politik hukum perkawinan perkawinan beda agama … · politik hukum perkawinan dan perkawinan beda...

72

Upload: vunhi

Post on 06-Mar-2019

284 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Oleh : Sri Wahyuni(Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

is article discusses about the politics of Indonesia marriage law, especially relates to the law of interreligious marriage. Interreligious marriage always becomes a polemic. ere is an argument says that it’s forbidden but there is another which says that there is a vacuum of law in the interreligious marriage, because it’s not regulated clearly. Furthermore, by observing to the politic of the Marriage law legislation, the legislator tended to prohibit the interreligious marriage, especially the Muslim community who regarded that the interreligious marriage is incompatible to the Islamic law.

Keywords : marriage law, interreligious marriage, marriage law legislation

Page 2: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

PENDAHULUAN

Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit. Sebelum berlakunya Un-dang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan), perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campu-ran. Adapun perkawinan campuran dian-tur dalam Regeling op de Gemengde Hu-welijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Menurut Su-dargo Gautama, pasal tersebut mempunyai pengertian sebagai perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan, yang didalamnya antara lain disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudu-kan dalam religi, golongan rakyat, tempat kediaman atau agama.1

Setelah berlakunya UU Perkawinan, secara tegas perkawinan campuran din-yatakan dalam Pasal 57 yaitu perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di In-donesia tunduk pada hukum yang berlain-an, kerana perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian, perkawinan beda agama bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran.

Perkawinan beda agama, akhirnya menjadi polemic tersendiri. UU Perkawi-nan yang tidak mengatur secara jelas ten-tang perkawinan beda agama, membuat pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut menjadi relatif sulit. Dalam UU perkawinan Pasal 2 bahkan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut agama dan keper-cayaan masing-masing.2 Dari pasal ini dapat dinyatakan bahwa perkawinan di

1 Octavianus Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sri Gunting, 1996), hlm. 9.

2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Indonesia adalah perkawinan berdasar-kan hukum agama. Sehingga, perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan atau menyalahi hukum agama dianggap tidak sah. Dari pasal tersebut, biasanya ditarik pengertian juga bahwa perkawinan beda agama yang tidak diperbolehkan oleh sua-tu hukum agama, menjadi tidak sah pula. Di sisi lain, terdapat pemahaman bahwa terdapat kekosongan hukum tentang per-kawinan beda agama ini, karena tidak dia-tur secara jelas. Berdasarkan Pasal 66 UU Perkawinan, maka kembali ke peraturan lama, yaitu GHR.

Agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesian ini, perlu dikaji in-terpretasi hukum perkawinan secara tele-ologis, yaitu tujuan para pembuat hukum dalam merumuskan hukum perkawinan tersebut, terutama terkait dengan penga-turan perkawinan beda agama di Indone-sia. Tulisan ini membahas tentang politik hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan beda agama.

POLITIK HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MASA HINDIA BELANDA

Larangan pernikahan antara umat Islam dengan non-Islam di Nusantara, telah ditemukan dalam buku � kih pa-ling awal. Abdurrauf Syiah Kuala telah menyebutkannya secara relatif luas dalam bukunya “Mir’at ut ullab”, sebuah buku � kih yang ditulis atas permintaan Ratu Negeri Aceh Darusaalam (Sha� atuddin Syah) dalam abad ke-17 Masehi. Setelah ini larangan perkawinan antaragama dibe-rikan oleh Jalaluddin At-Turasani dalam bukunya yang berjudul “Sa� nat al-Hukm � Takhlish al-Khashsham.” Buku ini ditulis atas permintaan Sultan ‘Alauddin Syah, sebagai pegangan hakim di kerajaan Aceh Darussalam guna melengkapi buku “Mir’at at- ullab” yang telah ada sebelumnya. Se-telah ini, Syekh Arsyad al-Banjari dalam risalah kecilnya yang diberi judul “Risalah Nikah”, dan hampir semua buku tentang

Page 3: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

pernikahan menyebutkan adanya larangan pernikahan karena perbedaan agama.3

Agama Nasrani datang lebih belakan-gan dari agama Islam ke Nusantara, perta-ma kali dibawa oleh bangsa Portugis seba-gai bangsa Barat pertama yang datang ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan menjelajah pada akhir abad ke-15 Masehi. Mereka mencari jalan sendiri untuk bisa sampai ke Nusantara dengan semangat yang kelihatannya sangat tinggi, ka-rena terdorong sekurang-kurangnya oleh dua hal; yaitu pertama, mereka baru berhasil mengusir umat Islam dari Semenanjung Iberia, tahun 1492; kedua, mereka sangat terkesan dengan perjalanan Columbus yang ingin pergi ke India tetapi ternyata menemukan Amerika.

Lebih dari itu, perdagangan rempah-rempah yang sebelumnya menggunakan Jalan Sutera (jalan darat) dari Cina ke Ero-pa menjadi terganggu karena penyerangan Timur Lenk (w. 1404 M) ke berbagai wi-layah Timur Tengah; dan juga kemudian kemunculan Kesulatanan Usmaniyah di Asia Kecil, yang pada abad ke-15 juga mampu merebut Konstantinopel dari tan-gan Romawi Timur (1453 M) dan men-jadikannya sebagai ibukota Kesultanan Usmaniyah Islam. Guna mencari sumber rempah-rempah agar mendapat keun-tungan yang besar, maka Portugis sejak awal kedatangannya ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah sejak dari sumbernya di Maluku dan Route perda-gangannya sampai ke Eropa. Untuk itu, mereka berusaha menguasai wilayah yang menjadi sumber dan jalur perdagangan tersebut, misalnya Kalikut dan Goa di In-dia serta Malaka dan Timor di Nusantara serta beberapa negeri lain di Afrika.

Selain untuk mengamankan jalur perdagangannya, penguasaan wilayah ter-sebut oleh Portugis juga digunakan untuk menyebarkan agamanya, Nasrani Katolik.

3 Alyasa Abubajar, Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm. 17.

Semangat untuk menyebarkan agamanya tersebut semakin tinggi karena di wilayah yang baru dikunjungi ini mereka harus berhadapan dengan umat Islam, umat yang harus mereka hadapi dengan susah payah di Semenanjung Iberia. Agamanya diajarkan di Maluku dan Timor Timur. Dalam agama ini, perkawinan antara agama dianggap tidak sah dan cenderung dilarang dengan sangat keras.4

Belanda yang datang pada akhir abad ke-16 Masehi dan berhasil mengalahkan Portugis, juga menyebarkan agama yang mereka bawa yaitu Protestan. Pada mula kedatangannya, Belanda tidak membawa nama negara atau kerajaannya secara langsung. Mereka membentuk sebuah perusahaan (perserikatan) dagang yang popular dengan sebutan VOC tahun 1602. Perusahaan ini diberi kekuasaan kekuasa-an lebih luas dari sekedar berdagang. VOC selain diberi izin untuk memonopoli per-dagangan, juga diberi izin untuk membuat perjanjian dengan kerajaan atau penguasa daerah-daerah yang dikunjungi dan lebih dari itu, merebut dan menguasai wilayah yang dianggap perlu, dengan demikian, VOC memiliki dua sifat, yaitu semacam badan atau kongsi untuk berdagang dan semacam badan untuk memerintah.

Walaupun VOC mempunyai sifat untuk memerintah, namun ia lebih me-nonjolkan misi dagangnya, dari pada misi untuk penguasaan wilayah dan penye-baran agamanya, walaupun hal tersebut tidak dapat dipisahkan secara jelas sejak awal kedatangannya. Namun, mereka juga melarang perkawinan antar agama khu-

4 Ibid., hlm. 18–19.

... Belanda melakukan penelitian tentang hukum yang berlaku di

masyarakat, dan menemukan bahwa hukum yang berlaku adalah

hukum Islam.

Page 4: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

susnya antara orang Eropa yang beragama Nasrani dan orang Pribumi yang beraga-ma non-Nasrani.

Karena terus merugi, perusahaan dagang ini dibubarkan pada tahun 1800 dan Pemerintah Belanda mengambil alih semua tanggungjawab dan utang-piutang VOC tersebut. Sejak itu, Belanda mencen-gkeramkan kuku penjajahannya secara le-bih langsung dan berupaya mengukuhkan kekuasaannya sedemikian rupa, dan untuk itu mereka menaruh perhatiannya terha-dap agama dan aturan hukum yang ber-laku di kalangan rakyat Pribumi. Mereka mencampuri, mengubah bahkan meng-ganti berbagai hukum yang ada di tengah masyarakat dengan hukum Belanda atau hukum lain yang lebih menguntungkan atau memperteguh penjajahan mereka.

Pada masa kolonial Belanda ini, pe-misahan penduduk berdasarkan agama cenderung dilonggarkan, namun dibuat sekat baru berdasarkan asal usul, dan hukum Adat.5 Belanda setelah mengamati masyarakat Hindia Belanda, mendapati bahwa Islam telah berkembang dengan baik, terutama dalam masalah perkawi-nan, karena dalam Islam perkawinan adalah suatu peristiwa penting yang men-jadi tanda keislaman atau sekurang-ku-rangnya tanda kesempurnaan keislaman seseorang. Oleh karena itu, Belanda ketika hendak mencampuri hukum yang berlaku di tengah masyarakat yaitu hukum Adat, sering sekali berhadapan dengan hukum Islam, yang telah diamalkan dengan baik di masyarakat. Kemudian, Belanda me-lakukan penelitian tentang hukum yang berlaku di masyarakat, dan menemukan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Adapun kodi� kasi yang pernah mereka buat dari hasil penelitian tersebut diantaranya adalah Mugharrer (Compen-dium der voornaamste Javaansche Wetten nauwkeuring getrokken uit het Muham-medansche Wetboek Mogharreaer) tahun 1747, dibuat sebagai pegangan pengadilan di Semarang dan Pepakem Cirebon (Cire-

5 Ibid., hlm. 25.

bonsche Rechtsboek) tahun 1765, dibuat sebagai pegangan pengadilan Cirebon.6 Begitu juga di Sulawesi Selatan, terdapat Compendium Indiansche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa.7 Selanjutnya, politik hukum Belanda berusaha memi-sahkan antara hukum Islam dari mas-yarakat, yaitu yang terkenal dengan teori receptie, yakni hukum Islam baru akan berlaku sekiranya telah diterima menjadi hukum Adat oleh masyarakat yang ber-sangkutan. Sekiranya sebuah masyarakat Muslim belum melaksanakan hukum Islam secara efektif di tengah masyarakat-nya, maka hukum Islam tersebut tidak boleh dijalankan.8

Politik hukum Belanda pada masa itu —terutama terkait dengan hukum perdata—9 adalah pengolongan penduduk dan penerapan hukum yang berbeda-beda bagi masing-masing golongan, dan di sisi lain dengan mengurangi pemberlakuan hukum Islam di masyarakat. Selain itu, pada masa awal, Belanda juga berusaha memisahkan masyarakat Hindia Belanda berdasarkan agamanya. Tampak bah-wa orang-orang yang beragama Kristen disamakan dengan gologan Eropa baik itu dari Pribumi, Tionghoa ataupun Arab. Akan tetapi, pada akhirnya, pe-misahan penduduk berdasarkan agama dilonggarkan. Keadaan penduduk yang beragam cenderung diberi kebebasan un-tuk melaksanakan hukum Adat mereka sendiri-sendiri. Begitu juga dibuat aturan penghubung antara warga dari berbagai golongan penduduk ini, terutama dalam masalah perkawinan, yaitu Peraturan Per-kawinan Campuran atau Regeling op de Gemende Huwelijken (GHR). Peraturan ini

6 John Ball, Indonesian Legal History 1602 – 1848, (Australia: Chatswood NSW, 1982), hlm. 57 dan 60. Dikutip juga oleh Alyasa Abubakar, Perkawinan ...., hlm. 21–22.

7 Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 37.

8 Alyasa Abubakar, Perkawinan ..., hlm. 23.9 Hukum rakyat yang mula sekali dicampuri ada-

lah hukum pidana. Alasan mereka adalah alasan kemanu-siaan, karena hukum mereka yang hanya mengenal pemi-danaan dengan pidana penjara dan denda, dianggap lebih manusiawi dari pada hukuman pidana adat yang berlaku di masyarakat seperti pengusiran, hukum cambuk, dan hujuman mati. Ibid., hlm. 23.

Page 5: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

dikuatkan dalam Besluit kerajaan tanggal 29 Desember 1896 Nomor 23, Stattsblaad 1898 Nomor 158. Dalam peraturan ini disebutkan: “…perbedaan asal usul dan atau kedudukan (status) hukum, tidak boleh menjadi penghalang untuk perkaw-inan.” Pada tahun 1901 ditambahkan atur-an bahwa “Perbedaan agama tidak dapat digunakan sebagai penghalang melalukan perkawinan campuran (Pasal 7 ayat [2]). Dengan adanya peraturan ini, maka per-kawinan beda agama yang masa-masa sebelumnya cenderung dilarang, menjadi diperbolehkan dan diatur secara sah.10

POLITIK HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA SETELAH INDONESIA MERDEKA

Pasca kemerdekaan, bangsa Indone-sia berupaya untuk membentuk hukum-nya sendiri yang terlepas dari hukum Be-landa kolonial. Terkait dengan pembaha-ruan hukum perkawinanan, pada tanggal 21 November 1946 telah dikeluarkan Un-dang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946. Pada saat itu, ban-gsa Indonesia sedang menghadapi Belanda yang hendak menjajah kembali tanah air, sehingga pemberlakuan undang-undang tersebut untuk seluruh wilayah Republik Indonesia belum dapat dilakukan. Oleh karena itu, undang-undang tersebut hanya diberlakukan di Jawa dan Madura. Baru pada tahun 1954 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, maka undang-un-dang tersebut diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia.11

Dalam undang-undang tersebut, tidak hanya diatur tentang pencatatan semata, akan tetapi secara eksplisit mene-gaskan bahwa tugas PPN (Petugas Pen-catat Nikah) adalah 1) mengawasi nikah yang dilakukan menurut agama Islam; 2) mencatat nikah tersebut dan menerima pemberitahuan selanjutnya mencatat se-gala talak dan rujuk yang diberitahukan

10 Ibid., hlm. 26–27.11 A. Wasit Aukawi, “Sejarah Perkembangan

Hukum Islam” dalam Pengurus Pusat Ikatan Hakim Pera-dilan Agama, Prospek ..., hlm. 83.

kepadanya. Yang dimaksud dengan men-gawasi dalam penjelasan undang-undang ini adalah a) PPN harus hadir pada saat akad nikah itu dilangsungkan, dan lalu mencatatnya, dan b) memeriksa, ketika para pihak menyatakan kehendaknya untuk menikah, apakah ada halangan/larangan, baik menurut hukum Islam atau menurut undang-undang. Jika terdapat halangan maka PPN dapat menolak dilak-sanakannya nikah tersebut.12

Tentang pencatatan perkawinan, setelah kemerdekaannya, Indonesia juga masih mewarisi system pencatatan masa colonial, terutama adanya Kantor Catatan Sipil (Burgerlijk Stand) yang dibentuk sejak tahun 1849, untuk mencatatkan per-kawinan berdasarka BW yaitu bagi orang-orang Eropa, Tionghoa dan perkawinan berdasarkan HOCI. Dengan demikian, da-lam perkembangannya, system pencatatan perkawinan yang terpisah pun terjadi. Bagi orang Islam pencatatan perkawinan dilakukan di KUA sedangkan yang lain di Kantor Catatan Sipil.13

Tahun1950 terdapat kasus tentang perkawinan campur beda agama yang sampai diajukan ke pengadilan, yaitu kasus seorang perempuan muslim yang bernama Soemarni Soeriaatmadja yang menikah dengan seorang laki-laki Kris-ten yang bernama Ursinus Elias Medellu. Pihak KUA menolak untuk mencatatkan perkawinan antara seorang perempuan muslim dan seorang laki-laki non-muslim ini, karena tidak diperbolehkan menurut hukum Islam. Kemudian, Soemarni men-gajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri Daerah, dan pengadilan menyatakan tidak ada landasan hukum untuk perkaw-inan tersebut, sehinga pasangan tersebut melaksanakan perkawinannya di gereja Protestan. Akhirnya, ayah Soemarni yang juga menjadi pegawai Kementrian Agama, menentang perkawinan tersebut dan men-gajukannya ke Pengadilan Negeri Daerah Jakarta agar dibatalkan. Pengadilan me-

12 Ibid., hlm. 84.13 Mark Cammack, “Legal Aspects of Muslim-

non-muslim Marriage in Indonesia” ..., hlm. 105 – 106.

Page 6: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

nolak tuntutan tersebut. kemudian, dia mengajukan kasasi terhadap putusan tersebut ke Mahkamah Agung. Mah-kamah Agung membenarkan putusan Pengadilan Negeri, dan menolak bahwa doktrin agama dapat membatasi kebe-basan seseorang untuk menikah den-gan orang yang berbeda agama. Jadi, putusan-putusan pengadilan tersebut menguatkan adanya perkawinan cam-pur beda agama. Di sinilah, terjadi kon-tradiski antara hukum negara dan hukum agama tentang perkawinan campur beda agama. menurut pengadilan, tidak ada pembedaan agama ataupun etnisitas bagi masyarakat Indonesia, sehingga menyim-pulkan bahwa pembolehan perkawinan beda agama ini secara praktis penting untuk mencegah konsekuensi-konsekuen-si social yang tidak berdasarkan hukum. Menurut pengadilan, kontradiksi antara hukum negara dan hukum agama ini bu-kan pertentangan yang sebenarnya, kare-na tugas hukum negara adalah megatur kehidupan masyarakat sedangkan hukum agama secara prinsip mengajarkan kesela-matan di kehidupan akhirat. Hal ini me-nimbulkan protes di kalangan umat Islam. September 1952, sekitar lima ribu umat Islam berkumpul di masjid Tanah Abang Jakarta untuk melakukan protes terhadap perkawinan beda agama tersebut, dan menuntut negara untuk membatalkan per-kawinan tersebut. mereka membuat per-nyataan dan tuntutan resmi kepada Pres-iden Soekarno, yang menyatakan bahwa perkawinan antara Soemarni dan Ursinus tidak sah menurut hukum Islam.14

Selanjutnya, upaya untuk melaku-kan reformasi hukum perkawinan terus dilakukan. Upaya ini juga datang dari kaum nasionalis yang mengupayakan uni-� kasi hukum perkawinan Indonesia, yang berbeda dengan hukum Belanda, terutama dalam hal perkawinan dan perceraian. Hukum perkawinan ini nantinya akan menjadi hukum perkawinan nasional In-donesia yang mengakomodir aspirasi nasi-

14 Ibid., hlm. 107 – 107.

onal yang diterapkan untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa melihat perbedaan asal suku, agama dan kondisi sosialnya.

Usaha untuk membentuk satu hu-kum perkawinan nasional yang uni� katif ini di mulai tahun 1950, dengan tanpa menghiraukan hukum agama. Baru ta-hun 1952, Menteri Agama membentuk panitia menyusun dra RUU Perkawinan dari kelompok agamawan. Kelompok ini membatalkan tujuan awalnya, dan meng-gantikannya dengan perumusan draf yang didasarkan hukum agama yang berbe-da-beda. Tahun 1954, panitia ini menyele-saikan tugasnya. Mereka telah menyusun draf perkawinan Islam. Draf tersebut be-lum selesai dibahas di DPR, hingga tahun 1958, karena ada counter dari kelompok nasionalis yang netral keagamaan. Akh-irnya, pembahasan deadlock. Upaya baru dilakukan pemerintah dengan menyerah-kan dua draf RUU Perkawinan ke DPR. Tahun 1967, UU Perkawinan untuk Mus-lim dan tahun 1968 UU Perkawinan di-dasarkan pada prinsip-prinsip hukum ag-ama diterapkan untuk seluruh kelompok keagamaan. Perdebatan legislatif tentang RUU Perkawinan sejak tahun 1967 hingga 1970 tidak membuahkan hasil.

Kegagalan pembahasan RUU Per-kawinan yang uni� katif tersebut dikare-nakan terjadinya kon� ik kepentingan antara berbagai kelompok. Kelompok Islam ingin menarapkan hukum perkaw-inan Islam, sedangkan kelompok Kristen tidak menginginkan adanya pengaruh hukum Islam. Mereka menginginkan hukum perkawinan yang bisa mengako-modir kepentingan pihak minoritas yang

... sehingga menyimpulkan bahwa pembolehan perkawinan beda

agama ini secara praktis penting untuk mencegah konsekuensi-

konsekuensi sosial yang tidak berdasarkan hukum.

Page 7: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

sesuai dengan kondisi sosial, politik dan kehidupan ekonominya. Kelompok Tiong-hoa juga cenderung menolak upaya uni-� kasi tersebut, karena uni� kasi tersebut akan menempatkan mereka setara dengan masyarakat Indonesia yang lain, apabila prinsip-prinsip hukum Islam juga akan diterapkan kepada mereka.

Dengan kegagalan pembahasan dra RUU Perkawinan yang uni� katif —arena terjadi kon� ik antara berbagai kelompok kepentingan—tersebut, maka pemerintah mengajukan draf RUU Perkawinan yang baru ke DPR pada tanggal 31 Juli 1973. Pengajuan draf baru ini juga menimbul-kan kontroversi lagi, terutama dari kala- ngan umat Islam, karena pihak umat Is-lam, baik dari kementrian agama maupun para tokoh pemimpin Muslim tidak diajak membicarakannya sebelumnya. Lebih dari itu, mereka merasa bahwa mayoritas pasal dalam draf RUU baru tersebut bertentang- an dengan prinsip-prinsip hukum Islam, dan dianggap menghilangkan pengaruh Islam dalam negara ini; dan tidak meng-herankan saat itu muncul berbagai rumor tentang adanya kristenisasi.15

a) Kontroversi dalam Pasal-Pasalnya

Pasal-pasal yang dianggap kontrover-sial dalam RUU Perkawinan diantaranya yaitu: pertama, Pasal 2 ayat (1) yang me-nekankan pencatatan sipil penting untuk keabsahan perkawinan bagi umat Islam; kedua, Pasal 3 dan 40, menekankan bahwa perceraian umat Islam harus dilaksanakan di Pengadilan negeri dan poligami harus dengan izin dari Pengadilan Negeri; keti-ga, Pasal 11 (2) yang menekankan bahwa perkawinan beda agama tidak dihalangi; keempat, Pasal 8 huruf (c) dan Pasal 62 yang melihat status anak adopsi sama dengan status anak kandung; kelima, Pasal

15 Azyumardi Azra, “The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of Social Changes,” dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), hlm. 82. Katz & Katz, Indonesian Marriage Law, hlm. 660; Antony H. Johns, “Indonesia Islam and Cultural Pluralism,” dalam John L. Epsosito, ed., Islam in Asia: Religion, Politics and Society, (NewYork: Oxford University Press, 1987), hlm. 217-218.

13 dan 49, yang memberi legalitas untuk pertunangan dan menekankan bahwa ke-hamilan dalam masa pertunangan dapat diakui jika pihak laki-laki akan menika-hi pihak perempuan tersebut, dan akan memberikan status anak sah bagi anak yang dilahirkan nantinya.16

Pasal-pasal tersebut dianggap ti-dak sesuai dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, keabsahan nikah hanya terletak pada terpenuhinya rukun nikah, seperti adanya kedua calon mempelai, wali bagi calon mempelai perempuan, dua orang saksi, mahar/mas kawin dan ijab kabul. Pencatatan perkawinan tidak disyaratkan pada keabsahan perkawinan dalam hukum Islam. Begitu juga dalam hal perceraian dan poligami. Bagi para Muslim, pergi ke pengadilan negeri berar-ti menjadikan peradilan Islam di bawah pengadilan negeri, dan itu bertentangan dengan hukum Allah.

Menurut mereka, peradilan Islam merupakan simbol otoritas dan jaminan ditegakkannya syariat Islam. Kaum Mus-lim melihat pasal-pasal tersebut menghi-langkan kekuatan Islam yang besar di In-donesia, dan menghilangkan kekuatan dan fungsi peradilan Islam di Indonesia, yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekua-saaan Pokok Kehakiman saat itu. Kemudi-an, dalam pasal RUU tersebut, juga tidak diragukan adanya halangan untuk nikah beda agama.

Hal tersebut di atas diangap ber-tentangan dengan hukum Islam. Perkaw-inan beda agama ini sebagaimana sudah ditolak oleh umat Islam dalam sejarah panjangnya sejak masa Hindia Belanda, yaitu dengan adanya Peraturan Perkaw-inan Campuran tahun 1898. Perkawinan beda agama ini ditolak oleh umat Islam karena dianggap tidak sesuai dengan Islam sebagai pedoman hidup mereka, dan den-gan perkawinan ini berarti membiarkan wanita Muslim menikah dengan laki-la-

16 Azyumardi Azra, “The Indonesian ...., hlm. 83.

Page 8: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

ki non-Muslim dan membiarkan upaya kristenisasi secara legal; dan akhirnya anak-anak hasil perkawinan campuran ini akan menjadi non-Muslim. Berdasarkan pemikiran ini, maka para tokoh Islam mengkritisi pasal-pasal yang diajukan ini, sebagai kristenisasi yang terselubung.17

Dua pasal yang lain yaitu tentang sta-tus anak adopsi sama dengan anak kand-ung juga dianggap kontroversial. Pasal ini juga melarang anak angkat untuk kawin dengan orangtua angkatnya. Oleh karena itu, umat Islam menolak pasal tersebut. begitu juga pasal-pasal tentang status per-tunangan dan anak yang lahir dalam per-tunangan. Umat Islam menolak membe-rian status sah terhadap pertunangan dan anak yang dilahirkan akibat pertunangan. Mereka menganggap anak tersebut anak luar nikah.18

Perdebatan juga terjadi dalam pem-bahasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, tentang istilah “kepercayaannya itu” sebe-narnya merupakan “rumusan kompromi” sebagai akibat dari terjadinya tarik-menar-ik kepentingan politik pada saat dibaha-snya RUU Perkawinan di DPR. Semen-tara kelompok yang ingin mendesakkan keinginannya untuk menjadikan tatacara perkawinan menurut “aliran kepercayaan”, sebagaimana halnya agama, sebagai lan-dasan penentu bagi sahnya perkawinan yang dilangsungkan oleh orang yang menganutnya. Desakan keinginan tersebut telah ditolak oleh mayoritas anggota DPR

17 Ibid., hlm. 83.18 Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di In-

donesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, Terjemah, Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: Intermasa, 1986), hlm. 340.

maupun pemerintah, karena baik dalam GBHN maupun pandangan hidup bangsa Indonesia, aliran kepercayaan bukanlah agama, melainkan hanya sekedar kebu-dayaan, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum pelaksanan perkawinan.19

Sebagai upaya untuk mencegah ter-jadinya deadlock dalam pengesahan RUU tersebut, maka “rumusan kompromi” tersebut diterima, yang secara prinsip tidak menyalahi maksud dari undang-un-dang tersebut, yakni bahwa agama sajalah yang menjadi syarat sahnya perkawinan. Akan tetapi, secara psikologis tidak me- rugikan kelompok yang mengusung aspi-rasi tersebut. Kata “kepercayaannya itu” sebagaimana juga terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dalam keutuhan maknanya, lalu diambil dan dipandang di belakang kata “agama”, sehingga pada seti-ap kata “agama” selalu diikuti kata “keper-cayaannya itu”. Oleh Karena itu, tambahan kata “kepercayaannya itu” di belakang kata “agama”, secara hukum tidak memberi makna apa pun, sehingga dapat dikesam- pingkan.20

b) Prosesi LegislasinyaSementara di dalam sidang DPR

terjadi perdebatan, di luar gedung DPR juga terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh para aktivis Muslim. Gedung DPR diduduki oleh para demonstran Muslim tersebut, sehingga pemerintah sepakat untuk menerima perubahan yang fun-damental dalam RUU tersebut. Presiden Soeharto akhirnya sepakat dengan Fraksi Pesatuan Pembangunan (FPP) di DPR untuk mengubah pasal-pasal yang ber-tentangan dengan hukum Islam. Akhir- nya, revisi terhadap RUU dapat dilakukan oleh DPR hingga tanggal 22 Desember 1973, dan RUU tersebut ditandangani oleh Presiden tanggal 2 Januari 1974, sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagai aturan pelak-

19 H.M. Thahir Azhary, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik dan Lemba-ga Negara, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 93.

20 Ibid., hlm. 94.

Keinginan untuk menyempurnakan RUU memantul warna-warni yang indah dan bermanfaat bagi kehidupan parlementer yang demokratik.

Page 9: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

sanaannya, ditetapkan Peraturan Pemerin-tah Nomor 9 Tahun 1975, yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan perkawinan dan perceraian.21

Tidaklah terpikirkan oleh pemer-intah untuk melaksanakan RUU tentang Perkawinan ini tanpa peluang bagi adanya perbaikan dan penyempurnaan oleh DPR RI, karena dalam sistem ketatanegaraan RI, DPR merupakan partner pemerintah dalam proses pembentukan undang-un-dang. Keinginan untuk menyempurnakan RUU memantul warna-warni yang indah dan bermanfaat bagi kehidupan parlem-enter yang demokratik. Adanya perbedaan pendapat merupakan rahmat serta dibe-narkan asalkan disertai dengan kejujuran dan kesunguhan hati.

