prinsip interaksi sosial dalam peribahasa sunda revised (riani)

21
1 Prinsip-Prinsip Interaksi Sosial : Kearifan Lokal Peribahasa Bahasa Sunda Riani Balai Bahasa Provingsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Penelitian maupun inventarisasi terhadap warisan lokal budaya Indonesia sudah banyak dilakukan baik terhadap tradisi lisan maupun tulisan, misalnya dilakukan oleh Rahyono, Fatimah, Rosidi, dll. Salah satu bentuk warisan kebijaksanaan budaya dituangkan dalam peribahasa. Penelitian peribahasa Sunda sudah pernah dilakukan oleh Djajasudarma dalam mengungkapkan nilai budaya dalam ungkapan bahasa Sunda. Meskipun tujuan penelitian ini sama dengan yang dilakukan Fatimah, penelitian ini menggunakan pendekatan yang berbeda. Data ditinjau dari aspek semantik, pragmatik, dan semiotik. Pendekatan tersebut ditujukan untuk mengungkapkan makna yang mengandung prinsip-prinsip interaksi sosial dalam peribahasa Sunda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa peribahasa Sunda yang mengandung prinsip-prinsip interaksi sosial sebagai pedoman dalam kehidupan sosial. Misalnya, peribahasa tamiang meulit ka bitis ‘tanaman sejenis rumput merambat ke betis’ mengandung pesan moral yang berisi anjuran atau saran kepada kita untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain. Kata kunci: interaksi sosial, semantik, pragmatik, dan semiotik Abstract The research or inventaritation on Indonesia culture local heritage on oral or written tradition have been done such as by Rahyono, Rosidi, etc. One of wise cultural heritage form is realized in proverb. The research on Sundanese proverb has been done by Fatimah in digging cultural value in

Upload: rianibarkah

Post on 09-Aug-2015

267 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

talking about phatic language in Sundanese

TRANSCRIPT

Page 1: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

1

Prinsip-Prinsip Interaksi Sosial :

Kearifan Lokal Peribahasa Bahasa Sunda

Riani

Balai Bahasa Provingsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Inti Sari

Penelitian maupun inventarisasi terhadap warisan lokal budaya Indonesia sudah banyak dilakukan baik terhadap tradisi lisan maupun tulisan, misalnya dilakukan oleh Rahyono, Fatimah, Rosidi, dll. Salah satu bentuk warisan kebijaksanaan budaya dituangkan dalam peribahasa. Penelitian peribahasa Sunda sudah pernah dilakukan oleh Djajasudarma dalam mengungkapkan nilai budaya dalam ungkapan bahasa Sunda. Meskipun tujuan penelitian ini sama dengan yang dilakukan Fatimah, penelitian ini menggunakan pendekatan yang berbeda. Data ditinjau dari aspek semantik, pragmatik, dan semiotik. Pendekatan tersebut ditujukan untuk mengungkapkan makna yang mengandung prinsip-prinsip interaksi sosial dalam peribahasa Sunda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa peribahasa Sunda yang mengandung prinsip-prinsip interaksi sosial sebagai pedoman dalam kehidupan sosial. Misalnya, peribahasa tamiang meulit ka bitis ‘tanaman sejenis rumput merambat ke betis’ mengandung pesan moral yang berisi anjuran atau saran kepada kita untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain.

Kata kunci: interaksi sosial, semantik, pragmatik, dan semiotik

Abstract

The research or inventaritation on Indonesia culture local heritage on oral or written tradition have been done such as by Rahyono, Rosidi, etc. One of wise cultural heritage form is realized in proverb. The research on Sundanese proverb has been done by Fatimah in digging cultural value in Sundanese proverb. Although, the research aim is the same with Fatimah, the research used different approach. The data was viewed in semantic, pragmatic, and semiotic aspect. The approach was aimed to reveal the meaning of social interaction principles invested in Sundanese proverb. The result showed there were some Sundanese proverbs carried social interaction principles as a guidance in social life, such as proverb tamiang meulit ka bitis ‘ a kind of grass plant creeped and twisted into calf’. This proverb contained moral message that suggests us not to talk other bad behavior.

Key words: social interaction, semantic, pragmatic, pragmatic, and semiotic

Page 2: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

2

1. Pendahuluan

Sejalan dengan arus modernisasi dan di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia yang semakin kompleks sudah jarang lagi terdengar kebijaksanaan yang bersumber dari kearifan lokal bangsa ini. Jati diri bangsa mulai memudar dan menghilang sedikit demi sedikit dengan berpalingnya perhatian masyarakat pada arus besar globalisasi dengan segala nilai-nilainya. Pengadopsian nilai-nilai maupun budaya luar ini terjadi tidak hanya dari teknologi saja tetapi merambah kepada gaya hidup, perilaku, bahasa bahkan jati diri. Padahal dalam budaya kita terdapat warisan kebijaksanaan yang tidak kalah apabila dibandingkan dengan nilai ataupun budaya luar. Misalnya, budaya tolong menolong, gotong royong, tepo seliro, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya itu terangkum dalam kearifan lokal yang mencerminkan bagaimana manusia bersikap dan berperilaku terhadap diri, orang lain, dan lingkungan alam di sekitarnya. Hanya saja, sekarang mulai ditinggalkan dan ini berdampak pada semakin lupanya diri bangsa ini dengan warisan luhur nenek moyang dan jati diri bangsa sebagai bangsa yang besar. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau sekarang banyak terjadi tawuran, korupsi merajalela, perang antaretnis, dan kekacauan di mana-mana.

