post traumatic stres disorder
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN1,2,3,4,5
Sepanjang sejarah, para klinisi memiliki berbagai macam catatan kasus dimana suatu
kejadian yang traumatik bagi seseorang dapat menyebabkan gangguan psikologi yang berat.
Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 dimana ada beberapa kejadian seperti kecelakaan
kereta api, perang dunia, dan pembantai secara massal menyebabkan berbagai gejala yang
berkaitan dengan reaksi stress traumatik. Beberapa gejala ini antara lain berupa respon lambat
dari seseorang, depresi, fobia, perasaan bersalah, jiwa yang kosong, iritabilitas, gangguan
konsentrasi dan memori, gangguan tidur, mimpi yang penuh penderitan,dan berbagai macam
gejala pada fisik (somatik). Setelah berbagai macam peristiwa yang traumatik, seperti
bencana alam tsunami, gempa bumi, gunung berapi meletus, perang dan lain sebagainya
menyebabkan kasus post traumatic stress disease ini semakin banyak jumlahnya. The
National Institute of Mental Health (2008) menyatakan bahwa 2,5 juta per tahun orang
dirawat di rumah sakit setelah mengalami peristiwa traumatik. Di Indonesia sendiri belum
ada penelitian khusus tentang PTSD ini, namun Indonesia merupakan negara yang cukup
sering mengalami bencana alam oleh sebab itu diperkirakan banyak kasus PTSD yang terjadi.
Maka dari itu kasus PTSD ini sangat penting untuk dibahas karena jumlahnya yang banyak
dan gejalanya yang mirip dengan penyakit lainnya. Di Indonesia maupun negara lainnya,
PTSD seringkali terluput dari perhatian para dokter sendiri, oleh sebab itu saya sebagai
penulis tertantang untuk membahas tentang PTSD ini.
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menggambarkan PTSD antara lain ‘fright
neurosis’, ‘combat/war neurosis', ‘shell-shock', ‘survivor syndrome', and ‘nuclearism'.
Berbagai macam peristiwa seperti kehilangan seseorang yang dicintai atau disayangi,
kehilangan salah satu anggota badan, kehilangan kemandirian, kehilangan hewan peliharaan,
ataupun keguguran dapat membuat suatu keadaan krisis dan membuat perasaan seseorang
menjadi hancur. Semua rasa dukacita yang mendalam tersebut dapat menyebabkan
penurunan kondisi psikis dari seseorang ataupun menghambat perkembangan psikis dari
seseorang.
Berdasarkan American Psychological Association, PTSD adalah gangguan cemas
yang dapat terjadi setelah terpapar oleh suatu peristiwa yang sangat buruk atau suatu ujian
1
berat dimana nyawa seseorang terancam. Peristiwa traumatik dapat menjadi penyebab PTSD.
DSM IV-TR mendefinisikan peristiwa traumatik sebagai kejadian yang melibatkan ancaman
kematian atau luka yang berat, atau ancaman terhadap keutuhan anggota badan seseorang dan
hal tersebut menyebabkan seseorang menjadi sangat takut serta merasa tidak tertolong lagi.
Tipe dari berbagai macam kejadian trauma antara lain perang militer, kecelakaan lalu lintas,
pelecehan seksual, kekerasan, serangan teroris atau pernah menjadi sandera, bencana alam,
ataupun kehilangan seseorang yang dicintai secara mendadak. Stressor disini bukan hanya
didefinisikan stressor yang berat, tetapi stressor yang benar-benar ekstrim. Contoh dari
stressor yang berat namun tidak ekstrim antara lain kehilangan pekerjaan, perceraian, gagal
dalam akademis, ataupun kematian yang sudah dapat diperkirakan dari seseorang yang
dicintai.
2
BAB II
POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER
(GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA)
Definisi1,5,7,8
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai gangguan cemas
yang terjadi setelah seseorang terpapar oeh suatu peristiwa yang sangat buruk, dimana
peristiwa tersebut melemahkan fisik dan mental serta timbul setelah seseorang melihat,
mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih,
kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang
menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat
menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.
