proliferasi kekuasaan kehakiman pasca amandemen uud...

20
e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017 E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 160 PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah [email protected] Lecturer of Public Law, Faculty of Syari’ah and Law, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ABSTRACT The purpose of the present study is to investigate the proliferation of judicial authority after amendment of the Indonesian Constitution 1945. Historically, judicial authority in Indonesia experienced evolutional development from period to another period. It used to be under the Supreme Court before amendment of Indonesian Constitution 1945. Since there were too many problems regarding the judicial authority, there was a need to establish extra judicial authority side by side with the Supreme Court. As a result, the government established Constitutional Court (MK), Judicial Commission (KY), and Corruption Eradication Commission (KPK). Previous studies on judicial authority have been used in this research to lead a discussion on judicial authority in Indonesia. Historical, comparative, and analytical studies have been applied to examine the existing data. The writer found that there has been proliferation of judicial authority in Indonesia, especially after the reformation era that brought amendment of the Indonesian Constitution 1945. The establishment of MK, KY and KPK are fruitful. They drive better law enforcement. However, Indonesia is in need of judicial authority model. Learning from judicial authority being practiced by countries with common and civil laws, the writer proposes a modest model for the future of judicial authority in Indonesia. Supreme Court should be the best model along with MK, KY and KPK which may distinct from other countries. It is suggested to improve the institutional capacity and human resources of the aforementioned institutions. The researcher propose ABCDEFG Plus Model i.e. Doing the justice All together, Better, Cost effectively, Democratically, Efficiently, Faster and last but not least, doing it for Government is very urgent to be implemented for the Indonesian judicial authority. Finally, the writer proposes to add one more important model, Doing it for the people as power and authority are originated from the people. Key-words: Proliferation, Judicial Authority, Supreme Court. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 1. Pendahuluan Kajian mengenai proliferasi kekuasaan kehakiman akhir-akhir ini menjadi perbincangan akademik yang sangat menarik. Kajian ini termasuk di dalam lingkup hukum ketetanegaraan—yang berada pada domain penegakan hukum dalam dunia peradilan. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum 1 . Perubahan UUD 1945 berimplikasi pada perlunya melakukan rekonstruksi ketentuan “konsepsi negara hukum” di Indonesia, yang dulunya hanya diatur di dalam Penjelasan UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaats) bukan negara berdasarkan kekuasaan atau machtsstaats2 . Mengingat akan pentingnya konsepsi negara hukum, maka ketentuan tersebut diintegrasikan ke dalam tubuh konstutusi. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, dengan menghapus terma rechtssataat. Sehingga istilah negara hukum tidak lagi disandingkan dengan terma rechtsstaat yang biasa diletakkan di dalam kurung. Ketentuan negara hukum dipindahkan ke dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1 Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. 2 Moh Mahfud, MD., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 94-95.

Upload: others

Post on 04-Feb-2020

30 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 160

PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Dr. Siti Fatimah [email protected]

Lecturer of Public Law, Faculty of Syari’ah and Law, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

ABSTRACT

The purpose of the present study is to investigate the proliferation of judicial authority after amendment of the Indonesian Constitution 1945. Historically, judicial authority in Indonesia experienced evolutional development from period to another period. It used to be under the Supreme Court before amendment of Indonesian Constitution 1945. Since there were too many problems regarding the judicial authority, there was a need to establish extra judicial authority side by side with the Supreme Court. As a result, the government established Constitutional Court (MK), Judicial Commission (KY), and Corruption Eradication Commission (KPK). Previous studies on judicial authority have been used in this research to lead a discussion on judicial authority in Indonesia. Historical, comparative, and analytical studies have been applied to examine the existing data. The writer found that there has been proliferation of judicial authority in Indonesia, especially after the reformation era that brought amendment of the Indonesian Constitution 1945. The establishment of MK, KY and KPK are fruitful. They drive better law enforcement. However, Indonesia is in need of judicial authority model. Learning from judicial authority being practiced by countries with common and civil laws, the writer proposes a modest model for the future of judicial authority in Indonesia. Supreme Court should be the best model along with MK, KY and KPK which may distinct from other countries. It is suggested to improve the institutional capacity and human resources of the aforementioned institutions. The researcher propose ABCDEFG Plus Model i.e. Doing the justice All together, Better, Cost effectively, Democratically, Efficiently, Faster and last but not least, doing it for Government is very urgent to be implemented for the Indonesian judicial authority. Finally, the writer proposes to add one more important model, Doing it for the people as power and authority are originated from the people. Key-words: Proliferation, Judicial Authority, Supreme Court. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 1. Pendahuluan Kajian mengenai proliferasi kekuasaan kehakiman akhir-akhir ini menjadi perbincangan akademik yang sangat menarik. Kajian ini termasuk di dalam lingkup hukum ketetanegaraan—yang berada pada domain penegakan hukum dalam dunia peradilan. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum1. Perubahan UUD 1945 berimplikasi pada perlunya melakukan rekonstruksi ketentuan “konsepsi negara hukum” di Indonesia, yang dulunya hanya diatur di dalam Penjelasan UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaats) bukan negara berdasarkan kekuasaan atau machtsstaats”2. Mengingat akan pentingnya konsepsi negara hukum, maka ketentuan tersebut diintegrasikan ke dalam tubuh konstutusi. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, dengan menghapus terma rechtssataat. Sehingga istilah negara hukum tidak lagi disandingkan dengan terma rechtsstaat yang biasa diletakkan di dalam kurung. Ketentuan negara hukum dipindahkan ke dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD

1 Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. 2 Moh Mahfud, MD., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 94-95.

Page 2: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 161

1945. Ini menunjukkan kejelasan akan konsepsi negara hukum yang dianut di Indonesia, karena Indonesia tidak saja menganut rechtsstaat, tetapi juga menganut rule of law. Kedua sistem hukum tersebut sangat berbeda filosofinya. Baik negara hukum dalam pengertian rechsstaat maupun rule of law dianut di Indonesia dan dijadikan sebagai paradigma negara hukum Pancasila, yang oleh Moh. Mahfud MD disebut sebagai paradigma prismatic, yaitu nilai-nilai yang baik dalam kedua sistem tersebut secara elektis menjadi hukum nasional.

Hal ini sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis sebagaimana dikemukakan Hans

Kelsen. Ia mengusulkan empat syarat rechtsstaat, yaitu: (1) negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan UU, dimana proses pembuatan UU-nya dilakukan oleh parlemen yang dipilih secara langsung oleh rakyat; (2) negara sebagai pengatur mekanisme pertanggungjawaban atas tindakan elit negara; (3) negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman; dan (4) negara melindungi hak-hak asasi manusia3. Sejalan dengan prinsip negara hukum pada poin ke-3 di atas, maka sudah seharusnya dilakukan penguatan dan kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia. Di Indonesia, sebelum perubahan ke-3 UUD 19454 tahun 2001, kekuasaan kehakiman (lembaga peradilan) diatur dalam dua pasal, yaitu Pasal 24 dan 25. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa ”Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang.” Ayat 2 pasal tersebut menyatakan bahwa ”Susunan badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang”. Pasal 25 UUD 1945 menyatakan bahwa ”Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-undang”5. Pengertian kekuasaan kehakiman tersebut tidak disebut secara tegas di dalam pasal 24-25 UUD 1945, tetapi diatur di dalam penjelasan. Di dalam penjelasan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaknai sebagai kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Asas kemandirian kekuasaan kehakiman ini sangat penting agar dalam pelaksanaan tugasnya, kekuasaan kehakiman terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya6.