Sebenarnya sumber solusi dari berbagai permasalahan bangsa ini terletak pada pengajaran dan pendidikan, yaitu bagaimana mengenal diri sendiri dengan cara menggali kembali potensi nilai budaya bangsa ini. Salah satu nilai kearifan lokal yang dapat digali dan terdapat dalam budaya kita adalah nilai kearifan yang berkaitan dengan interaksi sosial. Bangsa kita sudah lama mengenal konsep manusia sebagai makhluk sosial atau zoon politicon. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Hubungan manusia satu dengan lainnya diatur oleh norma-norma sosial yang memberikan arahan bagaimana berhubungan dengan baik antara satu dengan lainnya sehingga terhindar dari konflik dan benturan-benturan sosial lainnya. Salah satu bentuk warisan nilai kearifan lokal yang mengandung prinsip interaksi sosial diwujudkan dalam peribahasa.

Dahulu pemakaian peribahasa merupakan cara efektif untuk memberikan pedoman dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di dalamnya terkandung nilai-nilai moral dan budaya yang tinggi tentang bagaimana sebaiknya manusia bersikap terhadap dirinya dan lingkungan di sekitarnya. Seperti bahasa lainnya di dunia, bahasa Sunda juga memiliki peribahasa. Kedudukan peribahasa Sunda menurut Rosidi (2005:7) merupakan kekayaan batin orang Sunda karena melalui pemahaman dan pengenalan peribahasa dapat diketahui bagaimana pandangan hidup, kehidupan sosial, dan lingkungan masyarakat Sunda.

Meskipun telah ada beberapa penelitian tentang peribahasa Sunda di antaranya, Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda karangan Djajasudarma (1997), penelitian tersebut masih bersifat struktural dan semantik. Nilai budaya yang diungkapkan dalam penelitian Djajasudarma berupa analisis isi peribahasa ditinjau dari aspek nilai budaya secara umum, yakni peribahasa yang menyangkut hubungan manusia dan kehidupan, hubungan manusia dengan karya, dan hubungan manusia dengan manusia. Pengelompokan ini berdasarkan pembagian aspek budaya dari Kuntjaraningrat (1974) dan tidak menganalisis makna peribahasa dari aspek semiotik dan pragmatik. Oleh karena itu, pada makalah ini akan ditinjau makna peribahasa dari aspek semantik, pragmatik, dan semiotik. Ketiga aspek ini sebagai satu kesatuan alat bedah untuk dapat secara efektif mengungkapkan makna peribahasa sehingga muatan nilai kearifan lokal tentang prinsip interaksi sosial di dalamnya dapat terungkap dengan jelas.

Page 3: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

3

2. Rumusan MasalahPermasalahan dalam tulisan ini meliputi1. Bagaimanakah makna semantik, pragmatik, dan semiotik yang terkandung dalam peribahasa Sunda tentang interaksi sosial? 2. Nilai kearifan lokal apakah yang terkandung dalam peribahasa sunda sehingga dapat dipilah menjadi a. nilai perilaku dianggap baik sehingga dapat dijadikan tuntunan hidup untuk interaksi sosial; b. nilai perilaku yang dianggap buruk dan dianjurkan untuk tidak diikuti dalam interaksi sosial?

3. Metode

Makalah ini ditulis menggunakan metode introspeksi karena penutur berasal dari suku Sunda. Selain itu, makalah ini didukung dengan metode observasi terhadap dua buku yang membahas peribahasa bahasa Sunda, yaitu Nilai Budaya Sunda dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda karangan Djadjasudarma (1997) dan Kumpulan Peribahasa Sunda karangan Rosidi (2005).

Prosedur penelitian dibagi menjadi beberapa langkah, yaitu1. Memilah dan mencatat peribahasa yang akan dijadikan sampel sesuai dengan

kebutuhan analisis data.2. Menganalisis makna semantik, pragmatik, dan semiotik peribahasa.3. Menganalisis muatan kearifan lokal peribahasa berdasarkan muatan nilai budaya

yang terkandung dalam peribahasa yang meliputi nilai baik sehingga patut dijadikan pedoman hidup dan nilai yang buruk sehingga dianjurkan untuk tidak diikuti dalam interaksi sosial.

4. Teori

4.1 Peribahasa

Dalam KBBI dinyatakan bahwa peribahasa merupakan kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan menyatakan maksud tertentu. Kalimat-kalimat dalam peribahasa ringkas dan padat serta berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, dan aturan tingkah laku. Ungkapan dapat dibedakan dari peribahasa melalui ciri bahwa gabungan kata dalam ungkapan bermakna tidak sama dengan makna setiap anggotanya. Dari defnisi tersebut dapat diambil simpulan bahwa peribahasa merupakan sebuah kalimat yang ringkas dan padat.