Epidemiologi1,2,4
The National Institute of Mental Health (2008) menyatakan bahwa 2,5 juta per tahun
orang dirawat di rumah sakit setelah mengalami peristiwa traumatik. Pada penelitian yang
dilakukan di United States, Kessler et al menemukan bahwa 60,7 % dari laki-laki dan 51,2 %
dari wanita mengalami sedikitnya 1 peristiwa traumatik yang memenuhi kriteria DSM-IIIR
dalam seumur hidupnya. Tipe dari trauma yang paling sering adalah melihat seseorang
dibunuh atau cedera berat, kecelakaan, dan terperangkap dalam peristiwa kebakaran, banjir,
atau bencana alam. Dengan menggunakan definisi trauma berdasarkan DSM –IV, Stein et al
menemukan 81,3 % dari laki-laki dan 74,2 % dari wanita mengalami PTSD. Kematian yang
mendadak dari seseorang yang dicintai merupakan penyebab yang paling banyak ditemukan.
Prevalensi dari PTSD lebih rendah di beberapa negara seperti Iceland atau Hongkong.
Hal ini disebabkan karena pada kedua negara tersebut, paparan terhadap perang dan bencana
alam lebih kecil sehingga prevalensi dari PTSD juga lebih sedikit. PTSD akan lebih banyak
ditemukan di negara-negara berkembang dan negara yang banyak mengalami bencana alam
daripada populasi dunia secara umum.
3
Penelitian di Michigan (USA) pada tahun 1989 (Breslau et al) dengan sampel dewasa
muda mengatakan bahwa sekitar 39,1 % dari responden mengalami setidaknya satu kali
peristiwa traumatik di dalam hidupnya. Peristiwa traumatik yang paling sering ditemukan
adalah kecelakaan mendadak ataupun kecelakaan yang sangat parah (9,4 %), kekerasan fisik
(8,3 %), ataupun melihat seseorang terluka parah ataupun melihat suatu pembunuhan (7,1 %),
dan terakhir adalah kabar mengenai kematian mendadak dari seseorang yang sangat dicintai
(5,7 %). Penelitian di Michigan (USA) pada tahun 1990-1992 (Breslau et al) dengan sampel
para ibu, prevalensi terjadinya peristiwa traumatik adalah sebesar 40 %.
Etiologi1,3,8
Penyebab dari penyakit PTSD adalah peristiwa traumatik. Dalam bahasa sehari-hari,
traumatik merupakan bahasa yang dipakai untuk menggambarkan situasi yang tidak
mengenakan, situasi yang membuat orang menjadi kesal, seperti contohnya perceraian,
kehilangan pekerjaan maupun gagal dalam suatu ujian. Namun, definisi peristiwa traumatik
berdasarkan DSM-IV suatu peristiwa traumatik didefinisikan sebagai orang yang mengalami
atau melihat atau berkonfrontasi dengan peristiwa yang mengancam jiwa, ataupun luka yang
sangat serius seperti kehilangan anggota tubuh.
Kriteria stressor dari DSM-IV masih diperdebatkan. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa sangat penting untuk memasukan respons emosi seseorang terhadap stressor
traumatik. Ada penumpukan emosi selama peristiwa traumatik dan hal tersebut menyebabkan
PTSD. Sebagai contoh prajurit tentara pelaku tindak kekerasan pada saat perang Vietnam.
Para prajurit yang melihat ataupun ikut melakukan pembunuhan tahanan dan melihat mayat
yang dimutilasi berulang kali ternyata banyak yang mengalami PTSD. Para prajurit ini tidak
terancam jiwanya, namun oleh sebab penumpukan emosi melihat pembunuhan manusia
secara tidak bermoral juga dapat menyebabkan seseorang mengalami PTSD.
Faktor pekerjaan juga sangat berpengaruh terhadap resiko timbulnya PTSD. Pekerjaan
yang berhubungan dengan kemiliteran lebih mungkin untuk menderita PTSD daripada orang
yang berkerja sebagai pegawai kantoran. Pekerjaan yang lebih beresiko untuk menjadi
penyakit ini antara lain petugas pemadam kebakaran, petugas militer, petugas kesehatan,
polisi, petugas yang bertugas untuk mencari dan membebaskan, orang yang membantu dalam
bencana alam, dan psikoterapis.
