perkawinan adat jawa dalam pemikiran …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2849/1/skripsi...i...
TRANSCRIPT
i
PERKAWINAN ADAT JAWA
DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Di Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh
Kabupaten Sragen)
SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
SITI MUKAROMAH
NIM: 211-12-018
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA
2016
vi
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunia-Nya,
skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Samudi dan Ibu Suliyem yang telah
mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala dukungannya
dalam setiap langkah-langkahku.
2. Kakak serta adik-adikku tersayang mbak Nur Sholikah, mas Badi Anur
Achsan, dek Puji Mulyo Nugroho, dek Puji Agung Rahmawati, yang
memberi dukungan & doanya tak pernah surut mengiringi perjuanganku.
3. Dosen pembimbing skripsiku ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag yang tak pernah
lelah membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.
4. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah membagikan ilmunya kepadaku
dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan Ahwal
al Syakhshiyyah.
5. Seseorang yang tak pernah bosan memberiku semangat di setiap harinya.
6. Keluarga besar Santri putra putri PP. Edi Mancoro & keluarga besar HMI
kota Salatiga yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna
dalam hidupku.
7. Teman-teman seperjuangan mb Suci, mb Jamil, mb ayu peraih beasiswa
BIDIKMISI YA BISMILLAH IAIN Salatiga
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim
Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERKAWINAN ADAT
JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen)”.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Sukron Makmun, M.Si.
3. Pembimbimbing skripsi, Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. yang dengan ikhlas
membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk
penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
4. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
yang telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan
jenjang pendidikan S1.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil
viii
dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca pada
umumnya. Amin.
Salatiga, 22 September 2016
Penulis
ix
ABSTRAK
Mukaromah, Siti. 2016. PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN
HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kecamatan Plupuh Kabupaten
Sragen). Skripsi Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al
Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dosen Pembimbing Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata Kunci: Perkawinan Adat Jawa, Pemikiran, Hukum Islam.
Penelitian yang penulis lakukan untuk mengungkap adat dan tradisi
masyarakat Jawa di dalam ritual perkawinan. Di mana adat dan tradisi dalam
ritual perkawinan masarakat Jawa menganut kepada adat dan tradisi zaman dahulu
yang telah dilakukan oleh nenek moyang suku Jawa. Dalam prosesi hajatan dalam
perkawinan terdapat runtutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai maupun
kedua orang tau calon mempelai. Mereka percaya apabila melewatkan salah satu
prosesi, maka akan terjadi sesuatu yang mengancam kehidupan berumah tangga
kedua mempelai. Melihat hal itu, maka penulis melakukan penelitian dengan tiga
fokus pokok pembahasan yaitu: pertama, Bagaimana prosesi perkawinan adat
yang dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten
Sragen? Kedua, Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang teguh oleh
masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dan bagaimana
implikasinya terhadap masyarakat? Ketiga, Bagaimana perkawinan adat di desa
Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam pemikiran hukum Islam?
Dengan penelitian kualitatif dan metode deskriftif analisis yang penulis
lakukan berusaha untuk mengungkap dan menjawab pokok-pokok permasalahan
di atas. Menggunakan metode penelitian tersebut penulis melakukan observasi
dan wawancara di lapangan guna mengetahui secara langsung bagaimana praktik
yang dilakukan oleh masyarakat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten
Sragen dalam prosesi upacara adat yang hingga saat ini.
Dari penelitian bahwa prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh
masyarakat desa Ngrombo terbagi menjadi dua sesi, yang pertama yaitu prosesi
sebelum pelaksanaan upacara perkawinan yang terdiri dari upacara langkahan,
dodol dawet, nebus kembar mayang, slametan midodareni, dan nyantri. Kedua
prosesi pelaksanaan upacara perkawinan, yaitu terdiri upacara ngerik dan ngrias,
ijab qabul, adang-adangan, sindhur binayang, kacar-kucur, dhahar kembul,
bupak kawah, sungkeman, acara resepsi dan hiburan, dan pengajian temanten.
Alasan perkawinan adat Jawa masih dipegang teguh dan implikasinya pada
masyarakat adalah bahwa dengan melaksanakan upacara perkawinan adat berarti
telah menghormati nenek moyang karena hal itu adalah warisan dari nenek
moyang, menjaga dan melestarikan budaya para leluhur, untuk meminta
keselamatan kepada roh penjaga desa dan leluhur, para pelaku merasa tentram dan
tidak was-was, melakukan sesuatu yang sudah umum di masyarakat. Prosesi
perkawinan adat dalam pemikiran hukum Islam hukumnya mubah selama tidak
bertentangan dengan nash.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING......................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN.......................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................iv
HALAMAN MOTTO..............................................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
ABSTRAK .............................................................................................................ix
DAFTAR ISI............................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
C. Tujuan Penelitian......................................................................................4
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................5
E. Metode Penelitian.....................................................................................6
F. Tahab-tahab Penelitian.............................................................................8
G. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................9
H. Penegasan Istilah....................................................................................11
I. Tinjauan Pustaka.....................................................................................12
J. Sistematika Penulisan.............................................................................15
BAB II PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN ULAMA
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan.....................................17
B. Tinjauan Umum Tentang Adat Perkawinan Dalam Ushul Fiqih ...39
xi
BAB III DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN
DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA
A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen ...........................................45
B. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh
Kabupaten Sragen Terhadap Adat Jawa .........................................50
C. Ragam Adat Istiadat yang Hidup di Masyarakat Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen............................................53
BAB IV PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM
ISLAM
A. Prosesi Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh
Kabupaten Sragen ...........................................................................58
B. Alasan-alasan Perkawinan Adat Masih di Pegang Teguh Oleh
Masyarakat Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Desa
Ngrombo..........................................................................................87
C. Pandangan Ulama Terhadap Perkawinan Adat Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen............................................91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................97
B. Saran................................................................................................99
C. Penutup ...........................................................................................99
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................100
LAMPIRAN.........................................................................................................103
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan mahluk sosial, yang artinya bahwa manusia tidak
dapat hidup seorang diri dan membutukan manusia lain untuk bersosialisasi.
Contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan sebuah
pernikahan atau perkawinan. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan
naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang
kuat untuk hidup teratur (Soekanto, 1982: 9). Allah SWT menciptakan
sejumlah insting dan dorongan nafsu yang mengiringi manusia kepada
berbagai hal yang menjamin ksistensinyasebagai individu, juga sebagai
spesies. Salah satunya adalah insting seksual, yang berfungsi untuk
mempertahankan spesies manusia. Ia merupakan insting yang sangat kuat
tertanam dalam diri manusia (Qardhawi, 2000: 213). Seperti halnya Allah
SWT menciptakan manusia pertama kali yaitu Nabi Adam, yang dimana
Allah tidak membiarkan Nabi Adam hidup seorang diri namun dihadirkanlah
Hawa sebagai teman hidupnya di muka bumi. Karena Nabi Adam pertama
kali manusia diciptakan tidak ada keterlibatan mahluk lain, dengan kata lain
Nabi Adam tidak dilahirkan seperti manusia pada umumnya lewat rahim
seorang ibu serta melibatkan malaikat dan orang tuanya (Sudarmojo, 2009:
91), maka dari itu untuk keturunan Nabi Adam yang lahir di dunia sebagai
generasi penerus umat manusia dengan perantara ayah dan ibu dan haruslah
melalui sebuah perkawinan.
2
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
bab 1 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Sudarsono,
2005: 288). “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum : 21)
Dari ayat Al-Qur‟an tersebut, bermakna anjuran untuk menikah dan
bahwa Allah menciptakan manusia secara berpasang-pasang yaitu sebagai
suami istri, yang dimana perkawinan harus melalui suatu akad yang telah
ditentukan menurut rukun dan syarat perkawinan. Diantara manfaat dan
hikmah perkawinan ialah bahwa perkawinan itu menentramkan jiwa, dapat
meredam emosi, menutup dan menundukkan pandangan dari segala yang
dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami istri yang dihalalkan
Allah sesuai dengan firmanya (Hamdani, 2002: 6). Sedangkan menurut
Muhammad Azzam dan Sayyed Hawwas dalam bukunya yang berjudul Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, tujuan perkawinan yang tertinggi
adalah memelihara regenerasi, memelihara gen manusia, dan masing-masing
suami istri mendapatkan ketenangan jiwa karena rasa kecintaan dan rasa
kasih sayangnya dapat disalurkan, demikian juga pasangan suami istri sebagai
3
tempat peristirahatan di saat-saat lelah dan tegang, serta keduanya dapat
melampiaskan kecintaan dan kasih sayangnya selayaknya sebagai suami istri.
Pada prinsipnya pernikahan adalah perbuatan yang menyatukan
pertalian sah: “bertujuan untuk suatu akad yang menhalalkan pergaulan dan
pertolongan antara laki-laki dan wanita serta membatasi hak-hak serta
kewajiban masing-masing mereka” (Azzam dan Hawwas, 2009: 37). Dari
sini dapat dilihat tujuan penikahan bukan sekedar penyaluran naluri seks
semata melainkan juga menghapus batasan-batasan yang awalnya haram
menjadi halal. Sementara itu, aspek agama dalam pernikahan merupakan
perkara yang “suci”. Dengan demikian, pernikahan menurut Islam merupakan
ibadah , yaitu dalam rangka terlaksananya perintah Allah atas petunjuk rasul-
Nya, yakni terpenuhi rukun dan syarat nikah (Hassan, 2008: 299).
Pada masyarakat suku Jawa, pernikahan atau perkawinan merupakan
sesuatu yang agung. Banyak sesuatu hal yang sakral dalam upacara
perkawinan (Endrasswara, 2010: 194). Dalam prosesi pernikahan yang
dilakukan di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen terdapat
urutan-urutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Dari hal itu maka
penulis skripsi ini memberikan judul “PERKAWINAN ADAT JAWA
DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa
Ngrombo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen)”. untuk mengetahui
bagaimana prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat tersebut
di atas, dan bagai mana pandangan Islam mengenai hal tersebut.
4
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, pokok-pokok
permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dan akan penulis kaji
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana prosesi perkawinan adat yang
dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,
kabupaten Sragen?
2. Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang
teguh oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten
Sragen dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat ?
3. Bagaimana perkawinan adat yang dilakukan
masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam
pemikiran hukum Islam?
C. Tujuan Penelitin
Dari rumusan masalah di atas mengenai perkawinan adat Jawa,
Supaya tidak menyimpang dari pokok masalah dan sesuai dengan fokus
analisis yang telah penulis rumuskan di atas maka tujuan penelitian yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui prosesi perkawinan yang dilakukan masyarakat desa
Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
2. Untuk mengetahui alasan-alasan apa saja sehingga perkawinan adat Jawa
masih dipegang teguh oleh masyarakat dan bagaimana implikasinya
5
terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten
Sragen.
3. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen dilihat
dari pemikiran hukum Islam.
D. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Adapun kegunaan secara teoritis dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Sebagai sumber referensi bagi para peneliti dan sebagai kajian
pustaka khususnya untuk mengkaji perkawinan adat khususnya di
desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
b. Untuk menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan yang
lebih luas bagaimana prosesi perkawinan yang dilakukan oleh
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen
menurut fiqih Islam bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.
c. Sebagai bahan atau wacana bagi pemerhati permasalahan adat
istiadat yang ada di Jawa, termasuk juga yang ada di desa
Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen.
2. Kegunaan praktis
6
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dan
ilmu pengetahuan bagi semua pihak yaitu sebagai acuan dalam
kehidupan bermasyarakat.
E. Metode Penelitian
Metode dalam suatu penelitian merupakan sesuatu hal yang sangat
lazim digunakan oleh peneliti setiap melakukan penelitian ilmiah. Di dalam
dunia penelitian, penggunaan metode penelitian untuk mengkaji dan meneliti
suatu objek penelitian telah diatur dan ditentukan dengan pesyaratan yang
sangat ketat berdasarkan disiplin keilmuan yang telah diberlakukan. Hal ini
dimasudkan agar hasil temuan dari penelitian tersebut diakui kebenaranya
oleh komunitas ilmuan yang terkait dengan hal itu karena memiliki nilai
ilmiah di bidang tersebut.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk dasar penelitian ini
adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu
objek penelitian, yang umumnya menggunakan strategi multi
metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen
atau study documenter yang antara satu dengan lainnya saling
melengkapi, memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata,
2005: 108).
7
2. Pendekatan Penelitian
Dengan menggunakan pendekatan deskriftif analisis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara detail tentang
sesuatu objek agar dapat mempelajari secara mendalam mengenai
perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh kedua calon pengantin
maupun keluarga dari keduanya.
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis hadir dan ikut serta dalam
proses penelitian di lapangan dan pencarian informasi menganai
prosesi perkawinan adat Jawa di desa ngrombo ecaatan Plupuh
kabupaten Sragen.
Adapun penelitian mulai dilakukan pada tanggal 09 Juli
2016 sampai dengan selesai penelitian dan pembuatan skripsi ini
selesai.
4. Sumber Data
Data merupakan suatu fakta dan keterangan yang diperoleh
saat penelitian. Adapun sumber data yang digunakan dalam
penelitian adalah sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
1. Informan
Informan merupakan orang yang menjadi sumber
imformasi dan sebagai narasumber dari obyek
penelitian, dan di sini yang menjadi sebagai informan
8
adalah sesepuh dan penduduk asli desa Ngrombo,
kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
2. Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah berupa hasil
observasi dan wawancara yang dilakukan langsung
terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan plupuh,
kabupaten Sragen.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian adalah data yang menjadi sumber
pendukung dari data primer di dalam penelitian antara lain Undang-
undang, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lain (Soekanto dkk,
1983: 13), yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi dan
buku-buku yang mendukung keperluan dari penelitian yang dilakukan
di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
F. Tahap-tahap Penelitian
Pada penelitian ini terdapat tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti
membagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Pra-lapangan
Dalam tahap pra-lapangan ini ada beberapa hal yang harus
dilengkapi oleh peneliti:
1. Menyusun rancangan penelitian.
2. Mengurus perizinan.
3. Menjajaki dan memprediksi penelitian.
9
4. Memilih informan.
5. Menyiapkan semua perlengkapan penelitian.
b. Tahap Penelitian Lapangan
Tahap kedua ini mencakup tentang poin-poin sebagai berikut:
1. Memahami latar penelitian.
2. Adaptasi lapangan.
3. Pengumpulan data lapangan.
c. Tahap Analisis Data
Pada tahap analisis ini membahas tentang prinsip-prinsip pokok
materi yang diperoleh dari hasil penelitian tentang perawinan adat
Jawa di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, namun
tidak merinci cara analisis data itu dilakukan karena ada bab yang
secara khusus membahas bagaimana cara menganalisis data. Analisis
data ini adalah mengubah data mentah menjadi data yang bermakna
yang mengarah pada kesimpulan (Arianto, 2010:53).
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik maupun prosedur pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti
seperti observasi partisipan, wawancara mendalam dan dokumentasi (Stain
Salatiga, 2008: 31). Data-data yang dikumpulkan oleh penulis yang dilakukan
di tempat fokus penelitian dengan menggunakan beberapa teknik sebagai
berikut:
1. Observasi. Merupakan pengamatan secara langsung pada prosesi
perkawinan di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
10
Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan
pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad, 1994:
164). Dengan tujuan untuk memperoleh gambaran maupun data dari
objek yang diteliti.