Uraian tersebut di atas menggambarkan idealita kekuasaan kehakiman yang bebas dan

mandiri. Dalam pelaksanaannya tidaklah demikian, kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari kekuasaan pemerintah. Ini terlihat pada besarnya campur tangan pemerintah di bidang kekuasaan kehakiman. Pada masa Orde Lama memang ada regulasi yang mengatur penguasa untuk melakukan intervensi kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam UU 19 Tahun 1964 Pasal 19, yang bunyinya: ”Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendasak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Sedangkan pada masa Orde Baru banyak kasus intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman, sebagai contoh kasus putusan ”Henok Hebe Ohee”7. Kasus ini mencuat karena salah satu dari sekian pencari keadilan di negeri ini telah dikecewakan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah mengeluarkan ”Surat Sakti”. Akibatnya putusan pengadilan sebelumnya yang memenangkan tanah milik adat sukunya yang selama ini dikuasai oleh

3 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, 1967, hlm. 313 yang dikutip kembali oleh Denny Indrayana “ Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisisi Menuju Demokrasi vs Korupsi” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004, hlm. 106, di dalam Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press, 2007, hlm.129-131. 4 Untuk selanjutnya istilah ”sebelum perubahan UUD 1945” akan disebut ”UUD 1945”, hal ini sekedar untuk memudahkan dan membedakan istilah sebelum dan setelah perubahan UUD 1945. 5 Lihat pasal 24 – 25 Sebelum Perubahan UUD 1945. 6 Lihat Penjelasan UUD 1945. 7 Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Jakarta: Elsam, 1997, hlm. Pengantar.

Page 3: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 162

pemerintah daerah Irian Jaya tidak dapat dieksekusi. Demikian pula kasus Kedung Ombo, kasus Mochtar Pakpahan, dan lain sebagainya. Mereka sudah dimenangkan, tetapi kembali direduksi MA, dengan mengalahkan putusan peradilan sebelumnya melalui mekanisme peninjauan kembali (PK) yang menyimpang dari hukum acara pidana8. Contoh kasus diatas hanyalah sebagian kecil ilustrasi betapa realitasnya berbeda dengan idealita diatas. Selalu ada gap antara das sollen dan das sein dalam tataran praksis. Inilah gap yang menarik perhatian peneliti untuk mengkaji secara serius dan mendalam dalam disertasi ini. Terjadinya gap tersebut menimbulkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan menurun. Masyarakat gelisah dan khawatir apabila fenomena ini tidak segera diatasi, karena akan menimbulkan kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjawab persoalan penegakan hukum yang tidak mudah ini, akhirnya rakyat menghendaki adanya perubahan UUD 1945 yang mengamanatkan pembentukan lembaga peradilan baru, yaitu Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial, sebagai auxiliary organ dalam penegakan hukum. Gejala ketatanegaraan inilah yang peneliti sebut sebagai proliferasi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Mengapa terjadi proliferasi? Bagaimana bentuk proliferasinya? Adalah pertanyaan riset yang secara khusus menarik perhatian peneliti untuk dijawab melalui riset ini. 2. Pokok Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas tampak sekali gap antara das sollen dan das sein dalam konteks penegakan hukum di Indonesia yang berimplikasi pada proliferasi kekuasaan kehakiman. Karena itu, peneliti melakukan investigasi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan riset berikut ini: 1. Mengapa setelah perubahan UUD 1945 terjadi proliferasi kekuasaan kehakiman, dan bagaimana pula bentuk proliferasinya? 2. Bagaimana seharusnya kekuasaan kehakiman yang ideal untuk Indonesia ke depan? Dua pokok masalah inilah yang menarik perhatian peneliti. Proliferasi kekuasaan kehakiman telah peneliti kaji secara sistematik, dengan harapan dapat memberikan kontribusi pemikiran hukum ketatanegaraan terhadap paradigma baru kekuasaan kehakiman yang ideal untuk Indonesia di masa 3. Perdebatan di Seputar Kekuasaan Kehakiman Sebelum Amandemen UUD 1945. Pro kontra mengenai kekuasaan kehakiman terjadi pada masa perumusan UUD 1945 sebelum amandemen. Secara historis, pro kontra ini terjadi pada saat sidang BPUPKI, antara para tokoh dan aktor kemerdekaan. Dalam dokumen Risalah Sidang BPUPKI ditemukan perdebatan antara Supomo dengan Mohammad Yamin (selanjutnya disebut Yamin) mengenai kekuasaan kehakiman, yang pada intinya dapat disarikan sebagai berikut: Mahkamah Agung jangan hanya melakukan kekuasaan kehakiman saja, tapi juga menjadi lembaga banding, menguji produk undang-undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum adat. Berikut ini kutipan perdebatan yang dimuat di dalam Risalah sidang BPUPKI:

“Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding, apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan, tidak melanggar Undang-undang Dasar Republik atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam. Jadi dalam Mahkamah Tinggi itu, hendaknya dibentuk badan sipil dan kriminil, tetapi juga Mahkamah Adat dan Mahkamah Islam Tinggi, yang

8 Ibid.

Page 4: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 163

pekerjaannya tidak saja menjalankan kehakiman, tetapi juga membanding dan memberi laporan tentang pendapatnya kepada Presiden Republik tentang segala hal yang melanggar hukum dasar, hukum adat dan aturan syariah”9.

Dalam perdebatan tersebut Yamin mengusulkan supaya Mahkamah Agung memiliki

kewenangan memutus apakah sebuah produk undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau dengan Syariah. Namun Supomo menjawab secara diplomatis bahwa kewenangan seperti itu telah dipraktikkan oleh negara-negara lain seperti Amerika, Jerman, Austria, Ceko Slowakia, tetapi sistem seperti itu tidak dikenal di Perancis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Usulan Yamin supaya Mahkamah Agung memiliki hak menguji undang-undang hanya dapat dijalankan di negara yang menganut sistem pemisahan kekuasan secara rigit seperti Amerika. Akan tetapi, di negara demokrasi seperti Indonesia, dimana kekuasaan tidak secara kaku dipisahkan, rasanya sulit menerapkan hal tersebut. Karena itu, Supomo tidak sepakat dengan pandangan Yamin, Mahkamah Agung tidak perlu memiliki kekuasaan menguji Undang-undang. Beriktut ini penegasan Supomo:

“akan tetapi di negeri democratie perbedaan atau perpisahan antara tiga jenis kekuasaan itu tidak ada”. “…dalam rancangan Undang-undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistem yang membedakan principieel 3 badan itu, artinya tidaklah, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang” 10.

Dari pro kontra di atas, dapat diketahui bahwa perdebatan Supomo dan Yamin menyangkut

substansi kekuasaan kehakiman, tepatnya lingkup kekuasaan kehakiman yang akan dikelola oleh Mahkamah Agung dan diatur oleh UUD 1945. Perdebatan ini penting sekali untuk diketahui, ternyata kekuasaan kehakiman telah dikaji secara seksama oleh para founding fathers negeri ini secara intens dan berdarah-darah di awal kemerdekaan. Bahkan mereka membandingkan dengan sistem besar ketatanegaraan yang dianut dan dipraktikkan di berbagai negara di belahan dunia. Wawasan kebangsaan dan ketatanegaraan mereka telah terbangun sejak awal sebelum mereka memutuskan lingkup kekuasaan kehakiman. 4. Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 Seiring dengan perubahan UUD 1945 (baca: amandemen), lingkup kekuasaan kehakiman berubah. Perubahan tersebut tampak pada kelembagaannya, kekuasaan kehakiman tidak hanya berada di bawah MA, tetapi juga MK. MA mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di tingkat kasasi dan menguji peraturan perundang-undang di bawah undang-undang. Sedangkan MK menguji perundang-undangan apakah bertentangan dengan UUD 1945.