4
PTSD juga dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit lain. Orang yang mengalami
peristiwa traumatik mempunyai resiko 6 kali lebih besar untuk bunuh diri, 2 kali lebih besar
untuk mengalami depresi, peningkatan resiko untuk menjadi skizofrenia, 26 kali lebih besar
untuk mengalami penyakit fisik, 37 kali lebih besar untuk menjadi gangguan cemas, dan 6,5
kali lebih besar untuk jatuh terhadap alkohol.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan
penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial
3. System pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan.
Patofisiologi3,5,9
PTSD merupakan penyakit yang kompleks dan terkadang menjadi gangguan kronis
yang bisa ditemukan bersamaan dengan gangguan yang lainnya. Setiap orang mempunyai
kapasitas maksimal untuk mengatasi suatu peristiwa traumatik. Oleh sebab itu, tidak semua
orang yang mengalami suatu peristiwa traumatik menderita penyakit PTSD. Gejala PTSD
mengindikasikan bahwa kapasitas maksimal seseorang (yang dapat berupa respons emosional
dan sistem kognitif) sudah terlampaui.
Ketika seseorang takut, maka sistem tubuh akan merespons dengan fight or flight,
tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan hormon ini bertanggung jawab atas kenaikan
tekanan darah serta peningkatan detak jantung dan meningkatkan glukosa dalam otot. Setelah
bahaya ataupun keadaan traumatik berlalu, maka tubuh akan menyetop respons stres dan
proses ini melibatkan pelepasan hormon yang lain yaitu hormon kortisol.
Jika tubuh seseorang tidak menghasilkan hormon kortisol yang cukup untuk
menyetop proses flight atau reaksi stress, maka orang tersebut akan terus menerus merasa
stress yang merupakan efek dari hormon adrenalin. Para pasien dengan PTSD terkadang
mempunyai tingkat hormon katekolamin lebih tinggi dari normal dan hormon kortisol yang
5
lebih rendah dari normal. Kombinasi dari keduanya menciptakan kondisi untuk PTSD
muncul.
Setelah hormon stress meningkat dan hormon kortisol yang rendah lebih dari sebulan,
maka seseorang akan merasakan perubahan fisik seperti peningkatan pendengaran. Perubahan
fisik yang bertahap ini seharusnya disadari oleh para klinisi dan menjadi kunci untuk
mengobati PTSD secara dini.
Beberapa penelitian menemukan natrium laktat dapat menginduksi gejala flashback
dalam serangan panik pada tentara perang yang menderita gangguan panik dan PTSD secara
bersamaan maupun PTSD sendiri tanpa gangguan panik. Penelitian tersebut juga mengatakan
kadar hormon kortisol yang rendah dan epinefrin yang tinggi pada pasien PTSD.
Agonist yohimbine pada PTSD. Yohimbine merupakan zat yang dapat meningkatkan
tekanan darah, detak jantung dan juga merupakan zat yang dapat menyebabkan cemas. Pada
pasien yang mengalami flashback, kadar zat ini ditemukan lebih tinggi dari orang normal.
Kelainan dari sistem opioid adalah karena beta endorphin dalam plasma berkurang.
Pasien dengan PTSD kronik menunjukan respon yang baik terhadap analgesik nalokson. Hal
tersebut diduga karena hiperegulasi opioid mirip dengan beta endorphin dalam sumbu
hipotalamus-hipofisis adrenal.
Aksis dari hipotalamus-pituitari-tiroid hanya mempunyai sediki penelitian pada
PTSD. Tentara dengan PTSD mempunyai kadar hormon T3 yang lebih tinggi dari orang
normal. TSH yang berespons secara berlebihan juga ditemukan pada PTSD. Namun korelasi
antara FT3, T3 total dan T4 total dan PTSD ditemukan. Kenaikan hormon tiroid
memnyebabkan gejala hiperarousal pada PTSD.
