referat anak

42
BAB I PENDAHULUAN Status epileptikus (SE) adalah masalah emergensi neurologi yang sering dijumpai pada pediatric. Keadaan ini berhubungan dengan demam berkepanjangan atau kejang berulang tanpa ada keadaan sadar diantara kejang. Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit hingga 5 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. 1,2 Status epileptikus dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu dengan kejang (convulsion) dan tanpa kejang (non convulsion). Status epileptikus kejang demam merupakan keadaan emergensi yang penting dalam dunia neurologi dan kebanyakan kejang ini terjadi dalam bentuk kejang demam kompleks. Morbiditas dan mortalitas masih rendah, tetapi konsekuensi jangka panjang status epileptikus serta faktor resiko prediktif epilepsi berikutnya belum dapat dibuat hingga saat ini. 1

Upload: muhammad-rizki-ramadana

Post on 03-May-2017

237 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Status epileptikus (SE) adalah masalah emergensi neurologi yang sering

dijumpai pada pediatric. Keadaan ini berhubungan dengan demam

berkepanjangan atau kejang berulang tanpa ada keadaan sadar diantara kejang.

Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih

rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau

aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit hingga 5 menit. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau

seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus

dipertimbangkan sebagai status epileptikus.1,2

Status epileptikus dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu dengan kejang

(convulsion) dan tanpa kejang (non convulsion). Status epileptikus kejang demam

merupakan keadaan emergensi yang penting dalam dunia neurologi dan

kebanyakan kejang ini terjadi dalam bentuk kejang demam kompleks. Morbiditas

dan mortalitas masih rendah, tetapi konsekuensi jangka panjang status epileptikus

serta faktor resiko prediktif epilepsi berikutnya belum dapat dibuat hingga saat

ini. Elektroensefalogram tidak diindikasikan dalam evaluasi rutin kejang demam

sederhana, tetapi peranan EEG dalam evaluasi kejang demam kompleks pada

anak-anak, termasuk status epileptikus merupakan hal yang dapat

dipertimbangkan. Tipe Status epileptikus secara klinis dibedakan menjadi status

epileptikus dengan kejang/ generalized convulsive status epilepticus (GSCE) dan

status epileptikus tanpa kejang/non konvulsi (NCSE). Pasien dengan generalized

convulsive SE (GCSE) mengalami kesadaran gradual setelah kejang berhenti.3,13

Status epilepsi non konvulsi adalah serangan epilepsi yang berlangsung

lebih dari 30 menit ditandai dengan adanya aktifitas bangkitan yang kontinu atau

berulang pada perubahan Elektro Encephalogram (EEG) yang menyebabkan

berbagai gejala klinik mencakup gangguan kesadaran, gangguan persepsi dengan

1

tingkah laku yang abnormal. Menurut The Epilepsy Research Foundation status

epilepsy non konvulsi adalah suatu rangkaian kondisi dimana ditemukan aktifitas

bangkitan yang memanjang yang menyebabkan gejala klinis non konvulsi.

Pada keadaan ini ditemukan berbagai gejala terutama perubahan status mental

yang lama diakibatkan aktifitas bangkitan yang sedang berlangsung. Manifestasi

klinis dapat bervariasi dari bingung sampai gangguan tingkah laku aneh dan

psikosis serta koma. Status epilepsi nonkonvulsi tidak terdiagnosa, seringkali

dianggap sebagai gangguan psikiatri.4

Kejang merupakan kedaruratan medis yang cukup sering ditemui, yaitu

sekitar 1-2% kunjungan ke unit gawat darurat dan 6%-nya adalah status

epileptikus. Namun, obat yang optimal dan rute pemberian untuk terapi status

epileptikus masih terus dikembangkan. Setiap tahun, sebanyak 120.000- 200.000

orang mengalami pemanjangan kejang atau kejang yang kambuh dengan cepat.

Diperlukan strategi pengobatan yang tepat dalam mencegah status epileptikus

yang berkepanjanngan dalam mencegah morbiditas dan mortalitas pada anak.1,5

2

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Defenisi Status Epileptikus

Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang

ditandai oleh gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan

oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Lepas muatan listrik

tersebut terjadi karena terganggunya fungsi neuron oleh gangguan fisiologis,

biokimia, anatomis, atau gabungan faktor-faktor tersebut. Setiap kelainan yang

mengganggu fungsi otak baik kelainan lokal maupun umum, dapat

mengakibatkan terjadinya bangkitan epilepsi .6

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara

intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik,

sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang

berlebihan di neuron otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih

dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan

kesadaran. Status epileptikus juga didefenisikan sebagai kejang menetap atau

episode kejang berulang tanpa pemulihan kesadaran di antara bangkitan kejang

yang berlangsung lebih dari 5 menit.2,7,12

2.2 Jenis Status Epileptikus

Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang

mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama

kejang berlangsung makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana

kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah

terjadinya status epileptikus. Penanganan agresif dalam mengatasi status

epileptikus secara cepat khususnya dilakukan dalam postoperative neurosurgical

dan pembedahan kardiak pada pasien atau yang beresiko mengalami peningkatan

tekanan intrakranial (jejas otak traumatik, tumor otak, dan infeksi sistem saraf

3

pusat), anak dengan hyperthermia malignan, dan anak dengan kegagalan organ

multisistem.1,2

Status Epileptikus sering terjadi pada anak yang dirawat karena

hipotermia setelah gagal jantung dan ini merupakan faktor resiko yang buruk

dalam outcome penyakit ini pada masa dewasa. Penanganan awal dan pengobatan

agresif harus sangat diperhatikan pada anak-anak dengan resiko ini. Status

Epileptikus dapat dikelompokkan berdasarkan etiologi, tipe kejang atau waktu

kejang. Perhatian dalam stadium waktu status epileptikus serta pengukuran

penatalaksanaan status epileptikus tidak boleh ditunda. Pada 5 menit awal kejang,

