referat anak
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Status epileptikus (SE) adalah masalah emergensi neurologi yang sering
dijumpai pada pediatric. Keadaan ini berhubungan dengan demam
berkepanjangan atau kejang berulang tanpa ada keadaan sadar diantara kejang.
Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau
aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit hingga 5 menit. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau
seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.1,2
Status epileptikus dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu dengan kejang
(convulsion) dan tanpa kejang (non convulsion). Status epileptikus kejang demam
merupakan keadaan emergensi yang penting dalam dunia neurologi dan
kebanyakan kejang ini terjadi dalam bentuk kejang demam kompleks. Morbiditas
dan mortalitas masih rendah, tetapi konsekuensi jangka panjang status epileptikus
serta faktor resiko prediktif epilepsi berikutnya belum dapat dibuat hingga saat
ini. Elektroensefalogram tidak diindikasikan dalam evaluasi rutin kejang demam
sederhana, tetapi peranan EEG dalam evaluasi kejang demam kompleks pada
anak-anak, termasuk status epileptikus merupakan hal yang dapat
dipertimbangkan. Tipe Status epileptikus secara klinis dibedakan menjadi status
epileptikus dengan kejang/ generalized convulsive status epilepticus (GSCE) dan
status epileptikus tanpa kejang/non konvulsi (NCSE). Pasien dengan generalized
convulsive SE (GCSE) mengalami kesadaran gradual setelah kejang berhenti.3,13
Status epilepsi non konvulsi adalah serangan epilepsi yang berlangsung
lebih dari 30 menit ditandai dengan adanya aktifitas bangkitan yang kontinu atau
berulang pada perubahan Elektro Encephalogram (EEG) yang menyebabkan
berbagai gejala klinik mencakup gangguan kesadaran, gangguan persepsi dengan
1
tingkah laku yang abnormal. Menurut The Epilepsy Research Foundation status
epilepsy non konvulsi adalah suatu rangkaian kondisi dimana ditemukan aktifitas
bangkitan yang memanjang yang menyebabkan gejala klinis non konvulsi.
Pada keadaan ini ditemukan berbagai gejala terutama perubahan status mental
yang lama diakibatkan aktifitas bangkitan yang sedang berlangsung. Manifestasi
klinis dapat bervariasi dari bingung sampai gangguan tingkah laku aneh dan
psikosis serta koma. Status epilepsi nonkonvulsi tidak terdiagnosa, seringkali
dianggap sebagai gangguan psikiatri.4
Kejang merupakan kedaruratan medis yang cukup sering ditemui, yaitu
sekitar 1-2% kunjungan ke unit gawat darurat dan 6%-nya adalah status
epileptikus. Namun, obat yang optimal dan rute pemberian untuk terapi status
epileptikus masih terus dikembangkan. Setiap tahun, sebanyak 120.000- 200.000
orang mengalami pemanjangan kejang atau kejang yang kambuh dengan cepat.
Diperlukan strategi pengobatan yang tepat dalam mencegah status epileptikus
yang berkepanjanngan dalam mencegah morbiditas dan mortalitas pada anak.1,5
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Defenisi Status Epileptikus
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang
ditandai oleh gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Lepas muatan listrik
tersebut terjadi karena terganggunya fungsi neuron oleh gangguan fisiologis,
biokimia, anatomis, atau gabungan faktor-faktor tersebut. Setiap kelainan yang
mengganggu fungsi otak baik kelainan lokal maupun umum, dapat
mengakibatkan terjadinya bangkitan epilepsi .6
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara
intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik,
sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di neuron otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih
dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan
kesadaran. Status epileptikus juga didefenisikan sebagai kejang menetap atau
episode kejang berulang tanpa pemulihan kesadaran di antara bangkitan kejang
yang berlangsung lebih dari 5 menit.2,7,12
2.2 Jenis Status Epileptikus
Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang
mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama
kejang berlangsung makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana
kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah
terjadinya status epileptikus. Penanganan agresif dalam mengatasi status
epileptikus secara cepat khususnya dilakukan dalam postoperative neurosurgical
dan pembedahan kardiak pada pasien atau yang beresiko mengalami peningkatan
tekanan intrakranial (jejas otak traumatik, tumor otak, dan infeksi sistem saraf
3
pusat), anak dengan hyperthermia malignan, dan anak dengan kegagalan organ
multisistem.1,2
Status Epileptikus sering terjadi pada anak yang dirawat karena
hipotermia setelah gagal jantung dan ini merupakan faktor resiko yang buruk
dalam outcome penyakit ini pada masa dewasa. Penanganan awal dan pengobatan
agresif harus sangat diperhatikan pada anak-anak dengan resiko ini. Status
Epileptikus dapat dikelompokkan berdasarkan etiologi, tipe kejang atau waktu
kejang. Perhatian dalam stadium waktu status epileptikus serta pengukuran
penatalaksanaan status epileptikus tidak boleh ditunda. Pada 5 menit awal kejang,
periode ini disebut sebagai stadium prodromal atau incipient, ini masih belum
diketahui apakah kejang akan sembuh sendiri atau akan berlanjut menjadi status
epileptikus. Status epileptikus yang menetap dapat dibagi menjadi status
epileptikus awal (5-30 menit), Status Epileptikus menetap (> 30 menit) atau
Status Epileptikus refraktori (RSE) (kejang yang bertahan atau terus terjadi
walaupun telah diberikan pengobatan dosis adekuat pengobatan antikonvulsi
sebanyak 2 atau 3 kali).2
Tipe Status epileptikus secara klinis dibedakan menjadi status epileptikus
dengan kejang/ generalized convulsive status epilepticus (GSCE) dan status
epileptikus tanpa kejang/non konvulsi (NCSE), pasien dengan generalized
convulsive SE (GCSE) mengalami kesadaran gradual setelah kejang berhenti.
