perkawinan adat jawa dalam pemikiran …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2849/1/skripsi...i...

119
i PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen) SKRIPSI Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: SITI MUKAROMAH NIM: 211-12-018 JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) SALATIGA 2016

Upload: nguyenkhanh

Post on 27-Jun-2019

251 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

i

PERKAWINAN ADAT JAWA

DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Di Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh

Kabupaten Sragen)

SKRIPSI

Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

SITI MUKAROMAH

NIM: 211-12-018

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

2016

ii

iii

iv

v

MOTTO

dengan bersyukur semua menjadi indah

vi

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunia-Nya,

skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Samudi dan Ibu Suliyem yang telah

mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala dukungannya

dalam setiap langkah-langkahku.

2. Kakak serta adik-adikku tersayang mbak Nur Sholikah, mas Badi Anur

Achsan, dek Puji Mulyo Nugroho, dek Puji Agung Rahmawati, yang

memberi dukungan & doanya tak pernah surut mengiringi perjuanganku.

3. Dosen pembimbing skripsiku ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag yang tak pernah

lelah membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.

4. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah membagikan ilmunya kepadaku

dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan Ahwal

al Syakhshiyyah.

5. Seseorang yang tak pernah bosan memberiku semangat di setiap harinya.

6. Keluarga besar Santri putra putri PP. Edi Mancoro & keluarga besar HMI

kota Salatiga yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna

dalam hidupku.

7. Teman-teman seperjuangan mb Suci, mb Jamil, mb ayu peraih beasiswa

BIDIKMISI YA BISMILLAH IAIN Salatiga

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERKAWINAN ADAT

JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen)”.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan

skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat

dan terima kasih kepada:

1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

2. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Sukron Makmun, M.Si.

3. Pembimbimbing skripsi, Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. yang dengan ikhlas

membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk

penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.

4. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

yang telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan

jenjang pendidikan S1.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka

kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil

viii

dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca pada

umumnya. Amin.

Salatiga, 22 September 2016

Penulis

ix

ABSTRAK

Mukaromah, Siti. 2016. PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN

HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kecamatan Plupuh Kabupaten

Sragen). Skripsi Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al

Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Dosen Pembimbing Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

Kata Kunci: Perkawinan Adat Jawa, Pemikiran, Hukum Islam.

Penelitian yang penulis lakukan untuk mengungkap adat dan tradisi

masyarakat Jawa di dalam ritual perkawinan. Di mana adat dan tradisi dalam

ritual perkawinan masarakat Jawa menganut kepada adat dan tradisi zaman dahulu

yang telah dilakukan oleh nenek moyang suku Jawa. Dalam prosesi hajatan dalam

perkawinan terdapat runtutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai maupun

kedua orang tau calon mempelai. Mereka percaya apabila melewatkan salah satu

prosesi, maka akan terjadi sesuatu yang mengancam kehidupan berumah tangga

kedua mempelai. Melihat hal itu, maka penulis melakukan penelitian dengan tiga

fokus pokok pembahasan yaitu: pertama, Bagaimana prosesi perkawinan adat

yang dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten

Sragen? Kedua, Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang teguh oleh

masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dan bagaimana

implikasinya terhadap masyarakat? Ketiga, Bagaimana perkawinan adat di desa

Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam pemikiran hukum Islam?

Dengan penelitian kualitatif dan metode deskriftif analisis yang penulis

lakukan berusaha untuk mengungkap dan menjawab pokok-pokok permasalahan

di atas. Menggunakan metode penelitian tersebut penulis melakukan observasi

dan wawancara di lapangan guna mengetahui secara langsung bagaimana praktik

yang dilakukan oleh masyarakat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten

Sragen dalam prosesi upacara adat yang hingga saat ini.

Dari penelitian bahwa prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh

masyarakat desa Ngrombo terbagi menjadi dua sesi, yang pertama yaitu prosesi

sebelum pelaksanaan upacara perkawinan yang terdiri dari upacara langkahan,

dodol dawet, nebus kembar mayang, slametan midodareni, dan nyantri. Kedua

prosesi pelaksanaan upacara perkawinan, yaitu terdiri upacara ngerik dan ngrias,

ijab qabul, adang-adangan, sindhur binayang, kacar-kucur, dhahar kembul,

bupak kawah, sungkeman, acara resepsi dan hiburan, dan pengajian temanten.

Alasan perkawinan adat Jawa masih dipegang teguh dan implikasinya pada

masyarakat adalah bahwa dengan melaksanakan upacara perkawinan adat berarti

telah menghormati nenek moyang karena hal itu adalah warisan dari nenek

moyang, menjaga dan melestarikan budaya para leluhur, untuk meminta

keselamatan kepada roh penjaga desa dan leluhur, para pelaku merasa tentram dan

tidak was-was, melakukan sesuatu yang sudah umum di masyarakat. Prosesi

perkawinan adat dalam pemikiran hukum Islam hukumnya mubah selama tidak

bertentangan dengan nash.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING......................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN.......................................................iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................iv

HALAMAN MOTTO..............................................................................................v

HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................vi

KATA PENGANTAR...........................................................................................vii

ABSTRAK .............................................................................................................ix

DAFTAR ISI............................................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................4

C. Tujuan Penelitian......................................................................................4

D. Kegunaan Penelitian ................................................................................5

E. Metode Penelitian.....................................................................................6

F. Tahab-tahab Penelitian.............................................................................8

G. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................9

H. Penegasan Istilah....................................................................................11

I. Tinjauan Pustaka.....................................................................................12

J. Sistematika Penulisan.............................................................................15

BAB II PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN ULAMA

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan.....................................17

B. Tinjauan Umum Tentang Adat Perkawinan Dalam Ushul Fiqih ...39

xi

BAB III DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA

A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen ...........................................45

B. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh

Kabupaten Sragen Terhadap Adat Jawa .........................................50

C. Ragam Adat Istiadat yang Hidup di Masyarakat Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen............................................53

BAB IV PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM

ISLAM

A. Prosesi Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh

Kabupaten Sragen ...........................................................................58

B. Alasan-alasan Perkawinan Adat Masih di Pegang Teguh Oleh

Masyarakat Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Desa

Ngrombo..........................................................................................87

C. Pandangan Ulama Terhadap Perkawinan Adat Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen............................................91

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................97

B. Saran................................................................................................99

C. Penutup ...........................................................................................99

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................100

LAMPIRAN.........................................................................................................103

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial, yang artinya bahwa manusia tidak

dapat hidup seorang diri dan membutukan manusia lain untuk bersosialisasi.

Contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan sebuah

pernikahan atau perkawinan. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan

naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang

kuat untuk hidup teratur (Soekanto, 1982: 9). Allah SWT menciptakan

sejumlah insting dan dorongan nafsu yang mengiringi manusia kepada

berbagai hal yang menjamin ksistensinyasebagai individu, juga sebagai

spesies. Salah satunya adalah insting seksual, yang berfungsi untuk

mempertahankan spesies manusia. Ia merupakan insting yang sangat kuat

tertanam dalam diri manusia (Qardhawi, 2000: 213). Seperti halnya Allah

SWT menciptakan manusia pertama kali yaitu Nabi Adam, yang dimana

Allah tidak membiarkan Nabi Adam hidup seorang diri namun dihadirkanlah

Hawa sebagai teman hidupnya di muka bumi. Karena Nabi Adam pertama

kali manusia diciptakan tidak ada keterlibatan mahluk lain, dengan kata lain

Nabi Adam tidak dilahirkan seperti manusia pada umumnya lewat rahim

seorang ibu serta melibatkan malaikat dan orang tuanya (Sudarmojo, 2009:

91), maka dari itu untuk keturunan Nabi Adam yang lahir di dunia sebagai

generasi penerus umat manusia dengan perantara ayah dan ibu dan haruslah

melalui sebuah perkawinan.

2

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974

bab 1 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Sudarsono,

2005: 288). “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum : 21)

Dari ayat Al-Qur‟an tersebut, bermakna anjuran untuk menikah dan

bahwa Allah menciptakan manusia secara berpasang-pasang yaitu sebagai

suami istri, yang dimana perkawinan harus melalui suatu akad yang telah

ditentukan menurut rukun dan syarat perkawinan. Diantara manfaat dan

hikmah perkawinan ialah bahwa perkawinan itu menentramkan jiwa, dapat

meredam emosi, menutup dan menundukkan pandangan dari segala yang

dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami istri yang dihalalkan

Allah sesuai dengan firmanya (Hamdani, 2002: 6). Sedangkan menurut

Muhammad Azzam dan Sayyed Hawwas dalam bukunya yang berjudul Fiqh

Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, tujuan perkawinan yang tertinggi

adalah memelihara regenerasi, memelihara gen manusia, dan masing-masing

suami istri mendapatkan ketenangan jiwa karena rasa kecintaan dan rasa

kasih sayangnya dapat disalurkan, demikian juga pasangan suami istri sebagai

3

tempat peristirahatan di saat-saat lelah dan tegang, serta keduanya dapat

melampiaskan kecintaan dan kasih sayangnya selayaknya sebagai suami istri.

Pada prinsipnya pernikahan adalah perbuatan yang menyatukan

pertalian sah: “bertujuan untuk suatu akad yang menhalalkan pergaulan dan

pertolongan antara laki-laki dan wanita serta membatasi hak-hak serta

kewajiban masing-masing mereka” (Azzam dan Hawwas, 2009: 37). Dari

sini dapat dilihat tujuan penikahan bukan sekedar penyaluran naluri seks

semata melainkan juga menghapus batasan-batasan yang awalnya haram

menjadi halal. Sementara itu, aspek agama dalam pernikahan merupakan

perkara yang “suci”. Dengan demikian, pernikahan menurut Islam merupakan

ibadah , yaitu dalam rangka terlaksananya perintah Allah atas petunjuk rasul-

Nya, yakni terpenuhi rukun dan syarat nikah (Hassan, 2008: 299).

Pada masyarakat suku Jawa, pernikahan atau perkawinan merupakan

sesuatu yang agung. Banyak sesuatu hal yang sakral dalam upacara

perkawinan (Endrasswara, 2010: 194). Dalam prosesi pernikahan yang

dilakukan di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen terdapat

urutan-urutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Dari hal itu maka

penulis skripsi ini memberikan judul “PERKAWINAN ADAT JAWA

DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa

Ngrombo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen)”. untuk mengetahui

bagaimana prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat tersebut

di atas, dan bagai mana pandangan Islam mengenai hal tersebut.

4

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, pokok-pokok

permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dan akan penulis kaji

dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prosesi perkawinan adat yang

dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,

kabupaten Sragen?

2. Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang

teguh oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten

Sragen dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat ?

3. Bagaimana perkawinan adat yang dilakukan

masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam

pemikiran hukum Islam?

C. Tujuan Penelitin

Dari rumusan masalah di atas mengenai perkawinan adat Jawa,

Supaya tidak menyimpang dari pokok masalah dan sesuai dengan fokus

analisis yang telah penulis rumuskan di atas maka tujuan penelitian yaitu

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui prosesi perkawinan yang dilakukan masyarakat desa

Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

2. Untuk mengetahui alasan-alasan apa saja sehingga perkawinan adat Jawa

masih dipegang teguh oleh masyarakat dan bagaimana implikasinya

5

terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten

Sragen.

3. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen dilihat

dari pemikiran hukum Islam.

D. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan secara teoritis dari hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Sebagai sumber referensi bagi para peneliti dan sebagai kajian

pustaka khususnya untuk mengkaji perkawinan adat khususnya di

desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

b. Untuk menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan yang

lebih luas bagaimana prosesi perkawinan yang dilakukan oleh

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen

menurut fiqih Islam bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.

c. Sebagai bahan atau wacana bagi pemerhati permasalahan adat

istiadat yang ada di Jawa, termasuk juga yang ada di desa

Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen.

2. Kegunaan praktis

6

Penulis mengharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dan

ilmu pengetahuan bagi semua pihak yaitu sebagai acuan dalam

kehidupan bermasyarakat.

E. Metode Penelitian

Metode dalam suatu penelitian merupakan sesuatu hal yang sangat

lazim digunakan oleh peneliti setiap melakukan penelitian ilmiah. Di dalam

dunia penelitian, penggunaan metode penelitian untuk mengkaji dan meneliti

suatu objek penelitian telah diatur dan ditentukan dengan pesyaratan yang

sangat ketat berdasarkan disiplin keilmuan yang telah diberlakukan. Hal ini

dimasudkan agar hasil temuan dari penelitian tersebut diakui kebenaranya

oleh komunitas ilmuan yang terkait dengan hal itu karena memiliki nilai

ilmiah di bidang tersebut.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk dasar penelitian ini

adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu

objek penelitian, yang umumnya menggunakan strategi multi

metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen

atau study documenter yang antara satu dengan lainnya saling

melengkapi, memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata,

2005: 108).

7

2. Pendekatan Penelitian

Dengan menggunakan pendekatan deskriftif analisis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara detail tentang

sesuatu objek agar dapat mempelajari secara mendalam mengenai

perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh kedua calon pengantin

maupun keluarga dari keduanya.

3. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, penulis hadir dan ikut serta dalam

proses penelitian di lapangan dan pencarian informasi menganai

prosesi perkawinan adat Jawa di desa ngrombo ecaatan Plupuh

kabupaten Sragen.

Adapun penelitian mulai dilakukan pada tanggal 09 Juli

2016 sampai dengan selesai penelitian dan pembuatan skripsi ini

selesai.

4. Sumber Data

Data merupakan suatu fakta dan keterangan yang diperoleh

saat penelitian. Adapun sumber data yang digunakan dalam

penelitian adalah sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

1. Informan

Informan merupakan orang yang menjadi sumber

imformasi dan sebagai narasumber dari obyek

penelitian, dan di sini yang menjadi sebagai informan

8

adalah sesepuh dan penduduk asli desa Ngrombo,

kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

2. Dokumen

Dokumen yang dimaksud adalah berupa hasil

observasi dan wawancara yang dilakukan langsung

terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan plupuh,

kabupaten Sragen.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian adalah data yang menjadi sumber

pendukung dari data primer di dalam penelitian antara lain Undang-

undang, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lain (Soekanto dkk,

1983: 13), yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi dan

buku-buku yang mendukung keperluan dari penelitian yang dilakukan

di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

F. Tahap-tahap Penelitian

Pada penelitian ini terdapat tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti

membagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Pra-lapangan

Dalam tahap pra-lapangan ini ada beberapa hal yang harus

dilengkapi oleh peneliti:

1. Menyusun rancangan penelitian.

2. Mengurus perizinan.

3. Menjajaki dan memprediksi penelitian.

9

4. Memilih informan.

5. Menyiapkan semua perlengkapan penelitian.

b. Tahap Penelitian Lapangan

Tahap kedua ini mencakup tentang poin-poin sebagai berikut:

1. Memahami latar penelitian.

2. Adaptasi lapangan.

3. Pengumpulan data lapangan.

c. Tahap Analisis Data

Pada tahap analisis ini membahas tentang prinsip-prinsip pokok

materi yang diperoleh dari hasil penelitian tentang perawinan adat

Jawa di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, namun

tidak merinci cara analisis data itu dilakukan karena ada bab yang

secara khusus membahas bagaimana cara menganalisis data. Analisis

data ini adalah mengubah data mentah menjadi data yang bermakna

yang mengarah pada kesimpulan (Arianto, 2010:53).

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik maupun prosedur pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti

seperti observasi partisipan, wawancara mendalam dan dokumentasi (Stain

Salatiga, 2008: 31). Data-data yang dikumpulkan oleh penulis yang dilakukan

di tempat fokus penelitian dengan menggunakan beberapa teknik sebagai

berikut:

1. Observasi. Merupakan pengamatan secara langsung pada prosesi

perkawinan di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

10

Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan

pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad, 1994:

164). Dengan tujuan untuk memperoleh gambaran maupun data dari

objek yang diteliti.

2. Indepth Interview (wawancara mendalam). Yaitu pengumpulan data

dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah

disusun untuk memperoleh jawaban secara langsung pula dari

seorang responden (Koentjaraningrat, 1986: 138). Di karenakan

penelitian ini menggunakan dasar penelitian studi kasus, oleh karena

itu pengumpulan data dengan cara wawancara secara mendalam. Hal

ini dianggap langkah paling tepat untuk memperoleh data serta

informasi secara detail dari objek penelitian karena wawancara

merupakan pertemuan dua orang atau lebih dengan tujuan untuk

bertukar berbagai informasi maupun ide dengan cara tanya jawab

dengan informan secara langsung, dalam hal ini adalah penduduk

desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

3. Dokumentasi, dilakukan dengan mengumpulkan data dan mengutip

dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian untuk

memperoleh data dari desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten

Sragen.