Mengenai permasalahan Pasal 2 RUU yang oleh FPP dinilai kurang sem-purna sebab kurang menegaskan pers-yaratan keabsahan menurut agama atau yang FPDI dikemukakan seakan-akan aspek pencatatan sebagai superioritas dari kelangsungan perkawinan menurut agama. Sebenarnya, bukan demikian yang dimaksudkan oleh pemerintah, sebab dengan sangat jelas ditentukan bahwa “Perkawinan itu dilangsungkan menurut ketentuan hukum perkawinan dari pi-hak-pihak yang melakukan perkawinan.” Hal ini berarti bahwa bagi orang Indone-sia yang beragam Islam, berlakukan hu-kum Islam yang telah diterima oleh Adat itu, seperti perlu hadirnya wali, beberapa saksi, pernyataan ijab kabul, adanya mahar (mas kawin) dan sebagainya.22

21 Azyumardi Azra, “The Indonesian…., hlm. 84.22 Daniel S. Lev, Peradilan ...., hlm.330–340.

c) Pro-Kontra Seputar Legislasi

RUU Perkawinan tersebut menuai berbagai respon masyarakat, baik pro maupun kontra. Majalah tempo melapor-kan bahwa sejarah di Indonesia tidak pernah ada legislasi RUU yang lepas dari perhatian masyarakat. Berbagai organisasi Islam termasuk Majelis Ulama Aceh, Gen-erasi Muda Islam Indonesia (GMII), Pe-lajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama (IPPNU), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), juga be-berapa tokoh Muslim secara individual, menolak RUU Perkawinan tersebut ber-dasarkan keyakinan mereka bahwa per-kawinan beda agama bertentangan dengan ajaran Islam. Anwar Harjono, misalnya, mengutip fatwa MUI bahwa perkawinan beda agama haram hukumnya, karena mafsadah-nya lebih banyak daripada man-faatnya.23

Menurutnya, umat Islam menolak perkawinan beda agama dalam RUU perkawinan tersebut murni berdasarkan keyakinan agamanya, bukan politis. Wa-laupun dalam GBHN dinyatakan bahwa penting untuk memiliki hukum yang seragam secara nasional yang mengatur seluruh warga negara Indonesia, menurut-nya, bahwa sebuah hukum tidak dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Dia juga menekankan bahwa dalam ma-salah hukum keluarga, hukum nasional yang uni� katif hanya dapat mengatur aspek-aspek kehidupan nonkeagamaan dan nonkultural, seperti tentang harta kekayaan dan kontrak-kontrak, bukan masalah yang terkait dengan aspek keag-amaan seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan.24

Rasjidi juga merupakan tokoh yang paling keras menentang RUU Perkawinan. Dalam bukunya “Kasus RUU Perkawinan

23 Anwar Harjono, “Renungan Menjelang Ra-madhan,” Media Dakwah, March 1992, 6-7 dikitup dalam Fatimah Husein, Muslim-Chistian Relations in The New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspektive, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 198-199.

24 “RUU Perkawinan: Mencabut & Merubah,” Tempo, 22 September 1973, 8-9 dikutip dalam Ibid.

Rasjidi berpendapat bahwa terdapat gerakan untuk menjadikan perkawinan beda agama sebagai sebuah praktik yang normal dan wajar, sebagaimana dinyatakan dalam RUU Perkawinan.

Page 10: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

dalam Hubungan Islam dan Kristen,” dia berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia merujuk kepada kasus perkawinan di Keraton Solo, Juli 1973, beberapa bulan sebelum RUU Perkawinan diperdebatkan. Peristiwa perkawian antara Koes Supiah, putri Susuhunan (Sultan) Pakubuwono XII, yang menikah dengan seorang yang beragama Kristen yang bernama Sylvanus dari Kalimantan.

Menurut Rasjidi, fakta bahwa Koes Supiah tidak diperbolehkan menikah den-gan kekasihnya Abdullah Suwarna yang beragama Islam, yang telah dikenalnya se-lama beberapa tahun, tetapi justru diper-bolehkan menikah dengan seorang yang beragama Kristen. Hal ini merupakan bukti upaya untuk melegalkan perkawinan beda agama. Rasjidi berpendapat bahwa terdapat gerakan untuk menjadikan per-kawinan beda agama sebagai sebuah prak-tik yang normal dan wajar, sebagaimana dinyatakan dalam RUU Perkawinan.

Lebih jauh, Rasjidi menyatakan bah-wa RUU tersebut hanyalah merupakan upaya untuk mengkristenkan 90% pen-duduk Indonesia yang beragama Islam, dan bahwa hal itu merupakan “upaya kris-tenisasi”. Walaupun dia juga menyatakan bahwa tidak semua umat Katolik dan Kris-ten berkehendak untuk menarik umat Is-lam masuk ke agama mereka. Rasjidi per-caya bahwa terdapat missionaries Kristen yang mendukung RUU Perkawinan terse-but sebagai upaya mereka dalam rangka kristenisasi bagi umat Islam Indonesia.25

Perdebatan di DPR tentang RUU Perkawinan juga berlanjut di surat kabar, masing-masing dari Islam dan Kristen saling mempertahankan argumentasinya. Pandangan Rasjidi bahwa adanya upaya kristenisasi dimuat di beberapa surat ka-bar seperti KAMI, Nusantara, dan Abadi tanggal 19 Agustus 1973. Pada tanggal 12 Desember 1973, sebuah surat kabar per-

25 HM. Rasjidi, Kasus-Kasus RUU Perkawinan da-lam Hubungan Islam dan Kristen, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 9-12 dikutip dalam Ibid., hlm. 200.

satuan Protestan, Sinar Harapan, mengek-spos sebuah memorandum yang diterbit-kan oleh Komite Kesatuan Generasi Muda Indonesia yang menyatakan bahwa negara tidak dapat dan tidak boleh menetapkan pelaksanaan ajaran keagamaan kepada para pemeluknya, termasuk masalah per-kawinan. Dengan kata lain, negara harus menjamin kebebasan seluruh warganya untuk melaksanakan perkawinan beda agama.26

Dalam edisi Kompas (surat kabar milik orang Katolik) dan Sinar Harapan menanggapi isu tersebut, dan menyatakan bahwa hukum yang didasarkan pada ag-ama tentang perkawinan akan membuka jalan bagi penerapan hukum berdasarkan agama lain pada aspek lain dalam ke-hidupan. Respon yang lebih serius datang dari surat yang ditandatangani oleh SAE Nabban dari DGI dan Sekretaris MAWI, Leo Soekoto SJ, tanggal 12 Desember 1973, yang berisi:

1) Berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 bahwa negara menjamin warganya untuk memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agama dan keper-cayaannya itu, berarti bahwa kebebasan untuk memilih merupakan suatu yang paling penting dalam agama.

2) Selama perdebatan tentang RUU Perkawinan di DPR, kami telah melihat bahwa negara tidak hanya akan men-jamin kebebasan beragama, melainkan juga menetapkan pelaksanaan hukum agama, terutama tentang perkawinan.

3) Kami mengharap setiap warga negara akan melaksanakan perka- winan berdasarkan hukum agama masing-masing. Bagaimanapun jika kita mengangap bahwa hanya hukum perkawinan salah satu agama saja yang benar, maka banyak permasalahan yang timbul terkait dengan kebebasan ber- agama.27

26 Sinar Harapan, 12 Desember 1973, dikutip dalam Ibid.

27 “Negara Perlu Berikan Ruang Untuk Kawin Sah Menurut Hukum Negara,” Sinar Harapan, 19 Desem-ber 1973, dikutip dalam Ibid., hlm. 201.

Page 11: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Demonstrasi besar menentang RUU Perkawinan membuat pemerintah Orde Baru khawatir, maka pemerintah mem-buat perubahan-perubahan yang funda-mental terhadap RUU ini, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU Perkawinan ini menyatakan bahwa Per-kawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaannya itu. Walaupun de-mikian, tetap masih banyak kritik terha-dap rumusan baru ini. Perhimpunan Ma-hasiswa Katolik Republik Indonesia (PM-KRI) mengeluarkan pernyataan bahwa re-visi RUU tersebut menyimpang dari spirit Pancasila dan UUD 1945 tentang jaminan kebebasan beragama, bahwa rumusan baru ini telah memaksakan warga negara untuk melaksanakan kewajiban keagaman sebagaimana hukum perkawinan.28

Rasjidi juga menganggap bahwa pe-nolakan keras yang dilakukan oleh orang-orang Kristen terhadap revisi RUU Per-kawinan tersebut sebagai oposisi terhadap hukum keluarga Muslim, dan dukungan terhadap kristenisasi. Ia percaya bahwa inti dari penolakan dari umat Katolik dan Kristen terhadap RUU Perkawinan mer-upakan persepsi mereka bahwa agama harusnya tidak boleh memainkan peran dalam menentukan kehidupan sosial poli-tik masyarakat Indonesia.29

28 Ibid., hlm. 202.29 Ibid.

PENUTUP

Hukum perkawinan beda agama, yang selama menjadi polemik antara dilarang atau merupakan kekosongan hu-kum, ketika dilihat secara historis dalam proses legislasi undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat diketahui bahwa proses legislasi tersebut cenderung melarang perkawinan beda agama tersebut. Dalam proses legislasi undang-undang tersebut, terutama dari kalangan umat Islam mengajukan apsirasi pelarangan terhadap perkawinan beda ag-ama, berdasarkan paham mereka tentang hukum Islam yang melarang perkawinan beda agama. Dalam undang-undang perkawinan Indonesia tersebut, hukum perkawinan merupakan hukum agama, sehingga perkawinan tidak boleh dilak-sanakan dengan melanggar ketentuan hu-kum agama masing-masing. []

Page 12: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

DAFTAR PUSTAKA

Alyasa Abubajar (2008). Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Anwar Harjono (2005). “Renungan Menjelang Ramadhan,” Media Dakwah, March 1992, 6-7 dikitup dalam Fatimah Husein, Muslim-Chistian Relations in e New Order Indonesia: e Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspektive, Bandung: Mizan

Azyumardi Azra (2003). “ e Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of Social Changes,” dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS.

Daniel S. Lev. (1986). Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, Terjemah, Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: Intermasa,.

H.M. ahir Azhary (1997). Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik dan Lembaga Negara, Bandung: Mizan

John Ball (1982) Indonesian Legal History 1602 – 1848, Australia: Chatswood NSW

Katz & Katz (1987). Indonesian Marriage Law, hlm. 660; Antony H. Johns, “Indonesia Islam and Cultural Pluralism,” dalam John L. Epsosito, ed., Islam in Asia: Religion, Politics and Society, NewYork: Oxford University Press

Mark Cammach (2009). “Legal Aspects of Muslim-non-muslim Marriage In Indonesia” dalam Gavin W. Jones dkk (eds.), Muslim-non-muslim Marriage: Political and Cultural Contestation in Southeast Asia, Singapore: ISEAS

Octavianus Eoh (1996).Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Sri Gunting,

Ratno Lukito (2001).Islamic Law and Adat Encounter: e Experience of Indonesia,

Jakarta: Logos

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 13: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

MENINGKATKAN PEMBELAJARAN BERPIDATO DENGAN METODE PEMODELAN 

Oleh : M. Husni(STAI Al­Qolam Gondanglegi Malang)

One form of conversational skills are addressed. In this study, using the method of modeling speech learning. e goal of improving the process and learning outcomes addressed by the modeling method. is research method is class action research that shaped the implementation cycle, and each cycle carried out the plan, action, observation, and re� ection. Data obtained from the action observation and interview, then analyzed to determine the advantages and disadvantages. Qualitatively, addressing the learning process increased, and quantitatively, addressing the learning outcomes also increased.

Key words: learning speech, modeling methods, mts

Salah satu bentuk keterampilan ber-bicara dalam pembelajaran bahasa adalah berpidato. Keterampilan berbicara mendu-duki peringkat kedua dalam pembelajaran bahasa di sekolah setelah keterampilan mendengarkan. Keterampilan menden-garkan akan menjiwai keterampilan ber-bicara. Berdasarkan pengalaman peneliti bahwa keterampilan berbicara masih men-jadi keterampilan yang kurang diminati oleh siswa, bahkan dengan cara disuruh berbicara saja kadang-kadang siswa masih enggan untuk melakukan. Keterampilan berbicara, khususnya pembelajaran ber-pidato dilaksanakan di kelas IX pada se-mester 2 yang difokuskan pada ketepatan

penggunaan intonasi dan artikulasi serta volume suara yang jelas.

Standar kompetensi pelajaran ba-hasa Indonesia pada keterampilan ber-bicara untuk siswa kelas IX SMP/MTs berdasarkankurikulum berkode 10 yaitu mengemukakan pikiran, perasaan dan informasi dalam pidato dan diskusi. Stan-dar Kompetensi ini dijabarkan ke dalam kompetensi dasar berkode 10.1 berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume su-ara yang jelas. Kompetansi dasar ini difo-kuskan peneliti pada pidato sambutan.

Peran guru sangat penting dalam perkembangan dan kemajuan anak di-

Page 14: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

diknya ketika berpikir dan bertindak pada pembelajaran bahasa, khususnya keteram-pilan berbicara. Dari sinilah guru diha-rapkan dapat memberikan pembelajaran dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan, dan untuk men-capai tujuan tersebut, guru harus pandai memilih metode yang sesuai dengan kebu-tuhan materi dan tingkat perkembangan siswa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kesuksesan belajar tidak bergantung pada intelegensi saja, namun juga bergantung pada bagaimana pendidik menggunakan metode yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Metode yang diper-gunakan peneliti pada pembelajaran ber-pidato dalam penelitian ini adalah metode pemodelan.

Pembelajaran berpidato dengan me-tode pemodelan pada siswa kelas IX-A MTs Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran Malang dilaksanakan dalam dua siklus dan penerapan metode pemodelan da-lam pembelajaran berpidato pada siklus I yaitu: (a) model melatih siswa berpidato secara klasikal tentang aspek intonasi, ar-tikluasi, dan suara/vokal, (b) siswa secara klasikal menirukan model secara bergan-tian dan dilanjutkan performansi siswa di depan kelas dengan pola 3 in 1,sedangkan, penerapan metode pemodelan berpidato pada siklus II yaitu: (a) peneliti menay-angkan tiga model pidato yang diputar secara bergantian, (b) siswa memperhati-kan model pidato dengan tekun, (c) siswa memberikan tanggapan kepada model pidato tentang aspek intonasi, artikulasi, dan suara/vokal. Kegiatan berikutnya ada-lah performansi berpidato di depan kelas secara individual.

Tuntutan terhadap peningkatan ku-alitas pendidikan muncul dengan sangat kuat ketika sistem pendidikan Nasional dengan pencapaian standar kompetensi kelulusan (SKL) yang tiap tahun selalu meningkat. Sesuai paparan pada KTSP yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Islam1 bahwa SKL merupakan kuali� ka-

1 Dirjen Pendidikan Islam. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Jakarta: MEDP, Departemen

si kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini memacu penyelengara pendidikan, baik kepala sekolah, wali kelas, maupun guru bidang studi berusaha dengan sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil belajar.

Di samping itu, agar tidak bermun-culan persepsi bahwa pidato itu sulit sebab diakui atau tidak lebih dari 60 % siswa merasa minder apabila harus berpidato. Fenomena ini sangat memprihatinkan bagi guru bahasa Indonesia. Betapa tidak, keterampilan berbicara adalah bagian dari empat keterampilan berbahasa yang harus diajarkan kepada siswa. Bukan pembela-jaran yang bersifat teori yang harus diku-asai, namun pembelajaran bersifat praktik pun harus dikuasai.

Tujuan penelitian tindakan kelas ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum,tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan kompetensi pembelajaran berpidato siswa di kelas IX dengan metode pemodelan, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah (1) meningkatkan proses pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan di kelas IX-A MTs Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran, dan (2) meningkatkan hasil pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan di kelas IX-A MTs Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran.Di samping itu, penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu mem-berikan kontribusi dalam upaya mening-katkan pembelajaran keterampilan berbi-cara, khusunya pembelajaran berpidato di kelas IX-A MTs Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran, baik secara teori maupun prak-tik yang berlaku bagi siswa, guru, dan sekolah.

Pembelajaran berpidato merupakan pembelajaran berbicara di depan banyak orang, baik formal maupun nonformal. Menurut Keraf2 penyajian lisan kepada suatu kelompok masa merupakan suatu Agama RI

2 Gorys Keraf, Komposisi, (Ende-Flores: Nusa Indah, 1984), hlm.314

Page 15: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

hal yang sangat penting, baik pada waktu sekarang maupun pada waktu-waktu yang akan datang. Mereka yang mahir berbicara dengan mudah dapat menguasai masa, dan berhasil memasarkan gagasan mereka sehingga dapat diterima oleh orang-orang lain.

Menurut Saksomo3 berpidato meru-pakan penampilan diri seseorang di hada-pan pendengar untuk menyampaikan isi hati atau buah pikiran dengan rangkaian kata-kata dengan harapan agar pendengar tergugah hati nuraninya dan tergerak piki-rannya.

Di samping itu, keterampilan berbi-cara memiliki ciri-ciri yaitu (a) berbicara itu memiliki tujuan, (b) berbicara itu ber-sifat interaktif, (c) berbicara itu bersifat sementara, (d) berbicara itu alpa tanda baca, (e) berbicara itu kata-katanya ter-batas, dan (f) berbicara itu terjadi dalam bingkai-bingkai khusus, seperti topik yang dibicarakan, dimana pembicaraan itu berlangsung, dengan siapa berbicara, dan kapan berbicara.

Proses pembelajaran akan lebih be-rarti jika didukung oleh adanya pemode-lan yang dapat ditiru, baik yang bersifat kejiwaan (identi� kasi) maupun yang ber-sifat � sik (imitasi) yang berkaitan dengan cara untuk mengoperasikan sesuatu akti-� tas, cara untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan tertentu. Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, siswa, atau dengan cara mendatang-kan nara sumber dari luar (outsourcing), yang terpenting dapat membantu terhadap ketuntasan dalam belajar (masterylear-ning) sehingga siswa dapat mengalami akselerasi perubahan secara berarti. Model yang digunakan peneliti dalam tindakan siklus I adalah peneliti, sedangan pada tindakan siklus II, model yang digunakan adalah model ceramah agama Islam dalam kegiatan lomba Dai di televisi nasional.

Pembelajaran berpidato dengan me-3 Dwi Saksomo, Berbicara Monologis (Wicara

Individual), (Malang: Universitas Negeri Malang 2009), hlm. 4

tode pemodelan pada penilitian ini meru-juk pada kompetensi dasar berkode 10.1 yaitu berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Jadi indi-kator pencapaiannya meliputi: (1) siswa mampu berpidato/ berceramah/ berkhot-bah dengan intonasi yang tepat, (2) siswa mampu berpidato/ berceramah/ berk-hotbah dengan artikulasi yang tepat, dan (3) siswa mampu berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan volume suara yang jelas. Di samping indikator pencapaian si atas, keterampilan membuka dan menutup pidato serta penyampaian isi pidato secara runtut juga menjadi target pencapaian da-lam pembelajaran ini. Cara membuka dan menutup pidato tersebut bukanlah cara yang mutlak dilaksanakan oleh pembicara, melainkan hal ini dapat berubah-ubah sesuai dengan kemampuan pembicara dalam mengatur strategi membuka dan menutup pidato berdsarkan variasi dan kreativitas.4

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan peneliti yaitu metode penelitian tindakan kelas. Menurut Santoso5, ada empat lang-kah penting dalam penelitian tindakan ke-las, yaitu: perencanaan (plan), pelaksanaan (action), observasi (observation), dan re� eksi (re� ection). Tahap perencanaan, dimulai dengan penyusunan rencana pe-laksanaan pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Tahap pelaksanaan merupakan ta-hap implementasi terhadap perencanaan yang telah disusun dalam tahap perenca-naan sebelumnya.

Pada tahap ini penelitian dilaksana-kan dalam dua siklus. Siklus I dilaksana-kan dalam satu kali pertemuan dengan alokasi waktu 80 menit. Tindakan siklus I diterapkan metode pemodelan deng-an mendengarkan model, setelah siswa

4 Yeti Mulyati, Keterampilan Berbahasa Indone-sia SD. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm. 3

5 Anang Santoso, Reserch Designs In Language Teaching. (Malang: State University Of Malang, 2009), hlm. 44

Page 16: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

mendengarkan dilanjutkan kegiatan me-nirukan model secara klasikal, kemudian dilaksanakan performansi pidato di depan kelas dengan pola 3 in 1. Pola 3 in 1, ar-tinya satu naskah pidato dibacakan oleh tiga orang siswa, hal ini dilakukan untuk meminimalisasi kekurangberanian siswa tampil di depan kelas. Pada waktu siswa tampil dilakukan penilaian oleh siswa lain dengan format penilaian yang terlah dise-diakan peneliti.

Siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan dengan alokasi waktu mas-ing-masing 80 menit. Pada pertemuan 1, siswa mengamati model pidato/ ceramah sebanyak tiga model melalui tayangan LCD proyektor, pengamatan yang dilaku-kan siswa tentang cara membuka pidato/ceramah yang dilakukan oleh model, cara menyampaikan isi pidato, dan cara menu-tup pidato yang dilandasi pada ketepatan intonasi dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Pertemuan 2 siklus II, tindakan yang dilakukan siswa adalah performansi pidato di depan kelas secara individu-al. Pada tindakan ini, siswa yang tampil dilakukan pengamatan oleh lima orang siswa yang telah ditunjuk oleh peniliti dengan format pengamatan yang telah disediakan. Tahap re� eksi, pada tahap ini dilakukan peninjauan kembali terhadap langkah-langkah yang telah direncanakan dan tindakan-tindakan yang terjadi pada waktu pembelajaran. Kelemahan-kelema-han yang terjadi pada waktu perencanaan dan pelaksanaan tindakan menjadi bahan untuk dire� eksi, kemudian hasil re� eksi tersebut dievaluasi untuk menentukan pe-rencanaan selanjutnya.

Pendekatan yang dipakai peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sehingga hasil datanya juga dianalisis secara kualitatif. Akan tetapi, jika data yang dihasilkan berbentuk data kuantitaif, maka akan dianalisis secara kuantitif, sedangkan pendekatan pembe-lajaran berpidato yang digunakan peneliti adalah pendekatan komunikatif. Pendeka-

tan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan padapemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Di dalam konsep pendekatan komunikatif terdapat konsep kompetensi komunikatif yang membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan performansi atau unjuk kerja. Hendak-nya, kompetensi komunikatif dibedakan dengan performansi komunikatif karena performansi komunikatif mengarahke realisasi kompetensi kebahasaan beserta interaksinya dalam pemroduksian secara aktual dengan pemahaman terhadap tu-turan-tuturan.

Data penelitian ini bersumber pada siswa kelas IX-A MTs Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran dengan jumlah siswa 40 orang, 6 siswa laki-laki dan 34 siswa perempuan ditambah guru bahasa Indo-nesia. Data hasil pratindakan, berupa data kuantitatif dan kualitatif, tindakan siklus I berupa data kualitatif, dan tindakan siklus II berupa data kualitatif. Adapun jenis-jenis data yang dimaksud adalah data yang berjenis (a) aspek keterampilan berbicara (intonasi, artikulasi, volume suara, cara membuka dan menutup pidato serta keruntutan isi pidato), (b) proses pembelajaran berpidato (antusiasme, efek-ti� tas, keberanian tampil, keaktifan), (c) re� eksi pembelajaran berpidato (kelema-han-kelemahan pembelajaran berpidato), (d) prosentase keberhasilan setiap aspek 80%. Data tersebut dikumpulkan melalui catatan lapangan, wawancara, dan lembar observasi/pengamatan.

Kriteria keberhasilan tindakan dili-hat dari dua segi, yakni proses dan pro-duk (hasil). Dari segi proses, tindakan dikatakan berhasil jika respons tindakan dalam semua tahapan pembelajaran dilaksanakan oleh sebagian besar atau re-rata respons siswa terteliti minimal 80%. Sementara itu, dilihat dari segi produk (hasil), berhasil jika keterampilan berpi-

Page 17: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

dato seluruh siswa terteliti sekurang-ku-rangnya mencapai skor minimal 70 atau secara klasikal. Kriteria yang dimaksud meliputi ketepatan intonasi dan artikulasi serta volume suara dicapai skor minimal 70 (KKM), sedangkan keaktifan, keantu-asiasan, dan keberanian tampil di depan kelas dicapai 80%.

PEMBAHASAN PROSES DAN HASIL TINDAKAN

Pembahasan pada pembelajaran berpidato berupa: (a) proses pembelaja-ran berpidato, dan (b) hasil pembelajaran berpidato. Keduanya dikemukakan berikut ini.

1) Proses Pembelajaran Berpidato

Kegiatan siklus I dilaksanakan di dalam kelas dengan alokasi waktu 2x40 menit atau 1kali pertemuan. Kegiatan ini dilakukan di kelas IX-A MTs Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran pada tanggal 17 Februari 2012. Kegiatan diawali dengan apersepsi terhadap pembelajaran berpida-to sesuai dengan SK dan KD berupa tanya jawab peneliti-siswa tentang pengalaman siswa dalam berpidato.

Kegiatan ini, peneliti menanyakan apakah pembelajaran berpidato pernah di-laksanakan. Setelah itu, peneliti menggali kelemahan-kelemahan dengan membuat rubrik yang ditulis di papan tulis, kemu-dian siswa mengisi rubrik sesuai dengan pernyataan yang tertera. Aspek intonasi, artikulasi, dan volume suara menjadi acu-an utama sebab ketiga aspek tersebut ter-maktup dalam Kompetensi Dasar berkode 10.1 Berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas.

Kegiatan pembelajaran berpidato da-lam siklus I dilaksanakan dengan teknik 3 in 1, yaitu satu naskah dibacakan oleh tiga siswa dengan pembagian yang ditentukan oleh siswa sendiri. Menurut Hammer, pembelajaran berbicara dengan pola 3 in 1 ini sesuai dengan prinsip-prinsip berbi-cara bahwa pembelajaran berpidato dapat

dilakukan dengan berantai dan saling me-nilai penampilan siswa lain6. Hal ini dapat dipaparkan dengan adanya bentuk pe-nilaian yang dilakukan siswa. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pembelajaran ber-pidato yang dilakukan menganut model “ADIL TAMTAMA” (Amati contoh, Dis-kusikan, Lengkapi dan Latihan, Tampilkan bersama, Tata kembali, Maju lagi untuk di-nilai) Setelah seluruh siswa melaksanakan performansi pidato, ternyata hasil berupa skor dalam pembelajaran berpidato di ke-las IX-A Madrasah Tsanawiyah Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran Malang adalah: (1) 74.3 % aspek intonasi menduduki per-ingkat 1, (2) 61.5 % aspek lafal/artikulasi menduduki peringkat 2, dan (3) 58.9 % as-pek volume suara menduduki peringkat 3. Hasil pembelajaran siklus I tersebut mer-upakan rekapitulasi dari hasil penilaian kuantitaif seluruh siswa. Oleh karena itu, peneliti berupaya memberikan sebuah metode pembelajaran berpidato yang ber-beda dengan biasanya, seperti metode nas-kah, metode impromptu, metode mengha-fal, dan metode esktemporan.

Adapun metode pembelajaran berp-idato yang diterapkan oleh peneliti dalam penlitian tindakan kelas ini, yaitu metode pemodelan. Di mana metode ini jarang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran berpidato. Seperti kegiatan pembelajaran berpidato pada umumnya, metode pemo-delan dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu (1) tahap mendengarkan model berpidato, (2) tahap menganalisis model berpidato, dan (3) tahap latihan berpidato. Setiap tahapan memiliki indikator pencapaian yang berbeda. Pada tahap mendengarkan model berpidato, indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu mengulan-gi model berpidato dari unsur intonasi, artikulasi, dan volume suara. Pada tahap menganalisis model berpidato, indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu mengungkapkan hasil pengamatannya dari kegiatan menganalisis model berpida-

6 Titik Harsiati, Pembelajaran Berbicara dan Pengembangan Alat Penilaian Kompetensi Berbicara. (Jakarta: Tiga A, 2009), hlm .13

Page 18: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

to. Pada tahap latihan berpidato, indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu berlatih secara sungguh-sungguh baik kelompok maupun individu (terutama terkait dengan kelancaran, pemahaman isi pembicaraan, dan volume suara).

Pada siklus I ini dilakukan dalam satu tahapan berpidato, yaitu tahap men-dengarkan model berpidato yang dilanju-tkan kegiatan menirukan model berpidato secara bergantian. Kegiatan menirukan model berpidato difokuskan pada unsur intonasi, artikulasi, dan volume suara. Pada siklus I, tindakan pembelajaran juga dipraktikkan performansi pidato dari seluruh siswa yang hadir, performan yang diterapkan memakai pola 3 in 1.

Proses pembelajaran berpidato pada pertemun 1 siklus 2 berupa data kualitatif. Hal ini sesuai dengan tahapan kedua ber-pidato, yaitu tahap mengalisis model ber-pidato. Pada tahapan menganalisis model pidato ini, siswa diberikan tiga tayangan model ceramah agama Islam yang diambil dari lomba Dai di televisi Nasional. Tayan-gan model ceramah tersebut disesuaikan dengan keberadaan siswa yang belajar di lingkungan madrasah yang notaben pe-lajaran agama sangat diprioritaskan dan apabila dialokasikan waktunya sebanyak 11 jam pelajaran per kelas per minggu. Tujuan pembelajaran tahap kedua ini yaitu siswa mampu menganalisis model cera-mah dilandasi pada unsur intonasi, artiku-lasi, dan volume suara dari model. Prinsip yang diemban pada tindakan pembela-jaran siklus II pertemuan1, yaitu model” ARUVANI” (amati contoh, tirukan, varia-sikan, nilailah penampilanku). Model ini yang akan diterapkan pada pertemuan 2.

Setelah siswa melakukan tindakan analisis model ceramah agama Islam pada pertemuan 1, selanjutnya pengalaman yang diperoleh siswa tersebut diterapkan pada pertemuan 2, yang didasarkan pada tahapan berpidato yang ketiga yaitu tahap latihan berbicara. Seperti yang disampai-

kan oleh Saksomo7 berpidato merupakan penampilan diri seseorang di hadapan pendengar untuk menyampaikan isi hati atau buah pikiran dengan rangkaian ka-ta-kata dengan harapan agar pendengar tergugah hati nuraninya dan tergerak piki-rannya.Tindakan pembelajaran berpidato pertemuan 2 difokuskan pada performansi secara individual dan setiap individu yang tampil diamati oleh pengamat yang telah ditunjuk sebelumnya.

Tindakan pembelajaran berpidato dalam pertemuan 2 mengacu pada prin-sip model ARUVANI, yaitu setelah siswa melakukan pengamatan terhadap contoh model, selanjutnya siswa menirukan seca-ra individual di depan kelas dengan ber-bagai varian pidato sesuai keinginannya kemudian dilakukan penilaian juga secara individual.

