plant survey edit abis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada masa Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, yang disebut juga sebagai
era industrialisasi, salah satu fokus utama pembangunan adalah pengembangan
Sumber Daya Manusia. Tenaga kerja merupakan segmen populasi yang menjadi
penting dalam era ini, sehubungan dengan produktivitas khususnya industri. Oleh
karena itu penyelenggaraan program kesehatan dan keselamatan kerja menjadi sangat
penting dengan tujuan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal serta
melindungi tenaga kerja dari risiko yang membahayakan kesehatan dan
keselamatannya.1
Ratusan juta tenaga kerja diseluruh dunia pada saat bekerja dengan kondisi
yang tidak nyaman dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Menurut International
Labour Organization (ILO) setiap tahun tercatat 1,1 juta kematian yang disebabkan
oleh penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian
terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian akibat kerja dimana
diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap
tahunnya.2 Data Jamsostek menunjukkan bahwa angka kecelakaan kerja di Indonesia
yang tercatat sebanyak 95.418 kasus (tahun 2004), 99.023 kasus (tahun 2005), 95.624
kasus (tahun 2006). Sementara tahun 2007 kematian angka kematian pekerja di
Indonesia juga masih sangat tinggi, yaitu rata-rata mencapai lima orang perhari atau
total 1.883 kasus kematian. Jumlah kecelakaan kerja sepanjang tahun 2007 sebanyak
83.714 kasus, di mana 75.325 diantaranya bisa disembuhkan, 6.506 kasus mengalami
cacat atau rata-rata 18 tenaga kerja setiap hari.4
Data dari Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N)
menunjukkan bahwa kecenderungan kejadian kecelakaan kerja meningkat dari tahun
ke tahun yaitu 82.456 kasus di tahun 1999 meningkat menjadi 98.905 kasus di tahun
2000 dan naik lagi mencapai 104.774 kasus pada tahun 2001. Dari kasus-kasus
kecelakaan kerja 9,5% diantaranya (5.476 tenaga kerja) mendapat cacat permanen. Ini
berarti setiap hari kerja ada 39 orang pekerja yang mendapat cacat baru atau rata-rata
17 orang meninggal karena kecelakaan kerja. 3
1
Secara umum, kecelakaan industri disebabkan oleh dua hal pokok yaitu
perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi - kondisi yang
berbahaya (unsafe condistions). Beberapa hasil penelitian menunjukkkan bahwa
faktor manusia memegang peranan yang cukup penting dalam timbulnya kecelakaan
kerja. Hasil penelitian menyatakan bahwa 80%-85% kecelakaan keja disebabkan oleh
kelalaian atau kesalahan faktor manusia. 2
Setiap pekerjaan mengandung resiko kesehatan dan keselamatan. Demikian
juga sistem kerja di industri garmen mempunyai potensi penyakit dan kecelakaan
kerja yang sangat tinggi. Seperti yang dilaporkan oleh David Mahone (CNA
Insurance Companies, Chicago IL) diantara penyakit kerja yang terkait dengan
kondisi lingkungan kerja yang tidak baik diantaranya adalah 70% operator jahit
mengalami sakit punggung, 35% Melaporkan mengalami low back pain secara
persisten, 25% menderita akibat Cumulative Trauma Disorder (CTD), 81%
mengalami CTD pada pergelangan tangan, 14% mengalami CTDs pada siku 5% of
CTDs pada bahu, dan 49% pekerja mengalami nyeri leher. Menurut penelitian yang
dilakukan oelh universitas Indonesia didapatkan bahwa faktor-faktor determinan yang
berhubungandengan timbulnya nyeri punggung adalah tinggi siku duduk, lama kerja,
dan status perkawinan. Lama kerja > 5 tahun mempunyai resiko 7,3 kali lebih besar
(OR=7,32;95%CI-3,19-16,52), tinggi siku duduk 3,60 kali (OR=3,60; 95%CI=1,54-
8,40), menikah 4,12 kali (OR=4,12; 95% CI= 1,50-11,27) mempunyai risiko nyeri
punggung. Terjadinya nyeri punggung ini dikaitkan dengan posisi kerja lebih
menunduk yang pada penelitian tersebut, risiko untuk mendapatkan nyeri punggung
pada pekerja dengan tinggi siku > 69 cm adalah 3,6 kali lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang mempunyai tinggi siku duduk 69 cm.4
Potensi ergonomi menjadi salah satu bahaya potensial yang banyak terpajan
pada para pekerja. Permasalahan ergonomi kerja di industri garmen terutama sangat
berhubungan dengan posisi postur tubuh dan pergelangan tangan yang tidak baik dan
harus melakukan pekerjaan yang berulang-ulang pada hanya satu jenis otot sehingga
sangat berpotensi menimbulkan cumulative trauma disorder (CTD)/Repetitive Strain
Injuries (RSI). Zvonko Gradcevic, dkk. mengemukakan bahwa operasi kerja di
bagian penjahitan adalah dari tangan-mesin-tangan dan sub operasi mesin berdasarkan
cara kerja dan bagian yang dijahit menurut struktur produk garmennya. Koordinasi
gerakan postur tubuh dan pergelangan tangan yang baik dan konsentrasi tinggi
dibutuhkan dalam pekerjaan di bagian jahit. Dimana perubahan gerakan ini
2
berlangsung sangat cepat tergantung bagian yang dijahit dan tingginya frekuensi
pengulangan gerakan untuk kurun waktu yang lama akan memicu timbulnya
gangguan intrabdominal, mengalami tekanan inersia, tekanan pada pinggang dan
tulang punggung serta tengkuk. 5
Oleh karena itu, diperlukan upaya kedokteran okupasi melalui program
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri garmen agar angka penyakit akibat
kerja dapat diminimalisir. 5
1.1 Perumusan Masalah
Terdapatnya bahaya potensial ergonomi pada linkungan kerja yang dapat
mengganggu kesehatan pekerja PT.Bina Busana Internusa.
Terdapatnya penyakit yang ditimbulkan akibat bahaya potensial ergonomi pada
lingkungan kerja yang dapat mengganggu kesehatan pekerja PT. Bina Busana
Internusa.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Diketahuinya kinerja program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada
kesehatan kerja para pekerja PT.Bina Busana Internusa.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Teridentifikasinya bahaya potensial pada kesehatan kerja para pekerja dan
bahaya potensial yang dominan di PT.Bina Busana Internusa.
2. Teridentifikasinya faktor-faktor risiko terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
pada setiap alur produksi di PT.Bina Busana Internusa
3. Teridentifikasinya masalah kesehatan kerja akibat bahaya potensial ergonomi
yang ada di PT.Bina Busana Internusa.
4. Diketahuinya upaya pelaksanaan program K3 di PT.Bina Busana Internusa
5. Diketahui usaha-usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan dalam mengatasi
masalah yang ada akibat bahaya potensial ergonomi di PT.Bina Busana
Internusa.
6. Tersusunnya saran untuk PT.Bina Busana Internusa sebagai upaya pencegahan
dan pengendalian penyakit akibat kerja khususnya dalam bidang ergonomi.
1.4 Manfaat
3
1.4.1 Manfaat bagi mahasiswa
1. Meningkatkan pengetahuan tentang kedokteran kerja.
2. Mengidentifikasi bahaya potensial yang dapat ditemukan di lingkungan kerja
khususnya bahaya potensial ergonomi.
3. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan
akibat bahaya potensial ergonomi.
1.4.2 Manfaat bagi perusahaan
1. Memperoleh masukan yang dapat dimanfaatkan bagi program pencegahan
timbulnya kecelakaan atau gangguan akibat bahaya potensial ergonomi di
lingkungan kerja.
2. Memperoleh masukan mengenai upaya pencegahan lain yang dapat dilakukan
terhadap efektivitas program pencegahan bahaya potensial kesehatan dan
keselamatan kerja.
1.4.3 Manfaat bagi universitas
1. Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” dalam pengabdian dalam masyarakat.
2. Meningkatkan saling pengertian dan kerja sama antara mahasiswa, staf pengajar,
pimpinan fakultas dan universitas.
1.5.Metodologi
Penilaian dilakukan dengan metode observasional deskriptif.
BAB II
4
HASIL KUNJUNGAN
2. 1 Profil Perusahaan
PT Bina Busana Internusa II didirikan pada tanggal 10 november 1989, yang
memproduksi pakaian antara lain mens shirt, hospital uniform, office uniform dan working
uniform. PT Bina Busana Internusa memiliki dua buah pabrik, pabrik pertama berlokasi
Kawasan Berikat Nusantara Jl. Madura III Blok D No. 19A Cakung, Cilincing, Jakarta no
telepon 021-440308 fax : 021-46820820 dengan luas 5.400m2. Pabrik yang kedua berlokasi
di Jl. Pulo Buaran II blok Q No. 1 Pulogadung, Jakarta no telepon 021-46820820 fax : 021-
4626086 dengan luas 1.680m2. Kapasitas produksi pabrik ini 1.920.000 potong/tahun (pabrik
I) dan 840.000 potong/tahun (pabrik II). Untuk mencapai target produksi, Bina Busana
Internusa menggunakan tenaga kerja sebanyak 984 orang (pabrik I) dan 582 orang (pabrik II),
penjual II : 582 orang, penjualan : 399 orang dan tenaga administrasi : 59 orang. Sasaran
penjualan produk tidak hanya pada pasar lokal saja, tapi juga mencacap pasa luar seperti
inggris dan jepang. Dengan sasaran pembeli di Nagai, Cosalt, Departemen store serta
institusi pemerintah dan perusahaan swasta
2.2. Gambaran Umum
1. Sejarah Singkat Perusahaan
Pada tanggal 16 oktober 1989 berdiri PT Mitracorp Pasifik Nusantara, yang
merupakan head office dari beberapa anak perusahaan, diantaranya adalah PT Bina Busana
Internusa dan PT Kharismitra Sukses. PT Bina Busana Internusa berdiri pada tanggal 10
november 1989, yang memproduksi kemeja Valino dan produksi garmen lainnya. PT
Kharismitra Sukses berdiri pada tanggal 6 april 1990 dan bergerak sebagai Marketing dan
Distribution kemeja Valino.
Pada tanggal 2 januari 1997 PT Bina Busana Internusa dan PT Kharismitra Sukses
digabungkan menjadi PT Bina Busana Internusa, PT Bina Busana Internusa memiliki 2 buah
pabrik.
1. PT Bina Busana Internusa I
Lokasi : Jl. Madura III Blok D No. 19A kawasan berikut Nusantara Cakung Cilincing
Jakarta 14140, Indonesia.
5
Pada saat ini PT Bina Busana Internusa I memproduksi seragam rumah sakit
yang di pesan oleh Nagai Leben Jepang dan pakaian kerja oleh cosalt inggris, luas
wilayah yang dipergunakan untuk lokasi ini adalah 5.400 m2, dengan kapasitas
produksi 18 line dan menghasilkan 1.920.000 potong pakaian pertahun dan
mempekerjakan sebanyak 984 orang untuk bagan produksi, 3 orang bagian marketing
dan 3 orang untuk tenaga administrasi. Untuk sementara ini PT BBI I hanya
menerima pesanan dari Nagai Leben Cosalt Inggris serta beberapa pekerjaan yang
bersifat subkontraktor.
2. PT Bina Busana Internusa II
Lokasi : Jl. Pulo Buaran II Blok Q No. I Kawasan Industri Pulo Gadung, Pulo Gadung
Jakarta 13920, Indonesia
PT Bina Busana Iinternusa II memproduksi kemeja Valino, Harry Martin,
Cristian Kent, Vissuto, Sierra Morena, Compagnon, dan bergamo. Kemudian di
distribusikan ke departement store yang ada di seluruh Indonesia Untuk sementara ini
counter Valino memiliki 133 outlet, Harry Martin 154 outlet, Christian Kent 17 outlet,
Vissuto 12 outlet, Sierra Morena 59 outlet, Compagnon 30 outlet, dan bergamo 8
outlet, luas untuk lokasi ini adalah 1.680 m2 . Dengan kapasitas produksi 8 line serta
dapat memproduksi sekitar 840.000 potong pakaian pertahun. Mempekerjakan
sebanyak 582 untuk bagian produksi, 601 orang bagian marketing, dan 61 orang
untuk tenaga administrasi, untuk sementara ini kemeja yang di produksi oleh PT BBI
II hanya didistribusikan ke departement store dan institusional.
2. Falsafah Perusahaan
Komitmen PT Bina Busana Internusa adalah memberikan pelayanan terbaik
kepada pelanggan. Selain itu juga mempunyai visi kedepan sebagai perusahaan yang
memimpin produksi kemeja formal pria di tahun 2005, dengan tekad menjadi yang
terbaik dan terbesar sebagai produsen kemeja yang berstandar internasional.
Gabungan antara pelayanan yang handal, profesionalisme, teknologi serta di dukung
oleh pengelolaan usaha serta pemasaran yang tepat mengenai sasaran.
PT Bina Busana Internusa mendukung sepenuhnya pembangunan di Indonesia
dengan memberikan pelayanan terbaik serta menghasilkan produk yang bermutu
tinggi, PT Bina Busana Internusa berusaha meningkatkan citra sebagai perusahaan
yang bergerak di bidang garmen yang terkemuka dengan memberikan pelayanan
6
terbaik kepada pelanggan. Sesuai dengan motto perusahaan “MENJADI NO. I
DENGAN MEMBERIKAN PELAYANAN YANG TERBAIK KEPADA
PELANGGAN DAN PELANGGAN ADALAH ASET PERUSAHAAN, “
Untuk mewujudkannya, PT Bina Busana Internusa akan menambah jumlah
produksinya yang di jual di seluruh Indonesia. Pada saat ini produksi kemeja yang
dihasilkan oleh PT Bina Busana Internusa adalah : Valino, Harry Martin, Christian
kent, Vissuto, sierra Morena, Compagnon, dan Bergamo. Banyaknya produk kemeja
yang diproduksi oleh PT Bina Busana Internusa dengan demikian kebutuhan kemeja
yang diinginkan oleh konsumen dari seluruh lapisan masyarakat akan terpenuhi.
Komitmen PT Bina Busana Internusa adalah memberikan pelayanan terbaik
kepada pelanggan. Selain itu perusahaan ini juga memiliki visi ke depan sebagai
perusahaan yang memimpin produksi kemeja formal pria di tahun 2005, dengan tekad
menjadi yang terbesar dan terbaik sebagai produsen.
2.3 Alur produksi
Adapun alur produksi dari PT. Bina Busana Interusa adalah sebagai berikut :
1. Inspeksi Bahan
Inspeksi dilakukan digudang penyimpanan. Bahan harus memenuhi 28
persyaratan untuk memenuhi standar. Jika ditemukan cacat pada bahan maka akan
ditandai dengan stiker tanda panah merah. Petugas pada tahap ini berjumlah 1 orang.
Sarana yang digunakan adalah meja dengan tinggi kurang lebih 1 meter dengan
kemiringan 45°. Bahan yang akan diperiksa ditaruh diatas meja yang secara otomatis
bahan akan melewati meja dan tergulung kembali. Pekerja menginspeksi bahan secara
seksama untuk melihat adanya cacat, hal ini dilakukan dalam waktu yang singkat dan
berulang-ulang sehingga akan terdapat gerakan bola mata yang repetitive. Pekerja
melakukan inspeksi dalam posisi berdiri tegak dengan pencahayaan bersumber dari
lampu neon 40 watt yang ada dibalik meja dan ruangan. Setelah bahan melewati
proses inspeksi, kemudian bahan yanga memenuhi syarat akan masuk ke dalam proses
produksi.
Pada bagian ini terdapat berbagai bahaya potensial yang dapat timbul, baik
dari segi fisik, kimia, ergonomi, maupun psikologis. Yang pertama adalah bahaya
potensial dari debu, baik debu yang berada di dalam ruangan maupun debu bahan.
7
Debu yang berasal dari bahan berupa debu kain alami (bahan katun) dan debu sintetik
(polyester). Bahaya fisik lain adalah cahaya berlebih dari lampu neon TL 40 watt
yang dapat menyilau mata. Kondisi gudang yang kurang ventilasi juga menyebabkan
terbatasnya sirkulasi udara bagi para pekerja di tempat ini.
Bahaya potensial kimia berasal dari zat kimia dari bahan baku berupa
formaldehid yang berasal dari bahan baku. Dari segi psikologis didapatkan bahaya
stress dan kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskuloskeletal
(seperti low back pain), dehidrasi, ISPA, sefalgia, dispepsia, gangguan penglihatan
berupa penurunan visus dan kelelahan otot mata dan varises tungkai. Resiko
kecelakaan kerja berupa tangan terjepit mesin inspeksi atau tersengat listrik mesin.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker penutup kepala, meskipun tidak semua pekerja menggunakannya.
Peraturan yang terdapat di bagian ini berupa standar operasional mesin. Fasilitas yang
tersedia lamp neon TL 40 watt sebanyak 1 buah pada mesin inspeksi dan 20 buah di
langit-langit, serta penyediaan sarana air minum. Dari segi ergonomi, bahaya
potensial yang ada diakibatkan oleh posisi pekerja yang berdiri lama dengan posisi
kepala menengadah dan menunduk yang lama, gerakan repetitif bola mata dan
gerakan fokus bola mata yang cukup lama dalam mengamati bahan.
Gambar 1. Posisi Pekerja Pada Proses Inspeksi Bahan
2. Proses pembuatan pola
Proses pembuatan pola dilakukan oleh 12 pekerja. Enam pekerja membentuk
pola bahan dengan pensil dan penggaris secara manual sesuai model pakaian yang
8
akan diproduksi. Kegiatan ini dilakukan dengan posisi duduk dan berdiri. Enam
pekerja lainnya menggunakan mesin jahit dalam posisi duduk tanpa sandaran. Pada
proses ini, dilakukan pembuatan pola yang telah diinstruksikan oleh desainer.
Pembuatan pola dapat dibedakan dalam dua cara, yaitu manual, atau menggunakan
komputer. Untuk cara yang pertama (manual), dikerjakan dengan posisi berdiri
maupun duduk. Dari hasil pengamatan, tampak bahwa kursi pekerja tidak
menggunakan sandaran, dan terbuat dari material kayu tampa bantalan sehingga
kurang nyaman dan didapatkan ukuran tinggi meja adalah 75 cm.