periode ini disebut sebagai stadium prodromal atau incipient, ini masih belum

diketahui apakah kejang akan sembuh sendiri atau akan berlanjut menjadi status

epileptikus. Status epileptikus yang menetap dapat dibagi menjadi status

epileptikus awal (5-30 menit), Status Epileptikus menetap (> 30 menit) atau

Status Epileptikus refraktori (RSE) (kejang yang bertahan atau terus terjadi

walaupun telah diberikan pengobatan dosis adekuat pengobatan antikonvulsi

sebanyak 2 atau 3 kali).2

Tipe Status epileptikus secara klinis dibedakan menjadi status epileptikus

dengan kejang/ generalized convulsive status epilepticus (GSCE) dan status

epileptikus tanpa kejang/non konvulsi (NCSE), pasien dengan generalized

convulsive SE (GCSE) mengalami kesadaran gradual setelah kejang berhenti.

Jika tingkat kesadaran tidak membaik dalam 20 menit setelah kejang berhenti

atau status mental manjadi abnormal 30 hingga 60 menit setelah konvulsi

berhenti, maka dipertimbangkan pasien mengalami NCSE.12

Generalized convulsive status epilepticus adalah yang paling berbahaya

dan dapat mengancam kehidupan pasien dan merupakan tantangan bagi dokter

anak. Insidensi kejadian kondisi ini terjadi lebih tinggi pada awal kehidupan.

Beberapa anak mengalami abnormalitas neurologis sebelumnya atau memiliki

riwayat epilepsy sebelumnya. Anak yang mengalami status epileptikus akan

mengalami gejala sisa. 13

4

Bila seseorang anak diduga menderita status epilepsi konvulsi dan non

konvulsi maka EEG harus segera dilakukan. Rekaman EEG akan memudahkan

dokter untuk mengkonfirmasi atau mengeklusi diagnosis status epilepsi

nonkonvulsi. Idealnya EEG dilakukan sebelum anak mendapat obat anti epilepsi.

EEG juga berguna untuk memonitor respon pengobatan. Status epilepsi non

konvulsi dibedakan dengan status epilepsi konvulsi karena tidak ditemukan atau

sedikit ditemukannya komponen motorik.Tanda dominan dari status epilepsi non

konvulsi adalah perubahan status mental yang berhubungan dengan perubahan

pada EEG.4,6

2.3 Etiologi dan Komplikasi Status epileptikus

Etiologi yang paling sering menyebabkan Status epileptikus yaitu:

1. Kejang demam

2. Epilepsy +/- dengan penyakit akut

3. Gangguan metabolic, hipoglikemia dan keracunan

4. Meningitis/ensefalitis

5. Trauma’hipoksia

Komplikasi yang paling sering terjadi pada status epileptikus yaitu:

1. Obstruksi jalan nafas

2. Aritmia jantung

3. Aspirasi

4. Hipoksia

5. Hipertensi

6. Depresi respirasi

7. Hipertermia

8. Edema pulmoner

9. DIC (Dissaminated intravascular coagulation)

5

2.4 Patofisiologi Status epileptikus

Energi yang didapat dari metabolisme diperlukan untuk mempertahankan

kelangsungan hidup sel atau organ otak. Energi tersebut diperoleh dari oksidasi

glukosa menjadi CO2 dan H2O. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri

dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam

keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+

dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit-elektrolit lain kecuali ion Cl-,

akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,

sedangkan diluar sel neuron keadaan sebaliknya. Perbedaan jenis dan konsentrasi

ion didalam dan diluar sel mengakibatkan perbedaan potensial yang disebut

potensial membran dari sel neuron. Konsentrasi ion K+ dan Na + intrasel dan

ekstrasel selalu dipertahankan tetap oleh Na+- K+ATPase.8,9,10

Perubahan keseimbangan potensial membran bisa terjadi karena adanya: 8,9,10

1. perubahan konsentrasi ion intraseluler dan ekstraseluler.

2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau

aliran listrik dari sekitarnya.

3. Perubahan fisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau kelainan

genetik.

Potensial aksi adalah aktivitas listrik mendadak sel neuron. Potensial aksi

terjadi akibat perubahan potensial membran. Perubahan permeabilitas membrane

sel mengakibatkan terjadi difusi ion melewati membran sel sehingga terjadi

perubahan konsentrasi ion intra dan ekstra sel. Adanya potensial aksi

berpengaruh terhadap pintu-voltase kanal ion (voltage-gated ion channel) pada

membran sel. Ion-ion natrium sekarang dapat mengadakan difusi masuk ke dalam

sel neuron atau akson. Masuknya ion-ion natrium yang bermuatan listrik positif

ke dalam sel neuron atau akson menyebabkan membran tersebut menjadi positif

di dalam dan negatif di luar, sehingga dengan demikian terjadi suatu keadaan

yang sebaliknya dari keadaan istirahat dan peristiwa ini disebut depolarisasi. 8,9,10

6

Depolarisasi yang berlebihan ini dapat disebabkan karena gangguan

produksi energi yang diperlukan untuk mempertahankan potensial membran

(misalnya kondisi hipoksemia, iskemia, hipoglikemia), ketidakseimbangan

neurotransmiter eksitator dan inhibitor, serta interaksi antara kalsium dan

magnesium dengan membran saraf yang menyebabkan hambatan pergerakan

natrium sehingga terjadi peningkatan ion natrium yang masuk ke dalam sel dan

depolarisasi. Potensial aksi yang terjadi akan dihantarkan sampai ke ujung akson.

