perkembangan arsitektur bali
TRANSCRIPT
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
1/24
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR BALI
January 4th, 2010 RelatedFiled Under
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR
KEBUDAYAAN BALI
OLEH : SARAH FHADL BALQIS
20308043
1. SISTEM KEKERABATAN
Keunikan Bali yang lain bisa dilihat lewat bagaimana manusia Bali melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir
dan batin. Manusia Bali begitu taat untuk tetap ingat dengan asal muasal darimana dirinya berasal. Hal inilah
kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan wangsa atau soroh. Begitu
banyak soroh yang berkembang di Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri.
Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Bali. Mereka tetap
mempertahankan untuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap
menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali.
Beberapa soroh yang selama ini dikenal misalnya Warga Pande, Sangging, Bhujangga Wesnawa, Pasek, Dalem
Tarukan, Tegeh Kori, Pulasari, Arya, Brahmana Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki sejarah turun-
temurun yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang disebut Hyang
Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami kehidupan manusia Bali dalam kaitan mempertahankan garis
leluhurnya tersebut. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur
Identifikasi Orang Bali
Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, kesadaran
itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali
mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama terintegrasikan ke dalam
masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut.
Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu,
menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat BaliAga dan masyarakat Bali Majapahit.
Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan JawaHindhu dari Majapahit dan
mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti
Sembiran, Cempaga Sidatapa, pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan Pegringsingan di
Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya diam didaerah-daerah dataran merupakan
bagian yang paling besar dari penduduk Bali.
Pulau Bali yang luasnya 5808,8 Km2 dibelah dua oleh suatu pegunungan yang membujur dari barat ke timur,
sehingga membentuk dataran yang agak sempit. di sebelah utara., dan dataran yang lebih besar disebelah selatan.
Pegunungan tersebut yang sebagian besar masih tertutup oleh hutan rimba, mempunyai arti yang penting dalam
pandangan hidup dan kepercayaan penduduk. di wilayah pegunungan itulah terletak Kuil-kuil (pura) yang dianggap
suci oleh orang Bali, seperti Pura Pulaki, Pura Batukaru, dan yang terutama sekali Pura Besakih yang ter letak di kaki
Gunung Agung.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perkembangan-arsitektur-bali/ -
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
2/24
Sedangkan arah membujur dari gunung tersebut telah menyebabkan penunjukan arah yang berbeda untuk orang
Bali utara dan Orang Bali selatan. Dalam Bahasa Bali, kaja berarti ke gunung, dan kelod berarti ke laut. Untuk orang
Bali Utara kaja berarti selatan, sedangkan untuk orang Bali selatan kaja berarti utara. Sebaliknya kelod untuk orang
Bali utara berarti utara, dan untuk orang bali selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam
penunjukan arah dalam bahasa Bali, tapi juga dalam aspek kesenian dan juga sedikit aspek bahasa. Konsep kaja
kelod itu nampak juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama, letak susunan bangunan-bangunanrumah kuil dan sebagainya.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut perbendaharaan kata dan strukturnya, maka
bahsa Bali tak jauh berbeda dari bahsa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno menunjukkan adanya
adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping
banyak mengandung bahsa Sansekrta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari
jaman Majapahit, ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal
juga apa yang disebut perbendaharaan kata-kata hormat, walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa
Jawa. Bahasa hormat (bahasa halus) dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi. Di Bali juga
berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam bentuik puisi maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini
di bali didapati juga sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun puisi yang dibawa
ke Bali tatkala Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. 3
2. KEPERCAYAAN
Ngojot merupakan suatu tradisi dalam masyarakat Bali, tradisi yang berkembang secara turun temurun yang masih
bisa dijumpai sampai saat ini. Tradisi yang mengajarkan saling berbagi antar sesama dan meningkatkan rasa
kebersamaan dalam masyarakat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, sebuah konsep dalam hindu yang
mengjarkan keseimbangan untuk mencapai suatu kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan
manusia.
Karena masyarakat bali memakai berbagai prinsip sebagai berikut :
Parhyangan
Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sang pencipta
Pawongan
Keharmonisan Hubungan antara manusia dengan sesama manusia
Palemahan
Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam.
Ngejot mungkin dalam bahasa indonesia bisa diartikan memberikan sesuatu kepada saudara, tetangga atau orang
lain, sesuatu dalam hal ini berupa makanan yang biasanya diberikan oleh suatu keluarga yang sedang mempunyai
acara(hajatan). Ngejot merupakan perwujudan dari pawongan yaitu hubungan yang harmonis antara sesama
manusia dimana setiap orang diingatkan untuk saling berbagi, saling menghargai, saling menghormati dan ingat
antar sesama yang merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
3. POLA KAMPUNG TRADISIONAL
Beberapa sumber yang menjelaskan tentang pola desa di Bali (desa adat), memberikan uraian yang bervariasi.
Namun secara keseluruhan dapat diambil semacan persamaan daripadanya, yang menyatakan bahwa pada
umumnya pola desa adat di Bali, ada yang berpola umum, dan ada yang berpola khusus. Sedangkan yang sama-
sama menjadi ciri keberadaan sebuah desa adat adalah adanya pura kahyangan tiga (Pura Desa, Pura Puseh, Pura
Dalem) atau kahyangan desa.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
3/24
Pola perkembangan desa di Bali umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ritual yang
menempatkan zona sakral di bagian kangin (Timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Faktor
kondisi dan potensi alam, nilai utama pada arah gunung. Ke arah laut dinilai lebih rendah. Faktor ekonomi yang
berpengaruh pada pola perkampungan adalah desa nelayan menghadap ke laut, desa petani menghadap ke arah
sawah atau perkebunan (Gelebet, 1985:12).
Selanjutnya disebutkan juga bahawa di Bali, pola-pola perkempungan (desa) umumnya berpola pempatan agung,
dan beberapa desa ada yang berpola khusus (Desa Tenganan, Desa Julah, Desa Bugbug, dan lain sebagainya).
Dari sumber lain diperoleh penjelasan bahwa pola-pola lingkungan di Bali secara umum dapat dibedakan menjadi
dua: yaitu pola lingkungan pusat kota dan pola lingkungan desa (Putra, 1992). Pola lingkungan pusat kota, dengan
titik sentralnya di Puri (sebagai pusat pemerintahan) dapat dengan jelas menerapkan pola pempatan agung (catus
patha). Sedangkan pola lingkungan desa menerapkan pola-pola khusus (Julah, Pengotan, Timrah, Bugbug,
Tenganan, dan lain sebagainya). Tidak dirinci tentang kekhususan yang terdapat pada desa-desa tersebut. Alit
(1997) mengungkapkan bahwa secara fisik, pola desa terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan.