Jika tingkat kesadaran tidak membaik dalam 20 menit setelah kejang berhenti
atau status mental manjadi abnormal 30 hingga 60 menit setelah konvulsi
berhenti, maka dipertimbangkan pasien mengalami NCSE.12
Generalized convulsive status epilepticus adalah yang paling berbahaya
dan dapat mengancam kehidupan pasien dan merupakan tantangan bagi dokter
anak. Insidensi kejadian kondisi ini terjadi lebih tinggi pada awal kehidupan.
Beberapa anak mengalami abnormalitas neurologis sebelumnya atau memiliki
riwayat epilepsy sebelumnya. Anak yang mengalami status epileptikus akan
mengalami gejala sisa. 13
4
Bila seseorang anak diduga menderita status epilepsi konvulsi dan non
konvulsi maka EEG harus segera dilakukan. Rekaman EEG akan memudahkan
dokter untuk mengkonfirmasi atau mengeklusi diagnosis status epilepsi
nonkonvulsi. Idealnya EEG dilakukan sebelum anak mendapat obat anti epilepsi.
EEG juga berguna untuk memonitor respon pengobatan. Status epilepsi non
konvulsi dibedakan dengan status epilepsi konvulsi karena tidak ditemukan atau
sedikit ditemukannya komponen motorik.Tanda dominan dari status epilepsi non
konvulsi adalah perubahan status mental yang berhubungan dengan perubahan
pada EEG.4,6
2.3 Etiologi dan Komplikasi Status epileptikus
Etiologi yang paling sering menyebabkan Status epileptikus yaitu:
1. Kejang demam
2. Epilepsy +/- dengan penyakit akut
3. Gangguan metabolic, hipoglikemia dan keracunan
4. Meningitis/ensefalitis
5. Trauma’hipoksia
Komplikasi yang paling sering terjadi pada status epileptikus yaitu:
1. Obstruksi jalan nafas
2. Aritmia jantung
3. Aspirasi
4. Hipoksia
5. Hipertensi
6. Depresi respirasi
7. Hipertermia
8. Edema pulmoner
9. DIC (Dissaminated intravascular coagulation)
5
2.4 Patofisiologi Status epileptikus
Energi yang didapat dari metabolisme diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sel atau organ otak. Energi tersebut diperoleh dari oksidasi
glukosa menjadi CO2 dan H2O. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri
dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+
dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit-elektrolit lain kecuali ion Cl-,
akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan diluar sel neuron keadaan sebaliknya. Perbedaan jenis dan konsentrasi
ion didalam dan diluar sel mengakibatkan perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dari sel neuron. Konsentrasi ion K+ dan Na + intrasel dan
ekstrasel selalu dipertahankan tetap oleh Na+- K+ATPase.8,9,10
Perubahan keseimbangan potensial membran bisa terjadi karena adanya: 8,9,10
1. perubahan konsentrasi ion intraseluler dan ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan fisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau kelainan
genetik.
Potensial aksi adalah aktivitas listrik mendadak sel neuron. Potensial aksi
terjadi akibat perubahan potensial membran. Perubahan permeabilitas membrane
sel mengakibatkan terjadi difusi ion melewati membran sel sehingga terjadi
perubahan konsentrasi ion intra dan ekstra sel. Adanya potensial aksi
berpengaruh terhadap pintu-voltase kanal ion (voltage-gated ion channel) pada
membran sel. Ion-ion natrium sekarang dapat mengadakan difusi masuk ke dalam
sel neuron atau akson. Masuknya ion-ion natrium yang bermuatan listrik positif
ke dalam sel neuron atau akson menyebabkan membran tersebut menjadi positif
di dalam dan negatif di luar, sehingga dengan demikian terjadi suatu keadaan
yang sebaliknya dari keadaan istirahat dan peristiwa ini disebut depolarisasi. 8,9,10
6
Depolarisasi yang berlebihan ini dapat disebabkan karena gangguan
produksi energi yang diperlukan untuk mempertahankan potensial membran
(misalnya kondisi hipoksemia, iskemia, hipoglikemia), ketidakseimbangan
neurotransmiter eksitator dan inhibitor, serta interaksi antara kalsium dan
magnesium dengan membran saraf yang menyebabkan hambatan pergerakan
natrium sehingga terjadi peningkatan ion natrium yang masuk ke dalam sel dan
depolarisasi. Potensial aksi yang terjadi akan dihantarkan sampai ke ujung akson.
Adanya potensial aksi pada ujung akson mengakibatkan visikel di ujung akson
pecah dan terlepas neurotrasmiter keluar ke celah sinaps. Neurotrasmiter di celah
sinaps ditangkap oleh reseptor yang sesuai, terletak pada membran sel post
sinapsis. 8,9,10
Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan
disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan
dari akson terminal melalui eksositosis dan juga direabsorbsi untuk daur ulang.
Neurotransmiter merupakan cara komunikasi antar neuron. Setiap neuron
melepaskan satu transmiter. Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan
permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih atau kurang dapat
menyalurkan impuls, tergantung dari jenis neurotransmiter tersebut.
