praktikum fenomena dasar

73
LAPORAN PRAKTIKUM FENOMENA DASAR OLEH : MUHAMMAD MIRSODI IDRIS F1C 011 062 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS TEKNIK TEKNIK MESIN 2013

Upload: miyrsodie-dyuizguys

Post on 31-Dec-2015

265 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

yuihh

TRANSCRIPT

Page 1: Praktikum Fenomena Dasar

LAPORAN PRAKTIKUM

FENOMENA DASAR

OLEH :

MUHAMMAD MIRSODI IDRIS

F1C 011 062

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS TEKNIK

TEKNIK MESIN

2013

Page 2: Praktikum Fenomena Dasar
Page 3: Praktikum Fenomena Dasar

i

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM

PADA MATA KULIAH PRAKTIKUM PENOMENA DASAR

SEMESTER TUJUH (VII)

Disusun Oleh :

MUHAMMAD MIRSODI IDRIS

NIM. F1C 011 062

Telah diperiksa dan disetujui oleh :

( SYAHRUL, ST.,M.A.,Sc.,Ph.D )

NIP : 196912261994121001

Page 4: Praktikum Fenomena Dasar

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,

karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan laporan

”Praktikum Fenomena Dasar” sesuai dengan batas waktu yang direncanakan.

Penulisan laporan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ayah dan Ibu yang telah memberikan dukungan dan doa, sehingga laporan

praktikum ini dapat diselesaikan.

2. Kepada pemandu peraktikum fenomena dasar yang senantiasa menemani dan

menjelaskan cara-cara atau langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum.

3. Kepada Bapak dan Ibu dosen yang selalu sabar membimbing dan memberikan

pengarahan sehingga laporan praktikum ini dapat diselesaikan.

4. Kepada teman – teman yang senantiasa memberikan doa dan semangat

sehingga laporan ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan ataupun kesalahan baik yang

berhubungan dengan materi maupun sistemstik penulisan, untuk itu kritik dan

saran yang mendukung sangat penulis harapkan demi perbaikan dan

kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata penulis berharap laporan ini dapat digunakan sebagai mana

mestinya dan dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan pembaca pada umumnya.

Mataram, November 2013

Penulis

Page 5: Praktikum Fenomena Dasar

iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. i

KATA PENGANTAR ...................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................... iii

BAB I PUNTIRAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Tujuan Praktikum ........................................................................ 1

1.3 Landasan Teori ............................................................................ 1

1.4 Alat Dan Bahan ........................................................................... 6

1.5 Langkah Kerja ............................................................................. 8

1.6 Analisis Data ............................................................................... 8

1.7 Pembahasan ................................................................................. 16

1.8 Penutup ....................................................................................... 17

BAB II PUNTIRAN (TWIST) .......................................................... 18

2.1 Latar Belakang ............................................................................ 18

2.2 Tujuan Praktikum ........................................................................ 18

2.3 Dasar Teori .................................................................................. 18

2.4 Alat Dan Bahan ........................................................................... 23

2.5 Langkah Kerja ............................................................................. 25

2.6 Analisis Data ............................................................................... 27

2.7 Pembahasan ................................................................................. 38

2.8 Penutup ....................................................................................... 40

BAB III GETARAN SEDERHANA ................................................ 41

3.1 Latar Belakang ............................................................................ 41

3.2 Tujuan Praktikum ........................................................................ 41

3.3 Dasar Teori .................................................................................. 42

3.4 Alat yang Digunakan ................................................................... 51

3.5 Langkah Kerja ............................................................................. 51

3.6 Analisis Data ............................................................................... 53

Page 6: Praktikum Fenomena Dasar

iv

3.7 Pembahasan ................................................................................. 56

3.8 Penutup ....................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 58

LAMPIRAN ...................................................................................... 59

Page 7: Praktikum Fenomena Dasar

1

BAB I

DEFLEKSI PADA BATANG

1.1 Latar Belakang

Untuk setiap batang yang ditumpu akan melendut apabila padanya

diberikan beban yang cukup besar atau ketika sebuah batang diberi gaya

tranversal menghasilkan melengkung, batang akan melendut kebawah dari

posisi tanpa gaya. Lendutan arah vertical dari sebuah titik pada batang

horizontal disebut defleksi pada batang itu. Sebuah konstruksi batang

didesain kuat walaupun tidak rigit, tetapi ada juga konstruksi batang yang

didesain dengan memperhatikan defleksi maksimum.

Defleksi merupakan merupakan peristiwa melengkungnya suatu

batang yang ditumpu akibat adanya beban yang bekerja pada batang tersebut.

Beban yang dimaksud di sini dapat berupa beban dari luar ataupun beban dari

dalam karena pengaruh berat batang sendiri.

Defleksi maksimum pada batang dibutuhkan agar lantai yang diplester

keramik tidak retak dan mengelupas, poros power transmission yang

membawa roda gigi harus rigit agar terjadi mesh diantara roda gigi. Sangatlah

penting mengetahui defleksi sebuah batang yang dibebani agar defleksi

maksimum sebuah standar konstruksi tidak dilampaui.

1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan praktikum ini adalah:

1. Mencari hubungan defleksi sebuah batang dengan beban lengkung.

2. Memperoleh modulus elestisitas material batang.

3. Menggambarkan distribusi tegangan penampang batang.

1.3 Landasan Teori

Batang horizontal (beam) yang diberigaya vertical ke bawah akan

melengkung cembung ke bawah. Bagianbatang yang melengkung cembung

ke bawah disebabkan oleh momen lengkung positif seperti gambar berikut:

Page 8: Praktikum Fenomena Dasar

2

Gambar 1.1 : Sekmen batang yang mendapatkan beban lengkung

Dua batas garis ab dan cd tegak lurus garis sumbu batang pada

gambar 1. titik potong O dari garis ab dan cd adalah titik pusat kurva dan

jarak dari titik O ke titik-titik sumbu batang adalah jari-jari kurva ρ. Panjang

busur mn sepanjang sumbu batang tidak berubah walaupun busur bd

meregang dan busur ac memendek. Sudut ∆θ dalam radian, panjang busur mn

adalah ρ . ∆θ dan panjang bd adalah (ρ + C) . ∆θ. Regangan ɛmax busur bd

adalah :

CC

mn

mnbd

.max

Untuk lengkung elastis, tegangan σmax sebanding dengan tegangan

menurut Hukum Hooke:

CEE

.. maxmax ; dengan E modulus elastisitas

Rumus tegangan pada lengkungan ICM .max dengan M:

momen yang bekerja, I: momen inersia, maka kita dapatkan:

ICMCE ..

MEI .........................................................................................(1)

Salah satu metode untuk menghitung defleksi sebuah batang adalah

metode moment-area. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa:

Page 9: Praktikum Fenomena Dasar

3

Keadaan batang homogen dan mentaati hukum hooke, modulus elastisitas

sama pada perlakuan tarik maupun tekan, bending dalam keadaan elastis.

Batang mempunyai garis simetri vertikal sejajar dengan batang luar yang

bekerja.

Defleksi sangat kecil yang disebabkan oleh momen lengkung, defleksi

karena geseran tidak ada.

Metode luasan momen merupakan metode semigrafik untuk

mendapatkan slope dan defleksi batang. Gambar 1.2a dibawah adalah sebuah

batang sederhana yang diberi gaya lengkung. Diagram momen dan kurva

defleksi batang terlihat pada gambar 1.2b dan 1.2c.

Dua titik p dan q pada kurva defleksi adalah jarak kecil ∆X. Jari-jari

kurva defleksi pada titik ini adalah ρ. Sudut kecil ∆θ dalam radian antara jari-

jari Op dan Oq sama dengan:

X

Substitusikan persamaan (1) ke persamaan di atas:

..

.

IE

M

Dimana . adalah luas diagram momen antara titik p

dan q. Garis singgung kurva defleksi di titik p dan q juga membuat sudut ∆θ.

Gambar 1.2 : diagram momen, kurva defleksi sebuah beam dengan beban

terdistribusi

Page 10: Praktikum Fenomena Dasar

4

Penambahan deviasi tangensial ∆t sepanjang ∆X adalah seperti

ditunjukkan gambar 1.2. Bila ∆t sama dengan penambahan sudut ∆θ dikali

jarak elemen horizontal elemen ke titik B (XB).

.

Deviasi tangensial total tAB adalah jarak vertikal antara titik B ke garis

singgung kurva defleksi di titik A.

.tt

Substitusikan

.1

t

. adalah sama dengan . dimana AAB adalah

luasan diagram momen dari titik A ke B dan adalah jarak horizontal pusat

luasan ke titik B. Meskipun dan AAB = ABA tetapi deviasi

tangensial tAB tidak sama dengan tBA seperti di tunjukkan pada gambar 3. tAB

diukur dari titik A pada kurva defleksi secara vertikal ke garis singgung kurva

defleksi titik B

.t

Gambar 1.3 : kurva defleksi dan diagram momen antara titik A dan titik B

Page 11: Praktikum Fenomena Dasar

5

Pada praktikum ini konstruksi batang yang diuji adalah sebagai berikut:

Gambar 1.4 : Sket konstruksi batang pada praktikum ini

Luasan diagram momen antara C dan B merupakan luasan segitiga

yaitu:

164.21.21 2PLPLLC

Titik berat luasan tersebut dari titik B:

32.32 LL

Menggunakan teorema momen area maka defleksi di titik C (δC) adalah:

E

PL

LPL

t

c

c

CBCC

48

3.16

.1

..1

3

E=PL3

48·δc ·I

Dimana:

δc = defleksi titik C.

P = gaya eksternal (beban) di titik C.

E = modulus elestisitas bahan batang.

I = momen inersia batang.

Page 12: Praktikum Fenomena Dasar

6

Untuk batang dengan penampang persegi panjang, momen inersianya

adalah: I = bh3

12 , dengan (b) lebar batang, (h) tebal batang.