Parahyangan sebagai areal yang diperuntukkan bangunan suci (pura) seperti pura kahyangan tiga (Puseh, Desa,
Dalem), pawongan adalah adanya warga desa dengan huniannya, dan palemahan berupa areal desa sebagai
tempat bertani, berkebun dengan batas-batas geografis tertentu. Letak pura puseh di bagian hulu desa, pura desa di
tengah-tengah, pura dalem dan kuburan terdapat di bagian teben desa. Kadang-kadang pura puseh dan pura desa
ditempatkan pada satu lokasi secara bersama.
pusat kota, pola yang umum adalah pempatan agung. Pola ini terbentuk oleh persilangan dua buah. Sementara itu
pola desa (baca: lingkungan, kota) ada beberapa variasi. Untuk lan utama yang berpotongan tegak lurus.
Perpotongan sedemikian menyebabkan adanya empat sudut/empat zona, yaitu kaja-kangin (Timur Laut), kelod-
kangin (Tenggara), kelod kauh (Barat Daya), dan kaja kauh (Barat Laut). Sebagai contoh kondisi serupa ini dapat
dilihat di Puri Gianyar, Puri Ubud, Puri Denpasar (Bangli), Puri Payangan (Gianyar) dan lain sebagainya. Di salah
satu sudut tadi, pada umumnya di sudut lapangan, terdapat pohon beringin (Budihardjo, 1995:55). Selain pola
pempatan agung, ada pula pola aling-aling yang terlihat seperti bentuk swastika (Budihardjo, 1995:56). Pola ini masih
merupakan pertemuan empat buah jalan, yang menciptakan titik pusat. Di pusat itu terletak pura desa dan pura
puseh. Di sekelilingnya terletak permukiman penduduk. Pada daerah-daerah, di luar pusat lingkungan/kota, polayang umum terlihat adalah pola l inear. Untuk pola garis lurus ini, suatu desa terbagi atas tiga zona, yaitu
parahyangan di luan, rumah-rumah ditengah; dan kuburan di teben. Untuk daerah yang membujur kaja-kelod, maka
kaja sebagai luan dan kelod sebagai teben. Untuk desa yang membujur arah kangin-kauh; maka luan adalah kangin;
dan kauh adalah teben.
4. LETAK & ORIENTASI
Berbagai sumber menjelaskan tentang letak & orientasi dari adat bali. Dan mereka mempunyai filosofi tersendiri dari
letak & orientasinya.
* Manusia , Arsitektur dan Alam Semesta
Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya.Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidah-
kaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah angin KajaKelod, KauhKangin. Dan
kaidah sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci
mereka. Sedikit filosofi tentang kepercayaan mereka.
1. Makrokosmos dan Mikrokosmos
Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di
muka bumi dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya menyatu dengan alam semesta dan
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
4/24
meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, alam semesta dan bersatu dengan dewanya
untukselamanya, itulah yang disebut dharma. Namun bila manusia Balimembuat suatu kesalahan maka ketika mati
dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya.
Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianutdalam arsitektur Bali yang mendasarkan arsitektur pada harmoni
dankeselarasan kehidupan. Kosmologi Bali merupakan suatu hirarki yang membagi hubungan manusia Bali dengan
alam semesta dalam urutan seperti sebagai berikut :
Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengangodaan duniawi, yang berhubungan dengan
materialisme.
Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk
berbuat menyimpang dari dharma.
2. Nawa Sanga
Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali.
Seperti halnya dengan mata angin arah utaraselatan yang di sebut KajaKelod, dan timurbarat yang disebut
kanginkaluh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari
menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya.
Berikut lambang dari peletakannya:
* Utara melambangkan dewa Wisnu,
* selatan melambangkan dewa Brahma,
* timur melambangkan dewa Iswara
* barat melambangkan dewa Mahadewa. 1
D:\SARAH\bali\Hasil Penelusuran Gambar Google untuk http www.dee-bali.com deewp wp-content uploads 2006 11balineseTemple.jpg_files\dewata (4).jpg D:\SARAH\bali\Hasil Penelusuran Gambar Google untuk http www.dee-
bali.com deewp wp-content uploads 2006 11 balineseTemple.jpg_files\s102.gif
Disimpulkan ciri-ciri desa adat sebagai berikut (Pitana, 1994:145) :
1. Mempunyai batasbatas tertentu yang jelas. Umumnya berupa batas alam seperti sungai, hutan, jurang, bukit
atau pantai.
2. Mempunyai anggota (krama yang jelas), dengan persyaratan tertentu
3. Mempunyai kahyangan tiga atau kahyangan desa, atau pura lain yang mempunyai fungsi dan pernanan sama
dengan kahyangan tiga.
4. Mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam.
5. Mempunyai suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat) sendiri.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa ciri-ciri yang bersifat fisik (arsitektur) suatu desa adat adalah adanya batas-batas
yang jelas dan adanya kahyangan tiga atau kahyangan desa.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
5/24
5. PENGARUH NO.1 & 2 PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL
Arsitektur Tradisional Bali merupakan suatu karya arsitektur yang lahir dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas
spiritual masyarakat Bali yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat
pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan, dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografi, budaya, adat -istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat.
Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi (daerah pegunungan) dan Arsitektur
Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup
untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari
sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari
seperti tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan
relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya.
Untuk daerah dataran rendah, pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa menampung beberapa massa
dengan pola komunikatif, umumnya berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti
bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari
kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suciuntuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba sisi
(pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal). Bahan
bangungan juga mencerminkan status sosial pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan popolan (speci yang
terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan
tumpukan bata-bata.
Untuk tempat suci/tempat pemujaan baik milik satu keluarga maupun milik suatu kumpulan kekerabatan
menggunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Seperti untuk bahan atap menggunakan
ijuk bagi yang ekonominya mampu sedangkan bagi yang ekonominya kurang mampu bisa menggunakan alang-
alang atau genteng.
