politik hukum dalam sistem pemda di aceh

33
1 PERSPEKTIF POLITIK HUKUM DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UUD 1945 Chandra Darusman S, S.H. *) A. Latar Belakang Masalah Soedarto memberikan pengertian mengenai politik hukum, yaitu “… kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan” (Amrullah, 2007). Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa bahwa pertama, politik hukum merupakan instrumen bagi para pembuat kebijakan mengenai bagaimana mengarahkan cara pencapaian suatu tujuan. Kedua, instrumen tersebut dibentuk dalam peraturan perundang- undangan. Ketiga, kebijakan tersebut harus merepresentasikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian akan tampak titik temu dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, di antaranya partisipasi masyarakat, yang dapat diakomodasi dalam politik hukum. Tentunya, setiap daerah memiliki politik hukum yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan politik hukum daerah yang lainnya; hal ini di dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya: faktor sosiologis, historis dan filosofis yang merupakan cerminan dari keadaan dan kepentingan masyarakat dari masing-masing daerah 1 . Sebagai suatu ilmu pengetahuan maka tentunya politik hukum itu memiliki pengertian secara yuridis teoritis yakni merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas atau menguraikan perbuatan aparat yang berwenang dengan *) Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang- undangan (La-QUHP) Aceh. 1 Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003

Upload: chandra-darusman-s

Post on 04-Jul-2015

269 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

1

PERSPEKTIF POLITIK HUKUM DALAM SISTEM

PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UUD 1945

Chandra Darusman S, S.H.*)

A. Latar Belakang Masalah

Soedarto memberikan pengertian mengenai politik hukum, yaitu “…

kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa

yang dicita-citakan” (Amrullah, 2007). Dari definisi tersebut, dapat dipahami

bahwa bahwa pertama, politik hukum merupakan instrumen bagi para pembuat

kebijakan mengenai bagaimana mengarahkan cara pencapaian suatu

tujuan. Kedua, instrumen tersebut dibentuk dalam peraturan perundang-

undangan. Ketiga, kebijakan tersebut harus merepresentasikan kepentingan

masyarakat. Dengan demikian akan tampak titik temu dengan prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik, di antaranya partisipasi masyarakat, yang dapat

diakomodasi dalam politik hukum. Tentunya, setiap daerah memiliki politik

hukum yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan politik hukum daerah

yang lainnya; hal ini di dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya: faktor

sosiologis, historis dan filosofis yang merupakan cerminan dari keadaan dan

kepentingan masyarakat dari masing-masing daerah1.

Sebagai suatu ilmu pengetahuan maka tentunya politik hukum itu

memiliki pengertian secara yuridis teoritis yakni merupakan suatu disiplin ilmu

yang membahas atau menguraikan perbuatan aparat yang berwenang dengan

*) Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang-

undangan (La-QUHP) Aceh.

1 Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah

pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003

Page 2: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

2

memilih beberapa alternatif yang tersedia, memproduksi suatu produk hukum

guna mewujudkan tujuan negara. Dari pengertian ini menggambarkan bahwa pada

prinsipnya maka politik hukum itu bersinggungan dengan bidang hukum lain

seperti Hukum administrasi negara karena didalamnya terdapat unsur aparat

negara atau penyeleggara negara.

Penyeleggara negara adalah lembaga-lembaga negara yang diberi

wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan pemerintahan sebuah negara.

Penyeleggara negara disebut juga pemerintah. Dari pengertian diatas pula

memunculkan suatu simpulan yakni bahwa politik hukum ini sangat berperan

dalam bidang kenegaraan khususnya dalam bidang pembuatan kebijakan negara

yang berlaku bagi semua elemen negara termasuk aparat negara sendiri dengan

tujuan akhrinya yakni bahwa cita cita negara sebagaimana terdapat dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat terwujud. Dengan demikian maka

jelaslah bahwa suatu produk hukum yang dihasilkan harus mengikutsertakan

politik hukum baik dalam proses pembentukannya maupun sampai pada

pelaksanaan dari suatu produk hukum tersebut. Pemerintah sebagai aparat negara

pun harus dapat memberikan suatu citra dan gambaran bagi masyarakat bukan

hanya dalam pembetukan produk hukum saja namun juga pada pelaksanaan

hukum itu sendiri karena jelas bahwa aparat hukum negara dalam melaksanakan

tugas negara harus pula berdasarkan pada produk hukum yang dibuatnya sendiri.

Di dalam negara kesatuan, pemerintahan Pusat adalah pembela utama

kepentingan nasional. Pemerintahan Pusat bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan pada tingkat nasional.

Sebaliknya, pihak daerah lebih menekankan pada kepentingan daerah. Misal,

dalam pandangan Daerah, sumber-sumber kekayaan yang ada di daerahnya sering

kali dianggap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan daerah dan rakyat disana.

Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang

untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan

kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi

Page 3: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

3

secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif bahkan

oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat.

Tanggapan yang positif ini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya

kemungkinan bahwa pelaksanaan system pemerintahan akan kembali ke arah

sentralisasi.

B. Indentifikasi Masalah dan Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahan

yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya Undang-Undang tentang

Pemerintah Daerah di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan sampai

dengan masa reformasi?

2. Kewenangan apa saja yang diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui

Undang-Undang tentang Otonomi Daerah kepada Pemerintah Aceh?

3. Seperti apakah pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang tentang

Otonomi Daerah di Provinsi Aceh?

Tulisan ini juga bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Undang-Undang mengenai

Pemerintahan Daerah di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan

sampai dengan masa reformasi

2. Untuk mengetahui kewenangan apa saja yang diberikan oleh

Pemerintah Pusat melalui UU tentang Otonomi Daerah kepada

Pemerintah Aceh.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan dan penerapan UU tentang Otonomi

daerah di Provinsi Aceh.

Page 4: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

4

C. Konsep Dasar Otonomi Daerah

Otonomi pada dasarnya adalah sebuah konsep politik (pendapat

Koesoemahatmadja, dan Miftah Thoha).2 Dari berbagai pengertian mengenai

istilah ini, pada intinya apa yang dapat disimpulkan bahwa otonomi itu selalu

dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian.