Neurotransmiter di dalam susunan saraf pusat meliputi monoamin (noradrenalin,
dopamin, dan serotonin), asetilkolin, γ-aminobutyric acid (GABA), neuropeptida
(vasipresin, oksitosin), dan berbagai ”releasing factors” yang dikeluarkan oleh
hipotalamus, enkefalin, endorfin, dan zat P. Pada umumnya prostaglandin tidak
dimasukkan kelompok neurotransmiter tetapi dipandang sebagai mediator
sinaptik. Berdasarkan fungsinya dibagi 2, yaitu eksitator (asam glutamat,
asetilkolin, serotonin) dan inhibitor (GABA, glisin). Pengaturan fungsi
neurotransmiter berperan penting dalam menimbulkan kejang dan pencegahan
bangkitan kejang. Asam glutamat merupakan neurotransmiter eksitator utama
dalam otak. 8,9,10
Dalam sistem saraf pusat terdapat neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dan inhibisi. Neurotransmiter eksitasi utama di otak adalah glutamat, sedangkan
7
neurotransmiter inhibisi utama adalah gamma aminobutyric acid (GABA). Dalam
keadaan normal terjadi keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sehingga
potensial membran dipertahankan sebesar 70 mV. Pada keadaan dimana eksitasi
meningkat, inhibisi menurun, atau terjadi keduanya, terjadi depolarisasi
(potensial membran menjadi menjadi lebih positif). Jika potensial membran
mencapai ambang tertentu, terjadilah lepas muatan listrik. Dalam sistem eksitasi,
glutamat berikatan dengan beberapa reseptor di postsinaps yaitu reseptor NMDA
(NmethylDaspartate) dan non NMDA.6
Reseptor NMDA memiliki peranan yang penting dalam proses belajar dan
daya ingat. Stimulasi berlebihan reseptor NMDA menyebabkan masuknya Ca2+
dalam jumlah besar. Ca2+ tersebut akan menyebabkan destruksi enzim intrasel
yaitu endonuklease dan protease, yang berakibat kerusakan dan kematian sel
tersebut. Bangkitan epilepsi yang secara klinis dapat dideteksi, terjadi akibat
hipereksitasi dan hipersinkronisasi neuronneuron yang mengalami lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik yang terjadi pada neuron normal berlangsung sekali
saja. Pada penderita epilepsi terjadi hipereksitasi neuron pada fokus epileptik
sehingga lepas muatan listrik terjadi berkalikali. Terjadi pula hipersinkronisasi
yaitu sel-sel yang berdekatan serentak ikut mengalami lepas muatan listrik
melalui manytomany relationship. 6
Mayoritas episode refraktorik pada status epileptikus dapat terjadi tanpa
adanya riwayat epilepsy ebelumnya, dan bisanya disebabkan penyebab structural
atau patologi toksik metabolic. Anoksia adalah gejala yang mirip dengan keadaan
iskemia hipoksia ensefalopati dan infeksi adalah penyebab utama pada keadaan
ini. Ensefalitis merupakan faktor resiko terjadinya epilepsy malignan. Pada
kebanyakan kasus baru status epileptikus refraktorik biasanya disebabkan demam
karena infeksi atau inflamasi. Mekanisme imun yang merupakan faktor penting
pada status epileptikus refraktorik adalah sitokin, IL-1beta, IL-6, dan TNF-alpha
dengan peningkatan mekanisme eksitatorik. Kemotaksin dan molekula dhesi
dapat menyerang blood-brain barrier yang akan meningkatkan permeabilitas ion
dan protein dan memudahkan perpindahan sel inflamasi sehingga semakin
meningkatkan aktivitas epilepsy. Status epileptikus refraktorik menghasilkan
8
antibody anti-glutamic acid decarboxylase yang bertindak secara klinis dalam
menggambarkan bagimana reaksi autoimun system imun adaptif dapat
menghasilkan aktivitas pengobatan kejang refraktorik. 15
2.5 Fase Status epileptikus
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu: 11
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
Hipertensi, hiperpireksia
Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
Depresi pernafasan
Disritmia jantung, hipotensi
Hipoglikemia, hiponatremia
Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia,
hipoksemia, trauma, epilepsi, demam, dan tidak diketahui (30%)
2.6 Penanganan Sistemik
Perubahan sistemik yang terjadi selama status epileptikus dapat
diperburuk jika terdapat kelainan dasar pada otak atau lesi pada otak dalam gejala
akut status epileptikus. Dalam awal status epileptikus, terjadi peningkatan glukoa
otak dan oksigen dan juga terjadi penghantaran glukosa otak dan oksigen karena
peningkatan tekanan darah dan perfusi cerebral. Dalam status epileptikus
berikutnya, tekanan darah akan berkurang, terkadang mencapai tingkat hipotensi,
dan akan terjadi kompensasi respirasi. Perubahan ini menyebabkan hipoksia otak,
hypoglycemia dan asidosis. Hyperthermia dan rhabdomyolysis juga dapat terjadi.
Selanjutnya, kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan jika cerebral
9
autoregulation telah diganggu akibat lesi dasar atau oleh status epileptikus,
mekanisme autoregulasi dapat menyebabkan kompensasi berikutnya. SE sangat
jarang berkaitan dengan ictal bradycardia, stress cardiomyopathy, neurogenic
pulmonary edema, rhabdomyolysis dan gagal ginjal atau fraktur tulang.2
2.7 Pemeriksaan Dan Diagnosis 11
Anamnesis:
o Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
o Tingkat kesadaran diantara kejang
o Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga
o Panas, trauma kepala
o Riwayat persalinan, tumbuh kembang
o Penyakit yang sedang diderita dan RPD.
