prosiding semiloka 2004

114
Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004 Perkembangan Simulasi dan Komputasi dalam Industri di Indonesia Saat Ini Jakarta, 30 Nopember 2004 Diselenggarakan oleh: Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika Kelompok Teknologi Integrasi Sistem Jaringan Komputer dan Komputasi ISBN: 979-95965-7-2 Switch Node Master Node 1 Node 3 Node 2 Other network Switch Node Master Node 1 Node 3 Node 2 Other network Switch Node Master Node 1 Node 3 Node 2 Other network C S E omputational cience & ngineering

Upload: adhirohadhi

Post on 06-Jun-2015

2.562 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan

Komputasi serta Aplikasi 2004

Perkembangan Simulasi dan Komputasi dalam Industri di Indonesia Saat Ini

Jakarta, 30 Nopember 2004

Diselenggarakan oleh:

Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika Kelompok Teknologi Integrasi Sistem Jaringan Komputer dan Komputasi

ISBN: 979-95965-7-2

Switch

Node Master

Node 1

Node 3

Node 2

Othernetwork

Switch

Node Master

Node 1

Node 3

Node 2

Othernetwork

Switch

Node Master

Node 1

Node 3

Node 2

Othernetwork

CSEomputational

cience &ngineering

Page 2: Prosiding Semiloka 2004
Page 3: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

iii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkat dan Rahmat-Nya maka Semiloka ini telah dapat diselenggarakan dengan baik.

Teknologi Simulasi dan Komputasi di Indonesia pada saat ini masih banyak yang terdapat dalam

lingkup akademis saja, dan hanya sedikit yang sudah diaplikasikan langsung dalam industri. Dalam Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi tahun 2004 ini, untuk lebih mendorong perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia serta aplikasinya, kami mengundang pembicara yang berkecimpung dalam teknologi ini dan juga memang berkecimpung langsung di industri. Di samping itu juga diundang pembicara dari pihak akademis yang memang terlibat dalam state of the art dari penelitian dan pengembangan aplikasi teknologi ini.

Semiloka ini menyajikan makalah-makalah ilmiah berkualitas terkait dengan teknologi simulasi dan

komputasi, dalam bidang aplikasi simulasi, teknik pemodelan, analisa dan aplikasi komputasi, yang berasal dari LPND dan lingkup akademis (universitas). Terlihat beberapa produk perangkat lunak simulasi dan komputasi baik yang masih taraf pengembangan, prototype ataupun yang sudah jadi yang dipromosikan dalam makalah ilmiah semiloka ini. Di samping itu juga ada beberapa makalah yang menampilkan teknik analisa dan terapannya dilapangan.

Semiloka ini memang masih dalam skala kecil, dan belumlah dapat dikatakan mewakili kondisi

nasional. Akan tetapi dari makalah dan hasil yang diajukan dalam prosiding ini, dapat dikatakan perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia masih tetap berjalan dan diharapkan dapat berkembang menjadi lebih baik.

Semoga buku prosiding ini dapat membantu mempercepat permasyarakatan teknologi simulasi

dengan harapan akan semakin banyak timbul produk-produk teknologi simulasi dan komputasi dari dalam negeri. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Ketua Komite Teknis Dr-Ing. Edi Legowo

Page 4: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

iv

Page 5: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

v

SUSUNAN PANITIA

Pembina: Ir. Martin Djamin, M.Sc., Ph.D., APU (Deputi Kepala Bidang TIEML – BPPT)

Drs. Sulistyo, MS (Direktur P3TIE – BPPT)

Ir. Bambang Heru Tjahyono (BPPT)

Komite Teknis Dr. -Ing. Edi Legowo (BPPT) (Ketua)

Dr. Ir. Ade Jamal (BPPT)

Dr. Dwi Handoko (BPPT)

Dr.-Ing. Wahyu Sediono (BPPT)

Komite Pelaksana Dr. Alief N. Yahya (BPPT) (Ketua)

Lebong Andalaluna, M.Eng (BPPT)

Agus Sainjati, M.Sc (BPPT)

Made Gunawan, M. Eng (BPPT)

Ir. Aris Suwarjono (BPPT)

Ir. Tri Sampurno (BPPT)

Ir. Vitria Pragesjvara (BPPT)

Page 6: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

vi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Dr –Ing. Edi Legowo iii

Sambutan Deputi Kepala Bidang TIEML

Dr. Martin Djamin, APU iv Susunan Panitia v Daftar Isi vi Makalah Undangan

Pengembangan Hemisphere Structure of Hidden Layer Neural Networks dan Optimasi Strukturnya Menggunakan Algoritma Genetika Benyamin Kusumoputro, Ph.D., Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia 1

Simulasi

1. Pemodelan dan Simulasi Antrian Kendaraan di Gerbang Tol Wahyu Sediono dan Dwi Handoko, P3TIE-BPPT 11

2. Estimasi Karakteristik Propagasi Gelombang Elektromagnetik pada Sistem Komunikasi Bergerak Dr. Hary Budiarto, P3TL-BPPT 15

3. Pengaruh Ukuran Butir Terhadap Kuat Fatik Baja: Simulasi dan Eksperimen DR- Ing. H. Agus Suhartono, UPT LUK Puspiptek, Serpong 21

Analisa

4. Perbandingan Metode Monte Carlo dan Metode Partikel Terbobot Stokastik untuk Solusi Numerik Persamaan Boltzmann Endar H. Nugrahani, Departemen Matematika, FMIPA, Institut Pertanian Bogor 33

5. Analisis Aerodinamika Efek Railing dan Ketinggian Dek pada Jembatan Bentang Panjang Fariduzzaman dan Dewi Asmara, UPT-LAGG, BPPT, PUSPIPTEK, Serpong 39

Aplikasi

6. Perkembangan dan Aplikasi Teknologi Simulasi dan Komputasi Iklim dan

Kelautan di Indonesia Edvin Aldrian, UPTHB – BPP Teknologi 45

7. Aplikasi Neural Networks untuk Prediksi Aliran Sungai (Studi Kasus DAS Cidanau, Indonesia dan DAS Terauchi, Jepang) Budi I. Setiawan dan Rudiyanto, Dept. of Agricultural Engineering, Bogor Agricultural University 61

8. Evaluasi Penggunaan Program MS Excel dalam Menyusun Formulasi Ransum

Pakan Ternak Menggunakan Metode Program Linier Hendra Herdian, UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta 67

Page 7: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

vii

9. Aplikasi Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Network/ANN) Sebagai Alternatif Sistem Peringatan Dini bagi Fenomena Harmful Algal Blooms (HABs) di Teluk Jakarta Rahmania A. Darmawan dan Hary Budiarto, P3 Teknologi Lingkungan BPPT 75

10. Evaluasi Mutu Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle) dengan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf Tiruan Zainul Arham, Usman Ahmad, Suroso Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 81

11. Pemodelan Pengaruh Knowledge Management untuk Pengembangan

Sumber Daya Manusia Mohamad Haitan Rachman, Multiforma Sarana Consultant, PT. 89

12. Visualisasi dan Database Pengisian Botol pada Industri Kimia Berbasis Mikrokontroler dengan Pemrograman Visual Basic 6.0 A. Sofwan, M. Abror dan O.Namara, Jurusan Teknik Elektro - Fakultas Teknologi Industri, Institut Sains dan Teknologi Nasional 93

13. Pengaturan Sistem Kerja Kecepatan Motor DC pada Mesin Produksi Kempa Tablet Berbasis Fuzzy A.Sofwan dan A.Irfan, Institut Sains Dan Teknologi Nasional 97

14. Algorithma untuk Deteksi QRS Sinyal ECG Pratondo Busono, BPP Teknologi Eddy Susanto, Wiewie, dan Yuliana Sadeli, Universitas Bina Nusantara 101

Page 8: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

viii

Page 9: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

1

PENGEMBANGAN HEMISPHERE STRUCTURE OF HIDDEN LAYER NEURAL NETWORKS DAN OPTIMASI

STRUKTURNYA MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

Benyamin Kusumoputro

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia Kampus UI Depok16424 Indonesia4

email : kusumo @cs.ui.ac.id

Invited Paper

Abstract

In a research for a development of a 3D face recognition system, a novel structure of neural networks is proposed. This neural networks is developed by substituting a single neuron in the hidden layer of a conventional multilayer perceptron with a hemisphere structure of hidden neurons. This type of neural networks is called Hemisphere Structure of Hidden Layer (HSHL) neural networks. In this paper, we would like to explain the fundamental aspect of that development, together with its optimization of this structure with the use of Genetic Algorithms, and its impact on the recognition capability of the developed system.

Keywords: Sistem Pengenal Wajah 3-D, jaringan perceptron lapis jamak, Cylindrical Structure of Hidden Layer Neural Networks, Hemisphere Structure of Hidden Layer Neural Networks

. 1. PENDAHULUAN

Sistem Pengenal Citra 3-Dimensi (3D) sekarang ini sedang banyak diteliti dan dikembangkan, terutama karena kegunaannya dalam sistim multimedia dan pengenalan pola [1,2]. Masukan dalam Sistem Pengenal Citra 3D ini biasanya merupakan beberapa citra dua dimensi yang di ambil dari pelbagai posisi disekitar objek 3 dimensi tersebut, sehingga menyulitkan Sistem Pengenal Citra 3D untuk dapat mengenal citra yang sama tetapi dengan sudut pandang citra yang berbeda saat dilakukan proses pembelajarannya. Masalah lain yang berkaitan dengan tingkat kesulitan Sistem Pengenal Citra 3D ini adalah besarnya alokasi memori yang diperlukan untuk merekam citra 2 dimensi tersebut, dan apabila kita juga harus memasukkan efek dari arah penyinaran objek, maka akan semakin besar alokasi memori yang diperlukan.

Para peneliti telah berusaha untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini [3,4], dan beberapa diantaranya menggunakan teknik pra-pengolahan citra seperti deteksi tepi, operasi

penghalusan dan lain sebagainya [5-7]. Akan tetapi, karena prosedur diatas dapat meningkatkan biaya operasional tanpa disertai dengan tingkat pengenalan yang tinggi, maka alternatif pendekatan lain kemudian dicari, untuk dapat meningkatkan kemampuan pengenalan sistim tanpa menambah alokasi memori serta menekan biaya komputasional sistim pengenalannya.

Penelitian mengenai Sistim Pengenal Wajah telah banyak dilakukan para peneliti didunia [1]-[9] yang kebanyakan dilakukan untuk wajah-wajah dengan pandangan depan (quasi-frontal view-faces). Kirby dan Sirovich [7] telah mengajukan metodologi dekomposisi dari citra wajah (eigenspace model) yang kemudian dikembangkan oleh beberapa peneliti lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik [8]-[9]. Metoda eigen-face ini dilakukan dengan mengekstrak informasi ciri dari sekumpulan citra wajah dengan menggunakan Transformasi Karhunen-Loeve (KLT) [10]. Transformasi ini digunakan untuk dapat memproyeksikan sejumlah besar data kedalam ruang eigen dengan jumlah dimensi yang lebih kecil dari pada dimensi semula.

Page 10: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

2

Para peneliti kemudian ingin mengembangkan Sistim Pengenal Wajah ini untuk dapat mencakup juga wajah yang dilihat dari sisi yang berbeda, tidak hanya dari depan saja. Dapat dikatakan bahwa pengenalan wajah secara 3 dimensi ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa citra wajah 2 dimensi dengan sudut pandang yang berbeda [11][12], akan tetapi hingga sekarang belum didapatkan kemampuan pengenalan yang baik. Terdapat beberapa metodologi yang dikembangkan untuk dapat mengenali citra wajah 3 dimensi dalam beberapa tahun belakangan ini.

Nevatia dan Binford mengembangkan sebuah metodologi berdasarkan ‘generalized cylinders [13], sedangkan Faugeras dan Hebert mengajukan metoda ‘geometric matching using points, lines and planes’ [14]. Horand dan Bolles mengembangkan penelitian untuk mengenali dan menentukan posisi objek 3 dimensi berbasis’ object-specifik features’ seperti bentuk lingkaran, busur dengan teknik pengenalan sisi-tepi citra [15]. Pentland dan rekan dari MIT mengajukan metoda pengenalan 3 dimensi menggunakan teknik multiple-eigenspace dan melaporkan pengenalan rata-rata sebesar 83 % apabila menggunakan wajah dengan sudut pandang yang berbeda dengan pelatihannya [16].

Miyanaga et al [17] menggunakan jaringan neural buatan untuk dapat mengenal objek 3D. Pada prinsipnya, Miyanaga menggunakan jaringan perceptron lapis jamak yang telah dimodifikasi pada lapis tersembunyinya, yaitu dengan mengganti setiap neuron dengan sebuah lingkaran berisi beberapa buah neuron, sehingga membentuk lapis tersembunyi berbentuk silinder yang dinamakan sebagai Cylindrical Structure of Hidden Layer Neural Network (CSHL-NN). Akan tetapi dalam penggunaan jaringan neural ini, kita harus mengasumsikan bahwa sudut pandang pada citra uji telah diketahui terlebih dahulu, serta mendapatkan tingkat ketelitian dibawah 75 % [18].

Berkaitan dengan kelemahan sistem pengenal objek 3D yang dikembangkan oleh Miyanaga et al, pemakalah kemudian mengembangkan Sistem Pengenal Sudut Pandang Citra Wajah 3D dengan menggunakan Nearest Feature Lines Method [18] sebagai subsistem dari CSHL-NN yang dikembangkan. Pemakalah juga telah menggunakan sistem ini sebagai Sistem Pengenal Wajah 3D, menggunakan metoda eigenspace, yang dapay meningkatkan derajat pengenalan menjadi sekitar 86%.

Seperti kita ketahui, bahwa pada jaringan perceptron lapis jamak, jumlah neuron yang meningkat akan memperbesar error (galat) dari sistem jaringan ini, sehingga Pemakalah kemudian

menggunakan Algoritma Genetika untuk menghilangkan sejumlah neuron yang memberi kontribusi negatif terhadap tingkat pengenalan sistem. Algoritma genetika ini akan mencari dan mengeliminasi sejumlah neuron dan dengan menggunakan struktur jaringan yang sudah teroptimasi ini, tingkat pengenalan Sistem Pengenal Wajah 3D ini meningkat menjadi 97,2%.

Dalam makalah ini akan dikemukakan pengembangan jaringan neural dengan struktur baru lapis tersembunyi, yang dinamakan sebagai Hemisphere Structure of Hidden Layer Neural Network (HSHL-NN). Kita juga akan menurunkan persamaan matematik untuk menghitung nilai aktivasi neuron lapis tengah, dan mengaplikasikannya dalam Sistim Pengenal Objek-Wajah secara 3 dimensi.

2. SISTEM PENGENAL WAJAH SECARA 3

DIMENSI

Suatu obyek tiga dimensi dapat dikenali dengan memanfaatkan sejumlah citra acuan dua dimensi yang merupakan variasi penampakan terhadap obyek tersebut, misalnya, berdasarkan variasi sudut pandang pengamatan yang berbeda. Dari berbagai percobaan, diketahui bahwa sistem penglihatan manusia menggunakan lebih dari dua buah citra penampakan suatu obyek, yaitu sekitar 20 hingga 100 buah citra, untuk dapat merepresentasikan citra gambar 3D yang diamatinya. Data citra tersebut digunakan untuk melakukan generalisasi penampakan baru, sebagai hasil interpolasi dari penampakan yang sudah ada [8]. Sistim pengenal wajah 3D yang dikembangkan penulis juga mengacu pada asumsi dasar tersebut.

Metode pengenalan objek 3 dimensi melalui citra 2 dimensi dari berbagai sudut pandang telah dikembangkan dengan menggunakan arsitektur jaringan neural multi-lapis dengan lapis tersembunyi berbentuk silindris. Metologi pembelajaran yang dipergunakan untuk merubah nilai bobot dan bias dari setiap pola keterhubungan antar neuron dilakukan dengan menggunakan metode pelatihan propagasi balik. Jaringan neural buatan ini kemudian dinamakan sebagai Cylindrical Hidden Multi-Layer Perceptron Back Propagation (CHMLP-BP). 2.1 Pengembangan Cylindrical Structure of Hidden Layer Neural Network (CSHL-NN)

Seperti telah dibahas dalam pendahuluan,

maka jaringan perceptron lapis jamak biasa sangat sulit untuk dapat melakukan pengenalan objek 3 dimensi dengan tingkat pengenalan yang tinggi. Untuk dapat meningkatkan kemampuan sistim, kita

Page 11: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

3

menggunakan modifikasi struktur lapis tersembunyi dalam arsitektur perceptron lapis jamak. Modifikasi struktur ini dilakukan dengan mengganti setiap neuron dalam lapis tersembunyi JST perceptron lapis jamak konvensional dengan beberapa neuron yang membentuk sebuah lingkaran. Dengan demikian maka dalam sistim JST perceptron lapis jamak yang baru, lapis tersembunyi nya merupakan tumpukan dari sekumpulan neuron berbentuk lingkaran seperti dapat dilihat dalam Gb.1, sedangkan Gb.2 menunjukkan apabila lapis tersembunyi terbentuk dari sejumlah lingkaran yang akan membentuk sejumlah silinder sebagai lapis tersembunyinya.

Lapis masukan dari sistim perceptron lapis jamak ini, seperti dalam sistim perceptron lapis jamak konvensional, terdiri dari sekumpulan neuron dengan jumlah sama besar dengan jumlah pixel dalam citra gambar masukan. Jumlah neuron dalam lapis keluaran sistim JST ini juga sama dengan sistim perceptron lapis jamak konvensional, terdiri dari beberapa neuron yang berkaitan dengan jumlah objek yang sedang diamati. Dalam percobaan yang akan dilakukan disini, maka sudut pengamatan citra objek diambil dengan sudut pandang yang bergerak dari -900 sampai dengan 900 dengan interval 100.

Sistim jaringan perceptron lapis jamak dengan lapis tersembunyi berbentuk silinder ini dikembangkan untuk dapat mengenali objek 3 dimensi melalui image 2 dimensi, dengan melibatkan informasi sudut pandang pengamat untuk dapat digunakan dalam proses pembelajaran sistim maupun pengenalannya. Metoda ini menggunakan pasangan berarah antara vektor sudut pandang citra 2 dimensi dengan vektor posisi neuron pada lapis tersembunyi untuk dapat menghasilkan sebuah faktor yang berperan dalam menentukan besarnya perubahan bobot dari neuron dalam lapis tersembunyi tersebut.

Kedua vektor anggota pasangan berarah yang digunakan adalah : 1) Vektor Sudut Pandang d(k) yang menunjukkan arah dan sudut pandang dari pusat objek 3 dimensi ke posisi kamera terhadap suatu acuan, dan 2) Vektor Posisi Neuron vs yang menunjukkan arah dari pusat linkaran neuron terhadap neuron tertentu pada sub lapis tersembunyi.

Kedua buah vektor anggota pasangan berarah tersebut akan menghasilkan dua faktor tambahan yang dinotasikan dengan fah dan fbh. Kedua faktor tambahan ini, yang mengkaitkan antara kedua vektor pasangan berarah, merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan besar perubahan bobot pada algoritma pembelajaran dan pengenalannya [19].

Jumlah sub lapis pada lapis tersembunyi yang optimal adalah sama dengan jumlah objek 3 dimensi yang akan dikenali. Pada realisasi awal sistem CSHL-NN yang dikembangkan, jumlah node pada setiap sub-lapis tersembunyi adalah sama dengan jumlah image yang dilatihkan (jumlah vektor sudut pandang yang dilatihkan) untuk setiap objek 3 dimensi yang akan dikenali. Namun sistem awal CSHL-NN ini mengamati objek 3D dari arah satu lingkaran penuh (00 sampai dengan 3600), sedangkan pada penelitian ini hanya akan dilakukan pengamatan dari bagian separuh depan objek 3 dimensi saja.

2.2 Reduksi Dimensi dengan Metode Eigenface

Misalkan learning set terdiri dari N citra

wajah : x1, x2, …, xN, masing-masing terdiri dari n pixel, dimana n = lebar*tinggi citra. Asumsi bahwa setiap citra merupakan anggota salah satu dari C kelas citra wajah : X1, X2, …, Xc. Setiap citra dapat direpresentasikan sebagai vektor baris xi, i = 1...N, berdimensi n. Nilai n merupakan dimensi ruang citra, sehingga xi berada dalam ruang citra berdimensi n. Rata-rata vektor citra, µ, dapat diperoleh melalui persamaan berikut :

∑=

=N

iixN 1

Selisih vektor citra dengan rata-rata vektor adalah :

µ−=Φ ii x dengan i = 1...N. Matriks kovarian ST, disebut juga sebagai matriks total-scatter citra, didefinisikan sebagai:

AAS TT = dengan A = [Φ1, Φ2, …, ΦN].

Transformasi Karhunen-Loeve atau PCA terhadap vektor citra akan menghasilkan vektor-vektor ciri yang memiliki total-scatter :

TTWWS

dengan W adalah matriks tranformasi. Matriks transformasi W yang dipilih adalah matriks dengan kolom-kolom ortonormal yang dapat memaksimalkan determinan dari total-scatter vektor-vektor ciri. Atau :

||maxarg TT

WWWSW =

= [w1; w2; …; wm] dengan wi, i = 1…m, adalah kumpulan vektor eigen dari ST (dalam bentuk vektor baris) yang bersesuaian dengan m nilai eigen terbesar. Vektor-vektor eigen ini, yang disebut juga pricipal components, memiliki dimensi yang sama dengan

Page 12: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

4

dimensi citra wajah, yaitu n, sehingga disebut sebagai eigenfaces atau eigenpictures.

Eigenfaces merupakan vektor-vektor basis dari ruang ciri dimensi-m. Transformasi citra dari ruang citra dimensi-n ke ruang ciri dimensi-m adalah :

Tii Wy Φ=

dengan i = 1...N. Dengan demikian, dapat diperoleh vektor ciri berdimensi m untuk masing-masing citra. Besarnya nilai m dapat ditentukan melalui persamaan berikut :

>=∑∑

=

= θN

i i

r

i i

r d

dm

1

1min

dengan θ adalah suatu nilai ambang atau threshold dan memenuhi persamaam 0 < threshold ≤ 1.

Urutan langkah-langkah proses pengenalan objek wajah 3 dimensi menggunakan CSHL-NN berbasis metode Eigenface adalah seperti berikut:

1. Pengambilan citra wajah dari objek wajah 3 dimensi.

2. Reduksi dimensi citra wajah dengan metode Eigenface

3. Tahap pelatihan CHSHL-NN. 4. Tahap pengujian CHSHL-NN.

Citra wajah ini bergerak dari –900 hingga + 900 dengan interval setiap 150 . Dapat pula dilihat bahwa citra wajah ini juga mengandung perubahan emosi seperti : normal, senyum, marah dan sedih. Secara keseluruhan, 5 sampai 10 orang lelaki dan perempuan akan digunakan sebagai sampel. Semua sampel citra wajah merupakan orang Indonesia, dan proses pengambilan gambar akan menggunakan peralatan yang ada dalam Lab. Kecerdasan Komputasional Fakultas Ilmu Komputer UI

Gb. 1. Arsitektur Dasar CSHL Tunggal

Gb. 2 Arsitektur Lapis Tersembunyi Jaringan CSHL Jamak

2.3 Penggunaan Algoritma Genetika untuk CSHL-NN

Algoritma Genetika (Genetic Algorithms

/GA) merupakan sebuah algoritma pencarian yang dikembangkan berdasarkan mekanika seleksi alami dan genetika alami oleh Holland [20] dan kemudian dilanjutkan oleh Goldberg [21]. Prinsip evolusi melalui seleksi alami yang dicetuskan Charles Darwin, adalah :

1. Setiap individu cenderung menurunkan sifat–sifatnya kepada keturunannya.

2. Alam membentuk individu – individu dengan sifat yang berbeda–beda.

3. Individu–individu yang beradaptasi dengan baik, yang memiliki sifat–sifat terbaik cenderung memiliki keturunan lebih banyak daripada yang memiliki sifat–sifat tidak baik. Mereka kemudian mendominasi populasi sehingga secara keseluruhan menuju sifat–sifat yang lebih baik.

4. Setelah periode yang panjang, variasi yang ada terakumulasi dan menyebabkan munculnya spesies baru yang berbeda.

Pada GA, parameter permasalahan

dikodekan menjadi sebuah string dengan panjang berhingga yang terdiri dari sejumlah alfabet berhingga. Pengkodean yang sering digunakan adalah dengan menggunakan string biner yang terdiri dari bit 1 dan bit 0. String ini biasa disebut kromosom dan bit-bit yang menyusun kromosom disebut gen. Pencarian solusi permasalahan dengan GA melibatkan sejumlah populasi dari titik-titik pada suatu ruang parameter. Setiap titik tersebut disebut individu yang diwakili oleh kromosomnya masing-masing. Pencarian dilakukan dari satu generasi ke generasi selanjutnya dengan menggunakan operator evolusi, seperti selection, crossover, dan mutation.

Page 13: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

5

Operator-operator evolusi tersebut diterapkan pada setiap kromosom. Dalam mencari string individu yang terbaik, GA menggunakan fungsi objektif dari masing-masing kromosom individu. Pemilihan solusi-solusi untuk membentuk solusi-solusi baru didasarkan pada nilai fitness mereka. Semakin tinggi nilai fitness, semakin tinggi kesempatan mereka untuk bereproduksi.

Hal tersebut diulang-ulang sampai suatu kondisi tercapai, misal : tercapainya sejumlah generasi, atau ditemukannya satu solusi dengan nilai fitness yang diinginkan.

Outline dari Algoritma Genetika

1. [Start] Buat secara acak sebuah populasi yang terdiri n kromosom.

2. [Fitness] Hitung nilai fitness f(x) untuk tiap kromosom x dalam populasi tersebut .

3. [New population] Buat sebuah populasi baru dengan cara melakukan proses a-d secara berulang-ulang hingga terbentuk sebuah populasi baru. - [Selection] Pilih dua kromosom ,yang akan

bertindak sebagai parent, dari populasi lama berdasarkan nilai fitness-nya (semakin besar nilai fitness, semakin besar kemungkinan terpilih)

- [Crossover] Berdasar nilai probabilitas crossover, lakukan persilangan dua buah parent untuk membentuk dua buah kromosom baru (children). Jika berdasarkan nilai probabilitas, tidak dilakukan persilangan, maka dua buah kromosom baru yang dihasilkan adalah kopi dari dua buah kromosom lama.

- [Mutation] Berdasarkan nilai probabilitas mutasi, lakukan mutasi pada dua buah kromosom baru pada tiap lokus (posisi dalam kromosom).

- [Accepting] Letakkan dua buah kromosom baru dalam populasi yang baru.

4. [Replace] Populasi yang baru terbentuk digunakan untuk menggantikan populasi yang lama dalam proses selanjutnya.

5. [Test] Jika kondisi akhir terpenuhi (sejumlah generasi telah terbentuk atau nilai fitness yang diinginkan telah terbentuk) hentikan proses dan solusi terbaik dalam populasi terakhir adalah solusi yang dicari.

6. [Loop] Kembali ke langkah 2

Seperti yang terlihat pada outline Algoritma Genetika di atas, crossover dan mutation adalah bagian-bagian yang paling penting dalam algoritma genetika. Sebelum masuk ke dalam penjelasan tentang crossover dan mutation, berikut ini akan dijelaskan beberapa hal tentang pengkodean kromosom. Kromosom dikodekan

sehingga merepresentasikan sebuah solusi. Cara yang paling umum dipakai untuk pengkodean adalah string biner. Tiap kromosom mempunyai sebuah string biner. Tiap bit dalam string merepresentasikan beberapa karakteristik dari solusi atau keseluruhan bit dalam kromosom merepresentasikan sebuah bilangan. Ada beberapa cara lain pengkodean, tergantung dari persoalan yang akan dipecahkan. Contoh cara lain adalah : string yang berisi integer atau real.

Algoritma Genetika untuk optimasi neuron lapis tersembunyi

Penggunaan algoritma genetika dalam optimasi jaringan neural buatan dilakukan untuk mendapatkan jumlah neuron pada lapis tersembunyi yang mendekati optimal. Seperti kita ketahui, tingkat pengenalan jaringan neural yang tinggi akan didapat apabila seluruh neuron mempunyai selisih error yang sangat kecil, baik error positif atau negatif akan memnyebabkan tingakt pengenalan menjadi menurun. Apabila sejumlah neuron yang memberikan kontribusi error yang besar dapat dihilangkan, sedangkan yang mempunyai selisih error kecil saja yang dipertahankan, maka jaringan neural ini dapat diharapkan untuk memberikan tingkat pengenalan yang lebih tinggi. Penhilangan neuron yang kurang bermanfaat ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan membuang sejumlah bobot dari setiap neuron yang memberi kontribusi selisih error yang besar, atau dengan membuang sejumlah neuron yang berarti membuang seluruh bobot keterhubungan dari neuron yang kurang bermanfaat ini. Dalam penggunaan algoritma genetika untuk optimasi jaringan neural CSHL dan HSHL, pendekatan pertama melalui optimasi bobot menunjukkan hasil yang tidak memuaskan, sehingga penelitian difokuskan ke pendekatan kedua yaitu optimasi jumlah neuron pada lapis tersembunyi. Pengkodean kromosom yang dipakai adalah string biner, dengan tiap bit dalam string kromosom merepresentasikan sebuah neuron. Bit yang bernilai 1 merepresentasikan neuron yang dipertahankan dan bit yang bernilai 0 merepresentasikan neuron yang dibuang. Kromosom 1 menyatakan bahwa neuron ke - 1, 2, 4, 5, 6, 7, 12, 13, 14, 15 dipertahankan dan neuron ke – 3, 8, 9, 10, 11, 16 dibuang. Operator crossover yang dipakai adalah Roulette Wheel Selection, Crossover dengan satu titik penyilangan, mutation.

Nilai-nilai parameter GA yang digunakan adalah :

- Jumlah populasi = 60 - Nilai probabilitas crossover = 0.6 - Nilai probabilitas mutation = 0.0333 - Jumlah generasi = 100

Page 14: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

6

- Jumlah neuron yang terbuang pada awal proses = 50%

Fungsi fitness

Fungsi fitness yang dipakai sama dengan optimasi bobot, yaitu banyaknya neuron yang terbuang dibagi nilai error.

( )error

tebuangyangnodeJumlahxf ___=

2.4 Pengembangan Hemisphere-Hidden Layer Neural Network (HSHL-NN) Seperti telah dibahas sebelumnya, Pemakalah telah mengembangkan Sistim Pengenal Wajah 3-D dengan citra yang mempunyai sudut pandang antara – 900 hingga +900. Akan tetapi, penelitian ini masih mempunyai keterbatasan untuk dapat mengenal wajah 3-D yang sebenarnya terjadi dalam penggunaannya. Batasan yang dibuat dalam penelitian ini adalah bahwa sudut elevasi citra wajah yang akan dikenali harus berada atau dianggap sebagai 00, sehingga apabila kamera yang mengambil citra masukan mempunyai sudut pandang elevasi tidak sama dengan 00 , maka kecil kemungkinan bahwa sistim pengenal 3-D ini akan mampu mengenalinya. Dalam kasus penggunaan sebenarnya, sudut elevasi citra masukan tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan perubahan citra karena perubahan sudut elevasi ini perlu dimasukkan dalam sistim pengenalannya. Pemakalah akan mengajukan konsep baru Sistim Pengenal Wajah 3-D dengan memodifikasi struktur arsitektur jaringan syaraf tiruan yang berbeda dengan arsitektur jaringan CSHL-NN. Pada dasarnya, perbedaan ini terletak pada lapis tersembunyi jaringan neural buatan, yang diubah menjadi berbentuk setengah bola (hemisphere), sehingga jaringan syaraf tiruan ini dinamakan sebagai Hemisphere Structure of Hidden Layer Neural Network (HSHL-NN). Struktur HSHL-NN ini dapat dilihat dalam Gb.3. Terlihat disini bahwa setiap neuron dalam lapis tersembunyi jaringan neural buatan konvensional, akan diganti dengan sekumpulan neuron yang membentuk struktur setengah bola. Apabila kita menggunakan sekumpulan setengah bola yang masing masing terdiri dari sekumpulan neuron untuk mengganti sebuah neuron pada jaringan neurl propagsi balik konvensional, maka kita akan mendapatkan sebuah jaringan neural HSHL seperti tertera pada Gb. 4. Perlu diketahui, bahwa penelitian mengenai Pengembangan Sistim Hardware untuk Sistim Pengenal Wajah 3-D ini juga telah dikembangkan bersamaan dengan pengembangan struktur lapis tersembunyi HSHL-NN, penurunan perumusan

matematik yang mengkaitkan antara setiap neuron dalam struktur lapis tengah HSHL-NN dan pengembangan algoritma Sistim Pengenal Wajah berbasis HSHL-NN.

Gb. 3. Arsitektur Dasar HSHL Tunggal

Gb. 4 Arsitektur Lapis Tersembunyi Jaringan HSHL Jamak

2.5 Pengembangan Perangkat Keras Sistem Pengenal Wajah 3D Berbasis HSHL-NN Perangkat keras yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari Perangkat Keras ‘Capturing Device’ dan Perangkat Keras Komputer untuk menyimpan basis data yang didapat dari Perangkat Keras Capturing Device. Perangkat keras Capturing Device merupakan perangkat keras yang didesain dan dibuat oleh peneliti pada Lab. Kecerdasan Komputasional, yang kemudian kita hubungkan dengan perangkat keras komputer.

Page 15: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

7

(a) Gb 5a. Capturing device dan posisi kamera yang dapat diubah menyesuaikan dengan data yang akan dipakai

Gb 6. Hasil pembuatan gambar 3 Perangkat Keras Capturing Device. Perangkat keras Capturing device ini terdiri dari: 1 unit alat tempat pengambil citra objek

(capturing device) untuk meletakkan objek yang akan diambil citranya (dalam hal ini manusia). 3 kamera dipasang pada capturing device pada

sudut 0, 15, dan 45 derajat vertikal. Kamera tersebut dihubungkan dengan 2 unit SUN Unix workstation.

Cara kerja Perangkat Keras Capturing

Device dapat dijelaskan sebagai berikut. Obyek didudukkan di kursi capturing device kemudian obyek diambil citranya untuk 19 sudut, yaitu sudut –90, -80, -70, -60, -50, -40, -30, -20, -10, 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 derajat horizontal. Tiga kamera akan menangkap citra dalam 3 sudut vertikal yaitu 0, 15, dan 45 derajat. Jadi untuk tiap obyek, citra yang ditangkap adalah 19 * 3 = 570 citra yang berformat .pcx.

(b) Gb 5b. Sistem hardware untuk Sistem Pengenal Wajah sedang dipergunakan untuk membuat database dari seorang model

Dimensi dari seorang model Gambar 5 memperlihatkan posisi kamera dan cara kerja perangkat keras Capturing Device ini, sedangkan salah satu hasilnya dapat dilihat pada Gb. 6. Perangkat Keras Komputer Perangkat keras yang digunakan, terdiri dari ♦ 2 unit SUN Sparc Station 4 untuk menangkap

citra. ♦ 3 unit SUN Camera II untuk mengambil citra

objek. ♦ 3 unit Komputer untuk memproses citra yang

telah diambil Perangkat Lunak Komputer

Untuk dapat menjalankan seluruh proses pengambilan data dan penyimpanannya dalam perangkat keras komputer, maka beberapa perangkat lunak yang dipergunakan dapat dijelaskan sebagai berikut.

Page 16: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

8

♦ Konvertor format citra: untuk mengkonversi berkas citra dengan format sun raster menjadi berkas dalam format pcx yang kemudian diubah ke dalam format vektor citra.

♦ Pengganti nama berkas : untuk mengubah nama file secara otomatis (batching).

♦ Perangkat lunak grafis (Adobe Photoshop, MS Paintbrush): untuk proses cropping citra, membuat grafik, dan diagram.

Pada dasarnya sistem Pengenalan Wajah 3

Dimensi ini dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu: 1. Sistem kamera, terdiri dari tiga buah kamera,

beserta tempat objek diambil citranya, dalam hal ini manusia. Ketiga buah kamera tersebut dipasang secara vertikal pada bagian kedua alat tersebut.

2. Peubah data dari format citra pada sistim kamera ke dalam format dalam bentuk vektor citra. Berkas yang ditangkap oleh sistem kamera disimpan dalam format sun raster yang pada akhirnya akan diubah menjadi berkas dalam format vektor citra (disimpan dalam bentuk matriks) agar dapat diproses oleh sistem JST

3. HSHL. Data-data tersebut dimasukkan ke basis data melalui antarmuka basis data.

4. Perangkat lunak JST: Merupakan perangkat lunak yang mengakomodasi Hemisphere Structure of Hidden Layer (HSHL) Neural Network. Perangkat lunak ini memproses data-data citra yang sudah dalam bentuk vektor citra yang akhirnya menghasilkan output. Perangkat lunak ini mendapatkan data-data citra dari basis data.

5. Antarmuka basis data dan peubah format ke dalam bentuk eigen: Perangkat lunak ini menjembatani user dan basis data, sehingga user dapat memilih file data spatial yang diinginkannya dan mengkonversinya ke bentuk Eigen bila perlu.

6. Basisdata: Sistem basisdata menyimpan semua data yang sudah dalam bentuk vektor citra. Data tersebut dibuat dalam format ruang spasial. Basisdata diakses oleh antarmuka basis data.

3. HASIL DAN RISET LANJUTAN

Sistem Pengenal Wajah secara 3D menggunakan HSHL-NN ini telah digunakan untuk mengenal wajah dari beberapa model orang Indonesia yang dilakukan di Laboratorium Kecerdasan Komputasional Universitas Indonesia. Pada tahap awal penelitian ini, tingkat pengenalan sistem masih berkisar antara 50 hingga 60%. Akan tetapi beberapa perbaikan sistem yang sedang

dilakukan menunjukkan peningkatan derajat pengenalan sistem. Sebagai salah satu contoh, penggunaan server hanya untuk proses pembelajaran jaringan neural mulai memberikan hasil yang lebih baik. Juga kita telah menggunakan algoritma genetika untuk menentukan sejumlah eigen vektor yang paling memberikan hasil terbaik selama proses pembelajaran sistem. Seperti kita ketahui, dalam penggunaan eigenface yang diusulkan oleh Kirby dan Sirovich [7], ruang eigen yang dibentuk hanya berdasarkan sejumlah eigen vector dengan urutan nilai eigen terbesar saja. Pemakalah telah menggunakan GA sebagai alat untuk memilih sejumlah eigen vector yang optimal, walau tidak selalu merupakan eigen vector dengan nilai eigen terbesar yang dipilih untuk membentuk ruang eigen. Penelitian awal menunjukan bahwa ruang eigen yang dibentuk akan memberikan hasil yang lebih baik, paling tidak sama besar dengan penggunaan ruang eigen yang diusulkan sebelumnya. Penelitian mengenai penggunaan GA dalam menentukan sejumlah eigen vector yang optimal ini masih terus dilaksanakan hingga saat ini. Pemakalah juga mengusulkan untuk memperbaiki metoda Nearest Feature Line (NFL) dengan mengusulkan metoda Modified Nearest Feature Line (M-NFL) dan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan derajat pengenalan yang cukup signifikan apabila kita menggunakan M-NFL dalam menentukan sudut pandang citra wajah yang tidak dikenal sebelumnya [22]. Pada akhirnya Sistem Pengenal Wajah 3D ini akan menggabungkan seluruh subsistem yang dikembangkan secara terpisah untuk di integrasikan menjadi satu kesatuan Sistem Pengenal Wajah 3D yang tinggi tingkat pengenalannya.