Potensial bahaya aspek ergonomis yang ada pada proses ini adalah terdapat
ketidaksesuaian antropometri pekerja dengan meja maupun kursi yang digunakan. Hal
ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini, dimana posisi duduk terlalu tinggi dan
kaki menggantung.
Gambar 2. Posisi pekerja bagian pola secara manual
Gambar 3. Posisi pekerja pembuatan pola dengan komputer
9
Proses pembuatan pola yang menggunakan komputer pada bagian ini, pekerja
dalam posisi duduk di atas kursi dengan bantalan cukup nyaman dan memiliki
sandaran. Namun dari hasil pengamatan, posisi duduk pekerja kurang ergonomis,
dapat dilihat pada posisi siku yang lebih rendah dari meja.
3. Cutting
Proses selanjutnya adalah cutting dan marker. Bagian cutting dikerjakan oleh
10 orang pekerja. Area pemotongan ini mengharuskan seluruh pekerjanya
menggunakan masker, namun ada beberapa pekerja yang tidak memakainya. Proses
cutting menggunakan mesin cutting, dimana alat cukup tajam dan pekerja melakukan
proses ini dengan cepat dan repetitif. Pekerja dilengkapi sarung tangan dari bahan
stainless yang digunakan pada tangan kiri. Proses cutting terbagi mejadi dua macam,
yaitu untuk kain polos dan bermotif.
a. Bila bahan polos, langsung menuju proses numbering
b. Bila bahan bermotif, maka akan melalui proses matching dan numbering.
Bagian cutting dapat dikerjakan dalam dua cara, yaitu manual dengan gunting
dan dengan mesin. Pada proses ini pekerja melakukan tugasnya dalam posisi berdiri
diikuti dengan kepala yang menunduk. Selain itu, dari hasil pengukuran, tinggi meja
yang juga bisa diartikan jarak siku ke lantai adalah 95 cm. Ukuran ini terlalu rendah,
sehingga membuat pekerja sedikit membungkuk untuk melakukan kerjanya.
Pada alur produksi ini, bahaya fisik yang dapat terjadi berupa kebisingan dari
mesin pemotong. Suara mesin pemotong dengan frekuensi 84dB dapat menyebabkan
gangguan pendengaran berupa tinnitus maupun tuli perseptif. Bahaya fisik lain berupa
debu kain alami dan sintetik, sirkulasi udara terbatas, vibrasi mesin cutting, dan listrik
dari mesin pemotong. Bahaya kimia berasal dari pelarut benzene yang digunakan
sebagai pembersih jika ada noda pada kain. Bahaya dari ergonomi yaitu posisi berdiri
yang lama, posisi kepala yang menunduk lama, dan gerakan repetitif memotong lkain.
Sedangkan dari bahaya psikologis yang dapat timbul adalah stres dan kebosanan
karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskoloskeletal
(termasuk upper dan low back pain), dehidrasi, ISPA, dispepsia, gangguan
pendengaran, varises tungkai, hiperkeratosis tangan dan dermatitis kontak iritan.
Resiko kecelakaan kerja yang mungkin terjadi adalah tangan terpotong, tangan
terjepit gunting atau tangan tersengat listrik mesin potong.
10
Upaya yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung
diri berupa masker, penutup kepala, penutup telinga, serta sarung tangan logam dan
fasilitas seperti kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara,
lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum.
Hal-hal yang sudah dilakukan di perusahaan ini yaitu penggunaan alat
pelindung diri berupa masker dan sarung tangan yang terbuat dari logam. Semua
pekerja menggunakan alat pelindung diri ini. Peraturan yang terdapat di bagian ini
berupa standar operasional mesin dan kebijakan menggunakan alas kaki. Fasilitas
yang tersedia berupa lampu TL 40 watt sebanyak 96 buah, exhaust fan diameter 30
cm (10 buah setiap lantai), kipas angin diameter 30 cm (10 buah setiap lantai),
penyediaan sarana air minum (2 buah setiap lantai).
Gambar 4. Posisi pekerja pada proses cutting
4. Proses Quality Control Pola
Bagian ini dikerjakan oleh 5 orang pekerja. Di bagian ini merupakan proses
pengecekan kembali komponen-komponen bahan yang terdiri dari bagian depan,
bagian belakang serta bagian tangan produk. Proses ini dilakukan secara manual
menggunakan tangan dan bahan di seleksi satu per satu. Pada bagian ini terdapat 3
pekerja, dengan luas tempat kurang lebih 3 x 3 m, posisi saat bekerja yaitu berdiri
lama, kepala menunduk, dan jarak mata untuk memeriksa objek kurang lebih 60 cm,
memakai alat pelindung diri yaitu masker yang wajib dipakai dan disediakan oleh
perusahaan. Terdapat perbedaan untuk karyawan yang bekerja tetap disini, yaitu
menggunakan tatakan kaki yang terbuat dari karet. Sarana yang terdapat di bagian ini
antara lain meja, dengan panjang 120 cm dan tinggi 100 cm.
11
Bahaya fisik yang dapat timbul berupa debu alami dan sintetik. Bahaya
ergonomi yang ada berupa posisi berdiri lama, posisi setengah membungkuk, gerakan
repetitif tangan dalam membolak- balik bahan, dan gerakan repetitif bola mata dalam
mengamati bahan. Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan
musculoskeletal, low and upper back pain, cefalgia, ulnar twist serta carpal tunner
syndrome, varises tungkai, dan hiperkeratosis tangan. Tidak ada resiko kecelakaan
kerja yang dapat terjadi pada tahap ini. Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap
ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker, dan hanya 1 orang yang tidak
memakai masker kain ini.
5. Proses Matching and numbering
Bagian ini dikerjakan oleh 2 orang pekerja, bahaya yang timbul berasal dari
posisi berdiri yang lama, posisi kepala dan badan menunduk lama, dan gerakan
repetitif tangan menempelkan stiker angka.
Bagian ini dikerjakan oleh 2 orang pekerja. Bahaya fisik yang ada berupa debu
kain alami dan sintetik. Dari segi ergonomi, bahaya yang timbul berasal dari posisi
berdiri yang lama, posisi kepala dan badan menunduk lama, dan gerakan repetitif
tangan menempelkan stiker angka. Dari segi psikologis, gangguan yang timbul
berasal dari rasa bosan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift, dan dapat timbul
stres. Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan mukuloskeletal,
upper and low back pain, ulnar twist serta carpal tunner syndrome dan gangguan
pengelihatan berupa kelelahan mata. Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini
adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan kain, dan para
pekerja sudah menggunakannya. Fasilitas yang tersedia sudah berupa TL 40 watt
sebanyak 96 buah, exhaust fan diameter 30 cm (10 buah setiap lantai), penyediaan
sarana air minum ( 2 buah setiap lantai ).
Gambar 5. Posisi pekerja bagian numbering
12
6. Proses pembuatan manset
Pada proses ini, dilakukan pemotongan dengan mesin berat. Bagian ini
dikerjakan oleh 5 orang pekerja. Kemudian dilakukan pressing dengan menggunakan
mesin yang mengeluarkan panas. Mesin yang berat tersebut dijalankan oleh pekerja
laki-laki dengan posisi berdiri terus menerus, kepala dan badan menunduk sekitar 20°
dengan alat pelindung diri berupa sarung tangan stainless.
Bahaya potensial fisika berasal dari vibrasi mesin pembuat manset, cahaya
yang kurang terang, aliran listrik, dan sirkulasi udara yang kurang terbatas. Dari segi
ergonomi, bahaya yang timbul berasal dari posisi duduk lama, posisi kepala
menunduk lama, gerakan repetitif mendorong dan menarik tangan dan ruang gerak
yang sempit. Dari segi psikologi dapat timbul stress dan rasa bosan karena jam kerja
yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskuloskeletal,
dehidrasi, low dan upper back pain, dan kelelahan otot mata. Resiko kecelakaan kerja
yang mungkin terjadi berupa tangan tergores atau terjepit mesin pembuat manset, atau
tersengat listrik mesin pembuat manset.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat
pelindung diri berupa masker, serta sarung tangan logam dan fasilitas seperti kipas
angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan
yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Hal-hal yang sudah dilakukan di
perusahaan ini yaitu penggunaan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan
yang terbuat adari logam. Peraturan yang terdapat di bagian ini berupa standar
operasional mesin. Fasilitas yang tersedia berupa TL 40 watt sebanyak 96 buah,
exhaust fan diameter 30 cm ( 10 buah setiap lantai ), kipas angin dengan diameter 30
cm ( 10 buah setiap lantai ), penyediaan sarana air minum ( 2 buah setiap lantai ).
Gambar 6. Posisi Pekerja pada Proses Manset
13
7. Proses pembuatan interlining
Proses interlining adalah proses pembuatan kerah dimana kain yang telah
dipotong ditempelkan dengan bahan yang keras untuk membentuk kerah. Pembuatan
interlining terdiri dari proses pembuatan pola kerah dengan mesin plong (1 pekerja),
perekatan sementara dengan solder (8 pekerja) dan penempelan kerah ke kain bahan
dengan mesin press (4 pekerja).
Proses pertama, yakni pembuatan pola kerah dengan mesin plong mempunyai
berbagai bahaya potensial yaitu fisika, ergonomi dan psikologi. Bahaya potensial
fisika yaitu debu dari kain berupa debu kain alami dan sintetik, sirkulasi udara yang
terbatas, bising, panas dan listrik dari mesin plong. Bahaya potensial ergonomi adalah
posisi berdiri lama dan setengah membungkuk, ruang gerak yang sempit, dan gerakan
repetitif mengangkat benda berat. Sedangkan bahaya potensial psikologi adalah stress
akan bahaya yang mungkin timbul dari mesin plong.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan musculoskeletal
akibat posisi ergonomi yang salah, dehidrasi karena suasana yang panas disekitar
mesin, gangguan pendengaran karena bising yang dihasilkan oleh mesin plong, dan
varises tungkai akibat posisi berdiri yang lama selama bekerja. Kecelakaan kerja yang
mungkin timbul adalah jari dan tangan tergores, terjepit, terpotong, dan tesengat
listrik mesin plong.
Proses selanjutnya adalah merekatkan kedua bahan tersebut. Proses perekatan
pertama dilakukan dengan solder di beberapa titik kemudian disetrika dan terakhir
direkatkan secara permanen dengan pressing machine yang menggunakan panas yang
tinggi. Proses berikutnya adalah perekatan sementara dengan solder dengan posisi
berdiri lama, dan posisi setengah membungkuk. Berikutnya adalah proses penempelan
kerah ke kain bahan dengan mesin press. Panas yang dihasilkan oleh mesin press
yaitu sekitar 1600 C dan listrik dari mesin press dan posisi berdiri lama, posisi
setengah membungkuk, dan gerakan repetitif memasukan dan mengambil kerah dari
mesin press.
Proses berikutnya adalah perekatan sementara dengan solder. Bahaya
potensial fisika berupa panas dan listrik yang dihasilkan oleh alat solder. Bahaya
potensial kimia adalah dari debu kain alami dan sintetik. Bahaya potensial ergonomi
adalah posisi berdiri lama, dan posisi setangah membungkuk. Bahaya psikologi
adalah stres akan bahaya yang ditimbulkan alat solder. Berikutnya adalah proses
14
penempelan kerah ke kain bahan dengan mesin press. Bahaya potensial fisika adalah
panas yang dihasilkan oleh mesin press yaitu sekitar 1600 C dan listrik dari mesin
press. Bahaya kimia berasal dari debu kain alami dan sintetik. Bahaya potensial
ergonomi adalah posisi berdiri lama, posisi setengah membungkuk, dan gerakan
repetitif memasukan dan mengambil kerah dari mesin press. Dan bahaya potensial
psikologi yang terjadi adalah stres akibat panas yang ditimbulkan mesin press dan
bahaya mesin press.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat
pelindung diri berupa masker, penutup kepala, penutup telinga dan fasilitas seperti
kipas angin dan exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk
penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Alat pelindung yang
digunakan oleh pekerja adalah sarung tangan, sebagian menggunakan masker.
Dilingkungan sekitar pekerja terdapat exhaust fan dengan diameter 30 cm sebanyak
10 buah setiap lantai, kipas angin diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, dan
penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai untuk mengatasi
dehidrasi. Kemudian terdapat standar operasional yang tertempel di mesin plong, dan
mesin press.
Gambar 7. Posisi pekerja pada proses interlining
8. Proses sewing
Proses sewing terdiri dari kurang lebih 100 pekerja. Proses sewing dilakukan
dengan menggunakan mesin jahit biasa. Pada proses penjahitan terdapat dua macam
proses, yaitu front back dan assembling. Pada proses front back dilakukan penjahitan
15
untuk keperluan aksesoris seperti pembuatan kantong kemeja. Kemudian pada proses
assembling dilakukan penjahitan untuk menyatukan pakaian dengan komponen
lainnya. Penjahit bekerja dengan posisi duduk membungkuk dengan kursi tanpa
sandaran. Untuk mengatur kesesuaian antara tinggi meja dan kursi agar menghasilkan
posisi yang ergonomis, terdapat alat pengatur ketinggian pada meja jahit dan kursi
yang terlalu pendek disambung dibagian terbawah kaki kursi. Pekerja menggunakan
seragam berupa kain berbahan katun yang cukup menyerap keringat, ditambah
penutup kepala, apron dan masker, mesin jahit juga dilengkapi dengan needle gate
untuk melindungi tangan dari tusukan jarum. Pada proses ini juga dilakukan
pembersihan bahan yang terdapat noda dengan menggunakan etanol dan benzene
yang disemprotkan, alat semprot menghasilkan bising, sehingga pekerja dilengkapi
dengan alat penutup telinga.
Proses ini memiliki bahaya potensial fisika meliputi sirkulasi udara yang
terbatas akibat banyaknya pekerja dan kurangnya ventilasi, bising dan vibrasi yang
berasal dari mesin jahit, debu kain alami dan sintetik dan listrik dari mesin jahit.
Bahaya potensial kimia berasal dari etanol dan pelarut benzene. Bahaya potensial
ergonomi yang ada adalah posisi duduk lama dengan posisi badan setengah
membungkuk, posisi kepala menunduk saat menjahit, gerakan repetitif kaki menginak
pedal mesin jahit, gerakan repetitif tangan menarik dan mendorong kain, dan posisi
jari tangan yang menekan selama menjahit karena memerlukan presisi yang baik, dan
ruang gerak yang terbatas. Sedangkan bahaya potensial psikologi yang dapat terjadi
adalah stres akibat tuntutan ketelitian dan konsentrasi yang tinggi.
Gangguan kesehatan yang dapat timbul adalah gangguan muskuloskeletal, low
back pain, dehidrasi, carpal tunner syndrome, dermatitis kontak iritan dan kelelahan
pada mata. Resiko kecelakaan kerja yang dapat timbul berupa tangan tertusuk jarum
mesin jahit, tangan tersengat listrik dari mesin jahit dan terjatuh dari kursi.
Upaya yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung
diri berupa masker, penutup kepala, penutup telinga, dan fasilitas seperti kipas angin
atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang
cukup dan penyedia sarana air minum. Alat pelindung diri yang di gunakan adalah
masker dan penutup kepala yang terbuat dari kain, namun sebagian kecil pekerja tidak
menggunakan masker. Sarana yang disediakan adalah exhaust fan diameter 30 cm
sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap
16
lantai, dan penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai. Selain itu
terdapat standar operasional mesin ada dan tertempel pada mesin dan terdapat aturan
penjahitan merk pakaian.
Gambar 8. Posisi Pekerja bagian proses sewing
9. Proses Finishing dengan mesin kebut
Proses finishing dengan mesin kebut oleh 1 pekerja. Setelah pakaian selesai
dijahit, kemudian dilakukan pembersihan baju dari sisa-sisa benang dengan
menggunakan mesin kebut, yaitu berupa kotak dengan ukuran 75 x 100 cm. Mesin
tersebut dapat menarik sisa debu dan benang. Tinggi meja terukur 110 cm, dimana
standar yang harusnya digunakan pada pekerja wanita berdiri adalah setinggi 80-100
cm. Pakaian dimasukkan ke dalam mesin dan ditahan oleh kedua tangan pekerja
tersebut. Mesin kebut menghasilkan bising sehingga pekerja dilengkapi dengan alat
penutup telinga.
Bahaya potensial fisika berupa bising, vibrasi dan listrik dari mesin kebut,
debu kain alami dan sintetik. Bahaya potensial psikologi dapat berupa kebosanan
karena jam kerja yang lama tanpa ganti shify. Gangguan kesehatan yang dapat timbul
berupa gangguan muskuloskeletal, dehidrasi, low back pain, dan gangguan
penglihatan berupa penurunan visus dan kelelahan mata. Resiko kecelakaan kerja
yang ada berupa tangan tersetrum listrik mesin kebut, dan tangan tertusuk jarum.
17
Gambar 9. Pekerja mesin kebut
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tangan melakukan gerakan repetitif
dengan posisi terangkat. Bahaya potensial ergonomi berupa posisi berdiri lama,
gerakan yang repetitif, dan posisi tangan terangkat 900. Tinggi meja terukur 110 cm,
dimana standar yang harusnya digunakan pada pekerja wanita berdiri adalah setinggi
80-100 cm. Ukuran meja yang terlalu tinggi ini kurang ergonomis sehingga dalam
jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan kelelahan dan gangguan kesehatan.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pelindung diri berupa
masker, penutup kepala, penutup telinga, serta sarung tangan dan fasilitas seperti
kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk
penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Sarana yang disediakan
berupa exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin
dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum
sebanyak 2 buah setiap lantai. Terdapat standar operasional untuk mengoperasikan
mesin kebut.
10. Quality Control Pakaian Jadi
Proses Quality control pakaian jadi sebanyak 2 pekerja. Sebelum pengiriman
beberapa kardus akan diambil secara random untuk dilakukan pengecekan ulang.
Dibagian ini dilakukan gerakan repetitif tangan memegang dan memeriksa pakaian,
posisi berdiri lama, posisi kepala dan punggung membungkuk lama.
Bahaya potensial fisika berupa pencahayaan dan debu kain alami dan sintetik.