Klasifikasi PTSD1,6
Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III, PTSD dimasukkan dalam kelompok F43 dimana
PTSD dimasukkan dalam reaksi terhaap stress berat dan gangguan penyesuaian. DSM-IV
mengklasifikasikan PTSD dalam gangguan cemas berdasarkan gejala klinis, respons
psikologi, latar belakang keluarga, dan paparan terhadap obat-obatan dan obat serotonergik
yang dihubungkan dengan gangguan cemas lainnya.
6
Kriteria Diagnostik4,6
Dalam DSM-IV, trauma PTSD digambarkan sebagai seseorang yang terpapar oleh
peristiwa traumatik yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Orang yang mengalami, melihat atau terlibat dengan peristiwa yang mengancam
nyawa ataupun luka yang serius, atau mengancam keutuhan badan diri sendiri
ataupun orang lain.
2. Respons seseorang yang meliputi ketakutan, keputusasaan, atau kengerian.
Peristiwa traumatik seperti yang sudah dijelaskan dalam pendahuluan merupakan
peristiwa yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Seseorang harus terpapar oleh peristiwa tersebut
Peristiwa tersebut dapat dialami oleh dirinya sendiri
Peristiwa tersebut dapat merupakan pengalaman orang lain namun orang tersebut
menjadi saksi mata (melihat peristiwa yang dialami oleh orang lain)
Perbandingan antara kriteria diagnostik DSM-IV dan ICD 10 ada pada lampiran tabel
1.
Berdasarkan PPDGJ-III kriteria diagnostik PTSD antara lain :
1. Diagnosis baru ditegakkan jika gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan
diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian
dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah
khas dan tida didapat alternatif katagori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan lainnya selain tauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori
7
F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa).
Gambaran Klinis dan Diagnosis 1,2,5,7
Sebagai contoh dari PTSD, ada beberapa kasus yang dapat menjadi ilustrasi gambaran
klinis dari PTSD.
Seorang laki-laki berumur 55 tahun datang ke IGD dengan depresi dan ingin bunuh
diri. Pasien ini merupakan mantan tentara Vietnam dan klinisi menanyakan riwayat
kemiliterannya. Ketika ditanya pasien menangis dan mengatakan bahwa dirinya baru saja
bertemu dengan istri dari sahabat lamanya sewaktu di medan perang dimana sahabatnya
tersebut meninggal akibat ledakan ranjau di depan matanya sendiri ketika di Vietnam. Sejak
saat ia bertemu dengan istri dari sahabatnya tersebut peristiwa meninggalnya sahabatnya
tersebut terus menerus terulang dan tidak dapat berhenti ia pikirkan. Setiap malam pasien
bermimpi buruk tentang peristiwa tersebut. Sehari-hari pasien terus teringat akan peristiwa
tersebut dan perasaan bersalah yang sudah terkubur selama bertahun-tahun tersebut kembali
muncul.
PTSD dapat menetap dan mungkin saja datang ke IGD psikiatri selama waktu krisis
walaupun peristiwa traumatik sudah bertahun-tahun yang lalu. PTSD tidak jarang datang
dengan keluhan lain seperti depresi, gangguan cemas, dan penyalahgunaan obat. Pasien juga
dapat datang dengan keluhan somatik dan sikap agresif seperti pikiran ingin bunuh diri atau
membunuh orang lain ataupun dalam bentuk fobia.
Gejala yang khas dari PTSD adalah gejala yang mengulangi peristiwa traumatik.
Pasien secara tidak sadar memikirkan pengalaman dari berbagai macam peristiwa traumatik
yang pada akhirnya membuat pasien stress. Hal ini meliputi flashbacks dimana orang terebut
merasa seperti kembali ke masa dimana peristiwa traumatik tersebut terjadi, mimpi buruk
tentang peristiwa traumatik tersebut, dan gambaran ataupun perasaan dari orang tersebut
ketika mengalami peristiwa traumatik tersebut.