Sesuatu akan dianggap otonom jika sesuatu itu dapat menentukan dirinya

sendiri, membuat hukum sendiri dengan maksud mengatur diri sendiri, dan

berjalan berdasarkan kewenangan, kekuasaan, dan prakarsa sendiri. Muatan

politis yang terkandung dalam istilah ini, adalah bahwa dengan kebebasan

dan kemandirian tersebut, suatu daerah dianggap otonom kalau memiliki

kewenangan (authority) atau kekuasaan (power) dalam penyelenggaran

pemerintahan terutama untuk menentukan kepentingan daerah maupun

masyarakatnya sendiri.

Harris menjelaskan bahwa Pemerintahan Daerah (local self

government) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badanbadan

daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi

pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi

(kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggung jawab tanpa dikontrol oleh

kekuasaan yang lebih tinggi.3

De Guznon dan taples menyebutkan unsur-unsur Pemerintahan

Daerah yaitu :4

a. Pemerintahan Daerah adalah subdivisi politik dari kedaulatan

bangsa dan Negara;

b. Pemerintahan Daerah diatur oleh hukum;

c. Pemerintahan Daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih

oleh penduduk setempat;

2 DRH Koesoemahatmadja. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,

Jakarta: Bina Cipta, 1979, hal. 13 3 Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Grasindo,

Jakarta, 2007, hal. 11 4 Ibid.

Page 5: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

5

d. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan

peraturan perundangan;

e. Pemerintahan Daerah memberikan pelayanan dalam wilayah

jurisdiksinya.

Dengan merujuk pada uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

otonomi daerah berhubungan dengan Pemerintahan Daerah otonom (Self

Local Government). Pemerintahan Daerah otonom adalah Pemerintahan

Daerah yang badan pemerintahannya dipilih penduduk setempat dan memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan

peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan

nasional.

D. Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah

Berbicara landasan asas pelaksanaan Pemerintahan Daerah, akan

dijumpai tiga asas pokok yag selama ini sering digunakan banyak Negara

yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan

(medebewind).

a. Asas Desentralisasi

Pemaknaan asas desentralisasi mejadi perdebatan dikalangan

para pakar, dari pemaknaan para pakar tersebut Agus Salim Andi

Gadjong mengklasifikasikan desentralisasi sebagai berikut:5

1) Desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan

dari pusat ke daerah

2) Desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan

3) Desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan

pemberian kekuasan dan kewenangan

4) Desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan

daerah pemerintahan.

5 Ibid. hal. 79

Page 6: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

6

Sementara itu, Logemen membagi desentralisasi menjadi dua

macam yakni pertama dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan

(ambelitjke decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan dari tingkatan

lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam

melaksanakan tugas pemerintahan. Kedua desentralisasi ketatanegaraan

(staatkundige decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan

dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam

lingkungannya, dari desentralisasi ini dapat dibagi dalam dua macam

yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi

teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud

adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan

kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas

pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri.6

b. Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan

kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat

pusat di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang

melimpahkan kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat

yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau

pembuatan keputusan.7

Dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi,

dekonsentrasi sudah pasti desentralisasi, tetapi desentralisasi tidak selalu

berarti dekonsentrasi. Stronk berpendapat bahwa dekonsentrasi

merupakan perintah kepada para pejabat pemerintah atau dinas-dinas

yang bekerja dalam hierarchi dengan suatu badan pemerintahan untuk

mengindahkan tugas-tugas tertentu dibarengi dengan pemberian hak

6 Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, BinaCipta, Bandung:1985, hal. 44 7 Ibid.

Page 7: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

7

mengatur dan memutuskan bebetapa hal tetentu dengan tanggung jawab

terakhir tetap berada pada badan pemerintahan sendiri.8

Menurut Laica Marzuki dekonsentrasi merupakan ambtelijke

decentralisastie atau delegative van bevoegdheid, yakni pelimpahan

kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada instansi

bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Pemerintahan Pusat tidak kehilangan kewenangannya

karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintahan

Pusat.9

c. Asas Medbewind (Tugas Pembantuan)

Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan

pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang

kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas

pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi

pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun

secara vertikal.10

Jadi medebewind merupakan kewajibankewajiban

untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup

wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu:

1) Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-

daerah otonom untuk melaksanakannya.

2) Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu

mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu

dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan

mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu,

8 Hanif Nurcholis, Op., Cit., hal. 22

9 Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Jilid I, Sekretaris Jenderal Mahkamah

Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 54 10 Kaho, Josef, Riwu,. Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan RI,. Rajawali Press.

Jakarta: 1991, hal. 29

Page 8: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

8

3) Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerahdaerah

otonom saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang

tersusun secara vertikal.

Walaupun sifat tugas pembantuan hanya bersifat “membantu”

dan tidak dalam konteks hubungan “atasan-bawahan”, tetapi dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak mempunyai hak untuk

menolak. Hubungan ini timbul oleh atau berdasarkan ketentuan hukum

atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, tugas pembantuan

adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih

tinggi. Daerah terikat melaksanakan peraturan perundangan-undangan,

termasuk yang diperintah atau diminta dalam rangka tugas pembantuan.

E. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang mengenai Pemerintahan

Daerah di Indonesia

1. Masa Awal Kemerdekaan

Sejak awal kemerdekaan politik hukum otonomi daerah

senantiasa digariskan melalui proses eksperimen yang sepertinya tidak

akan pernah selesai. Ia selalu berubah dan diubah sesuai dengan

perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek

dalam sistem otonomi seperti aspek formal, materil, nyata, seluas-

luasnya, hubungan kekuasaan, cara pemilihan dan lain sebagainya yang

dalam praktik di lapangan senantiasa menimbulkan masalah yang

berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu mengalami

tolak tarik di kalangan elit politik dan massa.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang kini berlaku seolah-olah adalah merupakan uji coba karena

ia pun tetap menimbulkan masalah sehingga dianggap belum selesai dan

memerlukan perbaikan kembali walaupun hanya menyangkut bahagian-

bahagian tertentu saja.