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi:
o Tingkat kesadaran
o Pupil
o Refleks fisiologis dan patologi
o Ubun-ubun besar
o Tanda-tanda perdarahan
o Lateralisasi.
2.8 Kejang demam dan Status Epileptikus
Ada dua definisi kerja yang telah dipublikasikan tentang kejang demam.
Definisi kejang demam menurut National Institutes of Health Consensus
Conference adalah kejadian kejang pada bayi dan anak, yang biasanya terjadi
antara umur 6 bulan sampai 5 tahun, berkaitan dengan demam tanpa adanya
bukti-bukti infeksi atau sebab yang jelas di intrakranial. Kejang yang disertai
demam pada anak yang sebelumnya menderita kejang tanpa demam atau epilepsi
tidak termasuk dalam kategori ini. Sedangkan definisi menurut International
League Against Epilepsy Commision on Epidemiology and Prognosis adalah
10
kejang yang terjadi pada anak-anak setelah umur 1 bulan, berkaitan dengan
demam dan penyakit yang tidak disebabkan karena infeksi pada susunan saraf
pusat, gangguan metabolik dan elektrolit, epilepsi atau kejang tanpa provokasi
sebelumnya. 10,16
Kejang demam kebanyakan disertai infeksi virus dibandingkan bakteri,
umumnya terjadi pada 24 jam pertama sakit dan berhubungan dengan infeksi
saluran nafas akut, seperti faringitis dan otitis media, pneumonia, infeksi saluran
kemih, serta gangguan gastroenteritis. Kejang demam dikelompokkan menjadi
dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Yang
termasuk kejang demam sederhana (simpleks) apabila: 10,16,17
1. Kejang bersifat umum
2. Demam pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun
3. Lama bangkitan kejang berlangsung kurang dari 15 menit
4. Dalam waktu 24 jam atau selama periode demam tidak ada bangkitan
kejang berulang
5. Kejang demam tidak disebabkan oleh meningitis, ensefalitis, atau
penyakit lainnya yang mempengaruhi otak
Sedangkan yang termasuk kejang demam kompleks apabila: 10,16
1. Lama bangkitan kejang berlangsung lebih dari 15 menit
2. Manifestasi kejang bersifat fokal
3. Didapatkan bangkitan kejang berulang dalam kurun waktu 24 jam
4. Didapatkan abnormalitas status neurologi
5. Didapatkan riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudaranya
Sebagian besar kejang demam (63%) berupa kejang demam sederhana
dan 35% berupa kejang demam kompleks. 10,16
Status epileptikus (SE) berhubungan dengan demam berkepanjangan atau
kejang berulang tanpa ada keadaan sadar diantara kejang. Status epileptikus
dipertimbangkan bila terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
11
lebih dari 30 menit hingga 5 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.1,2
2.8.1 Patofisiologi Kejang demam
Asam glutamat dapat berperan sebagai reseptor ionotropik dan
metabotropik. Rangsangan asam glutamat terespon oleh reseptor
ionotropik (NMDA, AMPA, Kainate) mengakibatkan pintu-voltase kanal
ion Na+ dan Ca2+ terbuka sehingga mengakibatkan ion Na+ dan Ca2+
influx, hal ini mengakibatkan depolarisasi post sinapsis. Perubahan
potensial membran tersebut apabila melewati nilai ambang letup akan
mengakibatkan potensial aksi di neuron post sinapsis. Pengarug asam
glutamat yang terespon oleh reseptor metabotropik mengaktifkan
fosfolipase C di plasma membran, sehingga terjadi pemecahan fosfatidil
inositol difosfat (PIP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diacyl glyserol.
Inositol trifosfat akan meenyebabkan mobilisasi ion Ca2+ didalam
retikulum endoplasma keluar ke plasma intrasel. Rangsangan pada sel
neuron post sinapsis dapat mengalami sumasi, fasilitasi, oklusi dan
reverberating. GABA merupakan neurotransmiter inhibitor yang
mengaktifkan reseptor GABA A dan GABA-B sehingga permeabilitas
membran sel terhadap ion Cl- dan K+ meningkat. 10
Peningkatan permeabilitas ion Cl- dan K+ mengakibatkan
hiperpolarisasi post sinapsis. Keadaan hiperpolarisasi mengakibatkan
hambatan terhadap timbulnya potensial aksi di post sinapsis. Apabila
neurotransmiter eksitator lebih dominan daripada inhibitor maka akan
terjadi depolarisasi post sinapsis. Adanya peristiwa sumasi dan fasilitasi
mengakibatkan keadaan depolarisasi diperbesar dan apabila mencapai
nilai ambang letup akan terjadi potensial aksi pada neuron post sinapsis.
Apabila potensial aksi meluas dan terjadi sinkronisasi akan menimbulkan
bangkitan kejang demam. 10
12
2.8.2 Pemeriksaan EEG pada Kejang demam
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal
diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk
menyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau
gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang
menderita kejang demam.18
2.8.3 Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga
agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan
untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi
dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian
oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan
kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat
diturunkan dengan kompres air hangat. Dosis asetaminofen yang digunakan berkisar 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3 - 4 kali sehari.18
2.8.4 Mencari dan Mengobati Penyebab
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain,
seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari
2 tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok
umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontra
indikasinya.1-3 Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk
mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan
elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak
13
diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau
pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal.18
2.9 Morbiditas Status Epileptikus
Status epileptikus dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi
dan berkontribusi terhadap 55.000 kematian setiap tahun di US. Komplikasi
status epileptikus yang sering meliputi aspirasi, injuri otak anoksik,
ketidakstabilan jantung, disfungsi metabolic dan otonom, serta kerusakan neuron
langsung. Meskipun klinis pada status epileptikus terutama ditentukan oleh
etiologi yang mendasari kejang, namun aktivitas kejang yang persisten/menetap
dikaitkan dengan yang buruk. Pada epilepsi benigna, status epileptikus yang
refrakter dapat menjadi fatal atau menyebabkan injuri sel saraf dan kerusakan
otak kronik. 2,5
Studi eksperimental status epileptikus pada hewan coba menunjukkan
bahwa kehilangan sel saraf meningkat dengan bertambahnya durasi kejang.