Bahaya potensial ergonomi berupa gerakan repetitif tangan memegang dan
memeriksa pakaian, posisi berdiri lama, posisi kepala dan punggung membungkuk
18
lama. Dari segi psikologi, bahaya potensial yang ada berupa kebosanan karena jam
kerja yang lama tanpa ganti shift dan stres yang mungkin timbul. Gangguan kesehatan
yang mungkin timbul berupa gangguan muskuloskeletal, dehidrasi, low back pain dan
upper back pain, varises tungkai, dan keluhan otot mata. Tidak ada resiko kecelakaan
kerja yang ada pada tahap ini.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat
pelindung diri berupa maker, penutup kepala, dan fasilitas seperti kipas angin atau
exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup
dan penyediaan sarana air minum. Hanya sebagian pekerja yang menggunakan
masker dan penutup kepala. Sarana yang disediakan berupa exhaust fan diameter 30
cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin dengan diameter 30 cm sebanyak 10
buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai.
Terdapat checklist untuk menilai dalam proses quality control.
Gambar 10. Posisi pekerja pada bagian Quality Control pakaian
11. Proses Ironing
Proses ironing dilakukan dengan setrika listrik. Sarana yang digunakan adalah
meja setrika ukuran 60 x 100 cm dengan jarak antar pekerja kurang lebih 1 meter.
Proses ironing pakaian jadi terdiri dari 8 pekerja. Menggunakan bahan kimia berupa
etanol dan pelarut benzene sebagai pembersih. Pada bagian ini terjadi gerakan
repetitif menarik dan mendorong lengan saat menyetrika, posisi berdiri lama, posisi
membungkuk lama, posisi kepala menunduk lama, dan ruang gerak yang sempit.
Bahaya potensial fisika adalah suhu panas, sirkulasi udara terbatas, listrik,
debu kain alami dan sintetik, dan kelembapan. Bahaya potensial kimia berupa etanol
dan pelarut benzene sebagai pembersih. Bahaya potensial ergonomi adalah gerakan
19
repetitif menarik dan mendorong lengan saat menyetrika, posisi berdiri lama, posisi
membungkuk lama, posisi kepala menunduk lama, dan ruang gerak yang sempit. Dari
segi psikologi, bahaya potensial yang ada adalah kebosanan karena jam kerja yang
lama tanpa ganti shift, dan stres. Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah
gangguan muskuloskeletal, dehidrasi, tension type headache, dan low back pain.
Risiko kecelakaan kerja yang mungkin terjadi adalah tangan terkena luka bakar akibat
setrika listrik.
Upaya yang harusnya dilakukan pada tahap ini adalah pemakaian alat
pelindung diri berupa masker, penutup kepala, serta sarung tangan kain dan fasilitas
seperti kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk
penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Alat pelindung diri yang
digunakan adalah sarung tangan dan masker kain, semua pekerja menggunakan APD
ini. Sarana yang disediakan adalah lampu, exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10
buah setiap lantai, kipas angin dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai,
penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai. Terdapat standar
operasional dalam proses ironing.
Gambar 11. Posisi Pekerja pada Proses Ironing
12. Proses Packing
Proses packing, terdiri dari 8 pekerja. Pakaian yang telah disetrika kemudian
dilipat dan dimasukkan kedalam polybag, kemudian pakaian yang telah dibungkus
dimasukkan kedalam kardus. Dibagian ini terjadi gerakan repetitif memasukan
pakaian kedalam plastik, gerakan repetitif membungkuk saat memasukan pakaian
20
yang sudah terkemas ke dalam kardus, posisi berdiri lama, gerakan repetitif
mengangkat beban hasil produksi dari membungkuk sampai berdiri.
. Bahaya potensial fisika meliputi panas dan debu kain sintetik dan alami.
Bahaya potensial ergonomi meliputi gerakan repetitif memasukan pakaian kedalam
plastik, gerakan repetitif membungkuk saat memasukan pakaian yang sudah terkemas
ke dalam kardus, posisi berdiri lama, gerakan repetitif mengangkat beban hasil
produksi dari membungkuk sampai berdiri. Bahaya potensial psikologi yang dapat
timbul berupa kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift, dan stres
sebagai bahaya potensial psikologi.
Gangguan kesehatan yang dapat timbul adalah gangguan muskuloskeletal,
seperti low back pain dan upper back pain, dan dermatitis kontak iritan. Risiko
kecelakaan kerja yang dapat timbul adalah terjatuh saat mengangkat dan
memindahkan beban. Upaya yang harusnya dilakukan pada tahap ini adalah
pemakaian alat pelindung diri berupa masker kain dan fasilitas seperti kipas angin
atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang
cukup dan penyediaan sarana air minum.
Alat pelindung diri yang disediakan adalah masker kain. Sarana yang
disediakan adalah lampu, exhaust fan, kipas angin, dan penyediaan sarana air minum.
Terdapat aturan pelipatan dan tampilan produk dan aturan alur barang produksi
setelah packing.
Gambar 12. Posisi Pekerja pada saat Proses Packing
21
2.4. Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di PT BBI II
2.4.1. Program kesehatan Kerja
Perusahaan memiliki sebuah klinik yang terletak di dalam pabrik. Klinik
perusahaan memberikan pelayanan mulai dari hari senin, rabu dan jumat. PT. BBI
menyediakan sebuah poliklinik di dalam lokasi yang berada di lantai 2.
Beranggotakan 1 orang perawat untuk menangani semua jenis penyakit baik yang
bersifat biologis maupun fisik (kecelakaan) pada seluruh karyawan PT. BBI. Dibantu
oleh 3 orang yang bertugas sebagai petugas P3K. Ketiga orang ini bukanlah orang
yang berlatar belakang pendidikan medis, hanya karyawan biasa yang diberi pelatihan
khusus oleh perawat untuk melakukan pertolongan pertama bagi luka-luka akibat
kecelakaan kerja. Klinik ini melayani pengobatan biasa dan kecelakaan kerja kepada
para pekerja. Pelayanan dilakukan selama jam kerja. Diluar jam kerja poliklinik,
pelayanan kesehatan bagi pekerja hanya berupa penyediaan obat-obatan simptomatik
yang dipegang oleh line manager . Bila diperlukan tatalaksana lanjutan kecelakaan
kerja, pekerjaan dirujuk ke RS dengan surat pengantar. Perusahaan bekerjasama
dengan RS Mediros dan RS St.Carolus sehingga jika pekerja berobat ke kedua rumah
sakit tersebut, biaya pengobatan pekerja akan di tanggung oleh perusahaan sesuai
dengan golongan/pangkat. Sementara jika pasien dibawa ke RS lain seperti RS
Persahabatan yang letaknya tidak jauh dari pabrik maka penggantian biaya
diberlakukan melalui sistem reimbursment yaitu biaya di tanggung dahulu oleh
karyawan, yang kemudian diganti oleh perusahaan. Untuk kasus gawat darurat yang
22
Inspeksi Bahan Proses pembuatan pola
Cutting Quality Contol pola
Proses Matching & numbering
Proses pembuatan
manset
Proses Pembuatan Interlining
Proses Sewing
Finishing Quality control pakaian jadi
Proses IroningPacking
terjadi di pabrik, pertama-tama keadaan umum pasien pasien distabilkan terlebih
dahulu kemudian dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Gambar 13. Kondisi Klinik tempat Perawatan untuk pekerja
Di klinik tersebut terdapat data-data penyakit dan data jumlah kunjungan
pekerjaa ke poliklinik serta data kecelakaan kerja. Klinik perusahaan berukuran 2x4 m
dan dijalankan oleh 1 orang perawat yang belum pernah mendapatkan pelatihan
mengenai kesehatan kerja sebelumnya.
Program klinik perusahaan meliputi juga pemeriksaan kesehatan setiap enam
bulan berupa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan
darah rutin dan kimia darah serta pemeriksaan penunjang lain seperti rontgent thoraks,
dan pemeriksaan elektrokardiografi. Pemeriksaan kesehatan telinga dengan alat
khusus (audiometri dan otoskop) tidak dilakukan.
Sedangkan untuk kotak P3K, tersebar di berbagai macam lokasi yaitu di setiap
tempat proses produksi mulai dari proses inspeksi bahan sampai proses packing untuk
mempermudah pencapaian bila kecelakaan kerja terjadi.
Gambar 14. Kotak P3K yang terdapat disetiap ruangan produksi
23
Salah satu kekurangan yang ditemukan adalah perusahaan belum memiliki
data penyakit tersering yang terjadi di perusahaan. Di samping itu, tidak dapat sistem
pelaporan kesehatan pekerja, yang ada hanyalah laporan jumlah kunjungan pekerja ke
klinik perusahaan. Asuransi kesehatan juga tidak disediakan oleh pihak perusahaan
bagi para pekerjanya.selain itu, program-program kesehatan kerja belum dilaksanakan
oleh perusahaan.
Kantin perusahaan ada dua buah dengan ukuran masing 4x5 m. Namun untuk
makan siang pekerja perusahaan menggunakan sistem katering yang di bayar oleh
perusahaan. Menu pekerja tergantung pihak katering yang berupa makanan pokok.
Untuk pekerja yang lembur tidak mendapatkan makanan tambahan. Untuk air minum
pekerja disediakan dispenser di beberapa tempat.
Gambar 15. Menu Makanan para Pegawai Perusahaan
2.4.2. Sanitasi dan Lingkungan
PT BBI merupakan suatu kompleks bangunan yang terdiri dari 1 bangunan
utama, 1 bngunan tempat produksi, dan 1 gudang penyimpanan yang terpisah dari 2
bangunan sebelumnya (dipisahkan oleh jalan umum). Pada bangunan utama terdapat
kantor yang mengurusi administrasi dan marketing. Factory outlet, dan tempat
ibadah. Bangunan utama ini cukup tertata rapi dan bersih serta sebagian besar ruangan
menggunakan air conditioner. Sementara bangunan tempat produksi merupakan
bangunan lantai 2 di mana selain terdapat ruangan tempat berlangsungnya proses
produksi, juga terdapat klinik (di lantai 2), dan kantin (di lantai 1). Kesan kebersihan
pada keseluruhan ruangan tempat produksi cukup baik. Alat-alat produksi di
bangunan produksi lantai 1 tertata dengan cukup rapi dengan ruang gerak pekerja
yang cukup leluasa (kurang lebih 1 meter).
24
Hal ini disebabkan karena jumlah pekerja di ruangan ini relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah pekerja di lantai 2. Sementara itu, alat-alat produksi di
lantai 2 walau tersusun rapi cukup rapi namun jarak antara alat cukup dekat (kurang
lebih setengah meter) sehingga ruang gerak pekerja agak terbatas. Lingkungan di
sekitar kompleks bangunan utama dan bangunan tempat produksi cukup bersih. Pada
halaman sekitar terdapat taman kecil yang bersih.
Perusahaan menyediakan fasilitas toilet di kedua lantai produksi, masing-
masing terdiri dari dua toilet besar laki-laki dan dua toilet perempuan. Setiap toilet
berukuran 1x1,5x2 m. Masing-masing toilet besar terdiri dari 3 ruangan. Toilet
tersebut terlihat kurang bersih dan terkesan kurang terurus. Dinding toilet dilapisi
keramik. Jumlah kakus dalam toilet laki-laki adalah tiga jamban, dan di dalam toilet
perempuan terdapat tiga jamban. Penerangan dan pertukaran udara dalam toilet cukup
baik. Lantai dan dinding toilet terlihat bersih, pintu jamban dapat dibuka-tutup dengan
mudah. Terdapat satu wastafel di tiap toilet. Data mengenai septic tank tidak
diketahui. Di gudang tempat penyimpanan kain, toilet juga berfungsi sebagai tempat
untuk mencuci kain untuk melihat apakah kain ini lintur atau tidak. Di gudang, tidak
terdapat perbedaan antara toilet laki-laki dan perempuan.
Sarana penerangan di dalam ruangan pada siang hari berupa bagian langit-
langit yang transparan sehingga memungkinkan masuknya cahaya matahari. Selain itu
juga disediakan lampu-lampu jenis lampu putih atau Philips dengan kekuatan 40 watt
meskipun hanya dinyalakan sebagian dengan mempertimbangkan efektivitas biaya.
Jumlah lampu yang ada cukup banyak, namun penerangan pada malam hari tidak
dapat kami nilai karena kunjungan dilakukan pada siang hari.
Pertukaran udara di dalam bangunan pabrik secara keseluruhan masih kurang.
Langit-langit bangunan pabrik cukup tinggi, namun jumlah exhaust fan masih kurang
yaitu 6 buah setiap lantai (diameter 30 cm) untuk ruangan yang berukuran kurang
lebih 60 x 20 m 2 . pihak perusahaan juga menyediakan fasilitas air minum melalui
dispenser (berisi guci keramik) yang tersedia di beberapa sudut ruangan yang terdiri
dari 2 buah di setiap lantai. Galon tampak kurang bersih dan gelas minum bersih yang
tersedia sedikit.
Sarana penerangan di dalam ruangan pada siang hari berupa bagian langit-
langit yang transparan sehingga memungkinkan masuknya cahaya matahari. Selain itu
juga disediakan lampu-lampu jenis lampu putih atau Philips dengan kekuatan 40 watt
meskipun hanya dinyalakan sebagian dengan mempertimbangkan efektivitas biaya.
25
Jumlah lampu yang ada cukup banyak, namun penerangan pada malam hari tidak
dapat kami nilai karena kunjungan dilakukan pada siang hari.
26
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Di Indonesia, industri garmen masih merupakan andalan industri nasional
dalam menghasilkan pendapatan devisa negara. Para pekerja industri garmen mendapat
paparan potensi bahaya yang dapat mengganggu kesehatannya.
Proses pembuatan garmen dimulai dari pengecekan kain di ruang
penyimpanan kain kemudian proses desain dan pembuatan pola, grading dan marker,
kemudian dilanjutkan ke proses pembuatan sampel dan pemotongan kemudian
dilakukan proses pengepresan. Setelah bagian-bagian yang terpotong tadi dipres maka
dilanjutkan ke proses produksi (penjahitan). Proses penjahitan ini dilakukan per piece
(bagian) sehingga untuk menjahit satu kemeja terkadang bisa mencapai 100 variasi
proses penjahitan. Oleh karena itu, produksi garmen dikenal dengan proses piece to
piece. Setelah dijahit maka dilanjutkan proses penyempurnaan/penyelesaian akhir,
seperti pemasangan kancing, label, pembersihan dan penyetrikaan dan kemudian
dilakukan pengepakan dan pengiriman ke konsumen.
Karakteristik pekerjaan di industri garmen umumnya adalah proses material
handling (angkat-angkut), posisi kerja duduk dan berdiri, membutuhkan ketelitian
cukup tinggi, tingkat pengulangan kerja tinggi pada satu jenis otot, berinteraksi dengan
benda tajam seperti jarum, gunting dan pisau potong, terjadi paparan panas di bagian
pengepresan dan penyetrikaan dan banyaknya debu-debu serat dan aroma khas kain,
terpaan kebisingan, getaran, panas dari mesin jahit dan lainnya. Untuk itu desain
tempat kerja di industri garmen akan sangat berpengaruh bagi kinerja karyawan.
Hong Kong Christian Industrial Committee pada tahun 2004 melaporkan
kondisi lingkungan kerja di 3 industri garmen China yang mensuplai produk garmen
untuk retail di Jerman adalah sebagai berikut antara pemilik pabrik dan pekerja kurang
27
memiliki kesadaran tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Di ketiga pabrik yang
disurvey tidak pernah diadakan latihan untuk penaggulangan kebakaran, para pekerja
mengeluhkan kondisi AC (air condition) dan ventilasi yang tidak baik. Penempatan
mesin yang terlalu rapat sehingga mengakibatkan peningkatkan suhu di tempat kerja.
Para pekerja di bagian penjahitan mengalami alergi kulit dan gangguan pernapasan
akibat menjahit beberapa jenis kain yang mempunyai banyak debu kain ( floating
fiber). Sumber bahaya lain adalah permasalahan ergonomi seperti lamanya waktu kerja
(duduk dan berdiri) pengulangan gerakan kerja dan lainnya. Cvetko Z. Trajković, dkk,
juga menunjukkan sumber-sumber bahaya potensial yang ada di industri garmen
terdapat pada ruang pemotongan, penjahitan dan finishing.
Kondisi industri garmen di Kamboja juga tidak jauh berbeda seperti dimana
ada beberapa permasalahan lingkungan kerja mencakup aspek mekanis, fisik, kimia,
biologi dan ergonomi diantaranya adalah penataan tumpukan kain yang kurang baik di
gudang penyimpanan sehingga gulungan kain mudah jatuh potensi sakit punggung
karena mengangkat dan material handling yang tidak benar, banyaknya debu kain di
area pemotongan kain, dan bahaya luka yang serius selama penggunaan mesin potong
elektrik tanpa pengaman rantai yang baik. Selain itu, tidak adanya pengamanan mesin
dan debu kain di area produksi dan finishing dan bahaya zat kimia dan lantai licin pada
area pencucian. Didapatkan pencahayaan yang kurang baik di bagian produksi dan
finishing dan permasalahan ergonomi pada posisi kerja duduk dan berdiri. Temperatur
yang tinggi pada bagian penyetrikaan dan pencucian dan problem kelistrikan dan
kebakaran di seluruh bagian.
Sedangkan berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh S Calvin dan B
Joseph, menyatakan bahwa beberapa potensi bahaya di industri garmen meliputi
kecelakaan pada jari tangan (tertusuk jarum), terbakar dan lainnya. Bahaya fisik seperti
paparan kebisingan, panas dan pencahayaan dan lainnya. Sangat sedikit laporan
tentang kecelakaan kerja di industri garmen dari berbagai belahan dunia karena
kurangnya kesadaran untuk mencatat dan melaporkan terjadinya kecelakaan.
Permasalahan ergonomi kerja di industri garmen terutama sangat terkait
dengan posisi postur tubuh dan pergelangan tangan yang tidak baik dan harus
melakukan pekerjaan yang berulang-ulang pada hanya satu jenis otot sehingga sangat
berpotensi menimbulkan cumulative trauma disorder (CTD)/Repetitive Strain Injuries
(RSI). Zvonko Gradcevic, dkk. mengungkapkan bahwa operasi kerja di bagian
penjahitan adalah dari tangan-mesin-tangan dan sub operasi mesin berdasarkan cara
28
kerja dan bagian yang dijahit menurut struktur produk garmennya. Pekerjaan di bagian
jahit membutuhkan koordinasi gerakan postur tubuh dan pergelangan tangan yang baik
dan konsentrasi tinggi. Dimana perubahan gerakan ini berlangsung sangat cepat
tergantung bagian yang dijahit dan tingginya frekuensi pengulangan gerakan untuk
kurun waktu yang lama akan mendorong timbulnya gangguan intrabdominal,
mengalami tekanan inersia, tekanan pada pinggang dan tulang punggung dan tengkuk.