Page 9: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

9

Sebagaimana yang dikemukaan di atas tadi, politik hukum

otonomi daerah senantiasa berubah sesuai dengan perubahan-perubahan

politik sebagai wujud dari tolak-tarik kekuatan politik. Undang-Undang

pertama lahir dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia adalah UU

No. 1 Tahun 1945 adalah undang-undang otonomi daerah. UU ini dibuat

dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan untuk

menggelorakan semangat kebebasan

Undang-Undang tersebut lebih menganut asas otonomi formal

dalam arti menyerahkan urusan kepada daerah tanpa secara spesifik

menyebutkan jenis bidang urusannya. Pada tahun 1948 dikeluarkan UU

No 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang masih

dirasakan dualistik. UU No 22 Tahun 1948 menganut asas otonomi

formal dan sekaligus otonomi materiil. Hal ini dapat dilihat dan

penerapannya dari pasal 23 ayat (2) yang menyebut urusan yang

diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan

adanya pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang

telah diatur pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini

menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.

Di era berlakunya UUDS 1950 gagasan otonomi nyata yang

seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga melahirkan UU No 1

Tahun 1957. Secara undang-undang pemilihan kepala daerah secara

langsung belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik.

Dalam UU ini DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah,

sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh DPD (Dewan

Pemerintah Daerah)

Pada era demokrasi terpimpin politik hukum otonomi daerah

mengalami titik balik yang menganggap otonomi luas mengancam

keutuhan bangsa, oleh karena itu disesuaikan konsepsi demokrasi

terpimpin yang mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang

mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih

dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya dalam sistem pemerintahan

Page 10: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

10

justru pengekangan terhadap daerah. Kepala daerah ditentukan

sepenuhnya oleh pusat dengan wewenang mengawasi jalannya

pemerintahan di daerah, bahkan wewenang menangguhkan keputusan-

keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis tidak mempunyai peran.

Penpres ini kemudian diberi kemudian diberi baju hukum dengan

dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1965 yang sama sekali tidak

mengubah substansi dan sistem yang dianut di dalam Penpres tersebut.

Perubahannya adalah lebih didasarkan pada upaya menempelkan

Manipol-Usdek di dalam UU tersebut dan didasarkan pada pemikiran

bahwa, sebaiknya Penpres itu diganti dengan UU mengingat konstitusi

Indonesia tidak mengenal adanya Penpres.

Setelah Demokrasi Terpimpin diganti oleh Sistem Politik Orde

Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik

hukum otonomi daerah kembali dirubah. Melalui Tap MPRS No. XXI /

MPRS / 1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-

luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah kembali

guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS

tersebut. Namun sebelum UU tersebut diubah telah terjadi perubahan

konfigurasi politik orde baru dan langgam demokratis ke langgam

otoritarian. Perubahan ini ditandai lahirnya UU No. 15 dan 16 Tahun

1969 tentang Pemilu dan Susduk MPR/DPR/DPRD. Kedua UU ini

memberi energi luar biasa besar kepada eksekutif sehingga sistem politik

indonesia menjadi benar-benar exekutive heavy.

Dengan kekuatan politiknya yang dominant, pemerintah orde baru

kemudian mencabut Tap MPRS No. XXI/ MPRS/1966 tentang otonomi

daerah memasukkan masalah itu ke dalam Tap MPRS No. IV/ MPR/

1973 tentang GBHN yang menyangkut politik hukum otonomi daerah

yang penentuan asasnya diubah dari otonomi ”nyata yang seluas-

luasnya” menjadi otonomi ”nyata dan bertanggungjawab” ketentuan

GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di

dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan

Page 11: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

11

menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik

menciptakan ketidakadilan politik seperti kedudukan DPRD sebagai

bagian dari pemerintah dan cara penetapan kepala daerrah dan

ketidadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh

pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar menawar politik.

2. Era Reformasi

Era Reformasi Tahun 1998, politik hukum otonomi daerah di

masa orde baru tertuang dalam UU No. 5 1974, kembali dipersoalkan

karena dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat

kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kembali

meletakkan prinsip otonomi luas antara Pusat dan Daerah seperti yang

diwacanakan oleh Amin Rais yang kemudian ditolak.

Gagasan federalisme ditentang keras oleh banyak kalangan karena

selain bertendensi membuang warisan berharga dan pesan sejarah yang

sangat luhur dari para pendiri negara yang sangat arif dan juga

bertentangan dengan ketentuan Pembukaan UUD 1945 pada Sila Ketiga

Pancasila yang dipandang menganut bentuk negara kesatuan. Padahal

yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah persatuan dan

bukan kesatuan.

Dengan demikian baik bentuk negara kesatuan maupun bentuk

negara federal tidak terkait langsung kuat atau lemahnya ”persatuan”

suatu bangsa. Istilah persatuan dan kesatuan masing-masing mempunyai

makna yang berbeda. Kata persatuan merujuk pada ”psiko-politik”

artinya rakyat ingin bersatu dalam satu ikatan kebangsaan, sedangkan

kesatuan merujuk pada ”struktur politik” yang di dalam UUD 1945

sebagai bentuk negara.11

Dalam istilah Persatuan dan Kesatuan tetap

menimbulkan perdebatan. Dan dari perdebatan itulah lahir UU

Pemerintah Daerah di era reformasi yakni UU No, 22 Tahun 1999

11 Bagir Manan. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. PSH FH-UII. Yogyakarta, 2001,

hal. 43

Page 12: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

12

3. Perubahan Paradigma Otonomi Daerah

Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 merupakan wujud dari

paradigma yang dianut pada era reformasi yang berbeda dengan

paradigma di masa orde baru. Paradigma UU tentang pemerintahan

daerah di era reformasi dimaksudkan untuk membongkar paradigma UU

No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan patronase politik yang sistemnya

yang sentralistik. Paradigma orde baru adalah pardigma pembangunan

ekonomi yang menekankan stabilitas, integritas dan pengendalian secara

sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Hal ini menimbulkan

kebijakan penyeragaman dan patronase politik.Oleh sebab itu, paradigma

yang harus dianut adalah dari paradigma pembangunan menjadi

paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang

desentralistik.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang No.32 Tahun

2004

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ternyata juga dirasa kurang

memuaskan dan dipandang perlu untuk diubah lagi. Maka lahirlah

undang-undang nomor 32 tahun 2004 tetap relevan dengan UU No. 22

Tahun 1999, namun pada praktiknya di lapangan oknum anggota DPR

ikut melakukan KKN.