4. Analisis Data

Analisis merupakan suatu teknik dengan langkah

mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik khusus pada suatu

11

pesan secara objek dan sistematis untuk menarik suatu kesimpulan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan diskriftif analisis yaitu

dengan mendeskripsikan menganai perkawinan adat Jawa (Holsti,

1969: 14).

5. Triangulasi Data

Triagulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil

wawancara terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini,

validalitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga diperlukan suatu

teknik untuk mendapatkan kevalidan dan keabsahan data. Teknik ini

bisa dilakukan dengan cara yaitu sebagai berikut: petama,

pengecekan setelah melakukan wawancara dan observasi. Kedua,

wawancara yang dilakukan lebih dari sekali, maka dilakukan

triangulasi saat wawancara telah selesai dan laporan penelitian telah

disusun untuk informan membaca terlebih dahulu membaca isi

laporan tersebut, dan yang paling utama untuk pengecekan

keabsahan data ini dikarenakan kekhawatiran terdapat kesalahan

maupun kekeliruan (Moleong, 1999: 330).

H. Penegasan Istilah

Untuk membantu pemahaman pembaca dalam menelaah penelitian ini

supaya tidak terjadi kerancauan dan kesalahan penafsiran istilah, maka

12

penulis merasa perlu untuk menyampaikan penjelasan dan penegasan

beberapa istilah sebagai berikut:

1. Adat Jawa

Adat Jawa merupakan sebuah kepercayaan yang dianut

masyarakat di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang

menetap di Jawa, yang pada hakikatnya suatu filsafat di mana

keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada (Wikipedia).

2. Hukum Islam

Hukum Islam menurut Mukhta Yahya (1986: 121) adalah khitbah

atau sabda pencipta syari‟at yang berkaitan dengan perbuatan orang-

orang mukaallaf, yang mengandung suatu tuntunan atau pilihan yang

menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya

sesuatu yang lain.

I. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini bukanlah penelitian yang pertama kali yang

dilakukan dalam hal pengamatan adat Jawa, meskipun demikian penelitian

ini bukanlah suatu duplikat dari penelitian atau skripsi yang sama dengan

lainnya. karena dalam penelitian ini penulis menfokuskan pada

perkawiana adat Jawa yang ada di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,

kabupaten Sragen.

13

Sebagai pendukung penelaahan komprehensif penulis menelusuri

hasil penelitian, artikel maupun buku-buku yang lain tetapi penelitian yang

relevan dengan topik yang dikaji diantaranya sebagai berikut:

Skripsi atau penelitian dari Fatkhur Rohman, pada tahun 2015

dengan judul ”Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa

Kraton Surakarta Dan Yogyakarta (Studi Komparasi)”. penelitin tersebut

membahas tentang upacara pernikahan yang dimulai dari tahap perkenalan

sampai terjadinya perkawinan yang dilakukan di kalangan keraton

Surakarta dan kraton Yogyakarta. Terdapat perbedaan khusus antara

busana pengantin kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta, yaitu dalam

pengantin Surakarta busananya dikenal dengan sebutan busana basahan,

sedangkan pada pengantin kraton Yogyakarta menggunakan 5 corak

busana yakni: putri, kasatrian, kasatrian ageng, paes ageng, dan paes

ageng jangan menir. Selain busana terdapat juga perbedaan dalam prosesi

upacara perkawinan antara Surakarta dengan Yogyakarta diantaranya:

pondongan, posisi duduk dalam pelaminan, dahar kembul (dahar klimah).

Selain itu ada perbedaan dalam simbol-simbol yang bersifat abstrak.

Kemudian skripsi atau penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif

Upacara dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang” oleh

Sugiardi pada tahun 2014, hasil penelitiannya yaitu sebagai berikut:

Bahwa uacara panggih pada suku Jawa adalah upacara bertemunya

pengantin pria dan wanita setelah keduanya sah sebagai suami istri. Dalam

pelaksanaan upacara perkawinan bagi suku Jawa harus memperhitungkan

14

hitungan hari berdasarkan tanggal lahir dari kedua mempelai yang telah

dirumuskan sesuai penanggalan orang Jawa (weton). Pelaksanaannya juga

terdiri dari upacara-upacara yang sangat sakral, dimulai dari nontoni,

lamaran, panggih, srah tinampi, pertukaran kembar mayang, ngidak

endhok (wiji dadi), sindur, sampai akhirnya ditutup dengan prosesi

terakhir yaitu sungkeman.

Buku yang ditulis oleh Muhammad Hariwijaya pada tahun 2004

yang berjudul “Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa”. Buku

tersebut menceritakan bagaimana prosesi upacara perkawinan yang

dimulai dari seorang anak yang akan atau telah menentukan pasangan

hidupnya, selajutnya menerima ataupun melaksanakan prosesi lamaran,

menentukan hari perkawinan, pembentukan panitia dan pelimpahan tugas

untuk jalannya upacara perkawinan, persiapan menjelang pesta

perkawinan, pedoman menentukan tamu undangan dan catering, surat

kelengkapan menikah, prosesi upacara srah-srahan peningset,

menyelenggaraan upacara pasang tarub, menyelenggarakan upacara

siraman, tata cara menyelenggarakan malam midodareni dan kembar

mayang, memasuki upacara ijab kabul, prosesi upacara panggih temanten,

prosesi upacara resepsi, upacara ngunduh mantu dan jenang sumsum,

panduan manual acara pernikahan, dan yang terakhir ular-ular panggih

temanten.

Dari berbagai tinjauan pustaka yang penulis utarakan di atas, tentu

berbeda dengan skripsi yang penulis ulas. Di dalam skripsi ini penulis

15

menjelaskan tentang bagaimana konsep upacara perayaan perkawinan

menurut Islam, dan bagaimana konsep perayaan perkawinan menurut

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, serta

bagaimana pemikiran hukum Islam mengenai upacara perayaan

perkawinan adat di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

J. Sistematika Penulisan

Agar mempermudah penjelasan skripsi tentang perkawinan adat Jawa

ini perlu sistematika penulisannya. Adapun sistematika dalam penulisan

penelitian adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian yang meliputi kegunaan

teoritis dan kegunaan praktis, metode penelitian yang meliputi jenis

penelitian, sifat penelitian, pendekatan, pengumpulan data, langkah-langkah

penelitian dan analisis data. Kemudian penegasan istilah, tinjauan pustaka

dan terakhir sistematika penulissan.

BAB Kajian pustaka yang meliputi: pengertian

pernikahan/perkawinan, hukum dan syarat perkawinan, pengertian adat Jawa,

perkawinan berdasarkan adat Jawa, syarat-syarat pernikahan/perkawinan

berdasar adat Jawa. Perkawinan dalam agama Islam.

BAB I Hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum dari objek

penelitian yang terdiri dari: Gambaran umum tentang desa Ngrombo,

kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen. Upacara perkawinan adat Jawa serta

16

tanggapan masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen

mengenai Perkawinan adat Jawa.

BAB IV Pembahasan pokok permasalahan dari data-data hasil

penelitian mengenai: Proses pelaksanaan perkawinan adat Jawa di desa

Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen. Implikasi perkawinan adat

Jawa terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten

Sragen. Alasan-alasan Perkawinan adat Jawa masih dipegang teguh oleh

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

Perkawinan adat Jawa perspektif Islam.

BAB V Penutup, merupakan bagian terakhir penulisan Skripsi ini. Pada

bab ini berisi kesimpulan keseluruhan isi dari skripsi mengenai penulisan

hasil penelitian tentang perkawinan adat Jawa, serta rekomendasi penulis

terhadap masyarakat umum.

17

BAB II

Perkawinan Adat Jawa

Dalam Pemikiran Ulama

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Pengertian perkawinan

Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada

semua mahluk ciptaan Allah SWT baik manusia, hewan, dan tumbuh-

tumbuhan. Perkawinan haruslah mengikuti tata cara yang normatif dan

legal, karena perkawinan manusia berbeda dengan binatang. Untuk

binatang perkawinan hanyalah untuk memenuhi nafsu birahinya dan

dilakukan dengan bebas menurut hawa nafsunya karena sudah menjadi

kodrat binatang, sedangkan bagi manusia perkawinan diatur oleh syariat

dan peraturan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Perkawinan dalam

literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah ( كخ) dan

zawaj (صاج) . kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan sehari-

hari orang arab dan banyak terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits Nabi. Kata

18

na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti

kata nikah atau zawaj berarti “bergabung” (ضى), “hubungan kelamin”

Dalam arti terminologis di dalam .(ػقذ) ”dan juga berarti “akad (طء)

kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan: ػقذ زض اثبدخ انطء ثهفظ

yang artinya yaitu akad atau perjanjian yang mengandung االكبح اانزضج

maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-

ka-ha atau za-wa-ja (Abidin & Aminuddin, 1999: 125).

Para ahli fiqih biasa menggunakan rumusan definisi sebagaimana

tersebut diatas dengan penjelasan sebagai berikut:

1). Penggunaan lafaz akad (ػقذ) untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu

adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak yang

terlibat dalam perkawinan. Perkawinan iu dibuat dalam bentuk akad

karena ia adalah peristiwa hukum , bukan peristiwa biologis atau semata

hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.

2). Penggunaan ungkapan زض اثب دخ انطء (yang mengandung maksud

membolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan laki-

laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang

membolehkannya secara hukum syara‟. Di antara hal yang membolehakan

hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduannya.

Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu

yang asalnya tidak boleh itu.

19

3). Penggunaan kata جثهفظ اثكبح ارض , yang berarti menggunakan lafaz

na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang

membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan itu

mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam

Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan

hubungan antara laki-laki dan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang

laki-laki atas seseorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”.

Bolehnya hubungan hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut

perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata “tasarri” (Syarifuddin,

2003: 73).

Menurut Shiddieq mengartikan kawin secara etimologis (lughah)

adalah kumpul atau bersatu, sedangkan menurut terminologisnya (istilah)

“Nikah ialah suatu „Aqd (ikatan) yang menghalalkan hubungan laki-laki

dan perempuan yang semula terlarang (haram) (Shiddieq, 2004: 1).

Sedangkan dalam kamus Al-Mu‟jam Al-Wasiith dan Mu‟jam Al-

Muhiith mendefinisikan Kata zawaaj „perkawinan‟ menurut bahasa bisa

berarti bersanding, bergabung, dan bercampur. Mengawinkan berarti

menyandingkan, menyatukan, dan mencampurkan. Az-zawaaj juga bisa

berarti berkumpulnya suami dengan istri, atau laki-laki dengan perempuan

(Ariij, 2006: 29).

Menurut golongan Hanafiyah, mengartikan sebagai berikut:

Nikah itu adalah aqad yang memberikan faedah memiliki, bersenang-

senang secara sengaja.

20

Dan menurut golongan Malikiyah, nikah merupakan aqad yang

mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan

watha‟(طء), bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri

seorang wanita yang boleh nikah dengannya.

Sedangkan menurut golongan Syafi‟iyah mendefinisikan nikah

merupakan aqad yang mengandung kekuasaan untuk watha‟ (bersetubuh)

dengan lafadz nikah atau yang semakna dengan keduannya. Menurut

golongan Hambaliyah mengartikan nikah adalah aqad yang

mempergunakan lafadz nikah atau tazwij untuk membolehkan manfaat,

bersenang-senang dengan wanita (Al-Jaziri, 1990: 8). Menurut Sayuti

Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh

untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan membentuk keluarga kekal, santun menyantuni, kasih

mengasihi, tentram dan bahagia (Ramulyo, 1999: 1).

Sedangkan menurut Pasal 2 inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan dan tujuannya adalah:

Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat

atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan yang

melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah

warrahmah (IAIN, 2016: 32).

21

Menurut Syarifuddin ada beberapa hal dari dirumusan tersebut di

atas yang perlu diperhatian adalah sebagai berikut:

a. Digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti

bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini

menolak perkawinan sesama jenis yang dewasa ini telah dilegalkan oleh

beberapa negara barat.

b. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa

perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam

suatu rumah tangga, bukan hanya istilah “hidup bersama”.

c. Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu

membentu rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan

sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam

perkawinan mut‟ah dan perkawinan tahlil.

d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan

bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama yang dilakukan

untuk memenuhi perintah agama (Syarifuddin, 2003: 75).

Dari sekian pendapat mengenai pengertian pernikahan dapat ditarik

garis besar bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan (ikatan) dan

akad yang dimaksudkan untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki

dengan perempuan (kumpul atau Al-Jam‟u/Al-Dhamu) yang awalnya

haram dengan tujuan mewujudkan kebahagiaan dan kasih sayang hidup

bersama (rumah tangga) yang diridhoi Allah AWT (Sulaiman, 2003: 5).

22

2. Prinsip-prinsip Perkawinan

Menurut Ahmad Azhar Basyir mengemukakan prinsip-prinsip

perkawian menurut agama Islam adalah:

a. Pilihan jodoh yang tepat.

b. Perkawinan didahului peminangan.

c. Ada ketentuan tentang larangan perkawianan antara laki-laki dengan

perempuan.

d. Perkawinan didasarkan pada suka rela antara pihak-pihak yang

bersangkutan.

e. Ada persaksian dalam aqad nikah.

f. Perkawianan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.

g. Ada kewajiban membayar maskawin atas suami.

h. Ada kebebasan mengajukan sembahyang dalam nikah.

i. Tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga

(Basyir, 1996: 14).

Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan bahwa prinsip

perkawinan adalah sebagai berikut:

Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Ayat 1: “perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Ayat 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

23

Ayat 1 Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1994: “pada asasnya dalam suatu

perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang

wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (IAIN, 2016: 32).

c. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun artinya unsur-unsur pokok untuk sahnya sebuah

perkawinan, yaitu sebagai berikut:

1. Sighot (akad) yaitu perataan dari pihak wali perempuankepada seorang

pria yang berisi tentang tujuan menikahkan anak perempuannya.

2. Wali

3. Dua orang saksi.

Sedangkan rukun nikah ada lima, adalah sebagai berikut:

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali

d. Dua orang saksi

e. Aqad (Ijab-Qabul)

Ijab artinya penegasan kehendak atau penyerahan anak

perempuan dari walinnya kepada calon suami, sedangkan Qabul

adalah penegasan penerimaan dari calon suami (Saleh, 2008: 300).

Sedangkan syarat perkawinan menurut Pasal 6 UU No 1 Tahun

1974 adalah:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai.

24

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin

kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan

kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup

diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka

izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga

yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus

ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau

lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka

pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut

dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar

orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini (2016:

33).

d. Anjuran Perkawinan dan Hikmahnya

25

Perkawinan sangat dianjuran dalam Islam, banyak ayat-ayat al-

Qur‟an maupun hadits Nabi yang digunakan sebagai dasar hukum dan

rujukan untuk melaksanan perkawinan diantaranya sebagai berikut:

Seperti halnya tersebut di atas bahwa Allah menciptakan mahluk

hidup ini secara berpasang-pasang sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya

kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Az Zumariyat: 49).

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara

kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari

hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba

sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah

akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan

Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

mengetahui” (QS. An Nuur: 32).

Penegasan bahwa berpasang-pasang tersebut antara laki-laki dan

perempuan saja tidak sesama jenis laki-laki dengan laki-laki ataupun

perempuan dengan perempuan sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

Artinya: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-

pasangan pria dan wanita” (QS. Al Najm: 45).

26

Selain ayat al-Qur‟an, ada juga hadits Nabi tentang nikah, yaitu seperti

hadits Nabi SAW dari Ibnu Mas‟ud RA:

جبة، يؼشش ب انش ج، انجبءح اعزطبع ي فهزض نهجظش اغض فئ أدظ نهفشج،

ي ف غزطغ نى و ؼه ثبنظ جبء ن فئ

Artinya: "Wahai para pemuda! barang siapa di antara kalian yang

memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa

menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa

yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa itu bisa

menjadi kendali baginya” (HR Imam Bukhari, Kitab an-Nikah,

Nomor Hadits: 5066) (khabib.staff.ugm.ac.id).