D:\SARAH\bali\Hasil Penelusuran Gambar Google untuk http aryaoka.files.wordpress.com 2008 10 bali-house-
tampak-atas.jpg_files\bale-gede-tampak-depan.jpg
Dalam proses pembangunan, diawali dengan pengukuran tapak yang disebut dengan nyikut karang. Dilanjutkan
dengan caru pengeruak karang yaitu ritual persembahan kurban dan mohon izin untuk membangun. Setelah izin
didapat barulah dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin. Ini bertujuan untuk mohon kekuatan pada
ibu pertiwi agar kelak bangunan menjadi kuat dan kokoh. Untuk pekerjanya termasuk ahli bangunanya dilakukan
upacaraprayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika semua ritual sudah
dilaksanakan barulah pembangunan dimulai. Setelah bangunan berdiri dan sebelum digunakan dilakukan upacara
syukuran yang disebut melaspas dan pengurip. Ini bertujuan membersihkan bangunan dari energi -energi negatif dan
menghidupkan aura bangunan tersebut.
Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual
tersebut pada intinya bertujuan memberi kharisma pada bangunan yang akan dibangun dan untuk menjaga
keselarasan hubungan manusia dengan Penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan
lingkungannya.
Dalam perkembangannya Arsitektur Tradisional Bali mengalami perkembangan dan pergeseran fungsi yang
berpengaruh pada bentuk, struktur, konstruksi, bahan dan cerminan sosial pemiliknya. Seperti wantilan yang dulunya
untuk balai pertemuan dan kegiatan adat mengalami perkembangan fungsi yaitu sebagai pendidikan Taman Kanak-
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
6/24
kanak, tempat usaha, arena olah raga, dan lain-lain. Kemajuan pariwisata juga berdampak pada peningkatan taraf
hidup masyarakat Bali sehingga sekarang sulit dibedakan mana puri dan rumah masyarakat biasa. Karena
masyarakat biasa yang ekonominya sudah mapan tidak ada larangan membangun tempat tinggal layaknya sebuah
puri. Begitu juga puri yang dulunya merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya yang mana penjagaannya sangat
ketat dan penuh aturan sekarang ada yang difungsikan sebagai tempat kunjungan wisatawan, justru keluarga puri
yang keluar mencari tempat tinggal yang baru.
Pesatnya perkembangan teknologi tidak bisa dipungkiri juga berpengaruh pada Arsitektur Tradisional Bali. Walau
arsitektur tradisional yang selalu didasari atas tradisi juga mengalami perkembangan dan selalu mengikuti
perkembangan zaman.2
6. KONSEP RUANG DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL
Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah
berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada
perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada rontal Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan
lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk
dimaksud.
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya.
Konsep dasar tersebut adalah:
Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
Konsep proporsi dan skala manusia
Konsep court, Open air
Konsep kejujuran bahan bangunan
Beberapa artinya sebagai berikut :
1. Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur, yang merupakan asal-
usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone:
* Nista (bawah, kotor, kaki),
* Madya (tengah, netral, badan) dan
* Utama (atas, murni, kepala)
2. . Nawa Sanga
Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali.
Seperti halnya dengan mata angin arah utaraselatan yang di sebut KajaKelod, dan timurbarat yang disebut
kanginkaluh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari
menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya
Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
7/24
* Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
* Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
* Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)
Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga
Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang
hunian tipikal di Bali
Contoh pola ruang suatu desa di bali :
Desa Adat Legian, Kuta, Badung, yang berkembang dengan cepat, pada awalnya memiliki pola yang jelas, sesuai
dengan pola desa tradisional Bali. Desa ini berpola linear, dengan poros berupa jalan raya yang membujur Utara-
Selatan di tengah-tengah desa. Memiliki kahyangan tiga/kahyangan desa yang lokasinya masing-masing tersendiri.
Unit-unit rumah tinggal terletak di sepanjang pinggir dan dibelakangnya terletak tegalan (teba). Batas-batas desa
sangat jelas, yaitu tegalan, sungai dan laut.
* PEMBANGUNAN HUNIAN PADA BALI
Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan
pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat
pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah
dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai
penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-
pengaruh jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut
terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale
tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.
Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruangtidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai
dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting
& berharga).
Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi
bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.
Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam
Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali
terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah
tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yangoleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah
ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep
Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering
digunakan dalam usaha untuk meminjam unsur alam ke dalam bangunan.
Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa
bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
8/24
ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding
hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten).
Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenammembentuk suatu ruang pengikat
yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang
luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat
sirkulasi.
Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi
natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah
berubah dari ruang luar menjadi ruang dalam karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang
lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah
elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh
jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang
mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap
seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu ruang dalam yang satu,
dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah
pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.
Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif
Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Kemudian
orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat.
Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-
an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari
dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang
positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di
dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu
ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.
Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, natah berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang
sangat manusia. Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah
ruang positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai
suatu centripetal order.
Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi frame
untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi ruang-luar dengan ketidak-
hadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya
disana.
Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service
(paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir.
Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat
(Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi frame
untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale tiang
sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi
pada ruang positip baru ini.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
9/24
Konsistensi dan Konsekuensi
Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam
satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas
pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing
mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain
mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang
(berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu
kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak
secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam
atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri.
Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah
juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang
tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah Ruang luar-Ruang dalam,
terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah
konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada
kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat manusia) dari hunian Bali.
Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah
selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan
keberadaan bale sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja,
serta posisi masing-masing dinding yang membuka ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu.
Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta
natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah
ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih
jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali,
teryata identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat.
Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal,
konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas) adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali
tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-
dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang membuka kearah yang me -enclose ruang,
maka keadaan ini memperkuat kehadiran nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan
kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa). Hal ini ternyata
memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara (1970) dinyatakan:
Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur
tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan
jelas dibandingkan dengan hunian Jepang.
Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang-luar adalahruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah
ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari ruang-luar
(dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian, teori
Yoshinobu Ashihara ternyata saling bertentangan. Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam
dikaitkan dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap.
DAFTAR PUSTAKA
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
10/24
1 www.deebali.com/.http://itsmydream.multiply.com/2006/11/balineseTemple.jpg
2 aryaoka.files.wordpress.com/2008/10/bali-hous..
3
stika, Sudhana Ketut, dkk. 1986. Peranan Banjar pada Masyarakat Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
4
Bappeda Tingkat I Bali dan Universitas Udayana. 1982. Pengembangan Arsitektur Tradisional Bali untuk Keserasian
Alam Lingkungan, Sikap Hidup, Tradisi dan Teknologi. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.
