raperda rtrwp sultra 14 juli 2011

109
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR ……… TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGGARA Menimbang : a . bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan b . bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan c bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, d . bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 1

Upload: kamushal142

Post on 23-Jun-2015

1.376 views

Category:

Education


13 download

DESCRIPTION

Draft RTRW Sultra

TRANSCRIPT

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

NOMOR ……… TAHUN 2011

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH

PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2011-2031

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu disusun rencana tata ruang wilayah;

b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan/atau dunia usaha;

c bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka perlu penjabaran ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Peraturan Daerah.

1

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan kedua;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan mengubah Undang-undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara – Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan – Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2687);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160).

2

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

dan

GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2011-2031

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara.

4. Kepala Daerah adalah Gubernur Sulawesi Tenggara yang dibantu oleh seorang Wakil Gubernur.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD adalah DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.

6. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

7. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Tenggara.

8. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di lingkup Provinsi Sulawesi Tenggara.

9. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRWP adalah hasil perencanaan tata ruang yang merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Nasional dan Pulau Sulawesi ke dalam struktur dan pola ruang wilayah Provinsi.

3

10. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.

11. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

12. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

13. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

14. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

15. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

16. Pola ruang adalah adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

17. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

18. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

19. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.

21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.

22. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

23. Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budidaya, baik di ruang darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya.

24. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

25. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

4

26. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

27. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.

30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah kawasan strategis kabupaten/kota se Sulawesi Tenggara.

31. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

32. Kawasan Minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa dan/atau kegiatan pendukung lainnya.

33. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional atau beberapa provinsi.

34. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.

35. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.

36. Pusat Pelayanan Lokal yang selanjutnya disebut PPL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa kelurahan/desa.

37. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

38. Zonasi adalah blok tertentu yang ditetapkan penataan ruangnya untuk fungsi tertentu.

39. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5

40. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

41. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

42. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.

43. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

44. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.

45. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

46. Wilayah sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

47. Daerah aliran sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

48. Sumberdaya air adalah air, sumber air dan daya air yang terkandung di dalamnya.

49. Daerah Irigasi selanjutnya disebut DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

50. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam

51. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.

52. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penataan ruang.

6

user, 05/31/11,
Pp 68 tahun 2010

53. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

54. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat adhoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Sulawesi Tenggara dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dalam koordinasi penataan ruang di daerah.

BAB II

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG

WILAYAH PROVINSI

Bagian KesatuTujuan Penataan Ruang Wilayah Provinsi

Pasal 2

Tujuan penataan ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara adalah untuk mewujudkan tatanan ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara yang berbasis pada sektor pertanian dalam arti luas, pertambangan serta kelautan dan perikanan terkait pariwisata guna mendukung peningkatan taraf hidup masyarakat dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang merata di seluruh wilayah provinsi serta menjaga kelestarian dan daya dukung lingkungan hidup dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Bagian KeduaKebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Provinsi

Pasal 3

Kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkan penataan ruang wilayah provinsi adalah :

a. menata dan mengalokasikan sumberdaya lahan secara proporsional melalui berbagai pertimbangan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan di sektor unggulan pertanian, pertambangan serta kelautan dan perikanan;

b. meningkatkan aksesibilitas dan pengembangan pusat-pusat kegiatan sektor terhadap pusat-pusat kegiatan nasional, wilayah dan lokal melalui pengembangan struktur ruang secara terpadu;

c. menetapkan pola ruang secara proporsional untuk mendukung pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, seimbang dan berkesinambungan;

d. menetapkan kawasan strategis dalam rangka pengembangan sektor unggulan dan pengembangan sosial ekonomi secara terintegrasi dengan wilayah sekitar; dan

e. pengembangan sumberdaya manusia yang mampu mengelola sektor unggulan secara profesional dan berkelanjutan.

7

Pasal 4

Strategi dalam mewujudkan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas terdiri atas :

a. menata dan mengalokasikan sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura serta pengembangan lahan peternakan secara proporsional;

b. mengembangkan sarana dan prasarana guna mendukung aksesibilitas dan pusat-pusat pertumbuhan pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura serta pengembangan lahan peternakan terhadap pusat-pusat kegiatan nasional, wilayah dan lokal;

c. mengintegrasikan kawasan unggulan pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura serta pengembangan lahan peternakan dengan wilayah sekitar dan kawasan unggulan lain; dan

d. peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang mampu mengelola sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura serta peternakan secara profesional dan berkelanjutan melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.

Pasal 5

Strategi dalam mewujudkan pengembangan sektor pertambangan terdiri atas :

a. menata dan menetapkan kawasan pertambangan;

b. mengembangkan pusat industri pertambangan nasional sebagai suatu kawasan pertambangan dan pengolahan bahan tambang secara terpadu;

c. mengembangkan sarana dan prasarana pendukung guna menunjang aksesibilitas pusat kawasan industri pertambangan dengan usaha ekonomi pada wilayah sekitar;

d. mengembangkan sarana dan prasarana pendukung untuk menunjang aksesibilitas perdagangan antar pulau dan ekspor;

e. mengintegrasikan usaha-usaha untuk mendukung pengembangan pusat industri pertambangan nasional dengan usaha-usaha ekonomi masyarakat sekitar;

f. mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan secara preventif maupun kuratif sebelum dan sesudah eksplorasi bahan tambang dan limbah pabrik pengolahan; dan

g. pengembangan sumberdaya manusia secara komprehensif untuk mengelola industri pertambangan nasional secara menyeluruh dengan melaksanakan pelatihan teknis dan membangun sekolah kejuruan dan pendidikan keahlian (sarjana dan pascasarjana).

Pasal 6

Strategi dalam mewujudkan pengembangan sektor kelautan dan perikanan terdiri atas :

a. menata dan mengalokasikan sumberdaya lahan secara proporsional melalui berbagai pertimbangan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan;

8

b. meningkatkan aksesibilitas dan pengembangan pusat-pusat kegiatan sektor kelautan dan perikanan terhadap pusat-pusat kegiatan nasional, wilayah dan lokal melalui pengembangan struktur ruang secara terpadu;

c. menetapkan pusat kawasan pengembangan sektor perikanan dan kelautan berupa kawasan pengembangan budidaya perairan dan kawasan perikanan tangkap secara terintegrasi dengan usaha-usaha ekonomi wilayah sekitar;

d. melindungi dan mengelola sumberdaya kelautan untuk kebutuhan perlindungan plasma nutfah, terumbu karang, dan sumberdaya hayati untuk kelangsungan produksi dan pengembangan ekowisata; dan

e. mengembangkan fasilitas pelayanan pendidikan dan latihan secara profesional dan berkelanjutan.

BAB IIIRENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian KesatuUmum

Pasal 7

(1) Rencana struktur ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi:

a. pusat-pusat kegiatan;

b. sistem jaringan prasarana utama; dan

c. sistem jaringan prasarana lainnya.

(2) Rencana struktur ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan skala ketelitian minimal 1:250.000, yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian KeduaPusat-Pusat Kegiatan

Pasal 8

(1) Pusat-pusat kegiatan di Provinsi Sulawesi Tenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi :

a. PKN di Kota Kendari sebagai Ibukota Provinsi;

b. PKNp di Kota Baubau;

c. PKW di Unaaha, Lasolo, Raha dan Kolaka;

d. PKWp di Pasarwajo, Wangi-Wangi dan Latao; dan

e. PKL di Lasusua, Andoolo, Torobulu, Kasipute, Buranga, Kulisusu, Lakudo, Asera dan Wanggudu.

9

user, 07/03/11,
Usulan Kab. Buton
user, 08/03/11,
Usulan Butur, Ereke diganti Kulisusu sesuai RTRW

(2) Rencana pusat-pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan sebagai Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian KetigaSistem Jaringan Prasarana Utama

Pasal 9

Sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi:

a. sistem jaringan transportasi darat;

b. sistem jaringan perkeretaapian;

c. sistem jaringan transportasi laut; dan

d. sistem jaringan transportasi udara.

Paragraf 1

Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 10

(1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a terdiri atas:

a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan terdiri atas :

1. jaringan jalan;

2. jaringan prasarana lalu lintas; dan

3. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan.

b. jaringan penyeberangan.

(2) Rincian sistem jaringan lalu lintas angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran III – Lampiran V, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 11

(1) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1 terdiri atas:

a. jaringan jalan nasional yang terkait dengan wilayah provinsi; dan

b. jaringan jalan provinsi.

(2) Jaringan jalan nasional yang terkait dengan wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang merupakan jalan kewenangan pemerintah terdiri atas :

a. jaringan jalan arteri primer terdiri atas:

1. Jalan lintas tengah Sulawesi meliputi Bts. Prov. Sulsel - Tolala - Lelewawo sepanjang 40,071 Km, Lelewawo - Batu Putih - Lapai sepanjang 50,969 Km,

10

Lapai - Lasusua sepanjang 41,180 Km, Lasusua – Bts. Kab. Kolaka Utara dengan Kab. Kolaka sepanjang 54,541 Km, Bts. Kab. Kolaka Utara/Kab. Kolaka – Wolo sepanjang 24,070 Km, Wolo – Bts. Kab. Kolaka sepanjang 53,150 Km, Jln. Abadi (Kolaka) sepanjang 6,285 Km, Jln. HKSN (Kolaka) sepanjang 0,310 Km, Jln. TPI (Kolaka) sepanjang 0,653 Km dan Jln. Kartini (Kolaka) sepanjang 1,071 Km;

2. jalan lintas timur Sulawesi yaitu Kendari – Simpang Pohara meliputi Pohara – Bts. Kota Kendari sepanjang 8 Km, Jln. W.R. Supratman (Kendari) sepanjang 0,565 Km, Jln. Soekarno (Kendari) sepanjang 0,424 Km, Jln. M. Hatta (Kendari) sepanjang 0,809 Km, Jln. Diponegoro (Kendari) sepanjang 0,728 Km, Jln.Sultan Hasanuddin (Kendari) sepanjang 1,621 Km, Jln. Sutoyo (Kendari) sepanjang 1,110 Km, Jln. S. Parman (Kendari) sepanjang 1,076 Km, Jln. Sam Ratulangi (Kendari) sepanjang 1,421 Km, Jln. Suprapto (Kendari) sepanjang 5,555 Km dan Jln. Pattimura (Kendari) sepanjang 2,705 Km;

3. jalan pengumpan antar jalan lintas Sulawesi yaitu Kolaka – Unaaha – Simpang Pohara/jalan penghubung lintas meliputi Jln. Pramuka (Kolaka) sepanjang 1,610 Km, Jln. Pemuda (Kolaka) sepanjang 5,886 Km, Kolaka (Simpang Kampung Baru) – Rate-rate (Bts. Kab. Kolaka/Konawe) sepanjang 58,848 Km, Rate-rate (Bts. Kab. Kolaka) – Bts. Unaaha sepanjang 31,322 Km, Jln. Inowa (Unaaha) sepanjang 2,452 Km, Jln. Sapati (Unaaha) sepanjang 1,160 Km, Jln. Jend. Sudirman (Unaaha) sepanjang 1,831 Km, Jln. Diponegoro (Unaaha) sepanjang 2,210 Km, Jln. A. Yani (Unaaha) sepanjang 3,317 Km, Jln. Monginsidi (Unaaha) sepanjang 4,274 Km dan Wawotobi/Bts. Unaaha – Simpang Pohara sepanjang 37,317 Km;

4. jalan lintas pulau Buton yaitu Labuan – Maligano – Wakangka – Baubau meliputi Labuan – Maligano sepanjang 39,650 Km, Maligano – Pure sepanjang 25,410 Km, Pure – Labundao – Todanga/Bts. Kab. Muna – Wakangka – Mataompana sepanjang 40,137 Km, Mataompana – Sp.3 Bure Km 1,40/SP. 3 Jln. Hasanudin – Jln. Pahlawan (Baubau) sepanjang 48,028 Km, Jln. RA. Kartini (Baubau) sepanjang 0,707 Km, Jln. Murhum (Baubau) sepanjang 1,690 Km dan Jln. Gajahmada (Baubau) sepanjang 2,530 Km;

5. jalan pulau Buton meliputi Bts. Kota Baubau – Pasarwajo – Banabungi sepanjang 41,631 Km, Jln. KS. Tubun (Baubau) sepanjang 0,108 Km, Jln. Jend. Sudirman (Baubau) sepanjang 0,462 Km dan Jln. Sultan Hasanuddin (Baubau) sepanjang 0,925 Km; dan

6. jalan lainnya meliputi Bts. Kota (Ranomeeto) – Bandar Udara Haluoleo sepanjang 11,110 Km, Jln. P. Tendean (Kendari) sepanjang 2,887 Km, Jln. D.I. Panjaitan (Kendari) sepanjang 3,593 Km, Jln. A. Yani (Kendari) sepanjang 4,700 Km, Jln. Drs. A. Silondae sepanjang 1,635 Km dan Awunio – Amolengu sepanjang 24,660 Km.

11

b. jaringan jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi (K-1) terdiri atas :

1. jalan lintas tengah Sulawesi Tenggara meliputi Simpang Kampung Baru – Pomalaa sepanjang 22,816 Km, Pomalaa – Wolulu sepanjang 32,878 Km, Wolulu – Batas Kab. Kolaka/ Kab. Bombana sepanjang 20,057 Km, Bts. Kab. Kolaka/Kab. Bombana – Boepinang sepanjang 29,552 Km, Boepinang – Bambaea sepanjang 36,291 Km, Bambaea – Simpang Kasipute sepanjang 49,221 Km, Bts. Kab. Konawe Selatan/Kab. Bombana – Tinanggea sepanjang 21,387 Km, Tinanggea – Simpang 3 Torobulu sepanjang 32,296 Km, Torobulu (Dermaga) – Ambesea sepanjang 15,317 Km, Ambesea – Lainea sepanjang 16,560 Km, Lainea – Awunio sepanjang 22,803 Km, Awunio – Lapuko sepanjang 19,026 Km, Lapuko – Tobimeita sepanjang 38,985 Km dan Tobimeita – Lapulu - Wua-wua (Kendari) sepanjang 11,274 Km;

2. jalan lintas timur Sulawesi meliputi Bts. Prov. Sulteng (Buleleng) – Lamonae – Landawe sepanjang 55,769 Km, Landawe – Kota Maju – Asera sepanjang 31,033 Km, Asera (Jembatan Lasolo) – Andowia sepanjang 12,210 Km, Andowia – Belalo/Lasolo sepanjang 23,484 Km, Belalo/Lasolo – Taipa sepanjang 25,704 Km, Taipa – Bts. Kab. Konawe Utara/Kab. Konawe sepanjang 26,334 Km dan Bts. Kab. Konawe Utara/Kab. Konawe – Pohara sepanjang 21,628 Km; dan

3. jalan lainnya meliputi Jln. Bumi Praja/Boulevard (Kendari) sepanjang 5,100 Km, Jln. Haluoleo (Kendari) sepanjang 0,700 Km, Jln. Martandu (Kendari) sepanjang 1,700 Km, Jln. Pahlawan (Baubau) sepanjang 6,565 Km, Pasarwajo/Wakoko – Tanamaeta – Matanauwe sepanjang 19,936 Km dan Matanauwe – Lasalimu (Dermaga Ferry) sepanjang 38,222.

