referat bell palsy

28
BAB I PENDAHULUAN Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba- tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia. Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun. (1) Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, 1

Upload: chyn-tia

Post on 08-Apr-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Bell Palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering

mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer

yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis

fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles

Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya,

Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.

Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000

orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan

tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia

mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang

dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia

di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.(1)

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,

namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan

gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang

ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika

dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas

fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi

lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan

perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan

fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot

wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara

dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut

menjadi tidak percaya diri.

1

Page 2: Referat Bell Palsy

BAB II

BELL’S PALSY

2.1. Definisi

Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan dampak

yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan

lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab

iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah

Bell’s palsy. Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell.

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan

idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer.(1)

2.2. Struktur anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator

palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan

stapedius di telinga tengah

b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,

rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan

lakrimalis.

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba

dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot

mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang

mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari

2

Page 3: Referat Bell Palsy

dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-

tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda

timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus

traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui

nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar

melalui korda timpani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan

serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral

nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena

posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan

VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis

masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok

tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada

sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat

dengan genu.

3

Page 4: Referat Bell Palsy

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum

untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus

superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius

yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui

foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima

cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus

venter posterior.

2.3. Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial

akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden

terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy

setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.

Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes

mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai

laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang

berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang

sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur

15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan

kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan

bisa mencapai 10 kali lipat.

2.4. Etiologi

Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan

(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih

diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau

menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu

Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy,

karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian

otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada

cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan

4

Page 5: Referat Bell Palsy

menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara

axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan

terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.(2)

2.5. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada

nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy

hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori

menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada

saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal

melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada

pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,

adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari

konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan

di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di

daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan

asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca

jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena

itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan

menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut

serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada

cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus

abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut

akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.

Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif

ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan

beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes

(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus

herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes

5

Page 6: Referat Bell Palsy

zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan

kelumpuhan fasialis LMN.(1)

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah

seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan

pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut

tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.

Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun.

Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus

fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut

korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.

6

Page 7: Referat Bell Palsy

2.6. Gejala Klinis

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa

dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di

dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik

ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi

kerusakan.(3)

a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.

Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.

Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat

Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi

Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi

Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur

masih baik.

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis fasialis).

Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan

gangguan salivasi.

c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.

d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan

kelenjar air mata (lakrimasi).

e. Lesi di porus akustikus internus.

Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen

stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering

pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan

mastoiditis.

7

Page 8: Referat Bell Palsy

2.7.Blink reflex

Sama dengan refleks cornea.

Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut motorik.

Stimulasi saraf supraorbitalà2 respon :

Respon 1(R1)àrespon unilateral dengan latensi 10msec pada perangsangan

m.obicularis oculi ipsilateral. R1 dikonduksi melewati pons melalui jalur

oligosinaptik yang terdiri dari interneuron 1 atau 2.

R2 à latensi 30 sec. Impuls afferen dikonduksi melalui traktus spinal descenden

dari N.V di pons dan MO sebelum mencapai cauda nukleus trigeminus

Kemudian impuls kembaliàjalur medullaàascending bilateralànukleus fasial di pons.

Jalur uncrossed trigeminofascial ascending menghasilkan R2 ipsilateral dimana R2

kontralateral dihasilkan dari jalur ascending yang menyilang di midline dari 1/3 bawah

MO.

Refleks Blinkà berpengaruh pada struktur suprasegmental à korteks motorik, korteks

area postcentral, dan ganglia basalis.

8

Page 9: Referat Bell Palsy

Lesi trigeminal unilateral

Adanya keterlambatan atau tidak adanya R1 dan R2 ipsilateral dan R2 kontralateral

pada stimulasi daerah sakit.

Stimulasi pada daerah yang tidak sakit menghasilkan R1 dan R2 ipsilateral dan R2

kontralateral normal potensial.

Lesi fasial unilateral

Stimulasi daerah yang sakità keterlambatan atau tidak adanya R1 dan R2 ipsilateral

tetapi R2 kontralateral normal.

