelamaan akan timbul ptosis.

Setelah beristirahat maka suara penderita kembali normal tidak parau lagi dan

mata tidak akan tampak ptosis3.

DIAGNOSA BANDING

Meliputi tirotoksikosis, lupus eritematosus dan sindroma Fischer1.

1. Bila tampak ada ptosis atau strabismus maka hendaknyalah kita ingat akan

kemungkinan adanya lesi N.III yang dpat ditimbulkan oleh :

a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika).

b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.

c. Aneurisma di sirkulus arteriosus willisii.

d. Paralisis pasca difteri.

e. Pseudoptosis pada trakhoma.

2. Bila terdapat suatu diplopia yang transient kemungkinan adanya sklerosis

multipleks

3. Histeri

4. Sindroma Eaton-Lambert, ditemukan gejal-gejal miastenia gravis. Disamping

itu akan tampak pula adanya suatu small cell bronchus carcinoma3.

PENATALAKSANAAN

Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase

misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat

kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan

1 tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya

ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini

18

mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu

mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu

mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction. Efek muskarinik

seperti koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi dengan pemberian

atropin. Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi untuk

dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek samping

selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit, terutama bila

timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan prednison

diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai 100

mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.

Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan

perlahan-lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan

selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma1.

Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai

berikut :

1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya

diberikan 3x1 tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk

menghindari timbulnya nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau

ext. Belladonnae.

2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu

diberikan 0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5

mgr. Prostigmin secara i.m).

3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).

4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).

5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)

Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase

inhibitor). Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat

mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan “central

nervous system effect”. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat

19

menimbulkan krisis kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan

pernafasan yang timbul antara lain : bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis

otot-otot dada dan depresi pusat pernafasan (sentral)3.

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,

tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.

Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi

merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase

biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien

dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang

rutin.Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan

pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat terjadinya

mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.

Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan

kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat tetapi

memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan5.

1. Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

1.1 Plasma Exchange (PE)

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.

Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif

digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan

menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau

sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan

menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode

postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat

kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau

6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang

disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk

replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan

20

hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya

pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,

magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.

Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat

terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan

yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-

frozen plasma tidak diperlukan

1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-

activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan

mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat

dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat

penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar

3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga

menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat

dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan

beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,

sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi

awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400

mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.

IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-

asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan

pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah

nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga

tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,

mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang

1. Kortikosteroid

21

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah

untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid

mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja

kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3

bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan

efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.

Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada

fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi

diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan

kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang

berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer

antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis

yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.

Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian

dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30

mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan

komplikasi obesitas serta hipertensi.

2. Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara

relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.

Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin

yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan

RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3

mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis

optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat

ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang

lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon

Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36

bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali

penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

22

3. Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari

sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada

produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari

terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat

dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping

berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

TINDAKAN PEMBEDAHAN

Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama

diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang

dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya

jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan

membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan

untuk timektomi yaitu :

1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang

optimal dilanjutkan sampai saat operasi.

2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka

harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan

respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.

3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan

dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.

Thymectomy (Surgical Care)

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia

gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa

miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian

tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.

Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin

23

bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru

menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan

berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia

gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan

signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi

pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli

saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan

yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi,

sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang

seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam

waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi

yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli

percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%

tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa

remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara

40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.

PENYULIT

Ada 2 penyulit yang penting yaitu :

1. Krisis Kolinergik

Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat

antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat

dan pupil miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat

deteriorasi yang bersifat temporer2.

Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat

antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuro-muscular

junction yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot.

Dapat diketahui dengan anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita

sedang menggunakan obat-obat antikolinesterase, gejala gangguan

pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum obat-obat antikolinesterase,

24

setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada otot dan

penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk.

Ditemukan miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan

bila diraba dan kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan

yang cepat dan dangkal secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika

pula pernafasan buatan atau dipasang respirator dengan tekanan positif3.

2. Krisis Miastenia

Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama

terjadi pada keadaan pascabedah, partus, infeksi atau dengan

mempergunakan obat-obat yang memperberat keadaan miastenia. Bila

ragu-ragu dapat digunakan endofronium. Terdapat perbaikan yang bersifat

sempurna. Penderita miastenia gravis yang menderita krisis miastenik bila

kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai pula mengenai otot-

otot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita terlalu

lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis miastenik dapat

pula timbul bial seorang penderita telah diberikan obat-obat seperti kinin,

luminal, diazepam, neomisin, sulfas magnesium. Penderita dengan krisis

miastenik dapat diberikan prostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m3 .

Terapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase dihentikan

sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil.

Segera diberikan atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular

setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari 3 mm. Pada

krisis miastenia diberikan neostigmin 1-2,5 mg intramuskular. Ptosis yang

merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius sering menjadi

keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator palpebra jelas

lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okular adakalanya masih bisa bergerak

normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan

test Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya

pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik,

kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2

25

menit setelah menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan

timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan ptosis (90%) unilateral atau bilateral.

Setelah beberapa minggu sampai bulan ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia

(paralisis okuler) dan suara sengau (paralisis palatum mole). Kelumpuhan-

kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore. Tetapi lama kelamaan

kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan

sepanjang hari orang sakit tidak bebas dari kesulitan penglihatan (karena diplopia

dan ptosis) dan kesulitan menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter

untuk pengobatan karena diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non

bulbar baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena

adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian

otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan

pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi3.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Hal. 327-332.

2. Sidharta Priguna. 2008 Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi.

Jakarta. Penerbit Dian Rakyat. Hal. 129

3. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga

University Press. 1991. Hal: 301-305.

4. Sidharta Priguna dan Mardjono Mahar, 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta.

Penerbit Dian Rakyat. Hal 348

5. Benny dewa. Miastenia Gravis. www.miasteniagravisneurologi.com/120708,

26

etc Juli, 2008

27