Ditinjau dari fungsinya, peribahasa digunakan untuk menyatakan suatu maksud (informasi) tentang aktivitas manusia dengan muatan nilai yang baik atau buruk. Kandungan nilai moral yang baik di dalam peribahasa digunakan sebagai pedoman bersikap dan berperilaku dalam kehidupan, sedangkan kandungan nilai berupa larangan atau penggambaran perilaku yang buruk dijadikan media pembelajaran untuk dijadikan pedoman kehidupan supaya tidak diikuti dan berjaga-jaga jangan sampai terjerumus pada aktivitas yang buruk tersebut.

Page 4: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

4

4.2 Makna Semantik, Pragmatik, dan Semiotik Peribahasa

4.2.1 Makna Semantik dan Pragmatik PeribahasaProposisi merupakan sebuah makna budaya yang direpresentasikan melalui

kata-kata. Sebagai sebuah instrumen atau alat representasi ide/gagasan nilai-nilai budaya, suatu bahasa memerlukan kosakata yang tepat untuk merepresentasikan nilai-nilai kebudayaan tersebut (Rahyono, 2005:50). Dikarenakan peran strategis kata untuk merepresentasikan ide, gagasan, dan nilai kebudayaan maka perlu pemahaman terhadap proposisi secara menyeluruh, yaitu meliputi aspek makna referensial, kontekstual, dan semiotik.

Analisis referensial merupakan analisis makna berdasarkan pada referen (objek, baik yang konkret maupun abstrak) yang ditunjuk oleh tanda yang berupa kata, frasa, atau kalimat. Analisis referensial ini termasuk ke dalam kajian semantik. Pada tataran analisis kontekstual, makna proposisi dibedah menggunakan konteks non lingual, yaitu konteks penggunaan. Analisis ini termasuk dalam kajian pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan sebagai alat untuk melakukan suatu tindakan. Tindakan di sini adalah fungsi peribahasa sebagai alat untuk menasehati atau melarang.

4.2.2 Makna Semiotik PeribahasaHoed (2007:5-6) menjelaskan bahwa kajian tentang kebudayaan masa kini

telah menjadi perhatian perkembangan teori semiotik, baik struktural maupun pragmatik. Semiotik struktural merujuk kepada teori tanda Saussure dengan konsep petanda dan penanda, sedangkan semiotik pragmatik dikembangkan oleh C.S Pierce dengan menyajikan trikotomi semiotik. Trikotomi semiotik meliputi representamen, objek, dan interpretan. Semiotik melihat kebudayaan sebagai sistem tanda. Manusia, sebagai anggota masyarakat yang berada dalam lingkungan sosial budayanya, memberi makna kepada tanda sesuai dengan konvensi yang berlaku. Lebih lanjut, Kramsch (2000:3) menekankan bahwa bahasa memiliki hubungan erat dengan budaya sehingga dapat dikatakan bahasa merupakan produk budaya. Selain itu, bahasa menyimbolkan realitas kultural dengan menggunakan sistem tanda yang bermuatan nilai kultural sehingga para penuturnya dapat mengidentifikasikan identitas diri mereka sendiri melalui bahasa.

Peribahasa sebagai bagian dari kebudayaan dianggap sebagai sistem tanda. Masinambow (2000: 12-13) dalam Rahyono (2009:93) menjelaskan bahwa kebudayaan sebagai sistem tanda mencakupi apa yang ada di pikiran (makna dan penyimpulan), tanda, serta objek baik kongkret maupun abstrak. Jika kebudayaan dianggap sebagai sistem tanda, maka sistem tanda itu berfungsi sebagai sarana penataan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, peribahasa sebagai bagian dari kebudayaan merupakan sistem tanda karena di dalamnya mencakupi ide/gagasan nilai-nilai yang ada pada pikiran serta representasinya dalam wujud kata-kata dan berfungsi sebagai sarana dalam menata kehidupan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memaknai maksud peribahasa Sunda diperlukan analisis pada tingkat semantik, pragmatik, dan semiotik. Secara sederhana model analisisnya dapat dilihat pada contoh berikut ini.

Page 5: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

5

Proposisi Peribahasa Makna Semantik Makna Pragmatik

datang katingali tarang undur katingali punduk

“datang terlihat dahi pulang terlihat tengkuk”

Datang ke rumah seseorang memberitahulah atau memintalah ijin dahulu dan apabila hendak pergi dari rumah seseorang berpamitanlah dahulu.

Himbauan/ saran/nasihat/peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa jika hendak datang ke rumah seseorang sebaiknya memberitahu atau meminta ijin dahulu dan apabila hendak pergi sebaiknya berpamitan dahulu.