Sebagai contoh lainnya, wanita yang dulu pernah diserang oleh pelaku tindak
kekerasan sering melihat pelaku tindak kekerasan melihat kotak pos wanita tersebut.
Kemudian ada seorang pria yang pernah mengalami kecelakaan mobil sering mendengar
8
suara waktu mobil menabrak. Hal ini merupakan bagian-bagian dari peristiwa traumatik yang
muncul kembali dan membuat seseorang tidak nyaman, menjadi stress dan pada akhirnya
sering timbul berbagai macam keluhan, pada badan, gejala depresi maupun gejala gangguan
cemas.
Secara umum, gejala klinis dari PTSD dibagi menjadi 3 bagian yaitu reexperiencing
symptoms (gejala yang berupa pengulangan peristiwa traumatik), avoidance symptoms (gejala
yang menghindari), dan hyperarousal symptoms (gejala yang berupa penimbulan berlebihan).
Dalam anamnesa, orang yang mengalami gejala pengulangan lebih mudah untuk dikenali
daripada kedua macam gejala yang lain.
Reexperience symptoms
Gejala-gejala ini dapat muncul dalam berbagai macam bentuk. Dikatakan gejala
pengulangan jika peristiwa traumatik berulang-ulang muncul secara terus menerus dalam
berbagai cara, seperti :
Pengulangan kembali berbagai peristiwa, termasuk gambar, pikiran atau persepsi
Pengulangan kembali dalam bentuk mimpi
Pengulangan kembali tingkah laku atau perassaan ketika peristiwa traumatik
tersebut terjadi (termasuk merasakan pengalaman, ilusi, halusinasi dan flashback
yang terpisah, yang terjadi pada waktu sadar maupun ketika mabuk)
Perasaan yang berlebihan ketika melihat suatu simbol yang mewakili beberapa
aspek dari peristiwa traumatik
Perasaan tertekan ketika melihat suatu simbol yang mewakili beberapa aspek dari
peristiwa traumatik
Dalam gejala pengulangan ini ada beberapa hal yang penting dan menjadi
karakteristik dari gejala ini antara lain :
Orang yang terlibat tidak mempunyai kontrol atas munculnya gejala (tidak dapat
dicegah)
Pengulangan dari penglihatan tersebut merupakan peristiwa yang dulu memang
pernah terjadi
Kualitas dari penglihatan yang terjadi pada dasarnya berbeda dari cerita
sesungguhnya (ada beberapa detail yang mungkin tidak diingat dan kekosongan
ingatan tersebut dibentuk kembali dalam cerita lain)
9
Kebanyakan dari gejala ini muncul kembali secara berulang dan biasanya terjadi pada
saat pasien sedang beristirahat, seperti sebelum tidur, ketika seseorang sedang dalam keadaan
yang tenang, ia dikejutkan dengan melihat kembali peristiwa yang buruk tersebut. Biasanya,
peristiwa terebut juga muncul pada mimpi pasien. Hal ini dapat ditanyakan pada pasangan
tidur dari pasien dimana pakaian pasien menjadi basah dan gangguan tidur seperti berbicara
pada saat tidur. Sikap seseorang yang berlebihan pada saat melihat suatu tanda yang dapat
menggambarkan peristiwa traumatik tersebut juga dapat menjadi salah satu ciri khas dari
gejala ini. Sebagai contoh, seseorang yang selamat dari kecalakaan pesawat menjadi murung
ketika melihat pesawat melintas. Setiap bagian dari peristiwa traumatik seperti suara, warna,
gambar, dan lainnya dapat menjadi penyebab dari ketakutan seseorang. Hal ini disimpulkan
sebagai PTSD dan gangguan cemas lainnya.
