pneumothorax .pdf

22
1 TUGAS GRAND REMEDIAL PNEUMOTHORAX OLEH: FIONNA MASITAH 1008260019 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Upload: fionna-pohan

Post on 26-Dec-2015

459 views

Category:

Documents


33 download

TRANSCRIPT

Page 1: pneumothorax .pdf

1

TUGAS GRAND REMEDIAL

PNEUMOTHORAX

OLEH:

FIONNA MASITAH

1008260019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Page 2: pneumothorax .pdf

ii

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha

Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas grand remedial yang telah direncanakan.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi

Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu

eksis membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini.

Penyusunan tugas makalah adalah merupakan salah satu syarat untuk

proses Grand Remedial di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara.

Dalam penulisan tugas ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan

bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan

ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada :

1. Kepada pada Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara Medan, yang telah membantu dalam grand remedial ini

dimana tugas makalah ini sebagai membantu dalam penilaian grand remedial.

2. Kepada teman-teman yang telah membantu dan memberikan masukan dalam

proses tugas ini

Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, maka

saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi

penyempurnaan selanjutnya.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan

semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi

penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan

dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin.

Medan, 02 September 2013

Penulis,

Page 3: pneumothorax .pdf

iiii

DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................v

BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................1

1.1.Latar Belakang .....................................................................................1

1.2.Tujuan ..................................................................................................2

BAB 2 TELAAH PUSTAKA .........................................................................3

2.1. Definisi Pneumothorax ........................................................................3

2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura ...............................................................4

2.2.1. Anatomi Pleura ............................................................................4

2.2.2 Fisiologi Pleura .............................................................................5

2.3. Patofisiologi Pneumothorax .................................................................6

2.4. Klasifikasi Pneumothorax ....................................................................7

2.4.1. Pneumothorax Spontan ................................................................7

2.4.1.1 Pneumothorax Spontan Primer ..................................................7

2.4.1.2.Pneumothorax Spontan Sekunder ..............................................7

2.4.2. Pneumothorax Traumatik ............................................................8

2.4.2.1. Pneumothorax Traumatik bukan Iatrogenik .............................8

2.4.2.2. Pneumothorax Traumatik Iatrogenik .......................................8

2.4.3. Pneumothorax Tension .................................................................8

2.4.4. Pneumothorax Tertutup ................................................................9

2.4.5. Pneumothorax Terbuka ................................................................9

2.5. Manifestasi Klinis .................................................................................9

2.5.1. Keluhan Subyektif .........................................................................9

2.5.2. Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 10

2.5.3. Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 10

2.6. Diagnosa Banding .............................................................................. 12

2.7. Penatalaksaanaan ............................................................................... 12

2.7.1. Observasi dan Pemberian Tambahan Oksigen ............................. 12

Page 4: pneumothorax .pdf

iv

2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi ............................ 12

2.7.3. Toraskopi ................................................................................... 14

2.7.4. Torakotomi ................................................................................ 15

2.8. Komplikasi ......................................................................................... 15

2.9. Prognosis ............................................................................................ 15

BAB 3 Penutup ............................................................................................ 16

3.1. Kesimpulan ....................................................................................... 16

3.2. Saran .................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17

Page 5: pneumothorax .pdf

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pneumothorax ................................................................................ 3

Gambar 2. Anatomi Paru-paru dan Pleura ....................................................... 4

Gambar 3. Pneumtororax Tension pada pemeriksaan foto thorkas ................. 11

Gambar 4. Penanganan dengan Melakukan Water Sealed Drainage ............... 13

Page 6: pneumothorax .pdf

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kejadian cedera dada merupakan salah satu trauma yang sering terjadi,

jika tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan kematian, kejadian trauma

dada terjadi sekitar seperempat dari jumlah kematian akinat trauma yang terjadi,

serta sekitar sepertiga dari kematian yang terjadi berbagai rumah sakit. Beberapa

cedera dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumthorax, pneumthorax

terbuka, flail chest, hematotoraks, tamponade jantung. Kecelakaan kendaraan

bermotor paling sering menyebabkan terjadinya trauma pada toraks. Tingkat

morbiditas mortalitas akan meningkat dan menjadi penyebab kematian kedua

didunia pada tahun 2020 menurut WHO (World Health Organization)

(Punarwaba dan Suarjaya, 2013).