[AGAMA HINDU] Konsep Bangunan Rumah Berdasarkan Asta Kosala Kosali
AGAMA HINDU
BANGUNAN RUMAH BERDASARKAN
ASTA KOSALA KOSALI
1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia turut mempengaruhi ciri khas keunikan budaya
termasuk dari segi bangunan. Pulau bali merupakan salah satu bagian Negara Indonesia yang tidak luput
dari budaya termasuk segi bagunannya. Bangunan tradisional Bali dibangun menurut Asta Kosala Kosali
yang merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan
untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan
landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari
baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya. Untuk melakukan pengukurannya pun
lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang memiliki rumah. Umumnya pemilik rumah tidak
menggunakan meter tetapi menggunakan seperti :
a. Musti(ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke
atas),
b. Hasta(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai
ujung jari tengah yang terbuka),
c. Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan).
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
11/24
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
12/24
Masa ini diperkirakan langsung sampai abad ke 1 Masehi masyarakat masih hidup secara nomaden.
Kemudian mulai menetap di bawah pohon ,goa,dan akhirnya pada bangunan yang sangat sederhana
dari ranting pohon yang terolah secara teknis. Tentu saja bangunan semacam ini tidak bisa bertahan
lama, sehingga tidak ada peninggalan yang bisa dipelajari.
2.1.1.2 Masa Bali Age
Masa ini dimulai dari saat keberhasilan Rsi Markendya dengan pengikut para transmigran dari Jawa yang
berasal dari orang-orang bangunan(Orang Age)membuka hutan di Bali. Karena keberhasilan ini maka
mulai dibangun permukiman-permukiman didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai
dibangun permukiman-permukiman didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai dibangun
tempat-tempat peribadatan Hindu dengan sebuta n Hyang untuk istilah pura sekarang. Atas
keberhasilan ini pula maka dimulai pembangunan Besakih tahap awal yang berasal dari katabasukiyang artinya selamat.para ahli dari berbagai aspek kehidupan juga didatangkan dari jawa yang
menyangkut bidang-bidang pertanian,peternakan,irigasi,dan permukiman. Hubungan dengan Cina dan 5
Jawa menjadi erat. Berita tentang kemakmuran bali pada saat itu dicatat oleh pedagang cina dan juga
pedagang yunani. Hasil arsitek permukiman pada masa ini masih terlihat pada desadesa Bali Age di
daerah pegunungan seperti Trunyan , Sukawana, Taro Cempaga , Sidatapa dll. Masa ini diakhiri dengan
mulai berdirinya kerajaan Bali Kuno dengan nama Singan Mandara dengan raja pertama Kesari
Warmaddewa dengan raja pertamanya Kesari Warmadewa pada abad ke IX.
2.1.1.3 Masa Bali Kuna
Puncak keemasanb dari masa ini adalah pada waktu pemerintahan raja Udayana Warmadewa yang
memerintah bersama-sama permaisuri Dharmapatni. Pada masa ini ada keajaiban penting yang
berkaitan dengan perkembangan arsitektur yaitu datangnya Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Menurut
Buku Sejarah Bali kedatangan Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Menurut Buku Sejarah Bali kedatangan
Mpu Kuturan pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu (putra udayana adik erlangga ). Mpu Kuturan
mengadakan pembaharuan di bidang keagamaan sarana peribadatan dan permukiman. Beliau mulai
menghidupkan kembali paham trimurti yang dipuja melalui pura Tri-Khayangan yang merupakan
pengikat dalam satu desa adat. Dalam rumah tangga juga dikembangkan tempat pemujaan keluarga
Rong Tiga atau sanggah kemulan dan Hyang Guru.Masa Bali Kuna ini berakhir dengan ditaklukannya Bali
oleh Majapahit pada abad XIV.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
13/24
2.1.1.4 Masa Majapahit
Masa pemerintahan Majapahit di Bali dimulai dengan pengangkatan Sri Kresna kepakisan sebagai
Adapati Bali dan di sampangan,Gianyar,Jaman Keemasan dicapai oleh penerus beliau yaitu raja Dalem
Waturenggong.pada masa ini dating dari Jawa seorang tokoh agama Hindu yang beraliran Siwa .Beliau
banyak mengadakan pembangunan keagamaan dan juga pembangunan masyarakat. Tempat pemujaan
khusus untuk Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya diwujudkan dengan bangunan Padmasana.
Pada waktu ini juga banyak dibangun pura-pura pantai dan juga kemudian dibangun pura-pura untuk
menghormati beliau. Pada masa ini diintrodusir Asta Dasa Kosali sebagai dasar aturan
pembangunan,masyarakat mulai digolongkan secara fungsional berdasarkan profesi dalam Catur Warna,
dan mulai dibangunBale Banjar sebagai sarana pengikat persatuan untuk kelompok masyarakat kecil.