“ ج ي م فقذ رض ظف اعزك ب ”انجبق انظف ف للا فهزق اإل

Artinya: “Siapa yang menikah maka ia telah sempurna setengah

keimanannya, maka takutlah kepada Allah terhadap setengah

sisanya” (HR At-Tabrani dalam Al-Ausat).

Penjelasan hadits: Hadits ini menyiratkan bahwa dengan

melangsungkan pernikahan, seseorang menjaga dirinya dari kerusakan

agama (ahlaknya) dapatlah disimpulkan bahwasanya yang paling merusak

ahlak seseorang pada ghalibnya ialah perut dan kemaluannya. Oleh karena

itu terpeliharalah salah satu penyebab kerusakan agamanya. Perkawinan

juga dapat menyempurnakan keimanan seseorang (Fadlillah, 2012: 25).

Anjuran menikah atau kawin untuk menjaga kelangsungan hidup

manusia dan keturunan maupun generasi penerus:

27

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang

telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya

Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah

memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)

nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah

selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisaa: 1).

Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul

sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-

isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul

mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin

Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)” (QS. Ar

Ra‟d:38).

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri

dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan

cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka

Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan

mengingkari nikmat Allah?" (QS. An Nahl: 72).

28

Anjuran membangun perkawinan dan tujuan rumah tangga yang

dilandasi rasa kasih sayang:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum: 21).

4. Hukum Perkawinan

Menurut kesepakatan ulama dalam kitab Al Mizan Al Kubra

karangan Ansori bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang

disunahkan. Dan berdasarkan dalil-dalil suruhan Allah dan Nabi untuk

melaksanakan perkawinan, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang

lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun hukum asal

perkawinan adalah mubah (Alhamdani, 1989: 7), Namun karena ada

tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan

perawinan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melingkupi

suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci Jumhur Ulama

menyatakan hukum perkawinan itu dengan malihat keadaan orang-orang

tertentu, yaitu sebagai berikut:

a. Wajib

29

Perkawinan diwajibkan bagi orang-orang yang telah pantas untuk

kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan maupun

kemampuan untuk kawin, dan dia khawatir akan terjerumus ke tempat

maksiat (berzina) jikalau dia tidak kawin.

b. Sunnah

. )انذذث( فقذسغت ػ عز سغت ػ , ف انكبح عز

Artinya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang membenci sunnahku maka dia

benar-benar membenciku”. (Al-Hadits)

Kawin disunahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi ia masih

sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti

ini maka kawin lebih baik dari pada membujang. Orang yang tidak

mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah sahwat atau sebenarnya ia

mempunyai nafsu birahi namun hilang karena penyakit atau karena hal

lainnya (Alhamdani, 1989: 8).

Untuk mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat yaitu sebagai

berikut:

Pertama: Ia tetap disunnahkan menikah, karena universalitas yang

telah dikemukakan di atas.

Kedua: Tidak menikah adalah lebih baginnya, karena dia tidak

dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi istrinya untuk

dapat menikah dengan laki-laki yang lain yang lebih memenuhi syarat.

Dengan demikian, berarti dia telah memenjarakan wanita tersebut. Ada

sisi yang lain, dia telah menghadapkan dirinya pada ketidakmampuan

memenuhi hak dan menunaikan kewajiban (Ayyub, 2003: 7).

30

c. Mubah

Menjadi mubah bagi orang yang tidak memiliki pendorong

maupun penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena

ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan biologisnya

semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.

d. Makruh

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga

kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka

dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang

memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian

dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada

mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta

Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu

paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,

sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu

hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang

memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah

mereka dipaksa itu” (QS. An Nuur: 33)

Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum

keinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk kawin juga belum

ada. Begitu pula dia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan,

31

namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap,

sudah tua, dan kekurangan fisik lainnya (syarifuddin, 2003: 79).

e. Haram

Perkawinan akan menjadi haram bagi orang yang tidak akan dapat

memenuhi ketentua syara‟ untuk melakukan perkawinan atau dia yakin

perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara‟, sedangkan dia

menyakini perawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya (2003:80).

5. Tujuan Perkawinan

Perkawinan mempunyai maksud dan tujuan di antaranya:

a. Untuk memperoleh ketentraman dalam kehidupan manusia dari

terciptanya suatu perkawinan. Ketentraman hidup dapat diperoleh

seseorang, manakala orang itu dapat memenuhi hidupnya, baik itu

kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah.

b. Untuk menciptakan sakinah (ketentraman hidup), mawaddah (rasa

cinta), memiliki keturunan, tolong menolong dan mempererat

silaturahmi (Shiddieq, 2004: 11).

Sedangkan menurut Imam Al Ghozali berpendapat bahwa

terdapat lima hal tujuan perkawinan yaitu:

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan

keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa.

b. Memenuhi tuntunan naluriah hidup kemanusiaan.

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

32

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis

pertama dari masyarakat yang besar dan di atas dasar kecintaan dan

kasih sayang.

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan

yang halal, dan mempertinggi rasa tanggung jawab (Al Ghozali:

2586).

6. Perayaan Perkawinan Dalam Islam

Islam sesungguhnya telah mengatur tata cara lengkap umatnya

apabila akan melangsungkan perawinan, dari sebelum hingga perayaan

sesudah ijab dan qabul. Berikut hal-hal yang dilakukan sebelum pernikahan

menurut Islam:

a. Meminta Pertimbangan

Bagi seorang laki-laki sebelum ia memutuskan untuk

mempersunting seorang wanita untuk menjadi istrinya, alangkah

baiknya ia juga meminta pertimbangan dari kerabat dekat wanita

tersebut yang baik agamanya, sehingga ia memberikan pertimbangan

yang jujur dan adil (eramuslim.com) .

b. Sholat Istikharah

Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon

istrinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya

diberi kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan,

karena istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah agar diberi

petunjuk dalam memilih mana yang terbaik unuknya (2008: 366).

33

c. Khithbah (peminangan)

Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu

dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan

mengawini mereka) dalam hatimu (QS. Al Baqarah: 235).

Setelah mendapat kemantapan dalam menentukan wanita

pilihannya, hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus

menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk

menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar direstui untuk

menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah yang

memenuhi dua syarat:

1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syar‟i

yang menyebabkan laki-laki tersebut dilarang untuk

mempersuntingnya, seperti karena nasab dan hubungan

darah.

2. Belum dipinang oleh orang lain secara sah, sebab Islam

melarang seseorang meminang pinangan saudaranya (2007:

17-18).

d. Melihat Wanita Yang Dipinang

Islam adalah agama yang mensyari‟atkan pelamar untuk melihat

wanita yang dilamar dan mensyari‟atkan wanita yang dilamar untuk

melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing pihak benar-

benar mendapatkan kejelasan takkala menjatuhan pilihan pasangan

34

hidupnya. Nabi Muhammad SAW bersabda kepada sahabatnya

Mughirah bin Syu‟bah yang telah meminang seorang wanita, beliau

betanya “Apakah kamu telah melihatnya?” Mughirah menjawab

“Belum” lalu beliau bersabda:

ب ك ؤدو ث أدش أ ب فأ ظش أن ا

Artinya: “Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk

mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga

kasih sayang dan kesesuaian )”.

Adapun ulama memberikan ketentuan hukum yang diletakkan

Islam dalam masalah melihat pinangannya yaitu bahwa yang boleh

dilihat oleh lelaki dari wanita yang dipinangnya yaitu sebatas

pakaiannya yang bisa tampak untuk ayah saudara dan mahramnya

(Qardhawi, 2000: 197).

Adapun hal-hal pada saat hari perkawinan hingga perayaan

perkawian yaitu sebagai berikut:

1. Aqad Nikah

Tahap yang paling sakral dalam perkawinan yaitu akad nikah.

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus

dipenuhi:

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.

b. Adanya ijab qabul.

Ijab qabul artinya seorang wali atau wakil dari mempelai

perempuan mengemukakan kepada calon suami anak

perempuannya/perempuan yang berada di bawah

35

perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang

mengambil perempuan tersebutsebagai istrinya (Fadlillah,

2012: 97).

c. Adanya wali

Wali yang mendapat prioritas pertama diantara sekalian

wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita.

d. Adanya Saksi-saksi

Seperti hadits Rasulullah SAW yang artinya “Tidak sah

suatu pernikahan tampa seorang wali dan dua orang saksi

yang adil” (HR Al-Baihaqi dari Aisyah, shahih, Al-Jamius

Shaghair oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Dan menurut

sunnah Rasul, sebelum sbelum aqad nikah diadakan

khuthbah terlebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah

atau khuthbatul-hajat (eramuslim.com).

e. Adanya Mahar (mas kawin)

Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang

hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin).

Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas

kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan

menurut kadar kemampuan. Mahar adalah hak mutlak calon

mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk

memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan (Saleh,

2008: 313)

36

2. Walimah atau Pengumuman Pernikahan

Walimah merupakan pesta perkawinan atau makanan dalam

sebuah acara pesta perkawinan, ataupun juga setiap makanan yang

disediakan untuk para undangan pada sebuah pesta. Tujuan dari

walimah yaitu sebagai kabar berita bahwa telah menikah antara

laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan perkawian

(yang mengadakan walimah tersebut). Islam mengajarkan agar

perkawinan itu diumumkan (Al-Manar, 2007: 43).

Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari

terjadinya perkawinan yang dilakukan secara rahasia, yang mungkin

saja dapat menimbulkan fitnah. Juga untuk menampakkan

kegembiraan dengan adanya peristiwa bersejarah bagi dua anak

manusia, sekaligus sebagai motivasi bagi mereka yang belum

menikah, atau yang ingin menikah lagi. Mengumumkan sebuah

perkawinan boleh dilaksanakan menurut adat setempat, asalkan

tidak mengandung maksiat dan hal-hal yang diharamkan dalam

Islam. Seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah

r.a. sebagai berikut:

ف ف انض ا ػه اضشث غب جذ ف ان اجؼه ا زا انكبح آػه

Artinya: “Umumkanlah nikah ini dan selenggarakanlah di masjid-

masjid seta bunyikanlah untuknya rebana-rebana”. (HR

Ahmad dan At-Tirmidzi)

37

Adapun hukum mengadakan walimah atau makan-makan di

hari pesta perkawinan adalah sunnah. Sebagian ulama mengatakan

wajib sebagimana hadits Nabi SAW:

ت، نى ػه ص يب ا غبئ ء ي ص ػه ش نى انج اظ قبل: يب ا ػ

نى ثشبح. )ادذ انجخبس يغهى(ا

Artinya: “Dari Anas, ia berkata, “Nabi SAW tidak pernah

menyelenggarakan walimah atas (pernikahannya)

dengan istri-istri sebagaimana walimah atas

(pernikahannya) dengan Zainab, beliau

menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih)

seekor kambing”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan keterangan di atas, bagi mereka yang mampu

dianjurkan untuk mengadakan walimah minimal dengan

menyembelih seekor kambing, atau dengan makanan makanan

yang senilai dengan harga seekor kambing. Karena Nabi SAW

pernah menyembelih seekor kambing, ketika mengadakan walimah

untuk perkawinan beliau dengan Zainab r.a. Namun demikian,

walimah boleh juga diadakan sesederhana mungkin tampa harus

menyembelih seekor kambing atau sejenisnya, tetapi dengan

menyuguhkan sesuatu yang dapat dinikmati, karena walimatul „urs

itu disunnahkan dan menurut pendapat Abu Haniefah disukai

(Shiddieqy, 1978: 299).

Dan waktu walimah dapat diadakan saat dilangsungkan

acara akad nikah atau sesudahnya, atau bertepatan pada hari

perkawinan, atau sesudahnya. Hal ini sangat leluasa, tergantung

38

kepada adat dan kebiasaan masing-masing. Dalam riwayat Al-

Bukhari disebutkan, bahwa Rasulullah saw. Mengundang jamaah

untuk menghadiri walimah di hari sesudah beliau mencampuri

istrinya Zainab r.a. (2007: 44-45).

Selain perjamuan makanan, termasuk perbuatan yang

dibolehkan Islam dan dianjurkan dalam acara pesta perkawinan

adalah bernyanyi-nyanyi sebagai hiburan, dengan catatan harus

dihindari hal-hal yang melanggar batas kewajaran, seperti

perbuatan-perbuatan mesum, kata-kata jorok dan keji yang tidak

layak diperdengarkan. Amir bin Sa‟at meriwayatkan sebuah hadits,

ia berkata, “Saya masuk ke rumah Qirzhah bin Ka‟ab di hari

perkawinan Abu mas‟ud Al-Anshari. Tiba-tiba ada beberapa budak

perempuan (Jariyah) bernyanyi. Lalu saya berkata “Bukankah anda

berdua adalah sahabat Rasulullah saw. Dan termasuk pejuang

Badar? Kenapa kalian diam saja padalah ini terjadi di hadapan

kalian?, kedua menjawab “Jika kamu suka maka bolehlah kamu

mendengarkannya bersama kami, dan jika kamu tidak suka kamu

boleh pergi, karena kami diberi kelonggaran untuk mengadakan

hiburan pada acara pesta perkawinan” (Al Manar, 2007: 43).

Tetapi apa yang terjadi sekarang ialah perubahan yang

sangat besar, yaitu memeriahkan pesta perkawinan dengan

mendatangkan alat-alat musik dan penampilan wanita-wanita

cantik, seksi, yang memamerkan perhiasan dan auratnya bagaikan

39

wanita telanjang sambil meliuk-liukkan tubuhnya dan bercampur

aduk dengan kaum lelaki. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam,

bahkan Nabi menggambarkan calon penghuni neraka:

ثب ط و يؼى عبط كأربة انجقش ضشث ب ق م انبس نى أس أ ي فب

خ انجخذ كأع الد يبئالد سءع غبء كبعبد ػبسبد ي انبط

ال ج انجخ بئهخ ال ذخه يغشح كزا ان سذب نجذ ي إ سذب ذ

كز

Artinya: “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah

aku lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk

bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya mereka memukul

manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi

telanjang. Mereka berjalan dengan melenggak-lenggok

menimbulkan fitnah (godaan). Kepala-kepala mereka

seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak

masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium

baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari

jarak demikian dan demikian”. (HR. Muslim dari Sahabat

yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu)

Oleh karena itu untuk menyelenggarakan pesta perkawinan,

sebaiknya menjauhi segala sesuatu yang dilarang syari‟at (2007:

46-47). Karena menurut pandangan para Sufi, manusia yang baik

adalah manusia yang sejalan dengan “Tuhan” dan dengan tatanan

masyarakat yang ditentukan oleh “Tuhan” pula (Mulder, 1948: 41).

B. Tinjauan Umum Tentang Adat Perkawinan Dalam Ushul Fiqih

1. Definisi Adat (Al-„urf)

Al-„urf ( انؼف) ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia

dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya

dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Menurut istilah

40

ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. Jadi „urf adalah

terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka,

keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan Ijma‟, karena

Ijma adalah tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus,

dan umum tidak termasuk ikut membentuk di dalamnya (Khallaf,

1991: 134).

2. Pembagian Adat (Al-„urf)

Macam-macam „urf jika dilihat dari segi objeknya „urf dibagi menjadi

dua yaitu:

a. Al-„urf al-lafzhi (انؼشف انهفظ) adalah kebiasaan masyarakat dalam

mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan

sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan

terlintas dalam pikiran masyarakat.

b. Al-„urf al-„amali (انؼشف انؼه) adalah kebiasaan masyarakat yang

berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan.

Maksudnya “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam

kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang

lain (1996: 139).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf terbagi

menjadi dua yaitu sebagai berikut:

1). Al-„urf al-shahih ( انظذخ انؼف) adalah kebiasaan yang berlaku

di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan

41

nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan

mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.

2) Al-„urf al-fasid (انؼف انفغذ) adalah adat ataupun kebiasaan

yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah

dasar yang ada dalam syara‟(Haroen, 1996: 141)

c. Ketentuan-Ketentuan Adat dalam Penetapan Hukum

Adapun „urf shahih, maka harus dipelihara dalam pembentukan

hukum. Menurut para ulama adat itu adalah syariat yang dikukuhkan

sebagai hukum. Sedangan „urf menurut syara‟ juga mendapat

pengakuan. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya

kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama

murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan

dasar atas perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟i ketika telah berada di

Mesir mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya

ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena pendapat „urf. Karena

itu beliau mempunyai dua madzab, madzhab qodim (dahulu) dan

madzhab jadid (baru). Ibnu Abidin telah menyusun Risalah bahwa

“apa-apa yang dimengerti secara „urf adalah seperti yang disyaratkan

menurut syara‟, dan yang telah tetap menurut „urf adalah seperti yang

telah tetap menurut nash. Kaidah ushul fiqih dalam kitab mawadi‟ul

awaliyah, menurut Abdul Hamid Hakim dalam Qaidah 21 yang

berbunyi:

انؼب دح يذكخ

42

Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat

dijadikan sebagai hukum”.