Avoidance Symptoms
Gejala-gejala ini meliputi penghindaran yang menetap dari semua yang berhubungan
dengan trauma dan respons yang kosong (gejala ini tidak ada sebelum trauma) dan
mempunyai karakterisitik sebagai berikut :
Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan maupun percakapan yang
berhubungan dengan trauma
Usaha untuk menghindari aktifitas, tempat maupun orang yang berkaitan dengan
trauma
Ketidakmampuan untuk memanggil aspek penting dari trauma
Dengan jelas mengurangi minat ataupun partisipasi dalam aktifitas yang
berhubungan dengan trauma
Perasaan memisahkan diri atau menjauhkan diri dari yang lain (menjadi tidak mau
bergaul dengan orang lain)
Afek yang terbatas (sebagai contoh tidak dapat mempunyai perasaan cinta)
Perasaan dari masa depan yang suram (sebagai contoh tidak berharap untuk
berkarir, menikah, anak atau hidup yang normal)
Hyperarousal sypmptoms
Gejala dari pemunculan yang berlebih mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Sulit untuk memulai tidur
10
Mudah tersinggung dan marah-marah
Sulit berkonsentrasi
Kewaspadaan yang berlebih
Terlalu membesar-besarkan masalah, respons yang membuat orang terkejut
Diaganosa Banding3,7,8
Diagnosis banding dari PTSD merupakan tantangan yang besar karena gejala dari
PTSD sangat bervariasi dan termasuk dalam gejala penyakit lainnya. Penyakit yang paling
menyerupai PTSD adalah depresi dan berbagai macam gangguan cemas.
1. Dengan depresi, perbedaan antara PTSD antara lain :
PTSD mungkin menjadi depresi
PTSD dan depresi dapat menjadi diagnosis komorbid
Gejala pengulangan hanya ada pada PTSD
PTSD dan depresi sangat mirip, contohnya :
Penurunan minat
Antisosial
Mati rasa
Gangguan konsentrasi
Sulit tidur
Iritabilitas
Pandangan terhadap masa depan yang tidak realistik
2. Gangguan Cemas Menyeluruh
PTSD dan gangguan cemas sering didiagnosa bersamaan
Gejala yang sering overlap antara lain :
o Konsentrasi yang berkurang
o Mudah marah
o Gangguan tidur
Perbedaan rasa cemas pada PTSD dan gangguan cemas menyeluruh adalah
pada PTSD, rasa cemas lebih banyak terpusatkan pada pengingatan atau
11
pemunculan trauma, sedangkan pada gangguan cemas menyeluruh, rasa cemas
lebih pada seluruh masalah.
3. Gangguan Panik
PTSD dan gangguan panik sering didiagnosa bersamaan
Gejala otonom yang berlebihan adalah gejala yang paling khas dari gangguan
panik
Penyebab dari gangguan panik atau serangan panik harus dicari, jika penyebab
gangguan panik adalah peristiwa trauma maka PTSD menjadi diagnosis utama
dengan diagnosis kedua adalah gangguan panik.
4. Gangguan Obsesif Kompulsif
PTSD dan gangguan obsesif kompulsif dapat didiagnosa secara bersamaan
PTSD dan gangguan obsesif kompulsif sama-sama mempunyai pikiran yang
muncul berulang kembali
Gangguan obsesif kompulsif dapat muncul untuk berbagai macam aspek,
sedangkan PTSD perasaan yang muncul berulang kembali berkaitan dengan
peristiwa traumatik
5. Cedera Kepala
Pertimbangan dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan
kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
6. Intoksikasi akut atau putus zat
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran
klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stress pasca traumatik sampai efek zat
hilang.
Penatalaksanaan1,3,4,8
Penatalaksanaan PTSD secara umum dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu psikoterapi dan
terapi farmakologi. Psikoterapi sendiri terdiri dari terapi individual dan terapi berkelompok.
1. Terapi Psikologi
Cognitive-Behavioural Therapy
Cognitive-behavioural therapy (CBT) merupakan gabungan dari beberapa pogram
pengobatan, yaitu prosedur paparan trauma, prosedur menyusun kembali kognitif
12
seseorang, program manajemen cemas dan kombinasi beberapa prosedur tersebut.
Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa kombinasi dari CBT dan selective
serotonin reuptake inhibitor merupakan kombinasi yang baik dalam pengobatan
PTSD. Prosedur paparan trauma (exposure treatment) yaitu dengan cara
menghadapkan pasien terhadap peristiwa trauma tersebut dengan ingatan dan situasi
peristiwa tersebut. Pasien diminta untuk kembali kepada ingatannya dimana waktu
trauma itu terjadi dan untuk mengurangi trauma pada ingatannya. Pasien diminta
untuk menutup mata dan menggambarkan peristiwa traumatik tersebut. Pasien
diminta untuk menggambarkan perisiwa itu seakan-akan pasien sedang mengalaminya
sekarang. Cerita dari pasien ini direkam, dan kemudian pasien diminta untuk
mendengarkannya kembali di rumah. Inti dari exposure trauma adalah desensititasi
terhadap trauma. Peristiwa trauma membutuhkan proses emosional, dicerna, sehingga
pada akhirnya peristiwa trauma tidak lagi menjadi menyakitkan. Banyak dari
penderita PTSD melihat trauma mereka seagai bahaya, menjadikan mereka
menghindari memikirkan bagaimana peristiwa itu terjadi. Dengan pengulangan
terhadap trauma, mereka sedikit demi sedikit bisa menjadikan peristiwa trauma itu
menjadi peristiwa yang wajar dan bisa menerima peristiwa tersebut. Bentuk lain dari
exposure treatment adalah dengan menghadapkan pasien langsung ke situasi kondisi,
tempat yang sama seperti kejadian traumatik. Dalam proses sistematik desensititasi,
pasien diajarkan bagaimana untuk tenang, kemudian pasien diminta mengingat trauma
secara bertahap. Jika pasien menjadi sangat cemas atau kesal, maka proses mengingat
trauma akan diberhentikan, menenangkan pikiran mereka dan kemudian kembali lagi
ke materi paparan, sampai pasien dapat menemukan semua ingatan atau situasi tanpa
menjadi kesal atau jengkel.
Anxiety Management Training (AMT)
Proses CBT yang lain antara lain anxiety management training (AMT) atau
manajemen cemas. AMT mengajarkan pasien untuk mengontrol cemas mereka
terhadap trauma. Dalam program AMT, pasien diajarkan untuk merelaksasikan otot-
otot mereka, mengontrol napas, bermain drama, menyetop pikiran, dan memandu
bagaimana berdialog terhadap diri sendiri.
Anger Management
Eye Movement Desensitization reprocessing
Metode ini merupakan metode yang baru dan masih kontroversial. Namun ada
penelitian yang mengatakan bahwa metode ini cukup berhasil.
13
Terapi Psikodinamik
Hipnoterapi
2. Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitors (SRRIs) dan Serotonin-norepinephrine
reuptake inhibitors (SNRIs)
Golongan obat-obatan ini baik untuk PTSD karena dapat mengurangi ketiga gejala
utama dari PTSD yaitu reexperiencing, avoidance dan hyperarousal, efektif terhadap
penyakit yang menyertai PTSD seperti gangguan cemas, depresi, panic disorder, dan
obsesif kompulsif. Selain itu golongan obat-obatan ini dapat mengurang gejala-gejala
agresif, bunuh diri dan impulsif, serta mempunyai efek samping yang sedikit.Yang
termasuk golongan obat ini antara lain sertaline, fluvoxamine, dan fluoxetine. Obat-
obatan ini efektid dalam mengurangi gejala-gejala dari PTSD, yaitu gejala avoidance
(penghindaran trauma), kekosongan perasaan dan gejala hyperarousal. SRRIs ini baik
untuk PTSD yang suka minum minuman beralkohol karena dapat mengurangi
keinginan untuk minum alkohol. Dosis yang digunakan antara lain paroxetine sampai
60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis
sampai 400 mg/hari.
Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan
gangguan stress pascatrauma.
Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum.
Namun, benzodiazepine ini dapat meningkatkan resiko terjadinya depresi, maka dari
itu, pemakaian benzodiazepin harus berhati-hati. Pendekatan alternatif adalah dengan
meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan
terapetik psikososial diterapkan.
Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik,
telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka.
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-
agonis Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus gangguan
stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat
efektif, trauma untuk gejala hyperarousal.
14
Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna
untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress
pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress
pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien
dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan
opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma.