Penampilan yang diamati secara utuh, artinya pengamatan dimulai dari cara membuka, cara menyampaikan inti pidato sampai cara menutup pidato yang dilandasi unsur intonasi, artikulasi, dan volume suara.

Menurut Mulyati8 cara membuka dan menutup pidato tersebut bukanlah cara yang mutlak dilaksanakan oleh pem-bicara, melainkan hal ini dapat berubah-ubah sesuai dengan kemampuan pembi-cara dalam mengatur strategi membuka dan menutup pidato berdasarkan variasi dan kreativitas. Variasi dan kreativitas yang muncul pada pembelajaran berpida-to pertemuan 2 siklus II, yaitu ada tiga va-rian cara membuka pidato yang dilakukan siswa, diantaranya: (1) menyapa penden-gar kemudian mengucapkan salam, (2) mengucapkan salam kemudian menyapa pendengar, dan (3) menyapa pendengar kemudian mengucapkan salam yang di-barengi pembukaan dengan bahasa Ara-b,sedangkan, cara menutup juga ada tiga varian, diantaranya: (1) menutup dengan mengucapkan “Akhir kata...”, (2) menutup dengan mengucapkan “Akhirul kalam...”,

7 Dwi Saksomo, Berbicara ...., hlm. 538 Yeti Mulyati, Keterampilan ..., hlm. 19

Page 19: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

dan (3) menutup dengan mengucapkan “Akhirnya...”.

Untuk cara menyampaikan inti pidato tidak terdapat varian, artinya ma-teri yang disampaikan oleh pembicara rata-rata disampaikan secara sistematis. Materi pidato tersebut disampaikan se-cara berurutan mulai dari pendahuluan, isi pidato sampai kesimpulan isi pidato. Menurut Mulyati9 bahwa pidato yang disusun dengan baik dan tertib akan menarik dan membangkitkan minat pen-dengar, selain itu penyajian pesan dengan jelas akan mempermudah pemahaman, mempertegas gagasan pokok, dan menun-jukkan perkembangan pokok pikiran yang logis. Hal senada juga disampaikan oleh Keraf10 bahwa teknik susunan ini sebe-narnya mencoba untuk memanfaatkan kecenderungan alamiah yang ada pada setiap manusia, bahwa apa yang dikatakan pertama kali akan menggugah hati setiap orang, dan apa yang diucapkan terakhir akan lebih berkesan daripada bagian-bagi-an lainnya.

2) Hasil Pembelajaran BerpidatoHasil pembelajaran berpidato sam-

butan siklus I, secara kuantitatif diperoleh hasil dari pembelajaran berpidato, yaitu: (a) siswa yang memperoleh skor 70 untuk aspek volume suara sebanyak 23 anak atau sekitar 58.9%, (b) siswa yang memperoleh skor 70 untuk unsur intonasi sebanyak 29 anak atau sekitar 71,8 %, dan (c) siswa yang memperoleh skor 70 untuk unsur artikulasi sebanyak 26 anak atau sekitar 61.5 %. Jadi, unsur intonasi siswa dalam berpidato mencapai ketuntasan dan unsur artikulasi dan volume suara siswa dalam berpidato belum mencapai ketuntasan yang dipatok madrasah yaitu 70. Akan tetapi, jika dibandingkan antara hasil tin-dakan siklus I dengan pratindakan, maka hasilnya mengalami peningkatan.

Hasil pada siklus I menunjukkan bahwa aspek keberanian tampil dicapai 100%, hal ini dimungkinkan karena siswa

9 Ibid, hlm. 17 10 Gorys Keraf, Komposisi..., hlm. 332

tidak tampil secara individu, tetapi tampil menggunakan pola 3 in 1. Walaupun wak-tu pembelajaran yang disediakan cukup e� sien pada siklus I, tetapi dari segi hasil pembelajaran kurang maksimal.

Hasil analisis dan re� eksi pada sik-lus I memacu peneliti untuk melakukan tindakan selanjutnya, walaupun hasilnya mengalami peningkatan, akan tetapi un-tuk mencapai standar kompetensi yang di-harapkan, peneliti merencakanan kegiatan pembelajaran berpidato yang dilakasana-kan dalam dua kali pertemuan, kegiatan pembelajaran ini ditempat dalam siklus II. Tindakan penelitian siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan.

Pada siklus II pertemuan I ini diawali dengan kegiatan, yaitu menyampaikan tujuan pembelajaran yang dilanjutkan dengan apersepsi terhadap pembelajaran berpidato. Kemudian dipersiapakan media pembelajaran yang relevan berupa penay-angan model ceramah agama Islam yang diambil dari kegiatan lomba Dai di televisi Nasional sebanyak tiga model ceramah. Tiga model ceramah agama Islam tersebut ditayangkan secara bergantian, dan ma-sing-masing model dilakukan pengamatan tentang intonasi, artikulasi, dan volume suara yang disampaikan oleh model dalam kaitannya dengan cara model membuka, cara model menyampaikan inti, dan cara model menutup orasinya. Pengamatan ini dilakukan oleh siswa secara langsung ter-hadap model ceramah. Model 1 menyam-paikan orasinya selama 3 menit 33 detik dengan tema “Kemiskinan”, model 2 me-nyampaikan orasinya selama 3 menit 29 detik dengan tema “Peminta-minta”, dan model 3 menyampaikan orasinya selama 4 menit 33 detik dengan tema “Keutamaan Bersekah”. Hasil pengamatan yang dilaku-kan siswa menunjukkan bahwa: (1) model 1 memiliki kelemahan dari segi artikulasi dan suara, tetapi kelebihan dari segi into-nasi dan penampilan, (2) model 2 kurang dalam segi intonasi dan penampilan, tetapi dari segi artikulasi dan suara cukup

Page 20: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

jelas,dan (3) model 3 kurang dari segi ar-tikulasi, tetapi ldalam hal suara, intonasi, dan penampilan sangat jelas. Variasi cara membuka, cara menyampaikan inti, dan cara menutup orasinya memberikan kesan yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa berorasi di depan orang memerlukan teknik dan gaya yang dapat memikat hati pendengarnya. Hal senada juga disampai-kan oleh Mulyati11 dalam membuka pida-to, kita tinggal memilih satu di antara ca-ra-cara pedoman membuka pidato sesuai dengan jumlah waktu yang tersedia, topik, tujuan, situasi, dan pendengar itu sendiri.

PENINGKATAN PEMBELAJARAN BERPIDATO

Bentuk peningkatan pembelajaran berpidato sambutan meliputi: (a) pening-katan proses pembelajaran berpidato sam-butan, dan (b) peningkatan hasil pembela-jaran berpidato sambutan.

1) Proses Pembelajaran Berpidato

Proses peningkatan antara siklus I dengan siklus II terjadi, jika pada tindakan siklus I dilakukan penilaian berupa data kuantitatif seperti paparan di atas, maka pada tindakan siklus II ini ditingkatan pada kegiatan pengamatan bukan penelian sehingga data yang diperoleh adalah data kualitatif. Data kualitatif sangat sulit untuk diubah menjadi data kuantitatif, sebab ke-duanya memiliki perbedaan dalam meng-analisisnya. Pengamatan dilakukan pada setiap individu yang berpidato dan peneli-ti telah menunjuk lima siswa untuk men-jadi pengamat. Jadi, bentuk peningkatan pada hasil tindakan siklus I adalah kegia-tan menilai penampilan berpidato setiap individu, dan pada siklus II ditingkatkan menjadi kegiatan mengamati performansi berpidato setiap individu.

Pada umumnya, Penelitian Tindakan Kelas merupakan tindakan yang meng-utamakan proses daripada hasil, sebab proses yang baik, tindakan yang baik pula akan mendapatkan hasil yang baik pula.

11 Yeti Mulyati, Keterampilan Berbahasa Indone-sia SD. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), Hlm. 319.

Akan tetapi, tindakan yang dilakukan ter-sebut tidak cukup dilakukan dalam satu kali pertemuan. Seperti penelitian tinda-kan kelas yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang pernah peneliti baca, ada yang melaksanakan siklus I dalam dua kali pertemuan bahkan sampai tiga kali pertemuan. Hal ini menunjukkan bahwa Penelitian Tindakan Kelas ini membutuh-kan waktu yang cukup, dikatakan cukup apabila data yang diinginkan semuanya diperoleh untuk dijadikan pembahasan yang diakhiri dengan kesimpulan hasil pembahasan tersebut.

2) Hasil Pembelajaran Berpidato

Peningkatan merupakan bentuk perubahan hasil tindakan dapat beru-pa angka-angka atau berupa tanggapan dari pengamat. Pada penelitian tindakan kelas yang difokuskan dalam kurikulum madrasah merujuk pada kompetensi dasar berkode 10.1 berpidato/berceramah/berk-hotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Penerapan pembelajaran berpidato di ke-las IX-A semester dua MTs Mi ahul Ulum Kanigoro Pagelaran Malang ini menggu-nakan metode pemodelan.

Bentuk peningkatan pembelajaran berpidato yang telah dilaksanakan peneliti mulai dari pratindakan, tindakan siklus I, sampai tindakan siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan mengalami penin-gkatan untuk aspek intonasi pratindakan 2,5% menjadi 74,3 % siklus I meningkat 71,8% %, aspek artikulasi pratindakan 33,3% menjadi 61,5 % siklus I meningkat 28,2%, dan aspek volume suara pratin-dakan 58,9% menjadi 58,9 % tidak me-ningkat. Jadi, bentuk peningkatan dari pratindakan ke tindakan siklus I berupa skor hasil pembelajaran berpidato. Bentuk peningkatan dari siklus I ke siklus II untuk intonasi meningkat sebesar 5,1%, artiku-lasi meningkat sebesar 9,9%, dan volume suara meningkat sebesar 10,3%.

Page 21: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

SIMPULANBerdasarkan hasil temuan dan pem-

bahasan dapat disimpulkanberupa (a) pro-ses pembelajaran berpidato, dan (b) hasil pembelajaran berpidato. Kedua bentuk simpulan tersebut dikemukakan berikut ini.

1) Proses Pembelajaran berpidatoSecara kualitatif siklus II tepatnya

pada pertemuan II diperoleh hasil bahwa: (a) tema pidato yang diorasikan siswa bersifat keagmaan, (b) terdapat tiga va-rian cara membuka dan menutup pidato, dan (c) penyampaian inti pidato secara sistematis, (3) Adanya peningkatan dalam pembelajaran berpidato, pada pratindakan sampai dengan siklus I, yaitu meningkat 71,8 % untuk aspek intonasi, meningkat 28,2 % untuk aspek artikulasi, sedangkan, antara siklus I dengan siklus II, diperoleh peningkatan yaitu, jika pada siklus I siswa dapat menilai kemampuan berpidato den-gan siswa lain, maka pada siklus II siswa ditingkatkan siswa dapat mengamati pe-nampilan berpidato terhadap siswa lain.

2) Hasil Pembelajaran BerpidatoHasil pembelajaran berpidato den-

gan metode pemodelan, pada siklus I diperoleh data kualitatif dan kuantitatif serta siklus II juga diperoleh data kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif hasil tindakan siklus I diperoleh ketuntasan (a) aspek intonasi 74,3 % siklus I, (b) aspek artikulasi 61,5 % siklus I, dan (c) aspek vo-lume suara 58,9 %, sedangkan secara kua-litatif keantusiasan, keaktifan, dan kebera-nian tampil di depan kelas dicapai 85%.

Hal yang belum berhasil diatasi pada penelitian ini adalah e� siensi waktu sam-pai siklus II kekurangan waktu sekitar 30 menit. Dengan kata lain, penggunaan metode pemodelan pada pembelajaran berpidato memerlukan waktu yang lebih panjang daripada alokasi yang disediakan.

Dalam pembelajaran kemampuan berbahasa tepatnya standar kompetensi berbicara, khususnya Kompetensi Dasar

berkode 10.1 berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas, agar metode yang digunakan lebih variatif. Di samping itu, penggunaan sam-pel kelas VII atau VIII sebab keduanya memiliki waktu yang relatif panjang.

Bagi madrasah, hendaknya memberi-kan sarana dan prasarana yang dapat dite-rapkan untuk meningkatkan pembelajaran berpidato, agar siswa merasa senang untuk belajar dan termotivasi sehingga hasil pembelajaran berpidato mampu mencapai standar ketuntasan yang ditentukan oleh madrasah.

Dalam proses pembelajaran berbi-cara, khususnya berpidato, disarankan mengikuti proses dan tindakan yang telah dirumuskan sebelumnya, dan siswa jangan merasa terbebani serta anggaplah kegiatan ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar di kemudian hari dan memanfa-atkan kesempatan yang baik ini dengan ikhlas dan bertanggung jawab. []

Page 22: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Pendidikan Islam (2008). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: MEDP, Departemen Agama RI.

Harsiati, Titik (2009). Pembelajaran Berbicara dan Pengembangan Alat Penilaian Kompetensi Berbicara, Jakarta: Tiga A

Keraf, Gorys (1984). Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah

Mulyati, Yeti (2007). Keterampilan Berbahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka

Saksomo, Dwi (2009). Berbicara Monologis (Wicara Individual). Malang: Universitas Negeri Malang

Santoso, Anang (2009). Reserch Designs In Language Teaching. Malang: State University Of Malang

Page 23: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

MAKNA DALAM DEIKSISTINJAUAN SEMANTIK­PRAGMATIK DAN 

Oleh : Muhammad Madarik Yahya(STAI Al­Qolam Gondanglegi Malang)

Comprehending a utterance is an urgency, textually and contextually, because the communication message has to be understood in holistic way; the words and the meanings in order to deliver the precise purpose. In fact, the message of communication process must be wholly interpretable either in the structure and the meaning for the sake of delivering the message to the receivers. Nevertheless, merely tracing the meaning through semiotic and syntactic isn’t enough without expanding the eff ort to semantic, pragmatic studies. In Arabic studies context, Arabic grammatical and morphology should be followed by ma’ani. Deiksis phenomenon One thing in the structure of languages that require analysis beyond the context of linguistic form is deiksis phenomenon. Understanding reference in the approach of grammatical deiksis elements (features) from the context of utterance or speech events is an inevitable step. Hence, the acquisition of deiksis chorus is very dependent on the skill and the sensitivity of someone in capturing context surrounding the spoken utterance. At this level, semantic-pragmatic study or Ma’ani (Arabic) in the context of the exploration of meaning in deiksis is a part that should not be underestimated

Keywords: meaning, semantic-pragmatic, ma’ani, deiksis.

Page 24: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

PENDAHULUAN

Dalam konteks kebudayaan ataupun peradaban, paradigma perkembangan bahasa justru dapat menjadi indikasi, se-jauh mana kebudayaan atau peradaban – secara posivistik – lebih maju atau lebih berkembang dari sebelumnya. Istilah-is-tilah baru yang muncul, atau revitalisasi makna kosa kata lama, ataupun suatu kata yang memperoleh makna baru, dapat menjadi tolak ukur tingkat penemuan dan eksplorasi pemikiran masyarakatnya sendiri.1 Wajar saja bila kemudian kajian terhadap dinamika linguistik, baik men-yangkut istilah-istilah, maupun kosa kata,2 berkembang yang sepadan dengan pu-taran perkembangan hampir semua ilmu yang kian melaju.

Kajian-kajian terhadap bahasa, de-ngan segala macam ragam dan bentuknya, merupakan tradisi yang oleh Chaedar3 dianggap sebagai hal yang selalu mena- rik, selalu memberikan nuansa-nuansa pemikiran dan interpretasi baru, yang lebih pas, segar dan mengena (baik se-cara tekstual ataupun kontekstual) serta membuka kemungkinan terhadap kajian interdisipliner dengan bidang-bidang ilmu yang lain.

Studi bahasa dari sisi makna me-mang tidak pernah terlepas dari konteks peristiwa ujaran yang terjadi. Olehnya, sangat maklum terdapat beragam fungsi bahasa, seperti diuraikan oleh Hermawan4, diantaranya: (1) bahasa sebagai alat ber-� kir. Gagasan dan ide tentu hanya mer-upakan angan belaka sebelum tertuangkan dalam kata. Ketika ide atau gagasan terse-but hendak diwujudkan dalam kongkrit

1 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an; Pen-gantar Orientasi Studi al-Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 7.

2 Penyebutan “istilah” dan “kosa kata” tidak saja teringkas pada studi linguistik dalam skala dunia sains-ilmiah belaka, tetapi melebar pada ranah penggu-naan bahasa sehari-hari masyarakat dalam altar budaya lokal. Tentu saja seluruh kegiatan eksploratif kebahasaan bermuara pada sebuah aktifitas yang bersifat ilmiah yang dapat dipertanggungjawakan.

3 lihat Chaerdar Alwasilah, pengantar buku Acep Hermawan: Metodolgi Pembelajaran Bahasa Arab, ctk. II (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. viii.

4 Acep Hermawan, Metodolgi Pembelajaran,,,, hlm. 22-24.

dan nyata, maka yang dapat mewakili perwujudan itu adalah bahasa, (2) bahasa alat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Oleh karena semua jenjang sosial dan macam kondisi, manusia memiliki segala bentuk kebutuhan dasar, maka pintu yang bisa menjembatani terciptanya seluruh aspek kebutuhan itu menjadi menganga, (3) bahasa sebagai alat berekspresi. Selain sebagai wadah ekspresi segala rasa dan emosi seseorang, bahasa juga berfungsi sebagai saluran untuk memahami dan mengerti harapan-harapan, (4) bahasa menjadi salah satu simbol agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesan-pesan Tu-han disampaikan melalui bahasa, dan (5) bahasa sebagai alat pemersatu. Pada skala makro dalam banyak kenyataan, bahasa merupakan perantara persatuan.

Sementara Ali Maschan Moesa5 menambahkan bahwa tokoh-tokoh mempergunakan bahasa bukan saja un-tuk menyatakan pendapat atau pikiran, melainkan juga menyembunyikannya. Ia harus menyembunyikan pikiran yang ada di benak, karena dibalik pikiran tersebut terdapat kepentingan yang harus diper-tahankan. Kepentingan-kepentingan ini tidak hanya bersifat nasional, tetapi mun-gkin pula menyangkut suatu golongan atau kelompok masyarakat (partai, pres-sure group, kelompok pengusaha, buruh, petani, militer, agama, dan sebagainya), dan bahkan terkadang berkaitan dengan kepentingan pribadi. Untuk usaha-usa-ha menyelubungi berbagai kepentingan tersebut dalam forum politik, haruslah mempergunakan bahasa. Bahasa dipergu-nakan untuk ceramah, keputusan, resolusi, pernyataan, dan sebagainya.

Semua uraian di atas menjelaskan kepada kita betapa pentingnya peran bahasa dalam kehidupan masyarakat. Bahasa sebagai penentu pergaulan kita dalam masyarakat. Dengan bahasa, kita bisa menyelesaikan kon� ik-kon� ik dalama

5 Ali Maschan Moesa, NU, Agama dan De-mokrasi, Komitmen Muslim Tradisionalis Terhadap Nilai-nilai Kebangsaan (Pustaka Dai Muda bekerjasama Pustaka Putra, 2002), hlm. 240.

Page 25: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

masyarakat, akan tetapi dengan bahasa pula kita dapat menimbulkan kon� ik.6

Dalam tataran kiprah pribadi di da-lam ranah publik, bahasa memiliki fungsi yang tak ternilai. Hampir seluruh kegiatan yang terselenggara selalu beriringan den-gan fungsi-fungsi bahasa. Sejak awal, ke-munculan bahasa segaris dengan lahirnya budaya manusia itu sendiri dengan peran dasarnya sebagai sarana komunikasi antar sesama. Kalaupun fungsi bahasa hanya be-rada pada kisaran dangkal dan sederhana, tetapi wujudnya begitu sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan. Namun sejalan dengan perkembangan kemajuan peradaban manusia, bahasa kemudian betul-betul menjelma sebagai salah satu penentu arah kehidupan. Sesuai dengan fungsinya, bahasa telah dipergunakan un-tuk berbagai kepentingan, mulai dari yang bersifat individu, sampai kepada hal yang bersifat kolektif.

Seberapapun tingkat keberperanan bahasa dalam laju dinamika kehidupan, pasti tidak terkelupas dari makna yang ter-pendam di dalamnya. Penguasaan bahasa bukan saja ditandai dengan kesanggupan mengorganisir makna melalui pendekatan makna leksikal belaka, melainkan mem-pergunakan kajian semantik-pragmatik merupakan keharusan. Memang diakui, butir leksikal (lexical item) merupakan makna yang secara otomatis (inheren) ada di dalam butir leksikal itu. Tetapi, dewa-sa ini kajian semantik banyak dilakukan orang karena sadar bahwa kajian bahasa tanpa mengkaji maknanya adalah sangat “sumbang” sebab pada hakikatnya orang berbahasa untuk menyampaikan kon-sep-konsep atau makna-makna. Berbaha-sa tanpa memperdulikan makna adalah sangat di luar nalar akal sehat.7 Dengan demikian, pencarian makna dalam setiap ujaran sesuatu yang niscaya guna dapat memahami konsep, pemikiran, ide, emosi,

6 Kata yang diucapkan oleh Penggabean; 1981. Lihat dalam Ali Maschan Moesa, NU, Agama dan De-mokrasi,,, hlm. 240.

7 Lihat dalam Abdul Chaer, Kajian Makna Baha-sa (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 68.

harapan, atau bahkan menemukan abstrak ekspresi dan karakter diri penutur pada setiap peristiwa dan konteks tuturan se-cara sistematis, logis, dan runtut.

Makna, sebagai penghubung ba-hasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan dan kesepemahaman pe-makai bahasa itu sendiri, digambarkan oleh Samsuri,8 seperti garis hubungan:

Sejalan dengan diagram ini, makna diposisikan berada dalam tiga tingkat: Per-tama, makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar. Kedua, makna menjadi isi dari bentuk kebahasaan. Ketiga, mak-na menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.9

Urgensitas makna semakin dirasakan oleh banyak linguistik, meskipun per-soalan makna merupakan perkara yang tergolong rumit dalam ranah bahasa. Hal ini, seperti ditegaskan oleh Chaer,10 dise-babkan karena hal ihwal makna sebuah ujaran bukan saja persoalan “dalam-baha-sa”, melainkan juga menyangkut persoalan “luar-bahasa”. Faktor-faktor “luar-bahasa” seperti masalah agama, pandangan hidup, budaya, norma, dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat turut menjadikan per-soalan semantik kian ruwet.

Dalam konteks pencarian makna ini, makalah singkat ini mencoba mengek-splorasi makna-makna di balik deiksis dengan segala konsekuensi sejuta prob-lematika yang akan dijumpai. Kajian kali ini menggunakan pisau semantik-prag-matik dan ma’ani sebagai pembedahnya. Walaupun demikian, kajian ini tentu saja tidak serta merta meninggalkan sintaksis, meskipun tidak secara mendalam dik-upas, hanya sebatas bersinggungan. Se-bab, menurut Lyons,11 kajian kebahasaan

8 Lihat dalam Aminuddin, Semantik, Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 07.

9 Ibid., hlm. 07.10 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa In-

donesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. V.11 Aminuddin, Semantik,,, hlm. 37.

Page 26: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem: (1) sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lam-bang (sign) serta bentuk hubungannya, (2) semantik, yakni unsur yang berkaitan den-gan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, serta (3) pragmatik, yaitu unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.

PENDEKATAN SEMANTIK-PRAGMATIK

Semantik mengkaji tentang makna, baik makna kata (semantik leksikal), mak-na frasa (semantik frasa), atau kalimat (se-mantik sintaksis).12 Tetapi ruang lingkup pragmatik, sebagaimana Stephen Levinson merumuskan: “Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in semantic theory”. (Pragmatik ialah kajian tentang segala aspek makna yang tak bisa dicakup dalam teori semantik).13 Namun seperti diingatkan kembali oleh Sumarso-no bahwa semantik yang dimaksud di sini ialah semantik sintaksis, yaitu semantik yang mengkaji makna frasa, klausa atau susunan kalimat.

Dalam gambaran yang lebih jelas dapat diabstraksikan dengan sebuah misal yang hanya mengubah bentuk kata (kali-mat, paragraf, frasa): “Kamu sakit, kena-pa?”, “mengapa kamu sakit?”, “apa sebab Anda sakit?” atau “Anda sakit, apa sebab-nya?”. Pada ungkapan-ungkapan tersebut, dalam aspek semantik, dipandang sama maknanya. Semantik hanya bertindak pada kajian taraf kalimat-kalimat yang diungkap belaka tanpa membahas soal kalimat yang diujarkan lebih dalam lagi.14 Wilayah pembahasan semantik tentu terbatas pada makna ujaran itu dan tidak memperhatikan kaitan yang melingkupi pokok pembicaraan, seperti siapa, kepada dan untuk apa ujaran tersebut diutarakan.

12 Sumarsono, Pragmatik; Buku Ajar (Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2010), hlm 15.

13 Ibid., hlm 23.14 Ibid., hlm. 25.

Lain halnya dengan pragmatik yang memandang kalimat sekaligus konteks yang melingkari pembicaraan. Perubah-an bentuk kata (kalimat, paragraf, frasa) sebagaimana dalam contoh diatas, pasti tidak terlepas dari pengaruh lingkaran penutur, mitra tutur, status keduanya, masa dan waktu kala ungkapan itu diucap-kan.15 Penggunaan kata “Kamu”, dan kata “Anda” pada kalimat diatas sangat ber-kaitan dengan konteks penutur dan mitra tutur yang melahirkan makna yang juga berbeda sesuai maksud kata-kata tersebut diucapkan.

Secara umum, semantik yang se- mula berasal bahasa Yunani, mengandung makna “memaknai” (to signify). Sebagai istilah teknis, smantik mengandung pen-gertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik.16 Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tan-da linguistik dengan hal-hal yang ditandai. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisa baha-sa: fonologi, gramatika, dan semantik.17 Kendatipun dewasa ini kajian semantik mulai menyebar kepada seluruh aspek makna, seperti ditegaskan Chaer ,18 yang di mulai semenjak Chomsky melontarkan gagasannya dalam Aspect of the eory of Syntax di mana persoalan yang berhubun-gan dengan makna mulai dilirik dan ti-dak “ditelantarkan” lagi. Memang diakui bahwa makna merupakan objek dalam semantik yang terbilang sulit diamati atau paling tidak memiliki tingkat problema-tika yang cukup tinggi untuk diobservsi dalam tataran empiris. Bagi para linguis,

15 Ibid. 16 Aminuddin, Semantik,,, hlm. 15. 17 Abdul Chaer, Pengantar Semantik,,, hlm. 2.18 Ibid, hlm. 67.

Page 27: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

berbeda dengan kajian fonologi, morfologi atau sintaksis dapat diraba secara nyata. Tetapi kesadaran bahwa kajian bahasa tanpa menyentuh makna adalah penda-laman yang dirasa sangat “miris” telah mendorong para linguis untuk sedapat mungkin memperluas kajian soal bahasa pada aspek makna.

Sementara itu, pragmatik berawal dari kajian Charles Morris19 yang mengacu kepada � losof pendahulunya, Jhon Locke dan Charles Peirce. Pragmatik mempela-jari hubungan antara tanda (kata, frasa, kalimat) dengan penggunaannya, yaitu ketika tanda-tanda itu digunakan oleh pe-nutur. Pragmatik mengkaji bahasa dalam bentuk tutur atau ujaran, tidak saja seke-dar studi sintaktik, melainkan upaya pe-nelusuran “makna” ujaran dalam hubun-gannya dengan konteks ketika kalimat tadi diujarkan. Jika dari sisi sintaktis, maka analisa terhadap tanda dalam ujaran hanya berkisar pada; (1) subjek, (2) predikat, dan (3) objek. Contoh; Mahasiswa kami tidak pernah membaca koran, secara gamblang dapat digambarkan:

Mahasiswa kami tidak pernah membaca koran

subjek predikat objek

Tetapi dalam analisa pragmatik mencakupi hubungan kata dengan peng-gunaan kata tersebut. Oleh karenanya, ragam tanda (sign) atau lambang (symbol) meliputi lambang yang terdiri dari bahasa (linguistik) dan tanda diluar bahasa (non-linguistik). Keragaman inilah bagian dari obyek analisa pragmatik, sehingga pemak-naan betul-betul terasa komprehensip. Ka-jian pragmatik pada pembacaan tuturan di atas selalu memperhatikan konteks peristi-wa di mana ujaran itu diutarakan. Kalimat tersebut perlu ditelusuri dari situasi yang melingkupi, seperti contoh:

Wartawan : Betulkah budaya memba-ca mahasiswa sulit? Dosen : Betul. Apalagi buku ilmiah.Wartawan : Maksud Bapak?19 Lihat kembali dalam Sumarsono, Pragmatik,,,

hlm. 2.

Dosen : Mahasiswa kami tidak per-nah membaca koran.

Ungkapan ini bisa memiliki ke-mungkinan makna beragam, salah satu pemaknaan yang dapat dipetik ujaran itu berkonotasi “keluhan”.

Senada dengan contoh di atas, se-buah ungkapan dapat dijadikan misal:

هل �یك نقود؟Apakah kamu punya uang?Ucapan ini secara tekstual bermakna

sebagaimana terjemahan diatas. Tetapi dalam situasi dan konteks tertentu, ujaran tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan seperti berikut:

�قرضين بعض النقود!Tolong pinjami saya uang !

Bagaimanapun ungkapan yang disajikan oleh penutur, mesti harus di-lihat secara komprehensif konteks yang melingkupinya, baik konteks linguistik (linguistic context), konteks situasi (con-text of situation), maupun konteks budaya (context of cultural) untuk kemudian bisa diperoleh makna yang diinginkan.20 Oleh karenanya, persoalan makna dalam se-buah tuturan menjadi sangat urgen sekali, sebab maksud dan tujuan penutur sejat-inya terselip di balik ujaran-ujaran itu. Di sinilah peran pragmatik dapat dirasakan dalam linguistik sebagai pisau pembedah pembongkaran suatu makna ujaran yang semestinya tidak terjangkau oleh studi semantik.