Adanya potensial aksi pada ujung akson mengakibatkan visikel di ujung akson

pecah dan terlepas neurotrasmiter keluar ke celah sinaps. Neurotrasmiter di celah

sinaps ditangkap oleh reseptor yang sesuai, terletak pada membran sel post

sinapsis. 8,9,10

Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan

disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan

dari akson terminal melalui eksositosis dan juga direabsorbsi untuk daur ulang.

Neurotransmiter merupakan cara komunikasi antar neuron. Setiap neuron

melepaskan satu transmiter. Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan

permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih atau kurang dapat

menyalurkan impuls, tergantung dari jenis neurotransmiter tersebut.

Neurotransmiter di dalam susunan saraf pusat meliputi monoamin (noradrenalin,

dopamin, dan serotonin), asetilkolin, γ-aminobutyric acid (GABA), neuropeptida

(vasipresin, oksitosin), dan berbagai ”releasing factors” yang dikeluarkan oleh

hipotalamus, enkefalin, endorfin, dan zat P. Pada umumnya prostaglandin tidak

dimasukkan kelompok neurotransmiter tetapi dipandang sebagai mediator

sinaptik. Berdasarkan fungsinya dibagi 2, yaitu eksitator (asam glutamat,

asetilkolin, serotonin) dan inhibitor (GABA, glisin). Pengaturan fungsi

neurotransmiter berperan penting dalam menimbulkan kejang dan pencegahan

bangkitan kejang. Asam glutamat merupakan neurotransmiter eksitator utama

dalam otak. 8,9,10

Dalam sistem saraf pusat terdapat neurotransmiter yang bersifat eksitasi

dan inhibisi. Neurotransmiter eksitasi utama di otak adalah glutamat, sedangkan

7

neurotransmiter inhibisi utama adalah gamma aminobutyric acid (GABA). Dalam

keadaan normal terjadi keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sehingga

potensial membran dipertahankan sebesar 70 mV. Pada keadaan dimana eksitasi

meningkat, inhibisi menurun, atau terjadi keduanya, terjadi depolarisasi

(potensial membran menjadi menjadi lebih positif). Jika potensial membran

mencapai ambang tertentu, terjadilah lepas muatan listrik. Dalam sistem eksitasi,

glutamat berikatan dengan beberapa reseptor di postsinaps yaitu reseptor NMDA

(NmethylDaspartate) dan non NMDA.6

Reseptor NMDA memiliki peranan yang penting dalam proses belajar dan

daya ingat. Stimulasi berlebihan reseptor NMDA menyebabkan masuknya Ca2+

dalam jumlah besar. Ca2+ tersebut akan menyebabkan destruksi enzim intrasel

yaitu endonuklease dan protease, yang berakibat kerusakan dan kematian sel

tersebut. Bangkitan epilepsi yang secara klinis dapat dideteksi, terjadi akibat

hipereksitasi dan hipersinkronisasi neuronneuron yang mengalami lepas muatan

listrik. Lepas muatan listrik yang terjadi pada neuron normal berlangsung sekali

saja. Pada penderita epilepsi terjadi hipereksitasi neuron pada fokus epileptik

sehingga lepas muatan listrik terjadi berkalikali. Terjadi pula hipersinkronisasi

yaitu sel-sel yang berdekatan serentak ikut mengalami lepas muatan listrik

melalui manytomany relationship. 6

Mayoritas episode refraktorik pada status epileptikus dapat terjadi tanpa

adanya riwayat epilepsy ebelumnya, dan bisanya disebabkan penyebab structural

atau patologi toksik metabolic. Anoksia adalah gejala yang mirip dengan keadaan

iskemia hipoksia ensefalopati dan infeksi adalah penyebab utama pada keadaan

ini. Ensefalitis merupakan faktor resiko terjadinya epilepsy malignan. Pada

kebanyakan kasus baru status epileptikus refraktorik biasanya disebabkan demam

karena infeksi atau inflamasi. Mekanisme imun yang merupakan faktor penting

pada status epileptikus refraktorik adalah sitokin, IL-1beta, IL-6, dan TNF-alpha

dengan peningkatan mekanisme eksitatorik. Kemotaksin dan molekula dhesi

dapat menyerang blood-brain barrier yang akan meningkatkan permeabilitas ion

dan protein dan memudahkan perpindahan sel inflamasi sehingga semakin

meningkatkan aktivitas epilepsy. Status epileptikus refraktorik menghasilkan

8

antibody anti-glutamic acid decarboxylase yang bertindak secara klinis dalam

menggambarkan bagimana reaksi autoimun system imun adaptif dapat

menghasilkan aktivitas pengobatan kejang refraktorik. 15

2.5 Fase Status epileptikus

Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu: 11

1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Pelepasan adrenalin dan noradrenalin

Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme

Hipertensi, hiperpireksia

Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat

2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak

Depresi pernafasan

Disritmia jantung, hipotensi

Hipoglikemia, hiponatremia

Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

 

Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia,

hipoksemia, trauma, epilepsi, demam, dan tidak diketahui (30%)

2.6 Penanganan Sistemik

Perubahan sistemik yang terjadi selama status epileptikus dapat

diperburuk jika terdapat kelainan dasar pada otak atau lesi pada otak dalam gejala

akut status epileptikus. Dalam awal status epileptikus, terjadi peningkatan glukoa

otak dan oksigen dan juga terjadi penghantaran glukosa otak dan oksigen karena

peningkatan tekanan darah dan perfusi cerebral. Dalam status epileptikus

berikutnya, tekanan darah akan berkurang, terkadang mencapai tingkat hipotensi,

dan akan terjadi kompensasi respirasi. Perubahan ini menyebabkan hipoksia otak,

hypoglycemia dan asidosis. Hyperthermia dan rhabdomyolysis juga dapat terjadi.