Adapun isi hasil perubahan kedua UUD 1945 dituangkan dalam

Pasal 18, 18 A dan 18 B yang selengkapnya :

1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah

Provinsi dan Daerah Provinsi dibagi lagi ke dalam Kabupaten dan

Kota yang diatur dengan Undang-Undang.

2) Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Kabupaten dan Kota mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan

3) Pemerintah Daerah Provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki

DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu

Page 13: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

13

4) Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah yang dipilih secara demokrasi

5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintah pusat

6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur

dalam undang-undang Perubahan isi pasal 18 UUD 1945 menghendaki

pengaturan yang lebih ketat dari Undang-undang nomor 22 tahun 1999,

yang dituangkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 sebagai

berikut :

a) Prinsip Otonomi Daerah, Pembagian Urusan, dan Hubungan

Hirarkis Sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (5) perubahan

kedua UUD 1945 UU No.32 Tahun 2004 menganut asas otonomi

luas

b) Pemilihan Kepala Daerah, dengan menganut sistem pemilihan

lansung memberi kesempatan luas kepada rakyat untuk memilih

sendiri kepala daerah dan wakilnya

c) Pertanggungjawaban Kepala Daerah, UU No, 32 Tahun 2004

menggariskan bahwa pemerintah daerah tidak bertanggungjawab

kepada DPRD adalah (hubungan kemitraan)

d) .Sistem Pengawasan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004

ketentuan tentang pengawasan diseimbangkan dengan pembinaan

melalui pengawasan represif yakni pengawasan berupa produk-

produk daerah dengan cara dan sampai waktu tertentu. Seperti

Perda, kepkeda, khususnya retribusi, pemungutan pajak

e) Keuangan Daerah, berdasarkan pasal 79 UU Tahun 1999

digariskan bahwa sumber pendapatan daerah, dana perimbangan,

pinjaman daerah dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan dana

perimbangan terdiri dari DAU dan DAK

Page 14: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

14

f) Kepegawaian Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa

kebijakan kepegawaian dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

Sedangkan manajemen kepegawaian di daerah menyangkut mutasi

dan pengangkatan dalam jabatan dilaksanakan oleh kepala daerah

tanpa ada keharusan untuk berkonsultasi dengan gubernur atau

pemerintah pusat. Pada pasal 129 UU No. 32 Tahun 2004

menyebutkan bahwa pemerintah pusat melaksanakan pembinaan

manajemen PNS di daeran dalam satu kesetaraan penyelenggaraan

manajemen PNS secara nasional. Dan di dalam pasal 130

disebutkan bahwa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian

pada jabatan eselon II pada pemerintah provinsi ditetapkan oleh

gubernur dan eselon II pada pemerintah kabupaten dan kota

ditetapkan oleh bupati dan walikota setelah berkonsultasi dengan

gubernur.

g) Pemberhentian Kepala Daerah.

h) KKN di Daerah

i) Penyebab KKN

F. Latar Belakang Lahirnya UU tentang Otonomi Daerah di Provinsi Aceh

Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah

Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan

kepada Undang-undang No. 18 Tahun 2001. Lahirnya Undang-undang ini

dilatarbelakangi setidak-tidaknya oleh dua fenomena, satu terdapat di Aceh

dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan konflik

Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976.

Sedang yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan

disegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah

pola hubungan antara pusat dan daerah.

Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah “memaksa”

pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan

Page 15: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

15

tentang desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang

berlangsung berlarut-larut telah “mendorong” sebagian anggota DPR untuk

mengajukan usul inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang Nomor 44

Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah

Istimewa Aceh. Melalui Undang-Undang ini, keistimewaan yang selalu

disebut-sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak

tahun 1959 itu diharapkan akan menjadi lebih menyeluruh di tengah

masyarakat. Undang-Undang ini hanya mengatur hal-hal pokok, dan setelah

itu memberi kebebasan kepada Daerah untuk mengatur pelaksanaannya

melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalam pembuatan kebijakan

daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat

Aceh.

Karena Undang-Undang ini dirasakan belum cukup mengakomondir

tuntutan daerah, Sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR

Nomor IV/MPR/1999, mengamanatkan antara lain pemberian otonomi

khusus kepada Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya Sidang Tahunan MPR

tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 kembali

merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi

Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei

2001. Lebih dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang

dilakukan MPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1)

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa yang akan diatur dengan undang-undang.

Atas dasar perubahan yang relatif drastis ini, sebagian anggota DPR

kembali mengajukan usul inisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang pada akhirnya disahkan

sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus

Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkan pada

tanggal 9 Agustus 2001.

Page 16: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

16

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1)

dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang

menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah,” sedang pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan

pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.” Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1

angka 8 dinyatakan “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah

Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi

khusus”.

Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal

yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dengan demikian walaupun

dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak

tunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah

undang-undang.

Pada tahun 2005, konflik di Aceh berakhir secara resmi dengan

ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Salah

satu isi kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM adalah akan adanya

undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Aceh

yang diberlakukan paling lambat tanggal 31 Maret 2006. Dalam

perjalanannya, pembahasan tentang draf RUU-PA mengalami banyak

kendala, baik pembahasan di tingkat Pemerintah Pusat maupun saat

pembahasan di DPR-RI. Dari perdebatan mengenai batas waktu pembahasan

sampai dengan perdebatan penafsiran pasal demi pasal RUU-nya. Bahkan ada

fraksi yang masih mempermasalahkan bahkan menolak hasil perundingan di

Helsinki, seperti yang disampaikan oleh F-PDIP. Proses politik di tingkat

Page 17: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

17

legislatif tidak semudah tahapan sebelumnya. Ada sejumlah persoalan sensitif

yang ketika itu bisa memicu konflik berlanjut.12

Dalam sidang paripurna, Selasa (11/07-2006), secara bulat, seluruh

fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyetujui

Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-

undang. Dengan persetujuan tersebut, ”berakhir” pula segala macam tarik-

menarik perumusan substansi undang-undang yang mengatur Aceh sebagai

salah satu satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat

istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian,

sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (4) Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945, pada 1 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemerintah Aceh

menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

(UUPA).