Sebuah penelitian mengatakan 5,4% dari seluruh pasien menderita trauma,

merupakan pasien yang mengalami pneumthorax. Kurangnya pengetahuan untuk

mengetahui tanda dan gejala dari pneumthorax terdesak menyebabkan banyak

penderita meninggal setelah atau dalam perjalanan menuju ke rumah sakit

(Punarwaba dan Suarjaya, 2013).

Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga

pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru

leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumothorax dapat terjadi secara

spontan dan traumatik (Hisyam dan Budiono, 2009).

Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Diantara

pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi

sedikit cairan sereous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif.

Tekanan negatif intrapleural membantu dalam proses respirasi (Amita,2008).

Insidens pneumothorax sulit diketahui karena episodenya banyaknya yang

tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1.

Pneumothorax spontan primer sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat

Page 7: pneumothorax .pdf

2

penyakit paru sebelumnya. Pneumothorax spontan primer banyak dijumpai

pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan

sekitar 81% kasus pneumthorax spontan primer berusia kurang dari 45 tahun

(Hisyam dan Budiono, 2009).

Tidak ada mendasari penyakit paru pada pasien pneumothorax primer,

bleb subpleura dan bula terjadi secara patogenesis sebab terjadi 90% kasus

pneumothorax primer melalui torakoskopi atau dilakukan torakotomi terjadi pada

sampai 80% (Henry et al, 2003)

Dalam penelitian di Israel pneumothorax spontan terjadi pada 723 (60,3%)

dari 1199 kasus, pneumothorax spontan primer 218 dan pneumthorax spontan

sekunder 505. Pneumothorax traumatik terjadi 403 (33,6%) pasien, 73 (18,1%)

diantaranya memiliki pneumthorax iatrogenic. Dalam penelitian terbaru, 12%

pasien dengan gejala menusuk dada luka memiliki hemo-pneumthorax (Sharma

dan Jidal, 2008).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka tugas pemakalah tertarik dengan

judul “PNEUMOTHORAX”.

1.2.Tujuan

1.2.1. Untuk mengetahui Definisi Pneumothorax

1.2.2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi Pleura

1.2.3. Untuk mengetahui Patofisiologi Pneumothorax

1.2.4. Untuk mengetahui Klasifikasi Pneumothorax

1.2.5. Untuk mengetahui Manifestasi Klinik Pneumothorax

1.2.6. Untuk mengetahui Diagnosa Banding Pneumothorax

1.2.7. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Pneumothorax

1.2.8. Untuk mengetahui Komplikasi Pneumothorax

1.2.9. Untuk mengetahui Prognosis Pneumthorax

Page 8: pneumothorax .pdf

3

BAB 2

TELAAH PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumothorax

Pneumothorax adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada

rongga potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal (Punarwaba dan

Suarjaya, 2013). Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas

di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru (Amita, 2012).

Gambar 1. Pneumothorax

Page 9: pneumothorax .pdf

4

2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura

Gambar 2. Anatomi paru-paru dan pleura (Amita, 2012)

2.2.1. Anatomi Pleura

Pleura merupakan lapisan pembungkus paru (pulmo). Dimana antara

pleura yang membungkus pulmo dextra et sinistra dipisahkan oleh adanya

mediastinum. Pleura dari interna ke externa terbagi atas 2 bagian:

a. Pleura visceralis/ pulmonis, yaitu pleura yang langsung melekat pada

permukaan pulmo.

b. Pleura parietalis, yaitu bagian pleura yang beratasan dengan dinding

thorax.

Kedua lapisan ini saling berhubungan pada hilus pulmonale sebagai

ligamentum pulmonale (pleura penghubung). Diantara kedua lapisan pleura

terdapat sebuah rongga yang disebut dengan cavum pleura ini terdapat sedikit

cairan pleura yang berfungsi agar tidak terjadi gesekan antar pleura ketika proses

pernafasan (Amita, 2012).

Pleura parietal berdasarkan letaknya terbagi atas:

a. Cupula pleura (pleura cervicalis):

Page 10: pneumothorax .pdf

5

Merupakan pleura parietalis yang terletak diatas costa I namun tidak

melebihi dari collum costaenya. Cupula pleura terletak setinggi 1-1,5

inchi diatas 1/3 medial os.clavicula

b. Pleura parietalis pars diafraghmatica:

Pleura yang menghadap ke diafragma permukaan thoracal yang

dipisahkan oleh fascia endothoracica

c. Pleura parietalis pars mediastinalis (medialis):

Pleura yang menghadap ke mediastinum/terletak di bagian medial dan

membentuk bagian lateral dari mediastinum

Vaskularisasi pleura

Pleura parietal divaskularisasi oleh Aa. Intercostalis, a.mammaria,

a.musculophrenica. Dan vena-venanya bermuara pada sistem vena dinding thorax.