2. Indepth Interview (wawancara mendalam). Yaitu pengumpulan data
dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah
disusun untuk memperoleh jawaban secara langsung pula dari
seorang responden (Koentjaraningrat, 1986: 138). Di karenakan
penelitian ini menggunakan dasar penelitian studi kasus, oleh karena
itu pengumpulan data dengan cara wawancara secara mendalam. Hal
ini dianggap langkah paling tepat untuk memperoleh data serta
informasi secara detail dari objek penelitian karena wawancara
merupakan pertemuan dua orang atau lebih dengan tujuan untuk
bertukar berbagai informasi maupun ide dengan cara tanya jawab
dengan informan secara langsung, dalam hal ini adalah penduduk
desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
3. Dokumentasi, dilakukan dengan mengumpulkan data dan mengutip
dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian untuk
memperoleh data dari desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten
Sragen.
4. Analisis Data
Analisis merupakan suatu teknik dengan langkah
mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik khusus pada suatu
11
pesan secara objek dan sistematis untuk menarik suatu kesimpulan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan diskriftif analisis yaitu
dengan mendeskripsikan menganai perkawinan adat Jawa (Holsti,
1969: 14).
5. Triangulasi Data
Triagulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini,
validalitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga diperlukan suatu
teknik untuk mendapatkan kevalidan dan keabsahan data. Teknik ini
bisa dilakukan dengan cara yaitu sebagai berikut: petama,
pengecekan setelah melakukan wawancara dan observasi. Kedua,
wawancara yang dilakukan lebih dari sekali, maka dilakukan
triangulasi saat wawancara telah selesai dan laporan penelitian telah
disusun untuk informan membaca terlebih dahulu membaca isi
laporan tersebut, dan yang paling utama untuk pengecekan
keabsahan data ini dikarenakan kekhawatiran terdapat kesalahan
maupun kekeliruan (Moleong, 1999: 330).
H. Penegasan Istilah
Untuk membantu pemahaman pembaca dalam menelaah penelitian ini
supaya tidak terjadi kerancauan dan kesalahan penafsiran istilah, maka
12
penulis merasa perlu untuk menyampaikan penjelasan dan penegasan
beberapa istilah sebagai berikut:
1. Adat Jawa
Adat Jawa merupakan sebuah kepercayaan yang dianut
masyarakat di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang
menetap di Jawa, yang pada hakikatnya suatu filsafat di mana
keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada (Wikipedia).
2. Hukum Islam
Hukum Islam menurut Mukhta Yahya (1986: 121) adalah khitbah
atau sabda pencipta syari‟at yang berkaitan dengan perbuatan orang-
orang mukaallaf, yang mengandung suatu tuntunan atau pilihan yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya
sesuatu yang lain.
I. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini bukanlah penelitian yang pertama kali yang
dilakukan dalam hal pengamatan adat Jawa, meskipun demikian penelitian
ini bukanlah suatu duplikat dari penelitian atau skripsi yang sama dengan
lainnya. karena dalam penelitian ini penulis menfokuskan pada
perkawiana adat Jawa yang ada di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,
kabupaten Sragen.
13
Sebagai pendukung penelaahan komprehensif penulis menelusuri
hasil penelitian, artikel maupun buku-buku yang lain tetapi penelitian yang
relevan dengan topik yang dikaji diantaranya sebagai berikut:
Skripsi atau penelitian dari Fatkhur Rohman, pada tahun 2015
dengan judul ”Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa
Kraton Surakarta Dan Yogyakarta (Studi Komparasi)”. penelitin tersebut
membahas tentang upacara pernikahan yang dimulai dari tahap perkenalan
sampai terjadinya perkawinan yang dilakukan di kalangan keraton
Surakarta dan kraton Yogyakarta. Terdapat perbedaan khusus antara
busana pengantin kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta, yaitu dalam
pengantin Surakarta busananya dikenal dengan sebutan busana basahan,
sedangkan pada pengantin kraton Yogyakarta menggunakan 5 corak
busana yakni: putri, kasatrian, kasatrian ageng, paes ageng, dan paes
ageng jangan menir. Selain busana terdapat juga perbedaan dalam prosesi
upacara perkawinan antara Surakarta dengan Yogyakarta diantaranya:
pondongan, posisi duduk dalam pelaminan, dahar kembul (dahar klimah).
Selain itu ada perbedaan dalam simbol-simbol yang bersifat abstrak.
Kemudian skripsi atau penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif
Upacara dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang” oleh
Sugiardi pada tahun 2014, hasil penelitiannya yaitu sebagai berikut:
Bahwa uacara panggih pada suku Jawa adalah upacara bertemunya
pengantin pria dan wanita setelah keduanya sah sebagai suami istri. Dalam
pelaksanaan upacara perkawinan bagi suku Jawa harus memperhitungkan
14
hitungan hari berdasarkan tanggal lahir dari kedua mempelai yang telah
dirumuskan sesuai penanggalan orang Jawa (weton). Pelaksanaannya juga
terdiri dari upacara-upacara yang sangat sakral, dimulai dari nontoni,
lamaran, panggih, srah tinampi, pertukaran kembar mayang, ngidak
endhok (wiji dadi), sindur, sampai akhirnya ditutup dengan prosesi
terakhir yaitu sungkeman.
Buku yang ditulis oleh Muhammad Hariwijaya pada tahun 2004
yang berjudul “Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa”. Buku
tersebut menceritakan bagaimana prosesi upacara perkawinan yang
dimulai dari seorang anak yang akan atau telah menentukan pasangan
hidupnya, selajutnya menerima ataupun melaksanakan prosesi lamaran,
menentukan hari perkawinan, pembentukan panitia dan pelimpahan tugas
untuk jalannya upacara perkawinan, persiapan menjelang pesta
perkawinan, pedoman menentukan tamu undangan dan catering, surat
kelengkapan menikah, prosesi upacara srah-srahan peningset,
menyelenggaraan upacara pasang tarub, menyelenggarakan upacara
siraman, tata cara menyelenggarakan malam midodareni dan kembar
mayang, memasuki upacara ijab kabul, prosesi upacara panggih temanten,
prosesi upacara resepsi, upacara ngunduh mantu dan jenang sumsum,
panduan manual acara pernikahan, dan yang terakhir ular-ular panggih
temanten.
Dari berbagai tinjauan pustaka yang penulis utarakan di atas, tentu
berbeda dengan skripsi yang penulis ulas. Di dalam skripsi ini penulis
15
menjelaskan tentang bagaimana konsep upacara perayaan perkawinan
menurut Islam, dan bagaimana konsep perayaan perkawinan menurut
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, serta
bagaimana pemikiran hukum Islam mengenai upacara perayaan
perkawinan adat di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
J. Sistematika Penulisan
Agar mempermudah penjelasan skripsi tentang perkawinan adat Jawa
ini perlu sistematika penulisannya. Adapun sistematika dalam penulisan
penelitian adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian yang meliputi kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis, metode penelitian yang meliputi jenis
penelitian, sifat penelitian, pendekatan, pengumpulan data, langkah-langkah
penelitian dan analisis data. Kemudian penegasan istilah, tinjauan pustaka
dan terakhir sistematika penulissan.
BAB Kajian pustaka yang meliputi: pengertian
pernikahan/perkawinan, hukum dan syarat perkawinan, pengertian adat Jawa,
perkawinan berdasarkan adat Jawa, syarat-syarat pernikahan/perkawinan
berdasar adat Jawa. Perkawinan dalam agama Islam.
BAB I Hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum dari objek
penelitian yang terdiri dari: Gambaran umum tentang desa Ngrombo,
kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen. Upacara perkawinan adat Jawa serta
16
tanggapan masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen
mengenai Perkawinan adat Jawa.
BAB IV Pembahasan pokok permasalahan dari data-data hasil
penelitian mengenai: Proses pelaksanaan perkawinan adat Jawa di desa
Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen. Implikasi perkawinan adat
Jawa terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten
Sragen. Alasan-alasan Perkawinan adat Jawa masih dipegang teguh oleh
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
Perkawinan adat Jawa perspektif Islam.
BAB V Penutup, merupakan bagian terakhir penulisan Skripsi ini. Pada
bab ini berisi kesimpulan keseluruhan isi dari skripsi mengenai penulisan
hasil penelitian tentang perkawinan adat Jawa, serta rekomendasi penulis
terhadap masyarakat umum.
17
BAB II
Perkawinan Adat Jawa
Dalam Pemikiran Ulama
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian perkawinan
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua mahluk ciptaan Allah SWT baik manusia, hewan, dan tumbuh-
tumbuhan. Perkawinan haruslah mengikuti tata cara yang normatif dan
legal, karena perkawinan manusia berbeda dengan binatang. Untuk
binatang perkawinan hanyalah untuk memenuhi nafsu birahinya dan
dilakukan dengan bebas menurut hawa nafsunya karena sudah menjadi
kodrat binatang, sedangkan bagi manusia perkawinan diatur oleh syariat
dan peraturan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Perkawinan dalam
literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah ( كخ) dan
zawaj (صاج) . kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan sehari-
hari orang arab dan banyak terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits Nabi. Kata
18
na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti
kata nikah atau zawaj berarti “bergabung” (ضى), “hubungan kelamin”
Dalam arti terminologis di dalam .(ػقذ) ”dan juga berarti “akad (طء)
kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan: ػقذ زض اثبدخ انطء ثهفظ
yang artinya yaitu akad atau perjanjian yang mengandung االكبح اانزضج
maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-
ka-ha atau za-wa-ja (Abidin & Aminuddin, 1999: 125).
Para ahli fiqih biasa menggunakan rumusan definisi sebagaimana
tersebut diatas dengan penjelasan sebagai berikut:
1). Penggunaan lafaz akad (ػقذ) untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak yang
terlibat dalam perkawinan. Perkawinan iu dibuat dalam bentuk akad
karena ia adalah peristiwa hukum , bukan peristiwa biologis atau semata
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.
2). Penggunaan ungkapan زض اثب دخ انطء (yang mengandung maksud
membolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan laki-
laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang
membolehkannya secara hukum syara‟. Di antara hal yang membolehakan
hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduannya.
Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu
yang asalnya tidak boleh itu.
19
3). Penggunaan kata جثهفظ اثكبح ارض , yang berarti menggunakan lafaz
na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang
membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan itu
mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam
Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang
laki-laki atas seseorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”.
Bolehnya hubungan hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut
perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata “tasarri” (Syarifuddin,
2003: 73).
Menurut Shiddieq mengartikan kawin secara etimologis (lughah)
adalah kumpul atau bersatu, sedangkan menurut terminologisnya (istilah)
“Nikah ialah suatu „Aqd (ikatan) yang menghalalkan hubungan laki-laki
dan perempuan yang semula terlarang (haram) (Shiddieq, 2004: 1).
Sedangkan dalam kamus Al-Mu‟jam Al-Wasiith dan Mu‟jam Al-
Muhiith mendefinisikan Kata zawaaj „perkawinan‟ menurut bahasa bisa
berarti bersanding, bergabung, dan bercampur. Mengawinkan berarti
menyandingkan, menyatukan, dan mencampurkan. Az-zawaaj juga bisa
berarti berkumpulnya suami dengan istri, atau laki-laki dengan perempuan
(Ariij, 2006: 29).
Menurut golongan Hanafiyah, mengartikan sebagai berikut:
Nikah itu adalah aqad yang memberikan faedah memiliki, bersenang-
senang secara sengaja.
20
Dan menurut golongan Malikiyah, nikah merupakan aqad yang
mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan
watha‟(طء), bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri
seorang wanita yang boleh nikah dengannya.
Sedangkan menurut golongan Syafi‟iyah mendefinisikan nikah
merupakan aqad yang mengandung kekuasaan untuk watha‟ (bersetubuh)
dengan lafadz nikah atau yang semakna dengan keduannya. Menurut
golongan Hambaliyah mengartikan nikah adalah aqad yang
mempergunakan lafadz nikah atau tazwij untuk membolehkan manfaat,
bersenang-senang dengan wanita (Al-Jaziri, 1990: 8). Menurut Sayuti
Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga kekal, santun menyantuni, kasih
mengasihi, tentram dan bahagia (Ramulyo, 1999: 1).
Sedangkan menurut Pasal 2 inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan dan tujuannya adalah:
Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan yang
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
warrahmah (IAIN, 2016: 32).
21
Menurut Syarifuddin ada beberapa hal dari dirumusan tersebut di
atas yang perlu diperhatian adalah sebagai berikut:
a. Digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti
bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
menolak perkawinan sesama jenis yang dewasa ini telah dilegalkan oleh
beberapa negara barat.
b. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam
suatu rumah tangga, bukan hanya istilah “hidup bersama”.
c. Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu
membentu rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan
sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam
perkawinan mut‟ah dan perkawinan tahlil.
d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama yang dilakukan
untuk memenuhi perintah agama (Syarifuddin, 2003: 75).
Dari sekian pendapat mengenai pengertian pernikahan dapat ditarik
garis besar bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan (ikatan) dan
akad yang dimaksudkan untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki
dengan perempuan (kumpul atau Al-Jam‟u/Al-Dhamu) yang awalnya
haram dengan tujuan mewujudkan kebahagiaan dan kasih sayang hidup
bersama (rumah tangga) yang diridhoi Allah AWT (Sulaiman, 2003: 5).
22
2. Prinsip-prinsip Perkawinan
Menurut Ahmad Azhar Basyir mengemukakan prinsip-prinsip
perkawian menurut agama Islam adalah:
a. Pilihan jodoh yang tepat.
b. Perkawinan didahului peminangan.
c. Ada ketentuan tentang larangan perkawianan antara laki-laki dengan
perempuan.
d. Perkawinan didasarkan pada suka rela antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Ada persaksian dalam aqad nikah.
f. Perkawianan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.
g. Ada kewajiban membayar maskawin atas suami.
h. Ada kebebasan mengajukan sembahyang dalam nikah.
i. Tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga
(Basyir, 1996: 14).
Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan bahwa prinsip
perkawinan adalah sebagai berikut:
Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Ayat 1: “perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ayat 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
23
Ayat 1 Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1994: “pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (IAIN, 2016: 32).
c. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun artinya unsur-unsur pokok untuk sahnya sebuah
perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1. Sighot (akad) yaitu perataan dari pihak wali perempuankepada seorang
pria yang berisi tentang tujuan menikahkan anak perempuannya.
2. Wali
3. Dua orang saksi.
Sedangkan rukun nikah ada lima, adalah sebagai berikut:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Aqad (Ijab-Qabul)
Ijab artinya penegasan kehendak atau penyerahan anak
perempuan dari walinnya kepada calon suami, sedangkan Qabul
adalah penegasan penerimaan dari calon suami (Saleh, 2008: 300).
