refarat ayu rhinitis alergi tht

30
BAB I A. Pendahuluan Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai, menyerang 20% anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatan lebih rendah, terutama pada Negara-negara yang kurang berkembang. Penderita rhinitis alergi mengalami hidung tersumbat berat dan dapat mengeluarkan sekresi hidung yang berlebihan, serta bersin yang terjadi berulang dan cepat. Pruritus pada mukosa hidung, tenggorokan dan telinga sering mengganggu dan disertai kemerahan pada konjungtiva dan lakrimasi. Selaput lendir yang terserang menunjukkan dilatasi pembuluh darah, khususnya venula dan edema menyeluruh dengan gambaran yang mencolok dari eusinofil dalam jaringan maupun dalam sekresi. (1) 1

Upload: ayu-rezki-fadliya

Post on 11-Sep-2015

55 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai, menyerang 20% anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatan lebih rendah, terutama pada Negara-negara yang kurang berkembang. Penderita rhinitis alergi mengalami hidung tersumbat berat dan dapat mengeluarkan sekresi hidung yang berlebihan, serta bersin yang terjadi berulang dan cepat. Pruritus pada mukosa hidung, tenggorokan dan telinga sering mengganggu dan disertai kemerahan pada konjungtiva dan lakrimasi. Selaput lendir yang terserang menunjukkan dilatasi pembuluh darah, khususnya venula dan edema menyeluruh dengan gambaran yang mencolok dari eusinofil dalam jaringan maupun dalam sekres

TRANSCRIPT

BAB I

A. Pendahuluan

Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai, menyerang 20% anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatan lebih rendah, terutama pada Negara-negara yang kurang berkembang. Penderita rhinitis alergi mengalami hidung tersumbat berat dan dapat mengeluarkan sekresi hidung yang berlebihan, serta bersin yang terjadi berulang dan cepat. Pruritus pada mukosa hidung, tenggorokan dan telinga sering mengganggu dan disertai kemerahan pada konjungtiva dan lakrimasi. Selaput lendir yang terserang menunjukkan dilatasi pembuluh darah, khususnya venula dan edema menyeluruh dengan gambaran yang mencolok dari eusinofil dalam jaringan maupun dalam sekresi.(1)

Beberapa dari keadaan ini, termasuk pruritus, dapat ditimbulkan dengan meletakkan histamine pada mukosa yang normal, rhinitis alergi dapat menggambarkan pengaruh jaringan pada zat-zat mediator yang berasal dari sel mast. Peleasan histamine, leukotrin, prostaglandin D dan sebagainya, dari mukosa dapat terlihat setelah kontok langsung hidung orang yang peka terhadap allergen serbuk sari.(1)B. Epidemiologi

Meskipun insiden rhinitis alergi yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang sekitar 10% dari populasi umum. Polip hidung dan sinusitis tampaknya meningkat pada rhinitis alergika. Suatu kumpulan berupa kepekaan terhadap aspirin, polip hidung dan asma bronchial telah ditemukan pada 2% dari 28% dari penderita asma bronchial. Penderita demikian seringkali akan mengalami masalah dengan agen-agen anti radang non steroid seperti endometasin dan ibuprofen.(2)BAB II

A. Definisi

Rhinitis alergi adalah inflamasi mukosa hidung dengan gejala bersin-bersin, rasa gatal dan hidung tersumbat yang dipicu oleh reaksi hipersensitivitas tipe 1 setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen. Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti dengan tahap profokasi/alergi.(3,4)B. Etiologi

Rhinitis alergi disebabkan oleh peningkatan kadar IgE terhadap alergen tertentu yang menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan. Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi dan sitokin yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal.(3)

