polisi masyarakat (polmas)

Upload: muhammadarahmat

Post on 11-Oct-2015

173 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

yjyjyj

TRANSCRIPT

ICA Indonesia OfficeMendukung Kegiatan Polisi Masyarakat di IndonesiaSetelah POLRI terpisah dari ABRI pada 2000, JICA memulai kerjasamanya dengan POLRI pada 2002 dalam rangka mendukung reformasi polisi dengan melaksanakan proyek pilot di Bekasi (Jawa Barat). Kegiatan ini tidak hanya terfokus pada pembangunan prasarana (dalam bentuk pos polisi yang dinamakan BKPM yang mendapatkan inspirasi dari Koban di Jepang) bagi polisi dan masyarakat untuk membangun komunikasi, tetapi juga pada peningkatan keahlian dan pengetahuan para personil kepolisian dalam mengatasi kejahatan dan masalah sosial lainnya di lingkungan masyarakat.Pengiriman polisi Jepang ke Indonesia sebagai tenaga ahli serta pengiriman polisi Indonesia ke Jepang untuk pelatihan melalui proyek ini tidak hanya menghasilkan polisi yang berkualitas, tetapi juga menjadikan para pelatih yang mampu menyebarluaskan keahlian dan pengetahuan yang didapatkannya (khususnya di bidang olah TKP) kepada jajaran kepolisian di berbagai wilayah lain di Indonesia. Hasil yang menjadi kunci dari kerjasama ini adalah peluncuran POLMAS (Perpolisian Masyarakat) melalui SKEP KAPOLRI No. 737 tahun 2005.Namun hasil yang terpenting dari kerjasama ini bukanlah pengembangan prasarana dan keahlian, namun peningkatan kepercayaan warga Bekasi terhadap polisi serta inisiatif warga dan polisi Bekasi untuk membangun kemitraan melalui pembentukan FKPM dalam rangka menciptakan lingkungan yang aman dan damai.BKPM = Balai Kemitraan Polisi dan MasyarakatFKPM = Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakathttp://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/photo01.html

POLISI ADALAH MITRA MASYARAKAT

Polisi adalah mitra masyarakat. Itulah slogan Bhayangkara yang didengungkan. Jika disederhanakan, polisi masyarakat berarti 'polisi milik masyakarat'. Apakah sudah betul? Apakah tidak sebaliknya, slogan itu justru berarti masyarakat polisi (masyarakat dikuasai polisi)? Mari kita renungkan.Seorang polisi bukan anggota tentara perang yang berdiri di muka dan berhadapan dengan musuh. Ia adalah seorang anggota tentara keamanan di tengah-tengah rakyat berhadapan dengan saudara-saudaranya sebangsa dan berkewajiban memelihara keamanan.Jika perlu, ia harus mengembalikan ketentraman yang terganggu, kadang-kadang dengan kekerasan. Bahkan, boleh jadi terpaksa bersiap dan bersedia untuk mengorbankan jiwanya untuk keselamatan masyarakat.Tentara perang wajib memusnahkan segala kekuatan musuh yang menyerbu, sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, tentara keamanan menjaga jangan sampai menimbulkan korban lebih banyak.
Jika terpaksa ada korban jiwa, harus sesedikit mungkin. Sungguh memang amat berat kewajiban seorang polisi daripada kewajiban seorang angkatan perang.Sebagai pemelihara tertib dan damainya masyarakat, seorang polisi harus tahu dan insyaf tentang segala hal yang dalam hidup dan penghidupan rakyat pada umumnya dianggap hal-hal kesukaran, perselisihan, dan pertikaian dalam arti masyarakat Seorang polisi, dalam hal ini jangan semata-mata berpikir subjektif, yakni hanya mementingkan pertimbangan-pertimbangan dan rasanya sendiri.Apalagi, mengukur segala kejadian, pelanggaran, dan kejahatan dengan ukurannya sendiri.
Pemberitaan di media massa semarak oleh isu makelar kasus (markus) dan mafia hukum. Lebih dari delapan petinggi lembaga penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan resmi ditetapkan menjadi tersangka.Kasusnya korupsi, suap, gratifikasi senilai miliaran bahkan triliunan rupiah. Contohnya, perkara suap petinggi Polri terkait markus PNS Dirjen Pajak Gayus Tambunan yang fenomenal.Belum lagi, soal penyalahgunaan kebijakan dalam kasus dugaan mafia kehutanan yang melibatkan dua petinggi di Kabareskrim Mabes Polri. Begitukah potret Pak Polisi sesungguhnya? Berapa jenderal lagi yang antri menyandang gelar markus? Kasus kerusuhan, misalnya.Korban tiga tewas dan puluhan luka berat. Apakah bukan karena Pak Polisi yang terlalu berdiam diri? Dalam keterangannya, Kepala Satpol PP, saat hari eksekusi, meminta pengawalan dari pihak kepolisian. Namun, tak cukup mendapat perhatian.Hingga semua terlambat. Tindakan kasar oknum Satpol PP pun tak ubah menyulut amarah warga. Rusuh, kekerasan, amukan, korban berjatuhan, tumpah bak peperangan tapi sedarah. Ke manakah tentara keamananSeorang polisi wajib mementingkan segala apa yang hidup dalam pikiran dan perasaan rakYat di tiap desa, daerah, dan kota. Juga dalam mengukur berat-ringannya kesalahan orang, tidak interpretasi pribadi. Ia juga wajib mementingkan adat istiadat di tiap-tiap tempat dan menjadi arti masyarakat.Dengan begitu, ia dapat bertindak adil sebab keadilan itu tidak hanya bergantung pada ujung laku kesalahan formil, tetapi banyak bergantung pada pertimbangan-pertimbangan dan perasaan-perasaan orang-orang yang melakukan kesalahan materil.Ki Hadjar Dewantara dalam satu tulisan Bayangkara (1948), mengatakan bahwa polisi perlu mengetahui adat istiadat masyarakat. Seperti yang terkandung dalam pepatah Senjari bumi, sedumuk batuk, dilakoni taker pati.Peribahasa ini menunjukkan kepada kita bahwa segala persoalan, perselisihan, atau pertikaian yang mengenai perebutan tanah dan yang berhubungan dengan kesusilaan itu umumnya dianggap perkara besar.Orang Eropa menganggap pelecehan terhadap perempuan adalah persoalan kecil. Bahkan, mencium istri orang lain, misalnya. Kesalahan itu oleh hakim hanya dikenakan denda beberapa rupiah. Tentu saja, ini dianggap aneh sekali oleh rakyat Indonesia dan tampak sebagai pengadilan yang tidak adil.Begitu pula sikap polisi terhadap perkara perebutan tanah, hendaknya di mata rakyat tampak sebagai sikap yang istimewa. Jangan sampai seorang polisi dalam perkara itu kelihatan bersikap masa bodoh. Sudah tentu Pak Lurah atau Hakim yang mengurus perkaranya, tetapi dari pihak Pak Polisi harus terlihat sikap mementingkan kepentingan rakyat agar rakyat menaruh kepercayaan kepadanya.Seorang polisi harus mengerti tentang beberapa adat istiadat yang hidup dalam masyarakat agar dianggap sebagai penjaga dan pemelihara keamanan dan ditaati dalam segala sikapnya sehingga Pak Polisi akan dianggap satu keluarga dengan rakyat.Polisi dan MasyarakatPolisi yang harus menjadi pelindung dan juga pengayom bagi masyarakat. Selain itu polisi adalah sebagai penegak hukum yang selalu menjungjung tinggi hukum dan hak azasi kewajiban manusia. Tugas seorang polisi adalah mengatur ketertiban dan keamanan untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.Kegiatan diatas merupakan visi polisi yang mulia. Tetapi pada zaman sekarang ini justru berbalik malah masyarakat selalu menghindari polisi. Karena dengan adanya masalah yang di ketahui polisi malah semakin menjadi runyam.Zaman sekarang ini melaporkan sesuatu kepada polisi bisa menjadikan pengeluaran uang lebih besar. Berbeda dengan polisi yang benar-benar yang mulia mereka dengan ikhlas menolong sesuatu tanpa ada imbalan karena arti masyarakat sangat penting dibanding kepentingan pribadi.Tetapi zaman sekarang ini sudah jarang sekali menemukan seorang polisi yang berhati mulia kebanyakan apa-apa selalu menjadi biaya yang sangat besar. Maka dari itu banyak sekali masyarakat yang berkesan negatif terhadap polisi dikarenakan adanya oknum-oknum polisi yang tidak baik yang menjadikan reputasi polisi dimata masyarakat menjadi buruk.Mudah-mudahan kepolisian bisa berkaca untuk memperbaiki supaya lebih profesional lagi, agar polisi menjadi yang terdepat dalam membela kebenaran, keamanan dan memberikan contoh yang baik kepada masyarakatnya. Dan menjadikan arti masyarakat penting untuk kepolisian supaya bisa bekerja sama untuk menjaga ketentraman dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pengertian Hukum KepolisianPengertian hukum kepolisian adalah hukum yang mengatur mengenai polisi yang menyangkut wewenang dan tugas. Hukum kepolisian dapat dibagi menjadi dua hukum formal yang lebih ke administrasi kepolisian dan hukum polisi hukum kepolisian yang objektif pada peraturan-peraturan yang subjektif yang memberikan melakukan tindakan kepolisian. Ada juga beberapa kepolisian yang sepakat dengan struktur kehidupan masyarakat sebagai penegak hukum masyarakat yang mempunyai tanggung jawab untuk ketertiban dalam menangani kejahatan yang berada di lingkungan masyarakat tersebut.Maka dari itu dengan adanya tindakan yang benar maka arti masyarakat dalam kehidupannya akan berjalan dengan tentram dan sejahtera. Karena pekerjaan polisi berkenaan dengan pekerjaan sosial. Arti masyarakat juga menjadi bagian pemerintahannya atau tokoh yang menjadi kehidupan dan kepentingan masyarakat.Oleh karena itu, kepolisian harus melindungi masyarakatnya agar masyarakat merasa tenang dan aman ketika ada perlindungan dari polisi, karena arti masayarakan dan polisi itu sangat berhubungan dalam kegiatan sosial didalam kehidupan ini.Peranan ini dapat dilaksanakan apabila fungsi kepolisian sesuai dengan ketentuan kebutuhan masyarakat agar kepolisian selalu bersikap profesional dalam menyikapi suatu masalah yang ada di masyarakat dan selalu membela kebenaran.Arti masyarakat ini diharapkan polisi turut menciptakan rasa aman dan tentram dalam kehidupan masyarakatnya, agar terjalin hubungan yang saling menghargai dan saling menolong antara polisi dan masyarakatnya.Maka kepolisian dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik agar semua kehidupan dimasyarakat menjadi terkendali dan mengurangi kejahatan yang ada. Hubungan polisi dan masyarakat dibagi menjadi tiga seperti :Keadaan yang seimbang dimana polisi dan masyarakat bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada di lingkungan masyarakat. Polisi sebagai pelindung masyarakat dari kejahatan-kejahatan yang ada dan menjadi rasa aman. Polisi sebagai pengayom masyarakat sekaligus sebagai penegak hukum yang adil terhadap masyarakat. Alangkah mulianya bila rasa bersatu itu dapat menimbulkan rasa cinta kasih antara rakyat dan polisi. Kalau rasa cinta itu sudah ada, tak akan perlu seorang polisi bertindak keras. Untuk mengatasi ruang gerak masyarakat yang mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat untuk mengamankan diri dari kejahatan dari rasa takut.http://www.anneahira.com/arti-masyarakat.htm