4. KESIMPULAN

Sistem Pengenal Wajah secara 3D sangat diperlukan untuk identifikasi seseorang dalam rangka peningkatan keamanan. Pemakalah telah mengajukan sebuah modifikasi struktur jaringan neural buatan yang dinamakan sebagai Hemisphere Structure of Neural Networks (HSHL-NN) beserta perumusan model matematik dan perangkat kerasnya untuk dapat merealisasikan Sistem Pengenal Wajah secara 3D ini. HSHL ini dikembangkan dengan mengganti setiap neuron pada lapis tersembunyi jaringan neural propagasi balik konvensional dengan sejumlah neuron yang membentuk setengah bola. Karena sedemikian banyak jumlah neuron pada lapis tersembunyi, dan tidak semua neuron memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan derajat pengenalan sistem ini, maka dilakukan pemotongan sejumlah neuron

Page 17: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

9

yang memberikan kontribusi negatif terhadap pengenalan sistem. Pemotongan sejulah neuron ini dilakukan dengan menggunakan algoritma genetika. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa jaringan neural yang sudah teroptimasi ini akan menghasilkan tingkat pengenalan yang lebih tinggi. Juga penggunaan representasi data dalam ruang eigen akan pula meningkatkan pengenalan sistem secara keseluruhan. Untuk mendapatkan representasi ruang eigen yang optimal berkaitan dengan sejumlah data citra wajah, maka penelitian awal menunjukkan bahwa penentuan eigen vector yang akan digunakan tidaklah harus berdasarkan urutan nilai eigen yang terbesar. Algoritma genetika dapat dipergunakan untuk menentukan sejumlah eigen vector yang paling memberikan kontribusi tingkat pengenalan yang tinggi walaupun tidak mempunyai urutan nilai eigen terbesar. Hal ini disebabkan karena citra wajah yang dibentuk dalam ruang spatial tidaklah merupakan representasi yang ideal, karena kemungkinan terjadinya distorsi citra pada saat pengolahan data awal maupun pada saat pengambilan citra itu sendiri.

REFERENSI

1. R. Chellapa, C.L. Wilson and S. Shihorey, “ Human and machine recognition of faces”, Proceeding of the IEEE, 83(5):705-740, 1995

2. A. Samal and P.A. Iyengar, “ Automatic recognition and analysis of human faces and facial expressions: A survey” Pattern Recognition, 25(1):65-77, 1992

3. D. Valentine, H. Abdi, A.J. O’Toole and G.W. Cottrell, “Connectionist models of face processing: A Survey, Pattern Recognition, 27 (9), 1209-1230, 1994

4. R. Brunelli and T. Poggio, “Face recognition through geometrical features”, Proceedings of ECCV 92, Santa Margherita Ligure, pp. 792-800, 1992.

5. R. Brunelli and T. Pogio,”Face recognition: Features versus template,” IEEE Trans Pattern Analysis and Machine Intelligence, vol 15, no 10, 1042-1052, 1993.

6. I. Craw, D. Tock and A. Bennet, “Finding face features”, Proceedings of ECCV 92, Santa Margherita Ligure, G. Sandini, ed, Sprineger-Verlag, pp. 93-96, 1992.

7. M. Kirby and L. Sirovich, “Application of the Karhunen-Loeve procedure for the characterization of human face”, IEEE Trans PAMI, vol 12, no.1, pp. 103-108, 1990.

8. I. Craw and P. Cameron, “Face recognition by computer,” Proc. British Machine Vision

conference 1992, 489-507, David Hogg and Roger Boyle eds, Springer Verlag, 1992.

9. M. Turk and A. Pertland, “Face recognition using Eigenfaces”, Proc. IEEE CCVP’91, pp. 586-591, 1991.

10. M. Loeve, Probability Theory, Princeton, N.J. Van Nostrand, 1955.

11. S. Ullmann and R. Basri, “Recognition of linear combination of models,” IEEE Trans. PAMI, vol13, no.10, pp. 992-1007, 1991.

12. T. Poggio and S. Edelman, “ A network that learns to recognize three dimensional objects,” Nature, vol. 343, no. 6255, pp. 263-266, 1990.

13. R. Nevatia and T. O. Binford, “Description and recognition of curved object,” Artificial Intelligence, 8, 77-98 (1977).

14. O. D. Faugeras and M. A. Hebert, “3-D recognition and positioning algorithm using geometrical matching between primitive surface,” Proc. Int. Joint Conf. Artificial Intelligence, 996-1002 (1993).

15. P. Horand and R. C. Bolles, “3DPO’s startegy for matching three dimensional objects in range data,” Proc. Int. Conf. Robotics, Atlanta, GA, USA, 75-85 (1985)

16. A. Pentland, B. Moghaddam and T. Starner, “ View-based and modular eigenspaces for face recognition,” Proc. IEEE Conf. Computer Vision and Pattern Recognition, Seattle, June, 1994

17. Miyanaga et al, “ A recognition system of three dimensional objects using parallel/pipelined nonliniear signal processing”, IEEE Proc. of Signal Processing Symposium, pp 135-139, 1095

18. S.Z. Li and J.Lu “ Face recognition using the nearest feature line method” IEEE Trans. On neural networks, vol 10, no.2, pp 439-443, 1999

19. B. Kusumoputro, “3-D face reconstruction recognition system using cylindrical hidden layer neural networks and its optimization through genetic algorithms”, IASTED International Conference Artificial Intelligence and Computational Intelligence, Tokyo, 118-123, 2002

20. J. H. Holland, “ Adaptation in natural and artificial systems”, Ann Arbor, University of Michigan Press, (1975).

21. D. E. Goldberg, “Genetic Algorithm in Search, Optimization, and Machine Learning”, Addison – Wesley, (1989).

22. Lina and B. Kusumoputro, “Determination of 3-D image viewpoint using modified nearest feature line method in its eigenspace domain”, WSEAS Transactions on Computers, Vol. 2, No. 1, 140 – 147, 2003

Page 18: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

10

RIWAYAT PENULIS

Benyamin Kusumoputro, lahir di Bandung pada tanggal 17 Novemper 1957. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung pada tahun 1981, S2 pada Departemen Elektro bidang Optoelektronika dan Aplikasi Laser pada tahun 1984. Dia kemudian bekerja pada PT. Phillips Development Corporation pada tahun 1984 hingga 1986, dan kembali ke Universitas Indonesia untuk menjadi Staf Pengajar

pada Fakultas Pascasarjana pada tahun 1986 hingga 1995. Pada tahun 1993 mendapat gelar Ph.d dalam bidang Biosensor pada Depertment of Electrical and Electronic Engineering, Tokyo Institute of Technology, Tokyo Jepang. Sejak tahun 1995 menjadi Staf Pengajar pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengembangkan riset dalam Bidang Kecerdasan Komputasional yang berbasis Jaringan Syaraf Tiruan, Algoritma Fuzzy dan Algoritma Genetika.

Page 19: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

Pemodelan dan Simulasi Antrian Kendaraan di Gerbang Tol

Wahyu Sediono, Dwi Handoko

Center for the Assessment and Application of Information Technology and Electronics (P3TIE-BPPT)

Communication and Computation Technology Division BPPT Building II 4th Fl., Jl. M. H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340

E-mail: [email protected], [email protected]

Abstract The traffic situations in Indonesian big cities, especially in the capital city, are so crowded that traffic jam can be found anywhere at anytime. This traffic condition may causes several problems such noise problem, environmental problem, energy loss problem and others. Even it is easy to understand if this undesirable conditions could give the influence on the national productivity at all levels of society. In order to decrease such traffic jam problems, a well planned traffic rules may usefully to reduce the traffic jam. Currently, we are developing traffic simulation tools in BPPT, in order to be applied in the traffic planning. In this paper a model of traffic conditions at the highway gate driven by the vehicles in- and out-flow is introduced. This modeling is so flexible that it can also be used to model various queuing systems such as queues at the cashiers of supermarket and in the bank. By using this model we can also perform simple traffic analyses in the highway gate. Keywords: traffic simulator, queing system, highway gate traffic modelling

Pendahuluan Begitu parahnya kondisi lalu lintas di kota-kota besar Indonesia, terutama di Jakarta, sehingga kemacetan selalu terjadi setiap hari di seluruh bagian kota. Di pagi hari kemacetan lalu lintas terjadi terutama di ruas-ruas jalan masuk menuju Jakarta. Pada sore harinya, saat pulang kerja, kemacetan dilaporkan sering terjadi di ruas-ruas jalan di pinggir kota yang menuju ke luar Jakarta. Sementara itu, pada akhir pekan atau hari-hari libur, kemacetan muncul di ruas-ruas jalan yang menjadi akses menuju pusat-pusat hiburan massal atau daerah peristirahatan. Sejalan dengan perkembangan pembangunan fisik di seluruh wilayah Indonesia, kecenderungan ini tampaknya akan terjadi dan menyebar ke berbagai daerah lain, sehingga praktis setiap hari senantiasa terjadi kemacetan lalu lintas di berbagai ruas jalan perkotaan di Indonesia. Kondisi lalu lintas yang semrawut dan kemacetan yang parah ini telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Saat terjadi macet pada umumnya kendaraan hanya dapat merambat maju ke depan dengan

kecepatan rendah, sehingga gas buang yang ditimbulkan pada suatu saat di daerah tertentu dapat menyebabkan pencemaran udara yang parah. Selain itu kebisingan yang terjadi saat kondisi macet pun dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan yang serius. Dapat dipahami apabila kondisi yang tidak nyaman ini dapat meningkatkan stress baik bagi pengguna jalan maupun bagi penduduk di sekitarnya. Dalam jangka panjang, kemacetan lalu lintas ini dapat menyebabkan penurunan produktifitas kerja di semua sektor kehidupan masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kelancaran lalu lintas di jalan raya. Yang pertama adalah kondisi jalan raya itu sendiri. Jalan raya yang rusak atau terlalu sempit dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Selain itu, arus masuk dan keluar kendaraan yang melebihi kapasitas jalan raya pun dapat menjadi penyebab kemacetan. Tidak kalah pentingnya adalah perilaku pengguna jalan saat berlalu lintas. Faktor lainnya adalah rambu-rambu lalu lintas yang sering membingungkan pelaku lalu lintas di jalanan.

11

Page 20: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

Untuk mengatengah mengelalu lintas yanlintas. Dengalintas atas sediprediksikan s Pada makalahlalu lintas yakasus antriantol, penulis telyang berbasiskendaraan. diimplementaskomputer, daditerapkan unantrian di baDengan progrsimulasi arus analisa sederhkendaraan puini.

Model Antrian Dalam bentukantrian dapat yang terdiri dapemroses [Wagerbang tol, poleh berbagai kondisi fisik kraya dan arusraya yang bumenimbulkan kendaraan juantrian, misalnpakai akan da

Gambar 1: Model antrian kendaraan di gerbang tol

tasi kemacetan lalu lintas, kami mbangkan perangkat lunak simulasi g berguna untuk perencanaan lalu

n perangkat lunak itu, kondisi lalu buah skema aturan lalu lintas dapat ebelum diterapkan [DwiH02].

ini, sebagai bagian dari simulator ng dikembangkan, diambil contoh kendaraan yang terjadi di gerbang ah membuat model situasi lalu lintas pada arus masuk dan arus keluar

Model antrian ini telah ikan ke dalam sebuah program n cukup fleksibel sehingga dapat tuk berbagai problem antrian, seperti nk dan antrian di kasir-kasir toko. am aplikasi ini kita dapat membuat kendaraan di gerbang tol. Analisa-ana mengenai berbagai kondisi arus n dapat dikerjakan dengan program

nya yang mendasar suatu sistem digambarkan dengan sebuah model ri komponen antrian dan komponen l91, Dai92]. Untuk kasus antrian di

anjang komponen antrian ditentukan faktor seperti kondisi fisik jalan raya, endaraan, perilaku pengguna jalan kendaraan di jalan tol. Kondisi jalan ruk atau penyempitan jalan dapat antrian yang panjang. Kelayakan

ga sangat mempengaruhi situasi ya: mobil tua yang sudah tidak layak

pat memperlambat arus kendaraan

apabila tetap dipaksakan untuk digunakan di jalan tol. Perilaku pengemudi yang kurang mentaati peraturan berkendera di jalan tol juga dapat memperlambat arus kendaraan. Bahkan, tidak jarang kebiasaan para pengemudi yang jelek ini dapat menyebabkan kemacetan total pada saat terjadi kecelakaan. Komponen pemroses berfungsi menentukan cepat lambatnya sebuah kendaraan masuk ke dalam atau keluar dari antrian. Dalam kasus antrian di gerbang tol kecepatan pemrosesan ini sangat dipengaruhi oleh kecekatan petugas melayani transaksi pembayaran tol, kecepatan mesin/hardware pemroses dan kehandalan software yang mendukung proses di gerbang tol. Dalam implementasinya ke dalam program software, sifat-sifat kedua komponen antrian terutama ditentukan oleh dua parameter berikut: panjang (kapasitas) antrian l dan waktu pemrosesan t. Selain kedua faktor l dan t, arus kendaraan yang menjadi indikator kemacetan lalu lintas ditentukan pula oleh jumlah jalur m sebelum gerbang tol, jumlah gerbang tol g dan jumlah jalur n sesudah gerbang tol [Lie97]. Dalam gambar 1 ditampilkan sebuah sistem antrian di gerbang tol yang terdiri dari jalur m = 1, n = 1 dan g = 3.

Simulasi Struktur data simulasi dapat diturunkan dari model yang telah disepakati di atas (gambar 1). Dengan menentukan parameter-parameter l, t, m, n, dan g kita dapat membuat model suatu sistem antrian di gerbang tol.

12

Page 21: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

Gambar 2: Alur diagram untuk antrian di depan gerbang tol

Setelah struktur data ditentukan kita masih perlu membuat alur diagram untuk menggambarkan perilaku sistem antrian. Sebuah contoh alur diagram sederhana ditampilkan dalam gambar 2. Untuk menggambarkan peralihan dari antrian sebelum dan di dalam gerbang tol masih diperlukan sebuah strategi efisien dalam memilih gerbang tol dengan jumlah antrian terpendek. Dalam sistem pemrograman berorientasi object hal

ini dapat diimplementasikan dengan membuat sebuah object konektor yang sesuai. Pada dasarnya, dengan menyediakan struktur data dan algoritma yang pas kita telah dapat membuat simulasi antrian kendaraan di gerbang tol. Namun untuk lebih memudahkan pengoperasiannya kita masih harus merancang ‘user interface’ program simulasi ini [Kra98]. Dalam makalah ini topik ini tidak akan dibahas lebih jauh lagi karena sudah berada di luar konteks pembicaraan.

Diskusi Sebuah simulasi sistem antrian 2,4,2 (terdiri dari antrian 2 jalur di depan gerbang tol, 4 gerbang tol aktif dan antrian 2 jalur di belakang gerbang tol) ditampilkan dalam gambar 3. Kedua garis biru adalah dua konektor yang menggambarkan peralihan arus kendaraan dari antrian di depan gerbang tol ke dalam antrian di gerbang tol. Angka-angka hitam di bawah setiap kotak/lingkaran menunjukkan identitas setiap kendaraan, sedangkan angka biru menunjukkan waktu tunggu setiap kendaraan di dalam antrian. Dalam simulasi sederhana ini hanya arus kendaraan yang menjadi fokus pembicaraan. Arus kendaraan terutama ditentukan oleh waktu pemrosesan di gerbang tol dan rasio jumlah jalur di

Gambar 3: Simulasi sistem antrian gerbang tol 2,4,2

13

Page 22: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

depan gerbang tol dan jumlah gerbang yang aktif. Hasil simulasi menunjukkan bahwa panjang antrian yang kita inginkan sangat ditentukan oleh arus kendaraan yang telah didefinisikan sebelumnya (parameter t, m dan g).

Kesimpulan Telah ditunjukkan dalam diskusi di atas bahwa pemodelan kondisi antrian di gerbang tol telah berhasil diimplementasikan ke dalam software yang sederhana. Atas dasar prinsip yang mudah dipahami, dengan membuat struktur data dan alur diagram yang sesuai, software ini cukup fleksibel untuk diaplikasikan pada berbagai kondisi antrian lainnya, seperti antrian yang biasa ditemui di bank ataupun di depan kasir-kasir supermarket. Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa panjang antrian yang diinginkan dapat diatur dengan melakukan kontrol terhadap arus kendaraan masuk dan keluar.

Daftar Pustaka [DwiH02] Dwi Handoko, Desain Simulator Kendaraan, Proc. KOMMIT 2002, pp. B-16 – B20, 2002 [Dai92] J. N. Daigle, Queueing Theory for Telecommunications, Addison-Wesley, Reading, 1992

[Kra98] U. Kramer and M. Neculau, Simulationstechnik, Hanser, Muen-chen, 1998 [Lie97] E. Lieberman and A. K. Rathi, "Traffic Simulation", Traffic Flow Theory, Oak Ridge National Laboratory, 1997 [Wal91] B. Walke, Datenfernver-arbeitung II: Verkehrstheoretische Modell von Echtzeitsystemen und Rechnernetzen, RWTH, Aachen, 1991 Riwayat Penulis Wahyu Sediono Lahir di Surabaya, 13 Desember 1966. Menyelesaikan Dipl. Ing di bidang Information Technology pada tahun 1997 dari RWTH Aachen Jerman dan Dr.-Ing di bidang Biomedical Engineering pada tahun 2003 dari Universitaet Karlsruhe, Jerman. Bekerja di P3TIE.

Dwi Handoko Lahir di Jakarta 25 April 1970. Menyelesaikan S1, S2 di bidang Electronic Engineering tahun 1994 dan 1996 dari Miyazaki University, Jepang. Menyelesaikan S3 di bidang Electronic Engineering tahun 2001 dari Shizuoka University

Jepang. Bekerja di P3TIE BPPT. Dr. Dwi Handoko adalah member dari IEEE.

14

Page 23: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

ESTIMASI KARAKTERISTIK PROPAGASI GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK PADA

SISTEM KOMUNIKASI BERGERAK

Dr. Hary Budiarto P3TL-BPPT Jl. Mh. Thamrin 8 Gd. BPPT II lt. 21 Jakarta

Email : [email protected]

Abstract Wave propagation prediction models are very crucial in determining propagation characteristics for any arbitrary installation on the implementation of mobile radio communication system. The prediction models are required for proper coverage planning and the determination of multipath effects as well as interference. Our preceding researches show that multipath propagation can be observed at many scatterers on the building surface. This paper presents the development of simulation techniques for the estimation of electromagnetic wave propagation characteristics on the building surface. Physical Optics (PO) approximation is performed to approximate equivalent currents and the total fields on the integration surface. A model of the rectangular microstrip array antenna was scanned spatially to detect multipath wave scattering. Superresolution method was also applied as an approach to handle signal parameters (DOA, TOA) of the individual incoming waves scattered from building surface roughness. The experimental and simulation results of the signal parameters of the arrival waves are compared in order to investigate accuracy of the prediction model. Keyword : Multipath, Physical Optics, Wave Propagation Modeling, Mobile Communication, Superresolution, Electromagnetic Wave.

1. PENDAHULUAN

Pemodelan propagasi gelombang sangat dibutuhkan bagi perencanaan, pembangunan dan pengembangan sistem komunikasi bergerak. Hal itu akan digunakan antara lain untuk memprediksi luasan daya jangkau suatu pemancar, untuk mengetahui efek dari multipath gelombang dan inteferensi gelombang. Hasil riset terdahulu menunjukan bahwa pada daerah perkotaan, propagasi gelombang multipath banyak berasal dari permukaan gedung(1). Bagaimanapun gelombang multipath tersebut yang menyebabkan terjadinya penurunan pada kinerja sistem komunikasi bergerak. Selain itu pemodelan mikroskopik scattering pada suatu obyek sangat diperlukan untuk memprediksi wilayah yang lebih besar (makrokospik). Paper ini akan membahas teknologi prediksi propagasi gelombang multipath yang terscatter pada suatu permukaan gedung dengan menggunakan salah satu high frequency method yaitu Physical Optics Approximation (POA). Metode POA ini akan digunakan untuk menghitung arus listrik dan total kekuatan medan listrik pada suatu permukaan gedung yang diperoleh dari suatu gelombang elektromagnetik

yang dipancarkan dari suatu antenna pemancar (transmitter). Dibandingkan dengan metode lainnya seperti Method of Moment (MOM), dan Fast Multipole Method (FMM), POA mempunyai kelebihan lebih sederhana proses komputasinya dan lebih pendek waktu komputasinya, akan tetapi mempunyai akurasi perhitungan yang cukup tinggi. Sehingga cocok untuk dipilih untuk mensimulasikan propagasi gelombang yang terscatter pada permukaan gedung yang cukup luas. Profile gedung yang akan digunakan berasal dari model suatu gedung yang sesungguhnya dan permukaannya terdiri dari berbagai material serta mempunyai berbagai lekukan yang cukup signifikan (roughness). Untuk pemodelan antena pemancar digunakan mikrostrip antena dengan pertimbangan bahwa permukaan gedung menerima gelombang elektromagnetik harus dari berbagai arah dan menscatter kembali ke segala arah, sedangkan model sintentik rectangular microstrip antena array digunakan pada antena penerimanya yang mempunyai tujuan agar dapat menerima gelombang multipath. Pada tahap akhir simulasi dilakukan analisis signal parameter gelombang multipath seperti Direction of Arrival (DOA) dan Time of Arrival (TOA) dari gelombang datang yang terscatering dari permukaan gedung

15

Page 24: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

dengan menggunakan metode superresolution yaitu 3D Unitary ESPRIT. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat akurasi signal parameter yang diperoleh dari simulasi sangat mendekati dengan hasil eksperimennya.

2. METODOLOGI

2.1. Profile Gedung

Profile gedung ditunjukkan pada gambar 1 mempunyai permukaan yang non uniform dan periodik. Permukaan gedung mempunyai berbagai material yaitu gelas, aluminium dan batu bata. Panjang 1 periodiknya 3.7 meter. Terdapat jendela berukuran masing-masing yaitu 0.85 x 1.5 m2, 0.8 x 1.5 m2, dan 0.85 x 1.5 m2 , yang mempunyai kedalaman masing-masing adalah 0.12 dan 0.6 meter dari dinding (tembok). Hal ini sebanding dengan frekuensi gelombang yang digunakan yaitu 4.95 GHz dengan bandwith 180 MHz. Dindingnya dilapisi batu-bata yang berukuran 0.1 x 0.05 m dengan pemisah diantaranya sebesar 0.01 m.

Gambar 1. Profile Permukaan Gedung

2.2. Medan Radiasi pada Transmiter

Gelombang elektromagnetik yang diapancarkan dari tansmitter menggunakan rumus dibawah ini :

=

ZXZX

rehWEk

jErjk

.)sin()sin(sin

000 θ

πφ

φθ sinsin

2cos 0 eLk (1)

dengan,

φθ cossin20hkX = (2)

po

θcos2

0WkZ = (3)

k0 adalah panjang gelombang, W dan L adalah panjang patch pada antena mikrostrip, sedangkan h adalah tinggi patch dan Le adalah panjang efektif patch. Gambar 2 menunjukkan medan radiasi antara hasil perhitungan dan hasil pengukuran pada anechois chamber yang tidak mempunyai perbedaan yang cukup signifikan.

Gambar 2 Pola Medan Radiasi Antena Pemancar

2.3. Propagasi Vektor

Untuk menghitung gelombang elektromagnetik yang terpropagasi dari permukaan gedung ke antena penerima digunakan propagasi vektor. Rumus propagasi vektor berasal dari formula green function yang dituliskan sebagai berikut :

∫∫∇∇+−=s

dsrrGrJk

IjkkrJrf )'|()'()1(),,,'( 20

00 η

(4)

Dengan G(r|r’) adalah green function, r’ dan r menyatakan masing-masing koordinat titik sumber dan titik tujuan. Sedangkan J(r’) adalah distribusi arus listrik pada titik tujuan.

2.4. Impedance Surface PO Current

Untuk menghitung distribusi arus listrik pada permukaan gedung yang mempunyai berbagai material digunakan formula impedance surface Physical Optics (PO) Current yang dituliskan sebagai berikut :

nxHJ )1( α+= (5)

16

Page 25: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

ZZ

+−

=ηηα (6)

00 / εµη = (7)

dengan H adalah incident magnetic field atau medan magnetik yang datang, α merupakan koefisien refleksi, η adalah impedansi gelombang pada ruang bebas, µ adalah permebilitas dan ε adalah dielektrik konstan.

2.5. Tehnik Simulasi

Perhitungan propagasi gelombang pada permukaan gedung dapat dibagi menjadi 2 tahap perhitungan yaitu : Tahap I menghitung distribusi arus listrik pada permukaan gedung dan tahap kedua menghitung medan listrik total pada antena penerima (receiver).

Gambar 3 Strategi Simulasi

Gambar 3 menunjukkan strategi dari kedua tahap simulasi yang telah disebutkan diatas, untuk tahap I dapat diuraikan langkah-langkahnya yaitu : • Menghitung medan radiasi untuk far-field untuk

semua sudut azimuth dan elevasi (θ, φ) pada transmitter.

• Membuat diskretisasi permukaan gedung menjadi elemen yang kecil.

• Menentukan elemen-elemen yang masuk daerah iluminasi dan daerah bayangan.

• Menentukan koordinat titik pusat untuk setiap elemen pada permukaan gedung.

• Menghitung medan listrik pada setiap titik pusat elemen dengan menggunakan vektor propagasi dan memasukan factor gain antena.

• Menghitung distribusi arus listrik pada setiap elemen dengan menggunakan formula POA.

• Mengulang kembali langkah diatas untuk panjang gelombang yang berbeda.

Sedangkan tahap II mempunyai langkah-langkah yaitu : • Menentukan luasan untuk pergerakan antena

penerima dan koordinat dari mikrostrip patch • Menentukan sudut azimuth dan elevasi (θ, φ).

untuk arah antara titik koordinat patch antena dengan titik pusat semua elemen pada permukaan gedung

• Menghitung kuat medan listrik untuk setiap patch pada antenna penerima dengan sumber dari semua elemen di permukaan gedung

• Menghitung total medan listrik dengan menjumlahkan kontribusi dari setiap elemen dari permukaan gedung dengan memasukan faktor dari gain antenna penerima

• Mengulangi kembali langkah diatas untuk panjang gelombang yang berbeda

• Mengulangi kembali langkah diatas untuk posisi yang berbeda dalam spatial region

2.6. Model Spatial Scanning Untuk merepresentasikan suatu sistem komunikasi bergerak diperlukan menggerakkan antena penerima atau melakukan spatial scanning pada sintentik mikrostrip antena array. Gambar 4 menunjukkan model spatial scanning dengan ukuran 0.5 m x 8.125 m. Sedangkan pergerakannya mempunyai interval 0.1 m. Untuk sebuah sintetik mikrostrip antena array mempunyai ukuran 10 x 10 patch dengan interval masing-masing patchnya 0.025 m.

Gambar 4 Model spatial Scanning tampak atas

2.7. Pengolahan Sinyal Setelah proses penghitungan kuat medan listrik pada setiap patch dari antena penerima selesai dilanjutkan ke proses berikutnya yaitu pengolahan sinyal dengan menggunakan salah satu metode superresolution yaitu 3D Unitary ESPRIT (1) (2) sehingga didapatkan parameter dari signal yang diterima pada receiver. Parameter tersebut antara lain Direction Of Arrival (DOA) yang terdiri dari besar sudut azimuth dan sudut elevation, Time Of Arrival (TOA) dan kuat medan listriknya.

17

Page 26: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Simulasi

Setelah dilakukan proses pengolahan sinyal dengan 3D Unitary ESPRIT, didapatkan signal parameter untuk setiap multipath signal yang datang. Proses simulasi akan menganalisa karakteristik gelombang propagasi yang terscatter dari permukaan gedung untuk 70 titik observasi. Satu titik observasi merupakan hasil analisa dari signal multipath yang diterima dengan menggunakan 10 x 10 patch di antena penerima, jadi setiap titik observasi dilakukan pengolahan data matriks 2 dimensi dengan jumlah 100 elemen. Sedangkan parameter signal yang diperoleh terdiri dari sudut azimuth, sudut elevasi, time delay dan signal power. Dari parameter tersebut menunjukkan bahwa karakteristik multipath signal terdiri dari gelombang refleksi, spekular diffraksi dan second order scattering. Untuk mengetahui distribusi dari jenis multipath signal untuk semua titik observasi akan digambarkan dalam bentuk grafik untuk setiap signal parameter untuk 70 titik observasi.

3.1.1. Direction of Arrival (DOA)

Gambar 5 menunjukkan signal parameter untuk sudut azimuth di 70 titik observasi. Pada gambar tersebut terdapat lima garis yang menunjukkan sudut bila signal merupakan gelombang refleksi (specular angle) dan besar sudut dari lokasi 3 frame jendela sehingga dapat diketahui material dari bidang pantul signal yang datang. Sedangkan besar sudut datangnya digambarkan dengan poin-poin berbeda untuk setiap jenis bidang pantul. Bagian vertikal grafik menggambarkan besar sudutnya sedangkan yang horisontalnya merupakan lokasi titik observasinya.

Gambar 5 Signal Parameter untuk Sudut Azimuth

Bila satu garis vertikal ditarik keatas akan mempunyai beberapa poin, hal itu menjelaskan bahwa dalam satu titik observasi terdapat beberapa signal (multipath) yang datang. Nampak sebagian besar signal yang datang mempunyai sudut datang yang sama dengan sudut spekular refleksi. Pada gambar 6 memperlihatkan bahwa sudut elevasi bernilai nol, hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar signal yang datang mempunyai sudut spekular. Sedangkan tiga garis yang berbeda menjelaskan batas antara jendela dengan dinding batu-bata (bricks). Tampak pada grafik ada signal datang yang berasal dari permukaan gedung yang terbuat dari batu bata (bricks), bricks I berarti datang dari arah atas dan bricks II datang dari arah bricks bagian bawah.

Gambar 6 Signal Parameter untuk Sudut Elevasi

Hasil analisis menunjukkan bahwa model gelombang yang terdifraksi, sebagian besar signalnya terpantul berasal dari setiap sisi dari frame jendela yang horizontal dan vertikal atau daerah batasan antara jendela dengan lapisan bata dan daerah batasan antara jendela. Fenomena signal difraksinya menggambarkan keller’s law of diffraction yang dapat ditunjukan pada gambar 7 dan 8. Pada gambar 7 menunjukkan model gelombang yang terdifraksi dari frame yang horizontal dengan sifat sudut azimuth berupa sudut spekular (refleksi). Sedangkan gambar 8 menunjukkan gelombang yang terdifraksi pada frame yang vertikal dengan sifat sudut elevasinya berupa sudut spekular.

18

Page 27: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

Gambar 7 Model Signal Difraksi pada farme yang

Horisontal

Gambar 8 Model Signal Difraksi pada farme yang

Vertikal

3.1.2. Time of Arrival (TOA)

Untuk mengetahui akurasi data dari parameter signal seperti DOA dan TOA dapat dengan membandingkan dengan hasil data eksperimen. Gambar 9 menunjukkan hasil perbandingan antara path gain (power) dan delay time antara data eksperimen dan simulasi dengan metode POA untuk bidang pantul jendela. Untuk path gainnya kesalahan rata-ratanya adalah 7 dB. Sedangkan untuk delay timenya kesalahannya cukup kecil..

Gambar 9 Perbandingan time delay dan path gain untuk bidang pantul jendela

Delay time digunakan juga untuk mengkonfirmasikan path atau jejak signal dari transmitter sampai datang ke receiver. Gambar 10 menunjukkan hasil perbandingan antara hasil eksperimen dan simulasi dengan POA untuk permukaan gedung yang berupa batu bata, dibandingkan dengan hasil pada gambar 9 perbedaan rata-rata path gain maupun delay time cukup besar.

Gambar 10 Perbandingan time delay dan path gain untuk bidang pantul batu bata (bricks)

4. KESIMPULAN

Paper ini telah menjelaskan estimasi karakteristik propagasi gelombang elektromagnetik untuk aplikasi komunikasi bergerak dengan menggunakan tehnik simulasi dengan metode Physical Optics. Metode ini mempunyai akurasi yang cukup signifikan, hal itu terlihat dari hasil perbandingan signal parameter antara simulasi dan eksperimennya. Kesalahan estimasi cukup besar untuk permukaan gedung yang berupa obyek batu bata, hal itu dikarenakan diskritisasi elemen-elemen permukaan gedungnya sebesar 0.3 lambda cukup besar sehingga areal antara batu-bata belum terwakili. Model propagasi gelombang terdifraksi mempunyai sesuai dengan Keller’s Law of diffraction.

DAFTAR PUSTAKA

1.

2.

H. Budiarto, K. Horihata, K. Haneda, and J. Takada,”Experimental study of Non-specular Wave Scattering from Building Surface Roughness for the Mobile Propagation Modeling ”, IEICE Trans. On Communications (Accepted Oct. 29, 2003). H. Budiarto, K. Horihata, K. Haneda, and J. Takada, ”Polarimetric Measurement of Non-

19

Page 28: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

specular Wave Scattering from Building Surface Roughness”, IEEE Antenna and Wireless Propagation Letters, Volume 2, Issue 16, pp.242-245, 2003.

3.

4.

5.

6.

7.

J. Takada, J. Fu, H. Zhu, and T. Kobayashi, “Spatio-Temporal Channel Characterization in a Sub-Urban Non-Line-of-Sight Microcellular Environment”, IEEE J. Select. Areas in Comm., vol. 20, no. 3, pp.532-538, Apr. 2002. H.H. Xia, H.L. Bertoni, L.R. Maciel, A.L. Stewart an R. Rowe, “Radio propagation Characteristic for Line-Of-Sight Microcellular and Personal Communication”, IEEE Trans. on Antenna and Propagation, vol. 41, no.10, pp. 1439-1447, Oct. 1993. D. Pena, R. Feick, H.D. Hristov, and W. Grote, “ Measurement and Modeling of Propagation Losses in Brick and Concrete Walls for the 900-MHz Band”, IEEE Trans. on Antenna Propagation, vol. 51, no 1., pp. 31-38, Jan., 2003. M.O. Al-Nuami and M.S. Ding, “Prediction Models and Measurements of Microwave Signals Scattered from Buildings”, IEEE Trans. On Antenna and Propagation, vol.42, No.8 pp. 1126-1137, August 1994. L. Orlando, J.F. Martin and T.S. Rappaport, “ A Comparison of Theoretical and Empirical Reflection Coe±cients for typical Exterior Wall Surafces in a Mobile Radio Environment”, IEEE Trans. On Antenna and Propagation Vol. 44 No. 3 pp. 341-351, March 1996.

RIWAYAT PENULIS

Hary Budiarto lahir di

InInElseKoTePeprJa

20

Surabaya pada 28 Juni 1967. Menamatkan pendidikan S1 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya tahun 1990 dalam bidang Matematika Terapan, menyelesaikan pendidikan S2 di fakultas Ilmu Komputer Universitas

donesia Jakarta tahun 1998 dan S3 di Tokyo stitute of Technology pada Department of ectric and Electrical tahun 2004. Saat ini bekerja bagai peneliti di bidang Teknologi Informasi dan munikasi di Pusat Pengkajian dan Penerapan knologi Lingkungan (P3TL) BPPT, Jakarta. nulis juga menjadi anggota pada organisasi

ofesi ilmiah IEEE, COMSOC, COST 273, IEICE pan dan IECI.

Page 29: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

21

Pengaruh Ukuran Butir Terhadap Kuat Fatik Baja: Simulasi dan Eksperimen

DR- Ing. H. Agus Suhartono UPT LUK Puspiptek, Serpong, Indonesia

Abstract The present research results recognize that the growth of microcracks is significantly influenced by the microstructure of the material. In order to take into account the influence of the microstructure on the damage process a simulation. model is suggested in this paper which considers the local stress state in addition to the random nature of the material structure in the form of grain boundaries and slip systems. Special emphasis is given to the microcrack behaviour for different grain sizes which is loaded by an axial tension compression loading with regard to their influence on the microcrack growth and the simulated life time. It can be shown, that a grain size causes a significant changing in the crack growth behaviour. The results generated by means of the simulation model are compared and verified with those experiences. Keywords: simulasi, besar butir, retak mikro, fatik

1. PENDAHULUAN

Pada pembebanan berulang, mikrostruktur bahan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan retak. Perbaikan dalam prediksi umur fatik, perlu mempertimbangkan proses kerusakan secara mikroskopis. Simulasi retak mikro, memungkinkan verifikasi hipotesa yang ada dengan hasil eksperimen. Selain itu parameter yang lain seperti ukuran butir dapat diselidiki, sehingga perbaikan umur fatik dapat dilakukan.

Pada makalah ini dibahas mengenai simulasi dan eksperimen yang menyelidiki pengaruh besar butir kekuatan fatik bahan.

1.1 Besar Butir

Batas butir adalah batas dua struktur kristalografi dari kristal tunggal baja dan larutan padat. Paduan umumnya memiliki banyak kristal yang dapat diamati dengan mikroskop. Baja berkristal BCC yang mengandung unsur paduan dalam bentuk larutan padat disebut ferit. Struktur ferit pada dasarnya adalah besi murni yang mengandung unsur paduan dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada fasa tunggal bahan terdiri atas sejumlah kristal tunggal atau butir. Semua butir memiliki struktur kristal dan komposisi kimia yang sama, perbedaan terletak pada orientasi

yang mengakibatkan terjadinya batas kristal atau lebih umum disebut batas butir antar kristal atau batas butir. Susunan atom pada batas butir sangat tidak beraturan bila dibandingkan dengan susunan atom dalam butir. Tampakan foto mikro 2 dimensi dari batas butir adalah sejumlah garis, tetapi dalam kenyataannya, batas butir merupakan permukaan antar kristal. Pergerakan atom sepanjang batas butir lebih cepat dibanding pergerakan atom melalui susunan kristal. Bila dilakukan etsa, batas butir terserang lebih cepat terhadap. oleh larutan asam dan meninggalkan jejak dangkal pada batas butir. Di bawah pengamatan mikroskop batas butir yang telah dietsa tersebut tampak sebagai garis-garis gelap (1).

Batas butir sudut besar mempunyai energi permukaan yang tinggi, dengan energi yang tinggi ini, batas butir merupakan preferensial untuk reaksi bahan padat (solid state reactions) seperti difusi, transformasi fasa, dan reaksi pengendapan. Energi tinggi dari batas butir biasanya mengakibatkan konsentrasi atom larut yang lebih tinggi di perbatasan dari pada di dalam butir(1). 1.2 Pengaruh Besar Butir Pada Sifat Mekanik

Logam

21

−⋅+= Dkiy σσ (1)

Dimana :

Page 30: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

22

yσ = tegangan luluh

iσ = tegangan gesek" yang merupakan ketahanan kisi kristal tehadap pergerakan dislokasi

k = parameter kontribusi pengerasan relatif oleh batas butir

D = diameter butir

Persamaan Hall-Petch(2,3) mula-mula disusun berdasarkan pengukuran titik luluh baja karbon rendah, dan telah terbukti dapat mengambarkan antara besar butir dan tegangan alir pada berbagai harga regangan plastik hingga perpatahan rapuh. Selain itu dapat pula menggambarkan variasi tegangan perpatahan rapuh dengan besar butir dan ketergantungan kekuatan fatik pada besar butir.