Dari aspek makna semantik, peribahasa ini berisi perilaku seseorang yang datang ke rumah seseorang dengan cara memberitahu atau meminta ijin terlebih dahulu. Ketika ia hendak pulang, ia berpamitan kepada tuan rumah. Dari aspek makna pragmatik, peribahasa ini merupakan suatu himbauan/ saran /nasihat /peringatan kepada kawan tutur/ pendengar untuk berperilaku sopan santun ketika hendak berkunjung ke rumah seseorang, yaitu dengan cara memberitahu atau meminta ijin terlebih dahulu dan apabila hendak pulang berpamitan kepada tuan rumah. Dari aspek semiotik, penggunaan kata dahi merupakan simbol bahwa kedatangan seseorang dapat dilihat dari tampaknya bagian muka khususnya dahi secara fisik. Dahi merupakan bagian muka yang melambangkan bagian paling tinggi kedudukannya dalam anggota badan sedangkan secara fisik kepergian seseorang ditandai dengan terlihatnya secara fisik bagian tengkuk. Datang dan perginya seseorang hendaknya ditandai dengan permintaan izin sebagai pertanda kesopanan diibaratkan seperti terlihatnya badan seseorang secara fisik di suatu tempat.

4.3 Kearifan Lokal dan Nilai Budaya dalam Peribahasa

Quaritch Wales dalam Poespowardojo (1986:30) merumuskan local genius sebagai “the sum of kultural characteristics which the vast majority of people have ini common as a result of their experiences in early life.” Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa local genius ditandai oleh 1) karakteristik budaya atau ciri-ciri keseluruhan; 2) sekelompok manusia sebagai penganut budaya tersebut; 3) pengalaman hidup menghasilkan ciri-ciri budaya. Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa local genius atau kearifan lokal lahir dari sekelompok etnis tertentu yang diperoleh dari pengalaman etnis tersebut dalam kehidupan dan kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui bahasa mereka.

Definisi lain tentang kearifan dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kearifan secara leksikal diartikan sebagai ‘bijaksana’, ‘cerdik dan pandai’, ‘berilmu’, ‘paham’, ‘memahami’, ‘mengerti’. Kearifan dapat juga diartikan sebagberarti (1) ‘kebijaksanaan’ dan (2) ‘kecendikiaan’. Dari makna kearifan tersebut mengandung dua hal, yaitu karakter atau kepribadian (emosi) dan kecerdasan (kognisi). Kearifan dapat menjadi sarana pemelajaran bagi setiap individu untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan bijaksana.

Kearifan lokal berupa nasihat, larangan, ilmu pengetahuan tentang berbagai aspek kehidupan yang tertuang dalam bahasa etnik tertentu. Oleh sebab itu, peribahasa sebagai salah satu bentuk unik bahasa etnik tertentu merupakan warisan nenek moyang yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Di dalamnya termuat nasihat-nasihat dan larangan-larangan untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.

Page 6: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

6

Sebagaimana dinyatakan oleh Rosidi (2005) bahwa peribahasa berfungsi untuk memberikan nasihat kebaikan, larangan untuk melakukan hal yang tidak baik, dan (wawaran luang) menunjukkan keadaan. Dengan memedomani kearifan lokal yang terkandung dalam peribahasa manusia akan tahu bagaimana menempatkan dirinya dalam kehidupan sosial, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

5. Analisis

Dari data diketahui bahwa terdapat beberapa prinsip yang terdiri dari apa saja yang baik dan patut diikuti dan apa saja yang sebaiknya tidak dilakukan. Berikut analisis peribahasa tentang hal-hal yang patut diiikuti dan tidak patut dilakukan.

1. Lihatlah seseorang dari pribadinya bukan penampilannya

Beberapa peribahasa yang mengandung kebijaksanaan tentang bagaimana melihat seseorang bukan pada penampilannya saja tetapi pada pribadinya meliputi:

No. Proposisi Peribahasa

Makna Semantik Makna Pragmatik

1. Geulis sisi laur gunungCantik pinggir pesona gunung

Cantik parasnya, tetapi kelakuannya kampungan.

Himbauan/saran/nasihat/peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam menilai seseorang tidak hanya melihat wajahnya atau penampilannya saja, tetapi yang lebih penting dilihat adalah perilakunya.

2. Batok bulu eusi maduTempurung berbulu berisi madu.

Berwajah jelek tetapi memiliki budi pekerti yang luhur.

a. Makna Semantik Peribahasa

Peribahasa Geulis sisi laur gunung ‘cantik pinggir pesona gunung’ secara semantik bermakna seseorang yang berwajah cantik tetapi memiliki kelakuan yang kampungan atau kurang tahu bagaimana bersopan santun yang baik. Sebaliknya peribahasa batok bulu eusi madu ‘tempurung berbulu berisi madu’ mengandung makna bahwa meskipun seseorang itu memiliki wajah yang jelek bukan berarti kelakuannya juga buruk karena mungkin saja seseorang yang memiliki wajah jelek tetapi hatinya mulia.

b. Makna Pragmatik Peribahasa

Secara pragmatik kedua peribahasa ini bermakna sebagai suatu himbauan, nasihat, peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam menilai seseorang tidak hanya melihat wajahnya atau penampilannya saja karena penampilan bisa saja menipu. Kesalahan dalam menilai seseorang dapat mengakibatkan kerugian baik bagi diri kita maupun orang lain. Kemuliaan hati seseorang justru terletak pada perilakunya bukan pada penampilan semata. Oleh karena itu, kita sebaiknya berhati-hati dalam menilai seseorang dengan mempertimbangkan bahwa penampilan itu kadang menutupi perilaku seseorang yang sebenarnya.