Setiap pekerjaan mengandung resiko kesehatan dan keselamatan. Demikian
juga sistem kerja di industri garmen potensi penyakit dan kecelakaan kerja juga sangat
tinggi. Seperti yang dilaporkan oleh David Mahone (CNA Insurance Companies,
Chicago IL) diantara penyakit kerja yang terkait dengan kondisi lingkungan kerja yang
tidak baik diantaranya adalah 70% operator jahit mengalami sakit punggung, 35%
Melaporkan mengalami low back pain secara persisten, 25% menderita akibat
Cumulative Trauma Disorder (CTD), 81% mengalami CTD pada pergelangan tangan,
14% mengalami CTDs pada siku 5% of CTDs pada bahu, dan 49% pekerja mengalami
nyeri leher.. Oleh karena itu, diperlukan upaya kedokteran okupasi melalui program
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri garmen agar angka penyakit akibat
kerja dapat diminimalisir.
3.1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Sesuai dengan dasar hukum UU No. 1 tahun 1970 menjelaskan bahwa
keselamatan & kesehatan kerja (K3) adalah suatu upaya-upaya praktis untuk
memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para
pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Bidang K3 merupakan studi praktis yang berkaitan dengan implementasi sistem
manajemen suatu perusahaan. Didalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan juga diatur tentang jaminan keselamatan & kesehatan kerja bagi
seluruh karyawan yang bekerja. Namun pada kenyataannya masih banyak dijumpai
perusahaan-perusahaan yang kurang memperhatikan tentang faktor keselamatan &
kesehatan kerja, sehingga sering dijumpai kasus-kasus kecelakaan kerja yang
merugikan pihak karyawan. Menurut data yang dituliskan oleh media online pos kota
tercatat bahwa kasus kecelakaan kerja masih relatif tinggi, yakni mencapai 88.492
kasus (www.poskota.co.id/05/10/10). Kondisi tersebut tentu saja masih
memprihatinkan mengingat hal tersebut bertolak belakang dengan visi & misi
29
pemerintah mengenai jaminan keselamatan & kecelakaan kerja. Kasus-kasus
kecelakaan kerja yang sering dijumpai yakni bidang industri, konstruksi,
pertambangan, dan sisanya disektor lainnya. Kasus kecelakaan kerja yang masih
hangat dibicarakan adalah kasus kecelakaan tabrakan kereta api Senja Utama dengan
Kereta Argo yang terjadi pemalang menyebabkan korban meninggal dunia. Akan
tetapi yang patut disayangkan mengenai hasil investigasi awal yang menyebutkan
bahwa faktor penyebab kecelakaan kerja karena "human error". Sebetulnya masih
perlu banyak dikaji dan dilakukan analisa yang detail untuk mengidentifikasi
kecelakaan kereta api tersebut dari dari data kronologis, serta data sekunder mengenai
sistem kerja, peralatan, teknologi, material-material disekitar, kesehatan, dan lain
sebagainya, supaya ditemukan suatu preventif akan solusi untuk dilakukan perbaikan,
bukan hanya sekedar menyelesaikan maslah yang saat itu muncul dan hilang (selesai).
Belajar tentang K3 tentu saja harus berorientasi pada implementasi/penerapan
di area kerja. Secara konseptual Keselamatan & kesehatan kerja muncul berdasarkan
konsep "triangle factor"
Implementasi mengenai keselamatan & kesehatan kerja secara praktis
dirancang melalui suatu sistem yang dinamakan dengan Sistem Manajemen
Keselamatan & Kesehatan Kerja (SM-K3) atau dalam paradigma modern dikenal
dengan istilah "HSE / SHE " (Health Safety & Environment). Setiap perusahaan
idealnya wajib menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dan sistematis
untuk menjamin faktor resiko terhadap keselamatan & kesehatan di lingkungan kerja.
Penerapan sistem manajemen K3 dimulai dari:
3.1.1 Pembentukan Komitmen
30
Komitmen merupakan modal utama dalam penerapan K3 secara riil
mengenai arti penting keselamatan & kesehatan kerja. Pembentukan komitmen
tentang arti pentingnya K3 harus dimulai dari level TOP MANAGEMENT supaya
penerapan sistem K3 berjalan efektif dan optimal. Sesuai dengan UU No 1 tahun
1970 dijelaskan bahwa unsur pimpinan (direktur) bertanggungjawab untuk
melaksanakan keselamatan & kesehatan kerja. Unsur pimpinan inilah yang
nantinya diharapkan mampu membuat kebijakan-kebijakan yang positif tentang K3
dan mampu menggerakan aspek-aspek penunjang/fasiltas sampai dengan karyawan-
karyawan level bawah untuk menjalankan fungsi K3 untuk mencapai "ZERO
ACCIDENT"
3.1.2. Perencanaan
Perencanaan disini dimaksudkan sebagai dasar penerapan program kerja K3
yang nantinya akan dilaksanakan secara menyeluruh oleh seluruh karyawan. Dalam
menentukan program kerja K3, idealnya komite K3 melakukan assessment di area
kerja mengenai maslah-masalah K3 di perusahaan tersebut. Cara mudah biasanya
menggunakan teknik.tools berupa HIRARC (High Identification Risk Assessment &
Risk Control), yaitu suatu cara/teknik mengidentifikasi potensi-potensi bahaya yang
kemungkinan bisa menimbulkan kecelakaan kerja/penyakit kerja dan melakukan
langkah penanggulangan sebagai kontrol/preventif. Dapat dilakukan dengan
identifikasi potensi, penilaian faktor resiko dan pengendalian faktor resiko.
3.1.3. Pengorganisasian
Bentuk komitmen dari pimpinan perusahaan selain melalui kebijakan
tertulis, dapat juga memfasilitasi pembentukan komite K3 yang khusus menangani
permasalahan K3 yang terdiri dari berbagai wakil dari divisi yang terlibat sesuai
dengan kompetensinya masing-masing.
Selain itu yang paling penting untuk menggerakan orhganisasi/komite K3
tersebut diperlukan seorang "ahli K3" yaitu seseorang yang berkompeten di bidang
K3 yang telah tersertifikasi sebagai ahli K3. Mengapa demikian? karena dala
penerapan program kerja serta aktivitas-aktivitas K3 tidak bisa lepas dari visi dan
misi ahli K3 tersebut yang mampu menggerakan jalannya oranisasi kerja.
Efektivitas komite K3 tentu saja diperhitungkan dari penerapan program-program
K3 yang tersistematis dan mendapatkan support dari seluruh level karyawan.
31
3.1.4. Penerapan
Penerapan K3 tentu saja berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas program-
program kerja K3 secara optimal. Harus disertai evidence serta bukti-bukti
lapangan mengenai penerpan program kerja tersebut. Contoh program kerja yang
bisa dilakukan yaitu semacam safety campaign, safety sign, safety training, safety
talk, safety for visitor, safety for contractor, simulasi & evakuasi, safety alert, dll.
3.1.5. Pengendalian
Setiap penerapan program-program K3 harus dilakukan pelaporan sebagai
bukti evidence sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dilakukan
perbaikan secara bertahap. Pelaporan K3 harus disusun secara rapi sebagai
penunjang administrasi K3 yang terintegrasi.
3.1.6. Evaluasi
Proses evaluasi memang sangat diperlukan sebagai bentuk pengukuran
efektivitas program/penerapan K3 sudah sedemikian efektif atau belum. Secara
praktis biasanya dibentuk suati tim auditor untuk melakukan audit dan verifikasi
mengenai penerapan yang dijalankan mengenai sistem manajemen K3.
Selamat berimplementasi untuk "membangun sistem manajemen K3 yang
terintegrasi"
3.2 Tujuan K3
3.2.1 Tujuan Pencegahan Kecelakaan Kerja Di Dasarkan Pada 3 Hal :
32
1. Perikemanusian.
Pekerja bukan lah mesin yang dapat di perlukan sebagai benda mati. Sebagai
sesama manusia, pekerja juga menuntut untuk di perlakukan sebagai manusia yang
utuh. Kecelakaan pd pekerja dpt mengakibatkan kesdihan bahkan kematian.
Dampak dari kecelakaan kerja akan lebih lanjut dirsakan bila pekerja yg
bersangkutan adalah kepala keluarga yg bekerja untuk menafkahi keluargannya.
Perasaan kehilangan bertambah dengan memberatnya beban ekonomi keluarga.
2. Mengurangi Ongkos Produksi
Berkurang kecelakaan kerja akan mengurangi ongkos produksi yang
disebabkan oleh biaya langsung & biaya tidak langsung dr suatu kecacatan.
3. Kelangsungan Produksi
Kesanggupan perusahaan untuk berproduksi secara terus menerus
m’rupakan keuntungan tersendiri bagi perusahaan. Bagaimanapun ringannya suatu
kecelakaan, pada hakekatnya mengakibatkan hilangnya waktu produksi yg besarnya
sesuai dengan derajat cacat yg terjadi.
3.2.2 Tujuan Umum dan Khusus
A. Tujuan Umum K3 sesuai GDN UU No.1 th 1970 adalah :
1. Melindungi tenaga kerja di tempat kerja agar selalu terjamin keselamatan dan
kesehatannya sehingga dpt diwujudkan peningkatan produksi dan
produktifitas kerja.
2. Melindungi setiap orang lain yg berada di tempat kerja yg selalu dlm keadaan
selamat dan sehat
3. Melinduungi bahan dan peralatan produksi agar di capai secara aman dan
efisien.
B. Tujuan khusus:
1. Mencegah atau mengurangi kecelakaan kerja kebakaran, peledakan dan PAK.
2. Mengamankam mesin, instalasi, pesawat, alat, bahan dan hasil produksi.
3. Menciptakan lingkungan kerja yang aman, nyaman, sehat dan penyesuaian
antara pekerjaan dengan manusia atau antara manusia dengan pekerjaan.
3.3 Ruang Lingkup Kesehatan dan Keselamatan Kerja
33
Kesehatan Kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan
pekerjaan dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode
kerja, proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk :
1.Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di semua
lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosialnya.
2.Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang diakibatkan
oleh keadaan/kondisi lingkungan kerjanya.
3.Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari
kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan
kesehatan.
4.Menempatkan dan memelihara pekerja disuatu lingkungan pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.
3.3.1 Kapasitas Kerja, Beban Kerja, dan Lingkungan Kerja di Indonesia
Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga
komponen utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi
antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan
optimal.
Kapasitas kerja yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang
baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang pekerja dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik.
Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai (modal) awal seseorang
untuk melakukan pekerjaan harus pula mendapat perhatian. Kondisi awal seseorang
untuk bekerja dapat depengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja dan lain-lain.
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja
yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan
seorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja.
Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan
lain-lain) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban
tambahan tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan
gangguan atau penyakit akibat kerja.
Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor yang
berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan masyarakat pekerja
34
dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja
tetapi juga oleh faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor
lainnya.
3.4 Pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Tidak jarang para karyawan dihadapkan pada persoalan di keluarga dan
perusahaan. Tekanan persoalan dapat berupa aspek emosional dan fisik, terbatasnya
biaya pemeliharaan kesehatan, dan berlanjut terjadinya penurunan produktivitas
karyawan. Pihak manajemen seharusnya mampu mengakomodasi persoalan karyawan
sejauh terkait dengan kepentingan perusahaan. Pertimbangannya adalah bahwa unsur
kesehatan dan karyawan memegang peranan penting dalam peningkatan mutu kerja
karyawan. Semakin cukup jumlah dan kualitas fasilitas kesehatan dan keamanan kerja
maka semakin tinggi pula mutu kerja karyawan. Dengan demikian perusahaan akan
semakin diuntungkan dalam upaya pengembangan bisnisnya.
Setiap perusahaan sewajarnya memiliki strategi memperkecil dan bahkan
menghilangkan kejadian kecelakaan kerja di kalangan karyawan sesuai dengan kondisi
perusahaan. Strategi yang perlu diterapkan perusahaan meliputi :
a. Pihak manajemen perlu menetapkan bentuk perlindungan bagi karyawan dalam
menghadapi kejadian kecelakaan kerja. Misalnya karena alasan finansial,
kesadaran karyawan tentang keselamatan kerja dan tanggung jawab perusahaan
dan karyawan maka perusahaan bisa jadi memiliki tingkat perlindungan yang
minimum bahkan maksimum.
b. Pihak manajemen dapat menentukan apakah peraturan tentang keselamatan kerja
bersifat formal ataukah informal. Secara formal dimaksudkan setiap aturan
dinyatakan secara tertulis, dilaksanakan dan dikontrol sesuai dengan aturan.
Sementara secara informal dinyatakan tidak tertulis atau konvensi dan dilakukan
melalui pelatihan dan kesepakatan-kesepakatan.
c. Pihak manajemen perlu proaktif dan reaktif dalam pengembangan prosedur dan
rencana tentang keselamatan dan kesehatan kerja karyawan. Proaktif berarti pihak
manajemen perlu memperbaiki terus menerus prosedur dan rencana sesuai
kebutuhan perusahaan dan karyawan. Sementara arti reaktif, pihak manajemen
perlu segera mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja setelah suatu
kejadian timbul.
35
d. Pihak manajemen dapat menggunakan tingkat derajad keselamatan dan kesehatan
kerja yang rendah sebagai faktor promosi perusahaan ke khalayak luas. Artinya
perusahaan sangat peduli dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Sesuai dengan strategi di atas maka program yang diterapkan untuk
menterjemahkan strategi itu diantara perusahaan biasanya dengan pendekatan yang
berbeda. Hal ini sangat bergantung pada kondisi perusahaan. Secara umum program
memperkecil dan menghilangkan kejadian kecelakaan kerja dapat dikelompokkan :
a. Telaahan Personal
Telaahan personal dimaksudkan untuk menentukan karakteristik karyawan
tertentu yang diperkirakan potensial berhubungan dengan kejadian keselamatan
kerja: (1) faktor usia; apakah karyawan yang berusia lebih tua cenderung lebih lebih
aman dibanding yang lebih muda ataukah sebaliknya, (2) ciri-ciri fisik karyawan
seperti potensi pendengaran dan penglihatan cenderung berhubungan derajad
kecelakaan karyawan yang kritis, dan (3) tingkat pengetahuan dan kesadaran
karyawan tentang pentingnya pencegahan dan penyelamatan dari kecelakaan kerja.
Dengan mengetahui ciri-ciri personal itu maka perusahaan dapat memprediksi siapa
saja karyawan yang potensial untuk mengalami kecelakaan kerja. Lalu sejak dini
perusahaan dapat menyiapkan upaya-upaya pencegahannya.
b. Sistem Insentif
Insentif yang diberikan kepada karyawan dapat berupa uang dan bahkan karir.
Dalam bentuk uang dapat dilakukan melalui kompetisi antarunit tentang keselamatan
kerja paling rendah dalam kurun waktu tertentu, misalnya selama enam bulan sekali.
Siapa yang mampu menekan kecelakaan kerja sampai titik terendah akan diberikan
penghargaan. Bentuk lain adalah berupa peluang karir bagi para karyawan yang
mampu menekan kecelakaan kerja bagi dirinya atau bagi kelompok karyawan di
unitnya.
c. Pelatihan Keselamatan Kerja
Pelatihan keselamatan kerja bagi karyawan biasa dilakukan oleh perusahaan.
Fokus pelatihan umumnya pada segi-segi bahaya atau resiko dari pekerjaan, aturan
dan peraturan keselamatan kerja, dan perilaku kerja yang aman dan berbahaya.
36
d. Peraturan Keselamatan Kerja
Perusahaan perlu memiliki semacam panduan yang berisi peraturan dan aturan
yang menyangkut apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh karyawan di tempat
kerja. Isinya harus spesifik yang memberi petunjuk bagaimana suatu pekerjaan
dilakukan dengan hati-hati untuk mencapai keselamatan kerja maksimum. Sekaligus
dijelaskan beberapa kelalaian kerja yang dapat menimbulkan bahaya individu dan
kelompok karyawan serta tempat kerja. Dalam pelaksanaannya perlu dilakukan
melalui pemantauan, penumbuhan kedisiplinan dan tindakan tegas kepada karyawan
yang cenderung melakukan kelalaian berulang-ulang.
Untuk menerapkan strategi dan program di atas maka ada beberapa
pendekatan sistematis yang dilakukan secara terintegrasi agar manajemen program
kesehatan dan keselamatan kerja berjalan efektif berikut ini.
A. Pendekatan Keorganisasian
1. Merancang pekerjaan,
2. Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan program,
3. Menggunakan komisi kesehatan dan keselamatan kerja,
4. Mengkoordinasi investigasi kecelakaan.
B. Pendekatan Teknis
1. Merancang kerja dan peralatan kerja,
2. Memeriksa peralatan kerja,
3. Menerapkan prinsip-prinsip ergonomi.
C. Pendekatan Individu
1. Memperkuat sikap dan motivasi tentang kesehatan dan keselamatan kerja,
2. Menyediakan pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja,
3. Memberikan penghargaan kepada karyawan dalam bentuk program insentif.
3.5 Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja
K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) adalah suatu ilmu pengetahuan dan
penerapan guna mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja.
Menurut American Society of safety and Engineering (ASSE) K3 diartikan
sebagai bidang kegiatan yang ditujukan untuk mencegah semua jenis kecelakaan yang
ada kaitannya dengan lingkungan dan situasi kerja.
37
Secara umum keselamatan kerja dapat dikatakan sebagai ilmu dan
penerapannya yang berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara melakukan
pekerjaan guna menjamin keselamatan tenaga kerja dan aset perusahaan agar terhindar
dari kecelakaan dan kerugian lainnya. Keselamatan kerja juga meliputi penyediaan
APD (Alat Pelindung Diri), perawatan mesin dan pengaturan jam kerja yang
manusiawi.
Dalam K3 juga dikenal istilah Kesehatan Kerja, yaitu : suatu ilmu yang
penerapannya untuk meningkatkan kulitas hidup tenaga kerja melalui peningkatan
kesehatan, pencegahan Penyakit Akibat Kerja meliputi pemeriksaan kesehatan,
pengobatan dan pemberian makan dan minum bergizi.