Formula ini dapat memberi gambaran tentang sifat mekanik lain misalnya kekerasan logam yang merupakan sifat kemampuan logam untuk menahan deformasi. Deformasi logam pada dasarnya merupakan hasil pergerakan dislokasi. Karena orientasi/arah bidang geser antar butir tidak seragam, maka gerakan dislokasi akan terhambat oleh batas butir. Makin halus ukuran butir maka presentasi batas butir akan makin banyak pula, sehingga ketahanan deformasi logam akan meningkat. 2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 2.1 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah baja karbon rendah jenis SC 10. Penelitian dilakukan di UPT Laboratoria Uji Konstruksi dan laboratorium lain yang kompeten. Pengujian yang dilakukan meliputi: karakterisasi bahan baku, metalografi, analisa komposisi kimia dan penentuan sifat mekanis material. 2.2 Metode Penelitian

Pengujian komposisi kimia bahan dilakukan

untuk memastikan jenis bahan yang diuji serta kadar masing-masing unsur, yang dapat digunakan untuk mendukung analisa hasil pengujian.

Untuk mendapatkan berbagai ukuran besar butir pada struktur dilakukan proses annealing dengan memvariasikan temperatur anneal. Sampel dipanaskan sampai mencapai temperatur yang kita inginkan. Kemudian temperatur ditahan selama lebih kurang 45 menit dan selanjutnya didinginkan perlahan di dalam dapur. Dapur yang digunakan untuk proses anil adalah dapur yang mempunyai tiga bagian pemanasan terkontrol yakni; bagian

atas, tengah dan bawah dapur selain menggunakan sistem pengukur yang terpasang, pengukuran temperatur annealing juga menggunakan thermokopel yang ditempelkan langsung pada specimen dalam dapur. Temperatur annealing yang diambil dalam penelitian adalah 930°C, 1000°C dan 1140°C.

Pengujian sifat kekerasan yang dilakukan adalah menggunakan metode Brinnel. Indentasi dilakukan dengan mesin Frank Finotest yang menggunakan sistem hidraulik.

Struktur mikro logam diperoleh melalui proses metalografi. Pengerjaan metalografi didahului dengan proses mounting specimen, yang dilanjutkan dengan pengamplasan yang dimulai dengan amplas kasar 200 # hingga amplas halus 1200 #. Specimen kemudian dietsa dengan nital 3%. Perbesaran foto struktur mikro yang diambil adalah sebesar 100 kali dan 500 kali.

Penelitian terhadap struktur mikro dilakukan untuk mengetahui ukuran besar butir dari hasil proses anealling.

Dalam penelitian ini bahan yang digunakan adalah baja karbon rendah yang mendapat perlakuan annealing, sehingga struktur mikro yang mungkin dihasilkan adalah fasa ferit dan perlit. Fasa ini umumnya memiliki butir dan batas yang jelas sehingga metode yang cocok dan sering dipakai untuk menghitung besar butir adalah metode Planimetri (Jeffris method) (4).

2.3 Simulasi

Menurut simulasi diasumsikan pertumbuhan retak dibagi menjadi dua tahap tahap 1 dan tahap 2. Pada tahap 1, perambatan retak dipicu oleh tegangan geser dinamis pada butir dalam material polikristal. Perambatan retak tergantung pada amplitudo tegangan geser dan jarak s antara ujung retak dan hambatan mikrostruktur, (batas butir). Persamaan pertumbuhan retak:

sAdNda

⋅∆= αωτ (2)

dimana s jarak ujung retak dan batas butir, a dan α adalahparameter material(5,6). Pada awal simulasi pertumbuhan retak sangat cepat, tapi saat saat retak mencapai batas butir (s ≈ 0) kecepatan retak berkurang hingga mendekati nol. Pada model ini batas butir di anggap sebagai hambatan mikro yang paling dominan.

Material polikristal dimodelkan secara dua dimensi sebagai jaringan butir heksagonal dengan diameter butir yang dapat divariasikan dan masing masing butir memiliki orientasi kristal ω, Gambar 1.

Page 31: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

23

Gambar 1. Simulasi: mikrostruktur, keadaan

tegangan dan orientasi tegangan (5)

Kondisi tegangan pada bidang geser tiap butir tergantung dari orientasi masing-masing butir dan pembebanan yang dilakukan. Tegangan yang dipergunakan disini adalah tegangan bidang diperbukaan bahan. Letak nukleasi retak dihasilkan dari generator random. Bentuk dari bakalan retak adalah titik yang tidak memiliki panjang, yang mewakili retak yang memiliki panjang nol. Di simulasikan bahwa nuklesi retak sudah ada pada awal simulasi dan pertumbuhan butir dan pertumbuhan butir terjadi langsung saat pembebanan pertama dilakukan..

Saat retak tahap I memiliki panjang yang cukup untuk memungkinkan terjadinya pembukaan pada ujung retak, mulailah terjadi perkembangan perambatan retak tahap 2. Pada titik ini, pengaruh mikrostruktur menjadi berkurang, dan retak dapat digambarkan dengan mekanika continuum. Diasumsaikan bahwa selama tahap transisi terjadi kompetisi antara pertumbuhan butir tahap I dan pertumbuhan butir tahap II. Persamaan pertumbuhan retak tahap 2 yang diajukan oleh Hobson, Brown dan de los Rios (7). digunakan pada simulasi ini,

χβωσ aB

dNda

⋅∆= (3)

dimana ∆σ mewakili tegangan tarik yang tegak lurus terhadap bidang retak dan β, B and D adalah parameter material yang ditentukan dari percobaan. Parameter material yag digunakan diambil dari Hobson (7). Panjang retak pada transisi dari tahap 1 ke tahap 2 dapat disebutkan dengan jumlah butir yang dilewati retak. Taylor and Knott (8) mengusulkan 3 butir sebagai fasa transisi tahap 1 ke tahap 2. Pada daerah transisi pertumbuhan retak dihitung berdasarkan nilai yang lebih tinggi antara persamaan 1 dan persamaan 2 (5). Selain pertumbuhan retak akibat beban berulang, perambatan yang sangat cepat bisa terjadi pada eksperimen yaitu diakibatkan oleh

penggabungan antar retak (5). Pada simulasi ini penggabungan antar retak terjadi bila panjang retak telah mencapai 75% dari batas butir, dan jarak antar ujung retak lebih kecil dari jarak kritis, r. Socie dan Furman (9) menyarankan jarak kritis adalah 25% dari diameter. Setelah retak mencapai panjang 3 diameter butir, hanya berlaku pertumbuhan retak tahap 2. Dalam hal ini retak kemudian tumbuh tegak lurus terhadap arah tegangan utama dan kecepatan perambatan retak tergantung pada panjang retak dan amplitudo tegangan utama.

CaBdNda

−⋅∆= χβσ 1 (4)

Simulasi selesai bila jumlah siklus tegangan

tercapai, atau retak mikro mencapai panjang yang telah ditetapkan. Panjang retak didefinisikan sebagai garis lurus jarak antar kedua ujung retak. Jika retak terbentuk dari penggabungan beberapa retak mikro, panjang retak diwakili oleh ujung-ujung tretak yang memiliki jarak paling jauh. Pada simulasi ini panjang retak akhir ditetapkan 500 µm.

Simulasi ini belum mempertimbangkan retak yang tumbuh ke arah dalam dari material. Lebih lanjut deformasi dari mikrostruktur, pengerasan regang dan pengaruh pembukaan retak serta tekstur dan anisotropy material belum dipertimbangkan.

Pelaksanaan kegiatan meliputi persiapan material, pembuatan specimen dan komponen. Hasil yang dicapai yaitu mengetahui mekanisme pengaruh besar butir terhadap kekuatan dan umur fatik dengan metode eksperimen, perhitungan dan simulasi. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil uji laboratorium dan hasil perhitungan diberikan sebagai berikut:

3.1 Komposisi Kimia

Pemeriksaan komposisi kimia dimaksudkan untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam material. Hasil pemeriksaan komposisi kimia, yaitu : C 1%, Si 0,3 % Mn 1% dan S 0,5%.Variasi komposisi kimia akibat proses annealing dan dekarburisasi diminimalkan dengan melakukan pengujian hanya pada penampang dalam dari benda uji. 3. 2. Metalografi

Hasil pemeriksaan metalografi diperlihatkan pada gambar 2 hingga gambar 4. Dari

Page 32: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

24

pengamatan struktur mikro diketahui bahwa baja yang diperiksa merupakan baja karbon rendah. Struktur mikro terdiri atas matriks ferit diselingi oleh sebagian kecil fasa pearlit. Pemeriksaan struktur mikro menunjukkan bahwa annealing pada tahap suhu lebih rendah menyebabkan rekristalisasi dan menghaluskan butir. Pada suhu yang lebih tinggi terjadi perkembangan besar butir .

Gambar 2. Struktur mikro baja SC 10 suhu

annealing 930oC, 45 menit.

Gambar 3. Struktur mikro baja SC 10 suhu

annealing 1000oC, 45 menit.

Gambar 4. Struktur mikro baja SC 10 suhu

annealing 1140oC, 45 menit. 3.3 Pengukuran Besar Butir

Pengukuran besar butir dilakukan dengan mengolah data hasil metalografi baja yang telah dilakukan annealing. Foto struktur mikro menunjukkan bahwa fasa yang terjadi merupakan

fasa ferit dan sebagian kecil fasa perlit. Pengukuran dan perhitungan besar butir dilakukan dengan metode planimetri (Jeffris method) yaitu menghitung besar butir persatuan luas pada lingkaran berdiameter 79,8 mm (luas lingkaran 5000 mm2) (4). Perhitungan matematis :

+⋅= 21 2

1 nnfN A 5000

2Mf = (5)

61 10×= −NAA

( ) 321

21

10×==−

NAAd 92,2log32,3 −⋅= ANG

Keterangan: NA = banyaknya butir/luar (pcs/mm2) F = bilangan Jeffris M = perbesaran (x) A = luas rata-rata butir ( 2mµ ) d = diameter butir rata-rata ( mµ ) G = nomor besar butir (ASTM) Hasil perhitungan besar butir terhadap foto struktur mikro ditampilkan pada tabel 1 berikut:

Tabel 1 : Hasil perhitungan besar butir.

No. Specimen D (µm) G (ASTM)1 930 11,54 9,922 1000 21,61 8,113 1140 42,18 6,18

Pada suhu anneal 930oC didapat diameter

rata-rata 11,54 µm. Pada suhu anneal yang lebih tinggi yaitu 1000oC terjadi pertumbuhan butir yang sangat intensif, Pada tahap ini proses rekristalisasi telah selesai sehingga energi yang ada hanya digunakan untuk Pada pertumbuhan butir. Sejalan dengan terjadinya pemanasan lanjut orientasi kristal butir kecil mengikuti orientasi butir besar sehingga jadi penggabungan butir menjadi butir yang lebih besar. Ukuran butir pada temperatur anneal ini adalah 21,61µm. Pada suhu 1140oC pertumbuhan butir berlanjut dengan kecenderungan peningkatan temperatur menyebabkan peningkatan diameter butir menjadi 42,18 µm. Secara umum dapat ditarik suatu kecenderungan bahwa dengan peningkatan temperatur annealing terjadi peningkatan besar butir.

Page 33: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

25

3.4 Pengujian Kekerasan

Penjejakan dilakukan pada 5 (lima) tempat pada penampang lintang sampel hasil uji struktur mikro yang sudah licin permukaannya. Penjejakan pada penampang lintang sampel

Pengukuran diameter jejak arah vertikal dan horizontal dengan menggunakan mikroskop pengukur jejak. Nilai rata-rata hasil uji kekerasan diberikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Pengujian Kekerasan.

No Benda Uji BHN 1 A 930oC 134 2 A 1000 oC 130 3 A 1140oC 136

Proses annealing mengakibatkan

penurunan kekerasan. Pada temperatur annealing yang lebih tinggi kekerasan terus mengalami penurunan. Hubungan antara besar butir dan kekerasan ditunjukkan pada Gambar 5. Bila dikorelasikan antara ukuran butir dan sifat kekerasan maka akan didapat kecenderungan (trend), dari gambar tersebut tampak jelas hubungan bahwa peningkatan diameter butir diikuti dengan terjadinya penurunan kekerasan.

y = 150.48x-0.0475

R2 = 0.9999

125126127128129130131132133134135

0 10 20 30 40 50

Diameter Butir (mikro m)

Kek

eras

an (B

HN

)

Gambar 5. Hubungan antara Kekerasan dan

Diameter Butir.

Kekerasan merupakan sifat ketahanan bahan terhadap deformasi plastis (indentasi). Deformasi merupakan pergerakan dislokasi. Pergerakan dislokasi terjadi dalam butir dengan lebih mudah dan pada saat mencapai batas butir dislokasi tersebut akan terhambat pergerakannya. Hambatan terhadap dislokasi menyebabkan penumpukan dislokasi pada batas butir. Tumpukan tersebut menyebabkan gaya tolak yang bekerja untuk melawan gerakan dislokasi berikutnya. Sehingga deformasi selanjutnya akan

lebih sulit. Butiran dengan ukuran lebih kecil berarti penghalang pergerakan dislokasi semakin banyak dan jarak antar penghalang tersebut semakin dekat sehingga semakin menyulitkan terjadinya deformasi yang mengakibatkan peningkatan kekerasan dan sifat mekanis lainnya.

3.5 Hubungan Besar Butir dan Kekuatan Fatik

Terdapat hubungan antara sifat kekerasan dan kuat tarik. Tabor(10) mengajukan suatu metode yang dapat digunakan untuk menentukan daerah plastis kurva tegangan regangan sejati dari hasil pengukuran kekerasan. Pada dasarnya metode tersebut bersifat empiris, karena distribusi tegangan yang komplek pada jejak indentasi menghalangi hubungan yang jelas dengan distribusi tegangan pada uji tarik maupun uji tekan. Akan tetapi metode tersebut memperlihatkan kecocokan pada berbagai logam, sehingga layak untuk diperhatikan apabila situasi tidak memungkinkan untuk melakukan pengujian tarik logam.

Kekuatan luluh ofset 0,2% dapat ditentukan dengan ketelitian yang baiki dari pengujian kekerasan Vickers 2. Terdapat pula hubungan rekayasa yang sangat berguna antara kekerasan Brinell dengan kekuatan tarik maksimum dari paduan baja karbon biasa dan medium yang mengalami perlakuan panas.

Menurut DIN 50350(11) kekuatan tarik dapat diturunkan dari Nilai kekerasan Vickers berdasarkan rumus

VHNu ⋅= 38,3σ (6) Persamaan tersebut berlaku untuk kekerasan antara 80 VHN hingga 650 VHN. Pada standard DIN 50351 (11) diberikan korelasi antara nilai kekerasan Brinell dan kekuatan tarik yaitu:

BHNu ⋅= 5,3σ (7) Menunurut Hueck (12,13) kuat luluh pada baja dapat dihitung dari kuat tarik berdasarkan rumus:

7709,1 −= uy σσ (8) sehingga dapat digambarkan hubungan antara kuat tarik, kuat luluh vs temperatur anil, serta hubungan antara tegangan luluh dan besar butir untuk menguji dan mengevaluasi apakah formula yang diusulkan oleh Hall-Pecht (2,3) berlaku untuk bahan dan keadaan yang terjadi pada penelitian ini. Persamaan (1) merupakan persamaan yang

Page 34: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

26

sangat umum dan harus digunakan secara hati-hati.

Gambar 6. Hubungan Diameter Butir dan Kuat

luluh

Pada penggambaran regresi hubungan kuat luluh dan besar butir, data pengujian dari baja dalam kondisi awal (as recieved), tidak digunakan karena dikhawatirkan baja tersebut masih memiliki tegangan sisa hasil pengerjaan selama proses pembuatan yang dapat mempengaruhi sifat kekerasan dan kekuatan bahan. Data-data untuk menggambarkan hubungan antara kuat luluh vs besar butir atau persamaan Hall-Petch diambil dari data pengujian dari specimen yang mengalami proses annealing pada suhu 930 oC hingga 1140 oC yang memiliki ukuran butir relatif lebih homogen karena proses rekristalisasi telah selesai. Hubungan antar kuat luluh dan besar butir diberikan pada Gambar 6 .

21

218370−

⋅+= Dyσ (9) Dimana :

yσ = tegangan luluh 370 = “tegangan gesek" yang merupakan

ketahanan kisi kristal tehadap pergerakan dislokasi ( iσ )

218 = “parameter pengancing" yang menjadi ukuran kontribusi pengerasan relatif oleh batas butir (k)

D = diameter butir

Pembuatan garis regresi kurva hubungan antara kuat luluh vs besar butir disertai dengan perhitungan koefisien determinasi, R2 (R-squared value) dan koefisien korelasi, R. Koefisien-koefisien tersebut merupakan indikator apakah nilai perkiraan yang didapat dari hasil penarikan garis kurva (garis regresi) dengan data pengujian

memiliki hubungan yang erat. Nilai koefisien korelasi berkisar antara 0 hingga 1. Semakin dekat dengan 1 maka nilai perkiraan berdasarkan kurva yang kita buat semakin dapat dipercaya(14). Secara kuantitatif dinyatakan bahwa,

• 0,90<R<1,00: hubungan sangat kuat • 0,70<R<0,90 hubungan kuat • 0<R<0,50 hubungan lemah dan

sangat lemah

R2 adalah sebesar 0,99, dan nilai koefisien korelasi R adalah sebesar 0,99. Nilai tersebut menandakan bahwa hubungan antara besar butir dan kuat luluh dapat diwakili oleh persamaan 9 di atas dengan keterkaitan hubungan yang sangat kuat.

Dari hasil ini dapat diketahui bahwa persamaan Hall-Pecht dapat diterapkan pada material baja karbon rendah yang telah mengalami annealing, dengan batasan-batasan yaitu material tersebut belum mengalami pengerjaan yang menyebabkan pengerasan regang, dan butir yang didapat dari hasil annealing relatif homogen.

Perhitungan kekuatan dan ketahanan fatik dapat diturunkan dari sifat-sifat mekanis bahan(11,12). Hubungan antara fatik limit dan titik luluh dapat dinyatakan dengan hubungan:

77436,0 += yw σσ (10)

dari persamaan (10) didapat,

21

953,161−

⋅+= Dwσ (11)

Hasil perhitungan ini menunjukkan hubungan bahwa kekuatan fatik berbanding terbalik dengan akar pangkat dua dari besar butir, yang berarti peningkatan ukuran butir akan menurunkan kekuatan fatik bahan. 3.6 Hasil Simulasi

Simulasi pengaruh besar butir tehadap umur fatik dilakukan dengan data masukan sebagai berikut.

• Amplitudo tegangan σa=254 dan 330 Mpa

• Pembebanan : tarik tekan aksial • Kriteria kegagalan (akhir simulasi) a =

500 µm

Gambar 7 dan 8 menunjukkan perambatan retak dalam butir akibat beban aksial tarik tekan untuk amplitudo σa=254 dan 330 Mpa. Retak mula-mula merambat dengan arah ϕ = ±45o

R2 = 0.9932

350

360

370

380

390

400

410

420

430

440

450

0 10 20 30 40 50

Besar butir (mikro meter)

Kua

t lul

uh (M

Pa)

Page 35: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

27

sebagai retak geser dan selanjutnya berambat tegak lurus tegangn nominal. Frekuensi penggabungan retak tampak lebih sering pada tegangan lebih tinggi dibanding tegangan yang lebih rendah.Dari sini dapat dijelaskan bahwa retak mikro yang bergabung akibat tegangan yang lebih tinggi juga meningkat. Gambar 9 menunjukkan bahwa dengan peningkatan besar butir umur (ketahanan fatik) menurun, sehingga pengaruh besar butir pada daerah fatik siklus tinggi dominan. Penyebab dari hal tersebut adalah hambatan mikrostruktur (batas butir) akibat meningkatnya ukuran butir berkurang. Perambatan retak pada butir yang lebih besar berlangsung lebih cepat dibanding pada butir-butir yang lebih kecil, lihat gambar 7.

Pada besar butir yang lebih kecil (45 µm) perambatan retak didominasi olehperambatan retak tahap 1, sedangkan pada ukuran butir yang blebih besar (120 µm) tahp perambatan yang paling dominan adalah perambatan retak tahap 2. Berkurangnya ketahanan fatik akibat peningkatan ukuran butir dalam simulasi telah dibuktikan bedasarkan simulasi dan eksperimen serta penelitian lain (15, 16).

Bila batas simulasi adalah panjang retak 100 µm dan bukan 500 µm. ketahanan fatik akan

makin pendek akibat gradien kurva S-N yang makin landai, bandingkan dengan (7).

Gambar 10 menunjukkan bahwa dengan berkurangnya pembebanan, fraksi kerusakan pada tahap 1 bertambah. Peningkatan fraksi kerusakan tahap 1 pada besar butir yang lebih kecil cenderung bertambah di banding pada ukuran butir yang lebih besar. Hal ini menyebabkan gradien kemiringan kurva S-N pada ukuran butir yang lebih kecil lebih landai disbanding ukuran diameter yang lebih besar.

Menurut Luetc (17) butiran yang lebih kecil memiliki peranan penting dalam menghambat perambatan retak mikro. Pada umur fatik hingga 104 siklus, fraksi umur bisa dibagi menjadi 2 bagian yang sama antara kerusakan yang diakibatkan untuk perambatan retak mikro tahap 1 dan perambatan retak tahap 2. Penurunan ukuuran butir mengakibatkan pengurangan jarak terhadap hambatan mikrostruktur, sehingga tahanan terhadap perambatan retak tahap 1 meningkat. Keadaan ini dapat dijelaskan secara memuaskan melali\ui simulasi ini, yang menerangkan bahwa perambatan retak tahap 1 dan tahap 2 merupakan bagian menentukan dalam menentukan umur fatik. Penurunan besar butir menyebabkan bagian perambatan retak tahap 1 meningkat sehingga meningkatkan umur fatik.

Page 36: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

28

(a) N = 25321 d = 45 µm

0

100

200

300

400

500

600

0 1 104 2 104 3 104

Ris

slän

ge a

(µm

)

Schwingspiele N

(b) N = 22148 d = 60 µm

0

100

200

300

400

500

600

0 1 104 2 104 3 104

Ris

slän

ge a

(µm

)

Schwingspiele N

(c) N = 12258 d = 120 µm

0

100

200

300

400

500

600

0 1 104 2 104 3 104

Ris

slän

ge a

(µm

)

Schwingspiele N

Gambar 7: Gambar simulasi dan kurva hubungan antara panjang retak dan jumlah siklus beban pada

berbagai ukuran butir σ = 254 MPa , Pembebanan aksial tarik tekan.

σ

σ

σ

Riss 1

2

3

Riss 1

2 3

Riss 1

2

Riss 1

2

Riss 1

23

Riss 1

2 3

Jumlah Siklus (N)

Jumlah Siklus (N)

Jumlah Siklus (N)

Pan

jang

Ret

ak (µ

m)

Pan

jang

Ret

ak (µ

m)

Pan

jang

Ret

ak (µ

m)

Page 37: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

29

(a) N = 3471 d = 45 µm

0

100

200

300

400

500

600

0 2 103 4 103 6 103

Ris

slän

ge a

(µm

)

Schwingspiele N

(b) N = 3140 d = 60 µm

0

100

200

300

400

500

600

0 2 103 4 103 6 103

Ris

slän

ge a

(µm

)

Schwingspiele N

(c) N =2691 d = 120 µm

0

100

200

300

400

500

600

0 2 103 4 103 6 103

Ris

slän

ge a

(µm

)

Schwingspiele N

Gambar 8: Gambar simulasi dan kurva hubungan antara panjang retak dan jumlah siklus beban pada berbagai ukuran butir σ = 330 MPa , Pembebanan aksial tarik tekan.

Riss 1

2

3

Riss 1

2

3

Riss 1

2

3

Riss 1 2

3

Riss 1

2

3

Riss 1

23

σ

Pan

jang

Ret

ak (µ

m)

Pan

jang

Ret

ak (µ

m)

Pan

jang

Ret

ak (µ

m)

Jumlah Siklus (N)

Jumlah Siklus (N)

Jumlah Siklus (N)

Page 38: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

30

Gambar 9. Kurva S-N hasil simulasi untuk ukuran butir yang berbeda dengan pembebanan tarik tekan.

Gambar 10. Rasio perbandingan antara perampbatan retak tahap 1 dan tahap 2 pada masing-masing

ukuran butir.

200

300

103 104 105

σ a (MP

a)

Schwingspiele N

SimulationBeanspruchung : σ

a

Korngröße d = 45 µm, 60 µm, 120 µm

d = 120 µm

k = 5,5

k = 5,6

k = 6,8

d = 45 µmd = 60 µm

0

1

2

3

45 60 120

Besar Butir (µm)

Perb

andi

ngan

per

amba

tan

taha

p 1

dan

taha

p 2

254 MPa330 MPa

Simulasi Besar Butir 45 µm, 60 µm, 120 µm

Jumlah Siklus (N)

Page 39: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

31

4. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan temperatur annealing dapat

menyebabkan peningkatan besar butir dan penurunan kekerasan, kuat luluh serta kekuatan fatik.

2. Persamaan Hall-Pecht dapat diterapkan pada material baja karbon rendah yang telah mengalami annealing, dengan batasan-batasan yaitu material tersebut belum mengalami pengerjaan yang menyebabkan pengerasan regang, dan butir yang didapat dari hasil annealing relatif homogen.

3. Simulasi perambatan retak fatik mikro telah dipresentasikan. Simulasi tersebut dibuat berdasarkan model yang memperhitungkan arah dan kecaepatan rambat retak, interaksi antara retakan dengan batas butir serta dengan retak lain demikian juga tumbukan antar retak. Simulasi tersebut dapat menerangkan fenomena penurunan kekuatan fatik akibat peningkatan ukuran butir pada logam, pada beberapa tingkat pembebanan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih, kepada: Bapak Dr.-Ing. Amir Partowiyatmo, dukungannya dalam kegiatan penelitian ini. Ir. Sekean yang telah membantu selama penelitian ini berlangsung. Prof. Dr-Ing. H. Zenner dari TU Clausthal Germanay dan Dr.-Ing Kurt Poetter dari BMW AG. atas saran dan pertimbanganya dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. French, D.N, Metallurgical Faikures in Fossil

Fired Boilers, hal 28-30, John Wiley & Sons, New York,1983.

2. E.O. Hall, Proc Phys. Soc. London, jilid 643, hal 747, 1951

3. N. J. Petch, NJ, J. Iron Steel Inst. London, jilid 173, hal 25, 1953

4. ASTM Standards , Section 3. Vol 3.01, Metal s Mechanical Testing: Elevated and Low Temperature Tests, Metalography, E112, ASTM, Easton MD, USA, 1999

5. Suhartono, H.A., K. Poetter, A. Schram, H. Zenner, "Modeling of Short Crack Growth Under Biaxial Fatigue: Comparison Between Simulation and Experiment", Multiaxial Fatigue and Deformation.

6. Miller, K-J., 1991, Metal Fatigue – Past, Current and Future, Proceedings of the Institution of Mechanixal Engineers.

7. Hobson, P.D., M. W. Brown, E. R. de los Rios, 1986. “Two Phases of short Crack Growth in medium Carbon Steel”, The Behaviour of short Fatigue Cracks, EGF Pub. 1, K.J.Miller and E.R. de los Rios, Ed., London, pp.441-459

8. Taylor, D., J.F. Knott, 1981, “Fatigue Crack Propagation Behaviour of Short cracks; The effect of Microstructure, “ Fatigue Fracture Engginering Materials Structures 4, pp. 147

9. Socie, D., S. Furman, 1996, "Fatigue Damage Simulation Models for Multiaxial Loading," Fatigue 96, Sixth International Fatigue Congress, G. Ltitjering and H. Nowark, Ed., Berlin, Germany, pp.967-976.

10. Tabor, D., The Hardness of Metals, hal 67-76, Oxford University Press, New York,1951

11. DIN 501009 (1978) Werkstoffprueffung, Dauerschwing, Versuch, Begriffe, Zeichen, Duerchfuehrung, Auswertung

12. Gudehus, H., H. Zenner, Leitfaden für eine Betriebsfestigkeitsrechnung, VBFEh,VDEh, Düsseldorf 1995.

13. Hueck, M, Thrauer, L., W. Schuetz, Berechnung von Syntetische Woehlerlinien fuer Bauteile aus Stahlguss und Grauguss, Berich Nr. ABF11, VDEh, Duesseldorf, 1991

14. Budiono, W. Koster, Statistika dan Probabilitas, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 180-185, 2001.

15. Edgar, A., Jr. Starke, G. Lütjering: Cyclic Plastic Deformation and Microstructure, in Fatigue and Microstructure, American Society for Metals, Metals Park Ohio, 1979, pp. 225

16. Lütjering, G., A. Gysler, Fatigue and Fracture of Aluminum Alloys, in Aluminum Transformation Technology and Applications, Proceedings of the International Symposium at Puerto Madryn, Chubut, Argentina, C. A. Pampillo, H. Biloni and D.E. Embury, Eds., American Society for Metals, Metals Park, Ohio, 1980, pp.192

17. Lütjering, G., A. Gysler, J. Albrecht, Influence of Microstructure on Fatigue Resistance. In G. Lütjering and H. Nowack, (Eds.): Fatigue 96, Sixt International Fatigue Congress, Berlin, Germany, 1996, pp. 967-976

RIWAYAT PENULIS DR. Ing. H. Agus Suhartono lahir di Juwiring, Klaten, 3 September 1967. Tamat S1 UI Fakultas Teknik Jurusan Metalurgi tahun 1991. Menyelesaikan program S3 di TU Clausthal jurusan Mesin di Jerman tahun 2000. Saat ini bekerja sebagai Ka.Sub.Bid Karakteristik dan Aplikasi Material di Balai Besar Teknologi Keluasan Struklin BPP Teknologi.

Page 40: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

32

Page 41: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

33

PERBANDINGAN METODE MONTE-CARLO DAN

METODE PARTIKEL TERBOBOT STOKASTIK UNTUK SOLUSI NUMERIK PERSAMAAN BOLTZMANN

Endar H. Nugrahani

Departemen Matematika, FMIPA, Institut Pertanian Bogor

Abstract Particle methods are well known tools to solve the kinetic Boltzmann equation numerically. The usual procedure of such method is the direct simulation Monte-Carlo, which directly simulate the collision between particles. The second method of interest is the stochastic weighted particle method, which is developed to improve the previous method. The main idea of the second method is to use random weight transfer between particles during collisions. In order to reduce the stochastic fluctuations, this method provides a way to increase the number of particles. But if the additional particles cannot be compensated in some natural way, then this number should be reduced. Several reduction procedures have been proposed. Some numerical results using both methods are presented. It is shown that the second method could give some better results in some ways. Keywords: persamaan Boltzmann, metode Monte-Carlo, metode partikel terbobot stokastik.

1. PENDAHULUAN

Persamaan Boltzmann adalah persamaan kinetik yang mendeskripsikan perubahan yang terjadi pada partikel gas dengan berlalunya waktu karena terjadinya fenomena tumbukan antar partikel. Misalkan

++ ℜ→ℜ×ℜ×ℜ⊂Ω :),,( 33tvxf

adalah fungsi kepekatan peluang suatu partikel gas yang berada pada posisi x, bergerak dengan kecepatan v, serta diamati pada waktu t. Bentuk dari persamaan Boltzmann adalah:

),(, ffQfvtf

x =∇+∂∂

(1.1)

dengan nilai awal

),()0,,( 0 vxftvxf == . (1.2)

Ruas kanan dari persamaan (1.1) adalah integral lipat berdimensi tinggi yang mendeskripsikan perubahan dari f(x,v,t) sebagai akibat dari tumbukan antar partikel, yaitu dengan bentuk berikut:

[ ]∫ ∫ℜ

=

3 2

)()()'()'(),,(

),(

S

dedwwfvfwfvfewvB

ffQ

dengan B(v,w,e) adalah fungsi kernel tumbukan partikel.

Solusi analitik dari persamaan Boltzmann (1.1) tersebut tidaklah mudah untuk diperoleh. Beberapa hasil solusi analitik eksak yang telah didapatkan hanya bisa diperoleh untuk distribusi nilai awal tertentu, di antaranya adalah untuk distribusi awal Maxwell oleh Bobylev (2) dan beberapa solusi self-similar oleh Bobylev dan Cercignani (3).

Solusi numerik dari persamaan Boltzmann harus memperhatikan diskretisasi dari ruang berdimensi tinggi serta melibatkan perhitungan integral lipat berdimensi tinggi pula pada setiap titik diskretisasinya. Dengan demikian penggu-naan metode yang umum digunakan pada solusi numerik persamaan diferensial parsial, misalnya metode elemen-hingga ataupun metode beda-hingga, akan sulit diimplementasikan. Oleh karena itu penggunaan metode partikel akan menawarkan jalan keluar bagi penyelesaian numerik persamaan kinetik yang berupa persamaan diferensial–integral berdimensi tinggi tersebut.

2. METODE PARTIKEL

Metode partikel untuk penyelesaian numerik persamaan kinetik berdimensi tinggi pertama kali dikembangkan adalah simulasi langsung dengan metode Monte-Carlo (Direct Simulation Monte-Carlo – DSMC) oleh G. A. Bird (1). Pada

Page 42: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

34

perkembangannya dirumuskan metode partikel terbobot stokastik (Stochastic Weighted Particle Method – SWPM) oleh S. Rjasanow dan W. Wagner (6).

Ide dasar metode partikel adalah pendugaan barisan ukuran berikut

( ) 0 ,,1,0 , ,,, >∆=∆= tktktdxdvvxtf kk L

dengan sistem

( ) ( ) ( ) ( )( ) ( )∑=

=N

itvtxkik dvdxtgdvdxtkiki

1, ,,, δµ

di mana

( ) ( ) ( )( ) L,1,0 ,,, 1 == ktvtxtg Nikikiki

melambangkan sekumpulan partikel, dengan k adalah indeks tahap waktu.

2.1 Metode Simulasi Langsung Monte-Carlo

Metode DSMC yang dikembangkan oleh G. A.

Bird (1) memiliki algoritma berikut. Prosedur simulasi diawali dengan pendefinisian evolusi waktu dari suatu sistem sejumlah N partikel

( ) 0 ,,,1 ,)(),(),( ttNitvtxtg iii ≥= L

dengan nilai awal

( ) Nitvtxtg iii ,,1 ,)(),(),( 000 L=

yang dibangkitkan menurut suatu sebaran peluang tertentu berdasarkan (1.2). Asumsi pada nilai awal adalah bobot partikel konstan

.,,1 ,)( 0 Nigtgi L== (2.1)

Diskretisasi waktu didefinisikan sebagai berikut:

.0 , ,1,0 , 1 >∆∆+=⇒=∆= + ttttktkt kkk L

Simulasi akan dilakukan pada setiap interval waktu (tk, tk+1] dengan membedakannya dalam dua fase: fase gerakan bebas dan fase tumbukan partikel. Pada fase pertama hanya akan disimulasikan gerakan partikel secara bebas tanpa memperhatikan terjadinya tumbukan antar partikel. Sebaliknya pada fase kedua hanya disimulasikan tumbukan antar partikel tanpa memperhatikan gerakan partikel itu sendiri.

Fase gerakan bebas menghasilkan perubahan posisi partikel setiap waktu hanya dipengaruhi oleh kecepatannya, yaitu

[ ]1, ),()()()( +∈−+= kkkikkii ttttvtttxtx .

Bobot partikel diasumsikan tidak mengalami perubahan selama periode simulasi. Apabila daerah definisi adalah berbatas, maka kecepatan partikel akan berubah menurut syarat batasnya.

Fase tumbukan partikel disimulasikan sebagai berikut. Pertama-tama posisi partikel dipartisi ke dalam c buah sel

Ul

l

c

1=

Ω=Ω .

Simulasi tumbukan dilakukan di dalam masing-masing sel dengan mendefinisikan proses stokastik

nitvtxtgtZ iii ,,1 ),(),(),()( L==

dengan t ≥ tk dan n = nl(tk). Dari proses pada keadaan z, misalkan partikel

ke – i dan j akan bertumbukan dengan peluang tertentu. Pembangkit proses ditentukan berdasarkan fungsi loncatan proses Jk(z,i,j,e) berikut

( )( )( )

==≠

=jkvg,xikvxg

jikvxgJ

jj

ii

kk

k

,', ,',,

, ,,,(.) (2.2)

di mana

>−<+=

>−<+=

jijj

jiii

vveevv

vveevv

,'

,' (2.3)

adalah kecepatan partikel setelah tumbukan. Dengan algoritma DSMC tersebut jumlah

partikel di dalam sistem tidak akan mengalami perubahan. Dengan demikian juga akan berlaku konservasi berbagai besaran makroskopik dari sistem, yaitu diantaranya besaran massa, kerapatan, momentum, energi, dan sebagainya. Sedangkan kekonvergenen pendugaan numerik dengan metode DSMC ini telah dibuktikan dalam Wagner (8).

2.2 Metode Partikel Terbobot Stokastik

Simulasi numerik dengan menggunakan metode partikel terbobot stokastik memiliki latar belakang ide yang serupa dengan DSMC, dengan letak perbedaan pada pendefinisian fungsi lompatan proses sebagai alternatif dari (2.2) berikut:

Page 43: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

35

( )

( )( )( )( )( )

+=+==−

=−≠

=

2 ,',(.),1 ,',(.),

,,(.), ,,(.),, ,,,

.

nkvxGnkvxG

jkvxGgikvxGg

jikvxg

J

jj

ii

jjj

iii

kkk

k (2.4)

di mana v’i dan v’j adalah kecepatan partikel ke – i dan j setelah tumbukan partikel. Besaran G(z,j,i,e) adalah fungsi perpindahan bobot,

( ) ( )),,,(1

,min,,,

ejizgg

ejizG ji

γ+= (2.5)

yang akan memungkinkan terjadinya penambah-an jumlah partikel dalam sistem bila dipilih parameter γ ≥ 0.

Prosedur yang memungkinkan penambahan jumlah partikel ini terutama akan sangat menguntungkan untuk simulasi sistem dengan kerapatan rendah untuk mengurangi keragaman stokastik(6). Akan tetapi penambahan jumlah partikel dalam simulasi numerik dapat meningkatkan beban komputasi secara signifikan, sehingga sampai tahap tertentu akan diperlukan prosedur tambahan untuk mengurangi kembali jumlah partikel tersebut. Prosedur pengurangan jumlah partikel yang telah dirumuskan antara lain diberikan dalam Rjasanow dan Wagner (6) sebagai prosedur reduksi deterministik, sedangkan dalam Nugrahani dan Rjasanow (5) dirumuskan prosedur reduksi stokastik.