Pada saat membahas perubahan pertama UUD 1945 terjadi pro kontra mengenai kekuasaan

kehakiman dalam sidang Panitia Ad hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR. Para tokoh partai politik berdebat di seputar kewenangan MA dan MK. Asnawi Latif misalnya, mengusulkan supaya lembaga peradilan berada dalam satu atap, MA saja. J.E. Sahetapy berpendapat bahwa hakim MA perlu diangkat oleh lembaga tertinggi negara, yaitu MPR. Sementara Aberson Sihaloho (PDIP), MA harus dibentuk oleh DPR sebagai representasi lembaga kedaulatan rakyat. Andi Mattalata (Golkar)

9 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia persiapan Kemeedekaan Indonesia (PPKI), Tim Penyunting: Saafroedin Bahar, dkk, (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1992, Cetakan kedua: Edisi ke II), hlm. 240. 10 Ibid.

Page 5: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 164

menyatakan perlunya ada pembatasan terhadap wewenang MA melakukan judicial review. Zain Badjeber (PPP) menyatakan kekuasaan kehakiman tertinggi hanya dilakukan MA saja, dan jabatan Hakim bukanlah PNS yang diangkat oleh Menteri Kehakiman, melainkan pejabat negara yang diangkat oleh kepala negara. Sementara Khafifah Indar Parawangsa (PKB) berpendapat bahwa kewenangan MA diperluas tidak hanya terbatas pada kewenangan menguji peraturan pemerintah saja tetapi juga menguji undang-undang. Patrialis Akbar juga berpendapat bahwa kekuasaan yudikatif terlepas dari pemerintah dan hanya dipegang oleh MA. Hamdan Zulfa, setuju MA menjadi lembaga mandiri tapi perlu ada lembaga dewan kehormatan hakim tersendiri.

Perdebatan diatas sangat menarik untuk disimak, yang pada intinya memberikan kewenangan tinggi terhadap MA. Pandangan mereka memperkokoh harapan masyarakat mengenai kekuasaan kehakiman yang kuat untuk tercapainya keadilan. Namun demikian, hasil akhir hingga amandemen ke-4 UUD 1945 menunjukkan bahwa telah terjadi proliferasi kekuasaan kehakiman setelah perubahan, terutama dari sisi kelembagaan, dulunya hanya MA, kini MA dan MK. 5. Latar Belakang Reformasi Kekuasaan Kehakiman Dalam sebuah negara yang mengadopsi sistem demokrasi, kehendak rakyat merupakan unsur yang sangat signifikan. Bila rakyat menghendaki perubahan sistem ketatanegaraan, pemerintah dalam konteks ini eksekutif, harus mengakomodasi keinginan tersebut. Ini merupakan hal yang biasa dalam praktik ketatanegaraan di sebuah negara. Tidak terkecuali Indonesia, sebuah negara yang meskipun sudah lama mempraktikkan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi masih perlu belajar menerapkan demokrasi yang sehat. Isu reformasi politik, pemerintahan, ekonomi, dan tidak terkecuali hukum ketatanegaraan mulai berhembus kencang sejak 1998. Konsekuensinya, eksekutif, legislatif, yudikatif sibuk berbenah diri. Kekuasaan kehakiman pun turut berbenah diri, bahkan meluas (proliferated) hingga munculnya lembaga-lembaga atau komisi-komisi di luar MA yang diberi power untuk melaksanakan sebagian dari tugas kekuasaan kehakiman. Reformasi ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan publik terhadap kinerja MA yang dinilai lamban, sehingga lembaga ini menuai kritik massa.

Dalam rangka merespon masukan publik tersebut, sudah barang tentu juga diikuti oleh kajian-kajian akademis dan belajar dari praktik ketatanegaraan negara-negara lain, semua sepakat membentuk lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman yang baru.

Di Indonesia, reformasi dimulai dengan amandemen UUD 1945, sebuah konstitusi yang

selama ini dianggap sakral dan tak tergantikan itu akhirnya terjamah pula oleh para pemikir ketatanegaraan. Maka tidak heran kalau kemudian muncul penambahan dan pengurangan pasal dalam tubuh UUD 1945, yang diantaranya menyebut perluasan kekuasaan kehakiman, meskipun tidak secara eksplisit. Dari pasal 24 UUD 1945 pasca amandemen, implisit dapat dipahami bahwa MK dan KY memiliki kewenangan melakukan kekuasaan kehakiman.

Sebagai sebuah kontrak sosial, meminjam istilah John Locke, konstitusi memuat the whole

aspiration of the nation, keseluruhan aspirasi dari suatu bangsa. Demikian halnya negara Indonesia, yang telah merubah konstitusinya. Karena konstitusi merupakan unsur utama dalam suatu negara. Dari konstitusi dapat diketahui hal apa sajakah yang akan diatur dalam negara tersebut. Konstitusi juga merupakan gambaran akan keseluruhan dari sistem pemerintahan suatu negara, sekumpulan peraturan untuk mengatur, mengadakan atau menyelenggarakan pemerintahan. Sebagian peraturan-peraturan ini merupakan hukum tertulis dan sebagian lagi merupakan hukum yang tidak tertulis berupa hukum darurat, praktik-praktik, persetujuan-persetujuan, kebiasaan-kebiasaan,

Page 6: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 165

konvensi-konvensi di mana pengadilan tidak harus menerimanya sebagai hukum bilamana akan mengurangi efektifitasnya dalam pengaturan atau penyelenggaraan pemerintahan.

Pada era reformasi, konstitusi mempunyai peran yang sangat penting bagi suatu negara,

dimana terjadi proses transisi politik yang berakibat pada perubahan struktur dan format ketatanegaraan. Tuntutan reformasi menghendaki pembaharuan sistem kekuasaan kehakiman, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik11. Oleh karena itulah pada tahun 2001, dilakukan amandemen atas pasal-pasal UUD 1945, khususnya yang berhubungan dengan Kekuasaan Kehakiman. UUD 1945 Amandemen ketiga menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam Pasal 24A sampai C, dan Pasal 25 UUD 1945. Menurut Pasal 24 UUD 1945 ayat (1) dinyatakan bahwa: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada ayat (2) disebutkan bahwa:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

6. Pelaku Kekuasaan Kehakiman dan Badan-Badan Pembantu Kekuasaan Kehakiman Pasca Reformasi Perubahan ketiga UUD 1945 telah menggeser paradigma pembagian kekuasaan (distribution of power) ke paradigma pemisahan kekuasaan secara jelas dan tegas (separation of power)12. Pernyataan ini dapat dilihat dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam 4 (empat) lingkungan peradilan dan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung (MA) berwenang mengadili pada tingkat kasasi, penguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, dan wewenang lain yang diberi oleh Undang Undang (Pasal 24 A ayat (1)). Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili13 pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam kasus-kasus yang menyangkut pengujian UU terhadap UUD, perselisihan hasil pemilu, sengketa kewenangan antar lembaga negara, serta memberikan putusan atas pendapat DPR yang menduga Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

11 Komitmen Politik Rendah Penegakan Hukum Lemah rakyat jadi korban”, Majalah Buru Koruptor, Vol. 1 No 1, Oktober 2005. 12 Soimin dan Sulardi, Hubungan Badan ..., op.cit. 13 Undang Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 7: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 166

Terbentuknya lembaga baru dalam kekuasaan kehakiman, seperti Mahkamah Konstitusi (MK) menggambarkan kecenderungan14 memperkuat fungsi yudisial dalam hubungannya dengan eksekutif dan yudikatif, karena beberapa kewenangan seperti disebut di atas, merupakan faktor pendorong terbentuknya MK sebagai lembaga kehakiman yang memiliki kesejajaran dengan MA di dalam kelembagaannya. Jadi dapat dikatakan perubahan ketiga UUD 1945 telah mempertegas konsep pemisahan kekuasaan (separation of power)15.