Page 7: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

7

c. Makna Semiotik Peribahasa

Pada peribahasa pertama Geulis sisi laur gunung terdapat dua hal yang dibandingkan secara langsung, yaitu geulis sisi ‘cantik dari pinggir’ dan laur gunung ‘pesona gunung’. Pemakaian kata geulis sisi ‘cantik dari pinggir’ berarti kecantikan yang terlihat sekilas hanya dari satu arah saja, yaitu dari pinggir. Tentu saja kecantikan tersebut tidak terlihat secara jelas sehingga mungkin saja mata yang salah melihat, yakni dikira cantik dari kejauhan ternyata setelah dilihat dari dekat biasa saja.

Perbandingan langsung dari geulis sisi adalah pesona gunung yang terlihat indah dari kejauhan mata memandang. Namun, ketika kita berada menjelajahi gunung tersebut ternyata hanya berupa hutan belantara yang gelap gulita atau malah banyak jurang berbahaya merupakan lambang dari penampilan yang menipu. Kedua bagian geulis sisi dan laur gunung memiliki kesamaan perlambangan, yaitu kecantikan wanita dan keindahan gunung sebagai bungkus bukan sebagai isi dari perilaku seseorang

2. Pandailah menyesuaikan Diri Di manapun Berada

Beberapa peribahasa yang mengandung kebijaksanaan tentang bagaimana seseorang sebaiknya dapat menyesuaikan diri di manapun ia berada meliputi.

No. Proposisi Peribahasa

Makna Semantik Makna Pragmatik

3. Pindah cai pindah tampianPindah air pindah tempat mandi

Menyesuaikan diri dengan lingkungannya

Himbauan/saran/nasihat/peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dimanapun berada seseorang seharusnya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

4. Adat kakurung ku igaAdat terkurung oleh rongga dada

Adat sulit diubah

a. Makna Semantik Peribahasa

Peribahasa pindah cai pindah tampian bermakna seseorang seharusnya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana dia tinggal sehingga dia dapat diterima dengan baik di lingkungannya tersebut. Sebaliknya, ada juga seseorang yang sulit berubah adat atau perilakunya sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat ia tinggal. Perilaku atau adat yang sulit dirubah ini digambarkan dengan peribahasa adat kakurung ku iga.

b. Makna Pragmatik Peribahasa

Secara pragmatik peribahasa pindah cai pindah tampian bermakna sebagai himbauan, nasihat, peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam dalam kehidupan bermasyarakat kita sebaiknya dapat menyesuaikan diri dengan adat dan norma yang berlaku dalam lingkungan tempat kita tinggal. Sebaliknya, peribahasa adat kakurung ku iga secara pragmatik merupakan larangan atau peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam dalam kehidupan bermasyarakat kita sebaiknya menjauhi perilaku yang kaku dan tidak mau memahami ataupun menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat kita tinggal.

Page 8: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

8

c. Makna Semiotik Peribahasa

Pada peribahasa pertama pindah cai pindah tampian terdapat simbolisasi perilaku manusia dengan kata cai ‘air’ yang memiliki sifat lentur, mudah bergerak, mengalir memenuhi tempat sesuai dengan bentuk tempat air ditempatkan. Sifat air yang mudah bergerak, lentur, mengalir, serta dapat memenuhi ruang sesuai dengan tempatnya tersebut merupakan representasi dari perilaku manusia yang supel, mudah menyesuaikan diri, dan dinamis. Oleh karena itu, manusia diharapkan memiliki sifat seperti air dalam kehidupan bermasyarakat sehingga kehadirannya dapat diterima di lingkungan manapun ia berada.

Pada peribahasa kedua adat kakurung ku iga terdapat simbolisasi perilaku manusia yang disandingkan dengan kata iga (tulang rusuk). Tulang rusuk merupakan bagian dari tubuh manusia yang paling keras dan terletak tersembunyi di dada manusia. Perilaku manusia yang keras dan sulit dirubah disimbolisasikan dengan tulang rusuk (iga) yang keras dan sulit diubah dan terletak di dalam dada.

3. Sopan Santun dalam Bertamu Beberapa peribahasa yang mengandung kebijaksanaan tentang bagaimana

seseorang sebaiknya bersopan santun ketika hendak bertamu adalah

No. Proposisi Peribahasa Makna Semantik Makna Pragmatik5. Datang katingali tarang

undur katingali punduk

Datang terlihat dahi pulang terlihat tengkuk

Datang dan pergi harus pamit

Himbauan/saran/nasihat/peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa apabila bertamu hendaklah memiliki sopan santun dengan cara meminta izin ketika akan datang dan berpamitan kepada tuan rumah ketika hendak pulang.