Prosedur Reduksi Deterministik

Prosedur untuk mengurangi jumlah partikel pada simulasi dengan metode SWPM ini dilakukan sedemikian sehingga sistem partikel tersebut tetap dapat menduga penyelesaian numerik persamaan Boltzmann. Dengan demikian tetap harus diperhatikan terpenuhinya sifat konservasi masa, kerapatan, momentum dan energi, serta dapat dikontrolnya tambahan galat pendugaan yang ditimbulkan.

Ada dua langkah yang dirumuskan dalam prosedur reduksi deterministik ini. Langkah pertama adalah pengelompokan partikel dalam sejumlah cluster berdasarkan kecepatannya:

( ) iijijij njnivxg ,,1 ,ˆ,,1 ,,, LL ==

di mana n adalah jumlah cluster yang dibentuk, dengan i adalah indeks cluster dan j indeks partikel dalam cluster. Kemudian dalam masing-masing cluster dengan ni ≥ 3 akan dilakukan

pengurangan jumlah partikel, yaitu dengan menggantikan sejumlah 2 partikel berikut:

2)()(

2)()(

1

)(

21

, ,2

SeeVveVv

gggii

iii

i

i

ii

∈−=+=

==

εε

di mana g(i) adalah massa cluster, V(i) adalah rataan impuls cluster, serta (i) adalah suatu besaran yang berhubungan dengan aliran energi dalam cluster.

Bukti kekonvergenan serta jaminan kontrol atas galat tambahan dari prosedur reduksi ini diberikan oleh Rjasanow dan Wagner (6).

Prosedur Reduksi Stokastik

Prosedur ini ditujukan secara khusus untuk mempertahankan partikel pada daerah ’luar’

ℜ∈≥−ℜ∈=Θ RRUvv , |||| ;3 .

Sedangkan partikel pada daerah Θ−ℜ3 akan dipilih menurut kriteria stokastik tertentu.

Dengan memperhatikan partikel ke – i:

( ) nivxg iii ,,1 ,,, L=

prosedur reduksi dilakukan dengan cara berikut:

• Dengan peluang gg

p i= , tetapkan ggi = .

Hal ini berarti partikel tersebut dipertahankan dan diberi bobot standar.

• Dengan peluang g

ggp i−

=−1 , tetapkan gi

= 0. Hal ini berarti partikel tersebut dikeluarkan dari sistem, sehingga jumlah partikel akan berkurang.

Prosedur reduksi ini diusulkan dalam

Nugrahani dan Rjasanow (5) sebagai bentuk khusus dari prosedur yang lebih umum yang dirumuskan dan dibuktikan kekonvergenannya oleh Matheis dan Wagner (4).

3. HASIL SIMULASI NUMERIK

3.1 Simulasi Extra Moment Studi numerik yang dilakukan adalah

penyelesaian persamaan Boltzmann (1.1) pada ruang posisi yang telah dipartisi sehingga fungsi kepekatan peluang f(v,t) adalah homogen dalam ruang. Kondisi awal mengikuti distribusi molekul pseudo-Maxwell campuran berikut

Page 44: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

36

( )

( )

−−

−+

−−=

2

22

2/32

1

21

2/31

2||

exp2

)1(

2||exp

2)(

TVv

T

TVv

Tvf

πρα

παρ

Simulasi numerik dilakukan terhadap besaran extra moment berikut

∫Θ−ℜ

=Φ3

),()( dvtvft

dengan mempergunakan metode DSMC dan SWPM pada prosedur reduksi stokastik. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Gambar 1 untuk hasil simulasi metode DSMC, serta Gambar 2 untuk metode SWPM.

Gambar 1. Simulasi extra moment dengan DSMC

Gambar 2. Simulasi extra moment dengan SWPM Dari kedua grafik tersebut dapat diamati bahwa

metode DSMC memberikan hasil pendugaan yang tidak cukup memuaskan, terutama setelah suatu tahap waktu tertentu metode ini tidak dapat lagi memberikan interval kepercayaan pendugaan yang positif. Sedangkan metode SWPM memberikan hasil pendugaan yang lebih baik dalam hal masih dapat diberikannya interval kepercayaan yang positif (5).

Lebih lanjut disajikan pula berbagai besaran hasil simulasi extra moment menggunakan metode SWPM dengan prosedur reduksi stokastik. Gambar 3 menyajikan jumlah partikel dalam sistem yang memperlihatkan bahwa prosedur reduksi stokastik memperkecil fluktuasi jumlah partikel. Gambar 4 memberikan bobot maximal partikel dalam keseluruhan proses simulasi, yang ternyata benilai relatif cukup kecil. Serta Gambar 5 memberikan dugaan nilai kepadatan partikel dalam sistem.

Gambar 3. Jumlah partikel simulasi extra moment

dengan SWPM

Gambar 4. Bobot maximal partikel simulasi extra

moment dengan SWPM

Gambar 5. Dugaan kepadatan partikel pada simulasi

extra moment

Page 45: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

37

3.2 Simulasi Self-similar dengan SWPM

Bagian berikutnya dari studi simulasi numerik diberikan untuk memberikan penyelesaian bagi besaran α – moment berikut

∫ℜ

=Φ3

),(||||)](||[|| dvtvfvtv αα

dengan f(v,t) adalah penyelesaian self-similar menurut Bobylev dan Cercignani (3) dengan distribusi awal berikut:

( )∫∞

+=

0222

1||,||1

4)(s

vMs

dsvfπ

dengan M(.) adalah distribusi Maxwell. Keunikan dari model self-similar adalah bentuk

distribusinya yang divergen, sehingga secara umum konservasi energi tidak dapat dipertahankan (9). Sehingga solusi numerik α –moment tersebut hanya dapat dilakukan pada nilai α tertentu.

Pada contoh ini dipilih α = 0,75 dan metode yang dipergunakan adalah SWPM dengan prosedur reduksi deterministik. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 6. Hasil simulasi tersebut memberikan gambaran bahwa metode SWPM terbukti cukup mampu untuk memberikan hasil numerik bagi pendugaan fungsi distribusi yang bukan maxwellian. Akan tetapi dapat dilihat bahwa kedekatan hasil simulasi numeri ini akan sangat tergantung pada jumlah partikel awal yang dipergunakan dalam simulasi, semakin kecil jumlah partikel maka pendugaan akan semakin jauh dari solusi analitik eksak.

Gambar 6. Simulasi self-similar pada α – moment

dengan metode SWPM.

4. KESIMPULAN

Penyelesaian numerik persamaan Boltzmann yang merupakan persamaan kinetik berdimensi tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan metode partikel. Metode partikel dalam bentuk

simulasi langsung Monte-Carlo (DSMC) adalah metode yang umum diterapkan, akan tetapi ternyata tidak cukup mampu memberikan hasil yang memuaskan pada daerah dengan kepadatan rendah.

Di lain pihak simulasi dengan metode partikel terbobot stokastik (SWPM) terbukti mampu memberikan hasil yang lebih memuaskan. Metode ini dapat memberikan pendugaan yang baik di daerah dengan kepadatan partikel rendah. Lebih lanjut metode ini juga terbukti mampu memberikan dugaan numerik bagi fungsi distribusi awal yang divergen, asalkan banyaknya partikel yang disimulasikan adalah cukup besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. G. A. Bird. Molecular Gas Dynamics. Clarendon Press, Oxford, 1976.

2. A. V. Bobylev. Exact solutions of the Boltzmann equation. Sov. Phys. Dokl., 20(12): 822 – 824, 1975.

3. A. V. Bobylev and C. Cercignani. Self-similar solutions of the Boltzmann equation and their applications. J. Statist. Phys., 106(5-6): 1039 – 1071, 2002.

4. Matheis and W. Wagner. Convergence of the stochastic weighted particle method for the Boltzmann equation. Preprint 739, WIAS, Berlin, 2002.

5. E. H. Nugrahani and S. Rjasanow. On the stochastic weighted particle method. In M. Griebel and M. A. Schweitzer, editors, Meshfree methods for partial differential equations, Volume 26 of Lecture notes in computational science and engineering, pages 319 – 326. Springer, Berlin, 2003.

6. S. Rjasanow and W. Wagner. A Stochastic Weighted Particle Method for the Boltzmann Equation. J. Comput. Phys., 124: 243 – 253, 1996.

7. S. Rjasanow, T. Schreiber and W. Wagner. Reduction of the number of particles in the stochastic weighted particle method for the Boltzmann equation. J. Comput. Phys., 145(1): 382 – 405, 1998.

8. Wagner, W. A convergence proof for Bird’s direct simulation Monte-Carlo method for the Boltzmann equation. J. Stat. Phys., 66(3-4): 1011-1044, 1992.

9. E. H. Nugrahani. Beiträge zur Numerik der Boltzmann Gleichung. Dissertation. University of Saarland, Germany, 2003.

Page 46: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

38

RIWAYAT PENULIS

Endar H. Nugrahani lahir di Magelang pada tanggal 28 Desember 1963. Penulis menamatkan pendidikan sarjana statistika pada 1987 dan magister statistika pada 1993 di Institut Pertanian Bogor, serta pendidikan Doktor pada 2003 di University

of Saarland, Jerman, dalam bidang matematika terapan. Saat ini penulis bekerja sebagai dosen di Departemen Matematika, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Penulis menjadi anggota Himpunan Matematika Indonesia (IndoMS – The Indonesian Mathematical Society) serta HYKE-Network (Hyperbolic and Kinetic Equations – Network of the European Union).

Page 47: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

39

Analisis Aerodinamika Efek Railing dan Ketinggian Dek Pada Jembatan Bentang Panjang

Fariduzzaman dan Dewi Asmara

UPT-LAGG, BPPT, PUSPIPTEK, Serpong Tangerang-15314, INDONESIA

[email protected] Abstract Railing of a long span bridge deck has two main functions: a windshield as well as an aerodynamics appendages. Other aerodynamics aspect that is important to the bridge designer is the deck height above water level. A CFD (Computational Fluid Dynamic) software has been intensively used to analyze those effects. The advantage of using a software, with respect to a wind tunnel testing, is its flexibility and efficiency, where the model can be economically modified. The following paper will describe several analysis results from a case study of a long span bridge to be build in Indonesia. Keywords: Long span bridge, Computational Fluid Dynamic, Aerodynamics

1. PENDAHULUAN

Jembatan bentang panjang adalah pilihan yang paling tepat bagi interkoneksi antar pulau di Indonesia. Arus transportasi dan komunikasi antar penduduk akan terpacu, yang berarti pula tingkat kehidupan ekonomi akan bertambah tinggi pula.

Karena strukturnya yang panjang dan bertumpu kabel, maka secara alamiah jembatan seperti ini akan bersifat fleksibel. Dalam pengaruh angin, terjadi interaksi dinamik antara aspek aerodinamika dan inersia struktur (elastisitas), disebut dengan aeroelastisitas.

Stabilitas struktur terhadap efek angin menjadi sangat penting karenanya.

Analisis aerodinamika dan aeroelastika jembatan bentang panjang dapat dilakukan dengan metoda eksperimental maupun komputasional. Berikut keunggulan dan keterbatasannya masing-masing.

Analisis eksperimental dilakukan di terowongan angin, dengan model fisik berupa replika perkecilan dari sebagian atau keseluruhan struktur jembatan sebenarnya. Metoda ini telah menjadi prasyarat utama dalam menyempurnakan rancangan struktur suatu jembatan bentang panjang. Hampir semua ahli jembatan bentang panjang telah mengakui kehandalannya. Dengan metoda ini, pemodelan dapat dilakukan dari yang paling sederhana 2 dimensional sampai dengan 3 dimensional berikut model lingkungan / terrain

sekitar jembatan. Namun demikian, metoda eksperimental memerlukan dukungan dana yang relatif besar dan waktu yang lama dalam persiapannya. Terutama jika ada perubahan geometri atau konfigurasi dari rancangan struktur semula.

Analisis komputasional merupakan pilihan ekonomis, khususnya jika diperlukan proses perancangan iteratif, yakni perbaikan geometri maupun konfigurasi struktur yang dilakukan secara berulang. Namun demikian, saat ini metoda komputasional masih memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: belum mampu digunakan untuk analisis struktur yang rumit. Begitupula, analisis interaksi inersia struktur dengan aerodinamika masih bersifat parsial, artinya belum dapat dilakukan secara terpadu dalam satu software.

Studi kasus dalam analisis ini adalah menggunakan salah satu rancangan jembatan yang dibangun di Indonesia. Jembatan ini merupakan jembatan jenis cable-stayed yang memiliki total bentangan 818 m dan bentangan tengahnya (antara 2 pylon) adalah 434 m.

Analisis dilakukan dengan bantuan software CFD (Computational Fluid Dynamic), CONCERT. Dimana model jembatan diwujudkan sebagai model irisan penampang atau disebut dengan model 2 dimensional dari potongan penampang dek bagian tengah.

Page 48: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

40

2. EFEK RAILING

Railing pada jembatan umumnya ditujukan untuk perlindungan pemakai jembatan itu sendiri: pelindung dari kemungkinan kendaraan keluar dari jalurnya maupun pelindung dari gangguan angin samping yang kuat.

Secara aerodinamika, railing juga memiliki fungsi sebagai perangkat antivibration, yakni perangkat untuk mengurangi getaran akibat aliran angin (menstabilkan struktur dari kemungkinan terjadinya getaran amplitudo besar).

Ada 2 metoda aerodinamika yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi getaran: - Metoda yang berfungsi me-laminarkan aliran

sekitar penampang struktur semaksimal mungkin, sehingga separasi aliran menjadi minimal. Misalnya dengan memasang fairing, cowling (deflektor), skirts dan pelat.

- Metoda yang membangkitkan vortex atau men-separasi-kan aliran, sehingga aliran vortex dibelakangnya (downstream) menjadi terpecah (irregular) dan lemah. Metoda ini biasanya diterapkan dalam bentuk flaps, double flaps dan spoiler.

Jadi railing dapat berfungsi ganda, membangkitkan vortex atau mengarahkan aliran agar vortex tidak terjadi diatas dek, tapi diluar dek.

Gambar 1. Efek Bentuk Railing

Hal lain yang perlu diperhatikan dari rancangan railing adalah porosity yakni rasio antara bagian yang terbuka dengan luas seluruh railing. Sedangkan struktur railing yang berupa susunan bar atau pelat yang diberi lubang tidaklah terlalu besar pengaruhnya pada stabilitas aerodinamika (1).

Porosity rendah mampu memberikan perlindungan yang baik terhadap efek angin besar, namun memberikan gaya-hambat / drag (CD) yang tinggi, serta membangkitkan angin turbulen di balik railing. Sehingga pengendara akan merasakan ketaknyamanan dari efek angin yang berfluktuasi pada jarak tertentu dari railing.

Analisis CFD untuk efek ini ditujukan untuk melihat distribusi vektor kecepatan angin di sekitar dek. Sehingga mempermudah proses modifikasi rancangan yang biasanya dilakukan secara iteratif. Zona medan aliran yang kurang nyaman untuk dilalui, dapat di atur dengan mudah.

Metoda CFD juga dapat digunakan sebagai pembanding terhadap data hasil eksperimental di terowongan angin.

Uji terowongan angin menunjukkan bahwa porositas 0.4 – 0.5 adalah kompromi terbaik dari fungsi perlindungan railing dengan gaya-hambat yang ditimbulkannya (2).

Untuk mendistribusikan gaya hambat secara proporsional, maka terkadang diperlukan rancangan railing yang porosity-nya dibuat gradual sepanjang bentangan.

3. KETINGGIAN DEK

Analisis perlu dilakukan karena adanya

praduga bahwa batas kestabilan aerodinamika akan dipengaruhi oleh ketinggian dek terhadap permukaan bumi (ground effect).

Hal ini juga di latar belakangi oleh fenomena aerodinamika pada sayap pesawat terbang di dekat landasan. Dengan konfigurasi sayap yang sama tapi ketinggian berbeda, dekat landasan dan jauh dari landasan, gaya angkat yang terjadi akan berbeda pula (3). Gaya angkat sayap dekat landasan akan lebih besar daripada sayap yang jauh dengan landasan.

Hal ini timbul karena distribusi tekanan dibawah dek akan berbeda untuk ketinggian berbeda. Pada struktur yang jauh dari permukaan bumi, aliran angin dibawahnya hampir tidak memiliki gradient tekanan. Sedangkan struktur yang dekat permukaan bumi, aliran udara dibawahnya memiliki gradient tekanan, dimana variasi tekanan ini dapat membangkitkan aliran vortex (pusaran) dan turbulen.

Efek ketinggian dek jembatan terhadap karakteristik aerodinamika dan aeroelastik pada prinsipnya dapat dianalisis dengan CFD. Terutama untuk digunakan sebagai estimasi data awal dan data pembanding terhadap hasil uji terowongan angin.

Page 49: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

41

4. HASIL SIMULASI DAN DISKUSI 4.1 Efek Railing

Kecepatan Angin Bebas 5 m/sec.

Kecepatan Angin Bebas 10 m/sec.

Kecepatan Angin Bebas 20 m/sec.

Gambar 2. Peta Aliran dan Vektor Kecepatan

Railing dipasang tanpa tekukan diujungnya

dan porositas yang digunakan adalah 60%,

disimulasikan pada kecepatan angin 5m/s, 10 m/s dan 20 m/s.

Jelas terlihat bahwa karakteristik aliran angin sekitar dek jembatan memiliki pola aliran yang berbeda-beda pada ketiga kecepatan tersebut. Begitupula, medan aliran sekitar dek, memiliki beberapa zona pusaran angin (vortex): dibawah dek, diatas lajur kendaraan roda 2 dan diatas lajur kendaraan roda 4.

Untuk pusaran angin diatas lajur kendaraan roda 4 kecepatan pusarannya sangat rendah dan umumnya tak berpengaruh pada kendaraan, sehingga tidak terlalu menganggu kenyamanan. Namun untuk pengendara sepeda motor yang lebih sensitif, efek pusaran ini akan terasa.

Dari segi besarnya kecepatan angin, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan kecepatan angin yang melintasi dek adalah kecepatan rendah, maksimum 30% dari kecepatan angin bebas.

Sedangkan pusaran angin di bawah dek, penting untuk dicermati karena dapat menyebabkan perbedaan tekanan yang berfluktuasi antara bagian atas dan bawah. Hal ini biasa terjadi pada angin yang sangat turbulen. Efek ini juga dapat terlihat dari kenaikan displacement dek ketika kecepatan angin tinggi. 4.2 Efek Ketinggian Dek (Ground Effect)

Ada 3 macam ketinggian dari dek yang telah disimulasikan untuk dikaji karakteristik alirannya. Dimana dimensi struktur dek adalah dimensi model terowongan angin, dengan tujuan supaya hasil simulasi ini dapat pula dibandingkan dengan hasil uji terowongan angin, termasuk untuk transformasi ke jembatan sesungguhnya. • Ketinggian pertama adalah 0.050 m atau

setara dengan 12.5 m dari permukaan air. • Ketinggian kedua adalah 0.140 m atau setara

dengan 35.0 m dari permukaan air. • Ketinggian ketiga adalah 0.200 m atau setara

dengan 50.0 m dari permukaan air. Pada simulasi ini, selain besar dan arah

vektor kecepatan, parameter fisik lainnya yang harus dilihat adalah distribusi tekanan serta gaya-gaya aerodinamika. Parameter ini biasa dinyatakan sebagai koeffisien non-dimensional : CL (lift), CD (drag), CM (pitch).

Dari distribusi tekanan di medan aliran dapat dilihat adanya kecenderungan aliran angin yang mudah separasi, yang berarti pula alirannya menjadi lebih mudah turbulen. Makin dekat struktur dek ke permukaan bumi makin besar perbedaan gradient tekanannya di bawah dek.

Page 50: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

42

Ketinggian Dek d=0.050 m

Ketinggian Dek d=0.140 m

Ketinggian Dek d=0.200 m

Gambar 3. Peta Aliran dan Vektor Kecepatan

Ketinggian Dek d=0.050 m

Ketinggian Dek d=0.140 m

Ketinggian Dek d=0.200 m

Gambar 4. Distribusi Tekanan Medan Aliran)

Page 51: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

43

Dari simulasi ini dapat pula diketahui distribusi tekanan (Cp) dipermukaan dek jembatan,

Distribusi Cp Permukaan Dek d=0.05m

-0.4-0.3-0.2-0.1

00.10.20.30.4

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

x/chord

Cp

Distribusi Cp Permukaan Dek d=0.14m

-0.4-0.3-0.2-0.1

00.10.20.30.4

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

x/chord

Cp

Distribusi Cp Permukaan Dek d=0.20m

-0.4-0.3-0.2-0.1

00.10.20.30.4

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

x/chord

Cp

Gambar 5. Distribusi Tekanan Permukaan Dek

Dari segi gaya/momen aerodinamika maka

dapat dilihat perbedaan yang jelas pada gaya angkat aerodinamika.

Tabel 1. Gaya / Momen Aerodinamika

Tinggi Dek CL CD

0.05 m 0.339867 0.117812 0.14 m 0.032766 0.134148

Koeffisien gaya angkat (CL) meningkat tinggi dibanding koeffisien gaya hambat (CD). Semakin dekat ke permukaan bumi, semakin besar gaya angkatnya, namun separasi aliran akan lebih mudah terjadi dibawah dek. Hal ini dapat dilihat dari distribusi tekanan disekitar dek.

5. KESIMPULAN

Pada analisis ini telah dikaji beberapa simulasi aerodinamika jembatan bentang panjang, khususnya efek dari railing dan ketinggian dek. Namun untuk lebih lengkap dimasa datang, simulasi efek railing dan ketinggian dek terhadap batas kestabilan aeroelastik perlu pula dilakukan.

Hal tersebut belum dapat dilakukan karena perlu integrasi simultan antara software simulasi CFD dengan software simulasi sistem dinamik yang biasanya berbasis FEM (Finite Element Method).

Dari simulasi efek railing terbukti bahwa aliran angin bebas (free stream) yang kecepatan tinggi umumnya telah terdefleksi jauh dari permukaan dek, namun disekitar dek muncul beberapa pusaran angin. Maksimum kecepatan pusaran angin diperkirakan 30% dari kecepatan angin bebas.

Untuk mengurangi efek pusaran angin, salah satu metoda yang dianjurkan adalah membuat porositas railing yang tidak uniform tapi gradual. Dengan demikian terjadi pula aliran shear yang melawan pusaran tersebut. Tidak dianjurkan membuat railing dengan porositas mendekati nol, karena akan menambah gaya hambat yang besar pada dek.

Secara khusus, ketinggian dek terhadap permukaan bumi akan mempengaruhi gaya angkat, karena itu diperkirakan akan mempengaruhi pula batas kestabilan aeroelastik. DAFTAR PUSTAKA 1. K.H. Ostenfeld and A. Larsen, “Bridge

engineering and aerodynamics”, Proceeding Aerodynamics of Large Bridge, pp. 3-22, Danish Maritime Institute and A.A. Balkema, Rotterdam, 1992

2. T.A. Wyatt, “Recent British developments: Windshielding of bridges for traffic”, Proceeding Aerodynamics of Large Bridge, pp. 159-170, Danish Maritime Institute and A.A. Balkema, Rotterdam, 1992

3. D. Steinbach and K. Jacob, “Some aerodynamic aspects of wing near ground”, Transaction of Japan Society of Aerospace Science vol. 34 No. 104 p.57-70, 1991

Page 52: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

44

RIWAYAT PENULIS

FARIDUZZAMAN lahir di Cianjur pada 17 Mei 1961. Menamatkan pendidikan S1 di Jurusan Fisika ITB tahun 1986, pendidikan S2 bidang Scientific and Engineering Software Technology di Thames Polytechnic (Greenwich Univ.), UK,

tahun 1990 dan pendidikan S2 bidang Aeroelastisitas di Jurusan Teknik Penerbangan ITB tahun 2001. Saat ini bekerja sebagai peneliti untuk spesialisasi Aerodinamika Non-Aeronautik (Industrial Aerodinamika) di UPT-LAGG BPPT, Serpong.

DEWI ASMARA lahir di Bandung pada 28 Agustus 1974. Menamatkan pendidikan S1 di Jurusan Matematika UNPAD tahun 1998. Saat ini bekerja sebagai staf Mekanika Fluida untuk spesialisasi CFD (Computational Fluid Dynamic) di

UPT-LAGG, BPPT, Serpong.

Page 53: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

45

PERKEMBANGAN DAN APLIKASI TEKNOLOGI SIMULASI DAN KOMPUTASI IKLIM DAN KELAUTAN DI

INDONESIA

Edvin Aldrian UPTHB – BPP Teknologi, Jl. MH Thamrin no 8, Jakarta 10340, [email protected]

Abstract The development of computing technology allows us to perform the simulation of the earth system climate. The most popular climate model is the atmosphere followed by the ocean model. From both types of models, there have been several variances of climate models, which eventually form an integrated earth system model. The application of climate model in Indonesia has been pioneered and done for several purposes. In doing a climate simulation, huge amount of data is required. For that purpose, international data sharing is needed among countries to foster the advancement of the climate simulation and computation. The progress of computing technology especially the personal computer helps developing nations to perform computation with affordable computers at high performance such as the linux cluster. Keywords: simulasi, komputasi, iklim dan kelautan

1. PENDAHULUAN

Dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat tiga sumber acuan informasi yaitu data hasil pengamatan instrumen, hasil kajian teoritis dan data hasil model. Ketiga jenis sumber informasi tersebut membuat trikotomi yang nyata dari peneliti ilmu pengetahuan. Masing-masing grup berpenda-pat bahwa sumber acuan mereka yang paling baik daripada yang lainnya. Sebagai contoh pada pengkajian arus lintas laut Indonesia di selat Makassar, pekerjaan observasi dilakukan oleh Gordon et al. 1999 dan Ffield et al. 1999, teori oleh Godfrey 1996, sedangkan pemodelannya oleh Kamenkoviks et al. 2004. Yang paling bernilai dari ketiga dunia tersebut adalah hasil observasi instrumen pengamatan karena semua analisa ilmiah akan dikembalikan kepada acuan tersebut. Akan tetapi pengamatan dengan instrumentasi apapun memiliki keterbatasan dari resolusi fisis alat serta tutupan spasial dan temporal. Selain itu keusangan alat akibat terlalu lama dipakai dan jarang dikalibrasi juga dapat menjadi faktor kesalahan berikutnya. Hasil pengamatan tersebut biasanya ditumpahkan dalam hubungan teoritis dalam bentuk-bentuk formula. Kelemahan formula tersebut biasanya bekerja pada asumsi dan keterbatasan teoritis akibat penyederhanaan yang dilakukan. Asumsi dan penyederhanaan tersebut tidak dapat dihindarkan tetapi juga menyumbang pada faktor kesalahan teoritis.

Dari berbagai model iklim yang tersedia sekarang ini, model iklim atmosfir adalah yang paling tua dan dipakai sejak manusia memakai komputer untuk komputasi numeris sejak penemu-an oleh Von Neumann di Princeton (Trenberth, 1992). Pekerjaan pioner untuk pemodelan iklim global dilakukan oleh Smagorinsky pada tahun 1965. Sebelumnya beberapa perhitungan kom-putasi cuaca juga dilakukan oleh Edward N Lorentz pada awal dekade 1960 an. Pemodelan iklim atmosfir, berkembang dari perhitungan sederhana perubahan dan prediksi tekanan permukaan, aliran masa udara hingga proses konvektif di awan.

Hal lain yang perlu disadari mengapa model iklim diperlukan adalah bahwa kita tidak dapat melakukan eksperimen dengan alam. Berbagai fenomena alam yang bersifat ekstrim seperti gejala El Niño dan kebakaran hutan dapat disimulasikan dalam sebuah model tanpa merusak alam itu sendiri. Terkadang kita membutuhkan penge-tahuan yang komprehensif apa yang dapat terjadi apabila sebuah skenario gejala ekstrim terjadi. Hal tersebut tidak mungkin kita lakukan di alam terbuka tanpa membawa konsekuensi yang membahayakan, tetapi dapat dilakukan dengan melakukan simulasi dalam sebuah model iklim.

Setelah mendapatkan persamaan teoritis ber-bagai parameter, maka dilakukan penghubungan masing masing parameter dalam suatu model yang lebih komprehensif. Model dapat

Page 54: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

46

dibuat dengan dimensi waktu atau salah satu dimensi ruang. Kelebihan utama model adalah dapat memberikan solusi secara komprehensif dan memberikan visualisasi yang lebih baik untuk hubungan beberapa parameter yang ada. Kekurangan dari model biasanya terletak dari resolusi temporal dan spasial. Kemampuan model mensimulasikan feno-mena iklim dan cuaca akan meningkat pada fenomena berskala spasial dan temporal yang sesuai dengan kemampuan model.

Pada perkembangan saat ini model telah dapat mengakomodir rumusan teoritis untuk bekerja pada dimensi waktu dan ruang secara 3 dimensi. Akibat kemajuan dunia komputasi, maka saat ini hampir tidak ada masalah untuk menjalankan model berbagai parameter secara komprehensif dan massive (dalam jumlah besar). Kemampuan terakhir inilah yang dibutuhkan untuk dunia model iklim yang membutuhkan perhitungan yang massive dan komprehensif. Saat ini hampir semua komputer tercanggih di dunia dipakai untuk perhitungan pemodelan iklim dan cuaca (http://www.top500.org/).

2. SISTIM IKLIM

Pada awalnya perkembangan model iklim dilakukan terpisah-pisah antara beberapa kompo-nen iklim. Semua model iklim mengacu pada dua unsur utama iklim yaitu energi dan siklus air (Gambar 1). Siklus air terjadi di atmosfir, lautan, daratan dan dalam es di permukaan, sehingga model iklim utama terbagi antara model atmosfir, laut, hidrologi permukaan dan varian dari model es seperti sea-ice model dan ice hidrology (Gambar 2). Hingga saat ini komponen utama model iklim selalu mengacu pada model atmosfir. Pada perkembangannya, berbagai komponen model tersebut menyatu menuju satu arah yaitu model iklim kebumian terpadu (integrated earth system model)

Dalam perkembangannya terdapat beberapa varian pemodelan iklim atmosfir diantaranya model iklim global, model iklim regional atau limited area model, model per-awanan dan model lokal skala resolusi tinggi untuk proses di permukaan tanah dan lapis batas atmosfir. Dari jenis dinamika perlapisan model atmosfir dan demikian juga model laut dibedakan dengan model hidrostatik dan model non hidrostatik. Model hidrostatik mengacu pada perubahan minimal antar lapisan sehingga diasumsikan tidak terjadi proses perpin-dahan masa secara vertikal dan aliran masa udara bersifat laminar mengikuti orografi bumi. Konsep hidrostatis ini bersifat idealis dan membantu perhitungan agar tidak terlalu rumit, tetapi kekurangan utama adalah konsep ini menafikan

bentuk orografi bumi yang curam. Dengan konsep non hidrostatis, model dapat bekerja dengan orografi yang curam dan biasanya bagus dipakai untuk model resolusi tinggi yang sangat memperhatikan aspek lokal. Model iklim global dan regional biasanya bersifat hidrostatis, sedangkan model yang sangat lokal bersifat non hidrostatis, contohnya adalah model proses permukaan untuk model iklim bagi pertanian dan perkotaan.

Sebagai dasar utama model iklim laut adalah proses dinamika laut dimana persamaan gerak adalah fokus utamanya. Sama seperti model atmosfir, model laut juga dapat dibagi sebagai model hidrostatik dan non hidrostatik dengan pemakaian yang serupa. Pada model dengan tingkat detail yang tinggi dan skala lokal maka model non hidrostatik lebih dibutuhkan. Sedangkan untuk skala global model hidrostatik lebih disukai. Permasalahan konveksi daerah turbulensi batas seperti di atmosfir juga dikenal di model laut. Persamaan fisis dari lapisan mixing tempat utama turbulensi dan konveksi sangat kompleks sehingga banyak pendekatan yang telah diupayakan. Proses konveksi lebih berhubungan dengan perpindahan masa dan energi secara vertikal, sedangkan proses serupa dalam skala horisontal dikenal dengan proses adveksi. Parameter input utama bagi daerah lapisan atas adalah flux (aliran) air dan energi dari atmosfir serta aliran air dari daratan. Perbedaan utama model laut dan atmosfir adalah skala waktu gerak yang lebih cepat untuk atmosfir. Parameter utama dalam dinamika laut adalah profil salinitas dan suhu. Sehingga proses dinamika laut sering disebut sebagai thermohaline circulation. Sedangkan parameter utama untuk muka laut adalah suhu dan tinggi muka laut.

Seperti atmosfir, laut juga memiliki daerah batas. Perbedaan utamanya adalah batas laut yang terdiri dari batas atas (muka laut), batas daerah domain dan batas dasar laut. Yang terakhir adalah perbedaan utama antara laut dan atmosfir dimana atmosfir sering dianggap tidak memiliki batas atas. Batas bawah laut sangat penting untuk mengetahui arah aliran masa air laut sehingga berperan penting pada proses konveksi dan adveksi yang akhirnya mempengaruhi profil salinitas dan suhu. Batas lapis dasar laut juga penting bagi proses sedimentasi daerah pesisir. Karena daerah batas dasar laut sudah bersifat statis dengan data topologi laut, maka input utama model laut ada di permukaan laut. Untuk model laut regional membutuhkan juga parameter di daerah batas domain. Untuk hal ini biasanya model laut mendapatkan data daerah domain dari data rata-rata klimatologi lautan. Data klimatologi didapat dari data rata-rata iklim 30 tahunan dan data yang sering dipakai saat ini adalah koleksi

Page 55: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

47

Levitus (1998). Untuk atmosfir data daerah batas domain didapat dari data observasi harian terutama data satelit, sedangkan di bawah laut, data serupa tidak ada sehingga hal ini adalah salah satu masalah utama untuk model laut. Model laut global mendapatkan informasi permukaan dari reanalisa atmosfir permukaan atau dari keluaran model atmosfir global. Parameter laut permukaan yang dibutuhkan oleh model laut adalah tekanan permukaan, suhu permukaan yang biasa diwakili oleh suhu 2 m, angin permukaan, stress angin permukaan, tutupan awan, radiasi matahari di permukaan dan curah hujan permukaan.

Perbedaan utama dari dinamika laut dan atmosfir adalah lama adaptasi atau waktu memori diantara keduanya dimana atmosfir memiliki ingatan yang cepat dan laut yang lama. Sifat ini diperlukan untuk memulai suatu model iklim atmosfir dan laut. Sebuah model iklim akan dimulai pada masa initiasi tertentu dan dijalankan menurut kondisi saat tertentu. Untuk atmosfir, peran dari masa lalu terhadap iklim saat ini tidak terlalu besar sehingga diperlukan masa initiasi yang pendek. Sedangkan untuk lautan diperlukan masa initiasi yang panjang. Biasanya untuk keperluan model atmosfir hanya butuh jam-jaman, sedangkan initiasi model laut global membutuhkan hingga 30 tahun. Daya ingat yang cepat dari atmosfir memiliki kerugian dalam hal gangguan yang sangat lokal sekalipun untuk model iklim global. Pengaruh sekecil apapun berpengaruh terhadap cuaca saat tertentu. Fenomena ini dikenal dengan nama butterfly effect. Prinsip serupa tidak terjadi di laut karena resistensi masa laut akibat memori yang lama menahan pengaruh lokal dalam waktu singkat untuk berperan besar.

3. METODA KOMPUTASI

Pemodelan iklim seringkali juga terbentur oleh ketersediaan data pengamatan, sehingga model iklim lebih banyak bekerja dengan data yang terinterpolasi. Saat ini data pengamatan harian dari seluruh dunia dikumpulkan secara elektronis untuk kepentingan pemodelan iklim. Saat ini ada dua pemakai utama dari data tersebut yaitu dari European Centre for Medium Weather Forecast (ECMWF) yaitu konsorsium Eropa untuk masalah cuaca dan iklim. Pemakai kedua adalah dari NCEP/NCAR yaitu dari Amerika Serikat. Selain kedua pemakai utama tersebut Jepang, Australia dan Kanada juga mengadakan pemodelan iklim mereka sendiri. Data-data observasi meteorologi pada umumnya bersifat terbuka dan boleh dipakai oleh siapa saja untuk kepentingan khalayak umum sehingga tersedia di jaringan internet. Data tersebut tersedia setiap 6 jam untuk resolusi 1.1280 keluaran ECMWF dan

2.50 untuk keluaran NCEP/ NCAR. Sebagai contoh sebuah model iklim atmosfir regional yang bekerja pada skala resolusi 55 km membutuhkan sekitar 247 parameter input setiap 6 jam untuk bekerja yang terdiri dari data permukaan dan 20 lapisan. Data dalam jumlah besar tersebut akan diinterpolasikan pada bagian batas model kedalam periode waktu pemodelan seperti misalnya 5 menit atau 300 detik.

Saat ini data tersebut tersedia di internet dan membutuhkan hubungan internet kecepatan tinggi untuk keperluan mengakses data tersebut bagi pemodelan yang kontinyu. Untuk keperluan jangka panjang dibutuhkan kerja sama internasional agar ada ketersediaan data yang memadai secara terus menerus. Pada dasarnya data yang dikumpulkan, sebagian besar didapat dari hasil pengukuran meteorologis negara-negara di dunia ini.

Metoda numerik matematik merupakan engine matematis utama dalam pemodelan 3 dimensi. Parameter fisika secara spasial akan didekati oleh dua pendekatan yaitu metoda element hingga (finite element), finite difference dan metoda spektral. Karena unsur atmosfir bumi yang bersifat global dan kontinyu, metoda spektral yang berbasis pada penerapan fungsi-fungsi matematis spektral sinusoidal lebih dipakai. Pada persepsi spektral, semua fungsi dapat direpresentasikan dalam bentuk spektral frekuensinya sehingga dapat didekati dengan pendekatan fungsi-fungsi sinusoidal. Untuk pendekatan temporal, kedua metoda diatas juga dapat dipakai. Untuk kestabilan model diperlukan bahwa nilai resolusi temporal dibagi resolusi spasial jauh lebih kecil dari satu.

Perhitungan kekekalan energi dan momentum dan hukum kontinuitas masa merupakan basis hukum dinamika alam. Diperlukan perhitungan yang seimbang antara energi yang masuk dan keluar serta kekekalan momentum. Kekekalan momentum menjamin perhitungan energi kinetis sedangkan hukum kontinuitas masa menjamin perhitungan energi potensial. Sebagai sumber utama energi di atmosfir yang pada akhirnya menjalankan angin adalah energi radiasi matahari dan bumi. Sumber utama dinamika laut adalah angin permukaan yang digerakkan oleh perbedaan energi akibat radiasi matahari, sehingga akhirnya seluruh dinamika atmosfir dikendalikan oleh perhitungan energi radiasi matahari dan bumi yang tepat. Biasanya dalam sebuah model iklim atmosfir, perhitungan energi ini memakai hingga 30% dari sumber daya komputer yang ada.