Perubahan paradigma di atas diikuti oleh perubahan ketatanegaraan yang sejalan dengan

perjalanan reformasi, yaitu pengujian UU. Menurut Jimly16 pengujian konstitutional (constitutional review) di dunia mengalami perkembangan di mana ada model-model yang ditawarkan dalam rangka pengujian konstitutional ini. Minimal ada 10 (sepuluh) model yang ditawarkan. Pertama, pengujian yang dilakukan oleh lembaga yang sudah ada, yakni Mahkamah Agung (MA). Kedua, model dimana pengujian dilakukan oleh lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA) yang dinamakan Mahkmah Konstitusi (MK). Ketiga, pengujian yang dilakukan oleh badan-badan khusus. Model pengujian ini dilakukan oleh Special Chambers. Keempat, model bahwa tidak boleh ada pengujian sama sekali. Kelima, model campuran antara pertama dan kedua (model campuran Amerika dan Kontinental). Keenam, model Constitutional Council Perancis. Ketujuh Belgia dengan pengadilan Arbitasenya. Kedelapan model Legislative Review. Kesembilan, Model Executive Review dan Model International Judicial Review. Kesepuluh, Model Centralized System Versus Decentrlized System.

Dari kesepuluh model pengujian di atas17 yang terpenting adalah 3 (tiga) model yakni, model

Amerika Serikat (Supreme Court), model Austria (Bunderverfassungs-gerichtshof), dan model Perancis Constitutional Council.

Model pertama, diadopsi oleh Amerika Serikat dimana pengujian adalah sesuatu yang wajar

terjadi dan tidak terelakkan. Di beberapa negara, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang mandiri dan bebas dari intervensi dari pihak manapun. Di Amerika Serikat termasuk salah satu negara Anglo Saxon, yang menganut sistem Common law mengatur dalam konstitusinya mengenai kekuasaan kehakiman dalam Artikel III, yaitu Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Supreme Court dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya yang ditentukan oleh Konggres. Dinyatakan bahwa hakim dalam Supreme Court maupun lembaga peradilan lain di bawahnya harus melakukan tugasnya dengan kelakuan (behavior) yang baik dan akan menerima kompensasi atas pengabdiannya. Hakim-hakim Supreme Court dinominasikan oleh Presiden atau ditunjuk oleh presiden berdasarkan persetujuan senat18.

Amerika Serikat sebagai penganut model pertama judicial review dalam tradisi yang

didasarkan atas pegalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803. Oleh karena itu pengujian konstitutionalitas (judicial review) dilakukan sepenuhnya oleh MA sebagai the Guardian of Constitution. Lebih jauh judicial riview juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitutionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan a decentralized or diffuse or dispersed review, pengujian yang terdesentralisasi

14 Jimly Asshidiqqie, Loc.Cit. 15 Soimin dan Sulardi, Hubungan Badan Legislatf dan Yudikatif Dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia, Malang: Universitas Muhammadiyyah Malang (UMM), 2004. hlm. 181. 16 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 1. 17 Ibid., hlm. 93. 18 Ibid.

Page 8: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 167

atau pengujian tersebar dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Ini yang berbeda dari praktik pengujian di Indonesia19. Di AS, ini sesuatu yang lazim terjadi karena peranan hakim di AS sangat besar dan sudah menjadi tradisi. Hakim di AS seringkali mengesampingkan berlakunya UU karena dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam setiap pemeriksaan perkara. Hal ini sangat berbeda dengan tradisi civil law di Eropa Kontinental, yang lembaga parlemennya terus memproduksi peraturan peraturan tertulis, karena itu menurut Jimly penerapan sistem Judicial review tidak memerlukan lembaga baru, cukup dengan fungsi MA yang sudah ada, selanjutnya bertindak dan berperan sebagai Pengawal atau Pelindung Undang Undang Dasar (The Guardian or the Protector of the Constitution).

Negara-negara yang menganut model Amerika ini adalah Eropa, diantaranya adalah

Denmark, Estonia, Irlandia, Norwegia, dan Swedia. Di Afrika juga terjadi, negara seperti Botswana, Gambia, Ghana, dll. Di Timur Tengah, negara Israel dan Iran. Di Asia, Bangladesh, Fiji, Hongkong, India, Jepang, Philipina, dan Malaysia.

Austria menganut model Consitutional Review. Model Austria merupakan hasil pemikiran

Kelsen tahun 1919-1920. Pada prinsipnya model ini menjelaskan apabila ada pertentangan antara doktrin supremasi parlemen dengan prinsip supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum, maka prinsip supremasi konstitusi yang diutamakan. Pada model ini pengadilan konstitusi berdiri sendiri dengan hakim-hakim yang punya keahlian khusus di bidang ini. Pengujian meliputi a posteriori maupun a prioriori (baik norma abstrak maupun norma konkrit). Mahkamah Konstitusi di Austria dibentuk untuk menjalankan fungsi constitutional review dengan kedudukan yang tersendiri di luar Mahkamah Agung. Model pengujian konstitutional (Constitutional Court) di luar Mahkamah Agung dengan pelembagaan Mahkamah Kostitusi yang kemudian disebut dengan The Kelsenian Model ala Jerman. Negara yang mengadopsi model ini antara lain, Jerman, Cekoslovakia, Liechtenstein, Yunani, Spanyol, Irlandia, dll20.

Model campuran antara Amerika dan Kontinental (both a diffuse and concentrated system).

Pengujian konstitutionalitas ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau oleh Mahkamah Agung (MA) atau kamar tertentu (Special Chamber) dalam badan-badan peradilan, bahkan peradilan dapat mengenyampingkan UU bila dinilai bertentangan dengan konstitusi. Negara penganut model ini adalah: Portugal, Kolombia, Equador, Guatemala, dan lain sebagainya. Adapun lembaga/badan yang melakukan pengujian bernama Mahkamah Tinggi (High Courts) atau bisa berupa badan khusus yang disebut dengan Special Departement21.

Di negara Perancis, sebagai salah satu negara Eropa Kontinental, menyebutkan secara

eksplisit akan pentingnya independensi kekuasaan kehakiman untuk menegakkan prinsip kemerdekaan individu. Konstitusi Perancis mengatur bahwa presiden harus menjamin independensi kehakiman. Dalam melaksanakan tugasnya itu presiden dibantu oleh High Council of the Judiciary yang memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu sebagai lembaga recruitment hakim; dan sebagai lembaga pengawasan hakim-hakim (Diciplinary Council)22.

19 Ibid., hlm. 47. 20 Ibid. 21 Ibid. 22 A. Muktie Fadjar, Loc.Cit., hlm. 15.

Page 9: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 168

Di Perancis dikenal dengan model Constitutional Council. Counciel Countitutionnel merupakan lembaga peradilan tertinggi di bidang hukum admnistrasi, yang telah ada sebelumnya bernama Conseil de’Etat. Conseil ini merupakan Mahkamah Konstitusinya Perancis. Model ini agak berbeda dengan tradisi Eropa kontinental karena didasarkan pada bentuk kelembagaan Dewan Konstitusi untuk menjalankan pengujian. Jadi pengujian dilakukan oleh lembaga non peradilan bukan oleh pengadilan (cour). Sehingga bentuk lembaganya Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) bukan Cour Constitution. Namun dalam perkembangannya selain Conseil Constitutionnel dibentuk juga kamar khusus (Special Chambers) dari Mahkamah Agung secara konsentrasi (consentrated constitutioal review ) dalam perkara-perkara khusus.

Konstitutional Review model ini agak berbeda dengan model Austria karena yang diuji oleh

dewan adalah sebuah rancangan UU yang telah disahkan atau mendapat persetujuan dari parlemen, tetapi UU tersebut belum diundangkan. Apabila muncul persoalan konstitutionalitas maka Dewan Konstitusi yang memutuskan23.