6. Ngusap birit bari inditMengusap pantat sambil pergi

Meninggalkan tempat seketika tanpa pamit karena marah

a. Makna Semantik PeribahasaPeribahasa datang katingali tarang undur katingali punduk bermakna

seseorang seharusnya meminta ijin terlebih dahulu kepada tuan rumah apabila hendak bertamu dan berpamitan kepada tuan rumah apabila hendak pulang. Sebaliknya, peribahasa ngusap birit bari indit bermakna seseorang yang pergi begitu saja tanpa pamitan kepada tuan rumah.

b. Makna Pragmatik PeribahasaSecara pragmatik peribahasa datang katingali tarang undur katingali punduk

bermakna sebagai suatu himbauan, nasihat, peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita sebaiknya mengetahui tata krama bertamu. Adab bertamu adalah meminta ijin terlebih dahulu kepada tuan rumah dan berpamitan apabila hendak pulang. Sebaliknya, peribahasa ngusap birit bari indit secara pragmatik merupakan larangan atau peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam dalam kehidupan bermasyarakat kita sebaiknya menjauhi perilaku tidak sopan dalam bertamu. Meskipun kita marah atau kesal dengan sikap tuan rumah, sopan santun tetap harus dijaga dengan cara berpamitan kepada tuan rumah.

Page 9: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

9

c. Makna Semiotik PeribahasaPada peribahasa datang katingali tarang undur katingali punduk terdapat

simbolisasi kata tarang ‘dahi’ dan punduk ‘bahu’. Dahi dan bahu merupakan anggota tubuh dengan letak berbeda. Dahi terletak pada bagian muka badan dan melambangkan anggota tubuh yang pertama kali terlihat kalau kita bertamu diumpamakan dengan terlihatnya dahi berarti kita sudah meminta ijin. Bahu sebagai bagian belakang tubuh melambangkan anggota tubuh yang terlihat paling akhir ketika meninggalkan suatu tempat dan terlihatnya bagian belakang ini mennyimbolkan permintaan pamit kita kepada tuan rumah.

Pada peribahasa kedua ngusap birit bari indit terdapat simbolisasi kata birit ‘pantat’. Pantat merupakan bagian badan manusia yang terletak di belakang dan bagian ini dianggap bagian yang tabu untuk diperlihatkan kepada orang yang dihormati. Oleh karena itu, mengusap pantat melambangkan perilaku yang mengejek atau tidak menghormati tamu. Mengusap pantat dalam peribahasa ini merupakan perlambangan bagi orang yang pulang tanpa berpamitan terlebih dahulu pada tuan rumah.

4. Berhati-hatilah dalam berbicaraBeberapa peribahasa yang mengandung kebijaksanaan tentang bagaimana

seseorang sebaiknya berhati-hati dalam berbicara adalah

No. Proposisi Peribahasa

Makna Semantik Makna Pragmatik

7. Abong biwir teu diwengkuMentang-mentang bibir tidak dibendung

Berbicara seenaknya meskipun orang lain tersinggung

Himbauan/saran/nasihat/peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa apabila berbicara berhati-hati

8. Mapatahan ngojay ka meriMengajari itik berenang

Mengajari yang sudah pandai

9. Letah leuwih seukeut batan pedangLidah lebih tajam daripada pedang

Sakit hati karena kata-kata lebih sakit daripada tergores benda tajam

a. Makna Semantik PeribahasaPeribahasa abong biwir teu diwengku bermakna seseorang yang berbicara

seenaknya meskipun orang lain tersinggung. Peribahasa lainnya yang maknanya sejalan dengan peribahasa tersebut adalah mapatahan ngojay ka meri yang bermakna seseorang yang mengajari orang lain, padahal orang lain tersebut sudah tahu. Peribahasa lainnya adalah letah leuwih seukeut batan pedang bermakna bahwa perkataan seseorang kadangkala lebih menyakitkan daripada luka fisik.

Page 10: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

10

b. Makna Pragmatik PeribahasaSecara pragmatik peribahasa abong biwir teu diwengku, mapatahan ngojay ka

meri, dan letah leuwih seukeut batan pedang bermakna sebagai suatu himbauan, nasihat, peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita sebaiknya berhati-hati dalam berbicara dengan mempertimbangkan perasaan orang lain.

c. Makna Semiotik PeribahasaPada peribahasa abong biwir teu diwengku ‘mentang-mentang bibir tidak

dibendung’ mengandung simbolisasi mulut sebagai alat keluarnya kata-kata. Kata-kata yang kita ucapkan diibaratkan seperti aliran air sungai yang mengalir dengan derasnya. Kadangkala apabila tidak bisa dikendalikan maka kita akan berbicara seenaknya tanpa memerdulikan perasaan orang lain. Sementara itu, bendungan merupakan simbol yang menyaratkan bahwa aliran kata-kata itu sebaiknya ada pengendalinya berupa ‘bendungan’ berupa norma sopan santun dalam berbicara. Oleh karena itu, orang yang berbicara seenaknya diibaratkan seperti orang yang memiliki mulut yang tidak bisa dibendung.