Istilah lainnya adalah Ergonomi yang merupakan keilmuan dan aplikasinya
dalam hal sistem dan desain kerja, keserasian manusia dan pekerjaannya, pencegahan
kelelahan guna tercapainya pelakasanaan pekerjaan secara baik.
Dalam pelaksanaannya K3 adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan dan PAK (Penyakit Akibat Kerja) yang
pada akhirnya dapat meningkatkan sistem dan produktifitas kerja.
Secara teoritis istilah-istilah bahaya yang sering ditemui dalam lingkungan kerja
meliputi beberapa hal sebagai berikut :
HAZARD (Sumber Bahaya), Suatu keadaan yang memungkinkan / dapat
menimbulkan kecelakaan, penyakit, kerusakan atau menghambat kemampuan pekerja
yang ada
DANGER (Tingkat Bahaya), Peluang bahaya sudah tampak (kondisi bahaya sudah
ada tetapi dapat dicegah dengan berbagai tindakan prventif.
RISK (Resiko) , prediksi tingkat keparahan bila terjadi bahaya dalam siklus tertentu
INCIDENT (Kejadian Bahaya), Munculnya kejadian yang bahaya (kejadian yang
tidak diinginkan, yang dapat/telah mengadakan kontak dengan sumber energi yang
melebihi ambang batas badan/struktur
ACCIDENT (Kecelakaan), Kejadian bahaya yang disertai adanya korban dan atau
kerugian (manusia/benda)
38
Dalam K3 ada tiga norma yang selalu harus dipahami, yaitu :
1. Aturan berkaitan dengan keselamatan dan kesehtan kerja
2. Di terapkan untuk melindungi tenaga kerja
3. Resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja
Sasaran dari K3 adalah :
1. Menjamin keselamatan operator dan orang lain.
2. Menjamin penggunaan peralatan aman dioperasikan.
3. menjamin proses produksi aman dan lancar.
Tapi dalam pelaksaannya banyak ditemui habatan dalam penerapan K3 dalam
dunia pekerja, hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu :
A. Dari sisi masyarakat pekerja
- Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar (upah dan tunjangan
kesehatan/kesejahtraan)
- K3 belum menjadi tuntutan pekerja
B. Dari sisi pengusaha
- Pengusaha lebih menekankan penghematan biaya produksi dan meningkatkan
efisiensi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Itulah keuntungan apabila kita mengutakan keselamatan kerja baik di
lingkungan keluarga maupun dilingkungan perusahaan. Dalam memaknai setiap aspek
keselamatan berarti kita ikut menjaga keselamatan kita dan orang lain untuk mencapai
makna keselamatan secara menyeluruh.
3.6 Kecelakaan Kerja
3.6.1 Definisi Kecelakaan Kerja
Berikut ini adalah beberapa defenisi kecelakaan dan kecelakaan Kerja
menurut beberapa ahli :
Defenisi Kecelakaan Kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(Permenaker) Nomor: 03/Men/1998 adalah suatu kejadian yang tidak
dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban jiwa dan
harta benda.
39
Menurut Foressman Kecelakaan Kerja adalah terjadinya suatu kejadian akibat
kontak antara ernegi yang berlebihan (agent) secara acut dengan tubuh yang
menyebabkan kerusakan jaringan/organ atau fungsi faali.
Sedangkan defenisi yang dikemukakan oleh Frank E. Bird Jr. kecelakaan adalah
suatu kejadian yang tidak dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian jiwa serta
kerusakan harta benda dan biasanya terjadi sebagai akibat dari adanya kontak
dengan sumber energi yang melebihi ambang batas atau struktur.
Kecelakaan kerja (accindent) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak di
inginkan yang merugikan terhadap manusia, merusakan harta benda atau
kerugian proses (Sugandi, 2003)
Word Health Organization (WHO) mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu
kejadian yang tidak dapat dipersiapkan penanggulangan sebelumnya, sehingga
menghasilkan cidera yang riil
Secara umum Kecelakaan kerja di bagi menjadi dua golongan :
Kecelakaan industri (Industrial Accident) yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat
kerja karena adanya sumber bahaya atau bahaya kerja.
Kecelakaan dalam perjalanan (Community Accident) yaitu kecelakaan yang
terjadi di luar tempat kerja yang berkaitan dengan adanya hubungan kerja.
3.6.2 Beberapa Teori Tentang Penyebab Kecelakaan Kerja
Banyak Faktor yang dapat menjadinya sebabnya kecelakaan kerja. Ada
faktor yang merupakan unsur tersendiri dan beberapa diantaranya adalah faktor
yang menjadi unsur penyebab bersama-sama. Beberapa teori yang banyak
berkembang adalah :
1. Teori kebetulan murni (pure chance theory) mengatakan bahwa kecelakaan
terjadi atas Kehendak Tuhan, secara alami dan kebetulan saja kejadiannya,
sehingga tak ada pola yang jelas dalam rangkaian peristiwanya.
2. Teori Kecenderungan (Accident Prone Theory), teori ini mengatakan pekerja
tertentu lebih sering tertimpa kecelakaan, karena sifat-sifat pribadinya yang
memang cenderung untuk mengalami kecelakaan.
3. Teori tiga faktor Utama (There Main Factor Theory), mengatakan bahwa
penyebab kecelakaan adalah peralatan, lingkungan kerja, dan pekerja itu sendiri.
40
4. Teori Dua Factor (Two Factor Theory), mengatakan bahwa kecelakaan kerja
disebabkan oleh kondisi berbahaya (unsafe condition) dan perbuatan berbahaya
(unsafe action)
5. Teori Faktor manusia (human factor theory), menekankan bahwa pada akhirnya
semua kecelakaan kerja, langsung dan tdk langsung disebabkan kesalahan
manusia.
6. Teori Domino (domino sequence theory). Thompkin (1982) memberikan
gambaran di dalam teori domino Henirich, yang intinya adalah suatu kecelakaan
timbul akibat suatu sebab yang sifatnya sebab akibat.
Lebih lanjut, teori mengenai terjadinya kecelakaan kerja dapat di upayakan
pencegahannya dengan mekanisme terjadinya kecelakaan kerja di uraikan “domino
seguence“ berupa berikut ini :
1. Ancestry and social enviroment, yakni pada orang yang keras kepala
mempunyai sifat tidak baik yg diperoleh karena faktor keturunan, pengaruh
lingkungan & pendidikan, mengakibbat seseorang bekerja kurang hati-hati &
banyak membuat kesalahan.
2. Fault of person, merupakan rangkaian dari faktor keturunan & lingkungannya,
yang menjurus pada tindakan yang salah dalam melakukan pekerjaan.
3. Unsafe Act and or mechanical or Physical hazard, tindakan berbahaya disertai
bahaya mekanik dan fisik lain, memudahkan terjadinya rangkaian berikutnya.
4. Accident, peristiwa kecelakaan yang menimpa pekerja dan umumnya disertai
oleh berbagai kerugian.
5. Injury, kecelakaan mengakibatkan cedera/luka ringan maupn berat menuju
kecacatan dan bahkan kematian.
Dalam banyak literatur beberapa ahli menjabarkan bahwa meningkatkan
kecelakaan kerja juga menggambarkan tentang kemerosotan suatu bangsa, berikut
adalah beberapa indikasi kemunduran suatu bangsa menurut Thomas Lickona :
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
3. Pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan
4. Meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, sex bebas, dan
alkohol
41
5. Kaburnya pedoman moral baik dan buruk
6. Penurunan etos kerja
7. Rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru
8. Rendahnya rasa tanggung jawab baik sebagai individu dan warga negara
9. Ketidakjujuran yang telah membudaya
10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama
Teori analisa kecelakaan dan penyakit akibat kerja :
1. Teori Domino (domino seguence theory). Thompkin (1982) memberikan
gambaran di dalam teori domino Henirich, yang intinya adalah :
2. Teori Faktor Manusia (Human Factor Theory), Teori ini menganggap bahwa
semua kejadian kecelakaan di sebabkan oleh manusia (Humam error).
Kesalahan yang dilakukan berupa :
a.Work over loaded. Yang di maksud Work over loaded di sini adalah
penjumlahan tugas yang harus dilaksanakan, lingkungan kerja, faktor internal
(stress, emosi, perilaku) dan faktor eksternal (instruksi tidak jelas,
kompensasi)
b.Reaksi yang tidak tepat (inappropriate respons),
i. Sikap mengabaikan standar keselamatan
ii. Tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
iii. Mengabaikan petunjuk kerja.
42
c.Aktifitas yg tidak tepat (inappropriate activities)
i. Salah dalam menilai besarnya resiko
ii. Tidak ada training untuk pekerja
3. Teori Accident/incident (Peterson)
Teori ini merupakan pengembangan dari teori human actor :
i. Dengan menambahkan faktor ergonomi (ergonomi traps)
ii. Salah dalam mengambil keputusan (decision to error)
iii. Kegagalan sistem (system failure) termasuk kebijakan, pelatihan,
inspeksi, koreksi dan standar.
4. Teori Epidemiologi
Terjadinya kecelakaan karena ketidak serasian antara: peran tenaga kerja (host), Alat
kerja (agent), Lingkungan kerja (Enviroment).
5. Teori Sistem
Teori ini melihat ouput/produk yang di hasilkan oleh berbagai komponen
yang dirangkai dalam suatu sistem. Dalam K3 output/produk atau kecelakaan.
Komponen yang menghasilkan kecelakaan adalah: tenaga kerja, alat kerja,
lingkungan kerja, fasilitas kerja & manajemen.
6. Teori Kombinasi
Teori kombinasi merupakan dua ataulebih dari teori 2 di atas. Teori ini di
perlukan jika suatu teori tidak cukup untuk menjelaskan suatu kejadian
kecelakaan, di harapkan dgn melakukan gabungan beberap teori mejawab
“mengapa terjadi kecelakaan”.
3.6.3 Penyebab Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
Penyebab Langsung ( Immediate Causes)
Penyebab langsung Kecelakaan Adalah suatu keadaan yang biasanya bisa
dilihat dan di rasakan langsung, yang di bagi 2 kelompok:
A. Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts) yaitu Perbuatan berbahaya dari
dari manusia yang dalam bbrp hal dapat dilatar belakangi antara lain:
1. Cacat tubuh yang tidak kentara (bodilly defect)
43
2. Keletihan dan kelesuan (fatigiue and boredom)
3. Sikap dan tingkak laku yang tidak aman
4. Pengetahuan.
B. Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) yaitu keadaan yang akan
menyebababkan kecelakaan, terdiri dari:
1. Mesin, peralatan, bahan.
2. Lingkungan
3. Proses pekerjaan
4. Sifat pekerjaan
5. Cara kerja
Penyebab Dasar (Basic causes)
Penyebab Dasar (Basic Causes), terdiri dari 2 faktor yaitu :
A. Faktor manusia/personal (personal factor)
Kurang kemampuan fisik, mental dan psikologi
Kurangnya /lemahnya pengetahuan dan skill
Stres
Motivasi yang tidak cukup/salah
B. Faktor kerja/lingkungan kerja (job work enviroment factor)
Faktor fisik yaitu, kebisingan, radiasi, penerangan, iklim dll.
Faktor kimia yaitu debu, uap logam, asap, gas dst
Faktor biologi yaitu bakteri,virus, parasit, serangga.
Ergonomi dan psikososial.
3.6.4 Faktor Resiko Kecelakaan Kerja
Menurut Henrich faktor penyebab kecelakaan disebabkan oleh faktor
Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts) 80 % dan Kondisi yang tidak aman
(unsafe condition) 20%. Menurut Suma’mur faktor penyebab kecelakaan
disebabkan oleh faktor Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts) 85 % dan
Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) 15 %. Menurut Hastuti dan Adiatma
faktor penyebab kecelakaan disebabkan oleh faktor Tindakan-tindakan tidak aman
(unsafe acts) 85 % dan Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) 10% dan faktor
alam (act of god) 5%. Menurut Phoon (1988), penyebab kecelakaan sangat banyak,
44
beraneka ragam, dan kompleks. Faktor utama yang menyebabkan kecelakaan
adalah:
1. Lingkungan kerja
2. Metode kerja
3. Pekerja sendiri
Namun pada akhirnya semua kecelakaan baik langsung maupun tidak
langsung, diakibatkan kesalahan manusia. Selalu ada resiko kegagalan (risk of
failures) pada SETIAP proses/ aktifitas pekerjaan. Dan saat kecelakaan kerja (work
accident) terjadi, seberapapun kecilnya, akan mengakibatkan efek kerugian (loss).
Karena itu sebisa mungkin dan sedini mungkin, kecelakaan/ potensi kecelakaan
kerja harus dicegah/ dihilangkan, atau setidak-tidaknya dikurangi dampaknya.
Kecelakaan disebabkan oleh dua golongan besar penyebab antara lain:
1. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human acts)
2. Keadaan-keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe conditions)
Penanganan masalah keselamatan kerja di dalam sebuah perusahaan harus
dilakukan secara serius oleh seluruh komponen pelaku usaha, tidak bisa secara parsial
dan diperlakukan sebagai bahasan-bahasan marginal dalam perusahaan. Salah satu
bentuk keseriusan itu adalah resourcing, baik itu finansial dan MSDM. Secara umum
penyebab kecelakaan di tempat kerja adalah sebagai berikut:
1. Kelelahan (fatigue)
2. Kondisi tempat kerja (enviromental aspects) dan pekerjaan yang tidak aman
(unsafe working condition)
3. Kurangnya penguasaan pekerja terhadap pekerjaan, ditengarai penyebab awalnya
(pre-cause) adalah kurangnya training
4. Karakteristik pekerjaan itu sendiri.
5. Hubungan antara karakter pekerjaan dan kecelakaan kerja menjadi fokus bahasan
yang cukup menarik dan membutuhkan perhatian tersendiri. Kecepatan kerja
(paced work), pekerjaan yang dilakukan secara berulang (short-cycle repetitive
work), pekerjaan-pekerjaan yang harus diawali dengan “pemanasan prosedural”,
beban kerja (workload), dan lamanya sebuah pekerjaan dilakukan (workhours)
adalah beberapa karakteristik pekerjaan yang dimaksud.
45
6. Penyebab-penyebab di atas bisa terjadi secara tunggal, simultan, maupun dalam
sebuah rangkain sebab-akibat (cause consequences chain).
3.6.5 Kerugian Akibat Kecelakaan Kerja
1. Kerusakan: Kerusakan karena kecelakaan kerja antara lain bagian mesin, pesawat
alat kerja, bahan, proses, tempat, & lingkungan kerja.
2. Kekacauan Organisasi: Dari kerusakan kecelakaan itu, terjadilah kekacauan dai
dalam organisasi dalam proses produksi.
3. Keluhan dan Kesedihan: Orang yang tertimpa kecelakaan itu akan mengeluh &
menderita, sedangkan kelurga & kawan-kawan sekerja akan bersedih.
4. Kelainan dan Cacat: Selain akan mengakibatkan kesedihan hati, kecelakaan juga
akan mengakibatkan luka-luka, kelainan tubuh bahkan cacat.
5. Kematian: Kecelakaan juga akan sangat mungkin merenggut nyawa orang &
berakibat kematian.
6. Kerugian-kerugian tersebut dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan
bagi terjadinya kecelakaan. Biaya tersebut dibagi menjadi biaya langsung & biaya
tersembunyi.
7. Biaya langsung adalah biaya pemberian pertolongan pertama kecelakaan,
pengobatan, perawatan, biaya rumah sakit, biaya angkutan, upah selama tak
mampu bekerja, kompensasi cacat & biaya perbaikan alat-alat mesin serta biaya
atas kerusakan bahan-bahan.
8. Sedangkan biaya tersembunyi meliputi segala sesuatu yang tidak terlihat pada
waktu atau beberapa waktu setelah kecelakaan terjadi.
3.6.6 Pencegahan Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan:
1. Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan mengenai
kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, kontruksi, perwatan dan
pemeliharaan, pengwasan, pengujian, dan cara kerja peralatan industri, tugas-
tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis, PPPK, dan pemeriksaan
kesehatan.
2. Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah mati atau tak resmi
mengenai misalnya kontruksi yang memnuhi syarat-syarat keselamatan jenis-jenis
46
peralatan industri tertentu, praktek-praktek keselamatan & hygiene umum, atau
alat-alat perlindungan diri.
3. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang diwajibkan.
4. Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan yang
berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat-alat
perlindungan diri, penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu, atau
penelaahan tentang bahan-bahan dan desain paling tepat untuk tambang-tambang
pengangkat dan peralatan pengangkat lainnya.
5. Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis dan
patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan-keadaan fisik
yang mengakibatkan kecelakaan.
6. Penelitian psikologis, yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan.
3.7 Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang
memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari
bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib
dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan
risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap
sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai
bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa
yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3
yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja
merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak
diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak
kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga
mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah
terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah
pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat kerja.Norma kesehatan
47
kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara derajat
kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja,
misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain
yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan,
kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet,
kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan manajemen
perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja,
shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan jam lembur, analisis dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal tersebut mempunyai korelasi
yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa,
terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini
ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi
menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai operator.
Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda
dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun,
dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam
lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Juga
dapat menimbulkan kerugian material yang besar bagi perusahaan. Revolusi industri
juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat
membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational
accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam
perusahaan. Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau
resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini
diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing
negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan
risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini
berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha,
buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.Dalam
konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan
kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah
Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan
48
Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah
kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan
perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah
berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut
sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam
Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen
Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian
dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatblad
1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan
Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja
di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal zaman
kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah
kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia
masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional.
Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah
dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin
ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur).
Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang
ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1
Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No.
14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak
menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma
kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat
kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di
dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan
sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU
No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain
sekor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam
sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur
(pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional
49
sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM),
lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas
kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan
multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap
kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan
yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat
investasi.
Ada minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang
Lingkungan yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi
acuan mengenai K3 yaitu:
1. Pertama, dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan
Kerja, disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja,
Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan
Hak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan
Ketentuan Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup
pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha; Adanya Tenaga Kerja yang
bekerja di sana; Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi
tetapi Usaha yang bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang
menggunakan Instalasi Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi
bahaya tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin
lainnya).