Model pengujian oleh Special Chambers. Model ini sebagai mana dipraktekkan di Belgia

yang dikenal dengan Mahkamah Arbritasenya (The Court of Arbritation) yakni sengketa antar lembaga-lembaga yang terkait maupun antar organ lembaga-lembaga negara dengan warga negara. Namun sebenarnya fungsi pengujian ini dikaitkan dengan badan-badan peradilan yang sudah ada dengan membentuk kamar-kamar yang tersendiri (special chambers) di badan-badan tersebut. Negara yang juga mengadopsi model ini adalah: Islandia, Liechtenstein, Monako, dan Kosovo. Didalam perkembangannya Mahkamah Arbitrase ini juga melakukan kewenangan melakukan pengujian konstitutional (Constitutional Review) atas berbagai produk legislatif.

Selain model-model di atas, ada pula model kelembagaan yang tidak mengenal adanya

pengujian konstitusionalitas. Misalnya di Belanda dan di Inggris. Di Belanda menganut doktrin bahwasanya suatu undang-undang (UU) tidak dapat diganggu gugat. Hakim pada model ini hanya bertugas menerapkan UU dalam praktek peradilan.

Perbedaannya dengan di Inggris adalah yang menganut tradisi common law dengan asas

precedent dan doktrin judge made law, di mana peran hakim sangat besar dan menonjol dalam membuat norma hukum. Inggris berlaku doktrin The Queen or the King in parliament, dimana ratu atau raja sebagai kepala negara secara simbolis sekaligus berfungsi sebagai ketua House of Lords. Raja atau Ratu juga sebagai ketua Raad van State di Belanda yaitu lembaga penasehat raja atau seperti Dewan Perwakilan Agung (DPA)24.

Di Inggris juga menganut supremasi parlemen. Konsekuensi dianutnya supremasi parlemen

maka Undang-Undang (UU) tidak bisa diuji oleh hakim (judiciary), karena UU disusun dan disahkan oleh parlemen yang anggotanya terdiri dari dua kamar yaitu House of Lords dan House of Commons. Secara simbolis parlemen menyandang kedudukan yang lebih tinggi dari kekuasaan kehakiman. Jadi pada prinsipnya di Inggris tidak diatur mekanisme pengujian atas suatu UU (constitutional review). Hanya didalam prakteknya ada mekanisme pengujian yang dilakukan oleh House of Lord sebagai salah satu kamar yang melakukan pengujian, jadi bukan lembaga peradilan25.

23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid.

Page 10: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 169

Di Indonesia setelah dilakukan amandemen ketiga UUD 1945, Indonesia terlihat mengambil model campuran yakni adanya dua lembaga yang melakukan pengujian Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, walaupun bidang kajian atau materi pengujian berbeda. Di samping itu setelah amandemen UUD 1945 Indonesia juga mengadopsi adanya lembaga Komisi Yudisial (KY) sebagai organ penunjang (auxilary organ ) dalam rangka hubungan fungsional antara MA dan KY dalam pengawasan dan pengangkatan hakim Agung.

Pembentukan Komisi Yudisial (KY), diharapkan dapat menjadi penyeimbang dan alat kontrol

pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Komisi Yudisial (KY) dibentuk berdasarkan Pasal 24B26, kehadiran Komisi Yudisial (KY) diperlukan untuk menjaga martabat keluhuran sehingga diharapkan tidak terjadi kerusakan yang lebih dahsyat dan hilangnya kehormatan lembaga pengemban kekuasaan kehakiman27. Komisi Yudisial28 adalah lembaga yang memiliki kewenangan memberi usulan atas pengangkatan hakim agung dan menegakkan kehormatan dan menjaga perilaku hakim. Kalaupun perilaku hakim nantinya terdeteksi melakukan hal-hal seperti dugaan suap, KKN ataupun melanggar kode etik perilaku hakim, maka selanjutnya komisi ini akan merekomendasikan kepada Mahkamah Agung (MA) dan atau Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menindaklanjutinya. Komisi ini sama sekali tidak punya kewenangan untuk menindak secara langsung pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. Terbatasnya kewenangan komisi ini mengundang sorotan publik. Terbatasnya kewenangan tersebut menurut ahli dikhawatirkan kerja Komisi Yudisial hanya sebatas ”memberikan maaf”, sebab semua keputusan penindakan kembali ke MA29.

Mahkamah Agung adalah elemen yang paling substantif dari penegakan hukum yang akhir-

akhir ini menjadi sorotan publik dikarenakan lemahnya penegakan hukum di Indonesia karena citra negatif yang melekat pada aparat penegak hukum30, termasuk di dalamnnya adalah hakim Agung. Hakim diharapkan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum juga menjadi sasaran perubahan citra buruk MA. Perilaku-perilaku negatif aparat penegak hukum kekuasaan kehakiman harus dikembalikan pada posisinya. Oleh karena itu diperlukan rekonstruksi lembaga pengadilan31.

Pada masa Reformasi juga terbentuk komisi-komisi selain KY yaitu Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dan komisi-komisi lainnya. Munculnya, komisi-komisi seperti KY, KPK, Tastipikor (sebelum peradilan tipikor lahir), dan lain-lainnya menunjukkan semakin menguatya civil society32 di Indonesia. Ini merupakan indikator bahwa menegakkan keadilan tidak semata-mata menjadi tugas pemerintah, akan tetapi juga menjadi tugas masyarakat, karena disitulah berlangsungnya proses tawar. Saat ini, ada kecenderungan legislative heavy. Beda dengan Orde Baru dan Orde Lama yang cenderung ke executive heavy. Pada kedua Orde ini tidak jarang lembaga negara lain terutama Presiden melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang MA. Pada masa Orde lama, ketua MA, dan pimpinan lembaga tinggi negara oleh Presiden dijadikan salah satu menteri dalam kabinetnya. Pada masa Orde Baru, politik dan hukum berpihak pada penguasa, sehingga

26 UUD 1945 Dan Amandemen. 27 Bambang Widjojanto, “Meletakkan Substansi Debat MA Vs KY” , Kompas, 13 Februari 2006. 28 “Meski Kewenangannya Terbatas, Keberadaan Komisi Yudisial Tetap Penting”. Hukumonline.com. Jumat, 29 April 2005. 29 Lihat pula Revisi atas UU Komisi Yudisial yang baru, UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. 30 Mengejar Mafia Peradilan Dari Puncak Peradilan”, Ibid., hlm.8. 31 Rusli Muhammad, “Rekonstruksi Lembaga Pengadilan Menuju Indonesia Baru”, Jurnal Unisia No. 53/XXVII/III/2004. 32 Anthoni. F. Susanto, Loc. Cit.

Page 11: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 170

penguasa dengan leluasa melakukan intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Penguasa menekan MA untuk memutus sesuai dengan keinginan-keinginan penguasa, sehingga kekeuasaan kehakiman (hakim) menjadi tidak independen.

Untuk mempertegas kemandirian kekuasaan kehakiman dibuat perangkat hukum dalam

Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara yang menentukan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang independen, bersih dan professional dengan memisahkan secara tegas antara fungsi judikatif dan eksekutif. Atas amanat Ketetapan inilah kemudian Pemerintah mengajukan Rancangan UU yang akhirnya disetujui oleh DPR-RI menjadi UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Setelah berlakunya UU No. 35 Tahun 1999 inilah dualisme pembinaan peradilan

dikembangkan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung. Selama ini, baik Orde Lama maupun Orde Baru, praktik penerapan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman harus diakui belum pernah memperoleh momentum untuk dipraktekan dengan sungguh-sungguh dengan tetap memperhatikan keragaman sistem hukum yang berlaku. Sekarang, setelah reformasi, barulah kesempatan itu terbuka. Oleh karena itu, di masa-masa mendatang bangsa kita memiliki segala peluang yang terbuka untuk menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara tegas.