Lesi pontine unilateral à mempengaruhi nukleus sensori V dan/ atau lesi interneuron

pontine ke nukleus fasialis ipsilateral.

Stimulasi daerah sakità delay atau absen R1 tapi ipsilateral dan contralateral R2

intak.

Stimulasi daerah yang normal à normal R1 dan ipsilateral dan kontralateral R2.

Lesi di medulla àtraktus spinaldan nukleus V dan lesi interneuron medulla.

Stimulasi à normal R1 dan kontralateral R2 tapi delay atau absen R2 ipsilateral.

Stimulasi daerah Normal à normal R1 ipsilateral dan R2 tapi delay atau absen R2

kontralateral.

Interneuron sampai nukleus fasialis kontralateral.

Stimulasi à Normal R1 dan absen atau delay R2 ipsi dan kontralateral.

9

Page 10: Referat Bell Palsy

Stimulasi daerah Normalà hasilnya sama.

2.8. Penegakan Diagnosis

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari

nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan

adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus

dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.(4)

a. Anamnesis.

Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka

menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang

disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.

10

Page 11: Referat Bell Palsy

Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.

Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis

muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.

Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata

mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam

mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga

saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak

dipercepat.

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,

empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat

hanya setengah bagian lidah yang terlibat.

Mata kering.

Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat

peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

b. Pemeriksaan fisik.

Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan

yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain

paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus facialis tidak

mengalami gangguan.

Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari

nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus

facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan

gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya

dari otak ke wajah bagian lateral.

Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak

sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang

diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang

diserang.

Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas

nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan

dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,

11

Page 12: Referat Bell Palsy

frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti

mengenai pola paralisis wajah.

Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya

normal.

Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak

meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi.

c. Pemeriksaan laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis

Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat

dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes

atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya

tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.

d. Pemeriksaan radiologi.

Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose Bell’s

palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-pasien

dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu.

Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin

akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya

Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma

maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.

2.9. Diagnosa Banding

Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya

tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom),

penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah, Guillen

Barre syndrome.

2.10. Penatalaksanaan

a. Agen antiviral.

12

Page 13: Referat Bell Palsy

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan

efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada

etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan

digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena

itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis

dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan

pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.(5)

Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan

langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi

secara selektif.

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat

memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas

acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah

dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang

bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid.

13

Page 14: Referat Bell Palsy

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu

kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan

kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih

menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan

untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison

dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan

perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari

kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan

pasien.

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek farmakologis

yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan

kompresi nervus facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikas

i

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur,

jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak

lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan

klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat

menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;

fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan

metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);

monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat

diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat

resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat

menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,

14

Page 15: Referat Bell Palsy

osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia,

osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan

pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan

bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada

mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan

pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata

yang kurang atau tidak ada.

Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika

air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah

pandangan kabur selama pasien terbangun.

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi

kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung

dengan kornea.

d. Konsultasi.

Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.

Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien.

Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi

untuk merujuk adalah sebagai berikut:

Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan

tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.

Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang

abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan

lanjutan.

Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan

otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.

15

Page 16: Referat Bell Palsy

Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan

untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah

pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan

pembedahan.

2.11. Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami

deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak

dapat diterima oleh pasien.

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.

Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang

merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami

regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa

otot wajah tersebut.

Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air

mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.

b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.

Dysgeusia (gangguan rasa).

Ageusia (hilang rasa).

Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus

normal).

c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.

Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan

regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan

lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi

aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.

Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan

involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan

menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan

volunter ini disebut synkinesis.

16

Page 17: Referat Bell Palsy

2.12. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor

resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh

dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur

60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi

meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki

perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.

Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala

sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.(6)

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita

nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23%

kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %

penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau

tumor kelenjar parotis.

BAB III

KESIMPULAN

17

Page 18: Referat Bell Palsy

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang

akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah

edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa

dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di

dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke

arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan

antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis

pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan

rekurensi dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

18

Page 19: Referat Bell Palsy

1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.

2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.

3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victor’s

Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.

4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5 th

ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.

5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.

6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George

Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.

19