refarat imunisasi stase anak rsu bahteramas smf pediatri

39
IMUNISASI MUSYAWARAH, ANDI MUH HIDAYAT A. Definisi Imunisasi merupakan upaya pencegahan yang telah berhasil menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) penyakit infeksi pada bayi dan anak. 1 Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu. Sedangkan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan, seperti vaksin, BCG, DPT, campak dan melalui mulut seperti vaksin polio. 1,2 Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak. 1,2 B. Epidemiologi Revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi kesehatan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu, pemantauan anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan menurunnya kesehatan anak pada umumnya, khususnya adanya gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahun yang lalu sudah reda

Upload: dayatpettasiri

Post on 01-Sep-2015

242 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Juli 2015

TRANSCRIPT

IMUNISASIMUSYAWARAH, ANDI MUH HIDAYAT

A. DefinisiImunisasi merupakan upaya pencegahan yang telah berhasil menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) penyakit infeksi pada bayi dan anak.1Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu. Sedangkan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan, seperti vaksin, BCG, DPT, campak dan melalui mulut seperti vaksin polio.1,2 Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.1,2

B. EpidemiologiRevitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi kesehatan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu, pemantauan anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan menurunnya kesehatan anak pada umumnya, khususnya adanya gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahun yang lalu sudah reda menyerang anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam tifoid, difteri, campak, demam dengue, dan lainnya.2,3Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan di masyarakatmasih memerlukan perhatian khusus yaitu,Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahunAngka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahunAngka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/ tahunAngka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir hidup/tahun 2Cakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%, HB2 84,4%, HB3 83,0%, TT ibu hamil: TT1 84% dan TT2 77% (WHO) Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunan yang bermakna. Apabila pada tahun 1971 sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk menurunkan AKB dari 142 menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurun waktu lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB dari 71 menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran hidup. 2,3Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan extended program on immunization (EPI) cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian, masih ada satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi. 4Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menurut SDKI tahun 2007 adalah 34 kematian per 1000 kelahiran hidup, dan kematian yang tertinggi terjadi pada periode neonatal. Angka kematian neonatal di Indonesia adalah 19 per 1000 kelahiran hidup, dan Tetanus Neonatorum (TN) merupakan salah satu penyebab utamanya, sehingga tetanus merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. 4Upaya sistematis untuk menghilangkan TN dimulai dengan imunisasi TT ibu hamil dan calon pengantin dengan melalui Program Pengembangan Imunisasi (EPI), yang diperkenalkan pada tahun 1979. Kemudian tahun 1984 imunisasi tetanus dalam bentuk vaksin DT dan vaksin TT mulai diberikan pada anak sekolah dasar sebagai bentuk strategi jangka panjang pengendalian TN. Tahun 1998 imunisasi pada anak sekolah dasar ini kemudian dikembangkan menjadi Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Sejak tahun 2011, dalam rangka penanggulangan kejadian luar biasa Difteri di Indonesia, maka vaksin TT untuk anak sekolah dasar diganti menjadi vaksin Td. 4

C. TujuanTujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteria. 1,2

D. Jenis Vaksin 1. Vaksin hidup yang dilemahkanDiproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.2Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.2,5a) Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien.b) Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.c) Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.d) Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.e) Antibodi dari sumber apapun (misalnya transplasental, transfusi) dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons (non response). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.f) Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.Vaksin hidup yang dilemahkan yang tersedia saat ini ; a) Berasal dari virus hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela, polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).b) Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.2,5,6 2. Vaksin yang tidak aktif (Vaksin Mati)a) Vaksin yang tidak aktif (vaksin mati) dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia (biasanya formalin).b) Vaksin yang tidak aktif (vaksin mati) tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen yang tidak aktif (vaksin mati) tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin yang tidak aktif (vaksin mati) dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.c) Vaksin yang tidak aktif (vaksin mati) selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin yang tidak aktif (vaksin mati) sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen yang tidak aktif (vaksin mati) menurun setelah beberapa waktu.d) Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan.5,6Vaksin Yang tidak aktif (vaksin mati) yang tersedia saat ini berasal dari :a) Seluruh sel virus yang yang tidak aktif (vaksin mati), contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.b) Seluruh bakteri yang yang tidak aktif (vaksin mati), contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.c) Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi.d) Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.e) Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus influenzae tipe b.f) Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus ).2,5,6E. Pemberian Imunisasi1. Tata cara pemberian imunisasiSebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut :a. Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi. b. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.c. Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.d. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.e. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.f. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.g. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.h. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila diperlukan.i. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin.j. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :1) Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.2) Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.3) Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.4) Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.2,72. PenyimpananAturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus disimpan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku.2,73. Arah Sudut Jarum pada Suntikan IntramuskularJarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900.2,74. Tempat Suntikan yang DianjurkanPaha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.2,7Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan adalah :a) Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.b) Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat.c) Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila disuntikkan di daerah gluteald) Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang menahun.e) Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.2,7