Pernyataan tidak berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman diikuti dengan lahirnya beberapa UU yaitu UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, UU. No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

Diadopsinya konsep negara hukum, maka tata kehidupan berbangsa dan bernegara

haruslah berpedoman pada norma-norma hukum. Dalam rangka menegakkan dan menjamin bekerjanya aturan-aturan hukum seperti diharapkan adanya kekuasaan kehakiman yang kuat dan mandiri. Kekuasaan kehakiman (judicative power) bertugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang ada.

Untuk mewujudkan independensi peradilan diperlukan adanya jaminan dalam konstitusi

atau peraturan perundangan lainnya. Jaminan tidak cukup hanya sebatas kata-kata bahwa negara menjamin kemandirian peradilan, namun seluruh perangkat pengaturan mengenai bagaimana seorang hakim diangkat dan diberhentikan, masa jabatan hakim, kemandirian akan pengaturan keuangan pengadilan dan lain sebagainya harus diatur sedemikian rupa sehingga hakim benar-benar merasa terjamin kebebasannya untuk menjalankan fungsinya33. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

33 Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hlm.,8.

Page 12: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 171

Perkembangannya sekarang ini telah lahir UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU ini disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2004 dan mulai berlaku pada saat diundangkan. UU ini lahir sebagai wujud reformasi hukum di bidang kehakiman dengan dicabutnya UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 48 UU No. 4 Tahun 2004).

Pasal 10 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum. b. Peradilan Agama. c. Peradilan Militer. d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Pada saat ini, masing-masing lingkungan peradilan telah diatur dengan peraturan perundangan-undangan tersendiri, Mahkamah Agung diatur dengan UU No. 14 Tahun 1985 yang diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Peradilan Umum diatur dengan UU No. 2 Tahun 1986, yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum; UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; UU No. 31 Tahun1997 Tentang Peradilan Militer, UU No. 5 Tahun 1986 diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun Mahkamah Konstitusi diatur di dalam UU No. 24 Tahun 2003. Keberadaan UU No. 4 Tahun 2004 ini merupakan angin segar bagi dunia peradilan di Indonesia.

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga negara sebagaimana ditetapkan dalam TAP MPR Nomor III/MPR/1978 dan kedudukannya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman seperti disebut dalam Pasal 24 (A, B, C, dan D). Pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada ayat (2) menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pada ayat (3) dinyatakan bahwa badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang.

Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan tugas,

fungsi dan wewenangnya mengacu pada arah kebijakan GBHN, sesuai dengan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 dalam memenuhi harapan masyarakat untuk mewujudkan suatu Kekuasaan Kehakiman yang merdeka. Maka lahirlah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Legalisasi pelaksanaaan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri di bawah

Mahkamah Agung menjadi semakin nyata dengan telah disahkannya beberapa undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman yaitu:

Page 13: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 172

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. b. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tanggl 15 Januari 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman. c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004 Tentang perubahan atas undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. d. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1986 Tentang Peradilan Agama. f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Setelah dilakukannya amendemen terhadap beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, selanjutnya dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 Tanggal 24 Maret 2004 Tentang Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Agung, dan Keputusan Presiden No 56 Tahun 2004 Tanggal 9 Juli 2004 Tentang Pengalihan Organisasi Peradilan Militer dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Agung. Sebagai konsekuensi perubahan UU kekuasaan kehakiman maka Mahkamah Agung berkewajiban melakukan pembinaan organisasi, admnistrasi dan finansial ke 4 (empat) lingkungan peradilan di seluruh Indonesia, dimana sebelumnya dilakukan oleh departemen-depertemen terkait.

Pada pertengahan 2004, dalam rangka perwujudan peradilan satu atap di bawah Mahkamah

Agung yang sekaligus merupakan tonggak sejarah baru dalam bidang peradilan di Indonesia yang membawa konsekuensi tugas dan kewenangan yang semakin luas dan berat dalam masalah penegakan hukum, namun dapat berjalan lancar apabila mendapat dukungan sepenuhnya dari segenap potensi masyarakat dan instansi terkait. Mahkamah Agung selain melakukan pembinaan bidang organisasi, administrasi dan finansial ke 4 (empat) lingkungan peradilan, sesuai amanat undang-undang No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, dalam mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Agung juga melakukan pengembangan dan restrukturasi organisasi Mahkamah Agung mulai dari pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, Panitera dan Sekretaris serta Supporting unit yang ada di bawahnya. Dalam bidang finansial atau anggaran, tugas Mahkamah Agung juga tidaklah ringan karena Mahkamah Agung haruslah menyesuaikan dengan penyusunan anggaran yang baru sesuai undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Gambaran lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dan lembaga-lembaga yang

kewenangannya membantu kekuasaan kehakiman (supportting organ/auxilary organ) sebagaimana diamanatkan UUD 1945 setelah perubahan ketiga di dalam sub bab tersendiri.

Page 14: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 173

7. Kesimpulan Penulis meyakini bahwa terjadinya proliferasi kekuasaan kehakiman di Indonesia pasca amandemen UUD 1945 disebabkan oleh merosotnya wibawa lembaga dan aparat penegak hukum. Fakta menunjukkan bahwa banyak persoalan hukum yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga dan aparat penegak hukum secara baik. Bahkan, lembaga tertinggi penegakan hukum di Indonesia, MA sekalipun, turun kredibilitasnya dalam dua dekade belakangan ini. Dengan ungkapan lain, ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi merosotnya wibawa hukum di negeri ini. Sementara masyarakat terus menuntut supaya Negara segera mengambil tindakan cepat untuk melindungi kepentingan umum dan rasa keadilan rakyat Indonesia. Maka wajar apabila kemudian solusinya berupa perubahan UUD 1945 yang mengakomodasi keinginan rakyat tersebut dalam bentuk penambahan pasal sebagai dasar hukum pembentukan lembaga baru di bidang penegakan hukum, yaitu adanya KY, MK, dan KPK. Bagi penulis, ini merupakan “ijtihad hukum” yang patut diapresiasi, disamping inovatif, gagasan ini ternyata aplikatif untuk konteks ke-Indonesiaan saat ini. Keberadaan lembaga-lembaga baru di bidang penegakan hukum ini mendapat respon yang sangat positif dari semua kalangan, karena dalam praktiknya telah mampu mengatasi persoalan merosotnya kepercayaan publik terhadap Negara. Paling tidak, rakyat memiliki harapan baru jika menghadapi persoalan hukum. Adanya lembaga-lembaga tersebut memberikan angin segar bagi perbaikan dan pembangunan hukum di Indonesia. Lembaga-lembaga hukum lama (baca: existing) dan aparat-aparatnya seperti MA, Kepolisian, Kejaksaan, kini memilki kompetitor. Ini harus dimaknai secara positif sebagai upaya perbaikan total institusi hukum di Indonesia. Kalau ada kompetitor, pasti ada persaingan. Dalam ranah bisnis, persaingan akan memacu inovasi dan kreatifitas, dua hal yang selama ini hilang dari birokrasi pemerintahan RI. Ini terbukti, kini lembaga-lembaga hukum mulai berbenah memperbaiki lembaga dan kinerja aparat-aparatnya. Adanya KY misalnya membuat aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim, menjadi semakin hati-hati dan taat mematuhi prinsip-prinsip penegakan hukum, karena ada lembaga yang mengawasi, begitu pula adanya KPK dan MK. Ijtihad hukum ini betul-betul produktif dan menumbuhkan budaya bersaing yang sehat.