Sedangkan syarat perkawinan menurut Pasal 6 UU No 1 Tahun
1974 adalah:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
24
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini (2016:
33).
d. Anjuran Perkawinan dan Hikmahnya
25
Perkawinan sangat dianjuran dalam Islam, banyak ayat-ayat al-
Qur‟an maupun hadits Nabi yang digunakan sebagai dasar hukum dan
rujukan untuk melaksanan perkawinan diantaranya sebagai berikut:
Seperti halnya tersebut di atas bahwa Allah menciptakan mahluk
hidup ini secara berpasang-pasang sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Az Zumariyat: 49).
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui” (QS. An Nuur: 32).
Penegasan bahwa berpasang-pasang tersebut antara laki-laki dan
perempuan saja tidak sesama jenis laki-laki dengan laki-laki ataupun
perempuan dengan perempuan sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-
pasangan pria dan wanita” (QS. Al Najm: 45).
26
Selain ayat al-Qur‟an, ada juga hadits Nabi tentang nikah, yaitu seperti
hadits Nabi SAW dari Ibnu Mas‟ud RA:
جبة، يؼشش ب انش ج، انجبءح اعزطبع ي فهزض نهجظش اغض فئ أدظ نهفشج،
ي ف غزطغ نى و ؼه ثبنظ جبء ن فئ
Artinya: "Wahai para pemuda! barang siapa di antara kalian yang
memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa
menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa
yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa itu bisa
menjadi kendali baginya” (HR Imam Bukhari, Kitab an-Nikah,
Nomor Hadits: 5066) (khabib.staff.ugm.ac.id).
“ ج ي م فقذ رض ظف اعزك ب ”انجبق انظف ف للا فهزق اإل
Artinya: “Siapa yang menikah maka ia telah sempurna setengah
keimanannya, maka takutlah kepada Allah terhadap setengah
sisanya” (HR At-Tabrani dalam Al-Ausat).
Penjelasan hadits: Hadits ini menyiratkan bahwa dengan
melangsungkan pernikahan, seseorang menjaga dirinya dari kerusakan
agama (ahlaknya) dapatlah disimpulkan bahwasanya yang paling merusak
ahlak seseorang pada ghalibnya ialah perut dan kemaluannya. Oleh karena
itu terpeliharalah salah satu penyebab kerusakan agamanya. Perkawinan
juga dapat menyempurnakan keimanan seseorang (Fadlillah, 2012: 25).
Anjuran menikah atau kawin untuk menjaga kelangsungan hidup
manusia dan keturunan maupun generasi penerus:
27
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisaa: 1).
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul
sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-
isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul
mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin
Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)” (QS. Ar
Ra‟d:38).
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka
Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?" (QS. An Nahl: 72).
28
Anjuran membangun perkawinan dan tujuan rumah tangga yang
dilandasi rasa kasih sayang:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum: 21).
4. Hukum Perkawinan
Menurut kesepakatan ulama dalam kitab Al Mizan Al Kubra
karangan Ansori bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang
disunahkan. Dan berdasarkan dalil-dalil suruhan Allah dan Nabi untuk
melaksanakan perkawinan, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang
lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun hukum asal
perkawinan adalah mubah (Alhamdani, 1989: 7), Namun karena ada
tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan
perawinan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melingkupi
suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci Jumhur Ulama
menyatakan hukum perkawinan itu dengan malihat keadaan orang-orang
tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. Wajib
29
Perkawinan diwajibkan bagi orang-orang yang telah pantas untuk
kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan maupun
kemampuan untuk kawin, dan dia khawatir akan terjerumus ke tempat
maksiat (berzina) jikalau dia tidak kawin.
b. Sunnah
. )انذذث( فقذسغت ػ عز سغت ػ , ف انكبح عز
Artinya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang membenci sunnahku maka dia
benar-benar membenciku”. (Al-Hadits)
Kawin disunahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi ia masih
sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti
ini maka kawin lebih baik dari pada membujang. Orang yang tidak
mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah sahwat atau sebenarnya ia
mempunyai nafsu birahi namun hilang karena penyakit atau karena hal
lainnya (Alhamdani, 1989: 8).
Untuk mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat yaitu sebagai
berikut:
Pertama: Ia tetap disunnahkan menikah, karena universalitas yang
telah dikemukakan di atas.
Kedua: Tidak menikah adalah lebih baginnya, karena dia tidak
dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi istrinya untuk
dapat menikah dengan laki-laki yang lain yang lebih memenuhi syarat.
Dengan demikian, berarti dia telah memenjarakan wanita tersebut. Ada
sisi yang lain, dia telah menghadapkan dirinya pada ketidakmampuan
memenuhi hak dan menunaikan kewajiban (Ayyub, 2003: 7).
30
c. Mubah
Menjadi mubah bagi orang yang tidak memiliki pendorong
maupun penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena
ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan biologisnya
semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.
d. Makruh
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang
memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada
mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu
paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,
sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu
hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang
memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah
mereka dipaksa itu” (QS. An Nuur: 33)
Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum
keinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk kawin juga belum
ada. Begitu pula dia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan,
31
namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap,
sudah tua, dan kekurangan fisik lainnya (syarifuddin, 2003: 79).
e. Haram
Perkawinan akan menjadi haram bagi orang yang tidak akan dapat
memenuhi ketentua syara‟ untuk melakukan perkawinan atau dia yakin
perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara‟, sedangkan dia
menyakini perawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya (2003:80).
5. Tujuan Perkawinan
Perkawinan mempunyai maksud dan tujuan di antaranya:
a. Untuk memperoleh ketentraman dalam kehidupan manusia dari
terciptanya suatu perkawinan. Ketentraman hidup dapat diperoleh
seseorang, manakala orang itu dapat memenuhi hidupnya, baik itu
kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah.
b. Untuk menciptakan sakinah (ketentraman hidup), mawaddah (rasa
cinta), memiliki keturunan, tolong menolong dan mempererat
silaturahmi (Shiddieq, 2004: 11).
Sedangkan menurut Imam Al Ghozali berpendapat bahwa
terdapat lima hal tujuan perkawinan yaitu:
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa.
b. Memenuhi tuntunan naluriah hidup kemanusiaan.
c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
32
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis
pertama dari masyarakat yang besar dan di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang.
e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan
yang halal, dan mempertinggi rasa tanggung jawab (Al Ghozali:
2586).
6. Perayaan Perkawinan Dalam Islam
Islam sesungguhnya telah mengatur tata cara lengkap umatnya
apabila akan melangsungkan perawinan, dari sebelum hingga perayaan
sesudah ijab dan qabul. Berikut hal-hal yang dilakukan sebelum pernikahan
menurut Islam:
a. Meminta Pertimbangan
Bagi seorang laki-laki sebelum ia memutuskan untuk
mempersunting seorang wanita untuk menjadi istrinya, alangkah
baiknya ia juga meminta pertimbangan dari kerabat dekat wanita
tersebut yang baik agamanya, sehingga ia memberikan pertimbangan
yang jujur dan adil (eramuslim.com) .
b. Sholat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon
istrinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya
diberi kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan,
karena istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah agar diberi
petunjuk dalam memilih mana yang terbaik unuknya (2008: 366).
33
c. Khithbah (peminangan)
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu (QS. Al Baqarah: 235).
Setelah mendapat kemantapan dalam menentukan wanita
pilihannya, hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus
menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk
menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar direstui untuk
menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah yang
memenuhi dua syarat:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syar‟i
yang menyebabkan laki-laki tersebut dilarang untuk
mempersuntingnya, seperti karena nasab dan hubungan
darah.
2. Belum dipinang oleh orang lain secara sah, sebab Islam
melarang seseorang meminang pinangan saudaranya (2007:
17-18).
d. Melihat Wanita Yang Dipinang
Islam adalah agama yang mensyari‟atkan pelamar untuk melihat
wanita yang dilamar dan mensyari‟atkan wanita yang dilamar untuk
melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing pihak benar-
benar mendapatkan kejelasan takkala menjatuhan pilihan pasangan
34
hidupnya. Nabi Muhammad SAW bersabda kepada sahabatnya
Mughirah bin Syu‟bah yang telah meminang seorang wanita, beliau
betanya “Apakah kamu telah melihatnya?” Mughirah menjawab
“Belum” lalu beliau bersabda:
ب ك ؤدو ث أدش أ ب فأ ظش أن ا
Artinya: “Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk
mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga
kasih sayang dan kesesuaian )”.
Adapun ulama memberikan ketentuan hukum yang diletakkan
Islam dalam masalah melihat pinangannya yaitu bahwa yang boleh
dilihat oleh lelaki dari wanita yang dipinangnya yaitu sebatas
pakaiannya yang bisa tampak untuk ayah saudara dan mahramnya
(Qardhawi, 2000: 197).
Adapun hal-hal pada saat hari perkawinan hingga perayaan
perkawian yaitu sebagai berikut:
1. Aqad Nikah
Tahap yang paling sakral dalam perkawinan yaitu akad nikah.
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus
dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul.
Ijab qabul artinya seorang wali atau wakil dari mempelai
perempuan mengemukakan kepada calon suami anak
perempuannya/perempuan yang berada di bawah
35
perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang
mengambil perempuan tersebutsebagai istrinya (Fadlillah,
2012: 97).
c. Adanya wali
Wali yang mendapat prioritas pertama diantara sekalian
wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita.
d. Adanya Saksi-saksi
Seperti hadits Rasulullah SAW yang artinya “Tidak sah
suatu pernikahan tampa seorang wali dan dua orang saksi
yang adil” (HR Al-Baihaqi dari Aisyah, shahih, Al-Jamius
Shaghair oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Dan menurut
sunnah Rasul, sebelum sbelum aqad nikah diadakan
khuthbah terlebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah
atau khuthbatul-hajat (eramuslim.com).
e. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang
hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin).
Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas
kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan
menurut kadar kemampuan. Mahar adalah hak mutlak calon
mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk
memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan (Saleh,
2008: 313)
36
2. Walimah atau Pengumuman Pernikahan
Walimah merupakan pesta perkawinan atau makanan dalam
sebuah acara pesta perkawinan, ataupun juga setiap makanan yang
disediakan untuk para undangan pada sebuah pesta. Tujuan dari
walimah yaitu sebagai kabar berita bahwa telah menikah antara
laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan perkawian
(yang mengadakan walimah tersebut). Islam mengajarkan agar
perkawinan itu diumumkan (Al-Manar, 2007: 43).
Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari
terjadinya perkawinan yang dilakukan secara rahasia, yang mungkin
saja dapat menimbulkan fitnah. Juga untuk menampakkan
kegembiraan dengan adanya peristiwa bersejarah bagi dua anak
manusia, sekaligus sebagai motivasi bagi mereka yang belum
menikah, atau yang ingin menikah lagi. Mengumumkan sebuah
perkawinan boleh dilaksanakan menurut adat setempat, asalkan
tidak mengandung maksiat dan hal-hal yang diharamkan dalam
Islam. Seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah
r.a. sebagai berikut:
ف ف انض ا ػه اضشث غب جذ ف ان اجؼه ا زا انكبح آػه
Artinya: “Umumkanlah nikah ini dan selenggarakanlah di masjid-
masjid seta bunyikanlah untuknya rebana-rebana”. (HR
Ahmad dan At-Tirmidzi)
37
Adapun hukum mengadakan walimah atau makan-makan di
hari pesta perkawinan adalah sunnah. Sebagian ulama mengatakan
wajib sebagimana hadits Nabi SAW:
ت، نى ػه ص يب ا غبئ ء ي ص ػه ش نى انج اظ قبل: يب ا ػ
نى ثشبح. )ادذ انجخبس يغهى(ا
Artinya: “Dari Anas, ia berkata, “Nabi SAW tidak pernah
menyelenggarakan walimah atas (pernikahannya)
dengan istri-istri sebagaimana walimah atas
(pernikahannya) dengan Zainab, beliau
menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih)
seekor kambing”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan keterangan di atas, bagi mereka yang mampu
dianjurkan untuk mengadakan walimah minimal dengan
menyembelih seekor kambing, atau dengan makanan makanan
yang senilai dengan harga seekor kambing. Karena Nabi SAW
pernah menyembelih seekor kambing, ketika mengadakan walimah
untuk perkawinan beliau dengan Zainab r.a. Namun demikian,
walimah boleh juga diadakan sesederhana mungkin tampa harus
menyembelih seekor kambing atau sejenisnya, tetapi dengan
menyuguhkan sesuatu yang dapat dinikmati, karena walimatul „urs
itu disunnahkan dan menurut pendapat Abu Haniefah disukai
(Shiddieqy, 1978: 299).
Dan waktu walimah dapat diadakan saat dilangsungkan
acara akad nikah atau sesudahnya, atau bertepatan pada hari
perkawinan, atau sesudahnya. Hal ini sangat leluasa, tergantung
38
kepada adat dan kebiasaan masing-masing. Dalam riwayat Al-
Bukhari disebutkan, bahwa Rasulullah saw. Mengundang jamaah
untuk menghadiri walimah di hari sesudah beliau mencampuri
istrinya Zainab r.a. (2007: 44-45).
Selain perjamuan makanan, termasuk perbuatan yang
dibolehkan Islam dan dianjurkan dalam acara pesta perkawinan
adalah bernyanyi-nyanyi sebagai hiburan, dengan catatan harus
dihindari hal-hal yang melanggar batas kewajaran, seperti
perbuatan-perbuatan mesum, kata-kata jorok dan keji yang tidak
layak diperdengarkan. Amir bin Sa‟at meriwayatkan sebuah hadits,
ia berkata, “Saya masuk ke rumah Qirzhah bin Ka‟ab di hari
perkawinan Abu mas‟ud Al-Anshari. Tiba-tiba ada beberapa budak
perempuan (Jariyah) bernyanyi. Lalu saya berkata “Bukankah anda
berdua adalah sahabat Rasulullah saw. Dan termasuk pejuang
Badar? Kenapa kalian diam saja padalah ini terjadi di hadapan
kalian?, kedua menjawab “Jika kamu suka maka bolehlah kamu
mendengarkannya bersama kami, dan jika kamu tidak suka kamu
boleh pergi, karena kami diberi kelonggaran untuk mengadakan
hiburan pada acara pesta perkawinan” (Al Manar, 2007: 43).
Tetapi apa yang terjadi sekarang ialah perubahan yang
sangat besar, yaitu memeriahkan pesta perkawinan dengan
mendatangkan alat-alat musik dan penampilan wanita-wanita
cantik, seksi, yang memamerkan perhiasan dan auratnya bagaikan
39
wanita telanjang sambil meliuk-liukkan tubuhnya dan bercampur
aduk dengan kaum lelaki. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam,
bahkan Nabi menggambarkan calon penghuni neraka:
ثب ط و يؼى عبط كأربة انجقش ضشث ب ق م انبس نى أس أ ي فب
خ انجخذ كأع الد يبئالد سءع غبء كبعبد ػبسبد ي انبط
ال ج انجخ بئهخ ال ذخه يغشح كزا ان سذب نجذ ي إ سذب ذ
كز
Artinya: “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah
aku lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk
bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya mereka memukul
manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi
telanjang. Mereka berjalan dengan melenggak-lenggok
menimbulkan fitnah (godaan). Kepala-kepala mereka
seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak
masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium
baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari
jarak demikian dan demikian”. (HR. Muslim dari Sahabat
yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu)
Oleh karena itu untuk menyelenggarakan pesta perkawinan,
sebaiknya menjauhi segala sesuatu yang dilarang syari‟at (2007:
46-47). Karena menurut pandangan para Sufi, manusia yang baik
adalah manusia yang sejalan dengan “Tuhan” dan dengan tatanan
masyarakat yang ditentukan oleh “Tuhan” pula (Mulder, 1948: 41).