2. Kedua, UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19
Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi
(menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk
Indonesia (sumber: www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO
Convention No. 81 ini, salah satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun
1951 dan UU No. 1 Tahun 1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur
Kemandirian profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang
50
diatur dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4309.
3. Ketiga, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi:
“Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/
Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi
dengan Sistem Manajemen Perusahaan.”
4. Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang
Sistem Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12
pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3),
mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris.
Beberapa UU yang mengatur tentang K3 :
UU No.13/2003
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. Keselamatan & kesehatan kerja
b. Moral & kesusilaan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat & martabat manusia
d. Untuk melindungi keselamatan kerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya K3.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) & ayat (2) dilaksanakn
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU No.14/1969
Pasal 9
Tiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas:
(1.)Keselamatan
(2.)Kesehatan
51
(3.)Kesusilaan
(4.)Pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat
manusia & moral agama
Pasal 10
Pemerintah membina norma perlindungan tenaga kerja yang meliputi :
(1.)Norma keselamatan kerja
(2.)Norma kesehatan kerja
(3.)Norma kerja
(4.)Pemberian ganti kerugian, perawatan & rehabilitasi dalam hal kecelakaan
kerja
UU No.1/1970
(1.)Agar pekerja & setiap orang lainnya yang berada ditempat kerja selalu berada
dalam keadaan sehat & selamat.
(2.)Agar sumber-sumber produksi dapat dipakai & digunakan secara aman &
efisien.
(3.)Agar proses produksi berjalan secara lancar tanpa hambatan.
UU No.3/1992
(1.)Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan
hubungan kerja termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah
menuju tempat kerja & pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar
dilalui.
(2.) Jaminan kecelakaan kerja
Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan
kecelakaan kerja meliputi:
1. Biaya pengangkutan.
2. Biaya pemeriksaan pengobatan dan/atau perawatan.
3. Biaya rehabilitasi.
4. Santunan berupa uang meliputi :
a. Santunan sementara tidak mampu bekerja.
b. Santunan cacat sebagian untuk selamanya.
c. Santunan cacat total untuk selamanya baik fisik maupun mental.
52
d. Santunan kematian
3.8 Evaluasi Kesehatan Kerja
Sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaan adalah aset berharga bagi
setiap perusahaan yang harus dijaga dengan baik untuk mencapai produktivitas &
profitabilitas usaha. Meskipun saat ini sedang terjadi krisis finansial global, dengan
SDM yang sehat & berkualitas tingkat terjadinya penyakit atau kecelakaan akibat kerja
dapat ditekan untuk mencegah kerugian bagi perusahaan, SDM, keluarga, &
masyarakat. Sedangkan bagi SDM, pekerjaan adalah aset yang harus dijaga sehingga
agar dapat tetap optimal dalam bekerja, SDM harus menjaga kondisi kesehatannya.
Oleh karenanya, UU no.1/1970 mewajibkan perusahaan untuk memberikan
perlindungan untuk keselamatan & kesehatan bagi SDM yang ada di perusahaannya.
Termasuk di dalam hal tersebut adalah:
(1.) Pemeriksaan kesehatan calon SDM suatu perusahaan, dengan tujuan untuk
meyakinkan bahwa SDM dalam kondisi sehat, termasuk tidak mengidap penyakit
apapun yang dalam membahayakan atau mengganggu saat kerja atau
menularkannya ke orang lain. Selain itu, SDM dapat diketahui apakah secara
standar kesehatan mampu melakukan pekerjaan yang akan dilakukannya dengan
baik sehingga terhindar dari kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
(2.) Pemeriksaan kesehatan berkala SDM, yang berfungsi untuk memastikan
kesehatan dari SDM agar dapat bekerja dengan optimal & mengetahui sejak awal
jika ada pengaruh dari kerja terhadap kesehatan sehingga dapat dicegah dan
diobati lebih dini.
Pemeriksaan kesehatan berupa pemeriksaan kondisi kesehatan (fisik) oleh
dokter. Sebagai tambahan, dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
rontgen/radiologi. Jenis pemeriksaan tambahan dapat dipilih sesuai kebutuhan
perusahaan ataupun jenis pekerjaan/kondisi kesehatan SDM, sehingga dapat menekan
biaya pemeriksaan kesehatan yang ditanggung. Selanjutnya, seluruh hasil pemeriksaan
dikonsultasikan dengan dokter untuk dapat dilakukan tindak lanjut di tingkat
perseorangan maupun perusahaan untuk pencegahan dan pengobatan.
Dengan demikian, diperlukan layanan kesehatan yang menyeluruh bagi SDM
yang ada di perusahaan sesuai dengan peraturan perundangan dan standar kedokteran
oleh dokter.
53
Sebagai tambahan, dapat diberikan:
(1.) Pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk memberikan pengobatan tingkat dasar
terhadap SDM yang mengalami sakit sehingga dapat mencegah penyakit yang
lebih parah dan penularan penyakit pada SDM lain yang ada di perusahaan
ataupun klien/konsumen.
(2.) Penyuluhan untuk mencegah kecelakaan dan penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan, maupun informasi kesehatan secara umum.
3.2. Konsep Ergonomi
Ergonomi atau Ergonomics (bahasa Inggrisnya) sebenarnya berasal dari kata
Yunani yaitu Ergo yang berarti kerja dan Nomos yang berarti aturan atau hukum.
Ergonomi dimaksudkan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam
kaitannya dengan pekerjaannya (Wignjosoebroto S., 2000).
Tarwaka (2004) mendefinisikan Ergonomi sebagai berikut “Ergonomi adalah
ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara
segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan
kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas
hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik”.
Fokus utama dari ergonomi adalah manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan kerja sekitarnya artinya lingkungan kerja yang dirancang harus
mempertimbangkan atau disesuaikan dengan unsur manusia sebagai pusat sistem
tersebut (human center).
Mengaplikasikan aspek-aspek ergonomi atau human engineering, maka
dapat dirancang sebuah stasiun kerja yang bisa dioperasikan oleh rata-rata manusia
(Wignjosoebroto S., 2000). Disiplin ergonomi khususnya yang berkaitan dengan
pengukuran dimensi tubuh manusia (anthropometri) telah menganalisa, mengevaluasi
dan membakukan jarak jangkauan yang memungkinkan rata manusia untuk
melaksanakan kegiatannya dengan mudah dan gerakan-gerakan yang sederhana.
Contoh aplikasi disiplin ergonomi dapat dilihat dalam proses perancangan peralatan
kerja (tools) untuk penggunaan yang lebih efektif. Perkakas kerja seperti obeng atau
gunting misalnya dengan pegangan (handles) yang berbentuk kurva pada dasarnya
merupakan hasil dari human engineering studies. Desain handle yang berbentuk kurva
dan disesuaikan dengan bentuk genggaman tangan akan memudahkan cara
pengoperasian peralatan tersebut. Dengan demikian manusia tidak lagi harus
54
menyesuaikan dirinya dengan mesin yang dioperasikan (the man fits to the design),
melainkan sebaliknya yaitu mesin dirancang dengan terlebih dahulu memperhatikan
kelebihan dan keterbatasan manusia yang mengoperasikannya (the design fits to the
man).
Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi (Tarwaka, 2004), yaitu:
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan
penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan
promosi dan kepuasan kerja.
b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial,
mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan
sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.
c. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis,
ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga
tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.
Secara singkat, tujuan yang akan dicapai dengan penerapan ergonomi adalah
peningkatan efektifitas dan efisiensi dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia dengan
tetap mengacu pada terciptanya keselamatan, kenyamanan dan kesehatan kerja.
Mencapai tujuan tersebut, digunakan pendekatan utama berupa pemanfaatan informasi
tentang kemampuan dan keterbatasan manusia dalam lingkungan kerja serta evaluasi
terhadap lingkungan kerja yang sudah ada.
3.2.2. Antropometri
1. Antropometri dan Aplikasinya Dalam Ergonomi
Antropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan-
pertimbangan errgonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Data
antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain
dalam hal :
Perancangan areal kerja (work station, interior mobil, dan lain-lain)
Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools) dan
sebagainya.
Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi / meja komputer
dan lain-lain.
55
Perancangan lingkungan kerja fisik.
Antropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis
dalam memerlukan interaksi manusia. Data antropometri yang berhasil diperoleh
akan diaplikasikan secara luas dalam hal : perancangan areal kerja, perancangan
peralatan kerja, perancangan produk konsumtif, perancangan lingkungan kerja
fisik. Data ini akan menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang
berkaitan dengan produk yang dirancang dan manusia yang akan
mengoperasikan atau menggunakan produk tersebut
Antropometri merupakan bagian dari ilmu ergonomi yang berhubungan
dengan dimensi tubuh manusia yang meliputi bentuk, ukuran dan kekuatan dan
penerapannya untuk kebutuhan perancangan fasilitas aktivitas manusia. Data
antropometri sangat diperlukan untuk perancangan peralatan dan lingkungan
kerja. Kenyamanan menggunakan alat bergantung pada kesesuaian ukuran alat
dengan ukuran manusia. Jika tidak sesuai, maka dalam jangka waktu tertentu
akan mengakibatkan stress tubuh antara lain dapat berupa lelah, nyeri, pusing.
2. Pertimbangan desain antropometri dan faktor manusia
Cara penggunaan antropometri dalam ergonomi fisik adalah dapat
digunakan untuk memperkirakan posisi tubuh yang baik dalam bekerja.
Pengukuran dimensi struktur tubuh (pengukuran dalam dalam berbagai posisi
standar dan tidak bergerak seperti berat, tinggi saat duduk/berdiri, ukuran kepala,
tinggi, panjang lutut saat berdiri/duduk, panjang lengan. Hal ini dapat dilakukan
dengan tujuan mencegah terjadinya fatigue/ kelelahan pada pekerja pada saat
melakukan pekerjaannya.
Setiap manusia mempunyai bentuk yang berbeda - beda, seperti : Tinggi-
Pendek, Kurus-Gemuk, Tua-Muda, Normal-Cacat,
Manusia mempunyai keterbatasan Fisik, Contoh : Letak tombol operasional /
kontrol panel yang tidak sesuai dengan bentuk tubuk menyebabkan terjadinya
sikap paksa / salah operasional.
3. Pedoman yang mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk perlu
pertimbangan sebagai berikut :
Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama.
Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik.
Ketinggian landasan dan tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang
56
berlebihan.
Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pasa posisi rileks
dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit
menurun.
4. Sikap tubuh dalam bekerja
Sikap pekerjaan harus selalu diupayakan agar merupakan sikap ergonomik.
Sikap yang tidak alamiah harus dihindari dan jika hal ini tidak mungkin
dilaksanakan harus diusahakan agar beban statis menjadi sekecil-kecilnya. Untuk
membantu tercapainya sikap tubuh yang ergonomik sering diperlukan pula
tempat duduk dan meja kerja yang kriterianya disesuaikan dengan ukuran
anthropometri pekerja.
Menurut Anies (2005) yang dikutip oleh Sinambela (2006) ada beberapa hal
yang harus diperhatikan berkaitan dengan sikap tubuh dalam melakukan
pekerjaan, yaitu :
Semua pekerjaan hendaknya dilakukan dalam sikap duduk atau sikap berdiri
secara bergantian.
Semua sikap tubuh yang tidak alami harus dihindarkan. Seandainya hal ini
tidak memungkinkan hendaknya diusahakan agar beban statik diperkecil.
Tempat duduk yang dibuat harus sedemikian rupa sehingga tidak membebani
melainkan dapat memberikan relaksasi pada otot-otot yang sedang tidak
dipakai untuk bekerja dan tidak menimbulkan penekanan pada tubuh (paha).
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gangguan sirkulasi darah dan
mencegah keluhan kesemutan yang dapat mengganggu aktifitas.
Sikap tubuh dalam bekerja terdiri dari : posisi duduk, setengah duduk,
dan posisi berdiri. Dalam pengkajian ini, kami akan fokus pada sikap kerja posisi
duduk beserta masalah ergonomi yang potensial timbul.
3.2.3. Sikap posisi duduk
1. Sikap kerja duduk
Posisi duduk pada otot rangka (muscolusskeletal) dan tulang belakang (vertebral)
terutama pada pinggang (sacrum, lumbar dan thoracic) harus dapat ditahan oleh
sandaran kursi agar terhindar dari nyeri (back pain) dan terhindar cepat lelah
(fatique). Menurut Richard Ablett (2001) seperti yang dikutip Santoso (2004) saat
57
ini terdapat 80% orang hidup setelah dewasa mengalami nyeri pada bagian tubuh
belakang (back pain) karena berbagai sebab, dan arena back pain ini
mengakibatkan 40% orang tidak masuk kerja. Selain itu, ketika duduk kaki harus
berada pada alas kaki dan dalam sikap duduk dapat bergerak dengan relaksasi. Pada
posisi duduk tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau
berbaring, bila posisi duduk tidak benar. Diasumsikan menurut Eko Nurmianto
(1998) seperti yang dikutip Santoso (2004) tekanan posisi tidak duduk 100%, maka
tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk tegang dan kaku, dan
tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk dilakukan membungkuk
ke depan. Oleh sebab itu perlu sikap duduk yang benar dan dapat relaksasi (tidak
statis).
2. Sikap kerja setengah duduk
Sikap ini mempunyai keuntungan secara Biomekanis dimana tekanan pada tulang
belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk
maupun berdiri terus menerus.
Kerja suatu saat duduk dan suatu saat berdiri.
Kerja perlu menjangkau sesuatu > 40 cm ke depan atau 15 cm diatas landasan.
Berdasarkan hasil penelitian Gempur (2003) bahwa tenaga kerja bubut yang telah
terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi berdiri setengah
duduk tanpa sandaran dan setengah duduk pakai sandaran, menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.
Gambar 15. Posisi duduk
Masalah ergonomi pada posisi duduk
58
Masalah kesehatan apakah yang dapat ditimbulkan akibat posisi duduk seperti
ini? Ternyata, sekitar 60% orang dewasa mengalami nyeri pinggang bawah karena
masalah duduk. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan dengan duduk lama
(separuh hari kerja) dapat menyebabkan hernia nukleus pulposus, yaitu saraf tulang
belakang yang "terjepit" di antara kedua ruas tulang belakang sehingga
menyebabkan nyeri pinggang juga rasa kesemutan yang menjalar ke tungkai sampai
ke kaki. Bahkan, bila keadaan semakin parah, dapat menyebabkan kelumpuhan.
Penyebab sakit nyeri punggung umumnya disebabkan peregangan otot atau
ligamen karena postur tubuh ketika duduk dalam posisi tidak tepat. Nyeri punggung
mulai terasa saat terjadi cedera, atau setelah terjadinya peradangan.
Punggung yang baik memiliki tiga kurva, yaitu pada leher, punggung bagian
atas, dan punggung bagian bawah. Oleh karenanya, otot bagian perut, otot paha, dan
otot kaki harus kuat agar mampu menyangga kurva punggung yang baik.
Punggung juga sangat sensitif terhadap ketegangan otot akibat stress sehari-
hari. Dalam keadaan lemah dan kaku, otot punggung mengalami kejang, sehingga
menyebabkan aliran darah yang mengangkut oksigen menjadi terhambat dan otot
kekurangan oksigen. Akibatnya, penderita mengalami nyeri yang semakin
menyakitkan apabila tidak segera mendapat penanganan dari dokter.
Penyebab lain biasanya akibat penggunaan alas sepatu hak tinggi yang banyak
digunakan oleh wanita, kurang olahraga, cedera dan ketegangan otot, serta proses
penuaan (osteoarthritis) yang menyebabkan bantalan tulang (diskus) keluar dari
tempat yang semestinya dan menghasilkan pertumbuhan tulang baru yang
menimbulkan radang tersendiri dengan disertai rasa nyeri.
Penatalaksanaan yang terbaik pada nyeri punggung pada umumnya
berdasarkan penyebab gangguan itu sendiri. Fisioterapi merupakan salah satu cara
terapi untuk mengatasi masalah nyeri pungggung, di samping kerap pula digunakan
untuk rehabilitasi medik pasien penyakit stroke. Teknik fisioterapi menitikberatkan
pada tujuan untuk menstabilkan atau memperbaiki gangguan fungsi alat gerak atau
fungsi tubuh yang terganggu yang kemudian diikuti dengan proses atau metode
terapi gerak.
Mengenal Struktur Punggung
59
Punggung adalah salah satu organ tubuh yang bekerja nonstop selama 24 jam.
Dalam keadaan tidur pun, punggung tetap menjalankan fungsinya untuk menjaga
postur tubuh. Punggung tersusun dari 24 buah tulang belakang (vertebrae), dimana
masing-masing vertebrae dipisahkan satu sama lain oleh bantalan tulang rawan atau
diskus. Seluruh rangkaian tulang belakang ini membentuk tiga buah lengkung
alamiah yang menyerupai huruf S.
Lengkung paling atas adalah segmen servikal (leher), yang dilanjutkan
dengan segmen toraks (punggung tengah), dan segmen paling bawah yaitu lumbar
(punggung bawah). Lengkung lumbar inilah yang bertugas untuk menopang berat
seluruh tubuh dan pergerakan. Otot punggung ditunjang oleb punggung, perut,
pinggang dan tungkai yang kuat dan fleksibel. Seluruh otot tersebut berfungsi untuk
menahan agar tulang belakang dan diskus tetap dalam posisi normal. Kelemahan
pada salah satu otot akan menambah ketegangan pada otot lain dan akhirnya
menimbulkan masalah punggung. Sedangkan diskus atau bantalan tulang rawan
berfungsi sebagai penahan guncangan ini terdapat di antara vertebrae, sehingga
memungkinkan sendi-sendi untuk bergerak secara halus. Setiap diskus memiliki
bagian tengah seperti bunga karang yang berongga kecil-kecil dan bagian luar yang
keras dan mengandung serat saraf untuk rasa nyeri. Selain itu, juga terdapat cairan
yang mengalir ke dalam dan keluar diskus. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas
sehingga memungkinkan punggung bergerak bebas. Diskus yang sehat bersifat
elastis, sehingga akan mudah kembali ke bentuk semula jika tertekan di antara
kedua vertebrae.
Pada saat tidur, sangat sedikit cairan yang keluar dari diskus. Itulah yang
menyebabkankekakuan otot saat seseorang bangun dari tidur. Gerakan mendadak
yang dilakukan ketika baru bangun tidur dapat mengakibatkan cedera punggung.