Polisi Di Mata Masyarakat Kata polisi berasal dari Politeia, adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Plato, seorang filsuf Yunani Kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau Negara kota. Pada zaman itu kelompok-kelompok manusia berbentuk himpunan yang merupakan satu kota.Dari kata politeia itu kemudian timbul kata politik yang di maksudkan sebagai tata cara mengatur sistim pemerintahan, kata polisi yang mengatur penegakan peraturan, kata policy atau kebijaksanaan dan sebagainya. Pengembangan dari semua itulah yang melahirkan Negara dengan segala atribut dan pengaturannya hingga saat ini. Kemudian kata politeia berkembang menjadi maknanya menjadi fungsi polisi seperti yang ada sekarang. Sampai saat ini polisi di Italia di sebut politeia, yang di Perancis disebut La Police, di Inggris menyebutnya Police, Belanda Politie dan German Polizei. Indonesia mengikuti tradisi Belanda menyebutnya dengan kata Polisi atau Politie di eja dengan ejaan Indonesia. Di Malaysia mengikuti tradisi Inggris dengan ejaan melayu, Police.Menurut Kunarto, (1997) Sejarah kepolisian, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang memulai dan merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan berkembang.Fungsi polisi itu tumbuh dan berkembang semakin jelas manakala ancaman terhadap suatu kelompok semakin nyata. Ancaman itu tidak hanya berupa bahaya yang datang dari luar kelompok itu, tetapi juga berupa ancaman yang ada didalam kelompok itu sendiri maupun ancaman dari luar kelompoknya. Kehidupan akan senantiasa melahirkan pergulatan hebat, dimana manusia yang kuat pada kelompoknya selalu bertindak sebagai pimpinan untuk melawan musuh dan melindungi kelompok lainnya. Tindakan manusia kuat itulah wujud dari fungsi polisi yang paling sederhana. Olehnya itu, berbicara mengenai aparat keamanan dalam negeri dalam hal ini adalah pihak kepolisian, tentunya mendapatkan posisi yang penting dalam upaya peningkatan keamanan dalam negeri tersebut, dalam hal ini adalah NKRI pada umumnya. Olehnya itu, sudah barang tentu tugas dari penjaga stabilitas keamanan di suatu negara dimandatkan kepada polisi di samping tentara. Membuat aman dan rasa nyaman kepada masyarakat adalah salah satunya. Segala tindak kejahatan dan semua tindakan yang dapat merugikan khalayak ramai adalah makanan mereka sehari. Jika kita bertanya kepada anak-anak kita, saudara kecil ataupun kerabat dan anggota keluarga mengenai cita-cita, profesi sebagai polisi masih menjadi favorit pilihan mereka di samping menjadi dokter yang sangat lumrah. Ini sebenarnya nilai tambah bagi sosok seorang polisi. Ia begitu diidamkan karena kemuliaan dan keikhlasannya membantu dan menjaga masyarakat dari tindak kejahatan dan kesulitan serta ketakutan akan kondisi keamanan. Sosok polisi yang bersahaja menjadi panutan bagi semua masyarakat seperti sosok polisi yang diidamkan.Akan tetapi dalam perkembangannya, Polri (Polisi Republik Indonesia), yang memegang kuasa penuh atas hal tersebut bukan saja menjadi sosok bak pelindung namun juga kerap sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang yang tak bersalah atau melanggar hukum. Seiring berkembangnya dan beranekaragamnya akan dinamika kehidupan, baik di sisi sosial, ekonomi dan politik, Polri menjadi momok yang menakutkan. Bukan dikarenakan mereka memiliki senjata yang kapan saja siap disodorkan ke semua pihak jika melanggar hukum, tapi juga karena moral dan etika dasar polisi sudah luntur di institusi besar ini. Tak perlu jauh-jauh kita melihat bagaimana etika dan moral seorang polisi itu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat termasuk kita sendiri. Di jalan-jalan, tentunya kita sering menemukan polisi lalu lintas yang mangkal dan patroli di setiap sudut kota dan daerah. Tugas mereka di sana adalah menertibkan pengguna jalan dan memantau kondisi jalan, tapi bukan itu yang terjadi, mereka (oknum) justru merisaukan masyarakat dengan dalih penegakkan hukum. Pemerasan, intimidasi dan tindak tak terpuji yang sudah sepatutnya di pegang polisi, telah terlalu sering dilakukan. Hal ini berlanjut sampai sekarang dan tak ada tindakan dari atasan mereka di institusi. Lain halnya lagi, ada juga (oknum) polisi yang menjadi centeng dari pembuat atau pelaku tindakan yang melanggar hukum. Club-club malam, tempat prostitusi, bahkan tempat berjudi justru mendapatkan perlindungan dari (oknum) polisi, padahal semestinya mereka memberantas hal tersebut. Dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi pihak pertama yang dirugikan.Dan pada umumnya, dalam ranah penegakkan hukum, sudah terbukti dan terlihat jelas, begitu banyak (oknum) dari Polri yang menjadi mafia-mafia dan pelanggar hukum negara. Korupsi dan nepotisme tumbuh subur di tubuh Polri. Melihat kegilaan (oknum) Polri seperti itu tentu masyarakat semakin antipati terhadap Polri. Tetapi, untungnya, institusi yang dahulu menjadi panutan kita semua, juga memiliki prestasi yang sedikit banyak dapat menutupi boroknya. Adanya Badan Narkotika Nasional (BNN) yang serius membunuh jarungan narkoba di dalam negari dan Detasemen Khusus (DENSUS) yang fokus memberantas aksi terorisme, juga berbicara banyak. Keberhasilan BNN dalam memberantas peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang direspon dan dinilai masyarakat dengan tingkat kepuasan yang lumayan yakni 59% dalam laporan yang dilakukan Litbang KOMPAS. Di samping itu, Densus yang belakangan ini mengalami peningkatan citra dan popularitas, dinilai dan direspon masyarakat dengan tingkat kepuasan yang sangat baik, yaitu sekitar 77%. Dan tentunya, berbicara mengenai harapan dan tantangan tentang kepolisian ini, maka sebagai warga negara Indonesia, kita semua berharap Polri ke depannya dapat menjadi lebih baik dan setia dalam melayani masyarakat seperti moto mereka. Namun tidak menuntut Polri untuk berubah. Harapan masyarakat itu akan menjadi tantangan berat bagi Polri untuk menjadi lebih baik. Salah satunya dengan mereformasi dalam skala besar tubuhnya (Polri). Memberantas segala tindak pelanggaran hukum dan menjaga masyarakat agar tetap selalu ada dalam rasa aman dan nyaman harus menjadi tugas utama bagi mereka, hanya tinggal menunggu eksekusinya saja nanti seperti apa. Jika harapan masyarakat dan tantangan bagi Polri itu tidak dengan serius dilaksanakan, jangan harap, Polri dapat kembali bercitra baik. Bahkan di masa depan nanti, anak-anak dan sanak saudara kita akan enggan menyebut profesi sebagai polisi menjadi cita-cita mereka. Di lain sisi, seorang polisi dalam melaksanakan tugasnya akan memiliki banyak pilihan untuk menempatkan dirinya pada bentangan yang luas antara spektrum posisi dibenci atau dimuliakan, atau memilih posisi biasa-biasa saja. Namun apapun posisi yang dipilih, sesungguhnya polisi senantiasa dibutuhkan masyarakat. Di era transisional sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang polisi. Menghadapi masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak. Kepada penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang polisi yang bertugas sebagai penegak hukum, berada di ambang bahaya. Nyawa atau setidaknya luka di tubuh menjadi taruhannya. Namun, kenyataannya sebagian besar masyarakat menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat, masih terkontaminasi dengan kesan polisi yang masih memiliki perilaku distortif dan destruktif baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pelayan masyarakat.Dalam menyikapi sesuatu, kita akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara kita memandang persoalan itu sendiri, demikian juga dalam memandang polisi, yang kini sedang mengalami proses metamorfosis melalui reformasi struktural, instrumental dan reformasi kulturalnya. Setiap orang bisa dan berhak memandangnya dari sudut pandang masing-masing, tetapi yang pasti kita tidak boleh mengembangkan apalagi memaksakan pandangan pesimis yang mengalahkan rasa optimis. Seperti pepatah Skotlandia bahwa Lebih baik kita menyalakan sebuah lilin kecil daripada (hanya) menyumpahi kegelapan, karena terus-menerus menyalahkan kegelapan tidak akan membawa kita keluar dari kegelapan itu sendiri. Kupu kupu yang indah dan memberi keindahan, merupakan hasil proses metamorfosis dari sebuah kepongpong.Dalam perjalanannya, kepolisian menjadi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya yang tidak pernah kunjung berhenti adalah, mengapa polisi yang dirindu juga sekaligus dibenci ? Pandangan masyarakat terhadap kinerja Polri terdapat berbagai penilaian Positif dan negatif dari masyarakat. Baik buruknya citra Polri juga tergantung dari sikap masyarakat, bersikap apatis, reaktif, kritis atau telah puas atas kinerja Polri selama ini. Polisi yang berkarakter terpuji yang dapat menempatkan diri sebagai seorang moralis, bapak, teman, pengabdi, dan tokoh yang dikagumi dan dihormati. Artinya kemulyaan martabat dan kehormatan anggota Polri dapat di lihat dari besarnya penghargaan dan pengakuan masyarakat terhadap profesinya. Penghargaan yang sesungguhnya tercermin dalam realitas perilaku pengabdian dan pelaksanaan tugasnya yang membawa manfaat bagi masyarakat, bahkan ditempatkan secara terhormat di tengah kehidupan masyarakat.Persepsi buruk masyarakat terhadap citra kepolisian adalah akibat dari ketidak-mampuan polisi menjadi pengayom masyarakat. Masih banyak orang yang mencibir bahwa hanya ada dua polisi yang baik, yaitu polisi patung dan polisi tidur. Bahkan mereka sering berucap bahwa polisi tidur saja bisa bikin susah, apalagi sedang berjaga. Masih banyak lagi ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja polisi, begini katanya: melaporkan kehilangan kambing ke polisi akan kehilangan sapi. Jika dikaitkan dengan kemampuan dan daya dukung kepolisian terhadap upaya pemulyaan martabat dan kehormatan Polri, terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, citra kepolisian malah semakin terpuruk.Di tengah derasnya arus pesimisme masyarakat terhadap Polri, maka hal ini penting untuk dicatat, oleh karena kalangan internal Polri sendiri dianggap kurang tanggap membenahi diri. Citra buram selama ini belum banyak berubah, sehingga beragam kritik pedas masih menerpa korps kepolisian hingga kini. Hubungan polisi dengan masyarakatnya pun, belum kunjung mesra. Kerinduan masyarakat terhadap polisi, seolah berganti menjadi kebencian.Realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga saat, masih cenderung mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang dilayaninya yang tentunya berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan pengendalian kejahatan yang lebih efisien. Oleh karena itu, penerapan community policing sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi para aparat penegak hukum tersebut untuk memperbaiki kembali hubungannya dengan warga masyarakat yang merupakan mitra utamanya. Kemitraan adalah salah satu wujud nyata komunikasi sehingga kedua belah pihak, terlebih pihak kepolisian sebagai pihak yang paling berperan dalam mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah perlu menerapkan strategi komunikasi yang tepat.Hal ini sejalan dengan hasil Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia UII Yogyakarta (2001) yang meneliti kemitraan polisi dan masyarakat pasca reformasi, yang menampung semua pendapat masyarakat mengenai polisi dan apa komentar polisi tentang masyarakat. Hasilnya sangat memprihatinkan, dua belah pihak saling menebar rasa kekecewaan dan malas untuk memercayai satu sama lain. Masyarakat lebih memilih bertindak pragmatis dalam berhubungan dengan polisi dan polisi juga menilai masyarakat terlalu banyak menuntut kepadanya.Di tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara, ada baiknya kita mengenang almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. Hakikat seorang polisi demikianlah, yang membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat!. Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas, kadang kala dengan baju dinas Kapolri, beliau menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya. Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang lalai atau malas! Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan pula citra seorang komandan polisi yang baik.Seiring bertambahnya usia, dan terjadinya proses dialektika antara polisi dan masyarakat. Masyarakat berharap Polri, senantiasa mengubah jati dirinya menjadi polisi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Polri bermetamorfosis menjadi sosok polisi yang dipercaya, dicintai dan professional dalam melaksanakan tugasnya. Dan masyarakat harus meresponya dengan sikap positif, namun tetap kritis, suportif dan proposional dalam menyikapi reformasi yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian kita. Wajah polisi adalah wajah kita semua, karena polisi lahir dari masyarakat dan berkarya di tengah masyarakat. Olehnya itu, perlu kiranya aparat kepolisian membangun citra yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Polisi yang dipercaya adalah tangga awal untuk merebut hati masyarakat. Hubungan antara polisi dan masyarakat sering diibaratkan sebagai ikan dan air. Ikan jelas tidak bisa hidup tanpa air, demikian pula polisi tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Dengan demikian, memperoleh dukungan yang ikhlas dari masyarakat menjadi sangat penting untuk kelancaran tugas, sesuai dengan yang diamanatkan doktrin polisi mutakhir shaking hands with the entire community (Satjipto Rahardjo, 1999) bergandengan tangan dengan seluruh komponen strategis masyarakat.Hati masyarakat hanya bisa direngkuh jika Polisi memahami karakter masyarakat, menaruh simpati dan empati yang tinggi terhadap penderitaan masyarakat, serta betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi ada untuk menjaga keamanan masyarakat secara umum. Dengan demikian, rekomendasi alternatif bagi para pemimpin kepolisian dan jajarannya adalah:1. Mampu menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja, 2. Mensosialisasikan hukum, agar masyarakat menjadikan hukum sebagai solusi penyelesaian masalah, dan bukan sekedar instrumen yang harus dipatuhi dalam bertindak.3. Memiliki sifat realistis dan kritis mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat,4. Mengetahui dengan benar kondisi dan aspirasi masyarakat.Jika rekomendasi tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan peraturan yang berlaku, maka diharapkan Polri dapat mengeliminir segala tantangan, dan mampu mengayomi, melindungai, memelihara kamtibmas dan penegakan hukum secara efektif.

