perspektif sosiologi kewarganegaraan dalam kasus kesetaraan penyandang disabilitas

17
Page | 1 Kesetaraan Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Hak Sebagai Warga Negara di Bidang Hukum Disusun oleh : TASYA ANDIANA PUTRI Sosiologi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Upload: tasya-andiana-putri

Post on 05-Apr-2017

272 views

Category:

Education


4 download

TRANSCRIPT

Page | 1

Kesetaraan Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh

Hak Sebagai Warga Negara di Bidang Hukum

Disusun oleh :

TASYA ANDIANA PUTRI

Sosiologi Pembangunan

Fakultas Ilmu Sosial

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Page | 2

Perempuan Disabilitas Sulit Dapatkan Keadilan dalam Hukum

Eky Wahyudi, CNN Indonesia

Selasa, 30/06/2015 22:00 WIB

Sejumlah penyandang disabilitas mengikuti rangakaian acara Hari Disabilitas, yang diselenggarakan oleh Dinas

Sosial DKI Jakarta, Rabu, 10 Desember 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia -- Keadilan masih sulit didapatkan bagi perempuan penyandang disabilitas ketika menghadapi proses hukum. Banyak dari korban penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya karena diskriminasi yang mereka terima dan status mereka yang dianggap tidak cakap hukum.

Menurut Siti Mazumah, koordinator pelayanan hukum LBH APIK Jakarta, pada 2014 lembaganya mendampingi enam kasus perkosaan yang dialami perempuan disabilitas. Dari jumlah tersebut hanya satu kasus disabilitas anak yang sampai putusan di pengadilan. Kebanyakan dari korban menarik proses hukumnya kembali.

"Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika keluarga tidak menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya, korbannya tetap merasakan penderitaannya," kata Zuma sapaan Siti Mazumah, pada Selasa (30/6).

Zuma mengatakan perempuan korban disabilitas mengalami berbagai hambatan dan kesulitan dalam memberikan kesaksian, seringkali kesaksian mereka diragukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu mereka juga kerap mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak mulai dari pelaku kejahatan hingga aparat penegak hukum. "Diamnya seorang disabilitas itu beda. Mungkin intimidasi yang dilakukan penyidik itu tidak dianggap intimidasi, tapi bagi mereka itu merupakan intimidasi," kata Zuma.

Selain tidak cakap hukum, kendala bagi penyandang disabilitas mendapatkan keadilan adalah ketiadaan penerjemah memadai dalam proses pengadilan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) pasal 178 tercatat penyediaan penerjemah hanya diperuntukan bagi disabilitas jenis tuna wicara dan tuna rungu pada proses kesaksian di pengadilan menyebabkan kepolisian tidak menyediakan penerjemah dalam proses hukum penyandang disabilitas.

Zuma mengatakan KUHAP yang ada juga belum mengakomodir kepentingan disabilitas jenis lain seperti pengidap gangguan mental dan intelektual, tuna netra, gangguan perilaku dan hiperaktivitas (ADHO), bipolar, gangguan kesehatan jiwa serta tuna grahita untuk mendapatkan hak akses penerjemah.

Zuma mengatakan akses penerjemah sangat penting karena banyak kasus yang tidak berjalan karena tidak ada psikolog serta penerjemah. Korban penyandang disabilitas juga dianggap tidak cakap hukum sehingga keteragan-keterangan yang diberikan mudah dipatahkan.

Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-

disabilitas-sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/

Page | 3

DAFTAR ISI

ARTIKEL BERITA………..………………………………………………………………..1

DAFTAR ISI..……………………..…………………………………………………………2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3

1.1 Latar Belakang………………………...………………………….....…………...…..........3

1.2 Rumusan Masalah……………………...…………………………….....……...………….4

BAB II KAJIAN TEORI..……………………………………………....…………………...5

2.1 The Other atau Sang Lain……………………...……………………….......……………...5

2.2 Tiga Modus Objektivikasi Subjek……………………………………………....…………6

2.3 Governmentality dan Bio-Power………………………………………………...………..6

2.4 Premis Teori.......................................................................................................6

BAB III PEMBAHASAN.…………………….………………..………………………….…7

3.1 Penyandang Disabilitas sebagai The Other ………………………………..…..………….7

3.2 Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011…………………..............9