Akhirnya masa ini berakhir setelah Belanda di Bali banyak pusakasuci lontar diangkut keNegeri Belanda
termasuk juga pustaka-pustaka. Beberapa puri yang juga sebagai symbol kekuasaan kerajaan Bali
dihancurkan. Dalam bidang arsitektur diupayakan juga terjadi semacam perkawinan (Alkulturasi),yang
menghasilkan bangunan-bangunan denmgan postur belanda dengan tatahias Bali. Hasil pembangunan
pada masa ini beruopa kantor pemerintahan Belanda seperti kantor Residen,Kantor kontrolir,museum
Bali. Bali hotel dan beberapa sekolah dan rumah pejabat Belanda. Masa ini berakhir dengan proklamasi
kemerdekaan th 1945 dan lebih mantap lagi setelah penyerahan kedaulatan th.1949 maka mulailah
babakan baru pada Masa Kemerdekaan. 6
2.1.1.5.Masa Kemerdekaan
Merdeka masyarakat Bali juga diartikan merdeka dalam dalam membentuk corak bangunan. Pada awal
masa ini banyak dibangun fasilitas kantor untuk pemerintahan dan juga rumah-rumah jabatan yang
penampilannya ham. Hal ini dapat dimaklumi karena ketersediaan para perancang teramat sangat
terbatas. Masyarakat umumnya suyka meniru hal-hal yang dianggap baik seperti apa yang dibangun
oleh pemerintah dan seperti apa yang dimiliki oleh para pejabat. Sehingga badai perombakan bangunan-
banguna tradisional Belanda,Bali dan digantikan dengan bangunan jenisKantoran.lama kelamaan
timbul pula keperihatinan karena produk tradisional yang merupakan budaya daerah ini populasinya
kian menyusut. Sampai akhirnya timbul kesadaran utuk menyelamatkan serta mengembangkan warisan
budaya sebagaimana diaqmatkan dalam pasal 32 UUD 1945 .maka untuk itu mulailah dirintis suatuperaturan daerah yang mengandung misi mempertahankan dan mengembangkan inti dan gaya
Arsitektur Tradisional Bali. Lahirlah pera No.2,3 dan 4 Th.1974 tentang Tata Ruang untuk
Pembangunan,Lingkungan khusus dan bangunan-banguanan.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
14/24
2.1.2 Gambaran Umum dan Konsep
2.1.2.1 Gambaran Umum
Arsitektur Tradisional Bali bersumber dari ajaranajaran serta tuntunan tentang merencanakan dan
menciptakan ruang. Ajaran serta tuntutan tersebut mengandung nilai yang sangat mendasar, nilai
filosofis, nilai religius serta nilai manusiawi yang termuat dalam lontarlontar. Konseptual perancangan
arsitektur tradisional Bali berdasarkan pada nilai tata ruang yang dibentuk oleh tiga sumbu berikut :
a. Sumbu Cosmos : Bhur, Bhuah dan Swah (hydrosfir, litosfir dan atmosfir)
b. Sumbu Ritual : Kangin dan Kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
c. Sumbu Natural : Utara dan Selatan (gunung dan laut)
Arsitektur Bali tidak hanya berkaitan dengan pembangunan tempat suci spiritual seperti pura dan candi
seperti pandangan orang awam, tetapi juga sangat mempengaruhi tata ruang, teknik, nilai estetis,
ukuran hingga ritual yang digunakan dalam pembangunan. Arsitektur bali juga tidak hanya berfokus
pada arsitektur Tradisional, tetapi juga pada pengembangan arsitektur modern sesuai perkembangan
zaman namun masih mempertahankan konsep Arsitektur Bali.
2.1.2.2 Konsep Dasar
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata
nilai ruangnya.
Konsep dasar tersebut adalah:
* Konsep Tri Hita Karana
* Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
* Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
* Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
* Konsep proporsi dan skala manusia
* Konsep kejujuran bahan bangunan
* Asta Kosala Kosali
* Asta Mandala
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
15/24
Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan,
dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang
harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi :
1. Prhyangan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
2. Pawongan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan
3. Palemahan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Selanjutnya ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan
ini, di mana dalam terminalogi masyarakat Bali diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan,pawongan, dan palemahan.
Dalam arsitektur Bali, hal ini sangat di utamakan dan selalu menjadi landasan pokok dalam membangun.
Konsep Tri Hita Karana menjelaskan bagaimana suatu tatanan ruang arsitektur yang harmonis di antara
ketiga unsur tersebut sehingga terjadilah penataan ruang yang seimbang.
Hirarki Ruang / Tri Angga/Tri Loka
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan
sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali. 9
1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi
2. Madya, bagian yang terletak di tengah
3. Nista, bagian yang terletak di bawah, kotor, dan rendah
Asta Kosala Kosali
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan
untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan
landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari
baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci.
penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
16/24
menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi
menggunakan seperti:
Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke
atas),
Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai
ujung
jari tengah yang terbuka)
Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Asta Bhumi
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman,dan jarak antar pelinggih.
Tujuan Asta Bumi adalah
a) Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b) Mendapat vibrasi kesucian
c) Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi 10
Konsep Tata Ruang Sanga Mandala
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam menjaga
keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada,
1990:58)
Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak
bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan
diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkanpada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah
(Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)
konsep manik ring cucupu
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
17/24
. Konsep manik ring cacupu adalah konsepdimana manusia harus selaras dengan alam. Seperti
janin(manik) danrahim ibu(cacupu). Karena memiliki kesamaan unsur pembentuk 11
2.2 Konsep Tatanan Bangunan Bali Aga di Penglipuran
2.2.1.Arsitektur Desa Bali Aga
Perkembangan Arsitektur Tradisional Bali mempunyai sejarah yang sangat panjang, di tyambah lagi dari
jaman prasejarah (jaman Paleolitic dan Mesolitic), jaman sebelum datangnya Empu Kuturan dan setelah
datangnya Empu Kuturan), jaman pengaruh Majapahit, sampai saat sekarang termasuk jaman modern.
Arsitektur Bali Aga diperkirakan telah ada pada jaman Bali Kuno (sebelum datangnya Empu Kuturan).
Bentuk-bentuk rumah pada jaman ini adalah rumah-rumah sederhana yang disebut kubu, bentuk rumah
semacam ini masih banyak terdapat di daerah Bali pegunungan dan masih dapat dilihat sampai
sekarang. Umumnya dalam satu rumah terdapat banyak fungsi. Masyarakat pada jaman tersebut
dikenal sebagai masyarakat Bali Aga (Bali Asli), yaitu masyarakat Bali yang kurang mendapat pengaruh
Hindu Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga umumnya mendiami desa-desa di
daerah pegunungan (I Gusti Ngr. Bagus, 1979).
Seperti dijabarkan oleh Made Geria, dalam Prasejarah dan Klasik di Bali, ada pun ciri khas pola
permukiman Bali Aga adalah sebagai berikut:
1. Rumah adatnya berupa rumah tampul roras. Tampul berarti adegan = tiang rumah (J. Kersten
S.V.D., 1994 dalam Prasejarah dan Klasik di Bali). Roras = 12, jadi yang dimaksudkan adalah rumah
dengan menggunakan konstruksi tiang penyangga sebanyak keseluruhan 12 buah.
Seperti hunian di Desa Bayung Gede memiliki tiga massa bangunan yang merupakan pakem tradisional
dan warisan ratusan tahun yang lalu. Bangunan tersebut antara lain Lumbung, Bale Pegaman, dan
Paon/Dapur. Masing-masing bangunan berbentuk persegi panjang dan memiliki empat tiang kayu
sebagai penyangga atap. Apabila dijumlahkan, maka jumlah keseluruhan tiang menjadi 3 bangunan x 4
tiang = 12 tiang.
2. Pola permukiman yang diterapkan, yaitu pola linier (linier pattern) dengan struktur berderet
tanpa adanya tembok pembatas antara rumah yang satu dengan yang lainnya. Halaman rumah tampak
menyatu dengan rumah-rumah di sekitarnya.