Diposkan oleh patuju la di 01.42 http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-di-mata-masyarakat.html

Penerapan Konsep Polisi Masyarakat

Ada sebuah konsep yang sangat membantu Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Konsep tersebut adalah Polisi Masyarakat (Polmas). Konsep ini sebenarnya sudah lama dijalankan Polri, namun dalam pelaksanaannya di lapangan belum sepenuhnya optimal. Kurang optimalnya pelaksanaan Polmas, bukan berarti Polri kurang bersungguh-sungguh.

Hambatannya justru muncul dari kurangnya dukungan dari masyarakat karena masih adanya anggapan negatif tentang Polri. Pada intinya, Polmas merupakan sebuah konsep kemitraan Polri dengan masyarakat yang bisa mempermudah proses identifikasi masalah, melakukan analisis, dan menetapkan tindakan apa yang harus diambil dalam rangka memelihara Kamtibmas.

Konsep Polmas juga merupakan upaya untuk membangun kemitraan Polri dengan masyarakat atas dasar kepercayaan dan saling mendukung sehingga tercipta kebersamaan dalam rangka memelihara Kamtibmas. Lewat Polmas ini, Polri bisa membangun kepercayaan masyarakat terhadap tugas-tugas di lapangan. Lewat Polmas juga masyarakat bisa berperan aktif dalam memberikan usul, gagasan, atau ide dan tindakan atas sebuah masalah yang berhubungan dengan Kamtibmas.

Memasuki era globalisasi dengan masyarakat yang terus berkembang, konsep Polmas ini akan sangat membantu kinerja Polri. Keterlibatan masyarakat dalam konsep Polmas akan memudahkan tugas Polri, mengingat jumlah personel yang dimiliki saat ini tidak sebanding dengan populasi penduduk yang hampir mencapai 300 juta jiwa.

Jumlah Polri juga kurang memadai dalam memantau seluruh wilayah Indonesia yang 'superluas'. Mustahil Polri akan mampu meng-cover semua gangguan Kamtibmas, tanpa bantuan masyarakat.

Menurut penulis, pemunculan konsep Polmas ini sudah tepat. Sebagai anggota Polri, penulis sangat merasakan, pendekatan yang sifatnya proaktif kepada masyarakat sangat membantu dalam proses penanganan sebuah masalah. Masyarakat akan menerima Polri dengan tangan terbuka dan siap memberikan bantuan atas masalah yang sedang ditangani, ketika dari awal sudah dilakukan pendekatan secara baik.

Salah satu contoh adalah dalam mengatasi masalah kejahatan. Tanpa diminta pun, masyarakat akan bersemangat melakukan ronda malam dan menjaga wilayahnya dari gangguan keamanan. Semangat masyarakat itu muncul seiring dengan hadirnya Polri di tengah-tengah mereka.Keberadaan Pokdar Kamtibmas, Babinsa, Pamswakarsa, dan lain-lain ternyata cukup efektif dalam mendekatkan Polri ke masyarakat. Terlebih, dalam kondisi ekonomi yang belum stabil karena pengaruh krisis global, memicu munculnya kemiskinan baru.Kemiskinan merupakan mata rantai kejahatan sehingga dalam kondisi ekonomisulit, tindak kriminal di masyarakat cenderung meningkat. Untuk menekan kejahatan, Polri tidak bisa asal tangkap. Tindakan Polri yang gegabah dan cenderung memosisikan diri sebagai penguasa, akan menjauhkan mereka dari masyarakat.

Perlu diingat, dalam menjalankan tugas, Polri jangan hanya menjadikan masyarakat sebagai objek yang harus dikejar atau ditangkap karena terlibat masalah. Melalui konsep Polmas, Polri bisa meyakinkan masyarakat untuk menjadi subjek yang punya kewenangan untuk mengelola lingkungan sendiri sehingga aman dan tertib.

Untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek, Polri bisa bertindak sebagai supervisor yang mengarahkan bagaimana cara melakukan pengamanan teritorial atau lingkungan. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tugas Polri dalam masyarakat jangan hanya menampilkan diri sebagai alat hukum atau pelaksana undang-undang yang hanya mencari kesalahan masyarakat. Namun, Polri harus lebih menitikberatkan kepada upaya membangun kepercayaan masyarakat.

Pada tahapan selanjutnya, untuk memelihara Kamtibmas, Polri bisa melakukan pendekatan teritorial dengan memperhatikan adat istiadat dan norma-norma masyarakat. Untuk membangun sebuah kemitraan, Polri juga bisa melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan masyarakat tanpa harus meninggalkan hukum nasional yang mengatur tentang hak asasi manusia (HAM)dan demokrasi yang bertanggung jawab.

Menurut penulis, penerapakan Polmas sudah sesuai dengan nilai-nilai dasar budaya dan adat-istiadat bangsa Indonesia, terutama yang terkandung dalam konsep sistem keamanan swakarsa. Polri tidak perlu memunculkan konsep baru dalam menjalin kemitraan dengan masyarakat. Supaya konsep Polmas ini tetap relevan diterapkan dalam era modern seperti sekarang ini, Polri harus membangun dan mengembangkan sistem serta networking yang bagus dengan konsep-konsep yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Hal lain yang sangat penting dilakukan Polri adalah menjaga kepercayaan masyarakat, yang di antaranya bisa dilakukan dengan meningkatkan pelayanan. Melalui moto 'kami siap melayani masyarakat', Polri harus bisa membangun komunikasi dua arah sehingga keberadaannya selalu dinanti dan dibutuhkan.