60
Gambar 16. Posisi tulang belakang saat duduk
Posisi Duduk yang Baik
Hal-hal yang harus dihindari selama duduk supaya tidak terjadi nyeri
pinggang bawah antara lain jangan duduk pada kursi yang terlalu tinggi, duduk
dengan membengkokkan pinggang, atau duduk tanpa sandaran di pinggang bawah
(pendukung lumbal). Selain itu, selama duduk perlu menghindari duduk dengan
mencondongkan kepala ke depan karena dapat menyebabkan gangguan pada leher,
duduk dengan lengan terangkat karena dapat menyebabkan nyeri pada bahu dan
leher, serta duduk tanpa sokongan lengan bawah karena dapat menyebabkan nyeri
pada bahu dan pinggang.
Buruknya postur tubuh, kegemukan (obesitas) dan gerakan yang kurang tepat
selama bertahun-tahun, akan mengakibatkan kelainan pada otot dan diskus, bahkan
dapat berakibat nyeri punggung yang berkepanjangan.
”Postur tubuh yang baik akan melindungi dari cedera sewaktu melakukan
gerakan karena beban disebarkan merata keseluruh bagian tulang belakang,” ungkap
Barbara Dorsch. Postur tubuh yang baik, lanjut dia, akan dicapai jika telinga, bahu,
dan pinggul berada dalam satu garis lurus ke bawah.
Berdasarkan data British Chiropractic Association, sekitar 32% populasi
dunia menghabiskan waktu lebih dari 10 jam sehari untuk duduk di depan meja
kerja. Separuh dari populasi tenrsebut tidak pernah meninggalkan meja kerja,
bahkan saat makan siang. Sementara itu, dua pertiga populasi menambah porsi
duduk tegak saat berada di rumah.
Duduk dalam posisi tegak 90 derajat, kerap menyebabkan timbulnya
pergerakan sendi belakang sehingga posisi tubuh tidak seimbang. Maka itu, posisi
duduk santai dengan postur miring 135 derajat adalah posisi terbaik. Dalam posisi
61
ini, tulang belakang akan berada dalam posisi ideal, di mana tulang belakang bagian
bawah akan berbentuk seperti huruf S.
Posisi duduk dengan sudut kemiringan 135 derajat akan memperbaiki
sirkulasi darah di bagian bawah tubuh, sehingga dapat terhindar dari gangguan
varises, selulit, dan penggumpalan darah di kaki serta mengurangi kelelahan di kaki.
“Tubuh akan terasa lebih rileks, sehingga mengurangi terjadinya ketegangan otot,”
papar Barbara.
Duduk dengan posisi kemiringan 135 derajat juga akan menghasilkan
mobilitas yang lebih baik, mudah bergerak di atas kursi, dan lebih mudah untuk naik
turun kursi.
Terdata hampir 60% seluruh keluarga di Amerika memakai komputer, dan
lebih dari 80% pekerjaan diselesaikan dengan menggunakan komputer. Keadaan ini,
tidak bisa dipungkiri bahwa berjuta-juta masyarakat Amerika dilanda dengan rasa
sakit yang misterius, yang dihubung-hubungkan dengan pemakaian komputer yang
salah dan berlebihan. Masalah ini umumnya dikenal sebagai Repetitive Strain Injury
atau RSI.
Jika anda memakai komputer secara teratur lebih dari dua jam per hari, jika
anda seorang yang kelebihan berat badan, diabetes atau radang sendi, memiliki
postur tulang belakang yang kurang baik, duduk untuk waktu yang lama, dan
merokok, anda berisiko tinggi mengalami RSI. Gejala RSI sangat tidak kentara
dimana 80% orang mengalaminya, bahkan mereka tidak tahu apa yang mereka
lakukan. Untuk mengetahui apakah anda memilikinya, ada gejala umum yang biasa
menyertai seperti kelelahan, lemah, daya tahan yang menurun, kurang konsentrasi,
tangan dingin, menghindari aktivitas dan olah raga dan lain-lain.
Penempatan kursi, meja, mouse, keyboard dan layar komputer yang benar
akan membantu membuat perubahan dalam mencegah RSI. Berikut beberapa tips
yang dapat membebaskan anda dari RSI.
Berikut ini hal-hal penting yang harus diperhatikan:
- Posisi paha horizontal, sejajar dengan lantai
- Posisi telapak kaki menapak ke tanah. Bila tidak, berarti posisi duduk Anda
terlalu tinggi.
- Bantalan kursi menopang punggung bagian bawah, sehingga punggung tetap
tegak.
62
- Rubah posisi duduk Anda secara berkala selama bekerja, karena duduk dalam
posisi yang tetap dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan ketidaknyamanan.
- Punggung santai tapi tidak membungkuk, kepala tak membungkuk atau terlalu
condong ke depan.
Monitor
- Pastikan layar monitor dalam kondisi bersih, sehingga tak ada noda yang
menghalangi pandangan mata.
- Atur setelan brighthness dan kontras layar secukupnya sehingga nyaman bagi
mata.
- Atur posisi tak layar monitor agar tak memantulkan cahaya yang menyilaukan
mata.
- Atur posisi bagian atas layar sejajar atau sedikit di bawah pandangan mata.
- Jarak antara mata ke layar antara 50-60 cm.
Posisi Meja
- Letakkan keyboard pada posisi yang membuat lengan terasa rileks
- Posisi siku dengan meja membentuk sudut 90 derajat
- Pergelangan tangan pada posisi netral, lurus dan nyaman
- Saat mengetik, pergelangan tangan berada pada posisi yang tetap, namun bisa
menjangkau tombol keyboard dengan jari
- Tempatkan mouse dekat dengan keyboard, sehingga tak perlu menggerakan
tangan terlalu jauh untuk meraihnya
Gambar 17. Posisi duduk pekerja dengan monitor
63
Istirahat dan ganti posisi
Jalan-jalan sebentar dapat mengurangi stress dan ketegangan pada otot
dengan meregangkan badan. Anda akan merasakan perbedaan yang besar pada badan
anda.
Gambar 18. Posisi duduk saat menjahit
Dalam merancang sistem kerja yang ergonomis hal – hal berikut perlu
diperhatikan, atara lain:
1. Ketinggian Kerja (Working Heights)
Dimensa-dimensa yang dipertimbangkan dalam merancang sistem kerja
secara ergonomi meliputi data antropometri, data pola prilaku kerja dan
persyaratan spesifik pekerjaan.
Ketinggian kerja, misalnya tinggi meja kerja, merupakan faktor yang
menentukan dalam merancang tempat kerja. Kalau meja kerja terlalu tinggi maka
pekerja akan mengalami hambatan misalnya pekerja harus menaikkan bahu pada
saat bekerja atau dengan kata lain posisi bahu tidak berada dalam posisi normal.
Posisi bahu seperti bahu seperti ini pada suatu waktu akan mengakibatkan rasa
sakit di leher dan bahu si pekerja. Sebaliknya jika ukuran meja kerja terlalu
pendek maka pekerja harus membungkuk dan ini akan menimbulkan rasa sakit
pada bagian punggung. Oleh karena itu, ketinggian meja kerja perlu disesuaikan
dengan ukuran tinggi pekerja baik dalam posisi saat kerja dalam keadaan duduk
ataupun berdiri.
Berdasarkan data antropometri, maka ukuran tinggi meja kerja yang cocok
dapat digambarkan yaitu pekerja dengan posisi duduk tinggi meja berkisar
diantara 50 – 100 mm dibawah siku. Rata – rata tinggi siku (jarak dari lantai
64
dengan siku dimana lengan atas dalam posisi vertikal) adalah 1050 mm untuk
pria dan 980 mm untuk wanita. Dapat disimpulkan bahwa tinggi meja kerja
adalah berkisar 950 – 1000 mm untuk pekerja pria dan 880 – 930 mm untuk
wanita.
Dikaitkan dengan karakteristik pekerjaan direkomendasikan secara ergonomi:
a. Untuk pekerjaan yang halus (dedicate) misalnya menggambar, maka
dianjurkan agar siku diletakkan pada meja kerja. Hal ini dimaksudkan agar
mengurangi beban statis pada otot bagian belakang. Meja kerja yang cocok
untuk pekerjaan ini adalah meja dengan ukuran 50 – 100 mm berada di atas
siku.
b. Pada pekerjaan manual dimana operator membutuhkan tempat di meja untuk
peralatan, bahan dan berbagai kontainer maka ukuran meja kerja yang cocok
adalah meja dengan ukuran 100 – 150 mm berada dibawah siku.
c. Untuk pekerjaan berat yang membutuhkan kekuatan tnaga badan bagian atas
yang relatif besar misalnya pekerjaan kayu atau merakit produk ukuran besar /
berat maka ukuran meja kerja yang cocok adalah 150-400 mm berada di
bawah siku.
Rekomendasi ini berlaku untuk ukuran tinggi rata-rata. Untuk pekerja dengan
ukuran tubuh yang lebih pendek atau lebih tinggi dari ukuran tinggi rata-rata maka
meja kerja tersebut memerlukan penyesuaian-penyesuaian yang tergantung kepada
kondisi dan barangkali kemampuan finansial dari perusahaan atau orang yang
menggunakan meja kerja tersebut. Kalau mungkin bisa saja dirancang suatu meja
kerja yang dapat disesuaikan setiap saat sesuai dengan ukuran pekerja yang
menggunakan.
Hasil penelitian Gandjean dan Burandt terhadap pekerja kantor yang bekerja
secara tradisional (261 orang pekerja pria dan 117 pekerja wanita) mengemukakan
bahwa terdapat hubungan antara tinggi meja kerja dengan perasaan sakit pada otot.
Dalam penelitian ini dilakukan juga sampling pekerja untuk mendapatkan posisi
pekerja pada saat duduk. Hasil pengamatan 4920 kali, dapat digambarkan sebagai
berikut:
Posisi Duduk Pekerja Jumlah Pekerja**)
65
Duduk pada ujung tempat duduk 15%
Duduk pada pertengahan tempat duduk 52%
Duduk pada bagian belakang tempat duduk 33%
Duduk sambil bersandar 42%
Duduk sambil tangan berada diatas meja 40%
**) Presentase melebihi 100% karena ada pekerja duduk dengan lebih dari satu
posisi yang diamati.
Hasil penelitian selanjutnya menunjukan bahwa rasa sakit yang dirasakan oleh
pekerja dengan kondisi tersebut yaitu :
Bagian Tubuh Yang Sakit Jumlah Pekerja
Kepala 14%
Leher/bahu 24%
Punggung 57%
Bagian belakang pinggul (buttocks) 16%
Paha 19%
Lutut/kaki 29%
Hubungan antara tinggi meja dengan rasa sakit pekerja berdasarkan dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa :
a. Sebanyak 24% dari pekerja pengetikan menyatakan rasa sakit pada leher dan bahu
karena meja mereka gunakan menurut mereka terlalu rendah.
b. Rasa sakit pada bagian lutut oleh 24% dari pekerja yang diamati. Sebagian besar
pekerja yang diamati ini bertubuh pendek dan pada umumnya mereka duduk pada
bagian ujung depan. Dari tempat duduk dan tidak menggunakan pengganjal kaki.
c. Ukuran meja yang paling tepat menurut pekerja adalah ukuran meja dengan tinggi
sekitar 740-780 mm dan lebih baik meja tersebut dapat disesuaikan dan
disediakan pengganjal kaki untuk pekerja yang bertubuh pendek.
d. Secara umum pekerja menyatakan jarak kursi dengan bagian atas meja adalah
sekitar 270 – 300 mm.
e. Perasaan sakit pada punggung yang dirasakan oleh 57% dari pekerja yang diamati
dan 42% dari pekerja sering menggunakan sandaran, hal ini menunjukan perlunya
66
secara periodik bagian punggung untuk istirahat dan untuk ini perlu direncanakan
sandaran kursi yang baik.
Berdasarkan uraian diatas rekomendasi ergonomi terhadap rancangan meja
kerja kantor dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Meja kerja tanpa menggunakan mesin tik tinggi meja 740-780 mm untuk pria dan
700 – 740 mm untuk wanita dengan asumsi kursi yang digunakan dapat
disesuaikan dan tempat pengganjal kaki disediakan.
b. Agar kaki dapat bergerak bebas maka lebar horizontal tempat kaki di bawah meja
sebaiknya 680 mm sedangkan tinggi vertikal 690 mm.
c. Untuk meja dengan mesin tik, maka ukuran tinggi yang dianjurkan adalah 650
mm.
Tinggi meja yang direkomendasikan dengan mempertimbangkan sifat
pekerjaan dilakukan sambil dudukdapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel Ukuran Tinggi Meja Pekerjaan ( Pekerja pada posisi duduk)
Suatu tempat kerja yang memungkinkan operator dapat bekerja kadang-
kadang duduk dan kadang-kadang sangatlah direkomendasikan ditinjau dari segi
fisiologik dan orthopedik.
67
Tipe PekerjaanTinggi Meja (mm)
Pria Wanita
Membutuhkan ketelitian 900-1100 800 – 1000
Membaca dan menulis 740-780 700-740
Kerja manual butuh tenaga atau
tempat peralatan
680 650
Ketikan 600-700 600-700
Gambar 19. Data anthropometri untuk perancangan produk atau fasilitas (Sumber: Wignjosoebroto S., 2000)
Keterangan gambar, yaitu:
1 = dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai dengan ujung kepala)
2 = tinggi mata dalam posisi berdiri tegak
3 = tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak
4 = tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)
5 = tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam
gambar tidak ditunjukkan)
6 = tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk pantat sampai
dengan kepala)
7 = tinggi mata dalam posisi duduk
8 = tinggi bahu dalam posisi duduk
9 = tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus)
10 = tebal atau lebar paha
11 = panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut
12 = panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan. bagian belakang dari lutut
atau betis
68
13 = tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk
14 = tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha
15 = lebar dari bahu (bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk)
16 = lebar pinggul ataupun pantat
17 = lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam
gambar)
18 = lebar perut
19 = panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi
siku tegak lurus
20 = lebar kepala
21 = panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari
22 = lebar telapak tangan
23 = lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan
(tidak ditunjukkan dalam gambar)
24 = tinggi jangkauan tangan dalma posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai
dengan telapak tangan yang terjangkau lurus keatas (vertikal)
25 = tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya nomor
24 = tetapi dalam posisi duduk (tidak ditunjukkan dalam gambar)
26 = jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan diukur dari bahu sampai ujung
jari tangan
69
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil kunjungan, diketahui bahwa perusahaan PT. BBI
merupakan salah satu produsen pakaian jadi yang memiliki pasar cukup luas di
Indonesia dan sebagian besar hasil produksinya diekspor ke negara-negara tetangga.
Tahap awal yang telah dilakukan adalah pengenalan lingkungan kerja sesuai
dengan hasil tinjauan pada saat kunjungan. Dilanjutkan dengan evaluasi lingkungan
kerja untuk mendeteksi potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul dan menentukan
prioritas masalah. Pada akhirnya dapat ditentukan pengendalian lingkungan yang
bertujuan untuk mencegah efek yang merugikan kesehatan yang juga dapat diusulkan
pada perusahaan terkait.
Dari alur produksi, diketahui bahwa terdapat 11 simpul, yaitu inspeksi bahan,
pembuatan pola, cutting, quality control pola, matching of numbering, pembuatan
manset, interlining, sewing, finishing, quality control pakaian jadi ,ironing, packing.
Dari 11 simpul ini, terlihat beberapa potensi-potensi bahaya yang ditemukan selama
proses produksi, antara lain hazard Fisik, Kimia, Ergonomi, dan Psikologi. Dari
beberapa potensi bahaya ini, terdapat satu potensi bahaya yang hampir selalu ada pada
setiap titik alur produksi, yaitu debu kain. Hal ini dapat dipahami, karena perusahaan
ini bergerak di bidang tekstil dimana objek produksinya berbahan baku yang terbuat
dari kapas. Selain itu, potensi bahaya fisik lain yang tampak, adalah bising dan
vibrasi. Masalah ini tampak sangat menonjol di bagian cutting dimana menggunakan
mesin yang suara mesinnya berukuran 84 dB. Dan terdapat juga masalah pada bagian
finishing karena menggunakan mesin kebut. Dari pengamatan kami, pada keseluruhan
proses produksi di PT.BBI ini, cenderung memiliki potensi bahaya psikologis yang
cukup tinggi, karena aktivitas pekerjaan di perusahaan ini bersifat repetitif, sehingga
meningkatkan kemungkinan kejenuhan dan rasa stress para pegawai.
Pihak perusahaan cukup memberikan perhatian dan usahanya pada beberapa
bahaya potensial yang mungkin timbul dalam proses-proses produksi. Beberapa upaya
yang telah dilakukan oleh perusahaan kepada para pegawai adalah dengan
memberikan alat pelindung diri, misalnya masker yang terbuat dari kain yang diganti
kurang lebih tiap 3 hari sekali, sarung tangan yang terbuat dari metal untuk para
70
pekerja yang bekerja memotong bahan, dan penutup telinga untuk para pegawai yang
menggunakan mesin kebut dengan intensitas bunyi yang cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kesehatan para pekerja sudah cukup
baik, namun masih terlihat adanya beberapa pegawai yang tidak disiplin dalam
menggunakan alat pelindung diri. Keadaan seperti ini sebagian besar disebabkan
karena rasa malas dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dari para pegawai
tersebut, sehingga alat pelindung diri yang tersedia tidak digunakan secara optimal.
Untuk mengatasi masalah kesehatan kerja yang mungkin terjadi, PT. BBI
menyediakan sebuah poliklinik di dalam lokasi kerja yang berada di lantai 2.
Idealnya, untuk perusahaan yang memiliki jumlah karyawan lebih dari 500 orang,
minimal harus mempunyai 1 orang dokter perusahaan yang selalu ada setiap hari
dengan jam kerja 6 jam/hari. Dokter perusahaan biasanya dibantu oleh sedikitnya 2
perawat yang juga selalu ada setiap harinya. Dan juga disetiap bagian-bagian produksi
mempunyai kader-kader kesehatan yang sudah terlatih sebagai perpanjangan tangan
dokter. Untuk PT. BBI sendiri, petugas pelayanan kesehatan yang terdapat adalah 1
orang perawat yang selalu ada setiap hari dengan 3 orang kader kesehatan yang tidak
memiliki latar belakang medis, namun diberikan pelatihan khusus untuk membantu
memberikan P3K. Di dalam perusahaan PT.BBI sendiri tidak terdapat dokter
perusahaan, namun jika terdapat karyawan yang membutuhkan rujukan atau
pemeriksaan lebih lanjut, dilakukan pemeriksaan di dokter Poliklinik yang terletak ±
500 m dari perusahaan. Di poliklinik tersebut terdapat pelayanan dokter umum, dokter
gigi dan tempat pemeriksaan laboratorium.
