referat bedah 2-perforasi gaster
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Perforasi GasterTRANSCRIPT

BAB I
PENDAHULUAN
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek
dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk
terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan
istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia
yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedalam rongga perut.
Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu
kasus kegawatan bedah.
Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus peptikum merupakn
penyebab yang tersering. Pada ulkus gaster lebih sering menyerang usia tua
dengan insidensi terbanyak pada umur 50-65 yang nantinya menyebabkan
perforasi gaster. Perforasi duodenum memiliki insiensi lebih banyak 2-3 kali
dibanding perforasi gaster. Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh
keganasan pada lambung. Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut
dapat berkembang menjadi perforasi bebas.
Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit
seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis,
sindroma arteri mesenterika superior,dan trauma. Dalam referat ini akan dibahas
lebih lanjut tentang perforasi gaster.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi dan fisiologi gaster
A. Anatomi
Lambung merupakan bagian yang paling lebar dari saluran pencernaan,
mulai dari esophagus sampai duodenum yang berfungsi sebagai tempat
penampungan makan untuk dicerna dan mengatur pengaliran hasil cerna ke usus
halus. Kapsitas lambung kurang lebih 1,5 liter tetapi dapat dilebarkan 2 sampai 3
liter. Terletak di regio hypochondria kiri, epigastrika, dan umbilikalis.
Ostium cardiakum terletak kurang lebih 3 cm di sebelah garis tengah,
setinggi vertebra thorakalis 11, dan 10 cm di sebelah dalam dari tulang rawan iga
7 kiri. Lubang ini merupakan tempat yang paling tetap dari lambung. Pylorus
letaknya relative tetap, yaitu pada posisi berbaring terletak atau sedikit kanandari
linea mediana setinggi vertebra lumbalis 1, pada linea transpyloricum. Pylorus
dapat turun hingga vertebra lumbalis 2atau 3 pada posisi berdiri, atau bahkan
dapat bergeser 5 cm ke kanan pada lambung yang penuh. Fundus letaknya paling
superior di belakang iga ke-5 kiri di linea midclavikularis. Fiksasi paling kuat di
lambung terdapat pada cardia karena hubungannya dengan esophagus yang
tefiksasi pada diaphragm. Omentum minus juga membantu fiksasi pada
tempatnya.
Gaster berhubungan dengan sejumlah organ yaitu, hepar pada bagian atas,
kanan, dan depan, diaphragm diatas, limpa kearah kiri, pancreas, ginjal dan
glandula suprarenalis kiri di belakang, pada bagian bawah dengan colon dan
mesocolon/omentum majus, serta dengan dinding depan abdomendan thorax ke
depan.


Bagian lambung terdiri dari:
a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri
osteum kardium dan biasanya penuh berisi gas.
b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada bagian
bawah kurvatura minor.
c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang
tebal membentuk spinter pilorus.
d. Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum
kardiak sampai ke pilorus.
e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi
kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai ke
pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas
kurvatura mayor sampai ke limpa.
f. Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana osofagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.
Gambar 1. Anatomi Gaster

Gambar 2. Hubungan Anatomik Gaster
Gambar 3. Peredaran Darah Gaster
B. Fisiologi
Secara umum gaster memiliki fingsi motorik dan fungsi pencernaan
serta sekresi, berikut adalah fungsi lambung:
1. Fungsi motorik
Fungsi reservoir. Menyimpan makanan sampai makanan tersebut
sedikit demi sedikit dicerbakan dan bergerak ke saluran pencernaan.
Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah tekanan
dengan relaksasi reseptif otot polos yang diperantarai oleh saraf
vagus dan dirangsang oleh gastrin.

