referat - dodi maulana

26
Referat NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK Oleh : Dodi Maulana, S.Ked 04054821517092 Pembimbing : Dr. dr.Yulia Farida Yahya, Sp.KK (K), FINSDV 1

Upload: amel-ulfaini

Post on 03-Sep-2015

47 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

vgiugli

TRANSCRIPT

ReferatNEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

Oleh :

Dodi Maulana, S.Ked04054821517092

Pembimbing :Dr. dr.Yulia Farida Yahya, Sp.KK (K), FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU DERMATOLOGI DAN VENEROLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYARSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG2015

HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul:

Nekrolisis Epidermal Toksik

olehDodi Maulana, S.Ked04054821517092

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venerologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, Juni 2015 Dr. dr.Yulia Farida Yahya, Sp.KK (K), FINSDV

KATA PENGANTAR

Puji sukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkat dan rahmat Nya saya dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul Nekrolisis Epidermal Toksik. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik senior Bagian Dermatologi dan Venerologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.Yulia Farida Yahya, Sp.KK (K), FINSDV sebagai pembimbing dalam pembuatan referat ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada dokter-dokter pembimbing di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang atas bimbingan yang kami dapat selama kepaniteraan klinik ini.Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang berguna bagi penulis.Lepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga referat ini membawa manfaat bagi kita semua.

Palembang Juli 2015

Penulis

NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIKDodi MaulanaPembimbing : DR. Dr.Yulia Farida Yahya, Sp.KK (K), FINSDVDepartemen Dermatologi dan VenerologiFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUANNekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula). Kematian sel yang juga menyebabkan pelepasan membran mukosa, dan berkontribusi terhadap gejala khas NET, yang meliputi: demam tinggi, nyeri kulit sedang parah, kecemasan dan astenia. NET sangat jarang terjadi, insidensi NET pertahun adalah 1,8 per satu juta orang, NET lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki(Bologna & Andrews). Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan reaksi yang sangat jarang dari penggunaan obat (Andrews). NET terjadi tanpa dapat diprediksi. Mula-mula timbul dermatosis yang tampak tidak berbahaya namun dapat menjadi progresif dalam watu singkat, dan setelah terjadi pelepasan kulit (skin detachment) yang luas maka tidak dapat diprediksi kapan penyakit akan sembuh. Beberapa penelitian telah meneliti tentang gejala klinis NET dan telah membentuk suatu kriteria diagnosis. Risiko kematian juga dapat diprediksi secara akurat dengan menggunakan tingkat keparahan penyakit yang dapat digunakan sebagai prediksi prognosis dari NET (SCORTEN)(Bologna). Belum ada terapi spesifik untuk NET yang menunjukkan efektvitas dalam prosesnya. Prevalensi yang rendah dan potensi mengancam nyawa menjadikan penyakit ini sulit untuk dilakukan penelitian (bologna).Penulisan referat ini bertujuan untuk membantu pembaca agar dapat mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang sesuai terhadap pasien NET yang akan ditemui pada praktik kedokteran.NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

DEFINISINekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula). (Bologna & Fitzpatrick). NET dengan Sindroma Steven-Johnson (SSJ) memiliki kesamaan dalam gejala klinis, gambran histopatologi, faktor risiko, penyebab, dan mekanisme, dua kondisi ini dianggap sebagai tingkat keparahan dari suatu proses yang identik, hanya berbeda dalam hal luas permukaan tubuh yang terlibat. NET dan SSJ ditandai dengan keterlibatan lapisan kulit dan membran mukosa. Berdasarkan luas lesi pelepasan lapisan epidermis, klasifikasi pasien dibagi menjadi 3 grup (Bolognia).1. SJS: < 10% body surface area (BSA)2. SJS-TEN overlap: 10-30% BSA3. TEN: >30% BSAGambar 1. Spektrum penyakit berdasarkan luas permukan tubuh yang terkena1.