Dari data penyakit dan kecelakaan kerja yang tercatat oleh poliklinik
perusahaan tahun 2010, kecelakaan kerja paling banyak terjadi adalah tergunting.
Bagian tubuh yang sering cidera adalah jari tangan. Dan pada bagian produksi,
kejadian tergunting yang sering terjadi adalah ketika proses cutting yang
menggunakan gunting secara manual. Belum ada pencegahan yang dilakukan selama
ini. Ketika proses menggunting, karyawan tidak menggunakan alat pelindung jari.
Menurut kepala bagian, pelindung tangan untuk proses manual tidak disediakan. Alat
perlindungan tangan yang disediakan hanya untuk pekerjaan dengan menggunakan
mesin. Untuk jenis kecelakaan kedua terbanyak adalah kejadian tertusuk jarum.
Bagian tubuh yang terkena biasanya adalah jari dan bagian produksi yang sering
mengalami kejadian ini adalah sewing. Selama ini, belum ada pencegahan untuk
kejadian ini juga, para pegawai tidak menggunakan pelindung jari saat proses
71
memasukan jarum atau menjahit. Menurut kepala bagian, alat pelindung diri telah
disediakan meskipun jumlahnya terbatas. Kecelakaan kerja yang terbanyak ketiga
adalah terkena setrika atau solder. Bagian tubuh yang sering terkena adalah telapak
tangan dan bagian produksi yang sering mengalami kejadian ini adalah bagian reksi.
Pencegahan pada bagian ini yang dilakukan oleh perusahaan sudah ada dan menurut
kepala bagian pelindung tangan seperti sarung tangan memang disediakan tapi
kebanyakan para karyawan tidak menggunakan sarung tangan tersebut. Sedangkan
untuk kecelakaan terbanyak keempat dan kelima adalah tangan terjepit mesin dan
tangan tertusuk obeng. Bagian poduksi yang sering mengalami kejadian ini adalah
pada bagian interlining dan bagian perbaikan mesin.
Untuk jenis penyakitnya sendiri, batuk atau pilek dan alergi menempati urutan
penyakit pertama dan kedua yang sering dialami oleh pegawai. Dilihat dari hubungan
antara industri pakaian yang sarat akan debu, maka wajar bila kedua penyakit ini
merupakan penyakit yang paling banyak dialami oleh para pegawai. Pihak poliklinik
menjelaskan bahwa masker telah disediakan oleh perusahaan untuk pegawai, namun
masih banyak pegawai yang malas menggunakannya, sehingga penyakit terbanyak
masih diduduki oleh batuk, pilek dan alergi. Untuk urutan ketiga penyakit yang sering
dialami pegawai adalah penyakit pusing. Pusing yang dialami oleh pegawai dapat
disebabkan oleh hazard bising yang terdengar secara terus-menerus selama bekerja
dan memang belum ada pemisahan area untuk titik produksi yang memiliki tingkat
bising yang tinggi. Sedangkanpenyakit keempat tersering adalah penyakit pegal dan
maag. Penyakit pegal dapat disebabkan oleh posisi sewaktu bekerja yang tidak
nyaman atau pekerjaan yang bersifat repetitive. Pegal sangat erat kaitannya dengan
potensi bahaya ergonomis pada tiap proses produksi. Pihak poliklinik menyebutkan
bahwa keluhan pegal sering timbul pada pegawai yang bekerja pada bidang sewing
karena posisi duduk yang terlalu lama. Dan jika dilihat dari waktu, pada bulan Mei
tercatat keluhan pegal yang paling banyak, yaitu sebanyak 26 orang. Menurut
pendapat kepala bagian, hal ini disebabkan karena jumlah pemesanan dan pekerjaan
yang banyak pada bulan tersebut.
Selanjutnya akan dibahas lebih dalam mengenai aspek ergonomis yang
terdapat pada masing-masing lingkungan kerja. Pada pembahasan khusus ini akan
dibahas lebih terperinci perihal ergonomis posisi duduk pada pegawai PT. BBI di
masing-masing bagian kerjanya. Untuk lingkungan kerja yang tidak ditemukan
masalah ergonomik posisi duduk tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut.
72
Pembuatan Pola
Proses pembuatan pola secara manual dalam posisi duduk. Dari hasil
pengamatan, terlihat bahwa kursi pekerja pada pembuatan pola ini tidak
menggunakan sandaran, dan terbuat dari kayu tanpa adanya bantalan sehingga kurang
nyaman. Potensial bahaya aspek ergonomis pada proses ini adalah terdapat
ketidaksesuaian antropometri pekerja dengan meja dan kursi yang digunakan. Hal ini
dapat dilihat pada gambar sebelumnya, terlihat bahwa posisi duduk yang terlalu tinggi
dan kaki pegawai menggantung. Dari hasil kunjungan, didapat ukuran tinggi meja
adalah 75 cm, sedangkan menurut literature yang ada, ukuran tinggi meja yang ideal
untuk aktivitas yang membutuhkan ketelitian tinggi adalah 90-110 cm bagi pekerja
laki-laki.
Pada gambar sebelum juga terlihat sudut atau jarak yang dibentuk oleh siku
dan meja yang terlalu jauh, yaitu melebihi 10 cm. Pekerja juga terlihat agak
membungkuk karena berusaha mencapai daerah jangkauan yang cukup luas.
Pada proses pembuatan pola yang menggunakan komputer, memiliki tingkat
potensial bahaya yang lebih sedikit dibanding secara manual. Pada bagian ini, posisi
pekerja adalah duduk di atas kursi dengan bantalan cukup nyaman dan memiliki
sandaran.
Dari hasil pengamatan posisi duduk, posisi duduk pekerja kurang ergonomis,
terlihat dari posisi siku yang lebih rendah dari meja. Sebenarnya, hal ini dapat diatasi
dengan sedikit meninggikan posisi duduk. Cara ini secara tidak langsung juga dapat
mengatasi masalah posisi pekerja yang membungkuk. Ini dikarenakan posisi duduk
yang terlalu rendah dibandingkan dengan posisi meja dan layar komputer.
Proses Sewing
Pada proses sewing, terdiri dari kurang lebih 100 pekerja. Bahaya potensial
ergonomi yang nampal adalah posisi duduk yang lama dengan posisi badan setengah
membungkuk. Gangguan kesehatan yang dapat timbul dalam posisi seperti ini adalah
gangguan musculoskeletal dan low back pain.
Berdasarkan pengamatan secara langsung dan hasil evaluasi lingkungan kerja
diperoleh data bahwa pada aspek ergonomi terdapat faktor resiko gangguan ergonomi,
yaitu posisi duduk yang lama dengan posisi membungkuk dan posisi statis yang lama.
Pekerjaan dalam posisi statis sebenarnya lebih berbahaya dibandingkan
pekerjaan dengan gerakan dinamis, karena berkaitan dengan sirkulasi darah yang
73
berkurang. Namun jika tenaga hanya sekitar 20%, aliran darah masih dapat
dipertahankan normal.
Masalah kesehatan apakah yang dapat terjadi karena posisi duduk ini. Sekitar
60% orang dewasa mengalami nyeri pinggang bawah karena masalah duduk. Suatu
penelitian di sebuah rumah sakit menunjukkan bahwa pekerjaan dengan duduk lama
(separuh hari kerja) dapat menyebabkan hernia nukleus pulposus, yaitu saraf tulang
belakang "terjepit" di antara kedua ruas tulang belakang dapat menyebabkan selain
nyeri pinggang juga rasa kesemutan yang menjalar ke tungkai sampai ke kaki. Bahkan
jika parah, dapat menyebabkan kelumpuhan.
Mengapa duduk lama dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah. Duduk lama
dengan posisi yang salah menyebabkan otot-otot pinggang menjadi tegang dan bisa
merusak jaringan lunak sekitarnya. Bila kejadian ini berlanjut terus-menerus, dapat
menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang berakibat menjadi
hernia nukleus pulposus.
Jika tekanan pada bantalan saraf pada orang berdiri dianggap 100%, maka
pada orang yang duduk tegak menyebabkan tekanan pada bantalan saraf sebesar
140%. Tekanan ini menjadi lebih besar lagi menjadi sekitar 190% bila duduk dengan
posisi badan membungkuk ke depan. Namun, pada orang yang duduk tegak, dapat
lebih cepat letih karena otot-otot punggungnya lebih tegang. Sementara orang yang
duduk membungkuk kerja otot memang lebih ringan, tetapi tekanan pada bantalan
saraf menjadi lebih besar. Setelah duduk selama 15-20 menit, otot-otot punggung
biasanya mulai letih. Maka, mulai dirasakan nyeri pinggang bawah.
Jika merasakan adanya nyeri pinggang bawah, hal pertama yang harus
dilakukan adalah berdiri. Berelaksasi setiap 20-30 menit juga sangat penting untuk
mencegah ketegangan otot. Berdiri dan meluruskan pinggang bawah beberapa kali
juga dapat sangat menolong. Jalan-jalan satu jam sekali juga sangat menolong
mengurangi ketegangan otot. Hal-hal yang harus dihindari waktu duduk agar tidak
terjadi nyeri pinggang bawah antara lain adalah jangan duduk di kursi yang terlalu
tinggi, jangan duduk dengan membengkokkan pinggang, atau duduk tanpa sandaran
di pinggang bawah (pendukung lumbal).
Selain itu, perlu menghindari duduk dengan mencondongkan kepala ke depan
karena dapat menyebabkan gangguan pada leher, duduk dengan posisi lengan yang
74
terangkat juga dapat menyebabkan nyeri pada bahu dan leher, serta duduk tanpa
sokongan lengan bawah dapat menyebabkan nyeri pada bahu dan pinggang.
Bagaimanakah duduk yang benar, Sebaiknya duduk dengan posisi punggung
lurus dan bahu berada di belakang serta bokong menyentuh belakang kursi. Seluruh
lengkung tulang belakang harus terdapat selama duduk. Caranya, duduklah di ujung
kursi dan bungkukkan badan seolah terbentuk huruf C. Setelah itu, tegakkan badan
buatlah lengkungan tubuh sebisa mungkin. Tahan untuk beberapa detik kemudian
lepaskan posisi tersebut secara ringan (sekitar 10 derajat).
Posisi duduk seperti inilah yang terbaik. Duduklah dengan lutut tetap setinggi
atau sedikit lebih tinggi panggul (gunakan penyangga kaki bila perlu) sebaiknya
kedua tungkai tidak saling menyilang. Jaga agar kedua kaki tidak menggantung.
Hindari duduk dengan posisi yang sama lebih dari 20-30 menit.
Selama duduk, istirahatkan siku dan lengan pada kursi atau meja, jaga bahu tetap
rileks.
Bila duduk dengan kursi beroda dan berputar, jangan memutarkan pinggang
selama duduk, sebaiknya putarkan seluruh tubuh. Bila berdiri dari posisi duduk,
usahakan berdiri dengan meluruskan kedua tungkai.
Hindari membungkukkan badan ke depan pinggang, segera luruskan
punggung dengan melakukan 10 kali gerakan membungkukkan badan selama berdiri.
Selain tindakan pencegahan tersebut di atas, yang terpenting adalah perlu adanya
program kegiatan olahraga senam untuk mengurangi maupun mencegah nyeri
pinggang bawah pada setiap pekerja sebelum memulai hari kerjanya.
Di samping itu, hal penting lain yang tidak boleh dilupakan adalah desain
kursi yang ergonomis. Perusahaan LA Times mengurangi kerugian jutaan dollar AS
akibat nyeri pinggang bawah, leher, bahu, dan pergelangan tangan di antara pekerjaan
sebesar 50 persen, dengan memperbaiki sistem ergonomi (antara lain desain kursi
yang sesuai dan sikap duduk) dan sering istirahat. Sikap duduk yang benar adalah
pertama duduk dengan sikap membungkuk ekstrem. Kemudian setelah beberapa
detik, secara perlahan tegakkan punggung dan lengkungkan. (Jangan
mempertahankan terlalu lama posisi ini karena dapat menyebabkan ketegangan otot
punggung). Kemudian, relaksasikan lengkung lumbal sekitar 10 persen agar sikap
tubuh benar. Bekerjalah dengan sikap seperti ini selama duduk.
Secara garis besar pada perusahaan PT. BBI ini masih ditemukan masalah-
masalah pada aspek ergonomi yang perlu diperbaiki untuk dapat memaksimalkan
75
potensi pekerja, dan dibutuhkan analisis lebih lanjut baik melalui wawancara
langsung pada pekerja maupun pemeriksaan fisik sederhana untuk mengetahui ada
tidaknya gangguan terkait aspek ergonomik pada para pekerja PT. BBI.
BAB V
KSEIMPULAN DAN SARAN
76
5.1. KESIMPULAN
1. Terdapatnya bahaya potensial fisik, kimia, ergonomi, dan psikososial terhadap
kesehatan dan keselamatan pekerja PT.Bina Busana Internusa.
2. Bahaya potensial yang dominan pada PT.Bina Busana Internusa ini adalah bahaya
potensial ergonomik yang erat kaitannya dengan posisi duduk yang lama dan statis.
3. Bahaya potensial fisik yang paling sering muncul adalah paparan debu, hampir pada
seluruh bagian alur produksi, kemudian diikuti dengan bahaya bising, khusunya
pada alur finishing. Kecelakaan kerja yang sering terjadi adalah tertusuk jarum dan
tergunting.
4. Salah satu masalah kesehatan yang sering timbul pada berbagai fase produksi akibat
bahaya potensial ergonomi adalah penyakit musculoskeletal akibat terdapatnya gaya
statis yang terlalu lama saat duduk ditambah dengan posisi yang kurang nyaman
pada bantalan tempat duduk para pegawai yang terlalu keras tanpa sandaran.
5. Penyakit musculoskeletal dapat mengganggu kinerja karyawan dan dalam jangka
waktu yang lama sehingga dapat menjadi masalah yang serius.
6. Masalah - masalah yang timbul antara lain, kurangnya kesesuaian antara desain dan
ukuran alat-alat kerja/mesin dengan antropometri tubuh pegawai, sehingga
menyebabkan timbulnya potensi bahaya masalah muskuloskeletal. Salah satu
penyebab masalah ini adalah perusahaan membeli peralatan kerja
(meja,kursi,mesin) tanpa penyesuaian dengan ukuran antropometri pegawai, serta
tidak memilih alat kerja yang ukurannya dapat diatur/diubah-ubah sesuai pengguna.
7. Pada dasarnya pengendalian masalah ergonomi yang terjadi di perusahaan ini belum
dapat diatasi secara optimal. PT. BBI memiliki sebuah poli klinik dimana hanya
terdapat 1 orang perawat beserta 3 orang kader kesehatan yang membantu, dan tidak
terdapat dokter umum. Hal ini dinilai kurang dan tidak sesuai dengan ukuran
perusahaan yang pegawainya telah mencapai kurang lebih 500 orang .
5.2. SARAN
5.2.1. Kepada Pekerja
1. Menghindari posisi bekerja duduk yang tidak tegak dan dalam keadaan statis
terlalu lama.
2. Menghindari posisi duduk dengan kaki yang menggantung.
77
3. Menyediakan sandaran punggung yang nyaman pada setiap bangku dan
mendesain tempat duduk dan lingkungan kerja sehingga sandaran punggung
tersebut dapat memberikan kesempatan istirahat yang maksimal.
4. Menggunakan alat pelindung diri dan alat kerja yang telah disediakan dengan
benar.
5. Perlu dibudayakan olah raga pagi bersama minimal 1 kali seminggu atau
setidaknya melakukan stretching sebelum mulai bekerja dan mengganti posisi
saat bekerja setiap 30 menit untuk menghindari terjadinya kelelahan otot.
5.2.2. Kepada Perusahaan
1. Upaya preventif, meliputi pemeriksaan kesehatan berkala, penyerasian manusia
dengan mesin dan alat kerja ,perlindungan diri terhadap pekerjaan.
2. Upaya promotif, meliputi pelatihan tenaga kerja dan penyuluhan, pemeliharaan
tempat, cara dan lingkungan kerja serta olah raga fisik dan rekreasi.
3. Perlu dilakukan perubahan desain peralatan kerja sesuai dengan standart
ergonomi yang baik contohnya dengan menyediakan kursi/bangku yang
memiliki sandaran yang ergonomis. Hal ini mungkin dapat dicapai dengan jalan
memesan secara khusus peralatan kerja sehingga ukurannya bisa disesuaikan.
4. Sesuaikan ketinggian kerja bagi setiap pekerja pada ketinggain siku atau sedikit
dibawahnya.
5. Sediakan kursi dimeja tempat bekerja harus melakukan tugas yang memerlukan
ketelitian atau pemeriksaan rinci terhadap bahan kerja. Juga tempat berdiri bagi
pekerja yang memerlukan gerakan badan dan tenaga lebih besar. Harus tersedia
ruangan yang cukup dibawah meja untuk kaki.
6. Benda-benda diatas meja harus dalam posisi yang sesuai agar mudah dicapai
dan tidak terlalu padat.
7. Biarkan para pekerja untuk sering melakukan pekerjaan duduk dan pekerjaan
berdiri secara bergantian.
8. Sediakan kursi atau bangku untuk pekerja yang berdiri, agar sekali-kali diberi
kesempatan untuk duduk.
9. Sebaiknya dilakukan pengaturan jam kerja dan rotasi kerja secara berkala untuk
meminimalisir bahaya potensial ergonomi yang dapat terjadi.
10. Perbanyaklah dan peliharalah sistem ventilasi untuk mendapatkan kualitas udara
yang lebih baik ditempat kerja.
78
11. Libatkanlah pekerja dalam rancangan tempat kerjanya.
5.2.3. Kepada Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia
Perlunya pengawasan yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan program
keselamatan dan kesehatan kerja pada setiap perusahaan di Indonesia.
79