C. Faktor Predisposisi

Rhinitis alergi biasanya timbul pada orang atopic, yaitu pada individu yang memiliki riwayat keluarga dengan kompleks gejala serupa atau yang bekaitan dan riwayat pribadi alergi kolateral yang muncul sebagai dermatitis ekzematosa, urtikaria dan asma. Gejala biasanya muncul sebelum usia decade ke-4 dan cenderung berkurang secara bertahap seiring dengan bertambah umur, walaupun remesis spontan sempurna jarang terjadi. Sejumlah kecil rerumputan yang tergantung pada angin untuk penyerbukan silangnya daripada serangga serta pohon dan belukar tertentu, menghasilkan serbuk sari dalam jumlah yang cukup besar untuk mencetuskan rhinitis alergi musiman. Saat penyerbukan spesies ini umumnya bervariasi sedikit dari tahun ke tahun pada tempat yang sama tetapi mungkin cukup berbeda pada iklim yang berlainan. Kapang, yang tersebar luas di alam karena tumbuh di tanah atau pada bahan organic yang membusuk, dapat menyebarkan spora yang tergantung pada kondisi iklim.(5)

Rhinitis alergika perennial timbul sebagai respon terhadap allergen yang terdapat disepanjang tahun, misalnya pada deskuamasi kulit hewan, bahan olahan, atau zat kimi industry, atau debu yang terdapat di rumah. Selain itu, pada banyak pasien rhinitis perennial, allergen penyebabnya tidak dapat diketahui dengan pasti. Kemampuan allergen menimbulkan rhinitis dan bukan menyebabkan gejala salra nafas bawah mungkin disebabkan oleh ukurannya. Namun, meskipun dapat mencapai saluran nafas bagian bawah allergen itu mencetuskan respon bronkokonstriksi yang menyebabkan pelepasan mediator atau tidak tergantung pada keadaan saluran nafas yang hiperiritable secara kronik.(5)

D. Klasifikasi

Berdasarkan dari gejalanya, rhinitis alergi dapat dibagi menjadi: (3)1. Ringan :

a. Tidak gangguan tidur

b. Tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari

c. Tidak ada gangguan pada pekerjaan dan aktivitas belajar

d. Tidak ada gejala yang berat

2. Sedang-berat :

a. Gangguan tidur

b. Gangguan pada aktivitas belajar sehari-hari

c. Gangguan pada pekerjaan dan aktivitas belajar

d. Ada gejala yang berat

Berdasarkan perlangsungannya, dibedakan dalam 2 macam yaitu: (4)1. Rhinitis musiman (seasonal hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak adalah pada hidung dan mata ( mata merah, gatal dan gejala lakrimasi).

2. Rhinitis sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan terutama pada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah dan di luar rumah. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya di sertai dengan alergi lain. Berdasarkan perlangsungannya dibagi, menjadi :

1. Intermitten (kadang-kadang)

Bila gejala kurang dari 4 hari atau kurang dari 4 minggu

2. Persisten (menetap)

Bila gejala lebih dari 4 hari dan lebih dari 4 minggu.E. Patofisiologi

Rhinitis alergi dipengaruhi oleh 2 fase, reaksi alergi tipe cepat yang berlangsung sejak kontak alergen sampai 1 jam setelahnya dan reaksi alergi tipe lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.(4)Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Precenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendekpeptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti IL-1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4. IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan limfosit B, sehingga limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang sama. Maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan prostaglandin E2 (PGE2). Leukotrin D4 (LT D4). Leukotrin C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activatyng Factor (PAF) dan berbagai sitokin ( IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF). Inilah disebut reaksi alergi tipe cepat.(4)Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain selain hidumg tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga merangsang juga merangsang mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhession Mulecule 1 (ICAM 1).(4)Pada reaksi tipe cepat, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel esonofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut sampai dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Setelah itu akan terjadi penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti esonofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit di mukosa sel hidung serta peningkatan Macrofag Colony Stimulatyng Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada secret mukosa hidung. Timbulnya gejala hieraktif dan hiperresponsif pada hidung adalah akibat peranan esonofil dengan inflamasi granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti, asao rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan perubahan kelembaban udara yang tinggi.(4)F. Manifestasi Klinis

1. Gejala yang mendukung diagnosis rhinitis alergi ( 2 atau lebih gejala > 1 jam hampir setiap hari), rinore, mata berair, bersin paroksismal, obstruksi nasal, hidung gatal dan konjungtivitis).(3)2. Gejala yang tidak mendukung diagnosis rhinitis alergi bersifat unilateral, obstruksi nasal tanpa disertai gejala lainnya, rinore merupakan mukopurulen, post nasal drips dengan mucus tebal, tidak ditemui rinore, nyeri epistaksis berulang dan anosmia.(3)3. Tanda klinis yang disosiasikan dengan rhinitis alergi :(3)a. Alergi shiners Lingkaran hitam di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau kongesti nasal.b. Nasal/allergic crease