Tetapi ini bukanlah kali pertama dalam kurun waktu konflik tiga

dekade di Aceh dimana sebuah perjanjian perdamaian atau penghentian

pertempuran telah tercapai. Beberapa perjanjian sebelumnya telah berupaya

untuk menghentikan kekerasan di Aceh, namun setelah sekian lama, tidak

berhasil. Sehingga menjadi amat penting untuk terus memantau dan

mengevaluasi upaya membangun perdamaian di Aceh untuk menjamin bahwa

perdamaian dapat berkelanjutan. Walaupun telah banyak pencapaian,

peningkatan ketegangan antar berbagai pihak telah menggarisbawahi

kebutuhan untuk mengevaluasi proses perdamaian dari perspektif keadilan

transisi.13

Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No

11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia.

Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006

mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna

12 “UU Pemerintahan Aceh Rentan Mandek”, Kompas, 3 Oktober 2005. 13

Ross Clarke dkk, Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian di Aceh dari Perspektif

Keadilan Transisi, International Center for Transitional Justice (ICTJ) - Indonesia, Jakarta, 2008.

Hal: 1.

Page 18: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

18

menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang

demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No

11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik

otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam (UU No 18/2001).

Di samping pengalaman tersebut, keraguan bahwa Aceh sebagai

daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik

karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas

dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1)

UU No 11/2006 menyatakan: “pemerintah (pusat) menetapkan norma,

standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota”.

G. Kewenangan yang Diberikan Undang-Undang kepada Pemerintah

Daerah

Salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak

berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah (UU No 22/1999) adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian

kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7

Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom

mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali

kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,

peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Prinsip residu power juga ditemukan dalam Pasal 10 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU

No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (baca: UU No 32/2004)

Page 19: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

19

ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat, pen.). Kemudian, dalam Pasal

10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi

urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik

luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal

nasional; dan (f) agama.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU

No 32/2004 di atas, salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi

otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah

adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat

pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam

praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang

bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan

kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan,

seringkali terjadi kevakuman kewenangan (Prasojo, 2006: 25).

Gambaran wajah praktik hubungan pusat dan daerah di atas berakar

dari upaya mereduksi pasal-pasal yang mengatur prinsip residu power dengan

aturan-aturan lain yang setingkat (baik internal maupun eksternal) atau

dengan peraturan yang lebih rendah. Misalnya, ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 sengaja direduksi dengan frasa tambahan

dalam pasal itu sendiri, yaitu frasa “serta kewenangan bidang lainnya”.

Kemudian, upaya reduksi tersebut dilakukan secara felsibel dan

multiinterpretasi dalam Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan:

kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), meliputi

kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan

nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi

negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan

pemberdayaan sumber daya manusia, pendaya-gunaan sumber daya alam

serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi

nasional.

Tidak berhenti sampai dengan perumusan Pasal 7 Ayat (2), Pasal 12

UU No 22/1999 menegaskan lagi bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 UU No 22/1999 ditetapkan dengan

Page 20: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

20

Peraturan Pemerintah. Kemudian, sesuai dengan “amanat” Pasal 12 UU No

22/1999, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai

Daerah Otonom (PP No 25/2000). Dalam PP No 25/2000 tersebut,

“kewenangan bidang lainnya” dirumuskan ke dalam 25 bidang. Dengan

kehadiran PP No 25/2000 tersebut, banyak penilaian mengatakan bahwa

pemerintah menarik kembali semangat desentralisasi (resentralisasi) yang

terdapat dalam UU No 22/1999.

Sebetulnya, resentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat tidak aneh

karena dari awal pengesahan UU No 22/1999 sudah banyak nada pesimis

bahwa undang-undang mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama.

Keraguan tersebut didasarkan pada argumentasi, pemerintah pusat tidak

ikhlas menyerahkan sebagian besar “kewenangan” kepada daerah. Namun hal

ini harus dilakukan karena kuatnya desakan untuk mengganti pola hubungan

pusat dan daerah yang highly centralized menjadi hubungan yang lebih

terdesentralisasi. Seandainya pemerintah pusat melakukan resistensi, maka

keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri menjadi sesuatu yang tidak

mungkin dihindarkan. Oleh karena itu, merngubah paradigma hubungan pusat

dan daerah adalah jalan terbaik yang harus dilakukan dengan memberikan

kewenangan yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur dan mengurus

diri sendiri (Isra, 2005: 17).

Ketika ancaman disintegrasi mulai surut, pemerintah pusat kembali

lagi pada kecenderungan sentralisasi. Artinya, secara sistematis sudah terlihat

upaya untuk melakukan resentralisasi. Kecenderungan ini mulai terlihat

dengan dibubarkannya Menteri Negara Otonomi Daerah pada era Presiden

Abdurrahman Wahid. Padahal, pembentukan Menteri Negara Otonomi

Daerah pada era Presiden BJ. Habibie untuk melakukan percepatan

pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999. Bahkan, ketika

masa kekuasaan Abdurrahman Wahid sudah dilakukan langkah nyata

pemerintah pusat untuk menarik kembali kewenangan yang telah diberikan

kepada daerah. Paling tidak, hal ini dapat dibuktikan dengan keluarnya

Page 21: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

21

Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 yang menarik kembali

kewenangan dalam bidang pertanahan. Padahal menurut ketentuan Pasal 11

Ayat (2) UU No 22/1999 masalah pertanahan adalah kewenangan wajib yang

harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Begitu juga dengan UU No 32/2004, sekalipun agak lebih rinci

pembagian urusan antar pemerintahan di tingkat undang-undang, kekuasaan

pemerintah pusat dalam menentukan pembagian urusan masih sangat

dominan. Buktinya, Pasal 14 Ayat (3) UU No 32/2004 kembali menyatakan

bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal

11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No 32/2004

diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bahkan, Pasal 11 Ayat (4)