Dalam mengaplikasikan teori-teori fisika dan dinamika kedalam model, perlu dilakukan pende-katan dengan berbagai parameterisasi seperti

Page 56: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

48

proses pembentukan awan yang merupakan media sentral transfer energi dan masa udara serta proses turbulensi dan berbagai gelombang (Gambar 3). Pada model iklim laut juga proses turbulensi atau mixing serta gelombang laut akibat angin adalah faktor penting untuk di parameter-risasi. Pada model laut yang berdiri sendiri, proses fluks uap air dan energi antara atmosfir dan laut juga memegang peranan penting sehingga perlu diparameterisasi dengan benar karena akan mempengaruhi nilai SST dan besarnya mixing di lapisan permukaan.

Data untuk model iklim tergantung pada modus peruntukan modelnya. Ada dua modus pengope-rasian model yaitu modus iklim dan modus forecasting atau peramalan. Modus iklim mengacu pada pengkajian cuaca atau iklim yang sudah berlalu, sedangkan modus ramalan untuk cuaca mendatang. Model iklim regional dapat dipakai untuk kedua modus tersebut, karena fungsi dari model iklim regional adalah sebagai alat kaca pembesar kondisi iklim global. Hasil dari model iklim global biasanya diberikan sebagai input untuk model iklim regional dimana dinamika proses yang terjadi kembali dihitung dalam skala regional. Sedangkan untuk model global dapat juga dipakai untuk modus iklim tetapi untuk modus forecast memiliki keterbatasan. Untuk modus forecast dibutuhkan kedua model iklim laut dan atmosfir yang dijalankan sekaligus dimana terjadi feedback antara keduanya. Masing masing model tersebut tidak dapat jalan sendiri sendiri untuk modus ramalan karena masing masing saling membu-tuhkan untuk data di permukaan laut. Untuk modus ramalan hanya membutuhkan data awal atau inisial dan model akan berjalan dengan sendirinya setelah itu. Untuk data awal biasanya dipakai data kondisi terakhir saat ini. Untuk model non ramalan dan non global, data dipenuhi dengan kebutuhan di daerah batas. Untuk model atmosfir global biasanya membutuhkan data SST, sedangkan untuk model laut global membutuhkan data atmosfir di permukaan laut. Sedangkan untuk model iklim regional baik model laut maupun atmosfir membutuhkan juga data di daerah batas domain di laut atau di atmosfir pada masing masing lapisan. Untuk keperluan pemodelan atmosfir data tersebut biasanya didapat dari hasil reanalisa cuaca terdahulu. Selain data tersebut yang bersifat dinamis, diperlukan juga data statis permukaan seperti data orografi dan tutupan lahan. Data tutupan lahan berisi data jenis vegetasi yang mana darinya akan diambil informasi albedo, leaf area index (LAI), rasio tutupan hutan dan kekasaran permukaan.

Semua model iklim bekerja pada sistim grid tertentu. Terdapat banyak grid sistim dan pemilihannya berdasarkan kebutuhan dan

berbagai kriteria lainnya. Pembagian grid yang paling sederhana dan umum adalah kotak-kotak seperti papan catur. Akan tetapi pemilihan sistim grid ini hanya baik untuk daerah tropis. Untuk daerah kutub, misalnya, pemilihan tetap kotak-kotak papan catur yang direpresentasikan dalam koordinat cartesian bujur dan lintang bumi. Sehingga dalam perhitungan bujur dan lintang terlihat tidak kotak-kotak. Selain itu daerah kutub juga bermasalah karena berseberangan dengan berbagai belahan bumi (barat dan timur), serta terkadang memotong garis penanggalan. Diperlukan perhitungan tambahan untuk mengkoreksi berbagai reinter-pretasi tersebut. Cara grid terbaru memakai sistim curvilinear grid (Gambar 4), dengan cara ini sebuah model dapat memiliki kutub dimana saja diinginkan dan memiliki beberapa kutub sekaligus. Keuntungan dengan sistim ini model dapat memiliki daerah yang lebih detail pada wilayah tertentu tanpa mengabaikan aspek dinamika global (Gambar 4). Aspek perbedaan grid merupakan perhatian utama para pemodelan iklim dimana mereka membutuhkan metoda agar antara model iklim dapat berkomunikasi pada grid yang berbeda.

Resolusi kerja model iklim global hingga lokal bervariasi dan biasanya ditentukan oleh nilai spektralnya. Nilai spektral adalah berapa banyak gelombang spektral dalam satuan radius bumi yang direpresentasikannya. Contohnya model resolusi T42 bekerja dengan nilai spektral 42 yaitu bisa menyelesaikan 42 gelombang melingkari bumi atau dengan resolusi sekitar 3.875 derajat atau 400 km persegi di daerah equator. Pada perhitungan awal dipakai model resolusi T21, tetapi saat ini sudah banyak model iklim global bekerja pada resolusi T106, T256 dan resolusi yang lebih tinggi lagi (Gambar 5). Contoh pada resolusi T106 bekerja pada resolusi 110 km persegi di daerah equator. Pada model regional dan lokal, bisa bekerja pada 0.5, 1/6 derajat atau hingga 1 km persegi. Proyek Earth Simulator di Yokohama Jepang saat ini mengembangkan model iklim atmosfir global dengan resolusi T1279 atau setara dengan 15km, sedangkan versi laut yang dipakai memakai resolusi spasial 11 km yang mana hasilnya dapat mensimulasikan arus lintas Indonesia melalui selat Makassar secara detail.

Saat ini semua model iklim sudah dapat berjalan pada semua platform komputer. Karena membutuhkan komputasi dengan kinerja tinggi, hampir seluruh model iklim bekerja pada komputer berbasis Unix dan dengan bahasa Fortran. Kendala dalam pengolahan data adalah jenis data yang berbeda antara computer mainframe (big-endian) dan computer PC berbasis linux (little-endian). Dengan memakai program konversi, masalah tersebut bukanlah hambatan lagi, karena

Page 57: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

49

hampir seluruh model dibuat dalam bahasa Fortran yang memiliki kemampuan numeris yang lebih baik dari bahasa pemrograman lainnya. Kemudian kinerja dari sebuah model iklim tergantung pada besarnya grid sistem yang dipakai dan kompleks-nya parameter yang dihitung. Ada model iklim yang dibuat dengan metoda perhitungan sederhana untuk kasus khusus dan ada yang sudah terinte-grasi dalam komponen-komponen parameter fisis yang lengkap. Saat ini model iklim sudah memadai untuk dijalankan pada sebuah PC. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi linux cluster maka kemampuan super komputer dapat segera diimbangi dengan kombinasi paralel komputer berbasis linux. Hal ini akan sangat menguntungkan bagi negara berkembang karena biasanya tersangkut pada biaya yang mahal untuk menda-patkan fasilitas komputasi dengan kinerja tinggi.

Biasanya sebuah model iklim dijalankan hanya untuk perhitungan numeris saja, sedangkan untuk menampilkan data dan hasil simulasi dilakukan pre dan post processing untuk mengolah data tersebut lebih lanjut. Data keluaran model diolah dengan berbagai tools atau aplikasi tambahan.

4. APLIKASI MODEL IKLIM

Perkembangan model iklim atmosfir saat ini telah jauh untuk mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dalam model atmosfir dilengkapi dengan modul proses kimia untuk masalah polusi, pemanasan global, ekonomi dan kesehatan. Pemanfaatan model iklim juga telah diperluas dari sekedar untuk melakukan prediksi cuaca dan iklim ke depan dan ke belakang, juga untuk pengkajian skenario perubahan iklim global, peristiwa ledakan nuklir, penyebaran polutan, skenario geografis seperti perubahan lahan akibat aforestasi dan deforestasi.

Pemakaian model iklim yang paling besar adalah untuk melakukan pengkajian iklim dengan melihat pola dan perilaku iklim seperti variabilitas tahunan atau pada jangka waktu yang lebih lama lagi seperti kajian variabilitas iklim lautan Indonesia oleh Aldrian 2003 (Gambar 6) dan variabilitas hujan oleh Aldrian et al (2004a). Kajian iklim perlu dilakukan karena hasil pengamatan lapangan sangat terbatas pada titik-titik pengamatan tertentu dan tidak dapat memberikan gambaran komprehensif antara beberapa parameter sekaligus. Keuntungan spasial dan temporal dari hasil kajian model iklim harus selalu dikaitkan dengan hasil observasi yang terbatas tersebut. Pengkajian dengan model iklim biasanya dilakukan pada iklim yang lampau atau telah terjadi seperti pada Aldrian et al. 2004a (Gambar 7).

Pemakaian jenis berikutnya yang popular adalah peramalan dan prediksi iklim dan cuaca. Pemakaian jenis inilah yang sangat diharapkan oleh masyarakat umum, dimana diharapkan ada keluaran yang sesuai dengan cuaca yang akan datang. Kesulitan dari peramalan datang dari berbagai sebab seperti asimilasi data pengamatan, kesalahan numeris pemodelan akibat berbagai faktor konstanta, kesalahan prediksi akibat faktor internal model yang dipakai atau faktor internal iklim regional. Faktor internal model dapat memberikan kontribusi kesalahan apabila terjadi pemilihan waktu dan jarak resolusi yang kurang memadai sehingga terjadi instabilitas model. Kejadian ekstrem yang tidak terkontrol atau kurang sempurnanya perambatan fisis di atmosfir pada grid yang dipakai juga dapat membuat ketidak-stabilan pemodelan. Faktor internal sistim iklim regional juga berpengaruh terhadap model apabila daerah tersebut dipengaruh oleh gejala regional atau global yang kuat seperti El Nino. Apabila hal itu terjadi maka kemampuan prediksi model dapat menurun hingga kapasitas minimum. Pemakaian model untuk peramalan dan prediksi biasanya dipakai untuk iklim yang sedang dan akan terjadi.

Pemakaian model iklim berikutnya adalah untuk menguji skenario iklim yang dapat terjadi dimasa datang. Seperti diterangkan di atas, model dapat dipakai untuk melakukan eksperimen di alam tanpa merusak alam itu sendiri. Skenario perubahan iklim global dan bagaimana kondisi iklim pada abad mendatang merupakan hal yang paling sering disimulasikan (Gambar 8). Sebagai contoh hasil simulasi scenario perubahan iklim terhadap intensitas curah hujan Indonesia ditampilkan oleh Hulme dan Sheard (1999) pada Gambar 9. Pemakaian model untuk jenis ini sekarang cukup meluas hingga pembahasan faktor sosial ekonomi masyarakat akibat dampak perubahan iklim global tersebut. Pemakaian model untuk skenario iklim biasa dilakukan pada iklim yang telah lama terjadi pada pemakaian iklim paleo atau pada iklim yang masih jauh akan terjadi seperti pada skenario pengaruh gas-gas rumah kaca atau perubahan iklim global.

Pemakaian model iklim untuk keperluan praktis lainnya seperti masalah polusi dan asap kebakaran hutan juga dilakukan seperti pada pengkajian penyebaran asap kebakaran hutan di Indonesia oleh Heil dkk (2004; Gambar 10). Dari hasil kajian dan simulasi skenario iklim, berbagai kebijakan para pengambil keputusan yang berhubungan dengan data cuaca dan iklim dapat lebih terpadu guna lagi. Yang pada akhirnya pemakaian model iklim diharapkan merupakan salah satu upaya mengerti mekanisme dan proses mitigasi bencana iklim dan cuaca.

Page 58: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

50

5. MENUJU PEMODELAN KEBUMIAN TERINTEGRASI

Model iklim kedua yang paling banyak dipakai setelah model iklim atmosfir adalah model iklim laut. Perbedaan utama model laut dan atmosfir adalah skala waktu gerak yang lebih cepat untuk atmosfir. Parameter utama dalam dinamika laut adalah profil suhu dan salinitas. Sehingga proses dinamika laut sering disebut sebagai thermohaline circulation. Sedangkan parameter utama untuk muka laut adalah suhu dan tinggi muka laut. Aplikasi model laut sering dipergunakan untuk kajian aliran masa air laut untuk kepentingan fisika laut dan perikanan. Model laut regional sering dipakai untuk pengkajian daerah pesisir untuk masalah sedimentasi dan polutan. Model iklim laut adalah komponen utama untuk melakukan prediksi iklim bulanan dan tiga bulanan karena sifat lautan yang lama bereaksi dalam dinamikanya. Pemakaian kedepan dari model laut adalah pengembangan untuk masalah biogeokimia laut seperti proses pelarut gas-gas rumah kaca dan model biologi laut untuk perikanan serta hubungan proses biologi dan fisika laut. Sebagai contoh telah diketahui hubungan keberadaan zat besi di muka laut terhadap populasi zooplanton dan pada akhirnya mendinginkan lapisan atmosfir permuka-an yang menghambat proses pemanasan global. Keberadaan proses biologi juga dicurigai sebagai pemicu gejala El Nino dan La Nina.

Beberapa varian lain dari model iklim yang juga dipakai adalah model es laut, model hidrologi permukaan, model proses permukaan tanah, model transport kimia laut dan atmosfir, model biogeokimia dan model iklim sosial ekonomi. Masing masing model juga terdapat dalam skala regional dan global. Kecendrungan model selalu mengarah ke perhitungan global dalam tujuan untuk membuat suatu model sistim iklim dunia. Sehingga pendekatan untuk menggabungkan beberapa model merupakan suatu trend pemakaian model iklim tersendiri. Gambar 11 memberikan ilustrasi proses penggabungan antara model iklim atmosfir regional dengan model iklim laut global untuk wilayah Indonesia (Aldrian et al. 2004b). Penggabungan dua buah model iklim tidak selalu mulus karena banyak faktor terkait. Sebagai contoh antara model iklim laut dan atmosfir dapat terjadi proses redam yang mengalir ke kedua model tersebut. Hal ini karena proses tarik menarik dua gelombang yang berbeda fase dan frekuen-sinya. Proses redam tersebut dapat berarti positif karena pada model iklim yang lepas satu sama lain, biasanya tidak ada kontrol dinamis di daerah lapis batas model sehingga seringkali hasil

keluaran model bersifat terlalu ektrim seperti curah hujan yang terlalu tinggi.

Salah satu varian model iklim yang lagi tren saat ini adalah model iklim bidang biogeokimia di atmosfir dan lautan. Untuk aplikasi di atmosfir diperlukan hubungan dari pemakaian berbagai zat-zat kimia seperti DDT dan bagaimana pengaruh penyebarannya terhadap ekologi lokal, regional dan global. Untuk wilayah laut masalah biogeo-chemistry diperlukan untuk mengetahui siklus karbon yang terjadi dan hubungannya terhadap upaya peredaman dampak pemanasan global dan mekanisme penyebaran zat-zat kimia di muara sungai atau wilayah pesisir seperti kasus Buyat yang baru lalu atau pencemaran red tide di teluk Jakarta bulan Maret 2004.

Semakin tingginya kompleksitas model iklim sebenarnya memberikan bahaya tersendiri pada interpretasi hasil karena kompleksitas berarti semakin banyak faktor turunan kesalahan dari asumsi teori yang dipakai dari masing masing model. Pemakaian model-model yang kompleks lebih kepada penggunaan sebagai modeling an-sich yaitu pemakaian model sebagai alat untuk mengerti proses komprehensif di belakang dari parameter yang diinginkan. Diperlukan proses panjang agar dapat diambil umpan balik dari proses tersebut untuk memperbaiki model yang dipakai. Sehingga hasil model lebih sering dipakai untuk verifikasi data lapangan daripada dipakai untuk prediksi proses-proses kompleks. Pemakaian model untuk prediksi lebih banyak untuk model atmosfir. Pemakaian model lebih banyak untuk verifikasi, dimana sering dipakai sebagai media kontrol untuk eksperimen berbagai skenario ilmiah. Pemakaian model untuk jenis ini jelas berbahaya karena hasil yang didapat sering mengabaikan proses kompleks yang terjadi di alam dan seringkali menyederhanakannya dengan melihat perbedaan antara hasil model kontrol dan model skenario belaka. Apalagi apabila kita melihat aspek turunan asumsi kesalahan teori. Walau demikian model adalah satu satunya alat eksperimen yang paling murah dan aman bagi lingkungan serta mudah dilakukan.

Proyek perpaduan berbagai model iklim adalah upaya besar yang saat ini dilakukan untuk memahami lebih komprehensif berbagai isu iklim dan lingkungan global. Masalah terbesar adalah resolusi model dan sistim parameterisasi proses. Saat ini sebuah komputer tercanggih di dunia telah dipasang di Earth Simulator Project di Yokohama Jepang (http://www.es.jamstec.go.jp/esc/eng/) un-tuk melakukan penelitian tersebut. Diharapkan dapat dilakukan simulasi iklim dunia pada resolusi 1 hingga 3 km dengan model global. Model ini diharapkan dapat memberikan proses konvektif

Page 59: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

51

laut atmosfir yang sesuai dengan realitas di alam, meskipun hanyalah pendekatan.

6. CATATAN AKHIR

Pemakaian model iklim atmosfir dan laut untuk Indonesia relatif masih baru. Keterbatasaan sumber daya manusia dan komputer untuk masalah ini merupakan hambatan tersendiri. Untuk kebutuhan wilayah yang sedemikian luas, Indonesia membutuhkan pengamatan iklim terpadu yang cukup mencakup seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar. Data hujan sendiri yang merupakan model utama verifikasi berbagai model iklim tidak tersusun rapi dan memadai. Kebutuhan komputer mungkin dapat diatasi dengan teknologi murah seperti linux cluster, tetapi untuk penggunaan data membutuhkan kerjasama internasional yang handal untuk kelangsungan model tersebut. Kompleksitas masalah lingkungan dan iklim di Indonesia dewasa ini mendorong kita cepat atau lambat untuk mengadopsi pemakaian model iklim. Saat ini tersedia banyak model iklim di internet yang dapat diakses secara gratis dan dipakai sebagai model iklim komunitas.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., 2003, Simulations of Indonesian Rainfall with a Hierarchy of Climate Models, PhD dissertation, Max Planck Insitute for Meteorology

Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface suhue, Intl. J. Climatol., 23, 1435-1452

Aldrian, E., L. D. Gates, F. H. Widodo, 2003, Variability of Indonesian Rainfall and the Influence of ENSO and Resolution in ECHAM4 simulations and in the Reanalyses, MPI Report 346, 30pp [Available from Max Planck-Institut für Meteorologie, Bundesstr. 55, D-20146, Hamburg, Germany.]

Aldrian, E., L. D. Gates, D. Jacob, R. Podzun, D. Gunawan, 2004a, Long term simulation of the Indonesian rainfall with the MPI Regional Model, Climate Dynamics, 8, 794-814

Aldrian, E., D. Sein, D. Jacob, L. Dümenil-Gates, R. Podzun, 2004b, Modelling Indonesian Rainfall with a Coupled Regional Model, accepted in Climate Dynamics

Ffield, A., K. Vranes, A. L. Gordon, R. D. Susanto, 1999, Temperature variability within Makassar Strait, Geophys. Res. Lett., 27, 237-240

Godfrey, J. S., 1996, The effect of the Indonesian throughflow on circulation and heat exchange with the atmosphere: A review. J. Geophys. Res., 101, 12,217–12,337.

Gordon, A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, 1999, Throughflow within Makassar Strait, Geophys. Res. Lett., 26, 3325-3328

Heil, A., B. Langmann, E. Aldrian, 2004, Indonesian peat and vegetation fire emissions: Factors influencing large-scale smoke-haze dispersion, Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change, in press

Hulme, M. and Sheard, N., 1999, Climate Change Scenarios for Indonesia Climatic Research Unit, Norwich, UK, 6pp. http://www.cru.uea.ac.uk

IPCC panel, 2001, IPCC Report „Climate Change 2001: The Scientific Basis“,

Kamenkovich, V. M., W. H. Burnett, A. L. Gordon, and G. L. Mellor, 2003, The Pacific/Indian Ocean pressure difference and its influence on the Indonesian Sea circulation: Part II- The study with specified seasurface heights., J. Marine. Res., 61, 613–634.

Levitus, S., T. P. Boyer, M. E. Conkright, T. O’Brien, J. Antonov, C. Stephens, L. Stathoplos, D. Johnson, and R. Gelfeld, 1998, Introduction. NOAA Atlas NESDIS 18, Ocean Climate Laboratory, National Oceanographic Data Center, vol 1, chap. World Ocean database 1998., US Government Printing Office, Washington, DC.

Trenberth K. E., 1992, Climate System Modeling, Cambridge Univ Press.

RIWAYAT PENULIS

Born in Jakarta, 2 August 1969, received Bachelor degree in Engineering Physics in McMaster University Canada, 1993, received Master of Science in Earth Science in Radar Meteorology from Nagoya University Japan, 1998, received

Page 60: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

52

a Doctoral degree from Max Planck Institut für Meteorologie, Germany, 2003. Work as a scientist in UPT Hujan Buatan, BPPT since November 1993. Lecturer of Marine Meteorology at University of Indonesia since 2004. Participating in several short courses: STMDP preparation program, 1988-1989; short course on Meteorology in UI, March 1995; training on data analysis of wind profiler radar in Radio Atmospheric Science Center, Kyoto University, Japan, November 1995; basic training Geographic Information System, Geography Dept. UI, June 1996; International Hydrology Programme Training Course with topic Ice and Snow Hydrology, IHAS, Nagoya University and UNESCO, March 1998; Visiting scientist in Max Planck Institut für Meteorologie, Hamburg, learn the Indonesian climate variability and

ECHAM GCM, Jan – March and July – September 1999; Advanced Course: Climate change in the mediterranean region part I: physical Aspects, The Abdus Salam International Center for Theoretical Physics ICTP, Trieste, Italy, March 2001; short course on Meteorology: Predictability, Diagnostics and Seasonal Forecasting, European Center for Medium Range Weather Forecast (ECMWF), Reading, UK, April 2001; PRISM/COACh Summer School on Climate Modelling, Max Planck Institut für Meteorologie-KNMI The Netherlands, Les Diablerets, Switzerland; School on the physics of the Equatorial Atmosphere, ICTP, Trieste, Italy, September 2001; Seminar on Predictability of Weather and Climate, ECMWF, Reading, UK, September 2002.

Gambar 1. Sistim iklim muka bumi

Page 61: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

53

Gambar 2. Perkembangan model iklim pada 2.5 dasa warsa terakhir dan kedepan yang menunjukkan

berbagai komponen model dikembangkan terpisah dan kemudian dicouple (kombinasikan) menjadi sebuah model iklim yang komprehensif dari IPCC panel (2001)

Page 62: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

54

Gambar 3. Hubungan antara berbagai komponen iklim dan komponen model dalam sebuah model iklim,

dalam contoh ini dipakai model iklim global ECHAM keluaran Max Planck Institute for Meteorology Jerman.

Page 63: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

55

Gambar 4. Contoh penerapan resolusi grid T21, T42, T63 dan T106 (dari kiri ke kanan).

Gambar 5. Salah satu penerapan grid sistim curvilinear untuk model iklim laut global dimana memakai

perhitungan detail pada wilayah tertentu. Pada model grid ini kutub utara dipindahkan ke wilayah Cina dan kutub selatan di wilayah Australia agar mendapatkan detail untul benua maritim Indonesia. Kedua kutub, karena dilingkari oleh zona kutub dan menghindari singulariti, harus diletakkan di daratan, sehingga posisi yang paling praktis adalah di kedua wilayah tersebut, dari Aldrian (2004b)

Page 64: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

56

Gambar 6. Sistim arus laut permukaan akibat angin monsoon di Indonesia bagian timur sebagai keluaran

dari model iklim laut dari Aldrian (2003)

Page 65: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

57

Gambar 7. Contoh keluaran model iklim atmosfir regional REMO untuk wilayah Sulawesi (REMO-ERA)

pada resolusi 0.5 derajat dan REMO 1/6 pada resolusi 1/6 derajat dan dibandingkan dengan data reanalisa keluaran Eropa yaitu ERA15 yang merupakan input untuk model tersebut dan data penakar (rain gauge) pada resolusi 0.5 derajat. Hasil pada gambar tersebut menunjukkan bahwa fenomena lokal di Maluku dan Sulawesi Tengah bagian Timur hilang pada keluaran ERA15 tetapi muncul pada keluaran model REMO di kedua resolusi yang berbeda, dari Aldrian dkk (2004a).

Page 66: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

58

Gambar 8. Beberapa prediksi peningkatan tinggi muka air laut hingga tahun 2100 dari hasil keluaran

beberapa model iklim dan scenario dari IPCC panel (2001)

Gambar 9. Trend perubahan intensitas hujan di Indonesia pada beberapa skenario model iklim (Hulme and

Sheard, 1999)

Page 67: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

59

Gambar 10. Salah satu penerapan model iklim dalam mempelajari penyebaran asap kebakaran hutan

tahun 1997 dengan memakai skenario normal (kiri), tanpa lahan gambut (tengah) dan memakai meteorologi tahun 1996 (kanan), dari Heil dkk (2004).

Page 68: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

60

Gambar 11. Salah satu penerapan penggabungan model iklim laut (MPI-OM) dan atmosfir (REMO) dengan

memakai perangkat lunak penggabung (OASIS) dan data atmosfir yang sama (ERA/NCEP). Skema ini telah dipakai untuk membuat model atmosfir laut yang dapat berinteraksi diantara keduanya pada permukaan laut. Penggabungan hanya terjadi diwilayah Indonesia sedangkan diluar wilayah tersebut hanya model iklim laut global yang bekerja, dari Aldrian (2004b).

Page 69: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Semulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

61

APLIKASI NEURAL NETWORKS UNTUK PREDIKSI ALIRAN SUNGAI

(Studi Kasus DAS Cidanau, Indonesia dan DAS Terauchi, Jepang)

Budi I. Setiawan* and Rudiyanto**

Dept. of Agricultural Engineering, Bogor Agricultural University Kampus IPB Darmaga 16680 Indonesia

Email: *)[email protected], **)[email protected]

Abstract Hydrological models are necessary in assessing water resources and valuable tool for water resources management. This paper describes applications of artificial neural networks (ANN) for Cidanau watershed in Indonesia and Terauchi watershed in Japan. Back-propagation was used in the learning rule of ANN. A series of daily rainfall, evapotranspiration and discharge data for 4 years (1996-1999) from Cidanau watershed and data for 4 years (1986-1989) from Terauchi watershed was used. The accuracy is evaluated by statistical performance index, the shape of hydrographs and the flood peaks. The results show that ANN is successful in predicting watershed discharge in Cidanau watershed and Terauchi watershed. These hydrological models have been developed in form of application program under Windows and applicable to use in other watershed. Keywords: Artificial Neural Network, prediction, discharge

1. PENDAHULUHAN

Model DAS sangat penting untuk kajian sumber daya air, pembangunan dan manajemen. Sebagai contoh digunakan untuk menganalisa kualitas dan kuantitas aliran air, operasi sistem reservoir, perlindungan dan pembangunan groundwater dan watersurface, sistem distribusi air, penggunaan air dan aktivitas manajemen sumberdaya air. Alokasi air juga membutuhkan integrasi model DAS dengan model lain seperti lingkungan fisik, populasi biologi dan kegiatan ekonomi. Pada massa datang model akan memerankan peranan penting dalam kehidupan.

Berbagai macam model DAS telah dikembangkan seiring dengan berkembangnya dunia digital (komputer). Baik itu model empiris (black box model), model konseptual (physical process based), lumped model, model distribusi, model single events dan model kontinyu (continoust events). Dan semuanya dibangun dengan persamaan matematika.

Pada tahun 1990an mulailah digunakannya arificial neural networks (ANN) untuk model hidrologi. Hal ini dikarenakan ANN mempunyai kemampuan untuk belajar dari data dan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam pembuatan

model. Selain itu ANN juga mempunyai sifat nonlinier. ANN mampu mengidentifikasi struktur model dan ANN juga efektif dan mampu menghubungkan input output simulasi dan model peramalan tanpa membutuhkan struktur internal DAS (1).

Pada paper ini akan dibahas aplikasi model ANN untuk mengevaluasi rainfall-runoff dan memprediksi aliran sungai pada 2 buah DAS, yaitu DAS Terauchi, Jepang dan DAS Cidanau, Indonesia.

2. BACKPROPOGATION NEURAL NETWORKS

Model pembelajaran ANN yang digunakan

adalah backpropogation dengan struktur multilayer. Terdiri 3 layer yaitu input layer, hidden layer dan output layer. Input layer mempunyai n node. Hidden layer mempunyai h node dan output layer mempunyai m node.

Algorithma pembelajaran ANN Backpropo-gation dijelaskan sebagai berikut (2,3):

2.1. Inisialisasi pembobot

Pembobot awal pada ANN diberi nilai secara acak. Nilai acak ini biasanya berkisar -1 ~ 1 atau 0 ~ 1.

Page 70: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Semulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

62

2.2. Perhitungan nilai aktifasi Perhitungan feedforward dimulai dengan

menjumlahkan hasil perkalian input xi dengan pembobot vji. Dan menghasilkan Hj yang merupakan nilai input ke fungsi aktivasi hidden layer. Kemudian output yj pada hidden layer unit j merupakan hasil fungsi aktivasi f dengan masukan Hj. Hal ini telah diformulasikan dalam persamaan 1 dan 2.

∑=i

ijij xvH (1)

( )jj Hfy = (2) Nilai output pada hidden layer kemudian dikalikan dengan pembobot wkj dan menghasilkan nilai Ik yang merupakan nilai input fungsi aktivasi output layer.

Nilai output zk pada output layer dihitung dengan menggunakan fungsi aktivasi f dengan masukan Ik. Hal ini telah diformulasikan dalam persamaan 3 dan 4.

jj

kjk ywI ∑= (3)

( )kk Ifz = (4) dengan fungsi aktivasi berupa fungsi sigmoid sebagai mana berikut ini:

( ) xexf β−+=11

(5)

dimana β adalah gain atau slope fungsi sigmoid (konstanta). 2.3. Pelatihan (pengkoreksian) nilai pembobot

Pelatihan nilai pembobot pada ANN ini dilakukan dengan mengurangi/menurunkan total error system untuk semua data melalui koreksi (adjusment) pembobot dengan Gradient Descent Method. Koreksi pembobot dapat ditulis sebagai persamaan berikut:

( ) ( )sWEsW p ∂∂−=+∆ /1 η (6) dimana η adalah laju pembelajaran (konstanta yang nilainya 0< η <1).

Secara ringkas pengkoreksi pembobot antara output layer dan hidden layer adalah sebagai berikut:

( ) ( ) jkzkkjkj

yIfttwwE '−=∆=

∂∂

− ηη (7)

dan pengkoreksi pembobot antara hidden layer dan input layer adalah sebagai berikut:

( )∑=∆=∂∂

−k

kjkjikjji

wHfxvvE δηη ' (8)

dimana ( ) ( )kzkk Iftt '−=δ (9)

Untuk mempercepat konvergen, ditambahkan inersia atau momentum, yaitu dengan menambahkan pengkoreksi pembobot sebelumnya ke pengkoreksi pembobot sekarang. Sehingga pengkoreksi pembobot antara output layer dan hidden layer dan antara hidden layer dan input layer berturut-turut ditulis seperti berikut ini:

( ) ( )twwEtw kjkj

kj ∆+∂∂

−=+∆ αη1 (10)

( ) ( )tvvEtv jiji

ji ∆+∂∂

−=+∆ αη1 (11)

dimana α adalah momentum (konstanta 0<α<1). Proses perhitungan pembobot antara output

layer dan hidden layer dilakukan dengan persamaan berikut:

( )1+∆+= twww kjoldkj

newkj (12)

dan pembobot antara hidden layer dan input layer dilakukan dengan persamaan berikut:

( )1+∆+= tvvv jioldji

newji (13)

2.4. Pengulangan

Keseluruhan proses ini dilakukan pada setiap contoh dan setiap iterasi. Proses pemberian contoh atau pasangan input-output, perhitungan nilai aktifasi dan pembelajaran dengan mengkoreksi pembobot dilakukan terus menerus sampai didapatkan nilai pembobot dengan nilai total error system mencapai minimum global. 3. BAHAN DAN METODE

Model ANN digunakan untuk menganalisis hubungan rainfall dan runoff pada 2 buah DAS, yaitu DAS Terauchi di Jepang dan DAS Cidanau di Indonesia. DAS Terauchi berada di Fukuoka Jepang mencakup luasan sekitar 5055 ha. Data harian curah hujan, evapotranspirasi dan debit aliran sungai tercatat dengan baik selama 4 tahun, mulai 1986 sampai 1990 (4). Data tahun 1986-1987 digunakan untuk pembelajaran dan data tahun 1988-1989 untuk verifikasi. Data DAS Cidanau tahun 1996 sampai 2000 (5). Data tahun 1996-1997 untuk pembelajaran dan data tahun 1998-1999 untuk verifikasi.

Struktur ANN yang digunakan adalah multilayer time-delay. Tiga struktur ANN multilayer digunakan untuk ujicoba (jumlah node mengindekasikan untuk masing-masing model dalam masing-masing layer). Berikut adalah ketiga model tersebut:

a) Model 1 (3 – 5 – 1) : 3 node input yaitu rainfall, evapotranspirasi, runoff t-1; 5 node hidden layer dan 1 node output layer yaitu runoff t.

Page 71: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Semulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

63

b) Model 2 (4 – 5 – 1) : 4 node input yaitu rainfall, evapotranspirasi, runoff t-1, runoff t-2; 5 node hidden layer dan 1 node output layer yaitu runoff t.

c) Model 3 (5 – 5 – 1) : 5 node input yaitu rainfall, evapotranspirasi, runoff t-1, runoff t-2, runoff t-3; 5 node hidden layer dan 1 node output layer yaitu runoff t.

Rainfall (t)

Evapotranspiration (t)

Runoff (t)

Runoff (t-n)

Runoff (t-n+1)

Runoff (t-2)

Runoff (t-1)

Input layer

Hidden layer

Output layer

Gambar 1. Arsitektur model ANN untuk prediksi runoff

Laju pembelajaran, konsatanta momentum

dan gain fungsi sigmoid diberi nilai sama yaitu 0.9. Pemberhentian proses pembelajaran didasarkan pada jumlah iterasi. Pada penelitian ini pembelajaran berhenti jika iterasi mencapai 5000. Software ANN yang digunakan adalah Backpro2N yang ditulis dalam bahasa pemrograman computer Borland Delphi 5.

Kinerja model ANN dilihat dari indikator keeratan linier runoff observasi dan perhitungan yang berupa R (Coefficient of Correlation) dan indikator error yang berupa RMSE (Root Square Mean Error). Evaluasi model juga dapat dilihat secara kualitatif deviasi time of peak dan perbandingan kurva yang memberikan keseluruhan gambaran keandalan model.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tabel 1 disajikan hasil kinerja masing-masing model yang berupa korelasi (R) dan Root Means Square Error (RMSE) untuk DAS Terauchi dan DAS Cidanau. Korelasi dan RMSE hubungan runoff (discharge) hitung dengan observasi baik itu hasil training DAS Terauchi maupun DAS Cidanau menunjukan bahwa model 1 memberikan hasil yang terbaik.

Sedangkan untuk verifikasi DAS terauchi, model 3 menujukan hasil yang terbaik baik itu dilihat dari korelasi maupun RMSE. Sedangkan verifikasi DAS Cidanau, model 1 menujukan hasil yang terbaik. Penurunan korelasi antara hasil training dan verifikasi DAS terauchi tidak mengalami perubahan sebesar yang terjadi pada DAS Cidanau. Hal ini diduga data DAS Cidanau terdapat kesalahan data yang lebih besar dari pada Das Terauchi. Atau mungkin juga terjadi perubahan penggunaan lahan pada DAS Cidanau. Sehingga hasil verifikasi DAS Cidanau tidak sebaik saat training. Padahal dalam penyusunan model ini pengunaan lahan dianggap tetap atau tidak terjadi perubahan penggunaan lahan.

DAS Terauchi 1986-1987 hasil training Model 1 disajikan pada Gambar 2 dan hasil verifikasi DAS Terauchi 1988-1989 model 1 pada Gambar 3. Terlihat pada hidrograf DAS Terauchi 1986-1987 untuk puncak maksimum belum bisa terjangkau sedangkan untuk puncak rendah sudah dengan baik tergambarkan oleh model 1. Sedangkan saat verifikasi baik itu puncak maksimum maupun minimum sudah dapat tergambarkan dengan baik oleh model 1. DAS Cidanau 1996-1997 hasil training Model 1 disajikan pada Gambar 4 dan hasil verifikasi DAS Cidanau 1998-1999 model 1 pada Gambar 5. Terlihat pada hidrograf DAS Cidanau 1996-1997 untuk puncak maksimum bisa terjangkau begitu pula untuk puncak rendah sudah dengan baik tergambarkan oleh model 1. Sedangkan saat verifikasi baik itu puncak minimum sudah dapat tergambarkan dengan baik oleh model 1 dan sebaliknya puncak tinggi belum bisa terjangkau.

Tabel 1. Kinerja R dan RMSE model DAS Terauchi DAS Cidanau

Training 1986-1987

Verifikasi 1988-1989

Training 1996-1997

Verifikasi 1998-199

R RMSE R RMSE R RMSE R RMSE Model 1 0.902 3.987 0.881 2.467 0.962 0.959 0.783 2.381 Model 2 0.839 5.015 0.862 2.059 0.952 1.076 0.767 2.522 Model 3 0.897 4.075 0.891 2.032 0.932 1.277 0.701 2.673

Page 72: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Semulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

64

0

25

50

75

100

125

150

0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720

day

Dis

char

ge (m

m/d

)

0

50

100

150

200

250

300

Rai

nfal

l (m

m/d

)

Rainfall Q calculate Q observed

Gambar 2. Hidrograf DAS Terauchi 1986-1987 hasil training model 1

0

25

50

75

100

0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720

day

Dis

char

ge (m

m/d

)

0

50

100

150

200

250

300

Rai

nfal

l (m

m/d

)

Rainfall Q calculated Q observed

Gambar 3. Hidrograf DAS Terauchi 1988-1989 hasil verifikasi model 1

Page 73: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Semulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

65

0

25

50

75

0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720

day

Dis

char

ge (m

m/d

)

0

50

100

150

200

250

Rai

nfal

l (m

m/d

)

Rainfall Q calculated Q observed

Gambar 4. Hidrograf DAS Cidanau 1996-1997 hasil training model 1

0

25

50

75

0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720

day

Dis

char

ge (m

m/d

)

0

50

100

150

200

250

Rai

nfal

l (m

m/d

)

Rainfall Q calculated Q observed

Gambar 5. Hidrograf DAS Cidanau 1998-1999 hasil verifikasi model 1

Page 74: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Semulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

66

5. KESIMPULAN

Ketiga Model ANN yang dibuat telah mampu dengan baik menduga runoff DAS Terauchi dan DAS Cidanau. Dari ketiga model yang dikembangkan model 1 (3 – 5 – 1) memberikan hasil yang terbaik baik itu untuk DAS Terauchi maupun DAS Cidanau. DAFTAR PUSTAKA 1. V. P. Sing, and D. A. Woolhiser, Mathematical

and Modeling of Watershed Hydrology. Journal of Hydrologic Engineering. Vol. 7, no. 4. July 21, pp 270~292, 2002.

2. L. Fu, Neural Networks In Computer Intelligence, McGraw-Hill, Inc, Singapore, 1994.

3. D. W. Patterson, Artificial Neural Networks Theory and Application, Printice Hall, New York, 1996.

4. T. Fukuda, and Y. Nakano, Collections Of Hydrologic Data For Terauchi Watershed. Laboratory Of Irrigation And Water Utilization, Kyushu University, Japan. (Unpublished), 2001.