Suatu garis horizontal di dorsum hidung yang disebabkan oleh gesekan berulang ke atas pada ujung hidung oleh telapak tangan

Pemeriksaan hidung degan spekulum hidung mukosa hidung edematosa atau hipertrofi berwrna pucat atau biru keabuan dan sekret cair.

c. Pemeriksaan mata injeksi dan pembengkakan konjugtiva palpebra dengan produksi air mata berlebihan.

d. Pemeriksaan faring, penampakan cobblestone (pembengkakan jaringan limfoid pada faring posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior. Maloklusi dan lengkung palatum yang lebih tinggi dapat ditemukan pada pasein yang bernafas dengan mulut yang berlebihan.

e. Pada anak dapat ditemukan hipertrofi adenoid.

G. Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan adanya riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, sitologi dan sekret hidung Gejala utama sering dijumpai adalah hidung tersumbat, sekret hidung purulen, post nasal drips, rasa sakit di muka dan pipi, pusing, hiposmia, dan batuk. Selain keluhan-keluhan di atas perlu dipertanyakan adanya faktor predisposisi seperti riwayat atopi, misalnya dermatitis alergi, asma bronkial, dan lain-lain.(6)

Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah sinus, mukosa hidung kemerahan, sekret mukopurulen, meningkatnya sekret faring posterior, dan lakrimasi.(6)

Uji tusuk kulit dengan alergen untuk menilai peranan alergi. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan immunoglobulin IgA, IgG, IgM bila dicurigai adanya defisiensi kongenital. Demikian pula halnya bila dicurigai adanya immunodefisiensi didapat seperti AIDS pemeriksaan anti HIV serta CD4 perlu dilakukan.(6)Pemeriksaan penunjang : In vitro:

Hitung eusinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pulan dengan pemeriksaan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk memprediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan citologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eusinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil lebih dari 5 sel perlapangan pandang mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkkan adanya infeksi bakteri.(4)In vivo:

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End Point Titration/SET), SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.(4)

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini yang banyak dilakukan adalah Intrakutaneus Delutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi.(4)Allergen instan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test makanan yang dicurigai pada pasien setelah berpantang selama lima hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dalam menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.(4) H. Diagnosis Banding

Rhinitis alergi perlu dibedakan dengan rhinitis vasomotor ataupun idiopatik, rhinitis infeksiosa, rhinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal ataupun sistemik, rhinitis sekunder dari faktor mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis dan mastositosis hidung. Di samping alegri, penderita polip hidung perlu dievaluasi terhadap sinusitis infeksiosa terhadap dan pada anak fibrosis kistik. Sinusitis dengan etiologi alergi, misalnya trauma, zat kimia, immunodefisiensi, fibrosis kistik, penyakit granulomatosa kronik.(2)a. Rhinitis Vasomotor

Merupakan suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat. Pada rhinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non spesifik, seperti asap rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, perubahan kelembaban, perubahan suhu udara luar, kelelahan, dan stress atau emosional.(4)

Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kanan dengan kiri, tergantung pada posisi pasien. Selain itu, terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang di sertai gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari sewaktu bangu tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara yang lembab juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.(4)

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan dibedakan menjadi 3 bagian 1) Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baikdengan terapi anti histamine dan glukokortikostreoid topikal 2) Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal, dan 3) Golongan tersumbat (blockers), kongesti umunya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokosteroid topical dan vasokonstriksi oral.(4) b. Rhinitis Medikamentosa

Rhinitis medikamentosa merupakan suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal dalam waktu yang lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung menetap.(4)

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Dan apabila diberi tampon adrenalin, edema tampak berkurang.(4)c. Rhinitis Infeksiosa