Penulis meyakini bahwa apabila lembaga-lembaga baru di bidang penegakan hukum ini

tetap “commit” dan memegang teguh “elan vital”, “spirit”, “semangat” dan prinsip-prinsip moral dalam penegakan hukum, maka wajah hukum di Indonesia ke depan akan semakin baik. Meskipun demikian, untuk mewujudkan itu semua diperlukan waktu yang lama dan sinergi antar lembaga. Kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita tegaknya hukum secara benar di Indonesia. Semakin dewasa bangsa kita, maka semakin mudah diberikan pemahaman akan pentingnya penegakan hukum yang benar, yang substansinya adalah tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kini, setelah terjadinya proliferasi Kekuasaan Kehakiman, saatnya dibarengi dengan

pemikiran untuk melakukan integrasi Kekuasaan Kehakiman agar kelembagaan hukum ke depan menjadi lebih efisien. Meminjam term organisasi dan manajemen “miskin struktur kaya fungsi”. Struktur organisasi kelembagaan penegakan hukum dapat dibuat lebih ramping, diisi oleh aparat penegak hukum yang memilki 3 karakter: Commitment, Skillful, dan Knowledgeable. Aparat penegak hukum harus memiliki komitmen tinggi dan memegang teguh prinsip-prinsip moral. Memiliki ketrampilan yang baik, dan pengetahuan yang memadai. Bila perlu, ke depan, sebuah lembaga hukum, seperti MA tidak hanya diisi oleh para sarjana hukum, tetapi juga mereka yang memilki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang relevan dengan kajian hukum, seperti psikolog, sosiolog, dan antropolog agar putusan yang mereka hasilkan lebih baik dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Page 15: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 174

Referensi A. Kelompok Buku Umum Thesis dan Disertasi A. Hamid S.Attamimi, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia”, dalam Oetoyo Oesman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1992. A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Jakarta: ELSAM, 2004. Cet.1. A. Mukti Fadjar, Memahami Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. A. Rachman, Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. A.G. Setiardja, Hak-Hak Azasi Manusia berdasarkan Ideologi Pancasila. Achmad Rustandi, Rule of Law Versi Islam, Cetakan Pertama, Bandung: PT. Al- Ma’arif, 1977. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta: Elsam, 2004. Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi Telaah Filsafat Politik John Rawls, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama, 2004. Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis yuridis normatif tentang unsur-unsurnya, Jakarta: Universitas Indonesia, 1995. Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995. --------------------, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta : FH UII Press, 2005. Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika Serikat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Bambang Sutiyoso dan Sri Hastusi Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2006, Cetakan Ke-1. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jakarta: Elsam, 1997. BHM, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG/Gramedia, 2000. Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Konstitusi, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2005. Buku Seri Demokrasi I Program Penguatan Simpul Demokrasi, Demokrasi Sejarah,Praktik dan Dinamika Pemikiran, Malang: Program Penguatan Simpul Demokrasi Pla CID’s bekerjasama dengan Averroes Press, 2006. C.F. Strong, Modern Political Constitutions, Sidg wick & Jackson. London: Limited, 1960. David Held, Demokrasi & Tatanan Global Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso Hukum di Sarang Koruptor, Jakarta: Kompas, Juni, 2008. Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara Hukum, Padang: Aksara Jaya, 1992. Didit Hariadi Estiko,(Ed), Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Baru Pengwal Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jendral DPR-RI Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P31),2003. Eddy O.S.Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM , Jakarta: Erlangga, 2010. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1990. Erman Rajaguguk, “Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Pidato disampaikan dalam Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, tanggal 5 Februari 2000.

Page 16: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 175

Faisal A. Rani, ”Fungsi Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman Yang merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum”, Disertasi Program Doktor (S3) Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Universitas Padjadjaran, Geoffrey Marshall, Constitutional Theory, London: Oxford University Perss, 1971. H.A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang-undang Dasar, Cet. ke-5, Jakarta: PT. Pembangunan, 1981. Hans Kelsen, General Theory of Law, Translated by Andrew Welberg, Russel & Russel, New York, 1973. Hari Chand, Modern Yurisprudence, Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1994. Harold H.Titus, cs., Living Issues In Philosophy, alih bahasa: H.M Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung, Dalam Praktek Sehari-hari, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001. Herbert F. Bolz, "Judicial Review in Japan: The Strategy of Restraint," Hastings International and Comparative Law Review 4, 1980. Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan, Magelang: INDONESIATERA, 2004. Inu Kencana Syafiie. Ilmu Politik, Jakarta: PT. Renika Cipta, 2010. Inu Kencana Syafi’i, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Bandung. Ismail Sunny, SH., M.C.L., Pembagian Kekuasaan Negara, Suatu penyelidikan perbandingan Dalam Hukum Tatanegara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1985. Ismail Suny, Pergerseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru,1983. J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Pers, 1988. J.H.A.Logman, Over de Theori van een Stelling Staatrecht, Universitas Pers, Leiden, 1984; terj. Makkatutu dan J.C.Pangkerego, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Jakarta: Ichtiar Baru – van Hoeve, 1975. Jerald Greenberg dan Russell Cropanzano (editor). Advances in Organizational Justice, Standford: Standsfort University Press, 2001. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Editor: Ni’matul Huda. Yogyakarta: Fakultas Hukum UI, 2004. --------------------, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002. --------------------, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai negara., Jakarta: Konstitusi Press bekerja sama dengan PT. Syaamil Cipta Media, 2006. --------------------,, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2006. John Rawls: A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambride, Masschusetts, 1995 . Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia Publishing, 2006. Cet. 2. K.C. Wheare. Modern Constitutions, Geofrey Cuberlag, London: Oxford University Press, 1952. Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemeritahan Demokrasi, Bandung: Eresco, 1987. Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dimensi Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Universitas Atmadjaya Yogyakarta, 1998. Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005. Laporan Kegiatan Mahkamah Agung RI, Tahun 2003-2004, Jakarta, 2004. Lulu Husni, Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di Luar Pengadilan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Cet.Kedua. Lutfi J. Kurniawan, dkk, Peta Korupsi di daerah, Malang: MCW dan Yappika, 2006.

Page 17: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 176

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No.7 Tahun 1987, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990. Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003. Mary Ann Gledon dkk., Comparative Legal Traditions, Nutshell Series, St Paul Minnesofa, 1984. MC.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2000. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1983. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, tanpa tahun. Moh Kunardi-Bintan Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1994. Moh Mahfud MD., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993. --------------------, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993. --------------------, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007. --------------------, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN FH-UI, 1988. Montesquieu, De L’Esprit desa Lois, G.Truc, ed., Paris, 1949. vol. I, Book XI. Muhammad Farhan, ”Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Oleh Mahkamah Agung Pasca Amandemen UUD 1945”, Tesis, Magister Hukum (S2) Ilmu Hukum UII, 2005. Muhammad Tahir Azhari menyebutnya, Nomokrasi Islam, dalam bukunya, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Nasir Makarin Syirazi, Keadilan Ilahi, Judul Asli Al-’Adl, (Penerj: M.As), Jakarta: Bandar Lampung, Cet Pertama, 1408-1988 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, latar belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010. Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press, 2007. O.Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970. Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1980. Oemar Seno Adjie, dan Soediman Kartohardiprodjo, Indonesia Negara Hukum, Jakarta: Seruling Masa, 1966. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. ke-2, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. --------------------, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In – Hill Co., 1989. --------------------, Guru Pinandita, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984. --------------------, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008. Peter de Cruz, “A Comparative Study of Judicial Styles and Case Law” dalam buku Comparative Law in the Changing World. London: Cavendish Publishing Limited, 1999, edisi 2. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cet kedelapan, Jakarta: Balai Pustaka, 1966. R. Trisna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, Jakarta: Paramita, 1978. Cet.III.