Maksudnya adat kebiasaan dapat dijadikan hujjah dan hukum yang

berlaku di tempat dimana adat dan tradisi tersebut hidup dan

berkembang (Hakim, 1927: 36).

Adapun „urf yang rusak itu maka tidak harus dipeliharanya

(dilakukan), karena memeliharanya berarti menentang dalil syara‟.

Hukum-hukum yang didasarkan atas „urf itu dapat berubah menurut

perubahan „urf pada suatu zaman dan perubahan asalnya. Karena itu

para Fuqoha berkata dalam contoh perselisihan ini: “Bahwa

perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan

perselisihan hujjah dan bukti” (1991: 135).

d. Syarat-Syarat Adat (Al-„Urf)

Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat

dijadikan sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum syara‟

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. „Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang

bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, „urf

itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat

tersebut.

2. „Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan

hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran

hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan

hukumnya.

43

3. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan

hukum yang dikandung nash itutidak bisa diterapkan. „Urf seperti

ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara‟, karena kehujjahan „urf

bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum

permasalahan yang dihadapi (1996: 143-144).

e. Pandangan Ulama Tentang Perkawinan Adat

Perkawinan adat tidak diterangkan dalam Al-Qur‟an maupun

Al-hadits, sehingga dalam membicarakan adat termasuk perkawinan

adat Jawa telah disinggung dalam kitab kaidah fiqiyah )‟urf),

menurut pandangan ulama tentang adat yaitu sebagai berikut:

Pandangan madzhab Syafi‟i bahwa agama Islam tidak

menentang tradisi bahkan menghormatinya, sepanjang tradisi

tersebut tidak menyalahi prinsip agama apalagi menyalahi prinsip

aqidah seperti pengesaan Allah subhanahu wata‟ala, membicarakan

nasib manusia, tentu harus berhati-hati. Seperti penegasan ayat

berikut:

Artinya: “Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi

yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan

mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”

(QS. An Naml: 65).

Menurut pandangan Imam Syafi‟i bahwa adat hukumnya mubah

(boleh) selama tidak ada nash yang melarangnya serta adat tersebut

44

tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam

(latansanasibaka.blogspot.com).

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-shahih, yaitu adat

yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang menyangkut

adat/kebiasaan ucapan maupun adat/kebiasaan perbuatan dapat

dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Seorang mujtahid

dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam Al Qarafi (w. 684

H/1285 M./ahli fiqih Maliki), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang

ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan

yang menyangkut masyarakat tersebut.

Seluruh ulama madzhab, menurut Imam Al Syathibi (w.790 H./ahli

ushul fiqih Maliki), dan Ibn Qayyim Al Jauziyah (691-751 H/1292-

1350 M./ahli ushul fiqih Hanbali), menerima dan menjadikan adat

(„urf) sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada

nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi (Haroen,

1996: 142) .

45

BAB III

DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA

A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

1. Letak Geografis

Desa Ngrombo merupakan salah satu desa yang terletak di

kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Provinsi JawaTengah. Jarak dari

Ibu Kota Kabupaten 36 kilometer, dan dari Ibu Kota Provinsi berjarak

91 kilometer, sedangkan antara Ibu Kota Negara berjarak kurang lebih

701 kilometer. Menurut geografis desa Ngrombo terletak di tengah-

tengah kependudukan yang padat di kabupaten Sragen dan mempunyai

batas wilayah dengan wilayah lain diantaranya sebagai berikut:

46

a. Sebelah Timur desa Ngrombo berbatasan langsung dengan

desa Karangwaru, kecamatan Plupuh dengan batas wilayah

yang ditandai dengan jalan raya Gemolong-Plupuh.

b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Bantengan.

c. Sebelah Selatan desa Ngrombo berbatasan langsung dengan

desa Sambirejo kecamatan Plupuh.

d. Sebelah Utara desa Ngrombo kecamatan Plupuh ini berbatasan

langsung dengan kecamatan Tanon, tepatnya dengan desa Wiro

Sari. Batas antara dua kecamatan ditandai dengan jalan raya

jalur Gemolong-Gabugan yang menjadi pemisah antara kedua

kecamatan ini.

Desa Ngrombo kecamatan Plupuh adalah termasuk wilayah

daratan rendah, desa ini mempunyai ketinggian 346 meter di atas

permukaan air laut, Dengan luas wilayah keseluruhan 267 Ha. Dengan

luas wilayah tersebut dengan 91 Ha merupakan pemukiman dan

perumahan penduduk. Sawah dan tegalan di desa Ngrombo seluas 127

Ha, sedangkan yang digunakan sebagai perkantoran seluas 8 Ha. 4 Ha

merupakan tanah wakaf, sisanya digunakan untuk lain-lain yaitu seluas

37 Ha (Data Monografi desa Ngrombo tahun 2014).

2. Komposisi Penduduk dan Keadaan Administrasi

Desa Ngrombo yang hanya mempunyai luas wilayah 267 Ha,

namun termasuk daerah yang padat penduduk. Sampai tahun 2014

jumlah penduduk keseluruhan yaitu 4.527 jiwa, dari jumlah tersebut

47

terdiri dari 2.318 jiwa penduduk laki-laki dan sisanya 2.209 jiwa

perempuan. Desa Ngrombo terdapat 1341 kk (Kepala Keluarga) dan

sebagian besar masyarakat masih termasuk dalam usia produktif (Data

Monografi Desa Ngrombo tahun 2014).

Untuk meningkatkan tingkat pendidikan yang dituntut untuk

mengikuti perkembangan zaman, mayoritas masyarakat desa

Ngrombo menempuh pendidikan 9 tahun, tidak sedikit juga

masyarakat yang melanjutkan ke jenjang diploma ataupun sarjana.

Penduduk setempat menganggap sesuatu hal yang tabu serta malu jika

anak mereka tidak sekolah, yang dimana di desa ini terdapat beberapa

tempat pendidikan negeri maupun swasta. Tidak semua murid yang

belajar di sekolah-sekolah adalah masyarakat asli desa Ngrombo

kecamatan Plupuh, banyak juga masyarakat dari desa tetangga yang

menutut ilmu dan belajar di sekolah yang ada di desa Ngrombo ini.

Adapun sekolah dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1 Jumlah sekolah di desa Ngrombo kecamatan Plupuh

kabupaten Sragen

No. Sekolah Jumlah Nama Sekolah

1 Paud 2 Paud Al-Ikhlas dan Paud Bunga Abadi

2 TK 2 TK Al-Ikhlas dan TK Pertiwi

3 SD 1 SD Negeri Ngrombo 1

4 MI 1 MI Al-Ikhlas Ngrombo

5 SMP 1 SMP Bakti Karya

Sumber: Data Monografi Desa Ngrombo tahun 2014

3. Keadaan Ekonomi dan Sosial Budaya

48

Sebagain besar masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh

bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Hal ini bisa dilihat

juga dari jumlah luas lahan pertanian lebih luas dibandingkan dengan

luas lainnya. Lahan pertanian di desa Ngrombo bukan hanya berupa

persawahan, melainkan ada yang berupa tegalan. Tegalan merupakan

lahan yang ditanami jenis tanaman palawija seperti jagung, kacang-

kacangan, ketela pohon, cabai dan lain sebagainya, yang sistem

pengairannya hanya dengan tadah hujan. Selain persawahan dan

tegalan, di desa Ngrombo kecamatan Plupuh ada juga lahan yang

digunakan sebagai perkebunan tebu (keterangan mbah Sutar).

Walaupun mayoritas masyarakat desa Ngrombo adalah petani,

ada pula masyarakat yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil

(PNS), pedagang hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ada

sebagian masyarakat yang menjadikan petani itu sebagai profesi

sampingan, contohnya ada yang berprofesi Pegawai Negeri Sipil

namun masih menggarap sawah. Berikut adalah tabel profesi

masyarakat desa Ngrombo:

Tabel 3.2 Profesi masyarakat desa Ngrombo kecamatan

Plupuh kabupaten Sragen

No. Profesi Jumlah Orang

1. PNS 52

2. TNI 6

3. Polri 3

4. Tani 553

49

5. Buruh tani 404

6. Pedagang 164

7. Swasta 419

8. Pensiunan 7

9. Lanjut usia 143

Sumber: Data Monografi Desa Ngrombo tahun 2014

Kondisi sosial masyarakat desa Ngrombo tidaklah jauh dengan

kehidupan sosial di desa-desa lainnya. Kedekatan hubungan

bermasyarakat antara satu warga dengan warga lain begitu erat, kuat

dan intens. Hal yang demikian dapat terbentuk karena jarak rumah

mereka saling berdekatan dan setiap harinya terjadi interaksi, maka

dari itu terciptalah rasa kekerabatan dan kekeluargaan. Sistem gotong

royong di masyarakat menjadi prioritas dan diutamakan untuk saling

menjaga rasa kekeluargaan, seperti kerja bakti rutin setiap sebulan

sekali yang di agendakan oleh masing-masing RT desa Ngrombo,

saling membantu tenaga maupun pikiran dalam acara walimah dan

acara-acara hajatan lain, sambatan (membantu dengan bergotong

royongdan secara sukarela) membuat atau merenovasi rumah, gotong

royong memanen hasil pertanian dengan sistem derep (sistem

memanen padi atau hasil pertanian lainnya dengan cara membagi hasil

panen tersebut sebagai upahnya). Masyarakat desa Ngrombo juga

mengadakan acara rutin setiap seminggu sekali, yaitu jamaah

membaca surat Yasin dan Tahlil. Acara tersebut dilakukan setiap

seminggu sekali, biasanya di laksanakan pada hari Kamis malam

50

Jum‟at, hal ini dilakukan di rumah-rumah warga secara bergantian

yang sudah terjadwal sebelumnya. Hal ini jika dilihat dari psikologis

dapat menambah keakraban dan rasa kekeluargaan antara warga satu

dengan warga yang lainnya, karena sering terjadi interaksi di antara

mereka (keterangan mbah Sutar).

B. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh

Kabupaten Sragen Terhadap Adat Jawa

1. Agama Yang Dianut oleh Masyarakat Desa Ngrombo

Masyarakat desa Ngrombo yang mempunyai penduduk 4.527

jiwa, mayoritas beragama Islam. Selain itu ada 9 penduduk yang

beragama Kristen, walaupun di negara Indonesia terdapat lima agama

resmi namun masyarakat desa Ngrombo kurang lebih 99% menganut

agama Islam dan hanya beberapa persen yang menganut agama

Kristen dan dapat dikatakan agama minoritas di desa tersebut.

Meskipun sebagian besar masyarakat beragama Islam, namun banyak

juga dari mereka yang tidak menjalankan dan mengamalkan syariat-

syariat agama Islam sebagai mana mestinya. Masyarakat yang

demikian itu biasa disebut Islam KTP atau Islam abangan. Banyak

dari masyarakat desa Ngrombo yang mengaku bahwa dirinya

beragama Islam, namun kenyataannya tidak menjalankan dan

51

memenuhi rukun agama Islam seperti sholat, zakat, puasa ramadhan

ataupun menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah, dan sebagaian

dari mereka tidak begitu mempermasalahkan akan hal tersebut.

Anggapan dari sebagian masyarakat desa Ngrombo bahwa beragama

itu yang terpenting dari dalam hati, maksudnya yang terpenting

mereka yakin dengan agama Islam dan mereka mengakuinya akan

adanya tuhan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi

yang terakhir sekaligus nabi penyempurna agama Islam (hasil

pengamatan desa Ngrombo).

Desa Ngrombo terdapat 21 buah tempat ibadah, yang terdiri

dari masjid dan mushola, dan orang-orang yang beragama Kristen

biasanya beribadah di gereja yang terdapat di desa Ndari kecamatan

Plupuh yang baru-baru ini didirikan atau gereja yang ada di kecamatan

Gemolong karena di desa Ngrombo tidak terdapat gereja. Masjid

merupakan sesuatu yang bersifat primer atau sangat penting, karena

fungsi masjid di desa Ngrombo bukan semata-mata digunakan sebagai

tempat ibadah, melainkan juga digunakan sebagai tempat

berkumpulnya masyarakat setempat jika ada acara majlis dan agenda

bersama. Bukan hanya untuk orang dewasa saja, tetapi masjid

dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari usia anak-anak

hingga orang tua. Pada kalangan usia anak-anak menggunakan masjid

sebagai tempat belajar, baik belajar mengaji atau agama hingga belajar

ilmu pengetahuan umum. Sedangkan untuk kalangan orang-orang

52

dewasa, masjid digunakan berbagai acara dari pengajian hingga

agenda dari RT setempat (Data Monografi tahun 2014 dan

pengamatan desa Ngrombo).

2. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Terhadap Adat Jawa

Agama Islam adalah agama yang menduduki prosentase yang

paling tinggi pemeluknya oleh masyarakat desa Ngrombo. Walaupun

demikian, kegiatan-kegiatan dalam praktik kehidupan masyarakat

yang menggambarkan masih adanya sisa-sisa kehidupan kepercayaan

animisme dan dinamisme sebagai hasil dari proses asimilasi maupun

akulturasi dari agama dan adat istiadat masyarakat desa Ngrombo

dimana merupakan salah satu suku asli suku Jawa yang tetap

berlangsung hingga saat sekarang. Praktik menghormati roh nenek

moyang masyarakat serta roh-roh lain yang dimana mereka anggap

sebagai kekuatan yang melindungi masyarakat desa Ngrombo

(Pengamatan desa Ngrombo).

Kegiatan yang mengandung kepercayaan animisme dan

dinemisme yang menjadi unsur pokok agama asli Jawa yang

diaplikasi dalam adat dan kegiatan budaya yang dilakukan secara

turun-temurun di desa Ngrombo. Kegiatan-kegiatan adat yang hidup

di tengah masyarakat dilakukan dan diikuti oleh sebagian besar

masyarakat, dan biasanya dipimpin oleh imam masjid atau sesepuh

desa Ngrombo (orang yang dituakan serta dianggap mengetahui seluk

53

beluk desa), karena merekalah yang menjadi panutan masyarakat

dalam hal melaksanakan adat istiadat.

Dalam menjalankan adat istiadat dan tradisi yang ada di desa

Ngrombo yang diikuti sebagian besar masyarakat tanpa memandang

status sosial, baik itu yang kaya atau yang miskin, baik yang tua

ataupun yang muda. Mereka percaya bahwa adat yang hidup dan

berkembang di desa Ngrombo merupakan warin para leluhur mereka

dan harus dijaga serta harus dilestarikan. Mereka percaya para leluhur

desa Ngrombo walaupun sudah meninggal dunia namun rohnya masih

di sekitar desa tersebut, dan apabila melakukan atau melaksanakan

adat desa para roh leluhur ikut hadir dan menyaksikannya. Masyarakat

desa Ngrombo percaya bahwa adat desa dilakukan bukan sekedar

budaya namun merupakan suatu amalan yang berpengaruh dalam

kehidupan masyarakat. Suatu kepercayaan terhadap adat istiadat yang

mereka miliki, dan masyarakat setempat memegang teguh akan hal itu

dan mereka percaya akan berbagai adat istiadat Jawa (keterangan

mbah Setro Pawiro).

C. Ragam Adat Istiadat yang Hidup di Masyarakat Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

Kehidupan adat dan budaya masyarakat di desa Ngrombo masih

sangatlah kompleks. Nguri-uri budaya dari nenek moyang dianggap

sebagai bentuk penghormatan dan meminta berkah kepada roh-roh nenek

moyang mereka. Seperti upacara-upacara dalam rangka memperingati hari

54

kematian, kenduri/bancaan (doa keselamata), upacara yang behubungan

dengan pertanian (dekahan), merti deso (bersih desa), upacara mbangun

dan bedol rumah (mendirikan dan pindah rumah), mantu (pernikahan),

pitonan (tujuh bulanan orang hamil) dan sunatan (khitanan). Semua

upacara tersebut masih dijalankan rutin oleh masyarakat desa Ngrombo,

karena menurut mereka jika tidak melakukan upacara-upacara dan tradisi

yang sudah ada maka roh nenek moyang ataupun roh penunggu desa akan

marah dan terjadilah bencana (keterangan mbah Sutar).