3.3 Subyektifikasi Penyandang Disabilitas Tergolong Kedalam Tiga Modus…………...….10

3.4 Upaya Pemerintah Dalam Mewujudkan Kesetaraan Hukum Bagi Penyandang

Disabilitas………………………………………………………………………………...12

BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………………13

4.1 Kesimpulan………………………………………………………………………...…….13

4.2 Saran……………………………………………………………………………....……...14

DAFTAR PUSTAKA………………………………………...……………………….…….17

Page | 4

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Perempuan penyandang disabilitas sering mendapat ketidakadilan baik dalam bidang

pendidikan maupun dalam bidang hukum. Perempuan penyandang disabilitas dengan

keterbatasan yang dimilikinya sering mendapat perlakuan intimidasi sehingga dalam proses

hukum tidak sampai ke pengadilan. Perempuan penyandang disabilitas sering dianggap tidak

memberikan kesaksian yang benar dengan keterbatasan mereka sehingga hakim sulit

membuat keputusan pengadilan. Oleh sebab itu, banyak dari korban disabilitas seperti korban

pemerkosaan yang tidak mendapat keadilan karena proses hukum tidak selesai sampai ke

pengadilan. Belum lagi penyandang disabilitas juga sering mendapat intimidasi dari pelaku.

Kesaksian dari korban penyandang disabilitas mudah dipatahkan. Oleh sebab itu,

banyak dari korban perempuan penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya

kembali sehingga mereka tetap dalam penderitaan yang berkepanjangan. Keterbatasan yang

mereka alami dalam proses hukum adalah kesaksian mereka yang sulit atau kurang diterima

oleh aparat penegak hukum. Dalam poses hukum korban penyandang disabilitas sangat

membutuhkan penerjemah yang dapat mengerti maksud ucapan mereka dalam memberi

kesaksian.1 Selama ini penyediaan penerjemah dalam proses pengadilan hanya diperuntukkan

untuk tuna wicara dan tuna rungu padahal banyak disabilitas lain yang membutuhkan

penerjemah dalam proses hukum seperti disabilitas pengidap ganggguan mental dan perilaku.

Penyandang disabilitas merupakan warga negara yang memiliki hak untuk

memperoleh keadilan dalam bidang hukum. Walaupun mereka memiliki keterbatasan mereka

harus tetap memperoleh keadilan. Keterbatasan yang mereka miliki sudah seharusnya dibantu

oleh berbagai pihak untuk mempermudah mereka dalam menjalani proses hukum. Mereka

tidak boleh didiskriminasi sehingga mereka tidak memperoleh haknya dan terus merasakan

penderitaan akibat kejahatan pelaku. Sudah selayaknya korban dari perempuan penyandang

disabilitas mendapat fasilitas yang lebih yang mereka butuhkan seperti psikolog (bagi korban

penyandang disabilitas gangguan mental) dan penerjemah.

1 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-sulit-dapatkan-

keadilan-dalam-hukum/ diakses pada 27 April 2016 pukul 08.43 WIB.

Page | 5

Warga negara sering mendapat perlakuan diskriminasi karena kekurangan dan

keterbatasan yang dimilikinya misalnya warga negara miskin sering mendapat perlakuan

diskriminasi dalam hak memperoleh pendidikan dan kesehatan. Dalam kasus ini penyandang

disabilitas mendapat perlakuan diskriminasi dalam memperoleh keadilan dalam bidang

hukum. Diskriminasi sering dilakukan oleh orang-orang yang statusnya lebih tinggi kepada

mereka yang statusnya lebih rendah. Orang-orang yang statusnya lebih rendah sering menjadi

alat dari praktik kuasa, mereka tidak dapat menentangnya karena tidak memiliki kekuatan.