Pada peribahasa mapatahan ngojay ka meri ‘mengajari yang sudah pandai’ terdapat simbolisasi bahwa meri ‘itik’ adalah binatang yang pandai berenang. Namun, anehnya itik masih diajari berenang. Fakta ini menyimbolkan pemberian nasihat atau pengajaran pada orang yang sudah tahu atau pandai. Peribahasa ini ditujukan kepada orang yang berbicara tanpa memerhatikan kemampuan orang yang diajak bicara. Hal ini bisa menimbulkan salah persepsi atau penghinaan bagi orang yang diajak bicara.

Pada peribahasa letah leuwih seukeut batan pedang terdapat simbolisasi bahwa kata-kata mengalir dengan letah ‘lidah’ sebagai alat ucap. Kata-kata yang diucapkan dapat membuat sakit hati dan mengakibatkan luka yang dalam sehingga terus diingat dalam pikiran. Oleh karena itu, tajamnya kata-kata yang menyakitkan dan menimbulkan luka hati dalam dan disimbolkan lebih tajam daripada pedang.

5. Jangan membicarakan keburukan orang lain

Beberapa peribahasa yang mengandung kebijaksanaan tentang bagaimana seseorang sebaiknya tidak membicarakan keburukan orang lain adalah.

No. Proposisi Peribahasa Makna Semantik Makna Pragmatik10. Asa rawing daun ceuli

Serasa rombeng daun telinga

Sering mendengar isu tidak menyenangkan

Himbauan/ saran/nasihat/peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain.

11. Tamiang meulit ka bitisTanaman sejenis rumput merambat membelit ke betis

Malu sendiri akibat menceritakan kejelekan orang lain

a. Makna Semantik Peribahasa

Peribahasa asa rawing daun ceuli bermakna seseorang yang sering mendengar isu yang tidak menyenangkan baik mengenai dirinya atau orang lain. Peribahasa lainnya adalah tamiang meulit ka bitis. Peribahasa ini bermakna seseorang yang mendapat malu karena telah menceritakan kejelekan orang lain.

Page 11: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

11

b. Makna Pragmatik PeribahasaSecara pragmatik kedua peribahasa bermakna sebagai suatu himbauan,

nasihat, peringatan yang disampaikan penutur kepada kawan tutur bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita sebaiknya tidak membicarakan keburukan orang lain. Dampak dari membicarakan keburukan orang lain adalah merasa tersinggungnya perasaan orang yang dibicarakan. Bahkan, dengan membicarakan kejelekan orang lain secara tidak langsung seperti mempermalukan dirinya sendiri.

c. Makna Semiotik PeribahasaPada peribahasa asa rawing daun ceuli ‘serasa rombeng daun telinga’

mengandung simbolisasi telinga sebagai alat mendengar yang merasakan kesakitan karena sering mendengar pembicaraan yang mengandung kejelekan. Kata-kata memengaruhi pikiran dan hati, kata-kata yang mengandung keburukan akan membuat hati dan pikiran menjadi tidak tenang baik terhadap orang yang dibicarakan ataupun orang yang mendengarkan. Di sisi lain, dampak dari membicarakan kejelekan orang lain tidak hanya terhadap orang yang dibicarakan tetapi juga terhadap orang yang membicarakan kejelekan itu sendiri.

Adakalanya, kejelekan yang dilontarkan justru mencelakai orang yang membicarakan kejelekan itu sendiri. Contoh peribahasa yang menyimbolkan kenyataan tersebut, yaitu Tamiang meulit ka bitis ‘Tanaman sejenis rumput membelit betis’. Tamiang adalah tanaman rambat yang sering membelit pada pohon atau kemana saja. Tanaman ini merupakan tanaman parasit sehingga tidak disukai petani yang keberadaannya dianggap hama tanaman. Penggunaan kata tamiang merupakan simbolisasi dari keburukan membicarakan orang lain karena membicarakan orang lain seperti parasit yang membahayakan badan. “Membelit ke betis” merupakan simbolisasi dari orang yang membicarakan keburukan itu sendiri dan malah mencelakan dan mempermalukan dirinya sendiri. Pada akhirnya, ia menyadari dan merasa malu setelah membicarakan keburukan orang lain.

5.2 Kearifan Lokal Peribahasa Sunda

Berikut ini muatan nilai moral peribahasa yang dianjurkan untuk dilaksanakan dan muatan nilai moral peribahasa yang dianjurkan untuk tidak dilakukan.

A. Muatan Nilai Moral yang Mengandung Anjurkan untuk DilaksanakanMuatan moral positif dalam peribahasa yang dianjurkan dan merupakan

pedoman hidup dalam berinteraksi sosial meliputi.1. Peribahasa pindah cai pindah tampian mengandung pesan moral positif yang berisi

anjuran atau saran sebagai pegangan hidup, yaitu apabila kita tinggal di mana saja hendaklah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga kehadiran kita dapat diterima di lingkungan tersebut.