Gambar 1. Lokasi Penyuntikan secara Intramuscular pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)8

F. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi)Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program, reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum, reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi suntikan, dan reaksi vaksin.7,91. Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.2. Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin, tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan kemerehan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara benar.3. Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat berat, misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan kejadiannya hanya 1/1000.000 dosis.2,7,9Gejala klinis KIPI dapat dibagi menjadi gejala lokal dan sistemik serta reaksi lainnya, dapat timbul secara cepat maupun lambat. Pada umumnya, makin cepat KIPI terjadi makin berat gejalanya. Gejala klinis KIPI tertera pada Tabel 1. Standar keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat-obatan. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Akibatnya, toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat-obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi perlu dilakukan sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi paling sedikit selama 15 menit.7,9Pada anak, KIPI yang paling serius adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 1 dalam 50.000 dosis DPT (whole cell pertussis), tetapi yang benar-benar anafilaksis hanya 1-3 kasus di antara 1 juta dosis. Anak besar dan dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episod hipotonik hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.7,9

G. Jenis-jenis Imunisasi yang Wajib dan yang dianjurkan PemerintahTidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan tubuh sempurna. Di indonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi nasional).21. Vaksinasi Tuberkulosis (BCG)Vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiakkan berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier). Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak.1,2Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah. Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar).2,7Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan dan tidak di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.1,2,7Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau pada infeksi HIV).10KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul dalam waktu 1 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering. 2,102. Vaksinasi Hepatitis B Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2. 1,11

Nama DagangProdusenCara PemberianDosisInterval Pemberian

Engerix BGSKIMAnakDewasa10 mcg20 mcgBulan ke-0,1,6

EuvaxSanofi pasteurIMAnakDewasa10 mcg20 mcgBulan ke-0,1,6

HB VAX IIMSDIMAnakDewasa10 mcg20 mcgBulan ke-0,1,6

Hepavax GeneKalbuitechIMAnakDewasa10 mcg20 mcgBulan ke-0,1,6

Hepatitis BBio FarmaIMAnak10 mcg20 mcgBulan ke-0,1,6

Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian Vaksin Hepatitis B 2Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam (sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan jadwal berikut :1. Dosis pertama: sebelum umur 12 jam2. Dosis kedua: umur 1-2 bulan3. Dosis ketiga: umur 6 bulanApabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan. 2,7,11Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan).11Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.113. Vaksinasi DTPa) Vaksinasi DifteriJenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri.2Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan, melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).7,12Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).2Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk memberikan booster setiap 10 tahun.Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.12b) Vaksinasi PertusisBayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu, sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).2,7,12Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah (75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.12

c) Vaksinasi TetanusPada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT. DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun). Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan.2,12Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri, Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3 bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat usia prasekolah (5-6 tahun).2,12Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10 tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2,12Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.2,12Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.12

4. Vaksinasi PolioPada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan IPV (yang tidak aktif (vaksin mati) polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.2,13Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes OPV.13Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan ketika seseorang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.12,13OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.13

5. Imunisasi CampakVaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2 jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium).2,7Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :a) Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasib) Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulangc) Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulind) Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya 12 Kontraindikasi :Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap protein telur.a) Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 harib) Kejang demamc) Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 harid) Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.7,12

6. Vaksinasi MMRVaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak) dapat diberikan vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang membahayakan bagi kesehatan. Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada usia anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau subkutan dalam. 2,12Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu :Galur virus yang dilemahkan

CampakGondonganRubella

EdmonstonJerryl lynWistar RA 27/3

SchwarzUrabe AM-9Wistar RA 27/3

Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di IndonesiaDaya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang dibentuk melalui vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh setelah menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak dianjurkan diberikan pada: anak yang alergi terhadap telur/neomycin, yang sedang dalam pengobatan imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak dengan demam akut, setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah.2,12Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.12

7. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP). Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan. Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRP-OMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5 tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.2,12Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2 kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua atau ketiga.2,12Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat alergi yang mengancam jiwa.2,12

8. Vaksinasi Pneumokokus (PCV)Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah vaksin pneumokokus yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin jenis ini kurang bereaksi baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini hanya memberikan kekebalan dalam jangka pendek. Sedangkan PCV7 adalah vaksin pneumokokus generasi kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini dapat diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka belum matur. Vaksin ini mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang banyak mengakibat kematian pada anak usia < 5 tahun.2,14Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di daerah deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan sejak usia 2 bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis minimal 4-8 minggu. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7 terakhir.14Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung kurang dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan menurun, mialgia (pada anak 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.6KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak, nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.6