Penulis yakin, penerapan konsep Polmas akan semakin mendekatkan Polri ke hati masyarakat dan secara otomatis membantu meningkatkan pelayanan. Salah satu dampak positif konsep Polmas yang bisa dirasakan adalah penangaan teroris. Sikap masyarakat yang terbuka dan tidak pelit dalam memberikan keterangan mempermudah Polri membongkar jaringan teroris di Indonesia.

Penggerebekan beberapa persembunyian teroris, seperti di Cawang dan Cikampek, bisa menjadi contoh keberhasilan penerapan konsep Polmas. Masyarakat dengan tangan terbuka menerima kehadiran Tim Antiteror Densus 88 dan membantu kerja Polri di lapangan untuk memerangi teroris.Selain penanganan teroris, berjalannya konsep Polmas juga bisa dilihat dari penanganan demonstrasi. Pada zaman Orde Baru, pendekatan terhadap demonstrasi kebanyakan dengan cara kekerasan. Namun, melalui konsep Polmas, Polri selalu mengedepankan dialog dalam menangani demonstrasi. Bukti kemitraan yang dibangun Polri adalah mendampingi para pendemo dan menjaganya supaya tetap berjalan tertib dan sesuai dengan norma-norma hukum.Melalui konsep Polmas, masyarakat tidak perlu khawatir dengan kehadiran anggota Polri, baik dalam aksi demonstrasi maupun kehidupan sehari-hari. Tidak ada tujuan lain dari Polri dalam keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat, selain hanya untuk mendekatkan diri dan menjadi mitra dalam melaksanakan tugasnya.

http://artikel-media.blogspot.com/2010/05/penerapan-konsep-polisi-masyarakat.htmlOpini Republika 26 Mei 2010

Selasa, 04 Desember 2012KONSEP POLISI YANG BERKEMANUSIAAN DALAM PEMBANGUNAN PEMOLISIAN MASYARAKAT DI INDONESIA Pemolisian Berbasis Hak Asasi ManusiaInstitusi kepolisian didirikan untuk menangani berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan memelihara ketertiban dan keamanan untuk mendukung meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Polisi bertugas secara dinamis dan berkembang mengikuti dinamika perubahan masyarakat yang dilayaninya, dimana tetap pada pelaksanaan peran dan fungsinya guna melindungi harkat dan martabat manusia sehingga dapat melakukan aktifitasnya dengan produktif dan aman dari gangguan kejahatan. Karena dengan adanya produktifitas tersebut, masyarakat akan berkembang dan tumbuh seiring dengan stabilitas pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah. Namun apabila masyarakat tersebut tidak produktif maka akan menjadi penghambat pembangunan bahkan mematikan produktifitas itu sendiri. Hambatan tersebut salah satunya gangguan keamanan yang dapat berupa tindakan kriminal, konflik sosial, kerusuhan, permasalahan sosial, dan lain-lain. Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri dari ratusan sukubangsa yang memiliki berbagai corak kebudayaan yang berbeda satu daerah dengan yang lainnya. Masing-masing daerah tersebut juga memiliki keberagaman nilai-nilai sosial dan aturan kemasyarakatan yang terbalut dalam hukum adat istiadat lokal, dimana sukubangsa yang mendiami daerah sukubangsa tertentu wajib mematuhi aturan yang berlaku di wilayah tersebut. Sehingga tak jarang hal inilah yang memunculkan konflik sosial di Indonesia, dimana adanya masyarakat yang tidak produktif menganggap masyarakat lain yang mendiami wilayahnya bertujuan mengeksploitasi kekayaan alamnya dan tidak membawa kemakmuran bagi daerah yang ditinggalinya. Konflik sosial ini biasanya muncul berawal dari konflik pribadi akibat adanya perebutan sumberdaya atau karena harga diri kesukuan yang kemudian meluas menjadi solidaritas primordial yang disebarluaskan melalui isu sehingga menjadi pemicu konflik di masyarakat. Adanya korban jiwa dan kerugian harta benda sebagai imbas konflik sosial ini menuntut adanya sikap proaktif dari polisi untuk menjadi penengah guna mengeliminir dampak konflik sosial agar tidak semakin meluas (Chrysnanda, 2011: 103).Masyarakat yang terjebak dalam konflik sosial akan membentuk dirinya menjadi individu yang beringas, tak segan melakukan pelecehan terhadap hukum, dan melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Problem mendasar pelaksanaan tugas Polri maupun kepolisian di dunia pada umumnya dalam menangani hambatan diatas adalah sifatnya yang khas dalam pekerjaan polisi itu sendiri yang harus berhadapan dengan kejahatan, kekerasan, dan bahaya. Tentunya hal ini berimbas pada tuntutan masyarakat agar Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tetap bersikap profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), karena HAM pada prinsipnya berisi penolakan terhadap penggunaan kekerasan, dimana justru polisi menempati posisi yang sangat rentan untuk melakukan pelanggaran HAM (Rahardjo, 2007: 46 47). Posisi polisi sebagai hukum yang sifatnya melindungi kepentingan umum erat kaitannya dengan legitimasi guna menggunakan kekuatan yang bersifat langsung. Hal ini tentunya disesuaikan dengan ancaman bahaya yang telah menjadi ciri dari pekerjaan polisi, dimana risiko ini ditegaskan secara ekstrem dengan adanya polisi-polisi yang meninggal dunia dalam menjalankan pekerjaannya. Polisi yang tengah menjalankan tugasnya dan menjadi korban sebagai ekses dari pekerjaannya tersebut, tentunya sama derajatnya seperti warga negara lain dilindungi hak asasinya.Jadi meskipun tengah menjalankan upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, dll dan disitu mendapat perlawanan dari orang lain, maka secara hak asasi, polisi tersebut berhak untuk turut pula mendapat perlindungan hukum dari tindakan yang dilakukannya, karena mereka bertugas untuk menegakkan hukum, menjaga ketertiban masyarakat, serta memelihara keamanan, terutama dalam hal pencegahan kejahatan yang dilakukan seseorang/kelompok kepada orang/kelompok lain. Jadi apabila mendengar berita bahwa ada polisi yang meninggal akibat dikeroyok warga karena tengah menjalankan tugas kepolisiannya, maka polisi tersebut seharusnya turut pula dilindungi hak asasinya sebagai manusia, karena ia tengah menjalankan tugasnya menegakkan hukum atas terlanggarnya hak asasi orang lain (pelapor) yang merasa terganggu haknya untuk beraktifitas yang akan menghambat juga produktifitasnya sebagai warganegara.Opini yang tengah beredar saat ini adalah karena polisi mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan upaya paksa terhadap pelaku kriminal, maka apabila polisi tersebut terkena dampaknya (gugur dalam tugas) akibat adanya perlawanan dari warga yang hendak melindungi pelaku kriminal tersebut, pelaku penyerangan dianggap tidak melanggar HAM tetapi hanya kriminal murni (pengeroyokan hingga tewas). Sedangkan apabila polisi yang melakukan upaya paksa dan terpaksa melakukan tindakan tegas sehingga mengakibatkan pelaku kejahatan meninggal dunia, sering dianggap melanggar HAM. Keharusan untuk menjunjung tinggi HAM disaat melaksanakan tugas kepolisian membuat posisi polisi menjadi sulit, terkesan munculnya ketakutan saat menjalankan tugas. Takut untuk melanggar HAM, padahal justru dengan ketakutan seperti itu, bisa jadi hak asasi warganegara lain justru yang terlanggar oleh pelaku kejahatan. Hal ini bukan saja terjadi di Indonesia saja, namun hampir di seluruh kepolisian dunia pun mengalami hal yang sama. Chesshyre (1989) mengungkapkan kekuatiran tersebut, The ultimate grievance, ....is the belief that the criminal justice system is weighted against the police and in favor of the criminal.... Selanjutnya, Society wants police officers to catch and convict offenders, while making it as aukward and difficult for them as it can....We are losing the battle on the streets because the job is protected by the technicalities of the law, while the policeman has no such protection (Rahardjo, 2007: 47). Sehingga memang benar adanya, bahwa apabila masyarakat menuntut polisi yang profesional maka seharusnya Pimpinan Polri tidak henti-hentinya untuk terus mengingatkan pemolisian berbasis HAM kepada seluruh anak buahnya yang tersebar di tingkat Polda sampai Pos Pol.Untuk mengimplementasikan pemolisian yang berbasis HAM, maka polisi harus mengedepankan pendekatan kepada warganegara dan berbagai komunitas masyarakat sebagai kelompok yang berhak mendapat perlindungan keamanan dari polisi, tentunya melalui tindakan yang komprehensif, sistematik, patuh pada aturan kepolisian dalam melakukan tindakan kepolisian yang mendasari standar hak asasi manusia internasional dan dalam praktiknya terkait tugas dan fungsinya.Pemolisian berbasis pada HAM berarti setiap tindakan polisi berlabuh pada aturan hukum yang berlaku dan pengakuan atas supremasi sipil. Dari istilah penegakan hukum itu sendiri, dapat dipahami bahwa tidak ada penegakan hukum yang terpisah dari hukum. Setiap tindakan penegakan hukum yang dilakukan polisi (seperti, penggunaan kekuasaan polisi atau upaya paksa polisi) apabila terjadi diluar aturan hukum yang berlaku dapat dianggap sebagai suatu kejahatan, atau setidaknya, suatu penyalahgunaan wewenang. Menghormati aturan hukum dan supremasi sipil yang berlaku merupakan hal yang terbaik yang dapat dicontohkan ketika polisi mempertanggungjawabkan seluruh tindakan kepolisian, atau dengan kata lain, tidak bertindak diluar batas kewenangan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak hukum warganegara.Oleh karena itu, seluruh anggota Polri hendaknya juga mengingat tugas pokoknya sesuai UU No. 2 Tahun 2002 pasal 14 ayat (1) huruf i, melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan linfkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jadi apabila dalam pelaksanaan tugas kepolisiannya kelak, seorang anggota Polri tidak perlu takut dianggap melanggar HAM apabila dia sudah berbuat sesuai UU yang mengaturnya, meskipun itu mengakibatkan jatuhnya korban pada warga sipil (pelaku kejahatan) yang dianggap mencederai hak asasi warga sipil lainnya (korban). Dan sebagai institusi, hendaknya Polri turut melindungi hak asasi anggota Polri tersebut dengan aturan yang mengikatnya serta perlindungan bantuan hukum apabila dianggap melanggar HAM oleh lembaga eksternal padahal yang bersangkutan melakukan itu semua demi melindungi HAM warga sipil lainnya dari ancaman dan gangguan kejahatan.