5. A. Heryansyah, M. Y. J. Purwanto and A. Goto, Runoff Modelling in Cidanau Watershed, Banten Province, Indonesia, Proceedings of the 2nd Seminar Toward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production, JSPS-DGHE Core University Program in Applied Biosciences, The University of Tokyo, Japan, pp 13~18, 2003.

RIWAYAT PENULIS

Prof. Dr. Ir. Budi I. Setiawan, MAgr lahir di Tasikmalaya, 28 Juni 1960. Menamatkan S1 tahun 1983 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam bidang Teknik Pertanian, Menamatkan S2 tahun 1990 dan S3 tahun 1993 di The University of Tokyo,

Jepang dalam bidang Teknik Pertanian. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Teknik Pertanian FATETA IPB. Penulis juga menjadi anggota pada organisasi profesi ilmiah:

a. JSIDRE (Japan Society of Irrigation, Drainage and Reclamation Engineering)

b. ISPWEE (International Society of Paddy and Water Environmental Engineering)

c. ICIS (Indonesian Society on Computer and Informations Sciences)

d. PERTETA (Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia)

e. HATHI (Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia)

Rudiyanto, STP lahir di Jombang, 28 Agustus 1980. Menamatkan S1 tahun 2002 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam bidang Teknik Pertanian. Saat ini penulis menjadi mahasiswa Sekolah Pasca-sarjana pada Program Studi

Ilmu Keteknikan Pertanian, IPB. Penulis juga menjadi anggota pada organisasi profesi ilmiah PERTETA (Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia).

Page 75: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

67

EVALUASI PENGGUNAAN PROGRAM MICROSOFT EXCEL© DALAM MENYUSUN FORMULASI RANSUM

PAKAN TERNAK MENGGUNAKAN METODE PROGRAM LINIER

Hendra Herdian

UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta, Desa Gading Kec. Playen Kab.Gunungkidul Yogyakarta, e-mail : [email protected]

Abstract Linier programming is the method commonly used in optimizing feed formulation. The use of computer is required to perform the calculations. This paper discuss the use of Microsoft Excel program commonly known as spreadsheet program, to solve the feed formulation problem using linier programming. The Results showed that this program able to produce similar result obtained from the references models provided with special linier programming utility software. Keywords : Linier Programming, Feed formulation

1. PENDAHULUAN

Program Linier sudah cukup lama dikenal mampu membantu memecahkan permasalahan formulasi pakan ternak yang cukup kompleks. Secara sederhana penggunaan Program Linier di dalam penyusunan ransum pakan ternak khususnya pakan ternak sapi didefinisikan sebagai memaksimalkan atau meminimalkan sejumlah fungsi terhadap kendala-kendala ((1) Bath, et. al, 1985). Lebih jauh (2)Lovell, T, 1998 mengatakan bahwa untuk memformulasikan pakan menggunakan konsep Least Cost Ratio memerlukan sejumlah data seperti : Biaya bahan pakan yang digunakan dalam ransum, kandungan nutrisi bahan tersebut, tabel kebutuhan nutrisi, ketersediaan nutrient dari bahan pakan, batasan-batasan nutrisi dan non nutrisi.Penggunaan metode Program Linier ini pada implikasinya memerlukan bantuan penggunaan komputer ((3)Cullison, A.E., 1975), karena pemecahan secara manual menggunakan metode simpleks memerlukan waktu yang cukup lama dan rumit ((1)Bath, et.al, 1985).

Bantuan komputer yang dimaksud diantaranya adalah penggunaan perangkat lunak (Program) komputer yang mampu memecahkan perhitungan Program Linier khususnya untuk formulasi ransum pakan ternak. Program yang dimaksud saat ini sudah cukup banyak dibuat. Kendala yang ada adalah bahwa program khusus untuk Program Linier ini selain sulit diperoleh juga relatif lebih sulit dalam menggunakannya terutama dalam aturan-aturan penulisan model Program

Linier, sehingga diperlukan usaha yang lebih untuk mempelajarinya.

Microsoft Excel yang merupakan produk dari Microsoft Corp, selama ini dikenal sebagai program lembar kerja (Spreadsheet) yang sudah cukup banyak penggunanya, melalui program tambahan yang terintegrasi (add in) yang dimilikinya ternyata program ini memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan perhitungan Program Linier. Microsoft Excel memiliki salah satu fasilitas tambahan (add-in) yang dapat menghitung persamaan simultan yang melibatkan sejumlah variabel untuk memaksimalkan atau meminimalkan hasil melalui kombinasi variabel tersebut, fasilitas tersebut dikenal sebagai fasilitas Solver ((4)Arifin, J., 2000,(5)Pramono, D., 2000). Adanya kemampuan ini memungkinkan Microsoft Excel melakukan perhitungan Program Linier untuk penyusunan ransum pakan ternak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan program Microsoft Excel untuk memformulasikan pakan ternak menggunakan metode Program Linier.

Evaluasi dilakukan dengan mencoba penggunaan program Microsoft Excel dalam memecahkan permasalahan formulasi pakan ternak menggunakan Program Linier konsep Biaya Produksi Terendah (Least Cost Ratio) dan Konsep Maksimum Keuntungan (Maximum Profit).

Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh pengembangan wawasan tentang aplikasi program komputer untuk penyusunan/formulasi ransum ternak menggunakan Program Linier.

Page 76: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

68

2. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini diambil dua referensi

model program linier penyusunan ransum pakan ternak, yang dicoba dipecahkan menggunakan program Microsoft Excel. Kedua model tersebut masing-masing diadaptasi dari model Program Linier untuk formulasi pakan ternak unggas melalui konsep least cost ratio (non fuzy) hasil penelitian (6)Adrizal dan Marimin, 2003 yang menggunakan QSB+ sebagai software pembantunya dan formulasi pakan ternak sapi perah melalui konsep maximum profit dari (7)Church, DC, 1990 (software pembantu tidak disebutkan). Hasil perhitungan menggunakan Microsoft Excel (dalam hal ini penulis menggunakan program Microsoft Excel versi 2003) kemudian dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kedua model referensi di atas.. 2.1. Model Formulasi Pakan Ternak Unggas

Konsep Least Cost Ratio (Adrizal dan Marimin, 2003)

Model ini menunjukkan per-hitungan

Program Linier dalam menghitung biaya produksi yang terkecil. Perhitungan dilakukan untuk memperoleh kombinasi variabel bahan pakan terhadap fungsi minimisasi harga total ransum dengan pemenuhan terhadap faktor-faktor pembatas (kendala). Pada Lampiran Tabel 1 diterangkan kandungan gizi, harga bahan pakan serta kendala-kendala yang menyertainya, setelah itu dibuat pemodelan untuk fungsi meminimumkan biaya untuk memproduksi pakan ini. PEMODELAN LEAST COST RATIO Minimumkan biaya ransum : 1550 jagung +1000 dedak padi + 1250 Dedak gandum + 1000 Bungkil kelapa + 3500 Bungkil kedelai +5500 Tp ikan + 3500 Tp. Daging tulang + 4500 minyak sawit + 6000 dicalsium phosphat + 15000 topmix Dengan kendala :

1. 0.086 jagung + 0.130 dedak padi + 0.158 Dedak gandum + 0.210 Bungkil kelapa + 0.440 Bungkil kedelai + 0.600 Tp ikan + 0.46 Tp. Daging tulang ≥ 22

2. 0.086 jagung + 0.130 dedak padi + 0.158 Dedak gandum + 0.210 Bungkil kelapa + 0.440 Bungkil kedelai + 0.600 Tp ikan + 0.46 Tp. Daging tulang ≤ 23

3. 0.038 jagung + 0.017 dedak padi + 0.048 Dedak gandum + 0.018 Bungkil kelapa + 0.005 Bungkil kedelai + 0.020 Tp ikan +

0.100 Tp. Daging tulang + 0.99 minyak sawit ≥ 2.5

4. 0.038 jagung + 0.017 dedak padi + 0.048 Dedak gandum + 0.018 Bungkil kelapa + 0.005 Bungkil kedelai + 0.020 Tp ikan + 0.100 Tp. Daging tulang + 0.99 minyak sawit ≤ 7.0

5. 0.25 jagung + 0.120 dedak padi + 0.108 Dedak gandum + 0.150 Bungkil kelapa + 0.070 Bungkil kedelai + 0.010 Tp ikan + 0.020 Tp. Daging tulang ≤ 5

6. 0.0001 jagung + 0.0006 dedak padi + 0.0010 Dedak gandum + 0.0020 Bungkil kelapa + 0.0025 Bungkil kedelai + 0.0650 Tp ikan + 0.1070 Tp. Daging tulang + 0.2600 dicalsium phosphat ≥ 0.90

7. 0.0001 jagung + 0.0006 dedak padi + 0.0010 Dedak gandum + 0.0020 Bungkil kelapa + 0.0025 Bungkil kedelai + 0.0650 Tp ikan + 0.1070 Tp. Daging tulang + 0.2600 dicalsium phosphat ≤ 1.20

8. 0.0013 jagung + 0.0090 dedak padi + 0.0065 Dedak gandum + 0.0020 Bungkil kelapa + 0.0025 Bungkil kedelai + 0.0350 Tp ikan + 0.0550 Tp. Daging tulang + 0.1300 dicalsium phosphat ≥ 0.48

9. 0.0020 jagung + 0.0050 dedak padi + 0.0060 Dedak gandum + 0.0064 Bungkil kelapa + 0.0290 Bungkil kedelai + 0.0530 Tp ikan + 0.0310 Tp. Daging tulang ≥ 1.25

10. 0.0020 jagung + 0.0050 dedak padi + 0.0060 Dedak gandum + 0.0064 Bungkil kelapa + 0.0290 Bungkil kedelai + 0.0530 Tp ikan + 0.0310 Tp. Daging tulang ≥ 0.42

11. 0.0010 jagung + 0.0020 dedak padi + 0.0030 Dedak gandum + 0.0020 Bungkil kelapa + 0.006 Bungkil kedelai + 0.0060 Tp ikan + 0.0027 Tp. Daging tulang ≥ 0.20

12. 33.29 jagung + 19.00 dedak padi + 15.80 Dedak gandum + 15.40 Bungkil kelapa + 24.91 Bungkil kedelai + 27.20 Tp ikan + 17.60 Tp. Daging tulang + 72.00 minyak sawit ≥ 3000

13. 33.29 jagung + 19.00 dedak padi + 15.80 Dedak gandum + 15.40 Bungkil kelapa + 24.91 Bungkil kedelai + 27.20 Tp ikan + 17.60 Tp. Daging tulang + 72.00 minyak sawit ≤ 3050

14. Jagung ≥ 20 15. Jagung ≤ 60 16. Dedak Padi ≤ 15 17. Dedak Padi ≤ 8 18. Bungkil kedelai ≥ 10 19. Bungkil kedelai ≤ 10 20. Tp. Ikan ≤ 8 21. Tp. Daging Tulang ≤ 7.5 22. Minyak sawit ≤ 2 23. Top mix ≤ 0.5

Page 77: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

69

24. Jagung + dedak padi + Dedak gandum + Bungkil kelapa + Bungkil kedelai + Tp ikan + Tp. Daging tulang + minyak sawit + dicalcium phosphat = 100

2.2. Model Formulasi Pakan Ternak Sapi Perah

Konsep Maximum Profit (Church, D.C., 1990)

Pada model ini perhitungan formulasi

dilakukan dengan mengkaitkan kemampuan produksi ternak dengan kandungan nutrisi ransum yang dikonsumsi, sehingga pada model ini selain data tentang kandungan nutrisi masing-masing bahan pakan, juga diperlukan data produksi ternak itu sendiri (dalam contoh ini adalah data produksi susu sebagai fungsi dari energi laktasi netto), seperti terlihat pada Lampiran Tabel 2, dan Tabel 3.. Produksi ternak dinilai sebagai income, dan harga bahan pakan sebagai pengeluaran, dan fungsi objektifnya adalah memaksimum-kan keuntungan. PEMODELAN MAKSIMUM PROFIT Maksimumkan Keuntungan : 0.25 SUSU – 0.1056 X1 – 0.0865 X2 – 0.292 X3 – 0.072 X4 – 0.2348 X5 – 0.1419 X6 – 0.1348 X7 – 0.1254 X8 – 0.066 X9 Dengan Kendala :

1. X1 + X2 + X3 + X4 + X5 + X6 + X7 + X8 + X9 < 22.2 (asupan bahan kering)

2. 1.89 X1 + 2.42 X2 + 2.07 X5 + 2.66 X6 + 1.21 X7 + 1.70 X8 + X7 – 0.33 P1- 0.51 P2 - 0.77 P3 - 1.1 P4 – 1.21 P5 – 1.34 P6 - 1.7 P7 - 2.38 P8 – 3.22 P9 > 12.36 (energi)

3. 0.107 X1 + 0.1 X2 + 0 X3 + 0 X4 + 0.515 X5 + 0.249 X6 + 0.16 X7 + 0.08 X8 + 0 X9 – 0.074 SUSU > 0.881 (Protein)

4. 0.0005 X1 + 0.0002 X2 + 0.237 X3 + 0.3607 X4 + 0.0036 X5 + 0.0015 X6 + 0.0135 X7 + 0.0027 X8 + 0 X9 – 0.0026 SUSU > 0.0264 (Ca)

5. 0.0036 X1 + 0.0031 X2 + 0.1884 X3 + 0.002 X4 + 0.0075 X5 + 0.0073 X6 + 0.0022 X7 + 0.002 X8 + 0 X9 – 0.0019 SUSU > 0.024 (P)

6. SUSU – P1 – P2 – P3 – P4 – P5 – P6 – P7 – P8 – P9 = 0

7. P1 < 9.00 (selang produksi 1) 8. P2 < 9.00 (selang produksi 2)

9. P3 < 4.50 (selang produksi 3) 10. P4 < 4.50 (selang produksi 4) 11. P5 < 4.50 (selang produksi 5) 12. P6 < 2.25 (selang produksi 6) 13. P7 < 2.25 (selang produksi 7) 14. P8 < 2.25 (selang produksi 8) 15. P9 < 10.00 (selang produksi 9) 16. X9 > 0.05 (batas bawah garam) 17. X9 < 0.10 (batas atas garam)

2.3. PEMODELAN MENURUT MICROSOFT EXCEL

Di dalam program Microsoft Excel

permodelan linier programing untuk model di atas dilakukan dengan cara : a. Mengasumsikan semua fungsi bersifat linier b. Mengasumsikan semua aktifitas bernilai positif c. Fungsi objektif memaksimumkan atau

meminimumkan subjek sebagai Target Cell d. Kumpulan Variabel sebagai Changing Cell e. Kumpulan fungsi Kendala sebagai Subject to

the Constraints 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasi dari penelitian ini disajikan pada Tabel 5, dan Tabel 6. Pada Tabel 5 terlihat bahwa perhitungan yang dilakukan oleh Microsoft Excel secara keseluruhan sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adrizal, dan Marimin, 2003 hal ini menunjukkan bahwa dalam model linier konsep least cost ratio ini program Microsoft Excel mampu melakukannya.

Dari tabel 6 terlihat bahwa terdapat perbedaan pada perhitungan kandungan biji kapas dalam konsentrat dan perbandingan Hijauan dan konsentrat, hal ini terjadi karena Microsoft Excel tidak mempunyai fasilitas yang otomatis untuk menghitung permasalahan ini, tetapi secara keseluruhan hasil perhitungan yang substansi tidak terdapat perbedaan antara model perhitugan dari Church, D.C. 1990 dengan perhitungan yang dilakukan oleh program Microsoft Excel, karena program ini sudah mampu mengatasi fungsi-fungsi kendala yang dikehendaki. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Program Microsoft Excel melalui program tambahan terintegrasinya yaitu solver secara umum dapat dipergunakan sebagai alat bantu untuk memecahkan persoalan penyusunan ransum pakan menggunakan metode linier programing

Page 78: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

70

4.2. Saran Perlu penelitian lebih lanjut untuk meneliti

kemampuan lainnya dari program ini, khususnya dalam proses penyusunan ransum pakan ternak.. Terima Kasih

Saya ucapkan terima kasih kepada : UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta atas bantuan penyediaan fasilitas hardware dan software komputernya. DAFTAR PUSTAKA 1. Bath, D.L. et.al, Dairy Cattle : Principles,

Practices, Prolems, Profits 3Rd Ed, Lea & Febiger, , 1981, Philadelphia, p. 205-217.

2. Lovell, T., Nutrition and Feeding of Fish, Kluwer

Academic Publishers, 1998, Massachusetts, p. 142-144.

3. Cullison, A.E., Feeds And Feeding Animal

Nutrition, Prentice Hall, 1975,New Delhi, p.330-333.

4. Johar Arifin, Manajemen Proyek Terapan, PT

Elex Media Komputindo, 2000, Jakarta, hal. 126-137.

5. Djoko Pramono, Belajar Sendiri Microsoft Excel 2000, PT. Elex Media Komputindo, 2000, Jakarta, hal. 359-366.

6. Adrijal, Marimin, Pendekatan Fuzzy untuk

Optimasi Formulasi Ransum Ternak Unggas, Makalah Seminar Nasional Perteta, Kelompok Sistem, Makalah ke-1, 2003,Subang, hal. 5-8.

7. Church, D.C., Livestock Feeds and Feeding. 3rd

Ed, Prentice-Hall International, 1990, USA, p.233-235.

RIWAYAT PENULIS

Hendra Herdian, SPt. lahir di Kota Bandung pada tanggal 21 Desember, 1968, Menamatkan pendidikan strata satu (S1) di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti di

bidang pakan ternak UPT BPPTK LIPI di Gunungkidul Yogyakarta.

Page 79: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

71

LAMPIRAN

Tabel 1. Kandungan Gizi dan Harga Bahan Pakan

Kandungan Gizi dan Harga Bahan Pakan KENDALA

Bahan Protein

Lemak SK Ca P Lisin Met Tryp ME

Harga (Rp/Kg)

Min Max Jagung 8.

6 3.8 2.5 0.01 0.13 0.2 0.2 0.1332

9 1550 20 60Dedak Padi

13 1.7 12 0.0 0.9 0.5 0.2 0.2190

0 1000 - 15Dedak Gandum

15.8 4.8

10.8 0.1 0.65 0.6 0.1 0.3

1580 1250 - 8

Bkl Kelapa 21 1.8 15 0.2 0.2 0.64 0.29 0.2

1540 1000 - -

Bkl Kedelai 44 0.5 7 0.25 0.25 2.9 0.6 0.6

2491 3500 10 30

Tepung Ikan 60 2 1 6.5 3.5 5.3 1.8 0.6

2720 5500 - 8

Tp Daging Tulang 46 10 2 10.7 5.5 3.1 0.58 0.27

1760 3500 - 7.5

Minyak Sawit 99

7200 4500 - 2

Dicalcium Phosphat 26 13 6000 - -Topmix 15000 0.5 0.5 KENDALA Minimum

22 2.5 - 0.9 0.42 1.25 0.42 0.20300

0 Maksimum

23 7 5 1.2 - - - -305

0

Tabel 2. Representasi Linier dari Produksi Susu terhadap Energi Netto untuk Laktasi (NEl)

Pembagian

Selang produksi

Selang Produksi Susu, kg

Produksi Susu, kg

NE Laktasi. Kg/Milk,

Mcal

Harga susu/ Kg

($)

P1 0.00 – 9.00 9.00 0.33 P2 9.00 – 18.00 9.00 0.51 P3 18.00 – 22.50 4.50 0.77 P4 22.50 – 27.00 4.50 1.10 P5 27.00 – 31 50 4.50 1.21 P6 31.50 – 33.75 2.25 1.34 P7 33.75 – 36.00 2.25 1.70 P8 36.00 – 38.25 2.25 2.38 P9 38.25 – 48.25 10.00 3.22

0.25

Page 80: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

72

Tabel 3. Kendala Yang menyertai Model

Kendala Asupan Bahan Kering (kg)/hari

Energi M cal

Protein Kg/hari

Kalsium Kg/hari

Phospor Kg/day

Garam Kg/day

Minimum - 12.36 0.881 0.0264 0.0204 0.05 Maksimum 22.2 - - - - 0.1

Tabel 4. Komposisi Bahan Pakan dan Variabel

Bahan Kering As fed

Variabel

Bahan Pakan

BK, %

$/ton

$/kg NE l Mcal/kg

MEm,

Mcal/kg

NEg, Mcal/

kg

PK %

Ca %

P %

X1 Barley 89.0 94 0.1056 1.89 2.12 1.45 10.7 0.05 0.36 X2 Jagung 89.0 77 0.0865 2.42 2.24 1.55 10 0.02 0.35 X3 Dicalcium

Phosphat 100.0 29

2 0.2920 - - - - 23.70 18.84

X4 Tepung Kapur

100.0 72 0.0720 - - - - 36.07 0.02

X5 Bungkil Kedele

89.0 209

0.2348 2.07 2.09 1.43 51.5 0.36 0.75

X6 Biji Kapas 93.0 132

0.1419 2.66 2.41 1.69 24.9 0.15 0.73

X7 Hay Alfalfa 89.0 120

0.1348 1.21 1.24 0.68 16.0 1.35 0.22

X8 Silase Jagung

27.9 35 0.1254 1.70 1.56 0.99 8.0 0.27 0.20

X9 Garam 100 66 0.0660 - - - - - - SUSU Jumlah total produksi susu

Kebutuhan produksi

Page 81: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

73

Tabel 5. Tabel Hasil Formulasi Ransum Ayam Broiler Periode Starter Menggunakan Konsep Least Cost Ratio

Bahan Pakan Hasil Menurut Adrizal, dan

Marimin,2003 Hasil Perhitungan

Microsoft Excel Jagung 60.00 % 60 % Dedak Padi 0.00 % 0 % Dedak Gandum 0.00 % 0 % Bkl Kelapa 4.80 % 4.804449 % Bkl Kedelai 22.57 % 22.56586 % Tepung Ikan 7.31 % 7.307705 % Tp daging tulang 3.30 % 3.298837 % Mnyak Sawit 1.52 % 1.523151 % Dicalcium Phosphat 0.00 % 0 % Top Mix 0.50 % 0.5 % Jumlah 100.00 100 Harga Rp 2429/kg Rp.2428.774/kg

Kandungan Gizi Protein (%) 22 22 Lemak Kasar (%) 4.46 4.463266 Serat Kasa (%) 3.94 3.939331 Kalsium (%) 0.90 0.9 Phospor yang tersedia (%) 0.58 0.581229 Lysin (%) 1.29 1.294731 Methionin (%) 0.42 0.42 Tryptopan (%) 0.26 0.257757 ME (Kcal/kg) 3000 3000

Tabel 6. Tabel Hasil Formulasi Ransum Sapi Perah Menggunakan Konsep Maksimum Profit

Bahan Kering

Variabel Bahan Pakan Menurut

Church,D.C. 1990 Perhitungan

Microsoft Excel X1 Barley, kg 0.00 0X2 Jagung, kg 10.085 10.08463X3 Dicalcium Phosphat, kg 0.000 0X4 Tepung Kapur, kg 0.316 0.316129X5 Bungkil Kedelai, kg 0.000 0X6 Biji Kapas, kg 11.749 11.74924X7 Hay Alfalfa, kg 0.000 0X8 Silase Jagung, kg 0.000 0X9 Garam, kg 0.050 0.05 Keuntungan, $/ekor/hari 7.748 7.7487 Produksi Susu Optimum, kg/hari 41.257 41.25708 Jumlah Pakan, kg/ekor/hari 22.200 22.2 Energi, NEl, Mcal 55.658 55.65779 PK, Kg 3.934 3.934024 Ca, kg 0.134 0.133668 P, kg 0.121 0.121698 Biji kapas dalam konsentrat 52.925 0 Hijauan : Konsentrat 0 : 100 0

Page 82: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

74

Page 83: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

75

APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK / ANN) SEBAGAI ALTERNATIF

SISTEM PERINGATAN DINI BAGI FENOMENA HARMFUL ALGAL BLOOMS (HABs) DI TELUK

JAKARTA

Rahmania A. Darmawan dan Hary Budiarto P3 Teknologi Lingkungan BPPT

Gedung II BPPT Lt.21, Jl.M.H.Thamrin 8,Jakarta 10340 Telp.: 62-21-3169815

Fax.: 62-21-3169760/3926632 Email: [email protected]

Abstract Harmful Algal Blooms (HABs), a phenomenon of very high phytoplankton abundance in marine waters, is already known could yields several negative impacts, not only for human but also for the ecosystem surround. In 1970, this phenomenon was only reported from temperate waters, but during 90’s, several reports came also from sub tropic and tropical waters including Indonesia. The death mass of fish in Jakarta Bay in the early May 2004, was reported by BPLHD DKI as a result of Harmful Algal Blooms from some species of Diatom and Dinoflagellate. Regarding those negative impacts of Harmful Algal Blooms, it is necessary to develop an early warning system for this phenomenon. Speed and precision are needed in an early warning system , therefore, ANN will be chosen for the computation process. ANN has 3 (three) layers in running the computation process. Input layers will contain some environmental parameters that trigger the HABs and at the output layers will be the species quantities (in cells/ml) that cause the HABs. In the hidden layers, which are consist of some node layers, will be filled in with a weight factor. Extended back propagation will be used for the training process and weight factor measurement. Regarding the minimal time series data of phytoplankton and environmental parameters from Jakarta Bay, laboratory scale will be used to identify the range value of key parameters for target species to bloom. Considering their blooming frequency at Jakarta Bay, Skeletonema costatum and Chaetoceros curvisetus will be chosen as target species. Keywords: Harmful Algal Blooms, Artificial Neural Network, Jakarta Bay

1. PENDAHULUAN Fitoplankton, organisma penyebab Harmful

Algal Blooms (HABs), adalah organisma satu sel mikroskopik yang hidup di perairan tawar maupun laut. Kebanyakan fitoplankton adalah tidak berbahaya selama pertumbuhannya normal dan tidak mengganggu ekosistem di sekitarnya karena pada dasarnya mereka adalah produsen energi (produsen primer) pada suatu rantai makanan dalam ekosistem. Algal Blooms adalah fenomena

melimpahnya jumlah fitoplankton di suatu perairan di atas kondisi normal pertumbuhan fitoplankton di perairan tersebut. Sedangkan Harmful Algal Blooms (HABs) adalah fenomena Algal Blooms yang memiliki dampak negatif, baik terhadap manusia maupun ekosistem di sekitarnya.

Dalam jangka waktu sekitar 20 tahun, kejadian HABs di dunia telah mengalami peningkatan, tidak hanya dalam frekuensi kejadian tetapi juga secara geografis (1).

Page 84: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

76

Sumber: Hallegraeff, 1993)

Gambar 1. Distribusi Global dari PSP pada tahun 1970 dan 1990 (Hallegraeff, 1993). Dapat dilihat pada Gambar 1 diatas, kejadian HABs yang pada tahun 1970-an hanya terjadi di perairan temperate, telah dilaporkan pada tahun 1990-an terjadi di perairan tropis, antara lain Indonesia.

Dalam uraiannya, Hallegraeff (1993) menyebutkan 3 tipe HABs: 1. Spesies yang tidak menyebabkan perubahan

warna air tetapi dapat menyebabkan kematian ikan dan invertebrata karena deplesi oksigen (contoh: Dinoflagelata : Gonyaulax sp. dan Noctiluca sp.)

2. Spesies yang tidak toksik terhadap manusia tapi toksik terhadap ikan dan invertebrata, karena antara lain dapat mematahkan insang (contoh : Chaetoceros sp.)3. Spesies yang memproduksi toksin, dapat memasuki rantai makanan hingga ke tubuh manusia dan menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pencernaan dan sistem saraf manusia: a. Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) :

Alexandrium sp. b. Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP) :

Dinophysis sp. c. Amnesic Shellfish Poisoning (ASP) :

Nitzschia sp. c. Ciguatera Fishfood Poisoning (CFP) :

Gambierdiscus sp. d. Neurotoxic Shellfish Poisoning (NSP) :

Gymnodinium sp. Selain dampaknya terhadap biota dan manusia seperti telah disebutkan di atas, HABs juga memiliki dampak negatif terhadap pariwisata (wisatawan tidak akan datang ke laut yang terkena HABs) maupun perekonomian secara umum.

Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa HABs dapat diakibatkan oleh faktor alam (contoh: upwelling) maupun akibat aktivitas manusia (buangan domestik yang mengakibatkan tingginya konsentrasi nutrien di suatu badan air). Namun, secara umum, pemicu kejadian HABs adalah kombinasi atau gabungan dari perubahan

beberapa parameter di suatu badan air. Pada perairan temperata, pemicu utama dari alam adalah cahaya matahari dan temperatur, sedangkan pada perairan tropis, karena kondisi cahaya dan temperatur hampir merata sepanjang tahun maka faktor campur tangan manusia lebih berperan, contohnya adalah eutrofikasi (pengayaan nutrien di suatu badan air). Penyebab utama eutrofikasi adalah nutrien (Nitrat, Fosfat, Silikat, dan lain-lain) yang dapat berasal dari antara lain, limbah domestik (rumah tangga). APLIKASI ANN UNTUK MENDETEKSI HABs

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meminimisasi terjadinya fenomena HABs, baik untuk perairan tawar maupun laut. Sebagian besar upaya dilakukan melalui program pemantauan, baik dengan pengukuran langsung (sampel dari perairan dianalisis dengan mikroskop) maupun pengukuran tidak langsung (teknologi sensor dan penginderaan jauh). Namun, program pemantauan masih menemui berbagai kendala dalam meramalkan terjadinya HABs karena masih membutuhkan waktu lebih lanjut untuk pengolahan data, selain sangat kompleksnya suatu sistem akuatik sehingga kejadian HABs tidak dapat diprediksi dari satu parameter saja maupun hanya dengan persamaan linear. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model dinamik nonlinear-lah yang dapat menggambarkan pola dari suatu ekosistem akuatik (2).

Seperti yang telah diujicobakan di Australia, ANN telah berhasil dijadikan suatu sistem peringatan dini bagi fenomena HABs di 4 (empat) perairan tawar meliputi danau dan sungai yang tersebar di Australia, Jepang dan Finlandia. Pada bagian input data ANN di Danau Biwa, Jepang, parameter yang dimasukkan meliputi beberapa jenis nutrien, oksigen, kecerahan (kedalaman penetrasi cahaya), temperatur, pH, kecepatan angin dan klorofil a. Sedangkan pada bagian output layer, terdapat beberapa jenis fitoplankton yang memiliki potensi blooming pada perairan tersebut (Gb.1.2.)

Gb.2. Struktur ANN untuk Danau Biwa, Jepang.( Recknagel,1997). Setelah melalui beberapa proses pembelajaran diperoleh hasil yang cukup baik dalam

Page 85: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

77

pemanfaatan ANN untuk prediksi HABs dari Melosira granulata (Gb.1.3.)

Gb.3. Hasil validasi dari prediksi blooming Melosira granulata di Danau Biwa, Jepang. (Recknagel, 1997).

Lebih lanjut, aplikasi ANN sebagai sistem

peringatan dini bagi fenomena HABs di Sungai Darling, Australis juga telah dilakukan untuk memprediksi blooming dari Anabaena spp.(3). Hasilnya sangat memuaskan, dimana ANN dapat dimanfaatkan untuk memprediksi waktu kejadian 4 minggu lebih awal.

Kejadian HABs di perairan Teluk Jakarta telah beberapa kali terjadi, baik yang rutin maupun yang insidentil. Kejadian HABs rutin biasanya terjadi di awal musim penghujan dimana limbah oranik, baik yang berasal dari limbah domestik maupun agrikultur masuk ke sungai-sungai diguyur hujan sebagai run-off hingga dapat langsung memperkaya nutrien di perairan estuari dan laut.

2. TEORI DAN METODA EKSPERIMEN

Chaetoceros dan Skeletonema costatum dipilih sebagai species obyek karena keduanya telah seringkali blooming di perairan Teluk Jakarta. Kejadian kematian masal ikan yang terjadi pada bulan Mei 2004 yang lalu juga dilaporkan disebabkan oleh antara lain Chaetoceros dan Skeletonema sp.(4).

Sehubungan dengan keterbatasan data time series yang akan digunakan sebagai input bagi model ANN untuk Teluk Jakarta, maka sebagai tahap awal akan dilakukan eksperimen dalam skala laboratorium. Metoda yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi: a. Kultur murni Chaetoceros dan Skeletonema sp.

dalam skala laboratorium. Kedua kultur diujicoba tumbuh dalam berbagai kisaran nilai beberapa parameter, meliputi :

1. OrthoPhosphat 2. Nitrogen 3. Silikat 4. Temperatur 5. Cahaya 6. Kecepatan arus 7. Kecepatan angin 8. Klorofil a Sebagai informasi, kisaran nilai akan dibuat mulai dari kondisi kebutuhan dasar Chaetoceros dan Skeletonema untuk tumbuh hingga kondisi dimana kedua species tersebut blooming (dengan acuan jumlah atau kelimpahan sel sekitar 1 juta sel/l atau lebih).

b. Mesokosm eksperimen, yaitu pembuatan kolam

di laut, dimana faktor-faktor alami lebih berperan. Pada mesokosm eksperimen ini, dapat dibuat suatu kantong besar dari plastik polybag dengan volume sekitar 60-70 l. Jika kondisi blooming sulit diperoleh, akan ditambahkan beberapa nutrien (pada konsentrasi yang diperoleh dari hasil skala laboratorium) untuk mengkondisikan eutrofikasi.

c. Pembelajaran dan Pengujian ANN

Pembelajaran atau learning process merupakan sarana pelatihan untuk mendapatkan nilai bobot yang sesuai pada setiap node yang membentuk jaringan syaraf (ANN). Data akan dibagi menjadi 2 bagian yang pertama untuk digunakan sebagai proses pembelajaran yang disebut dengan data training dan yang bagian kedua untuk proses pengujian yang disebut data testing. Untuk kasus diatas pola pembelajaran dan pengujiannya dapat diuraikan sbb : • Memasukan sejumlah data berupa nilai

angka pada node input dan output • Menggunakan algoritma pembelajaran

seperti back propagation untuk melakukan update nilai bobot pada node di lapisan hiddennya

• Bila proses belajar sudah mencapai konvergen, nilai bobot tersebut akan disimpan dan untuk diujikan kembali untuk data yang sama

• Mencatat prosentase kesalahan pada node output, bila prosentase kesalahan cukup besar maka prose belajar akan diulang dengan memperbaiki algoritma atau menambhakan node dilapisan hidden

• Melakukan pengujian dengan menggunakan data yang berlainan dengan proses pembelajaran

Mencatat kesalahan terjadi bila prosetase cukup besar akan dilakukan pengulangan

Page 86: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

78

proses belajar dengan memperbaiki data training

Pada proses pembelajaran dalam penelitian ini akan dimasukkan sebagian data angka-angka parameter hasil pengujian, baik yang diperoleh dari hasil skala laboratorium maupun dari hasil mesokosm sebagai data pembelajaran. Sedangkan data lainnya akan dimasukkan sebagai data pengujian. 3. PROSPEK DAN PENGEMBANGAN

Sistem peringatan dini yang telah diuraikan diatas mempunyai prospek yang cukup menjanjikan untuk pembangunan Indonesia masa yang akan datang dalam melakukan eksplorasi sumber daya kelautan. Agar sistem dapat diimplementasikan dan didayagunakan harus dikombinasikan dengan perangkat lainnya. Berdasarkan cara penggunaannya ada 2 jenis sistem yang dapat diintegrasikan menjadi sistem peringatan dini yang terpadu yaitu Sistem Telemetri dan Mobile.

a. Sistem Telemetri Pada sistem ini bagian input pada ANN dihubungkan dengan sensor-sensor sehingga data parameter lingkungan dapat langsung diambil secara real time. Data-data akan diambil pada setiap interval waktu tertentu yang telah disetup pada mikroprosesor (CPU). Nilai-nilai bobot yang telah disimpan pada suatu memori ROM akan digunakan ANN prosesor untuk melakukan proses pengenalan. Dengan menggunakan gelombang radio (UHF) hasil pengenalan akan dikirim oleh transmitter ke receiver dipelabuhan terdekat yang selanjutnya oleh server diinformasikan kepada user melalui sistem jaringan komputer seperti internet. Bila hasil pengenalan menunjukan pola yang baru server akan memerintahkan CPU untuk belajar kembali untuk memperbaiki nilai bobotnya. Sensor, CPU, ANN Prosesor dan transmitter akan diiintegrasikan dalam suatu perangkat yang dinamakan Buoy (pelampung) yang selanjutnya ditempatkan sepanjang waktu di lautan. Sistem ini memang membutuhkan biaya yang cukup tinggi dalam perawatannya, akan tetapi manfaat yang tinggi tentunya akan seimbang dengan mengingat tingginya kerugian secara ekonomis bila terjadi HABs. Sebagai illustrasi untuk sistem telemetri ini ditunjukan dalam gambar 5. b. Sistem Mobile Cara kerja perangkat sistem ini hampir sama dengan sistem telemetri, hanya saja hasil pengenalannya tidak ditransmit dengan gelombang radio akan tetapi dikirim langsung ke komputer melalui USB atau RS 232. Manfaat sistem mobile

lebih banyak kearah penelitian atau monitoring lingkungan sesaat. Buoy dapat dipindahkan sewaktu-waktu diperairan yang akan diteliti sesuai dengan permintaan user. Dan hasil pengamatan akan langsung diketahui dalam hitungan detik tanpa melalui proses di laboratorium seperti proses penghitungan plakton dengan menggunakan mikroskop.

Gambar 5. Sistem Telemetri untuk HABs

4. KESIMPULAN

Pada makalah ini telah dijelaskan tentang adanya kebutuhan terhadap suatu sistem peringatan dini dalam mengatasi permasalahan Algal Blooms di perairan Indonesia.

Sebagai alternatif, suatu sistem Jaringan Saraf Tiruan, seperti telah dijelaskan di atas, dapat dengan cepat membuat prediksi terhadap “bencana” lingkungan tersebut sehingga dampak merugikan dari fenomena tersebut, baik terhadap manusia maupun ekosistem di sekitarnya, dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hallegraeff, G.1993. A review of harmful algal

blooms and their apparent global increase. Phycologia 32 ,79-99.

2. Recknagel, F., M.French, P.Harkonen dan K.I.Yabunaka.1997. Artificial Neural Network Approach for Modelling and Prediction of Algal Blooms. Ecological Modelling 96, 11-28.

3. Maier, H.R., G.C. Dandy dan M.D.Burch.1998. Use of Artificial Neural Networks for Modelling Cyanobacteria Anabaena spp. In the River Murray, South Australia. Ecological Modelling 105, 257-272.

4. Adnan, Q.2004. Penyimpangan Iklim dan Kematian Biota di Teluk Jakarta. Proceeding Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi Lingkungan Pesisir dan Laut di Indonesia: 77-83.