Sedangkan pleura visceralisnya mendapatkan vaskularisasi dari Aa. Bronchiales

(Amita, 2012).

2.2.2. Fisiologi Pleura

Paru-paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon

dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk

mempertahankan pengembangannya. Juga, tidak dapat perlekatan antara paru-

paru dan dinding rangka dada kecuali pada bagian paru yang tergantung pada

hilumnya mediastinum. Bahkan, paru-paru sebetulnya “mengapung” dalam

rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi

pelumas bagi gerakan paru di dalam rongga. Selanjutnya, cairan yang berlebihan

akan diisap terus menerus ke dalam saluran limfatik untuk menjaga agar terdapat

sedikit isapan antara permukaan viseral dari pleura paru dan permukaan parietal

pleura dari rongga toraks (Guyton dan Hall, 2007).

Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif thorax ke dalam

paru-paru yang elastis dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat

(restting pressure) dalam posisi tiduran adalah -2 sampai -5 H2O, sedikit

bertambah negatif di apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan

negatif meningkat menjadi -25 sampai -35 cm H2O (Amita, 2012).

Page 11: pneumothorax .pdf

6

Selain fungsi mekanis, cavum pleura steril karena mesothelial bekerja

melakukan fagositosis benda asing, dan cairan yang diproduksinya bertindak

sebagai lubrikasi (Amita, 2012)

Cairan cavum pleura sangat sedikit, sekitar 0,3 ml/kg, bersifat hipoonkotik

dengan konsentrasi protein 1gr/dl. Gerakan pernafasan dan gravitasi kemungkinan

besar ikut mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan cavum pleura. Resobsi

terjadi terutama pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan kecepatan 0,1

sampai 0,15 ml/kg/jam (Amita, 2012).

2.3. Patofisiologi Pneumothorax

Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk

melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang-tulang

yang menyususn struktur pernapasan seprti tulang clavicula, sternum, scapula.

Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada

proses inspirasi dan ekspirasi (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).

Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan

berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. Contoh kasusnya, adanya

fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi

keadaan flail chets atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul,

serta adanya kerusakan pada organ visceral pernapasan seperti, paru-paru,

jantung, pembuluh darah dan organ lainnya diabdominal bagian atas, baik itu

disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot (Punarwaba

dan Suarjaya, 2013).

Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan

dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari

udara pada kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura

lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sulit terjadi pada keadaan normal.

Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma

yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral, atau

disebabkan kelainan congenital adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika

terjadi peningkatan tekanan pleura (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).

Page 12: pneumothorax .pdf

7

2.4. Klasifikasi Penumothorax

Klasifikasi pneumothorax berdasarkan dengan penyebabnya adalah

sebagai berikut:

2.4.1. Pneumothorax Spontan

Pneumothorax spontan adalaha setiap pneumthorax yang terjadi tiba-tiba

tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu:

2.4.1.1. Pneumothorax Spontan Primer

Keadaan ini disebabkan oleh ruptur kista kecil udara subpleura di apeks

(“bleb”) tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang signifikan. Biasanya

menyerang laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun) bertubuh tinggi tanpa penyakit

paru penyebab. Pneumothorax spontan primer merupakan jenis paling sering pada

pneumothorax (prevalensi 8/105/tahun, meningkat sampai 200/10

5/tahun pada

orang dengan tinggi badan >1,9 m). Setelah Pneumothorax spontan primer kedua,

mungkin terjadi rekurensi (>60%). Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura

viseralis dan parietalis yang menggunakan tindakan medis (misalnya insersi

bleomisin atau talcum ke dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan

pleura ) dianjurkan (Ward et al, 2007).