B. Tinjauan Umum Tentang Adat Perkawinan Dalam Ushul Fiqih
1. Definisi Adat (Al-„urf)
Al-„urf ( انؼف) ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia
dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya
dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Menurut istilah
40
ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. Jadi „urf adalah
terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka,
keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan Ijma‟, karena
Ijma adalah tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus,
dan umum tidak termasuk ikut membentuk di dalamnya (Khallaf,
1991: 134).
2. Pembagian Adat (Al-„urf)
Macam-macam „urf jika dilihat dari segi objeknya „urf dibagi menjadi
dua yaitu:
a. Al-„urf al-lafzhi (انؼشف انهفظ) adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat.
b. Al-„urf al-„amali (انؼشف انؼه) adalah kebiasaan masyarakat yang
berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan.
Maksudnya “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang
lain (1996: 139).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf terbagi
menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1). Al-„urf al-shahih ( انظذخ انؼف) adalah kebiasaan yang berlaku
di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan
41
nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
2) Al-„urf al-fasid (انؼف انفغذ) adalah adat ataupun kebiasaan
yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara‟(Haroen, 1996: 141)
c. Ketentuan-Ketentuan Adat dalam Penetapan Hukum
Adapun „urf shahih, maka harus dipelihara dalam pembentukan
hukum. Menurut para ulama adat itu adalah syariat yang dikukuhkan
sebagai hukum. Sedangan „urf menurut syara‟ juga mendapat
pengakuan. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya
kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama
murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan
dasar atas perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟i ketika telah berada di
Mesir mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya
ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena pendapat „urf. Karena
itu beliau mempunyai dua madzab, madzhab qodim (dahulu) dan
madzhab jadid (baru). Ibnu Abidin telah menyusun Risalah bahwa
“apa-apa yang dimengerti secara „urf adalah seperti yang disyaratkan
menurut syara‟, dan yang telah tetap menurut „urf adalah seperti yang
telah tetap menurut nash. Kaidah ushul fiqih dalam kitab mawadi‟ul
awaliyah, menurut Abdul Hamid Hakim dalam Qaidah 21 yang
berbunyi:
انؼب دح يذكخ
42
Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat
dijadikan sebagai hukum”.
Maksudnya adat kebiasaan dapat dijadikan hujjah dan hukum yang
berlaku di tempat dimana adat dan tradisi tersebut hidup dan
berkembang (Hakim, 1927: 36).
Adapun „urf yang rusak itu maka tidak harus dipeliharanya
(dilakukan), karena memeliharanya berarti menentang dalil syara‟.
Hukum-hukum yang didasarkan atas „urf itu dapat berubah menurut
perubahan „urf pada suatu zaman dan perubahan asalnya. Karena itu
para Fuqoha berkata dalam contoh perselisihan ini: “Bahwa
perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan
perselisihan hujjah dan bukti” (1991: 135).
d. Syarat-Syarat Adat (Al-„Urf)
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum syara‟
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. „Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang
bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, „urf
itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
tersebut.
2. „Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan
hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran
hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan
hukumnya.
43
3. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung nash itutidak bisa diterapkan. „Urf seperti
ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara‟, karena kehujjahan „urf
bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi (1996: 143-144).
e. Pandangan Ulama Tentang Perkawinan Adat
Perkawinan adat tidak diterangkan dalam Al-Qur‟an maupun
Al-hadits, sehingga dalam membicarakan adat termasuk perkawinan
adat Jawa telah disinggung dalam kitab kaidah fiqiyah )‟urf),
menurut pandangan ulama tentang adat yaitu sebagai berikut:
Pandangan madzhab Syafi‟i bahwa agama Islam tidak
menentang tradisi bahkan menghormatinya, sepanjang tradisi
tersebut tidak menyalahi prinsip agama apalagi menyalahi prinsip
aqidah seperti pengesaan Allah subhanahu wata‟ala, membicarakan
nasib manusia, tentu harus berhati-hati. Seperti penegasan ayat
berikut:
Artinya: “Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi
yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”
(QS. An Naml: 65).
Menurut pandangan Imam Syafi‟i bahwa adat hukumnya mubah
(boleh) selama tidak ada nash yang melarangnya serta adat tersebut
44
tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam
(latansanasibaka.blogspot.com).
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-shahih, yaitu adat
yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang menyangkut
adat/kebiasaan ucapan maupun adat/kebiasaan perbuatan dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Seorang mujtahid
dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam Al Qarafi (w. 684
H/1285 M./ahli fiqih Maliki), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang
ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan
yang menyangkut masyarakat tersebut.
Seluruh ulama madzhab, menurut Imam Al Syathibi (w.790 H./ahli
ushul fiqih Maliki), dan Ibn Qayyim Al Jauziyah (691-751 H/1292-
1350 M./ahli ushul fiqih Hanbali), menerima dan menjadikan adat
(„urf) sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi (Haroen,
1996: 142) .
45
BAB III
DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN
DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA
A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen
1. Letak Geografis
Desa Ngrombo merupakan salah satu desa yang terletak di
kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Provinsi JawaTengah. Jarak dari
Ibu Kota Kabupaten 36 kilometer, dan dari Ibu Kota Provinsi berjarak
91 kilometer, sedangkan antara Ibu Kota Negara berjarak kurang lebih
701 kilometer. Menurut geografis desa Ngrombo terletak di tengah-
tengah kependudukan yang padat di kabupaten Sragen dan mempunyai
batas wilayah dengan wilayah lain diantaranya sebagai berikut:
46
a. Sebelah Timur desa Ngrombo berbatasan langsung dengan
desa Karangwaru, kecamatan Plupuh dengan batas wilayah
yang ditandai dengan jalan raya Gemolong-Plupuh.
b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Bantengan.
c. Sebelah Selatan desa Ngrombo berbatasan langsung dengan
desa Sambirejo kecamatan Plupuh.
d. Sebelah Utara desa Ngrombo kecamatan Plupuh ini berbatasan
langsung dengan kecamatan Tanon, tepatnya dengan desa Wiro
Sari. Batas antara dua kecamatan ditandai dengan jalan raya
jalur Gemolong-Gabugan yang menjadi pemisah antara kedua
kecamatan ini.
Desa Ngrombo kecamatan Plupuh adalah termasuk wilayah
daratan rendah, desa ini mempunyai ketinggian 346 meter di atas
permukaan air laut, Dengan luas wilayah keseluruhan 267 Ha. Dengan
luas wilayah tersebut dengan 91 Ha merupakan pemukiman dan
perumahan penduduk. Sawah dan tegalan di desa Ngrombo seluas 127
Ha, sedangkan yang digunakan sebagai perkantoran seluas 8 Ha. 4 Ha
merupakan tanah wakaf, sisanya digunakan untuk lain-lain yaitu seluas
37 Ha (Data Monografi desa Ngrombo tahun 2014).
2. Komposisi Penduduk dan Keadaan Administrasi
Desa Ngrombo yang hanya mempunyai luas wilayah 267 Ha,
namun termasuk daerah yang padat penduduk. Sampai tahun 2014
jumlah penduduk keseluruhan yaitu 4.527 jiwa, dari jumlah tersebut
47
terdiri dari 2.318 jiwa penduduk laki-laki dan sisanya 2.209 jiwa
perempuan. Desa Ngrombo terdapat 1341 kk (Kepala Keluarga) dan
sebagian besar masyarakat masih termasuk dalam usia produktif (Data
Monografi Desa Ngrombo tahun 2014).
Untuk meningkatkan tingkat pendidikan yang dituntut untuk
mengikuti perkembangan zaman, mayoritas masyarakat desa
Ngrombo menempuh pendidikan 9 tahun, tidak sedikit juga
masyarakat yang melanjutkan ke jenjang diploma ataupun sarjana.
Penduduk setempat menganggap sesuatu hal yang tabu serta malu jika
anak mereka tidak sekolah, yang dimana di desa ini terdapat beberapa
tempat pendidikan negeri maupun swasta. Tidak semua murid yang
belajar di sekolah-sekolah adalah masyarakat asli desa Ngrombo
kecamatan Plupuh, banyak juga masyarakat dari desa tetangga yang
menutut ilmu dan belajar di sekolah yang ada di desa Ngrombo ini.
Adapun sekolah dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1 Jumlah sekolah di desa Ngrombo kecamatan Plupuh
kabupaten Sragen
No. Sekolah Jumlah Nama Sekolah
1 Paud 2 Paud Al-Ikhlas dan Paud Bunga Abadi
2 TK 2 TK Al-Ikhlas dan TK Pertiwi
3 SD 1 SD Negeri Ngrombo 1
4 MI 1 MI Al-Ikhlas Ngrombo
5 SMP 1 SMP Bakti Karya
Sumber: Data Monografi Desa Ngrombo tahun 2014
3. Keadaan Ekonomi dan Sosial Budaya
48
Sebagain besar masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh
bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Hal ini bisa dilihat
juga dari jumlah luas lahan pertanian lebih luas dibandingkan dengan
luas lainnya. Lahan pertanian di desa Ngrombo bukan hanya berupa
persawahan, melainkan ada yang berupa tegalan. Tegalan merupakan
lahan yang ditanami jenis tanaman palawija seperti jagung, kacang-
kacangan, ketela pohon, cabai dan lain sebagainya, yang sistem
pengairannya hanya dengan tadah hujan. Selain persawahan dan
tegalan, di desa Ngrombo kecamatan Plupuh ada juga lahan yang
digunakan sebagai perkebunan tebu (keterangan mbah Sutar).
Walaupun mayoritas masyarakat desa Ngrombo adalah petani,
ada pula masyarakat yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS), pedagang hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ada
sebagian masyarakat yang menjadikan petani itu sebagai profesi
sampingan, contohnya ada yang berprofesi Pegawai Negeri Sipil
namun masih menggarap sawah. Berikut adalah tabel profesi
masyarakat desa Ngrombo:
Tabel 3.2 Profesi masyarakat desa Ngrombo kecamatan
Plupuh kabupaten Sragen
No. Profesi Jumlah Orang
1. PNS 52
2. TNI 6
3. Polri 3
4. Tani 553
49
5. Buruh tani 404
6. Pedagang 164
7. Swasta 419
8. Pensiunan 7
9. Lanjut usia 143
Sumber: Data Monografi Desa Ngrombo tahun 2014
Kondisi sosial masyarakat desa Ngrombo tidaklah jauh dengan
kehidupan sosial di desa-desa lainnya. Kedekatan hubungan
bermasyarakat antara satu warga dengan warga lain begitu erat, kuat
dan intens. Hal yang demikian dapat terbentuk karena jarak rumah
mereka saling berdekatan dan setiap harinya terjadi interaksi, maka
dari itu terciptalah rasa kekerabatan dan kekeluargaan. Sistem gotong
royong di masyarakat menjadi prioritas dan diutamakan untuk saling
menjaga rasa kekeluargaan, seperti kerja bakti rutin setiap sebulan
sekali yang di agendakan oleh masing-masing RT desa Ngrombo,
saling membantu tenaga maupun pikiran dalam acara walimah dan
acara-acara hajatan lain, sambatan (membantu dengan bergotong
royongdan secara sukarela) membuat atau merenovasi rumah, gotong
royong memanen hasil pertanian dengan sistem derep (sistem
memanen padi atau hasil pertanian lainnya dengan cara membagi hasil
panen tersebut sebagai upahnya). Masyarakat desa Ngrombo juga
mengadakan acara rutin setiap seminggu sekali, yaitu jamaah
membaca surat Yasin dan Tahlil. Acara tersebut dilakukan setiap
seminggu sekali, biasanya di laksanakan pada hari Kamis malam
50
Jum‟at, hal ini dilakukan di rumah-rumah warga secara bergantian
yang sudah terjadwal sebelumnya. Hal ini jika dilihat dari psikologis
dapat menambah keakraban dan rasa kekeluargaan antara warga satu
dengan warga yang lainnya, karena sering terjadi interaksi di antara
mereka (keterangan mbah Sutar).
B. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh
Kabupaten Sragen Terhadap Adat Jawa
1. Agama Yang Dianut oleh Masyarakat Desa Ngrombo
Masyarakat desa Ngrombo yang mempunyai penduduk 4.527
jiwa, mayoritas beragama Islam. Selain itu ada 9 penduduk yang
beragama Kristen, walaupun di negara Indonesia terdapat lima agama
resmi namun masyarakat desa Ngrombo kurang lebih 99% menganut
agama Islam dan hanya beberapa persen yang menganut agama
Kristen dan dapat dikatakan agama minoritas di desa tersebut.
Meskipun sebagian besar masyarakat beragama Islam, namun banyak
juga dari mereka yang tidak menjalankan dan mengamalkan syariat-
syariat agama Islam sebagai mana mestinya. Masyarakat yang
demikian itu biasa disebut Islam KTP atau Islam abangan. Banyak
dari masyarakat desa Ngrombo yang mengaku bahwa dirinya
beragama Islam, namun kenyataannya tidak menjalankan dan
51
memenuhi rukun agama Islam seperti sholat, zakat, puasa ramadhan
ataupun menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah, dan sebagaian
dari mereka tidak begitu mempermasalahkan akan hal tersebut.
Anggapan dari sebagian masyarakat desa Ngrombo bahwa beragama
itu yang terpenting dari dalam hati, maksudnya yang terpenting
mereka yakin dengan agama Islam dan mereka mengakuinya akan
adanya tuhan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi
yang terakhir sekaligus nabi penyempurna agama Islam (hasil
pengamatan desa Ngrombo).
Desa Ngrombo terdapat 21 buah tempat ibadah, yang terdiri
dari masjid dan mushola, dan orang-orang yang beragama Kristen
biasanya beribadah di gereja yang terdapat di desa Ndari kecamatan
Plupuh yang baru-baru ini didirikan atau gereja yang ada di kecamatan
Gemolong karena di desa Ngrombo tidak terdapat gereja. Masjid
merupakan sesuatu yang bersifat primer atau sangat penting, karena
fungsi masjid di desa Ngrombo bukan semata-mata digunakan sebagai
tempat ibadah, melainkan juga digunakan sebagai tempat
berkumpulnya masyarakat setempat jika ada acara majlis dan agenda
bersama. Bukan hanya untuk orang dewasa saja, tetapi masjid
dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari usia anak-anak
hingga orang tua. Pada kalangan usia anak-anak menggunakan masjid
sebagai tempat belajar, baik belajar mengaji atau agama hingga belajar
ilmu pengetahuan umum. Sedangkan untuk kalangan orang-orang
52
dewasa, masjid digunakan berbagai acara dari pengajian hingga
agenda dari RT setempat (Data Monografi tahun 2014 dan
pengamatan desa Ngrombo).
2. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Terhadap Adat Jawa
Agama Islam adalah agama yang menduduki prosentase yang
paling tinggi pemeluknya oleh masyarakat desa Ngrombo. Walaupun
demikian, kegiatan-kegiatan dalam praktik kehidupan masyarakat
yang menggambarkan masih adanya sisa-sisa kehidupan kepercayaan
animisme dan dinamisme sebagai hasil dari proses asimilasi maupun
akulturasi dari agama dan adat istiadat masyarakat desa Ngrombo
dimana merupakan salah satu suku asli suku Jawa yang tetap
berlangsung hingga saat sekarang. Praktik menghormati roh nenek
moyang masyarakat serta roh-roh lain yang dimana mereka anggap
sebagai kekuatan yang melindungi masyarakat desa Ngrombo
(Pengamatan desa Ngrombo).
Kegiatan yang mengandung kepercayaan animisme dan
dinemisme yang menjadi unsur pokok agama asli Jawa yang
diaplikasi dalam adat dan kegiatan budaya yang dilakukan secara
turun-temurun di desa Ngrombo. Kegiatan-kegiatan adat yang hidup
di tengah masyarakat dilakukan dan diikuti oleh sebagian besar
masyarakat, dan biasanya dipimpin oleh imam masjid atau sesepuh
desa Ngrombo (orang yang dituakan serta dianggap mengetahui seluk
53
beluk desa), karena merekalah yang menjadi panutan masyarakat
dalam hal melaksanakan adat istiadat.
Dalam menjalankan adat istiadat dan tradisi yang ada di desa
Ngrombo yang diikuti sebagian besar masyarakat tanpa memandang
status sosial, baik itu yang kaya atau yang miskin, baik yang tua
ataupun yang muda. Mereka percaya bahwa adat yang hidup dan
berkembang di desa Ngrombo merupakan warin para leluhur mereka
dan harus dijaga serta harus dilestarikan. Mereka percaya para leluhur
desa Ngrombo walaupun sudah meninggal dunia namun rohnya masih
di sekitar desa tersebut, dan apabila melakukan atau melaksanakan
adat desa para roh leluhur ikut hadir dan menyaksikannya. Masyarakat
desa Ngrombo percaya bahwa adat desa dilakukan bukan sekedar
budaya namun merupakan suatu amalan yang berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat. Suatu kepercayaan terhadap adat istiadat yang
mereka miliki, dan masyarakat setempat memegang teguh akan hal itu
dan mereka percaya akan berbagai adat istiadat Jawa (keterangan
mbah Setro Pawiro).
C. Ragam Adat Istiadat yang Hidup di Masyarakat Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen
Kehidupan adat dan budaya masyarakat di desa Ngrombo masih
sangatlah kompleks. Nguri-uri budaya dari nenek moyang dianggap
sebagai bentuk penghormatan dan meminta berkah kepada roh-roh nenek
moyang mereka. Seperti upacara-upacara dalam rangka memperingati hari
54
kematian, kenduri/bancaan (doa keselamata), upacara yang behubungan
dengan pertanian (dekahan), merti deso (bersih desa), upacara mbangun
dan bedol rumah (mendirikan dan pindah rumah), mantu (pernikahan),
pitonan (tujuh bulanan orang hamil) dan sunatan (khitanan). Semua
upacara tersebut masih dijalankan rutin oleh masyarakat desa Ngrombo,
karena menurut mereka jika tidak melakukan upacara-upacara dan tradisi
yang sudah ada maka roh nenek moyang ataupun roh penunggu desa akan
marah dan terjadilah bencana (keterangan mbah Sutar).
Tradisi-tradisi nenek moyang yang dihasilkan dari proses asimilasi
ajaran agama Hindu-Budha dengan agama Islam sehingga menjadi tradisi
dan budaya yang bernuansa Islam. contohnya upacara merti desa atau
dekahan (bersih desa), yang pada zaman dahulu dilaukan dengan memberi
sesaji di tempat-tempat yang dianggap angker atau keramat namun
sekarang dilakukan dengan cara Islami, dimana masyarakat beramai-ramai
membawa makanan serta lauk-pauk yang dibuat di wadah nampan berisi
nasi putih, sayur mayur yang tidak berkuah contohnya gudeg, rawon, atau
tumis. Lauk pauk yang berupa ayam, telur, tahu atau tempe, ada juga
jajanan pasar seperti jadah, wajik atau apem. Nampan tersebut kemudian
diusung ke serambi masjid dan dikumpulkan menjadi satu, kemudian
berdoa bersama-sama yang dipimpin oleh modin (imam di masjid desa)
dengan bacaan Al-Qur‟an. Setelah selesai berdoa maka selanjutnya acara
makan bersama-sama di serambi masjid tersebut, namun makanan yang
dimakan bukanlah makanan yang mereka bawa melainkan makanan yang
55
dibawa oleh orang lain atau mereka saling tukar menukar makanan mereka
masing-masing. Acara tersebut diikuti oleh semua kalangan dari anak-anak
hingga orang dewasa, biasanya bapak-bapak dan anak kecil ikut
menyantap makanan di tempat tersebut beda halnya dengan para ibu,
mereka menunggu nampannya kembali dan membawa makanan
bagiannya untuk di bawa pulang (keterangan mbah Sutar).
Lain lagi dengan acara dekahan, acara ini dilaksanakan setelah
panen raya tiba, bukan panen semua jenis tanaman pertanian yang di
tanaman oleh masyarakat desa Ngrombo, melainkan hanya saat
masyarakat desa tersebut panen tanaman padi. Acara dekahan ini
dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo dengan maksud untuk
mengungkapkan rasa syukur mereka atas panen tanaman padi yang
mereka tanam dengan hasil melimpah-ruah. Prosesi acara dekahan tidak
jauh berbeda dengan acara merti desa, dimana para warga membawa
makanan yang di tata di wadah nampan. Makanan tersebut berisi nasi, lauk
pauk dan jajanan pasar yang tidak jauh berbeda dengan makanan yang
dibawa saat acara merti desa namun lebih banyak makanan jajanan pasar
yang terbuat dari bahan dasar beras ketan. Kemudian mereka datang ke
persawahan, dan membawa makanan tersebut ke sawah mereka masing-
masing. Setelah sampai di sawah masing-masing, kemudian berdoa agar
hasil pertaniannya selalu melimpah seperti apa yang mereka harapkan.
Usai berdoa maka makanan yang mereka bawa diambil sedikit yang
kemudian ditaruh pada setiap sudut sawah, hal ini dilakukan dengan
56
maksud bahwa menaruh makanan di setiap sudut sawah merupakan bentuk
menghormati mbok Sri atau dewi Sri. Dewi Sri menurut kepercayaan
masyarakat desa Ngrombo merupakan putri atau dewi yang menjelma
menjadi beras (keterangan Pak Sutar).
Selain merti desa dan dekahan, masyarakat desa Ngrombo juga
melaksanakan selamatan untuk orang yang sedang hamil, biasanya disebut
upacara pitonan. Acara pitonan dilakukan apabila usia kandungan telah
menginjak usia tujuh bulan. Acara pitonan ini dilakukan dengan membagi-
bagikan makanan kepada masyarakat sekitar, makanan tersebut biasanya
berupa nasi, ayam, sambal kentang, bakmi, jadah (makanan yang terbuat
dari beras ketan), dan rujak. Pada malam harinya,warga masyarakat yang
laki-laki kemudian diminta untuk datang di rumah yang mempunyai
hajatan pitonan tersebut untuk berdoa bersama, biasanya untuk acara
pitonan seperti ini mereka membaca Al-Qur‟an surat Yusuf dan surat
Maryam. Tujuan dari acara pitonan ini adalah untuk mendoakan
keselamatan si jabang bayi yang ada dalam kantungan tersebut dan apabila
bayinya lahir ke dunia supaya manjadi anak yang baik, yang berbakti
kepada kedua orang tua serta berguna bagi nusa dan bangsa. Setelah
bayinya lahir, maka diadakan pula selamatan bayi. Acara selamatan bayi
oleh masyarakat desa Ngrombo biasanya menyebutnya dengan sebutan
selamatan sepasaran bayi. Acara sepasaran bayi ini ini dilakukan bukan
saat bayi lahir kemudian langsung dilakukan selamatan bayi, melainkan
bayi yang sudah berusia satu minggu. Beda lagi dalam hal perkawinan,
57
masyarakat desa Ngrombo mempunyai cara tersendiri dalam
melaksanakan upacara perkawinan. Mereka melaksanakan upacara
perkawinan runtut dari berbagai prosesi yang sakral dan penuh makna
(keterangan pak Sutar).
Selain adat di atas, di desa Ngrombo diselenggarakan juga adat
selamatan untuk orang meninggal, karena proses hidup manusia dimulai
sejak di dalam kandungan hingga manusi meninggal dunia, maka dari itu
di tengah masyarakat desa Ngrombo diselenggarakan acara selamatan-
selamatan dimulai saat masih berada didalam kandungan ibunya hingga
akhir hayat. Selamatan untuk orang yang meninggal dunia dilakukan pada
saat tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dan seribu hari dari dari
kematian. Acara selamatan kematian di hari-hari yang telah ditentukan
tersebut, dimana keluarga dari almarhum atau almarhumah mengadakan
bancaan (sebutan acara selamatan oleh masyarakat desa Ngrombo).
Dalam acara bancaan ini, keluarga dari orang yang meninggal dunia
mengundang warga sekitar yaitu khususnya bapak-bapak dan para pemuda
untuk datang ke rumah duka untuk mendoakan dan memintakan ampun
bagi si orang yang telah meninggal tersebut, biasanya dibacakan surat
Yasin dan Tahlil yang ditujukan untuk almarhum atau almarhumah. Dalam
acara bancaan selamatan kematian ini dipimpin oleh modin atau imam di
masjid desa Ngrombo, setelah selesai membaca surat Yasin dan Tahlil
serta telah selesai mendoakan si mayit maka acara ditutup dengan
membagikan berkat (makanan yang diberikan oleh yang punya hajat)
58
kepada seluruh hadirin dan tamu yang datang untuk dibawa pulang
(keterangan pak Sutar).
BAB IV
PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
A. Prosesi Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh
Kabupaten Sragen
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan penulis yang
dimulai pada tanggal 09 Juli 2016 pada salah satu penduduk desa
Ngrombo yang punya gawe mantu (orang yang punya acara menikahkan
anaknya). Dalam tradisi perkawinan di desa Ngrombo ada upacara-upacara
yang harus dilaksanakan dan diikuti oleh sepasang pengantin yang dimulai
sebelum ijab qobul sampai usai acara pesta pernikahan. Berikut uraian
tahab-tahab upacara perkawinan adat di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh
kabupaten Sragen:
a. Prosesi Sebelum Pelaksanaan Upacara Perkawinan
59
Pak Kemi (bukan nama sebenarnya) adalah orang yang
mempunyai hajatan perkawinan (ndue gawe mantu) anak
perempuannya Ani dengan Supri calon menantunya (bukan nama
sebenarnya), dimana anak tersebut adalah anak yang kedua, ijab
qobulnya dilaksanakan pada tanggal 10 Juli 2016. Namun pada
tanggal 09 juli sore acara sudah dimulai, masyarakat sekitar mulai
gotong royong persiapan untuk acara di malam hari dan besok pada
saat resepsi. Untuk para bapak-bapak mempersiapkan segala
keperluan untuk tamu seperti meja dan kursi, sedangkan ibu-ibu
membantu segala keperluan di belakang dan dapur.
Pada sekitar jam 21.00 para bapak dan pemuda sudah mulai
berkumpul di tempat pak Kemi hanya sekedar ngobrol dan
meramekan rumah hajatan (lek-lekan). Kemudian dilanjutkan
acara:
1. Langkahan atau Nglangkahi
Lakahan atau nglangkahi ini dilakukan jika calon
pengantin mendahului kakaknya (kakang utowo mbakyu),
dimana adiknya yang akan terlebih dahulu menikah, tetapi
jika calon pengantin tersebut anak pertama maka tidak
dilakukan upacara langkahan atau nglangkahi. Setiap daerah
mempunyai adat yang berbeda-beda dalam melaksanakan
upacara ini. Tujuan dari langkahan atau nglangkahi adalah
untuk saling mendoakan, yaitu bagi si adik (calon pengantin)
60
meminta doa restu kepada kakak bahwa esok hari akan
melaksanakan ijab qobul sedangkan bagi si kakak minta
didoakan segera menyusul melangsungkan perkawinan
sebagai mana adiknya.
Prosesi ini dilakukan pada malam pukul 21.30 sebelum
ijab qobul, Ani (calon pengantin/selaku adik) dan Feri
(kakang Ani) dengan didampingi oleh pak Kemi dan ibu
Kemi. Kemudian pak Kemi bicara dengan kakak dari calon
pengantin (Feri): “Alhamdulillah puji syukur marang gusti
Allah ingkang maringi jejodho marang adimu wadon Ani,
dongak-dongakno mugo diparingi kelancaran marang gusti
Allah lan olehe bebojoan diparingi kauripan kang ayem
tentrem, lan ugo dadi keluargo sakinah, mawadah,
warohmah. Lan mugo-mugo awakmu lekas cemepak jodhone
Amin”. Yang artinya: “Alhamdulillah puji syukur kepada
Allah yang telah memberikan jodoh untuk adikmu perempuan
Ani, do‟akanlah semoga diberi kelancaran oleh tuhan/Allah
dan dalam berumah tangga diberikan kehidupan yang bahagia
tanpa sesuatu halangan, dan juga menjadi keluarga sakinah,
mawadah, warahmah. Dan semoga kamu segera mendapat
jodoh”. Kemudian kakang temanten (kakak calon pengantin)
menjawab: “Injeh bapak kulo pangestoni menawi Ani dados
61
nganten nglangkahi sakderenge kawulo”. Yang artinya: “iya
bapak saya merestui ani menikah mendahului sebelum saya”.
Kemudian Ani (selaku adik) memberikan baju batik
kepada kakaknya dan Feri (selaku kakaknya) memberikan
uang kepada Ani sebesar RP. 5.000 (jumlah tidak ditentukan),
sebagai syarat dalam prosesi upacara langkahan atau
nglangkahi. Hal ini menurut sesepuh atau seseorang yang
dituakan di desa Ngrombo (mbah Sutar) mempunyai maksud
dan tujuan tertentu yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.3 Makna bagian-bagian dari upacara langkahan
atau nglangkahi
No. Benda Maksud dan Tujuan
1. Baju Batik Diterimanya seseatu pemberian (baju
batik) dari sang adik berarti bahwa
sang kakak telah memberikan ijin serta
merestui adiknya untuk menikah
mendahuluinya.
2. Uang
RP. 5.000
Uang yang diberikan kakak kepada
adik dimaksudkan sebagai simbol
untuk bekal kehidupan berumah
tangga setelah menikah.
Sumber: (Keterangan mbah Sutar)
2. Dodol Dawet
62
Rangkaian prosesi setelah langkahan atau nglangkahi
adalah yaitu dodol dawet, dimana prosesi ini adalah suatu
prosesi yang khas dalam perkawinan adat Jawa dan tidak di
semua upacara pernikahan menggunakannya. Upacara dodol
dawet merupakan salah satu rangkaian di acara midodareni.