Page 87: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

79

RIWAYAT PENULIS

Rahmania A. Darmawan lahir di Bandung pada tanggal 28 Desember 1971. Menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1995. Sejak tahun 1997 bekerja di Pusat Pengkajian dan

Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL) – BPPT. Penelitian di bidang Algal Blooms dimulai pada tahun 1997 dengan memanfaatkan teknologi telemetri pada program pemantauan lingkungan laut (SEAWATCH Indonesia). Pada tahun 2000-2002 menyelesaikan program S2 dari University of Bremen, Germany di bidang Aquatic Ecology dengan spesialisasi pada thesis tentang Dampak Eutrofikasi terhadap komunitas Fitoplankton di Teluk Jakarta (Marine Ecology).

Hary Budiarto lahir di Surabaya pada 28 Juni 1967. Menamatkan pendidikan S1 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya tahun 1990 dalam bidang Matematika Terapan, menyelesaikan pendidikan S2 di fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia Jakarta tahun 1998 dan S3 di Tokyo Institute of Technology pada Department

of Electric and Electrical tahun 2004. Saat ini bekerja sebagai peneliti di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi di Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL) BPPT, Jakarta. Penulis juga menjadi anggota pada organisasi profesi ilmiah IEEE, COMSOC, COST 273, IEICE Japan dan IECI.

Page 88: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

80

Page 89: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

81

EVALUASI MUTU JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia Swingle) DENGAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL DAN

JARINGAN SYARAF TIRUAN

Zainul Arham, Usman Ahmad, Suroso Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor E-Mail: [email protected]

ABSTRACT The limonia aurantifolia can be classified as a special fruit for Indonesia’s social culture, the circumstance can be witnessed on cultural and religious ceremonies, together with excellent ingredients in traditional medicine and food. Quality of the limonia aurantifolia determined by weight and maturity levels (age pluck after flower bloom) The area, texture and color indexes were extracted from 200 object sample images using the developed image processing software. The area attributed to weight and texture and color indexes attributed to maturity levels. The features extracted from the image were used as input for artificial neural network, that modelled to use 5 and 9 inputs on 6, 9, 13 and 15 hidden layers. The training of artificial neural network used value of 0.8 for momentum constant and learning rate constant, 1.0 for sigmoid function in 3000 iteration. The results showed that quality provided the highest accurateness of validation of 95.85%.

Keywords : image processing, artificial neural network, limonia aurantifolia and quality

1. PENDAHULUAN

Pemanfaatan buah jeruk nipis sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harga buah jeruk nipis ditentu-kan oleh mutu yang didasarkan pada tingkat ketuaan dan kematangan serta berat.

Selama ini dalam pemanenan dan penjualan hasil panen, petani jeruk nipis masih belum melaku-kan pemilahan mutu sehingga harga jual rendah. Sedangkan pedagang pengumpul dan industri maka-nan dan obat tradisional melakukan penyortasian mutu menggunakan prosedur analisa warna kulit secara visual mata manusia dan jumlah buah per kilogram dengan segala keterbatasannya.

Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu metode yang dapat menjamin keseragaman mutu jeruk nipis. Metode pengukuran non konven-sional yaitu menggunakan pengolahan citra digital (image processing) menghasilkan data yang akan diproses secara pembelajaran dengan jaringan syaraf tiruan (artificial neural network) sehingga dapat digunakan untuk menentukan mutu buah.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menentukan mutu jeruk nipis secara non konven-sional dengan pengembangan algoritma pengolahan citra digital dan jaringan syaraf tiruan. Sedangkan secara khusus, meliputi: mengembangkan algoritma pengolahan citra digital untuk menganalisis parameter mutu jeruk nipis, membangun model jaringan syaraf tiruan untuk menentukan mutu jeruk nipis berdasarkan analisis citra digital dan menguji perangkat lunak yang dibangun dalam mengelompokkan buah jeruk nipis sesuai deng-an kelompok mutu yang berlaku. 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Jeruk nipis

Jeruk nipis dalam Famili Rutaceae, Genus Citrus dan species Citrus aurantifolia Swingle. adapun spesies yang paling dekat adalah jeruk pecal (Citrus mitis Blanco), jeruk kamquat (Citrus japonica) dan jeruk purut (Citrus hystrix Aug. D.C.). Jeruk nipis dikenal dengan nama lain, yaitu: jeruk mipis, jeruk pecel, jeruk durga dan limau asam(100.

Jeruk nipis berasal dari daerah Indo-Malaya(16), pada tahun 1839, permulaan penanaman jeruk nipis secara komersial di Florida Selatan. secara geografis(60 jeruk tumbuh pada

Paper ini pernah dimuat “Forum Pasca Sarjana”, Vol. 27 No.1, Januari 2004

Page 90: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

82

daerah 035 Lintang Utara sampai 040 Lintang Selatan dan ketinggian pada 1000 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman jeruk antara 25 0C - 30 0C. Secara umum jeruk nipis termasuk tanaman tahunan (perennial) yang masa reproduksinya terjadi berulang-ulang. Buah jeruk nipis berwarna hijau menandakan belum masak, dan akan berubah menjadi kuning kecoklat-coklatan, bentuknya bulat sampai bulat telur berdiameter ± 3 - 6 cm. Ketebalan kulit buahnya ± 0.2 - 0.5 mm dan permukaannya memiliki banyak kelenjar. Buahnya kadang-kadang memiliki papila atas yang berwarna kuning kehijau-hijauan. Struktur buah jeruk(8) (Gambar 1) terdiri-dari flavedo (lapisan kulit luar yang mempunyai kantong minyak) dan albedo sebagai sumber pectin, daging buah berbalir dan bersegmen (Segmen buahnya berdaging hijau kekuning-kuningan dan mengandung banyak sari buah yang beraroma harum) serta biji buah (biji buah terdapat pada sebagian segmen buah yang berdaging). Sari buahnya asam sekali yang berisikan asam sitrat berkadar 7 - 8% dari berat daging buah. Ekstrak sari buahnya sekitar 41% dari bobot buah yang sudah masak(9).

2.2. Pengolahan Citra Digital Pengolahan citra digital merupakan proses

pengolahan dan analisis yang banyak melibatkan persepsi visual. Citra digital dapat diperoleh secara otomatik dari sistem penangkap citra membentuk suatu matriks yang elemen-elemennya menyatakan nilai intensitas cahaya atau tingkat keabuan setiap piksel. Citra f(x,y) disimpan dalam memori komputer (bingkai penyimpan citra/frame grabber) dalam bentuk array N x M dari contoh diskrit dengan jarak yang sama sebagai berikut :

( ) .

)1,(...............)1,()0,(....

...............

.

.

.

.

.

.

.

.)1,1(...............)1,1()0,1()1,0(...............)1,0()0,0(

,

−−

=

mnfnfnf

mfffmfff

yxF

Citra masukan diperoleh dari kamera yang

telah dilengkapi dengan alat digitasi yang

mengubah citra masukan berbentuk analog menjadi citra digital, alat digitasi tersebut dapat berupa penjelajahan silod-state yang menggunakan matriks sel yang sensitif terhadap cahaya yang masuk. Alat masukan citra yang umum digunakan adalah kamera CCD (Charge Coupled Device).

Warna merupakan respon psycho-physiological dan intensitas yang berbeda. Persepsi warna dalam pengolahan citra tergantung pada tiga faktor, yaitu: spectral reflectance (menentukan bagaimana suatu permukaan memantulkan warna), spectral content (kandungan warna dari cahaya yang menyinari permukaan) dan spectral response (kemampuan merespon warna dari sensor dalam imaging system). Adapun model warna yang dikembangkan dalam pengolahan saat ini adalah: RGB (Red Green Blue), CMY(K) (Cyan, Magenta, Yellow), YCbCr (Luminasie dan dua komponen krominasi Cb dan Cr) dan HSI (Hue, Saturation, Intensity).

Persepsi pandangan manusia pada setiap panjang gelombang tidak menggunakan sensor akan tetapi menggunakan 3 pusat stimulus warna RGB(15). Didasarkan pada pendekatan tersebut maka dalam penelitian ini menggunakan model warna RGB. Tingkat RGB pola bit dikomposisikan dari tiga warna tersebut dan masing-masing warna mempunyai 28 atau 256 bit (0 - 255)(13).

Model warna RGB yang dapat dinyatakan dalam bentuk indeks warna RGB dengan cara menormalisasi setiap komponen warna dengan persamaan sebagai sebagai berikut:

BGRRr++

= (1)

BGRGg++

= (2)

BGRBb++

= (3)

Dengan tekstur akan didapat informasi citra untuk memprediksi kondisi objek dari sifat permukaannya. Pengukuran tekstur dilakukan terdiri dari energi, kontras, homo-genitas dan entropy (Haralic, 1973). Energi berfungsi untuk mengukur konsentrasi pasangan gray level pada matriks co-occurance, kontras berfungsi untuk mengukur perbedaan lokal dalam citra, homoge-nitas berfungsi untuk mengukur kehomogenan variasi gray level lokal dalam citra dan entropi berfungsi untuk mengukur keteracakan dari distribusi perbedaan lokal dalam citra.

2.3. Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah model sistem komputasi yang bekerja seperti sistem syaraf biologis pada saat berhubungan dengan

Gambar 1. Bagian-bagian buah jeruk nipis.

Kantong Minyak

Segmen Buah

Balir Buah

Albedo

Flavedo Biji

Page 91: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

83

dunia luar (Fauset, 1994). Model JST yang digunakan dalam penelitian ini adalah arsitektur feedforward (umpan maju). Sedangkan konsep belajar yaitu algoritma belajar backpro-pagation momentum yang merupakan perkembang-an dari algoritma belajar backpropagation standar.

JST Backpropagation (BP) pertama kali diperkenalkan oleh Rumelhart, Hinton dan William pada tahun 1986, kemudian Rumelhart dan Mc Clelland mengem-bangkannya pada tahun 1988, JST BP dengan satu lapisan tersembunyi (hidden), arah sinyal pada fase feedforward. Sedangkan dasar pelatihan dari algoritma JST BP adalah memodifikasi bobot interkoneksi Wnj pada jaringan sehingga sinyal kesalahan mendekati nol (Bishop, 1992).

Jaringan syaraf tiruan tersusun atas sekumpu-lan neuron (simpul) yang terinterkoneksi dan terror-ganisasi dalam lapisan-lapisan. Setiap simpul mem-proses sinyal dengan fungsi akivasinya yaitu fungsi sigmoid logistic(3), fungsi tersebut pada persamaan sebagai berikut :

( ) ( )xexf −−=

11

(4)

Besarnya nilai β dan α yang harus digunakan dalam proses belajar, sedangkan nilai β dan α terse-but tergantung pada permasalahan yang dihadapi.

Adapun algoritma pelatihan backpropagation lebih rinci(2) (sesuai dengan Gambar 2) adalah sebagai berikut: 1. Inisialisasi pembobot (Weight)

Pembobot awal dipilih secara acak (random), kemudian setiap sinyal input diberikan ke dalam noda dalam input layer, lalu sistem akan mengirim sinyal ke noda dalam hidden layer .

2. Perhitungan nilai aktivasi Setiap noda pada hidden layer, dihitung nilai net inputnya dengan cara menjumlahkan seluruh ha-sil perkalian antara noda input (Xi) dengan pem-bobotnya (Vij), sebagaimana pada persamaan 5.

∑=

=n

iijiij VXZ

1 (5)

Jika setiap noda pada lapisan hidden telah menerima nilai net input, langkah selanjutnya adalah memasukkan nilai net input setiap noda ke dalam fungsi aktivasi (fungsi sigmoid), sebagaimana pada persamaan 6.

)(exp11)(

ijZijZf σ−+= (6)

dimana σ : konstanta fungsi sigmoid. ( )ijj ZfZ = (7)

)(exp1

1jkjWZkY

∑+=

−σ (8)

3. Perbaikan nilai pembobot (Weight) Nilai output dari setiap noda pada output layer hasil perhitungan pada jaringan dibandingkan dengan nilai target yang diberikan dengan persamaan jumlah kuadrat galat, sebagaimana pada persamaan 9.

( )∑ −=in

kkk YTE 2

21

(9)

dimana : Tk adalah nilai target yang diberi-kan dan Yk adalah output dari hasil perhi-tungan pada jaringan. Algoritma ini memper-kecil galat dengan cara perambatan balik. Pada setiap lapisan dilakukan perubahan pembobot dengan menggunakan perhitung-an matematika yang disebut dengan meto-de delta rule. Perubahan pembobot (W) dalam hidden yang didapatkan sesuai deng-an persamaan :

jkjk ZW αδ=∆ (10)

dimana ∆Wjk: perubahan nilai pembobot Wij , α: konstanta laju pembelajaran, δk: Galat output ke k, Zj: fungsi sigmoid. Perubahan pembobot (W) dalam hidden yang didapat-kan sesuai dengan persamaan :

ijij XV αδ=∆ (11) Sehingga nilai perbaikan pembobot dapat dibuat persamaan sebagai berikut:

jkjkjk WlmWbrW ∆+= )()( (12)

ijijij VlmVbrV ∆+= )()( (13) Nilai laju pelatihan harus dipilih antara 0 sampai dengan 0.9. Laju pelatihan menen-tukan kecepatan pelatihan sam-pai sistem mencapai keadaan optimal. Prisip dasar algoritma backpropagation adalah memper-kecil galat hingga mencapai minimum global. Minimum lokal adalah dimana galat sistem turun, akan tetapi bukan merupakan solusi yang baik bagi jaringan tersebut. Pemilihan nilai laju pelatihan sangat penting karena jika nilainya besar akan membuat sistem jaringan

Gambar 2. Model JST BP

Vi WXi Yk

Zj Z

Page 92: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

84

melompati nilai minimum lokalnya dan akan berosilasi sehingga tidak menca-pai konvergensi. Sebaliknya nilai laju pela-tihan yang kecil menyebabkan sistem jaringan terjebak dalam minimum lokal dan memerlukan waktu yang lama selama proses pelatihan. Untuk menghindari keadaan tersebut maka ditambahkan suatu nilai konstanta momentum antara 0 sampai dengan 0.9 pada sistem tersebut, dengan demikian nilai laju pelatihan dapat ditingkatkan dan osilasi pada sistem dapat diminimumkan. Perubahan nilai pembobot setelah dilakukan penambahan konstanta momentum sesuai dengan persamaan sebagai berikut:

)()( lmWZbrW jkjkjk ∆+=∆ βαδ (14)

)()( lmVXbrV ijijij ∆+=∆ βαδ (15)

dimana β adalah konstanta momentum. 4. Iterasi

Proses (2) dan (3) dilakukan secara berulang-ulang dan setiap perulangan mencakup pemberian contoh pasangan nilai input-output, perhitungan nilai aktivasi dan perubahan nilai pembobot.

Kinerja jaringan dapat juga dinilai berdasarkan nilai RMSE, sebagaimana pada persamaan 16.

nTY

RMSError kk∑ −=

2)( (16)

dimana : Yk=nilai prediksi jaringan, Tk=nilai target yang diberikan pada jaringan dan n=jumlah contoh data pada set validasi. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah jeruk nipis segar dengan berbagai tingkat mutu (A, B, C dan D) masing-masing 50 buah sampel.

Peralatan yang digunakan untuk pengolahan citra adalah kamera charge Coupled device (CCD-OC-05 D (Digital video camera)), 4 buah lampu (5 W / 220 V / 50 Hz.), kertas karton putih dan perangkat lunak dalam bahasa MS. VB. 6.0 under windows ME. Peralatan untuk pengolahan konvensional adalah Timbangan digital (METTLER PM-48000), Rheome-ter model CR-30, refraktometer digital (Atago model PR-201 (0-60%)), jangka sorong (caliper), penggaris dan penggaris busur.

3.2. Prosedur Penelitian

Jeruk nipis segar dengan berbagai mutu, terlebih dahulu dibersihkan dari noda/kotoran yang melekat permukaan kulit buah. Adapun prosedur penelitian adalah sebagai berikut :

a. Jeruk nipis di atas kain hitam dan putih sebagai latar belakang dan terfokus oleh kamera CCD dengan jarak 18.2 cm. Sedangkan lampu pijar yang ditutupi dengan kertas karton diletakkan pada ketinggian 35.5 cm di atas buah jeruk nipis dengan sudut pencahayaan 350 .

b. Citra jeruk nipis direkam dengan ukuran: 256 x 192 piksel dan tingkat intensitas cahaya RGB: 256

c. Citra jeruk nipis direkam dalam file bereks-tensi bmp dengan 145 KB.

d. Binerisasi citra jeruk nipis untuk memisahkan latar belakang dan objek, sebagaimana pada Gambar 3.

e. Proses thresholding yang akan didapat hasil pengolahan citra digital, yaitu: nilai luas proyeksi, indeks warna merah (r), hijau (g), biru (b), energi, entropy, kontras dan homogenitas, sebagaimana pada Gambar 4.

f. Setelah data hasil pengolahan citra didapat,

maka data tersebut digunakan sebagai masukan JST untuk dapat menentukan mutu jeruk nipis, sebagaimana pada Tabel 1. Adapun model yang digunakan sebagai-mana pada Gambar 5.a. dan 5.b.

Gambar 3. Proses bine- Risasi citra jeruk nipis.

Gambar 4. Proses thresholding

LP

r

g

b

eg

et

kt

hm

O1

O2

O3

O4

Gambar 5.a. Model 1 JST mutu.

LP

r

g

b

kt

hm

O1 O2 O3 O4

Gambar 5.b. Model 2 JST mutu.

Page 93: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

85

g. Pelatihan JST pada dua model tersebut

menggunakan algoritma backpropaga-tion, dimana sebelum melakukan pelatihan terlebih dahulu menentukan nilai laju konstanta momentum dan fungsi aktivasi. Adapun dalam percoba-an ini nilai konstanta yang digunakan adalah parameter nilai laju pembelajaran (α) = 0.8, parameter nilai konstanta mo-mentum (β) = 0.8 dan parameter nilai fungsi aktivasi = 1. Jumlah pengulangan sebanyak 3000 kali, sebagaimana terli-hat pada Gambar 6.

h. Dari pelatihan tersebut menghasilkan nilai pembobot, dengan menggunakan nilai pembobot dan set data validasi dapat dilakukan proses validasi yang menghasilkan set data prediksi dan error. Proses validasi terlihat pada Gambar 7.

i. Validasi dengan membandingkan hasil

penentuan tingkat mutu JST dengan tingkat mutu sebenarnya untuk mendapatkan nilai akurasinya, hal ini dapat menggunakan persamaan 17.

%100(%) ×=TYVal ...................... (17)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Evaluasi Tingkat Kematangan Jeruk Nipis

Dengan Metode Pengolahan Citra Digital Dalam pengolahan data sistem warna RGB,

Indeks warna merah dapat membe-dakan umur petik 120 hari pada ambang batas atas 0.372 dengan umur petik 140 hari dan umur petik 140 hari pada ambang batas atas 0.412 dengan umur petik 160 hari, akan tetapi indeks warna merah tidak dapat membedakan umur petik 160 hari dengan umur petik 180. Hal ini sebagaimana pada Gambar 8.

Indeks warna hijau dapat membeda-kan umur petik 140 hari pada ambang batas bawah 0.392 dengan umur petik 160 hari dan umur petik 160 hari pada ambang batas bawah 0.377 dengan umur petik 180 hari, akan tetapi indeks warna hijau tidak dapat membedakan umur petik 120 hari dengan umur petik 140 hari dan umur petik 160 hari. Gambar 9 memperlihatkan sebaran nilai indeks warna hijaudengan umur petik SBM.

Indeks warna biru dapat membedakan umur petik 120 hari pada ambang batas bawah 0.215 dengan umur petik 160 dan umur petik 180 hari, akan tetapi indeks warna biru tidak dapat membedakan umur petik 120 hari dengan umur petik 140 hari. Gambar 10 memperlihatkan sebaran nilai indeks warna biru dengan umur petik SBM.

Dalam pengolahan data tekstur, dapat diketahui dari perbedaan ambang batas atas dan ambang batas bawah pada fitur kontras dan fitur homogenitas tiap umur umur petik. Fitur kontras dapat membedakan umur petik 180 hari pada

Gambar 8. Sebaran nilai indeks warna merah dengan umur petik SBM

0.30

0.35

0.40

0.45

0.50

100 120 140 160 180 200

Umur Petik SBM (hr)

Inde

ks W

arna

Mer

ah

Gambar 10. Sebaran nilai indeks birudengan umur petik SBM

0.15

0.18

0.21

0.24

0.27

0.30

100 120 140 160 180 200Umur Petik SBM (hr)

Inde

ks W

arna

Biru

Gambar 9. Sebaran nilai indeks warna hijau dengan umur petik SBM

0.33

0.36

0.39

0.42

0.45

100 120 140 160 180 200Umur Petik SBM (hr)

Inde

ks W

arna

Hija

u

Gambar 6. Pelatihan JST mutu jeruk nipis

Gambar 7. Validasi JST mutu jeruk nipis

Tabel 1.Tabel output JST mutu jeruk nipis MUTU O1 O2 O3 O4 KETERANGAN

A 1 0 0 0 10 – 15 bh/kg (awal tua/tua)

B 0 1 0 0 16 – 20 bh/kg (awal tua/tua)

C 0 0 1 0 10 – 15 bh/kg (matang/lewat matang)

D

0 0 0 1 16 – 20 bh/kg (matang/lewat matang)

Page 94: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

86

ambang bawah 0.667 dengan 120 hari dan 140 hari, akan tetapi data kontras antara umur petik 120 hari dan 140 hari dengan 160 hari tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Gambar 11 memperlihatkan sebaran nilai kontras dengan umur petik SBM.

Fitur homogenitas dapat membedakan umur petik 180 hari pada ambang atas 0.762 dengan 120 hari dan 140 hari, akan tetapi data homogenitas antara umur petik 120 hari dan 140 hari dengan 160 hari tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Gambar 12 memperlihatkan sebaran nilai homogenitas dengan umur petik SBM.

4.2. Pelatihan dan Validasi Jaringan Syaraf Tiruan

Nilai laju pembelajaran (α) = 0.8, konstanta momentum (β) = 0.8, nilai fungsi aktivasi = 1 dan jumlah iterasi =3000 dengan jumlah lapisan tersembunyi 6, 9, 12 dan 15.

Kinerja jaringan terletak pada RMSE, semakin rendah nilai RMSE yang dihasilkan pada pelatihan, maka semakin baik kinerja jaringan. Hasil pelatihan JST pada mutu model 1 dipilih, dengan spesifikasi model: 8 parameter input, 15 lapisan tersembunyi dan 4 keluaran karena terendah nilai errornya dan paling tepat dalam menentukan mutu. Adapun keterkaitan antara lapisan tersembunyi dengan error sebagaimana ter-lihat pada Gambar 13.

Tabel 2 mengindikasikan hasil validasi mutu

dengan jumlah hidden 6, 9, 12 dan 15. Setelah diverifikasi hasil model 1 dengan persamaan 17 dapat tepat memprediksi 95.83 % dari keluaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

Tabel 2. Validasi model 1 tingkat mutu pada

berbagai simpul dalam Akurasi Model Tiap Lapisan Dalam (%)

Klasifikasi

6 9 12 15 A (1000) 100 100 100 100B (0100) 88.89 88.89 83.33 94.44C (0010) 40.00 40.00 40.00 80.00D (0001) 100 100 100 100TOTAL 89.58 89.58 87.50 95.83

5. KESIMPULAN 1) Indeks warna merah dapat membedakan umur

petik 120 hari dengan 140 hari dan umur petik 140 hari dengan umur petik 160 hari, indeks warna hijau dapat membedakan umur petik 140 hari dengan 160 hari dan umur petik 160 hari dengan umur petik 180 hari, indeks warna biru dapat membedakan umur petik 120 hari dengan 160 dan 180 hari.

2) Dalam pengolahan data tekstur yang dapat digunakan adalah fitur kontras dan homogenitas, Fitur kontras dapat membedakan umur petik 180 hari dengan 120 dan 140 hari, Fitur homogenitas dapat membedakan umur petik 180 hari dengan 120 hari dan 140 hari.

3) Keakuratan model JST yang paling ideal adalah menggunakan parameter hasil pengolahan citra sebagai data masukan tingkat mutu (r, g, b, energi, entropi, kontras, homogenitas dan luas proyeksi) dapat menentukan mutu buah jeruk nipis dengan tingkat keakuratan 95.83 %.

Gambar 12. Sebaran homogenitas dengan umur petik SBM.

0.3

0.6

0.8

1.1

100 120 140 160 180 200

Umur Petik SBM (hr)

Hom

ogen

itas

Gambar 11. Sebaran nilai kontras dengan umur petik SBM.

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

100 120 140 160 180 200Umur Petik SBM (hr)

Kont

ras

Gambar 13. Grafiks RMSE tingkat mutumodel 1 dengan sejumlahhidden pada iterasi 3000

0.0165

0.0170

0.0175

0.0180

0.0185

6 9 12 15HIDDEN

RM

SE

Page 95: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

87

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ashari, S., Hortikultura Aspek Budidaya, Universitas Indonesia. Jakarta, 1995.

[2] Fausett, L., Fundamentals Of Neural Network Architectures : Algorithm and Applications, Prentice-Hall, Inc., 1994.

[3] Hagan, Martin T., Neural Network Design. PWS Publishing Company, Inc., USA., 1995.

[4] Hamdani, Y., Pengembangan Algo-ritma Image Processing Untuk Menentukan dan Warna Buah Manggis. (Cucumis sativus L.), Thesis, Fateta., IPB., Bogor, 1998.

[5] Haralick, RM., K. Shanmugam and Itshak Dinstein, Textural Features For Image Classification, IEEE Transac-tion On System, Man and Cybernetics. 3(6): 610 – 621, 1973.

[6] Hendro Sunarjono, Pengenalan Jenis Tanaman Buah-buahan Dan Bercocok Tanam Buah-buahan Penting di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1981.

[7] Khres, Penentuan Tingkat Ketuaan dan Kematangan Sawo Dengan Jaringan Syaraf Tiruan Dari Spektrum Infra Merah, Thesis, Fateta., IPB., Bogor, 2002.

[8] Nagy, S., P.E. Shaw dan M.K. Veldhuis.. Citrus Science and Techgnology. Volume 1. The AVI Publishing Company Inc. Westport Connecticut. 1997.

[9] Nata Widjaja, P.S.. Mengenal Buah-Buahan Yang Bergizi. Penerbit Pustaka Dian. Jakarta. 1993.

[10] Rukmana, R., Jeruk Nipis, Penebar Swadaya, Jakarta, 1996.

[11] Rumelhart (Bishop, CM.), Neural Networks For Pattern Recognition. Clarendan Press, Oxford., NY., 1995.

[12] Sarwono, B., Khasiat & Manfaat Jeruk Nipis, PT. Agro Media Pustaka, Jakarta, 2001.

[13] Stephens, Rod, Visual Basic Graphics Programming : Hands-On Application And Advanced Color Development. Wiley Computer Publishing, Inc., Canada, 2000.

[14] Subiyanto, Pemakaian Jaringan Sya-raf Tiruan Perambatan Balik Sebagai Cara Lain Prakiraan Beban Jangka Pendek Di Jawa Tengah D.I.Y., Tugas Akhir Teknik Elektro Fakultas Teknik UNDIP., Semarang, 1998.

[15] Suryadi.. Dasar Pengolahan Citra . Seri Diktat Kuliah. STI&K-STMIK Jakarta. Jakarta, 1994.

[16] Webber, The Citrus Industry, Vol. 1., University California Press, 1943.

Riwayat Hidup

Zainul Arham, S.Kom., M.Si. Tempat Tgl Lahir: Jombang, 30 Juli 1974 Menamatkan pendidikan di IPB Prog Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, konsentrasi Tek. Agrosistem &

Informatika pada tahun 2003. Saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Universitas Islam Negeri Jakarta dan Konsultan Telematika Barusaka.

Page 96: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

88

Page 97: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

89

Pemodelan Pengaruh Knowledge Management Untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia

Mohamad Haitan Rachman

Multiforma Sarana Consultant, pt. Bandung 40264, Indonesia

E-mail : [email protected]

Abstract Knowledge Management (KM) dapat mempercepat pembelajaran bersama untuk mengembangkan sumber daya manusia yang mampu meningkatkan kemampuan daya saing dan merespons perubahan pasar secara proaktif. Pemahaman terhadap knowledge management sangat diperlukan untuk mengetahui pengaruhnya dalam organisasi. Pendekatan kesisteman melalui system dynamic dapat dipergunakan untuk mengetahui pengaruh knowledge management tersebut dengan baik. Tulisan ini menjelaskan penggunaan system dynamic untuk mengetahui pengaruh knowledge management dalam peningkatan sumber daya manusia melalui pembelajaran bersama. Keywords: Knowledge Management, System Dynamic, Human Resource Development

1. PENDAHULUAN Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aset yang sangat penting bagi perkembangan setiap perusahaan untuk dapat mempertahankan keberadaan perusahaan dalam era persaingan terbuka dan global saat ini. Peningkatan kemam-puan SDM untuk dapat menjalankan pekerjaannya dengan lebih baik sangat diperlukan, oleh karena itu hampir kebanyakan perusahaan mempunyai agenda pelatihan secara rutin untuk mendukung peningkatan SDM tersebut. Sebenarnya proses pembelajaran tidak hanya bertumpu pada pelatihan yang umum dilakukan, tetapi dapat dilakukan dalam bentuk lainnya, seperti dialog, tanya-jawab, berbagi pengalaman, atau dokumen. Pelatihan merupakan bentuk berbagi pengetahuan yang dikelola secara baik, sedangkan yang lainnya belum dikelola dengan baik. Pengetahuan merupakan sumber utama dari proses pembelajaran tersebut. Oleh karena itu pengembangan SDM ini sangat bergantung dari pengetahuan yang dipelajarinya, dan mempunyai pengaruh secara langsung terhadap perusahaan itu sendiri. Knowledge Management (KM) dapat diterapkan untuk mendukung proses pengemba-ngan sumber daya manusia melalui proses knowledge sharing (berbagi pengetahuan) secara lebih terstruktur. Pendekatan-pendekatan yang cocok untuk penerapan knowledge management sangat bergantung pada tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dengan baik. Systems Dynamic (SD) merupakan teknik yang cukup populer untuk memahami perilaku dari

sebuah sistem dengan baik (1,2). Dan tulisan ini menjelaskan satu model SD untuk menjelaskan KM dalam proses pengembangan SDM. 2 KNOWLEDGE MANAGEMENT Telah menjadi satu konsensus umum bahwa pengetahuan marupakan dasar kompetisi dan efektifitas operasi bisnis dalam setiap perusahaan. Pengetahuan sebagai sumber bisa hilang dari lingkungan organisasi dikarenakan beberapa sebab, seperti kematian, mutasi kerja, bahkan mungkin pindah kerja ke perusahaan lain yang menjadi kompetitor. Sehingga pada prinsipnya adalah kehilangan pengetahuan merupakan kehilangan investasi yang sudah dilakukan perusahaan, karena pengetahuan diperoleh melalui proses pembelejaran dan pengalaman yang cukup panjang. Knowledge Management (KM) dapat dipandang dari dua sisi yaitu secara operasional dan strategis. KM secara operasional artinya KM merupakan aktifitas organisasi dimana terjadi pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan, sedangkan KM secara strategis artinya KM merupakan langkah untuk memantapkan setiap organisasi sebagai organisasi yang berbasis pengetahuan. Knowledge Management (KM) dapat didefinisikan sebagai satu set (himpunan) intervensi orang, proses dan tool (teknologi) untuk mendukung proses pembuatan, pembauran, penyebaran dan penerapan pengetahuan (3). Knowledge Management (KM) merupakan proses yang terus-menerus harus dilakukan sehingga

Page 98: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

90

proses tersebut akan menjadi satu budaya dari perusahaan tersebut, dan akhirnya perusahaan akan membentuk organisasi yang berbasis pada pengetahuan. Projek Knowledge Management (KM) dapat diklasifikasikan dalam beberapa tipe yaitu (4) :

1. Mengumpulkan dan menggunakan ulang pengetahuan terstruktur. Pengetahuan sering tersimpan dalam beberapa bagian dari output yang dihasilkan perusahaan, seperti disain produk, proposal dan laporan projek, prosedur-prosedur yang sudah diimplementasikan dan terdokumentasikan dan kode-kode software yang mana semuanya dapat dipergunakan ulang untuk mengurangi waktu dan sumber yang diperlukan untuk membuatnya kembali.

2. Mengumpulkan dan berbagi pelajaran yang sudah dipelajari (lessons learned) dari praktek-praktek. Tipe projek ini mengumpulkan penge-tahuan berasal dari pengalaman yang harus diinterpretasikan dan diadopsi oleh user dalam kontek yang baru. Projek ini biasanya melibat-kan sharing pengetahuan atau pelajaran melalui database seperti lotus notes.

3. Mengidentifikasi sumber dan jaringan kepakaran. Projek ini bermaksud untuk menja-dikan kepakaran lebih mudah terlihat dan mudah diakses bagi setiap karyawan. Dalam hal ini adalah untuk membuat fasilitas koneksi antara orang yang mengetahui pengetahuan dan orang yang membutuhkan pengetahuan.

4. Membuat struktur dan memetakan pengeta-huan yang diperlukan untuk meningkatkan performansi. Projek ini memberikan pengaruh seperti pada proses pengembangan produk baru atau disain ulang proses bisnis dengan menjadikan lebih explisit atau terbuka dari pengetahuan yang diperlukan pada tahap-tahap tertentu.

5. Mengukur dan mengelola nilai ekonomis dari pengetahuan. Banyak perusahaan mempunyai aset intelektual yang terstuktur, seperti hak patent, copyright, software licenses dan data-base pelanggan. Dengan mengetahui semua aset-aset ini memungkinkan perusahaan untuk membuat revenue dan biaya untuk perusahaan.

6. Menyusun dan menyebarkan pengetahuan dari sumber-sumber external. Perubahan lingkungan bisnis yang cepat dan tidak menentu telah meningkatkan kepentingan dan kesungguhan pada business intelligence system. Dalam projek ini perusahaan berusaha mengumpulkan semua laporan dari luar yang berhubungan dengan bisnis. Dalam projek ini diperlukan editor dan analyst untuk menyusun dan memberikan konteks terhadap informasi-informasi yang diperoleh tersebut.

Penerapan KM akan memberikan pengaruh terhadap proses bisnis perusahaan:

1. Penghematan waktu dan biaya. Dengan adanya sumber pengetahuan yang terstruktur dengan baik, maka perusahaan akan mudah untuk menggunakan pengetahuan tersebut untuk konteks yang lainnya, sehingga perusahaan akan dapat menghemat waktu dan biaya.

2. Peningkatan aset pengetahuan. Sumber pengetahuan akan memberikan kemudahaan kepada setiap karyawan untuk memanfaatkannya, sehingga proses pemanfaatan pengetahuan di lingkungan perusahaan akan meningkat, yang akhirnya proses kreatifitas dan inovasi akan terdorong lebih luas dan setiap karyawan dapat meningkatkan kompetensinya.

3. Kemampuan beradaptasi. Perusahaan akan dapat dengan mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis yang terjadi.

4. Peningkatan produktfitas. Pengetahuan yang sudah ada dapat digunakan ulang untuk proses atau produk yang akan dikembangkan, sehingga produktifitas dari perusahaan akan meningkat.

3. MODEL SIMULASI Tulisan ini memberikan satu model pengaruh penerapan knowledge management (KM) untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaan pengembangan sistem teknologi informasi. Perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi informasi sangat kental dengan penyimpanan dan penggunaan sumber pengetahuan untuk menyelesaikan projek atau pengembangan sistem. Sehingga proses pembelajaran untuk mendukung proses pengembangan SDM tidak hanya bertumpu pada proses pelatihan formal saja, tetapi mungkin diperoleh melalui pengalaman atau diskusi-diskusi. Untuk membangun model pengaruh KM pada proses pengembangan SDM dapat digunakan diagram cuase-effect. Dan dari diagram ini akan mudah dibangun simulasi yang menggunakan teknik System Dynamic. Personal knowledge (pengetahuan yang dimiliki pribadi) akan membentuk organizational knowledge (pengetahuan yang dimiliki perusahaan). Bertambahnya pengetahuan yang dimiliki pribadi akan bertambahnya pula pengetahuan yang dimiliki oleh perusahaan, atau sebaliknya (Gambar 1).

Page 99: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

91

PersonalKnowledge

OrganizationalKnowledge

+

+

Gambar 1. Interaksi Pengetahuan Pribadi dan

Perusahaan Peningkatan pengetahuan dari setiap staff akan mendorong berbagi pengetahuan satu sama lain. Kemampuan atau pengetahuan pribadi ini akan meningkatkan produktifitas kerja sehingga penyelesaian pekerjaan juga akan meningkat. Dari tugas-tugas yang diberikan dari pekerjaan akan memberikan pengalaman, dokumen atau template yang dipakai sehingga akan menambah juga pengetahuan pribadi (Gambar 2).

PersonalKnowledge

OrganizationalKnowledge

+

+

Produktifitas

PenyelesaianPekerjaan

Interaksi AntarPribadi

+

+

+

+ +

Gambar 2. Pengembangan Pengetahuan Pribadi

Pengetahuan yang staff bisa saja hilang dikarena beberapa hal, seperti keluar dari perusahaan, pindah ke departemen lain, pengetahuan yang usang atau diperbaharui (Gambar 3).

PersonalKnowledge

OrganizationalKnowledge

+

+

Produktifitas

PenyelesaianPekerjaan

Interaksi AntarPribadi

+

+

+

+ +

PengetahuanBerubah

- -

Staff

+

Rekrutasi

Keluar

Kehilangan PKKehilangan OK

Peningkatan PK

Peningkatan OK

+

+

+

-

-

-

+

Gambar 3. Perubahan PK dan OK

Kejadian-kejadian seperti ini banyak memberikan pengaruh cukup besar bagi perusahaan seperti perusahaan teknologi informasi, sehingga perlu dicarikan solusinya. Knowledge management dapat menjadi solusi untuk masalah-masalah seperti di atas, karena pengetahuan menjadi mudah diakses dan disimpan secara baik (Gambar 4).

PersonalKnowledge

OrganizationalKnowledge

+

+

Produktifitas

PenyelesaianPekerjaan

Interaksi AntarPribadi

+

+

+

++

PengetahuanBerubah

- -

Staff

+

Rekrutasi

Keluar

Kehilangan PK

Kehilangan OK

Peningkatan PK

Peningkatan OK

+

+

+

-

-

-

+

Aktifitas KM

Perubahan PKmenjadi OK

Perubahan PKmenjadi PK

Perubahan OKke PK

Gambar 4. KM Sebagai Solusi Pemindahan

Pengetahuan Aktifitas knowledge management dapat meningkatkan perpindahan pengetahuan PK-PK, OK-PK, dan PK-OK. 4. KESIMPULAN DAN RISET LANJUTAN Knowledge management merupakan langkah strategis untuk perusahaan dalam proses pengembangan sumber daya manusia yang mempunyai pengetahuan pribadi yang dapat meningkatkan produktifitas dan pengetahuan perusahaan. Diagram cause-effect dapat memberikan kemudahan untuk memahami pengaruh knowledge management dalam perusahaan dengan baik. Model ini perlu terus dikembangkan untuk memungkinkan lebih mengetahui terhadap pengaruhhnya apabila diterapkan teknologi informasi untuk mendukung knowledge management, dan juga dapat dikaji tentang pengaruh sistem manajemen perusahaan untuk kelancaran penerapan knowledge management.

