ptosis kongenital

34
Jurnal PTOSIS KONGENITAL Disusun Oleh : Clara Verlina Suhardi 406147043 Pembimbing : dr. Djoko Heru Santoso, Sp. M Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Upload: clara-verlina

Post on 05-Jan-2016

55 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

PTOSIS KONGENITAL

TRANSCRIPT

Page 1: PTOSIS KONGENITAL

Jurnal

PTOSIS KONGENITAL

Disusun Oleh :

Clara Verlina Suhardi

406147043

Pembimbing :

dr. Djoko Heru Santoso, Sp. M

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus

Periode 5 Oktober 2015 – 7 November 2015

Page 2: PTOSIS KONGENITAL

PTOSIS KONGENITALJeffrey R. SooHoo, MD ,Brett W.Davies,MD , Felicia D. Allard,MD , Vikram D.

Durairaj, MD FACS

ABSTRAK

Blefaroptosis kongenital terjadi pada tahun pertama kehidupan, baik secara

murni atau sebagai bagian dari banyak kelainan sistemik ocular. Penanganan dengan

operasi merupakan suatu tantangan, dan kekambuhan yang terjadi tidak jarang

mengharuskan operasi lebih dari satu kali. Tidak semua pasien dengan ptosis

kongenital memerlukan tindakan operatif, tetapi anak-anak dengan amblyopia karena

astigmatisme anisometropia dapat diuntungkan dengan penanganan operatif dini.

Berbagai macam prosedur operasi untuk memperbaiki ptosis kongenital telah

dijelaskan. Pemilihan prosedur tergantung dari jumlah faktor spesifik pasien, seperti

derajat ptosis, fungsi levator, juga keputusan ahli bedah dan ketersediaan sumber

daya. Kami akan menjelaskan penyebab genetic, sindrom-sindrom terkait, dan

penanganan operatif dari ptosis kongenital.

1. PENDAHULUAN

Blefaroptosis atau sering disebut ptosis, merupakan kondisi dimana

kelopak atas mata yang berada lebih rendah dari normal, yang menyempitkan

dimensi vertical dari fissura palpebral. Jika terjadi dalam tahun pertama

kehidupan, hal ini dianggap kongenital. Ptosis dapat terjadi unilateral atau

bilateral dengan atau tanpa disertai penyakit ocular atau sistemik lainnya. Pada

umumnya, ptosis kongenital tidak progresif, tapi dapat berhubungan dengan

gangguan perkembangan dan fungsi visual, termasuk amblyopia. Komplikasi-

komplikasi ini dapat diminimalkan atau dihindarkan dengan penanganan

operatif dini.

Page 3: PTOSIS KONGENITAL

Kelopak mata terutama terangkat oleh kontraksi otot levator palpebral

superior (LPS), yang dipersarafi oleh cabang superior dari saraf kranialis

ketiga (CN3). Cabang superior dari CN3 juga mempersarafi otot rectus

superior. Kedua otot LPS menerima persarafan dari sebuah, subnukleus garis

tengah pada nucleus rostral CN3. Oleh karena itu, kerusakan subnukleus

sentral menyebabkan ptosis bilateral.

Data epidemiologi tentang ptosis kongenital tidak terdapat secara luas.

Salah satu laporan terbesar datang dari China, dipublikasikan oleh Hu pada

tahun 1987. Sebuah studi populasi lebih dari tujuh juta dari provinsi-provinsi

di China, laporan Hu menyediakan informasi tentang bermacam-macam

penyakit mata genetik, termasuk kongenital ptosis. Dalam studi tersebut,

prevalensi ptosis kongenital sebesar 0,18%. Analisis silsilah memperlihatkan

bahwa mayoritas kasus terjadi secara sporadic, walau 18,4% diturunkan secara

autosomal dominan dan 14,5% diturunkan secara autosomal resesif.

Penemuan-penemuan ini tidak dapat diperkirakan pada grup etnik lain. Dalam

studi terbaru dari rumah sakit di Mesir, sebuah pembahasan lebih dari 9 tahun

periode menemukan 336 anak dengan ptosis, 69% merupakan kongenital.

Ptosis unilateral pada 65% kasus dan sisi kiri merupakan sisi yang sering

terkena (74%). Griepentrog et al membahas semua kasus ptosis pada masa

kanak-kanak lebih dari 40 tahun periode di negara Olmsted, Minesota. Mereka

mengidentifikasi 107 kasus ptosis, dengan insiden 7,9 per 100,000. Dari

Page 4: PTOSIS KONGENITAL

pasien pasien ini, 89,7% mengalami ptosis kongenital, walau hanya 12% yang

memiliki riwayat keluarga. Angka kejadian ptosis kongenital sebanyak 1 dari

842 kelahiran. Hanya 3% yang bilateral, dan terdapat sedikit predominasi dari

ptosis kiri (55%).

Banyak teori yang telah diajukan mengenani pathogenesis dari ptosis

kongenital. Menurut sejarah, ptosis kongenital telah diduga sebagai kelainan

perkembangan otot, tetapi teori terbaru telah berfokus pada kelainan

persarafan\ otot. Studi histopatologi telah mendemonstrasikan defek primer

pada otot LPS dengan fibrosis dan penurunan jumlah serat otot skeletal.

Mekanisme pasti dari disgenesis levator tidak jelas diketahui dan dapat

bervariasi sesuai kondisi. Terdapat banyak kemungkinan tentang penyebab

ptosis kongenital, termasuk disinsersi levator sekunder oleh trauma lahir.

Kami harus membahas etiologi dari ptosis kongenital dan pilihan-pilihan

untuk perbaikan secara operatif.

2. GENETIK

Pada tahun 1990, Vestal et al melakukan pembahasan literature

mengenai terjadinya ptosis kongenital pada kembar monozigot dan

menemukan indeks herediteritas sebesar 0,75, mengindikasikan bahwa 75%

dari fenotipe ini disebabkan oleh faktor genetic. Data ini mendukung bahwa

defek genetic yang diturunkan berkontribusi terhadap kelainan ini. Terdapat

berbagai variasi gen yang terlibat dalam proses ini dengan lokus yang baru

sedang diinvestigasi dan diidentifikasi setiap tahunnya.