Polisi Yang Berkemanusiaan, Wujud Polisi Masa Depan Ada pendapat beberapa senior polisi yang mengatakan bahwa nilai-nilai disiplin polisi akan luntur apabila Polri menganut asas pemolisian sipil, nilai-nilai disiplin yang dimaksud adalah disiplin ketika bergabung dengan militer era Orde Baru dahulu. Polisi akan dianggap lembek apabila berhadapan dengan masyarakat yang anarkis, karena ketakutannya akan anggapan pelanggaran HAM. Juga akan dianggap penakut apabila menghadapi tuntutan masyarakat yang tidak puas pada ketidakprofesionalan polisi dalam menghadapi unjuk rasa atau penindakan hukum yang berakibat jatuhnya korban kalangan sipil lainnya. Beda apabila dibandingkan dengan militer, yang rakyat enggan untuk mengungkit-ungkit semua permasalahan yang berhadapan dengan militer yang disebabkan oleh adanya arogansi militer ketika berhadapan dengan rakyat (meski hal ini sudah dibantah dengan adanya reformasi di tubuh militer akhir-akhir ini). Namun sebagian polisi reformis mengatakan, sudah selayaknya polisi meninggalkan sikap-sikap disiplin paku dan lebih humanis dalam menghadapi permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Polisi masa kini dan masa depan harus lebih mengedepankan pendekatan akademis dalam memecahkan masalah, tentunya didukung pendekatan teknologi kepolisian dan manajemen keamanan. Polisi sudah seharusnya membuka diri untuk mendiskusikan perilaku sipil, proses sipil, komunikasi sipil, dialog sipil, interaksi sipil, dan sebagainya tanpa meninggalkan atribut polisi sebagai penegak hukum yang tidak tebang pilih (Rahardjo, 2007: 61). Untuk itulah pola pendekatan polisi yang represif dalam menghadapi permasalahan pencegahan kejahatan atau permasalahan sosial di masyarakat hendaknya sudah ditinggalkan, dimana anggapan polisi yang menempatkan warga sipil dalam objek perpolisiannya menyebabkan mereka kehilangan hak dalam memperoleh kepastian hukum. Sudah sepatutnya polisi masa kini menghargai manusia sama derajatnya di mata hukum, dimana polisi sudah memikirkan bagaimana menolong orang tanpa harus disuruh atau mengambil langkah-langkah antisipatif dalam melindungi keselamatan orang dan harta bendanya melalui kegiatan-kegiatan preventif sebagai perwujudan adanya interaksi sipil dalam pekerjaan polisi.

Tipikal polisi seperti inilah yang sudah mengarah kepada pembentukan polisi yang berkemanusiaan (humane policing). Pembacaan hak-hak manusia yang berkaitan dengan hukum saat polisi melakukan upaya paksa terhadap pelaku kejahatan merupakan wujud pemolisian berbasiskan HAM. Kalau kita sering melihat polisi Amerika menangkap penjahat, pembacaan hak-hak tersebut pasti akan selalu terlontar sebelum dilakukan upaya paksa lainnya (Miranda Warning, 1966), you have a rights to remain silent, anything you say can and will be used againts you in a court of law, you have the rights to speak to an attorney, if you cannot afford one, an attorney will be provided at no expense to you, you have the rights to not answer questions at any time and request an attorney to be present before any questioning. Mungkin alangkah baiknya, kalau Polri juga mengadaptasi hal tersebut untuk diterapkan dalam penindakan hukum, seperti misalnya anda melanggar undang-undang, anda berhak untuk tidak menjawab pertanyaan, anda berhak untuk didampingi penasehat hukum untuk menghadapi kasus ini, apabila anda tidak mampu maka Polri akan menyiapkan penasehat hukum untuk anda, apapun yang anda katakan nantinya akan menjadi kesaksian di depan pengadilanMengapa saya katakan demikian? Ini menimbang pekerjaan polisi tidak akan mungkin dicintai oleh masyarakat. Jadi apabila kita lihat arahan dari senior-senior polisi yang mengatakan Ingin menjadi polisi yang profesional agar dicintai masyarakat itu tidaklah mungkin terjadi, karena dampak dari pekerjaan polisi adalah melanggar hak asasi manusia. Manusia yang mana? Tentunya manusia yang melakukan pelanggaran hukum terhadap manusia lain, terhadap harta benda manusia lain, atau terhadap negara. Sejak manusia itu dilahirkan, manusia berhak untuk merasakan kebebasan bergerak, manusia berhak untuk bebas dari rasa takut, manusia berhak untuk menyatakan pendapat, dll. Dan perlu diingat bahwa hak-hak manusia tersebut berbatasan dengan hak-hak manusia yang lainnya, sehingga ketika ada hak manusia yang dilanggar oleh manusia lain maka butuh satu lembaga khusus untuk mengatasi masalah tersebut, dan lembaga itu dipercayakan kepada kepolisian. Nah, ketika polisi bertindak sebagai konsekuensi hukum yang berlaku, sudah barang tentu akan melanggar hak asasi manusia yang melanggar hukum tersebut sebagai manusia. Namun sebagai konsekuensi hukum, maka tindakan polisi tersebut dibenarkan atas nama undang-undang yang berlaku, selagi pelanggar tersebut mendapat perlakuan yang sama di mata hukum.

Dari sinilah sebenarnya polisi harus menyadari bahwa ada suatu peran yang harus dijalankan kaitannya dengan tugas pokoknya sebagai polisi, dimana peran itu tidak diberikan kepada masyarakat biasa. Polisi diberi keistimewaan untuk menghadapi bahaya dan ancaman kekerasan dengan kekuatan penggunaan kekerasan yang dimilikinya, yang tentunya ditujukan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dari ancaman dan gangguan yang ditimbulkan manusia lain. Peran ini yang seharusnya Polri kembalikan kembali ke dalam konsepsi Tri Brata, bahwa polisi harus memiliki empati terhadap rakyat dibandingkan dengan penggunaan kekuatan guna memelihara kamtibmas. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan dengan akar rumput (grass-roots) untuk mengetahui problematika masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Kedekatan dengan masyarakat harusnya menjadi prioritas utama ketimbang pendekatan represif yang nantinya akan membuat polisi semakin terisolasi dengan masyarakat yang diayominya. Peningkatan komunikasi dan interaksi sosial dengan masyarakat ditempuh dengan cara-cara resiprositas polisi-masyarakat, desentralisasi wilayah, reorientasi patroli dan alternatif gaya pemolisian merupakan perwujudan konsepsi pemolisian sipil Indonesia(Rahardjo,2004:79).

Konsepsi pemolisian sipil yang tertuang dalam Polmas (Pemolisian Masyarakat) sudah barang tentu merupakan prinsip-prinsip dasar filosofi dan strategi Polri dalam mewujudkan dan memelihara kamtibmas melalui pemberdayaan komunitas-komunitas masyarakat guna turut membantu polisi dalam mengatasi permasalahan sosial sekaligus juga sebagai wadah untuk pemecahan masalah yang ada dalam masyarakat. Polmas juga sebetulnya tidak perlu biaya yang besar seperti untuk pembangunan kantor BKPM/FKPM, pengadaan alat-alat kepolisian, dll. namun cukup dengan meningkatkan sambang, tatap muka, dialog interaktif, konsultasi, penjagaan, patroli rutin, dan sebagainya didukung dengan teknologi kepolisian maupun peran aktif masyarakat akan membuat sistem keamanan semakin terpadu dan berkesinambungan.

Program 1 Polisi 1 Desa juga harus didukung secara mutlak oleh Polri, mulai dari personelnya, kelengkapan sarana dan prasarana, serta penyiapan sistem reward and punishment bagi setiap keberhasilan/kegagalan. Jangan hanya mengharapkan outcome nya saja, namun input dan outputnya tidak diperhatikan. Penghargaan bagi polisi yang berhasil membina wilayahnya (desa, kelurahan, kecamatan, dll) baik itu berupa promosi jabatan atau kelancaran pendidikan pengembangannya, akan memacu polisi lain untuk berbuat hal yang sama. Tentunya dengan indikator pelaksanaan pemolisian tersebut tidak memberatkan masyarakat yang dibinanya. Petugas yang mengawaki program ini harus dirubah mindset-nya dan harus memiliki kepemimpinan yang transformatif, namun tetap menekankan bahwa pemolisian yang humanis bukan berarti polisi tidak bertindak tegas apabila ada potensi kejahatan yang muncul disitu, tetap UU menjadi payung hukum untuk ditegakkan. Karena tindakan tegas polisi bukan untuk melanggar hak asasi manusia, namun untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang produktif, dari gangguan dan ancaman manusia lain yang tidak produktif, agar produktifitasnya tidak terganggu (Chrysnanda, 2011: 148).Tentunya program ini harus didukung dari hulu ke hilir, harus ada komitmen dari Pimpinan Polri untuk mendukung terlaksananya program ini secara terpadu dan berkesinambungan. Hal ini perlu juga didukung fasilitas dan anggaran bagi para pelaksananya, namun harus secara akuntabel dipertanggungjawabkan dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya. Para punggawanya pun harus orang-orang yang memang berdedikasi tinggi dan memiliki integritas moral untuk mengabdikan diri pada negara dan masyarakat, tidak bisa hanya main tunjuk namun tidak ada motivasi untuk menuju perubahan. Beri penghargaan bagi mereka yang berhasil melakukan pembinaan keamanan, dan beri sedikit teguran bagi mereka yang tidak secara serius melakukan pembinaan kepada desa/wilayah yang menjadi tanggungjawabnya. Kalau perlu ajak para polisi yang telah berhasil ini untuk melakukan studi banding keluar negeri, di negara yang pemolisian masyarakatnya bisa dikatakan cukup berhasil untuk menekan angka kejahatan melalui pola pendekatan kerjasama dengan masyarakat. Ini semua dilakukan demi terwujudnya keamanan dan ketertiban di Indonesia. Dan sekali lagi, perlu komitmen moral dari semua personel Polri untuk mewujudkan ini semua.