Page 100: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

92

DAFTAR PUSTAKA 1. MIT. Road Maps: A Guide to Learning System

Dynamics. 2. Kirkwood, Craig W. System Dynamics Methods:

A Quick Introduction. College of Business Arizona State University, 1998.

3. Kotnour, T., Orr, C., Spaulding, J. and Guidi, J. (1997). Determining the Benefit of Knowledge Management Activities. International Conference on Systems, Man, Cybernetics. 94-99. Orlando, Florida.

4. Davenport, T., De Long, D. and Beers, M.

Research Note: What is a Knowledge Management Project?. http://www.businessinnovation.ey.com/mko/pdf/KMPRES.PDF.

RIWAYAT PENULIS

Mohamad Haitan Rachman lahir di kota Bandung tanggal 2 Agustus 1966. Sedang mengikuti pendidikan S3 dalam bidang Knowledge Management di Multimedia University (MMU), Cyberjaya Malaysia. Saat ini sedang memimpin sekolah tinggi manajemen ilmu komputer

(STMIK) Mahakarya, Jakarta, dan perusahaan yang bergerak dalam solusi manajemen dan IT, PT Multiforma Sarana Consultant, Bandung. Dapat dikontak melalui email [email protected].

Page 101: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

93

VISUALISASI DAN DATABASE PENGISIAN BOTOL PADA INDUSTRI KIMIA BERBASIS MIKROKONTROLER

DENGAN PEMROGRAMAN VISUAL BASIC 6.0

A. Sofwan, M. Abror dan O.Namara Jurusan Teknik Elektro - Fakultas Teknologi Industri, Institut Sains dan Teknologi Nasional

Jl. Moh. Kahfi II, Jagakarsa, Jakarta 12640, Tel. 021-79195268, Fax. 79195269 E-mail: [email protected]

Abstract The safety factor of system operator in chemical industry is very important for the system operator. In these globalization era where the operation controller machine is remotely operated, the operators can work in safety room for controlling of chemical product area as dangerous localisation. One of the applications of chemical production process in this research is a visualization and product database of water vessel filling. In this liquid filling process is used a microcontroller type MCS-51 as a transmitter and as data receiver of used sensor. Beside that, installed computer and his database were operated on real time to make a with various parameter integrated system. The process of production control consists of 4 steps, which are process monitoring, quality control, reporting and product data archive.

Keywords: Visualisasi, Industri kimia, Visual Basic, Mikrokontroller, Keselamatan kerja.

I. Pendahuluan Produktivitas dalam sebuah industri dewasa ini dilaksanakan dengan menggunakan otomatisasi mesin termasuk juga didalamnya proses yang terintegrasi. System otomatisasi digunakan pada suatu industri seperti industri kimia adalah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keluaran (output) dari sebuah mesin dan sekaligus hal itu menggantikan operator yang dijalankan oleh manusia. Terutama dalam hal pengoperasian dan pengendalian mesin dengan bantuan alat-alat pengontrolan yang bersifat elektronik dan komputer serta pemrogramannya. Seiring dengan lajunya waktu ke waktu, proses otomatisasi tersebut dapat terus mengalami penyempurnaan seperti halnya visualisasi proses produksi. System tersebut dapat mengontrol proses produksi secara remote / jarak jauh, merekam setiap aktivitas produksi yang sedang berjalan, serta mencatat hasil produksi secara langsung ke dalam sebuah database. Hal ini diperlukan terutama bagi pengolahan industri kimia yang tidak diperkenankan bersentuhan secara langsung. Semua hal itu dilakukan dengan perantara seperangkat komputer yang dapat dihubungkan

dengan jaringan, sehingga setiap informasi yang berkaitan dengan aktivitas produksi dapat langsung diketahui, dikendalikan serta dikoordinasikan oleh operator dan pihak yang membutuhkannya dalam jarak tertentu. Dengan demikian akan sangat membantu operator dalam meningkatkan kwalitas kerjanya. Pada penjelasan penelitian yang diuraikan dalam makalah ini, system tersebut akan diujicobakan untuk diterapkannya pada suatu bagian dari industri kimia yaitu pada proses pengisian botol atau bejana. Proses pengisian ini merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang dgerakkan oleh sebuah motor. Dalam hal ini seorang operator tidak diperkenan untuk berada terlalu sering pada lokasi produksi, ia dapat tetap berada di ruang operator ataupun ruang kendali utama. Hal itu disebabkan untuk menghindari efek kimia yang berbahaya secara langsung. Dengan demikian operator cukup mengawasi proses produksi dan pencatatannya dari sebuah ruangan yang aman dari efek kontaminasi tersebut. Selain itu dalam ruangan tersebut sudah terpasang seperangkat komputer yang dapat digunakan dan terhubung secara langsung dengan sebuah mikrokontroler sebagai pengendali mesin produksi, terutama untuk proses yang dianggap cukup berbahaya bagi manusia. Dengan demikian

Page 102: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

94

keselamatan kerja bagi operator di bidang industri kimia dapat ditingkatkan. II. Konfigurasi Konfigurasi sistem secara keseluruhan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian utama, yaitu: Seperangkat PC (Personal Computer), Kontroler yang dipilih beserta sistem pengamanannya dan mesin produksi sebagai bagian yang dikendalikan. Hal itu terpampang dengan jelas pada gambar 1 dibawah ini:

Gambar 1. Diagram Blok PC PC atau Personal Computer digunakan sebagai GUI (Graphical User Interface) yang berfungsi untuk mengendalikan dan sekaligus memonitoring sistem serta menyimpan data-data produksi guna pengarsipan. Adapun perangkat software minimal yang dibutuhkan dalam sistem ini yaitu: Microsoft Windows, program visualisasi pengisian botol & program database. Program visualisasi tersebut selain menampilkan simulasi aktivitas produksi yang sedang berjalan dengan juga menampilkan tombol start, tombol data dan tombol maintenance yang dapat diklik untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu. Hal itu dianggap sebagai menu utama. Sedangkan program database digunakan sebagai penyimpan data-data produksi yang sedang berjalan ke dalam komputer. Adapun bentuk dari visualisasi sistem pengisisan cairan pada suatu bejana dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini:

Gambar 2. Program visualisasi pengisian botol

Secara keseluruhan, sistem tersebut terdiri dari beberapa bagian utama, yaitu: Kontroler Kontroler ini merupakan alat pengendali dari sistem ini dan dipilih untuk menggunakan Mikrokontroler jenis MCS-5`1 yang juga telah diprogram untuk mengendalikan mesin mesin produksi. Mesin Produksi Pada bagian mesin produksi Pengisian Botol digunakan berbagai perangkat, yaitu: Konveyor beserta motor penggeraknya, mesin pompa, solenoid, limit switch dan level tank. Sistem tersebut dapat dilihat pada gambar 3 berikut:

Gambar 3. Mesin Produksi Pengisian Botol III. Prosedur Operasi Operator dapat menggunakan software program visualisasi pengisian botol untuk beberapa fungsi dengan mengklik tombolnya melalui mouse, sebagaimana terlihat pada gambar 4. Tombol fungsi tersebut terdapat 3 tombol utama, yaitu:

Page 103: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

95

Gambar 4. Tombol Fungsi Tombol Start Tombol Start digunakan untuk mengaktifkan sistem pengisian botol yang akan berjalan secara otomatis. Conveyor akan aktif untuk menggerakkan ban berjalan. Dengan demikian bejana yang akan diisi akan bergerak ke arah dan dengan batas tertentu hingga menyentuh limit switch. Selain itu ada pula tombol STOP. Setelah tombol Stop ditekan, maka tulisan START yang ada pada tombol akan berubah menjadi STOP. Tombol Stop berfungsi untuk mengakhiri atau mematikan sistem yang sedang berjalan, sehingga sistem tidak lagi bekerja. Tombol Data Tombol Data digunakan untuk memanggil program Database Produksi. Program ini secara otomatis akan mencatat jumlah produksi dan status mesin produksi beserta waktu pengoperasiannya. Dengan demikian data akan terrecord secara otomatis, sehingga dapat mengurangi human error yang seringkali terjadi. Bentuk Database tersebut ditampilkan pada gambar 5 berikut.

Gambar 5. Program Database

Tombol Maintenance Tombol Maintenance berfungsi untuk mengetahui atau mencari informasi tentang letak gangguan yang terjadi pada mesin produksi apabila timbul suatu masalah atau kerusakan. Ketika terjadi kerusakan di salah satu komponen dari mesin produksi secara otomatis sehingga mudah diketahui oleh operator. Komputer akan memberitahukan melalui program visualisasi dengan suara beep dan gambar komponen pada program visualisasi yang berkedap-kedip. Hal itu menandakan bahwa bagian yang berkedip tersebut tidak dapat berjalan dengan sempurna ataupun terjadi kerusakan. Namun demikian kerusakan tidak selalu berada pada bagian yang oleh program visualisasi ditunjukkan berkedip-kedip. Untuk itu diperlukan tombol-tombol tester yang fungsinya untuk mengetes / menguji satu persatu komponen yang ada. Tombol-tombol tester tersebut muncul setelah tombol maintenance ditekan atau diklik. Hal ini merupakan upaya pencarian kesalahan secara manual. Dengan demikian sistem ini dapat mengkombinasikan antara otomatisasi dengan manual. Beberapa tombol tester pada industri tersebut dapat ditampilkan gambar 6 dibawah ini. Pada lokasi-lokasi utama perlu diletakkan dan ditempatkan tombol tombol tersebut.

Gambar 6. Tombol-tombol Tester

IV. Deskripsi Kerja Sistem Master on system dapat dipaparkan dengan menekan tombol Start atau diklik, maka software tersebut akan mendeteksi dan memberikan semua informasi yang ada pada mesin produksi serta mengaktifkannya, yaitu diantaranya: - Level Tank visualisasi pada komputer

menunjukkan keadaan sebenarnya pada Mesin Produksi. Seberapa banyak air yang tersedia bagi pengisisan botol dapat dikontrol. Bila air yang tersedia berkurang maka dapat mengaktifkan pompa untuk mengisinya kembali.

- Pompa akan bekerja untuk mengalirkan air dari tangki 1 ke tangki 2. Jika tangki 2 tidak penuh, ditandai pula dengan perubahan

Page 104: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

96

warna pompa visualisasi pada komputer dari warna merah menjadi hijau sebagai indikator kerja pompa.

- Konveyor pada mesin produksi aktif atau berjalan ditandai dengan visualisasi motor yang berubah warna dari merah menjadi hijau serta konveyor akan tampak berjalan / bergerak.

- Botol sebagai bejana zat cair yang bergerak melalui konveyor dan juga dapat tampak visualisasinya pada komputer. Bila botol yang bergerak tersebut akan menyentuh limit switch maka akan menyebabkan konveyor berhenti berjalan dan katup solenoid terbuka. Hal tersebut akan terulang kembali setiap ada botol yang melalui limit switch tersebut.

- Setelah botol terisi penuh, katup solenoid kembali tertutup dan selanjutnya konveyor dapat kembali berjalan.

Proses tersebut akan dapat terus berulang kembali hingga saat tombol Stop yang tersedia ditekan. Dengan tertekannya tombol tersebut maka dapat untuk menghentikan aktivitas produksi dan proses berakhir/selesai. V. Kesimpulan Kelebihan menggunakan sistem visualisasi & Database pada Industri Kimia yaitu: - Mengurangi efek negatif dari bahan kimia yang

dihadapi oleh operator. - Mempermudah pengawasan atas mesin

produksi. - Laporan data produksi yang lebih cepat dan

akurat. - Dapat langsung diakses oleh pihak yang

berkepentingan melalui komputer yang terhubung dengan jaringan.

Kekurangan - Pembuatannya yang tidak efisien. - Biaya yang terlalu mahal. - Penempatan PC sebagai server yang cukup

banyak memakan tempat. References: 1. Simulasi Penggunaan Scada untuk Visualisasi

Proses Produksi pada instrumen Mixer Tank – A. Syaefudin, Jakarta, 2003.

2. Aplikasi Programmable Logic Controller dalam Industri Proses Pengisian Bejana – S. E. Kuncoro, Jakarta, 2003.

3. Pemrograman Visual Basic 6, Elek Media Komputindo, 2000 4. Aplikasi Visual Basic Dalam Industri Manufaktur,

Elek Media Komputindo, 2002. RIWAYAT PENULIS A.Sofwan, Ia dilahirkan di Jakarta 42 tahun yang lalu. Menamatkan S1 di ISTN, S2 di UI dan S3 di Universitas Bremen, Jerman. Kini ia menjadi dosen di ISTN dan ditugaskan dalam Pengelolaan Pascasarjana ISTN. M.Abror, merupakan peneliti dan sekaligus sebagai mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir dibawah bimbingan A.Sofwan Otto Namara, merupakan peneliti dan wirauasahawan sekaligus sebagai alumni yang senang berinteraksi dengan tema penelitian tersebut diatas.

Page 105: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

97

PENGATURAN SISTEM KERJA KECEPATAN MOTOR DC PADA MESIN PRODUKSI KEMPA TABLET

BERBASIS FUZZY

A.Sofwan dan A.Irfan Institut Sains Dan Teknologi Nasional

Jl.Moh.Kahfi II.Jagakarsa Jakarta 12640 E-mail: [email protected]

Abstract The Fuzzy Logic control has presented for a speed controlling of DC motor of Tablet product machine “kempa tablet” The Fuzzy Logic control is a summe of functions, which are built on the MATLAB. Control system based on designed of motor DC with programmable fuzzy logic from computer programs. The Fuzzy Logic Toolbox in MATLAB is a tool for problemsolving with fuzzy logic principle. Research by this program is very interest, because it can make a good result of linearity of some problem parameters. This Paper discusses about a models of linear, time invariant (LTI) dynamical systems using functions from the Control System Toolbox. It begins by developing a simple single-input, single-output (SISO) model of a DC motor and describes the various model representations. Typically, control engineers is began by a developing a mathematical description of the dynamical system.This to-be-controlled system is called a plant. An used plant in this research is the DC motor. This research develops the differential equations that describe the electromechanical properties of a DC motor with an inertial load. The result shows a good linearity models of used Control System Toolbox. Keywords : speed, control, motor DC and fuzzy logic

1. PENDAHULUAN Saat ini banyak alat-alat yang memerlukan putaran kecepatan Motor arus searah (DC), tetapi jarang digunakan pada aplikasi industri umum karena semua sistem untiliti listrik di perlengkapi dengan perkakas arus bolak-balik. Meskipun demikian, untuk aplikasi atau kasus khusus, adalah dapat menguntungkan jika mengubah arus bolak-balik menjadi arus searah dengan menggunakan motor DC. Hal itu terutama pada aplikasi mesin kempa tablet berbasis Fuzzy. Mesin yang dimaksud

Motor arus searah digunakan dimana kontrol torsi

dan kecepatan dengan rentang yang lebar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan aplikasi. Makalah ini menjelaskan mengenai tahap-tahap perancangan sistem pengedali kecepatan motor DC.

2. Perancangan Sistem Motor DC Dari penjelasan makalah ini, diketahui bahwa kecepatan motor DC dapat diatur dengan menggunakan pengendali. Ilustrdari sistem pengendali kecepatan motor DC diberikan oleh gambar.1.

PENGENDALI PLANT

-+

r u y

Gambar 1

Pengendali Kecepatan Diagram Blok Sistem Motor

Page 106: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

98

Dari gambar 1 dapat dilihat prinsip kerja pengendali yang berguna untuk mempertahankan kondisi perputaran motor yang mana akibat perputaran ini bisa menghasilkan kecepatan motor yang akan dikendalikan oleh pengendali dan close loop (loop tertutup) umpan balik akan membantu pengendali untuk menentukan nilai response yang dihasilkan input r (masukan) maupun output y (keluaran) sehingga nantinya hasil keluaran sesuai dengan hasil yang diinginkan. Adapun keluaran y merupakan kecepatan motor DC (Arus Searah) dari sistem motor yang bebasiskan pada simulasi komputer dengan software MATLAB. Data motor DC yang digunakan dalam simulasi MATLAB tersebut, menggunakan data motor dari web site www.engin.umich.edu [3] sebagai berikut: Keluaran ini akan diberikan kembali sebagai umpan balik kepada pengendali. Dalam merancang pengendali yang akan digunakan, perlu dilihat terlebih dahulu keluaran open loop (lup terbuka) dari sistem motor DC. Untuk mendapatkan persamaan ruang keadaan sistem motor DC maka parameter pada tabel 1 dimasukkan ke dalam persamaan yang didapat dengan menggunakan bantuan MATLAB. Selanjutnya akan didapatkan matriks A, B, C, D dari bentuk umum model persamaan ruang keadaan sistem motor DC untuk kecepatan.

Tabel 1 Parameter motor DC untuk kecepatan

J Momen Inersia 0.01 kg.m2/s2

F Koefisien gesekan 0.1 Nms

K a Konstanta pembanding

0.01 Nm/Amp

Kb Konstanta g.g.l balik

0.01 Nm/Amp

R a Resistansi 1 Ohm

L a Induktansi 0.5 H

Model persamaan tersebut dinyatakan dalam bentuk berikut:

DuCxyBuAxx

+=+=

( 1)

dan matriksnya sebagai berikut :

−−

−=

00.202.000.100.10

A ;

=

20

B

[ ]01=C [ ]00=D (II)

Selanjutnya, dibuat simulasi dari sistem motor DC dengan Lup terbuka (Open Loop), seperti dalam gambar 2 berikut ini :

Gambar .2

Simulasi lup Terbuka Sistem Motor DC Hasil Gambar 2 didasari dari rumus :

)(12

2

2

2

dtdFIK

Jdtd

dtdFT

dtdJ aa

θθθθ−=⇒−=

)(1

dtdKVIR

LdtdieVIR

dtdiL baaa

aaaaaa

θ−+−=⇒−+−=

Pada gambar 2 nilai input kendali V merupakan step input yang dikolerasikan dengan waktu t=0, jadi nilai yang diberikan untuk referensi adalah 0, karena tujuan dari sistem adalah agar keluaran sistem harus kembali menuju ke kondisi awal. Setelah simulasi dijalankan maka akan didapatkan keluaran y sebagai kecepatan motor DC sebagai berikut (pada Gbr 3 )

Page 107: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

99

Gambar 3

Keluaran Lup Terbuka dari simulasi Sistem motor DC Dari Gambar 3 diatas Terlihat bahwa keluaran dari sistem motor Dc ini memiliki waktu penetapan (settling time) sekitar 2,07 detik dan parameter kecepatan 0.1 rad/s, sehingga sistem ini masih kurang sempurna dan kurang memuaskan sebab sistem ini membutuhkan waktu penetapan (settling time) yang sangat lama jadi respon sistem ini kurang praktis dan dari parameter kecepatan yang telah ditetapkan respon sistem membutuhkan waktu sekitar 3 detik untuk mencapai keadaan tunak (steady state). Jadi yang diinginkan adalah ketika peralatan ini dihidupkan, motor harus berkombinasi dengan sistem secepat mungkin dan sistem mencapai keadaan tunak dengan waktu yang cepat. Maka dari itu perlu adanya pengendali untuk mengendalikan sistem tersebut yang mengatur besar amplitude dan waktu penetapan, sehingga kecepatan motor dc ini konstan dan seimbang tanpa mengalami overshoot. Untuk menentukan pengendali apa yang sesuai untuk sistem maka, program MATLAB menyediakan suatu fasilitas yang gunanya untuk melihat kestabilan sistem yaitu Root Locus. Maka dari itu bisa dilihat kestabilan sistem dari persamaan Transfer Function yaitu persamaan:

))(()()(

)().(baaa

a

a

affm KKFsJsLRs

KsVs

sG+++

==θ

Dengan memasukkan persamaan tersebut ke dalam program MATLAB dengan fasilitas Root

Locus maka akan terlihat gambar sebagai berikut:

Gambar 4 Diagram Root Locus dari sistem motor DC

Dari gambar terlihat bahwa ada satu pasang poles pada sumbu nyata (real-axis) dalam gambar tersebut yaitu poles yang terletak disebelah kiri pada sumbu nyata bernilai –10 dan poles yang terletak di sebelah kanan pada sumbu nyata (real axis) bernilai –2. Sekarang yang dibutuhkan dari sistem ini adalah waktu penetapan (settling time) dan overshoot sekecil mungkin. Damping yang besar yang cocok untuk titik pada root locus dekat sumbu nyata (real axis) dan respon cepat dari sistem yang cocok untuk titik pada root locus jauh di sebelah kiri dari sumbu imajiner (imaginary axis). Untuk menemukan gain yang cocok untuk titik pada root locus, maka dari fasilitas MATLAB berupa perintah rlocfind, maka bisa ditemukan gain dan plot step response. Dengan simulasi dari MATLAB terlihat gambar diagram Root Locus.

Page 108: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

100

Gambar 5 Diagram Root Locus dari sistem motor DC

Dan selanjutnya pilih titik pada root locus pertengahan garis antara sumbu nyata dan damping. Maka dari program MATLAB akan mengeluarkan output dari pemilihan titik yang sudah dilakukan maka akan didapatkan keluarannya berupa pemilihan point yang dipilih, gain (k) dan poles. Keluarannya sebagai berikut: selected_point =

-5.9966 + 2.0375i k = 10.0658

poles = -6.0000 + 2.0375i -6.0000 - 2.0375i

Gambar 6 Step Response sistem dengan Gain 10

Kemudian setelah MATLAB digunakan maka akan memberikan keluaran – keluaran, secara otomatis.

Gambar 5 akan berubah menjadi gambar step response dengan gain 10. dan selanjutnya gambarnya akan terlihat seperti pada gambar 3.6. Seperti yang terlihat, bahwa sistem ini over damped dan waktu penetapannya (settling time) sekitar 1 detik. Jadi dengan waktu penetapan (settling time) yang cepat dan tanpa overshoot yaitu overshootnya 0%, maka sistem ini memuaskan, tapi yang jadi masalah sekarang adalah terlihat dari gambar 3.6. Hal itu menunjukkan bahwa untuk steady state errornya hingga mencapai 50 %. Jika gain dinaikkan untuk mengurangi steady-state error, maka yang terjadi adalah overshoot akan menjadi besar. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan pengendali untuk mengurangi steady-state error dan pengendali yang cocok untuk sistem ini dan sudah terbukti tingkat kestabilannya adalah pengendali Fuzzy logic. 3. HASIL DARI PERENCANAN Hasil dari metode fuzzy logic pada mesin kempa tablet ini pada kecepatan motor DC dapat dilihat pada matlab dari parameter diatas, maka akan didapatkan Step Response pada pengendali Fuzzy Logic tersebut dari system gain 10 (Lihat gambar 6) untuk steady state errornya mencapai 50 % dengan menaikkan gain, maka akan terjadi nilai kestabilan yang stabil. DAFTAR PUSTAKA 1. Benjamin C.Kua, Automatic Control System,

seventh edition, Prentice Hall Inc, 1995 2. Katsuhiko Ogata, Tehnik Kontrol Automatik,

Erlangga, Jakarta, 1997 3. www.engin.umich.edu 4. Delores M.Etter and David C. Kuncicky with

Doug Hull, Introduction to MATLAB 6, Prentice Hall Inc, 2002

RIWAYAT PENULIS A.Sofwan, Ia dilahirkan di Jakarta 42 tahun yang lalu. Menamatkan S1 di ISTN, S2 di UI dan S3 di Universitas Bremen, Jerman. Kini ia menjadi dosen di ISTN dan ditugaskan dan diperbantukan dalam Pengelolaan Pascasarjana ISTN. Ahmad Irfan (24 th ) Jakarta 18 September 1980 pendidikan di ISTN Jakarta Jurusan Elektro S1 tahun 1999 - sekarang. Organisasi yang pernah diikuti Anggota ROHIS ISTN dan juga pernah mengikuti kursus mikrokontroller, advance PLC Mitstubishi.

Page 109: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

101

ALGORITHMA UNTUK DETEKSI QRS SINYAL ECG

Pratondo Busono1,2), Eddy Susanto2), Wiewie2), dan Yuliana Sadeli2)

1)Bidang Teknologi Alat Kesehatan Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Farmasi dan Medika

Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT

2)Jurusan Teknik Informatika

Fakultas Ilmu Komputer Universitas Bina Nusantara

Jakarta

Abstract The heart failure is the most common reasons of death nowdays, but if the medical help is given directly, the patient’s life may be saved in many cases. Numerous heart deseas can be detected by means of analysing cardiogram. This paper presents an algorithm for extracting characteristic features of ECG signals. The features are used to detect lifethreatening arrhytmias. Keywords: ECG, QRS detection

I. PENDAHULUAN

Jantung merupakan bagian terpenting dalam sistem peredaran darah manusia. Bagian ini selalu berkontraksi memompa darah keseluruh tubuh. Gerakan kontraksi otot jantung tersebut menghasilkan impuls ritme yang teratur. Pada keadaan normal, jantung bagian atria akan

berkonstraksi lebih cepat dari pada bagian ventrikel sehingga terjadi pengisian darah di ventrikel sebelum dipompa ke seluruh tubuh.

Pada jantung terdapat beberapa sel pemicu denyut jantung yang dapat merubah sistem kelistrikan jantung. Sinyal ECG mereflesikan peristiwa kelistrikan yang terjadi dalam jantung. Aktifitas kelistrikan dalam jantung ini dapat

direkam pada permukaan tubuh manusia, khususnya pada lokasi-lokasi tertentu.

Elektrokardiogram merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur potensial listrik sebagai fungsi waktu yang dihasilkan oleh jantung. Perbedaan potensial tersebut divisualisasikan sebagai sinyal pada layar monitor. Sebuah siklus sinyal ECG pada jantung sehat seperti yang

ditunjukan oleh gambar 1, biasanya merupakan gabungan dari gelombang P, Q, R, S, T dan U. Masing-masing gelombang tersebut merepresentasikan proses kelistrikan jantung [2].

Kegunaan elektrokardiogram ini yang sangat bermanfaat untuk mengetahui kondisi jantung pasien, sehingga menjadikan alat ini sebagai peralatan standar bagi semua rumah sakit.

Gambar 1 Sebuah siklus sinyal ECG [2]

Page 110: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

102

Manfaat elektrokardiogram adalah dapat memeperlihatkan adanya :infark miokard dan iskemi miokard, gangguan irama jantung atau arrhythmias, gangguan jantung karena penyakit sistemik dan gangguan karena pengaruh obat-obatan yang berpengaruh terhadap fungsi jantung [2,3].

Walaupun mengetahui cara kerja ECG relatif mudah namun untuk mengetahui informasi yang terdapat pada data hasil rekaman ECG tidaklah mudah. Untuk membaca EKG diperlukan pengalaman dan pengetahuan mengenai penyakit jantung serta gejala-gejalanya. Esktraksi manual terhadap informasi penting sinyal ECG sangatlah tidak efisien karena banyaknya data yang harus diamati [3]. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan bantuan komputer untuk mengetahui karakteristik dari sinyal. Dengan cara ini, maka deteksi bentuk sinyal (P, QRS, T), interval yang memisahkan mereka, durasi, fluktuasi dapat dilakukan dengan lebih teliti. Akuisisi rekaman ECG berkualitas tinggi sangat penting untuk mendeteksi munculnya gejala arrhythmias pada serangan jantung mendadak.

Kesulitan-kesulitan di atas dapat ditanggulangi dengan merancang sebuah perangkat lunak yang dapat menganalisa secara online maupun offline gelombang ECG dan kemudian mendiagnosanya sehingga probabilitas penyakit yang diderita dapat diketahui. Beberapa hal yang bisa diharapkan adalah adanya peningkatan ketelitian membaca pola ECG dan pengurangan durasi waktu dalam memeriksa kompleks QRS ventrikular .

II. PEMROSESAN SINYAL DAN DETEKSI QRS

Analisa data ECG secara lebih detail dapat diuraikan sebagai berikut. Proses ekstrasksi informasi yang terkait dengan karakteristik sinyal ECG seperti durasi sinyal, luas area dan lebar gelombang QRS dilakukan oleh perangkat lunak dalam komputer. Diagram blok dari algorithma yang digunakan untuk mendeteksi karakteristik sinyal ECG dapat dilihat pada Gambar 2. [2]

Pemrosesan sinyal ECG dilakukan secara simultan melalui dua jalur pemroses. Jalur pertama digunakan untuk memproses sinyal berfrekuensi tinggi (gelombang QRS), sedangkan jalur kedua digunakan untuk menapis sinyal berfrekuensi rendah (gelombang P dan T). Pada jalur pertama, gelombang ECG ditapis dengan menggunakan filter lolos pita untuk mengekstrak komponen dari gelombang QRS. Setelah pemfilteran, beberapa tahapan pemrosesan dilakukan seperti baseline removal, pengkuadratan, penyekalaan dan penapisan dengan menggunakan moving average.

Kompleks QRS memiliki komponen sinyal dalam frekuensi yang relatif lebar, berkisar antara 2-100Hz dengan puncaknya pada 10-15 Hz. Output sinyal ECG setelah dilakukan pemfilteran dengan menggunakan Hamming Window, dapat dinyatakan dengan persamaan berikut [2,5],

[ ] [ ] [ ]inEihN

nEF

F

N

NiF

++

= ∑=

01 121

(1)

dimana [ ]nE0 adalah sinyal ECG asli. Setelah difilter, dilakukan scaling pada sinyal

supaya amplitudo mempunyai kala maksimum sama dengan 10.

[ ] [ ][ ]minmax

12 10

EEnEnE

−= (2)

dimana maxE dan minE adalah nilai maksimum

dan minimum dari 1E dalam interval waktu tertentu.

Sinyal yang sudah diskala kemudian dikuadratkan untuk memperkirakan kekuatannya dan dihaluskan dengan moving window integrator [2,5],

[ ] [ ]( )2

21

3

1

112

1 ∑−=

++

=N

Ni

inEN

nE (3)

sinyal E3[n] merepresentasikan perkiraan kekuatan jangka pendek ECG yang sudah difilter sekitar waktu n.

Proses dynamic thresholding kemudian dilakukan untuk mendeteksi onset dan offset gelombang QRS [2,5]

[ ] [ ] [ ] [ ]B

KnTnE

nTnT +−+

+=+1

1 3 (4)

dimana [ ]1+nT dan [ ]nT adalah nilai T yang

baru dan nilai T yang lama. [ ]13 +nE adalah sinyal ECG yang telah difilter, dan B adalah nilai offset. Adanya noise dan gangguan bentuk gelombang kadang masih menyebabkan kesalahan deteksi gelombang QRS. Threshold dapat diadaptasikan dalam berbagai situasi berdasarkan faktor pembobot K. Terakhir, setelah menggunakan dynamic threshold maka posisi kompleks QRS dapat diketahui dengan mencari lokasi sinyal [ ]nE 3 maksimum dalam periode deteksi QRS.

Dalam penelitian ini untuk klasifikasi gelombang QRS digunalan metoda Minimum distance classifier. Dibandingkan metoda lainnya,

Page 111: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

103

teknik ini mempunyai keuntungan dalam kemudahan implementasi dan kelebihan dalam waktu perhitungan yang cukup cepat. Penggunaan fungsi diskriminan diperlukan untuk menentukan jarak terdekat suatu objek dalam suatu ruang ciri (feature space ) yang digunakan untuk klasifikasi. Misalnya ada banyak titik yang terdapat pada feature space dimana titik-titik tersebut berkelompok dan mewakili masing-masing class, maka klasifikasi jarak minimum mengelompokkan titik pola x ke dalam class yang terdekat dengannya.

Klasifikasi jarak minimum digunakan untuk mengenali pola kompleks QRS normal. Pengukuran jarak berikut ini digunakan untuk menentukan kompleks QRS normal atau ventrikular [1]

( ) ( ) ( ) ( )255

222

211521 ,, cccccccccd −+−+−=

(5)

dimana c1, c2, dan c5 adalah koefiesien polinomial Chebyshev yang merepresentasikan sinyal yang dianalisa.

III. HASIL

Gambar 3 menunjukan sinyal ECG sebelum proses penapisan dilakukan sinyal tersebut diambil pada durasi tertentu. Data yang digunakan bersumber dari referensi [4]. Sinyal tersebut dilewatkan dalam bandpass filter untuk menghilangkan segala bentuk gangguan dan noise.

Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah penghilangan geseran garis dasar sehingga garis dasar gelombang mendekati nol dengan menggunakan metode pengepasan kurva berdasarkan polinomial Chebyshev [5]. Agar dapat dengan efisien menghilangkan pergeseran garis dasar, digunakan pendekatan polinomial orde ke-6 dihitung dalam window 1024 sample (2.85 detik). Lalu hasil perhitungan perkiraan garis dasar dikalikan dengan fungsi pembobot (weighting function) kemudian dikurangkan dari sinyal. Fungsi pembobot di tampilkan pada Gambar 4.

Sinyal ECG

Baseline removal

Filter lolos rendah Filter Lolos pita

Baseline removal,dan moving

Dynamic threshold

Ekstrasi QRS

Deteksi QRS Klasifikasi bentuk QRS

Puncak R

Klasifikasi bentuk QRS

Puncak R

Analisa

Diagnosa

Gambar 2. Algorithma untuk analisis sinyal ECG [2]

Page 112: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

104

Lalu window digerakkan sebanyak 512

sampel dan prosedur diatas diulangi. Alasan dilakukan ini adalah untuk menghilangkan

diskontinuitas dari pendekatan kurva pada akhir window. Hasil yang didapatkan setelah proses base removal dapat dilihat pada Gambar 5. Dari gambar tersebut terlihat bahwa garis dasarnya mendekati nilai nol.

Setelah proses base line removal dilakukan, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah proses averaging, scaling dan squaring. Untuk proses squaring, sinyal dikuadratkan dan dihaluskan bentuknya dengan menggunakan moving window integrator. Lebar window integrator yang digunakan sama dengan 5. Gambar 6 menunjukan hasil dari proses squaring tersebut.

Garis batas (threshold) digunakan sebagai batas acuan untuk mendeteksi kompleks QRS. Garis threshold ini akan mengikuti sinyal ECG, namun apabila terjadi perubahan yang mendadak, maka garis ini tidak akan mampu mengikuti sinyal ECG tersebut. Sehingga area gelombang akan berada di atas garis threshold dan area tersebut dianggap sebagai kandidat kompleks QRS.

Dengan menemukan nilai maksimum dari suatu sinyal pada periode deteksi tertentu, maka lokasi puncak R dapat diketahui seperti yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 3 Sinyal EKG Asli Sebelum Tahap Digital Bandpass Filter dilakukan

Gambar 5 Garis Dasar Digeser Sehingga Mendekati Nol

Gambar 4 Fungsi Pembobot (Weighting Function) Untuk Perkiraan Garis Dasar [2]

Page 113: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

105

Setelah lokasi kompleks QRS dapat diketahui, langkah berikutnya adalah menentukan apakah kompleks QRS yang terdeteksi normal atau tidak. Karena bandpass filter sudah banyak mendistorsi sinyal, maka pada langkah ini kembali menggunakan sinyal ECG yang masih belum diolah. Sinyal tersebut selanjutnya ditapis dengan menggunakan tapis lolos rendah (low pass filter).

Dengan formula Chebyshev didapatkan koefisien-koefisien yang berguna untuk menentukan distribusi sinyal ECG tersebut dalam ruang ciri (feature space). Kombinasi dari koefisien-koefisien tersebut akan mengelompok menurut jenisnya, sehingga akan diperoleh klasifikasi pola sinyal ECG.

Klasifikasi pola sinyal menggunakan Euclidean distance untuk mengenali pola

Gambar 6 Tahap Squaring Dan Moving Window Integrator

Gambar 7 Posisi Kompleks QRS

Gambar 8 Klasifikasi Bentuk QRS

Page 114: Prosiding Semiloka 2004

Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2004

106

kompleks QRS normal atau tidak. Persamaan 5 digunakan untuk mencari titik pusat gravitasi pada ruang ciri (feature space). Bila ternyata pemetaan koefisien jaraknya jauh dari pusat gravitasi normal, maka titik tersebut tergolong ventrikular. Gambar 8 menunjukan klasifikasi sinyal ECG berdasarkan nilai perhitungan jarak (eiclidian distance) dalam ruang ciri. Simbol V merah menunjukan adanya anomali (ventricular) dalam sinyal ECG yang diproses.

Setelah kompleks QRS diklasifikasi, arrythmia jantung dapat diketahui jenisnya dengan satu set rules fuzzy expert system. Dalam dua langkah proses sebelumnya didapatkan lokasi denyut dan pengukuran jaraknya dari kompleks QRS normal (pada feature space). Maka hasil-hasil tersebut yang dijadikan input dalam fuzzy expert system sehingga menghasilkan diagnosa akhir. Input data diperoleh dari lima QRS berturut-turut seperti pada Gambar 9.

Dari hasil tersebut dapat ditentukan beberapa karakteristik yang akan digunakan dalam diagnosis yaitu : • Interval antar kelima kompleks QRS (t1, t2, t3, t4)

dalam satuan detik. • Denyut jantung per menit.

• Jumlah kompleks QRS ventrikular diantara lima

denyut yang dianalisa. • Varian interval. • Waktu yang terhitung sejak kompleks QRS

terakhir.

Kelima hal di atas menjadi variabel dalam expert system, dimana untuk setiap variabel didefinisikan sebuah subset fuzzy dengan nilai yang telah ditentukan dari berbagai sumber [2].

V. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasi penelitian yang telah

dilakukan maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : Perangkat keras sistem telecardiology telah

berhasil dibuat dan dapat beropersi dengan baik. Program yang dibuat telah berhasil mengenali

pola dari data rekaman ECG. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan

pengenalan pola dipengaruhi terutama oleh banyak gelombang yang dibaca oleh aplikasi. Semakin banyak gelombang yang akan dianalisa maka waktu proses dan pengenalan pola semakin lama. Waktu yang diperlukan untuk menganalisa

gelombang jauh lebih singkat daripada bila dilakukan secara manual.

VI. DAFTAR PUSTAKA

1. E.R., Davies, Machine Vision: Theory, Algorithms, Practicalities, San Diego: Academic Press Inc., 1990.

2. K. Dubowik, Automated Arrhythmia Analysis –

An Expert System for an Intensive Care Unit. New Jersey: Prentice-Hall, 1999.

3. L. Schamroth, An Introduction to

electrocardiography, Blackwell Scientific Publication, Oxford, 1990.

4. MIT/BIH Arrhythmia Database, Harvard University & Massachusetts Institute of Technology Division of Health Sciences and Technology, Cambridge, MA.

5. J.G. Proakis and D. G. Manolakis, Digital Signal Processing. Principles, Algorithms and Applications, Third Edition, Prentice Hall Inc., New York, 1996.

6. K. P. Lin, and W.H. Chang, “ A Technique for Automated Arrhythmia Detection of Holter ECG, Engineering in Medicine and Biology Society, Vol. I, 1997, pp. 183-184.

7. Ricardo Poli et al. , “A Genetic Algorithm Approach to Design of Optimal QRS Detectors, IEEE Trans. on Biomedical Engineering, 11(42), 1995, pp.1137-1141.

Gambar 9 Lima QRS Berurutan Yang Dijadikan Input Dalam Analisa