Model status eksperimental juga menunjukkan bahwa efektivitas obat
antikonvulsan/ antikejang untuk menghentikan kejang dengan cepat menurun
seiring waktu antara mulainya kejang dengan pemberian obat. Jika kejang tidak
diatasi segera, diperlukan peningkatan dosis untuk mengatasi kejang, dan kejang
akhirnya menjadi sepenuhnya refrakter terhadap terapi antikejang.5
2.10 Penanganan Status epileptikus
Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang
mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama
kejang berlangsung makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana
kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah
terjadinya status epileptikus. 7
14
Prinsip penatalaksanaan penderita dengan status epileptikus adalah
sebagai berikut:11,14
1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita , yaitu
ABCDE:
Airway:
Bebaskan jalan nafas, tempatkan anak dalam posisi recovery, jika
jalan nafas terganggu lakukan maneuver untuk membebaskan jalan
nafas. Jika tidak ada perbaikan, pertimbangkan untuk intubasi
Breathing:
Pemberian pernafasan buatan/bantuan nafas, perhatikan apakah ada
distress pernafasan, laju pernafasan, dan pemeriksaan fisik paru.
Berikan oksigen aliran tinggi dengan menggunakan face mask bila
pernafasan terganggu.
Circulation:
Nilai laju jantung, tekanan darah, refill time, pemeriksaan
kardiovaskular. Periksa glukoas darah, elektrolit, kultur darah bila
pasien dicurigai mengalami meningitis. Bila pasien hipoglikemia
berikan dekstrose 10% 5 ml/kg (jika hipoglikemia adalah kondisi
baru, maka periksa dulu glukosadarah sebelum memberikan
dekstrosa). Bila ada tanda-tana syok berikan kristaloid 20 ml/kg. Bila
dicurigai meningitis erikan cetriakson, berikan asiklovir intravena jika
dicurigai ensefalitis). Bila ada tanda-tanda peningkatakn tekanan
intracranial pertimbangkan pemberian mannitol 0.25 g/kg.
Disability
Nilai tingkat kesadaran (AVPU), ukuran dan reaksi pupil, posisi anak
(deserebrasi atau dekortikasi menandakan peningkatan TIK, periksa
tanda-tanda meningitis)
15
Exposure
Periksa suhu (adanya demam menandakan adanya kejang demam,
meningoensefalitis atau keracunan), perhatikan apakah ada tanda-tanda
ruam purpura dan petekie serta trauma.
2. Penilaian sekunder
Setelah resusitasi ABC, penatalaksanaan hipoglikemia, prioritas
selanjutnya adalah menghentikan kejang. Lakukan anamnesis cepat:
Durasi kejang
Pengobatan yang sudah diberikan
Riwayat epilepsy
Adanya kejang demam baru-baru ini
Trauma baru-baru ini
Keracunan
Makanan yang dimakan terakhir
Penyakit yang telah ada sebelumnya
3. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai
berikut (harus tercapai dalam 30 menit pertama):
Pilihan I: Golongan Benzodiazepin (Lorazepam, Diazepam)
Pilihan II: Phenytoin
Pilihan III: Phenobarbital
4. Pemberian obat anti kejang lanjutan
5. Cari penyebab status epileptikus
6. Penatalaksanaan penyakit dasar
7. Mengatasi penyulit
8. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi dengan:
Midazolam, atau
Barbiturat (thiopental, phenobarbital, pentobarbital) atau
Inhalasi dengan bahan isoflurane
16
Penghentian kejang: 7
0 - 5 menit:
1. Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
2. Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan,
berikan oksigen
3. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah,
pemeriksaan umum dan neurologi secara cepat
4. Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda
infeksi
5 – 10 menit:
1. Pemasangan akses intravena
2. Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
3. Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam
rectal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10
mg). Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali
setelah 5 – 10 menit..
4. Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 – 15 menit
1. Cenderung menjadi status konvulsivus
2. Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl
0,9%
3. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai
maksimum dosis 30 mg/kgbb. 30 menit
4. Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10
mg/kg dengan interval 10 – 15 menit.
5. Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi
tanda tanda depresi pernafasan.
17
6. Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit
perawatan intensif.