10. Vaksinasi TifoidVaksin tifoid ada dua macam, yaitu: a) Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan. Disimpan dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin oral diberikan pada saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap 5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir. Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada orang yang alergi gelatin. KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah, diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama. Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.b) Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih. Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi. Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut. KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot tempat suntikan.2,7

11. Imunisasi Hepatitis ADari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20 tahun. Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan tersedia dalam 2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan dewasa usia > 18 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90% dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk dan usia, disuntik secara intramuskular di deltoid.1,2,7Jenis VaksinUsiaDosisVolume (ml)Jadwal (bulan ke-)

Havrix (Glaxo SmithKline)2 - 18 th720 ELISA units0,5Dua dosis : 0 dan 6-12

> 18 thELISA units1Dua dosis : 0 dan 6-12

Vaqta (Merck)2 - 18 th25 U0,5Dua dosis : 0 dan 6-18

> 18 th50 U1Dua dosis : 0 dan 6-12

Twinrix (GlaxoSmithKline)> 17 tahun720 ELISA units1Tiga dosis : 0, 1, dan 6

Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin2Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek samping berat sesudah pemberian dosis pertama.1,2,12

12. Vaksinasi VariselaVaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika mendapat lisensi untuk digunakan pada anak sejak tahun 1995. 1,2,12Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia), vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis. Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia 12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara subkutan.2,12KIPI Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%) yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak kemerahan dan lenting ringan.12Kontra indikasiVaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan alergi neomisin.2

13. Vaksinasi RotavirusPada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan usus), maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin rotavirus, yaitu ;a) Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung strain manusia P(8) G1.b) Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusia-sapi P(8) G1-G4.Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%.2Nama VaksinRotavirus

Sasaran imunisasiBayi sedini usia 4 minggu

Macam vaksinRotarix, Rotateg

DosisRotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis

Jadwal PemberianRotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg : usia (4,8,12) minggu

Cara PemberianOral

EfektivitasBelum diketahui secara pasti

Kontraindikasi Sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan vaksin polio oral Adanya infeksi bakteri patogen di Usus

KIPIDiare, muntah, demam

Tabel 5 . Vaksinasi rotavirus2

14. Vaksinasi HPVPengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin, satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18 telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi persisten.2,12Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular lengan atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak menyeleseikan ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih efektif setidaknya untuk 5 tahun.7Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Namun panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) menyarankan vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan terhadap infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV.Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam.2,7

H. Imunisasi pada Kelompok BerisikoPada anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus di imunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan pengobataan imunosupresi, radioterapi, anak dengan infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/ organ dan spelenektomi.2,7Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Penekanan respons imun dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun kongenital dan defisiensi imun didapat seperti pada leukimia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama.2,71. Pasien dengan sistem imun yang tertekan dan kekurangan sistem imuna) Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kg bb/ hari dengan lama pengobatan > 7 hari atau dosis 1 mg/ kg bb/ hari lama pengobatan > 1 bulan.b) Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi untuk penyakit keganasan seperti leukemia dan limfoma.Pada pasien dengan sistem imun yang tertekan, tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena akan berakibat fatal disebabkan vaksin akan bereplikasi dengan hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR, BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan minimal 3 bulan.2Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DPT ,influenza dan Hib, dosis sama dengan anak sehat. Respons imun yang timbul tidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif yaitu normal immunoglobulin human dengan dosis 0,2 ml/kg bb/ intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0,4-1,0 ml/kg bb, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi spesifik dengan varicella-zoster imunoglobulin namun pada saat ini belum ada di Indonesia. 2c) Pasien infeksi human immunodeficiency virus (HIV)Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang. Kapan pasien HIV harus diberi imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang, namun apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati.2

2. Pasien transplantasi sumsum tulangResipien transplantasi sumsum tulang alogenik akan menjadi defisiensi imun disebabkan 4 komponen:a) Pengobatan imunsupresi terhadap penyakit primerb) Kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamuc) Reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu serta, d) Pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah transplantasi dilakukanSebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada resipien diberikan imunisasi terlebih dahulu. Karena terbukti setelah transplantasi imunitas terhadap virus polio, tetanus, dan difteria hampir tidak ada, maka sebaiknya pejamu diberikan imunisasi DPT dan polio sebelum transplantasi dilakukan. Penelitian klinis menunjukan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteria dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV.2

3. Bayi prematurBayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DPwT atau DtaP, Hib, dan OPV diberikan pada usia 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada usia 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan OPV pemberian ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit unutk menghindari penyebaran virus polio kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur, respons imun kurang bila dibandingkan bayi cukup bulan terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis dapat dilakukan 2 cara:a) Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan hepatitis B bersamaan denganc HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs. Kemudian Ibu positif HbsAg, berat lahir 2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B dosis pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan 6 bulan umur kronologis. Kemudian, Ibu HbsAg negatif, berat lahir