Referensi:

Chrysnanda, DL. 2011. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan Dengan Polisi? Sebuah CatatanHarian.Jakarta:YPKIK-UI.

Rahardjo, Satjipto. 2004. Sosok Polisi Rakyat Menuju Indonesia Baru (dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Parsudi Suparlan, ed.). Jakarta: YPKIK-UI.

Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas-Gramedia. Diposkan oleh arriwp1997 - Police Hazard 2 di 14.31 http://arriwp1997.blogspot.com/2012/12/konsep-polisi-yang-berkemanusiaan-dalam.html

Minggu, 12 September 2010POLMAS SEBAGAI STRATEGI PARTNERSHIP BUILDING

ABSTRAKPerpolisian masyarakat (Polmas) dewasa ini telah menjadi model perpolisian dalam masyarakat moderen. Model perpolisian yang menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi subyek dan mitra kepolisian dalam pemecahan masalah Kamtibmas. Kondisi karakteristik masyarakat di Indonesia merupakan modal awal dan faktor pendukung dalam pembangunan Polmas (Community Policing). Dalam membangun kemitraan diperlukan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi baik aspek teknis maupun penegakan hukum. Guna mendukung efektifitas implementasi Polmas, institusi kepolisisan telah dan terus melakukan reformasi birokrasi sebagaimana tuntutan dan harapan masyarakat.Polmas menjadi aspek strategis dalam membangun kepercayaan masyarakat kepada kepolisian. Kepercayaan inilah yang bila ditumbuhkembangkan pada gilirannya menjadi faktor pendukung strategis dalam membangun kemitraan polisi-masyarakat, keberhasilan membangun kepercayaan masyarakat akan berdampak pada keberhasilan membangun kemitraan, demikian sebaliknya. Polmas merupakan salah satu strategi dalam partnership building yang diperlukan dukungan trust building.Penerapan Polmas terkait dengan upaya membangun kerjasama polisi - masyarakat guna menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan Kamtibmas,, tidak hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahannya. Dalam konteks ini diperlukan kondisi kepercayaan masyarakat yang kondusif sebagai strategi membangun kemitraan polisi-masyarakat. Untuk itu dibutuhkan unsurunsur pendukung yakni profesionalisme, implementasi paradigma polisi mitra masyarakat secara proporsional. Strategi tersebut mencakup pembinaan aspek internal maupun eksternal yang relevan dalam mewujudkan kemitraan.

(Key Words : Polmas, perpolisian moderen, reformasi birokrasi polisi, membangun kepercayaan masyarakat, polisi professional, paradigma kemitraan polisi-masyarakat, dan strategi partner shipbuilding.

I. Pendahuluan

1. Latar Belakang.Perjalanan reformasi telah membawa seluruh institusi dan komponen masyarakat negeri ini untuk terus berbenah diri. Pembenahan telah menyentuh berbagai ranah yang mengatur kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut seiring dengan tuntutan kualitas pelayanan publik yang selama ini telah mengalir melalui setiap kebijakan birokrasi. Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban amanah melalui visi, misi, dan tugas pokoknya sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.Sejalan dengan pemikiran di atas maka terdapat hal-hal yang perlu dicermati secara tepat terkait dengan operasionalnya yakni; Falsafah kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas di masyarakat yang sama; Gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif; Tujuan untuk memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan menerapkan prinsip menjalin hubungan kemitraan polisi-masyarakat.Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian. Perpolisian moderen merupakan hasil perkembangan perpolisian konvensional. Selain itu juga memberikan masyarakat peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap Kamtibmas. Sedangkan unsur penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi. Terkait dengan itu polisi melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan maupun masalah lain yang menjadi perhatian publik. Pola perpolisian berorientasi pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegiatan sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik (public service policing). Pemolisian mengandalkan sumber daya setempat (resource based policing), dan mengakomodir kebutuhan masyarakat, serta mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing).Selain itu sebagai dukungan terhadap perpolisian moderen implementasi Polmas diwujudkan oleh kiprah kepolisian profesional, demokratis, berwibawa, kuat, dan dekat dengan masyarakat. Hal tersebut sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis. Perlunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian guna membangun kemitraan. Dalam implementasi tugas-tugas kepolisian dituntut cocok dengan kebutuhan masyarakatnya. Diperlukan kebijakan pimpinan institusi kepolisian dalam membangun kemitraan masyarakat baik terkait dengan aspek teknis kepolisian, penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) maupun penerapan Polmas. Sebagai model strategi dalam membangun kemitraan (partnership building) maka Polmas dibutuhkan efektifitas perannya dalam implementasinya.Citra polisi di mata masyarakat dengan iklim yang kurang kondusif akan menjadi ganjalan dalam membangun kemitraan. Tuntutan pencintraan tersebut sangat terkait dengan perilaku polisi yang etis dan bermoral. Dampak reformasi Indonesia adalah lahirnya tuntutan masyarakat terhadap institusi kepolisian dengan citra profesional dan humanis. Untuk itu maka kini terus dilakukan uapaya memantabkan kultur polisi sipil yang demokratis, menegakkan hukum dan hak asasi manusia. Polmas dalam partnership building mendorong terwujudnya kepolisian profesional dan berorientasi pada kepuasan masyaraka. Hal ini telah mengedepankan tindakan proaktif, menjadikan masyarakat sebagai subyek. Menempatkan masyarakat sebagai mitra kerja yang setara dalam mewujudkan Kamtibmas.

B. Permasalahan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yakni : Bagaimanakah Polmas sebagai strategi dalam partnership building?

II. PembahasanHakekat, landasan hukum, dan landasan konseptual Polmas

1. Hakekat Polmas. Pada hakekatnya Polmas atau perpolisian masyarakat (community policing) merupakan : a). Perwujudan kerjasama Polisi dan masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. Konsepsi Polmas secara konvensional melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Polmas merupakan model community policing ala negeri ini. b). Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap Kamtibmas.c). Menciptakan ketentraman umum. Mengandung makna bahwa Polmas bukan hanya sekedar meniadakan gangguan faktual terhadap Kamtibmas tetapi juga perasaan takut warga menghadapi gangguan Kamtibmas.d). Kerjasama Polisi dan masyarakat yang mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/ pengendalian dan analisis/ evaluasi atas pelaksanaannya.e). Falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas dalam masyarakat, didukung oleh gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat. f). Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat, dengan polisi sebagai "problem solver".g). Pemolisian Masyarakat suatu filosofi atau strategi yang dimiliki oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dan hal yang terpenting bagi Polri sebelum menerapkan Polmas adalah bagaimana institusi tersebut dapat dipercaya oleh masyarakat, untuk mempermudah terjadinya kemitraaan.

2. Landasan Hukum. Landasan hukum Perpolisian masyarakat meliputi : a). UUD 1945 perubahan Kedua Bab XII Pasal 30 : (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha Keamanan negara. (2) Usaha Keamanan negara dilaksanakan melalui sistem keamanan rakyat semesta oleh dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. b). Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pertimbangan huruf b ditegaskan bahwa Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan pada Pasal 3 : (1) Pengembangan fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau bentuk-bentuk pengawasan swakarsa. (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksankan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.c).Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.d). Bahwa untuk anev Polmas dilakukan melalui sistem pendataan yang memungkinkan proses analisis dari satuan terbawah Kepolisian Sektor (Polsek) sampai Markas Besar (Mabes Polri) (pasal 54).) Dalam Skep/737/X/2005, Polmas menjadi program penuh dari tingkat Polsek sampai Polres, sedangkan pengawasan kegiatan dilakukan hingga tingkat Polda.

3. Landasan Konseptual

Pengertian berbagai hal yang perlu diuraikan terkait dengan pengertian Polmas adalah sebagai berikut :

a). Konsep Polmas mencangkup dua unsur yakni Perpolisian dan masyarakat.Secara harafiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata Policing berarti segala hal ikhwal penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh. Mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filosofinya.b). Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata Community dalam konteks Polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya. Dalam perkembangan kebijakan Kapolri selanjutnya Community Policing diterjemahkan sebagai pemolisian masyarakat atau perpolisian masyarakat atau disingkat Polmas. Sedangkan pemolisian, merupakan pemberdayaan seluruh komponen dan sumber daya yang dapat dilibatkan dalam tugas dan fungsi guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.c).Trust building dalam konteks ini dimaksudkan sebagai public trust building yakni membangun kepercayaan masyarakat terkait dengan strategi Polmas.d).Perpolisian masyarakat dalam trust building dimaksudkan sebagai seluruh kiprah perpolisian masyarakat baik terkait dengan hakikat Polmas maupun muaranya pada upaya membangun kepercayaan masyarakat kepada kinerja kepolisian, sehingga memerlukan langkah-langkah strategis.e).Partnership building dimaksudkan sebagai kegiatan membangun kemitraan polisi masyarakat dalam mewujudkan Kamtibmas. Sebagai strategi mencapai partnership building maka implementasi Polmas menekankan kemitraan polisi masyarakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan Kamtibmas.

f). Model Polmas dapat mengambil bentuk :

1. Model wilayah

a). Mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman (RW/ RK/ dusun/ desa/ kelurahan). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi.

b). Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan terhadap wilayah hukum yang jelas seperti mall, pusat perdagangan, perkantoran, dan kawasan industri). Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif bersama masyarakat dan petugas kepolisian.

c) Perwujudan nilai-nilai dan hakekat Polmas, telah bermuara pada lahirnya trust building dan berdampak pada tumbuhnya kemitraan.

2.Konsep Community Policing (CP).

Menurut para ahli seperti Trojanowich (1998), Bayley (1988), Meliala (1999), dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerjasama antara polisi dengan masyarakat tempat bertugas untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri. Konsep Polmas yang diadopsi Polri sekarang ini, bervariasi. Ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut dimodifikasi di Indonesia, karena karakteristik budaya masyarakatnya. Perlu ada penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran konsep Polmas tersebut dengan karakteristik masyarakat. Meski demikian, pengertian Polmas sampai saat ini masih ada yang mengartikan pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun demikian dalam perkembangannya telah dimodifikasi dengan kebijakan tentang Polmas sebagai pemolisian masyarakat.