Tradisi-tradisi nenek moyang yang dihasilkan dari proses asimilasi

ajaran agama Hindu-Budha dengan agama Islam sehingga menjadi tradisi

dan budaya yang bernuansa Islam. contohnya upacara merti desa atau

dekahan (bersih desa), yang pada zaman dahulu dilaukan dengan memberi

sesaji di tempat-tempat yang dianggap angker atau keramat namun

sekarang dilakukan dengan cara Islami, dimana masyarakat beramai-ramai

membawa makanan serta lauk-pauk yang dibuat di wadah nampan berisi

nasi putih, sayur mayur yang tidak berkuah contohnya gudeg, rawon, atau

tumis. Lauk pauk yang berupa ayam, telur, tahu atau tempe, ada juga

jajanan pasar seperti jadah, wajik atau apem. Nampan tersebut kemudian

diusung ke serambi masjid dan dikumpulkan menjadi satu, kemudian

berdoa bersama-sama yang dipimpin oleh modin (imam di masjid desa)

dengan bacaan Al-Qur‟an. Setelah selesai berdoa maka selanjutnya acara

makan bersama-sama di serambi masjid tersebut, namun makanan yang

dimakan bukanlah makanan yang mereka bawa melainkan makanan yang

55

dibawa oleh orang lain atau mereka saling tukar menukar makanan mereka

masing-masing. Acara tersebut diikuti oleh semua kalangan dari anak-anak

hingga orang dewasa, biasanya bapak-bapak dan anak kecil ikut

menyantap makanan di tempat tersebut beda halnya dengan para ibu,

mereka menunggu nampannya kembali dan membawa makanan

bagiannya untuk di bawa pulang (keterangan mbah Sutar).

Lain lagi dengan acara dekahan, acara ini dilaksanakan setelah

panen raya tiba, bukan panen semua jenis tanaman pertanian yang di

tanaman oleh masyarakat desa Ngrombo, melainkan hanya saat

masyarakat desa tersebut panen tanaman padi. Acara dekahan ini

dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo dengan maksud untuk

mengungkapkan rasa syukur mereka atas panen tanaman padi yang

mereka tanam dengan hasil melimpah-ruah. Prosesi acara dekahan tidak

jauh berbeda dengan acara merti desa, dimana para warga membawa

makanan yang di tata di wadah nampan. Makanan tersebut berisi nasi, lauk

pauk dan jajanan pasar yang tidak jauh berbeda dengan makanan yang

dibawa saat acara merti desa namun lebih banyak makanan jajanan pasar

yang terbuat dari bahan dasar beras ketan. Kemudian mereka datang ke

persawahan, dan membawa makanan tersebut ke sawah mereka masing-

masing. Setelah sampai di sawah masing-masing, kemudian berdoa agar

hasil pertaniannya selalu melimpah seperti apa yang mereka harapkan.

Usai berdoa maka makanan yang mereka bawa diambil sedikit yang

kemudian ditaruh pada setiap sudut sawah, hal ini dilakukan dengan

56

maksud bahwa menaruh makanan di setiap sudut sawah merupakan bentuk

menghormati mbok Sri atau dewi Sri. Dewi Sri menurut kepercayaan

masyarakat desa Ngrombo merupakan putri atau dewi yang menjelma

menjadi beras (keterangan Pak Sutar).

Selain merti desa dan dekahan, masyarakat desa Ngrombo juga

melaksanakan selamatan untuk orang yang sedang hamil, biasanya disebut

upacara pitonan. Acara pitonan dilakukan apabila usia kandungan telah

menginjak usia tujuh bulan. Acara pitonan ini dilakukan dengan membagi-

bagikan makanan kepada masyarakat sekitar, makanan tersebut biasanya

berupa nasi, ayam, sambal kentang, bakmi, jadah (makanan yang terbuat

dari beras ketan), dan rujak. Pada malam harinya,warga masyarakat yang

laki-laki kemudian diminta untuk datang di rumah yang mempunyai

hajatan pitonan tersebut untuk berdoa bersama, biasanya untuk acara

pitonan seperti ini mereka membaca Al-Qur‟an surat Yusuf dan surat

Maryam. Tujuan dari acara pitonan ini adalah untuk mendoakan

keselamatan si jabang bayi yang ada dalam kantungan tersebut dan apabila

bayinya lahir ke dunia supaya manjadi anak yang baik, yang berbakti

kepada kedua orang tua serta berguna bagi nusa dan bangsa. Setelah

bayinya lahir, maka diadakan pula selamatan bayi. Acara selamatan bayi

oleh masyarakat desa Ngrombo biasanya menyebutnya dengan sebutan

selamatan sepasaran bayi. Acara sepasaran bayi ini ini dilakukan bukan

saat bayi lahir kemudian langsung dilakukan selamatan bayi, melainkan

bayi yang sudah berusia satu minggu. Beda lagi dalam hal perkawinan,

57

masyarakat desa Ngrombo mempunyai cara tersendiri dalam

melaksanakan upacara perkawinan. Mereka melaksanakan upacara

perkawinan runtut dari berbagai prosesi yang sakral dan penuh makna

(keterangan pak Sutar).

Selain adat di atas, di desa Ngrombo diselenggarakan juga adat

selamatan untuk orang meninggal, karena proses hidup manusia dimulai

sejak di dalam kandungan hingga manusi meninggal dunia, maka dari itu

di tengah masyarakat desa Ngrombo diselenggarakan acara selamatan-

selamatan dimulai saat masih berada didalam kandungan ibunya hingga

akhir hayat. Selamatan untuk orang yang meninggal dunia dilakukan pada

saat tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dan seribu hari dari dari

kematian. Acara selamatan kematian di hari-hari yang telah ditentukan

tersebut, dimana keluarga dari almarhum atau almarhumah mengadakan

bancaan (sebutan acara selamatan oleh masyarakat desa Ngrombo).

Dalam acara bancaan ini, keluarga dari orang yang meninggal dunia

mengundang warga sekitar yaitu khususnya bapak-bapak dan para pemuda

untuk datang ke rumah duka untuk mendoakan dan memintakan ampun

bagi si orang yang telah meninggal tersebut, biasanya dibacakan surat

Yasin dan Tahlil yang ditujukan untuk almarhum atau almarhumah. Dalam

acara bancaan selamatan kematian ini dipimpin oleh modin atau imam di

masjid desa Ngrombo, setelah selesai membaca surat Yasin dan Tahlil

serta telah selesai mendoakan si mayit maka acara ditutup dengan

membagikan berkat (makanan yang diberikan oleh yang punya hajat)

58

kepada seluruh hadirin dan tamu yang datang untuk dibawa pulang

(keterangan pak Sutar).

BAB IV

PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

A. Prosesi Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh

Kabupaten Sragen

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan penulis yang

dimulai pada tanggal 09 Juli 2016 pada salah satu penduduk desa

Ngrombo yang punya gawe mantu (orang yang punya acara menikahkan

anaknya). Dalam tradisi perkawinan di desa Ngrombo ada upacara-upacara

yang harus dilaksanakan dan diikuti oleh sepasang pengantin yang dimulai

sebelum ijab qobul sampai usai acara pesta pernikahan. Berikut uraian

tahab-tahab upacara perkawinan adat di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh

kabupaten Sragen:

a. Prosesi Sebelum Pelaksanaan Upacara Perkawinan

59

Pak Kemi (bukan nama sebenarnya) adalah orang yang

mempunyai hajatan perkawinan (ndue gawe mantu) anak

perempuannya Ani dengan Supri calon menantunya (bukan nama

sebenarnya), dimana anak tersebut adalah anak yang kedua, ijab

qobulnya dilaksanakan pada tanggal 10 Juli 2016. Namun pada

tanggal 09 juli sore acara sudah dimulai, masyarakat sekitar mulai

gotong royong persiapan untuk acara di malam hari dan besok pada

saat resepsi. Untuk para bapak-bapak mempersiapkan segala

keperluan untuk tamu seperti meja dan kursi, sedangkan ibu-ibu

membantu segala keperluan di belakang dan dapur.

Pada sekitar jam 21.00 para bapak dan pemuda sudah mulai

berkumpul di tempat pak Kemi hanya sekedar ngobrol dan

meramekan rumah hajatan (lek-lekan). Kemudian dilanjutkan

acara:

1. Langkahan atau Nglangkahi

Lakahan atau nglangkahi ini dilakukan jika calon

pengantin mendahului kakaknya (kakang utowo mbakyu),

dimana adiknya yang akan terlebih dahulu menikah, tetapi

jika calon pengantin tersebut anak pertama maka tidak

dilakukan upacara langkahan atau nglangkahi. Setiap daerah

mempunyai adat yang berbeda-beda dalam melaksanakan

upacara ini. Tujuan dari langkahan atau nglangkahi adalah

untuk saling mendoakan, yaitu bagi si adik (calon pengantin)

60

meminta doa restu kepada kakak bahwa esok hari akan

melaksanakan ijab qobul sedangkan bagi si kakak minta

didoakan segera menyusul melangsungkan perkawinan

sebagai mana adiknya.

Prosesi ini dilakukan pada malam pukul 21.30 sebelum

ijab qobul, Ani (calon pengantin/selaku adik) dan Feri

(kakang Ani) dengan didampingi oleh pak Kemi dan ibu

Kemi. Kemudian pak Kemi bicara dengan kakak dari calon

pengantin (Feri): “Alhamdulillah puji syukur marang gusti

Allah ingkang maringi jejodho marang adimu wadon Ani,

dongak-dongakno mugo diparingi kelancaran marang gusti

Allah lan olehe bebojoan diparingi kauripan kang ayem

tentrem, lan ugo dadi keluargo sakinah, mawadah,

warohmah. Lan mugo-mugo awakmu lekas cemepak jodhone

Amin”. Yang artinya: “Alhamdulillah puji syukur kepada

Allah yang telah memberikan jodoh untuk adikmu perempuan

Ani, do‟akanlah semoga diberi kelancaran oleh tuhan/Allah

dan dalam berumah tangga diberikan kehidupan yang bahagia

tanpa sesuatu halangan, dan juga menjadi keluarga sakinah,

mawadah, warahmah. Dan semoga kamu segera mendapat

jodoh”. Kemudian kakang temanten (kakak calon pengantin)

menjawab: “Injeh bapak kulo pangestoni menawi Ani dados

61

nganten nglangkahi sakderenge kawulo”. Yang artinya: “iya

bapak saya merestui ani menikah mendahului sebelum saya”.

Kemudian Ani (selaku adik) memberikan baju batik

kepada kakaknya dan Feri (selaku kakaknya) memberikan

uang kepada Ani sebesar RP. 5.000 (jumlah tidak ditentukan),

sebagai syarat dalam prosesi upacara langkahan atau

nglangkahi. Hal ini menurut sesepuh atau seseorang yang

dituakan di desa Ngrombo (mbah Sutar) mempunyai maksud

dan tujuan tertentu yaitu sebagai berikut:

Tabel 3.3 Makna bagian-bagian dari upacara langkahan

atau nglangkahi

No. Benda Maksud dan Tujuan

1. Baju Batik Diterimanya seseatu pemberian (baju

batik) dari sang adik berarti bahwa

sang kakak telah memberikan ijin serta

merestui adiknya untuk menikah

mendahuluinya.

2. Uang

RP. 5.000

Uang yang diberikan kakak kepada

adik dimaksudkan sebagai simbol

untuk bekal kehidupan berumah

tangga setelah menikah.

Sumber: (Keterangan mbah Sutar)

2. Dodol Dawet

62

Rangkaian prosesi setelah langkahan atau nglangkahi

adalah yaitu dodol dawet, dimana prosesi ini adalah suatu

prosesi yang khas dalam perkawinan adat Jawa dan tidak di

semua upacara pernikahan menggunakannya. Upacara dodol

dawet merupakan salah satu rangkaian di acara midodareni.

Prosesi dodol dawet ini merupakan suatu upacara penjualan

dawet, dimana yang harus berjualan adalah ibu dari si

pengantin wanita atau ibu yang mempunyai gawe mantu

dengan membawa payung dan tenggok (suatu wadah yang

terbuat dari anyaman bambu) yang berisi dawet. Pembelinya

adalah para sanak saudara, tetangga, serta tamu yang hadir di

waktu malam itu. Tetapi untuk membeli dawet tidak

menggunakan uang seperti pada umumnya, melainkan

menggunakan alat tukar pecahan gendeng atau kendhi

(pecahan genteng atau pecahan gerabah tempat air minum

tradisional yang terbuat dari tanah liat).

Dalam prosesi penjualan ini, dawet haruslah habis

terjual pada malam itu juga. Kemudian pecahan gendeng

(genteng yang terbuat dari tanah liat) atau kendhi (gerabah

yang terbuat dari tanah liat) hasil dari dodol dawet diberikan

kepada calon pengantin wanita. Adapun maksud dan tujuan

bagian-bagian dari dodol dawet adalah sebagai berikut:

63

Tabel 3.4 Makna piranti atau benda bagian dari prosesi

dodol dawet

No. Piranti atau

Benda

Maksud dan Tujuan

1. Dawet Pada waktu acara gawe mantu

(hajatan pernikahan) yang sedang

berlangsung terdapat banyak tamu

yang berdatangan atau semrawut

(sesuatu hal yang tidak bisa

dihitung) seperti dawet atau cendol

yang telah dijual oleh ibu calon

pengantin perempuan. Diharapkan

para tamu yang berdatangan ikut

memberikan doa serta keberkahan

kepada kedua pengantin setelah

menjadi suami istri menjadi

keluarga yang sakinah, mawadah

dan warahmah.

2. Pecahan

gendeng atau

kendhi

Bahwa orang tua memberikan harta

ataupun nafkah untuk yang terakhir

kalinya kepada anak perempuannya

tersebut, karena kedepannya

anaknya akan menjadi milik suami

64

dan kewajiban sang suami untuk

memberikan nafkah kepada

istrinya. Selain itu diharapkan agar

rezeki anaknya kelak melimpah

seperti apa yang telah didapat saat

penujalan dawet.

3. Payung Melambangkan Seger (segar),

kwarasan (sehat) dan adem

(dingin/sejuk). Maksudnya payung

yang digunakan Bertujuan agar

anak yang akan dinikahkannya

akan mendapatkan kesegaran

jasmani serta rohani, selalu sehat

dan diberikan kesejukan dalam

kehidupan rumah tangganya kelak.

Sumber: Keterangan dari mbah Setro Pawiro

3. Nebus Kembar Mayang

Prosesi Nebus kembar mayang dilakukan bersamaan

dengan malem midodareni. Kembar mayang adalah suatu

manik-manik atau replika burung merpati yang terbuat dari

janur (daun kelapa yang masih muda), dan mereka

menganggab jiwa anak yang mau menikah berada dalam

kembar mayang tersebut. Nebus kembar mayang merupakan

65

suatu prosesi dimana dukun temanten (yang menjadi dukun

temanten pada hajatan pernikahan anak pak Kemi adalah mbah

Setro Pawiro) menebus kembar mayang milik calon pengantin

perempuan dengan jumlah harga ganjil yaitu Rp. 2.500 (jumlah

ini tidak ditentukan dan bukan termasuk kedalam mahar dari

pihak laki-laki yang diberikan kepada pihak perempuan) yang

kemudian diberikan kepada keluarga calon pengantin laki-laki

atas kehendak calon pengantin laki-laki. Pada saat nebus

kembar mayang orang tua calon pengantin perempuan

membawa payung dan tenggok yang didampingi atau

disaksikan oleh bapak dari calon pengantin perempuan.

Kemudian dua kembar mayang kepunyaan calon

pengantin laki-laki ditempatkan pada padi-padi (tempat atau

kursi yang disediakan untuk kedua pengantin) berjajaran

dengan kembar mayang kepunyaan calon pengantin

perempauan. Saat penempatan kembar mayang haruslah hati-

hati, di tempat padi-padi (tempat atau kursi yang disediakan

untuk kedua pengantin) tidak boleh ada anak kecil yang

bermain-main di tempat tersebut. Adapun maksud dan tujuan

dari simbol-simbol dari upacara nebus kembar mayang adalah

sebagai berikut:

Tabel 3.5 Makna piranti atau benda bagian dari prosesi

nebus kembar mayang

66

No. Piranti atau

Benda

Maksud dan Tujuan

1. Manik-manik atau

replika burung

merpati

Supaya kedua pengantin

mempunyai kepribadian seperti

merpati yaitu seumur hidup

hanya mempunyai satu pasangan

atau pasangan pengantin

diharapkan langgeng sampai

maut yang memisahkan mereka.