3. Di samping adanya kompleks desa induk, juga ada daerah-daerah yang menyebar membentuk
sublingkungan yang berjauhan yang dihubungkan dengan jalan setapak ke desa induk.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
18/24
Dalam penataan masing-masing wilayah mempunyai kekhasan seperti di Desa Tenganan dengan plaza
berpola khusus, plaza dengan pola lingkar sisi di Desa Julah, dan plaza dengan lorong-lorong kea rah tepi
di Desa Bugbug. Desa Bayung Gede memiliki kekhasan yang serupa dengan desa tradisional lainnya di
Bali
4. Kiblat atau arah bangunan perumahan ke arah tempat yang lebih rendah, dalam artian tempatyang lebih tinggi selalu dijadikan tempat yang disucikan/diutamakan (hulu).
5. Arah hadap rumah tidak langsung ke jalan utama, tetapi melalui jalan-jalan kecil yang ada di
depan rumah (gang).
6. Faktor yang menonjol adalah faktor kondisi alam, nilai utama pada arah gunung (puncak tertinggi
sebagai orientasi bersama).
7. Pola lingkungan mendekati pola linier dengan lintasan-lintasan jalan yang membentuk pola
lingkungan yang sesuai dengan transis lokasi kemiringan dan lereng-lereng alam.
8. Konsepsi yang dikenal, yaitu Tri Loka (Tiga Dunia) dalam pelaksanaan pengaturan struktur
pekarangan, yang terkait dengan kepercayaan adanya pandangan bahwa dunia atau alam semesta
tesusun atas tiga bagian, yaitu Bhur, Bwah, Swah. Dalam diri manusia, pandangan ini menjelma ke
dalam konsep Tri Angga (Tiga Badan) yang dapat terlihat dari pembagian daerah secara horizontal, yaitu
bagian utama (hulu) tempat bangunan suci, halaman tengah, dan halaman luar.
9. Penataan ruang tidak berlaku secara horisontal, namun vertical, dalam penentuan kesucian
tempat diukur dari ketinggian yang diposisikan sebagai tempat yang disucikan. Konsep pengaturan
secara vertikal ini berpola juga pada pembagian ruang di dalam rumah tampul roras, penempatan para-
para yang strukturnya dibuatkan paling atas sebagai tempat pemujaan yang disucikan.
10. Bangunan tampul roras dibuat di kawasan yang terisolir di daerah balik pegunungan terkait dengan
aspek lingkungan yang tujuannya untuk alasan keamanan karena pada dasarnya masyarakat Bali Aga
ingin mempertahankan dirinya, tidak mau tunduk kepada Majapahit. Hal ini terkait juga dengan
keberadaan tempat pemujaan di dalam rumah, ada dugaan sengaja dibuat demikian untuk menjaga
keamanan masyarakat penganut budaya Bali Aga agar tidak menimbulkan kecurigaan orang di
sekitarnya.
11. Rumah dibuat dengan atap rendah dan minim ventilasi.
12. Struktur bangunan tampul roras, terdiri atas beberapa bagian yang umumnya terdiri dari:
Bebaturan, terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang.
Dinding. Masing-masing wilayah memiliki ciri khas tersendiri disesuaikan potensi daerah yang
dimiliki.
Tiang. Struktur dan kerendahannya hampir sama dengan daerah dataran yang umumnya disebut
saka.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
19/24
Pementang, balok yang membentang di tengah pengikat jajaran tiang fungsinya membentang dan
menstabilkan lambang (balok di sekeliling rangkaian tiang tepi).
Raab (atap), sebagian besar dibuat dari bahan-bahan alam, alang-alang dan sirap bambu.
Keseluruhan konstruksi rangka membentuk satu kesatuan stabilitas struktur yang estetis dan
fungsional. Hubungan elemen-elemen konstruksi dikerjakan dengan sistem pasak tali ikatan.
Penduduk Bali Aga dulunya merupakan penduduk dengan kepercayaan animism dan dinamisme.
Namun, pengaruh Majapahit pada abad ke-14 melalui Patih Gajah Mada dengan agama Siwa Budha-nya
yang berkepentingan memasukkan agama tersebut berhasil mempengaruhi penduduk Bali dataran
rendah. Namun, beberapa penduduk yang berkeyakinan berbeda melarikan diri ke daerah pegunungan
kemudian mendirikan permukiman yang tidak terpengaruh oleh keyakinan Bali dataran rendah. Secara
perlahan Agama Siwa Budha yang kemudian bertransformasi menjadi Agama Hindu Bali berhasil
mempengaruhi seluruh kawasan Bali termasuk desa tradisionalnya.
Desa Bali Aga (Bali Apanaga), yaitu desa-desa tua yang masih kuat memegang sistem, dan adat-
istiadatnya, serta tidak atau sedikit pun kena pengaruh Majapahit. Desa-desa tradisional yang tergolong
desa Bali Aga meliputi:
Desa Trunyan
Desa Tenganan
Desa Asak
Desa Sembiran
Desa Pinggan
Desa Pengotan
Dll.
Desa Apanaga, yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata
kemasyarakatan Majapahit. Desa-desa itu sebagian besar terletak di daerah Bali dataran di Kabupaten
Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, Buleleng dan Jembrana.
2.2.2 DESA PANGLIPURAN
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
20/24
Desa tradisional dengan ciri khas keseragaman angkul-angkul rumah dan kekayaan hutan bambu yang
dilestarikan sebagai desa wisata.
Desa Penglipuran secara pasti tidak diketahui kapan pertama kali ditempati. Kota Bangli sendiri telah
berusia 793 th, sedangkan Desa Penglipuran ini terbentuk pada jaman Kerajaan Bangli. Masyarakat
setempat mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari desa Bayung Gede, Kintamani.
Penduduk dari desa Kubu yang mondok dan bercampur dengan penduduk dari Bayung Gede tersebut,
membentuk suatu pola menetap yang kecil dan diberi nama Penglipuran. Penglipuran berasal dari kata
lipur yang berarti menghibur hati, jadi penglipuran memiliki arti tempat untuk menghibur hati. Pondok-
pondok di daerah hutan sebagai tempat untuk menghibur hati sambil bekerja di ladang yang kemudian
menjadi desa Penglipuran. Sementara para pemuka adat setempat menuturkan bahwa nama
Penglipuran mengandung makna pengeling pura, sebuah tempat suci untuk mengenang leluhur. Konon,penduduk desa Penglipuran pernah diminta bantuannya oleh Raja Bangli untuk bertempur melawan
kerajaan Gianyar. Karena keberaniannya, penduduk desa diberikan jasa oleh Raja Bangli berupa tanah
yang lokasinya sekarang adalah desa adat Penglipuran.