Selanjutnya, kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan jika cerebral

9

autoregulation telah diganggu akibat lesi dasar atau oleh status epileptikus,

mekanisme autoregulasi dapat menyebabkan kompensasi berikutnya. SE sangat

jarang berkaitan dengan ictal bradycardia, stress cardiomyopathy, neurogenic

pulmonary edema, rhabdomyolysis dan gagal ginjal atau fraktur tulang.2

2.7 Pemeriksaan Dan Diagnosis 11

Anamnesis:

o Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)

o Tingkat kesadaran diantara kejang

o Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga

o Panas, trauma kepala

o Riwayat persalinan, tumbuh kembang

o Penyakit yang sedang diderita dan RPD.

Pemeriksaan fisik:

Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi:

o       Tingkat kesadaran

o       Pupil

o       Refleks fisiologis dan patologi

o       Ubun-ubun besar

o       Tanda-tanda perdarahan

o       Lateralisasi.

2.8 Kejang demam dan Status Epileptikus

Ada dua definisi kerja yang telah dipublikasikan tentang kejang demam.

Definisi kejang demam menurut National Institutes of Health Consensus

Conference adalah kejadian kejang pada bayi dan anak, yang biasanya terjadi

antara umur 6 bulan sampai 5 tahun, berkaitan dengan demam tanpa adanya

bukti-bukti infeksi atau sebab yang jelas di intrakranial. Kejang yang disertai

demam pada anak yang sebelumnya menderita kejang tanpa demam atau epilepsi

tidak termasuk dalam kategori ini. Sedangkan definisi menurut International

League Against Epilepsy Commision on Epidemiology and Prognosis adalah

10

kejang yang terjadi pada anak-anak setelah umur 1 bulan, berkaitan dengan

demam dan penyakit yang tidak disebabkan karena infeksi pada susunan saraf

pusat, gangguan metabolik dan elektrolit, epilepsi atau kejang tanpa provokasi

sebelumnya. 10,16

Kejang demam kebanyakan disertai infeksi virus dibandingkan bakteri,

umumnya terjadi pada 24 jam pertama sakit dan berhubungan dengan infeksi

saluran nafas akut, seperti faringitis dan otitis media, pneumonia, infeksi saluran

kemih, serta gangguan gastroenteritis. Kejang demam dikelompokkan menjadi

dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Yang

termasuk kejang demam sederhana (simpleks) apabila: 10,16,17

1. Kejang bersifat umum

2. Demam pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun

3. Lama bangkitan kejang berlangsung kurang dari 15 menit

4. Dalam waktu 24 jam atau selama periode demam tidak ada bangkitan

kejang berulang

5. Kejang demam tidak disebabkan oleh meningitis, ensefalitis, atau

penyakit lainnya yang mempengaruhi otak

Sedangkan yang termasuk kejang demam kompleks apabila: 10,16

1. Lama bangkitan kejang berlangsung lebih dari 15 menit

2. Manifestasi kejang bersifat fokal

3. Didapatkan bangkitan kejang berulang dalam kurun waktu 24 jam

4. Didapatkan abnormalitas status neurologi

5. Didapatkan riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudaranya

Sebagian besar kejang demam (63%) berupa kejang demam sederhana

dan 35% berupa kejang demam kompleks. 10,16

Status epileptikus (SE) berhubungan dengan demam berkepanjangan atau

kejang berulang tanpa ada keadaan sadar diantara kejang. Status epileptikus

dipertimbangkan bila terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya

pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung

11

lebih dari 30 menit hingga 5 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika

seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali

selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.1,2

2.8.1 Patofisiologi Kejang demam

Asam glutamat dapat berperan sebagai reseptor ionotropik dan

metabotropik. Rangsangan asam glutamat terespon oleh reseptor

ionotropik (NMDA, AMPA, Kainate) mengakibatkan pintu-voltase kanal

ion Na+ dan Ca2+ terbuka sehingga mengakibatkan ion Na+ dan Ca2+

influx, hal ini mengakibatkan depolarisasi post sinapsis. Perubahan

potensial membran tersebut apabila melewati nilai ambang letup akan

mengakibatkan potensial aksi di neuron post sinapsis. Pengarug asam

glutamat yang terespon oleh reseptor metabotropik mengaktifkan

fosfolipase C di plasma membran, sehingga terjadi pemecahan fosfatidil

inositol difosfat (PIP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diacyl glyserol.

Inositol trifosfat akan meenyebabkan mobilisasi ion Ca2+ didalam

retikulum endoplasma keluar ke plasma intrasel. Rangsangan pada sel

neuron post sinapsis dapat mengalami sumasi, fasilitasi, oklusi dan

reverberating. GABA merupakan neurotransmiter inhibitor yang

mengaktifkan reseptor GABA A dan GABA-B sehingga permeabilitas

membran sel terhadap ion Cl- dan K+ meningkat. 10

Peningkatan permeabilitas ion Cl- dan K+ mengakibatkan

hiperpolarisasi post sinapsis. Keadaan hiperpolarisasi mengakibatkan

hambatan terhadap timbulnya potensial aksi di post sinapsis. Apabila

neurotransmiter eksitator lebih dominan daripada inhibitor maka akan

terjadi depolarisasi post sinapsis. Adanya peristiwa sumasi dan fasilitasi

mengakibatkan keadaan depolarisasi diperbesar dan apabila mencapai

nilai ambang letup akan terjadi potensial aksi pada neuron post sinapsis.