Gen pertama yang terdidentifikasi sebagai locus untuk ptosis

kongenital murni adalah gen PTOS1. Engle et al mempelajari DNA dari 42

anggota keluarga yang dimanan 20 anggotanya memiliki ptosis kongenital

murni pada paling sedikit satu mata. Hibiridisasi in-situ fluoresen telah

dilakukan dan mengidentifikasi sebuah regio 3 centiMorgan (cM) dari

kromosom pertama sebagai penyebab ptosis. Untuk gen ini, diturunkan secara

autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap.

Pada tahun 2002, McMullan et al menjelaskan sebuah bentuk X-linked

dominan dari ptosis murni bilateral. Keluarga diketahui memiliki pola

Page 5: PTOSIS KONGENITAL

keturunan dominan tanpa transmisi pria ke pria. Studi hubungan genetic

mengeidentifikasi lokus Xq24-q27.1.

Gen ZFH-4 diidentifikasi pada tahun 2002 setelah analisis DNA

seorang anak dengan ptosis kongenital bilateral yang diketahui memiliki

translokasi seimbang dari kromosom 8 dan 10. Mutasi kromosom 8

menyebabkan gangguan gene ZFH-4 yang berlokasi di 8q21.12. Gen ini

mengkode protein dengan zinc-finger homeodomain yang berperan sebagai

faktor transkripsi. Protein ini diekspresikan dengan jumlah yang banyak pada

otot dan saraf yang berkembang. Produk dari gen yang sama juga

diekspresikan pada otak tengah yang sedang berkembang dan dapat

mempengaruhi struktur dan fungsi dari nucleus okulomotorius dari saraf

kranial.

3. SINDROM-SINDROM TERKAIT

Fungsi otot ekstraokular normal bergantung pada inervasi normal, yang

dimana memerlukan perkembangan saraf kranial yang normal. Banyak

sindrom kongenital yang khas menunjukkan inervasi muskulus ekstraokular

abnormal. Secara keseluruhan, sindrom ini dikenal sebagai congenital cranial

dysinnervation disorders (CCDDs) , kelainan kongenital disebabkan oleh

inervasi aberan dari otot ocular dan fasial. Banyak dari sindrom-sindrom ini

berkaitan dengan ptosis. Ptosis juga dapat terlihat berkaitan dengan disfungsi

dari sistem saraf simpatis, seperti pada sindrom Horner, atau dengan bentuk

lain dari strabismus termasuk esotropia atau eksotropia kongenital

3.1 Sindrom Retraksi Duane

Sindrom retraksi Duane (SRD) merupakan CCDDs yang paling umum.

SRD tipe 1 memperlihatkan abduksi terbatas pada mata yang sakit bersama

dengan kontraksi dari kedua otot rektus medial dan lateral pada saat adduksi,

walaupun adduksi intak atau sedikit terbatas. Pada SRD tipe 2, abduksi

biasanya intak tetapi adduksi terganggu pada mata yang sakit. SRD tipe 3

memperlihatkan adanya keterbatasan pada abduksi dan adduksi. Kontraksi

recti horisontal pada saat adduksi menyebabkan bola mata retraksi , yang

menghasilkan enophthalmos dan ptosis. Perkembangan abnormal saraf

motoric dari saraf kranialis 6 menyebabkan inervasi abnormal dari otot rektus

Page 6: PTOSIS KONGENITAL

lateral. Walaupun sekuens dan penyebabnya tidak diketahui pasti, saraf

kranialis lain dapat secara normal menginervasi rektus lateralis. Kondisi ini

biasanya sporadic dan tidak ada satupun gen yang dapat diidentifikasi pada

DSR; akan tetapi, beberapa gen kandidat telah diketahui terletak pada

kromosom 2q31 dan 8q13

3.2 Blepharophimosis ptosis epicanthus inversus syndrome

Blepharophimosis ptosis epicanthus inversus syndrome (BPES) adalah

kelainan autosomal dominan yang dikaraterisasikan oleh adanya

blefarofimosis, blefaroptosis, epikantus inversus dan telekantus. Kadang dapat

terlihar adanya ektropion sikatrisial dari kelopak mata bawah. Kelainan ini

bilateral dan dibagi menjadi 2 subtipe. Tipe 1 BPES berhubungan dengan

kegagalan ovarium dini pada pasien perempuan. BPES disebabkan oleh mutasi

faktor transkripsi FOXL2, menyebabkan produksi truncated protein di struktur

mesenkim kelopak mata yang sedang berkembang dan folikel ovarium yang

akan matang. BPES tipe 2 memiliki fitur wajah yang sama tanpa adanya

keterkaitan dengan kegagalan ovarium dini.

Angka kejadian blepfarofimosis bervariasi antara studi. Pada sebuah

studi dari 336 anak-anak di Mesir dengan ptosis, El Essawy et al menemukan

blefarofimosis sebesar 17%. Sebuah studi 155 anak-anak di United Kingdom

menemukan angka kejadian sebesar 4,5%, dimana 107 anak-anak di Minesota

Page 7: PTOSIS KONGENITAL

ditemukan hanya 3 kasus blefarofimosis (2,8%). Dua studi terakhir ini lebih

mendekati pengalaman pengarang.

3.3 Fibrosis kongenital dari otot-otot ektraokular

Fibrosis kongenital otot-otot ekstraokular (CFEOM) adalah kumpulan

kondisi yang dikarakterisasikan oleh strabismus paralitik kongenital sekunder

terhadap oftalmoplegia restriktif, sering disertai dengen ptosis. CFEOM2,

bilateral, ptosis non-progresif diturunkan secara autosomal dominan, berlokasi

pada kromosom 12p11.2-q12, yang mengkode kinesin KIF21, sebuah protein

yang diekspresikan tingg di saraf. Saraf-saraf menggunankan kinesin dan

transport mikrotubulus dinein untuk memindahkan komponen esensial seluler

disepanjang akson dan dendrit. Kekurangan protein ini berhubungan dengan

tidak adanya divisi superior nervus oculomotorius dan sesuai neuron motorik

otak tengah , menyebabkan atrofi mendalam dari LPS dan rektus superior.