Desa Penglipuran merupakan desa adat yang perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh
kebudayaan Bali Mula (Bali Apanaga), yaitu sebagai kebudayaan awal terlahirnya kebudayaan Bali.
Memasuki jaman Bali Aga, kebudayaan dikembangkan dengan membentuk benda-benda alam dalam
suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam
lingkungannya. Dilanjutkan dengan Bali Arya terjadi lagi pembaharuan di bidang budaya yang di
antaranya adanya lontar-lontar Asta Bumi dan Asta Kosali sebagai pedoman teori pelaksanaan bangunanarsitektur tradisional. Dalam perkembangan selanjutnya setelah Bali dikuasai Pemerintah Kolonial
Belanda pengaruh asing kembali menyentuh arsitektur tradisional Bali.
Pada masa Hindu-Majapahit, Penglipuran tidak terkena pengaruh karena letak desa ini jauh dari pusat
kekuasaan ketika itu, yaitu Samprangan-Gianyar, maka pengaruh yang berkembang terasa lebih
dinikmati oleh daerah-daerah dataran yang dekat dengan pusat pemerintahan. Dang Hyang Nirartha
sebagai pemuka agama ketika merancang suatu bentuk bangunan suci baru yang dikenal sebagai
padmasana, sebagai wujud fisik merupakan symbol pemersatu umat yang ketika itu terpecah dalam
kasta. Baru pada tahun 1930 bangunan padmasana diterima oleh komunitas Penglipuran yang
dibangun pada Pura Penataran (Rajin, mantan Jeo Bayan, wawancara: 1999). Sampai saat ini, belum
semua pura pada masing-masing rumah tinggal memiliki padmasana, hal yang sama juga dijumpai di
Desa Bayung Gede.
Nuansa arsitektur nontradisional modern baru merambah ke Penglipuran ketika pemerintah mulai
membangun kawasan ini untuk pertama kalinya sebagai Taman Makam Pahlawan (pada saat revolusi,
Penglipuran merupakan basis sekaligus bentang pejuang Bangli), kemudian dilanjutkan dengan sekolah,
jalan, jaringan listrik, air bersih, telepon, dan sebagainya.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
21/24
2.2.3 POLA DESA
Falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia dalam
mendayagunakan alam, sehingga terbentuk ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan
buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Palemahan). Konsep
ini terlihat jelas dalam kawasan desa, yang dijabarkan dalam tata letak dalam desa ini.
Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran
yang dibawa dari leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Secara garis besar pola tersebut terbagi
dalam 2 bagian sebagai berikut:
2.2.3 POLA HUNIAN
Pola rumah pada desa Penglipuran berorientasi ke matahari terbit dan tenggelam, yaitu timur kangin
dan barat kauh. Poros tengah yang membagi perumahan di sebelah timur dan barat tersebut,
kesehariannya difungsikan sebagai akses sirkulasi, ruang public sosial, dan prosesi ritual. Masing-
masing rumah walaupun dibatasi dengan tembok pekarangan, namun masih dapat saling berhubungan
dari rumah di hulu sampai dengan di hilir melalui celah peletasan. Peletasan ini bila saling
dihubungkan secara imajiner seolah-olah miniatur dari proses tengah. Di bagian belakang tia-tiap rumah
dilengkapi dengan areal sebagai kebun rumah teben.
Memasuki daerah kompleks hunian terdiri dari pura (mrajan), dapur, lumbung, bale-bale, dan ruang
tidur. Pada satu area rumah letak sanggah (pamerajan) selalu terletak pada sebelah Timur kangin
bangunan karena merupakan tempat suci.
2.2.4 POLA PERMUKIMAN
Permukiman Desa Penglipuran berorientasi ke gunung kaja dan ke laut kelod yang membentuk polalinier yang membagi hunian menjadi dua bagian. Pola massa desa Penglipuran yang linier ini mengikuti
sumbu axis utara-selatan dan mengikuti leveling (transis) yang ada. Akan tetapi, bila pola desanya dikaji
Roger dan Barge (dalam Jefta Leibo, 1986: 9), menyebutkan bahwa Penglipuran termasuk desa dengan
pola cluster atau mengelompok atau disebut juga memusat. Pada konsep desa ini, tercermin adanya
konsep Kahyangan Tiga yang merupakan refleksi batas desa adat, dan merupakan transformasi nilai
simbol dari Trilogi, yaitu lahir, hidup, dan mati atau Brahmana, Wisnu, dan Ciwa. Di samping itu, sebagai
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
22/24
penanda orientasi hulu kaja, tengah, dan teben kelod, atau analogi tubuh manusia yang disebut
dengan Tri Angga, yaitu kepala, badan, dan kaki yang sekaligus menjadi tata nilai utama, madya, dan
nista, yang kebetulan terbentuk pada desa Penglipuran yang notabene termasuk peninggalan jaman Bali
Aga yang berpolakan gunung dan laut.
2.2.4 Bentuk dan Bahan
Bentuk segi empat mendominasi pada bagian badan bangunan dan segitiga pada bagian kepala
bangunan. Setiap komplek hunian memiliki besaran yang berbeda tergantung proporsi tubuh
pemiliknya. Jadi, secara tidak langsung bentuk dan dimensi hunian merupakan pencerminan dari
pemiliknya. Penggunaan bahan-bahan alam yang tersedia di alam sekitarnya dan bentuk-bentuk yang
sangat harmonis dengan lingkungannya adalah buah pemikiran leluhur yang luar biasa.
Bangunan Suci/Parahyangan
Pada bagian Parhyangan terdapat Kori Agung yang memiliki ketinggian 6 meter dengan bukaan kecil
pada bagian tengahnya yang berfungsi sebagai pintu masuk (entrance). Kori Agung ini memiliki tujuh
anak tangga, bagian atas kori memiliki ornament dari berbagai jenis patra dan kekarangan, sehingga
memberikan kesan seperti mahkota raja. Dalam Pura Penataran terdapat pelinggih-pelinggih kecil, meru
tumpang tiga, bale agung, gedong, dan bale panjang dengan bahan pada bagian kakinya menggunakan
batu paras, bagian badannya menggunakan kayu dan pada bagian kepala (atap) menggunakan bambu.