UU No 32/2004 juga menyatakan, penyelenggaraan urusan pemerintahan

yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal

dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Persoalan lain yang muncul dari rumusan Pasal 11 Ayat (4) UU No

32/2004 yaitu tidak jelasnya bentuk produk hukum yang akan menentukan

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman

pada standar pelayanan minimal karena hanya disebutkan “ditetapkan oleh

pemerintah”. Apakah penetapan pemerintah tersebut dalam bentuk produk

hukum peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan menteri dalam

negeri, atau peraturan lainnya? Kalau diletakkan dalam konstruksi Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perungang-

undangan (UU No 10/2004) semua bentuk tersebut memungkinkan. Tetapi,

ketidakjelasan bentuk hukum tersebut semakin merugikan daerah.

Masalah pembagian kewenangan di atas tidak hanya terdapat dalam

UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 tetapi juga dalam Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Provinsi Daerah Istimewa Aceh (UU No 44/1999) yang menyatakan:

(1) daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur

keistimewaan yang dimiliki.

Page 22: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

22

(2) kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang

dimiliki, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), di kabupaten dan kota

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

Begitu juga dalam Pasal 3 UU No 18/2001 yang menyatakan:

(1) kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam

undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan

otonomi khusus.

(2) kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur

pada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

H. Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam UU No 11/2006

Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan

undang-undangan ini, yaitu;

1. sistem pemerintahan NKRI menurut UUD mengakui dan

menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;

2. berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh

merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan

masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;

3. ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan

hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya

Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi

perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan

NKRI;

4. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di

Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat,

Page 23: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

23

keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi

manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan

dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;

dan

5. bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah

menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk

membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta

menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan

bermartabat dalam kerangka NKRI.

Sementara itu, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006

ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan

masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam

sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh

seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan

daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan

fungsi dan kewenangan masing-masing.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh adalah dengan prinsip

otonomi seluas-luasnya. Hal ini dapat dibaca pada bagian penjelasan umum

UUPA yang menyatakan:

“…Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang

Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian

otonomi seluasluasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan

mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance

yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam

menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh

memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan

maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.”

Page 24: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

24

Prinsip otonomi yang seluas-luasnya tersebut dipertegas lagi sebagai

kewajiban konstitusional, dengan tetap menekankan posisi Pemerintahan

Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Penegasan ini dapat dibaca

dalam penjelasan UUPA sebagai berikut:

Undang-undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi

seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini

merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan

demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak,

tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk

dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.

Tidak jauh berbeda dengan beberapa undang-undang yang

diuaraikan pada bagian terdahulu, pembagian kewenangan dalam UU No

11/2006 juga dibangun dalam prinsip residu power. Pasal 7 UU No 11/2006

menyatakan:

(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar

negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan

urusan tertentu dalam bidang agama.

Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial

terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu

muncil karena adanya frasa “urusan pemerintahan yang bersifat nasional”.

Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006

menyatakan:

Urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang dimaksudkan dalam

ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional,

kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan

Page 25: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

25

keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan

dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis,

konservasi dan standardisasi nasional.

Penjelasan frasa “urusan pemerintahan yang bersifat nasional” sekali

lagi membuktikan bahwa pembagian kewenangan antara pusat dan daerah

sengaja dirumuskan sedemikian rupa sehingga sulit dirumuskan dan

diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang terkait dengan

urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu power

dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan

intervensi untuk semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi

pemerintah pusat akan semakin dominan karena menurut Pasal 249 UU No

11/2006 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaran

Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dilaksanakan oleh

pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga

menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan

Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian “urusan wajib” dan

“urusan wajib lainnya” yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No

11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi

tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan

Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang

bersifat pembiayaan juga akan terjadi kevakuman.

Sebetulnya, titik rawan lain dalam pembagian urusan muncul

karena adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 yang

menyatakan, pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan

oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota. Kemudian dalam Penjelasan

Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:

“Yang dimaksud dengan: Norma adalah aturan atau ketentuan yang

dipakai sebagai tatanan untuk pelaksanaan otonomi daerah. Standar

Page 26: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

26

adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam pelaksanaan otonomi

daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk melaksanakan

otonomi daerah”

Sekalipun ditentukan bahwa “norma”, “standar”, dan “prosedur”

tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan

Pemerintahan Kabupaten/Kota, kehadiran Pasal 11 Ayat (1) potensial

mengurangi kemandirian dalam melaksanakan urusan. Tidak hanya itu, Pasal

Ayat (1) dan pejelesannya tidak menentukan secara eksplisit bantuk hukum

penetapan norma, standar, dan prosedur dimaksud. Bisa jadi, akan muncul

penetapan norma, standar, dan prosedur dalam berbagai bentuk hukum mulai

dari peraturan pemerintah samapi dengan peraturan gubernur.

I. Pelaksanaan Penerapan UU Tentang Otonomi Daerah

Pengadilan Islam di Aceh telah lama menangani kasus-kasus

mengenai perkawinan, perceraian dan warisan. Sebuah terobosan yang

berkenaan dengan penerapan hukum Islam yang lebih luas terjadi setelah

undang-undang Otonomi Khusus disahkan pada tahun 2001, yang

memberikan lampu hijau kepada pengadilan Islam untuk melebarkan

jangkauan mereka hingga ke peradilan pidana. Pada titik inilah persoalan

serius mengenai dualisme hukum muncul, tanpa adanya batasan yang jelas

mengenai pembagian tugas antara pengadilan negeri biasa dan pengadilan

Syari’at. Pertanyaan mengenai masalah penegakan hukum bahkan lebih

suram: laporan ini mengamati peran wilayatul hisbah, yaitu “polisi syariat”

yang telah dibentuk oleh pemerintah setempat dan bagaimana perannya

semakin lama semakin luas dengan cara yang membuat polisi tidak senang.