Kehilangan persarafan ini menyebabkan Tatapan ke bawah tetap dengan

kepala klasik dengan posisi naik. Selain itu , strabismus horizontal sangat

sering seperti seperti pada tatapan konvergen divergen atau tatapan dengan

usaha tatapan naik. CFEOM2 adalah resesif autosomal dan individu yang

terkena mengalami ptosis bilateral dan oftalmoplegi restriktif disertai

eksotropia. CFEOM2 telah diketahui berlokasi pada gen ARIX/PHOX2A di

kromosom 11q13.1. ARIX adalah sebuah faktor transkripsi yang dibutuhkan

pada perkembangan nuclei okulomotr dan troklear pada tikus dan zebrafish.

Terdapat hipotesis yang mengatakan bahwa CFEOM2 merupakan hasil dari

hypoplasia inti saraf kranial pada manusia. CFEOM3 adalah kondisi dominan

autosomal dengan penetrasi yang tidak lengkap yang dapat menyebabkan

fenotipe heterogen . Secara umum , individu yang terkena memiliki gangguan

gerakan mata yang ditandai dengan ptosis variabel serta oftalmoplegia

restriktif. Mutasi penyebab telah dipetakan ke kromosom 16q24.2 - q24.3 , dan

mutasi pada KIF21A juga dapat mengakibatkan CFEOM3.

3.4 Marcus Gunn jaw-winking syndrome dan defisiensi elevasi

monocular

Marcus Gunn jaw-winking syndrome pertama kali dijelaskan pada

1883. Secara klasik , fenomena ini muncul sebagai ptosis yang meningkat

Page 8: PTOSIS KONGENITAL

dengan menggerakkan rahang ke arah sisi yang terkena ; sebaliknya , retraksi

terjadi pada gerakan rahang ke sisi kontralateral. Synkinesis adalah hasil dari

koneksi menyimpang antara cabang motorik dari saraf trigeminal yang

mempersarafi otot pterygoideus eksternal dan serat dari divisi superior saraf

oculomotor yang innervate LPS . Teori saat ini menunjukkan bahwa cedera

pada saraf kranial yang terlibat in utero mengarah ke degenerasi sekunder dari

inti saraf kranial yang terlibat dan munculnya kembali gerakan synkinetic

filogenetis primitive.

Defisiensi elevasi monocular , juga dikenal sebagai double elevator

palsy , mungkin berhubungan dengan ptosis kongenital serta Marcus Gunn

jaw-winking syndrome. Seseorang harus berhati-hati untuk membedakan

ptosis dari pseudoptosis karena keterkaitan hypotropia. Dalam suatu ulasan ,

25 % pasien dengan Marcus Gunn jaw-winking syndrome memiliki defisiensi

elevasi monocular bersamaan.

Page 9: PTOSIS KONGENITAL

3.5 Sindrom Horner

Sindrom Horner dihasilkan dari gangguan pada sistem saraf simpatis,

sehingga menyebabkan trias klasik yaitu ptosis ipsilateral, miosis, dan

anhidrosis. Ptosis pada sindrom Horner adalah prosis ringan, dan biasanya

hanya 1-2 mm karenan adanya disfungsi persarafan simpatis pada otot Muller.

Sindrom Horner kongenital dapat juga menyebabkan heterokromia dengan

warna iris yang lebih terang pada sisi ipsilateral. Sindrom Horner kongenital

sering sekali idiopatik atau berhubungan dengan cedera pleksus brakial pada

saat kelahiran, tetapi hal ini harus disingkirkan dari penyebab lain yang lebih

serius seperti neuroblastoma primer.

4. PENANGANAN OPERATIF PADA PTOSIS KONGENITAL

Penanganan operatif pada ptosis kongenital diindkasikan ketika

kelopak mata atas menganggu sumbu visual yang menyebabkan gangguan

stimulus atau menginduksi astigmatisme ambliogenik. Ambliopia dapat juga

merupakan hasil dari strabismus terkait. Ptosis dapat menimbulkan stress

secara psikologi, dan operasi dapat menguntungkan secara kosmetik dalam

kasus ini. Jenis operasi yang dilakukan tergantung pada besarnya ptosis dan

fungsi levator, dan waktu yang optimal bervariasi dalam berbagai kasus.

Beberapa berpendapat untuk menunggu sampai pasien berusia 4 tahun atau

lebih sehingga anak dapat lebih operatif pada pemeriksaan fisik, yang akan

meningkatkan hasil akhir operasi dan penggunaan autogenous fascia lata

sebagai pilihan. Ketika terdapat amblyopia, maka operasi dini disarankan.

Konsultasi dengan oftalmologi pediatric sangat diperlukan untuk

mengidentifikasi amblyopia dan pilihan pengobatan. Berbagai penanganan

operatif dibahas dalam bagian ini.

A. Frontalis Sling

Tehnik operasi umum yang digunakan untuk memperbaiki ptosis

kongenital dengan fungsi levator yang buruk (elevasi kelopak <3mm).