Adapun Bagan Penatalaksanaan Kejang Demam dapat dilihat pada Gambar 2.1 di
bawah ini.12
18
2.10.1 Penatalaksanaan Benzodiazepin awal
Benzodiazepine telah menjadi terapi lini pertama untuk status epileptikus
untuk 30 tahun terakhir, tetapi obat yang optimal dan rute pemberian terbaik
untuk mengontrol kejang di luar rumah sakit atau yang tanpa akses intravena
masih belum jelas. Karena akses IV sebelum pemberian dapat memperlambat
terapi status epileptikus, menempatkan pasien pada risiko, bahkan meskipun
dikerjakan di unit gawat darurat.5
Lorazepam merupakan terapi inisial standar klinis untuk status epileptikus
di unit gawat darurat. Namun lorazepam mempunyai shelf life yang singkat jika
tidak disimpan dalam lemari es, sehingga membatasi kepraktisan penggunaannya
pada seting pra-rumah sakit. Lorazepam juga hanya diberikan secara IV,
sedangkan akses IV sulit pada pasien kejang, sehingga terapi lorazepam tidak
praktis untuk pasien yang tidak mempunyai akses IV. Diazepam dapat diberikan
baik secara intravena atau rectal tetapi kurang efektif dan dikaitkan dengan risiko
depresi pernapasan dan pemanjangan sedasi. 5
Dalam kepustakaan yang ditulis oleh Abend et al (2010) menyatakan
bahwa jika tidak tersedia akses intravena (IV), status epileptikus sangat efektif
diobati dengan penggunaan midazolam (MDZ) intranasal (0.2 mg/kg),
midazolam buccal (0.2 mg/kg), atau midazolam intramuscular (0.2 mg/kg)
kemudian pasien dapat diberikan diazepam IV (0.3 mg/kg). Sehingga sangat
direkomendasikan penggunaan midazolam intranasal (0.2 mg/kg) dan midazolam
buccal (0.5 m/kg) yang sifatnya lebih efektif dibandingkan diazepam rectal (0.2-
0.5 mg/kg). Akan tetapi, jika tersedia akses intravena, infus diazepam harus
diberikan terlebih dahulu (0.2-0.3 mg/kg) atau pemberian infus lorazepam (LZP)
(0.1 mg/kg).1
Midazolam, meskipun tidak secara formal diindikasikan untuk terapi
kejang, dapat diberikan secara IV, IM, intranasal, atau bukal. Midazolam dengan
cepat diabsorpsi setelah injeksi IM, tidak memerlukan lemari es, dan lebih murah
dibanding lorazepam. Pemberian midazolam non-IV untuk terapi status
epileptikus merupakan ide yang menarik. Suatu Cochrane telah mengeksplorasi
terapi pada pasien anak dengan status epileptikus. Studi meta-analisis ini
19
membandingkan penggunaan non-IV dengan dalam terapi kejang. Tujuan
spesifiknya adalah menentukan efi kasi, kecepatan, dan keamanan penghentian
kejang dengan non-IV, dibandingkan dengan IV atau non-IV, sebagai terapi
kedaruratan inisial pada pasien anak dan dewasa dengan status epileptikus. Studi
meta-analisis ini dilakukan terhadap studi acak dengan kontrol yang
dipublikasikan dari tahun 1950 hingga 2009 yang membandingkan non-IV
dengan dengan berbagai rute pemberian untuk terapi awal status epileptikus pada
pasien unit gawat darurat. Sebanyak 6 studi yang melibatkan 774 pasien (usia
baru lahir hingga 22 tahun) memenuhi kriteria inklusi. Tiga studi
membandingkan bukal (0,5 mg/kg atau 10 mg) dengan rektal (0,5 mg/kg atau 10
mg), dan 3 studi membandingkan IM atau intranasal (0,2 mg/kg) dengan IV (0,2
atau 0,3 mg/kg). 5
Midazolam lebih unggul dibanding diazepam untuk menghentikan kejang.
Midazolam IM atau intranasal seefektif diazepam IV, sedangkan midazolam
bukal lebih unggul dibanding diazepam rektal dalam pencapaian kontrol kejang.
Waktu untuk penghentian kejang sama antara kelompok midazolam dan
diazepam pada 3 studi. Namun pemasangan akses IV dapat secara bermakna
memperlambat terapi status epileptikus. Sehingga midazolam bukal, IM, atau
intranasal merupakan alternatif yang efektif, aman, murah, dan mudah diberikan
khususnya untuk anak dengan kejang tanpa akses IV.5
20
2.10.2 Pengobatan Lini Kedua
Walaupun pengobatan awal menggunakan benzodiazepine efektif pada
sejumlah besar pasien, banyak kasus kejang yang membutuhkan pengobatan
lanjutan. Penelitian pada survey of pediatric emergency medicine physicians
melaporkan bahwa fenitoin (PHT) dipilih sebagai lini kedua pengobatan. 1,2
2.10.3 Pengobatan Lini kedua dan ketiga
Agen pengobatan lini ketiga lebih bervariasi dan meliputi phenobarbitone,
thiopentone, paraldehyde (hanya tersedia di beberapa negara) dan midazolam.
Dalam penelitian seri kasus saat ini telah mengungkapkan bahwa valproate
sodium dan Levetiracetam (LEV) berguna sebagai agen lini kedua atau lini
ketiga. Fenitoin dan Fosphenytoin (FOS) efektif dalam menghentikan SE awal.
Dalam penelitian Cohort yang meliputi 122 anak yang ditangani dengan protocol
status epileptikus menggunakan midazolam (0.1 mg/kg IV) dan Fenitoin (20
mg/kg) dilaporkan dapat menghentikan kejang sebanyak 89. Suatu penelitian
acak terkontrol pada 178 anak dengan status epileptikus melaporkan bahwa
kombinasi diazepam dan fenitoin mengehntikan status epileptikus sebanyak
100% dan ini sama dengan efikasi lorazepam (LZP).1
Fenobarbital (PB) biasanya digunakan sebagai lini pertama dalam
mengobati kejang pada neonatus dan status epileptikus dan dipertimbangkan
sebagai pengobatan lini ketiga atau keempat pada pediatric. Suatu penelitian
prospective, randomized, nonblinded pada 36 anak dengan status epileptikus
mengindikasikan bahwa monoterapi dengan fenobarbital mengehntikan kejang
pada 11 anak dan pada18 anak lebih cepat terminasi kejang apabila menggunakan
kombinasi diazepam dan fenitoin. Keterbatasan penggunaan fenobarbital
disevbabkan oleh efek desasi, depresi respirasi dan hipotensi sehingga akan lebih
baik apabila injeksi obat ini dipantau dengan menggunakan EKG.