2. Janur Diartikan dari bahasa arab yaitu

kata “An-Nur” yang berari

cahaya. Dengan tujuan bahwa

nantinya kedua calon pengantin

setelah menjadi suami istri dan

mengarugi bahtera rumah tangga

akan mendapat cahaya yang

terang benerang tidak dalam

kegelapan.

3. Harga yang

berjumlah ganjil

Bermakna bahwa gusti Allah

menyukai sesuatu yang

berjumlah ganjil, dan berharap

mendapat barokah.

4. Dua kembar Diartikan bahwa dua sejoli yang

67

mayang yang

dijajarkan

manteb jejodohan (yakin bahwa

pasangannya tersebut adalah

jodoh yang ditakdirkan

untuknya.

5. Payung Melambangkan Seger (segar),

kwarasan (sehat) dan adem

(dingin atau sejuk). Maksudnya

payung yang digunakan

Bertujuan agar anak yang akan

dinikahkannya akan

mendapatkan kesegaran jasmani

serta rohani, selalu sehat dan

diberikan kesejukan dalam

kehidupan berumah tangganya

kelak.

5. Tenggok Suatu wadah dari bambu yang

dilambangkan rumah dari orang

tua pengantin perempuan yang

sebentar lagi si calon pengantin

ini berpindah ke tempat

suaminya.

Sumber: Keterangan dari mbah Setro Pawiro

4. Slametan Midodareni

68

Upacara slametan midodareni dimulai pada saat

penyambutan kedatangan keluarga calon pengantin laki-laki,

yaitu kurang lebih pada pukul 19.00 sampai pukul 00.00. Saat

malam slametan midodareni ini mendatangkan sesepuh dan

keluarga calon pengantin perempuan untuk menyambut

kedatangan keluarga calon pengantin laki-laki. Setelah

keluargga calon pengantin laki-laki datang, kemudian

menyampaikan maksud dan tujuannya yaitu untuk srah-srahan

(menyerahkan) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan,

karena jika rumah calon pengantin laki-laki jauh maka tidak

ikut pulang bersama rombongan keluarganya dan akan

menginap di rumah si calon perempuan, dengan tujuan pagi-

pagi sudah siap untuk melaksanakan prosesi perkawinan yang

selanjutnya.

Setelah menyampaikan srah-srahan maka selanjutnya

keluarga calon pengantin laki-laki dikasih jamuan makanan

termasuk semua tamu yang hadir. Setelah itu ditutup dengan

doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa (mbah Sutar)

sekitar pukul 24.00. Mereka menganggap bahwa pada pukul

24.00 atau 00.00 di penutup acara para bidadari turun dari

langit atau kayangan dan mendatangi acara slametan

midodareni ini, yang nantinya para bidadari akan menemani

calon pengantin wanita dikamar setelah upacara slametan

69

midodareni selesai dan diharapkan membawa barokah dan

mendapat keselamatan (Keterangan mbah Sutar).

5. Nyantri

Nyantri merupakan datangnya calon pengantin laki-laki

berserta sanak keluarganya dalam upacara midodareni, dan

apabila rumah si calon pengantin laki-laki tersebut jauh maka

saat upacara midodareni telah selesai tidak ikut pulang

bersama sanak keluarganya kembali ke rumah orang tuanya.

Nyantri dalam masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,

kabupaten Sragen bertujuan untuk srah-tinampi (menyerahkan

dan menerima) calon pengantin laki-laki kepada keluarga

calon pengantin perempuan. Hal ini dikarenakan si calon

pengantin laki-laki akan menginap di rumah calon pengantin

perempuan. Saat tengah malam dan upacara midodareni telah

selesai maka si calon pengantin laki-laki dipersilahkan masuk

ke dalam kamar yang sudah disediakan sebelumnya.

Tujuannya agar si calon pengantin laki-laki ini dapat

beristirahat dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan

prosesi perkawinan yang selanjutnya di hari besok. Prosesi

nyantri ini calon pengantin laki-laki tidak boleh bertemu

dengan calon pengantin perempuan (keterangan mbah Sutar).

Selain runtutan acara prosesi upacara yang disebut

diatas, dalam perkawinan adat di desa Ngrombo harus

70

disediakan sesaji yang ditempatkan di tempat tertentu. Sesaji

ditujukan untuk dhanyang desa (roh yang menjaga desa),

lelembut, dan roh-roh yang sudah meninggal dengan maksud

untuk njaluk slamet atau minta keselamatan.

Sajen (sesaji) yang harus disediakan dan ditaruh pada

suatu wadah yang bernama tampah (nampan), diletakkan

dalam rumah hajatan perkawinan yaitu sebagai beriku:

a. Sajen (sesaji) di tempat padi-padi (tempat untuk

pengantin) yang ditaruh dalam tumbu (suatu wadah

yang terbuat dari bambu yang dianyam) dan diikat

pada tiang-tiang rumah yang berjumlah 4 tiang di

sekitar padi-padi. Alasannya karena tempat itu

merupakan tempat temu pengantin dan tempat para

tamu.

b. Sajen (sesaji) di sentong tengah atau jodi (tempat

yang biasanya digunakan untuk menyimpan beras

dan bahan makanan lainnya). Anggapan masyarakat

desa Ngrombo sentong tengah atau jodi ini

merupakan tempat yang paling keramat, Karena

tempat tersebut digunaan untuk menyimpan beras

temanten, dan beras temanten adalah penjelmaan

dari dewi Sri atau mbok Sri Sejati. Tujuannya untuk

71

mbayangkari (mengabdi atau menghormati) kepada

dewi Sri.

c. Sajen (sesaji) di setiap sudut rumah dan di pawon

(dapur), karena di dapur merupakan tempat

memasak makanan dan jamuan untuk pengantin dan

semua tamu yang hadir. Tujuannya supaya rumah

yang digunakan untuk hajatan dan semua orang

yang rewang (membantu) membuat makanan

diparingi slamet (agar diberi keselamatan) dan jauh

dari gangguan roh. Semua sajen atau sesaji berisi

sebagai berikut:

Tabel 3.6 Isi sesaji serta maksud dan tujuannya

No Isi Sesaji Maksud dan Tujuan

1. Telur

mentah

Tujuannya agar calon

pengantin perempuan yang

akan segera dinikahkan

tersebut cepat hamil dan

mendapat momongan.

2. Dua

daun

sirih

Mempunyai maksud kedua

mempelai adalah satu hati,

walaupun keduanya berbeda

namun tetap menjadi satu

wadah yaitu satu keluarga,

72

mempunyai tekat yang kuat

tanpa melihat perbedan.

3. Pisang

Ayu

Melambangkan harapan

seorang gadis dewasa dengan

kecantikannya, maksudnya

adalah harapan calon pengantin

perempuan.

4. Dimar

sewu

(lampu

seribu)

Dimar berarti lampu dan sewu

artinya seribu, maksudnya

dalam rumah tangga calon

pengantin tersebut semoga

diberikan jalan kehidupan yang

terang-benarang, bercahaya

dan tidak dalam kegelapan.

5. Beras Diharapkan pasangan

pengantin tersebut mempunyai

sumber kehidupan yang

banyak seperti butiran beras,

karena beras melambangkan

sumber kehidupan.

6. Kem-

bang

setaman

Bunga mawar melambangan

cinta kasih sedangkan bunga

melati melambangkan

73

(isinya

bunga

mawar,

bunga

melati

dan

bunga

kenanga)

kesucian. Maksudnya adalah

perkawinan tersebut atas dasar

rasa cinta dan rasa kasih

sayang serta kesucian,

sedangkan bunga kenanga atau

masyarkat desa Ngrombo biasa

menyebutnya bunga kantil

diharapkan kedua calon

pengantin setelah hidup

berumah tangga selalu ngantil

atau selalu bersama-sama.

7. Kaca Mengandung makna bahwa

calon pengantin perempuan

telah dewasa, dimana sudah

mulai dandan, besolek dan

mempercantik diri. Begitu juga

dengan calon pengantin laki-

laki yang sudah dewasa pula,

karena keduanya telah dewasa

maka harus saling mengerti

akan kesalahannya masing-

masing sehingga tidak boleh

ada yang egois dan saling

74

mengerti.

8. Kelapa

yang

masih

bulat

Gambaran bahwa dunia itu

bulat, jadi maksudnya bahwa

kedua pengantin tersebut

nantinya akan hidup di bumi

yang bentuknya bulat seperti

kelapa, sedangkan air kelapa

melambangkan samudra yang

atrinya dalam menjalani

kehidupan berumah tangga

diibaratkan seperti mengarungi

sebuah samudra yang terdapat

halangan dan rintangan.

9. Bumbu

dapur

(bawang

merah,

bawang

putih,

cabai)

Menggambarkan berbagai

macam rasa kehidupan yang

akan dijalani kedua calon

pengantin. Penuh dengan

manis asam kehidupan,

terkadang mereka meraskan

kesenangan dan terkadang

merasakan kesedihan.

10. Jajanan

pasar

Diibaratkan sebgai godaan.

Seperti orang yang mau belanja

75

(emping

mlinjo,

gethuk,

rangin)

di pasar akan banyak godaan,

karena dalam kehidupan

berumah tangga kelak akan ada

banyak rintangan, cobaan dan

godaan seperti godaan

pengganggu keharmonisan

dalam berumah tangga jika

tidak di rencanakan dan

dibicarakan dengan baik.

11. Uang

logam

Melambangkan kekayaan.

Diharapkan kedua pengantin

dalam menjalani hidup

berumah tangga mempunyai

kekayaan yang melimpah.

12. Gula

jawa

Diharapkan kehidupan rumah

tangga dari pengantin tersebut

berasa manis seperti gula jawa.

13. Jadah/

makanan

yang

terbuat

dari

beras

Dimaksudkan supaya kedua

pengantin terus lengket, rasa

cinta dan kasih sayang mereka

melekat pada hati mereka

sampai kapanpun seperti jadah

tersebut.

76

ketan

14. Buah-

buahan

Diharapkan cinta mereka

menghasilkan buah kasih atau

keturunan yang berguna bagi

semua orang.

15. Pin,

peniti

atau

kancing

baju

Merupakan benda yang biasa

melekat di pakaian.

Dimaksudkan agar kedua

pengantin dalam berumah

tangga mempunyai sandang

(pakaian) yang pantas.

16. Minia-

tur

gerabah

Melambangkan bahwa kedua

pengantin tersebut manteb

(yakin) membangun rumah

tangga bersama-sama.

(Sumber: Keterangan mbah Setro Pawiro

dan mbah Sutar).

Selain harus menyediakan sesaji dalam upacara

perkawinan adat Jawa, di desa Ngrombo ini ada juga hal-hal

keramat lainnya seperti dalam upacara nebus kembar

mayang. Setelah prosesi nebus kembar mayang oleh dukun

temanten maka dua kembar mayang yakni kepunyaan calon

pengantin laki-laki dan kepunyaan calon pengantin

77

perempuan ditempatkan bersampingan di tempat padi-padi,

yaitu di kursi tempat duduk pengantin. Dalam menaruh dan

menempatkan kembar mayang di padi-padi haruslah hati-

hati, tidak diperkenankan anak kecil bermain-main ditempat

tersebut. Jika salah satu atau kedua kembar mayang yang

telah ditebus oleh dukun temanten tersebut jatuh, tumbang

ataupun roboh, maka berarti akan ada suatu musibah,

halangan, hingga pertanda suatu kematian yang menimpa

pada calon pengantin. Apabila kembar mayang yang jatuh

adalah kembar mayang kepunyaan calon pengantin laki-laki

maka musibah tersebut akan menimpa calon pengantin laki-

laki, begitu juga sebaliknya jika kembar mayang yang jatuh

itu kepunyaan calon pengantin perempuan maka musibah

akan menimpa calon pengantin perempuan (keterangan mbah

Sutar).

b. Prosesi Pelaksanaan Upacara Perkawinan

Kedua calon pengantin setelah istirahat di malam hari

seusai menjalankan berbagai rangkaian prosesi upacara

midodareni, bangun pagi pada jam 05.00 untuk mandi dan

bersiap-siap untuk menjalani prosesi pernikahan yang

selanjutnya yaitu sebagai berikut:

1. Ngerik dan Ngrias

78

Pada pukul 06.30 kedua calon pengantin sudah

mulai dirias oleh juru paes (juru rias pengantin). Dalam

acara ngrias ini terdapat juga prosesi ngerik. Prosesi

ngerik (mengerik) diartikan sebagai pemotongan atau

menghilangkan, dimana menghilangkan bulu-bulu halus

yang berada di sekitar dahi dan wajah pada calon

pengantin perempuan. Selain bulu-bulu halus dilakukan

juga pengerikan alis, tujuan dari ngerik (mengerik)

dimaksudkan untuk membuang olo (kejelekan) dan sial

yang ada pada calon pengantin. Setelah prosesi ngerik

selesai baru calon pengantin dirias atau didandani

menggunakan alat make up dari juru paes (juru rias

pengantin) dan menegnakan pakaian pengantin yang

sudah disiapkan oleh juru paes (juru rias pengantin)

(keterangan dari mbah Sutar).

2. Akad Nikah

Akad nikah atau biasa disebut ijab qabul

merupakan suatu akad yang mengesahkan antara calon

pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan

menjadi suami istri yang sah menurut agama maupun

adat. Akad nikah atau ijab qabul dilaksanakan setelah

selesai prosesi ngerik dan ngrias sekitar pukul 08.00,

karena menurut keterangan mbah Setro Pawiro dalam

79

buku primbon, waktu yang baik untuk melaksanakan

akad nikah atau ijab qabul antara jam 08.00 sampai jam

10.00. Prosesi ini dilaksanakan begitu cermat, saktral

dan tenang supaya prosesi akad nikah berjalan lancar,

yang di saksikan dan dicatat oleh pegawai KUA

(Kantor Urusan Agama) kecamatan Plupuh. Setelah

akad nikah atau ijab qabul selesai maka keduanya sah

menjadi suami istri.

3. Panggih Temanten

Upacara panggih temanten merupakan

bertemunya pengantin laki-laki dan pengantin

perempuan setelah ijab qabul atau sudah sah menjadi

suami istri. Pengantin laki-laki yang diantar oleh 2

saudara atau laki-laki yang biasa disebut joko kembar,

yang dibelakanganya diikuti oleh keluarganya dan

menuju di rumah pengantin perempuan lalu berhenti di

depan gapura. Dan pengantin perempuan sudah berada

di gapura dengan ditemani 2 patah (gadis kecil) yang

membawa kipas, dan kedua orangnya berada di

belakang pengantin putri, dimana kedua pengantin ini

mempunyai juru bicara untuk menyampaikan pesan dan

maksud perkawinan.

80

Setelah panggih temanten (bertemunya

pengantin) kemudian pengantin laki-laki dan pengantin

perempuan di bawa ke kursi padi-padi (kursi khusus

untuk kedua pengantin) oleh orang tua perempuan,

sedangkan joko kembar dan keluarga dari pengantin

laki-laki dipersilahkan duduk di tempat yang sudah

disediakan yaitu di dekat padi-padi (tempat pengantin).

Kedua orang tua pengantin laki-laki duduk di samping

kanan kedua mempelai sedangkan kedua orang tua

pengantin perempuan duduk di sebelah kiri kedua

mempelai.

4. Adang-adangan

Prosesi upacara adang-adangan dilakukan setelah

upacara panggih. Adang-adangan merupakan suatu

upacara dimana pengantin laki-laki dan pengantin

perempuan, orang tua pengantin laki-laki dan orang tua

pengantin perempuan, serta kedua patah (anak kecil

perempuan membawa kipas) yang mendampingi kedua

pengantin saat duduk di tempat padi-padi (tempat

khusus untuk kedua mempelai) bersama-sama

mengelilingi kendil lemah (gerabah yang dibuat dari

tanah liat). Kendil lemah tersebut berisi biji-bijian yang

terdiri dari pari (padi yang masih lengkap dengan daun

81

serta tangkainya), jagung, kacang tanah, kedelai hitam

dan kedelai putih, kacang hijau. Selain biji-bijian kendil

tersebut juga berisi sayur-mayur seperti kacang

panjang, sawi hijau dan sawi putih, bayam, kangkung,

mbayung (daun kacang hijau yang masih muda) serta

sebangsa pala kependem (ubi-ubian) seperti ketela

pohon, ketela rambat, besusu (bengkuang), uwi,

ganyong, dan garut (tanaman yang buahnya di dalam

tanah).