Prosedur ini bertujuan untuk membentuk suatu hubungan antara otot frontalis

dan tarsus kelopak mata atas. Setelah pemasangan sling, kontraksi dari otot

frontalis akan mengelevasi kelopak mata atas, melewati LPS yang berfungsi

Page 10: PTOSIS KONGENITAL

buruk. Secara umum, prosedur ini dianggap aman, efektif. Terdapat kerugian

pada prosedur ini terutama lagoftalmos. Harus dipertimbangkan hasil akhir

secara kosmetik, karena dapat menyebabkan scarring , kehilangan lipat mata,

dan posisi kelopak mata terhadap bola mata yang berubah. Risiko-risiko

komplikasi ini sering kali berhubungan dengan tehnik operasi materi yang

digunakan. Ketika melakukan prosedur frontalis sling, dapat digunakan single

loop atau double pentagon sling. Tidak terdapat perbedaan pada rekurensi,

fungsi, atau hasil kosmetik antara kedua tehnik ini. Insisi dapat dibuat melalui

lipatan superior kelopak mata atau melalui insisi suprasiliaris. Insisi lipatan

kelopak menghasilkan kontur kelopak mata yang lebih dan simetris.

Beberapa modifikasi frontalis sling telah dianjurkan. Sebuah

modifikasi menggunakan area yang lebih luas dari fiksasi fasia. Teori ini

dengan meningkatkan luas daerah penghubung akan meningkatkan perlekatan.

Prosedur ini, dijelaskan oleh DeMartelaere et al, membutuhkan pengambilan

empat fasia, yang masing-masing berukuran lebar 3-4 mm dan panjang 10-12

cm. Pengambilan fasia ini selanjutnya akan diletakkan antara levator dan insisi

dibawah alis mata. Tehnik ini dikatakan memiliki hasil pemeliharaan lipatan

kelopak mata yang lebih baik dan kontur kelopak mata yang uniform.

Modifikasi lain termasuk menjahit sling pada pelat tarsal. Menurut Buttanri et

al dari 80 prosedur operasi, ditemukan perbedaan statistic bermakna pada

keberhasil operasi (didefinisikan sebagai posisi kelopak mata dipertahankan

dalam 1 mm dari posisi kelopak mata yang normal) ketika menjahit batang

silicon pada pelat tarsal. Walaupun tidak terdapat perbedaan secara statistic

pada jenis jahitan yang digunakan, mereka menemukan bahwa jahitan dengan

bahan polyester sedikit lebih efektif daripada dengan polipropilen

menofilamen.

Beberapa material yang terlah digunakan untuk membuat sling antara

otot frontalis dan tarsus, termasuk fascia lata autogenous atau material

alloplastic ( chromic, collagen, polypropylene, silicone, stainless steel, silk,

nylon monofilament, polyester dan polytetrafluoroethylene ) . Beberapa

menyarankan fasia lata autogenous merupakan materi pilihan pada frontalis

sling. Tehnik Crawford, pada mulanya dijalaskan pada tahun 1956, dan masih

terkenal hingga sekarang, menggunakan fasia lata sebagai bahan sling. Sling

Page 11: PTOSIS KONGENITAL

fasia lata autogenous memiliki insiden paling rendah terhadap infeksi dan

ekstrusi, walau kesuksesan penyerapan transplantasi mungkin jangka panjang.

Seorang anak paling tidak harus berusia 3 tahun untuk memilki panjang kaki

yang adekuat untuk memperoleh fasia lata yang sesuai. Ketika fasia lata

autogenous tidak tersedia, donor fasia lata merupakan suatu pilihan, walau

tidak begitu efektif. Batang silicon dan sling telah sering digunakan sebagai

materi suspensi karena kombinasi kekuatan keduanya (menyebabkan elevasi

kelopak mata) dan elastisitasnya ( menyebabkan penutupan kelopak mata

sempurna). Pelepasan implan mungkin dibutuhkan karena ekstrusi atau infeksi

oleh bahan sling yang digunakan.

Jahitan dengan bahan Mersilene (Ethicon, Blue Ash, Ohio) merupakan

jahitan serat polyester yang non-absorbable yang fleksible dan berpori,

sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan jaringan. Sebuah studi dari 32

pasien, menunjukkan angka operasi ulang yang signifikan yaitu 12,5% dan

komplikasi jaringan lunak sebesar 20%. PTFE yang berpori adalah

fluoropolymer sintetik berpori yang paling dikenal untuk penggunaannya

dalam pembuatan pakaian luar tahan air. Bahan ini juga digunakan pada

beberapa spesialisasi medis, termasuk penggunaannya sebagai bahan pada

prosedur frontalis sling. Nylon monofilament sangat mudah digunakan, tetapi

memiliki angka rekuren yang tinggi.

Dinamika flap otot frontalis, sebuah prosedur yang dimodifikasi

berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sama seperti sling frontalis tradisional,

memerlukan penciptaan dan elevasi flap otot frontalis, yang kemudian

menutupi katrol dibuat dekat penyisipan septum orbital di superior rim orbital

dan melekat pada tarsus dengan jahitan permanen. Hal ini menghubungkan

otot frontalis dan tarsus, sehingga menyebabkan peningkatan elevasi kelopak

mata dengan kontraksi otot frontalis dan mengeliminasi kebutuhan alloplastic

atau bahan autologous yang digunakan pada frontalis sling tradisional. Hal ini

menyebabkan ptosis yang berkurang saat melirik ke atas dan mengurangi

jatuhnya kelopak mata saat melirik ke bawah, menghilangkan sayatan alis, dan

mempertahankan kontur kelopak mata. Komplikasi prosedur ini termasuk

anestesi dahi transien, koreksi berlebihan dan lagoftalmos.

Page 12: PTOSIS KONGENITAL

Modifikasi tambahan untuk prosedur frontalis penutup diperkenalkan

dalam upaya untuk menurunkan kejadian lagophthalmos pascaoperasi awal :

the forked frontalis muscle aponeurosis (FFMA). Modifikasi dengan membuat

insisi vertical dengan panjang 5 – 8 mm pada aponeurosis otot frontalis untuk

membentuk flap dari aponeurosis. Kemudian, daerah sentral tepi atas tarsus

dijahit ke kedua ujung bercabang dari aponeurosis tersebut. Teknik ini

diperkirakan menyediakan setidaknya tiga keuntungan utama bila

dibandingkan dengan prosedur asli frontalis flap : eliminasi sayatan kulit di

tepi bawah alis, eliminasi sayatan di otot frontalis , dan eliminasi diseksi

bawah otot frontalis.