(3) Jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas :

a. jaringan jalan kolektor primer yang menghubungkan antara ibukota provinsi dan ibukota kabupaten/kota (K-2) terdiri atas :

1. jalan Pulau Muna yaitu Tampo – Raha – Lakapera – Wara meliputi Tampo – Raha sepanjang 24,10 Km, Jln. A. Yani (Raha) sepanjang 1,00 Km, Jln. M. H. Thamrin (Raha) sepanjang 0,50 Km, Jln. Gatot Subroto (Raha) sepanjang 4,10 Km, Raha - Lakapera sepanjang 62,30 Km, Jln. Jend.Sudirman (Raha) sepanjang 0,30 Km, Jln. Dr. Sutomo (Raha) sepanjang 0,30 Km, Jln. Basuki Rahmat (Raha) sepanjang 1,10 Km dan Lakapera - Wara - Wamengkoli sepanjang 38,60 Km;

2. jalan Pulau Buton meliputi Lasalimu – Kamaru sepanjang 23,20 Km, Kamaru – Lawele sepanjang 28,50 Km, Lawele – Bubu sepanjang 32,00 Km, Bubu – Ronta sepanjang 30,50 Km, Ronta – Lambale sepanjang 15,00 Km dan Lambale – Ereke sepanjang 31,70 Km; dan

3. jalan lainnya meliputi Ambesea – Lepo-lepo – Punggaluku sepanjang 8,30 Km, Punggaluku – Alangga sepanjang 28,90 Km, Alangga – Tinanggea

12

user, 12/04/11,
Dalam SK Gub 2010 Penetapan Jalan Provinsi, sepanjang 24.10 Km
user, 12/04/11,
Sumber : Lampiran Kepmen PU No.369 Tahun 2005

sepanjang 16,78 Km, Jalan Lingkar Kendari sepanjang 46,00 Km, Nanga-nanga/Bumi Praja - Tobimeita sepanjang 10,80 Km, Lepo-Lepo – Punggaluku sepanjang 40,80 Km, Motaha – Alangga sepanjang 36,55 Km, Lambuya – Motaha sepanjang 29,20 Km, Ambaipua – Motaha sepanjang 39,80 Km, Kendari – Toronipa sepanjang 16,40 Km, Toronipa – Batu Gong sepanjang 19,50 Km, Mandonga – Batu Gong sepanjang 15,00 Km, Wawotobi – Belalo sepanjang 39,30 Km, Rate Rate – Poli-polia sepanjang 20,20 Km, Poli-polia – Lapoa sepanjang 53,60 Km dan Batu Putih – Porehu – Tolala sepanjang 50,80 Km.

b. jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten/kota (K-3) meliputi Tetewatu - Pondoa (S. Wataraki) sepanjang 25,50 Km, Pondoa (S. Wataraki) – Routa sepanjang 48,93 Km, Lagadi – Tondasi sepanjang 35,50 Km, Wangi-Wangi – Tapanuanda – Jalan Masuk Bandara Matahora sepanjang 21,53 Km dan Usuku – Lapter – Onemay sepanjang 9,50 Km.

c. jalan strategis provinsi meliputi Langara – Lampeapi sepanjang 13,95 Km, Lampeapi – Munse sepanjang 21,81 Km, Simpang 3 Lombe – Mawasangka sepanjang 37,50 Km, Routa – Bts. Kab. Konawe/Kolaka Utara sepanjang 46,42 Km, Bts. Kab. Konawe/Kab. Kolaka Utara – Porehu sepanjang 23,21 Km, Ereke – Waode Buri sepanjang 12,50 Km, Waode Buri – Labuan sepanjang 67,10 Km, Sikeli – Teomokole – Dongkala sepanjang 38,60 Km.

Pasal 12

Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 2 terdiri atas:

a. terminal penumpang tipe A eksisting di Kota Kendari dan rencana terminal penumpang tipe A di Kota Baubau. Terminal penumpang tipe B di Kota Kendari, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe, Kabupaten Muna, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton dan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi;

b. terminal barang berupa terminal truk angkutan barang yang lokasinya dekat pergudangan, pelabuhan laut dan pelabuhan penyeberangan yaitu direncanakan di Kota Kendari, Kota Baubau dan Kabupaten Kolaka;

c. rencana jembatan Bahteramas Teluk Kendari di Kota Kendari, rencana jembatan yang menghubungkan Kota Baubau dengan Pulau Makassar dan rencana jembatan yang menghubungkan Pulau Muna dengan Pulau Buton; dan

d. jembatan timbang Simpang Tiga Kolaka-Kendari di Kabupaten Kolaka, jembatan timbang Poros Kendari-Kolaka di Kota Kendari, jembatan timbang di Lasusua Kabupaten Kolaka Utara dan rencana jembatan timbang di setiap kabupaten dan kota selain Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara dan Kota Kendari.

13

user, 07/09/11,
Baubau: jembatan Baubau – Pulau Makassar
user, 19/04/11,
berfungsi melayani kenda- raan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota, dan/atau angkutan pedesaan;
user, 19/04/11,
PP 43 thn 1993, Terminal A berfungsi melayani kenda- raan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi, dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota, dan angkutan pedesaan; Menurut SK.1361/AJ.106/DRJD/2003, Syarat Lokasi Terminal 1. Terletak Dalam Jaringan Trayek AKAP 2. Terletak Di Jalan Arteri Kelas III A 3. Akses Jalan Masuk Terminal Minimal : > 100 Meter Untuk Pulau Jawa > 50 Meter Untuk Luar Pulau Jawa Ditetapkan Dirjen PerhubDarat setelah mendengar pendapat Gubernur
user, 11/04/11,
Sesuai SK Gub 2010 Penetapan Jalan Provinsi
user, 11/04/11,
Sesuai SK Gub 2010 Penetapan Jalan Provinsi

Pasal 13

Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c angka 3 meliputi:

(1) trayek Angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) meliputi :

a. Makassar – Bajoe – Kolaka – Kendari;

b. Toraja – Malili – Kolaka Utara – Kolaka – Konawe - Kendari;

c. Pinrang – Kolaka – Kendari;

d. Pare-Pare – Pinrang – Bone – Kolaka - Kendari;

e. Rantepao – Palopo – Malili – Kolaka Utara – Kolaka – Konawe - Kendari;

f. Makassar – Pare-Pare – Toraja – Palopo – Malili – Kolaka – Konawe - Kendari; dan

g. Raha – Bira – Makassar.

(2) trayek Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) meliputi :

a. Kendari – Konawe;

b. Kendari – Konawe Selatan;

c. Kendari – Konawe Utara;

d. Kendari – Kolaka Utara;

e. Kendari – Bombana;

f. Kendari – Baubau;

g. Kendari – Raha;

h. Kendari – Buton Utara;

i. Kendari – Buton; dan

j. Raha – Waara – Baubau.

(3) trayek angkutan perintis meliputi :

a. Kendari – Benua (101 km);

b. Kendari – Lamonae (240 km);

c. Teomokole – Dongkala (60 km);

d. Kendari – Mawasangka (215 km);

e. Kendari – Tondasi (170 km); dan

f. Kendari – Bungku (400 km).

Pasal 14

(1) Jaringan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b terdiri atas :

a. pelabuhan penyeberangan; dan

b. lintas penyeberangan.

(2) Pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

14

user, 13/06/11,
Usulan Muna, eksisting
user, 2011-06-13,
Usulan Muna, eksisting
user, 13/06/11,
Usulan Kab. Kolut, 01 Maret 2011
user, 13/06/11,
Usulan Kab. Kolut, 01 Maret 2011

a. pelabuhan penyeberangan yang berfungsi untuk pelayanan kapal penyeberangan antar provinsi meliputi Pelabuhan Penyeberangan Tondasi di Kabupaten Muna, Pelabuhan Penyeberangan Kolaka di Kabupaten Kolaka dan Pelabuhan Penyeberangan Lasusua di Kabupaten Kolaka Utara;

b. rencana pelabuhan penyeberangan yang berfungsi untuk pelayanan kapal penyeberangan antar provinsi yaitu pelabuhan penyeberangan di Kabupaten Konawe Utara;

c. pelabuhan penyeberangan yang berfungsi untuk pelayanan kapal penyeberangan dalam provinsi terletak di :

1. Kabupaten Buton meliputi Pelabuhan Penyeberangan Waara, Pelabuhan Penyeberangan Mawasangka dan Pelabuhan Penyeberangan Kamaru;

2. Kota Kendari yaitu Pelabuhan Penyeberangan Kendari;

3. Kabupaten Konawe yaitu Pelabuhan Penyeberangan Langara;

4. Kabupaten Konawe Selatan yaitu Pelabuhan Penyeberangan Torobulu;

5. Kabupaten Muna yaitu Pelabuhan Penyeberangan Tampo;

6. Kota Baubau yaitu Pelabuhan Penyeberangan Bau-bau;

7. Kabupaten Bombana yaitu Pelabuhan Penyeberangan Dongkala; dan

8. Kabupaten Wakatobi yaitu Pelabuhan Penyeberangan Wanci.

d. rencana pelabuhan penyeberangan yang berfungsi untuk pelayanan kapal penyeberangan dalam provinsi terletak di:

1. Kabupaten Konawe Selatan meliputi Pelabuhan Penyeberangan Amolengu dan Pelabuhan Penyeberangan Matabubu;

2. Kabupaten Buton Utara yaitu Pelabuhan Penyeberangan Labuan;

3. Kabupaten Muna meliputi Pelabuhan Penyeberangan Raha, Pelabuhan Penyeberangan Pure dan Pelabuhan Penyeberangan Pajala;

4. Kabupaten Bombana meliputi Pelabuhan Penyeberangan Bambaea, Pelabuhan Penyeberangan Sikeli, Pelabuhan Penyeberangan Puulemo dan Pelabuhan Penyeberangan Tanjung Pising; dan

5. Kabupaten Wakatobi meliputi Pelabuhan Penyeberangan Liya Togo (Pulau Wangi-Wangi), Ambeua (Pulau Kaledupa), Bontu-bontu (Pulau Tomia) dan Palahidu (Pulau Binongko).

(3) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

a. lintas penyeberangan antar provinsi pada perairan Teluk Bone antara Pelabuhan Penyeberangan Tondasi dengan Pelabuhan Penyeberangan Bira (Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan), Pelabuhan Penyeberangan Kolaka dengan Pelabuhan Penyeberangan Bajoe (Bone, Provinsi Sulawesi Selatan) dan antara Pelabuhan Penyeberangan Lasusua dengan Pelabuhan Penyeberangan Siwa (Sengkang, Provinsi Sulawesi Selatan);

b. rencana lintas penyeberangan antar provinsi pada perairan Selat Salabangka (Provinsi Sulawesi Tenggara – Provinsi Sulawesi Tengah) antara rencana

15

pelabuhan penyeberangan di Kabupaten Konawe Utara dengan Pelabuhan Penyeberangan di Provinsi Sulawesi Tengah;

c. lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Wawonii antara Pelabuhan Penyeberangan Kendari dengan Pelabuhan Penyeberangan Langara;

d. lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Tiworo antara Pelabuhan Penyeberangan Torobulu dengan Pelabuhan Penyeberangan Tampo;

e. rencana lintas penyeberangan dalam provinsi pada pada perairan Selat Tiworo antara rencana Pelabuhan Penyeberangan Amolengu dengan Pelabuhan Penyeberangan Labuan dan antara rencana Pelabuhan Penyeberangan Matabubu dengan Pelabuhan Penyeberangan Raha;

f. lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Buton antara Pelabuhan Penyeberangan Bau-Bau dengan Pelabuhan Penyeberangan Waara;

g. rencana lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Buton antara rencana Pelabuhan Penyeberangan Raha dengan Pelabuhan Penyeberangan Pure;

h. lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Muna antara Pelabuhan Penyeberangan Mawasangka dengan Pelabuhan Penyeberangan Dongkala;

i. lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Laut Banda antara Pelabuhan Penyeberangan Kamaru dengan Pelabuhan Penyeberangan Wanci;

j. rencana lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Kabaena antara rencana Pelabuhan Penyeberangan Bambaea dengan Pelabuhan Penyeberangan Sikeli, antara rencana Pelabuhan Penyeberangan Dongkala dengan Pelabuhan Penyeberangan Bambaea, antara rencana Pelabuhan Penyeberangan Puulemo dengan Pelabuhan Penyeberangan Tanjung Pising;

k. rencana lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Kabaena dan Selat Muna antara rencana Pelabuhan Penyeberangan Puulemo dengan Pelabuhan Penyeberangan Pajala; dan

l. rencana lintas penyeberangan dalam provinsi pada perairan Selat Kaledupa, Selat Tomia dan Selat Binongko diantara rencana Pelabuhan Penyeberangan Liya Togo di Pulau Wangi-Wangi – Pelabuhan Penyeberangan Ambeua di Pulau Kaledupa –Pelabuhan Penyeberangan Bontu-bontu di Pulau Tomia – Pelabuhan Penyeberangan Palahidu di Pulau Binongko.

(4) Rincian sistem jaringan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran VI dan VII, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 2

Sistem Jaringan Perkeretaapian

Pasal 15

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b yaitu jaringan jalur kereta api lintas cabang.

16

(2) Jaringan jalur kereta api lintas cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. sistem jaringan jalur kereta api lintas cabang meliputi jalur kereta api Kendari - Kolaka (prioritas sedang) dan jalur kereta api Kolaka – Poso (prioritas rendah); dan

b. simpul jaringan jalur kereta api barang di Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi stasiun Kendari di Kota Kendari dan stasiun Kolaka di Kabupaten Kolaka.

(3) Pengembangan jaringan kereta api di Provinsi Sulawesi Tenggara dititikberatkan pada angkutan barang.

Paragraf 3

Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 16

(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c terdiri atas:

a. tatanan kepelabuhanan; dan

b. trayek angkutan laut.

(2) Tatanan kepelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari :

a. pelabuhan pengumpul terletak di :

1. Kota Baubau yaitu Pelabuhan Murhum;

2. Kota Kendari meliputi Pelabuhan Laut Nusantara Kendari dan rencana Pelabuhan Kontainer Bungkutoko;

3. Kabupaten Kolaka meliputi Pelabuhan Kolaka dan Pelabuhan Pomalaa;

4. Kabupaten Kolaka Utara meliputi Pelabuhan Ranteangin dan Pelabuhan Watunohu;

5. Kabupaten Muna yaitu Pelabuhan Laut Nusantara Raha; dan

6. Kabupaten Wakatobi yaitu Pelabuhan Pangulubelo Wangi-Wangi.

b. pelabuhan pengumpan terletak di :

1. Kabupaten Muna meliputi Pelabuhan Pajala, Pelabuhan Tampo dan Pelabuhan Maligano;

2. Kabupaten Buton meliputi Pelabuhan Lasalimu, Pelabuhan Banabungi dan Pelabuhan Labuhan Belanda;

3. Kabupaten Wakatobi meliputi Pelabuhan Usuku, Pelabuhan Kaledupa dan Pelabuhan Popalia-Binongko;

4. Kabupaten Bombana meliputi Pelabuhan Kasipute, Pelabuhan Sikeli, Pelabuhan Boepinang dan Pelabuhan Dongkala;

5. Kabupaten Buton Utara meliputi Pelabuhan Buranga dan Pelabuhan Waode Buri;

6. Kabupaten Konawe meliputi Pelabuhan Langara dan Pelabuhan Munse;

17

user, 06/13/11,
Sudah ada km 53 atau 56
user, 05/07/11,
Rencana pembangunan pelabuhan container bungkutoko sebagai pelabuhan nasional
user, 29/03/11,
Penetapan status pelabuhan adalah menteri perhubungan bukan gubernur dst

7. Kabupaten Konawe Utara meliputi Pelabuhan Molawe, Pelabuhan Mandiodo dan Pelabuhan Lameruru;

8. Kabupaten Konawe Selatan meliputi Pelabuhan Torobulu, Pelabuhan Lakara, Pelabuhan Lapuko dan Pelabuhan Lainea;

9. Kabupaten Kolaka meliputi Pelabuhan Dawi-dawi di Pomalaa, Pelabuhan Tangketada, Pelabuhan Toari dan Pelabuhan Wollo;

10. Kabupaten Kolaka Utara meliputi Pelabuhan Lasusua, Pelabuhan Malombo dan Pelabuhan Olooloho; dan

11. Pelabuhan khusus yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(3) Trayek angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas :

a. trayek angkutan pelayaran nasional meliputi :