3. Kultur polisi sipil.

Merupakan gambaran dari budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, dengan pujian, perasaan puas, atau dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan perilaku Polri. Dalam rangka pemantapan kultur Polri, maka perlu diurai mengenai elemen budaya yakni artefak, nilai-nilai (values) dan asumsi dasar atau paradigma.) 1. Artefak, merupakan elemen budaya yang kasat mata, mudah diobservasi oleh seseorang atau kelompok orang baik dalam maupun luar organisasi. Menurut Mary Jo Hatch (1997) kategorisasi artefak yakni manifestasi fisik, yang terdiri atas logo, bentuk bangunan, cara berpakaian, tata letak bangunan, dan design organisasi. Sedangkan manifestasi perilaku antara lain upacara-ritual, cara berkomunikasi, tradisi/kebiasaan, sistem reward dan punishment, cara menyapa, mitos/sejarah/cerita-cerita sukses, dan metafora yang digunakan). Untuk itu perubahan secara kultural harus menampilkan sosok polisi yang ramah, tidak lagi memeras, tidak suka menjebak, tidak lagi arogan, tidak sewenang-wenang dan tidak bisa dibeli oleh calo kasus kejahatan. 2. Nilai-nilai (values), adalah sebuah konsep yang abstrak., namun bila diimplementasikan dalam model Polmas dikaitkan dengan transparansi dan akuntabilitas kinerja kepolisian akan sangat mendukung terwujudnya kemitraan polisi-masyarakat.

4. Kultur Masyarakat.

Kultur masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya. Beberapa tuntutan terkait dengan persoalan masa lalu yang belum terselesaikan yakni telah menciptakan perasaan kekecewaan, kekhawatiran, dan ketidakadilan masyarakat. Salah satu bidang penting dari perkembangan itu adalah lemahnya lembaga penegak hukum akibat dari krisis sosial dan kepercayaan yang berkepanjangan. Dalam kondisi ini untuk membangun kemitraan diperlukan kultur polisi yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.

5. Sinerginya Kultur Polisi dan Kultur Masyarakat.

Setelah kemandirian Polri model Polmas di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat terus dikembangkan. Dalam implementasinya, terbentuknya sejumlah FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) sebagai wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat. Melalui ruang yang mengedepankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan tentang soal Kamtibmas dan isu-isu sosial lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada. Misalnya saja perkumpulan Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, dan lain-lainnya. Dalam hal inilah pentingnya program Polmas yang awalnya dikenal dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan,) di era reformasi polisi. Antara kultur polisi yang melayani dan menegakkan hukum secara profesional menjadi sinergi dengan kultur masyarakat yang berperilaku demokratis, reforrmis, dan kultur yang mendukung penegakan hukum dan hak asasi manusia.

6. Polmas Sebagai DukunganTerhadap Pencitraan Polisi.

Pencintraan merupakan suatu proses menuju terwujudnya citra polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta penegak hukum. Sebagai profil profesional, bermoral dan moderen, polisi dalam melaksanakan tugasnya memahami dan menerapkan prinsip - prinsip dasar penegakan HAM. Dalam rangka kemitraan Polisi masyarakat, dibutuhkan keterampilan komunikasi yang efektif, dengan bermacam-macam orang dari lapisan yang berbeda. 1) Komunikasi internal terjadi ketika dengan sesama anggota kelompoknya. 2) Komunikasi eksternal terjadi ketika anggota kepolisian berkomunikasi dengan departemen terkait dalam pemerintahan, organisasi- organisasi non pemerintah, kalangan bisnis, korban kejahatan, pelaku kejahatan dan anggota masyarakat lainnya. Implementasi Polmas yang efektif akan mendukung efektifitas pencintraan polisi, polisi yang bercitra profesional dan humanis dalam mewujudkan tugas memelihara Kamtibmas.

Unsur Utama dari Kemitraan Efektif, yang meliputi : Sifat sukarela untuk bermitra Saling ketergantungan sebagai dampak dari saling berbagi tanggung jawab. Sumber daya, dan kompetensi. Sinerginya konsep nilai tambah atau jumlah yang lebih besar dari pada bila tidak bermitra, namun hanya secara individu Komitmen atau perjanjian pada bagian dari peserta. Bekerja bersama-sama para mitra di semua tingkat, tahapan serta pelaksanaan dan evaluasi. Adanya tambahan dukungan Terjadinya peningkatan berbagai jenis sumber daya dan kompetensi. Terjadinya komunikasi yang baik. Saling Menghormati Dan Saling Percaya

g).Pemantapan Kultur. Konsep pemantapan, untuk menggambarkan perubahan dari kondisi kultur polisi sipil yang masih kurang stabil menjadi lebih stabil. Pemahaman tentang : 1). Kata civil dikaitkan dengan civility yang secara harafiah berarti kesopanan. Dalam kata civilize yang berarti membudayakan lebih sopan. Kata civilization yang berarti peradaban, cara hidup orang atau negara yang beradab. Dengan demikian, civility tidak bisa diartikan hanya sebagai kesopanan, melainkan mencakup pemahaman yang lebih luas, termasuk peradaban. 2). polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan lasimnya kepolisian. Konsep polisi sipil adalah pada pengakuan polisi atas diri klien sebagai sosok bermartabat dan berharga diri. Nilai-nilai martabat/harga diri tersebut melekat dalam setiap pelayanan, pengayoman, perlindungan dan penegakan hukum.

I. Analisis Faktor Pengaruh Kinerja Kepolisian.

1. Aspek Sumber Daya Manusia.

Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, maka Polri kini terus membuat dan melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Di berbagai daerah dibangun pula Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), ada Ulama Mitra Kamtibmas dan sebagainya. Yang perlu bagi tuntutan masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat dengan polisi. Kondisi kemitraan polisi dengan masyarakat masih perlu terus ditingkatkan. b.Kondisi sebagian masyarakat yang masih merasa takut berhubungan dengan polisi. Masyarakat masih melihat polisi bagai hantu yang menakutkan. Meski Polri juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk tidak takut melaporkan apabila ada oknum polisi yang arogan dan merusak citra. Masyarakat perlu sadar akan haknya untuk mendapatkan pelayanan dan sebagai mitra polisi.

2. Aspek Kultur.

Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas. Di samping itu juga berorientasi pada penjabaran nilai-nilai Filosofi, Visi, Misi, tujuan, tugas, wewenang dan Doktrin Polri. Semuanya bermuara pada upaya untuk memelihara Kamtibmas. Melalui kegiatan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, kiranya mampu mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat." b. Polisi sebagai elemen aparatur pemerintahan. Berbagai persoalan publik diharapkan dapat dilakukan sharing-position polisi dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya, hal ini sebagaimana dirumuskannya konsep community policing oleh Robert R Friedmann (1998). c. Perubahan kultur polisi sebagai kerangka konseptual untuk mengimplementasikannya.

3. Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi.

Pertama-tama yang perlu dibenahi adalah mentalitas. Mental pelayan diberikan makna positif seiring dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Secara kasuistis penyimpangan petugas kepolisian berdampak negatif. Terutama di tengah kepolisian yang sedang membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat. Misalnya saja Babinkamtibmas telah memberikan penyuluhan bahwa polisi saat ini telah berubah, sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Namun ironis memang karena masih saja ada sebagian warga yang merasakan ketika berurusan dengan masalah pelayanan oleh petugas polisi ketika menegakkan hukum, sebagian warga masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif dan pungutan liar yang membebaninya.

4. Aspek Perilaku Aparat.

Bahwa masih adanya perilaku aparat yang belum sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu. Di berbagai daerah, masih banyak oknum-oknum yang belum menyadari tugas sebagai Polri. Banyak oknom polisi yang bersikap arogan dan seakan-akan kebal hukum. Kebijakan Polri itu tidak pernah demikian. Disadari bahwa hal tersebut hanyalah ulah oknum saja, namun ulah segelintir oknum tersebut nama baik Polri menjadi tercemar. Sekarang ini, pimpinan Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusi Polri. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat dan punya kemauan kerja, serta memiliki dedikasi yang tinggi. Sedangkan kekurangan Polri, adalah pengawasan secara internal. Kelemahan ini tergolong klasik, ada istilah jeruk makan jeruk. Sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamin obyektivitasnya.

5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan.

Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. Misalnya saja bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing stucture) kepolisian agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktur pengelolaan organisasi kepolisian dalam melayani masyarakat telah bergerak dari bentuk birokrasi (bureaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke bentuk jaringan (network), lagi-lagi masih mengalami berbagai ketimpangan.

6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan Kamtibmas.

7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana.

Dalam perkembangannya kini semakin banyak persoalan yang muncul. Dalam faktanya hal tersebut telaha diatur dalam berbagai produk hukum, peraturan-peraturan, undang-undang publik, dan statuta. Peraturan-peraturan serta undang-undang tersebut dapat digunakan polisi untuk membantu memecahkan masalah. Peraturan-peraturan tentang bangunan, misalnya, dapat digunakan untuk menegakkan tindakan pencegahan kejahatan. Peraturan mengenai kebisingan suara dapat pula digunakan untuk menangani penyewa kamar yang susah diatur, peraturan mengenai kesehatan dapat digunakan untuk mencegah terlalu padatnya tingkat hunian dan mencegah peredaran narkoba.

8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional.

Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, guna terwujudnya Kamdagri. Penerapan strategi tersebut antara lain adalah meningkatkan pemeliharaan Kamtibmas dengan mengedepankan pendekatan pre-emtif dan preventif.

9. Aspek Sikap Perilaku Anggota Polri.

Masih banyaknya perilaku yang belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai pelindung, penyayom dan pelayan. masyarakat Penampilan Polri masih menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus menerus.

II. Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building

1. Pembinaan Terhadap Aspek Internal.

a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia. Pembinaan SDM khusus bagi petugas Polmas yang meliputi :

Rekruitmen, pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih maupun petugas Polmas. Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya. Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan. 2. Pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten. Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.3. Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas.4. Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas.5. Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas sehingga setiap aktivitas penyajian layanan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Setiap anggota Polri seharusnya menunjukkan sikap dan perilaku yang respek dan senantiasa membangun hubungan yang harmonis. Meningkatkan kemampuan anggota kepolisian sehingga tercapai kinerja yang diharapkan. Proses tersebut melibatkan peran masyarakat sebagai mitra kepolisian.6. Mengembangkan Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kebijakan, bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi yang plural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang diwujudkan dalam :

a) Polmas yang dikembangkan dari pola tradisional seperti Model Siskamling seperti ronda kampung dan ronda kawasan pemukiman) . 2) b) Pemberdayaan Pranata Sosial seperti halnya dengan Jaga baya, jaga tirta, Pecalang, dan Pela gandong. 3) c) Melalui intensifikasi kegiatan fungsi Binmas Polri dengan penerangan dan penyuluhan. d) Patroli. e) kegiatan pembinaan oleh fungsi teknis kepolisian. f) penggalangan potensi komunitas. g) pendidikan/pelatihan keterampilan Kamtibmas.h) Koordinasi dan kerjasama kamtibmas. Polmas yang dikembangkan dari Pola Community Policing di Negara lain yang kini diadopsi di Indonesia meliputi :

- Perpolisian masyarakat sesuai dengan Skep Kapolri No. Pol. :Skep/737/X/2005) yang terdiri atas komponen petugas Polmas, pembentukan FKPM, pembentukan Balai Kemitraan Polri-masyarakat. - Di Jepang yakni sistem Koban dan sistem Chuzaisho.- Kanada dan Amerika Serikat melalui Hot Spot Area dan Neighborhood Watch.

7. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building. Dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. Bahwa secara teknis pengembangan teknologi kepolisian merupakan bagian dari unsur kualitas pelayanan kepolisian yang moderen dan akan memampukan institusi kepolisian untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.

8. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Guna keberhasilan Polmas maka harus didukung perubahan manajemen. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni yang layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat.) Selain itu layanan juga dilaksanakan oleh seluruh tingkatan, dengan kebijakan yang komprehensif. Perubahan manajemen Polri diarahkan untuk mendukung kebijakan Polmas, diarahkan untuk berkembangnya organisasi yang berdaya saing sehat, setiap individu diarahkan kepada penciptaan kesempatan melakukan perubahan baik karier maupun kehidupan pribadinya. Perlu langkah antisipatif terhadap penolakan perubahan manajemen bagi yang telah berada pada zona aman.

9. Mengembangkan Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program kerja atau kegiatan tersebut. Mekanisme pengawasan dilakukan secara berkala, mencakup pengawasan internal organisasi Polri dan pengawasan yang dilakukan pihak lain di luar Polri, seperti masyarakat, media massa, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain-lain. Sedangkan sistem penilaian (evaluasi) dilakukan pada setiap periode tertentu atau pada akhir program kerja dan didasarkan atas kriteria dan indikator keberhasilan program kerja yang jelas dan transparan.

10. Mengembangkan Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. Oleh karena itu, Polri harus mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan anggaran kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas publik oleh Polri. Sebagai bentuk akuntabiltas publik, pemimpin Polri dapat membangun mekanisme pertanggungjawaban setiap unit dari kesatuannya. Setiap unit di kesatuan Polri (Mabes, Polda, Polres dan Polsek) harus membuat laporan pertanggungjawaban yang menunjukkan tingkat pencapaian hasil berdasarkan perbandingan antara perencanaan dengan realisasi (program dan anggaran).

11. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan pelatihan pelayanan prima, pembenahan aspek mentalitas. Mental pelayan bukan lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Sering terjadi secara kasuistis namun berdampak negatif akan adanya konsep pelayan masyarakat namun praktiknya perilaku feodal yang dipertontonkan. Dalam membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat pemaknaan pelayan yang sebenar-benarnya sebagai pelayan. Babinkamtibmas dengan mulut berbusa telah memberikan penyuluhan bahwa polisi telah berubah. Sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Nyatanya ketika warga berurusan dengan petugas reserse, masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif yang nyata-nyata melukai hati mereka.

12. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara lebih fokus. Hal tersebut sejalan dengan paradigma polisi yang berorientasi kepada kualitas pelayanan masyarakat. Indikator Keberhasilan perpolisian masyarakat adalah sebagai berikut :

- Intensitas kegiatan forum baik kegiatan pengurus maupun keikut-sertaan warganya. - Kemampuan forum menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah. - Kemampuan petugas Polmas dalam penyelesaian masalah termasuk konflik/pertikaian antar warga.- Kemampuan mengakomodir/menanggapi keluhan masyarakat. - Intensitas kunjungan warga oleh petugas Polmas meningkat.- Pembinaan Terhadap Aspek Eksternal, meliputi :

A. Membangun Kepercayaan Masyarakat.

Institusi kepolisian melakukan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi berkaitan dengan partisipasi masyarakat guna mengembangkan kemitraan dengan masyarakat terus dilakukan. Selain terkait dengan isu-isu Kamtibmas, Polmas juga terkait dengan isu-isu lain yang dibutuhkan masyarakat. Pada tingkatan dan kondisi tertentu, berhubungan dengan polisi diciptakan sebagai hal yang menyenangkan. diperlukan :

1. kecepatan dan ketepatan waktu dalam menangani masalah yang dihadapi masyarakat. 2. Tugas dan peran polisi tidak lagi dirasakan sebagai hal yang dikomersialisasi.

B. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving) untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat. Senantiasa berupaya mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat terhadap gangguan kamtibmas dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Keberhasilan Polri membungkam berbagai kejahatan seperti judi dan premanisme, membuat citra Polri semakin menguat.

C. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya.

Ketertiban masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya.

D. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder.

Pemeliharaan Kamtibmas merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Untuk itu, Polri membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terkait (stakeholders) guna memelihara Kamtibmas. Dalam rangka pemeliharaan kamtibmas tersebut, Polri meningkatkan dukungan dari berbagai kalangan, seperti pemerintah daerah, DPRD, dunia usaha (private sector), media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan masyarakat. Dukungan stakeholders dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan masyarakat, media massa dan LSM terhadap perilaku personil Polri.

E. Mengembangkan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan Dan Sosialisasi.

Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum. Menciptakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Misalnya Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), Ulama Mitra Kamtibmas, Cendekia mitra Kamtibmas, dan sebagainya. Yang diperlukan bagi masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat - Polri melalui program kemitraan agar masyarakat tidak takut berhubungan dengan polisi, lebih berani memposisikan polisi dan masyarakat sebagai mitra.

F. Operasionalisasi Polmas.

Kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen mencakup :

a. Petugas pengemban Polmas di lapangan.

antara lain memfasilitasi siskamling, memanfaatkan pertemuan warga dan kegiatan masyarakat seperti pertandingan sepak bola, konser musik, dan melakukan tatap muka dengan berbagai kelompok termasuk tokoh masyarakat, agama, pemuda , dan sebagainya.

b. Supervisor/pengendali Polmas melalui :

- Tatap muka dengan komunitas tertentu.- Memberdayakan peran pranata sosial tertentu.- memfasilitasi kegiatan umum.- Melakukan koordinasi dengan penyelenggara kegiatan demi mencegah terjadinya gangguan keamanan.- Menghadiri/memfasilitasi forum diskusi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu.- Memfasilitasi penyelenggaraan lomba-lomba keterampilan tertentu terkait dengan masalah Kamtibmas.

c. Manajemen, Melakukan kegiatan :

- koordinasi dan komunikasi dengan pejabat formal dalam rangka pengembangan sistem penanggulangan Kamtibmas.- konsultasi dan diskusi dalam pembuatan aturan, perijinan, pengaturan, dan pembangunan dalam rangka pencegahan dan penaggulangan bencana alam.- koordinasi dengan Pemda dan institusi terkait.- penentuan sasaran, metode dan prioritas penerapan program di wilayah dalam batas kewenangan jabatannya.

G. Mengembangkan Perilaku Terpuji.

Di berbagai tempat tugas masih banyak ditemukan oknum polisi yang belum menyadari tugasnya. Sikap arogan dan seakan-akan kebal hukum berdampak negatif dalam era reformasi birokrasi. Dampak ulah negatif segelintir oknum, nama baik Polri menjadi tercemar. Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusinya. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat, punya kemauan kerja, dan memiliki dedikasi yang tinggi. Kekurangan aspek pengawasan secara internal tergolong klasik, munculnya istilah jeruk makan jeruk, dimaknai sebagai sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamain obyektivitasnya. Profesionalisme kepemimpinan dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas kepolisian secara efektif terlebih dalam mengembangkan perilaku teruji. Tugas tersebut terkait dengan kemampuan membawa anggota dan mempengaruhi masyarakatnya untuk menumbuhkan kepercayaan guna membangun kemitraan yang lbih efektif.

III. Penutup

Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban tugas sejalan dengan visi dan misinya, sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta dalam penegakan hukum. Menjawab tuntutan masyarakat yang kini terus mereformasi diri ini Polri telah mencanangkan pembenahan institusinya dalam aspek struktural, instrumental dan kultural. Dalam pembangunan aspek kultural merupakan langkah penting dalam meningkatkan kualitas kinerja kepolisian, sebagaimana yang diharapkan masyarakat yaitu profil polisi yang memiliki citra positif di masyaraka. Membangkitkan semangat dan motivasi masyarakat untuk bersedia menjadi mitra kepolisian. Dari berbagai kebijakan pimpinan Kepolisian dalam membangun kultur institusinya bila dicermati maka ada dua hal yang penting akan berdampak positif, hal tersebut adalah penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta peneraapan Polmas.Mewujudkan pencitraan merupakan strategi yang efektif dalam membangun kepercayaan masyarakat (trust building). Kiranya akan menjadi sebuah kejanggalan bila hanya menuntut kesadaran masyarakat untuk percaya dengan polisi bila citra polisi tak lagi berkenan di hati masyarakat. Disadari bahwa kepercayaan yang tengah dan terus dibangun oleh kepolisian masih perlu dikembangkan terus-menerus. Bila disimak dari pemahaman dari aspek kultur maka akan semakin membuka wacana bahwa kultur terkait dengan nilai-nilai yang dilahirkan dari proses perilaku organisasi yang positif dan bermanfaat dalam keberadaan organisasi tersebut. Dalam salah satu tuntutannya adalah bahwa setiap anggota kepolisian wajib memahami dan menerapkan kultur kepolisian baik dalam menegakkan hukum maupun melayani dan mengayomi serta melindungi masyarakatnya. Karena setiap anggota kepolisian merupakan kepanjangan tangan negara selaku aparat penegak hukum dalam tanggungjawabnya memelihara Kamtibmas. Sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan serta nilai-nilai dalam organisasi kepolisia