1.4 Alat dan Bahan

Alat:

1. Twist and Beam Apparatus

Twist and Beam Apparatus adalah alat yang digunakan untuk menguji

puntiran dan defleksi pada spesimen.

Gambar 1.5 : twist dan beam apparatus

2. Dial indikator.

Alat ukur yang dingunakan untuk mengukur kerataan dari permukaan

suatu benda dengan ketelitian 0,01 mm.

Gambar 1.6 : dial indikator

3. Jangka sorong.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur panjang, tebal, lebar,

diameter luar dan diameter dalam, dan kedalaman air dengan ketelitian

0,05 mm.

Page 13: Praktikum Fenomena Dasar

7

Gambar 1.7 : jangka sorong

4. Lempengan beban dengan massa 0,5 kg dan 1 kg.

Gambar 1.8 : lempengan beban

5. Meteran

Alat yang digunakan untuk mengukur panjang benda dengan ketelitian

1 mm.

Gambar 1.9 : meteran

Bahan:

1. Spesimen uji defleksi yaitu batang baja karbon rendah ST 37 .

Gambar 1.10 : baja karbon rendah ST 37

Page 14: Praktikum Fenomena Dasar

8

1.5 Langkah Kerja

Pada praktikum defleksipada batang ini, kita melakukan beberapa

langkah yaitu :

1. Memisahkan kedua penjepit pada relnya sejauh spesimen batang.

2. Mengukur penampang batang yaitu lebar (b) dan tebal (h).

3. Mengukur panjang spesimen (L) dari tumpuan kiri ke tumpuan kanan.

4. Tempatkan kait beban tepat di tengah-tengah batang.

5. Menggeser dudukan mikrometer ditengah-tengah batang. Letakkan ujung

mikrometer gauge tepat menempel di atas ujung kait beban,. Setting

mikrometer pada posisi angka nol dan pastikan dudukan mikometer sudah

kencang.

6. Memasang beban atau P pada tuas beban. Lihatlah beberapa penurunan δC

(defleksi) tengah-tengah batang akibat beban P dimikrometer.

7. Menurunkan beban dari pengait beban dan lihatlah apakah jarum

mikrometer kembalike posisi nol. Kalau tidak kembali ke nol berarti ada

beberapa kemungkinan:

a. Mendudukan mikrometer bergeser sewaktu beban diberikan, anda

harus mengencangkannya.

b. Beban yang diberikan terlalu besar sehingga bahan spesimen telah

plastis maka anda harus mengganti spesimen dan memberi beban

yang lebih kecil.

8. Mengulangi urutan no. 6 dan 7 sehingga diperoleh nilai δC pada daerah

elastis dengan memvariasikan harga beban P.

1.6 Analisis Data

1.6.1 Hasil Pengukuran Pengujian Defleksi Pada Batang.

Lebar (b) = 32,8 mm

Tinggi (h) = 3 mm

Panjang Spesimen (L) = 655 mm

Momen Inersia batnag (I) = b.h3/12 = 54 mm4

Grafitasi (g) = 9,82 m/s2

Page 15: Praktikum Fenomena Dasar

9

Tabel 1.1 Data Hasil Pengamatan untuk Defleksi pada Batang.

No m (Kg) δc (mm)

1 0,5 1,5

2 1 2,81

3 1,5 4,21

4 2 5,61

5 2,5 6,98

1.6.2 Analisa Data Pengujian Defleksi Pada Batang.

Menentukan Momen Inersia untuk batang pejal uji defleksi (I)

I = b×h³

12 =

24 × 33

12 = 54 mm

Menentukan gaya eksternal (beban) pada uji defleksi (P).

P = m × g

P = 0,5 kg × 9,82m

s2

P = 4,91 N

Menentukan modulus elastisitas untuk batang pejal pada uji

defleksi (E)

E =P.L3

48.δc.I

E =4,91N×655 3 mm

48×1,5 mm ×54 mm 4 = 259666,86 N/mm2

Analog: Dengan menggunakan cara yang sama, maka didapat perhitungan dari

data hasil untuk percobaan ke-2 sampai dengan percobaan ke-5 yang

dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.

Page 16: Praktikum Fenomena Dasar

10

Tabel 1.2 Data hasil perhitungan pengujian defleksi.

No m

(kg)

P = m.g

(N)

δc

(mm)

E = P.L3

48.δc.I

(N/mm²)

1 0.5 4,91 1,5 259666,86

2 1 9,82 2,81 277224,41

3 1.5 14,73 4,21 277553,66

4 2 19,64 5,61 277718,57

5 2.5 24,55 6,98 279011,67

Rata-rata 274235,04

g = 9,82 m/s2

Grafik 1.1 Hubungan antara Beban (P) vs Defleksi (δc)

Terlihat hasil regresi linier Grafik 1.1,y= 0,280x + 0,094 ; R2=

0.999 dimana y (sumbu y) merepresentasikan defleksi batang spesimen

(δc), sedangkan x (sumbu x) merepresentasikan beban (P). Dari

y = 0.280x + 0.094R² = 0.999

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 5 10 15 20 25 30

Def

leks

i (m

m)

Beban (N)

grafik beban (P) vs defleksi (δc)

Page 17: Praktikum Fenomena Dasar

11

persamaan itu didapatkan nilai defleksi batang spesimen (δc) seperti

penjabaran dibawah ini.

y = 0,280X + 0,094

y = 0,280x4,91 + 0,094

y = 1,47 mm

Analog: Dengan cara yang sama, maka didapat data hasil untuk percobaan 2

sampai dengan percobaan 5 yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.3 Defleksi Batang Spesimen (δc) Hasil Regresi Linier

P=m.g (N) δc hasil regresi linier (mm)

4,91 1,47

9,82 2,84

14,73 4,22

19,64 5,59

24,55 6,97

Page 18: Praktikum Fenomena Dasar

12

1.6.3 Distribusi tegangan pada penampang melintang spesimen

Distribusi Tegangan (𝜏) pada penampang melintang spesimen

untuk m = 0,5 Kg

W

L

½ L

¼ L

1/8 L

Gambar 1.11 : FBD

Tegangan pada L= ½ L = 350,25 mm

𝜏 = 𝐹 𝐴 =𝑃. 𝑔

𝐿. 𝑏 = 𝑊𝐿. 𝑏

= 4,91 𝑁 350,25 𝑚𝑚 𝑥 33 𝑚𝑚

= 0,00004248 𝑁 𝑚𝑚2

Tegangan pada L= ¼ L = 175,125 mm

𝜏 = 𝐹

𝐴=

𝑃.𝑔𝐿. 𝑏 = 𝑊

𝐿. 𝑏 = 4,91 𝑁 175,125 𝑚𝑚 𝑥 33 𝑚𝑚

= 0,00008496 𝑁 𝑚𝑚2

Page 19: Praktikum Fenomena Dasar

13

Tegangan pada L= 1/8 L = 87,562 mm

𝜏 = 𝐹 𝐴 =𝑃.𝑔

𝐿.𝑏 = 𝑊𝐿. 𝑏

= 4,91 𝑁 87,562 mm 𝑥 33 𝑚𝑚

= 0,00016992 𝑁 𝑚𝑚2

Tabel 1.4 distribusi tegangan (τ) pada L tertentu untuk m=0,5 Kg

No L P=m.g (N) A=L.b (mm2) τ=P/A (N.mm2)

1 327,5 4,91 10742 0,000457084

2 163,75 4,91 5371 0,000914169

3 81,875 4,91 2685,5 0,001828337

Rata-rata 0,00106653

Gambar Distribusi tegangan untuk pembebanan 0,5 Kg

W

A C B

½ l ½ l

Gambar 1.12 : distribusi tegangan pada m=0,5 Kg

Analog: dengan cara yang sama didapat distribusi tegangan batang untuk L

tertentu untuk m = 1 Kg sampai m = 2,5 Kg.

Tabel 1.5 distribusi tegangan (τ) pada L tertentu untuk m=1 Kg

No L (mm) P=m.g (N) A=L.b (mm2) τ=P/A (N.mm2)

1 327,5 9,82 10742 0,000914169

2 163,75 9,82 5371 0,001828337

3 81,875 9,82 2685,5 0,003656675

rata-rata 0,00213306

Page 20: Praktikum Fenomena Dasar

14

W

A C B

½ l ½ l

Gambar 1.13 : distribusi tegangan untuk m=1 kg

Tabel 1.6 distribusi tegangan (τ) pada L tertentu untuk m=1,5 Kg

No L (mm) P=m.g (N) A=L.b (mm2) τ=P/A (N.mm2)

1 327,5 14,73 10742 0,001371253

2 163,75 14,73 5371 0,002742506

3 81,875 14,73 2685,5 0,005485012

rata-rata 0,00319959

W

A C B

½ l ½ l

Gambar 1.14 : distribusi tegangan untuk m=1,5 kg

Tabel 1.7 distribusi tegangan (τ) pada L tertentu untuk m=2 Kg

No L (mm) P=m.g (N) A=L.b (mm2) τ=P/A (N.mm2)

1 327,5 19,64 10742 0,001828337

2 163,75 19,64 5371 0,003656675

3 81,875 19,64 2685,5 0,007313349

Rata-rata 0,004266121

Page 21: Praktikum Fenomena Dasar

15

W

A C B

½ l ½ l

Gambar 1.15 : distribusi tegangan untuk m=2 kg

Tabel 1.8 distribusi tegangan (τ) pada L tertentu untuk m=2,5 Kg

No L P=m.g (N) A=L.b (mm2) τ=P/A (N.mm2)

1 327,5 24,55 10742 0,002285422

2 163,75 24,55 5371 0,004570843

3 81,875 24,55 2685,5 0,009141687

rata-rata 0,005332651

W

A C B

½ l ½ l

Gambar 1.16 : distribusi tegangan untuk m=2,5 kg

Page 22: Praktikum Fenomena Dasar

16

1.7 Pembahasan.

Pada pengujian dengan objek defleksi ini hanya dilakukan satu jenis

percobaan pada sebuah batang baja karbon dengan tumpuan tetap, titik

penempatan beban yang tetap yaitu di tengah dan hanya memvariasikan

beban yang diberikan pada batang.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan maka

dapat dilihat hubungan antara beban dengan defleksi seperti yang ditampilkan

pada grafik 1.1 di atas. Pada batang yang sama dan titik penempatan beban

yang tetap, apabila diberikan beban yang semakin besar maka defleksi yang

terjadi semakin besar pula, dapat dilihat pada tabel 1.2 bahwa pembebanan

dilakukan dari 0,5 Kg sampai 2,5 Kg akan dan menyebabkan defleksi pada

batang meningkat dari 1,5 mm sampai 6,98 mm.