Valproate Sodium/Valproic acid (VPA) merupakan spekturm luas
antikonvulsan dan telah dilaporkan keamaan dan keefektifannya dalam
menghentikan status epileptiku tanpa ada efek samping pengobatan. Penelitian
retrospective seri kasus pada 18 anak dengan status epileptikus melaporkan
21
bahwa dosis VPA (25 mg/kg) dapat menghentikan kejang sebanyak 100%, dalam
20 menit tanpa efek samping. Penelitian prospective, single-center, open-label
yang melibatkan 48 pasien (berusia < 5 tahun hingga 5-15 tahun) dengan status
epileptikus refraktorik terhadap diazepam dan phenobarbitone dan melaporkan
bahwa asam valproat IV (30 mg/kg) dapat mengehntikan kejang pada 87,5%
pasien dalam 1 jam tanpa ada kejang berulag dalam 12 jam berikutnya dan tidk
ditemukan efek samping pada satupun anak yang diobati. 2
Walaupun asam valproat diberikan secara lambat (< 20 mg/menit),
penelitian saat ini menunjukkan bahwa infus yang lebih cepat dapat digunakan
dengan aman. Penelitian prospective pada 18 anak melaporkan bahwa ketika
asam valproat diberikan secara intravena 1,5 hingga 11 mg/kg/menit, 1 pasien
akan mengalami sensasi seperti terbakar dengan infus tetapi tidak ada komplikasi
selanjutnya yang harus dikhawatirkan. Tidak ada komplikasi aritmia, bradikardia,
atau episode hipotensi pada pasien. Asam valproat tidak menyebabkan penurunan
tekanan darah dan jarang sekali dapat mengakibatkan trombositopenia atau
hepatotoksisitas pada anak. 2
Levetiracetam (LEV) adalah antikonvulsi sepktrum luas aman dan efektif
digunakan dalam mengobati status epileptikus dan kejang repetitive akut pada
anak. Pada pengobatan 16 anak dengan status epileptikus yang diberikan IV
LEV (50 mg/kg selama 15 menit) dalam mengatasi kejang mengalami terminasi
kejang dalam 25 hingga 30 menit. LEV juga efektif dalam mengatasi pasien
dengan kejang refraktorik terhadap Fosphenytoin (FOS). Tidak ditemukan efek
samping pada pasien. Penelitian selanjutnya pada 10 anak yang mendapatkan
pengobatan LEV IV dalam mengatasi non-convulsive status epilepticus (NCSE),
atau kejang akut berulang menggunakan dosis awal 6,5 hingga 31 mg/kg dan
dilaporkan terminasi NCSE pada pasien. Tidak ada pasien yang mengalami
hipotensi, hipertensi, bradikardia atau takikardi, ruam kemerahan dan depresi
respirasi. LEV clearance tergantung pada fungsi ginjal dan dosis pemeliharaan
direkomendasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal. LEV secara total
menghindari metabolisme hepatic yang bermanfaat pada psien dengan sakit
kritits degan disfungsi hati atau penyakit metabolic serta pasien dengan resiko
22
interaksi obat. Jika dibandingkan dengan antikonvulsi IV lainnya, LEV memiliki
beberapa efek samping minimal yaitu efek sedasi yang rendah, depresi
kardiorespirasi, atau koagulopati 2
Tabel 2.1 Algoritme Manajemen Status Epileptikus 2
Stat
us e
pile
psy
men
etap
Stat
us e
pile
ptik
us re
frak
torik
Penanganan
Jaga
sela
lu ja
lan
nafa
s, pe
rnaf
asan
, suh
u, h
emod
inam
ik d
an ti
ngka
t glu
kosa
Pasien berada diluar RS atau tidak ada tersedia jalur intravena
Midazolam buccal (0,2 mg/kg), intranasal midazolam (0,2 mg/kg) atau diazepam rectal (0,3 mg/kg)
Ruang emergensiLorazepam 0,1 mg/kg IV (maksimal 5 mg) selama 1 menitPantau selama 5 menit apakah kejang berhenti atau tidak
Berikan oksigen. Stabilisasi jalan nafas dan hemodinamik. Lakukan akses IV. Lakukan pemeriksaan glukosaMulai pantau EKG. Hindari terjadinya hipotermia, hipoglikemia dan hiperglikemiaJika terjadi hipoglikemia, berikan bolus 2 ml/kg 50% glukosa. Pertimbangkan tiamin 100 mg IV pertamaUlangi pemberian benzodiazepine jika pasien tidak mendapatkan 2 dosis benzodiazepine (pertimbangkan dosis pre hospital) Pertimbangkan antikonvulsan lini kedua
Fosfofenitoin 25-30 mg PE/kg IV sebanyak 3 mg PE/kg/menit (maksimal 150 PE/menit) (PE=fenitoin ekuivalen)Fenitoin 25-30 mg/kg IV pada 1 mg/kg/menit (maksimal 50 mg/menit)
Jika < 2 tahun, pertimbangkan pemberian pyridoxine 100 mg IVPertimbangkan uji:
Glukosa, panel dasar metabolic, magnesiu, posfat pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, uji koagulasi, toksikologi, kultur, pemeriksaan CT Scan
23
\’