Dalam proses penggalian makna, pertama-tama yang perlu dilakukan anal-isis pada sintaksis, terutama secara sintag-matik. Dengan analisis ini akan teridenti-� kasi dan terpilah satuan-satuan lingual, seperti kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dari tahap ini kemudian berlanjut pada proses analisis semantik yang pada giliran-nya akan ditentukan makna satuan-sat-uan tadi. Pada setiap tahapan tentu saja

20 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan, Arab Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 104.

Page 28: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

penggunaan nalar ketika memahami teks bahasa sangat diperlukan dengan menelu-suri seluruh aspek yang bersifat semiotik. Kemudian setelah itu, analisis pragmatis untuk mendalami makna dan maksud se-buah teks yang terkandung dalam bahasa dengan memperhatikan segala konteks yang meliputinya ujaran menjadi kenis-cayaan yang tidak bisa dielakkan. Pada sisi ini, karena kegiatan pemaknaan mer-upakan akti� tas yang bersifat mentalistik, proses dan tahapan harus terpatri dalam minda seseorang untuk sebisa mungkin punya perhatian yang tinggi terhadap kon-teks budaya, konteks sosial, interpretasi terhadap makna dan padanan.21

Pada pambacaan teks dalam bahasa diposisikan sebagai wacana yang menis-cayakan adanya struktur dan tekstur ter-tentu yang memungkinkan sebuah kondisi wacana dilingkari oleh koherensi apapun, termasuk dari pengaruh konteks situasin-ya. Analisa teks bahasa melalui identi� kasi kata, frasa atau klausa menjadi langkah awal sebelum betul-betul memperhatikan konteks budaya dan sosial. Langkah ini tidak boleh tidak memang menuntut kepi-awaian seseorang melakukan pengungka-pan arti teks bahasa dalam sisi gramatikal dengan selalu awas dan penuh pertimban-gan terhadap konteks budaya dan sosial.

PENDEKATAN MA’ĀNI Pembahasan makna pragmatik da-

lam bahasa Arab menjadi bagian dari kajian ilmu ma’āni.22 Sebagaimana diulas oleh Al-Hasyimi,23 ilmu ma’āni adalah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang

21 Ibid., hlm. 104.22 Lihat kembali dalam Zaka Al Farisi, Pedoman

Penerjamahan,,, hlm. 104. Sebenarnya dalam kata yang lebih bersifat lugas, kajian pragmatik dalam bahasa Arab tidak saja fokus studi ma’āni, tetapi merupakan salah satu bagian dari kajian ilmu badi’. Sebab persoalan deiksis den-gan sekian obyek sintagmatik bertebaran diseluruh pem-bahasan ilmu balaghah. Sebagaimana dimaklumi, secara umum ilmu balaghah memuat tiga komponen uraian: (1) ilmu ma’ ni, (2) ilmu bay n, dan (2) Ilmu bad ’. Belum lagi, ilmu balaghah dilengkapi dengan penjelasan-pen-jelasan yang meng-cover standarisasi ucapan (fash hah al-kalimah, fash hah al-kal m, al-‘uy b) yang menggam-barkan kajian menyeluruh; gramatika Arab (nahw), mor-fologi (sharf), dan semantik (dil lah).

23 Ahmad Al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’āni wa al-Bayan wa al-Badi’ (Surabaya: Al-Hidayah, 1960), hlm. 46.

digunakan untuk mengetahui cara agar suatu tuturan sesuai dengan tuntutan situ-asi dan kondisi, sehingga ujaran itu sejalan dengan maksud yang tersirat. Dalam rang-kaian sejarahnya, ilmu ma’āni dikembang-kan oleh Abd al-Qahir al-Jurjani.24 Pada perkembangan berikutnya, obyek kajian dan kaidah-kaidah yang berlaku pada ilmu ma’āni hampir sama dengan gramati-ka Arab (nahw). Perbedaan keduanya ter-letak pada wilayah garapan kajian pamak-naannya; ilmu nahw lebih bersifat mandiri pada gramatikal (murād), sedangkan ilmu ma’āni mengarah pada pemaknaan yang bersifat terpengaruh oleh faktor luar kata, frasa, klausa (tark b ).

Terkait dengan persoalan upaya menghadirkan makna dalam segala aspek linguistiknya, Hassan25 mengklasi� kasi makna ke dalam dua kategori, yaitu (1) al-ma’nā al-maqāli “makna tekstual”; se-buah makna yang hubungannya berkaitan fungsional dan leksikal, dan (2) al-ma’nā al-maqāmi “makna kontekstual”; suatu makna yang berkenaan dengan language in use atau performansi tuturan dengan aneka situasi yang ada dibelakangnya.

Berpola tidak jauh berbeda dengan pragmatik, kajian ilmu ma’āni memuat hal-hal yang berhubungan dengan situasi dan karakteristik penyampaian tuturan. Fokus kajian soal makna mengacu pada kondisi dan konteks. Contohnya:

�هذا ا�ي مدح�ه كثرياApakah ini yang sering kau puji-puji

itu?

Dalam kajian ma’āni, kalimat tersebut dikelompokkan sebagai contoh dengan konteks tahq r (meremehkan)26. Oleh sebab itu, terjamahan itu kurang menge-na apabila dikaitkan dengan situasi yang

24 Sumber: http://riungsastra.wordpress.com/pengertian-ilmu-maani. (kala akses, 1 April 2014)

25 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 106.

26 Lihat dalam Ahmad Al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah,,, hlm. 93. Pada asalnya alf zh al-istifh m bermakna thalab al-‘ilm bi majh l . Tetapi dalam arti lain, kalimat tanya memiki makna beragam. salah satu dian-taranya adalah al-tahq r.

Page 29: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

melatarinya, karena pada misal itu nuansa “meremehkan” belum terasa menggigit da-lam minda penutur dan mitra tutur. Pada titik ini, makna yang betul-betul bersesuai dengan bentuk dan diksi yang tepat agar makna dikehendaki bisa ditemukan, mis-alnya diterjamah: Kayak begini yang sering kau puja-puja itu?

Penggunaan frasa ‘kayak begini’ dalam contoh di atas sepertinya mampu menghadirkan nuansa “meremehkan” se-bagaimana yang diharapkan dalam bahasa aslinya.

Kendatipun ilmu ma’āni menelisik makna dengan segenap aspek sudut pan-dang dan tolok ukurnya, ternyata tidak seluruh proses pemaknaan harus meng-gunakan ilmu ma’āni sebagai pendekatan memperoleh hasil makna yang berterima. Ada banyak fakta kalimat, frasa, klausa atau kata dalam cara pemaknaan tidak ha-rus melalui pendekatan pragmatik, meski-pun hal itu terdapat pada bingkai ilmu ma’āni. Contoh:

ومن �ب ومعل صاحلاBarang siapa yang bertobat dan

mengerjakan kebaikan.

اتبعوين حيببمك هللاIkutilah aku, niscaya Allah mencintai

kalian.

Kedua contoh termasuk pembahasan j z, yaitu pemaknaan yang jelas dan men-

cakup tujuan dan maksud dalam kata yang minimal. Kedua contoh tersebut tergolong j z al-hadzf27 dimana bagian rangkaian

kalimat dibuang sebab dinilai cukup tanpa wujudnya. Pada asalnya kedua contoh itu berbunyi:

ومن �ب ومعل معال صاحلااتبعوين فان ت��عوين حيببمك هللا

Keberadaan kata-kata ini pada susu-nan kalimat di atas atau kalimat sebelum-nya tidak berpengaruh banyak terhadap

27 Ibid., hlm. 222.

model terjamah yang dibuat. Kaidah dalam ilmu ma’āni tidak kemudian harus mengikat pola pemaknaan, menjadikan bentuk makna begitu lentur tanpa harus kehilangan esensi yang dikehendaki pada bahasa Arabnya.

Sekaitan dengan ini, situasi dalam ujaran menjadi prasyarat yang dibutuhkan untuk melakukan analisis pragmatik atas suatu tuturan. Situasi ujaran ini mencakup beberapa unsur sebagai uraian berikut: (1) penutur, (2) mitra tutur, (3) tindak tutur, (4) tuturan sebagai produk tindak verbal, (5) konteks, (6) tujuan, (7) waktu, dan (8) tempat.28

Pada dasarnya, diluar terdapat kai-tan dengan semantik, kajian pragmatik dalam penggunaan bahasa pada bingkai linguistik mencakup bahasan tentang deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan implikatur percakapan.29 Tetapi pada ka-jian kali ini, pembahasan makalah hanya difokuskan pada pencarian makna deiksis dalam pendekatan semantik-pragmatik dan ma’āni. Sejurus dengan kajian ma’āni dalam persoalan makna tuturan pada kon-teks pemaknaan, Leech30 melihat bahwa pragmatik sebagai kajian dalam bidang linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini disebut seman-tisisme, yaitu semantik dipandang sebagai bagian dari hal yang komplementer dari kajian-kajian pragmatik. Oleh sebab itu, berangkat dari uraian Leech, dapat diam-bil simpulan bahwa semantik dan pragma-tik merupakan dua bidang kajian kebaha-saan yang bersifat saling melengkapi.

PEMBAHASAN DEIKSIS Deiksis berasal dari kata Yunani

Kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Berangkat dari paparan Kas-wanti Purwo31 deiksis berasal dari kata deiktitos yang berarti ‘hal penunjukan

28 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 108.

29 Asim Gunarman, Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasaan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik (Jakarta: Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya, 1993), hlm. 2.

30 Ibid., hlm. 2.31 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 76.

Page 30: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

secara langsung’. Istilah ini digunakan oleh tatabahasawan Yunani dalam pengertian kata ganti penunjuk. Dari pengertian ini, deiksis dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan kata ini atau itu dan kalimat sesamannya. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ke-332, deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjukkan sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan se-bagainya.

Berdasarkan arti ini deiksis mer-upakan pengejawantahan dari informasi kontektual secara leksikal maupun grama-tikal yang menunjuk pada hal-hal tertentu, baik yang meliputi benda, waktu ataupun tempat. Ujaran yang menitikberatkan persoalan tersebut dalam konteks acuan disebut deiksis. Contoh yang dapat diang-kat sebagai misal dalam bahasa Inggris: he, here, now merupakan ketigaungkapan untuk memberi perintah yang menunjuk konteks tertentu agar ujaran bisa dipahami dengan tegas.

Deiksis masuk ke dalam ranah kajian pragmatik sebab deiksis secara langsung bertolak dari hubungan antara struktur bahasa dan konteks yang melingkari adan-ya deiksis di atas altar ujaran-ujaran yang digunakan.33 Oleh karena itu, sebagaimana penegasan Sumarsono tersebut deiksis pasti memiliki persinggungan erat dengan semantik pada satu sisi dan tidak bisa dile-paskan dengan kaitan pragmatik pada sisi yang lain. Bidang struktur bahasa seka-ligus aspek-aspek makna tergarap secara komprehensip dalam kajian keduanya. Makanya untuk memahami deiksis harus diawali dengan pembahasan tentang mak-na dan acuan.

Pada dasarnya deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembic-araan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa, seperti kata tunjuk (isy rah), pro-nomina (dlam r) ketakrifan (ma’rifah) dan

32 Ibid 33 Ibid, hlm 71.

sebagainya. Oleh sebab itu, rujukan deiksis berganti-ganti, tidak menetap bergantung pada konteks ruang dan tempat. memper-tegas dengan mencontohkan kata huwa ‘dia’, an ‘saya’, anta ‘kamu’, dan seterus-nya,34 seperti:

�� طالب ذيكSaya mahasiswa yang cerdas

Acuan kata an ‘saya’ dalam kalimat ini tidak dapat diketahui dan dibaca secara gamblang sebelum ujaran terdeteksi situa-sinya; siapa, di mana, dan kapan kata-kata itu dituturkan. an ‘saya’ merujuk kepada Husni Mubarak atau Mudhafar, di kampus atau di lain tempat, sedang belajar atau pada masa tertentu bisa terlacak tatkala situasi tuturan dapat dimaklumi. Maka dapat dipahami bahwa sebuah kata yang bersifat deiktif hanya mampu ditemukan rujukan tatkala situasi pertuturan sudah tampak jelas dalam konteks percakapan.

Jika dirunut dari awal persoalan acuan, maka hal yang perlu dijadikan pijakan dasar ialah pendekatan refrensial dalam bagian teori semantik agar acuan diperoleh pada deiksis dalam tataran deik-sis sebagai pengendean terhadap konteks ujaran (context of uttereance). Dalam hal ini, Ogden dan Richards35 mengemukan tentang teori tanda petunjuk (refrential theory) yang digambarkan dalam sebuah bagan “segi tiga dasar”. Segi tiga itu men-gandung tiga komponen makna, yaitu: (1) lambang – kata – (thought, reference, sense/al-� krah, al-raj’, al-madl ) di mana isi dibalik tuturan. (2) kata (symbol, word, name/ al-ramz, al-kalimah, al-ism) yang terdiri dari bunyi. (3) unsur (referent, thing/al-syay`u al-kh

) yang terbingkai dalam peristiwa yang mengitari ujaran. Uraian ini gam-blang dalam bagan di bawah ini:

34 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 108.

35 Mukhtar R, Ilmu al-Dilalah, ctk. I (Kuwait: Maktah Dar al-Arubah, 1982), hlm. 54.

Page 31: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Keterangan Ogden dan Richards ini diperjelaskan oleh Lyons36 bahwa sebuah lambang (bentuk kata) digambarkan da-lam lambang menjadi “sesuatu” atau dir-upakan semacam “konsep” yang terselip dan berada pada benak seseorang yang berkapasitas sebagai penutur tuturan; “sesuatu” atau “konsep” itulah makna dari “kata” atau “kalimat” yang diujarkan; se-dangkan makna tadi merupakan abstraksi dari “sesuatu” atau rupa “benda/barang” nyata yang tidak lain menjadi acuan (ref-eren).

Alur bagan ini kemudian dapat diperjelas dengan uraian bahwa terdapat hubungan antara simbol dengan referen yang digambarkan dengan garis putus – karena keduanya memiliki hubungan tidak langsung dan semata-mata bersifat arbitrer – juga memberi bahwa simbol pada hakikatnya telah memiliki potensial-itas makna tanpa adanya konseptualisasi pada sebelumnya. Pada sisi lain, terdapat hubungan tajam antara referen dengan thought serta garis hubungan dalam jalur tersendiri antara thought dengan simbol juga memberikan gambaran bahwa pada masing-masing seolah dapat dikaji secara terpisah.37

Keterangan tentang uraian bagan inilah yang disinyalir menyebabkan ter-jadi perbedaan pandangan dan statemen kalangan para ahli bahasa tentang mak-

36 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 73.37 Aminuddin, Semantik,,, hlm. 82.

na. fenomena ini berangkat dari indikasi munculnya pendekatan-pendekatan seputar persoalan-persoalan penggalian makna tuturan dalam tiga madzhab besar: 1) pendekatan refrensial yang diusung oleh Jhon Dewey, 2) pendekatan ideasion-al yang dilatari oleh sebuah gagasan Jhon Locke, dan 3) pendekatan behavior yang ditokohi oleh Charles Osgood.38

Richards dkk. memberikan contoh kongkrit tentang gambaran tersebut di atas dengan suatu misal: a) sebuah kata “meja”, b) berikutnya memiliki makna yang ter-kandung dalam kata tersebut (penger-tian/pemahaman) “meja”, c) lalu kata itu berwujud (dalam bayangan/gambaran/konsep/abstrak). Dalam wujud kongkrit, konsep abstrak tentang meja nyata dalam benda yang disebut meja dengan mengacu kepada “sesuatu”/benda yang oleh ban-yak orang disebut meja. Secara gamblang dapat diuraikan bahwa pada item a) inilah yang disebut maksud al-ramz, al-kalimah, al-ism/symbol, word, name, sedangkan b) berarti al-� krah, al-raj’, al-madl /thought, reference, sense, kemudian pada berikutnya adalah c) yang artinya adalah al-syay`u al-kh /referent, thing.39 Di sinilah ahli bahasa membedakan antara kata (berbentuk bunyi-bunyi), makna (yang dilambangkan

38 Lihat kembali dalam Aminuddin, Semantik,,, Bab III: Pengertian Makna, Teori Pendekatan dan Pen-gembangannya. Diuraikan tentang pendapat, kritik dan aliran-aliran dari berbagai tokoh bahasa dalam dinamika perkembangan bahasa.

39 Mukhtar R, Ilmu al-Dilalah,,, hlm. 55-56.

al-� krah, al-raj’, al-madlthought, reference, sense

al-ramz, al-kalimah, al-ism symbol, word, name

al-syay`u al-kh referent, thing

Page 32: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

oleh kata) dan acuan (hal yang diacu oleh kata). Dengan kata lain terdapat perbedaan signi� kan antara makna dan acuan, meski dalam praktiknya penelusuran keduanya memerlukan ketelitian yang betul-betul matang. Hubungan antara kata dan referennya itulah, seperti ditegaskan oleh Lyons,40 disebut referensial.

Setidaknya ada tiga deiksis yang secara tradisional dibicarakan oleh ahli bahasa, yaitu: (1) deiksis persona (person deixis), (2) deiksis waktu (time deixis), dan (3) deiksis tempat (place deixis).41 Tiga pembagian ini dengan asumsi mengklaim deiksis petunjuk (demonstrative deixis), deiksis wacana (discourse deixis), dan deiksis sosial (social deixis) masuk (include) pada ketiga pembagian di atas. Pada umumnya, menurut Sumarsono,42 deiksis persona diorganisasikan dengan cara pandang berpusat pada ego diri yang di-abstraksikan dalam ujaran dengan menggunakan kata ganti “saya” (pengungkapan diri tergolong egosentris). Penjelasan ini berangkat dari adanya pengandaian bahwa ung-kapan-ungkapan deiksis itu sebagai berlabuhnya titik-titik khusus sebuah abstrak yang tidak bertanda pada peristiwa tutur dalam konteks situasi pertuturan. Oleh karenanya, konteks pertuturan terbentuk ke dalam pusat deiksis (deictic centre) yang diasumsikan demikian: (a) sebagai persona-pusat merupakan penutur yang diwakili oleh kata “saya”, (b) waktu-pusat yang dirupakan waktu atau saat di mana tuturan diujarkan yang disim-bolkan dengan “sekarang”, (c) tempat-pusat yang digambarkan sebagai lokasi penutur pada saat ia berujar yang dijargonkan dengan kata “di sini”, (d) wacana-pusat merupa-kan titik (baca: fenomena) di mana penutur berada pada ke-terjadi-an produksi ujaran, dan (e) sosial-pusat adalah ragam jenjang status sosial penutur.

Ketiga deiksis tersebut diurai sebagai berikut:

1. Deiksis Persona (person deixis):Deiksis ini terkait erat pengekodean peran (role) para partisipan dalam peristiwa

tutur, atau lebih tegasnya penutur, mitra tutur, dan konteks tuturan, di mana ujaran diutarakan. Deiksis persona terkategorikan ke dalam tiga kelompok dasar: (1) Persona pertama merupakan eksis gramatikalisasi dari acuan penutur terhadap diri sendiri. Deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis waktu dan tempat. Deiksis per-sona atau bisa juga disebut deiksis orang memakai kata ganti diri, dinamakan demikian karena fungsinya menggantikan diri orang. (2) Persona kedua ialah pengekodean acuan penutur terhadap seorang pendengar atau lebih sebagai mitra tutur. (3) Persona ketiga adalah merupakan pengekodean acuan yang bukan terdiri dari penutur atau mitra tutur, melainkan bisa orang atau sesuatu di luar penutur atau mitra tutur.43

Kategori pemberian peran dalam suatu peristiwa tutur, dalam bahasa Arab, ter-golong dalam uraian pronomina (dlam r) yang dikelompokkan berdasarkan aspek: jan-

40 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 73. 41 Ibid, hlm 82.42 Ibid, hlm 84-85. 43 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 82.

Page 33: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

tina (tadzk r wa ta’n ); aspek numeralia (‘adad); atau meliputi: tunggal (mufrad), dual (mutsann ), dan plural (jam`u); dan fungsi sintaksis (wazh fah nahwiyyah). Tentang fungsi sintaksis terdapat beberapa jenis pronomina, yaitu (1) dlam r rafa’ munfashil: posisi rafa’/nominatif, (2) dlam r nashab munfashil: posisi nashab/akusatif, (3) dlam r jarr bi al-harf: posisi jar/genitif karena preposisi, (4) dlam r jarr bi al-idl : posisi jarr karena idl f t.44

Sebagaimana dalam gramatika Arab, untuk konsonan yang berada di bagian akhir kata, dilakukan pembacaan secara sintaktik. Pembacaan sintaktik terkait dengan adanya deklensi (i`r ), yaitu perubahan pada akhir kata karena masuknya faktor-faktor ter-tentu dalam suatu satuan tuturan.

Deklensi yang terjadi pembacaan sintaktik terdiri atas empat macam kasus, yaitu: 1- Nominatif (rafa’), 2- Akusatif (nashab), 3- Genitif (jarr), dan 4- Jusif (jazm). Bila membicarakan tentang deklensi, maka tidak bisa terlepas dari pembicaraan mengenai kategori kata dalam bahasa Arab yang terbagi menjadi tiga, yaitu: 1- Nomina (ism), 2- Verb (� `l), dan 3- Partikel (harf).45

Agar lebih jelas, fungsi sintaktik pronomina diuraikan ke dalam bagan seperti beri-kut:

Pronomina Peran Deklensi Numerial Jantina��� �� Persona III Rafa’ Tunggal Jantan

Persona III ا���� ا������ Nashab Dual Jantina � ��رت �� Persona III Jarr Plural Jantan

أ�� ا���ذ�� Persona II Rafa’ Tunggal Jantan ��� �� Persona II Nashab Plural Jantan

رك ا�� ���� �� Persona II Jarr Dual Jantina أ�� ���� ���� Persona I Rafa’ Tunggal Jantan

� ا��لا������ Persona I Nashab Tunggal Jantina

��ا ������ Persona I Jarr Plural Jantina

ا�� زو�� �� Persona II Rafa’ Tunggal Betina ��أت ����� �� Persona III Jarr Plural Betina

Kategorisasi sintaksis ini sedikit-banyak membantu membukakan jalan agar mak-na dapat mudah teridenti� kasi rujukan pronomina (marji’ al-dlam ir) dalam sebuah deiksis.

Selain itu, pada beberapa bagian deiksis persona mempunyai ragam interpretasi makna sesuai tingkat status mitra tutur sebagaimana realitas kosakata yang dipunyai ba-hasa sasaran. Contoh:

ماذا تفعل ؟ Seperti maklum, dalam kata taf ’ul tersirat deiksis persona anta. Oleh karenanya,

realisasi acuan deiksis persona ini bergantung pada konteks peristiwa ujaran diucapkan;Jika mitra tutur lebih tinggi, maka acuannnya “Bapak”. Pemilihan diksi ini lebih te-

pat dengan mempertimbangkan maksim kesopanan. Apabila mitra tutur sejawat, maka refresinnya “Kamu”. Dengan alasan bahwa kedudukan mitra tutur begitu kental atau

44 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 110. 45 Sumber: alashree.wordpress.com//vokal-konsonan-deklensia. (kala akses, 9 Maret 2014)

Page 34: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

mungkin ada di tingkat bawah penutur. Kalau mitra tutur sejajar, maka rujukan-nya “Anda”. Hal demikian dilandasi oleh adanya mitra tutur yang berada pada posi-si setingkat namun dekat.

Berdasarkan kondisi ini, maka pen-erjamahan yang tepat disesuaikan dengan situasi peristiwa dari frasa tersebut ialah:

Apa yang “Bapak”/”Kamu”/”Anda” kerja-kan ?

Dalam kajian bahasa Arab, terdapat fungsi kata dalam kalimat yang merupa-kan fokus kajian sintaksis. Fungsi kata atau fungsi sintaksis bahasa Arab ada 6 (enam) macam, yaitu: (1) musnad ilayh, (2) musnad, (3) mukammil, (4) t bi’, (5) r bith, dan (6) tahw l.46 Pada pembahasan ini akan dibatasi kepada uraian tentang musnad ilayh dan musnad, terkait dengan fokus kajian seputar deiksis belaka. mus-nad ilayh ialah isi pembicaraan dalam kata atau frasa yang disandari oleh musnad dan dapat dibedakan dengan dengan tanda i’r b marf ’. Sedangkan musnad adalah kata atau frasa yang menerangkan musnad ilayh. Nomina dan verba merupakan kate-gori yang dapat mengisi fungsi ini.47

Kridalaksana48 menyebutkan deiksis sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk prono-mina (dlam r), ketakrifan (ma’rifah), dan sebagainya memiliki fungsi deiktis. Ter-lebih dalam bahasa Arab, pemakaian deik-sis persona, misalnya, dalam satu kalimat atau paragraf, bisa banyak.

Terkait dengan fungsi musnad ilayh, dalam kajian ma’ ni, seharusnya pada status ketakrifan, karena musnad ilayh merupakan subfungsi subjek yang harus diketahui (ma’l m). Ketakrifan musnad ilayh yang dirupakan deiksis persona pro-nomina mempunyai tujuan:49

46 Syihabuddin, Penerjamahan Arab-Indonesia, Teori dan Praktek (Bandung: Humaniora, 2005), hlm. 48.

47 Al-Ghalayani, Jami’ al-Durus Lughah al-Ara-biyah (Bairut: al-Maktabah Asyriyah, 1984), hlm. 284.

48 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 109.

49 Lihat dalam Ahmad Al-Hasyimi, Jawahir al-Ba-laghah,,, hlm. 126-127.

a) Menunjukkan pembicaraan persona I. Contoh:

قال رسول هللا صىل هللا �لیه وسمل: �� النيب ال كذب.

Rasulallah saw bersabda: Aku adalah Nabi tidak bohong

b) Menunjukkan pembicaraan persona II. Contoh:

�نت اليت اح�بت اخهتاEngkau adalah seorang yang saudara-

nya aku senangi

c) Menunjukkan pembicaraan persona III. Contoh:

هو صاحيب يف اجلامعة القمل امسه حس�ين Dia adalah sahabatku di STAI

Al-Qolam, namanya Husni

Selain hal tersebut terdapat beberapa ketentuan perihal deiksis persona pro-nomina sebagai berikut: Pertama, pada asalnya acuan mitra tutur terdiri dari “sesuatu” yang senyatanya dan tertentu. Contoh:

يه زوجيت. يه حتب بنايت.Dia adalah istriku. Dia menyayangi

putri-putriku

Tetapi terkadang refren tidak seperti mulanya, dalam beberapa hal:

a) Acuan mitra tutur tidak terdiri dari “se-suatu” yang senyatanya, tetapi tergam-bar dalam kalbu. Contoh:

ال ا� اال �نتTiada Tuhan selain Kau

b) Acuan mitra tutur tidak terdiri dari “se-suatu” yang tertentu, namun bisa men-cakupi setiap orang. Contoh:

اذا �نت ��رمت الكرمي ملك�هKetika kamu menghormati hal mulia,

maka kau telah menundukkannya

Page 35: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Kedua, pada mulanya peletakan pronomina setelah kata atau frasa yang menjadi rujukan pronomina itu. Tetapi dalam beberapa hal, pronomina didahulukan dari kata atau frasa yang menjadi acuannya karena dilatarbelakangi faktor:

a) Kemungkinan kata setelah pronomina sudah terbayang dalam kalbu mitra tutur karena rasa penasarannya. Contoh:

قل هو هللا ا�دKatakanlah Dialah Allah Yang Maha Esa

b) Klaim bahwa acuan pronomina telah terpatri dalam hati mitra tutur. Contoh:

�ق�ل و�لیه الهیبة والوقارHadapilah, kepadanya terdapat kehebatan dan ketenangan

2. Deiksis Waktu (time deixis):

Deiksis ini diartikan sebagai pengungkapan ujaran kepada titik waktu tertentu pada saat suatu tuturan diujarkan. Kaitannya dengan deiksis waktu berkenaan dengan pengekodean titik-titik atau rentang waktu yang relatif pada saat ujaran diutarakan – baik dalam bentuk lisan, maupun tulisan –. Sistem deiksis dalam bahasa alami (bahasa yang biasa dipakai) tidaklah secara sewenang-wenang diorganisasikan di sekitar un-sur-unsur dari berbagai jenis medium dan konteks di mana bahasa itu dipergunakan, tetapi terdapat asumsi mendasar tentang soal konteks dalam tatap muka di mana semua orang memperoleh bahasanya.50

Dasar untuk menghitung dan mengukur waktu dalam banyak bahasa tampak bersifat siklus alami dan nyata, putaran hari dan malam; siang dan malam (dalam sepe-kan dengan nama-nama hari), bulan (berikut nama-namanya), musim (sesuai musim yang di sebuah negara), dan tahun. Satuan-satuan waktu tersebut dapat digunakan baik sebagai ukuran ”sekian”, ataupun sebagai ”saat“ bagi peristiwa tutur.51 Contoh ukuran ”sekian” misalnya; sekian hari, sekian bulan, sekian tahun. Sedangkan misal satuan se-bagai ”saat“; jam ini, hari ini, bulan ini, dan tahun ini.

Secara pragmatik, jenjang rentang waktu, meskipun seluruhnya, dapat diperjelas dengan bagan sebagai berikut:

Pada persoalan acuan, deiksis berakar pada persona pertama tunggal, dan menyangkut persona, waktu, dan ruang. Waktu yang menjadi akar adalah waktu penu-tur menuturkan sesuatu dan waktu tersebut adalah saat kini.52

Dalam bahasa Arab deiksis kala berkaiatan dengan pemahaman waktu saat tuturan diutarakan. Termasuk dalam deiksis ini, antara lain:

��مس, �دا, البار�ة, شهرا.53 Contoh:

50 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 89. 51 Syihabuddin, Penerjamahan Arab-Indonesia,,, hlm. 84.52 Verhaar, Asal-usul Linguistik Umum (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 398. 53 Ahmad Al-Hasyimi, al-Qawaid al-Asasiah li al-Lughah al-Arabiah (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, tt), hlm.

106.