Dari grafik dapat dilihat kurva yang menunjukkan pengaruh

penambahan beban dengan defleksi yang terjadi pada setiap penambahan

pembebanan. Dimana kurva tersebut merupakan kurva linear yang memiliki

taraf error yang sangat kecil Hal ini menunjukan bahwa kurva tersebut

mewakili data-data yang dihasilkan, sehingga formulasi/model dari

persamaan regresi sudah bisa dijadikan persamaan untuk menentukan nilai

dari defleksi hasil linierisasi guna mendapatkan besarnya modulus elstisitas

pada hasil dari defleksi linear.

Dari data hasil perhitungan menggunakan data gaya eksternal beban

dan defleksi yang didapatkan dari percobaan, kita bisa menghitung besarnya

modulus elastisitas E. Berdasarkan pada tabel 1.2 di atas dapat kita ketahui

bahwa pada pembebanan 0,5 kg sampai 2,5 kg didapat gaya eksternal 4,91 N

sampai 24,55 N sehingga modulus elastisitasnya meningkat seiring dengan

pertambahan beban yang diberikan, hal ini disebabkan karena modulus

elastisitas berbanding lurus dengan gaya eksternal (P) di titik pembebanan

atau bisa juga dikatakan bahwa elastisitas berbanding lurus dengan besarnya

beban yang diberikan.

Dari data hasil perhitungan analisa data diatas juga diperoleh bahwa

pada batang yang tetap dan posisi pembebanan yang tetap jika diberikan

Page 23: Praktikum Fenomena Dasar

17

penambahan beban maka tegangan penampang yang terjadi semakin besar,

dapat dilihat pada tabel distribusi tegangan untuk beban 0,5 Kg memiliki

tegangan rata-rata sebesar 0,00106653 N/mm2

dan dilakukan penambahan

beban sampai beban 2,5 kg yang memiliki tegangan rata-rata

0,005332651

N/mm2

.

1.8 Penutup

1.8.1 Kesimpulan

Berdasarkan data yang didapat dari praktikum, maka dapat kita

simpulkan bahwa :

1. Beban berbanding lurus dengan defleksi artinya bila suatu batang

dikenakan posisi pembebanan yang tetap dan dengan variasi beban

yang berbeda atau meningkat setiap variasi maka akan menyebabkan

semakin besarnya defleksi pada batang tersebut seiring penambahan

beban.

2. Besar modulus elastisitas sangat terpengaruh oleh besarnya beban

yang diberikan, jika beban yang diberikan besar maka modulus

elastisitas yang terjadi besar pula.

3. Tegangan tarik yang terjadi pada penampang spesimen sama

dengan tegangan tekan yang terjadi, hanya arah tegangannya saja

yang berbeda.

1.8.2 Saran

Tidak hanya dari para praktikan menguasai modul praktikum tapi

luas tempat atau lokasi juga menentukan kelancaran suatu kegiatan, oleh

karena itu lab fenomena dasar perlu ditingkatkan atau diperluas guna

aktifitas saat praktikum berjalan dengan lancar.

Page 24: Praktikum Fenomena Dasar

18

BAB II

PUNTIRAN (TWIST)

2.1 Latar Belakang

Beberapa aplikasi teknik menggunakan poros sebagai transmisi daya

dari mesin ke penggerak mesin yang lain seperti pompa, kompresor, sistem

kendaraan dan lain-lain. Dalam gerak rotasi, gaya yang menyebabkan suatu

benda berputar disebut torsi. Bila sebuah poros menerima torsi pada satu

sisinya dan sisi yang lain ditahan atau pada kedua sisi poros menerima gaya

yang berbeda maka poros tersebut akan mengalami puntiran dan membentuk

sudut puntir tertentu tergantung pada dimensi dan modulus geser elastisitas

poros itu sendiri.

2.2 Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah:

1. Mencari hubungan besar sudut puntir suatu poros dengan beban torsi.

2. Mencari besar modulus geser elastis bahan poros.

3. Menggambarkan distribusi tegangan penampang poros.

2.3 Dasar Teori

Poros merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari setiap

mesin, hampir setiap mesin meneruskan tenaga bersama – sama dengan

putaran, sehingga pemilihan poros menjadi sangat penting. Pemilihan bahan

dan dimensi poros dipengaruhi oleh beban yang akan diterima oleh poros

pada saat poros bekerja mentransmisikan daya, karena berkaitan dengan

kinerja mesin itu sendiri misalnya untuk penggunaan mesin dengan daya yang

tinggi dan menggunakan poros dengan dimensi yang kecil dan modulus

elastisitasnya rendah dapat menyebabkan rusaknya poros atau bahkan mesin

itu sendiri.

Gambar 2.1.a menunjukkan sebuah poros yang dijepit mati dibagian

kiri dan bebas dibagian ujung kanan. Gambar 2.1.b menunjukkan deformasi

Page 25: Praktikum Fenomena Dasar

19

bagian-bagian poros setelah bekerjanya torsi T pada ujung poros kanan. Kita

lihat garis AB dipuntir pada permukaan poros menjadi garis helix AB’.

Radius OB diputar membentuk sudut 𝛳 menjadi posisi baru OB’. Elemen-

elemen poros yang ada di permukaan poros yang berbentuk bujur sangkar

berubah menjadi jajaran genjang (rhombus).

Gambar 2.1. a. Elemen poros sebelum ada Torsi.

Gambar 2.1. b. Elemen poros setelah ada

Deformasi ini menunujukkan bahwa elemen-elemen poros mengalami

tegangan geser. Panjang sisi-sisi tersebut tidak berubah, tidak ada tegangan

normal pada elemen baik arah longitudinal maupun arah transfersal, ini

menunjukkan bahwa elemen poros hanya mengalami tegangan geser (pure

share).

Jika tegangan geser maksimum disebabkan oleh torsi pada poros

masih pada batas elastis maka teganagn geser dipenampang melintang poros

Page 26: Praktikum Fenomena Dasar

20

tersebut linear dari sumbu poros ke permukaan luar poros. Gambar 2.2

menunjukkan distribusi tegangan geser sepanjang radius penampang.

Tegangan geser terbesar τmax terletak dikulit poros salah satunya di titik C.

Tegangan geser τ pada elemen dengan luasan ∆A berlokasi di ρ dari sumbu

dirumuskan secara semigrafis:

Cmax/. ………………………………………………..(a)

gaya geser pada elemen ∆A adalah:

CAAF /... max

Gambar 2.2. Distribusi tegangan pada penampang poros.

Torsi yang dihasilkan oleh gaya geser ∆F terhadap sumbu poros:

CAFT /.. .2max

Torsi total yang dihasilkan gaya geser pada semua elemen pada penampang

poros:

CJ

AC

F

C

ATT

/.

...

..

max

2max

2

max

Sehingga

JCT /.max …………………………………………(b)

Dimana

AJ .2

Page 27: Praktikum Fenomena Dasar

21

Didefinisikan sebagai momen inersia polar penampang melintang poros,

untuk penampang lingkaran

J = π.d2/32 dengan d = diameter lingkaran.

τmax = tegangan geser maksimum pada permukaan poros luar.

T = torsi yang bekerja pada poros.

C = jarak dari sumbu poros ke arah luar pemukaan poros (radius poros).

Ketika poros diberi beban torsi, dua ujung poros berputar membentuk

sudut tertentu relatif tehadap yang lain. Displacement sudut relatif antara dua

ujung poros disebut sudut puntir.

Gambar 2.3. Poros mendapat beban puntir

Gambar diatas menunjukkan sebuah poros panjang L yang dijepit mati

disebelah kiri dan disebelah kanan bekerja torsi T. Garis longitudinal AB

pada permukaan AB pada permukaan poros dipuntir dengan torsi T menjadi

garis AB’. Radius OB berputar sejauh Ø menjadi OB’. Sudut Ø disebut sudut

puntir dari poros sepanjang L.

Ambil panjang poros terpendek ∆L seperti gambar dibawah ini:

Gambar 2.4. Segmen poros yang mendapat beban puntir.

Page 28: Praktikum Fenomena Dasar

22

Garis lnitudinal PQ menjadi PQ’ setelah dipuntir dengan torsi T, pada

saat yang sama radius QQ berputar dengan sudut kecil Ư (dalam radian) ke

posisi OQ’. Sudut QPQ’ dalam radian menunjukan distorsi sudut antara dua

garis setelah dipuntir, sudut ini diidentifikasikan sebagai shear strain γ

(pertambahan sudut geser). Pada keadaan elastis γmax

adalah sangat kecil,

kita dapatkan:

Busur QQ’ = γmax

. ∆L = C . ∆Ø

CL .max …………………………………(c)

Dimana C adalah jari-jari penampang melintang poros.

Hubungan distorsi elastis poros dalam hal ini pertamabahan sudut geser

(γmax

) dan tegangan geser maskimum pada daerah elastis sesuai hukum

hooke:

γmax

= τmax . G

dimana

τmax = Tegangan geser maksimum dipermukaan poros.

G = Modulus geser material poros.

Sedangkan τmax = T . C / J (persamaan b)

Dimana J = momen inersia polar penampang melintang poros

Sehingga γmax

= T . C/ (J . G)

Substitusikan persamaan (d) ke persamaan (c) didapat:

∆Ø = T . ∆L / (J. G)

Yang disebut dengan sudut puntir poros sepanjang ∆L.