Fungsi mencampur. Memecahkan makanan menjadi partikel-
partikel kecil dan mencampurnya dengan getah lambung melalui
kontraksi otot yang mengelilingi lambung.
Fungsi pengosongan lambung : Diatur oleh pembukaan sfingter
pilorus yang dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman,
aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan, dan
olahraga. Pengosongan lambung diatur oleh faktor saraf dan
hormonal, seperti kolesistokinin.
2. Fungsi pencernaan dan sekresi
Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini; pencernaan
karbohidrat dan lemak oleh amylase dan lipase dalam lambung kecil
peranannya. Pepsin berfungsi memecah putih telur menjadi asam
amino (albumin dan pepton). Asam garam (HCL) berfungsi
mengasamkan makanan, sebagai antiseptic dan desinfektan, dan
membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin.
Sintesis dan pelepasaan gastrin dipengaruhi oleh protein yang
dimakan, perangsangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan
vagus.
Sekresi factor intrinsic memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari
usus halus bagian distal.
Sekresi mucus membentuk selubung yang melindungi lambung
serta berfungsi sebagai pelumas sehingga mekanan lebih mudah
diangkut.
Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi mucus, tampaknya
berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi manjadi fase sefalik, gastric dan
intestinal.
1. Fase sefalik dimulai bahkan sebelum makanan masuk ke lambung, yaitu
akibat melihat, mencium, memikirkan atau mengecap makanan. Fase ini
diperantarai oleh saraf vagus. Sinyal neurogenik yang menyababkan fase

sefalik berasal dari korteks serebri atau pusat nafsu makan. Impuls eferen
kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke lambung. Hal ini
mengakibatkan kelenjar gastric terangsang untuk mensekresikan HCL,
pepsinogen dan menambah mucus.
2. Fase gasrtik dimulai saat makanan mencapai antrum pylorus. Distensi
antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis reseptor-
reseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medulla
melalui aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus;
impuls ini merangsang pelepasan hormone gastrin, dan secara langsung
juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung.
3. Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum.
Fase intestinal ini akan merangsang hormone enterooksintin untuk
merangsang asam lambung setelah makanan sampai di usus halus. Seperti
halnya proses sekresi dalam tubuh, cairan lambung bertindak sebagai
penghambat sekresinya sendiri berdasarkan prinsip umpan balik.
Keasaman yang tinggi di daerah antrum akan menghambat produksi
gastrin oleh sel G sehingga sekresi gastric akan berkurang. Pada pH di
bawah 2,5 produksi gastrin mulai dihambat.
C. Definisi perforasi gaster
Perforasi gaster merupakan suatu bentuk akut abdomen yang sering
disebabkan oleh karena komplikasi ulkus peptikum. Lebih sering mengenai laki-
laki dengan umur rata-rata 50-70 tahun. Lokasi tersering ditemukan pada daerah
antrum kurvatura minor.

D. Etiologi
a) Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut(misalnya
tertusuk pisau).
b) Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebis sering ditemukan
pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
c) Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, alantalgin, natrium
diclofenac) serta golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya
deksametason dan prednisone. Sering ditemukan pada orang dewasa.
d) Kondisi yang mempredisposisi: ulkus peptikum, appendicitis akut,
divertikulosis akut, divertikulum meckel yang terinflamasi.
e) Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab
umum perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan
dengan hasil akhir yang buruk.
E. Patofisiologi
Secara fisiologis, gaster relative bebas dari bakteri dan mikroorganisme
lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang
mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak
berada pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster.
Bagaimanapun juga mereka yang memiliki masalah gaster sebelumnya berada
pada resiko kontaminasi peritonela pada perforasi gaster. Kebocoran asam
lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila
kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritonimu,
peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari
peritonitis bacterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara
peritonitis kimia awal dan peritonitis bacterial lanjut. Mikrobiologi dari usus kecil
berubah dari proksimal sampai ke distalnya. Beberapa bakteri menempati bagian
proksimal dari usus kecil dimana pada bagian distal dari usus kecil (jejunum dan
ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.coli) dan anaerob (bacteriodes fragilis).
Kecendrungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus

bagian distal. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel- sel
inflamasi akut. Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir proses
peradangan, menghasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi kolon).
Hypoksia yang diakibatkan di daerah itu memfasilitasi tumbuhnya bakteri anaerob
dan mengganggu aktifitas bakterisidal dari granulosit, yang mana mengarah pada
peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel dan
pengentalan cairan sehingga membantuk abses, efek osmotic, dan pergeseran
cairan yang lebih banyak ke lokasi abses. Dan di ikuti pembesaran abses pada
perut. Jika tidak ditangani terjadi bakteremia, sepsis, multiple organ failure serta
syok.
F. Tanda dan gejala
Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi akan tampak sangat kesakitan, seperti di tusuk-tusuk pada
bagian perut. Nyeri timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah peigastrium
karena rangsangan peritoneum oleh asam lambung, empedu dan /enzim pancreas.
Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri
perut kana bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri pada
seluruh lapang perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteri, fase ini
disebut fase peritonitis kimia. Adanya nyeri bahu menunjukan adanya rangsangan
peritoneum di permukaan bawah diagfragma. Rekasi peritoneum berupa
pengenceran zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk
sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria. Rangsangan peritoneum
menimbulkan nyeri tekan dan defens muskuler. Pekak hati bisa hilang karena
adanya udara bebas di bawah diagfragma. Peristaltic usus menurun sampai
menghilang akibat kelumpuhan sementara pada usu. Bila terjadi peritonitis
bacteria, suhu tubuh akan meningkat dan terjadi takikardi, hipotensi, dan penderita
tampak letargi karena syok septic. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri
pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum dengan
peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan,
bernafas, menggerakan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri

ketika digerakan seperti saat palpasi, tekan lepas, colok dubur, tes psoas sign, dan
tes obturator sign.
G. Diagnosis
a) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada abdomen yang diperiksa adalah apakah ada tanda-tanda
eksternal seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Pada Inspeksi dapat
dilihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas, adanya distensi
dan perubahan warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien
tidak mau bergerak, biasanya pasien dengan posisi flexi pada lutut, dan
abdomen seperti papan. Pada palapasi diperhatikan apakah ada atau
tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan takikardi, febris, dan
nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu peritonitis. rasa
kembung dan konsistens sperti adonan roti mengindikasikan perdarahan
intra abdominal. Nyeri pada saat perkusi mengindikasikan adanya
peradangan pada peritoneum. Pada auskultasi, bila tidak ditemukan bising
usus mengindikasikan suatu peritonitis difusa.
b) Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, leukositosis baru dijumpai apabila telah
terjadi peritonitis bacterial, dan kadang tidak dijumpai pada pasien usia
lanjut. Pemeriksaan kimia darah seperti fungsi hati dan ginjal, serum
elektrolit dan asam basa menandakan adanya komplikasi sistemik seperti
gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta gangguan
fungsi organ.
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat
dilakukan adalah: foto polos abdomen tiga posisi (Supine, LLD dan setengah
duduk), ultrasonografi dan CT scan abdomen.

a. Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi memperlihatkan gambaran udara bebas
subdiafragma (namun pada 30% kasus tidak dijumpai gambaran free-air). Udara
bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem
gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi gaster, bagian oral duodenum, dan
usus besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak
mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara bebas
terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan terjadinya peritonitis. Dilakukan foto polos
abdomen dalam 3 posisi ataupun menggunakan kontras barium, yaitu:
1. Tiduran terlentang (supine), sina dari arah vertical dengan proyeksi
anteroposterior (AP). Pada posisi ini didapatkan pre-peritonela fat
menghilang, psoas line menghilang dan adanya kekaburan pada cavum
abdomen.
2. Duduk atau setengah duduk (semi erect) atau berdiri kalau memungkinkan,
dengan sinar horizontal proyeksi AP. Didapatkan free air pada
subdiagfragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow).
3. Tiduran miring ke kiri (Left Lateral Decubitus=LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP. Didapatkan free air intra peritonela pada daerah
perut yang paling tinggi letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau
antara pelvis dengan dinding abdomen.