1. Makassar – Pelabuhan Murhum – Pelabuhan Laut Nusantara Raha- Pelabuhan Laut Nusantara Kendari – Kolonodale – Luwuk – Gorontalo – Bitung;

2. Pelabuhan Laut Nusantara Kendari – Pelabuhan Laut Nusantara Raha – Pelabuhan Murhum – Makassar – Pelabuhan Labuan Bajo (NTT) – Pelabuhan Bima (NTB) – Pelabuhan Lembar (NTB) – Pelabuhan Benoa (Denpasar);

3. Makassar – Pelabuhan Murhum – Ambon – Namlea – Ternate – Bitung;

4. Ambon – Pelabuhan Murhum – Makassar – Surabaya – Pelabuhan Tanjung Priok – Pelabuhan Kijang;

5. Makassar – Pelabuhan Murhum – Ambon – Banda – Tual – Dobo – Kaimana – Fak-fak;

6. Pelabuhan Murhum – Makassar – Balikpapan;

7. Makassar – Pelabuhan Murhum – Pelabuhan Pangulubelo – Ambon – Banda – Saumlaki – Tual – Dobo – Timika – Agast – Merauke;

8. Pelabuhan Pangulubelo – Pelabuhan Murhum – Makassar – Pelabuhan Bima (NTB) – Pelabuhan Benoa (Denpasar) – Surabaya;

9. Ambon – Pelabuhan Murhum – Makassar – Surabaya – Pelabuhan Tanjung Priok;

10. Makassar – Pelabuhan Murhum – Bitung – Sorong – Manokwari – Pelabuhan Jayapura;

11. Makassar – Pelabuhan Murhum – Banggai – Bitung – Ternate – Sorong – Manokwari – Biak – Serui – Pelabuhan Jayapura;

12. Banggai – Pelabuhan Murhum – Makassar – Pelabuhan Tanjung Priok – Semarang;

13. Pelabuhan Kontainer Bungkutoko – Pelabuhan Soekarno Hatta (Makassar) – Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya) dan Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta);

18

Administrator, 24/12/10,
Sumber Data : Ranperda RTRW Sulteng
user, 29/03/11,
minta ke kantor PELNI kota lama belok kiri dekat gereja, tanyakan rute pelayaran

14. Pelabuhan Watunohu - Pelabuhan Siwa, Prov. Sulawesi Selatan;

19

b. trayek angkutan laut pelayaran regional meliputi :

1. Pelabuhan Laut Nusantara Kendari – Pelabuhan Laut Nusantara Raha – Pelabuhan Murhum;

2. Pelabuhan Laut Nusantara Kendari – Pelabuhan Waode Buri – Pelabuhan Pangulubelo;

3. Pelabuhan Murhum – Pelabuhan Pangulubelo;

4. Pelabuhan Lasalimu – Pelabuhan Pangulubelo;

5. Pelabuhan Banabungi - Pelabuhan Pangulubelo – Pelabuhan Kaledupa – Pelabuhan Usuku - Pelabuhan Popalia;

6. Pelabuhan Kaledupa – Pelabuhan Murhum;

7. Pelabuhan Kaledupa – Pelabuhan Laut Nusantara Kendari;

8. Pelabuhan Usuku – Pelabuhan Murhum;

9. Pelabuhan Usuku – Pelabuhan Laut Nusantara Kendari;

10. Pelabuhan Waode Buri – Pelabuhan Laut Nusantara Kendari;

11. Pelabuhan Pajala – Pelabuhan Kasipute;

12. Pelabuhan Mandiodo - Pelabuhan di Bungku, Prov. Sulawesi Tengah;

13. Pelabuhan Lameruru - Pelabuhan di Bungku, Prov. Sulawesi Tengah;

14. Pelabuhan Lainea - Pelabuhan Tampo;

15. Pelabuhan Sikeli - Pelabuhan Murhum;

16. Pelabuhan Sikeli – Tanjung Bira, Prov. Sulawesi Selatan;

17. Pelabuhan Sikeli – Pelabuhan Kasipute;

18. Pelabuhan Kasipute – Pelabuhan Murhum;

19. Pelabuhan Boepinang – Pelabuhan Murhum;

20. Pelabuhan Boepinang – Tanjung Bira, Prov. Sulawesi Selatan; dan

21. Pelabuhan Laut Nusantara Raha – Pelabuhan Maligano (Rencana).

(4) Rincian rencana pengembangan sistem transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran VIII dan VIX, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 4

Sistem Jaringan Transportasi Udara

Pasal 17

(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d meliputi :

a. bandar udara pengumpul skala sekunder di Bandar Udara Haluoleo Kabupaten Konawe Selatan.

b. bandar udara pengumpan meliputi :

1. Bandar Udara Betoambari di Kota Baubau;

20

user, 10/04/11,
Usulan Bombana
user, 10/04/11,
Usulan Bombana
user, 10/04/11,
Usulan Bombana
user, 10/04/11,
Ranperda Wakatobi

2. Bandar Udara Matahora di Kabupaten Wakatobi;

3. Bandar Udara Sangia Nibandera di Kabupaten Kolaka;

4. Bandar Udara Sugimanuru di Kabupaten Muna;

5. Bandar Udara Maranggo sebagai bandar udara khusus pariwisata di Kecamatan Tomia Kabupaten Wakatobi;

6. Bandar Udara Khusus Aneka Tambang Pomalaa di Kabupaten Kolaka;

7. Rencana Bandar Udara Lantaki di Kabupaten Buton Utara;

8. Rencana Bandar Udara Pajongai di Kabupaten Bombana; dan

9. Rencana Bandar Udara di Kabupaten Kolaka Utara.

(2) Rincian rencana pengembangan sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran X, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian KeempatSistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 18

Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c meliputi :

a. sistem jaringan energi;

b. sistem jaringan telekomunikasi;

c. sistem jaringan pengelolaan sumberdaya air;

d. sistem jaringan prasarana persampahan; dan

e. sistem jaringan prasarana sanitasi.

Paragraf 1Sistem Jaringan Energi

Pasal 19

(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a terdiri atas :

a. pembangkit tenaga listrik;

b. sistem interkoneksitas dan jaringan transmisi tenaga listrik;

c. Gardu Induk (GI);

d. jaringan pipa gas; dan

e. Terminal Transit Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Depo BBM.

(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas :

a. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) meliputi PLTD Kendari di Kota Kendari, PLTD Baubau di Kota Baubau, PLTD Kolaka di Kabupaten Kolaka, PLTD Raha di Kabupaten Muna, PLTD Konawe-Konawe Utara di Kabupaten Konawe, PLTD Kolaka Utara di Kabupaten Kolaka Utara, PLTD Buton di Kabupaten Buton, PLTD Bombana di Kabupaten Bombana, PLTD Wangi-wangi

21

user, 21/04/11,
Usulan Kolaka Utara, 01 Maret 2011, Dephub RI sudah meninjau persiapan lokasi bandara, di Kecamatan Katoi dan Tiwu

di Kabupaten Wakatobi dan pembangunan PLTD Batuatas di Kabupaten Buton;

b. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) meliputi pembangunan PLTU Perpres Kolaka di Kabupaten Kolaka, rencana PLTU Perpres Kendari di Kota Kendari, PLTU Nii Tanasa di Kabupaten Konawe Utara, rencana PLTU Bau-bau di Kota Baubau, pembangunan PLTU Lasunapa di Kabupaten Muna, rencana PLTU Raha di Raha dan rencana PLTU Wangi-Wangi di Kabupaten Wakatobi;

c. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) meliputi rencana PLTA Lasolo di Kabupaten Konawe Utara, rencana PLTA Konaweha di Kabupaten Konawe; PLTA Tamboli di Kabupaten Kolaka, PLTA Rantelimbong, Puutau, Lapai dan Toahe di Kabupaten Kolaka Utara;

d. Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) meliputi rencana PLTM Rongi Bau-bau di Kota Baubau, rencana PLTM Mikuasi di Kabupaten Kolaka Utara, rencana PLTM Rantelimbong di Kabupaten Kolaka Utara, PLTM Wining dan Todanga di Kabupaten Buton;

e. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) meliputi pembangunan PLTMH di Kabupaten Muna, pembangunan PLTMH Kolaka di Kabupaten Kolaka dan rencana PLTMH di Kabupaten Konawe Utara;

f. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat direncanakan di Pulau Kapota Kabupaten Wakatobi dan Pulau Kabaena Kabupaten Bombana; dan

g. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) meliputi rencana PLTP Mangolo di Kabupaten Kolaka dan rencana PLTP Lainea di Kabupaten Konawe Selatan.

(3) Sumber-sumber panas bumi yang berpotensi dijadikan sumberdaya energi terdapat satu titik di Kabupaten Bombana dengan kapasitas 1 MWe, empat titik di Kabupaten Konawe Selatan dengan kapasitas masing-masing 1 MWe, dua titik di Kabupaten Konawe Selatan dengan kapasitas 2 MWe, satu titik di Kecamatan Lainea Bawah Kabupaten Konawe Selatan dengan kapasitas 10 MWe, satu titik di Kecamatan Ranteangin Kabupaten Kolaka dengan kapasitas 1 MWe, satu titik di Kecamatan Mangolo Kabupaten Kolaka dengan kapasitas 10 MWe dan tiga titik di Kabupaten Buton dengan kapasitas masing-masing 1 MWe.

(4) Pembangunan sistem interkoneksitas dan jaringan transmisi tegangan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

a. Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV Kendari – Kolaka – Woimenda;

b. Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV Kendari – Tinobu (Kabupaten Konawe Utara);

c. Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV Kendari – Lapuko (Kabupaten Konawe Selatan);

d. Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV Kolaka – Tangketada;

e. Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV Baubau – Lawele (Kabupaten Buton);

22

Administrator, 26/12/10,
Sumber Data : Lampiran RTRWN dalam Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional
Administrator, 25/12/10,
Sumber Data : Rencana penambahan pembangkit listrik (2008-2027) PT. PLN (Persero) wilayah Sulselrabar---dari Pak Andi
user, 25/05/11,
user, 25/05/11,
Administrator, 25/12/10,
Data Dirjen Penataan Ruang

f. Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV Baubau – Mambulu (Kabupaten Buton);

g. Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV Tampo (Kabupaten Muna) – Lombe (Kabupaten Buton);

h. Rencana pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Menengah 150 KV menghubungkan Watu – Kolaka Utara – Kolaka – Konawe – Kendari; dan

i. Rencana pembangunan sistem interkoneksi dan jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 275 KV yang interkoneksi dengan jaringan transmisi di Provinsi Sulawesi Selatan.

(5) Gardu Induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi pembangunan Gardu Induk di Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton.

(6) Pembangunan jaringan pipa gas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan bagian dari rencana jaringan transmisi gas bumi nasional Pulau Sulawesi dengan sumber gas Pertamina dan Exspan di jalur Donggi – Pomalaa – Sengkang (Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah).

(7) Terminal Transit Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Depo BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas :

a. Terminal Transit BBM di Kota Baubau dengan jaringan suplai BBM diperoleh dari Kota Balikpapan dan didistribusikan ke Kota Kendari, Kabupaten Raha, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Palopo (Provinsi Sulawesi Selatan), Kolonodale, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Luwuk (Provinsi Sulawesi Tengah);

b. Depo BBM Kendari di Kota Kendari;

c. Depo BBM Bau-Bau di Kota Baubau;

d. Depo BBM Raha di Kabupaten Muna;

e. Depo BBM Kolaka di Kabupaten Kolaka;

f. Rencana Depo BBM di Kabupaten Kolaka Utara;

g. Rencana Depo BBM Lasalimu di Kabupaten Buton; dan

h. Rencana Depo BBM di Kabupaten Buton Utara.

(8) Rincian rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum sebagai Lampiran XI, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 2Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 20

(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, terdiri atas :

a. sistem jaringan mikro digital;

23

user, 07/03/11,
Usulan Kab. Kolut, 01 Maret 2011
Administrator, 10/12/10,
Sumber Data : Dirjen Penataan Ruang, File Name “TEMPLATE MASUKAN RAPERDA provkab”
Administrator, 25/12/10,
Data pak Andi, Matriks Rencana Jaringan Transmisi Gas Bumi*.xls

b. sistem jaringan telekomunikasi tetap;

c. sistem jaringan terestrial;

d. sistem jaringan satelit;

e. sistem jaringan stasiun radio lokal; dan

f. sistem jaringan stasiun televisi lokal.

(2) Sistem jaringan mikro digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas :

a. jaringan mikro digital di wilayah Kota Kendari;

b. jaringan mikro digital di wilayah Kabupaten Konawe;

c. jaringan mikro digital yang melintasi wilayah Kabupaten Konawe Selatan;

d. jaringan mikro digital di wilayah Kabupaten Kolaka;

e. jaringan mikro digital di wilayah Kabupaten Muna; dan

f. jaringan mikro digital di wilayah Kota Baubau.

(3) Sistem jaringan telekomunikasi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu sistem jaringan tetap lokal menggunakan kabel (wireline) cakupan provinsi yang terdiri atas :

a. sistem jaringan Stasiun Telepon Otomat (STO) meliputi :

1. STO Unaaha di Kabupaten Konawe;

2. STO Andoolo di Kabupaten Konawe Selatan;

3. STO Kendari di Kota Kendari;

4. STO Raha di Kabupaten Muna;

5. STO Kolaka di Kabupaten Kolaka;

6. STO Pasarwajo di Kabupaten Buton;

7. STO Wangi-Wangi di Kabupaten Wakatobi;

8. STO Kasipute di Kabupaten Bombana;

9. STO Lasusua di Kabupaten Kolaka Utara; dan

10. STO Wanggudu di Kabupaten Konawe Utara.

b. sistem jaringan Fiber Optic (serat optik) yang terhubung antara STO 1 Kemaraya dan STO 2 Wua-wua yang lokasinya di Kota Kendari.

(4) Sistem jaringan terestrial dalam provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c teraplikasi dalam bentuk jaringan teknologi seluler yang tersebar pada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(5) Sistem jaringan satelit dalam provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d teraplikasi dalam bentuk pengembangan jaringan internet yang ada.

(6) Sistem jaringan stasiun radio lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, direncanakan menjangkau ke seluruh pelosok perdesaan dengan stasiun pemancar terdapat di Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton.

24

user, 07/03/11,
Usulan Buton, 01 Maret 2011
user, 07/03/11,
user, 08/03/11,
Usulan Konut, 01 Maret 2011, sudah ada di Wanggudu
Administrator, 13/12/10,
Sumber Data : Dirjen Penataan Ruang, File Name “TEMPLATE MASUKAN RAPERDA provkab”

(7) Sistem jaringan stasiun televisi lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f direncanakan siarannya menjangkau ke seluruh wilayah provinsi dengan stasiun terdapat di Kota Kendari dan Kota Baubau.

(8) Rincian rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran XII, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 3Sistem Jaringan Pengelolaan Sumberdaya Air

Pasal 21

Sistem jaringan prasarana sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 huruf c terdiri atas :

a. Wilayah Sungai (WS);

b. Cekungan Air Tanah (CAT);

c. jaringan irigasi;

d. prasarana/jaringan air baku;

e. prasarana air baku untuk air minum;

f. sistem pengendalian banjir; dan

g. sistem pengamanan pantai.