Jika kejang berlnajut 10 menit setelah infus fosfofenitoin/fenitoin kemudian pasien mengalami status epileptikus refraktorik pertimbangkan antikonvulsan mna<qaw2awe 9.l,m lini ketiga
Levatiracem 40 mg/kg IV sebnyak 5 mg/kg/menit
Sodium valproate 40 mg/kg sebanyak 5 mg/kg/menit
Fenobarbital 30 mg/kg IV sebanyak 2 mg/kg IV sebanyak 2 mg/kg/menit (maksimal 60 mg/menit)
Pant
au E
EG
Jika kejang berlanjut 5 menit setelah antikonvulsi lini ketiga, pertimbangkan pemberian antikonvulsi lini ketiga yang berbeda atau berikan inisiasi pengobatan frmakologi pada komaPertimbangkan pasien untuk masuk PICU. Persiapkan jalur jalan nafas, ventilasi mekanik, akses vena sentral dan pemantauan hemodinamik berkelanjutan melalui lini arterialSekali saja terminasi kejang maka dibutuhkan pemantauan EEG untuk menilai kejang non konvulsiPengobatan koma awal dengan midazolam 0,2 mg/kg bolus (maksimal 10 mg) selama 2 menit dan inisiasi infus 0,1 mg/kg/jam. Jika kejang bertahan 5 menit setelah bolus midazolam pertimbangkan pemberian midazolam tambahan bolus 0,2 mg/kg dan tingkatkan infus hingga 0,2 mg/kg/jam. Ulangi pemberian jika dibutuhkan Jika kejang tetap bertahan walalupun dosis midazolam maksimum (umumnya 2-3 mg/kg/jam) atau infus midazolam tidak ditoleransi, pertimbangkan pemberian pentobarbital (3-5 mg/kg bolus diikuti dengan infus dosis pemeliharaan 0,3-3 mg/kg/jam hingga 10 mg/kg/jam)Pilihan lainnya meliputi: isoflurane atau propofolPertimbangkan tambahan lainnya seperti topiramate, asam valproat, levetiracem, atau ketamineLanjutkan farmakologi koma selama 24 jam setelah kejang terakhir dengan tujuan EEG menekan demam.Lanjutkan pengobatan awal
24
Stat
us e
pile
ptik
us m
alig
nan
Kurangi midazolam sebanyak 0,05 mg/kg/jam setiap 3 jam dengan tinjauan EEG. Jika tidak terjadi kejang klinik atau dari EEG kemudian kurangi dosis midazolam pelahan-lahan hingga behentiLanjutkan pemeriksaan EEG hingga 24 jam setelah infus dicabut untuk mengevaluasi kejang elektrografik rekurenJika kejang klinik atau subklinik terjadi kemudian terjadi koma dengan midazolam selama 24 jam. Mulai pemberian kidazomal pada infus (sekitar 50/50) dan mempertimbangkan algoritme titrasi midazolam Tambahkan antikonvulsi tambahan (topiramate, levetiracetam, ketamin, fenobarbital dosis tinggi)Pemeriksaan tambahan (MRI atau magnetoencephalography) dan evaluasi pembedahan
25
BAB III
KESIMPULAN
Status epileptikus (SE) merupakan masalah neurologis emergensi dan
beberapa penelitian menunjukkan adanya intervens dini akan memperbaiki
respon terhadap outcome pengobatan. 1,2
Benzodiazepine telah menjadi terapi lini pertama untuk status epileptikus
untuk 30 tahun terakhir, tetapi obat yang optimal dan rute pemberian terbaik
untuk mengontrol kejang di luar rumah sakit atau yang tanpa akses intravena
masih belum jelas. Karena akses IV sebelum pemberian dapat memperlambat
terapi status epileptikus, menempatkan pasien pada risiko, bahkan meskipun
dikerjakan di unit gawat darurat. 1,2
Walaupun pengobatan awal menggunakan benzodiazepine efektif pada
sejumlah besar pasien, banyak kasus kejang yang membutuhkan pengobatan
lanjutan. Penelitian pada survey of pediatric emergency medicine physicians
melaporkan bahwa fenitoin (PHT) dipilih sebagai lini kedua pengobatan. Agen
pengobatan lini ketiga lebih bervariasi dan meliputi phenobarbitone, thiopentone,
paraldehyde (hanya tersedia di beberapa negara) dan midazolam. Dalam
penelitian seri kasus saat ini telah mengungkapkan bahwa valproate sodium dan
Levetiracetam (LEV) berguna sebagai agen lini kedua atau lini ketiga. 1,2
Status epileptikus dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi
dan berkontribusi terhadap 55.000 kematian setiap tahun di US. Komplikasi
status epileptikus yang sering meliputi aspirasi, injuri otak anoksik,
ketidakstabilan jantung, disfungsi metabolic dan otonom, serta kerusakan neuron
langsung. Meskipun klinis pada status epileptikus terutama ditentukan oleh
etiologi yang mendasari kejang, namun aktivitas kejang yang persisten/menetap
dikaitkan dengan yang buruk. Pada epilepsi benigna, status epileptikus yang
refrakter dapat menjadi fatal atau menyebabkan injuri sel saraf dan kerusakan
otak kronik. 2,5
26