Prosesi dodol dawet ini merupakan suatu upacara penjualan
dawet, dimana yang harus berjualan adalah ibu dari si
pengantin wanita atau ibu yang mempunyai gawe mantu
dengan membawa payung dan tenggok (suatu wadah yang
terbuat dari anyaman bambu) yang berisi dawet. Pembelinya
adalah para sanak saudara, tetangga, serta tamu yang hadir di
waktu malam itu. Tetapi untuk membeli dawet tidak
menggunakan uang seperti pada umumnya, melainkan
menggunakan alat tukar pecahan gendeng atau kendhi
(pecahan genteng atau pecahan gerabah tempat air minum
tradisional yang terbuat dari tanah liat).
Dalam prosesi penjualan ini, dawet haruslah habis
terjual pada malam itu juga. Kemudian pecahan gendeng
(genteng yang terbuat dari tanah liat) atau kendhi (gerabah
yang terbuat dari tanah liat) hasil dari dodol dawet diberikan
kepada calon pengantin wanita. Adapun maksud dan tujuan
bagian-bagian dari dodol dawet adalah sebagai berikut:
63
Tabel 3.4 Makna piranti atau benda bagian dari prosesi
dodol dawet
No. Piranti atau
Benda
Maksud dan Tujuan
1. Dawet Pada waktu acara gawe mantu
(hajatan pernikahan) yang sedang
berlangsung terdapat banyak tamu
yang berdatangan atau semrawut
(sesuatu hal yang tidak bisa
dihitung) seperti dawet atau cendol
yang telah dijual oleh ibu calon
pengantin perempuan. Diharapkan
para tamu yang berdatangan ikut
memberikan doa serta keberkahan
kepada kedua pengantin setelah
menjadi suami istri menjadi
keluarga yang sakinah, mawadah
dan warahmah.
2. Pecahan
gendeng atau
kendhi
Bahwa orang tua memberikan harta
ataupun nafkah untuk yang terakhir
kalinya kepada anak perempuannya
tersebut, karena kedepannya
anaknya akan menjadi milik suami
64
dan kewajiban sang suami untuk
memberikan nafkah kepada
istrinya. Selain itu diharapkan agar
rezeki anaknya kelak melimpah
seperti apa yang telah didapat saat
penujalan dawet.
3. Payung Melambangkan Seger (segar),
kwarasan (sehat) dan adem
(dingin/sejuk). Maksudnya payung
yang digunakan Bertujuan agar
anak yang akan dinikahkannya
akan mendapatkan kesegaran
jasmani serta rohani, selalu sehat
dan diberikan kesejukan dalam
kehidupan rumah tangganya kelak.
Sumber: Keterangan dari mbah Setro Pawiro
3. Nebus Kembar Mayang
Prosesi Nebus kembar mayang dilakukan bersamaan
dengan malem midodareni. Kembar mayang adalah suatu
manik-manik atau replika burung merpati yang terbuat dari
janur (daun kelapa yang masih muda), dan mereka
menganggab jiwa anak yang mau menikah berada dalam
kembar mayang tersebut. Nebus kembar mayang merupakan
65
suatu prosesi dimana dukun temanten (yang menjadi dukun
temanten pada hajatan pernikahan anak pak Kemi adalah mbah
Setro Pawiro) menebus kembar mayang milik calon pengantin
perempuan dengan jumlah harga ganjil yaitu Rp. 2.500 (jumlah
ini tidak ditentukan dan bukan termasuk kedalam mahar dari
pihak laki-laki yang diberikan kepada pihak perempuan) yang
kemudian diberikan kepada keluarga calon pengantin laki-laki
atas kehendak calon pengantin laki-laki. Pada saat nebus
kembar mayang orang tua calon pengantin perempuan
membawa payung dan tenggok yang didampingi atau
disaksikan oleh bapak dari calon pengantin perempuan.
Kemudian dua kembar mayang kepunyaan calon
pengantin laki-laki ditempatkan pada padi-padi (tempat atau
kursi yang disediakan untuk kedua pengantin) berjajaran
dengan kembar mayang kepunyaan calon pengantin
perempauan. Saat penempatan kembar mayang haruslah hati-
hati, di tempat padi-padi (tempat atau kursi yang disediakan
untuk kedua pengantin) tidak boleh ada anak kecil yang
bermain-main di tempat tersebut. Adapun maksud dan tujuan
dari simbol-simbol dari upacara nebus kembar mayang adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.5 Makna piranti atau benda bagian dari prosesi
nebus kembar mayang
66
No. Piranti atau
Benda
Maksud dan Tujuan
1. Manik-manik atau
replika burung
merpati
Supaya kedua pengantin
mempunyai kepribadian seperti
merpati yaitu seumur hidup
hanya mempunyai satu pasangan
atau pasangan pengantin
diharapkan langgeng sampai
maut yang memisahkan mereka.
2. Janur Diartikan dari bahasa arab yaitu
kata “An-Nur” yang berari
cahaya. Dengan tujuan bahwa
nantinya kedua calon pengantin
setelah menjadi suami istri dan
mengarugi bahtera rumah tangga
akan mendapat cahaya yang
terang benerang tidak dalam
kegelapan.
3. Harga yang
berjumlah ganjil
Bermakna bahwa gusti Allah
menyukai sesuatu yang
berjumlah ganjil, dan berharap
mendapat barokah.
4. Dua kembar Diartikan bahwa dua sejoli yang
67
mayang yang
dijajarkan
manteb jejodohan (yakin bahwa
pasangannya tersebut adalah
jodoh yang ditakdirkan
untuknya.
5. Payung Melambangkan Seger (segar),
kwarasan (sehat) dan adem
(dingin atau sejuk). Maksudnya
payung yang digunakan
Bertujuan agar anak yang akan
dinikahkannya akan
mendapatkan kesegaran jasmani
serta rohani, selalu sehat dan
diberikan kesejukan dalam
kehidupan berumah tangganya
kelak.
5. Tenggok Suatu wadah dari bambu yang
dilambangkan rumah dari orang
tua pengantin perempuan yang
sebentar lagi si calon pengantin
ini berpindah ke tempat
suaminya.
Sumber: Keterangan dari mbah Setro Pawiro
4. Slametan Midodareni
68
Upacara slametan midodareni dimulai pada saat
penyambutan kedatangan keluarga calon pengantin laki-laki,
yaitu kurang lebih pada pukul 19.00 sampai pukul 00.00. Saat
malam slametan midodareni ini mendatangkan sesepuh dan
keluarga calon pengantin perempuan untuk menyambut
kedatangan keluarga calon pengantin laki-laki. Setelah
keluargga calon pengantin laki-laki datang, kemudian
menyampaikan maksud dan tujuannya yaitu untuk srah-srahan
(menyerahkan) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan,
karena jika rumah calon pengantin laki-laki jauh maka tidak
ikut pulang bersama rombongan keluarganya dan akan
menginap di rumah si calon perempuan, dengan tujuan pagi-
pagi sudah siap untuk melaksanakan prosesi perkawinan yang
selanjutnya.
Setelah menyampaikan srah-srahan maka selanjutnya
keluarga calon pengantin laki-laki dikasih jamuan makanan
termasuk semua tamu yang hadir. Setelah itu ditutup dengan
doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa (mbah Sutar)
sekitar pukul 24.00. Mereka menganggap bahwa pada pukul
24.00 atau 00.00 di penutup acara para bidadari turun dari
langit atau kayangan dan mendatangi acara slametan
midodareni ini, yang nantinya para bidadari akan menemani
calon pengantin wanita dikamar setelah upacara slametan
69
midodareni selesai dan diharapkan membawa barokah dan
mendapat keselamatan (Keterangan mbah Sutar).
5. Nyantri
Nyantri merupakan datangnya calon pengantin laki-laki
berserta sanak keluarganya dalam upacara midodareni, dan
apabila rumah si calon pengantin laki-laki tersebut jauh maka
saat upacara midodareni telah selesai tidak ikut pulang
bersama sanak keluarganya kembali ke rumah orang tuanya.
Nyantri dalam masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,
kabupaten Sragen bertujuan untuk srah-tinampi (menyerahkan
dan menerima) calon pengantin laki-laki kepada keluarga
calon pengantin perempuan. Hal ini dikarenakan si calon
pengantin laki-laki akan menginap di rumah calon pengantin
perempuan. Saat tengah malam dan upacara midodareni telah
selesai maka si calon pengantin laki-laki dipersilahkan masuk
ke dalam kamar yang sudah disediakan sebelumnya.
Tujuannya agar si calon pengantin laki-laki ini dapat
beristirahat dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan
prosesi perkawinan yang selanjutnya di hari besok. Prosesi
nyantri ini calon pengantin laki-laki tidak boleh bertemu
dengan calon pengantin perempuan (keterangan mbah Sutar).
Selain runtutan acara prosesi upacara yang disebut
diatas, dalam perkawinan adat di desa Ngrombo harus
70
disediakan sesaji yang ditempatkan di tempat tertentu. Sesaji
ditujukan untuk dhanyang desa (roh yang menjaga desa),
lelembut, dan roh-roh yang sudah meninggal dengan maksud
untuk njaluk slamet atau minta keselamatan.
Sajen (sesaji) yang harus disediakan dan ditaruh pada
suatu wadah yang bernama tampah (nampan), diletakkan
dalam rumah hajatan perkawinan yaitu sebagai beriku:
a. Sajen (sesaji) di tempat padi-padi (tempat untuk
pengantin) yang ditaruh dalam tumbu (suatu wadah
yang terbuat dari bambu yang dianyam) dan diikat
pada tiang-tiang rumah yang berjumlah 4 tiang di
sekitar padi-padi. Alasannya karena tempat itu
merupakan tempat temu pengantin dan tempat para
tamu.
b. Sajen (sesaji) di sentong tengah atau jodi (tempat
yang biasanya digunakan untuk menyimpan beras
dan bahan makanan lainnya). Anggapan masyarakat
desa Ngrombo sentong tengah atau jodi ini
merupakan tempat yang paling keramat, Karena
tempat tersebut digunaan untuk menyimpan beras
temanten, dan beras temanten adalah penjelmaan
dari dewi Sri atau mbok Sri Sejati. Tujuannya untuk
71
mbayangkari (mengabdi atau menghormati) kepada
dewi Sri.
c. Sajen (sesaji) di setiap sudut rumah dan di pawon
(dapur), karena di dapur merupakan tempat
memasak makanan dan jamuan untuk pengantin dan
semua tamu yang hadir. Tujuannya supaya rumah
yang digunakan untuk hajatan dan semua orang
yang rewang (membantu) membuat makanan
diparingi slamet (agar diberi keselamatan) dan jauh
dari gangguan roh. Semua sajen atau sesaji berisi
sebagai berikut:
Tabel 3.6 Isi sesaji serta maksud dan tujuannya
No Isi Sesaji Maksud dan Tujuan
1. Telur
mentah
Tujuannya agar calon
pengantin perempuan yang
akan segera dinikahkan
tersebut cepat hamil dan
mendapat momongan.
2. Dua
daun
sirih
Mempunyai maksud kedua
mempelai adalah satu hati,
walaupun keduanya berbeda
namun tetap menjadi satu
wadah yaitu satu keluarga,
72
mempunyai tekat yang kuat
tanpa melihat perbedan.
3. Pisang
Ayu
Melambangkan harapan
seorang gadis dewasa dengan
kecantikannya, maksudnya
adalah harapan calon pengantin
perempuan.
4. Dimar
sewu
(lampu
seribu)
Dimar berarti lampu dan sewu
artinya seribu, maksudnya
dalam rumah tangga calon
pengantin tersebut semoga
diberikan jalan kehidupan yang
terang-benarang, bercahaya
dan tidak dalam kegelapan.
5. Beras Diharapkan pasangan
pengantin tersebut mempunyai
sumber kehidupan yang
banyak seperti butiran beras,
karena beras melambangkan
sumber kehidupan.
6. Kem-
bang
setaman
Bunga mawar melambangan
cinta kasih sedangkan bunga
melati melambangkan
73
(isinya
bunga
mawar,
bunga
melati
dan
bunga
kenanga)
kesucian. Maksudnya adalah
perkawinan tersebut atas dasar
rasa cinta dan rasa kasih
sayang serta kesucian,
sedangkan bunga kenanga atau
masyarkat desa Ngrombo biasa
menyebutnya bunga kantil
diharapkan kedua calon
pengantin setelah hidup
berumah tangga selalu ngantil
atau selalu bersama-sama.
7. Kaca Mengandung makna bahwa
calon pengantin perempuan
telah dewasa, dimana sudah
mulai dandan, besolek dan
mempercantik diri. Begitu juga
dengan calon pengantin laki-
laki yang sudah dewasa pula,
karena keduanya telah dewasa
maka harus saling mengerti
akan kesalahannya masing-
masing sehingga tidak boleh
ada yang egois dan saling
74
mengerti.
8. Kelapa
yang
masih
bulat
Gambaran bahwa dunia itu
bulat, jadi maksudnya bahwa
kedua pengantin tersebut
nantinya akan hidup di bumi
yang bentuknya bulat seperti
kelapa, sedangkan air kelapa
melambangkan samudra yang
atrinya dalam menjalani
kehidupan berumah tangga
diibaratkan seperti mengarungi
sebuah samudra yang terdapat
halangan dan rintangan.
9. Bumbu
dapur
(bawang
merah,
bawang
putih,
cabai)
Menggambarkan berbagai
macam rasa kehidupan yang
akan dijalani kedua calon
pengantin. Penuh dengan
manis asam kehidupan,
terkadang mereka meraskan
kesenangan dan terkadang
merasakan kesedihan.
10. Jajanan
pasar
Diibaratkan sebgai godaan.
Seperti orang yang mau belanja
75
(emping
mlinjo,
gethuk,
rangin)
di pasar akan banyak godaan,
karena dalam kehidupan
berumah tangga kelak akan ada
banyak rintangan, cobaan dan
godaan seperti godaan
pengganggu keharmonisan
dalam berumah tangga jika
tidak di rencanakan dan
dibicarakan dengan baik.
11. Uang
logam
Melambangkan kekayaan.
Diharapkan kedua pengantin
dalam menjalani hidup
berumah tangga mempunyai
kekayaan yang melimpah.
12. Gula
jawa
Diharapkan kehidupan rumah
tangga dari pengantin tersebut
berasa manis seperti gula jawa.
13. Jadah/
makanan
yang
terbuat
dari
beras
Dimaksudkan supaya kedua
pengantin terus lengket, rasa
cinta dan kasih sayang mereka
melekat pada hati mereka
sampai kapanpun seperti jadah
tersebut.
76
ketan
14. Buah-
buahan
Diharapkan cinta mereka
menghasilkan buah kasih atau
keturunan yang berguna bagi
semua orang.
15. Pin,
peniti
atau
kancing
baju
Merupakan benda yang biasa
melekat di pakaian.
Dimaksudkan agar kedua
pengantin dalam berumah
tangga mempunyai sandang
(pakaian) yang pantas.
16. Minia-
tur
gerabah
Melambangkan bahwa kedua
pengantin tersebut manteb
(yakin) membangun rumah
tangga bersama-sama.
(Sumber: Keterangan mbah Setro Pawiro
dan mbah Sutar).