Borman et al menjelaskan tehnik yang sama pada FFMA, juga sebagai

usaha untuk menurunkan lagoftalmos pasca operasi : double-breasted

orbiculalris oculi muscle flaps. Dibuat dua flap otot orbicularis okuli, satu

dibagian superior dan satu pada bagian inferior. Flap superior kemudian

dielevasi dan dijahit pada tarsal plate dan flap inferior dijahit melewati flap

superior untuk mencapai penutupan yang aman.

Karena suspensi frontalis sering dicapai dengan bahan aloplastik,

operasi ini memiliki beberapa komplikasi unik. Implantasi bahan asing dapat

menyebabkan inflamasi, infeksi, dan ekstrusi. Pada ulasan dari 110 kelopak

mata yang melewati prosedur frontalis sling dengan silicone, Morris et al

melaporkan terjadi komplikasi pada 11 kelopak mata (9%). Termasuk dalam

daftar ini adalah dua kasus abses silicon (1,8%). Infeksi telah dilaporkan

karena flora normal kulit, mycobacteri atipikal, dan Candida sp. Pengobatan

biasanya meliputi antibiotic, dan kadang pelepasan sling.

B. Levator Resection and Advancement

Levator Resection and Advancement dari aponeurosis levator melalui

sayatan eksternal, atau external levator advancement (ELA), dapat digunakan

untuk koreksi ptosis dengan fungsi levator baik ( > 5 mm). Paparan diperoleh

melalui insisi lipatan kelopak mata superior dan pemotongan yang dilakukan

pada aponeurosis levator. Levator aponeurosis kemudian dilipat atau dipotong

dan disambungkan ke permukaan anterior tarsus dengan jahitan non-

Page 13: PTOSIS KONGENITAL

absorbable. Prosedur ini memiliki banyak keuntungan, termasuk kemampuan

untuk menyesuaikan jumlah elevasi kelopak mata intraoperatif dan, jika

keinginan ahli bedah, pelestarian otot Muller dan ligamen Whitnall ini.

Penggunaan sayatan kulit kecil dan karena itu kurang anestesi lokal dapat

menyebabkan hasil kosmetik yang baik dengan waktu bedah yang singkat dan

waktu penyembuhan yang lebih cepat . Reseksi levator juga dapat mengurangi

kebutuhan untuk operasi tambahan. Skaat et al melaporkan 162 pasien yang

menjalani operasi untuk koreksi ptosis kongenital. Prosedur yang dlilakukan

berupa levator resection (47%), suspensi frontalis (46%), dan prosedur

Fasanella –Servat (7%). Jumlah operasi ulang masing-masing sebesar 10,4%,

29,3%, dan 20%.

Park et al melaporkan 130 pasien dengan fungsi levator yang buruk dan

menjalani reseksi levator atau transfer otot frontalis langsung tanpa

autogenous fasia lata. Semua pasien telah didiagnosa ptosis kongenital dengan

fungsi levator antara 2 – 4 mm. Meskipun ada kecenderungan rendahnya

ptosis residual dengan transfer frontalis, hasilnya tidak bermakna secara

statistik. Whitehouse et al melaporkan hasil yang memuaskan menggunakan

tehnik ini pada 30 operasi ptosis kongenital pada pasien dengan fungsi levator

minimum 4 mm. Mereka melaporkan 16,7% mengalami kurang koreksi atau

rekuren. Pasien yang menjalani reseksi levator memiliki risiko mengalami

Page 14: PTOSIS KONGENITAL

amblyopia, meskipun ini mungkin sebagian disebabkan oleh derajat yang lebih

rendah dari ptosis saat pra operasi serta keberhasilan prosedur itu sendiri.

Tekan et al telah melaporkan hasil yang baik menggunakan maksimal levator

reseksi pada pasien dengan fungsi levator kurang dari 2 mm. Para penulis

berpendapat bahwa keuntungan utama untuk ini adalah kurangnya implan,

yang dapat mengurangi risiko infeksi.

Ketika melakukan reseksi levator untuk ptosis kongenital, ada beberapa

metode yang ahli bedah dapat gunakan untuk menentukan jumlah levator yang

akan direseksi. Yang pertama melibatkan menempatkan kelopak mata pada

posisi yang diinginkan, kemudian mengangkat jaringan yang berlebihan.

Meskipun sederhana, hasilnya mungkin tak terduga sebagai akibat dari efek

anestesi pada tonus otot dan posisi tatapan. Teknik lain melibatkan penentuan

pra operasi berdasarkan pada tingkat keparahan ptosis dan jumlah fungsi

levator. Algoritma kompleks telah dipublikasikan oleh Beard dan Finsterer,

tetapi formula sederhana juga telah dijelaskan, seperti rekomendasi reseksi 4

mm dari levator untuk setiap 1 mm dari ptosis. Bahkan dalam pengaturan

fungsi levator yang buruk dan ptosis unilateral parah, beberapa ahli bedah

akan melakukan reseksi levator maksimum daripada melakukan prosedur

suspensi frontalis. Epstein dan Putterman telah menjelaskan prosedur untuk

pasien dengan ptosis kongenital unilateral, yang melibatkan menghapus 30

mm atau lebih dari levator dengan atau tanpa tarsektomi. Mereka menemukan

hasil kosmetik yang dapat diterima pada 75% kasus, dibandingkan dengan

50% yang menggunakan tehnik suspensi frontalis.

C. Whitnall Sling

Prosedur whitnall sling adalah sebuah tehnik yang dapat digunakan

untuk koreksi ptosis sedang – berat (fungsi levator 3 – 5 mm). Ligamen

Whitnall mengubah kerja LPS dari horisontal ke bidang vertikal dan

menyediakan support untuk kelopak mata atas. Prosedur Whitnall sling

memerlukan reseksi aponeurosis levator sampai ke titik ligament Whitnall.