Gambar 4. Perforasi Ulkus Peptikum
b. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi
akut abdomen. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mendeteksi lokasi perforasi dan
pengumpulan gas dirongga peritoneum.
c. CT Scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi adanya udara setelah terjadi perforasi. Saat CT scan dilakukan dalam
posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan bagian
abdomen dan CT scan dapat memperlihatkan gelembung udara yang bergerak
apabila pasien mengambil posisi decubitus kiri.
H. Penatalaksanaan
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan
umunya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan
pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotic mutlak diberikan. Jika gejala dan
tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan non-operatif mungkin
digunakan dengan terapi antibiotic langsung terhadap bakteri gram-negatif dan
anaerob. Tujuan dari terapi bedah adalah:

1. Koreksi masalah anatomi yang mendasari.
2. Koreksi penyebab peritonitis.
3. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat
menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (darah,
makanan, sekresi lambung).
Operasi laparotomi dapat dilakukan segera setelah upaya suportif
dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi tukak perforasi belum mengatasi masalah
primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik,
penderita usia lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Operasi ini untuk
mengontrol sumber primer kontaminasi primer. Insisi yang dipilih adalah insisi
vertical digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta di tutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan di atas
tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat
patologi dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum
yang terus-menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi.

Gambar 5. Graham Patch Technique
I. Komplikasi
a) Infeksi luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada
gaster.
b) Kegagalan luka operasi. Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau
total pada setiap lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat.
c) Abses abdominal terlokalisasi
d) Kegagalan multi organ dan syok septic.
e) Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan
kegagalan system multiple organ dan mungkin berhubungan dengan defek
proteksi oleh mukosa gaster.

f) Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adhesi postoperative.
J. Prognosis
Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotic bersprektum luas
cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila
diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotic terlambat dilakukan maka
prognosisnya menjadi dubia ad malam. Hasil terapi meningkat dengan
diagnosis dan penatalaksanaan dini. Factor-faktor berikut akan meningkatkan
resiko kematian:
1. Usia lanjut.
2. Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya.
3. Malnutrisi.
4. Timbulnya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Debas HT, Gastrointestinal Surgery: Pathophysiology and Management.
2004. Springer: New York
2. Norton JA. Essential Practice of Surgery. 2003. Springer: New York.
3. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 :
Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC :
Jakarta, 2004. Hal. 541-59.
4. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,
Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas
Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000
5. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses-
proses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006
6. Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early
radiological diagnostics of gastrointestinal perforation
7. Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric Perforation
in Neonatal Period.
available from www.medicaljournal-ias.org/14_2/Gharehbaghy.pdf
8. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi 11. Jakarta: EGC.
9. Wu GY, Aziz K, Whalen GF.An Internist’s Illustrated Guided to
Gastrointestinal Surgery. 2003. Humana Press: New Jersey.
10. Mostafa G, Cathey L, Greene FL. Review of Surgery Basic Science and
Clinical Topic ABSITE. 2006. Springer: North Carolina.
11. Madiba TE, Nair R,Mulaudzi TV, Thomson SR. Perforated Gastric Ulcer-
Reappraisal of Surgical Options.SAJS Article. 2005: 43(3).
12. Leeman FM, Skouras C, Peterson-Brown S. The Management of
Perforated Gastric Ulcers. International Journal of Surgery Elsevier. 2013:
11; 322-4.

13. Sarath CS, Kumar SS. Definitive or Conservative Surgery for Perforated
Gastric Ulcer?-Unresolved Problem. International Journal of Surgery
2009;&(2):136-9.
14. McGee GS, Sawyers JL. Perforated Gastric Ulcer:a Plea Management by
Primary Gastric Resection. Arch Surgery 1987; 122(5):555-61.