Page 36: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

زرت �س�تاذي حس�ين ��مسSaya mengunjungi guru saya, Husni

kemarin

سوف جييء صاحيب حس�ين من بون��انك �داSahabatku, Husni akan datang dari

Pontianak besok

رشب اس�تاذ� حس�ين ا��ان م�فردا البار�ة Guru kita, Husni merokok sendirian

tadi malam

Termasuk ke dalam deiksis waktu adalah ketakrifan (de� nitif) yang disebab-kan oleh partikel alif-lam (al) yang memi-liki fungsi untuk menunjukkan waktu tertentu terjadinya suatu peristiwa (’ahd hadl r ). Contoh:

الیوم �مكلت لمك دینمك ...Pada hari ini Kusempurnakan ag-

amamu untukmu… (QS.5:3)

Makna Pada hari ini dalam konteks ayat tersebut bukan pada hari ini yang sebenarnya, melainkan pada hari diturun-kan ayat itu. 54

3. Deiksis Tempat (place deixis): Dalam hal kata yang memiliki re-

feren tidak tetap pada soal tempat ini ter-gambar dalam contoh secara gamblang:a) Tadi dia duduk di sini, b) Hujan turun hampir setiap hari di sini,

di Bogor, danc) di sini, di Indonesia, hal seperti itu

sering terjadi. Pada kalimat a) kata di sini menun-

jukkan tempat tertentu yang sempit sekali. Mungkin acuannya bisa sebuah bangku, sepotong papan, atau sesuatu yang dapat dijadikan tempat duduk. Sedangkan pada kalimat b) di sini merujuk pada sebuah tempat yang lebih luas, yaitu kota Bogor. Adapun kalimat yang terdapat c) kata di sini mengacu pada daerah yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.55 Contoh lain,

54 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 218.

55 Abdul Chaer, Pengantar Semantik,,, hlm. 67.

dalam percakapan lewat telepon antara Roby di Malang dan Rudy di Pontianak – sebut saja begitu – ada dialog:

Roby : Halo, di sini aku ingin bicara dengan Rudy…Rudy : Ya, di sini aku sendiri Rob…

Jelas yang dimaksud Roby dengan kata di sini adalah kota Malang, sementara kata di sini yang diucapkan Rudy merujuk pada kota Pontianak.

Dalam hal ini deiksis bersambungan erat dengan pengekodean lokasi spesial (ruang) yang relatif. Kelanjutan dari pen-jelasan ini berhubungan dengan wujud gramatikalisasi proksimil (proximal); untuk tempat/lokasi yang dekat dengan penutur, distal (distal), dan nonproksimal (non-proximal); untuk tempat/lokasi yang dekat mitra tutur.56 Jabaran ini dicontoh-kan dengan kata:

IniItu

Di siniDi situ

Sebagaimana klaim awal bahwa deik-sis petunjuk (demonstrative deixis), deiksis wacana (discourse deixis), dan deiksis sosial (social deixis) termasuk bagian dari tiga deiksis, dalam bahasa Arab, deiksis petunjuk (ism al-isy rah).

Seperti kategori uraian pronomina (dlam r) dalam pemberian peran dalam suatu peristiwa tutur, deiksis petunjuk (ism al-isy rah) memperhatikan beberapa hal: aspek jantina (tadzk r wa ta’n ), as-pek numeralia (‘adad); meliputi: tunggal (mufrad), dual (mutsann ), dan plural (jam’u), dan aspek lokatif; meliputi: jauh (ba’ d), dan dekat (qar ).57

56 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm. 82.57 Ahmad Al-Hasyimi, al-Qawaid al-Asasiah,,,

hlm. 94.

Penunjuk (demontrative deixis)

keterangan (adverbial deixis)

Page 37: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Contoh:

هذا حق�قة حيب الیكInilah bukti cintaku kepadamu

ذا� دارحس�ين م�ارك اجلدیدItu adalah rumah Husni Mubarak

yang baru

PENUTUP

Tiga komponen makna yang ter-cover dalam lambang – kata – (thought, reference, sense), (symbol, word, name), dan unsur (referent, thing) merupakan unsur yang wujud dalam deiksis, baik dari dimensi semantik, pragmatik, maupun ma’āni. Kendatipun dalam analisis ma’āni, sisi sintaksis – gramatika Arab (nahw) dan morfologi (sharf) – masih cukup kental, tetapi pada tataran penggalian makna deiksis sudah bisa menjawab persoa-lan-persoalan pelik seputar makna.

Pada kajian deiksis ruang (place deix-is), dalam bahasa Arab, bertalian dengan pemahaman lokasi atau tempat yang dise-but penutur dan mitra tutur dalam sebuah tuturan. Kategori ruang dalam konteks deiksis ini dapat bersifat ruang; tempat (lo-katif) dan penunjuk (demonstratif). Seju-rus dengan sifat ruang demikian itu yang disebut deiksis penunjuk (demonstrative deixis), dalam bahasa Arab, diistilahkan penunjuk (ism al-isy rah). Deiksis sema-cam ini termasuk ke dalam tiga deiksis dasar: (1) deiksis persona (person deixis), (2) deiksis waktu (time deixis), dan (3) deiksis tempat (place deixis).

Wallahu a’lam. []

Penguasaan bahasa bukan saja ditandai dengan kesanggupan mengorganisir makna melalui pendekatan makna leksikal belaka,

melainkan mempergunakan kajian semantik-pragmatik merupakan keharusan.

Page 38: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer (1990). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,

Acep Hermawan (2011) Metodolgi Pembelajaran Bahasa Arab, ctk. II, Bandung: Remaja Rosdakarya

Ahmad Al-Hasyimi (1960). Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’āni wa al-Bayan wa al-Badi’, Surabaya: Al-Hidayah

Ahmad Al-Hasyimi (tt). al-Qawaid al-Asasiah li al-Lughah al-Arabiah, Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiah

Al-Ghalayani (1984). Jami’ al-Durus Lughah al-Arabiyah, Bairut: al-Maktabah Asyriyah,

Ali Maschan Moesa (2002). NU, Agama dan Demokrasi, Komitmen Muslim Tradisionalis Terhadap Nilai-nilai Kebangsaan, Pustaka Dai Muda bekerjasama Pustaka Putra,

Aminuddin (2011). Semantik, Pengantar Studi tentang Makna, Bandung: Sinar Baru Algensindo,

Asim Gunarman (1993). Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasaan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik, Jakarta: Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya

Chaerdar Alwasilah (2011). pengantar buku Acep Hermawan: Metodolgi Pembelajaran Bahasa Arab, ctk. II, Bandung: Remaja Rosdakarya,

Mukhtar R (1982). Ilmu al-Dilalah, ctk. I, Kuwait: Maktah Dar al-Arubah

Sumarsono (2010). Pragmatik; Buku Ajar, Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha

Syihabuddin (2005). Penerjamahan Arab-Indonesia, Teori dan Praktek, Bandung: Humaniora

Syihabuddin Qalyubi (1997). Stilistika al-Qur’an; Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press

Verhaar (2004). Asal-usul Linguistik Umum, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press

Zaka Al Farisi (2011). Pedoman Penerjamahan, Arab Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya,

alashree.wordpress.com//vokal-konsonan-deklensia.

http://riungsastra.wordpress.com/pengertian-ilmu-maani.

Page 39: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

PERLINDUNGAN HAK WARIS ANAK ANGKAT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Oleh : Mochammad Taqrib(STAI Al­Qolam Gondanglegi Malang)

In this age, Islam faces huge, complicated problems that demand creative responses especially through ijtihad and its methodologies. One pace has been progressively taken by the ulama (muslim scholars) and the umaro (government) in Indonesia, namely vesting inheritance right for adopted children by the mean of wasiyah wajibah which is regulated in article 209 of Islamic Law Compilation (KHI). Such right has never been regulated before in Classical Islamic law. According to classical Islamic law, adopted children have no inheritance right because they don’t have any cognation or marital relationship with the foster parents. Considering the contribution the adopted children may have to their foster parents, the ulama and the umara in Indonesia performed ijtihad and vested inheritance rights for adopted children in KHI.

However, in the course of history, the article 209 could not bring justice into reality. Why? Because adopted child (or children) could only receive less inheritance than other heirs. is case may cause injustice when the adopted child has big contribution to the foster parents.

Keywords : Adopted children, foster parents, KHI, justice

Page 40: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKATNYA

Islam diyakini pemeluknya sebagai agama samawi dengan sebutan rahmatan lil’alamin dan shalihli kulli zaman wa makan. Implikasinya, berbagai ajaran dan hukum Islam harus selalu mampu mer-espon dan memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi umat Islam. Fa-zlur Rohman mengatakan bahwa eksisten-si suatu kaum di era modern, ditentukan oleh seberapa jauh ia mampu menghadapi tantangan-tantangan baru secara kreatif. Masyarakat yang hidup dalam romantisme masa lalu, betapapun indahnya, dan tidak berani menghadapi realitas masa kini, betapapun pahitnya, maka ia akan beru-bah menjadi fosil, dan mereka tidak dapat mempertahankan diri dalam waktu yang cukup lama. Begitu pula Islam.1 Berpijak pada pandangan Rahman di atas, sebagai upaya merespon berbagai problem ke-hidupan yang muncul, Islam memberikan kewenangan unuk melakukan ijtihad, dengan berbagai pilihan metode yang disediakan.

Sebagai agama yang dianggap kom-prehensif oleh pemeluknya. Setiap tahap kehidupan seorang muslim telah diatur selalu membawa akibat hukum. Peristiwa kelahiran anak misalnya, akan menim-bulkan hubungan hukum antara anak dan orang tua, yang berimplikasi terhadap pe-menuhan hak dan kewajiban. Begitu pula dengan kematian, yang akan membawa pengaruh dan akibat hukum baik pada diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat, salah satunya adalah masalah waris.2 meskipun telah diatur oleh aturan-aturan yang jelas, masih sering ditemui perselisi-han dalam pembagian harta peninggalan di masyarakat. Terlebih jika posisi para

1 Fazhur Rohman , Islamic Methodology in His-tory , terjemah Anas Mahyuddin, Membukan Pintu Ijtihad (Bandung Pustaka, 1984), h.270

2 Suparman Usman dan Yusuf Somawinoto, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Graha Media, 2008). H.1

pihak tidak setara di dalam keluarga. Mi-salnya, dalam pembagian harta pening-galan untuk anak angkat yang tidak boleh lebih dari sepertiga bagian, sebagaimana diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Bagian ini diberikan karena secara normatif, anak angkat tidak memiliki hak waris, sebab menurut hukum Islam, ahli waris harus memiliki hubungan hukum dengan pewaris, baik hubungan darah maupun perkawinan.3

Meskipun dianggap lebih progress dari � qh, pemberian hak anak angkat se-olah-olah mencerminkan “rasa iba” para mujtahid terhadap anak angkat, tanpa memperhatikan kontribusi atau jasa yang telah diberikan oleh anak angkat terhadap orang tua angkatnya. Berdasarkan hal ini, timbullah pertanyaan dalam diri penulis, apakah bagian anak angkat memang tidak bisa dirubah dari pemikiran mainstream ulama Indonesia, dengan mempertim-bangkan kontribusi yang diberikan oleh anak angkat kepada orang tua angkatnya? Apakah seorang mujtahid atau hakim di-tuntut mengejar adanya kepastian hukum saja, kemudian mengenyampingkan aspek keadilan yang diyakini sebagai ‘illat dalam pembagian harta pusaka?

PENGANGKATAN ANAKSecara etimologi, pengangkatan anak

disamakan dengan adopsi yang berasal dari kata adoptie dalam bahasa Belanda, adoption dalam bahasa Inggris, dan al-ta-banni dalam bahasa Arab yang berarti mengangkat anak, mengambil anak ang-kat, atau seseorang seperti anak kandung sendiri.4 Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata adopsi berarti pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri melalui catatan sipil. Menariknya, de� nisi yang dikemukakan Departemen Pendidikan ini, telah melibatkan sebuah institusi yang berwenang mencatat status keperdataan

3 Kasuwi Saiban, Hukum Kewarisan Dalam Is-lam, (Malang: Unmer Press, 2011), h.8

4 Mustofa Sy, , Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama ( Jakarta: Kencana, 2008), h. 9, Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana, 2008), h.19

Page 41: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

seseorang.5

Secara terminologi, Mahmud Syal-thut memberikan dua pengertian yaitu: Pertama, al–tabanni adalah mengambil anak orang lain, untuk diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang tanpa mem-berikan status anak kandung kepadanya. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan mengubah statusnya se-bagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama orang tua angkatnya, ber-hak mewarisi, serta memiliki hak dan ke-wajiban lain yang muncul dari hubungan orang tua dan anak.6

Menurut Andi Syamsu Alam dan Fauzan, al–tabanni dalam pengertian yang pertama dilakukan berdasarkan keinginan seseorang untuk membantu orang tua kandung yang tidak mampu memberikan pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok dan perlindungan yang layak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan baik. Hal ini bertentangan dengan hukum Islam, karena termasuk dalam katagori tolong menolong dalam kebaikan, sebagaimana � rman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5):2. Sedangkan al–tabanni dalam pengertian yang kedua cenderung menasabkan se-orang anak kepada orang tua angkatnya. Hal ini dilarang oleh Islam, karena dapat mengaburkan asal-usul seseorang dan me-nimbulkan kesalahpahaman. Larangan ini didasarkan pada � rman Allah dalam Q.S. al-Ahzab (33):4-5.7 Dengan demikian, yang dimaksud dengan anak angkat dalam khasanah hukum Islam ialah anak kan-dung seseorang yang diserahkan kepada orang lain untuk diasuh dan didik secara layak,8 akan tetapi ia tidak boleh dinasab-kan pada orang tua angkatnya dan tidak memiliki hak-hak sebagai anak kandung.9

5 Departemen Pendidikan, Kamus Bahasa Indo-nesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h.13

6 Abdul Aziz Dahlan (ed.) , Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 29-30

7 Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum..., h. 22

8 A. Rahmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bak-ti, 1999), h.187

9 Safiudin Shidik, Hukum Islam tentang Ber-bagai Persoalan Kontemporer, (Jakarta: Inti media Citra

Dalam literatur hukum adat, Hil-man Hadi Kusuma bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh seseorang, secara resmi menurut hukum adat setempat, untuk menjaga kelangsungan keturunan dan memelihara harta keluarga. Sedangkan Surojo Wignyodipuro mengatakan bahwa adopsi merupakan perbuatan pengam-bilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga di antara keduanya timbul hubungan hukum layaknya orang tua dan anak kandung.10 J.A. Nota seperti dikutip oleh Soeroso menyatakan bahwa adopsi adalah suatu intitusi hukum yang dapat memindahkan seseorang ke dalam ikatan keluarga lain sehingga menimbul-kan hubungan hukum seperti orang tua dan anak kandung, baik sebagian maupun seluruhnya.11 Berdasarkan ketiga pendapat ahli hukum adat di atas, dapat disimpul-kan bahwa adopsi berkaitan dengan nasab, waris, maupun hak dan kewajiban lain.

Sedangkan dalam Peraturan Perun-dang–undangan, de� nisi pengangkatan anak dapat ditemukan dalam pasal 1 huruf h Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan se-bagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan Putusan Pengadilan.12 hampir sama dengan de� nisi di atas, pasal 1 poin 9 Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlidungan Anak jo. Penjelasan pasal 47 ayat (1) Undang-undang No-mor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialih-kan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak terse-Nusantara, 2004), h.113

10 Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 5

11 Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 176

12 Kompilasi Hukum Islam disebarkan Melalui Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

Page 42: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

but, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan dan penetapan Pengadilan. Meskipun demiki-an, pasaal 39 ayat (2) Undang–Undang Perlindungan Anak menghendaki bahwa pengangkatan anak sebagaimana dimak-sud dalam pasal (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diang-kat dan orang tua kandungnya.13

Menurut Musthofa Sy., secara garis besar, ada dua tujuan pengangkatan anak. Pertama, untuk mendapatkan atau melanjutkan keturunan keluarga orang tua angkat. Kedua, untuk kesejahteraan atau kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepent-ingan yang terbaik bagi anak dan dilaku-kan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan menurut ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Untuk menjamin hak keag-amaan bagi anak, pasal 39 ayat (3) mem-beri ketentuan bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Selain itu, untuk menjamin hak identitas anak, pasal 40 mewajibkan orang tua angkat mem-beri tahu asal usul orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak tersebut.

SEBAB-SEBAB KEWARISAN DALAM ISLAM

Dalam khasanah hukum Islam, kata waris berasal dari bahasa Arab “waritsa” yang berarti pusaka. Orang yang mening-galkan harta waris disebut muwarits. Sedangkan orang menerima harta dise-but warits. Dan harta pusakanya disebut mirats.14 Adapun sumber utama waris menurut Islam terdapat dalam � rman Al-lah dalam Q.S. al-nisa’ (4):4-12.15 Selain itu, persoalan waris juga terdapat legiti-

13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ten-tang Perlindungan Anak LN. Tahun 2002 Nomor 109; Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Admini-trasi Kependudukan LN. Tahun 2006 Nomor 124

14 Kasuwi Saiban, Hukum…, h.115 Amir Syaifudin, Hukum Kewarisan Islam,

(Jakarta: Kencana, 2008), h.7

masi dari Rasulullah SAW, melalui hadist riwayat Ibn Abbas yang artinya: “Berikan-lah faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat, “16

Menurut Ahamad Ro� q, salah satu syarat yang harus dipenuhi agar seseo-rang berhak menerima harta waris, yaitu adanya hubungan hukum antara muwarits dengan warits.17 Secara historis, hubun-gan hukum antara pewaris dan ahli waris dalam hukum Islam telah mengalami pergeseran akibat perubahan situasi dan turunnya nash al-Qur’an. Dalam catatan Ahmad Ro� q dan Kasuwi Saiban,18 peru-bahan sebab-sebab mewarisi dapat dibagi menjadi tiga periode: Pertama, sebab-se-bab kewarisan yang dibenarkan dalam hukum adat masyarakat Arab Jahiliyah, antara lain:

1. Hubungan darah atau kerabat, meliputi anak laki-laki, saudara laki-la-ki, paman, dan anak laki-laki paman. Mereka adalah kelompok yang memiliki kekuatan � sik dan sanggup berperang untuk membela serta melindungi suku. Hal inilah yang mena� kan perempuan sebagai ahli waris, bahkan mereka di-masukkan dalam katagori harta pusaka itu sendiri.

2. Hubungan sumpah atau janji, hubungan ini berimplikasi terhadap hak waris sekalipun tidak memiliki hubun-gan kerabat atau anggota keluarga. Hak ini diabadikan dalam Q.S. al- Nisa’ (4):23. Merupakan para ahli tafsir, prak-tek pembagian waris karena sumpah atau janji masih dilakukan pada masa awal Islam, sebelum turunnya ayat waris.

3. Hubungan orang tua atau anak angkat, sebab perbuatan pengangkatan

16 Muslim ibn Hajjaj, Shohih Muslim, Juz 11 (Kai-ro: Dar al-Manar, 2003), h. 45

17 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: Raja Gra-findo Persada, 2002), h.29

18 Kasuwi Saiban, Hukum…, h. 97-99

Page 43: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

anak sudah lazim dilakukan masyarakat Arab pra-Islam. Bagi mereka status anak angkat tidak berbeda dengan sta-tus anak kandung. Transisi ini masih berlangsung hingga masa pembentukan hukum Islam. Bahkan Rasulullah SAW telah mengangkat Zaid bin Haritsah se-bagai anak, dan sering disebut Zaid bin Muhammad.

Kedua, sebab-sebab mewarisi pada masa perkembangan Islam tidak jauh ber-beda dengan masa jahiliyah. Karena tra-disi tersebut masih dipratekkan oleh umat Islam hingga ada wahyu yang mengoreksi dan menghentikan kebiasaan tersebut. Namun ada satu faktor yang belum per-nah terjadi pada masa sebelumnya dan tidak berlangsung lama, yaitu hijrah dan ukhuwwah antara kaum Muhajirin dan Anshor, sebagaimana � rman Allah SWT dalam Q.S. al Anfal (8):72. Hal ini dikuat-kan dengan Hadist Nabi riwayat Imam al–Bukhari yang menyatakan bahwa sahabat Anshor mewarisi sahabat Muha-jirin bukan karena mempunyai hubungan rahim, akan tetapi karena faktor ukhuwah di antara mereka yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, sebab-sebab kewarisan setelah hukum Islam turun sempurna. Se-bagai agama yang � eksibel, Islam merubah tujuan hukum, tidak secara langsung, akan tetapi dilakukan secara bertahap. Pewari-san melalui pengangkatan anak masih dipertahankan hingga awal berkembang-nya Islam. Namun, setelah turunnya Q.S. al-Ahzab (33):4-5, dinyatakan tidak ber-laku. Kedudukan anak angkat tidak lagi sama dengan anak kandung, khususnya dalam hal kewarisan. Kewarisan karena ukhuwah tidak lagi dapat dipertahankan dengan pertimbangan bahwa umat Is-lam telah memiliki posisi dan kekuatan. Anak-anak dan kaum perempuan juga mendapat warisan sebagaimana dalam al-Nisa’ (4):7-11. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan hubungan hukum antara

pewaris dan ahli waris yang diakui antara lain :

1. Hubungan kerabat, baik jalur ke atas seperti kakek, atau nenek, jalur ke bawah seperti anak atau cucu, dan jalur menyamping seperti paman dengan ba-gian masing-masing;

2. Hubungan perkawinan, baik sua-mi maupun istri;

3. Hubungan pembebasan budah. Hal ini bertujuan untuk memotivasi orang-orang yang mampu untuk me-merdekakan budak, sebab perbudakan sekalipun masih dipraktikkan pada masa awal Islam, bertentangan dengan semangat pembebasan yang dibawa oleh Islam;

4. Hubungan agama, jika ada seseo-rang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris, maka harta peningalannya diserahkan kepada bait al-mal untuk umat Islam sebagai ahli waris.

WASIAT WAJIBAH : UPAYA HUKUM UNTUK MELINDUNGI HAK ANAK ANGKAT

Menurut M. Quraish Shihab, para ulama sepakat bahwa secara garis besar ada dua kemungkinan hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua an-gkatnya. Pertama, Orang tua yang men-gangkatnya yakin bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Keyakinan dan pengakuannya itu menjadikan anak terse-but sebagai anak kandung yang memiliki hak saling mewaris. Kedua, Orang tua menyadari bahwa anak yang diangkat bukan anak kandung dan tidak pula men-gakuinya sebagai anak kandung. Anak ini tetap berhak dididik, dipelihara, dan orang tua angkatnya berhak bertindak sebagai wali baginya. Akan tetapi Islam tidak membenarkan menyamakan kedudukan-nya seperti anak kandung, seperti menis-bahkan nama anak itu dengan nama orang tua angkatnya atau memiliki hubungan saling mewarisi. Meskipun demikian,

Page 44: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

bukan berarti Islam menghendaki orang tua menelantarkan anak angkatnya. Islam membuka peluang bagi orang tua angkat memberikan sebagian hartanya melalui jalan wasiat, dengan catatan tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.19

Sependapat dengan pendapat di atas, Kasuwi Saiban menyatakan bahwa hubun-gan saling mewarisi melalui pengangkatan anak sudah dihapus melalui Q.S. al- Ahz-ab (33):4-5, sehingga nasab anak angkat harus dikembalikan pada orang tua kand-ungnya. Adapun hikmah larangan me-nasabkan anak angkat kepada orang tua angkat antara lain, pertama, menghindari kesalahpahaman dalam memandang halal dan haram. Biasanya anak angkat diang-gap sebagai anak kandung sehingga seak-an-akan dia merupakan mahram, padahal dia adalah orang lain yang haram disen-tuh dan haram dilihat auratnya; kedua, menghindari kecemburuan dari ahli waris yang merasa terkurangi haknya karena ke-hadiran anak angkat; ketiga, meluruskan nasab sesuai jalur yang sebenarnya sehing-ga tidak terjadi kerancuan dalam nasab. Meskipun demikian, dengan pertimban-gan hubungan antara anak angkat dan orang tua angkatnya yang sudah sangat akrab dan juga jasa-jasa yang diberikan kepada keluarga, hukum Islam tidak me-nutup kemungkinan untuk memberikan sebagian harta peninggalan kepada anak angkat, dengan cara wasiat atau hibah.20

Sayyid Sabiq mende� nisikan wasi-

19 M.Quraish Shihab, M, Quraish Shihab Men-jawab 1001 Soal keIslaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 576-578

20 Kasuwi Saiban, Hukum …, h.97-99

at sebagai pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, hutang, maupun manfaat, agar si penerima memiliki harta tersebut setelah pewasiat meninggal dun-ia.21 Hasbi Ash-Shiddieqy mende� nisikan wasiat sebagai suatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggalnya pewasiat.22 Sedan-gkan para ahli hukum Islam di kalangan madzhab Maliki, Sya� ’i, dan Hambali sebagaimana dikemukakan Abdurrohman al-Jaziri memberikan de� nisi yang lebih rinci. Wasiat merupakan transaksi yang mengharuskan seseorang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wa-siat setelah ia meninggal. Menurut abdul Manan, wasiat dibuat untuk menghindari persengketaan, perwujudan kasih saying orang yang berwasiat, atau memenuhi keinginan pewasiat yang belum terpenuhi semasa hidup.23 Sedangkan dalam ketentu-an pasal 1 huruf f KHI disebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris menin-gal dunia. Adapun jumlah harta yang bo-leh diwasiatkan, menurut jumhur ulama, tidak boleh lebih dari sepertiga harta pu-saka, apabila memiliki ahli waris. Jika me-lebihi ketentuan, maka harus ada izin dari semua ahli waris. Hal ini juga diatur dalam pasal 201 KHI yang menyatakan apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta wari-san, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksa-nakan sampai sepertiga harta warisnya.24

Pada dasarnya, memberi wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah yakni suatu tindakan yang dilakukan atas doron-gan kemauan sendiri. Dalam keadaan bagaimanapun juga penguasa atau hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat. Menurut asal hokum,

21 Sayyid sadiq, fiqh Sunah, Juz III (Beirut: Dar al – Fikr, 2008), h. 998

22 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawa-ris, (Semarang: Pusaka Rizki, 1999), h.273

23 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), Hal. 150

24 Ibid, h. 170

Pada dasarnya, memberi wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri.

Page 45: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan suka rela dalam segala keadaan, karena tidak ada dalam syari’at Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.25 Akan tetapi penguasa atau hakim, sebagai aparat nega-ra tertinggi, mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat yang dikenal dengan wasiat wajibah.

Ahmad Ro� q mendi� nisikan wasiat wajibah sebagai tindakan yang dilaku-kan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.26 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata menyatakan bahwa wasiat wajibah ialah wasiat yang pelaksanaannya tidak ber-gantung pada kemauan orang yang telah meninggal dunia, yang didasarkan pada alasan-alasan hukum yang dibenarkan.27 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis menyatakan bahwa wasiat waji-bah adalah wasiat yang dianggap telah dilakukan oleh seseorang sebelum me-ninggal, meskipun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiat itu.28 Para ulama � qh mende� nisikan wasiat wajibah sebagai suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu ha-langan syara’.29

Menurut Abdul Manan, wasiat wa-jibah dapat berfungsi sebagi alat untuk mengalihkan hak secara waris kepada orang yang tidak ditentukan sama sekali bagiannya. Lebih lanjut, Abdul Manan menyatakan bahwa wasiat wajibah bertu-juan mendistribusikan keadilan kepada

25 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al–Ma’arif, 1994), h.62

26 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.462

27 Suparman Uman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Me-dia Pratama, 2008), h. 163

28 Abdul Manan, Aneka…, h. 16629 Abdul dahlan Aziz (ed), Ensiklopedi..., Vol. VI,

h. 1930

kelompok yang secara nash terhalang me-nerima waris, seperti orang tua atau anak angkat yang mungkin telah berjasa banyak kepada si pewaris.30 Menurut Musthafa Sya’labi, sebagaimana dikutip Ahmad Ro� q, dengan adanya sistem wasiat yang diatur dalam hukum Islam, kekecewaan antara para pihak mungkin yang telah ber-jasa dalam kehidupan pewaris dapat dia-tasi.31 Kasuwi Saiban mengatakan bahwa wasiat wajibah secara har� ah merupakan wasiat yang secara otomatis berlaku bagi orang-orang tertentu, misalnya, ahli waris yang berlainan agama dengan pewaris. Sedangkan dalam kasus pengangkatan anak, wasiat wajibah merupakan hasil ij-tihad ulama Indonesia atas pertimbngan masalah dan kedekatan hubungan antara orang tua dan anak angkat.32 Pendapat serupa juga diajukan oleh Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan yang menyatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah dalam KHI bertujuan mewujudkan nilai-nilai keadilan daan kemaslahatan yang berkem-bang di tengah masyarakat muslim Indo-nesia.33

Ketentuan wasiat wajibah dalam konteks pengangkatan anak diatur dalam Pasal 209 KHI. Pasal ini menyatakan bah-wa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai Pasal 193 KHI. Sedangkan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wa-jibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. Begitu pula seba-liknya, terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wari-san orang tua angkatnya. Menurut Mu-hammad Daud Ali, pemberian hak wasiat wajibah terhadap orang tua maupun anak angkat dalam KHI dilakukan dengan mengadaptasi nilai-nilai hukum adat se-cara terbatas ke dalam hukum Islam kare-na berpindahnya tanggung jawab orang

30 Abdul Manan, Aneka…, h. 168-16931 Ahmad Rofiq, Fiqh…, h. 18432 Kasuwi Saiban, Hukum..., h. 100-10133 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum…,

h. 82

Page 46: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

tua kandung kepada orang tua angkat dalam pemeliharaan kehidupan dan biaya pendidikan anak.34

Berkaitan dengan pasal ini, Roihan A. Rasyid menyatakan bahwa berlakukan-ya wasiat wajibah terhadap anak angkat dan orang tua angkat bersifat imperatif. Meskipun ketentuan ini terinspirasi oleh Q.S. al. Baqorah (2):180, ia menyangkal bahwa anak atau orang tua angkat terma-suk dalam katagori walidain dan aqrob-in. Untuk mendukung argumentasinya, Roihan, mengutip Q.S. al–Ahzab (33):4-5 dan menyatakan bahwa ayat ini bersifat qath’i sehingga tidak menerima ijtihad di dalamnya.35 Pendapat ini sejalan dengan argumen Ibnu Umar dan Baidhawi yang menyatakan ketentuan dalam Q.S. al-Baqorah (2):180 di nasakh dengan ayat–ayat tentang waris maupun hadist Nabi SAW. Sedangkan ulama yang lain, seperti Muhammad ibn ‘Umar al-Rozi, Sayyid Quthb, dan Ibn ’Abbas menyatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak di–nasakh me-lainkan diperjelas melalui ayat atau hadist tentang waris.36

Sebagai catatan akhir, perlu dicermati pandangan Hasbi Ash-Shiddiedy men-genai syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan wasiat wajibah, an-tara lain; pertama, harta yang akan diber-ikan kepada seseorang hanya dapat dis-alurkan melalui wasiat, bukan waris. Jika ia memperoleh harta waris, maka tidak wajib dilakukan wasiat wajibah terhadap-nya. Kedua, orang yang meninggal belum memberikan harta kepada orang tersebut melalui cara yang lain, seperti hibah. Jika telah diberikan melalui hibah dan menya-takan kurang, maka wajib dipenuhi hingga sepertiga bagian.37

34 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama Kumpulan Tulisan, (Jakarta: Rajawali Press,1997), h.137

35 Roihan A, Rasyid, Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 93

36 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh…, h. 164-169

37 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh…, h. 277

Meskipun hak dan bagian mas-ing-masing ahli waris telah tercantum dalam nash yang qath’i, tidak menutup kemungkinan persoalan waris diselesaikan secara damai. Sebagaimana diatur dalam pasal 183 KHI. Dengan cara ini pula, kes-enjangan ekonomi antara ahli waris dapat dikurangi sehingga tidak timbul kon� ik. Umar ibn Khattab dalam sebuah kesem-patan mengatakan “kembalikan penyele-saian perkara di antara keluarga, sehingga mereka dapat melakukan perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu menimbulkan rasa tidak enak.”38 Nasi-hat Umar ibn khattab ini jika ditarik pada dunia peradilan saat ini, putusan-putusan-nya bersifat win-lose solution, sedangkan cara damai dapat mewujudkan putusan yang bersifat win-win solution sehingga tali persaudaraan tidak akan putus.