Pasal 22

(1) Wilayah Sungai (WS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a terdiri atas :

a. WS Lintas Provinsi meliputi :

1. WS Pompengan - Larona dengan lintas Provinsi Sulawesi Selatan – Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi DAS Pompengan, DAS Larona, DAS Kalaena, DAS Latuppa, DAS Bua, DAS Lamasi, DAS Makawa, DAS Bungadidi, DAS Kebo, DAS Rongkong dan DAS Baleasa; dan

2. WS Lasolo – Sampara dengan lintas Provinsi Sulawesi Tenggara – Provinsi Sulawesi Selatan – Provinsi Sulawesi Tengah meliputi DAS Lasolo, DAS Sampara, DAS Lalindu, DAS Aopa, DAS Tinobu, DAS Lahumbuti, DAS Landawe dan DAS Amesiu.

b. WS Lintas Kabupaten/Kota meliputi :

1. WS Poleang-Roraya meliputi DAS Poleang, DAS Roraya, DAS Langkowala, DAS Asole, DAS Bogora, DAS Muna, DAS Lausu, DAS Kasipute, DAS Toburi, DAS Laeya, DAS Wolasi, DAS Baito dan DAS Benua;

2. WS Towari-Lasusua meliputi DAS Towari, DAS Lasusua, DAS Welulu, DAS Oko-oko, DAS Mekongga, DAS Tamboli, DAS Woimenda dan DAS Simbune;

3. WS Pulau Buton meliputi DAS Bungi, DAS Ambe, DAS Wonco, DAS Baubau, DAS Kabongka dan DAS Winto; dan

25

Administrator, 22/04/11,
Sumber Data : PermenPU 11A-2006 Penetapan WS

4. WS Pulau Muna meliputi DAS Tiworo, DAS Kancintala, DAS Bone, DAS Ronta, DAS Jompi dan DAS Kontu.

(2) Cekungan Air Tanah (CAT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b meliputi:

a. CAT dalam satu kabupaten/kota meliputi CAT Kolaka, CAT Andoolo, CAT Ambesia, CAT Weputang, CAT Labuan Tobelo, CAT Bangbong, CAT Lambale, CAT Ereke, CAT Kaliwinto, CAT Lasalimu dan CAT Lelewowo; dan

b. CAT lintas kabupaten meliputi CAT Ranomeeto, CAT Rawua, CAT Tangketada, CAT Ewolangka, CAT Tinanggea, CAT Muna, CAT Lebo, CAT Konde, CAT Baubau dan CAT Bungku.

(3) Jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c merupakan Daerah Irigasi (DI) meliputi:

a. DI utuh kabupaten/kota yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat meliputi DI Wundulako di Kabupaten Kolaka dengan luas pelayanan 3.113 ha dan DI Wawotobi di Kabupaten Konawe dengan luas pelayanan 16.358 ha;

b. DI yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:

1. DI lintas kabupaten/kota terletak di Kota Baubau meliputi DI Wonco I dengan luas pelayanan 834 ha, DI Wonco II dengan luas pelayanan 278 ha dan DI Wonco III dengan luas pelayanan 294 ha.

2. DI utuh kabupaten/kota terletak di :

a) Kabupaten Konawe Selatan meliputi DI Laeya dengan luas pelayanan 1.391 ha, DI Roraya I dengan luas pelayanan 1.393 ha dan DI Roraya III dengan luas pelayanan 1.833 ha;

b) Kabupaten Muna yaitu DI Kambara dengan luas pelayanan 2.038 ha;

c) Kabupaten Kolaka meliputi DI Ladongi dengan luas pelayanan 2.212 ha dan DI Tamboli dengan luas pelayanan 1.395 ha;

d) Kabupaten Konawe meliputi DI Asolu dengan luas pelayanan 1.089 ha, DI Walay dengan luas pelayanan 2.300 ha dan DI Ameroro dengan luas pelayanan 1.903 ha; dan

e) Kabupaten Bombana yaitu DI Poleang dengan luas pelayanan 2.531 ha.

c. DI yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten terletak di :

1. Kabupaten Kolaka Utara meliputi DI Batu Putih dengan luas pelayanan 280 ha, DI Rante Angin dengan luas pelayanan 265 ha dan DI Pakue Tengah dengan luas pelayanan 430 ha;

2. Kabupaten Buton meliputi DI Bonetiro dengan luas pelayanan 250 ha, DI Kapontori dengan luas pelayanan 486 ha, DI Kinapani dengan luas pelayanan 605 ha, DI Lawele dengan luas pelayanan 409 ha, dan DI Wakalambe dengan luas pelayanan 260 ha, DI Pasarwajo (Desa Wining) dengan luas pelayanan 100 ha dan DI Mawasangka (Desa Terapung) dengan luas pelayanan 300 ha ;

26

user, 08/06/11,
Usulan Buton, 01 Maret 2011
user, 08/06/11,
Usulan Buton, menjadi 217,25 ha. Usulan ini tidak diinput karena luasan berkurang
user, 08/06/11,
Usulan Buton, namanya Wakalambe bukan Wakalamba
user, 08/06/11,
326 menjadi 409
user, 08/06/11,
568 menjadi 605
user, 08/06/11,
Usulan Buton, namanya Kinapani bukan Kinapane
user, 08/06/11,
196 menjadi 486
user, 08/06/11,
Usulan Kolut, 01 Maret 2011
user, 08/06/11,
Sumber : Lampiran Kepmen PU 390 Tahun 2007 Penetapan Status DI.

3. Kabupaten Konawe Selatan meliputi DI Aepodu dengan luas pelayanan 350 ha, DI Alangga dengan luas pelayanan 215 ha, DI Amoito dengan luas pelayanan 664 ha, DI Amotowo dengan luas pelayanan 265 ha, DI Atari Lama dengan luas pelayanan 208 ha, DI Baito dengan luas pelayanan 324 ha, DI Danamulya dengan luas pelayanan 229 ha, DI Kolono dengan luas pelayanan 250 ha, DI Konda dengan luas pelayanan 121 ha, DI Landono dengan luas pelayanan 574 ha, DI Lapoa dengan luas pelayanan 645 ha, DI Lapulu dengan luas pelayanan 273 ha, DI Moramo I dengan luas pelayanan 506 ha, DI Moramo II dengan luas pelayanan 145 ha, DI Mowila I dengan luas pelayanan 433 ha, DI Mowila II dengan luas pelayanan 461 ha, DI Pamandati dengan luas pelayanan 230 ha, DI Ranomeeto dengan luas pelayanan 358 ha, DI Tanea Baru dengan luas pelayanan 569 ha, DI Tanea Lama dengan luas pelayanan 195 ha, DI Teteasa dengan luas pelayanan 664 ha dan DI Wolasi dengan luas pelayanan 384 ha;

4. Kabupaten Muna meliputi DI Benbe 1 dengan luas pelayanan 95 ha, DI Katangana dengan luas pelayanan 433 ha, DI Kolasa dengan luas pelayanan 468 ha, DI Langkolome dengan luas pelayanan 350 ha, DI Lupia dengan luas pelayanan 100 ha, DI Marobea dengan luas pelayanan 125 ha, DI Pure dengan luas pelayanan 200 ha dan DI Tambak Maligano dengan luas pelayanan 250 ha;

5. Kabupaten Kolaka meliputi DI Andowengga dengan luas pelayanan 366 ha, DI Balandete dengan luas pelayanan 564 ha, DI Hukohuko dengan luas pelayanan 606 ha, DI Konaweha dengan luas pelayanan 415 ha, DI Lapaopao dengan luas pelayanan 325 ha, DI Loeya dengan luas pelayanan 322 ha, DI Mowewe I dengan luas pelayanan 354 ha, DI Mowewe II dengan luas pelayanan 351 ha, DI Penanggo dengan luas pelayanan 200 ha, DI Simbune Atas dengan luas pelayanan 332 ha, DI Simbune Bawah dengan luas pelayanan 629 ha, DI Tokay dengan luas pelayanan 680 ha, DI Tonggauna dengan luas pelayanan 215 ha, DI Waitombo dengan luas pelayanan 278 ha, DI Watubangga dengan luas pelayanan 238 ha, DI Wolo dengan luas pelayanan 575 ha dan DI Wolulu dengan luas pelayanan 351 ha;

6. Kabupaten Konawe meliputi DI Aleute dengan luas pelayanan 195 ha, DI Alosika dengan luas pelayanan 600 ha, DI Amonggedo dengan luas pelayanan 825 ha, DI Benua dengan luas pelayanan 670 ha, DI Lasada dengan luas pelayanan 347 ha, DI Meluhu dengan luas pelayanan 541 ha, DI Paku Jaya dengan luas pelayanan 227 ha, DI Sambaosu dengan luas pelayanan 500 ha, DI Sonay dengan luas pelayanan 256 ha dan DI Tukambopo dengan luas pelayanan 499 ha;

7. Kabupaten Bombana meliputi DI Batulasa dengan luas pelayanan 250 ha, DI Kasipute dengan luas pelayanan 673 ha, DI Langkowala dengan luas pelayanan 639 ha, DI Taubonto dengan luas pelayanan 296 ha dan DI Toburi dengan luas pelayanan 379 ha;

8. Kota Kendari yaitu DI Amohalo dengan luas pelayanan 550 ha;

27

9. Kota Baubau yaitu DI Liabuku dengan luas pelayanan 550 ha;

10. Kabupaten Wakatobi yaitu DI Sombano di Pulau Kaledupa dengan luas pelayanan 120 ha; dan

11. Kabupaten Buton Utara yaitu DI Soloy Agung dengan luas pelayanan 300 ha.

(4) Prasarana/jaringan air baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d merupakan pengembangan bendung/bendungan dan waduk dalam rangka penyediaan air baku meliputi :

a. bendung nasional meliputi Bendung Wawotobi di Kabupaten Konawe, Bendung Wundulako di Kabupaten Kolaka, Bendungan Benua Aporo di Kabupaten Konawe Selatan dan rencana Bendungan Pelosika di Kabupaten Konawe;

b. bendung provinsi terletak di :

1. Kabupaten Konawe meliputi Bendung Asolu, Bendung Walay, Bendung Laeya, Bendung Roraya I dan Bendung Roraya II;

2. Kabupaten Muna yaitu Bendung Kambara;

3. Kabupaten Bombana yaitu Bendung Poleang; dan

4. Kabupaten Kolaka meliputi Bendung Ladongi dan Bendung Tamboli.

c. waduk terletak di :

1. Kabupaten Konawe meliputi waduk di Lambuya, Ameroro dan Unaaha;

2. Kabupaten Konawe Selatan meliputi waduk di Padambulo, Lanowulu, Lamopala; dan

3. Kabupaten Kolaka yaitu waduk di Wolo.

(5) Prasarana air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e merupakan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) terdiri atas:

a. Instalasi Pengolahan Air Bersih (IPA) meliputi :

1. IPA Punggolaka di Kota Kendari bersumber dari Sungai Konaweha;

2. IPA Anggoeya di Kota Kendari bersumber dari Sungai Anggoeya;

3. IPA Wanggu di Kota Kendari bersumber dari Sungai Wanggu;

4. IPA Matabondu Kecamatan Bondoala Kabupaten Konawe;

5. IPA Andonohu Kecamatan Poasai Kota Kendari;

6. IPA Gunung Kecamatan Kendari Kota Kendari;

7. IPA Raha di Kabupaten Muna bersumber dari mata air Jompi dan Laende;

8. IPA Unaaha di Kabupaten Konawe bersumber dari Sungai Meroro;

9. IPA Aepodu di Kabupaten Konawe Selatan bersumber dari sumur dalam;

10. IPA Kasipute di Kabupaten Bombana bersumber dari Sungai Sangkona;

11. IPA Pasarwajo di Kabupaten Buton bersumber dari mata air Bungi dan Pasarwajo;

12. IPA Mawasangka di Kabupaten Buton bersumber dari mata air Lantongau;

28

user, 08/06/11,
Kecamatan Laeya
Administrator, 27/12/10,
Sumber data : Lampiran RTRWN Peta Struktur Ruang
user, 08/06/11,
Usulan Butur
user, 08/06/11,
Usulan Kabupaten Wakatobi
user, 08/06/11,
Usulan Bau Bau, namanya bukan Amohola seperti dalam Lampiran Kepmen PU No. 390 Tahun 2007

13. IPA Kolaka di Kabupaten Kolaka bersumber dari Sungai Kolaka dan Sungai Mangolo;

14. IPA Lasusua di Kabupaten Kolaka Utara bersumber dari Sungai Watuliwu;

15. IPA Wangi-Wangi di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi bersumber dari mata air Wa Gehe-Gehe, Longa, Te’e Bete, Te’e Liya, Hu’u, Kampa, Balande dan mata air Te’e Fo’ou;

16. IPA Kaledupa di Pulau Kaledupa bersumber dari mata air Batambawi dan Lenteaoge;

17. IPA di Pulau Tomia Kabupaten Wakatobi bersumber dari mata air He’ulu;18. IPA Binongko di Pulau Binongko Kabupaten Wakatobi bersumber dari mata

air Lia Meangi;19. IPA Buranga dan IPA Engkoruru di Kabupaten Buton Utara bersumber dari

mata air Eengkapala, Eenunu dan Mata Owola; dan20. IPA Baadia dan IPA Bukit Wolio Indah di Kota Baubau yang bersumber dari

Sungai Bau-bau.b. sumber mata air yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi

Sulawesi Tenggara; danc. sumber sumur dalam yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi

Sulawesi Tenggara.

(6) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf f meliputi pengembangan prasarana pengendali banjir terdiri atas :

a. Cek Dam meliputi Cek Dam Lalonggasu di Kabupaten Konawe Selatan, Cek Dam Manggadua di Kota Kendari, rencana Cek Dam pada muara Sungai Wanggu dan Sungai Kadia di Kota Kendari dan Cek Dam Surawolio di Kota Baubau;

b. perlindungan tangkapan air berupa normalisasi sungai yang terletak di :1. sungai Lasusua di Kabupaten Kolaka Utara;

2. sungai Wanggu di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan;

3. sungai Lakambula di Kabupaten Bombana;

4. sungai Balandete di Kabupaten Kolaka; dan

5. sungai Kabangka di Kabupaten Buton.

c. pembangunan tanggul pada sungai-sungai rawan banjir yang terletak di sungai Lahundapi di Kota Kendari dan sungai Konaweha di Kabupaten Konawe;

d. pembangunan drainase primer sepanjang jalan nasional dan jalan provinsi yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(7) Sistem pengaman pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf g terdiri atas kegiatan pembangunan, rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana pengaman pantai sepanjang 4.199,18 kilometer yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(8) Rincian rencana pengembangan sistem jaringan pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran XIII, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

29

user, 08/06/11,
Usulan Butur

Paragraf 4Sistem Jaringan Prasarana Persampahan

Pasal 23

Sistem prasarana persampahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d yaitu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan sistem sanitary landfill.

Paragraf 5Sistem Jaringan Prasarana Sanitasi

Pasal 24

Sistem prasarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e yaitu Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang direncanakan di Kota Kendari dan Kota Baubau.

BAB IVRENCANA POLA RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian KesatuUmum

Pasal 25

(1) Rencana pola ruang wilayah provinsi terdiri atas :

a. kawasan lindung; dan

b. kawasan budidaya.

(2) Rencana pola ruang provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digambarkan dalam peta rencana pola ruang dengan skala ketelitian minimal 1 : 250.000 sebagai Lampiran XIV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian KeduaKawasan Lindung

Pasal 26

(1) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a terdiri atas:

a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;

b. kawasan perlindungan setempat;

c. kawasan suaka alam dan pelestarian alam;

d. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

e. kawasan rawan bencana alam; dan

f. kawasan lindung geologi.