2.4.1.2. Pneumothorax Spontan Sekunder

Pneumothorax spontan sekunder dihubungkan dengan penyakit respirasi

yang merusak arsitektur paru, paling sering bersifat obstruktif (misalnya penyakit

paru obstruktif kronik/PPOK, asma) fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia)

dan kadang-kadang gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan,

Fibrosis kistik). Insidensi SPP meningkat seiring bertambahnya usia dan

memberatnya penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya perlu dirawat di

rumah sakit karena meskipun pneumothorax sekunder kecil, pada pasien dengan

cadangan respirasi yang berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius

daripada pneumothorax spontan primer besar. Pasien ICU dengan penyakit paru

sangat berisiko mengalami pneumothorax primer karena tekanan tinggi

(“barotraumas”) dan distensi pada alveolar (“volutrauma”) akibat ventilasi

mekanis. Strategis ventilasi “protektif” yang menggunakan ventilasi bertekanan

renah, dengan volume terbatas mengurangi risiko tersebut(Ward et al, 2007).

Page 13: pneumothorax .pdf

8

2.4.2. Pneumothorax Traumatik

Pneumothorax tersebut terjadi setelah trauma toraks tumpul (misalnya

kecelakaan lalu lintas) atau tajam (misalnya fraktur iga, luka tusuk) (Ward et al,

2007).

Berdasarkan kejadiannya pneumothorax traumatik dibagi 2 jenis yaitu:

2.4.2.1. Pneumothorax traumatik bukan iatrogenik

Adalah pneumthorax yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas

pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.4.2.2. Pneumothorax traumatik iatrogenik

Adalah pneumthorax yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis,

pneumthorax jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu:

Pneumothorax traumatik iatrogenik aksidental, adalah

pneumothorax yang terjadi akibat tindakan medis karena

kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan

parasintesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkial,

biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma

(ventilasi mekanik) (Hisyam dan Budiono, 2009).

Pneumothorax traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah

pneumothorax yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara

ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell

box. Biasanya untuk terapi tuberkulosis (Hisyam dan Budiono,

2009).

Berdasarkan jenis fistulnya pneumothorax dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

2.4.3. Pneumothorax Tension

Pneumothorax tension dapat menyulitkan (menjadi komplikasi)

pneumothorax spontan primer atau pneumothorax sekunder tetapi paling sering

terjadi selama ventilasi mekanis dan setelah pneumothorax traumatik.

Pneumtohorax tersebut terjadi bila udara menumpuk dalam rongga pleura lebih

cepat daripada yang dapat dikeluarkan. Peningkatan tekanan intratoraks

Page 14: pneumothorax .pdf

9

menyebabkan aliran balik vena, dan syok yang disebabkan oleh penurunan curah

jantung. Keadaan tersebut merupakan kegawatan medis dan fatal jika tidak

dihilangkan secara cepat dengan drainase. Deteksi merupakan suatu diagnosis

klinis, menunggu konfirmasi foto torkas dapat mengancam jiwa. Drainase segera

dengan jarum 14G pada ruang interkosta II di garis mediklavikularis penting

dilakukan. “Desis” khas akibat keluarnya gas mengkonfirmasi diagnosis. Drain

toraks kemudian dimasukkan (Ward et al, 2007).

2.4.4. Pneumothorax Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pneumthorax tertutup yaitu suatu pneumthorax dengan tekanan udara di

rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi

hemitoraks kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dan tekanan

atmosfir. Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada

(Hisyam dan Budiono, 2009).

2.4.5. Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax)

Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada

sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat

inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi

mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)

(Hisyam dan Budiono, 2009).

2.5. Manifestasi Klinis

2.5.1. Keluhan Subyektif

Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:

a. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien

b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien

c. Lindskog dan Halasz menemukan 69% dari 72 pasien mengalami

nyeri dada

d. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien

Page 15: pneumothorax .pdf

10

e. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan

biasanya pada pneumthorax sekunder spontan (Hisyam dan Budiono,

2009).

Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan

menurut Mills dan Luce deajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau

menimbulkan gangguan ringan sampai berat (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.5.2. Pemeriksaan Fisik

Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai

menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor.

Pneumothorax ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan

gejala yang tidak khas. Pada pneumothorax ukuran besar biasanya didapatkan

suara napas melemah bahkan sampai menghilang pada aukultasi, fremitus raba

menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothorax tension dicurigai apabila

didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum dan

trakea (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.5.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau

cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah

antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara

dan tidak didapatkan corakan vascular pada daerah tersebut. Tension

pneumothorax gambaran foto dadanya tampak jumlah udara pada hemitoraks

yang cukup besar dan susunan mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral

(Hisyam dan Budiono, 2009).

Page 16: pneumothorax .pdf

11

Gambar 3. Pneumothorax tension pada pemeriksaan foto thoraks

Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) mungkin diperlukan

apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan.

Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa

dengan pneumothorax, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner

serta untuk membedakan antara pneumothorax spontan primer dan sekunder.

Sensitivitas pemeriksaan CT-Scan untuk mendiagnosis emfisema subpleura yang

bisa menimbulkan pneumothorax spontan primer antara 80-90% (Hisyam dan

Budiono, 2009).

Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive,

tetapi memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-Scan.

Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada

tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu:

Derajat I : Pneumothorax dengan gambaran paru yang mendekati normal

(40%)

Derajat II: Pneumothorax dengan perlengketan diserati hemotorak (12%)

Derajat III : Pneumothorax dengan diameter bleb atau bulla <2 cm (31%)

Page 17: pneumothorax .pdf

12

Derajat IV : Pneumotohorax dengan banyak bulla yang besar, diameter >

2cm (17%) (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.6. Diagnosa Banding

Pneumothorax dapat member gejala seperti infark miokard, emboli paru

dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto

diketahui ada pneumothorax, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumothorax

spontan primer. Pneumothorax spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan

dengan pneumothorax yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura

(Hisyam dan Budiono, 2009).

2.7. Penatalaksanaan

Berdasarkan British Thoracic Society dan American College of Chest

Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pnenumothorax.

Prinsip-prinsip penanganan pneumothorax:

2.7.1. Observasi dan Pemberian Tambahan Oksigen

Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial

tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat

rumah sakit. Jika pasien dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan

tambahan oksigen. Pasien dengan luas pneumothorax kecil unilateral dan stabil,

tanpa gejala diperbolehkan berobat jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus kontrol

lagi (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi

Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumothorax yang

luasnya >15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura

(dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara : 1).

Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga

tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut. 2). Membuat hubungan

dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan:

a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga

pleura, kemudian ujuang pipa plastic di pangkal saringan tetesan

dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem

Page 18: pneumothorax .pdf

13

dibuka, maka akan timbul gelembung-gelembung udara didalam

botol

b. Jarum abbocath no.14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah

mandarin dicabut, dihubungkan dengan pipa infus set, selanjutnya

dikerjakan seperti (a)

c. Water Sealed Drainage (WSD): pipa khusus (kateter urine) yang

steril dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan trokar atau

klem penjepit (Hisyam dan Budiono, 2009).

Gambar 4. Penanganan dengan melakukan Water Sealed Drainage

(WSD)

Menurut Asril penatalaksaan pneumothorax spontan dibagi dalam:

Pneumothorax spontan primer, terjadi pada usia muda dengan

fungsi paru normal, maka akan sembuh sendiri. Evaluasi

selanjutnya perlu berhati-hati sampai pengembangan paru

sempurna. Pneumothorax spontan primer ukuran besar, bila pada

aspirasi pipa kecil tidak mengembang dalam 24-48 jam, perlu

dipasang pipa interkostal besar, dengan Water Sealed Drainage

Page 19: pneumothorax .pdf

14

(WSD) atau pengisapan secara perlahan-lahan memakai katup

flutter (continuous suction). Bila paru sudah mengembang, biarkan

pipa rongga pleura di tempatnya dengan diklem alirannya dan

dievaluasi selama 24 jam. Apabila udara masih menetap dalam

rongga pleura selama 1 minggu, perlu dilakukan torakotomi

(Hisyam dan Budiono, 2009).

Pneumothorax spontan sekunder: sebelum melakukan pemasangan

pipa rongga pleura, perlu diyakini lagi adanya pneumothorax pada

pasien-pasien emfisema, karena tindakan tersebut dapat berakibat

fatal. Pengeluaran udara biasanya secara terus-menerus (continuous

suction) sampai beberapa hari hingga fistula bronkopleura

(Broncho Pleural Fistel=BPF) menghilang. Bila gagal

mengembang sempurna, dapat dipasang pipa rongga pleura kedua

dan bila gagal juga mengembang setelah 1 minggu, perlu operasi

torakotomi (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.7.3. Torakoskopi

Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam

rongga toraks dengan alat bantu torakoskop (Hisyam dan Budiono, 2009).

Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assited Thoracoscopy

Surgery = VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator

maupun pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan

gambar yang lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif dalam penangan

Pneumothorax spontan primer dan mencegah berulangnya kembali. Dengan

prosedur ini dapat dilakukan untuk pleurodesis (Hisyam dan Budiono, 2009).