Apabila potensial aksi meluas dan terjadi sinkronisasi akan menimbulkan

bangkitan kejang demam. 10

12

2.8.2 Pemeriksaan EEG pada Kejang demam

Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak

yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal

diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk

menyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau

gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang

menderita kejang demam.18

2.8.3 Pengobatan Fase Akut

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga

agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan

untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi

dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian

oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan

kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat

diturunkan dengan kompres air hangat. Dosis asetaminofen yang digunakan berkisar 10 –15 mg/kg/kali  diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3 - 4 kali sehari.18

2.8.4 Mencari dan Mengobati Penyebab

Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain,

seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan

serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari

2 tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok

umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontra

indikasinya.1-3 Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk

mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan

elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak

13

diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau

pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal.18

2.9 Morbiditas Status Epileptikus

Status epileptikus dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi

dan berkontribusi terhadap 55.000 kematian setiap tahun di US. Komplikasi

status epileptikus yang sering meliputi aspirasi, injuri otak anoksik,

ketidakstabilan jantung, disfungsi metabolic dan otonom, serta kerusakan neuron

langsung. Meskipun klinis pada status epileptikus terutama ditentukan oleh

etiologi yang mendasari kejang, namun aktivitas kejang yang persisten/menetap

dikaitkan dengan yang buruk. Pada epilepsi benigna, status epileptikus yang

refrakter dapat menjadi fatal atau menyebabkan injuri sel saraf dan kerusakan

otak kronik. 2,5

Studi eksperimental status epileptikus pada hewan coba menunjukkan

bahwa kehilangan sel saraf meningkat dengan bertambahnya durasi kejang.

Model status eksperimental juga menunjukkan bahwa efektivitas obat

antikonvulsan/ antikejang untuk menghentikan kejang dengan cepat menurun

seiring waktu antara mulainya kejang dengan pemberian obat. Jika kejang tidak

diatasi segera, diperlukan peningkatan dosis untuk mengatasi kejang, dan kejang

akhirnya menjadi sepenuhnya refrakter terhadap terapi antikejang.5

2.10 Penanganan Status epileptikus

Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang

mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama

kejang berlangsung makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana

kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah

terjadinya status epileptikus. 7

14

Prinsip penatalaksanaan penderita dengan status epileptikus adalah

sebagai berikut:11,14

1. Tindakan suportif.

Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita , yaitu

ABCDE:

Airway:

Bebaskan jalan nafas, tempatkan anak dalam posisi recovery, jika

jalan nafas terganggu lakukan maneuver untuk membebaskan jalan

nafas. Jika tidak ada perbaikan, pertimbangkan untuk intubasi

Breathing:

Pemberian pernafasan buatan/bantuan nafas, perhatikan apakah ada

distress pernafasan, laju pernafasan, dan pemeriksaan fisik paru.

Berikan oksigen aliran tinggi dengan menggunakan face mask bila

pernafasan terganggu.

Circulation:

Nilai laju jantung, tekanan darah, refill time, pemeriksaan

kardiovaskular. Periksa glukoas darah, elektrolit, kultur darah bila

pasien dicurigai mengalami meningitis. Bila pasien hipoglikemia

berikan dekstrose 10% 5 ml/kg (jika hipoglikemia adalah kondisi

baru, maka periksa dulu glukosadarah sebelum memberikan

dekstrosa). Bila ada tanda-tana syok berikan kristaloid 20 ml/kg. Bila

dicurigai meningitis erikan cetriakson, berikan asiklovir intravena jika

dicurigai ensefalitis). Bila ada tanda-tanda peningkatakn tekanan

intracranial pertimbangkan pemberian mannitol 0.25 g/kg.

Disability

Nilai tingkat kesadaran (AVPU), ukuran dan reaksi pupil, posisi anak

(deserebrasi atau dekortikasi menandakan peningkatan TIK, periksa

tanda-tanda meningitis)

15

Exposure

Periksa suhu (adanya demam menandakan adanya kejang demam,

meningoensefalitis atau keracunan), perhatikan apakah ada tanda-tanda

ruam purpura dan petekie serta trauma.

2. Penilaian sekunder

Setelah resusitasi ABC, penatalaksanaan hipoglikemia, prioritas

selanjutnya adalah menghentikan kejang. Lakukan anamnesis cepat:

Durasi kejang

Pengobatan yang sudah diberikan

Riwayat epilepsy

Adanya kejang demam baru-baru ini

Trauma baru-baru ini

Keracunan

Makanan yang dimakan terakhir

Penyakit yang telah ada sebelumnya

3. Hentikan kejang secepatnya.

Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai

berikut (harus tercapai dalam 30 menit pertama):

Pilihan I: Golongan Benzodiazepin (Lorazepam, Diazepam)

Pilihan II: Phenytoin

Pilihan III: Phenobarbital

4. Pemberian obat anti kejang lanjutan

5. Cari penyebab status epileptikus

6. Penatalaksanaan penyakit dasar

7. Mengatasi penyulit

8. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi dengan:

Midazolam, atau

Barbiturat (thiopental, phenobarbital, pentobarbital) atau

Inhalasi dengan bahan isoflurane

16

Penghentian kejang: 7

0 - 5 menit:

1. Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik

2. Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan,

berikan oksigen

3. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah,

pemeriksaan umum dan neurologi secara cepat

4. Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda

infeksi

5 – 10 menit:

1. Pemasangan akses intravena

2. Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit

3. Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam

rectal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10

mg). Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali

setelah 5 – 10 menit..

4. Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.

10 – 15 menit

1. Cenderung menjadi status konvulsivus

2. Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl

0,9%

3. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai

maksimum dosis 30 mg/kgbb. 30 menit

4. Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10

mg/kg dengan interval 10 – 15 menit.

5. Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,

elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi

tanda tanda depresi pernafasan.

17

6. Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit

perawatan intensif.