Crisis Group mengkaji persoalan-persoalan praktis yang telah muncul

pada saat Aceh mencoba untuk menegakkan tiga aturan Syari’at Islam yang

pertama, yang telah disahkan oleh pemerintah propinsi. Aturan-aturan itu

adalah: larangan minuman keras; berjudi; dan khalwat. Laporan ini melihat

bagaimana dan mengapa pemerintah

Page 27: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

27

memilih hukum cambuk sebagai sanksi bagi yang melanggar ketiga aturan

ini, meskipun hukuman ini belum pernah ada sebelumnya di Aceh. Laporan

ini juga melihat rencana-rencana untuk memperluas penerapan hukum Islam.

Crisis Group menyimpulkan bahwa meskipun para pejabat Syari’at di

Aceh benar-benar yakin bahwa penerapan hukum Islam yang ketat akan ikut

memfasilitasi tujuan yang lebih luas seperti upaya perdamaian, rekonsiliasi,

dan rekonstruksi, tapi ada dinamika lain yang juga terjadi. Fokus perbaikan

moralitas tak lagi jadi sarana tapi sudah jadi tujuan itu sendiri. Birokrasi

Syari’at memiliki kepentingan untuk memperluas kekuasaannya.

Semangat yang ditunjukkan oleh polisi syariat dalam menerapkan

peraturan ini telah mendorong sebuah proses dimana penduduk saling

melaporkan tentang tetangganya dan main hakim sendiri. Ada persepsi bahwa

perempuan dan kaum miskin telah menjadi target utama dari penegakan

hukum Islam ini. Belum ada indikasi bahwa penerapan Syari’at Islam bisa

meningkatkan keadilan bagi sebagian besar rakyat Aceh. Namun, bagi

mereka yang mendukung perluasan penegakan syari’at Islam, hal itu mungkin

tidak relevan. Masalah sebenarnya adalah apakah hukum buatan manusia atau

Tuhan akan berlaku.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 33

tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah, memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata, dan

bertanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam mengelola

pembangunan dan keuangan daerah. Konsekuensi dari kewenangan otonomi

yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan

pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata dan

berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah

mampu mengelola potensi daerahnya yaitu potensi sumber daya alam, sumber

daya manusia dan potensi sumber daya keuangan secara optimal.

Secara umum, penerimaan pemerintah daerah dapat bersumber dari

pajak, retribusi dan pinjaman. Hal ini secara eksplisit diatur dalam PP Nomor

107 tahun 2000 yang memuat ketentuan yang terkait dengan kapasitas

Page 28: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

28

keuangan daerah untuk meminjam. Semua pinjaman yang dilakukan oleh

pemerintah daerah, baik pinjaman dalam negeri maupun luar negeri, harus

mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Oleh karena itu sumber penerimaan

daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari

retribusi daerah dan pajak daerah maupun bagi hasil bukan pajak. Peraturan

Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan bahwa pengelola

keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan dan

perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan atas keadilan dan kepatuhan.

Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan yang terdapat

pada APBD yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan

kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas

pemerintah, pembangunan dan pelayanan sosial.

Salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah

dan menciptakan pemerintah daerah yang baik dan dapat melaksanakan tugas

otonominya adalah faktor keuangan yang baik. Keuangan yang dimaksudkan

adalah bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain

sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan

yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Keberhasilan

penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya

kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan ini

merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu

daerah. Sangatlah mustahil bagi pemerintah daerah untuk dapat menjalankan

berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien tanpa tersedianya

dana untuk itu. Masyarakat selaku stake holder keuangan pemerintah daerah

dapat memantau aliran dan yang ada dipemerintahan sehingga KKN dapat

dihilangkan.

Sejalan dengan tuntutan yang semakin besar terhadap akuntabilitas

publik, maka manajemen pemerintahan daerah harus memberikan informasi

kepada publik mengenai pengelolaan keuangan daerah, yang diwujudkan

Page 29: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

29

dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut meliputi:

Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas

Laporan Keuangan. Dalam rangka memperkuat akuntabilitas pengelolaan

anggaran dan perbenda-haraan, setiap pejabat yang menyajikan Laporan

Keuangan diharuskan memberi pernyataan tanggung jawab atas Laporan

Keuangan yang bersangkutan.

Upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas

pengelolaan keuangan daerah adalah penyampaian laporan

pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah yang memenuhi prinsip

tepat waktu dan dapat diandalkan (reliable) serta disusun dengan mengikuti

Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang diterima secara umum. Laporan

keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan,

belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapkan,

menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas

pelaporan, serta membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan

perundang-undangan.

Pemerintah Aceh sebagai salah satu propinsi yang memperoleh

keistimewaan dari pemerintah pusat dalam hal otonomi, hal ini ditandai

dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang

penyelenggaraan keistimewaan propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-

undang Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-

undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dengan memperoleh

status otonomi khusus, Pemerintah Aceh beserta kabupaten/kota yang berada

didalamnya memperoleh hak-hak khusus yang tidak diperoleh oleh daerah

lain. Salah satunya adalah hak untuk mengatur dan mengelola keuangan

daerah sepenuhnya dengan alokasi dana yang besar serta pembagian porsi

kekayaan daerah yang lebih besar dimiliki oleh daerah dibandingkan

pemerintah pusat. Sebagai contoh, dalam Undang-undang Nomor 11 tahun

2006 dinyatakan bahwa Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan

memperoleh Dana Alokasi Khusus (DAK) sebanyak 2% dari seluruh DAK

Page 30: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

30

nasional. Selain itu, Pemerintah Aceh juga akan memperoleh dana-dana

lainnya seperti dana migas, dana otonomi khusus, dan lain-lain. Hal ini

mengakibatkan perubahan yang besar bagi daerah kabupaten/kota yang

berada dalam wilayah Pemerintah Aceh, terutama perubahan pada keuangan

daerah.