Sudut total puntir poros yang dikenai torsi T sepanjang garis L adalah:

LGJ

TGJLT

../.

Sedangkan ∑∆L = L maka

J

LTG

sehinggaGJ

LT

.

.

.

…………………………………(e)

Dimana

Page 29: Praktikum Fenomena Dasar

23

Ø = sudut puntir poros dalam radian.

T = torsi yang bekerja pada poros.

L = panjang poros.

G = modulus geser material poros.

J = momen inersia sudut penampang melintang poros.

Untuk penampang lingkaran J = πd4/32

2.4 Alat dan Bahan

Alat:

1. Twist dan Beam Apparatus.

Twist and Beam Apparatus adalah alat yang digunakan untuk menguji

puntiran dan defleksi pada spesimen.

Gambar 2.5 Twist dan Beam Apparatus

2. Dial indikator.

Alat ukur yang dingunakan untuk mengukur kerataan dari permukaan

suatu benda dengan ketelitian 0,01 mm.

Gambar 2.6. Dial Indikator

Page 30: Praktikum Fenomena Dasar

24

3. Jangka sorong.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur panjang, tebal, lebar, diameter

luar dan diameter dalam, dan kedalaman air dengan ketelitian 0,05 mm.

Gambar 2.7. Jangka Sorong

4. Lempengan beban dengan massa 0,5 kg dan 1 kg.

Gambar 2.8. Lmpengan beban

5. Meteran

Alat yang digunakan untuk mengukur panjang benda dengan ketelitian 1

mm.

Gambar 2.9. Meteran

Page 31: Praktikum Fenomena Dasar

25

Bahan:

1. Spesimen uji puntir yaitu batang baja karbon rendah ST 37 .

Gambar 2.10. Baja karbon Rendah ST 37

2.5 Langkah Kerja

1. Memisahkan kedua chuck pemegang pada relnya sejauh panjang spesimen

puntir.

2. Mengkendorkan chuck pemegang dan memasukkan ujung-ujung spesimen

ke masing-masing chuck, kemudian mengencangkan chuck untuk

menjepit specimen dan memastikan tuas beban torsi dalam keadaan

horizontal.

3. Mengukur diameter spesimen puntir (d). Mengukur panjang spesimen (L)

dari ujung dalam chuck sebelah kiri sampai ujung dalam chuck sebelah

kanan.

4. Menggeser dudukan chuck dial indikator dibelakang chuck sebelah kanan,

meletakkan ujung dial indikator gauge tepat menempel diatas pena

pengukuran pada chuck sebelah kanan dan kemudian menyetting dial

indikator pada posisi angka nol. Memastikan dial indikator sudah kencang.

5. Memasang beban tertentu (W) pada tuas beban. Melihat berapa kenaikan

pena pengukuran (t) pada dial indikator.

6. Menurunkan beban dari tuas beban dan melihat apakah jarum dial

indikator kembali ke posisi nol. Kalau tidak kembali ke posisi nol, ada

beberapa kemungkinan yaitu:

Page 32: Praktikum Fenomena Dasar

26

a. Dudukan dial indikator bergeser sewaktu beban diberikan, dudukan

dial indikator harus dikencangkan kembali.

b. Pencengkraman chuck kurang sehingga spesimen puntir selip terhadap

chuck. Chuck harus dikencangkan lagi.

c. Beban yang diberikan terlalu besar sehingga spesimen memasuki

daerah plastis, maka spesimen harus diganti dan memberikan beban

yang lebih ringan.

7. Mengulangi urutan kerja no. 5 dan no. 6 sehingga diperoleh lima nilai (t)

pada daerah elastis dengan memfariasikan beban (W) dan panjang lengan

(l).

8. Ukurlah lengan pena pengukuran (r) dari sumbu chuck ke pena

pengukuran tempat ujung dial indikator gauge menempel. Sudut puntir

dapat dicari dengan rumus puntir sebagai berikut: Ø=arc tg (t/r)

Page 33: Praktikum Fenomena Dasar

27

2.6 Analisis Data

2.6.1 Data Hasil Pengukuran Uji Puntir.

Diameter Spesimen Puntir (d) = 8 mm

Jari-jari Penampag Melintang poros (C) = d/2 = 4 mm

Momen Inersia Polar Penampang melintang poros (J) = π.d4/32 =

401,92 mm4

Panjang Lengan (l) = 150 mm dan 200 mm

Panjang Spesimen (L) = 450 mm

Panjang Lengan Pena Pengukuran (r) = 42,85 mm

Grafitasi (g) = 9,82 m/s2

a. Data hasil pengukuran uji puntir pada lengan kedua l1=150 mm.

Tabel 2.1 hasil pengukuran uji puntir untuk panjang lengan 150 mm

No m ( kg ) t (mm)

1 0,5 0,28

2 1 0.85

3 1,5 1,50

4 2 2,01

5 2,5 2,58

b. Data hasil pengukuran uji puntir pada lengan kedua l2= 200 mm.

Tabel 2.2 hasil pengukuran uji puntir untuk panjang lengan 200 mm

No m ( kg ) t (mm)

1 0,5 0,49

2 1 1,39

3 1,5 2.15

4 2 2,84

5 2,5 3,65

Page 34: Praktikum Fenomena Dasar

28

2.6.2 Analisa Data Uji Puntir.

a. Analisa data untuk percobaan pertama dimana l = 150 mm, dan m =

0,5 kg.

Menentukan momen inersia polar untuk poros pejal pada uji puntir (J).

J = π .d4

32

J = π .44

32

J = 401,92 mm4

Menentukan berat (W)

W = m × g

W = 0,5 kg × 9,82 ms2

W = 4,91 N

Menentukan Torsi (T) pada poros uji puntir.

T = W × l

T = 4,91 N × 150 mm

T = 736,5 N. mm

Menentukan sudut puntir poros (Ø).

Ø = arc tg t

r

Ø = arc tg 0,5 mm

42,85 mm

Ø = 0,37 radian

Modulus geser material poros uji puntir (G).

G =T × L

J × Ø

G =736,5 N. mm × 450 mm

401,92 mm4 × 0,37 radian

G = 2228,66 N/mm2

Tegangan geser maksimum pada poros uji puntir (τmax).

τmax =T × C

J

Page 35: Praktikum Fenomena Dasar

29

τmax =736,5 N. mm × 4 mm

401,92 mm4

τmax = 9,77 N/mm²

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.3 Data Hasil Pengujian untuk Panjang Lengan (l) = 150 mm

No m

( kg )

W = m.g

( N )

T = W . I

( N.mm )

t

(mm)

Ø=acr tg (t/r)

(rad)

G=

(T×L)/(J×Ø)

(N/mm2)

Ʈmax=T.C/J

(N/mm2)

1 0,50 4,91 736,50 0,28 0,37 2228,66 7,33

2 1,00 9,82 1473,00 0.85 1,14 1446,67 14,66

3 1,50 14,73 2209,50 1,50 2,00 1236,91 21,99

4 2,00 19,64 2946,00 2,01 2,69 1226,18 29,32

5 2,50 24,55 3682,50 2,58 3,46 1191,62 36,65

Rata - rata 1466,01

g = 9,82 m/s2

Grafik 2.1 Torsi (T) VS Sudut Puntiran (ø), untuk Panjang Lengan ( l ) =150 mm

y = 0,001x - 0,303R² = 0,994

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0 1000 2000 3000 4000

Sud

ut P

un

tir

( Ø

)

Torsi ( N.mm )

l = 150 mm

Page 36: Praktikum Fenomena Dasar

30

b. Analisa data untuk percobaan kedua dimana l = 200 mm, dan m =

0,5 kg.

Menentukan momen inersia polar untuk poros pejal pada uji puntir (J).

J = π .d4

32

J = π .44

32

J = 401,92 mm4

Menentukan berat (W)

W = m × g

W = 0,5 kg × 9,82 ms2

W = 4,91 N

Menentukan Torsi (T) pada poros uji puntir.

T = W × l

T = 4,91 N × 200 mm

T = 982 N. mm

Menentukan sudut puntir poros (Ø).

Ø = arc tg t

r

Ø = arc tg 0,49 mm

42,85 mm

Ø = 0,66 radian

Modulus geser material poros uji puntir (G).

G =T × L

J × Ø

G =982 Nmm × 450 mm

401,92 mm4 × 0,66 radian

G = 1665,87 N/mm2

Tegangan geser maksimum pada poros uji puntir (τmax).

τmax =T × C

J

τmax =982 N. mm × 4 mm

401,92 mm4

Page 37: Praktikum Fenomena Dasar

31

τmax = 9,77 N

mm2

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.4 Data Hasil Pengujian untuk Panjang Lengan (l) = 200 mm

No m

( kg )

W = m.g

( N )

T = W.I

( N.mm )

t

(mm)

Ø=acr tg (t/r)

(rad)

G=

(T×L)/(J×Ø)

(N/mm2)

Ʈmax=T.C/J

(N/mm2)

1 0,5 4,91 982 0,49 0,66 1665,87 9,77

2 1 9,82 1964 1,39 1,86 1182,23 19,55

3 1,5 14,73 2946 2,15 2,87 1149,27 29,32

4 2 19,64 3928 2,84 3,79 1160,39 39,09

5 2,5 24,55 4910 3,65 4,87 1128,82 48,87

Rata - rata 1257,32

g = 9,82 m/s2

Grafik 2.2 Torsi (T) VS Sudut Puntiran (ø), untuk Panjang Lengan (l) =200 mm

y = 0.001x - 0.295R² = 0.998

0

1

2

3

4

5

6

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

Sud

ut P

un

tir

(Ø)

Torsi (N.mm)

l = 200 mm

Page 38: Praktikum Fenomena Dasar

32

2.6.3 Modulus Geser dari Regresi Linier Grafik

Terlihat dari hasil regresi Grafik 2.1, (l= 150 mm) yaitu

y=0,001x-0,303

R² = 0,994, dimana (sumbu y) merepresentasikan sudut puntir (Ø)

sedangkan x (sumbu x) merepresentasikan torsi (T). Dari persamaan

regresi tersebut, didapatkan nilai sudut puntir (Ø) seperti penjabaran

dibawah ini.