Adapun Bagan Penatalaksanaan Kejang Demam dapat dilihat pada Gambar 2.1 di

bawah ini.12

18

2.10.1 Penatalaksanaan Benzodiazepin awal

Benzodiazepine telah menjadi terapi lini pertama untuk status epileptikus

untuk 30 tahun terakhir, tetapi obat yang optimal dan rute pemberian terbaik

untuk mengontrol kejang di luar rumah sakit atau yang tanpa akses intravena

masih belum jelas. Karena akses IV sebelum pemberian dapat memperlambat

terapi status epileptikus, menempatkan pasien pada risiko, bahkan meskipun

dikerjakan di unit gawat darurat.5

Lorazepam merupakan terapi inisial standar klinis untuk status epileptikus

di unit gawat darurat. Namun lorazepam mempunyai shelf life yang singkat jika

tidak disimpan dalam lemari es, sehingga membatasi kepraktisan penggunaannya

pada seting pra-rumah sakit. Lorazepam juga hanya diberikan secara IV,

sedangkan akses IV sulit pada pasien kejang, sehingga terapi lorazepam tidak

praktis untuk pasien yang tidak mempunyai akses IV. Diazepam dapat diberikan

baik secara intravena atau rectal tetapi kurang efektif dan dikaitkan dengan risiko

depresi pernapasan dan pemanjangan sedasi. 5

Dalam kepustakaan yang ditulis oleh Abend et al (2010) menyatakan

bahwa jika tidak tersedia akses intravena (IV), status epileptikus sangat efektif

diobati dengan penggunaan midazolam (MDZ) intranasal (0.2 mg/kg),

midazolam buccal (0.2 mg/kg), atau midazolam intramuscular (0.2 mg/kg)

kemudian pasien dapat diberikan diazepam IV (0.3 mg/kg). Sehingga sangat

direkomendasikan penggunaan midazolam intranasal (0.2 mg/kg) dan midazolam

buccal (0.5 m/kg) yang sifatnya lebih efektif dibandingkan diazepam rectal (0.2-

0.5 mg/kg). Akan tetapi, jika tersedia akses intravena, infus diazepam harus

diberikan terlebih dahulu (0.2-0.3 mg/kg) atau pemberian infus lorazepam (LZP)

(0.1 mg/kg).1

Midazolam, meskipun tidak secara formal diindikasikan untuk terapi

kejang, dapat diberikan secara IV, IM, intranasal, atau bukal. Midazolam dengan

cepat diabsorpsi setelah injeksi IM, tidak memerlukan lemari es, dan lebih murah

dibanding lorazepam. Pemberian midazolam non-IV untuk terapi status

epileptikus merupakan ide yang menarik. Suatu Cochrane telah mengeksplorasi

terapi pada pasien anak dengan status epileptikus. Studi meta-analisis ini

19

membandingkan penggunaan non-IV dengan dalam terapi kejang. Tujuan

spesifiknya adalah menentukan efi kasi, kecepatan, dan keamanan penghentian

kejang dengan non-IV, dibandingkan dengan IV atau non-IV, sebagai terapi

kedaruratan inisial pada pasien anak dan dewasa dengan status epileptikus. Studi

meta-analisis ini dilakukan terhadap studi acak dengan kontrol yang

dipublikasikan dari tahun 1950 hingga 2009 yang membandingkan non-IV

dengan dengan berbagai rute pemberian untuk terapi awal status epileptikus pada

pasien unit gawat darurat. Sebanyak 6 studi yang melibatkan 774 pasien (usia

baru lahir hingga 22 tahun) memenuhi kriteria inklusi. Tiga studi

membandingkan bukal (0,5 mg/kg atau 10 mg) dengan rektal (0,5 mg/kg atau 10

mg), dan 3 studi membandingkan IM atau intranasal (0,2 mg/kg) dengan IV (0,2

atau 0,3 mg/kg). 5

Midazolam lebih unggul dibanding diazepam untuk menghentikan kejang.

Midazolam IM atau intranasal seefektif diazepam IV, sedangkan midazolam

bukal lebih unggul dibanding diazepam rektal dalam pencapaian kontrol kejang.

Waktu untuk penghentian kejang sama antara kelompok midazolam dan

diazepam pada 3 studi. Namun pemasangan akses IV dapat secara bermakna

memperlambat terapi status epileptikus. Sehingga midazolam bukal, IM, atau

intranasal merupakan alternatif yang efektif, aman, murah, dan mudah diberikan

khususnya untuk anak dengan kejang tanpa akses IV.5

20

2.10.2 Pengobatan Lini Kedua

Walaupun pengobatan awal menggunakan benzodiazepine efektif pada

sejumlah besar pasien, banyak kasus kejang yang membutuhkan pengobatan

lanjutan. Penelitian pada survey of pediatric emergency medicine physicians

melaporkan bahwa fenitoin (PHT) dipilih sebagai lini kedua pengobatan. 1,2

2.10.3 Pengobatan Lini kedua dan ketiga

Agen pengobatan lini ketiga lebih bervariasi dan meliputi phenobarbitone,

thiopentone, paraldehyde (hanya tersedia di beberapa negara) dan midazolam.

Dalam penelitian seri kasus saat ini telah mengungkapkan bahwa valproate

sodium dan Levetiracetam (LEV) berguna sebagai agen lini kedua atau lini

ketiga. Fenitoin dan Fosphenytoin (FOS) efektif dalam menghentikan SE awal.