(2) Rincian kawasan lindung provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran XV dan XVI, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

30

Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 27

Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a terdiri atas :

a. kawasan hutan lindung seluas 1.081.489 ha yang tersebar di seluruh kabupaten/kota;

b. kawasan gambut terdapat pada Rawa Tinondo di Mowewe Kabupaten Kolaka dan Rawa Aopa Watumohai di Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan; dan

c. kawasan resapan air yaitu di kawasan hutan konservasi seluas 282.924 ha yang tersebar di seluruh kabupaten/kota kecuali Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Wakatobi.

Paragraf 2Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 28

(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b terdiri atas :

a. sempadan pantai;

b. sempadan sungai;

c. kawasan sekitar danau; dan

d. kawasan sekitar waduk.

(2) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu kawasan pantai sepanjang 4.199,18 kilometer yang ditetapkan dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai antara 100 meter sampai dengan 200 meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat.

(3) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menyebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan ketentuan :

a. sempadan sungai yang melewati kawasan permukiman yang sudah ada hendaknya berjarak minimal 15 meter dari tepi sungai;

b. sempadan sungai yang melewati kawasan permukiman terencana hendaknya berjarak antara 15 meter sampai dengan 25 meter dari tepi sungai; dan

c. sempadan sungai di luar kawasan permukiman dan kawasan rawan banjir hendaknya berjarak 50 meter dari tepi sungai.

(2) Kawasan sekitar danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Danau Biru di Kabupaten Kolaka Utara, Danau Tiga Warna Linomoio di Kabupaten Konawe Utara dan Danau Napabale di Kabupaten Muna, dengan ketentuan kawasan tepian danau yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau

31

user, 09/06/11,
Luasan hutan konservasi

antara 50 meter sampai dengan 100 meter dari titik pasang air danau tertinggi.

(3) Kawasan sekitar waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tersebar di Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka, dengan ketentuan kawasan sekitar waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik waduk antara 50 meter sampai dengan 100 meter dari titik pasang air waduk tertinggi.

Paragraf 3Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam

Pasal 29

(1) Kawasan suaka alam dan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c merupakan kawasan lindung nasional yang ditetapkan dalam RTRW Nasional yang terkait dengan wilayah provinsi meliputi :

a. cagar alam;

b. suaka margasatwa;

c. taman nasional;

d. taman wisata alam;

e. taman wisata alam laut; dan

f. taman hutan raya.

(2) Cagar alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

a. Cagar Alam Lamedai di Kabupaten Kolaka dengan luas sebesar 635,16 ha;

b. Cagar Alam Napabalano di Kabupaten Muna dengan luas sebesar 9,20 ha; dan

c. Cagar Alam Kakenauwe di Kabupaten Buton dengan luas sebesar 810 ha.

(3) Suaka margasatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

a. Suaka Margasatwa Buton Utara di Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton Utara dengan luas 82.000 ha;

b. Suaka Margasatwa Tanjung Amelengo di Kabupaten Konawe Selatan dengan luas 850 ha;

c. Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Kabupaten Konawe Selatan dengan luas 38.000 ha;

d. Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo di Kabupaten Konawe Selatan dengan luas sebesar 4.016 ha; dan

e. Suaka Margasatwa Lambusango di Kabupaten Buton dengan luas sebesar 28.510 ha.

(4) Taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :

a. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai tersebar di Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan dengan luas seluruhnya 105.194 ha; dan

b. Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi di Kabupaten Wakatobi dengan luas 1.390.000 ha.

32

(5) Taman wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :

a. Taman Wisata Alam Mangolo di Kabupaten Kolaka dengan luas 5.200 ha; dan

b. Taman Wisata Alam Tirta Rimba di Kota Baubau dengan luas 488 ha.

(6) Taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :

a. Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padamarang di Kabupaten Kolaka dengan luas 36.000 ha;

b. Taman Wisata Alam Laut Selat Tiworo di Kabupaten Muna seluas 27.936 Ha;

c. Taman Wisata Alam Laut Liwutongkidi di Kabupaten Buton seluas 3.000 Ha; dan

d. Taman Wisata Alam Laut Teluk Lasolo di Kabupaten Konawe Utara dengan luas 81.800 ha.

(7) Taman hutan raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yaitu Taman Hutan Raya (Tahura) Murhum seluas 7.877 ha yang tersebar di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe.

Paragraf 4Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan

Pasal 30

Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d terletak di :

a. Kota Baubau meliputi kawasan Keraton Buton, Benteng Sorawolio, Kamali Malige, Benteng di Kalampa, Istana Ilmiah dan Benteng Palagimata;

b. Kabupaten Muna meliputi situs Benteng Loji, Gua (Kumapo) Kobori, Gua (Kumapo) Metanduno, Ceruk Lasabo, Ceruk Latanggara, Kumapo Wabose, Kumapo Toko, Kumapo Lokolombu, Metadunu dan Mesjid Tua Muna;

c. Kabupaten Buton Utara meliputi Benteng Bangkudu, Benteng Lipu (Benteng Keraton Kulisusu) dan Benteng Pangilia;

d. Kota Kendari meliputi situs Makam Raja Sao-sao, situs Bunker dan Terowongan Jepang, situs Kota Lama Kendari;

e. Kabupaten Buton meliputi Benteng Takimpo, Makam Oputa Yii Koo, Benteng Bombonawulu, Benteng Lapandewa, Makam/Benteng Sangia Wambulu dan Perkampungan Tua Kapontori;

f. Kabupaten Wakatobi meliputi Benteng Liya Togo, Benteng Tindoi, Benteng Wabue-Bue, Benteng Koba, Benteng Watinti, Benteng Mandati Tonga, Benteng Togo Molengo (Kapota), Benteng Baluara (Kapota) dan Kuburan Tua Tindoi di Pulau Wangi-Wangi; Benteng Pangilia, Benteng Ollo, Benteng La Donda, Benteng Horuo, Benteng La Manungkira, Benteng La Bohasi, Benteng Tapa’a, Masjid Tua Kampung Bente, Rumah Adat Bontona Kaledupa dan Makam Bontona Kaledupa di Pulau Kaledupa; Benteng Patua, Benteng Suo-Suo, Benteng Rambi Randa, Makam Ince Sulaiman dan Masjid Tua di Pulau Tomia; dan Benteng Fatiwa, Benteng Oihu,

33

user, 09/06/11,
Kec. Sangia Wambulu
user, 09/06/11,
Kec. Gu
user, 09/06/11,
Kec. Siontapina
user, 09/06/11,
Kec. Pasarwajo
user, 09/06/11,
Wisata alam perbukitan, ada benteng kecil diatas bukit
user, 09/06/11,
Berdasarkan SK Penetapan Situs Cagar Budaya Nomor : KM.8/PW.007/MKP- 03, tanggal 4 Maret 2003, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika

Benteng Wali, Benteng Palahidu, Benteng Baluara, Benteng Haka, Benteng Tadu Taipabu dan Kapal Vatampina (Batu Menyerupai Kapal) di Pulau Binongko;

g. Kabupaten Kolaka meliputi situs kompleks Makam Sangia Nibandera, tambang nikel peninggalan Jepang, Gua Istana Porabua, Gua Watu Wulaa Silea dan Batu Tapak Mowewe;

h. Kabupaten Konawe yaitu situs Makam Raja Lakidende;

i. Kabupaten Bombana meliputi situs Pajongang, Goa Watuburi dan situs Makam Sangia Dowo; dan

j. Kabupaten Konawe Utara yaitu Goa Solooti.

Paragraf 5

Kawasan Rawan Bencana

Pasal 31

(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf e terdiri atas:

a. kawasan rawan tanah longsor; dan

b. kawasan rawan banjir.

(2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terletak di Kecamatan Puwatu Kota Kendari, Kecamatan Asera di Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Konawe Selatan (Kecamatan Konda, Laonti, Tinanggea dan Palangga), Kabupaten Konawe (Kecamatan Abuki, Mowewe dan Wawotobi), Kecamatan Wakorumba di Kabupaten Buton Utara, Kecamatan Kapontori dan Lasalimu di Kabupaten Buton, Kecamatan Lasusua dan Ngapa di Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Kolaka (Kecamatan Tirawuta, Latambaga, Kolaka, Ranteangin dan Samaturu).

(3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terletak di Kecamatan Puwatu Kota Kendari, Kabupaten Konawe Utara (Kecamatan Sawa, Asera dan Lasolo), Kabupaten Konawe (Kecamatan Wawotobi, Abuki, Sanggena, Lambuya dan Soropia), Kabupaten Konawe Selatan (Kecamatan Tinanggea, Angata, Konda dan Laonti), Kabupaten Kolaka (Kecamatan Tirawuta, Mowewe, Samaturu, Baula dan Kolaka), Kabupaten Kolaka Utara (Kecamatan Ranteangin, Pakue dan Batuputih), Kabupaten Bombana (Kecamatan Kasipute dan Angata), Kabupaten Buton Utara (Wakorumba dan Kulisusu), Kabupaten Muna (Kecamatan Kabawo, Tikep dan Kabangka) dan Kabupaten Buton (Kecamatan Lasalimu dan Kapontori).

Paragraf 6

Kawasan Lindung Geologi

Pasal 32

(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf f terdiri atas :

34

a. kawasan rawan bencana alam geologi;

b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah; dan

c. kawasan Karst.

(2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri :

a. kawasan rawan gempa bumi terletak di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe, Kecamatan Laonti dan Kolono di Kabupaten Konawe Selatan, Kota Kendari, Kabupaten Kolaka Utara (Kecamatan Batuputih, Pakue dan Lasusua), Kecamaan Kapontori dan Batauga di Kabupaten Buton, Kecamatan Wakorumba dan Kambowa di Kabupaten Buton Utara;

b. kawasan rawan gerakan tanah terletak di Kabupaten Konawe (Pulau Wawonii dan Kecamatan Lambuya), Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan (Kecamatan Laonti, Kolono, Konda, Landono dan Angata), Kecamatan Asera di Kabupaten Konawe Utara, Kecamatan Batuputih di Kabupaten Kolaka Utara, Kecamatan Rarowatu di Kabupaten Bombana, Kecamatan Wakorumba di Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Kolaka (Kecamatan Baula, Watubangga dan Mowewe) dan Kabupaten Buton (Kecamatan Kapontori dan Pasarwajo);

c. kawasan rawan tsunami terletak di Kabupaten Muna (Kecamatan Tikep, Parigi dan Kabangka), Kabupaten Buton (Kecamatan Lapandewa, Lakudo dan Mawasangka) dan Kabupaten Wakatobi; dan

d. kawasan rawan erosi terletak di Kecamatan Lasalimu dan Sampolawa Kabupaten Buton, Kabupaten Kolaka (Kecamatan Watubangga, Baula, Tirawuta, Latambaga, Samaturu dan Ranteangin), Kecamatan Pakue dan Batuputih di Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Konawe Selatan (Kecamatan Landono, Tinanggea dan Palangga).

(3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu sempadan mata air dengan radius 200 meter di sekitar mata air yang menyebar pada seluruh lokasi mata air di kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tenggara.

(4) Kawasan Karst sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tersebar pada Kecamatan Tongkuno di Kabupaten Muna, Kecamatan Latambaga di Kabupaten Kolaka, Kecamatan Kulisusu di Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Konawe Utara, Kecamatan Sorawolio, Batauga, Pasarwajo dan Gu di Kabupaten Buton, Kecamatan Wawo, Ranteangin dan Batuputih di Kabupaten Kolaka Utara.

Bagian KetigaKawasan Budidaya

Pasal 33

Rencana pengembangan kawasan budidaya wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b meliputi :

a. kawasan budidaya yang ditetapkan dalam RTRW Nasional yang terkait dengan

35

wilayah provinsi; dan

b. rencana pengembangan kawasan budidaya provinsi.

Pasal 34

Kawasan budidaya yang ditetapkan dalam RTRW Nasional yang terkait dengan wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi :

a. Kawasan Andalan Asesolo meliputi kecamatan Asera dan Lasolo di Kabupaten Konawe Utara dengan sektor unggulan agroindustri, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, industri dan pariwisata;

b. Kawasan Andalan Kapolimu – Patikala meliputi kecamatan Kapontori dan Lasalimu di Kabupaten Buton – kecamatan Parigi, Tiworo Kepulauan, Kabawo dan Lawa di Kabupaten Muna, dengan sektor unggulan agroindustri, pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata;

c. Kawasan Andalan Mowedong meliputi kecamatan Mowewe dan Ladongi di Kabupaten Kolaka dengan sektor unggulan agroindustri, pertambangan, perikanan, perkebunan dan pertanian;

d. Kawasan Andalan Laut Asera - Lasolo di Kabupaten Konawe Utara dengan sektor unggulan perikanan dan pariwisata;

e. Kawasan Andalan Laut Kapontori - Lasalimu dan sekitarnya di Kabupaten Buton dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan dan pariwisata; dan

f. Kawasan Andalan Laut Tiworo dan sekitarnya di Kabupaten Muna dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan dan pariwisata.

Pasal 35

(1) Rencana pengembangan kawasan budidaya provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b terdiri atas :

a. kawasan peruntukan hutan produksi;

b. kawasan peruntukan pertanian;

c. kawasan peruntukan perikanan;

d. kawasan peruntukan pertambangan;

e. kawasan peruntukan industri;

f. kawasan peruntukan pariwisata;

g. kawasan peruntukan permukiman; dan

h. kawasan peruntukan lainnya.

(2) Rincian rencana pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran XVII, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

36

Paragraf 1Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Pasal 36

(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1) huruf a terdiri atas :

a. kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT);

b. kawasan Hutan Produksi (HP); dan

c. kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK).

(2) Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a seluas 466.854 ha dan tersebar pada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara kecuali Kota Kendari dan Kabupaten Wakatobi.

(3) Kawasan Hutan Produksi (HP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b seluas 401.581 ha dan tersebar pada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara kecuali Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Wakatobi.

(4) Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c seluas 93.571 ha dan tersebar pada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara kecuali Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Wakatobi.

Paragraf 2

Kawasan Peruntukan Pertanian

Pasal 37

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b terdiri atas :

a. kawasan peruntukan tanaman pangan;

b. kawasan peruntukan hortikultura;

c. kawasan peruntukan perkebunan; dan

d. kawasan peruntukan peternakan.

(2) Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a seluas 431.853 dan tersebar di Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kota Baubau dan Kota Kendari.

(3) Kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b seluas 450.596,10 ha dan tersebar di Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Buton dan Kabupaten Wakatobi.

(4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c seluas 658.186 ha dan tersebar hampir pada seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi

37

user, 04/07/11,
Sawah 96.991 ha, tegal/kebun 209.068 ha, ladang 125.794 ha

Tenggara.

(5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tersebar hampir pada seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(6) Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan akan dipertahankan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan pada lahan-lahan Daerah Irigasi (DI).

Paragraf 3Kawasan Peruntukan Perikanan

Pasal 38

(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c terdiri atas:

a. kawasan peruntukan perikanan tangkap;

b. kawasan peruntukan perikanan perairan darat; dan

c. kawasan Minapolitan.

(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a seluas 2.087.400 ha yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara sepanjang garis pantai 4.199,18 km dengan kewenangan pengelolaan wilayah laut provinsi dari 4 mil sampai dengan 12 mil dan kawasan budidaya laut seluas 396.915 ha yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(3) Kawasan peruntukan perikanan perairan darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari budidaya air tawar seluas 26.189 ha dan budidaya air payau seluas 58.930 ha tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(4) Kawasan Minapolitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tersebar di Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Buton, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Muna, Kota Kendari dan Kota Baubau.

Paragraf 4Kawasan Peruntukan Pertambangan

Pasal 39

(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf d merupakan Wilayah Pertambangan (WP) yang terdiri atas:

a. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP); dan

b. Wilayah Pencadangan Negara (WPN).