Korban penyandang disabilitas mendapat perlakuan diskriminasi dari pelaku

kejahatan dan aparat penegak hukum. Pelaku kejahatan dengan kekuatan yang dimilikinya

dapat menyuap aparat penegak hukum maupun mematahkan kesaksian dari korban untuk

mengintimidasi korban sehingga proses hukum tidak berjalan baik. Proses hukum yang lama

akan membuat pihak yang terlibat terutama korban menjadi lelah dan dapat menarik proses

hukum sehingga tidak selesai sampai ke pengadilan. Intimidasi dari pelaku membuat korban

enggan meneruskan proses hukum yang sedang berjalan.

Oleh sebab itu, korban penyandang disabilitas memerlukan bantuan berupa

penerjemah dalam memberi kesaksiannya dan perlindungan dari diskriminasi aparat penegak

hukum untuk memperoleh haknya di meja pengadilan dan agar pelaku mendapat sanksi yang

setimpal atas tindakan yang telah dilakukannya. Dengan begitu setiap warga negara dapat

memperoleh haknya termasuk hak dalam bidang hukum.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana korban penyandang disabilitas memperoleh haknya sebagai warga negara

di ranah hukum?

2. Bagaimana pemikiran Michel Foucault tentang warga negara dalam kasus ini?

3. Apa solusi yang ditawarkan dari pemikiran Michel Foucault dalam kasus ini?

Page | 6

BAB II

KAJIAN TEORI

Michel Foucault (1926-1984) merupakan salah satu filsuf Perancis terpenting di era

kontemporer. Dalam pemikirannya mengenai kewarganegaraan, Foucault menyajikan

pemahaman yang lebih mendalam guna memberikan dasar mengenai bagaimana warga

sebagai sebuah konsep politik terbentuk. Untuk itu ia memang memulai dengan penjelasan

mengenai konstitusi subjek atau bagaimana subyek diubah dan dibentuk oleh berbagai klaim

kebenaran secara historis. Bagi Foucault siapa itu warga mesti dapat dipahami dalam

pertanyaan mengenai bagaimana teknologi kekuasaan bekerja dalam sejarah dalam

membentuk siapa itu warga.

II.1 “The Other” atau “sang Lain”

Pertama-tama Foucault mencoba untuk menganalisa wabah lepra yang menjangkiti

seluruh Eropa pada Abad Pertengahan. Penderita lepra dianggap sebagai “sang Lain” (the

other) sebagai sumber utama wabah namun harus diperlakukan dengan rasa takut dan hormat.

Mereka benar-benar diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan

sipil dan politik masyarakatnya dengan cara penahanan atau karantina di rumah sakit umum

milik negara. Penderita penyakit lepra ini dieksklusikan bukan karena mereka sakit,

melainkan karena mereka dianggap tidak produktif secara ekonomis dalam masyarakat.

Sehingga muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai siapa itu warga? Foucault

memberikan pemahaman bahwa pendefinisian mengenai siapa itu subjek dari luar senantiasa

menghasilkan praktik pembelahan. Pertama, subjektifitas seseorang sebagai warga negara

merupakan suatu pembelahan dalam kategorisasi “warga yang sehat” dengan “warga yang

sakit”. Kedua, bentuk-bentuk konstitusi subjek bersifat tidak tetap dan dideterminasi secara

eksternal. Ketiga, determinasi dan konstitusi subjek dihasilkan oleh praktik kekuasaan.

Page | 7

II.2 Tiga Modus Objektivikasi Subjek

Subjek bagi Foucault bukanlah entitas yang terberi, memandang bahwa manusia

setara dan sama “dari sananya” melainkan melalui praktik diskursif yang melibatkan berbagai

praktik kekuasaan, melalui;

a. Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” kaum miskin,

penyandang disabilitas, gembel, orang gila diklasifikasikan karena mekanisme

medikalisasi, stigmatisasi dan normalisasi

b. Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa

pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti contoh “manusia

produktif”

c. Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara

seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek.

II.3 Governmentality dan Bio-Power

Foucault memberikan landasan untuk memahami bagaimana kuasa melalui paktik

berbagai norma dan nilai-nilai yang membentuk “kita” sebagaimana “kita” kini. Pemerintah

dianggap memiliki Bio-Power dalam hal pegendalian dan penataan, relasi dalam berbagai

institusi sosial hingga praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat. Sehingga disatu sisi governmentality secara simultan membentuk

subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga), namun di sisi lain ia juga melakukan

objektivikasi dengan memosisikan serta mentransformasi individu menjadi objek dari kuasa.