KEADILAN DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG TUA ANGKAT KEPADA ANAK ANGKAT

Pembagian harta waris untuk anggo-ta keluarga, termasuk bagian anak angkat, selalu berpedoman pada asas keadilan. Menurut Agus Yudha Hermoko, suatu aturan atau norma pada hakikatnya memi-liki dasar � loso� s dan pijakan berupa asas sebagai rohnya. Jika tidak berpijak dalam konteks operasionalnya, maka suatu nor-ma akan janggal. Secara etimologis, asas dalam bahasa Belanda disebut dengan be-ginsel atau principle dalam bahasa Inggris, atau principium dalam bahasa latin39 yang berarti dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan.40 Dengan kata lain, asas meru-pakan pondasi di mana segala sesuatu dibangun di atasnya.

Sedangkan secara terminologis, para ahli hukum memberikan beberapa de� -nisi. Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum ialah norma dasar yang dijabarkan

38 Ahmad Rofiq, Fiqh…, h. 20039 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas

Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Jakarta: Kenca-na, 2011), h. 2

40 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 94

Page 47: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

dari hukum positif dan oleh ilmu Hukum tidak dianggap berasal dari aturan-atu-ran yang lebih umum, atau dengan kata lain, asas hukum merupakan kristalisasi hukum positif di masyarakat. Van Eikema Hommer mende� nisikan asas hukum sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi pembentukan hukum yang berlaku. Sedangkan Paul Scholten menya-takan bahwa asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat dalam sistem hukum yang telah dirumuskan dalam ben-tuk peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.41

Paton menyatakan bahwa asas hukum ialah sesuatu yang tidak pernah habis kekuatannya hanya karena me-lahirkan suatu peraturan hukum, dan mampu melahirkan peraturan-peraturan yang lain.42 Berdasarkan berbagai de� nisi di atas, Sudikno Mertokusumo menga-takan bahwa asas hukum bukan meru-pakan aturan kaidah hukum kongkrit, melainkan merupakan latar belakang munculnya peraturan konkrit, bersifat umum, dan abstrak.43 Menurut Satjipto Rahardjo, asas atau prinsip merupakan jantung hukum. Secara rinci ia menje-laskan bahwa asas hukum merupakan landasan bagi lahirnya suatu peraturan, sehingga semua peraturan pada akhirnya harus bisa dikembalikan kepadanya. Asas juga disebut sebagai alasan lahirnya suatu peraturan (rasio legis). Tanpa menemukan rasio legis, kita kurang memahami arah etis dari peraturan tersebut. Sebaliknya, dengan menemukannya, kita bisa menyu-sun suatu bangunan atau tatanan hukum lanjutan yang konsisten dengan peraturan-peraturan sebelumnya.44

Sedangkan menurut Sudikno Mer-

41 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Su-atu Pengantar, (Yogyakarta: Liberti, 2003), h. 34

42 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia, 2011), h. 109

43 Sudikno Mertokusumo, Mengenal…, h. 3544 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.

Citra Aditya bakti, 2000), h. 45-47

tokusumo, asas hukum menjadikan sebuah sistem hukum menjadi � eksibel sebab ia mengakui adanya kemungki-nan penyimpangan terhadap ketentuan umum.45 Menurut Marwan Mas, ada tiga fungsi pokok asas hukum dalam sistem hukum, antara lain:

1. Menjaga ketaatan asas atau kon-sistensi. Misalnya, dalam perkara perda-ta, hakim hanya mengadili perkara yang diajukan oleh para pihak kepadanya. Dengan demikian hakim menjaga kon-sistensi asas pasif dalam Hukum Acara Perdata;

2. Menyelesaikan kon� ik yang terja-di dalam sistem hukum. Misalnya, jika terjadi pertentangan antara undang-un-dang dengan Peraturan Daerah, maka yang diberlakukan asas lex superior derogate lex inferior;

3. Sebagai rekayasa sosial, baik dalam peraturaan maupun sistem pe-radilan. Misalnya asas personalitas keis-laman yang terdapat dalam Pengadilan Agama, atau asas persamaan hak dan kewajiban dalam undang-undang no-mor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas hukum memiliki kaitan dengan sistem hukum dan sistem peradilan, sehingga setiap terjadi pertentangan di dalam mekanisme kerjanya selalu merujuk dan diselesaikan dengan asas hukum. Asas hukum juga dapat mewu-judkan pembangunan hukum nasional yang dinamis dan kondusif.46

Salah satu asas yang wajib dipedoma-ni yaitu asas keadilan. Bahkan teori etis menyatakan bahwa tujuan utama hukum adalah mewujudkan keadilan (justice). Daniel Webster yang dikutip oleh Roscoe Pound menyatakan bahwa keadilan mer-upakan kepentingan manusia yang paling luhur. Pendapat serupa disampaikan oleh Muhammad Muslehuddin yang menga-

45 Sudikno Mertokusumo, Mengenal…., h. 3646 Marwan Mas, Pengantar …., h. 110 – 111

Menurut John Rawls, keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.

Page 48: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

takan bahwa keadilan merupakan tujuan tertinggi dalam hukum Islam.47 Meski-pun demikian, menurut Achmad Ali, mende� nisikan tentang adil, keadilan, dan tidak adil jauh lebih sulit daripada sekedar menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan. Sebab keadilan merupakan suatu yang abstrak, subyektif, dan berkaitan dengan nilai-nilai etis yang dipegang oleh individu. Aristoteles menyatakan bahwa justice is political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right.48 De� nisi yang dikemukakan oleh Aristoteles ini me-nekankan bahwa keadilan merupakan produk kebijakan politik, dan melalui nilai-nilai keadilan inilah Negara di-jalankan dan tercemin kriteria kebenaran. Dalam pendapatnya yang lain, Aristoteles menyatakan bahwa justice consists in treat-ing equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality (untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, sedangkan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, sesuai dengan ketidaksetaraan mereka).

Upainus menggambarkan keadilan sebagai justitia est constans et perpetua vol-untas ius suumcuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya). Rumusan ini menurut Agus Yudha Hernoko, dengan tegas mengakui hak masing-masing per-son terhadap lainnya, dan apa yang seha-rusnya menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya.48 pendapat Plato sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin, menyatakan bahwa justice Consists in a harmonious relation, berween the various past of the social organism. Every citizen must do his duty in his oppointed place and do the thing for which his nature in best suiled (keadilan sebagai hubungan

47 Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam Kajian Komprehinsif Islam dan Keta-tanegaraan, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 316

48 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2012 ), h. 217

harmonis berbagai organisme sosial, setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya). Sedangkan menurut Her-bert Spencer keadilan adalah kebebasan individu melakukan apa yang ia inginkan sepanjang tidak mengganggu orang lain. Pendapat ini bertolak belakang dengan pandangan Plato di atas. Meskipun de-mikian Spencer tetap mengakui bahwa manusia hidup secara berdampingan sehingga kebebasan manusia tidak boleh menganggu orang lain.49

Menurut John Rawls, keadilan ada-lah kebijakan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau di-revisi jika ia tidak benar. Demikian pula dengan hukum, tidak peduli betapapun e� sien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dilakukan oleh sebagian kecil orang dan tidak di-perberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.50 Dengan kata lain, keputusan sosial yang mem-punyai akibat bagi semua anggota masya-rakat harus dibuat atas dasar hak (right based weight) dari pada dasar manfaat (good–based weight). Hanya dengan itu keadilan sebagai fairness dapat dinikmati semua orang.51

Untuk mendukung gagasannya, Raw-ls menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar. Menurut Agus Yudha Hernoko, konsep kesetaraan kedudukan dan hak yang diterapkan bukan dalam kesamaan hasil yang diperoleh semua orang. Seh-ingga keadilan tidak menuntut seseorang yang menempuh prosedur atau jalan yang sama harus mendapatkan hasil yang sama

49 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h.4850 Abdul Ghapur Anshori, Filsafat Hukum Kewari-

san Islam Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, (Yogyakar-ta: UII-Press, 2010), h.137-139

51 John Rawls, Theory of Justice, terjemah Uzair Fauzan dan Heru Prastyo, Teori Keadilan Dasar–Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejakteraan Soaial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4

Page 49: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

pula, sebab hasil yang diperoleh memper-hatikan perbedaan-perbedaan yang secara obyektif ada pada diri individu.52 Dari berbagai pengertian di atas, Achmad Ali menyatakan bahwa keadilan yang mutlak tidak pernah ada, yang ada hanyalah se-kedar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu. N.E. Algra, sebagaimna dikutip oleh Achmad Ali, menyatakan bahwa keadilan tergantung pada sudut pandang pribadi penilai. Lebih baik seseorang tidak menyatakan bahwa sesuatu itu adil, tetapi mengatakan saya anggap adil sesuatu itu, dengan kata lain, keadilan selalu bersifat subyektif dan abstrak.53

Aristoteles membagi keadilan menjadi 2 (dua); pertama, keadilan dis-tributif, yaitu keadilan yang memberikan bagian kepada seseorang sesuai dengan jasa-jasanya. Artinya Keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Kedua, keadilan kumulatif, yakni keadilan yang memberikan kepa-da setiap orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan.54

Berkaitan dengan keadilan distribu-tif, Beauchamp dan Bawie mengajukan 6 (enam) prinsip agar keadilan ini terwujud, yaitu keadilan diberikan: 1) Kepada setiap orang diberikan bagian yang sama;2) Kepada setiap orang sesuai dengan ke-butuhan individualnya;3) Kepada setiap orang sesuai haknya;4) Kepada seseorang sesuai usaha indivi-dualnya;5) Kepada seseorang sesuai kontribusinya;6) Kepada setiap orang sesuai jasanya.55

Muhammad Alim menyatakan bahwa dalam setiap hubungan, khususnya hubungan perdata, harus ada kesamaan dalam arti tidak boleh ada unsur penin-dasan, pemaksaan, penipuan, bahwa ke-

52 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h. 5953 Achmad Ali, Menguak…, h. 5554 Herimanto Winarmo, Ilmu Sosial dan Budaya

Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 13655 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h. 52

khilafan untuk memperoleh keuntungan, dan hasil yang diperoleh harus seimbang dengan usaha yang dilakukan. Asas ini ditarik dari Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Najm (53):39. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seseorang tidak memperoleh selain dari apa yang diusahakannya.56

Menurut Fathurochman, keadilan distributif yang proporsional, sangat ideal sekaligus tidak mudah untuk diterapkan, untuk menerapkannya banyak persoalan yang harus dipenuhi, salah satunya kon-tribusi yang diberikan seseorang harus terukur, ketika tolak ukur antara input dan autput sudah jelas dan disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat. Proporsi akan berubah berdasarkan upaya atau kontri-busi yang diberikan seseorang. Misalnya, seorang konsultan yang memberikan sa-ran kepada sebuah lembaga akan dibayar mahal sekalipun saran tersebut belum ada hasil yang nampak. Pembayaran yang mahal ini dikatakan adil karena sebanding dengan upaya yang dilakukan.57

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan proporsional merupakan gabungan asas keadilan dan asas proporsionalitas. Proporsionalitas sendiri berasal dari kata proporsi dalam bahasa Indonesia, Proportion dalam baha-sa Inggris, dan proportie dalam bahasa Belanda, yang berarti perimbangan atau perbandingan. Sedangkan proporsional atau proportional dalam bahasa Inggris, dan proportioneel dalam bahasa Belanda berarti sesuai dengan proporsi, sebanding, seimbang, berimbang.58 Menurut Y. Sogar Simamora, fokus dari asas proporsionali-tas adalah keseimbangan dalam pemba-gian kewajiban. Dalam hukum kontrak, asas proporsionalitas diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai bagiannya masing-masing, yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual,

56 Muhammad Alim, Asas…, h. 37057 Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologi,

(Yogyakarta: Pusaka Pelajar, 2002), h.3658 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus…,

h.1218

Page 50: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

baik pada fase prakontraktual, pemben-tukan kontrak, dan pelaksanaan kontrak. Asas ini tidak mempersoalkan keseimban-gan atau persamaan hasil, namun lebih menekankan pembagian hak dan kewaji-ban antara para pihak.59 Mencari makna asas proporsionalitas merupakan proses yang tidak mudah, bahkan seringkali tum-pang tindih dengan asas keseimbangan. Menurut Agus Yudha Hernoko, kedua asas ini tidak dapat dipisahkan, meskipun demikian masih ada cela untuk membe-dakan di antara keduanya. Asas keseim-bangan menekankan adanya sebanding dalam jumlah, ukuran dan posisi, sedan-gkan asas proporsionalitas menekankan pada pembagian hak dan kewajiban me-nurut proporsinya. Dengan demikian asas keseimbangan bersifat lebih abstrak dari-pada asas proporsionalitas.60

Menarik juga dikemukakan pendapat Peter Mahmud Marzuki yang menyebut asas proporsionalitas dengan equitability contract. Persamaan di antara para pihak tidak ada, akan tetapi perso-alan ini tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai ke-pada pihak lain. Sehingga equitability menghendaki jaminan keseimbangan dan kepantasan hukum (aequitas preastasio-nis).61 Penggabungan variabel keadilan dan proporsional menghasilkan sebuah pemahaman bahwa pembagian hak dan kewajiban memperhatikan proporsi ma-sing-masing. Dianggap adil jika seseorang mendapatkan hasil sesuai dengan upaya yang dilakukannya masing-masing, semua orang tidak harus mendapatkan bagian yang sama pula jika upayanya berbeda.

Menurut Amir Syarifuddin, keadi-lan jika dihubungkan dengan hak mem-peroleh materi, khususnya kewarisan diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara perolehan dengan keperluan dan

59 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h. 7960 Ibid, h. 30-3261 Ibid, h. 86

kegunaan.62 Lebih lanjut ia menyatakan bahwa hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan konti-nuitas tanggung jawab pewaris terhadap keluarganyaa, sehingga jumlah bagian yang diterima ahli warispun berimbang dengan perbedaan tanggung jawab sese-orang terhadap keluarganya.63 Berangkat dari pandangan Amir Syarifuddin di atas, bagian yang boleh diterima oleh anak an-gkat tidak mutlak dari harta peninggalan orang tua angkat akan tetapi anak angkat hanya mendapat 1/3 bagian dari total har-ta peninggalan orang tua angkat, bahkan bisa lebih mempertimbangkan konstribusi dan jasa yang ia berikan kepada orang tua angkat.

Aristoteles dengan konsep keadilan distributifnya menyatakan bahwa bagian seseorang dalam waris diberikan sesuai dengan jasa–jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Meskipun anak angkat tidak memiliki hubungan hukum maupun darah dengan si pewaris dipandang tidak adil jika ia hanya dibe-rikan “wasiat wajibah” dari total harta pusaka, padahal ia turut merawat orang tua angkatnya sampai meninggal dunia, termasuk mecari modal atau turut serta mengembangkan usaha milik orang tua angkatnya. Seseorang mendapatkan hasil sesuai dengan upaya yang dilakukannya masing-masing, semua orang tidak harus mendapatkan bagian yang sama pula jika upaya yang ia dilakukan berbeda.

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum, termasuk asas ke-adilan proporsional dapat menjadikan sebuah sistem hukum menjadi � eksibel, tidak rigid, dan mampu mewujudkan kebahagiaan manusia, sebab asas hukum mengakui adanya kemungkinan penyim-pangan terhadap ketentuan umum. Model pembagian di atas boleh dikatakan sebagai

62 Amir Syarifuddin, Hukum…., h. 2463 Ibid

Page 51: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

penyimpangan terhadap ketentuan, yang lazimnya anak angkat hanya mendapat 1/3 bagian dari harta pusaka. Contoh nyatadi lapangan sesuai dengan putusan Pengadi-lan Agama Kabupaten Malang di Kepan-jen, pada tanggal 20 Januari 2014 Masehi, bertepatan dengan tanggal 18 Rabiul Awal 1435 Hijriah. Perkara nomor 3255/Pdt.G/2013/PA. Kab. Malang, menyatakan “hibah tanah sawah yang diberikan oleh Supiani kepada Sutrani (anak angkat) yang sah menurut hukum adalah 1/3 dari bagian Supiani yang di peroleh dari harta peninggalan almarhum Senawi adalah seluas 2.172.5 M2 X 1/3 dibulatkan seluas 724 M2. Sedangkan sisanya seluas 216 M2

kembali kepada ahli waris Supiani”. Sebagai penutup pembahasan, mena-

rik apa yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat yang menyatakan “tinggalkan � qh jika � qh itu bertentangan dengan akhlak.” Argument ini dibangun di atas se-buah dasar bahwa semua madzhab dipan-dang benar. Kita tidak akan sulit menin-ggalkan � qh demi menjaga persaudaraan di antara kaum muslim. Boleh jadi kita meyakini � qh yang kita anut adalah pen-dapat yang kuat, tetapi dalam aplikasinya kita harus menyesuaikan dengan apa yang lazim diamalkan ditengah-tengah masya-rakat. Lebih lanjut Rakhmat mengutip pendapat Imam Abu Hanifah yang menya-takan bahwa “perkataanku hanyalah pen-dapat, itulah yang lebih baik yang dapat kami capai. Jika ada orang yang datang dengan pendapat yang lebih baik daripada perkataan kami, itulah yang lebih benar untuk diikuti.” Dalam riwayat lain, Abu Hanifah mengatakan bahwa “ini adalah pendapat kami, dan kami tidak akan me-maksa orang untuk mengikutinya.”64

Kaitanya dengan persoalan waris harta orang tua angkat terhadap anak angkatnya, boleh jadi bagian anak angkat lebih kecil daripada bagian ahli waris yang lainnya. Demi menjaga keutuhan keluarga dan persaudaraan sesama muslim, bagian

64 Jalaluddin Rakhamt, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih, (Banding: Mizan 2007), h. 68

anak angkat ini bisa ditambah sesuai den-gan jasa anak angkat kepada orang tua angkat. Apalagi masalah pembagian harta orang tua angkat dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan perdamaian, alangkah indahnya hidup ini dan didasari keikhla-san, keimanan dan ketaqwaan para ahli waris kepada Allah SWT, tentunya akan membantu pewaris di alam kubur dan alam barzah (akhirat) lebih tenang, senang dan bahagia karena terhindar dari siksa. Oleh karena itu para ahli waris dianjurkan bahkan diwajibkan untuk banyak-banyak mendo’akan kepada pewaris yang ada di alam lain.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas perlindungan hukum hak waris anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkat, me-nurut para ijtihad ulama dan umaro di In-donesia dapat menggunakan dasar hukum Kompilasi Hukum Indonesia (KHI). KHI dapat menjadi dasar pertimbangan hukum Pengadilan Agama untuk membuat pu-tusan bagi orang-orang yang beragama Islam pencari keadilan, khususnya dalam pembagian harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat yang disebut dengan “wasiat wajibah” yang tercantum dalam pasal 209 KHI. Dengan demikian, hak waris anak angkat dapat terlindungi oleh hukum positif di Indonesia.

Ada juga yang berpendapat bagian waris anak angkat terhadap harta pen-inggalan orang tua angkatnya bisa diberi lebih dari apa yang telah ditetapkan oleh hukum positif Indonesia dalam pasal 209 KHI. Namun demikian, penyimpangan ini tentunya harus diikuti dengan syarat-syarat bahwa anak angkat tersebut telah memberi jasa-jasa dan konstribusi kepada orang tua angkat. Keadilan proporsional sebagai frame hukum akan menjadikan hukum � eksibel dan dapat mewujudkan kebahagian bagi manusia khususnya anak angkat. []

Page 52: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Rahmad Budiono (1999). Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Bandung Citra Aditya Bakti

Abdul Azis Dahlan (ed) et.al (1996). Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. I. Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve

Abdul Ghafur Anshori (2010). Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press

Abdul Manan (2006). Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Achmad Ali (2002). Menguak Teori Hukum (Legal eory) dan Teori Peradilan (Legisprudennce), Jakarta: Kencana,

Agus Yudha Hernoko (2001). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana

Ahmad Ro� q (2000). Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Gra� ndo Persada

______ (2002). Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Gra� ndo Persada

Amir Syaifuddin (2008). Hukum Kewarisan Hukum Islam, Jakarta: Kencana

Amir Syamsu Alam dan M. Fauzan (2008). Hukum Pengangkatan Anak Perpektif Islam, Jakarta: Kencana

Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Bahasa Indonesia Jakarta: Pusat Bahasa

Fatchur Rahman (1994). Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif

Faturachman (2002). Keadilan Perspektif Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fazlur Rahman (1984). Membuka Pintu Ijtihad Terjemahan oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka

Herimanto Winarno (2009). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara

Jalaluddin Rakhmat (2007). Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, Bandung: Mizan

John Rawls (2011). Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Terjemahan oleh Uzair Fauzan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kasuwi Saiban (2011). Hukum Pewarisan dalam Islam, Malang: Unmer Press

M.Quraish Shihab (2008). M. Quraish

Shihab Menjawab 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati

Marwan Mas (2011). Pengantar Ilmu Hukum, Bogor: Graha

Mudaris Zaini (2006). Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Gra� ka

Muhammad Alim (2010). Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LkiS

Muhammad Daud Ali (1997). Hukum Islam dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan, Jakarta: Rajawali, Press

Muhammad Hasbi Ash–Shiddieqy (1999). Fiqh Mawris, Semarang: Pustaka Rizki

Muslim ibn Hajjaj (2003). Shahih Muslim, Juz II, Kairo: dar al-Manar

Mustofa Sy. (2008). Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana

Roihan A, Rasyad (1999). Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah, dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Kompilasi Hukum Islam dan peradilan Agama Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu

Sa� uddin Shidik (2004). Hukum Islam tentang Berbagai Pesoalan Kontemporer, Jakarta: Inti Media Citra Nusantara

Satjipto Rahardjo (2000). Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya bakti

Sayyid Sabiq (2008). Fiqh Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikri

Soeroso (2005). Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Gra� ka

Sudikno Mertokusumo (2003). Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberti

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata (2008). Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak LN Tahun 2002 Nomor 109.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan LN Tahun 2006 Nomor 124

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Hukum Acara Peradilan Agama jo undang-undang nomor 3 tahun 2006 Amandemen Hukum Acara Peradilan Agama

DAFTAR PUSTAKA

Page 53: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENINGKATKAN MORAL BANGSA

Oleh : Badriyah (STAI Al­Qolam Gondanglegi Malang)

Humanistic education is expected to improve human spirituality by sending the humankind back to their nature as the superior creature. ‘humanistic human’ produced by humanistic education is supposed to be able to think, feel, sense and act based on the humane noble values, instead of individualism and egoism. e youth have courage, open-mind as well as abundant of vitality and dynamics. at’s why they’re called the hope of the nation. e development of morality and creativity of the youth can be conducted simultaneously with the development of Islamic education in family, school, and community in order to create supportive, educative atmosphere. is, in turn, re� ects the ideal, integral, humanistic, and culturally rooted Islamic education. is can also liberate the youth from the shackle of in� delity, poverty, violence, as well as immorality. It’s the duty of the youth to have intelligent capability, braveness, honesty and loyalty towards the values of the truth. e youth are the future leaders, the hold the destiny of the nation.

Keywords: Islamic education, humanist, youth

PENDAHULUAN

Manusia yang menyandang gelar Khalifatulloh dimuka bumi ini pada dasarnya diberikan kemerdekaan untuk mengaktualisasikan dirinya dalam kei-manan suci. Terdapat bukti dalam Al-Qu-ran yang menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk merdeka dengan kemam-puan untuk memilih antara yang benar dan yang salah. Meskipun benar dan salah merupakan kecenderungan yang ditentu-kan sebelumnya dalam skema penciptaan

tetapi manusia diwajibkan untuk memilih karena nilai kebebasan yang telah diberi-kan Tuhan kepadanya. Kemampuan mem-buat pilihan dan berinisiatif yang memu-ngkinkan manusia membuat perubahan pada dirinya atau lingkungannya menjadi lebih baik atau lebih buruk.1

Dalam Khasanah Ilmu Pengetahuan, persoalan pemuda bukanlah topik yang baru, melainkan merupakan topik klasik

1 M. Athiyah Al-Abrasyi, .Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh H.Bustomi, (Jakar-ta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 36

Page 54: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

yang masih aktual dibicarakan. Pemuda umumnya bersifat idealis dan memegang peran serta harapan yang tinggi dimasa yang akan datang. Pemuda berjuang untuk mewujudkan dunia ideal mereka men-jadi peninjau kritis pembaharuan. Masa muda (remaja) adalah masa yang penuh dengan kontradiksi, stabilitas psikisnya masih labil dan emosi terkadang tidak terkendali. Sebagian orang menyatakan masa muda adalah masa yang paling in-dah masa yang penuh romantika tapi juga dikatakan sebagai masa badai dan topan karena masa muda merupakan masa transisi. Oleh karena itu pemuda ditandai dengan ketidakmampuan pemuda dengan berpindah-pindah dari perilaku atau nor-ma-norma lama kepada norma baru. Ke-tidakmampuan itulah merupakan indikasi belum matang kepribadiannya.

Pendidikan yang humanistik diha-rapkan dapat mengembangkan hati ma-nusia dengan mengembalikan manusia kepada � trahnya sebagai sebaik-baik mahluk. Manusia yang manusiawi yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanis-tik diharapkan bisa ber� kir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik, egoistik dengan sifat kasih sayang. Telah menjadi � trah manu-sia mempunyai sifat inovatif kreatif yang melekat kuat perannnya dalam perubahan sosial tanpa dibatasi ruang dan waktu. Yang harus dipijaki oleh pemuda adalah ketrampilan intelegensia, keberanian, ke-jujuran dan selalu berpijak pada nilai-nilai kebenaran. Pemuda adalah pemimpin masa depan, sesungguhnya di tangan ge-nerasi mudalah nasib suatu bangsa.

Mutu pendidikan Islam akan tercapai apabila didukung oleh seluruh komponen pendidikan yang terorganisir dengan baik. Beberapa komponen tersebut meliputi input, proses dan output, dan ini perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pihak yang mempunyai peran pen-ting dalam lembaga pendidikan. Namun

terdapat satu hal yang menjadi sorotan adalah selama ini mutu pendidikan dinilai dengan prestasi belajar, output yang dite-rima di perguruan tinggi unggulan, dan sebagainya. Sudah selayaknya hal tersebut ditambah dengan indikator nilai-nilai reli-gius yang terinternalisasi dalam diri peser-ta didik. Karena tanpa nilai-nilai religius yang terinternalisasi dalam diri peserta didik, walaupun peserta didik tersebut mempunyai prestasi setinggi langit, pada akhirnya akan menjadi Gayus Tambunan baru. Bertolak dari hal tersebut, maka maka sangat penting sekali lembaga pen-didikan, khususnya pendidikan di Indone-sia untuk menginternalisasikan nilai-nilai religius ke dalam diri peserta didik dengan menggunakan pembiasaan pendidikan yang religius terutama pendidikan Islam agar dapat meningkatkan moral bangsa.

PENDIDIKAN ISLAM

Ahmad D. Marimba menyatakan Pendidikan Islam merupakan Bimbingan Pribadi Muslim yakni bimbingan jasma-ni-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepri-badian utama menurut ukuran Islam. Ke-pribadian Utama merupakan kepribadian yang berkarakterkan nilai-nilai Islam yang akan muncul setiap saat, sewaktu mereka ber� kir, bersikap dan berperilaku. Sedan-gkan Syahminan Zaini menyatakan bahwa Pendidikan Islam merupakan pengemban-gan � trah manusia atas dasar ajaran-ajaran Islam. Dengan � trah tersebut diharapkan manusia dapat hidup secara sempurna baik lahir maupun bathin. Dengan demi-kian, pendidikan Islam merupakan usaha mengembangkan � trah manusia dengan ajaran agama Islam agar terwujud kehidu-pan yang makmur dan bahagia.2

Pendidikan Islam juga merupakan proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai melalui pengajaran, bimbingan, latihan dan pen-gabdian yang dilandasi dan dinafasi oleh

2 Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Kon-sepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), hlm. 47

Page 55: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

ajaran Islam sehingga terbentuk muslim sejati, mampu mengontrol, mengatur dan merekayasa kehidupan. Dari beberapa telaah dapat diketahui bahwa Pendidikan Islam yang ada dalam Al-Quran mem-berikan pelajaran dan peringatan kepada terbinanya kesadaran hati/perasaan dan sekaligus terlatihnya akal pikiran atau daya intelektual seseorang. Dengan anu-gerah yang berupa akal, manusia dapat memuaskan daya nalarnya sesuai dengan kapasitas � trah yang dimilikinya. Dengan akalnya pula manusia akan mampu men-capai apa yang mereka inginkan sepanjang mengikuti ketetapan/sunnah Allah.