Dalam penelitian Cohort yang meliputi 122 anak yang ditangani dengan protocol

status epileptikus menggunakan midazolam (0.1 mg/kg IV) dan Fenitoin (20

mg/kg) dilaporkan dapat menghentikan kejang sebanyak 89. Suatu penelitian

acak terkontrol pada 178 anak dengan status epileptikus melaporkan bahwa

kombinasi diazepam dan fenitoin mengehntikan status epileptikus sebanyak

100% dan ini sama dengan efikasi lorazepam (LZP).1

Fenobarbital (PB) biasanya digunakan sebagai lini pertama dalam

mengobati kejang pada neonatus dan status epileptikus dan dipertimbangkan

sebagai pengobatan lini ketiga atau keempat pada pediatric. Suatu penelitian

prospective, randomized, nonblinded pada 36 anak dengan status epileptikus

mengindikasikan bahwa monoterapi dengan fenobarbital mengehntikan kejang

pada 11 anak dan pada18 anak lebih cepat terminasi kejang apabila menggunakan

kombinasi diazepam dan fenitoin. Keterbatasan penggunaan fenobarbital

disevbabkan oleh efek desasi, depresi respirasi dan hipotensi sehingga akan lebih

baik apabila injeksi obat ini dipantau dengan menggunakan EKG.

Valproate Sodium/Valproic acid (VPA) merupakan spekturm luas

antikonvulsan dan telah dilaporkan keamaan dan keefektifannya dalam

menghentikan status epileptiku tanpa ada efek samping pengobatan. Penelitian

retrospective seri kasus pada 18 anak dengan status epileptikus melaporkan

21

bahwa dosis VPA (25 mg/kg) dapat menghentikan kejang sebanyak 100%, dalam

20 menit tanpa efek samping. Penelitian prospective, single-center, open-label

yang melibatkan 48 pasien (berusia < 5 tahun hingga 5-15 tahun) dengan status

epileptikus refraktorik terhadap diazepam dan phenobarbitone dan melaporkan

bahwa asam valproat IV (30 mg/kg) dapat mengehntikan kejang pada 87,5%

pasien dalam 1 jam tanpa ada kejang berulag dalam 12 jam berikutnya dan tidk

ditemukan efek samping pada satupun anak yang diobati. 2

Walaupun asam valproat diberikan secara lambat (< 20 mg/menit),

penelitian saat ini menunjukkan bahwa infus yang lebih cepat dapat digunakan

dengan aman. Penelitian prospective pada 18 anak melaporkan bahwa ketika

asam valproat diberikan secara intravena 1,5 hingga 11 mg/kg/menit, 1 pasien

akan mengalami sensasi seperti terbakar dengan infus tetapi tidak ada komplikasi

selanjutnya yang harus dikhawatirkan. Tidak ada komplikasi aritmia, bradikardia,

atau episode hipotensi pada pasien. Asam valproat tidak menyebabkan penurunan

tekanan darah dan jarang sekali dapat mengakibatkan trombositopenia atau

hepatotoksisitas pada anak. 2

Levetiracetam (LEV) adalah antikonvulsi sepktrum luas aman dan efektif

digunakan dalam mengobati status epileptikus dan kejang repetitive akut pada

anak. Pada pengobatan 16 anak dengan status epileptikus yang diberikan IV

LEV (50 mg/kg selama 15 menit) dalam mengatasi kejang mengalami terminasi

kejang dalam 25 hingga 30 menit. LEV juga efektif dalam mengatasi pasien

dengan kejang refraktorik terhadap Fosphenytoin (FOS). Tidak ditemukan efek

samping pada pasien. Penelitian selanjutnya pada 10 anak yang mendapatkan

pengobatan LEV IV dalam mengatasi non-convulsive status epilepticus (NCSE),

atau kejang akut berulang menggunakan dosis awal 6,5 hingga 31 mg/kg dan

dilaporkan terminasi NCSE pada pasien. Tidak ada pasien yang mengalami

hipotensi, hipertensi, bradikardia atau takikardi, ruam kemerahan dan depresi

respirasi. LEV clearance tergantung pada fungsi ginjal dan dosis pemeliharaan

direkomendasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal. LEV secara total

menghindari metabolisme hepatic yang bermanfaat pada psien dengan sakit

kritits degan disfungsi hati atau penyakit metabolic serta pasien dengan resiko

22

interaksi obat. Jika dibandingkan dengan antikonvulsi IV lainnya, LEV memiliki

beberapa efek samping minimal yaitu efek sedasi yang rendah, depresi

kardiorespirasi, atau koagulopati 2

Tabel 2.1 Algoritme Manajemen Status Epileptikus 2

Stat

us e

pile

psy

men

etap

Stat

us e

pile

ptik

us re

frak

torik

Penanganan

Jaga

sela

lu ja

lan

nafa

s, pe

rnaf

asan

, suh

u, h

emod

inam

ik d

an ti

ngka

t glu

kosa

Pasien berada diluar RS atau tidak ada tersedia jalur intravena

Midazolam buccal (0,2 mg/kg), intranasal midazolam (0,2 mg/kg) atau diazepam rectal (0,3 mg/kg)

Ruang emergensiLorazepam 0,1 mg/kg IV (maksimal 5 mg) selama 1 menitPantau selama 5 menit apakah kejang berhenti atau tidak

Berikan oksigen. Stabilisasi jalan nafas dan hemodinamik. Lakukan akses IV. Lakukan pemeriksaan glukosaMulai pantau EKG. Hindari terjadinya hipotermia, hipoglikemia dan hiperglikemiaJika terjadi hipoglikemia, berikan bolus 2 ml/kg 50% glukosa. Pertimbangkan tiamin 100 mg IV pertamaUlangi pemberian benzodiazepine jika pasien tidak mendapatkan 2 dosis benzodiazepine (pertimbangkan dosis pre hospital) Pertimbangkan antikonvulsan lini kedua