Ligament Whitnall dan otot levator dijahit ke bagian superior dari tarsal plate

menggunakan jahitan absorbable atau non-absorbable. Prosedur ini dapat

dikombinasi dengan tarsektomi superior untuk menghasilkan elevasi kelopak

Page 15: PTOSIS KONGENITAL

mata tambahan. Perawatan harus dilakukan untuk mencegah kesalahan lower-

positioned transverse ligament (LPTL) pada ligament Whitnall. Fiksasi LPTL

pada tarsus secara tidak sengaja, menyebabkan insufisiensi elevasi kelopak

mata.

Seseorang harus memastikan ligament Whitnall terlalu jauh di bawah

tarsal plate dan menyebabkan inversi kelopak mata. Kurang koreksi

merupakan komplikasi paling umum yang meningkat frekuensinya lama

setelah operasi dilakukan. Sebuah laporan mengatakan 69 kasus Whitnall

Sling menjalani operasi ulang karena ptosis rekuren sebesar 30,7%. Insiden

yang tinggi dari koreksi kurang terlambat ditemukan pada kasus-kasus dengan

koreksi Whitnall sling, sehingga disarankan prosedur ini dikombinasikan

dengan tarsektomi. Tarsektomi superior 5 mm dapat menghasilkan elevasi

kelopak mata tambahan sebesar 1 – 1,5 mm.

D. Fasanella-Servat procedure

Fasanella dan Servat pertama kali memperkenalakan prosedur untuk

penanganan ptosis ringan pada tahun 1961. Seperti yang telah dijelaskan,

tehnik ini meliputi pengangkatan tarsus superior lebih dari 3mm, konjungtiva,

otot Muller, dan levator. Selama bertahun-tahun banyak variasi dalam teknik

bedah telah dijelaskan , tetapi secara umum setuju, bahwa itu harus dilakukan

pada kasus dengan fungsi levator baik dan ptosis kurang dari 3 mm. Teknik

Fasanella- Servat hanya dilakukan terbatas dalam koreksi ptosis kongenital.

Ada beberapa penjelasan untuk ini. Pertama, ptosis kongenital sering

mengakibatkan fungsi levator buruk, yang membatasi peran untuk prosedur

ini. Kedua, banyak ahli bedah lebih memilih untuk menghindari pengangkatan

tarsus sehat mengingat peran fungsional dalam stabilitas kelopak mata dan,

bila perlu, nilainya dalam rekonstruksi kelopak mata.

Beberapa studi telah melihat keberhasilan prosedur Fasanella-Servat

pada ptosis kongenital. Berry-Brincat et al meninjau 155 kasus ptosis

kongenital. Sepuluh persen dari kasus tersebut ditangani dengan tehnik

Fasanella-Servat. Tingkat kesuksesan rata-rata pada seluruh tehnik operasi

yaitu 71% dengan 20% dilakukan operasi ulang. Dalam grup Fasanella-Servat

secara spesifik, terdapat hasil yang kurang memuaskan sebanyak 3 dari 15

Page 16: PTOSIS KONGENITAL

kasus dan 20% operasi ulang. Tidak ada anak-anak dari grup Fasanella-Servat

yang mengalami amblyopia. Pang et al meninjau 169 kasus ptosis yang

ditangani dengan Fasanella-Servat. Dari kasus-kasus tersebut, 18 kasus

diklasifikasikan sebgai ptosis kongenital. Tingkat kesuksesan rata-rata sebesar

89,5%, tetapi kasus ptosis kongenital memiliki angka kesuksesan paling

rendah dari semua studi subgroup (76,4%). Komplikasi prosedur Fasanella-

Servat meliputi, dermatokalasis, lipatan kelopak mata ganda, abnormalitas

kontur kelopak mata, hematoma, koreksi yang kurang, koreksi berlebih,

terbukanya luka operasi, granuloma piogenik dan perdarahan.

E. Muller’s muscle-conjunctival resection

Otot-otot Muller merupakan otot-otot polos yang involuter, dan

dipersarafi oleh saraf simpatis, dan berasal dari bawah aponeurosis levator

disebelah distal ligament Whitnall. Otot Muller melekat pada batas superior

tarsal dan berfungsi untuk elevasi 2-3 mm kelopak mata. Reseksi konjungtival

otot Muller (MMCR) direkomendasikan pada pasien yang mengalami

perbaikan setelah pemberian phenylephrine topical, sebuah simpatomimetik

yang menstimulasi kontraksi otot Muller. Studi terbaru menunjukkan bahwa

pada pasien yang tidak menunjukkan respon pada phenylephrine,prosedur

MMCR dapat berhasil dengan komplikasi yang rendah. Seperti yang telah

dijelaskan, MMCR melibatkan penangkatan konjungtiva dan otot Muller

disebelah superior dari tarsus menggunakan pendekatan kelopak mata

posterior. Keuntungan dari tehnik ini dibandingkan dengan pembedahan

Fasanella-Servat adalah tanpa pengangkatan tarsus. Biasanya, 6,5-9,5 mm dari

konjungtiva dan otot akan direseksi, bergantung pada respon klinis terhadap

phenylephrine. Komplikasi yang dapat terjadi adalah resiko abrasi dan

ulserasi kornea dari paparan jahitan pada konjungtiva palpebral. Ketebalan

jahitan fiksasi tarsal harus kecil untuk mencegah hal ini. Beberapa kritik

mengatakan bahwa pengangkatan dari struktur sekitar yang normal seperti sel

goblet, dan glandula lakrimal aksesorius seperti Krause dan Wolfring dapat

meningkatkan kekeringan dari permukaan okular. Walaupun hal ini cukup

mengkhawatirkan hal ini belum pernah dibuktikan secara objektif. Bahkan

Page 17: PTOSIS KONGENITAL

Dailey et al menunjukkan tidak terdapat penurunan produksi air mata secara

signifikan setelah MMCR.