Panjang Lengan (l) = 150 mm

y = 0.001X − 0,303

y = 0.001x736,5 − 0,303

y = 0,434 rad

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.5 Sudut Puntir (Ø) Hasil Regresi, untuk panjang Lengan (l) = 150 mm

No Torsi

( N.mm )

Ø hasil regresi linier

(rad)

1 736,5 0,434

2 1473,0 1,170

3 2209,5 1,907

4 2946,0 2,643

5 3682,5 3,380

Dari nilai sudut puntir (Ø) hasil regresi linier tersebut, serta

dengan nilai torsi (T), momen inersia sudut penampang melintang poros

(J), dan panjang poros (L) yang telah diketahui, sehingga nilai modulus

geser material poros (G) yang didapatkan adalah berupa G hasil regresi

linier pula, seperti ditunjukkan dalam uraian berikut.

G =T.L

J.Ø

Page 39: Praktikum Fenomena Dasar

33

G =736,5x450

401,92x0,649

G = 1902,20 N/mm2

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.6 Modulus Geser (G) Hasil Regresi untuk Panjang Lengan (l) = 150mm

No Torsi

( N.mm )

Ø hasil regresi linier

(rad)

G hasil regresi

linier (N/mm2)

1 736,5 0,434 1902,20

2 1473,0 1,170 1393,92

3 2209,5 1,907 1283,15

4 2946,0 2,643 1234,12

5 3682,5 3,380 1206,45

Terlihat pula hasil regresi Grafik 2.2 (l=200 mm),y=0,001x-

0,295

R² = 0,998 , dimana y (sumbu y) merepresentasikan sudut puntir (Ø)

sedangkan x (sumbu x) merepresentasikan torsi (T).

Dari persamaan regresi tersebut didapatkan nilai sudut puntir (Ø)

seperti penjabaran berikut ini.

y = 0,001X − 0.295

y = 0,001x982 − 0,295

y = 0,687 rad

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 40: Praktikum Fenomena Dasar

34

Tabel 2.7 Sudut Puntir (Ø) Hasil Regresi, untuk Panjang Lengan (l) = 200 mm

No Torsi

(N)

Ø hasil regresi linier

(rad)

1 982 0,687

2 1964 1,669

3 2946 2,651

4 3928 3,633

5 4910 4,615

Dari nilai sudut puntir (Ø) hasil regresi linier tersebut, serta

dengan nilai torsi (T), momen inersia sudut penampang melintang poros

(J), dan panjang poros (L) yang telah diketahui, sehingga nilai modulus

geser material poros (G) yang didapatkan adalah berupa G hasil regresi

pula, seperti ditunjukkan dalam penjabaran berikut ini.

G =T.L

J.Ø

G =982x450

402.12x0,687

G = 1600,40 N/mm2

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.8 Modulus Geser (G) Hasil Regresi untuk Panjang Lengan (l) = 200 mm

No Torsi

( N.mm )

Ø hasil regresi linier

(rad)

G hasil regresi

linier (N/mm2)

1 982 0,687 1600,40

2 1964 1,669 1317,52

3 2946 2,651 1244,22

4 3928 3,633 1210,54

5 4910 4,615 1191,19

Page 41: Praktikum Fenomena Dasar

35

2.6.4 Gambar Distribusi Tegangan Geser pada Penampang Melintang

Spesimen untuk Masing-Masing Pembebanan Torsi sebagai berikut :

1. Gambar distribusi tegangan pada l = 150 mm untuk 𝑇1=736,5 N.mm

τmax =T. C

J

τmax =736,5 N. mm × 4 mm

401,92 mm4

τmax = 7,33 N/mm²

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5.

2. Gambar distribusi tegangan pada l = 200 mm untuk

𝑇1 = 982 N.mm

τmax =T. C

J

τmax =982 N. mm × 4 mm

401,92 mm4

τmax = 9,77 N/mm²

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 5.

Tabel 2.9 Torsi (T) VS Tegangan Geser Maksimum (τmax) Untuk l1=100 mm

No T = W . I

( N.mm )

Ʈmax=T.C/J

(N/mm2)

1 736,5 7,33

2 1473,0 14,66

3 2209,5 21,99

4 2946,0 29,32

5 3682,5 36,65

Page 42: Praktikum Fenomena Dasar

36

Tabel 1.8 Distrbusi tegangan pada l= 150mm untuk T1= 736,5 N.mm

No T = W . I

(N.mm)

C

(mm)

J

(mm4)

Ʈmax=T.C/J

(N/mm2)

1 736,5 1 401,92 1,83

2 736,5 2 401,92 3,66

3 736,5 3 401,92 5,50

4 736,5 4 401,92 7,33

Gambar 2.11. Distribuasi tegangan bersadasarkan jari-jari bahan

Grafik 2.3. Distribusi tegangan untuk panjang lengan 150 mm

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 1 2 3 4 5

tega

nga

n m

ax (N

/mm

2)

jari-jari (mm)

l=150 mm

Page 43: Praktikum Fenomena Dasar

37

Tabel 2.11 Torsi (T) VS Tegangan Geser Maksimum (τmax) Untuk l2= 200 mm

No T = W.I

( N.mm ) Ʈmax = T.C/J (N/mm

2)

1 982 9,77

2 1964 19,55

3 2946 29,32

4 3928 39,09

5 4910 48,87

Tabel 2.12 Distrbusi tegangan pada l= 200 mm untuk T1= 982 N.mm

No T = W . I

(N.mm)

C

(mm)

J

(mm4)

Ʈmax=T.C/J

(N/mm2)

1 982 1 401,92 2,44

2 982 2 401,92 4,89

3 982 3 401,92 7,33

4 982 4 401,92 9,77

Gambar 2.11. Distribuasi tegangan bersadasarkan jari-jari bahan

Page 44: Praktikum Fenomena Dasar

38

Grafik 2.4. Distribusi tegangan untuk panjang lengan 200 mm

2.7 Pembahasan

Hasil yang pertama diperoleh dari data hasil adalah sebagai berikut.

Terlihat pada grafik hubungan antar torsi (T) dan besar sudut puntir (ø), bahwa

dengan semakin besarnya torsi yang diberikan pada spesimen puntir, maka besar

sudut puntir spesimen puntir tersebut akan ikut meningkat. Jika ditinjau dari

landasan teori, bahwa pada mulanya spesimen puntir tidak memiliki sudut puntir,

namun setelah diberikan torsi maka spesimen puntir akan menghasilkan sudut

puntir. Jadi dapat dikatakan bahwa sudut puntir pada spesimen puntir muncul

karena adanya torsi yang diberikan padanya, sehingga dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa dengan semakin besarnya torsi yang diberikan pada spesimen

puntir, maka sudut puntir yang terjadi pada spesimen puntir tersebut akan semakin

besar.

Hasil yang kedua diperoleh dari data hasil di atas adalah bahwa nilai rata-

rata modulus geser material poros (G) hasil pengujian dengan nilai rata-rata

modulus geser material poros (G) hasil regresi linier memunculkan perbedaan.

Dimana untuk panjang lengan (l) sebesar 150 mm diperoleh G rata-rata hasil

pengujian sebesar 1466,01 N/mm2 Sedangkan untuk panjang lengan (l) sebesar

200 mm diperoleh G rata-rata hasil pengujian sebesar 1257,32 N/mm2, Dapat di

lihat semakin besar nilai sudut puntir semakin kecil nilai modulus gesernya

0

2

4

6

8

10

12

0 1 2 3 4 5

Ʈmax

= T

.C/J

(N

/mm

2)

jari-jari (mm)

l=200 mm

Page 45: Praktikum Fenomena Dasar

39

dikarenakan modulus geser berbanding terbalik dengan sudut puntir. Hasil ini

menunjukkan hubugan semakin panjang lengan letak beban semakin kecil

mudulus gesernya di karenakan, mudulus geser berbanding lurus dengan torsi dan

berbanding terbalik dengan sudut defleksinya.

Hasil ketiga yang diperoleh dari data hasil di atas adalah bahwa dengan

semakin besarnya torsi yang diberikan pada spesimen puntir, maka tegangan geser

maksimum (τmax) pun akan semakin besar. Menurut Hukum III Newton, suatu

aksi akan diikuti oleh suatu reaksi. Dimana jika aksi yang diberikan semakin

besar, maka reaksi yang dihasilkan pun akan semakin besar. Aksi dalam hal ini

adalah torsi sedang reaksinya berupa tegangan geser spesimen puntir. Jadi dengan

semakin besarnya torsi yang diberikan tentu tegangan geser pada spesimen pun

akan semakin besar. Terlihat pula bahwa tegangan geser maksimum terletak di

permukaan spesimen puntir, hal tersebut disebabkan karena torsi dipengaruhi oleh

fungsi panjang lengan, dimana semakin besar panjang lengan maka torsi akan

makin besar. Dari tabel distribusi tegangan menunjukkan bahwa tegangan geser

semakin besar , jika jari-jari benda bertambah besar, hal ini menunjukkan bahwa

tegangan geser berbanding lurus dengan besar jari-jari bahan.