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKONekrolisis Epidermal Toksik (NET) lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 1,5:1. NET lebih sering terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan usia diatas 65 tahun. . NET sangat jarang terjadi, insidensi NET pertahun adalah 0,4-1,2 per satu juta orang. Beberapa golongan pasien tertentu memiliki risiko meningkat untuk terjadinya NET, termasuk pasien yang memiliki genotip slow-acetylator, immunocompromised (HIV),menjalani radioterapi, antikonvulsan, atau yang memiliki alel spesifik HLA (Human Leukocyte Antigen). Contoh dari faktor predisposisi genetic ini adalah HLA B*1502 pada orang Asia dan India yang terpajan dengan karbamazepin dan HLA*B5801 pada populasi Han di Cina yang terpajan dengan allopurinol. Pada pasien dengan AIDS, risiko terjadinya NET meningkat 1000 kali lebih tinggi dari populasi umum (Blognia & Fitzpatrick). Insidensi NET di Asia Tenggara sebagaian besar masih belum doketahui, belum ada penelitian epidemiologi secara retrospectif yang dipublikasikan. Berdasarkan penelitian secara retrosepektif di rumah sakit di Singapura didapatkan insidensi NET setidaknya adalah 1,4 per satu juta orang (Elsevier). Angka kematian bervariasi pada sebagian besar kasus dimana hanya dilakukan terapi suportif, dan diketahui bahwa angka ini sangat bergantung pada berbagai faktor seperti usia pasien dan luas lesi. Angka kematian pada pasien dengan TEN 25-5-% (Bolognia). Penggunaan obat dilaporkan pada lebih dari 95% pasien dengan NET. Hubungan erat antara konsumsi obat dengan munculnya erupsi kutaneus dilaporkan pada 80% kasus. Penyebab lainnya yang jarang dapat berupa infeksi dan imunisasi. Lebih dari 100 jenis obat yang telah diidentifikasi berhubungan dengan NET (Bolognia). Pada orang dewasa obat yang sering memicu terjadinya NET adalah trimethoprim-sulfamethoxazole (1-3 kasus dalam 100.000 pengobatan), Fansidar-R, sulfadoxine ditambah pyrimethamine (10 kasus dalam 100.000 pengobatan), nevirapine, lamotigrine (1 kasus pada 1000 dewasa dan 3 kasus pada 1000 anak-anak), dan carbamazepine (14 kasus dalam 100.000 pengobatan). Antibiotik (terutama golongan long acting sulfa dan penicilin), obat-obat anti kejang, obat-obat anti inflamasi (NSAID), dan obat-obat allopurinol merupakan penyebab tersering dari NET (Andrews). Pada umumnya risiko terjadinya SJS/TEN paling tinggi pada minggu-minggu awal dari terapi. Lebih jauh lagi, obat-obatan dengan waktu paruh lama lebih sering mengakibatkan reaksi obat dan akibat fatal dibandingkan obat dengan waktu paruh singkat (Andrews & Bolognia).

ETIOPATOGENESISPatofisiologi dari NET sampai sekarang masih belum jelas, lebih dari 100 obat diduga menjadi penyebab NET. Berdasarkan studi case-comtrol yang dilakukan secara multinational di Eropa, obat-obat yang diduga dapat menjadi penyebab NET dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu; Risiko tinggi, risiko rendah, risiko meragukan, dan tidak terbukti berisiko (Tabel 2) (Fitzpatrick).

Tabel 2. Pengobatan-pengobatan yang berisiko menimbulkan NET (Ftzpatrick)

Hingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang terjadi dalam NET baru dipahami sebagian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NET terkait dengan ketidakmampuan tubuh dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari reaksi metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu (Bolognia). Patogenesis utama diduga akibata adanya proses hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) (Fitzpatrick). Suseptibilitas genetic juga memainkan peran, dibuktikan dengan identifikasi dari alel HLA spesifik terkait obat (specific-drug related HLA) sebagai gen suseptibilitas mayor untuk perkembangan SSJ dan NET (Bolognia). Sel T sitotoksik mengekspresikan skin-homing receptor, cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dapat ditemukan pada lesi kutaneus awal. Sel-sel ini kemungkinan adalah suatu T sitotoksik terkait obat (drug-spesiic cytotoxic T cells). Sitokin-sitokin penting seperti IL-6, TNF-, interferon , IL-18 dan Fas ligand (FasL) juga terdapat pada epidermis yang mengalami kelainan dan/atau cairan bula dari pasien dengan TEN, dan kerja dari sitokin-sitokin ini dapat menjelaskan sebagian dari gejala TEN dan ketidaksesuaian antara luas kerusakan pada epidermis dengan infiltrat inflamasi yang minimal. Selain itu, interval tipikal antara onset dari terapi obat dengan timbulnya SSJ atau NET adalah 1- 3 minggu, mengindikasikan adanya periode sensitasi dan menunjang peran imunitas dalam patogenesisnya. Periode ini memendek secara signifikan pada pasien yang terpapar kembali oleh obat yang sebelumnya mengakibatkan NET (Bolognia)1.Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan jaringan yang dideskripsikan sebagai nekrolisis epidermal adalah akibat kematian sel-sel keratinosit yang luas melalui proses apoptosis. Apoptosis dari keratinosit merupakan suatu ciri khas pada stadium awal SJS dan TEN, dan merupakan tanda morfologik awal yang jelas dari kerusakan jaringan spesifik. Gambaran histologik klasik berupa nekrolisis epidermal yang luas sesungguhnya merupakan gambaran akhir dari apoptosis keratinosit. Keadaan apoptotik dari sel bersifat sementara, dan akan diikuti dengan keadaan nekrosis bila sel-sel apoptotic tersebut tidak segera difagositosis. Pada SJS dan TEN, dalam kurun waktu singkat (hitungan jam), apoptosis keratinosit tertimbun sangat banyak pada kulit yang terkena dan melebihi kapasitas fagositosisnya. Dalam hitungan jam sampai hari, keratinosit yang apoptosis tersebut menjadi nekrosis dan kehilangan kemampuan kohesinya pada kehilangan viabilitasnya, mengakibatkan gambaran histologik khas berupa full thickness epidermal necrolysis (Bolognia)1. Fas ligand (FasL), salah satu sitokin TNF, memiliki kemampuan menginduksi apoptosis dengan berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik yaitu Fas (CD95, Apo-1) death receptor. Death receptors secara fisiologis memiliki fungsi sebagai sensor di permukaan sel yang mendeteksi adanya sinyal kematian sel spesifik dan secara cepat mengaktifkan dekstruksi sel melalui apoptosis. Pada pasien dengan NET, apoptosis keratinosit yang luas dikaitkan dengan peningkatan signifikan ekspresi FasL dari keratinosit dengan ekspresi Fas receptor yang tetap (Andrews & Bolognia). Penelitian oleh Chung, et al, menunjukkan bahwa molekul sitotoksik lainnya turut berperan dalam apoptosis keratinosit pada SSJ maupun NET. Konsentrasi tinggi dari granulysin, protein sitolitik yang diproduksi oleh limfosit T sitotoksik (CTLs), natural killer cell (NK), dan natural killer T cell (NKT) ditemukan pada cairan bula yang didapat dari pasien NET. Injeksi dari granulysin rekombinan ke dalam kulit tikus mmengakibatkan terjadinya nekrolisis epidermal dan infiltrat sel inflamasi (Bolognia)1. Model patogenesis dari NET kini dideskripsikan sebagai berikut: setelah pajanan dari obat-obatan tertentu, seseorang dengan faktor predisposisi tertentu akan membentuk reaksi imun spesifik terhadap obat atau metabolitnya. Dengan mekanisme yang masih belum sepenuhnya diketahui, reaksi ini mengakibatkan molekul FasL diekspresikan dalam jumlah besar pada keratinosit disertai sekresi granulysin dari CTLs, NK dn NKT. Proses ini berujung pada FasL- dan granulysin-mediated apoptosis dari keratinosit diikuti nekrosis epidermal (Bolognia)1.