Fosfofenitoin 25-30 mg PE/kg IV sebanyak 3 mg PE/kg/menit (maksimal 150 PE/menit) (PE=fenitoin ekuivalen)Fenitoin 25-30 mg/kg IV pada 1 mg/kg/menit (maksimal 50 mg/menit)

Jika < 2 tahun, pertimbangkan pemberian pyridoxine 100 mg IVPertimbangkan uji:

Glukosa, panel dasar metabolic, magnesiu, posfat pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, uji koagulasi, toksikologi, kultur, pemeriksaan CT Scan

23

\’

Jika kejang berlnajut 10 menit setelah infus fosfofenitoin/fenitoin kemudian pasien mengalami status epileptikus refraktorik pertimbangkan antikonvulsan mna<qaw2awe 9.l,m lini ketiga

Levatiracem 40 mg/kg IV sebnyak 5 mg/kg/menit

Sodium valproate 40 mg/kg sebanyak 5 mg/kg/menit

Fenobarbital 30 mg/kg IV sebanyak 2 mg/kg IV sebanyak 2 mg/kg/menit (maksimal 60 mg/menit)

Pant

au E

EG

Jika kejang berlanjut 5 menit setelah antikonvulsi lini ketiga, pertimbangkan pemberian antikonvulsi lini ketiga yang berbeda atau berikan inisiasi pengobatan frmakologi pada komaPertimbangkan pasien untuk masuk PICU. Persiapkan jalur jalan nafas, ventilasi mekanik, akses vena sentral dan pemantauan hemodinamik berkelanjutan melalui lini arterialSekali saja terminasi kejang maka dibutuhkan pemantauan EEG untuk menilai kejang non konvulsiPengobatan koma awal dengan midazolam 0,2 mg/kg bolus (maksimal 10 mg) selama 2 menit dan inisiasi infus 0,1 mg/kg/jam. Jika kejang bertahan 5 menit setelah bolus midazolam pertimbangkan pemberian midazolam tambahan bolus 0,2 mg/kg dan tingkatkan infus hingga 0,2 mg/kg/jam. Ulangi pemberian jika dibutuhkan Jika kejang tetap bertahan walalupun dosis midazolam maksimum (umumnya 2-3 mg/kg/jam) atau infus midazolam tidak ditoleransi, pertimbangkan pemberian pentobarbital (3-5 mg/kg bolus diikuti dengan infus dosis pemeliharaan 0,3-3 mg/kg/jam hingga 10 mg/kg/jam)Pilihan lainnya meliputi: isoflurane atau propofolPertimbangkan tambahan lainnya seperti topiramate, asam valproat, levetiracem, atau ketamineLanjutkan farmakologi koma selama 24 jam setelah kejang terakhir dengan tujuan EEG menekan demam.Lanjutkan pengobatan awal

24

Stat

us e

pile

ptik

us m

alig

nan

Kurangi midazolam sebanyak 0,05 mg/kg/jam setiap 3 jam dengan tinjauan EEG. Jika tidak terjadi kejang klinik atau dari EEG kemudian kurangi dosis midazolam pelahan-lahan hingga behentiLanjutkan pemeriksaan EEG hingga 24 jam setelah infus dicabut untuk mengevaluasi kejang elektrografik rekurenJika kejang klinik atau subklinik terjadi kemudian terjadi koma dengan midazolam selama 24 jam. Mulai pemberian kidazomal pada infus (sekitar 50/50) dan mempertimbangkan algoritme titrasi midazolam Tambahkan antikonvulsi tambahan (topiramate, levetiracetam, ketamin, fenobarbital dosis tinggi)Pemeriksaan tambahan (MRI atau magnetoencephalography) dan evaluasi pembedahan

25

BAB III

KESIMPULAN

Status epileptikus (SE) merupakan masalah neurologis emergensi dan

beberapa penelitian menunjukkan adanya intervens dini akan memperbaiki

respon terhadap outcome pengobatan. 1,2

Benzodiazepine telah menjadi terapi lini pertama untuk status epileptikus

untuk 30 tahun terakhir, tetapi obat yang optimal dan rute pemberian terbaik

untuk mengontrol kejang di luar rumah sakit atau yang tanpa akses intravena

masih belum jelas. Karena akses IV sebelum pemberian dapat memperlambat

terapi status epileptikus, menempatkan pasien pada risiko, bahkan meskipun

dikerjakan di unit gawat darurat. 1,2

Walaupun pengobatan awal menggunakan benzodiazepine efektif pada

sejumlah besar pasien, banyak kasus kejang yang membutuhkan pengobatan

lanjutan. Penelitian pada survey of pediatric emergency medicine physicians

melaporkan bahwa fenitoin (PHT) dipilih sebagai lini kedua pengobatan. Agen

pengobatan lini ketiga lebih bervariasi dan meliputi phenobarbitone, thiopentone,

paraldehyde (hanya tersedia di beberapa negara) dan midazolam. Dalam

penelitian seri kasus saat ini telah mengungkapkan bahwa valproate sodium dan

Levetiracetam (LEV) berguna sebagai agen lini kedua atau lini ketiga. 1,2

Status epileptikus dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi

dan berkontribusi terhadap 55.000 kematian setiap tahun di US. Komplikasi

status epileptikus yang sering meliputi aspirasi, injuri otak anoksik,

ketidakstabilan jantung, disfungsi metabolic dan otonom, serta kerusakan neuron

langsung. Meskipun klinis pada status epileptikus terutama ditentukan oleh

etiologi yang mendasari kejang, namun aktivitas kejang yang persisten/menetap

dikaitkan dengan yang buruk. Pada epilepsi benigna, status epileptikus yang

refrakter dapat menjadi fatal atau menyebabkan injuri sel saraf dan kerusakan

otak kronik. 2,5

26