(2) Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a seluas 1.624.87 Ha terletak di:

a. Kabupaten Bombana seluas 186.251,79 Ha dengan potensi tambang Emas Placer, Nikel Laterit dan Tromit Placer;

38

user, 06/01/11,
Mengikuti UU 4 2009 Minerba

b. Kabupaten Buton seluas 157.675,99 Ha dengan potensi tambang Mangan, Nikel Laterit, Aspal dan Batu Gamping;

c. Kabupaten Buton Utara seluas 37.643,44 Ha dengan potensi tambang Pasir Kromit, Biji Besi atau Pasir Besi, Aspal dan Batu Gamping;

d. Kabupaten Kolaka seluas 115.992,57 Ha dengan potensi tambang Nikel Laterit, Besi Laterit atau Biji Besi, Marmer dan Batu Gamping;

e. Kabupaten Kolaka Utara seluas 233.115,46 Ha dengan potensi tambang Nikel Laterit, Pasir Krom (Kromit Placer), Marmer dan Batu Gamping;

f. Kabupaten Konawe seluas 458.623,41 Ha dengan potensi tambang Nikel Laterit, Batu Gamping dan Marmer;

g. Kabupaten Konawe Selatan seluas 132.852,29 Ha dengan potensi tambang Nikel Laterit, Marmer dan Batu Gamping;

h. Kabupaten Konawe Utara seluas 278.297,91 Ha dengan potensi tambang Nikel Laterit, Biji Besi, Batu Gamping dan Marmer;

i. Kabupaten Muna seluas 4.057,37 Ha dengan potensi tambang Batu Gamping, Aspal;

j. Kota Baubau seluas 13.546,14 Ha dengan potensi tambang Nikel, Aspal dan Batu Gamping; dan

k. Kota Kendari seluas 6.818,9 Ha dengan potensi tambang Batu Gamping.

(3) Wilayah Pencadangan Negara (WPN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b seluas 18.087 Ha terletak di:

a. Kabupaten Buton Utara seluas 7.418,67 Ha dengan cadangan tambang Aspal;

b. Kabupaten Konawe seluas 6.923,87 Ha dengan cadangan tambang Nikel;

c. Kabupaten Konawe Selatan seluas 1.631,51 Ha dengan cadangan tambang Nikel Laterit; dan

d. Kabupaten Muna seluas 2.113,28 Ha dengan cadangan tambang Aspal.

Paragraf 5

Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 40

(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e terdiri atas:

a. kawasan industri kecil dan menengah; dan

b. kawasan aglomerasi industri skala besar.

(2) Kawasan industri kecil dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(3) Kawasan aglomerasi industri skala besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tersebar pada Pusat Kawasan Industri Pertambangan (PKIP) di Kabupaten Konawe

39

Utara, Kabupaten Buton, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Kolaka Utara.

Paragraf 6

Kawasan Peruntukan Pariwisata

Pasal 41

(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e terdiri atas:

a. kawasan peruntukan pariwisata berskala nasional; dan

b. kawasan peruntukan pariwisata berskala provinsi.

(2) Kawasan peruntukan pariwisata berskala nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas :

a. kawasan wisata alam meliputi Taman Wisata Alam (TWA) Mangolo di Kabupaten Kolaka, TWA Tirta Rimba di Kota Baubau, TWA Laut Kepulauan Padamarang di Kabupaten Kolaka, TWA Laut Selat Tiworo di Kabupaten Muna, TWA Laut Liwutongkidi di Kabupaten Buton, TWA Laut Teluk Lasolo di Kabupaten Konawe Utara, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai tersebar di Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan, Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi di Kabupaten Wakatobi, Cagar Alam Lamedai di Kabupaten Kolaka, Cagar Alam Napabalano di Kabupaten Muna, Cagar Alam Kakenauwe di Kabupaten Buton, Suaka Margasatwa Buton Utara tersebar di Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton Utara, Suaka Margasatwa Tanjung Amelengo di Kabupaten Konawe Selatan, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Kabupaten Konawe Selatan, Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo di Kabupaten Konawe Selatan, Suaka Margasatwa Lambusango di Kabupaten Buton dan Tahura Murhum tersebar di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe; dan

b. kawasan wisata sejarah meliputi rencana Kawasan Khusus Nasional Kompleks Keraton Kesultanan Buton di Kota Baubau yang didalam terdapat situs-situs bersejarah seperti Malige (rumah adat), Benteng Ba’adia, Benteng Sorawolio, Mesjid Agung Keraton Buton, Batu Popaua (batu pelantikan raja/sultan), Sulana Tombi (tiang bendera) dan Makam-makam Sultan Buton; situs Benteng Loji, Gua (Kumapo) Kobori, Gua (Kumapo) Metanduno, Ceruk Lasabo, Ceruk Latanggara, Kumapo Wabose, Kumapo Toko, Kumapo Lokolombu di Kabupaten Muna dan Benteng Bangkudu di Kabupaten Buton Utara.

(3) Kawasan peruntukan pariwisata berskala provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas :

a. Kawasan wisata alam terletak di :

1. Kota Kendari meliputi air terjun Lahundape, agrowisata dan/atau agroforestry Nanga-nanga;

2. Kota Baubau meliputi TWA Laut Pantai Nirwana, TWA Laut Pulau Makasar,

40

user, 10/03/11,
Usulan Bau Bau
user, 01/06/11,
Usulan Bau Bau,akan diusulkan kpd Presiden RI sebagai Kawasan Khusus Nasional, sudah ada surat walikota, surat rekomendasi Gubernur Nomor 640/3365/2007

Air Terjun Tirta Rimba, Air Terjun Samparona, Air Terjun Lagaguna, Permandian Alam Bungi, Gua Lakasa, Gua Ntiti, Gua Kaisabu, Bukit Palatiga dan Kali Baubau;

3. Kabupaten Konawe Selatan meliputi Air Terjun Moramo dan Air Panas Kaeendi;

4. Kabupaten Konawe Utara meliputi Air Panas Wawolesea, Danau Tiga Warna Linomoio, Air Terjun Lawali dan Gua Kelelawar Tanjung Taipa;

5. Kabupaten Kolaka yaitu kawasan permandian sungai Tamborasi;

6. Kabupaten Kolaka Utara meliputi Danau Biru, Air Terjun Ponggi, Gua Tappereng Pasonggi dan Gua Lelewawo;

7. Kabupaten Muna meliputi Danau Napabale, Gua Liang Kobori, Mata Air Jompi, Air Terjun Kalima-Lima dan Batu Berbunga Danau Motonuno;

8. Kabupaten Buton Utara meliputi Air Panas Karede dan Taman Wisata Laut di Teluk Kulisusu; dan

9. Kabupaten Bombana meliputi Gua Watutuburi, Air Panas Tahite dan Air Panas Dongkala.

b. kawasan wisata alam pantai tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara;

c. kawasan wisata sejarah terletak di :

1. Kota Kendari meliputi situs Makam Raja Sao-sao, situs Bunker dan Terowongan Jepang dan situs kota lama Kendari;

2. Kota Baubau meliputi Kamali Malige, situs benteng Kalampa, Istana Ilmiah dan Benteng Palagimata;

3. Kabupaten Buton meliputi Benteng Takimpo, Makam Oputa Yii Koo, Benteng Bombonawulu, Benteng Lapandewa, Makam/Benteng Sangia Wambulu dan Perkampungan Tua Kapontori;

4. Kabupaten Wakatobi meliputi Benteng Liya Togo, Benteng Tindoi, Benteng Mandati Tonga di Pulau Wangi-wangi, Benteng Pangilia dan Benteng Ollo di Pulau Kaledupa, Benteng Patua, Benteng Suo-Suo dan Benteng Rambi Randa di Pulau Tomia, Benteng Fatiwa, Benteng Oihu dan Benteng Wali di Pulau Binongko;

5. Kabupaten Kolaka meliputi situs kompleks Makam Sangia Nibandera, tambang nikel peninggalan Jepang, Gua Istana Porabua, Gua Watu Wulaa Silea dan Batu Tapak Mowewe;

6. Kabupaten Buton Utara meliputi Benteng Lipu (Benteng Keraton Kulisusu) dan Benteng Pangilia;

7. Kabupaten Konawe yaitu situs Makam Raja Lakidende;

8. Kabupaten Bombana meliputi situs Pajongang, Goa Watuburi dan situs Makam Sangia Dowo;

9. Kabupaten Muna meliputi Metadunu dan Mesjid Tua Muna; dan

41

user, 10/03/11,
Kec. Sangia Wambulu
user, 10/03/11,
Kec. Gu
user, 10/03/11,
Kec. Siontapina
user, 10/03/11,
Kec. Pasarwajo
user, 10/03/11,
Wisata alam perbukitan, ada benteng kecil diatas bukit
user, 10/03/11,
500 ha
user, 10/03/11,
Kec. Batu Putih
user, 10/03/11,
Kec. Rante Angin

10. Kabupaten Konawe Utara yaitu Goa Solooti.

d. kawasan wisata budaya tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa perkampungan tradisional, pengembangan atraksi seni budaya tari, upacara adat, atraksi musik dan kerajinan tradisional.

e. kawasan wisata buatan tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Paragraf 7Kawasan Peruntukan Permukiman

Pasal 42

(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf f terdiri atas:

a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan

b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan.

(2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pengembangan permukiman di kawasan perkotaan yang tersebar pada seluruh ibukota kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dan pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) yang terletak di :

a. Kota Kendari meliputi Rusunawa Kota Kendari dan Rusunawa di Universitas Haluoleo;

b. Kota Baubau meliputi Rusunawa Wameo dan Rusunawa Sulaa; dan

c. Kabupaten Kolaka yaitu Rusunawa Kolaka.

(3) Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada diluar kawasan perkotaan yang tersebar pada seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Paragraf 8Kawasan Peruntukan Lainnya

Pasal 43

(1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf g yaitu kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan yang diperuntukan bagi basis militer, daerah latihan militer, daerah pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya, gudang amunisi, daerah uji coba sistem persenjataan dan/atau kawasan sistem pertahanan.

(2) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. kawasan latihan militer di Anggotoa Kabupaten Konawe;

b. kawasan latihan militer di Boro-boro Kabupaten Konawe Selatan; dan

c. kawasan latihan militer di Kota Baubau.

42

user, 10/05/11,
Sorawolio Kompi 725

43

BAB VPENETAPAN KAWASAN STRATEGIS PROVINSI

Pasal 44

(1) Kawasan strategis di wilayah provinsi meliputi :

a. kawasan strategis yang ditetapkan dalam RTRW Nasional sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi, serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan

b. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi.

(2) Kawasan strategis di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta penetapan kawasan strategis provinsi dengan skala ketelitian minimal 1:250.000 yang tercantum dalam Lampiran XVIII, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 45

(1) KSN di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a meliputi :

a. KSN dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi, yaitu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET Bank Sejahtera) pada koridor Kendari Kolaka meliputi beberapa kecamatan di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Kolaka; dan

b. KSN dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu Taman Nasional Rawa Aopa-Watumohai dan Rawa Tinondo yang tersebar di Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan;

(2) KSP dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b yaitu Kawasan Ekonomi Khusus Pertambangan Nasional yang memiliki Pusat Kawasan Industri Pertambangan (PKIP) terdiri atas :

a. PKIP Asera-Wiwirano-Langgikima (AWILA) dengan pusat kawasan Konawe Utara yang meliputi Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Konawe bagian selatan;

b. PKIP Kapontori-Lasalimu (KAPOLIMU) dengan pusat kawasan Lasalimu Kabupaten Buton yang meliputi Pulau Buton dan Pulau Muna;

c. PKIP Kabaena-Torobulu-Wawonii (KARONI) dengan pusat kawasan Torobulu Kabupaten Konawe Selatan yang meliputi Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana dan Pulau Wawonii;

d. PKIP Pomalaa dengan pusat kawasan Kolaka yang meliputi Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Kolaka Utara bagian selatan; dan

e. PKIP Laiwoi dengan pusat kawasan Kolaka Utara yang meliputi Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Konawe bagian utara.

(3) Rincian rencana pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat

44

Administrator, 16/02/11,
Dalam Lampiran RTRWN tentang KSN adalah KAPET Bokori

(1) dan ayat (2) tercantum sebagai Lampiran XIX, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 46

(1) Untuk operasionalisasi RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara disusun Rencana Rinci Tata Ruang berupa Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.

(2) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

BAB VIARAHAN PEMANFAATAN RUANG PROVINSI

Pasal 47

(1) Pemanfaatan ruang wilayah provinsi berpedoman pada rencana struktur ruang, pola ruang dan kawasan strategis.

(2) Pemanfaatan ruang wilayah provinsi dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta sumber pendanaannya.

Pasal 48

(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan.

(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan/atau kerjasama pendanaan.

(3) Kerjasama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Indikasi program utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama antar pemerintah yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan kerjasama dengan pihak swasta dan/atau asing (luar negeri).

(5) Arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang disusun dalam indikasi program utama lima tahunan tercantum sebagai Lampiran XX, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

45

BAB VIIARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG PROVINSI

Bagian KesatuUmum

Pasal 49

(1) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

(2) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas :

a. indikasi arahan peraturan zonasi;

b. arahan perizinan;

c. arahan insentif dan disinsentif; dan

d. arahan sanksi.

Bagian KeduaIndikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi

Pasal 50

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a berfungsi :

a. sebagai dasar pelaksanaan pengawasan pemanfaatan ruang;

b. untuk menyeragamkan arahan peraturan zonasi di seluruh wilayah provinsi untuk peruntukan ruang yang sama; dan

c. sebagai arahan peruntukan fungsi yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat dan dilarang serta intensitas ruang pada wilayah provinsi.

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. indikasi arahan peraturan zonasi untuk rencana struktur ruang;

b. indikasi arahan peraturan zonasi untuk rencana pola ruang; dan

c. indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan strategis.

Paragraf 1Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Rencana Struktur Ruang

Pasal 51

Indikasi arahan peraturan zonasi untuk rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a meliputi :

a. indikasi arahan peraturan zonasi sistem perkotaan;

b. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi;

c. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan energi;

d. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi; dan

e. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan sumberdaya air.

46

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Perkotaan

Pasal 52

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a meliputi :

a. indikasi arahan peraturan zonasi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan PKNp;

b. indikasi arahan peraturan zonasi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan PKWp; dan

c. indikasi arahan peraturan zonasi Pusat Kegiatan Lokal (PKL).

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan PKNp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan :

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala internasional dan nasional untuk menunjang kegiatan ekspor impor yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi dan kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah vertikal, memperhatikan koefisien dasar bangunan maksimum, koefisien lantai minimum, ketinggian bangunan maksimum dan koefisien dasar hijau minimum;

c. penyediaan prasarana dan sarana transportasi yang berstandar internasional maupun nasional yang mampu melayani kegiatan ekspor impor dan untuk menunjang pergerakan ke kawasan internasional serta kawasan lain di sekitarnya;

d. pengembangan serta peningkatan fungsi kawasan industri dan jasa yang melayani skala regional dan nasional;

e. pengembangan serta peningkatan fungsi kawasan investasi internasional; dan

f. pengembangan jaringan telekomunikasi berbasis teknologi tinggi, prasarana sumberdaya air, transmisi tenaga listrik dan pembangkit tenaga listrik untuk mendukung fungsi pelayanan kawasan perkotaan yang berskala nasional dan antarprovinsi.

(3) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk PKW dan PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan :

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah horizontal dikendalikan;

47

c. penyediaan prasarana dan sarana perekonomian untuk menunjang kegiatan industri dan ekspor impor yang mendukung PKN Kota Kendari dan PKNp Kota Baubau;

d. pengembangan sarana dan prasarana pusat pelayanan pemerintahan yang melayani PKL dan kawasan sekitarnya;

e. pengembangan prasarana transportasi untuk menunjang mobilitas baik di dalam maupun ke luar provinsi dan mendukung kegiatan ekspor impor;

f. pengembangan serta peningkatan fungsi kawasan industri dan jasa yang melayani skala provinsi;

g. pengembangan jaringan akses dari pusat-pusat produksi yang berorientasi ekspor ke pusat distribusi barang (hasil produksi); dan

h. pengembangan jaringan telekomunikasi, prasarana sumberdaya air, transmisi tenaga listrik dan pembangkit tenaga listrik yang mendukung fungsi pelayanan kawasan perkotaan yang berskala provinsi.