Premis Teori

Kata Kunci Pembahasan

Warga Negara Subyektif Penyandang Disabilitas sebagai “The Other”

Pemerintah Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011

Aturan Subyektifikasi Penyandang Disabilitas dalam Aturan Perundang-

Undangan

Page | 8

BAB III

PEMBAHASAN

Menurut data PUSDATIN dari Kementerian Sosial, pada 2010, jumlah penyandang

disabilitas di Indonesia adalah: 11,580,117 orang dengan di antaranya 3,474,035

(penyandang disabiltais penglihatan), 3,010,830 (penyandang disabilitas fisik), 2,547,626

(penyandang disabilitas pendengaran), 1,389,614 (penyandang disabiltias mental) dan

1,158,012 (penyandang disabilitas kronis)2. Penyandang disabilitas dengan macamnya tentu

memerlukan penanganan yang berbeda, tetapi mereka berhak memperoleh kesetaraan

khususnya dalam bidang hukum. Dalam memperoleh kesetaraannya mereka perlu mendapat

dukungan dari pemerintah. Pemerintah dapat memberikan fasilitas lebih yang mereka

perlukan dalam menjalani proses hukum, pemerintah juga mensahkan UU tentang

penyandang disabilitas untuk melindungi hak mereka dalam memperoleh keadilan.

III.1 Penyandang Disabilitas sebagai The Other

Persoalan akses kesetaraan bagi penyandang disabilitas ternyata tidak melulu dilihat

dari kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan

publik, tetapi juga dapat ditinjau dari minimnya akses keadilan (access to justice) untuk

mendapatkan hak yang sama dalam aspek hukum serta identitas sebagai warga negara. Masih

banyak dari masyarakat awam yang memandang bahwa penyandang disabilitas dianggap

sebagai minoritas, individu yang kekurangan, mengalami kesulitan, dan perlu untuk dibantu.

Sehingga bagi apa yang dikatakan Foucault, penyandang disabilitas dianggap sebagai “yang

Lain” (the other).

Bedanya dengan penderita lepra, penyandang disabilitas disini diputus dan

dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik masyarakatnya

tidak dengan cara penahanan atau karantina di rumah sakit umum milik negara, melainkan

melalui pengkategorian fasilitas seperti “kursi untuk disabilitas”, akses kemudahan dalam

mengunakan transportasi publik, serta pelayanan prioritas disegala institusi publik di

masyarakat. Hal positif dari anggapan ini selalu merasuki pemikiran masyarakat mayoritas

2 www.ilo.org diakses pada 27 April 2016 pukul 13:40 WIB.

Page | 9

untuk memprioritaskan penyandang disabilitas dalam kegiatan di lingkungan publik. Namun,

hal negatif justru lebih banyak menghantui mereka.

Para penyandang disabilitas pun sering mengalami nasib kurang menyenangkan.

Entah dikucilkan, dikirim ke panti, atau yang terburuk, dipasung. Kalaupun masih tinggal

bersama keluarganya, hak mereka, seperti warisan, kadang diambil anggota keluarga lain

dengan dalih “mereka tak bisa mengurusnya”. Bahwa, mereka dieksklusikan bukan karena

sakit melainkan karena mereka dianggap tidak produktif secara ekonomis dalam masyarakat.

Sehingga kekurangan fisik dianggap sebagai hambatan untuk “dianggap sama” dengan

masyarakat yang sehat jasmaniah. Persoalan terbaru muncul bahwa terjadi pemerkosaan

terhadap perempuan penyandang disabilitas. Sulitnya mengikuti prosedur hukum dikarenakan

kekurangan yang ada dalam dirinya menghalangi hak-hak penyandang disabilitas ketika

berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai saksi/korban maupun pelaku.