Tidak seperti tehnik lainnya, tinggi kelopak mata tidak dapat

disesuaikan dengan MMCR. Jumlah jaringan yang direseksi ditentukan

preoperative. Berbagai perbandingan antara reseksi otot dengan elevasi

kelopak mata telah dijelaskan. Mercandetti melaporkan sebuah perbandingan

antara reseksi 1mm untuk setiap 0,32 mm elevasi kelopak mata yang

diinginkan. Karena keberhasilan prosedur ini bergantung pada fungsi dari otot

levator dan Muller, prosedur ini hanya boleh dikerjakan pada pasien dengan

ptosis ringan. Walaupun mempunyai keuntungan tidak terdapat bekas luka

eksternal, prosedur ini hanya memberikan elevasi kelopak mata 1-2 mm

sehingga jarang sekali sesuai untuk mengkoreksi ptosis kongenital. Sebuah

laporan dari 8 pasien yang menjalani MMCR untuk ptosis kongenital

menunjukkan hasil yang baik walaupun semua pasien mempunyai fungsi

levator minimal 12 mm. Jarak reflek marginal kelopak mata atas membaik

sekitar 2,38 mm, yang menghasilkan koreksi yang adekuat untuk ptosis.

MMCR adalah pertimbangan yang rasional pada pasien dengan ptosis ringan,

fungsi levator yang baik dan pasien yang menunjukkan respon terhadap

phenylephrine topical pada evaluasi pre-op.

F. PERTIMBANGAN KHUSUS

Perbaikan secara operatif dari blefarofimosis biasanya membutuhkan

beberapa prosedur operasi,termasuk perbaikan ptosis dan epikantoplasti. Tipe

perbaikan ptosis bergantung pada keparahan ptosis dan fungsi levator, dan

pilihan untuk epikantoplasti termasuk Y –V flaps, tehnik Mustarde, dan tehnik

5-flap. Perbaikan dari kelopak mata ini kompleks, dan waktu operasi masih

diperdebatkan. Prosedur-prosedur ini dapat dilakukan atau digabungkan dalam

satu operasi. Keputusan ini berdasarkan angka faktor spesifik pasien dan harus

ditangani secara individual.

Sebuah kontroversi diajukan oleh Beard pada tahun 1965 untuk

penanganan ptosis berat unilateral meliputi tindakan ablasi levator pada

kelopak mata normal, sehingga menyebabkan ptosis berat bilateral. Kedua sisi

kemudian diperbaiki dengan suspense frontalis. Tujuannya adalah agar kedua

kelopak mata simetris. Pendekatan yang sama juga dilakukan untuk koreksi

Page 18: PTOSIS KONGENITAL

ptosis pada pasien dengan Marcus Gunn jaw wink. Beberapa pengarang

merekomendasikan reseksi levator pada kasus winking dan ptosis ringan,

tetapi pada kondisi yang lebih berat, mereka berdebat tentang disinsersi

levator bilateral diikuti dengan suspense frontalis.

Setelah perbaikan dari ptosis unilateral, kelopak mata kontralateral

kadang akan menjadi ptosis berdasarkan hukum Hering. Hukum Hering

inervasi yang sebanding mempostulasikan bahwa otot-otot okular menerima

persarafan yang seimbang. Secara spesifik, ketika satu kelopak mata mengalami

ptosis, otak meningkatkan persarafan pada kedua otot LPS dalam usaha untuk

memperjelas axis visual. Peningkatan persarafan pada kelopak mata kontralateral

dapat menyebabkan pseudoretraksi. Setelah perbaikan ptosis unilateral, persarafan ke

otot LPS berkurang dan penurunan kelopak mata kontralateral dapat diobservasi

setelah operasi.

5. KOMPLIKASI

Sebagai tambahan komplikasi spesifik yang telah diutarakan sebelumnya

untuk setiap prosedur, terdapat beberapa komplikasi umum pada penanganan

operasi ptosis. Pasien dan keluarga pasien harus diberithaukan terjadinya

lagoftalmos sementara setelah operasi. Lamanya waktu tergantung pada jenis

koreksi, biasanya paling lama pada suspensi frontalis, dan paling pendek

setelah MMCR. Sangat penting untuk melakukan lubrikasi agresif pada kornea

pada saat ini. Komplikasi paling umum adalah koreksi berlebihan atau kurang

koreksi. Kurang koreksi dapat menyebabkan ptosis residual dan, menurut

posisi dari kelopak mata atas, mungkin diperlukan operasi ulang. Koreksi

berlebihan dapat menyebabkan lagoftalmus permanen, sehingga menyebabkan

keratopati akibat paparan. Lagi, pengobatan meliputi lubrikasi agresif, dan

mungkin membuthukan operasi ulang untuk menurunkan kelopak mata. Hasil

lain yang harus didiskusikan dengan pasien dan keluarga pasien meliputi

kelopak mata yang asimetris, ptosis rekuren lambat, infeksi, dan pembentukan

bekas luka.

Derajat keberhasilan yang dilaporkan pada perbaikan ptosis bervariasi

antara studi. Dalam sebuah studi dari 239 pasien yang menjalani suspensi

frontalis dengan autologous fascia lata, Yoon and Lee menemukan derajat

Page 19: PTOSIS KONGENITAL

keberhasilan sebesar 94% dengan tinjauan ulang minimal 6 bulan. Hasil secara

kosmetik tidak terlalu seperti yang diharapkan, dengan hasil yang baik 85,4%,

65,7%, dan 66,9% untuk kontur kelopak mata, simetris, dan lipatan kelopak

mata. Pada ulasan retrospektif suspensi frontalis menggunakan silicon, Morris

et all mendapatkan 11 komplikasi dari 110 kasus (9%). Komplikasi-

komplikasi ini termasuk empat kasus keratopati akibat pajanan, dua abses, satu

ulkus kornea, dan empat kasus operasi ulang awal. Mereka juga melaporkan

operasi ulang jangka panjang sebesar 9%,dari semua koreksi yang kurang.