Pendidikan Islam juga merupakan bimbingan jasmani-rohani menurut hukum Islam menuju terbentuknya kepri-badian yang utama menurut Islam, yang berarti menitik beratkan kepada bimbin-gan jasmani-rohani berdasarkan ajaran Islam dalam membentuk akhlak mulia. Hamani Ikhsan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam menya-takan bahwa menurut Syekh Muhammad A.Naquib al-Atas Pendidikan Islam meru-pakan usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang be-nar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan Kepribadian.

Musthafa al-Ghulayaini menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah mena-namkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap) dalam jiwanya kemudian berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk memanfaatkan tanah air sehingga terwujud kehidupan manusia yang bahagia dan makmur.

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam yang sesuai den-gan Al-Quran dapat membentuk manusia

sejati, yang selalu mendekatkan diri kepa-da Allah swt, meletakkan sifat-sifat Allah dalam perkembangan pribadi manusia serta dapat merealisasikan sifat-sifat Allah dalam setiap menjalankan fungsi-fungsi kehidupan. Sosok manusia terutama para pemuda bangsa yang dilengkapi dengan � trah, roh, badan, kemauan bebas dan akal. Manusia yang mampu mengintegra-sikan dan mengembangkan unsur-unsur tersebut serta mengaplikasikannya dalam segala sektor kehidupan, berupa pola pikir, pola sikap dan perilaku yang dinafasi oleh nilai kemanusiaan.

Pendidikan Islam dapat membentuk manusia yang berpribadi sempurna, serasi dan seimbang, tidak saja mampu dibi-dang keagamaan dan keilmuan tetapi juga mempunyai kecakapan khusus beruapa ketrampilan untuk bekerja. Dengan pendi-dikan Islam yang perlu dilakukan adalah, pertama, para pemuda diharapkan mam-pu membenahi akhlaqnya karena dengan akhlaq merupakan kunci utama bagi ke-berhasilan manusia dalam menjalankan tugas kehidupan. Kedua, melalui pengen-dalian akal karena dengan olah akalnya segala kebutuhan manusia dapat dicapai (aliran rasionalisme). Ketiga, dengan pen-didikan Islam diharapkan segala kegiatan yang dilakukan dalam proses pendidikan dapat bermanfaat bagi pemenuhan ke-butuhan manusia dan dapat menjawab masalah-masalah kehidupan.3 Keempat, dengan idealisasi pemikiran dan pengga-lian berbagai dimensi keilmuan Pendidi-kan Islam bagi perbaikan Moral pemuda bangsa harus bisa mencetak pemuda yang mempunyai pemikiran kritis, kreatif dan inovatif.Ilmu yang ditransformasikan

3 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakar-ta: PT Raja Grafindo, 1996), hlm. 28

Sehingga para pemuda juga diharapkan mempunyai kemampuan daya � kir dan

dzikir serta kecakapan di bidang ilmiah.

Page 56: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

kepada yang bersebrangan den pemuda bukanlah hasil tiruan peradaban lain yang bersebrangan dengan kebudayaan Islam, tetapi benar-benar ilmu yang dinafasi oleh nilai-nilai Islam. Sehingga para pemuda juga diharapkan mempunyai kemampuan daya � kir dan dzikir serta kecakapan di bidang ilmiah .

Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa terlepas dari dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat mempertahankan eksistensi dirinya, terutama sewaktu berinteraksi dengan lingkungan hidup. Dengan kata lain, di-kembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia adalah sebagai alat untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidu-pan di dunia, yaitu fungsi kodrati manu-sia, berkenaan dengan fungsi pengabdian, kekhalifahan, kerisalahan dan ihsanisasi. Dikembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia selalu dekat kepada Allah swt, bisa mengelola dan memanfaatkan segala kekayaan yang terkandung di alam untuk kepentingan seluruh umat. Ia juga menjadikan manusia selalu berupaya mewariskan nilai kepada sesamanya agar secara bersama-sama bisa mengembangkan dalam kehidupan serta menjadikan manusia selalu berbuat kebaji-kan dan kebenaran sesuai dengan hakekat (esensi) keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi sendiri.

Dilangsungkannya pendidikan Islam di berbagai tempat tak lain merupakan misi dakwah, yaitu dakwah Islamiyah sebagaimana dilakukan oleh Rasullullah saw dan para pendahulu muslim. Dengan adanya pendidikan Islam inilah dihara-pkan nilai-nilai Islam dapat diwariskan kepada setiap manusia, membantu mem-bentuk karakter dalam dirinya dan di realisasikan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Bila nilai-nilai Islam telah melembaga pada masing-masing individu maka agama tersebut dapat menjadi tegak di dunia, tersebar di seluruh lapisan dunia. Dengan demikian, fungsi agama Islam

sebagai rahmatan lil alamin dapat direali-sasikan.

Pendidikan Islam yang mengarahkan kesatuan dan keseimbangan pada pribadi pemuda dan peserta didik juga dihara-pkan bisa berimbas kepada kepribadian masyarakat secara keseluruhan. Kesatuan dalam menatap masalah ritual, sosial, po-litik dan berbagai persoalan hidup lainnya yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keharmonisan kehidupan da-lam segala aspek kehidupan.

Pada akhirnya dari berbagai uraian di atas, tujuan pendidikan Islam dihara-pkan dapat menciptakan para pemuda bangsa yang mempunyai pribadi muslim sejati, membentuk kepribadian, akhlak, mengembangkan � trah dan semua potensi manusia secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pemuda diharapkan menjadi manusia yang baik, memiliki kedalaman ilmu, memiliki pola pikir yang logis-kritis, ketajaman pemi-kiran dan keluasan pandangan, serta ke-kuatan iman dan taqwa. Pada gilirannya, ia dapat berguna bagi diri sendiri dan lin-gkungan, memiliki kemampuan berkarya melalui kerja kemanusiaan serta dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat sesuai dengan ajaran Islam.4

PENTINGNYA PEMBINAAN MORAL DAN KREATIVITAS PEMUDA

Persepektif moral dalam Islam meru-pakan moral yang berdasarkan pada ke-percayaan terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat sesuai dengan konsep moral yang bersifat keagamaan yang ditentukan oleh bentuk gagasan manusia mengenai Tuhan dalam kehidupan. Adapun Moral dalam Islam adalah bersifat absolut dan univer-sal. Kebenaran moral Islam bersifat mut-lak, mempunyai wujud dan bentuk-bentuk tertentu. Humaidi Tatapangarsa menya-takan bahwa Moral dalam Islam adalah menjauhi dunia dan mengutamakan akh-irat, dengan tujuan memanfaatkan hal-hal

4 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Alhusna Zikro, 1995), hlm. 12

Page 57: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

yang di dunia ini untuk kebahagiaan hid-up kekal di akherat.5

Akhlaq adalah mustika hidup yang membedakan manusia yang diciptakan Tuhan dengan makhluk yang lain. Dengan ilmu pengetahuan, memang, dalam batas-batas tertentu, bisa mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut Hasan Basri, akhlaq merupakan sesuatu yang mem-punyai taraf kesadaran yang tinggi, mem-punyai motivasi yang kuat, mempunyai tanggung jawab yang besar. Oleh sebab itu, pemuda harus mempunyai sifat-sifat jujur, adil, disiplin yang tinggi, amanah, taat, berani menegakkan kebenaran dan memperjuangkannya. Dalam situasi dan kondisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan dari pemban-gunan, di kalangan generasi muda perlu dikembangkan rasa percaya pada diri sen-diri, profesionalisme, kewirausahaan, dan kreativitas. Seperti dinyatakan oleh Carl Roger bahwa inti kreativitas itu adalah “Baru” dengan cirinya yang cerdas, mena-rik dan imajinatif, di samping juga cepat, � eksibel dan prospektif, efektif dari segi sosial serta dominan dari segi pribadi. 6

Era Globalisasi yang ditandai dengan persaingan kualitas atau mutu, menuntut semua pihak dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya. Hal ter-sebut mendudukkan pentingnya upaya meningkatkan kualitas pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang harus dilakukan terus-menerus. Dengan demikian, pendidikan, terutama pendi-dikan Islam, dapat digunakan sebagai wa-hana dalam membangun watak bangsa.

Pembinaan moral dan kreativitas ma-nusia dapat dilakukan melalui pembinaan budaya religius yang ada di lembaga pen-didikan yang biasanya bermula penana-man nilai-nilai religius secara istiqomah. Begitu juga penciptaan suasana religius

5 Harmaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlaq, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 20

6 Hasan Basri, Remaja Berkwalitas (Problem dan Solisinya), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 31

dan mengadakan kegiatan keagamaan di lingkungan lembaga pendidikan. Apabila tidak diciptakan dan dibiasakan, maka bu-daya religius tidak akan terwujud. Kegia-tan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya religius (religious culture) di lin-gkungan lembaga pendidikan meliputi; pertama, melakukan kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan religius yang berlangsung pada hari-hari belajar biasa di lembaga pendidikan. Kegiatan rutin terse-but dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang telah diprogramkan, sehingga tidak me-merlukan waktu khusus. Pendidikan aga-ma merupakan tugas dan tanggungjawab bersama bukan hanya guru agama saja melainkan juga tugas dan tanggungjawab guru-guru atau dosen-dosen bidang lain-nya. Pendidikan agamapun tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, tetapi juga meliputi pembentukan sikap, peri-laku dan pengalaman keagamaan. Maka dari itu, pembentukan sikap, perilaku dan pengalaman keagamaanpun tidak hanya dilakukan oleh guru atau dosen agama, tetapi perlu juga dilakukan oleh guru atau dosen bidang studi lainnya.

Kedua, menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang mendukung dan menjadi laboratorium bagi penyampaian pendidikan agama, sehingga lingkun-gan dan proses kehidupan semacam ini bagi para peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang cara belajar beragama. Dalam proses tumbuh kembangnya, peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan lembaga pendidikan, se-lain lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan lembaga pendidikan dapat menumbuhkan budaya religius (religious culture). Lembaga pen-didikan mampu menanamkan sosialisasi dan nilai yang dapat menciptakan genera-si–generasi yang berkualitas dan berkarak-ter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana lingkungan lembaga ini dapat membim-bing peserta didik agar mempunyai akhlak

Page 58: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

mulia, perilaku jujur, disiplin, dan seman-gat sehingga akhirnya menjadi dasar un-tuk meningkatkan kualitas dirinya.

Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal dengan pelajaran agama dalam suatu proses pem-belajaran, namun dapat pula dilakukan diluar proses pembelajaran dalam kehi-dupan sehari-hari. Guru atau dosen bisa memberikan pendidikan agama secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat pendidikan secara spontan akan menjadikan peserta didik langsung mengetahui dan menyada-ri kesalahan yang dilakukannya dan lang-sung mampu memperbaikinya.

Keempat, menciptaka situasi atau kegiatan religius. Tujuannya untuk men-genalkan kepada peserta didik tentang pengertian agama dan tata cara pelaksana-an agama tersebut dalam kehidupan seha-ri-hari. Juga menunjukkan pengembangan kehidupan religius di lembaga pendidikan yang tergambar dari perilaku sehari-hari. Selain itu juga menunjukkan pengem-bangan kehidupan religius di lembaga pendidikan yang tergambar dari perilaku sehari-hari dari berbagai kegiatan yang di-lakukan oleh guru atau dosen dan peserta didik. Oleh karena itu, keadaan atau situa-si keagamaan di sekolah atau kampus yang dapat diciptakan antara lain pengadaan peralatan peribadatan seperti tempat un-tuk sholat (masjid atau musholla), alat-alat sholat seperti sarung, peci, mukena, saja-

dah atau pengadaan al-Quran. Di ruan-gan kelas bisa pula ditempelkan kaligra� , sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik.

Kelima, memberikan kesempatan kepada peserta didik sekolah maupun universitas untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativi-tas pendidikan agama dalam ketrampilan dan seni, seperti membaca al-Quran, ad-zan, sari tilawah serta mendorong peserta didik untuk mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat peserta didik untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan al-Quran. Agar lebih jelas dalam membahas materi pelajaran maka guru maupun dosen hendaknya selalu diperkuat oleh nas-nas keagamaan yang berlandaskan pada al-Quran dan Hadist Rasulullah saw, tidak hanya ketika men-gajar saja tetapi dalam setiap kesempatan guru atau dosen harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagaman yang benar. Oleh kare-na itu, guru maupun dosen harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagaman dengan menciptakan suasa-na dalam peribadatan seperti sholat, puasa dan lain-lain.7

NILAI-NILAI ISLAM DALAM PEM-BENTUKAN KARAKTER

Ajaran Islam sarat dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter kuat da-lam menghadapi kehidupan. Terlebih lagi, Rasulullah saw terlahir ke dunia ini dan diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. Salah satu nilai yang diajarkan dan telah dicontohkan oleh para Rasul adalah sifat-sifat shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.

Siddiq merupakan sebuah kenyataan yang benar tercermin dalam perkataan, perbuatan atau tindakan, dan keadaan bathinnya.Pengertian siddiq dapat di-jabarkan sebagai berikut:

7 Muhaimin, Arah Baru pengembangan Pen-didikan Islam, Pemberdayaan, pengembangan kurikulum Hingga Redinivisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nu-ansa, 2003), hlm. 69

Oleh karena itu, guru maupun do-sen harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana ke-beragaman dengan menciptakan suasana dalam peribadatan seperti sholat, puasa dan lain-lain.

Page 59: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

a) Memiliki sistem keyakinan untuk mere-alisasikan visi, misi, dan tujuan.

b) Memiliki kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlaq mulia.

Amanah merupakan sebuah keper-cayaan yang harus diemban dalam mewu-judkan sesuatu yang dilakukan dengan penuh komitmen, kompeten, kerja keras, dan konsisten yang dapat dijabarkan se-bagai:

a) Rada memiliki dan tanggung jawab yang tinggi

b) Memiliki kemampuan potensi secara optimal

c) Memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup

d) Memiliki kemampuan membangun ke-mitraan dan jaringan.

Fathonah merupakan sebuah kecer-dasan, kemahiran, atau penguasaan yang mencakup kecerdasan intelektual, emo-sional dan spiritual yang dapat dijabarkan sebgai berikut:

a) Memiliki kemampuan yang adaptif ter-hadap perkembangan dan perubahan zaman

b) Memiliki kecerdasan intelektualc) Memiliki kompetensi yang unggul, ber-

mutu dan berdaya saing.

Tabligh merupakan upaya mereal-isasikan pesan atau misi tertentu yang dilakukan dengan pendekatan atau metode tertentu. Yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Memiliki kemampuan merealisasikan pesan atau misi

b) Memiliki kemampuan berinteraksi se-cara efektif

c) Memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan metodik dengan tepat.

PENUTUP

Pendidikan pada para generasi muda sangat penting terutama Pendidikan Islam yang mengutamakan pendidikan Moral yang mencakup seluruh aspek kehidupa-nya yang ramah kognisi, ramah afeksi dan ramah psikomotorik. Pada akhirnya, di-harapkan para gemerasi muda atau pemu-da dapat tumbuh dan berkembang men-jadi manusia-manusia yang utuh secara jasmani, rohani dan sosial sehingga siap hidup di tengah-tengah masyarakat yang kompleks. Realita kehidupan yang diha-dapi para pemuda amatlah komplek seh-ingga diperlukan individu-individu yang berkepribadian tangguh dengan karakter kuat yang akan mampu menjalani per-saingan hidup dan kehidupan. Bekal yang harus dimiliki tidak cukup sekedar ilmu pengetahuan, penguasaan teknologi, dan ketrampilan khusus, tetapi lebih dari itu pemuda harapan bangsa adalah pemuda yang memiliki sifat, moral, akhlaq untuk membentuk karakter guna berinterkasi dengan sesama di tingkat lokal maupun global.

Dengan memberikan budaya religius, akan memberikan ruang belajar bagi para pemuda, yang juga peserta didik, untuk menahan emosi dan membentuk karakter yang baik. Apabila pemuda dan peserta didik sudah mempunyai nilai religius yang included dalam dirinya, maka secara otomatis akan terbiasa dengan disiplin dan akan terbiasa menyatukan pikir dan dzikir. Dengan demikian, selalu mendekatkan diri pada Allah secara istiqomah. Pada gilirannya, pembiasaan pendidikan Islam akan membentuk manusia yang berpresta-si karena dengan istiqomah akan mampu menjadikan manusia yang cerdas, beri-man berprestasi dan bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. []

Page 60: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

DAFTAR PUSTAKA

M. Athiyah Al-Abrasyi (1993). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang

Ari� n, H.M. (1996). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Gra� ndo

Dwi purwokerto (1993). Pemuda Islam Di Pentas Nasional, Jakarta: Bina Cipta

Harmaidi Tatapangarsa (1990). Pengantar Kuliah Akhlaq, Surabaya: Bina Ilmu.

Hasan Basri (1995). Remaja Berkwalitas (Problem dan Solisinya), Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ibnu Maskawih (1994).Menuju Kesempurnaan Akhlaq, Bandung: Mizan

Hasan Langgulung (1995). Manusia dan Pendidikan, Jakarta: PT. Alhusna Zikro

Muhaimin (2003). Arah Baru pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, pengembangan kurikulum Hingga Redinivisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa

Rohmat Mulyana (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta.

Tau� k Abdullah (1991). Pemuda Dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES

Syahminan Zaini (1986). Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.

Zakiyah Darajad (1973). Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.

Page 61: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Martin Buber is one of those prominent philosophers who off er alternatives to the problem of the distanced or separated view of objects. is view has rooted in the Eastern world, thanks to the Cartesian modern philosophy and the increasingly development of science. e Philosophy of Dialogue is Buber’s proposal to overcome the problem of subject-object distancedness and separatedness. e Philosophy of Dialogue argues that reality is “relation”. ere are two kind of relations, according to Buber: I- ou and I-It relation. e I- ou relation is human experience as a totality; an original, spontaneous, unpretended and uninterested one that gives eff ect to the subject and the object as such. e I-It relation, on the contrary, is a distanced and power-pretended relation. It is the later relation that dominates philosophy and science in nineteenth century.

Human has a central and fundamental place in Buber’s metaphysical concept of “relation” because the whole beings exist in human’s encounter toward them. Buber’s view about human nature, therefore, is the most basic of his entire philosophical thought. is philosophical standpoint enables Buber to begin his formulation on philosophy of religion. Buber expresses God as e Eternal ou. With this expression, e Eternal ou, Buber wants to move beyond all manifestations of human’s belief of God because it is not the understanding about God that Buber is pointing at, but the dialogical moment between man and God. Buber also argues that the only way to express the encounter with e Eternal ou is by using paradoxical language. Only this paradoxical language can touch the most sublime side of that encounter.

Keywords: Martin Buber, Filsafat Dialog, Relasi I- ou dan I-It, e Eternal ou, Bahasa Paradox

TUHAN DALAM FILSAFAT DIALOGMARTIN BUBER

Oleh : Muhammad Hilal(Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta)

Page 62: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

BIOGRAFI SINGKAT

Mordechai Martin Buber lahir di Wina pada 8 Februari 1878. Oleh karena kedua orang tuanya bercerai pada usia 3 tahun, dia diasuh oleh kakeknya di Lem-berg, Galicia, yang pada saat itu masih menjadi bagian dari Austria. Di daerah itu Buber cilik dibesarkan hingga umur 14 tahun, lalu dia kembali ke rumah ba-paknya di Galicia Timur. Pada tahun 1897 dia mulai memasuki gedung universitas di bidang � lsafat dan sejarah seni di Wina. Setelah itu, dia masuk sebuah universitas di Leipsig, lalu mendapat gelar doktor di Universitas Berlin pada 1904. Pada 1899, dia bertemu Paula Winkler, seorang penganut Katolik Bavarian dan seorang penulis, yang kemudian pindah agama dan menjadi istri tunggal Buber sepanjang hayatnya.

Di sekitar awal pernikahannya ini Buber merasakan pentingnya ajaran-aja-ran Hasidisme. Dia membaca kumpulan kata mutiara Rabi Israel ben Eliezer, pen-diri Hasidisme, dengan penuh semangat. Perjumpaan mistik dengan Hasidisme di usianya yang ke-25 ini membuatnya menyingkir dari kesibukan lain dan me-musatkan 5 tahun berikutnya dalam mem-pelajari teks-teks Hasidisme. Persis pada saat dia merasakan arah yang lebih terang dalam kehidupannya, Buber keluar dari isolasi ini dan siap memulai kehidupan barunya yang lebih nyata sebagai seorang penulis, penceramah dan pendidik.1

Martin Buber adalah salah satu pendiri rumah penerbit Yahudi Jerman, Jüdischer Verlag. Pada tahun 1903, Buber, bersama dengan Chaim Weizmann dan Berthold Feiwel, mengajukan proposal un-tuk mendirikan Universitas Yahudi yang kemudian mendapat perhatian luas di sepanjang Eropa. Pada tahun-tahun jelang Perang Dunia I, Buber semakin tertarik dengan problem-problem sosial, sebuah ketertarikan yang merekah sebagian kare-na dia lama bergelut dalam Zionisme dan

1 Arthur A. Cohen, Martin Buber, (London: Bowes & Bowes Publishers, Ltd., 1957), hlm. 31-32.

karena tuntutan kaum muda Yahudi untuk memperkokoh akar tradisi dan mem-pererat komunitas. Pada tahun 1913, dia membantu mengorganisasi pembangunan perguruan tinggi Yahudi di Jerman yang dia harapkan akan memberikan pengaruh ke seluruh lingkungan Yahudi demi pem-baharuan budaya dan agama (tapi akhirn-ya tak mendapat hasil yang menggembira-kan). Tak lama setelah itu, Martin Buber berpartisipasi dalam sekelompok � gur intelektual penting di Eropa yang melaku-kan pertemuan di Potsdam selama tiga hari untuk mendiskusikan problem-prob-lem dan kemungkinan-kemungkian pen-yatuan internasional. Di antara peserta lain dari kelompok ini adalah Gustav Lan-dauer, Frederik van Eeden, dan Florens Christian Rang; namun, karena ledakan Perang Dunia I, usaha ini berantakan di tengah jalan.2

Pada 1916, Buber mendirikan De Jude, sebuah surat kabar periodis yang dia edit hingga 1924 dan pada saat dia memi-mpin menjadi salah satu organ Yahudi yang paling terkenal di Jerman. Sejak 1926 hingga 1930, dia bersama dengan Catholic Joseph Wittig dan Viktor von Weiźäcker menerbitkan Die Kreatur, sebuah surat kabar periodis mengenai problem sosial dan pendidikan agama. Selama periode ini, Buber telah mengajar � lsafat agama Yahudi dan sejarah agama-agama di Uni-versitas Frankfurt. Kebanyakan waktu dari tahun-tahun ini juga dia habiskan untuk menyelesaikan terjemahannya yang mo-numental terhadap Bibel Yahudi ke dalam bahasa Jerman bersama koleganya, Franz Rosenzweig. Sejak 1933 hingga 1938, Buber amat terkenal karena usahanya atas nama kaum Yahudi Jerman melawan

2 Anonim, http://plato.stanford.edu/entries/buber, download 1 Juni 2012

Dalam pandangan Buber, seharusnya manusia bisa memasuki pengalaman langsung terhadap Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Page 63: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

terhadap meningkatnya sikap anti-semitis-me yang dimotori oleh kaum Nazi.3

Tahun 1938 dia menerima posisi sebagai professor di bidang sosiologi dan � lsafat sosial di Hebrew University di Jaru-salem, buah dari emigrasinya dari Jerman ke Palestina. Pada 1951, Buber pensiun dari posisinya di Hebrew University, tapi dia tetap bergiat di wilayah pendidikan orang dewasa (Friedmann, 1956: 9). Di tahun-tahun ini, dia isi dengan kegiatan menulis, mengajar di sejumlah tempat di sepanjang benua Eropa dan Amerika, dan mengupayakan solusi kon� ik Arab-Yahu-di di Palestina. Martin Buber meninggal pada 13 Juni 1936, di usianya yang ke-67.4

PERJUMPAAN DENGAN PEMIKIRAN SEBELUMNYA

Melalui Immanuel Kant, Buber belajar tentang bagaimana ‘realitas’ ses-ungguhnya berada di luar kemampuan capaian manusia, karena realitas tidak akan menampak kecuali dalam kerangka ruang dan waktu. Filsafat Martin Buber, seperti yang akan kita lihat nanti, be-rusaha melampai � lsafat Idealisme Transendental ala Kant ini, namun pada saat yang sama dia tidak ingin terjebak pada pan-dangan ‘objektif ’ yang naif pra-Kantian terhadap alam semesta. Dalam pan-dangan Buber, seharusnya manusia bisa memasuki pengalaman langsung terhadap Tuhan, sesama manusia, dan alam.5

Melalui Wilhelm Dilthey, Buber memperoleh cara pandang baru untuk menyelesaikan persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh Idealisme Transendental.

3 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life of Dialogue, (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), hlm. 8.

4 Maurice Friedmann, Encounter on The Narrow Ridge: A Life of Martin Buber, (New York: Paragon House, 1991), hlm. 457.

5 Maurice Friedmann, Encounter on The Narrow Ridge…. hlm. 17.

Dilthey melakukan pembedaan radikal antara cara mengetahui Geisteswissen-scha en—studi-studi mengenai manusia seperti � lsafat, ilmu sosial, dan psikolo-gi—dan cara yang tepat untuk mengetahui Natuurwissenscha en—ilmu-ilmu keala-man. Pada pihak yang pertama, seseo-rang tidak bisa sekadar berperan sebagai pengamat yang berjarak dengan objek tapi juga harus berpartisipasi, sebab melalui partisipasilah dia bisa menyibak sisi tipikal dan unik dalam kehidupan manusia yang sedang dia amati.6

Filosof lain yang berpengaruh terh-adap pemikiran Buber adalah Frederick Nietzsche. Dalam salah satu artikeln-ya, Buber menyebut Nietzsche sebagai “pemandu pertama menuju budaya baru,” “seorang penggugah dan pencipta nilai-hidup dan rasa-dunia yang baru.” Nietzsche mempengaruhi Buber dalam hal dinamisme, kreativitas dan keagungan, tekanan terhadap sisi konkret dan aktual ketimbang sisi abstrak dan ideal, manfaat

kon� ik, serta tekanannya terhadap nilai dorongan hidup dan keseluruhan realitas ketimbang kepada sobekan-sobekan inteletu-alitas yang terpisah-pisah.7

Namun, di antara semuanya itu, pengaruh terbesar terhadap Buber adalah dari pemikiran seorang eksistensialis: Søren Kierkegaard. Pe-mikiran Kierkegaard bahwa terdapat hubungan langsung antara seorang

individu dengan Tuhan menginspirasi Martin Buber. Kierkegaard menyebut Tuhan dengan sebutan ‘ ou’, seorang individu yang gelisah dan tak tersembunyi sebagai seorang individu, konsep knight of faith (ksatria iman) yang tidak bisa ber-lindung pada yang universal melainkan se-

6 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life … hlm. 34.

7 Maurice Friedmann, Encounter on The Narrow Ridge…. hlm. 18-19.

Bagi Simmel, ‘percaya’ (believe) kepada Allah berarti tidak sekedar

keyakinan rasional terhadap eksistensi-Nya, melainkan juga

suatu hubungan batin terhadap-Nya, sikap

pasrah terhadap rasa dan arah hidup.

Page 64: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

lalu menghadapi risiko di dalam keunikan konkret dari setiap situasi baru, dan pent-ingnya realisasi keimanan seseorang di dalam kehidupan sehari-hari, semua ini adalah konsep-konsep Kierkegaard yang menginspirasi dan mempengaruhi Martin Buber.8

Lebih dari itu semua, tidak bisa dilupakan pengaruh Ludwig Feuerbach dan Georg Simmel di sini. Tidak seperti Immanuel Kant yang mempostulatkan keseluruhan aspek manusia sebagai per-mulaan ber� lsafat, manusia di sini oleh Feuerbach dimaksudkan bukan manusia sebagai individu, melain manusia dengan manusia—sebuah relasi I- ou dalam Martin Buber. Georg Simmel juga ber-bicara soal relasi ini dan membekaskan pengaruh tertentu terhadap Martin Buber. Bagi Simmel, ‘percaya’ (believe) kepada Allah berarti tidak sekedar keyakinan ra-sional terhadap eksistensi-Nya, melainkan juga suatu hubungan batin terhadap-Nya, sikap pasrah terhadap rasa dan arah hid-up. Dan cara yang sama, ‘percaya’ (believe) kepada sesama manusia berarti memiliki suatu relasi kepercayaan (trust) terha-dap manusia secara keseluruhan, sebuah hubungan yang mengatasi segala hujah apapun mengenai kualitas partikularnya—sebuah relasi I- ou dalam pandangan Martin Buber.9

PEMIKIRAN FILOSOFISMartin Buber kadang dianggap se-

bagai seorang � losof, kadang seorang mis-tikus, kadang seorang pujangga prosais, dan kadang pula dianggap sebagai seorang teolog. Mengenai anggapan yang terakhir ini, Buber menyangkal sendiri dan menga-takan bahwa dirinya tidak pernah menyo-dorkan suatu doktrin apapun, melainkan hanyalah sejumlah observasi-observasi eksperimental mengenai relasi manusia dengan Tuhan.

Buber menjelaskan sendiri hasil pe-mikirannya sebagai atipikal, tak berciri

8 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life … hlm. 35-36.