Semua itu dimasukkan ke dalam kendil lemah

(gerabah yang terbuat dari tanah liat) dan ditutup

menggunakan tumbu (tempat beras dari anyaman

bambu), cara ini persis seperti cara memasak

tradisional. Mereka mengelilingi kendil lemah sebanyak

3 kali. Maksud dan tujuan dari adang-adangan yaitu

menggambarkan bahwa kedua pengantin akan segera

hidup berumah tangga sendiri, memasak sendiri dan

mengatur urusan rumah tangga mereka sendiri tanpa

campur tangan dari kedua orang tua, dan berputar

sebanyak tiga kali melambangkan sunnah Rasul

(keterangan mbah Setro Pawiro).

5. Sindhur Binayang

82

Setelah prosesi adang-adangan selesai, maka

prosesi selanjutnya adalah sindhur binayang. Prosesi

sindur binayang yaitu ayah dari pengantin perempuan

mengantarkan kedua pengantin menuju ke kursi

pengantin dengan menggunakan selendang yang

disebut selendang sindur. Sedangkan ibu mempelai

perempuan berjalan dibelakang kedua pengantin.

Maksud dan tujuan dari sindhur binayang adalah

bahwa ayah pengantin perempuan menuntun ke jalan

yang benar dan kebahagiaan sedangkan ibu

memberikan dukungan dari belakang (keterangan mbah

Setro Pawiro).

6. Kacar-kucur

Upacara kacar-kucur melambangkah bahwa

suami menjadi tulang punggung keluarga dengan

memberikan nafkan kepada istrinya. Sedangkan istri

sebagai makmum yang baik, yang dapat mengatur

keuangan rumah tangga dengan bijaksana, dan

diharapkan rezeki keduanya melimpah. Upacara kacar-

kucur dilakukan dengan cara pengantin laki-laki

membawa suatu wadah yang berisi beras, kacang,

kedelai, jagung, bunga dan uang logam yang semua itu

diibaratakan rezeki. Kemudian wadah tersebut

83

dituangkan kedalam piring atau nampan kecil yang

dibawa oleh istrinya (keterangan mbah Setro Pawiro).

7. Dhahar Kembul

Prosesi upacara dhahar kembul dilakukan dengan

cara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan

makan bersama kemudian pengantin laki-laki menyuapi

pengantin perempuan yang kemudian diikuti oleh

pengantin perempuan menyuapi pengantin laki-laki.

Maksud dari prosesi upacara dhahar kembul adalah

mereka berdua telah menjadi suami istri dan apa yang

mereka miliki dinikmati bersama-sama dan menjalani

hidup berdua. Prosesi ini ditutup dengan meminum teh

bersama-sama (keterangan mbah Setro Pawiro).

8. Bupak Kawah

Prosesi bupak kawah dilakukan apabila orang tua

pengantin perempuan baru pertama kali menikahkan

anaknya. Bupak dalam bahasa Jawa artinya sapisan atau

pungasan sedangkan dalam bahasa indonesia berarti

pertama kali. Prosesi ini dilakukan dengan cara orang

tua pengantin laki-laki dan orang tua pengantin

perempuan membuka tutup kendil (gerabah dari tanah

liat) secara bersama-sama. Kendil tersebut berisi

palawija dan tanaman rambat seperti: Kacang, kedelai,

84

jagung, uwi, mbili, kimpul dan ada juga padi. Di dalam

kendil yang satunya berisi kelapa dan telur. Selain

kendil perelatan lainnya yaitu entong (alat untuk

mengudak nasi), nampan, dan ilir (kipas yang terbuat

dari anyaman bambu).

Jenis palawija dan tanaman rambat

melambangkan usaha orang tua yang dulunya

digunakan untuk menghidupi anaknya yang sekarang

telah menikah. Kedua orang tua dari pengantin laki-laki

maupun perempuan membuka dan melihat isi kendil

melamabangkan bahwa kedepannya orang tua bisa

melihat kedihupan anaknya tersebut. Kelapa yang

masih utuh melambangkan bulat itu bumi dan air

kelapa itu samudra, bahwa kehidupan anaknya kelak

pasti akan suatu rintangan dan cobaan seperti

mengarungi sebuah samudra. Sedangkan telur

melambangkan sebuah doa supaya kedua pengantin

segera dikaruniai momongan. Bapak pengantin

perempuan juga membawa payung dengan tujuan

keluarga anaknya sejuk, dingin dan tentram.

9. Sungkeman

Prosesi sungkeman adalah meminta doa restu dan

suatu bentuk penghormatan serta bakti kepada kedua

85

orang tua atau kepada pinisepuh (orang yang dituakan).

Pertama upacara sungkeman dilakukan oleh pengantin

perempuan sungkem kepada pengantin laki-laki,

sungkeman ini dimaksudkan bahwa perempuan berbakti

dan tunduk kepada laki-laki. Selanjutnya kedua

pengantin, mula-mula sungkem kepada kedua orang tua

dari pihak pengantin perempuan kemudian baru

sungkem pada kedua orang tua dari pihak laki-laki yang

dilakukan secara bergantian. Waktu melakukan

sengkeman, keris yang dikenakan oleh pengantin laki-

laki harus dilepas terlebih dahulu dan diberikan kepada

juru paes yang sebelumnya sudah mempersiapkan diri,

setelah prosesi sungkeman selesai maka keris tersebut

dikenakan kembali oleh pengantin laki-laki. Tujuannya

adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap keris

tersebut (keterangan mbah Setro Pawiro).

10. Resepsi

Kedua pengantin yang telah selesai melaksanakan

serangkaian prosesi upacara perkawinan, selanjutnya

acara foto bersama teman-teman dan sanak keluarga

dari kedua pengantin. Waktu yang bersamaan para tamu

yang hadir dalam hajatan dipersilahkan menyantap dan

86

menikmati hidangan yang telah disediakan sambil

beramah-tamah.

11. Hiburan Temanten

Hiburan yang disajikan untuk para tamu yang

hadir adalah pementasan musik yang biasa disebut grup

musik Campur Sari. Masyarakat desa Ngrombo tidak

asing lagi dengan grup musik Campur Sari ini, karena

kebanyakan masyarakat desa yang mempunyai acara

hajatan perkawinan sering menampilkan hiburan musik

Campur Sari. Grup musik Campur Sari menyanyikan

lagu-lagu yang beraliran dangdut, dimana para pemuda

Karang Taruna dan bapak-bapak masyarakat desa ikut

berjoget di depan bersama para biduan (penyanyi),

selain berjoget ikut memeriahkan acara mereka juga

memberikan uang saweran kepada para biduan

(penyanyi), dan tidak sedikit dari pemuda Karang

Taruna yang membawa minuman keras tetapi tuan

rumah yang mempunyai hajatan perkawinan

memakluminya yang penting mereka tidak membuat

kerusuhan dan keonaran di tempat hajatan.

12. Pengajian Temanten

Setelah semua acara hajatan perkawinan selesai,

maka acara selanjutnya hanya menerima para tamu

87

undangan dari jauh yang baru bisa hadir setelah resepsi,

acara ini hingga sore hari. Kemudian pada malam hari

tepat pada pukul 21.00, diadakan acara pengajian yang

dihadiri oleh sanak keluarga dan masyarakat desa

Ngrombo dengan pembicara dari desa Karangwaru,

yaitu desa sebelah Timur dari desa Ngrombo yang

dianggap mengerti dan memahami agama. Acara

pengajian temanten ini, pengantin laki-laki duduk

dengan para tamu laki-laki sedangkan pengantin

perempuan duduk dengan para tamu perempuan,

tujuannya untuk membaur bersama para tamu

undangan.

B. Alasan-alasan Perkawinan Adat Masih Di Pegang Teguh Dan

Implikasinya Terhadap Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan

Plupuh Kabupaten Sragen

a. Alasan Perkawinan Adat Masih di Pegang Teguh oleh Masyarakat di

Desa Ngrombo

Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal

14 Juli 2016 pada sesepuh atau orang yang dituakan di desa Ngrombo,

kecamatan Plupuh kabupaten Sragen mengenai faktor atau sebab yang

mempengaruhi perkawinan adat Jawa masih dijalankan dan masih

dipegang teguh oleh masyarakat hingga saat ini, yaitu sebagai berikut:

88

1. Upacara perkawinan adat Jawa merupakan suatu ajaran yang

dilakukan oleh nenek moyang masyarakat desa Ngrombo pada

zaman dahulu, dengan melaksanakan upacara perkawinan adat

Jawa maka menjadi salah satu bentuk penghormatan kepada roh

nenek moyang.

2. Nguri-uri budoyo, maksudnya perkawinan adat Jawa merupakan

suatu budaya yang khas di desa Ngrombo dan harus dijaga serta

dilestarikan hingga turun-temurun.

3. Untuk meminta slamet (keselamatan), pertama kepada Gusti

Allah, kemudian kepada dhanyang (penunggu desa) dan roh-roh

nenek moyang.

4. Setelah upacara perkawinan selesai, maka kedua pengantin dan

keluarga yang mempunyai hajatan merasa tentram dan terhindar

dari rasa was-was (ketakutan).

5. Ngumumi liyane, maksudnya adalah suatu tradisi yang sudah

biasa biasa dilakukan oleh masyarakat, karena bagi mereka

sesuatu yang dianggap tabu jika tidak menjalankan adat dan

tradisi seperti pada masyarakat umumnya (keterangan mbah

Sutar).

b. Pengaruh Perkawinan Adat dengan Kehidupan Masyarakat dan

Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pengaruh Upacara Perkawinan

Adat dengan Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Desa Ngrombo

89

Dari hasil wawancara sesepuh desa mbah Setro Pawiro dan

observasi di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen pak

Kemi dan bu Kemi yang menikahkan anak perempuannya yang

merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dan baru pertama kali

menikahkan anaknya. Pak Kemi dan bu Kemi adalah salah satu

penduduk di desa Ngrombo yang beragama Islam, taat menjalankan

sholat lima waktu dan sholat Jum‟at di masjid serta menjalankan

ibadah puasa di bulan ramadhan. Mereka menikahkan anaknya dengan

konsep perkawinan adat desa Ngrombo, pak Kemi dan bu Kemi

percaya bahwa jika tidak menggunakan konsep perkawinan adat,

kelak di kemudian hari akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa

rumah tangga anaknya tersebut.

Adapun dalam kehidupan masyarakat desa Ngrombo kecamatan

Plupuh kabupaten Sragen menurut hasil wawancara terhadap sesepuh

desa tentang perkawinan adat Jawa yaitu sebagai berikut: Pak wandi

dan bu Lasmi (bukan nama sebenarnya) adalah masyarakat desa

Ngrombo yang beragama Islam. Mereka taat menjalankan syariat

agama seperti sholat lima waktu dan menjalankan ibadah puasa di

bulan Ramadhan dan tidak begitu menggubris tentang adat istiadat

desa sekalipun adat perkawinan. pada zaman dahulu pak Wandi dan

bu Lasmi menikahkan anaknya tetapi tidak dengan perkawinan adat,

yaitu dengan khitbah lalu akad nikah dan kemudian resepsi untuk

mengabarkan bahwa anaknya kini telah menikah, akhirnya anaknya

90

yang dinikahkan tersebut tidak kunjung mempunyai anak. Hingga saat

ini masih berobat kesana-kemari berusaha untuk mendapatkan

momongan.

Selain pak Wandi dan bu Lasmi, ada juga warga desa Ngrombo

yang menikahkan anaknya tidak menggunakan upacara adat yaitu pak

Amin dan bu Lina. Mereka sama-sama beragama Islam, dan

menjalankan lima rukun Islam. Saat mereka menikahkan anaknya

dengan konsep perkawinan modern di gedung dan perkawinannya

memenuhi syarat dan rukun nikah, di mana setelah ijab dan qabul

langsung mengadakan walimahan selama dua hari berturut-turut, hari

pertama untuk sanak keluarga dan hari kedua resepsi untuk undangan

rekan dan sahabat. Mereka tidak mempercayai akan pengaruh upacara

perkawinan adat dengan kehidupannya. Selang waktu satu bulan bu

Lina jatuh sakit, yaitu sakit stroek dan tidak bisa jalan. Dimana

sebelumnya bu Lina pernah di bawa ke rumah sakit karna gejala

stroek juga.

Selain itu pak Rusdi dan bu Ismi yang menikahkan anaknya

yang pertama, dan menggunakan konsep upacara adat di desa

Ngrombo. Mereka beragama islam tapi pak Rusdi tidak begitu taat

menjalankan syariat agama Islam, walaupun melaksanakan sholat

namun tidak lima waktu sering kali bolong-bolong yang biasanya

disebut orang abangan, beda halnya dengan bu Ismi yang taat

menjalankan syariat agama dengan sholat lima waktu dan puasa

91

Ramadhan. Mereka mempercayai adat istiadat yang ada di desa,

dalam perkawinan anaknya tidak menggunakan sesaji dapur dalam

rumah hajatan tersebut, namun semua prosesi telah dijalankan oleh

kedua mempelai yaitu seperti malam midodareni, nebus kembar

mayang, dodol dawet, bupak kawah, adang-adangan hingga pengajian

temanten, sesajinyapun telah ditempatkan di tempat padi-padi (tempat

khusus untuk kedua mempelai) dan di jodi (ruang tengah tempat

menyimpan makanan dan beras). Selesainya hajatan maka seseorang

yang ditunjuk untuk rewang (membantu) menanak nasi di pawon

(dapur) yaitu mbah Yahman keesokan harinya jatuh sakit dan

dilarikan ke rumah sakit. Menurut masyarakat desa Ngrombo, semua

kejadian tersebut ada kaitannya dengan prosesi pernikahan yang

diselenggarakan oleh keluarga tersebut (keterangan mbah Setro

Pawiro).

C. Pandangan Ulama Terhadap Perkawinan Adat Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang ada hubungan

nya dengan kehidupan manusia, yang mana adanya hubungan sosial antar

orang tua, kerabat, dan masyarakat. Fenomena yang terjadi di desa

Ngrombo dalam perayaan perkawinan menggunakan upacara sebagai

simbolik yang dijadikan adat istiadat secara turun-temurun. Filosofi

perayaan perkawinan adat desa Ngrombo bertujuan supaya perkawinan

tersebut langgeng, bahagia, kelancaran rizki dan kekal. Upacara

pernikahan adat merupakan adat kebiasaan yang di lakukan oleh

masyarakat desa Ngrombo sejak dari nenek moyang mereka, yang

92

dilakukan dengan runtutan-runtutan prosesi dengan sakral dan hikmat serta

penuh makna.

Menurut ulama dalam kaidah ushul fiqih berpendapat bahwa dalam

kitab mawadi‟ul awaliyah (ياضغ االنخ) merujuk pendapat Abdul Hamid

Hakim dalam kaidah 21, al „adatu mukhakkamatun (انؼب دح يذكخ) yang

artinya adat kebiasaan atau tradisi bisa dijadikan hukum, maksudnya adat

dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat bisa dijadikan dasar hukum

untuk masyarakat daerah terentu.

Berdasarkan Pendapat ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-

shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang

menyangkut adat/kebiasaan ucapan maupun adat/kebiasaan perbuatan

dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Seorang mujtahid

dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam Al Qarafi yang

merupakan ahli fiqih Maliki, harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang

ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang

menyangkut masyarakat tersebut. Para ulama madzhab, menurut Imam Al

Syathibi yaitu ahli ushul fiqih Maliki, dan Ibn Qayyim Al Jauziyah yaitu

ahli ushul fiqih Hanbali, mereka menerima dan menjadikan adat istiadat

sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada ayat atau

hadits yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi, termasuk

perkawinan adat .

Oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan di desa

Ngrombo, maka bisa menjadi hukum yang berlaku di desa tersebut. Secara

hukum Islam bahwa upacara perayaan perkawinan adat di desa Ngrombo

tidak menduduki hukum sebagai kewajiban ataupun penekanan terhadap

sesuatu yang harus dilakukan. Tetapi, karena hukum sesuai dengan

zamannya apabila adat istiadat tidak dilakukan mengakibatkan

kekhawatiran, ketidakharmonisan ataupun suatu bencana yang menimpa

pada keluarga tersebut. Maka hal ini bisa menjadi penekanan dalam

93

prosesi perkawinan adat istiadat di desa Ngrombo, tetapi hanya

masyarakat yang mempercayai hal tersebut.