Page 46: Praktikum Fenomena Dasar

40

2.8 Penutup

2.8.1 Kesimpulan

a. Sudut Puntir (Ø) berbanding lurus dengan Torsi (T) artinya pada

lengan yang sama apabila semakin besar pembebanan yang diberikan

maka sudut puntir dan torsinya pun akan semakin besar.

b. Modulus Geser rata-rata pada pembebanan pada jarak 150 mm

yaitu 1466,01 N/mm² lebih besar dibandingkan pada pembebanan

pada jarak 200 mm yaitu 1257,32 N/mm².

c. Tegangan geser maksimum (τmax ) berbanding lurus dengan Torsi

(T) artinya pada lengan yang sama apabila semakin besar pembebanan

yang diberikan maka tegangan geser maksimum dan torsinya pun

akan semakin besar.

d. Sudut puntir (Ø) berbanding terbalik dengan modulus geser rata-

rata, artinya semakin besar sudut puntir semakin kecil nilai modulus

gesernya.

2.8.2 Saran

a. Sebaiknya dilakukan kalibrasi terlebih dahulu pada alat ukur yang

akan digunakan.

b. Dan juga dalam melakuan pengukuran, supaya hasil yang didapat

lebih tepat lakukan dengan serius karena alat yang digunakan seperti

dial indikator sangatlah sensitif.

c. Sebaiknya dalam mengukur sudut defleksi harus dilakukan

berulang-ulang minimal 3x agar mendapatkan hasil yang akurat.

Page 47: Praktikum Fenomena Dasar

41

BAB III

GETARAN SEDERHANA

3.1 Latar Belakang

Vibrasi atau getaran secara sederhana dapat diartikan sebagai osilasi

mekanik yang terjadi di sekitar titik keseimbangan (equilibrium point).

Osilasi dapat terjadi secara periodik, contohnya seperti pada pendulum, atau

terjadi secara random, seperti pada gerakkan ban kendaraan pada jalan yang

tidak rata/ kasar.

Vibrasi dapat menjadi maanfaat, misal vibrasi yang terjadi pada

garpu tala, instrumen musik, dan lain-lain. Namun demikian vibrasi juga bisa

sangat merugikan, misalnya seperti yang terjadi pada engine, motor listrik,

dan alat-alat mekanik lain, karena vibrasi tersebut dapat menyebabkan energi

terbuang, suara berisik (sound noise), ketidak seimbangan (yaitu bergeraknya

elemen dari dudukan/ posisi yang semestinya, disebut juga dengan

simpangan). Berdasarkan keuntungan dan kerugian vibrasi tersebut, tentunya

sangat penting untuk mempelajari tentang vibrasi ini.

3.2 Tujuan Praktikum

a. Untuk mengetahui hubungan antara massa benda, kekuatan dari pegas, dan

frekuensi osilasi untuk sistem pegas massa sederhana yang mempunyai

satu derajat kebebasan.

b. Untuk mengetahui hubungan antara gaya, viskositas oli dan kecepatan

untuk bermacam – macam keadaan dashpot yang dapat diatur

c. Untuk mengetahui efek dari bermacam kuantitas peredaman untuk suatu

respon orde kedua dari sistem mekanika untuk suatu input

Page 48: Praktikum Fenomena Dasar

42

3.3 Teori Dasar

Semua sistem yang memiliki massa dan elastisitas dapat mengalami

getaran bebas atau getaran yang terjadi tanpa rangsangan luar. Hal pertama

yang menarik untuk sistem semacam ini adalah frekuensi natural getarannya.

Redaman dalam jumlah yang sedang mempunyai pengaruh kecil pada

frekuensi natural dan dapat diabaikan perhitungnnya. Pengaruh redaman

sangat jelas pada berkurangnya amplitudo getaran terhadap waktu. Walaupun

terdapat banyak model redaman, namun hanya model yang menghasilkan

cara analitik yang mudah yng dibahas dalam permasalahan ini.

A. Persamaan Gerak-Frekuensi Natural

Sistem berosilasi yang paling sederhana terdiri dari massa dan pegas

seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1, pegas yang menunjang massa

dianggap mempunyai satu derajat kebebasan karena geraknya

digambarkan oleh koordinat x saja.

Bila digerakkan, osilasi akan terjadi pada frekuensi natural (fn),

yang merupakan milik (property) sistem. Hukum Newton kedua adalah

dasar pertama untuk meneliti gerak sistem. Seperti yang ditunjukan

Gambar 3.1, perubahan bentuk pada pegas posisi kesetimbangan static

adalah Δ, dan gaya pegas k Δ adalah sama dengan gaya gravitasi (w) yang

bekerja pada massa m :

kΔ = w=m.g ………………..(1)

Dengan mengukur simpangan x dari posisi kesetimbangan statik,

maka gaya-gaya yang bekerja pada m adalah k(Δ+x) dan w. Dengan x

yang dipilih positif dalam arah ke bawah, semua besaran gaya, percepatan,

dan kecepatan juga positif dalam arah ke bawah.

Hukum Newton ke-2 untuk gerak diterapkan pada massa m adalah :

m.𝑥 = ΣF=w-k(Δ+x)

dan k arena kΔ = w, diperoleh :

m𝑥 =-kx ………….. (2)

Page 49: Praktikum Fenomena Dasar

43

Gambar 3.1 Sistem Pegas-Massa dan Diagram Benda Bebas

Pemilihan posisi kesetimbangan statik sebagai acuan untuk x

mengeliminasi w, yaitu gaya yang diakibatkan oleh gravitasi, dan gaya

pegas statik kΔ dari persamaan gerak hingga gaya resultante pada m

adalah gaya pegas karena simpangan x saja.

Dengan mendefinisikan frekuensi lingkaran ωn lewat persamaan :

𝜔𝑛2=

𝑘

𝑚

Persamaan (2) dapat ditulis sebagai

𝑥 +𝜔𝑛2x = 0 ……………(4)

Persamaan ini adalah persamaan gerak harmonik. Persamaan (4),

suatu persamaan differensial linier orde kedua yang homogen, mempunyai

solusi persamaan berikut :

X = A sinωnt + B cosωnt ……………(5)

Dengan A dan B adalah dua konstanta. Konstanta-konstanta ini

dihitung dari kondisi awal

x (0) dan 𝑥 (0), dan persamaan (5) dapat ditunjukkan menjadi :

X = 𝑥 (0)

𝜔𝑛𝑠𝑖𝑛𝜔𝑛𝑡 + 𝑥 0 𝑐𝑜𝑠𝜔𝑛𝑡…………..(6)

Periode osilasi dibentuk dari ωnτ = 2π, atau :

Τ = 2π 𝑚

𝑘 ………………(7)

Page 50: Praktikum Fenomena Dasar

44

Dan frekuensi natural adalah :

fn = 1

𝜏=

1

2𝜋.

𝑘

𝑚 ……………(8)

Besaran-besaran ini dapat dinyatakan dalam penyimpangan statik Δ

dengan mengamati persamaan (1), kΔ = m.g. Jadi persamaan (8) dapat

diyatakan dalam penyimpangan statik Δ sebagai :

fn = 1

2𝜋

𝑔

𝛥 ………………..(9)

Dan frekuensi natural sistem dengan satu derajat kebebasan

ditentukan secara unik oleh penyimpangan statik Δ.

B. Getaran Bebas Teredam

Bila sistem linier dengan satu derajat kebebasan dirangsang, maka

responnya akan tergantung pada jenis rangsangan dan redaman yang ada.

Bentuk persamaan gerak pada umumnya adalah :

m.𝑥 + Fd + kx = F(t) ………(10)

F(t) adalah perangsang dan Fd gaya redaman. Walaupun gambaran

gaya redaman sebenarnya adalah sulit, dapat diasumsikan model-model

redaman ideal yang sering menghasilkan perkiraan respon yang

memuaskan, dan model-model ini, gaya redaman karena kekentalan, yang

sebanding dengan kecepatan menghasilkan pengolahan matematika yang

paling mudah.

Gaya redaman karena kekentalan dinyatakan oleh persamaan :

Fd = c.𝑥 ……..(11)

Dengan c adalah konstanta kesebandingan. Secara simbolik gaya ini

dinyatakan oleh peredam seperti terlihat dalam Gambar 3.2. Dari diagram

benda bebas persamaan gerak dapat ditulis sebagai :

m.𝑥 + c.𝑥 + k.x = F(t) ………..(12)

Solusi persamaan di atas dua macam. Jika F(t) = 0, maka diperoleh

persamaan differensial homogen yang solusinya secara fisis sesuai dengan

getaran teredam-bebas. Dengan F(t) ≠ 0, diperoleh solusi khusus yang

Page 51: Praktikum Fenomena Dasar

45

disebabkan karena rangsangan tanpa tergantung pada solusi homogen.

Mula-mula akan diperiksa persamaan homogen yang akan memberikan

pengertian tentang peranan redaman. Dengan persamaan homogen :

m.𝑥 + c.𝑥 + k.x = 0 ………………(13)

Maka pendekatan yang bisa adala dilakukan adalah memisalkan

solusi dengan bentuk

x = 𝑒𝑠𝑡………(14)

Gambar 3.2 Sistem Massa-Pegas-Peredaman dan Diagram Benda Bebas

Dengan s adalah konstanta. Dengan mensubtitusikan kedalam

persamaan differensial diperoleh :

(ms2+cs+k).𝑒𝑠𝑡 = 0

Yang dipenuhi untuk semua nilai t, bila :

s2 +

𝑐

𝑚. 𝑠 +

𝑘

𝑚= 0 ……………….(15)

Persamaan (15) yang dikenal sebagai persamaan karakteristik

mempunyai dua akar, yaitu :

s1,2 = −𝑐

2𝑚± (

𝑐

2𝑚)2 −

𝑘

𝑚 ……………….(16)

Jadi solusi umum diberikan oleh persamaan :

x=A.𝑒𝑠1𝑡 +B.𝑒𝑠

2𝑡 ……………………(17)

Dengan A dan B adalah konstanta-konstanta yang dihitung dari

kondisi awal x (0) dan 𝑥 (0).