2. Peribahasa datang katingali tarang undur katingali punduk mengandung pesan moral positif yang berisi anjuran atau saran sebagai pegangan hidup, yaitu untuk berperilaku sopan santun apabila bertamu dengan cara meminta ijin terlebih dahulu ketika datang bertamu dan berpamitan apabila hendak pergi kepada tuan rumah.

3. Peribahasa batok bulu eusi madu mengandung pesan moral positif yang berisi anjuran atau saran sebagai pegangan hidup, yaitu untuk melihat orang bukan hanya pada penampilannya saja karena yang terpenting adalah pribadi dan perilaku orangnya.

Page 12: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

12

B. Muatan Nilai Moral yang Mengandung Anjuran untuk Tidak DilakukanMuatan moral negatif dalam peribahasa yang dianjurkan untuk dihindari atau

tidak dilakukan dalam berinteraksi sosial meliputi.1. Peribahasa Geulis sisi laur gunung mengandung pesan moral yang berisi anjuran

atau saran untuk tidak bersikap hanya menonjolkan penampilan saja tanpa memerhatikan perilaku dan pribadi kita. Selain itu, pesan kedua adalah jangan melihat orang dari penampilan saja karena kadangkala penampilan hanyalah topeng yang bisa menipu atau menutupi pribadi dan perlaku seseorang.

2. Peribahasa adat kakurung ku iga mengandung pesan moral yang berisi anjuran atau saran untuk tidak bersikap keras kepala dan sulit untuk berubah sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku seperti ini mengakibatkan kita tidak dapat diterima oleh orang lain dan akhirnya diasingkan dari lingkungan.

3. Peribahasa ngusap birit bari indit mengandung pesan moral yang berisi anjuran atau saran kepada kita untuk tidak berperilaku tanpa tata karma ketika bertamu. Meskipun hati kita tersinggung dengan perilaku atau perkataan tuan rumah, sebaiknya kita dapat menahan emosi atau amarah dan bersikap bijaksana dengan cara menghargai tuan rumah. Ketika hendak pergi meninggalkan tuan rumah, kita sebagai tamu sebaiknya tidak pergi begitu saja pergi tanpa berpamitan.

4. Peribahasa abong biwir teu diwengku, mapatahan ngojay ka meri, dan letah leuwih seukeut batan pedang mengandung pesan moral yang berisi anjuran atau saran kepada kita untuk tidak berbicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Kata-kata yang meluncur dari mulut kita diibartakan seperti air yang mengalir dengan derasnya sehingga kadangkala kita tidak menyadari kalau ada kata-kata kita yang menyakiti orang lain dan kadangkala kita tidak menyadari berbicara seperti mengajari padahal orang yang diajak berbicara sudah tahu. Luka akibat kata-kata yang menyakitkan membekas dalam hati sehingga dikatakan bahwa kata-kata itu lebih tajam dibandingkan luka akibat tusukan pedang. Oleh karena itu, kata-kata yang kita ucapkan hanyalah alat yang sebenarnya dapat kita kendalikan dengan berpedoman pada bagaimana perasaan orang lain ketika mendengar kita berkata-kata tidak baik. Sebaiknya, kita dapat bersikap bijaksana ketika berkata-kata dengan memilih dan menimbang mana kata- kata yang kira-kira akan menyakiti orang lain dan mana yang membesarkan orang lain.

5. Peribahasa tamiang meulit ka bitis mengandung pesan moral yang berisi anjuran atau saran kepada kita untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain. Dengan membicarakan kejelekan orang lain bukan hanya merugikan orang yang dibicarakan tetapi juga merugikan diri sendiri. Adakalanya dengan membicarakan kejelekan orang lain malah membuat malu diri kita sendiri karena kita sebenarnya menceritakan siapa dan bagaimana diri kita.

6. Penutup

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa makna peribahasa ditinjau dari aspek semiotik, pragmatik, dan semantik memiliki muatan nilai budaya dan moral yang tinggi. Di dalamnya terkandung pedoman dalam berinteraksi sosial sehingga kita dapat membedakan mana yang sebaiknya dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam peribahasa merupakan pedoman bagi kita sebagai mahkluk sosial untuk berinteraksi sosial dengan baik dan

Page 13: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

13

keharmonisan hubungan antar sesama dapat terjaga. Oleh karena itu, perlu ada upaya dari pewarisan nilai-nilai kearifan lokal peribahasa Sunda melalui pengajaran peribahasa di sekolah.

Page 14: Prinsip Interaksi Sosial Dalam Peribahasa Sunda Revised (Riani)

14

Daftar Pustaka

Badudu-Zain, 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar. Harapan.

Djajasudarma, Fatimah. dkk. 1997. Nilai Budaya Dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Hoed, B. H. 2007. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat (Ed.). 1974. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kramsch, C. 2000. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.

Poespowardojo, S.1986. Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”. Dalam Ayatrohaedi. Edt. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Rosidi, Ajip. 2005. Babasan & Paribasa: Kabeungharan Basa Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.