Selain Kori Agung juga terdapat Candi Bentar sebagai pintu masuk ke areal pelinggih-pelinggih dalam
pura. Warna dan bahan pada Candi Bentar memiliki kesamaan dengan Kori Agung, hanya saja bentuknyaterlihat lebih kecil, bukaan yang menerus dan membelah Candi bentar menjadi dua bagian. Di sebelah
timur Pura Penataran terdapat Pura Puseh yang bentuknya lebih sederhana, sedangkan Pura Dalem
berada di area nista (selatan) berdekatan dengan kuburan, serta bahannya dari bahan alam (batu),
namun bentuknya sangat sederhana hanya sebuah batu dengan lingkungan sekitarnya yang dibersihkan
tanpa terdapat padmasana.
Bangunan Pawongan
Pada bagian pawongan terdapat hunian penduduk yang di dalamnya terdapat pura (merajan), dapur,ruang tidur, lumbung dan bale adat (bale sakanam). Angkul-angkul sebagai pintu masuk hunian
menggunakan sistem pondasi umpak (setempat) dengan bahan terbuat dari batu padas. Selain hunian
terdapat pula banjar, wantilan serba guna, pos jaga, areal parkir pengunjung, dan angkul-angkul desa
sebagai main entrance, kantor regritasi, toilet, dan tempat jual sovenir.
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
23/24
Jalan tengah desa (rurung gede), gang/jalan setapak serta pertamanan desa juga terletak di areal
pawongan, yaitu masuk dalam bagian tengah. Dalam areal pawongan tersebut merupakan areal
perumahan dengan sarana dan prasarananya.
Pura (merajan) menggunakan bahan batu alam pada bagian lantainya, sedangkan konstruksinya
menggunakan bahan kayu dan ada juga yang mengaplikasikan bambu untuk atap dan sebagian lagi tidak
menggunakan ijuk, namun telah menggunakan bahan modern baik seng maupun genteng.
Bale Adat menggunakan balok dengan bentang 4,6 m dengan besar 12/15, dengan menggunakan kayu
yang kualitas bahannya dapat mencapai 15-20 tahun. Lantainya terbuat dari bahan paras, semen, serta
batu bata, sedangkan untuk bahan atapnya menggunakan bahan dari sirap bambu dengan bentang 4,6
m, seng dan genteng. Jenis sambungan yang digunakan oleh kayu dan bambu adalah jenis sambungan
pelana.
Pada bagian dapur menggunakan balok dengan bentang 3 m, dengan besaran balok 10/10 dan tiang
bambu, memakai bambu yang berkualitas baik. Lantai menggunakan tanah tidak berpola dengan jenis
tanah biasa dipadatkan dengan tinggi 60-100 cm. Atap menggunakan bahan kayu dan sumbu yang
berbentuk sirap, seng dan genteng.
Dapur difungsikan juga sebagai ruang tidur menggunakan sistem pondasi umpak dengan bahan dari
batu padas. Kolomnya memiliki bentang 2,5 m, besar kolom 10/10, modul yang digunakan adalah
bujur sangkar dengan menggunakan kayu nangka. Dinding yang digunakan adalah anyaman bambu
(bedeg), serta atap yang ditutup dengan sirap bambu.
Pada jineng (lumbung) menggunakan bilik dengan bentang 1,5 m dengan ukuran balok kayu yang
digunakan adalah 10/15. Lantai menggunakan bahan tanah, kayu dan bambu disusun atau dipasang
horizontal dengan ketinggian dari tanah 1 m. Bahan atap terdiri dari rangka kayu dengan penutup atap
seng, dengan bentang 1,5 m, serta atap yang berbentuk perisai dengan struktur kayu dan memiliki
plafon dari bambu dipasang secara horisontal. Penutup dinding menggunakan bahan anyaman bambu
(bedeg) dengan kolom dari kayu yang berkualitas baik.
Selain bangunan hunian daerah pawongan terdapat pula bale banjar yang biasa digunakan untuk
pertemuan warga dan untuk acara-acara kemasyarakatan. Memiliki bentangan balok 3,6 m, besar
kolom 10/10 dengan kualitas bahan yang baik. Lantai menggunakan bahan tanah liat atau tanah biasayang dipadatkan dengan ketinggian lantai 60 cm, serta memiliki luasan 18 m2. Atap menggunakan
bahan alang-alang dan jenis penutup atapnya adalah perisai atau limasan dengan struktur dari kayu.
Sistem pondasi menggunakan pondasi umpak dengan menggunakan bahan batu padas dengan bentang
antar kolom 1,5-2,5 m, besar kolom antara 15/15. Modul dari bangunan yang digunakan adalah bentuk
bujur sangkar dengan menggunakan bahan dari kayu nangka. Pada bale banjar ini terdapat bale kul-kul,
-
8/10/2019 Perkembangan Arsitektur Bali
24/24
dengan kentongan pada bagian atasnya, yang berfungsi untuk komunikasi nonverbal dengan
masyarakat. Bahan yang digunakan untuk bale kul-kul adalah batu bata merah.
Pada daerah pawongan pada ujung paling selatan terdapat suatu lahan yang disebut karang
memadu/karang madu, yaitu satu unit pekarangan yang khusus disediakan oleh Desa Adat, dan
diperuntukan bagi krama desa yang melakukan poligami (memiliki istri lebih dari satu). Namun, sampaisaat ini belum ada krama desa yang ditempatkan di Karang Memadu.
Bangunan Palemahan
Daerah palemahan terdapat beberapa bangunan antara lain taman makam Pahlawan Anak Agung Anom
Mudita, wantilan dalam makam, sekolah dasar, pondokan dan areal hutan bambu. Bangunan wantilan
yang terdapat dalam taman makam pahlawan ini digunakan sebagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan peringatan / hari pahlawan, yang pada bagian lantainya menggunakan bahan traso serta bahan
kayu digunakan pada bagian balok, kolom, dan struktur atapnya. Untuk penutup atapnya menggunakanseng, sedangkan bahan yang digunakan pada makam ini adalah batu bata merah.
Ujung selatan dari daerah palemahan terdapat fasilitas umum, yaitu kuburan (setra) untuk masyarakat
Penglipuran. Keberadaan dari kuburan bagi masyarakat Penglipuran sangatlah penting, karena di desa
Penglipuran tidak dilakukan prosesi pembakaran mayat selayaknya dilakukan oleh umat Hindu daerah
lain di Bali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan yaitu kita hendaknya membangun rumah menurut Asta Kosala Kosali
agar kita dapat Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi, Mendapat
vibrasi kesucian, menguatkan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.