Page 52: Praktikum Fenomena Dasar

46

Persamaan (16) yang disubtitusikan ke persamaan (17) menghasilkan :

x =𝑒−(𝑐

2𝑚)[A.𝑒

(𝑐

2𝑚)2−

𝑘

𝑚.𝑡

+ 𝐵. 𝑒− (

𝑐

2𝑚)2−

𝑘

𝑚.𝑡

] …….(18)

Suku pertama 𝑒−(𝑐

2𝑚) adalah fungsi waktu yang menyeluruh

(decaying) secara eksponensial.Tetapi sifat suku-suku di dalam kurung

tergantung pada nilai numerik di bawah akar yaitu positif, nol, negatif.

Bila suku redaman (𝑐

2𝑚)

2 lebih besar

𝑘

𝑚, maka eksponen pada persamaan di

atas merupakan bilangan riil dan getaran tidak mungkin. Keadaan tersebut

adalah banyak teredam (overdamped). Bila suku (𝑐

2𝑚)

2 kurang dari

𝑘

𝑚,

maka eksponensialnya menjadi bilangan khayal , ±i 𝑘𝑚 − (𝑐 2𝑚 )2 𝑡

karena

𝑒±

𝑘

𝑚−(

𝑐

2𝑚)2.𝑡

= cos 𝑘𝑚 − (𝑐 2𝑚 )2 𝑡 ± 𝑖. sin 𝑘

𝑚 − (𝑐 2𝑚 )2 𝑡

Maka suku-suku persamaan (18) dalam kurung adalah berosilasi.

Keadaan ini disebut kurang teredam (underdamped). Sebagai batas antara

gerak berosilasi dan gerak tanpa berosilasi didefinisikan redaman kritis

sebagai nilai C yang mereduksi nilai di bawah tanda akar (radikal) menjadi

nol.

Dianjurkan untuk memeriksa tiga keadaan itu dengan lebih teliti,

dengan menggunakan besaran-besaran yang dipakai dalam praktek dan

dimulai dari redaman kritis.

Page 53: Praktikum Fenomena Dasar

47

C. Redaman Kritis

Untuk redaman kritis Cc, radikal dalam persamaan (18) adalah nol.

(𝑐

2𝑚)

2 =

𝑘

𝑚 = 𝜔n

2 ................................. (19a)

Atau

Cc = 2 𝑘𝑚 = 2m𝜔n .........................(19b)

Nilai suatu redaman biasanya dinyatakan dalam redaman kritis oleh

rasio nondimensional :

ζ = 𝐶

Cc ...............................................(20a)

Dengan mengingat bahwa :

𝐶

Cc = ζ

𝐶𝑐

2m = ζ𝜔n .............................(20b)

Sehingga persamaan (16) menjadi

s1,2 = (−ζ ± (ζ 2 − 𝐼)𝜔n ..............(21)

D. Gerak Berosilasi (ζ<1) Keadaan Kurang Teredam

Dengan mensubtitusikan persamaan (21) ke dalam persamaan (17)

solusi umum menjadi :

x = 𝑒−ζ𝜔n 𝑡 ( A𝑒𝑖 𝐼−ζ 2𝜔𝑛 .𝑡 + B𝑒𝑖 𝐼−ζ 2𝜔𝑛 .𝑡 ) ..............(22)

Persamaan di atas dapat ditulis seperti salah satu dari kedua bentuk

berikut:

x = X𝑒−ζ𝜔n 𝑡 sin ( (I − ζ 2 𝜔n t + 𝜙) .....................................(23)

= 𝑒−ζ𝜔n 𝑡 (C1 sin (I − ζ 2 𝜔n t + C2 cos (I − ζ 2 𝜔n t) ......(24)

Dengan konstanta-konstanta X, Φ, atau C1, C2 ditentukan dari

kondisi awal x(0) dan, dapat ditunjukkan bahwa persamaan (14) menjadi :

x = 𝑒−ζ𝜔n 𝑡 (ẋ 0 + ζ𝜔n

𝜔n (I−ζ 2 sin (I − ζ 2 𝜔n t + x(0) cos (I − ζ 2 𝜔n t)....(25)

Page 54: Praktikum Fenomena Dasar

48

Persamaan ini menunjukkan bahwa frekuensi getaran teredam adalah

sama dengan :

𝜔d = 2𝜋

Td = 𝜔n (I − ζ 2 ........................ (26)

Gambar 3.3 menggambarkan wujud umum gerak osilasi

Gambar 3.3 Getaran Teredam ζ < 1

E. Gerak tak osilasi ζ< 1 (keadaan banyak teredam)

Bila ζ lebih besar dari satu maka kedua akar tetap berada pada

sumbu riil Gambar 3.2 dan berpisah, satu membesar dan satu mengecil.

Solusi umum menjadi :

x = A𝑒(−ζ+ ζ 2− I 𝜔n t + B𝑒(−ζ− ζ 2− I 𝜔n t ................(27)

dengan

A = ẋ 0 + (ζ+ ζ 2− I 𝜔n x (0)

2𝜔n (ζ 2−I

B = −ẋ 0 − (ζ− ζ 2− I 𝜔n x (0)

2𝜔n (ζ 2−I

Gerak ini merupakan fungsi menurun secara eksponensial terhadap waktu

seperti terlihat pada Gambar 3.4 dan disebut aperiodik.

Gambar 3.4 Gerak Aperiodik ζ > 1,0

Page 55: Praktikum Fenomena Dasar

49

Gerak teredam kritis (ζ =1) diperoleh akar ganda s1 = s2= -ωn, dan

kedua suku persamaan (17) bergabung hingga membentuk suku tunggal.

x = (A + B) 𝑒− 𝜔n t = C𝑒− 𝜔n t

Solusi untuk kondisi awal dapat dicari persamaan (25) dengan ζ > 1.0

x = 𝑒− 𝜔n t {{ẋ(0) + 𝜔nx (0)] t + x(0)} ..........................(28)

Gambar 3.5 menunjukkan tiga jenis respon dengan simpangan awal

x(0). Bagian-bagian yang bergerak pada instrumen adalah kritis untuk

mencegah penyimpangan yang melampaui batas dan osilasi.

Gambar 2.5 Gerak Teredam Kritis ζ = 1,0

F. Pengurangan Logaritmik

Suatu cara mudah untuk menentukan jumlah redaman yang ada

dalam sistem adalah dengan mengukur laju peluruhan osilasi bebas. Makin

besar redamannya, makin besar peluruhannya (kemundurannya). Suatu

getaran teredam yang dinyatakan oleh persamaan umum (23)

x = X𝑒− ζ 𝜔n t sin ( (I − ζ 2 𝜔n t + ϕ)

Yang ditunjukkan secara grafik pada Gambar 3.6. Istilah

pengurangan logaritmik (logarithmic decrement) didefinisikan sebagai

logaritmik natural dari rasio dua amplitiudo yang berurutan. Jadi rumusan

pengurangan logaritmik menjadi :

Page 56: Praktikum Fenomena Dasar

50

)(1sin

1sinlnln

1

2

1

2

2

1

1

dn

t

n

t

te

tXe

x

x

dn

n

Dan karena nilai-nilai sinusnya adalah sama bila waktu ditambah

dengan periode redaman τd, maka hubungan di atas menjadi

dnt

t

dn

dn

n

ee

e

lnln)( 1

.....................................(30)

Gambar 3.6 Laju Peluruhan Osilasi yang Diukur dengan Pengurangan

Logaritmik

Dengan mensubtitusikan periode redaman τd = 2π / ωn. 1 − ζ 2,

maka pengurangan logaritmik di atas menjadi :

δ = 2.𝜋 .𝜁

1−𝜁2 ………….(31)

yang merupakan persamaan eksak, bila ζ kecil, 1 − ζ 2 ~ 1 dan diperoleh

persamaan pendaekatan

δ = 2.π.ζ .....................(32)

……………….. (29)

Page 57: Praktikum Fenomena Dasar

51

3.4 Alat yang Digunakan

Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah Simple Vibration

Apparatus. Rangka dapat bergerak secara vertikal pada roller guides dengan

membawa central stud ke massa yang dapat dipasangkan. Dimana :

a. massa frame 1,7 kg.

b. massa tiap piringan 1 kg.

c. tiga buah pegas masing-masing dengan k1 = 0,47 kN/m, k2 = 1,22 kN/m,

k3 = 3,3 kN/m.

d. kertas yang digerakkan motor sinkron menghasilkan amplitudo/ time

recording (kecepatan kertas = 0,02 m/s).

3.5 Langkah Kerja

A. Hubungan Konstanta Pegas (k) dengan Defleksi Statis (y)

a) Mengukur pegas k1 sebelum diberi beban apapun.

b) Memasang pegas k1 pada peralatan vibration apparatus,

mengencangkan mur-murnya.

c) Mengukur panjang awal pegas dengan beban awal tersebut sebelum

ditambah beban lebih lanjut.

d) Menambahkan beban pada pegas dan mengukur panjang pegas, lalu

mengulangi proses tersebut dengan menambah beban.

e) Mengulangi prosedur-prosedur di atas untuk pegas yang lain.

B. Hubungan massa (m) dengan Frekuensi (f)

a) Mengatur paper strip pada roll sehingga siap digunakan.

b) Memasangkan pena pada penjepit pena.

c) Memasang pegas sesuai dengan konstanta yang akan dicobakan

d) Menekan pegas sampai dasar, sebelum dilepas dipastikan motor dalam

posisi on, sehingga roller berputar, kemudian melepaskan pegas.

e) Mencatat hasil osilasi sesuai tabel. Mengukur panjang gelombang yang

tergambar di kertas.

f) Menambahkan beban, kemudian mengulangi percobaan seperti tahap d

di atas.

Page 58: Praktikum Fenomena Dasar

52

C. Hubungan Putaran Katup (n) dengan Konstanta Redaman (c)

a) Memasang peralatan damper.

b) Mengatur putaran sesuai dengan bukaan yang dikehendaki.

c) Mengulangi percobaan seperti tahap keempat pada percobaaan B.

d) Menambahkan beban dan mengulangi percobaan.

e) Mengukur dan mencatat tinggi gelombang pada kertas seperti pada

Gambar 3.6.

f) Menghitung nilai redaman dengan persamaan (32), (29), (19a), (20b).

g) Memasukkan ke dalam tabel dan melakukan percobaan dengan teliti

dan benar.