(4) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk PKL disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten/kota yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

b. pengembangan prasarana dan sarana perekonomian untuk menunjang kegiatan industri dan ekspor impor yang mendukung PKW dan PKWp;

c. pengembangan prasarana transportasi untuk menunjang mobilitas baik skala lokal maupun regional;

d. pengembangan pusat jasa pelayanan keuangan/bank yang melayani kabupaten atau beberapa kecamatan;

e. pengembangan jaringan akses dari pusat-pusat industri dan jasa menuju pusat distribusi (baik pelabuhan maupun bandar udara);

f. pengembangan dan peningkatkan fungsi kawasan industri dan jasa yang mampu melayani skala kabupaten dan kecamatan;

g. pengembangan pusat jasa pemerintahan yang melayani satu kabupaten atau meliputi beberapa kecamatan; dan

h. pengembangan jaringan telekomunikasi, prasarana sumberdaya air, transmisi tenaga listrik dan pembangkit tenaga listrik yang mendukung fungsi pelayanan kawasan perkotaan yang berskala kabupaten/kota.

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 53

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b meliputi:

a. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi darat dan perkeretaapian;

48

b. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi laut; dan

c. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi udara.

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi darat dan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan:

a. ruang milik jalan hanya boleh dimanfaatkan untuk jaringan jalan raya dan simpul (node) transportasi guna kepentingan lalu lintas dan tidak diperkenankan untuk dialihfungsikan untuk kegiatan lain;

b. agar tidak mengganggu kelancaran lalu lintas, maka kepentingan selain kepentingan lalu lintas berupa reklame, penempatan jaringan listrik, air, telepon, drainase dan lain-lain diletakkan pada lokasi yang tidak mengganggu kegiatan dan kepentingan lalu lintas yang berada di wilayah tersebut;

c. pengembangan jaringan jalan yang ada dan pembukaan jaringan jalan untuk wilayah desa yang masih terisolir sehingga meningkatkan aksesibilitas yang dapat mempercepat pengembangkan wilayah desa tersebut;

d. harus dipertegas batasan ruang milik jalan dengan ukuran dan batasan yang jelas termasuk daerah simpul transportasi;

e. ruang milik jaringan jalur kereta api, terminal, stasiun kereta api dan pelabuhan penyeberangan tidak diperkenankan dialihfungsikan untuk kegiatan lain;

f. kawasan pelabuhan penyeberangan tidak diperkenankan dialihfungsikan untuk kegiatan lain; dan

g. pemanfaatan ruang di sekitar badan air sepanjang lintas penyeberangan dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas penyeberangan.

(3) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan:

a. pelabuhan laut diarahkan untuk memiliki kelengkapan fasilitas pendukung sesuai dengan fungsi dari pelabuhan tersebut;

b. pelabuhan laut diarahkan untuk memiliki akses ke jalan arteri primer guna memudahkan aksesibilitas masyarakat;

c. pemanfaatan ruang di dalam dan sekitar pelabuhan laut untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan;

d. daerah lingkungan kerja pelabuhan dan daerah kepentingan pelabuhan baik perairan maupun daratan serta alur pelayaran tidak diperkenankan untuk dialihfungsikan;

e. daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan baik perairan dan daratan dan alur pelayaran harus dipertegas batasannya;

f. penetapan luas daerah lingkungan kerja pelabuhan dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan dengan menggunakan pedoman teknis kebutuhan lahan daratan dan perairan untuk rencana induk pelabuhan;

g. daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan baik perairan dan daratan dan alur pelayaran harus bebas dan hanya dapat dibangun

49

untuk kepentingan operasi pelabuhan dan alur pelayaran serta penempatan fasilitas pendukungnya;

h. ketentuan pelarangan kegiatan pada ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan

i. pemanfaatan ruang di daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan harus mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan memperhatikan :

a. kawasan lingkungan kerja bandar udara dan kawasan keselamatan operasi penerbangan harus bebas dan hanya dapat dibangun untuk kepentingan operasi penerbangan serta penempatan fasilitas pendukungnya dan tidak diperkenankan dialihfungsikan selain untuk kepentingan kebandarudaraan;

b. untuk mengendalikan kawasan keselamatan operasi penerbangan di sekitar bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara disekitarnya tidak dikendalikan, setiap pendirian bangunan di kawasan keselamatan operasi penerbangan diperlukan rekomendasi dari bupati/walikota setempat atau pejabat yang ditunjuk;

c. harus dipertegas batasan daerah lingkungan bandar udara dan kawasan keselamatan operasi penerbangan;

d. kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas-batas kawasan kebisingan sebaiknya merupakan kawasan wilayah darat dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan; dan

e. bandar udara diarahkan memiliki akses ke jalan arteri primer.

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Energi

Pasal 54

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c disusun dengan memperhatikan :

a. pengembangan dan penambahan pembangkit listrik untuk mengurangi masalah krisis energi;

b. pengembangan pembangkit listrik harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik dan memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain;

c. seluruh aliran listrik yang dialirkan melalui gardu induk dan gardu hubung dapat dimanfaatkan untuk pembagian aliran listrik;

d. pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. pengembangan jaringan pipa minyak dan gas bumi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar jaringan pipa minyak dan gas bumi dan

50

aspek keamanan dan keselamatan kawasan sekitarnya.

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 55

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk penempatan menara pemancar telekomunikasi dan sistem jaringan terestrial memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya;

b. ruang bebas di sekitar menara berjari-jari minimum sama dengan tinggi menara;

c. penggunaan menara telekomunikasi secara bersama diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider); dan

d. penambahan jaringan telekomunikasi untuk meningkatkan aksesibilitas dan membuka daerah terisolir dilakukan secara bertahap sesuai prioritas.

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Sumberdaya Air

Pasal 56

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf e diatur mengikuti arahan indikasi peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat.

Paragraf 2Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Untuk Rencana Pola Ruang

Pasal 57

Indikasi arahan peraturan zonasi untuk rencana pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b terdiri atas:

a. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung; dan

b. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan budidaya.

Pasal 58

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a meliputi:

a. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;

b. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat;

c. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;

d. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam;

e. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung geologi; dan

51

f. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan terumbu karang dan pulau-pulau kecil.

Pasal 59

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a meliputi:

a. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan lindung; dan

b. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan resapan air.

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan :

a. menghindari perluasan lahan permukiman/budidaya ke arah kawasan hutan;

b. diperuntukkan untuk kegiatan yang tidak merubah bentang alam dan tidak diperkenankan mengalihfungsikan kawasan tanpa mengikuti prosedur yang berlaku;

c. diperkenankan dilakukan kegiatan lain yang bersifat komplementer terhadap fungsi hutan lindung; dan

d. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengan ketentuan tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut dan mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan RI.

(3) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; dan

b. permukiman yang sudah terbangun di kawasan resapan air sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20% dan KLB maksimum 40%);

2. perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi; dan

3. wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 60

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b meliputi:

a. indikasi arahan peraturan zonasi sempadan pantai;

b. indikasi arahan peraturan zonasi sempadan sungai;

c. indikasi arahan peraturan zonasi sempadan danau dan waduk; dan

52

d. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau kota.

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan:

a. kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di sepanjang pantai adalah kegiatan yang mampu melindungi atau memperkuat perlindungan sempadan pantai dari abrasi dan infiltrasi air laut ke dalam tanah, seperti penanaman tanaman keras, tanaman perdu dan pemasangan batu beton untuk melindungi pantai dari abrasi;

b. usaha-usaha yang berkaitan dengan kelautan seperti dermaga, pelabuhan atau kegiatan perikanan lain, dapat terus dilakukan;

c. tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan yang dikhawatirkan dapat mengganggu atau mengurangi fungsi lindung;

d. rumah yang dibangun sepanjang sempadan pantai tidak diperbolehkan membelakangi pantai atau laut (untuk sanitasi) melainkan menghadap ke laut atau pantai tersebut;

e. kawasan permukiman yang sudah ada pada sempadan pantai diharuskan membangun tanggul pencegah abrasi; dan

f. tidak dibenarkan mengalihfungsikan kawasan tanpa mengikuti prosedur yang berlaku.

(3) Indikasi arahan peraturan zonasi sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;

b. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai;

c. kegiatan atau bentuk bangunan yang secara sengaja dan jelas menghambat arah dan intensitas aliran air sama sekali tidak diperbolehkan;

d. kegiatan lain yang memperkuat fungsi perlindungan sempadan sungai tetap boleh dilaksanakan namun dengan pengendalian agar tidak mengubah fungsi kegiatannya di masa mendatang;

e. masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan:

1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan kawasan budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan

2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

f. sempadan sungai yang melewati kawasan permukiman yang sudah ada hendaknya dibuat jalan inspeksi dan/atau ditanami vegetasi untuk memberikan penguatan tanah;

g. sempadan sungai di luar kawasan permukiman dan kawasan rawan banjir hendaknya ditanami vegetasi untuk memberikan penguatan tanah; dan

h. pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan ruang di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpotensi menurunkan kualitas perairan sungai dan laut.

53

(4) Indikasi arahan peraturan zonasi sempadan danau dan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;

b. tidak diperkenankan didirikan bangunan, permukiman atau kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian daya tampung dan fungsi danau/waduk;

c. diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang seperti kegiatan perikanan dan wisata air khususnya yang bersifat pemandangan sesuai ketentuan yang berlaku; dan

d. masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan:

1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan kawasan budidaya di sekitar jaringan prasarana tersebut; dan

2) pembangunannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

(5) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk aktivitas rekreasi;

b. kawasan ruang terbuka hijau tidak diperkenankan dialihfungsikan;

c. luas kawasan ruang terbuka hijau tidak termasuk perkerasan (paving block); dan

d. dalam kawasan ruang terbuka hijau diperbolehkan dibangun fasilitas sosial, namun secara terbatas dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

Pasal 61

(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c meliputi:

a. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka alam;

b. indikasi arahan peraturan zonasi cagar alam dan suaka margasatwa;

c. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau;

d. indikasi arahan peraturan zonasi taman nasional dan taman nasional laut;

e. indikasi arahan peraturan zonasi taman hutan raya;

f. indikasi arahan peraturan zonasi taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan

g. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan:

a. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan menurunnya fungsi kawasan suaka alam;

b. diperkenankan dilakukan kegiatan penelitian, wisata alam dan kegiatan berburu yang tidak mengakibatkan penurunan fungsi kawasan;

54

c. masih diperkenankan pembangunan prasarana wilayah, bangunan penunjang fungsi kawasan dan bangunan pencegah bencana alam sesuai ketentuan yang berlaku;

d. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya perikanan skala besar atau skala usaha dan eksploitasi sumberdaya kelautan yang mengakibatkan menurunnya potensi alam laut dan perairan lainnya;

e. masih diperkenankan dibangun pasarana wilayah bawah laut dan bangunan pengendali air; dan

f. masih diperkenankan dipasang alat pemantau bencana alam seperti sistem peringatan dini (early warning system).

(3) Indikasi arahan peraturan zonasi cagar alam dan suaka margasatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan:

a. tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan menurunnya fungsi kawasan;

b. tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan perburuan satwa yang dilindungi undang-undang;

c. pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan dan wisata alam;

d. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf c;

e. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf c;

f. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan

g. ketentuan pelarangan terhadap penanaman flora dan pelepasan satwa yang bukan merupakan flora dan satwa endemik kawasan.

(4) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan, penelitian dan wisata alam; dan

b. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah, mengurangi luas dan/atau mencemari ekosistem bakau.

(5) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;

b. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli di zona penyangga dengan luasan tetap dan tidak mengurangi fungsi lindung kawasan serta dibawah pengawasan ketat;

c. ketentuan pelarangan kegiatan budidaya di zona inti; dan

d. ketentuan pelarangan kegiatan budidaya yang berpotensi mengurangi tutupan vegetasi atau terumbu karang di zona penyangga.

(6) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk taman hutan raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan memperhatikan:

55

a. pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan dan wisata alam;

b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan

d. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

(7) Indikasi arahan peraturan zonasi taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah:

a. tidak diperkenankan dilakukan budidaya yang merusak dan/atau menurunkan fungsi kawasan taman wisata dan taman wisata laut;

b. dilarang dilakukan reklamasi dan pembangunan perumahan skala besar yang mempengaruhi fungsi kawasan dan merubah bentang alam;

c. dilarang dilakukan eksploitasi terumbu karang dan biota lain kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan; dan

d. masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah bawah laut sesuai ketentuan yang berlaku.

(8) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g a disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan dan pariwisata;

b. kawasan cagar budaya dilindungi dengan sempadan sekurang-kurangnya memiliki radius 100 meter dan pada radius sekurang-kurangnya 500 m tidak diperkenankan adanya bangunan lebih dari 1 (satu) lantai; dan

c. tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

Pasal 62

Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud Pasal 58 huruf d disusun dengan memperhatikan :

a. perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan bangunan (building code) sesuai dengan potensi bahaya/bencana alam serta dilengkapi jalur evakuasi;

b. masih dapat dilakukan pembangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan pemasangan sistem peringatan dini (early warning system);

c. masih diperkenankan adanya kegiatan budidaya lain seperti pertanian, perkebunan, kehutanan dan bangunan yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam;

d. rehabilitasi lahan dan konservasi tanah pada kawasan rawan bencana longsor dan tidak dibenarkan membuka lahan baru yang merupakan daerah konservasi hutan atau hutan lindung;

e. pengaturan daerah sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar danau dan waduk;

56

f. pengaturan sistem jaringan drainase untuk pencegahan banjir;

g. penetapan batas luasan kawasan yang rawan tanah longsor, batas luasan genangan banjir dan batas pasang tertinggi;

h. tidak dibenarkan membangun di daerah rawan longsor atau daerah yang berpotensi terjadinya longsor dan rawan banjir; dan

i. mematuhi edaran dari BMKG perihal cuaca Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pasal 63

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud Pasal 58 huruf e meliputi :

a. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan keunikan bentang alam Karst;

b. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam geologi; dan

c. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan keunikan bentang alam Karst sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disusun dengan memenuhi ketentuan mengenai pemanfaatannya bagi perlindungan bentang alam yang memiliki ciri langka dan/atau bersifat indah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau pariwisata.

(3) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai:

a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik fisik wilayah dan tingkat kerawanan;

b. ketersediaan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk;

c. kesesuaian struktur bangunan dengan kondisi fisik wilayah;

d. kaedah-kaedah pendirian bangunan fisik;

e. bangunan yang diizinkan hanya untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana;

f. jalur patahan atau rekahan geologi bumi; dan

g. penetapan batas pasang tertinggi.

(4) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c meliputi:

a. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan imbuhan air tanah; dan

b. indikasi arahan peraturan zonasi sempadan mata air.

(5) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai:

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;

b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan

57

c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya.

(6) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk sempadan mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan

b. pelarangan kegiatan di sekitar mata air yang dapat mengakibatkan turunnya kuantitas dan kualitas mata air.