Ada beberapa laporan mengenai kegunaan anti kejang seperti Thymoleptics-lithium
Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.
Prognosis1,4
Berdasarkan American Psychiatric Association (2004), sebagian orang akan sembuh
dalam waktu 6 bulan dan tidak ada gejala yang timbul lagi setelahnya. Sebagian lagi akan
menjadi PTSD kronik. Semakin lama gejala berlanjut, diterapi maupun tidak diterapi,
semakin buruk prognosisnya. PTSD dapat menjadi penyakit gangguan jiwa lainnya jika
menetap dalam waktu 10 tahun, dan dapat seumur hidup, dan sayangnya PTSD kronik akan
sulit pengobatannya
BAB III
KESIMPULAN
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai gangguan cemas
yang terjadi setelah seseorang terpapar oeh suatu peristiwa yang sangat buruk, dimana
peristiwa tersebut melemahkan fisik dan mental serta timbul setelah seseorang melihat,
15
mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya. The National Institute of Mental Health (2008) menyatakan
bahwa 2,5 juta per tahun orang dirawat di rumah sakit setelah mengalami peristiwa traumatik.
Penyebab dari penyakit PTSD adalah peristiwa traumatik. Definisi peristiwa
traumatik berdasarkan DSM-IV suatu peristiwa traumatik didefinisikan sebagai orang yang
mengalami atau melihat atau berkonfrontasi dengan peristiwa yang mengancam jiwa, ataupun
luka yang sangat serius seperti kehilangan anggota tubuh. Ada penumpukan emosi selama
peristiwa traumatik dan hal tersebut menyebabkan PTSD. Faktor pekerjaan juga sangat
berpengaruh terhadap resiko timbulnya PTSD. Pekerjaan yang berhubungan dengan
kemiliteran lebih mungkin untuk menderita PTSD daripada orang yang berkerja sebagai
pegawai kantoran. Orang yang mengalami peristiwa traumatik mempunyai resiko 6 kali lebih
besar untuk bunuh diri, 2 kali lebih besar untuk mengalami depresi, peningkatan resiko untuk
menjadi skizofrenia, 26 kali lebih besar untuk mengalami penyakit fisik, 37 kali lebih besar
untuk menjadi gangguan cemas, dan 6,5 kali lebih besar untuk jatuh terhadap alkohol.
Berdasarkan PDGJ-III, gejala PTSD harus berlangsung sekurang-kurangnya 6 bulan.
Berdasarkan DSM-IV bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan kesadaran yang
berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan.
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik memungkinkan
klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala berlangsung kurang dari tiga
bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan).
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah terapi
perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan kombinasi antara
psikoterapi dengan SRRIs.
Obat yang digunakan dalam pengobatan gangguan stress pascatraumatik adalah
Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), Mono-Amine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan
anti konvulsan (carbamazepin). Penggunaan propanol juga dianjurkan.
16
Tabel 1 Kriteria Diagnostik PTSD dalam ICD-10 dan DSM-IV 1
17
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Gelder M G, Juan J.L, Nancy A, Jaun J.L. New Oxford Textbook of Psychiatry. London :
Oxford University Press. 2003.
2. Glick, R.L, Jon S.B, Afrim B.F, Scott L.Z. Emergency Psichiatry Principles and Practice.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business. 2008
3. Johnson S.L. Therapist’s Guide to Posttraumatic Stress Disorder Intervention. London :
Elsevier Inc. 2009
4. Nutt, D J. Posttraumatic Stress Disorder Diagnosis, Management, anf Treatment Second
Edition. London : Informa Healthcare.2009.
5. http://www.emedicinehealth.com/post-raumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.htm
6. Maslim, Rusdi. PPDGJ III Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : FK Unika Atmajaya
Press.2003.
7. http://www.amerrescue.org/ptsd.htm
8. http://medlinux.blogspot.com/2007/08/gangguan-stress-pasca-trauma.html
9. Kaplan, Sadock. Synopsis of Psychiatry, 7th Edition. Baltimore : William & Wilkins.
1993.
19