Selain harus menyediakan sesaji dalam upacara
perkawinan adat Jawa, di desa Ngrombo ini ada juga hal-hal
keramat lainnya seperti dalam upacara nebus kembar
mayang. Setelah prosesi nebus kembar mayang oleh dukun
temanten maka dua kembar mayang yakni kepunyaan calon
pengantin laki-laki dan kepunyaan calon pengantin
77
perempuan ditempatkan bersampingan di tempat padi-padi,
yaitu di kursi tempat duduk pengantin. Dalam menaruh dan
menempatkan kembar mayang di padi-padi haruslah hati-
hati, tidak diperkenankan anak kecil bermain-main ditempat
tersebut. Jika salah satu atau kedua kembar mayang yang
telah ditebus oleh dukun temanten tersebut jatuh, tumbang
ataupun roboh, maka berarti akan ada suatu musibah,
halangan, hingga pertanda suatu kematian yang menimpa
pada calon pengantin. Apabila kembar mayang yang jatuh
adalah kembar mayang kepunyaan calon pengantin laki-laki
maka musibah tersebut akan menimpa calon pengantin laki-
laki, begitu juga sebaliknya jika kembar mayang yang jatuh
itu kepunyaan calon pengantin perempuan maka musibah
akan menimpa calon pengantin perempuan (keterangan mbah
Sutar).
b. Prosesi Pelaksanaan Upacara Perkawinan
Kedua calon pengantin setelah istirahat di malam hari
seusai menjalankan berbagai rangkaian prosesi upacara
midodareni, bangun pagi pada jam 05.00 untuk mandi dan
bersiap-siap untuk menjalani prosesi pernikahan yang
selanjutnya yaitu sebagai berikut:
1. Ngerik dan Ngrias
78
Pada pukul 06.30 kedua calon pengantin sudah
mulai dirias oleh juru paes (juru rias pengantin). Dalam
acara ngrias ini terdapat juga prosesi ngerik. Prosesi
ngerik (mengerik) diartikan sebagai pemotongan atau
menghilangkan, dimana menghilangkan bulu-bulu halus
yang berada di sekitar dahi dan wajah pada calon
pengantin perempuan. Selain bulu-bulu halus dilakukan
juga pengerikan alis, tujuan dari ngerik (mengerik)
dimaksudkan untuk membuang olo (kejelekan) dan sial
yang ada pada calon pengantin. Setelah prosesi ngerik
selesai baru calon pengantin dirias atau didandani
menggunakan alat make up dari juru paes (juru rias
pengantin) dan menegnakan pakaian pengantin yang
sudah disiapkan oleh juru paes (juru rias pengantin)
(keterangan dari mbah Sutar).
2. Akad Nikah
Akad nikah atau biasa disebut ijab qabul
merupakan suatu akad yang mengesahkan antara calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
menjadi suami istri yang sah menurut agama maupun
adat. Akad nikah atau ijab qabul dilaksanakan setelah
selesai prosesi ngerik dan ngrias sekitar pukul 08.00,
karena menurut keterangan mbah Setro Pawiro dalam
79
buku primbon, waktu yang baik untuk melaksanakan
akad nikah atau ijab qabul antara jam 08.00 sampai jam
10.00. Prosesi ini dilaksanakan begitu cermat, saktral
dan tenang supaya prosesi akad nikah berjalan lancar,
yang di saksikan dan dicatat oleh pegawai KUA
(Kantor Urusan Agama) kecamatan Plupuh. Setelah
akad nikah atau ijab qabul selesai maka keduanya sah
menjadi suami istri.
3. Panggih Temanten
Upacara panggih temanten merupakan
bertemunya pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan setelah ijab qabul atau sudah sah menjadi
suami istri. Pengantin laki-laki yang diantar oleh 2
saudara atau laki-laki yang biasa disebut joko kembar,
yang dibelakanganya diikuti oleh keluarganya dan
menuju di rumah pengantin perempuan lalu berhenti di
depan gapura. Dan pengantin perempuan sudah berada
di gapura dengan ditemani 2 patah (gadis kecil) yang
membawa kipas, dan kedua orangnya berada di
belakang pengantin putri, dimana kedua pengantin ini
mempunyai juru bicara untuk menyampaikan pesan dan
maksud perkawinan.
80
Setelah panggih temanten (bertemunya
pengantin) kemudian pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan di bawa ke kursi padi-padi (kursi khusus
untuk kedua pengantin) oleh orang tua perempuan,
sedangkan joko kembar dan keluarga dari pengantin
laki-laki dipersilahkan duduk di tempat yang sudah
disediakan yaitu di dekat padi-padi (tempat pengantin).
Kedua orang tua pengantin laki-laki duduk di samping
kanan kedua mempelai sedangkan kedua orang tua
pengantin perempuan duduk di sebelah kiri kedua
mempelai.
4. Adang-adangan
Prosesi upacara adang-adangan dilakukan setelah
upacara panggih. Adang-adangan merupakan suatu
upacara dimana pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan, orang tua pengantin laki-laki dan orang tua
pengantin perempuan, serta kedua patah (anak kecil
perempuan membawa kipas) yang mendampingi kedua
pengantin saat duduk di tempat padi-padi (tempat
khusus untuk kedua mempelai) bersama-sama
mengelilingi kendil lemah (gerabah yang dibuat dari
tanah liat). Kendil lemah tersebut berisi biji-bijian yang
terdiri dari pari (padi yang masih lengkap dengan daun
81
serta tangkainya), jagung, kacang tanah, kedelai hitam
dan kedelai putih, kacang hijau. Selain biji-bijian kendil
tersebut juga berisi sayur-mayur seperti kacang
panjang, sawi hijau dan sawi putih, bayam, kangkung,
mbayung (daun kacang hijau yang masih muda) serta
sebangsa pala kependem (ubi-ubian) seperti ketela
pohon, ketela rambat, besusu (bengkuang), uwi,
ganyong, dan garut (tanaman yang buahnya di dalam
tanah).
Semua itu dimasukkan ke dalam kendil lemah
(gerabah yang terbuat dari tanah liat) dan ditutup
menggunakan tumbu (tempat beras dari anyaman
bambu), cara ini persis seperti cara memasak
tradisional. Mereka mengelilingi kendil lemah sebanyak
3 kali. Maksud dan tujuan dari adang-adangan yaitu
menggambarkan bahwa kedua pengantin akan segera
hidup berumah tangga sendiri, memasak sendiri dan
mengatur urusan rumah tangga mereka sendiri tanpa
campur tangan dari kedua orang tua, dan berputar
sebanyak tiga kali melambangkan sunnah Rasul
(keterangan mbah Setro Pawiro).
5. Sindhur Binayang
82
Setelah prosesi adang-adangan selesai, maka
prosesi selanjutnya adalah sindhur binayang. Prosesi
sindur binayang yaitu ayah dari pengantin perempuan
mengantarkan kedua pengantin menuju ke kursi
pengantin dengan menggunakan selendang yang
disebut selendang sindur. Sedangkan ibu mempelai
perempuan berjalan dibelakang kedua pengantin.
Maksud dan tujuan dari sindhur binayang adalah
bahwa ayah pengantin perempuan menuntun ke jalan
yang benar dan kebahagiaan sedangkan ibu
memberikan dukungan dari belakang (keterangan mbah
Setro Pawiro).
6. Kacar-kucur
Upacara kacar-kucur melambangkah bahwa
suami menjadi tulang punggung keluarga dengan
memberikan nafkan kepada istrinya. Sedangkan istri
sebagai makmum yang baik, yang dapat mengatur
keuangan rumah tangga dengan bijaksana, dan
diharapkan rezeki keduanya melimpah. Upacara kacar-
kucur dilakukan dengan cara pengantin laki-laki
membawa suatu wadah yang berisi beras, kacang,
kedelai, jagung, bunga dan uang logam yang semua itu
diibaratakan rezeki. Kemudian wadah tersebut
83
dituangkan kedalam piring atau nampan kecil yang
dibawa oleh istrinya (keterangan mbah Setro Pawiro).
7. Dhahar Kembul
Prosesi upacara dhahar kembul dilakukan dengan
cara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan
makan bersama kemudian pengantin laki-laki menyuapi
pengantin perempuan yang kemudian diikuti oleh
pengantin perempuan menyuapi pengantin laki-laki.
Maksud dari prosesi upacara dhahar kembul adalah
mereka berdua telah menjadi suami istri dan apa yang
mereka miliki dinikmati bersama-sama dan menjalani
hidup berdua. Prosesi ini ditutup dengan meminum teh
bersama-sama (keterangan mbah Setro Pawiro).
8. Bupak Kawah
Prosesi bupak kawah dilakukan apabila orang tua
pengantin perempuan baru pertama kali menikahkan
anaknya. Bupak dalam bahasa Jawa artinya sapisan atau
pungasan sedangkan dalam bahasa indonesia berarti
pertama kali. Prosesi ini dilakukan dengan cara orang
tua pengantin laki-laki dan orang tua pengantin
perempuan membuka tutup kendil (gerabah dari tanah
liat) secara bersama-sama. Kendil tersebut berisi
palawija dan tanaman rambat seperti: Kacang, kedelai,
84
jagung, uwi, mbili, kimpul dan ada juga padi. Di dalam
kendil yang satunya berisi kelapa dan telur. Selain
kendil perelatan lainnya yaitu entong (alat untuk
mengudak nasi), nampan, dan ilir (kipas yang terbuat
dari anyaman bambu).
Jenis palawija dan tanaman rambat
melambangkan usaha orang tua yang dulunya
digunakan untuk menghidupi anaknya yang sekarang
telah menikah. Kedua orang tua dari pengantin laki-laki
maupun perempuan membuka dan melihat isi kendil
melamabangkan bahwa kedepannya orang tua bisa
melihat kedihupan anaknya tersebut. Kelapa yang
masih utuh melambangkan bulat itu bumi dan air
kelapa itu samudra, bahwa kehidupan anaknya kelak
pasti akan suatu rintangan dan cobaan seperti
mengarungi sebuah samudra. Sedangkan telur
melambangkan sebuah doa supaya kedua pengantin
segera dikaruniai momongan. Bapak pengantin
perempuan juga membawa payung dengan tujuan
keluarga anaknya sejuk, dingin dan tentram.
9. Sungkeman
Prosesi sungkeman adalah meminta doa restu dan
suatu bentuk penghormatan serta bakti kepada kedua
85
orang tua atau kepada pinisepuh (orang yang dituakan).
Pertama upacara sungkeman dilakukan oleh pengantin
perempuan sungkem kepada pengantin laki-laki,
sungkeman ini dimaksudkan bahwa perempuan berbakti
dan tunduk kepada laki-laki. Selanjutnya kedua
pengantin, mula-mula sungkem kepada kedua orang tua
dari pihak pengantin perempuan kemudian baru
sungkem pada kedua orang tua dari pihak laki-laki yang
dilakukan secara bergantian. Waktu melakukan
sengkeman, keris yang dikenakan oleh pengantin laki-
laki harus dilepas terlebih dahulu dan diberikan kepada
juru paes yang sebelumnya sudah mempersiapkan diri,
setelah prosesi sungkeman selesai maka keris tersebut
dikenakan kembali oleh pengantin laki-laki. Tujuannya
adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap keris
tersebut (keterangan mbah Setro Pawiro).
10. Resepsi
Kedua pengantin yang telah selesai melaksanakan
serangkaian prosesi upacara perkawinan, selanjutnya
acara foto bersama teman-teman dan sanak keluarga
dari kedua pengantin. Waktu yang bersamaan para tamu
yang hadir dalam hajatan dipersilahkan menyantap dan
86
menikmati hidangan yang telah disediakan sambil
beramah-tamah.
11. Hiburan Temanten
Hiburan yang disajikan untuk para tamu yang
hadir adalah pementasan musik yang biasa disebut grup
musik Campur Sari. Masyarakat desa Ngrombo tidak
asing lagi dengan grup musik Campur Sari ini, karena
kebanyakan masyarakat desa yang mempunyai acara
hajatan perkawinan sering menampilkan hiburan musik
Campur Sari. Grup musik Campur Sari menyanyikan
lagu-lagu yang beraliran dangdut, dimana para pemuda
Karang Taruna dan bapak-bapak masyarakat desa ikut
berjoget di depan bersama para biduan (penyanyi),
selain berjoget ikut memeriahkan acara mereka juga
memberikan uang saweran kepada para biduan
(penyanyi), dan tidak sedikit dari pemuda Karang
Taruna yang membawa minuman keras tetapi tuan
rumah yang mempunyai hajatan perkawinan
memakluminya yang penting mereka tidak membuat
kerusuhan dan keonaran di tempat hajatan.
12. Pengajian Temanten
Setelah semua acara hajatan perkawinan selesai,
maka acara selanjutnya hanya menerima para tamu
87
undangan dari jauh yang baru bisa hadir setelah resepsi,
acara ini hingga sore hari. Kemudian pada malam hari
tepat pada pukul 21.00, diadakan acara pengajian yang
dihadiri oleh sanak keluarga dan masyarakat desa
Ngrombo dengan pembicara dari desa Karangwaru,
yaitu desa sebelah Timur dari desa Ngrombo yang
dianggap mengerti dan memahami agama. Acara
pengajian temanten ini, pengantin laki-laki duduk
dengan para tamu laki-laki sedangkan pengantin
perempuan duduk dengan para tamu perempuan,
tujuannya untuk membaur bersama para tamu
undangan.
B. Alasan-alasan Perkawinan Adat Masih Di Pegang Teguh Dan
Implikasinya Terhadap Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan
Plupuh Kabupaten Sragen
a. Alasan Perkawinan Adat Masih di Pegang Teguh oleh Masyarakat di
Desa Ngrombo
Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal
14 Juli 2016 pada sesepuh atau orang yang dituakan di desa Ngrombo,
kecamatan Plupuh kabupaten Sragen mengenai faktor atau sebab yang
mempengaruhi perkawinan adat Jawa masih dijalankan dan masih
dipegang teguh oleh masyarakat hingga saat ini, yaitu sebagai berikut:
88
1. Upacara perkawinan adat Jawa merupakan suatu ajaran yang
dilakukan oleh nenek moyang masyarakat desa Ngrombo pada
zaman dahulu, dengan melaksanakan upacara perkawinan adat
Jawa maka menjadi salah satu bentuk penghormatan kepada roh
nenek moyang.
2. Nguri-uri budoyo, maksudnya perkawinan adat Jawa merupakan
suatu budaya yang khas di desa Ngrombo dan harus dijaga serta
dilestarikan hingga turun-temurun.
3. Untuk meminta slamet (keselamatan), pertama kepada Gusti
Allah, kemudian kepada dhanyang (penunggu desa) dan roh-roh
nenek moyang.
4. Setelah upacara perkawinan selesai, maka kedua pengantin dan
keluarga yang mempunyai hajatan merasa tentram dan terhindar
dari rasa was-was (ketakutan).