”Polisi terkadang berdalih, „korbannya tuna rungu, bicara saja tidak bisa,

bagaimana mungkin kita mendapatkan bukti‟, padahal bisa menggunakan

penterjemah (bahasa tuna rungu). Ini seringkali menjadi salah satu hambatan

dalam proses peradlilan”,3

Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial (13/08/15)

Karena prosedur hukum yang ada dalam beberapa kasus masih ditafsirkan secara tekstual,

keadilan masih sulit didapatkan bagi kaum penyandang disabilitas. Apalagi ketika korbannya

perempuan seringkali kesaksian mereka justru mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak

mulai dari pelaku kejahatan hingga aparat penegak hukum. Sehingga selain mereka menderita

secara fisik, batinnya –pun tersiksa karena kasusnya tidak terselesaikan.

“Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk

bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika

keluarga tidak menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya,

korban tetap merasakan penderitaannya”4

Siti Mazuma, Koordinator Pelayanan Umum YLBH APIK (30/6/2014)

3 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc60eb88339/penyandang-disabilitas-masih-sulit-akses-

keadilan. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 20.50 WIB. 4 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-sulit-dapatkan-

keadilan-dalam-hukum/. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 20. 59 WIB.

Page | 10

III. 2 Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011

Permasalahan ini merujuk pada suatu praktik diskursif kekuasaan bahwa kepedulian

pemerintah terhadap penyandang disabilitas tertuang dalam UU No 19 Tahun 2011 tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang mengatakan bahwa

Pasal (1) Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental,

intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan

berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam

masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Tujuan Konvensi ini adalah untuk

memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan penuh dan setara semua hak asasi

manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk

meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka.5

Agar sesuai dengan Prinsip Konvensi, meliputi:

a. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu; termasuk kebebasan

untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan;

b. Nondiskriminasi;

c. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat;

d. Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian

dari keragaman manusia dan kemanusiaan;

e. Kesetaraan kesempatan;

f. Aksesibilitas;

g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan;

h. Penghormatan atas kapasitas yang terus berkembang dari penyandang disabilitas anak

dan penghormatan pada hak penyandang disabilitas anak untuk mempertahankan

identitas mereka.

Kekuasaan pemerintah Indonesia merupakan praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam bentuk

UU No 19 Tahun 2011 untuk diakui identitas dan kesetaraannya dalam kehidupan

bermasyarakat. Sehingga disatu sisi governmentality secara simultan membentuk

subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga/difabel). Namun “keindahan mawar tetap

saja berduri” di sisi lain ia juga melakukan objektivikasi dengan memposisikan serta

(mentransformasi individu/difabel menjadi objek yang ditentukan dari kuasa)

5 UU No. 19 Tahun 2011. http://www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/19%20tahun%202011.pdf Diakses: 26

April 2016. Pukul 22.00 WIB

Page | 11

III.3 Subyektifikasi Penyandang Disabilitas dalam Aturan Perundang-Undangan

Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” penyandang

disabilitas, kekurangan fisik, kutukan, malapetaka, dikucilkan, dikirim ke panti atau yang

terburuk dipasung.6 Merupakan pembagian dari mekanisme medikalisasi, stigmatisasi dan

normalisasi dengan pembelahan lainnya kepada masyarakat mayoritas atau masyarakat yang

sehat jasmaniah. Bahwa terdapat pembedaan bagi “warga sehat” dan “warga difabel”. Modus

Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa pengetahuan

membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti seperti buta, bisu, tuli, tuna rungu, tuna

wicara, dan sebagainya. Yang tentu saja dijelaskan seperti pada UU No. 4 Tahun

1997 tentang Penyandang Cacat juncto bahwa Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan penyandang

cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelianan fisik dan/atau mental yang dapat

menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan

secara selayaknya yang terdiri dari;

a. Penyandang cacat fisik;

b. Penyandang cacat mental;

c. Penyandang cacat fisik dan mental.7

Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara

seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. Apabila pada modus

pembelahan subjek dan klasifikasi ilmiah, subjek dikonstitusi atau dibentuk sedemikian rupa

menjadi objek, dalam subjektifikasi subjek menampilkan dimensi formasi-diri atau dimensi

aktifnya. Yang dimana dalam hal ini terdapat upaya Koalisi Masyarakat Penyandang

Disabilitas mendorong agar RUU tentang penyandang disabilitas bisa segera dilanjutkan ke

tahap pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah.