Page 59: Praktikum Fenomena Dasar

53

3.6 Anlisis Data

3.6.1 Hubungan konstanta pegas (k) dengan defleksi statis (y)

Tabel 3.1 Konstanta Pegas (k) VS Defleksi Status (y)

k

(kN/m)

m0 =0

kg m1 = 1,7 kg m2 = 2,7 kg m3 = 3,7 kg

L0 (m) L

(m)

y=L-L0

(m)

L

(m)

y=L-L0

(m) L (m)

y=L-L0

(m)

0,47 0,15 0,207 0,057 0,227 0,077 0,247 0,097

1,22 0,152 0,177 0,025 0,187 0,035 0,197 0,045

3,3 0,15 0,159 0,009 0,161 0,011 0,163 0,013

Grafik 3.1 Konstanta Pegas (k) VS Defleksi Statis (y)

-2.5E-16

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0 1 2 3 4

y=L-

L0 (m

)

k (kN/m)

konstanta pegas vs defleksi

y (m1)

y (m2)

y (m3)

Page 60: Praktikum Fenomena Dasar

54

3.6.2 Hubungan massa (m) dengan frekuensi (f) yang mempunyai kecepatan

kertas v = 0,02 m/s.

Tabel 3.2 Massa (m) VS Frekuensi Osilasi (f)

m (kg)

f = 1

𝑇 =

𝑣

𝑠 =

0,02

𝑠 Hz

k1=0,47 kN/m k2=1,22 kN/m k3=3,3 kN/m

s (m) f (Hz) s (m) f (Hz) s (m) f (Hz)

2,7 0,06 0,333 0,112 0,179 0,073 0,274

3,7 0,081 0,247 0,137 0,146 0,123 0,163

4,7 0,092 0,217 0,143 0,140 0,175 0,114

Penjabaran hasil dari tabel di atas:

Perhitungan untuk k1

f =0.02

S

f =0.02

0.06

f = 0,333 Hz

Analog: Dengan cara yang sama, maka nilai k2 dan k3 akan didapatkan. Hasil

perhitungannya dapat di lihat pada tabel di atas.

Grafik 3.2 Massa Beban (m) VS Frekuensi Osilasi (f)

0.000

0.050

0.100

0.150

0.200

0.250

0.300

0.350

0 2 4 6

fre

kue

nsi

osi

lasi

(f)

massa beban (kg)

massa beban vs frekuensi

k1 = 0,47 kN/m

k2 = 1,22 kN/m

k3 = 3,3 kN/m

Page 61: Praktikum Fenomena Dasar

55

3.6.2 Hubungan Putaran Katup (n) dengan Konstanta Peredaman (c), dengan

Konstanta Pegas (k) = 1,22 kN/m

Tabel 3.3 Bukaan Putaran Katup (n) VS Konstanta Peredaman (c)

Bukaan n

(putaran)

c = m . ln . 𝑋1

𝑋2 .

1

𝜋 .

𝑘

𝑚 (

𝑁.𝑠

𝑚)

m1=2,7 kg m2=3,7 kg m3=4,7 kg

x1 (m) x2 (m) c

(𝑁.𝑠

𝑚)

x1 (m) x2 (m) c

(𝑁. 𝑠

𝑚)

x1 (m) x2 (m) c

(𝑁. 𝑠

𝑚)

5 0,015 0,004 0,764 0,017 0,005 0,828 0,018 0,005 0,977

8 0,015 0.002 1,164 0,014 0,003 1,042 0,015 0,002 1,537

11 0,012 0,002 1,036 0,014 0,003 1,042 0,014 0,0015 1,703

14 0,009 0,001 1,270 0,012 0,0015 1,407 0,012 0,0005 2,424

Penjabaran hasil dari tabel di atas:

Rumus dasar:

c = m . ln . 𝑋1

𝑋2 .

1

𝜋 .

𝑘

𝑚

c = 2,7 . ln . 0,015

0,004 .

1

𝜋 .

1,22

2,7

c = 0,764 (N.s/m)

Analog : Dengan cara yang sama, didapat data hasil pengujian 2 sampai dengan

pengujian 4 yang dapat dilihat pada tabel di atas.

Grafik 3.3 Bukaan Putaran Katup (n) VS Konstanta Peredaman (c)

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

0 2 4 6 8 10 12 14 16

c(N

.s/m

)

Putaran (n)

putaran katup vs peredaman

m1 = 2,7 kg

m2 = 3,7 kg

m3 = 4,7 kg

Page 62: Praktikum Fenomena Dasar

56

3.7 Pembahasan

Terlihat pada Grafik 3.1, bahwa untuk semua pembebanan, dengan

semakin besarnya konstanta pegas (k), maka defleksi statis yang terjadi (y)

akan semakin kecil. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Konstanta pegas

merupakan suatu nilai yang menyatakan kekakuan suatu pegas. Semakin

besar nilai konstanta pegas, artinya pegas tersebut makin kaku. Semakin kaku

suatu pegas artinya semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk membuat

suatu defleksi pada pegas tersebut.

Terlihat pula dalam Grafik 3.2, bahwa untuk semua jenis konstanta

pegas, dengan meningkatnya massa, maka frekuensi getaran yang terjadi

semakin rendah. Artinya jumlah getaran yang terjadi setiap detiknya akan

semakin sedikit pada pembebanan yang semakin besar, namun demikian,

pada pembebanan yang semakin besar, maka amplitudo (simpangan) akibat

getaran yang terjadi akan semakin besar. Hal ini dapat dilihat pada bagian

lampiran simple vibration.

Terlihat dari Grafik 3.3 terdapat suatu kecenderungan jika jumlah

bukaan putaran katup (n) semakin bertambah, maka konstanta peredaman (c)

akan semakin menurun. Penurunan konstanta peredaman inti artinya getaran

yang terjadi semakin sulit untuk diredam, dengan kata lain dengan semakin

kecilnya nilai konstanta peredaman tersebut, maka amplitudo getaran (x2)

yang terjadi akan semakin besar, hal ini dpat dilihat dalam Tabel 3.3.

Page 63: Praktikum Fenomena Dasar

57

3.8 Penutup

3.8.1 Kesimpulan

a. Semakin besar massa (m) maka semakin besar defleksi statisnya (y)

untuk konstanta pegas yang sama, semakin besar konstanta (k) maka

semakin kecil defleksi untuk massa yang sama, sehingga akan

semakin sulit untuk membuat terjadinya defleksi statis pada pegas

tersebut.

b. Semakin besar beban yang diberikan pada pegas, maka frekuensi

getaran yang terjadi akan semakin kecil. Artinya semakin sedikit

jumlah getaran per satuan waktu yang terjadi pada pegas tersebut.

c. Semakin banyak bukaan katup (n) yang diberikan, maka konstanta

peredaman fluida peredam (oli) akan semakin kecil, sehingga akan

semakin sulit untuk meredam getaran, dengan kata lain amplitudo

getaran yang terjadi (x2) akan semakin besar.

3.8.2 Saran

a. Sebaiknya jadwal pelaksanaan praktikum ini dilakukan tidak terlalu

mendekati waktu ujian semester, sehingga tidak praktikan dapat

berkonsentrasi baik dalam pelaksanaan praktikum maupun ujian

semester.

b. Untuk mendapatkan nilai frekuensi getaran yang presisi sebaiknya

menggunakan alat ya lebih presisi.

Page 64: Praktikum Fenomena Dasar

58

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009.Buku Petunjuk Fenomena Dasar. Laboratorium Fenomena Dasar.

Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin Universitas Mataram.

McCabe, W.L, and Harriot, P, 1996, Unit Operational Of Chemical Engginering

5th edition, McCraw-Hill Book Company.

Page 65: Praktikum Fenomena Dasar

59

LAMPIRAN

a. Hubungan konstanta pegas (k) dengan defleksi statis (y)

Gambar grafik isolasi untuk k1 dan m1

Gambar grafik isolasi untuk k1 dan m2

Gambar grafik isolasi untuk k1 dan m3

Page 66: Praktikum Fenomena Dasar

60

Gambar grafik isolasi untuk k2 dan m1

Gambar grafik isolasi untuk k2 dan m2

Gambar grafik isolasi untuk k2 dan m3

Page 67: Praktikum Fenomena Dasar

61

Gambar grafik isolasi untuk k3 dan m1

Gambar grafik isolasi untuk k3 dan m2

Page 68: Praktikum Fenomena Dasar

62

Gambar grafik isolasi untuk k3 dan m3

b. Hubungan massa (m) dengan frekuensi (f) yang mempunyai kecepatan

kertas v=0,02 m/s.

Pada pengujian yang ke-2 ini, gambar yang dihasilkan sama

dengan gambar pada pengujian pertama. Yang membedakannya disini

hanyalah pembahasan yang dicari. Jadi untuk gambarnya bisa dilihat

pada gambar pengujian pertama.

c. Hubungan antara putaran katup (n) dengan konstanta peredaman (c)

Gambar grafik isolasi untuk n5 m1

Page 69: Praktikum Fenomena Dasar

63

Gambar grafik isolasi untuk n5 m2

Gambar grafik isolasi untuk n5 m3

Gambar grafik isolasi untuk n8 m1

Page 70: Praktikum Fenomena Dasar

64

Gambar grafik isolasi untuk n8 m2

Gambar grafik isolasi untuk n8 m3

Page 71: Praktikum Fenomena Dasar

65

Gambar grafik isolasi untuk n11 m1

Gambar grafik isolasi untuk n11 m2

Page 72: Praktikum Fenomena Dasar

66

Gambar grafik isolasi untuk n11 m3

Gambar grafik isolasi untuk n14 m1

Page 73: Praktikum Fenomena Dasar

67

Gambar grafik isolasi untuk n14 m2

Gambar grafik isolasi untuk n14 m3