Kabupaten Aceh Utara merupakan salah satu daerah tertua di Aceh,

merupakan daerah pertama kali datangnya Islam di Indonesia yang dahulunya

bernama Samudera Pasai. Pada tahun 1989 sampai dengan 1998 Aceh Utara

merupakan salah satu daerah basis terbesar dari Gerakan Aceh Meredeka (GAM)

sehingga pemerintah pusat mengambil keputusan untuk memberlakukan Darurat

Militer. Hal ini mengakibatkan kondisi perekonomian masyarakat menjadi

hancur. Namun sejak adanya perjanjian damai antara pemerintah Pusat dengan

GAM (MoU Helsinski), membuat daerah ini kembali bangkit menata kembali

keterpurukan perekonomiannya. Adanya Undang-undang Nomor 11 tahun

2006 semakin membantu Kabupaten Aceh Utara dalam ketertinggalannya

dalam bidang ekonomi, masyarakat dapat merasakan kembali pertumbuhan

ekonomi yang pesat didaerah tersebut.

Sejak diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Aceh,

perubahan paling terlihat yaitu dibidang keuangan. Dengan adanya otonomi

khusus maka daerah memperoleh banyak tambahan dana. Diharapkan dengan

dana yang diperoleh tersebut maka kesejahteraan rakyat di Pemerintah Aceh

khususnya pada Kabupaten Aceh Utara dapat naik atau menjadi lebih baik

dari sebelumnya, karena otonomi khusus diterapkan untuk dapat

meningkatkan kesejahteraan rakyat serta kinerja pemerintah daerah menjadi

lebih baik dari sebelumnya.

J. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di atas maka dapat

diambil beberapa kesimpulan diantaranya yaitu:

Page 31: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

31

1. Adanya otonomi daerah merupakan sebuah toleransi pemerintah pusat

terhadap daerah dalam rangka mengurus rumah tangganya sehingga disini

otonomi daerah merupakan perwujudan menuju terciptanya demokrasi di

Indonesia. Melihat dari tatanan politik hukum yang berlaku di Indonesia

sejak awal kemerdekaan hingga akhir era orde baru dapat ditekankan

bahwa tujuan utama otonomi daerah adalah terciptanya system

desentralisasi yang kuat dengan berpegang pada kebijakan daerah dalam

mengurus daerahnya. Namun, kebijakan pemerintah pusat dengan

menerbitkan berbagai undang-undang tentang pemerintahan daerah yang

bersifat sentralistik, hingga mengakibatkan kepentingan daerah terabaikan.

Hingga lahirnya era orde baru yang telah mengubah seluruh aspek politik

hukum, khususnya bidang pemerintahan daerah yang telah menekankan

pada asas desentralisasi.

2. Pasca lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dengan mengedepankan asas desentralisasi, telah mengubah paradigma

segala kebijakan bersifat terpusat (sentralisasi). Selain itu, dengan lahirnya

status otonomi khusus bagi daerah Aceh, juga telah mengikis beberapa

kewenangan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah

pusat hanya berwenang penuh pada beberapa hal yaitu pertahanan dan

keamanan, agama, fiscal, pendidikan, dan Politik luar negeri. Selain dari

kewenangan tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah daerah.

3. Pelaksanaan undang-undang otonomi khusus bagi daerah Aceh dengan

lahirnya UU No. 11 Tahun 2006 mengindikasikan bahwa pelaksanaan

otonomi sepenuhnya dipegang oleh daerah. Segala hal yang menjadi

urusan pemerintahan diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut.

Dengan adanya status otonomi khusus, menjadikan Aceh mendapatkan

dana yang dialokasikan dari APBN guna menunjang pembangunan daerah.

Namun yang menjadi kendala dari pelaksanaan otonomi khusus di Aceh

berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 salah satunya adalah masih belum

adanya aturan pelaksana (baik PP, Perpres) yang dapat dijadikan acuan

khusus menjalankan kewenangan yang telah diatur dalam UU No. 11

Page 32: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

32

Tahun 2006, sehingga pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah

Aceh menjadi terhambat.

K. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan diatas maka dapat

diambil beberapa saran yang menjadi solusi hukum atas permasalahan yang

dikaji:

1. Disarankan kepada pemerintah dalam hal menentukan kebijakan membuat

undang-undang pemerintah daerah selanjutnya agar lebih memperhatikan

segala aspek yang menjadi urusan pemerintahan daerah dan sifat dari

regulasi tersebut haruslah desentralisasi mutlak.

2. Disarankan kepada pemerintah dalam hal kewenangan yang seharusnya

menjadi kewenangan pemerintah daerah dapat diberikan kepada

pemerintah daerah dengan asas medebwind, sehingga prioritas

pembangunan daerah dapat terlaksana dengan baik.

3. Disarankan kepada pemerintah agar memberikan perhatian khusus

terhadap daerah yang berstatus otonomi khsusus seperti Aceh, dan

diharapkan segala aturan pelaksana yang menjadi kendala selama ini bagi

Aceh dalam melaksanakan kewenangan Aceh dapat direalisasikan dengan

baik.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, BinaCipta, Bandung,1985

Bagir Manan. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. PSH FH-UII.

Yogyakarta, 2001

Koesoemahatmadja, DRH, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah

di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1979

Page 33: Politik Hukum dalam Sistem Pemda di Aceh

33

Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah,

Grasindo, Jakarta, 2007

Kaho, Josef, Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan RI,.

Rajawali Press. Jakarta: 1991

Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Jilid I, Sekretaris Jenderal

Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

B. Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945

UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah

Istimewa Aceh

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

C. Jurnal dan Makalah

Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi

Daerah, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum

Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003

Ross Clarke dkk, Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian di Aceh dari

Perspektif Keadilan Transisi, International Center for

Transitional Justice (ICTJ) - Indonesia, Jakarta, 2008

D. Media

Anonimous, “UU Pemerintahan Aceh Rentan Mandek”, Kompas, 3 Oktober

2005