6 http://www.rappler.com/indonesia/126291-dpr-sahkan-uu-penyandang-disabilitas. Diakses: 26 April 2016,

Pukul: 22.00 WIB. 7 UU No 4 Tahun 1997, http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1997_4.pdf. Diakses: 26 April 2016,

Pukul: 22.00 WIB.

Page | 12

Gambar 1

Bentuk Kegiatan Komunitas Penyandang Disabilitas

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc19b515526/ini-harapan-difabel-terkait-

ruu-penyandang-disabilitas. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 21.30 WIB

Mereka bekerjasama dengan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI),

Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan

Indonesia (PSHK), dan Komnas HAM membentuk suatu kegiatan bertema “Bergerak Untuk

Disabilitas” yang diadakan di Kantor Komnas HAM di Jakarta pada 13 Mei 2015. Tujuannya

untuk mengingatkan DPR akan tugasnya agar bisa segera menyelesaikan setiap tahapan yang

harus ditempuh. Agar secepatnya RUU bisa disahkan menjadi Undang-undang. Diharapkan

dengan kegiatan subjektif ini dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai penyandang

disabilitas yang ternyata memiliki semangat produktifitas dan kesetaraan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan masyarakat mayoritas serta identitas mereka diakui sebagai warga

negara yang memiliki hak setara dalam menjalani kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di

masyarakat.

Page | 13

III.4 Upaya Pemerintah Mewujudkan Kesetaraan Hukum Bagi Penyandang

Disabilitas

Dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tertuang pada

Pasal 16, Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi warganya yang tergolong

kedalam penyandang cacat/difabel. Rehabilitas diarah kan untuk memfungsikan kembali dan

mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacar agar dapat

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan

dan pengalaman. Bentuk, rehabilitas ini meliputi medic, pendidikan, pelatihan, dan sosial.

Bantuan sosial juga diarahkan untuk membantu penyandang cacat yang tidak mampu,

sudah direhabilitasi, atau yang belum bekerja agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan

sosialnya. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan

dan pelayanan kepada penyandang cacat yang tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya

bergantung kepada orang lain. Tujuannya agar para penyandang cacat dapat memelihara taraf

hidup yang wajar.

Dalam kasus pemerkosaan ini Mentri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan

bahwa prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum disini tidak hanya memfokuskan pada hak

mendapatkan perlakuan yang sama dalam sistem peradilan tetapi juga perlu pelayanan yang

ekstra bagi penyandang disabilitas dalam menindaklanjuti proses peradilan. Menurutnya, dari

prinsip ini akan sangat banyak instrumen aturan lebih rinci yang dibutuhkan. Misalnya, ada

jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara

probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah.8 Namun tetap saja implementasi dilapangan

tidak sesuai dengan dalih-dalih yang tertuang dalam pasal, masih banyak penyandang

disabilitas yang tersegmentasi, terisolasi, bahkan pula terabaikan.

8 Loc,Cit.

Page | 14

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa permasalahan yang dialami oleh

penyandang disabilitas bukan hanya persoalan tentang akses kesetaraan bagi penyandang

disabilitas. Tetapi ternyata juga dapat dilihat dari kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan,

infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga dapat ditinjau dari

minimnya akses keadilan (access to justice) untuk mendapatkan hak yang sama dalam aspek

hukum serta identitas sebagai warga negara.

Hal inilah yang sering dialami para penyandang disabilitas khususnya oleh

penyandang disabilitas perempuan. Dimana mereka sering mengalami tindakan yang kurang

adil di mata hukum. Padahal perlindungan mengenai hak penyandang disabilitas dalam

mengenai persoalan hukum sudah dibuat oleh pemerintah. Dimana pemerintah memberikan

fasilitas lebih yang mereka perlukan dalam menjalani proses hukum, serta pemerintah juga

mensahkan UU tentang penyandang disabilitas untuk melindungi hak mereka dalam

memperoleh keadilan.

Namun pada kenyataanya masih banyak tindakan yang tidak adil yang menimpa para

penyandang disabilitas mengenai aspek hukum. Hal ini menyebabkan banyak sekali dari

mereka yang menjadi korban khusunya yang dialami oleh para wanita penyandang disabilitas

dimana mereka tidak mau mengatasi masalah yang mereka alami melalui proses hukum.