Tindakan ini dilakukan apabila:

Tindakan aspirasi maupun WSD gagal

Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube

torakostomi

Terjadinya fistula bronkopleura

Timbulnya kembali pneumothorax setelah tindakan pleurodesis

Page 20: pneumothorax .pdf

15

Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah

kambuh kembali seperti pada pilot dan penyelam (Hisyam dan

Budiono, 2009).

2.7.4. Torakotomi

Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi.

Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla

terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau

bulla tersebut (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.8. Komplikasi

Pneumothorax tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumothorax), dapat

mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio-pneumothorax, hidro-

pneumothorax/hemo-pneumothorax, henti jantung paru dan kematian (sangat

jarang terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat

komplikasi pneumthorax spontan, biasanya karena pecahnya esophagus atau

bronkus, sehingga kelainan tersebut ditegakkan (insidensinya sekitar 1%),

pneumothorax simultan bilateral, insidensinya sekitar 2%, pneumothorax kronik,

bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan, insidensinya sekitar 5% (Hisyam

dan Budiono, 2009).

2.9. Prognosis

Pasien dengan pneumothorax spontan hampir separuhnya akan mengalami

kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube

thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumthorax yang

dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaanya cukup baik,

umumnya tidak dijumpai komplikasi (Hisyam dan Budiono, 2009).

Page 21: pneumothorax .pdf

16

BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam

pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.

Pneumothorax memiliki beberapa klasifikasi baik berdasarkan dari

penyebab dan berdasarkan jenis fistulanya.

Diagnosa pneumothorax berdasarkan manifestasi klinik dilihat dari gejala-

gejala yang dikeluhkan pasien pneumothorax, pemeriksaan klinik dan

pemeriksaan penunjang yang dilihat dari pemeriksaan foto toraks, CT-scan dan

pemeriksaaan lainnya yang dinilai adalah terdapat bulla dan luas permukaan

terjadi pneumthorax.

Pentalaksaan peneumthorax adalah dengan observasi dengan memberikan

oksigen dan pemasangan WSD,torakoskopi dan torakotomi. Sehingga pasien tidak

terjadi komplikasi dan memiliki prognosis yang baik.

3.2. Saran

Pneumothorax harus ditangani lebih serius, dimana harus mengetahui

gejala-gejala, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pneumothorax baik

berdasarkan penyebabnya, dan fistulanya. Penanganan harus memiliki terampil

untuk melakukan pemasangan WSD.

Pneumothorax jika tidak ditangani lebih serius akan terjadi komplikasi

sehingga akan memperberat pasien itu sendiri, terutama pada kasus kecelakaan.

Umumnya pneumothorax terjadi setelah pasien mengalami kecelakaan. Dan

paling sering terjadi adalah pneumothorax tension yang merupakan kasus paling

banyak yang terjadi. Oleh karena itu, sebagai dokter umum juga harus terampil

dalam penanganan untuk pemasangan WSD karena untuk menyelamatkan jiwa

pasien.

Page 22: pneumothorax .pdf

17

DAFTAR PUSTAKA

Amita, R.A., 2012. Pneumothorax. Referat.Makassar.Bagian Radiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Guyton,A.C.,Hall,J.E.,2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi

11.Jakarta:EGC.hal 495-496

Henry,M.,et al.,2003. BTS guidelines for the management of spontaneous

pneumothorax.Thorax 2003;58(Suppl II):ii39-ii52.Available from:

www.thoraxjnl.com {Accesed 30 Agustus 2013}

Hisyam,Barmawi., dan Budiono, Eko., 2009. Pneumotoraks Spontan. in Sudoyo

AW,Setiyohadi B, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi ke-4.

internal publising FK UI. hal.,: internal publising FK UI. hal. 2339-2346

(Jakarta 2009).

Punarwarba,I.W.A., dan Suarjaya,P.P., 2013. Identifikasi Awal dan Bantuan

Hidup Dasar Pada Pneumothoraks. Bagian/SMF Ilmu Anestesiologi dan

Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran,Universitas Udayana/Rumah Sakit

Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Sharma,Anita., Jindal, Parul., 2008. Principles of Diagnosis and Management of

Traumatic Pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and

Shock,1:1,January-June 2008. Avalaible from: www.onlinejets.org

{Accesed 30 Agustus 2013}

Ward, J.P.T.,Ward ,J., Leach, R.M., Wiener, C.M., 2007. At a Glance Sistem

Respirasi. Edisi ke-2. Jakarta:EGC.