9 Ibid, hlm. 48.

apapun. Namun, bila seseorang hendak melabelkan dirinya, dia lebih suka diang-gap sebagai seorang � losof karena dalam mengelaborasi pengalaman-pengalamann-ya, akal menempati posisi yang amat kuat di sana.10

Dalam padangan Martin Buber, ek-sistensi itu tak bisa dipahami kecuali da-lam relasi. “All real living is meeting,” ka-tanya. Relasi itu, dalam pandangan Buber, terbagi menjadi dua model, yakni relasi I- ou dan I-It. Pengertian dari dua cara ini kerap disalahartikan bahwa I- ou digunakan untuk berhubungan dengan sesama manusia atau Tuhan, sedangkan hubungan I-It diartikan sebagai hubungan dengan hewan atau benda-benda. Padahal perbedaan antara keduanya itu tidak terle-tak pada objek relasinya, melainkan dalam relasi itu sendiri, dalam cara berhubungan itu sendiri.

Dua model relasi ini sudah dia te-gaskan sejak awal dari bukunya:

To man the world is twofold, in accor-dance with his twofold attitude. e attitude of man is twofold, in ac-cordance with the twofold nature of the primary words which he speaks. e primary words are not isolated words, but combined words. e one primary word is the combina-tion I- ou. e other primary word is the combi-nation I-It; wherein, without a change in the primary word, one of the words He and She can replace itu.11

Dari kutipan di atas, Buber kemudi-an menjelaskan bahwa dua model relasi itu mengindikasikan dua cara seseorang berhubungan dengan apapun yang sedang atau mungkin akan dia hadapi. Hubun-gan I- ou dicirikan dengan mutualitas (mutuality), keadaan langsung (directness), hadir (presentness), kuat (intensity) dan tak-terlukiskan (ineff ability). Kata ou

10 Robert Wood, Martin Buber’s Ontology: An Analysis of I and Thou, (United States of America: Nor-thwestern University Press, 1969), hlm. 27.

11 Martin Buber, I And Thou, penj. Ronald Gregor Smith, (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984), hlm. 3

Page 65: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

dalam relasi I- ou tidak terbatas pada manusia, bisa jadi ia berupa pohon di de-pan bangunan ini, kucing tetangga, buku-buku yang berjejer di rak perpustakaan, sepatu yang kita kenakan, dan tentu saja juga Tuhan yang Buber sebut sebagai e Eternal ou. Sedangkan relasi I-It, Martin Buber menjelaskan bahwa relasi ini men-dominasi kebanyakan eksistensi manusia. Alam It didasarkan pada pengalaman seseorang, namun pengalaman itu sendiri berarti relasi dengan hanya sebagian dari sesuatu. Relasi I-It adalah relasi mengala-mi dan menggunakan, dan oleh kerena itu berupa hubungan subjek-objek. Relasi ini juga bisa berlangsung dengan sesama ma-nusia, dengan benda-benda, dan dengan Tuhan sekalipun..12 Buber mengatakan:

I perceive something. I am sensible to something. I imagine something. I will something. I feel something. I think something. e life of human beings does not consist of all this and the like alone. is and the like together establish the realm of It.But, the realm of ou has a diff erent basis.13

Sebaliknya, alam ou muncul di kala I berelasi dengan sesuatu dalam keadaan yang paling penuh, dalam kes-eluruhannya sebagai ada.

Contohnya, Pohon yang sedang saya hadapi ini bukanlah ou sebelum saya berhadapan dengannya. Bila saya meng-hadapinya tanpa membandingkannya dengan pohon lain, tanpa memperhitung-kan apakah ia pohon Jati atau pun Pohon Kamboja, tanpa mengira-kira berapa balok yang akan saya hasilkan darinya, pada saat itulah saya bisa mengadakan relasi I- ou dengannya. Begitu pula halnya dengan manusia, dia bukanlah se-sosok ou bagi saya apabila saya belum melakukan perjumpaan, mengadakan suatu hubungan, dengannya. Tindakan

12 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life … hlm. 57.

13 Martin Buber, I And Thou…. hlm. 4.

apapun yang saya lakukan atau yang orang lain itu lakukan, jika tidak berlangsung secara dua arah (mutuality), relasi I- ou tidak bisa berlangsung.

Namun, dengan pembagian ini Martin Buber tidak hendak menghimbau untuk mengunggulkan yang satu dan meninggalkan sama sekali yang lain. Dua model relasi ini, bagi Martin Buber, men-empati posisi yang saling melengkapi dan bergonta-ganti satu sama lain. Seseorang tidak bisa bersikukuh mengadakan hanya relasi I- ou di dalam semua aspek ke-hidupannya. Dalam hidupnya akan selalu ada relasi I-It. Hanya dengan menging-inkan terus-menerus untuk mengada-kan hubungan langsung dengan alam It (It-World atau realm of It) dia memaknai dunianya, dan dengan pergantian relasi inilah eksistensi manusia menjadi otentik. Pada saat It menjadi terlalu dominan dan menghalangi jalan kembali menuju relasi I- ou, eksistensi manusia menjadi labil dan tidak sehat, sehingga kehidupan sosial dan personalnya pun tidak otentik.

Akan tetapi, Buber menambahkan, keseluruhan I dan juga ou tidak ter-dapat dalam keterpisahannya satu sama lain. Jika keduanya terisolasi satu sama lain, masing-masing tidak memiliki mak-na di dalam dirinya. Justru dalam relasi dengan dengan ou, I mendapatkan keadaannya yang paling penuh, dan juga sebaliknya.

Bagaimana kita akan melacak aspek ontologis dari pemikiran Martin Buber ini? Jika dilacak secara historis, kehidupan Martin Buber ini sezaman dengan Martin Heidegger. Pemikiran kedua � losof Jer-man ini tentu memiliki keterkaitan erat. Dalam esainya berjudul What is Man?, Buber melancarkan sebuah kritik terhadap pandangan Heidegger tentang manusia. Sebaliknya, dalam serangkaian kuliah yang Heidegger sampaikan pada musim panas 1927, yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku e Basic Problems of Phenomenology, Heidegger pun mengri-tik pemikiran I- ou Martin Buber. Na-

Page 66: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

mun, meskipun memiliki kaitan erat da-lam pemikiran, kedua � losof ini berbeda dalam hal titik tolak pemikiran � lsafatnya. Martin Buber berkebalikan dari Martin Heidegger yang berusaha mencari fun-damen ontologis dari makna Being secara umum dan berusaha menghadirkan dan memformulasikan ontologi fundamental. Dalam beberapa esainya, Buber memang sepintas kilas menunjukkan dan menje-laskan signi� kansi ontologis dari perjum-paan I- ou dan dialog. Tapi semua itu bukanlah sebuah upaya membangun se-bentuk ontologi fundamental sebagaimana yang telah dilakukan oleh Heidegger.14

Untuk menemukan basis ontologis pemikiran Martin Buber, perlu dijelaskan problem � loso� s yang sedang mengemuka pada saat itu dan hendak diselesaikan olah Martin Buber. Pada permulaan abad ke-20, problem utama yang dihadapi oleh � lsafat adalah, pertama, kebuntuan antara subjektivisme dan objektivisme, dan ke-dua, tegangan antara jiwa dan kehidupan. Menghadapi dua sentral problem dalam pemikiran � lsafat zamannya ini, Buber mengajukan sebuah perspektif yang dia munculkan dari hasil permenungannya sendiri. Dalam pandangan Buber, akar problem itu terdapat dalam relasi subjek-objek, di mana subjek adalah “sesuatu di sini” sementara objek adalah “sesuatu di sana” atau paling tidak mengonstitusi ke-duanya. Melangkah lebih jauh dan memo-tong dikotomi subjek-objek ini, Buber lan-tas mengikat subjek dan objek ini dalam sebuah ikatan identitas-dalam-perbedaan yang dia sebut sebagai relasi I- ou dan mengonstitusi sebuah wilayah yang dia

14 Haim Gordon, The Heidegger-Buber Contro-versy: the status of I-Thou, (United State of America: Gre-enwood Press, 2001), hlm. 116.

sebut Between (das Zwischen).Between yang teraktualisasi dalam

relasi ini merupakan sentral pemikiran Martin Buber. Gagasan ini mengandung dua elemen penting. Pertama, ia mengacu pada karakter trensendensi diri dari tin-dakan sehingga seseorang bisa berhubun-gan dengan ou. Kedua, ia mengacu pada keadaan tertutup mutlak, yakni keliyanan sejati dari ou.

Sama seperti Heidegger, Buber beru-saha kembali ke dasar meta� sika. Dalam proyek � lsafatnya, Heidegger berusaha kembali ke ontologi fundamental, men-dobrak kelupaan akan Ada. Demikian pula Buber, meskipun dia mengaku tidak memiliki sistem meta� sika, namun dia mengklaim suatu meta� sika. Meta� sika bagi Buber adalah suatu pernyataan ten-tang yang transeksperiensial, sesuatu yang lebih dalam dari pengalaman manusia. Yang transeksperiensial tidak lain adalah Between, dan oleh karena itu ontologi bagi Buber harusnya berupa tindakan perjum-paan sejati dengan liyan. Between ini, yak-ni pertemuan antara I yang sadar dengan liyan yang manifes ini, adalah tempatnya Being dan oleh karenanya merupakan lokus ontologi Buber.15

ANTROPOLOGI FILOSOFIS

Meta� sika Martin Buber amat me-nekankan posisi dan peran manusia dalam total cakrawala eksistensi. Sejak awal dari bukunya, Martin Buber belum apa-apa telah menyebut manusia dan menyatakan bahwa “to man the world is twofold”. Den-gan pernyataan ini, Buber menekankan pentingnya manusia dalam penyelidikan meta� sis dan menganggap bahwa dunia sebagai totalitas riil tidaklah berada di sana dalam dirinya sendiri, melainkan dalam penampakannya di hadapan ma-nusia. Dengan demikian, titik pijak I and ou bukanlah meta� sika ataupun teologi, melainkan antropologi � loso� s, problem manusia. Oleh karena itulah, maka semua

15 Robert Wood, Martin Buber’s Ontology…. hlm. 111-112.

Dalam proyek � lsafatnya, Heidegger berusaha kembali ke ontologi fundamental, mendobrak kelupaan akan Ada.

Page 67: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

karyanya mengarah pada totalitas dalam relasinya dengan manusia—sebagaima-na ia menampak bagi manusia.16

Dalam menyelidiki hakikat ma-nusia, Buber menjalankan dua manuver sekaligus. Pertama, menggambarkan manusia bukan dalam kategori substan-si, sebagaimana dilakukan oleh � losof modern pendahulunya, melainkan dalam kategori relasi. Kedua, dengan menspesi� kasi pola relasi itu. Demi me-mahami pandangan antropologi � loso� s Martin Buber, dua pasangan postulat ini musti dicamkan betul, mengingat hal ini-lah yang membedakan pemikiran Buber tentang manusia dari lainnya.

Dalam risalahnya, What is Man?, Martin Buber menyebutkan bahwa pada masa itu antropologi � loso� s telah men-capai masa dewasanya.17 Berusaha me-mahami pernyataan ini berarti kita harus melacak aspek sosio-historis antropologi � loso� s, dan dengan demikian akan ter-jawab pula apa maksud antropologi � lo-so� s dalam pandangan Buber. Penyataan tersebut mengandung aspek sosiologis dan psiko-sosial sekaligus, namun Buber me-nitikberatkan penyelidikannya pada aspek � loso� s. Dalam bidang � loso� s, dua pen-gertian bisa disibak, yang negatif maupun positif.

Alasan peningkatan studi antropo-logi � loso� s pada masa itu merupakan reaksi terhadap pola penjelasan tradisional yang terlalu menekankan pada karakter rasional dari manusia. Pola tradisional ini menyatakan bahwa sisi rasional-speku-lati� ah yang membedakan manusia dari hewan lain, meskipun mengakui kekua-tan-kekuatan lain. Anggapan ini ditolak oleh Buber. Bagi Buber, aspek rasional memang memiliki peran yang amat tinggi dalam kehidupan manusia, namun bukan berarti bahwa ia adalah satu-satunya pe-nanda esensi manusia, bukan satu-satunya penentu hakikat kemanusiaan. Persoalan

16 Ibid, 34.17 Martin Buber, Between Man and Man, penj.

Ronald Gregor Smith, (London: Routledge Classics, 2002), hlm. 168.

akal manusia ini tidak bisa ditilik seperti itu, melainkan harus dilihat sebagai pen-dukung aspek kemanusiaan saja. Dengan demikian, problem yang hendak dipe-cahkan oleh antropologi � loso� s bukanlah problem rasionalitas manusia itu, sebagai kontras dari makhluk-makhluk lain atau bagian-bagian non-rasional dari diri ma-nusia, melainkan sebuah upaya melihat manusia dalam totalitasnya. Inilah pen-gertian negatif dan reaktif dari antropologi � loso� s di atas.18

Sedangkan pengertian positif dari antropologi � loso� s sebagaimana terdapat dalam benak Buber adalah upayanya melacak benang merah dari pemikiran Immanuel Kant. Menurut Kant, secara universal � lsafat adalah upaya menjawab empat pertanyaan utama: (1) Apakah yang bisa saya ketahui? (2) Apakah yang harus saya lakukan? (3) Apakah yang bisa saya harapkan? (4) Apakah manusia itu? Secara berurutan, keempat pertanyaan itu bisa dilihat dengan meta� sika, etika, agama dan antropologi. Tapi, Buber sege-ra melanjutkan bahwa Kant mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini dengan sangat tepat sekali, hanya saja dia tidak menjawab pertanyaan yang terakhir dengan jawaban yang memuaskan. Bahkan, demikian Mar-tin Buber, pertanyaan keempat ini, what is man?, telah banyak dielakkan, disa-lahpahami, dan dijawab dengan cara yang keliru dan serampangan oleh kebanyakan pemikir sejamannya.

18 Philip Wheelright, “Buber’s Philosophical Anthropolical” dalam Paul Arthur Schlipp dan Maurice Friedmann (eds.), The Philosophy of Martin Buber, (Uni-ted States of America: The Library of Living Philosophers, Inc., 1991), hlm. 72.

... problem yang hendak dipecahkan oleh antropologi � loso� s bukanlah

problem rasionalitas manusia itu, sebagai kontras dari makhluk-

makhluk lain atau bagian-bagian non-rasional dari diri manusia, melainkan

sebuah upaya melihat manusia dalam totalitasnya.

Page 68: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Jika kita lacak dari awal sejarah penyelidikan tentang manusia, ke-banyakan pemikir menganggap watak manusia sebagai problem yang objektif. Manusia adalah benda di antara benda-benda alam (Aristoteles); manusia adalah garis pembatas antara alam spiritual dan alam � sik ( omas Aquinas); manusia adalah makhluk yang melaluinya cinta Tuhan bisa manifest (Baruch Spinoza); manusia tercipta sendiri dengan kesadaran akan ‘kelemahan tak terbatas’ dalam kai-tannya dengan alam semesta yang sangat besar dan tak dapat diduga (Blais Pascal); manusia, kendati merupakan satu momen dalam dialektika sejarah, adalah prinsip di mana akal universal mencapai kesa-daran diri dan kesempurnaannya (G. W. F. Hegel); melalui reduksi terhadap gam-baran Hegelian mengenai alam semesta, keseluruhan kehidupan manusia terbatas pada masyarakatnya (Karl Marx); manusia adalah wujud sentral dan problematis di dalam alam semesta, dan karena sifatnya yang problematis itu bentuk dan capaian � nalnya masih belum baku dan tak-ter-prediksi (Frederick Nietzsche); manusia adalah makhluk yang esensialitas eksis-tensinya, sungguhpun dia hidup dengan orang lain, adalah kesepian (Martin Hei-degger).

Salah satu alasan kekeliruan ini ada-lah karena mereka tidak berusaha menilik apa yang kemudian disebut dengan wi-layah interhuman. Alasan lain yang bisa disebutkan di sini adalah karena sulitnya membuat penjelasan tentang manusia se-cara keseluruhan. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa pendekatan sainti� k, dan juga beberapa � losof, selalu membidik satu bagian saja dari manusia. Misalnya, psikolog dan � losof telah mendiskusikan psikologi imajinasi dari manusia. Salah satu cara mendiskusikan manusia yang telah dilakukan oleh sebagian pemerhati, namun oleh Buber tetap dianggap tidak bisa menyelesaikan problem di atas, ada-lah mendiskusikan manusia sebagai ba-

gian dari keseluruhan yang lebih besar.19

Dua cara itu mewakili dua kutub pemikiran tentang manusia, yakni indi-vidualisme dan kolektivisme. Bagi Buber, keduanya tidak menjelaskan apa-apa mengenai manusia karena dalam kutub pertama manusia direduksi dalam kesen-diriannya yang terpisah dari entitas lain, sementara dalam kutub kedua manusia semata-mata diasimilasikan dalam masya-rakat. Menurut Martin Buber, kedua kutub ini mendistorsi hakikat manusia.

Dari berbagai tanggapan terhadap � lsafat manusia sebelumnya inilah Buber lantas mengajukan sebuah cara pandang yang ditopang oleh gagasannya mengenai ‘perjumpaan’ I- ou. e fundamental fact of human existence is man with man, demikian kata Martin Buber. Bukanlah dalam keterisolasiannya dalam dirinya sendiri, bukan pula asimilasinya dalam sebuah kelompok, melainkan dalam relas-ilah manusia bisa menangkap gambaran utuh mengenai dirinya. Kedua kutub ekstrem itu tidak saja menutupi manusia dari kebenaran, bahkan, dalam pandangan Buber, ia menutup manusia dari manusia lainnya.

‘Perjumpaan’ itu bukan sekadar kei-kutsertaan manusia dalam sebuah kelom-pok komunal saja, sebab yang mengikat manusia satu sama lain bukanlah kese-pakatan pragmatis saja, melainkan, lebih dari itu, berbagi suatu porsi dari hakikat kemanusiaan itu sendiri—entah ia mau disebut cinta, simpati, atau saling percaya. Dengan demikian, ‘Perjumpaan’ itu berada di luar jangkauan dua ekstrem yang dise-butkan di atas itu, karena peristiwa ‘per-jumpaan’ adalah peristiwa yang spontan, kebetulan, dan tanpa intensitas. Namun, pada saat ‘perjumpaan’ itu berlangsung, peristiwa itu tidak lagi sebuah kebetulan, melainkan sebuah peristiwa keberlangsun-gan garis nasib.20

Martin Buber mengumpamakan wa-19 Haim Gordon, The Heidegger-Buber Contro-

versy… hlm. 151-152.20 Arthur A. Cohen, Martin Buber…. hlm. 92-94.

Page 69: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

tak ‘perjumpaan’ yang melampaui kutub subjektif dan kutub objektif itu dengan perumpamaan narrow ridge, sebuah jalan sempit di punggung bukit yang terjal. Di kedua sisi narrow ridge itu terbentang ju-rang berbatu tajam, mewakili rasionalitas dan imajinasi. Memilih satu dari kedua sisi narrow ridge itu, berarti rasionalitas atau imajinasi, sama saja dengan bunuh diri.

Dengan perumpamaan narrow ri-dge ini, Buber ingin mengatakan bahwa peristiwa perjumpaan tidak bisa dilihat dalam sudut pandang objektivitas yang didukung sepenuhnya oleh akal, tidak bisa pula direduksi dalam getaran perasaan pribadi yang subjektif. Lebih dari itu, ‘per-jumpaan’ haruslah melampaui keduanya, yakni rasional sekaligus imajinatif. Buber mencontohkan peristiwa ‘perjumpaan’ semacam ini dengan perjumpaan Musa dengan Tuhan.21

MARTIN BUBER DAN FILSAFAT KETUHANAN

Telah disebutkan di muka bahwa Martin Buber tidak ingin disebut sebagai seorang teolog meskipun dia memiliki pe-mahaman keagamaan yang mendalam dan telah menelaah problem-problem agama secara rasional. Di atas juga sudah dije-laskan bagaimana pemikiran meta� sika Martin Buber serta terapannya terhadap konsep manusia. Berikut ini adalah impli-kasi pandangan meta� sis Buber terhadap teologi dan konsep ketuhanan.

Di atas telah disebutkan bahwa Martin Buber menyebut Tuhan dengan e eternal ou. Dalam kata-kata Buber sendiri:

In every sphere in its own way, through each process of becoming that is present to us we look out toward the fringe of the eternal ou; in each we are aware of a breath from the eternal ou; in each ou we address the eternal.22

21 Donald J. Moore, Martin Buber; Prophet of Religious Secularism, (New York: Fordham University Press, 1996), hlm. xxviii-xxx.

22 Martin Buber, I And Thou…. hlm. 6.

Buber menggunakan istilah the eternal ou ini bukan dalam rangka menggantikan istilah Tuhan sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab suci, melain-kan justru dalam rangka menklari� kasi pengertian yang dimaksudkan oleh orang-orang beriman ketika mereka menggu-nakan kata Tuhan.

ou ini mengacu pada Tuhan den-gan nama atau konsep apapun Dia ditun-juk, bahkan oleh orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan sekalipun. Menurut Buber, untuk melakukan “perjumpaan” dengan e Eternal ou, seseorang harus menjadi dirinya yang paling penuh. Selain itu, “pertemuan” ini meniscayakannya untuk mengesampingkan alam indera seakan-akan semua itu hanyalah ilusi dan melampaui pengalaman inderawi. Model “perjumpaan” dengan e Eternal ou seperti yang diajukan oleh Buber ini bukanlah sebuah laku mistik, melainkan sebuah pandangan yang sepenuhnya � lo-so� s.23

e eternal ou bisa dialamatkan terhadap setiap tipe perjumpaan I- ou karena ia adalah kekuatan yang men-dorong berlangsungnya perjumpaan di-alogis, yakni sebuah relasi yang meriung dan merangkul segenap liyan. Dengan demikian, seseorang bisa melakukan ‘perjumpaan’ I- ou dengan makhluk tak-sadar seperti pohon—pohon itu ber-landaskan pada Tuhan, yang sebagai the eternal ou, merupakan latar dari segala relasi I- ou.

Penyajian Buber mengenai the eternal ou ini mencerminkan dilema tradisio-nal dari teisme. Jika yang ditekankan ada-lah karakter personal Tuhan, sebagaimana Buber tekankan sendiri ketika dia menya-takan bahwa Tuhan adalah … the ou that by its nature cannot be It ( ou yang wataknya tidak bisa menjadi It), muncul kekhawatiran mereduksi Tuhan ke dalam tatanan makhluk terbatas, pribadi di an-tara pribadi-pribadi. Di sisi lain, jika yang

23 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life…. hlm. 70-73.

Page 70: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

ditekankan adalah karakter transenden dari Yang Absolut, sebagaimana ketika Buber menyebutnya sebagai the eternal ou, muncul bahaya mereduksi Tuhan ke dalam status ide di mana dimensi personal dari pengalaman keagamaan kemudian hilang. Buber sendiri menolak pandan-gan bahwa Tuhan itu cuma sekedar ide, bahkan yang paling sublim sekalipun. Bagi Buber, solusi menjembatani dilema antara karakter personal dan transenden Tuhan ini adalah dengan menggunakan bahasa paradoksal, yakni dengan menyebut-Nya sebagai absolute personality, pribadi abso-lut.24

Paradoks adalah asumsi operatif yang sifatnya fundamental dalam pemikiran Buber. Menurutnya, terdapat korelasi an-tara bahasa dan pengalaman, tapi korelasi itu berlapis ganda sehubungan dengan karakter ganda dari tindakan I-It dan I- ou. Bahasa koheren memang men-cukupi untuk mengekspresikan pengala-man I-It, namun pada saat yang sama ia mendistorsi dimensi terdalam dari realitas yang bisa terungkap dalam perjumpaan I- ou. Pikiran bisa mere� eksikan dimensi ini secara akurat hanya dengan kesadaran bahwa ia ditransendensikan ke dalam di-mensi itu. Oleh karena itu, tak ada jalan lain selain mengakui bahwa semua itu harus direkonsiliasikan dengan bahasa paradoks.

Dengan bahasa paradoks, Buber me-ngungkapkan:

Of course God is the “Wholly Other”; but He is also the Wholly Same, the Wholly Present. Of course He is the Mysterium Tremendum that appears and overthrows; but He is also the Mystery of the self-evident, nearer to me than my I.25

‘Perjumpaan’ haruslah dijalani ke-timbang sekedar dipikirkan. Tuhan bisa benar-benar dipahami dalam perjump-aannya dengan the eternal ou. Dengan

24 Martin Buber, I And Thou…. hlm. 242.25 Ibid, hlm. 79.

demikian, rumusan paradoksal mustilah dekat sebisa mungkin dengan bahasa ki-tab suci. Dalam hal ini, Buber cukuplah konsisten dengan pendiriannya—bahasa paradoksal dari ‘perjumpaan’ itu adalah ungkapan yang paling tepat dari relasi ma-nusia dengan Tuhannya ketimbang bahasa koheren-rasional.

KESIMPULAN

Filsafat ketuhanan Martin Buber amat dekat dengan Søren Kirkegaard. Namun keduanya tidak bisa dikatakan identik se-bab berangkat dari titik pijak dan konteks keprihatinan yang sangat berbeda. Mar-tin Buber mengawali � lsafatnya melalui sebuah upaya untuk menyelesaikan per-soalan � loso� s yang dihadapi oleh jaman modern, di mana perkembangan sains dan teknologi melesat dengan cepatnya. Implikasi perkembangan ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap ma-nusia dan kehidupannya, tak terkecuali terhadap kehidupan keagamaan manusia dan relasinya dengan Tuhan.

Bagi Buber, perkembangan sains dan teknologi berpusat kepada cara pandang subjek-objek terhadap realitas. Implikasin-ya, manusia benar-benar berjarak dengan segala sesuatu yang dihadapinya. Lebih dari itu, perlakuan manusia terhadap ob-jek-objek itu pun bertujuan untuk men-guasai dan mengeksploitasi—yang oleh Buber sebut sebagai relasi I-It. Hal ini juga berlaku dalam hubungan manusia dengan Tuhannya. Alam pikir dan cara pandang sainti� k ini telah merasuk ke segenap ke-hidupan manusia.

Untuk itu, tawaran relasi I- ou oleh Martin Buber adalah sebuah jawaban yang diharapkan bisa menyelamatkan hidup manusia yang terkungkung dalam cara pandang sainti� k yang berjarak itu. Tak terkecuali pula dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia telah menja-dikan-Nya berada jauh di sana, berjarak, dan tak saling terhubung. Bagi Buber, Relasi I- ou adalah jembatan perjum- paan antara manusia dan Tuhan. []

Page 71: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

DAFTAR PUSTAKA

Buber, Martin. (1984). I And ou (terjemahan Inggris oleh Ronald Gregor Smith). Edinburgh: T. & T. Clark.

___________. (2002). Between Man and Man (Terjemahan Inggris oleh Ronald Gregor Smith). London: Routledge Classics.

Cohen, Arthur A. (1957). Martin Buber. London: Bowes & Bowes Publishers, Ltd.

Friedmann, Maurice. (1956). Martin Buber e Life of Dialogue. Chicago: e University of Chicago Press.

___________. (1991). Encounter on e Narrow Ridge: A Life of Martin Buber. New York: Paragon House.

Gordon, Haim. (2001). e Heidegger-Buber Controversy: the status of I- ou. United State of America: Greenwood Press.

Diamond, Malcolm L. (1991). “Dialogue and eology” dalam Paul Arthur Schlipp dan Maurice Friedmann (eds.). e Philosophy of Martin Buber. United States of America: e Library of Living Philosophers, Inc.

Moore, Donald J. (1996). Martin Buber; Prophet of Religious Secularism. New York: Fordham University Press.

Wheelright, Philip. (1991). “Buber’s Philosophical Anthropolical” dalam Paul Arthur Schlipp dan Maurice Friedmann (eds.). e Philosophy of Martin Buber. United States of America: e Library of Living Philosophers, Inc.

Wood, Robert. (1969). Martin Buber’s Ontology: An Analysis of I and ou, United States of America: Northwestern University Press.

Zack, Naomi. (2010). e Handy Philosophy Answer Book. United States of America: Visible Ink Press.

“Martin Buber” dalam http://plato.stanford.edu/entries/buber, diunduh pada 1 Juni 2012

Page 72: POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN BEDA AGAMA … · POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

PEDOMAN PENULISANJURNAL PUSAKA: MEDIA KAJIAN DAN PEMIKIRAN ISLAM

STAI AL-QOLAM GONDANGLEGI MALANG

1. Penulis bertanggung jawab terhadap isi naskah. Korespondensi mengenai naskah Dialamatkan kepada penulis dengan mencantumkan institusi, alamat institusi, dan email salah satu penulis;

2. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Arab atau Bahasa Inggris. ditulis rapi dengan program Microso Word menggunakan font Times New Roman 12, spasi 1,5 pada kertas berukuran A4, dengan margin 2,5 cm, jumlah halaman maksimal 20. Adapun naskah berbahasa Arab menggunakan font Traditional Arabic 14.

3. Naskah yang ditulis dalam Bahasa Indonesia mencantumkan abstrak dalam Bahasa Inggris, sedangkan naskah yang menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Inggris mencamtumkan abstrak dengan Bahasa Indonesia. jumlah kata antara 150 sampai 200. Kata kunci harus dipilih untuk menggambarkan isi makalah dan paling sedikit 3 (tiga) kata kunci

4. Sistematika artikel meliputi: (a) judul, (b) nama penulis (tanpa gelar akademik), nama lembaga/institusi, dan email, (c) abstrak, (d) kata kunci, (e) pendahuluan, (f) bahasan utama, (g) simpulan dan saran, (i) da ar rujukan/pustaka (hanya memuat sumber yang dirunjuk), dan (j) lampiran (bila ada)

5. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan foot-note (catatan kaki) dengan mencantumkan nama penulis, judul rujukan, kota terbit, nama penerbit, tahun, dan halaman.

Contoh: M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, IV, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 12

6. Penulisan da ar pustaka mencantumkan nama penulis, tahun, judul referensi, kota terbit, dan nama penerbit.

Contoh: Sayyid Sabiq (2008). Fiqh Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikri

Naskah dikirim berupa so copy ke email [email protected] dan/atau [email protected]. Penulis menerima bukti pemuatan berupa hasil cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.