Bila ditinjau dari kulturalistik, masyarakat desa Ngrombo masih

memegang teguh kebudayaan daerah setempat. Budaya lokal masih

merupakan kebiasaan yang berkembang di lingkungan masyarakat desa

Ngrombo secara turun temurun. Keanekaragaman budaya dan adat istiadat

di desa Ngrombo terlihat pada penyelenggaraan perkawinan. Hal ini tidak

tercover dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits, dan Islam tidak ada pembicaraan

mengenai perkawinan adat yang terjadi desa Ngrombo. Solusi yang bisa

ditawarkan mengembalikan masalah tersebut pada adat masyarakat itu

sendiri.

Berkaitan dengan adat istiadat, dalam prosesi perkawinan adat desa

Ngrombo ini juga dapat pandang dari segi ushul fiqih yaitu „urf fi‟li

(kebiasaan perbuatan), yang mana berbentuk perbuatan. Hal ini menurut

Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (guru besar fiqih Islam di Universitas

„Amman, Jordania), mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat,

karena adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf, menurutnya harus berlaku

pada kebanyakan orang di daerah tertantu, bukan pribadi atau kelompok

tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku

dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan

pengalaman, yang mana adat di definisikan dengan:

االيشانزكشسي غشػالقخػقهخ

Artinya: “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya

hubungan rasional”.

Pada dasarnya agama Islam tidak memberatkan dan bukan berarti

sembarang memudahkan, asalkan pelaksanakan adat istiadat dan budaya

tidak bertentangan kaidah dan hukum Islam. Bila prosesi-prosesi upacara

94

perkawinan adat desa Ngrombo ada maksud dan tujuan untuk meminta

selamat kepada roh-roh dan dhanyang penunggu desa, itu yang tidak

dibenarkan dalam syari‟at Islam. Telah dijelaskan dalam nash bahwa Allah

melaknat orang-orang yang menyekutukannya, dalam ayat berikut:

Artinya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:

"Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", Padahal

Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah

Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang

mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah

mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,

tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”

(QS Al Maidah: 72).

Selain penegasan nahs dari Al-Qur‟an, nabi Muhammad juga bersabda:

ثب ش دذ ثب الػ ثب أث دذ دفض دذ ش ث ثب ػ دذ للا سض ػجذ للا شقق ػ

ئب ش يبد ششك ثبلل عهى ي ػه طه للا قبل قبل سعل للا ػ

ئب دخم انجخ ش يبد ال ششك ثبلل قهذ أب ي دخم انبس

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh telah

menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada

kami Al A'masy telah menceritakan kepada kami Syaqiq dari

'Abdullah radliallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang mati dengan

menyekutukan Allah dengan sesuatu maka dia pasti masuk

neraka". Dan aku ('Abdullah) berkata, dariku sendiri: "Dan

barangsiapa yang mati tidak menyekutukan Allah dengan suatu

apapun maka dia pasti masuk surga". (H.R.

Bukhari)(rindutulisanislam.blogspot.co.id).

Berdasarkan ayat Al-Qur‟an dan hadits nabi tersebut bahwa Allah

melaknat manusia yang menyekutukannya dan mengharamkan surga bagi

orang-orang yang berbuat demikian. Bila dikaitkan dengan perkawinan

adat, tidak benar jika menyediakan sesaji untuk ditujukan kepada

95

dhanyang penunggu desa dengan maksud untuk meminta keselamatan, hal

tersebut menyalahi aqidah dan hukum Islam. Apakah surga yang

dijanjikan oleh Allah SWT besok pada hari kiamat nanti akan kita

tukarkan dengan niat meminta kelesamatan pada roh-roh nenek moyang

dan setan-setan penunggu desa? Tentu saja jawabannya tidak, maka dalam

perayaan upacara perkawinan adat jangan sampai ada niat dalam hati

bahwa melakukan upacara perkawinan adat untuk meminta sesuatu selain

kepada Allah Subhanahu wata‟ala.

Kemudian untuk hiburan temanten yang ada di desa Ngrombo

merupakan hiburan temanten yang dilarang oleh syariat agama Islam.

Bukan prosesi hiburan temantennya yang dilarang melainkan sifat

hiburannya. Alasan sifat hiburan temanten dilarang oleh syariat agama

karena mendatangakan penyanyi-penyanyi yang mengumbar aurat,

berpakaian ketat dan mengumbar hawa nafsu. Hal ini telah ditegaskan oleh

nabi Muhammad sebagai berikut:

ثب انبط و يؼى عبط كأربة انجقش ضشث ب ق م انبس نى أس أ ي فب ط

بئهخ ال ذخه خ انجخذ ان كأع الد يبئالد سءع غبء كبعبد ػبسبد ي كز انجخ يغشح كزا سذب نجذ ي إ سذب ال جذ

Artinya: “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku

lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk bagaikan ekor-ekor

sapi, dengannya mereka memukul manusia, dan wanita-wanita

yang berpakaian tapi telanjang. Mereka berjalan dengan

melenggak-lenggok menimbulkan fitnah (godaan). Kepala-kepala

mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak

masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan

sungguh bau surga itu bisa tercium dari jarak demikian dan

demikian”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu).

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa hiburan temanten yang seperti

itulah yang dilarang oleh syariat agama Islam. hal yang demikian itu

merupakan perbuatan bathil dan kemungkaran, dimana orang muslim

berkewajiban memerangi dan memberantas hal yang dilarang oleh nash.

96

Namun apabila tidak mampu memerangi serta memberantas perbuatan

bathil dan kemungkaran, maka tidak ikut mendatangi dan berada di acara

tersebut hal yang demikian merupakan selemah-lemahnya iman.

Jadi menurut analisa penulis mengenai perkawinan adat desa

Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen seperti upacara

Langkahan, Dodol Dawet, Nebus Kembar Mayang, Midodareni, Nyantri.

Ngerik dan Ngrias, Akad Nikah, Panggih Temanten, Adang-adangan,

Sindhur Binayang, Kacar-kucur, Dhahar Kembul, Bupak Kawah,

Sungkeman, Resepsi, Hiburan Temanten, dan Pengajian Temanten, adalah

termasuk adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan sudah berlaku

sejak lama serta tidak memiliki pertentangan dengan nash Al-Qur‟an dan

hadits, maka adat istiadat itu boleh di berlakukan, berhukum mubah

(boleh). Tetapi apabila melaksanakan upacara perkawinan adat disertai

sesaji yang sengaja dibuat dengan niat meminta keselamatan kepada selain

Allah itu yang dilarang dalam syariat agama Islam.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

97

Bagian akhir dari penulisan skripsi, penulis membuat kesimpulan

berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya yang mengacu pada analisis

sumber yang relevan. Bab-bab sebelumnya telah dipaparkan jawaban dari

semua rumusan masalah sehinga dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat desa

Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen yaitu terbagi menjadi

dua prosesi, yang pertama merupakan prosesi upacara sebelum

pelaksanaan upacara perkawinan, prosesi ini terdiri dari Langkahan

atau Nglangkahi, Dodol Dawet, Nebus Kembar Mayang, Midodareni,

dan Nyantri. Kedua adalah prosesi pelaksanaan upacara perkawinan.

Prosesi pelaksanaan upacara perkawinan yang terdiri dari Ngerik dan

Ngrias, Akad Nikah, Panggih Temanten, Adang-adangan, Sindhur

Binayang, Kacar-kucur, Dhahar Kembul, Bupak Kawah, Sungkeman,

Resepsi, Hiburan Temanten, Pengajian Temanten.

2. Adapun alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang teguh oleh

masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen, yaitu

pelaksanaan perkawinan adat merupakan suatu bentuk penghormatan

kepada roh nenek moyang, menjaga budaya, memina keselamatan

kepada setan penunggu desa dan roh-roh nenek moyang,

mendatangkan ketentraman bagi kedua pengantin, keluarga dan

masyarakat sekitar, dengan melaksanakan prosesi adat berarti telah

melaksanakan budaya yang telah menjadi hal yang biasa dilakukan di

tengah masyarakat. Beberapa masyarakat yang tidak melaksanakan

98

perkawinan adat dan mendapat musibah seperti pengantin tidak

kunjung mempunyai anak, orang tua atau orang yang membantu acara

perayaan perkawinan yang jatuh sakit, kejadian tersebut dikait-kaitkan

dengan prosesi perkawinan adat yang ada di desa. Padahal anggapan

seperti itu adalah mitos, karena ada faktor lain yang menyebabkan

kejadian tersebut.

3. Perkawinan adat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten

Sragen dalam pemikiran hukum Islam

Menurut para ulama ushul fiqih bahwa adat atau „urf yang

merupakan suatu kebiasaan yang hidup di masyarakat hukumnya

boleh selama tidak ada nash yang melarangnya. Jadi perkawinan adat

desa Ngrombo yang terdiri dari Langkahan atau Nglangkahi, Dodol

Dawet, Nebus Kembar Mayang, Midodareni, Nyantri Ngerik, Ngrias,

Akad Nikah, Panggih Temanten, Adang-adangan, Sindhur Binayang,

Kacar-kucur, Dhahar Kembul, Bupak Kawah, Sungkeman, Resepsi,

Hiburan Temanten, Pengajian Temanten hukumya mubah. Tetapi

apabila melaksanakan perkawinan adat dengan niat untuk meminta

sesuatu kepada selain Allah itu yang dilarang dalam syariat dan dalam

hukum Islam, seperti pemberian sesaji yang di tujukan kepada roh dan

setan penunggu desa. Kemudian untuk hiburan temanten seperti yang

ada di desa Ngrombo merupakan acara musik yang dilarang dalam

syariat Islam, karena mengumbar aurat dan nafsu.

B. Saran

99

1. Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat desa Ngrombo khususnya yang beragama Islam

diharapkan dapat mengarahkan pada sesama penduduk desa Ngrombo

kecamatan Plupuh kabupaten Sragen bahwa apabila melaksanakan

perkawinan adat tetap menjaga aqidah dan niatnya.

2. Bagi Pelaku Perkawinan Adat

Apabila akan melaksanakan perkawinan adat, maka harus lebih

berhati-hati. Sehingga dapat melaksanakan dan menjaga budaya tetapi

tidak melanggar syariat-syariat agama Islam, sehingga akan

mendatagkan rasa ketenangan dalam hidup.

C. Penutup

Alhamdulillah hirabbil „alamin, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam.

Atas ridho dan izinnya maka tulisan ini telah selesai ditulis dalam bentuk

skripsi. Skripsi ini banyak kekurangan baik dalam tulisan maupun

penulisannya. Dari sebab itulah, penulis harapkan kritik dan saran dari

pembaca untuk tulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak teria

kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet & Aminnudin. 1999. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia.

100

Al Ansori, Ali. Al Mizan Al Kubra, Juz II. Semarang: Toha Putra.

Al Ghozali, Muhammad. tt. Ihya‟ „Ulum Ad-Din, Juz 2, Dar al Ihya‟ al Kutub al

Arabiyah Indonesia.

Al Hamdani. 2002. Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam. Edisi Kedua.

Jakarta: Pustaka Amani.

Alhamdani, H.S.A. 1989. Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Hukum

Perkawinan Islam. Cet. ke 3. Jakarta: Pustaka Amani.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1990. Kitab Al Fiqh „Ala Madzahib Al Arba‟ah. Beirut-

Libanon: Dar al Kutub al Alamiyah.

Arianto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ariij binti Abdur Rahman As-Sanan. 2006. Adil Terhadap Para Istri (Etika

Berpoligami). Jakarta: Darus Sunnah Press.

Ayyub, Syaikh Hasan. 2003. Fiqih Keluarga, Terjemahan M. Abdul Ghoffar,

E.M. jakarta: Pustaka Al Kautsar.

Azzam, Aziz Muh & Hawwas, Abdul Wahab Sayyed. 2009. Fiqh Munakahat.

Jakarta: AMZAH.

Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke 8. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Chafid, Afnan & Asrori, Ma‟ruf. 2006. Tradisi Islami. Lombardbaya: Kharisma.

Endraswara, Suwardi. 2010. Etika Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: NARASI

(Anggota IKAPI).

Endraswara, Suwardi. 2011. Kebatinan Jawa Dan Jagad Mistik Kejawen.

Yogyakarta: Lembu Jawa.

Fadlillah. 2012. Menikah Itu Indah. Yogyakarta: Elangit7 Publishing.

Fajri & Senja. (Tahun). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Kota Terbit). Difa

Publisher.

Hakim, Abdul Hamid. 1927. Mabadi‟ul Awaliyah. kt.

Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqih 1. Jakarta: Logos.

101

Hassan, Saleh. 2008. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

IAIN Salatiga. 2016. Materi Ujian Komprehensif Lisan (UKL) Prodi Ahwal Al

Syakhshiyyah.

Jaiz, Hartono Ahmad. 2015. Tarekat Tasawuf Tahlilan & Maulidan. Solo:

Wacana Ilmiyah Press.

Khallaf, A. Wahhab. 1991. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali press.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cet. VI. Jakarta: Aksara

Baru.

Mahmud, Ali Abdul Halim. 2007. Jalan Dakwah Muslimah. Solo: Era Intermedia.

Moleong, lexy. 1999. Metodologi. Bandung: PT.Remaja Rosada Karya.

Mulder, Miels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa:

Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Cet. Ke 2. Jakarta:

Gramedia.

Qardhawi, Yusuf. 2000. Halal Haram Dalam Islam. Cet ke 4. Solo: Era

Intermedia.

Qardhawi, Yusuf. 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam. Solo: Intermedia.

Qardhawi, Yusuf. tt. Halal dan Haram. Jakarta: Robbani press.

Ramulyo, Mohd Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Cet Ke 2. Jakarta: Bumi

Aksara.

Shiddieq, Umay Muhammad Dja‟far. 2004. Indahnya Keluarga Sakinah. Cet. I.

Jakarta: Zakia Press.

Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Soejono, Soekanto & Maudji, Sri. 1983. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:

Rajawali Press.

Soekanto, Soejono. 1982. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: CV Rajawali.

STAIN Salatiga. 2008. Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir. Salatiga.

Sudarmojo, Haryo Agus. 2009. Perjalanan Akbar Ras Adam. Bandung: Mizania.

102

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Sukmadinata, Saudih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remeja

Rosdakarya.

Sulaiman, Al-Mufarraj. 2003. Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah,

Kisah, Syair, Wasiat & Kata Mutiara. Jakarta: Kuais Mandiri Cipta

Persada.

Surakhmad, winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media.

Tim Penyusun Pusat Studi Islam Al Manar. 2007. Fiqih Nikah. Cet. Ke 3.

Bandung: Syamil cipta Media.

Uwaidah, Kamil Muhammad. 2014. Fiqih Wanita. Jakarta: Al Kautsar.

Yazid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Ali Terhadap Wacana Hukum

Islam Kontemporer. Cet. I. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

http://www.eramuslim.com/ustadz-menJawab/pernikahan-yang-sesuai-Islam.htm.

diakses pada 06 Agustus 2016 pukul 22:30.

http://www.khabib.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&i

d=12&Itemid=8 diakses pada 06-08-2016 pukul 22:26.

http://www.mutiarahadits.com/98/32/75/doa-untuk-mempelai.htm di akses pada

tanggal 26-08-2016 pada jam 11.06

http://id.wikipedia.org/wiki/kejawen diakses pada tanggal 28-07-2016 diakses

pada 09 Agustus 2016 09:33

http://rindutulisanislam.blogspot.co.id/2013/12/al-quran-dan-al-hadist-tentang-

syirik.html diakses pada 29 September 2016 15:32.

www.latansanasibaka.blogspot.com diakses pada 29 September 2016 15:06.

103

LAMPIRAN

Prosesi Upacara Dodol Dawet

Prosesi Upacara Tebus Kembar Mayang

104

Sesaji Upacara Perkawinan

Prosesi Ijab Qabul

105

Prosesi Upacara Panggih Temanten

Prosesi Upacara Adang-adangan

106

Prosesi Upacara Sindhur Binayang

Prosesi Upacara Kacar-kucur

107

Prosesi Upacara Dhahar Kembul

Prosesi Upacara Bupak Kawah

108

Prosesi Upacara Sungkeman

Hiburan Temanten