Rhinitis infeksiosa, misalnya rhinitis tuberkulosa merupaka kejadian infeksi tuberkulosa ektra pulmoner. Seiring dengan peningkatan kasus tuberkulosis yang berhubungan dengan kasus HIV AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.(4)

Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta sehingga menimbulkan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada sekret mukosa hidung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datia Langhans dan limfositosis. Pengobatan diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.(4)I. Penatalaksaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya dan eliminasi.(4)2. Medikamentosa antihistamin yang dipakai adalah antagoins histamine H1 yang bekera secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target, dan merupakan preparat farmakologi yang sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.(4)

Antihistamin dalam dua golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (nonsedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat hipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempuyai efek pasa SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prormetasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Anthistamin generasi 2 bersifat lifofobik sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H1 perifer dan tidak mempuyai efek anti kolinergik, anti adrenergic dan efek pada SSP minimal (nonsedatif). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah asteisol dan terfinadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat mnyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan bahkan kematian mendadak. Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.(4)Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.(4)

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibst respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesond, flunisolid, flutikason, mumetason furoad dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mncegah pengeluaran protein sitotoksik dari eusinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak responsive terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium tromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasa mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel neutrofil, eusinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.(4)

Preparat antikolonergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, Karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.(4)Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah antileukotrin (zafirlukas/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.(4)3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertropi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklorasetat.(4)4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlansung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG bloking antibody dan penurunan IgE. Ada dua metode imunoterapi yang rutin dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.(4)J. Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang tersering adalah :(4)1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan , bahwa alergi hidung merupakan salah sau faktor penyebab polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal K. Pencegahan

Tindakan untuk menghindari pemaparan terhadap tepung sari musiman adalah sukar atau tidak praktis, tetapi banyak yang dapat dilakukan untuk melenyapkan pemaparan terhadap faktor hirupan dalam rumah seperti debu dan jamur. Pengendalian debu rumah, dengan perhatian khusus pada tempat tidur anak, sering memperbaiki gejala-gejala pada orang yang alergi debu. Untuk orang yang sensitif terhadap jamur dalam rumah, penghindaran ruang bawah tanah yang lembab dan langkah-langkah untuk mencegah pertumbuhan jamur dalam rumah secara berkala adalah bermanfaat.(7) Langkah-langkah ini melibatkan alat pengurang kelembaban udara, alat pengatur suhu udara dengan filter-filter yang efisien dan alat pembersih udara juga jenis presipitator elektronik ataupun presipitator yang mengandung filter udara dengan partikel-partikel yang berefisiensi tinggi. Pada anak-anak dengan rinore dan penyumbatan hidung yang terus menerus dengan riwayat alergi makanan sulit diketahui kecuali dengan menggunakan uji alergi kulit atau uji invitro telah diperkuat dengan adanya alergi makanan.(7)BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi oleh reaksi alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik. Rhinitis merupakan kelainan hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang diperantarai oleh IgE.(4)

Rhinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis mencakup durasi, lama sakit, derajat keparahan, dan sifat gejala. Pencetus respon terhadap pengobatan, komorbid, riwayat atopi dalam keluarga, pajanan di lingkungan/pekerjaan, dan efek gejala terhadap kualitas hidup harus ditanyakan. Dan dengan melihat riwayat atopi yang lainnya (dermatitis atopi, asma bronchial, konjungtivitis, dan lain-lain).(3)

Penghindaran alergen dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari alergen, menempatkan suatu sawar antara pasein dengan alergen atau menjauhkan pasien dengan alergen.(2)REFERENSI

1. Anderson, Sylvia Price, RN, PhD. McCarty,Lorraine Wilson, RN, PhD. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 2006. Jakarta : EGC2. Boies, Adams Higler. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 1997. Jakarta : EGC

3. Tanto Chris, Liwang Frans. Kapita selekta Kedokteran. 2104. Jakrta : EGC

4. Arsyad, Soepadi Effaty, Iskandar, Nurbaty. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Isselbacher, Braunwald, Wilson. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 2014. Jakrta :EGC

6. W, Sudoyo Aru. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Jakarta : EGC

7. Waldo E, Nelson, MD. NELSON Ilmu Kesehatan Anak. 1999. Jakarta : EGC

3