Page 18: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 177

R.Crince Le Roy, De Vierde Macht, alih bahasa Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unair, Surabaya: 1976. R.Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung,R.I., Bandung: Alumni, 1992. Raymond Youngs, English, French & German, Comparative Law 2nd edition, Routledge Cavendish, Taylor &Francis Group London and New York. Rene David and John E.C. Brierley, Major Legal System in the World Today, An Introduction to the Comperative Study of Law, Third Edition, London, Stevens & Sons, 1985. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Tim Penyunting: Saafroedin Bahar, dkk, (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1992, Cetakan kedua: Edisi ke II). Rochmat Soemitro, Masalah peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2005. Sebastian Popme, “The Indonesia Supreme Court A. Studi Of Institutional Collaps”, New York: Cornell University Ithaca, 2005. SF. Marbun, ”Negara Hukum Indonesia Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak” (AAUPL), Modul Kuliah. (S2 UII), 1998. Siti Fatimah, ”Mencari Model Alternatif Judicial Review Dalam Konsepsi Negara Hukum di Indonesia”. Tesis Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, 1999. --------------------, Praktek Judicial Review di Indonesia: sebuah Pengantar, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985. Soehino , Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1985, Cet.4. --------------------, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty, 2000. Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990. Cet.3. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 1995. Soimin dan Sulardi, Hubungan Badan Legislatf dan Yudikatif dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia, Malang: Universitas Muhammadiyyah Malang (UMM), 2004. SP. Varma, Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali, 2001. Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung R.I., Bandung: Alumni, 1992. Subhash Chandra Gupta., Supreme Court of India, an instrument of socio-legal advancement, New Delhi: Deep & Deep Publications, 1995. Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1983. Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Sunaryati Hartono, Apakah the Rule of Law, Bandung: Alumni, 1976. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Jakarta: PT.Pustaka Utama Grafiti, 2009. Cetakan III The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Yogyakarta: Super, 1979. Tujuh Serangkai, Tentang Hukum, Jakarta: Tinta Mas, 1974. W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Susunan I, II, III, Jakarta: Rajawali Pers, 1990. Wiratna Sujarwena, Jelajah Candi Kuno Nusantara, Yogyakarta: Diva Press, 2012. Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1970.

Page 19: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 178

B. Kelompok Jurnal, Pidato Pengukuhan dan Laporan Penelitian Andi Syaskia Dannia “Keadilan”, di dalam Jurnal Tata Negara, Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Vol.1, No.1, Juli 2003. Colquitt, Jason A, Conlon, Donald E, Wesson, Michael J Porter, Christopher O. L. H, Ng, K. Yee. “Justice at the millenium: A meta-analytic review of 25 years of organizational justice research”. Journal of Applied Psychology. Vol 86(3), Juni 2001. Denny Indrayana, “Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisisi Menuju Demokrasi vs Korupsi” Jurnal Konstitusi, Vol. 1 Nomor 1, Juli 2004. John W. Raine, “Modernising Courts or Courting Modernisation?” The International Journal of Public Sector Management, Vol. 13 No. 5, 2000 Justice Richard D.Aldrich, “Judicial Independence in a Democratic Society”, The Advocate, The Law Review of the International Academy of trial Lawyers, Vol. I. No. 1, January 1995. Rina Yuli Astuti, “ Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana”, Jurnal Hukum PSKH UII Yogyakarta, Vol. 1 Tahun 2012 Rusli Muhammad, ”Strategi dalam Membangun Kembali Kemandirian Pengadilan di Indonesia”, Jurnal Hukum No.26 Vol. 11 Mei, 2004. C. Kelompok Majalah, Buletin, dan Koran Kompas, 19 Pebruari 2007. Kompas, Selasa, 20 Maret 2007. Kompas, 13 Februari 2006. Hukumonline.com. Jumat, 29 April 2005. Polhukum, Selasa,10 Januari 2012. Majalah Buru Koruptor, Vol. 1 No 1, Oktober 2005. Majalah Buru Koruptor, Vol. 1. No.2, November 2005. Buletin Komisi Yudisial, Volume 1 Agustus 2006. Allan R. Brewer – Carias, Judicial Review and Amparo Proceeding in Latin America, A General Overview. http:www.allanbrewercarias.com/ Content. Diakses tanggal 30 September 2012. Mochtar Kusumaatmadja, ”Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang”, Makalah, Jakarta, 1995. Mukhijab, “Pergesaran Puncak Kekuasaan Kehakiman”, http://www.pikiran rakyat.com, 2005. “Quo Vadis Hukum dan Peradilan di Indonesia”. ICW, http:www.antikorupsi.org, Kamis 15 Februari 2007. Rifyal Ka’bah, “Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah Sebagai sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama”, Makalah disampaikan pada Kuliah Pembukaan Angkatan XVII TA. 2005/2006 Program Magister (S2) Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, 6 Mei 2006. D. Kelompok Aturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsititusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. UUD Sementara RI Tahun 1950 Tanggal 15 Agustus 1950 No.7 LN 50-56.TLN.37. Ketetapan-ketetapan MPR. UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, LN No.3 Tahun 1997, TLN No.3668. UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, LN No.140 Tahun 1999, TLN No.140. UU No. 29 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Page 20: PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945worldconferences.net/proceedings/icssr2017/paper... · PROLIFERASI KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Dr. Siti Fatimah

e-Proceeding of the Social Sciences Research ICSSR 2017

E-Proceedings of the 5th International Conference On Social Sciences Research 2017 (e-ISBN: 978-967-0792-14-9). 27th & 28th March 2017, Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://worldconferences.net/home 179

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, LN. No. 165 Tahun 1999, TLN No.3886. UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Mahkamah Syar’iyah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, LN. No. 114 Tahun 2001, TLN No. 4143. UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. UU No.14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, LN No.27 Tahun 2002, TLN No.4189. UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, LN No. 6 Tahun 2004, TLN.No. 4356. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. UU No.18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. LN No.118 Tahun 2004, TLN No. 4433. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, LN. 131 Tahun 2004, TLN No.4443. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, LN No. 135 Tahun 2001, TLN No.4151. Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat di Papua. E. Kelompok Kamus dan Ensiklopedi Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, Cetakan ke-8, Jakarta: Balai Pustaka, 1966. John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia. Pius Abdillah P dan M. Dahlan-Barry, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya. W.J.S. Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1985. “Supreme Court of the Netherland: Outline of the Dutch judicial system”. http://www.rechtspraak.nl/Organisatie/Hoge-Raad/Supreme-court. Diakses tanggal 22 Juni 2012. Cassation: the main task of the Supreme Court. http://www.rechtspraak.nl/Organisatie/Hoge-Raad/Supreme-court/. diakses tanggal 22 Juni 2012. Dutch civil law, http://www.dutchcivillaw.com/ diakses tanggal 22 Juni 2012. Food Staple Management Law Constitutionality Case, 4 Minshu 73, tahun 1950. National Police Reserve Constitutionality Case, 6 Minshu 783 (1952). Sumber: http://putusan.mahkamahagung.go.id/periode/putus/2011 http://id.berita.yahoo.com/mahfud-md-wibawa-hukum-turun-20110417-040500-205.html, diakses tanggal 27 September 2012. http://id.wikipedia.orgwiki/Sultan_Agung_dari_Mataram Judicial Authority. http://osgoode.yorku.ca/osgmedia.nsf/, diakses tanggal 22 Juni 2012, jam 09.02 WIB. Marwati Djoened Poesonegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993; Koentjaraningrat (ed), Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta: Djambatan,1993, www.papua.go.id. Naskah Akademis Tentang Intensitas Peradilan Agama, Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A.R.I http://www.litbangdiklatkumdil.net/publikasi-litbang/196-naskah-akademis-tentang-intensitas-peradilan-niaga.html, 2005, diakses tanggal 24 Agustus 2011.Sumber "http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Jepang" Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi www.mahkamahkonstitusi.go.id.publikasi refeksi kinerja.2009/Proyeksi 2010