Dalam sebuah studi besar , yang meninjau hasil levator advancement,

McCulley melaporkan 828 pasien selama lebih dari 9 periode. Walau studi ini

hanya melibatkan pasien dewasa, hasilnya layak diperhatikan. Mereka

menemukan tingkat operasi ulang sebesar 8,7%, namun mencatat bahwa

tambahan 14% dari pasien yang memiliki hasil yang tidak diinginkan tetapi

menolak operasi ulang. Mereka juga menemukan bahwa pasien dengan ptosis

bilateral atau ptosis parah, didefinisikan sebagai lebih besar dari 4 mm dari

ptosis, memiliki peningkatan risiko yang signifikan secara statistik dari

undercorrection. Ini merupakan pengamatan penting, karena ptosis kongenital

sering dapat bilateral dan / atau berat. Tingkat operasi ulang setelah levator

advancement sebanding dengan yang ditemukan oleh Skaat et al, yang

mengkaji prosedur di ptosis kongenital. Tingkat operasi ulang mereka setelah

levator advancement adalah 10,4%, lebih baik dari frontalis suspensi (29,3%)

dan prosedur Fasanella-Servat (20%).

Dalam perbandingan retrospektif antara levator advancement eksternal

dan MMCR, Ben Simon et al meninjau hasil untuk 159 pasien dewasa.

Mereka menemukan jumlah operasi ulang sebesar 18% dari kelompok ELA

tetapi hanya 3% pada kelompok MMCR. Mereka juga mencatat bahwa pasien

yang menjalani ELA memiliki ptosis signifikan sebelum operasi, yang dapat

berkontribusi pada tingkat operasi ulang yang lebih tinggi. Komplikasi lain

termasuk lagophthalmos (3,6%), overcorrection (1,4%), dan granuloma

piogenik (<1%).

6. REKOMENDASI TERBARU

Pemilihan prosedur operasi bergantung pada beberapa faktor, termasuk

preferensi ahli bedah, pengalaman, dan ketersediaan sumber daya. Perbaikan

Page 20: PTOSIS KONGENITAL

ptosis yang ideal merupakan kombinasi dari hasil kosmetik dan fungsional

yang baik dan bertahan lama dengan komplikasi minimal dan derajat

perbaikan. Kriteria objektif utama yang harus digunakan untuk pengambilan

keputusan saat operasi adalah derajat ptosis dan fungsi levator. Koreksi ptosis

unilateral yang berat dengan fungsi levator yang buruk (<3mm elevasi kelopak

mata) merupakan suatu tantangan. Ahli bedah harus menyeimbangkan

seberapa banyak elevasi kelopak mata dengan pencegahan terhadap

lagoftalmos. Pertimbangan lain meliputi posisi lipatan kelopak mata,

kesimetrisan, dan kontur kelopak mata. Beberapa pengarang menyarankan

operasi kedua kelopak mata pada ptosis unilateral berat untuk mencapai hasil

yang simetris. Ptosis dengan fungsi levator yang buruk sangat baik ditangan

dengan frontalis sling, Whitnall sling (dengan atau tanpa tarsektomi superior),

atau dengan dynamic frontalis muscle flap.

Dengan fungsi levator yang baik (>5mm elevasi kelopak mata), ahli

bedah memiliki pilihan yang lebih banyak. Ahli bedah dapat

mempertimbangkan prosedur ELA ataua MMCR (jarang), jika derajat ptosis

ringan dan hanya membutuhkan elevasi kelopak mata 1-2 mm. Tanpa

memandang prosedur yang akan dilakukan, sangat penting untuk menjelaskan

faktor risiko operasi dan komplikasi yang mungkin terjadi setelah operasi

kepada pasien dan keluarga pasien.

7. KESIMPULAN

Ptosis kongenital murni atau berkaitan dengan kelainan mata dan

kelainan sistemik, dapat menyebabkan gangguan fungsional dan social jika

tidak ditangani. Perbaikan secara bedah diindikasikan ketika kelopak mata atas

mengganggu aksis visual dan menimbulkan astigmatisme, yang dapat

menyebabkan amblyopia. Berbagai tehnik dan material dapat digunakan untuk

mencapai elevasi kelopak mata dan perbaikan aksis visual. Pemilihan

penanganan bergantung pada derajat ptosis, derajat fungsi levator, dan

pengalaman dan keputusan ahli bedah. Prosedur yang paling sering, frontalis

sling, dapat dilakukan dengan berbagai macam material. Operasi lebih dari

satu kali seringkali dibutuhkan untuk memperbaiki ptosis kongenital.

Page 21: PTOSIS KONGENITAL

PERKEMBANGAN VISUS PADA BAYI

Perkembangan kemampuan melihat sangat bergantung pada perkembangan tumbuh

anak pada keseluruhan, mulai dari daya membedakan sampai pada kemampuan

menilai pengertian melihat. Walaupun perkembangan bola mata sudah lengkap waktu

lahir, mielinisasi berjalan terus sesudah lahir. Tajam penglihatan bayi sangat kurang

dibanding penglihatan anak. Perkembangan penglihatan berkembang cepat sampai

usia dua tahun dan secara kuantitatif pada usia lima tahun (Ilyas, 2009).

Tajam penglihatan bayi berkembang sebagai berikut:

Baru lahir : Menggerakkan kepala ke sumber cahaya besar

6 minggu : Mulai melakukan fiksasi; Gerakan mata tidak teratur ke arah

sinar

3 bulan : Dapat menggerakkan mata ke arah benda bergerak

4-6 bulan : Koordinasi penglihatan dengan gerakan mata; Dapat melihat

dan mengambil objek

9 bulan : Tajam penglihatan 20/200

1 tahun : Tajam penglihatan 20/100

2 tahun : Tajam penglihatan 20/40

3 tahun : Tajam penglihatan 20/30

5 tahun : Tajam penglihatan 20/20 (Ilyas, 2009).