Karena perempuan penyandang disabilitas sering dianggap tidak memberikan kesaksian yang

benar dengan keterbatasan mereka sehingga hakim sulit membuat keputusan pengadilan.

Oleh sebab itu, banyak dari korban perempuan penyandang disabilitas yang menarik proses

hukumnya kembali sehingga mereka tetap dalam penderitaan yang berkepanjangan.

Permasalahan ini kemudian jika dilihat dari tiga pemikiran Michel Foucault mengenai

kewarganegaraan yaitu “The other”, tiga modus objektivikasi subjek, governmentality dan

bio-power sangat menggambarkan apa yang dialami oleh para penyandang disabilitas ini.

Yang pertama mengenai “The Other” ini, Masih banyak dari masyarakat awam yang

memandang bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai minoritas, individu yang

kekurangan, mengalami kesulitan, dan perlu untuk dibantu. penyandang disabilitas disini

diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik

Page | 15

masyarakatnya. Sehingga seperti apa yang dikatakan Foucault, penyandang disabilitas

dianggap sebagai “yang Lain” (the other).

Kedua, mengenai tiga modus objektifikasi subjek. Modus Pertama adalah apa yang

disebut sebagai “Praktik Pembelahan” Merupakan pembagian dari mekanisme medikalisasi,

stigmatisasi dan normalisasi dengan pembelahan lainnya kepada masyarakat mayoritas atau

masyarakat yang sehat jasmaniah. Bahwa terdapat pembedaan bagi “warga sehat” dan “warga

difabel”. Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa

pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti seperti buta, bisu, tuli, tuna

rungu, tuna wicara, dan sebagainya. Yang tentu saja dijelaskan seperti pada UU No. 4 Tahun

1997. Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara

seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. Yang dimana dalam hal

ini terdapat upaya Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas mendorong agar RUU tentang

penyandang disabilitas bisa segera dilanjutkan ke tahap pembahasan bersama antara DPR dan

Pemerintah.

Ketiga mengenai governmentality dan bio-power, dimana kekuasaan pemerintah

Indonesia merupakan praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam bentuk UU No 19 Tahun 2011

untuk diakui identitas dan kesetaraannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga disatu

sisi governmentality secara simultan membentuk subjektivitas individu (membentuk siapa itu

warga/difabel).

IV.2 Saran

Dalam mengurangi permasalahan yang dialami oleh para penyandan disabilitas, perlu

adany kerja sama yang dilakukan baik dari pemerintah maupun terhadap lembaga-lembaga

yang terkait. Agar dapat memfasilitasi apa yang selama ini para penyandang disabilitas alami

yaitu ketidakadilan dalam soal hukum. Selanjutnya agar secepatnya RUU mengenai

disabilitas bisa disahkan menjadi Undang-undang. Agar mereka diakui sebagai warga negara

yang memiliki hak setara dalam menjalani kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di

masyarakat. ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan

hukum secara probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah.9 Selanjutnya melakukan

rehabilitasi terhadap para penyandang disabilitas tersebut. Rehabilitasi diarah kan untuk

memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial

9 Loc,Cit.

Page | 16

penyandang cacar agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan

bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Bentuk, rehabilitas ini meliputi medic,

pendidikan, pelatihan, dan sosial. Agar nantinya mereka dapat mandiri dan dapat

meningkatkan taraf hidupnya. Adapun pemberian bantuan sosial juga diarahkan untuk

membantu penyandang cacat yang tidak mampu, tetapi sudah direhabilitasi, atau yang belum

bekerja agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.

Page | 17

DAFTAR PUSTAKA

Sumber utama:

Robet, Robertus dan Hendrik Boli Tobi, 2014. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari

Marx sampai Agamben. Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri.

Sumber lainnya:

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-

sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-

sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1997_4.pdf.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc60eb88339/penyandang-disabilitas-masih-

sulit-akses-keadilan

http://www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/19%20tahun%202011.pdf

http://www.rappler.com/indonesia/126291-dpr-sahkan-uu-penyandang-disabilitas

www.ilo.org