GEJALA KLINISGejala awal dari NET menyerupai gejala flu (demam, malaise, rhinitis, dan konjungtivitis) , mata perih, nyeri menelan, dan terkadang dapat disertai kesultan dalam berkemih yang mendahului timbulnya lesi kulit 1-3 hari pertama. Lesi kulit biasanya muncul pertama kali pada batang tubuh yang kemudian menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas proksimal. Bagian distal dari tangan dan kaki biasanya jarang terkena, namun telapak tangan dan kaki dapat pula menjadi lokasi lesi awal. Eritema dan erosi mukosa buccal, okular dan genital ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Epitel dari saluran pernafasan juga turut terlibat pada 25% pasien dengan NET dan lesi gastrointestinal, esofagitis, dan diare dapat juga terjadi. Lesi kulit biasanya lunak dan nyeri, dan erosi mukosa terasa sangat nyeri. Manifestasi sistemik tambahan termasuk demam, limfadenopati, hepatitis dan sitopenia (Bolognia & Rooks)Morfologi dari lesi kulit telah dipelajari secara mendetail. Mula-mula, lesi tampak sebagai macula eritematous atau purpura dengan bentuk dan ukuran yang irregular dan mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan lesi di dekatnya. Pada stadium ini, dengan adanya keterlibatan mukosa dan rasa nyeri, risiko progresi ke arah NET harus dicurigai. Dalam keadaan dimana tidak terjadi spontaneous epidermal detachment, harus diperiksa adanya Nikolsky sign yaitu dengan memberikan tekanan mekanis ringan dengan jari pada beberapa zona eritematous. Tanda Nikolsky dinyatkan positif bila terjadi pemisahan epidermis-dermis. Pada beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM (Bolognia)1. Nekrolisis epidermal toksik dapat mengenai semua permukaan kulit, kecuali kulit kepala yang ditumbuhi rambut (Rooks).Gambar 2. Lesi awal dari NET (Fitzpatrick).

Tabel 1. Gejala klinis yang membedakan antara SSJ, NET, dan SSJ-NET (Bolognia).

Gejala KlinisSSJSSJ-NETNET

Lesi primerKehitaman atau merah kehitaman, flat atypical targetsKehitaman atau merah kehitaman, flat atypical targetsGambaran plak eritematosa yang buruk, pelepasan epiderma(spontan atau oleh gesekan), Kehitaman atau lesi merah kehitaman, flat atypical targets

DistribusiLesi terisolasiKonfluen (+) pada wajah dan batang tubuhLesi terisolasiKonfluen (++) pada wajah dan batang tubuhLesi terisolasiKonfluen (+++) pada wajah dan batang tubuh

Keterlibatan mukosaAdaAdaAda

Gejala sistemikSeringSelaluSelalu

Luas permukaan kulit30

Seiring dengan progresi menuju full thickness necrosis, lesi makula eritem kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas. Proses ini dapat terjadi sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam beberapa hari. Epidermis yang nekrosis kemudian akan terlepas dari lapisan dermis dibawahnya dan cairan akan mengisi rongga di antara kedua lapisan tersebut, mengakibatkan terbentuknya bula. Bula yang terjadi memiliki ciri khas: mudah pecah, dapat meluas ke lateral dengan penekanan ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis (Asboe-Hansen sign). Keadaan kulit menyerupai gambaran kertas rokok yang basah (wet cigarette paper), yang dapat lepas dengan adanya trauma, memperlihatkan dermis kemerahan dan berdarah, yang disebut sebagai scalding. Pasien-pasien seperti ini harus ditangani dengan sangat hati-hati. Bula yang tegang biasanya terlihat hanya pada permukaan palmoplantar dimana epidermis lebih luas sehinggga lebih tahan terhadap trauma ringan1. Gambar 3. Pasien NET dengan skin detachment yang luas1.

Gambar 4. Lesi berupa bula pada pasien NET(fitzpatrick).

Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari nekrolisis harus dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan salah satu faktor penentu prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas permukaan tubuh (Body Surface Area) yang digunakan dalam luka bakar dapat dipakai. Pengalaman menunjukkan bahwa sangat sering terjadi overestimasi dalam mengukur luas pelepasan kulit (skin detachment). Pengukuran harus meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan maupun tidak (Nikolsky sign +), dan tidak termasuk area yang hanya berupa eritema saja (Nikolsky sign -). Berdasarkan luas lesi skin detachment, klasifikasi pasien terbagi menjadi 3 grup, SSJ, SSJ-NET, dan NET (Bolognia):Erosi mukosa didapatkan pada >90% pasien. Didapatkan pula keluhan fotofobia dan nyeri berkemih. Penting juga untuk dapat membedakan antara SSJ dan Erythema Multiforme (EM) dimana ciri histologik keduanya serupa sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan keduanya. Perbedaan didasarkan pada ciri klinis, terutama gambaran lesi target dan distribusinya. Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion, sedangkan SSJ dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal3. Belum ada kriteria khusus yang dapat memprediksi pasien dengan SSJ yang mungkin berkembang menjadi NET (Bolognia). Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari area reservoir seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut. Sehubungan dengan kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan pada SJS dan TEN (Bolognia). Identifikasi dari obat pencetus adalah tugas yang penting dan sangat sulit, namun harus menjadi salah satu prioritas utama. Belum ada pemeriksaan in vitro yang dapat diandalkan untuk indentifikasi secara cepat dari obat pencetus. Patch test menunjukkan sensitivitas yang lemah terhadap SSJ atau NET dan tidak cocok untuk tujuan identifikasi karena paparan kembali terhadap obat pencetus sangat berbahaya dalam penanganan pasien dengan reaksi akibat obat yang berat. Untuk itu, identifikasi sepenuhnya didasarkan pada evident-based tentang obat yang berhubungan dengan SSJ atau TEN sebelumnya sehingga dapat ditentukan probabilitasnya dalam mencetuskan SSJ atau NET. Faktor ekstrinsik seperti jarak dari onset pemberian obat dengan onset timbulnya SSJ atau NET juga harus ddiperhatikan. SSJ dan NET biasanya terjadi dalam 7-21 hari setelah pemberian obat pertama kali, namun dapat pula terjadi dalam 2 hari dalam kasus re-exposure obat yang sebelumnya pernah memicu SSJ atau NET. Pada umumnya, pengobatan untuk pasien dengan SSJ dan NET harus dibatasi hingga batas minimum, penggunaan obat substitusi yang sesuai dan lebih dipilih obat-obatan dengan waktu paruh singkat (Bolognia).

DIAGNOSISDIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding dari SJS dan TEN yaitu EM, SSSS (lepuh subcorneal dengan pemecahan yang terletak pada lapisan granular epideris), AGEP dan generalized fixed drug eruption. Pemfigus paraneoplastik, drug-induced linear IgA bullous dermatosis (LABD), penyakit Kawasaki, lupus eritematosus, dan eritema toksik akibat kemoterapi juga dapat dipikirkan sebagai diagnosis banding tergantung dari keadaan klinisnya1. Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion, sedangkan SSJ dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal. Pada beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM1,3.Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) biasanya terjadi pada anak-anak dan neonates, namun dapat pula terjadi pada dewasa yang menderita gagal ginjal dan pasien immunocompromised. SSSS diakibatkan oleh adanya eksotoksin stafilokokal. Area eritem terasa nyeri dan tersebar luas, namun tidak terdapat pada membrane mukosa, telapak tangan dan kaki. Nikolsky sign dapat (+) seperti pada NET, tapi dihasilkan oleh pemisahan subkorneal superficial bukan pemisahan dermal-epidermal seperti pada NET. Lesi berupa bula yang mudah pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi lebih superfisial, meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan bukan jaringan dermis yang basah dan berwarna merah terang seperti pada NET. Pada SSSS sering didapatkan adanya nasal discharge yang purulen1.Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP), yang juga merupakan efek samping akibat obat, tampak sebagai area eritema yang luas dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di atasnya. Adanya neutrofilia dan eosinofilia, ditambah dengan pustule akan membedakan dengan diagnosis NET. Nikolsky sign dapat positif sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Keterlibatan membran mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi adalah salah satu pemeriksaan yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan infiltrat neutrofil yang padat dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun tidak ada full thickness epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed drug eruption dapat menyerupai SSJ naik secara klinis maupun histologis, untuk itu perlu ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali1.

TERAPIPenatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis secara dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan terapi spesifik1.

PROGNOSISPada NET ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Selain itu, jumlah obat, peningkatan serum urea, kreatinin dan glukosa, neutropenia, limfopenia dan trombositopenia secara statistic berhubungan dengan prognosis buruk. Penghentian obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya prognosis. Penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko kematian sebesar 30%. Skor derajat berat penyakit untuk NET telah dibuat (SCORTEN) dimana ada tujuh parameter signifikan dalam menentukan prognosis dari penyakit1.

Tabel 3. SCORTEN

KESIMPULAN DAN SARANDAFTAR PUSTAKA

ROOKS Chp 74Andrews hal 122Ftzpatrick Chp 40Bologna 29117