Pasal 64

Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan terumbu karang dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf f, harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai :

a. pemanfaatan untuk pariwisata bahari, pendidikan dan penelitian;

b. ketentuan pelarangan kegiatan penangkapan ikan, pengambilan terumbu karang dan kegiatan lain yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan ekosistem laut;

c. dilarang dilakukan penambangan terumbu karang sehingga tutupan karang hidupnya kurang dari 50 % (lima puluh persen);

d. daya dukung dan pelestarian ekosistem laut;

e. rehabilitasi dan restorasi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan;

f. penanaman dan pengembangan terumbu karang; dan

g. pulau-pulau dengan luas kurang dari 10 (sepuluh) Ha ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Pasal 65

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b meliputi:

a. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan produksi;

b. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertanian;

c. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perkebunan;

d. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perikanan;

e. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertambangan;

f. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pariwisata;

g. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perindustrian; dan

h. indikasi arahan peraturan zonasi kawasan permukiman.

58

Pasal 66

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf a disusun dengan memperhatikan:

a. tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya kecuali kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan pengelolaan budidaya hutan produksi;

b. sebelum dilakukan kegiatan pengelolaan hutan produksi, diwajibkan untuk studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; dan

c. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber sumberdaya kehutanan.

Pasal 67

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf b disusun dengan memperhatikan:

a. lahan peruntukan pertanian dipertahankan luasannya dan ditingkatkan produktivitasnya guna mendukung ketersediaan bahan pangan;

b. kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering tidak diperkenankan boros dalam penggunaan sumber air dan mengabaikan kelestarian lingkungan;

c. peruntukan budidaya pertanian pangan lahan basah dan lahan kering diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian tanaman pangan yang telah ditetapkan dengan undang-undang;

d. diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian; dan

e. masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan.

Pasal 68

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf c disusun dengan memperhatikan:

a. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan, diwajibkan untuk studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari institusi yang berwenang;

b. alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;

c. mempertahankan jenis tanaman yang sudah ada yang sesuai dengan potensi lahan dan mengembangkan jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan prospek pasar yang baik;

d. perlu dilakukan pola tanam dan pola tata tanam yang baik dengan memperhatikan konservasi tanah dan air; dan

59

e. diperkenankan pemanfaatan lahan untuk penyediaan sarana dan prasarana jalan, listrik, air minum, jaringan irigasi, jaringan pipa minyak dan gas dengan syarat tidak menurunkan daya dukung kawasan.

Pasal 69

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud Pasal 65 huruf d disusun dengan memperhatikan :

a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan dengan kepadatan rendah;

b. pemanfaatan ruang untuk kawasan pemijahan dan/atau kawasan konservasi;

c. pemanfaatan ruang untuk kawasan agroindustri perikanan;

d. kelestarian sumberdaya perikanan;

e. melindungi kawasan konservasi perairan dari upaya penurunan kualitas perairan dengan memantau dan mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan hulu sungai;

f. pengendalian aktivitas di darat yang mempengaruhi kualitas air/perairan yaitu :

1. pengaturan pengelolaan limbah dari kegiatan permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan kegiatan lainnya yang mempengaruhi kualitas perairan;

2. pengelolaan limbah yang mengatur tentang kualitas limbah yang dibuang harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak mempengaruhi kualitas perairan; dan

3. pemanfaatan ruang untuk industri polutif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diizinkan dengan syarat mematuhi peraturan perundang-undangan mengenai pengolahan limbah dan lingkungan hidup sehingga tidak mempengaruhi kualitas perairan.

g. kegiatan penangkapan ikan dengan Alat Penangkapan Ikan (API) dan Alat Bantu Penangkapan Ikan (ABPI) pada jalur penangkapan ikan mematuhi peraturan perundang-undangan;

h. pengembangan konektivitas dan infrastruktur yang mendukung sektor kelautan dan perikanan pada wilayah produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan; dan

i. menyusun peraturan teknis mengenai Masterplan Kawasan Minapolitan, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai tindak lanjut kebijakan dan strategi pengembangan sektor kelautan dan perikanan.

Pasal 70

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf e disusun dengan memperhatikan:

a. larangan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan tanpa izin dari instansi/pejabat yang berwenang yang mengacu pada ketentuan teknis yang berlaku;

60

b. sebelum dilakukan kegiatan pertambangan, diwajibkan untuk studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang;

c. perusahaan/perseorangan yang telah habis masa penambangannya, wajib melakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi) kawasan pasca tambang sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti pertanian, kehutanan, dan pariwisata;

d. diperkenankan dilakukan kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan pertambangan dan lingkungan;

e. tidak mengalokasikan penggalian pada lereng curam (>40%) yang kemantapan lerengnya kurang stabil dan pada kawasan lindung untuk menghindari terjadinya erosi dan tanah longsor;

f. tidak mengijinkan penambangan di daerah tikungan luar, tebing dan bagian-bagian sungai pada umumnya tetapi mengarahkan penambangan ke daerah agradasi/sedimentasi tikungan dalam, bagian-bagian tertentu pada sungai dan daerah kantong-kantong pasir;

g. peruntukan kawasan pertambangan pada Wilayah Pencadangan Negara mengacu pada perundang-undangan; dan

h. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang dibawahnya terdapat mata air penting atau permukiman.

Pasal 71

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf f disusun dengan memperhatikan:

a. pengembangan destinasi pariwisata;

b. pengembangan nilai seni dan budaya meliputi pembinaan dan pelestarian terhadap budaya Buton, Muna, Tolaki, Mekongga dan budaya Mornene, situs serta warisan sejarah di Provinsi Sulawesi Tenggara;

c. dilarang dibangun permukiman dan industri yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam;

d. diperkenankan dilakukan penelitian dan pendidikan;

e. pengembangan pariwisata harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta studi AMDAL;

f. diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan; dan

g. pengembangan objek wisata bahari tidak boleh menimbulkan dampak gangguan atau kerusakan pada ekosistem laut.

Pasal 72

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf g meliputi:

61

a. indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan industri pengolahan;

b. indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan perindustrian maritim;

c. indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan industri pengembangan pariwisata;

d. indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan perindustrian pengolahan sumberdaya laut; dan

e. indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan perdagangan.

(2) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan industri pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan :

a. lahan kawasan industri pengolahan ramah lingkungan/keluaran limbah bisa dikelola;

b. lahan termasuk sarana perkantoran dormitory (mess), sarana olah raga/hiburan/makan, pasar, klinik dan tempat ibadah; dan

c. fasilitas pergudangan, pelabuhan dan jalan lingkungan kawasan.

(3) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan perindustrian maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan :

a. lahan kawasan industri maritim yang ramah lingkungan/keluaran limbah sisa dikelola berada di daerah pesisir pantai;

b. lahan termasuk sarana perkantoran, tempat pelatihan, klinik medis dan restorasi; dan

c. prasarana pergudangan, pelabuhan dan jalan lingkungan dalam kawasan.

(4) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan industri pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah :

a. industri yang berada dalam kawasan pariwisata atau diluar kawasan namun masih berdekatan dengan kawasan pariwisata diutamakan industri kerajinan dan makanan olahan; dan

b. fasilitas jalan ke kawasan pariwisata dan transportasi/angkutan.

(5) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan perindustrian pengolahan sumberdaya laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan memperhatikan lahan peruntukan berada di daerah pesisir pantai untuk industri dan klaster industri yang ramah lingkungan baik olahan maupun kerajinan;

(6) Indikasi arahan peraturan zonasi untuk peningkatan dan pengembangan kawasan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan memperhatikan lahan untuk pusat penjualan promosi, penjualan, perdagangan,

62

hiburan termasuk sarana dan prasarana penunjang jalan lingkungan dalam kawasan, areal parkir, plaza dan bangunan bertingkat.

Pasal 73

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf h disusun dengan memperhatikan:

a. dilakukan pada lahan tidak subur, lahan dengan kelerengan 5%-15%, pada lapisan keras dan tidak pada kawasan rawan bencana;

b. diperkenankan dilakukan kegiatan yang mendukung dan tidak mengganggu/merusak fungsi kawasan permukiman;

c. larangan pemanfaatan kawasan yang berdampak negatif terhadap keseimbangan ekologis; dan

d. pengendalian perkembangan permukiman secara ekspansif di kawasan perkotaan dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak.

Paragraf 3Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Rencana Kawasan Strategis Provinsi

Pasal 74

Indikasi arahan peraturan zonasi untuk rencana Kawasan Strategis Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c yaitu indikasi arahan peraturan zonasi Pusat Kawasan Industri Pertambangan (PKIP) yang terdiri atas beberapa zona meliputi :

a. zona pengolahan ekspor, logistik, industri, energi;

b. zona untuk penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial;

c. zona pengembangan ekonomi masyarakat dalam bentuk lokasi untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada didalam PKIP; dan

d. zona pengembangan infrastruktur dan utilitas.

Bagian KetigaArahan Perizinan

Pasal 75

(1) Arahan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini.

(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya.

(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

63

(4) Secara umum perizinan pemanfaatan ruang dapat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pemberian izin pemanfaatan ruang diberikan oleh instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dan peraturan perundangan lain yang berlaku;

b. perizinan diberikan terhadap kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan rencana pola ruang dan mengacu pada arahan indikasi peraturan zonasi (tidak termasuk kegiatan yang tidak diperbolehkan); dan

c. proses mekanisme perizinan untuk setiap kegiatan pembangunan mengacu pada peraturan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masing-masing sektor.

(5) Pemberian izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi meliputi:

a. pemberian izin yang dianggap sangat penting dan strategis bagi pencapaian tujuan penataan ruang;

b. pemberian izin pemanfaatan ruang yang diperkirakan memiliki dampak besar bagi skala provinsi; dan

c. pemberian izin pemanfaatan ruang lintas kabupaten/kota.

(6) Bentuk-bentuk izin pemanfaatan ruang, mekanisme pemberian izin dan arahan pengambilan keputusan terkait perizinan yang akan diterbitkan diatur menurut peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Arahan Insentif dan Disinsentif

Pasal 76

(1) Arahan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.

(2) Pemberian insentif bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang wilayah provinsi berupa penetapan kebijakan di bidang ekonomi, fisik dan pelayanan umum.

(3) Pengenaan disinsentif bertujuan untuk membatasi pertumbuhan dan atau mencegah kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang wilayah provinsi berupa penolakan pemberian izin pembangunan dan/atau pembatasan pengadaan sarana dan prasarana.

64

Pasal 77

(1) Pemberian insentif terhadap pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) adalah sebagai berikut:

a. kegiatan yang menimbulkan dampak positif akan diberikan kemudahan dalam perizinan, diberikan imbalan, penyelenggaraan sewa ruang, perpanjangan perijinan dan keringanan atau penundaan pajak (tax holiday);

b. bantuan penyediaan sarana dan prasarana kawasan oleh pemerintah untuk memperingan biaya investasi oleh investor;

c. pemberian kompensasi terhadap kawasan terbangun lama sebelum rencana tata ruang ditetapkan dan tidak sesuai tata ruang serta dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan; dan

d. pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana jaringan jalan, pelabuhan, bandar udara, jaringan listrik, air bersih, telepon dan sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai dengan rencana tata ruang.

(2) Pengenaan disinsentif terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) adalah sebagai berikut:

a. tidak membantu swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana bagi daerah/wilayah yang perkembangannya dibatasi;

b. tidak memberikan izin perpanjangan hak guna usaha, hak guna bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi;

c. pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang berlokasi di daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti pusat kota, kawasan komersial dan pada kegiatan pemanfaatan ruang yang dapat menimbulkan masalah lingkungan maupun sosial; dan

d. tidak menerbitkan izin pemanfaatan ruang budidaya yang akan dilakukan di kawasan lindung dan pencabutan izin yang sudah diberikan karena adanya perubahan pemanfaatan ruang budidaya menjadi lindung.

(3) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

65

Bagian Kelima

Arahan Sanksi

Pasal 78

(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf d merupakan acuan pengenaan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang berupa:

a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah;

b. pelanggaran ketentuan arahan peraturan zonasi;

c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP;

d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP;

e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP;

f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan

g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

(2) Pelanggaran terhadap rencana tata ruang wilayah provinsi yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah ini akan dikenakan sanksi administratif, sanksi pidana dan sanksi perdata.

(3) Bentuk sanksi administratif yang dikenakan terhadap pelanggaran penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara kegiatan;

c. penghentian sementara pelayanan umum;

d. pencabutan izin;

e. pembatalan izin;

f. pembongkaran bangunan;

g. penutupan lokasi;

h. pemulihan fungsi ruang; dan

i. denda administrasi.

(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan perundang-undangan.

66

BAB VIII

KELEMBAGAAN

Pasal 79

(1) Dalam rangka mengkoordinasikan penataan ruang dan kerjasama antar sektor/antar daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.

(2) Tugas, susunan organisasi dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Gubernur.

BAB IXHAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

DALAM PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu

Hak Masyarakat

Pasal 80

Dalam penataan ruang provinsi, setiap orang berhak untuk :

a. mengetahui rencana tata ruang;

b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;

c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;

d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;

e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan

f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Bagian KeduaKewajiban Masyarakat

Pasal 81

Dalam pemanfaatan ruang provinsi, setiap orang wajib :

a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;

c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan

d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

67

Pasal 82

(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras dan seimbang.

Bagian Ketiga

Peran Masyarakat

Pasal 83

Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap:

a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;

b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

Pasal 84

(1) Bentuk peran masyarakat pada tahap perencanaan tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf a dapat berupa:

a. memberikan masukan mengenai :

1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;

2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;

3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;

4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau

5. penetapan rencana tata ruang.

b. melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

(2) Bentuk peran masyarakat pada tahap pemanfaatan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b dapat berupa:

a. memberikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;

b. melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang;

c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

d. peningkatan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut dan ruang udara di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

68

e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumberdaya alam; dan

f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Bentuk peran masyarakat pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf c dapat berupa :

a. memberikan masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;

b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

c. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan

d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 85

Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis, kepada :

a. menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait dengan penataan ruang;

b. gubernur; dan

c. bupati/walikota.

Pasal 86

Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan komunikasi penyelenggaraan penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 87

Tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 88

(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah Daerah Provinsi yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai

69

penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang dalam membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Lingkup tugas Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang;

d. memeriksa buku-buku, catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana penataan ruang;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti, pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang;

g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana penataan ruang;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan; dan

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang menurut hukum yang bertanggung jawab.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan penyampaian hasil penyidikannya kepada penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XIKETENTUAN PIDANA

Pasal 89

(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

70

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran rencana tata ruang mengacu pada Pasal 70 sampai dengan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

BAB XIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 90

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.

(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:

a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan berakhir masa berlakunya;

b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan sebagai berikut:

1. untuk izin pemanfaatan ruang yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;

2. untuk izin pemanfaatan ruang yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;

3. untuk izin pemanfaatan ruang yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak; dan

4. ketentuan dan tata cara pemberian penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada angka 3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

c. izin pemanfaatan ruang yang masa berlakunya sudah habis dan tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan

71

d. pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin berlaku ketentuan sebagai berikut:

1. untuk pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, pemanfaatan ruang tersebut ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan

2. untuk pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk mendapatkan izin pemanfaatan ruang.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 91

(1) Jangka waktu RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah provinsi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau dinamika internal provinsi.

Pasal 92

Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011 - 2031 dilengkapi dengan Dokumen RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 250.000 sebagaimana tercantum dalam Album Peta, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 93

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 3 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2004 Nomor 3 Seri E) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

72

Pasal 94

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Ditetapkan di KendariPada Tanggal ……… Juli 2011GUBERNUR SULAWESI TENGGARA,

H. NUR ALAM, SEDiundangkan di KendariPada Tanggal ……… Juli 2011SEKRETARIS DAERAH PROVINSISULAWESI TENGGARA,

Ir. ZAINAL ABIDIN, MMPembina Utama, Gol. IV/eNIP. 19531121 198003 1 013

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARATAHUN 2011 NOMOR ……….

73