5. Ngumumi liyane, maksudnya adalah suatu tradisi yang sudah
biasa biasa dilakukan oleh masyarakat, karena bagi mereka
sesuatu yang dianggap tabu jika tidak menjalankan adat dan
tradisi seperti pada masyarakat umumnya (keterangan mbah
Sutar).
b. Pengaruh Perkawinan Adat dengan Kehidupan Masyarakat dan
Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pengaruh Upacara Perkawinan
Adat dengan Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Desa Ngrombo
89
Dari hasil wawancara sesepuh desa mbah Setro Pawiro dan
observasi di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen pak
Kemi dan bu Kemi yang menikahkan anak perempuannya yang
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dan baru pertama kali
menikahkan anaknya. Pak Kemi dan bu Kemi adalah salah satu
penduduk di desa Ngrombo yang beragama Islam, taat menjalankan
sholat lima waktu dan sholat Jum‟at di masjid serta menjalankan
ibadah puasa di bulan ramadhan. Mereka menikahkan anaknya dengan
konsep perkawinan adat desa Ngrombo, pak Kemi dan bu Kemi
percaya bahwa jika tidak menggunakan konsep perkawinan adat,
kelak di kemudian hari akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa
rumah tangga anaknya tersebut.
Adapun dalam kehidupan masyarakat desa Ngrombo kecamatan
Plupuh kabupaten Sragen menurut hasil wawancara terhadap sesepuh
desa tentang perkawinan adat Jawa yaitu sebagai berikut: Pak wandi
dan bu Lasmi (bukan nama sebenarnya) adalah masyarakat desa
Ngrombo yang beragama Islam. Mereka taat menjalankan syariat
agama seperti sholat lima waktu dan menjalankan ibadah puasa di
bulan Ramadhan dan tidak begitu menggubris tentang adat istiadat
desa sekalipun adat perkawinan. pada zaman dahulu pak Wandi dan
bu Lasmi menikahkan anaknya tetapi tidak dengan perkawinan adat,
yaitu dengan khitbah lalu akad nikah dan kemudian resepsi untuk
mengabarkan bahwa anaknya kini telah menikah, akhirnya anaknya
90
yang dinikahkan tersebut tidak kunjung mempunyai anak. Hingga saat
ini masih berobat kesana-kemari berusaha untuk mendapatkan
momongan.
Selain pak Wandi dan bu Lasmi, ada juga warga desa Ngrombo
yang menikahkan anaknya tidak menggunakan upacara adat yaitu pak
Amin dan bu Lina. Mereka sama-sama beragama Islam, dan
menjalankan lima rukun Islam. Saat mereka menikahkan anaknya
dengan konsep perkawinan modern di gedung dan perkawinannya
memenuhi syarat dan rukun nikah, di mana setelah ijab dan qabul
langsung mengadakan walimahan selama dua hari berturut-turut, hari
pertama untuk sanak keluarga dan hari kedua resepsi untuk undangan
rekan dan sahabat. Mereka tidak mempercayai akan pengaruh upacara
perkawinan adat dengan kehidupannya. Selang waktu satu bulan bu
Lina jatuh sakit, yaitu sakit stroek dan tidak bisa jalan. Dimana
sebelumnya bu Lina pernah di bawa ke rumah sakit karna gejala
stroek juga.
Selain itu pak Rusdi dan bu Ismi yang menikahkan anaknya
yang pertama, dan menggunakan konsep upacara adat di desa
Ngrombo. Mereka beragama islam tapi pak Rusdi tidak begitu taat
menjalankan syariat agama Islam, walaupun melaksanakan sholat
namun tidak lima waktu sering kali bolong-bolong yang biasanya
disebut orang abangan, beda halnya dengan bu Ismi yang taat
menjalankan syariat agama dengan sholat lima waktu dan puasa
91
Ramadhan. Mereka mempercayai adat istiadat yang ada di desa,
dalam perkawinan anaknya tidak menggunakan sesaji dapur dalam
rumah hajatan tersebut, namun semua prosesi telah dijalankan oleh
kedua mempelai yaitu seperti malam midodareni, nebus kembar
mayang, dodol dawet, bupak kawah, adang-adangan hingga pengajian
temanten, sesajinyapun telah ditempatkan di tempat padi-padi (tempat
khusus untuk kedua mempelai) dan di jodi (ruang tengah tempat
menyimpan makanan dan beras). Selesainya hajatan maka seseorang
yang ditunjuk untuk rewang (membantu) menanak nasi di pawon
(dapur) yaitu mbah Yahman keesokan harinya jatuh sakit dan
dilarikan ke rumah sakit. Menurut masyarakat desa Ngrombo, semua
kejadian tersebut ada kaitannya dengan prosesi pernikahan yang
diselenggarakan oleh keluarga tersebut (keterangan mbah Setro
Pawiro).
C. Pandangan Ulama Terhadap Perkawinan Adat Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang ada hubungan
nya dengan kehidupan manusia, yang mana adanya hubungan sosial antar
orang tua, kerabat, dan masyarakat. Fenomena yang terjadi di desa
Ngrombo dalam perayaan perkawinan menggunakan upacara sebagai
simbolik yang dijadikan adat istiadat secara turun-temurun. Filosofi
perayaan perkawinan adat desa Ngrombo bertujuan supaya perkawinan
tersebut langgeng, bahagia, kelancaran rizki dan kekal. Upacara
pernikahan adat merupakan adat kebiasaan yang di lakukan oleh
masyarakat desa Ngrombo sejak dari nenek moyang mereka, yang
92
dilakukan dengan runtutan-runtutan prosesi dengan sakral dan hikmat serta
penuh makna.
Menurut ulama dalam kaidah ushul fiqih berpendapat bahwa dalam
kitab mawadi‟ul awaliyah (ياضغ االنخ) merujuk pendapat Abdul Hamid
Hakim dalam kaidah 21, al „adatu mukhakkamatun (انؼب دح يذكخ) yang
artinya adat kebiasaan atau tradisi bisa dijadikan hukum, maksudnya adat
dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat bisa dijadikan dasar hukum
untuk masyarakat daerah terentu.
Berdasarkan Pendapat ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-
shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang
menyangkut adat/kebiasaan ucapan maupun adat/kebiasaan perbuatan
dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Seorang mujtahid
dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam Al Qarafi yang
merupakan ahli fiqih Maliki, harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang
ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang
menyangkut masyarakat tersebut. Para ulama madzhab, menurut Imam Al
Syathibi yaitu ahli ushul fiqih Maliki, dan Ibn Qayyim Al Jauziyah yaitu
ahli ushul fiqih Hanbali, mereka menerima dan menjadikan adat istiadat
sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada ayat atau
hadits yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi, termasuk
perkawinan adat .
Oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan di desa
Ngrombo, maka bisa menjadi hukum yang berlaku di desa tersebut. Secara
hukum Islam bahwa upacara perayaan perkawinan adat di desa Ngrombo
tidak menduduki hukum sebagai kewajiban ataupun penekanan terhadap
sesuatu yang harus dilakukan. Tetapi, karena hukum sesuai dengan
zamannya apabila adat istiadat tidak dilakukan mengakibatkan
kekhawatiran, ketidakharmonisan ataupun suatu bencana yang menimpa
pada keluarga tersebut. Maka hal ini bisa menjadi penekanan dalam
93
prosesi perkawinan adat istiadat di desa Ngrombo, tetapi hanya
masyarakat yang mempercayai hal tersebut.
Bila ditinjau dari kulturalistik, masyarakat desa Ngrombo masih
memegang teguh kebudayaan daerah setempat. Budaya lokal masih
merupakan kebiasaan yang berkembang di lingkungan masyarakat desa
Ngrombo secara turun temurun. Keanekaragaman budaya dan adat istiadat
di desa Ngrombo terlihat pada penyelenggaraan perkawinan. Hal ini tidak
tercover dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits, dan Islam tidak ada pembicaraan
mengenai perkawinan adat yang terjadi desa Ngrombo. Solusi yang bisa
ditawarkan mengembalikan masalah tersebut pada adat masyarakat itu
sendiri.
Berkaitan dengan adat istiadat, dalam prosesi perkawinan adat desa
Ngrombo ini juga dapat pandang dari segi ushul fiqih yaitu „urf fi‟li
(kebiasaan perbuatan), yang mana berbentuk perbuatan. Hal ini menurut
Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (guru besar fiqih Islam di Universitas
„Amman, Jordania), mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat,
karena adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf, menurutnya harus berlaku
pada kebanyakan orang di daerah tertantu, bukan pribadi atau kelompok
tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku
dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan
pengalaman, yang mana adat di definisikan dengan:
االيشانزكشسي غشػالقخػقهخ
Artinya: “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional”.
Pada dasarnya agama Islam tidak memberatkan dan bukan berarti
sembarang memudahkan, asalkan pelaksanakan adat istiadat dan budaya
tidak bertentangan kaidah dan hukum Islam. Bila prosesi-prosesi upacara
94
perkawinan adat desa Ngrombo ada maksud dan tujuan untuk meminta
selamat kepada roh-roh dan dhanyang penunggu desa, itu yang tidak
dibenarkan dalam syari‟at Islam. Telah dijelaskan dalam nash bahwa Allah
melaknat orang-orang yang menyekutukannya, dalam ayat berikut:
Artinya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", Padahal
Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”
(QS Al Maidah: 72).
Selain penegasan nahs dari Al-Qur‟an, nabi Muhammad juga bersabda:
ثب ش دذ ثب الػ ثب أث دذ دفض دذ ش ث ثب ػ دذ للا سض ػجذ للا شقق ػ
ئب ش يبد ششك ثبلل عهى ي ػه طه للا قبل قبل سعل للا ػ
ئب دخم انجخ ش يبد ال ششك ثبلل قهذ أب ي دخم انبس
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh telah
menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada
kami Al A'masy telah menceritakan kepada kami Syaqiq dari
'Abdullah radliallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang mati dengan
menyekutukan Allah dengan sesuatu maka dia pasti masuk
neraka". Dan aku ('Abdullah) berkata, dariku sendiri: "Dan
barangsiapa yang mati tidak menyekutukan Allah dengan suatu
apapun maka dia pasti masuk surga". (H.R.
Bukhari)(rindutulisanislam.blogspot.co.id).
Berdasarkan ayat Al-Qur‟an dan hadits nabi tersebut bahwa Allah
melaknat manusia yang menyekutukannya dan mengharamkan surga bagi
orang-orang yang berbuat demikian. Bila dikaitkan dengan perkawinan
adat, tidak benar jika menyediakan sesaji untuk ditujukan kepada
95
dhanyang penunggu desa dengan maksud untuk meminta keselamatan, hal
tersebut menyalahi aqidah dan hukum Islam. Apakah surga yang
dijanjikan oleh Allah SWT besok pada hari kiamat nanti akan kita
tukarkan dengan niat meminta kelesamatan pada roh-roh nenek moyang
dan setan-setan penunggu desa? Tentu saja jawabannya tidak, maka dalam
perayaan upacara perkawinan adat jangan sampai ada niat dalam hati
bahwa melakukan upacara perkawinan adat untuk meminta sesuatu selain
kepada Allah Subhanahu wata‟ala.
Kemudian untuk hiburan temanten yang ada di desa Ngrombo
merupakan hiburan temanten yang dilarang oleh syariat agama Islam.
Bukan prosesi hiburan temantennya yang dilarang melainkan sifat
hiburannya. Alasan sifat hiburan temanten dilarang oleh syariat agama
karena mendatangakan penyanyi-penyanyi yang mengumbar aurat,
berpakaian ketat dan mengumbar hawa nafsu. Hal ini telah ditegaskan oleh
nabi Muhammad sebagai berikut:
ثب انبط و يؼى عبط كأربة انجقش ضشث ب ق م انبس نى أس أ ي فب ط
بئهخ ال ذخه خ انجخذ ان كأع الد يبئالد سءع غبء كبعبد ػبسبد ي كز انجخ يغشح كزا سذب نجذ ي إ سذب ال جذ
Artinya: “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku
lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk bagaikan ekor-ekor
sapi, dengannya mereka memukul manusia, dan wanita-wanita
yang berpakaian tapi telanjang. Mereka berjalan dengan
melenggak-lenggok menimbulkan fitnah (godaan). Kepala-kepala
mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak
masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan
sungguh bau surga itu bisa tercium dari jarak demikian dan
demikian”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu).
Dari hadits tersebut jelaslah bahwa hiburan temanten yang seperti
itulah yang dilarang oleh syariat agama Islam. hal yang demikian itu
merupakan perbuatan bathil dan kemungkaran, dimana orang muslim
berkewajiban memerangi dan memberantas hal yang dilarang oleh nash.
96
Namun apabila tidak mampu memerangi serta memberantas perbuatan
bathil dan kemungkaran, maka tidak ikut mendatangi dan berada di acara
tersebut hal yang demikian merupakan selemah-lemahnya iman.
Jadi menurut analisa penulis mengenai perkawinan adat desa
Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen seperti upacara
Langkahan, Dodol Dawet, Nebus Kembar Mayang, Midodareni, Nyantri.
Ngerik dan Ngrias, Akad Nikah, Panggih Temanten, Adang-adangan,
Sindhur Binayang, Kacar-kucur, Dhahar Kembul, Bupak Kawah,
Sungkeman, Resepsi, Hiburan Temanten, dan Pengajian Temanten, adalah
termasuk adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan sudah berlaku
sejak lama serta tidak memiliki pertentangan dengan nash Al-Qur‟an dan
hadits, maka adat istiadat itu boleh di berlakukan, berhukum mubah
(boleh). Tetapi apabila melaksanakan upacara perkawinan adat disertai
sesaji yang sengaja dibuat dengan niat meminta keselamatan kepada selain
Allah itu yang dilarang dalam syariat agama Islam.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
97
Bagian akhir dari penulisan skripsi, penulis membuat kesimpulan
berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya yang mengacu pada analisis
sumber yang relevan. Bab-bab sebelumnya telah dipaparkan jawaban dari
semua rumusan masalah sehinga dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat desa
Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen yaitu terbagi menjadi
dua prosesi, yang pertama merupakan prosesi upacara sebelum
pelaksanaan upacara perkawinan, prosesi ini terdiri dari Langkahan
atau Nglangkahi, Dodol Dawet, Nebus Kembar Mayang, Midodareni,
dan Nyantri. Kedua adalah prosesi pelaksanaan upacara perkawinan.
Prosesi pelaksanaan upacara perkawinan yang terdiri dari Ngerik dan
Ngrias, Akad Nikah, Panggih Temanten, Adang-adangan, Sindhur
Binayang, Kacar-kucur, Dhahar Kembul, Bupak Kawah, Sungkeman,
Resepsi, Hiburan Temanten, Pengajian Temanten.
2. Adapun alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang teguh oleh
masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen, yaitu
pelaksanaan perkawinan adat merupakan suatu bentuk penghormatan
kepada roh nenek moyang, menjaga budaya, memina keselamatan
kepada setan penunggu desa dan roh-roh nenek moyang,
mendatangkan ketentraman bagi kedua pengantin, keluarga dan
masyarakat sekitar, dengan melaksanakan prosesi adat berarti telah
melaksanakan budaya yang telah menjadi hal yang biasa dilakukan di
tengah masyarakat. Beberapa masyarakat yang tidak melaksanakan
98
perkawinan adat dan mendapat musibah seperti pengantin tidak
kunjung mempunyai anak, orang tua atau orang yang membantu acara
perayaan perkawinan yang jatuh sakit, kejadian tersebut dikait-kaitkan
dengan prosesi perkawinan adat yang ada di desa. Padahal anggapan
seperti itu adalah mitos, karena ada faktor lain yang menyebabkan
kejadian tersebut.
3. Perkawinan adat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten
Sragen dalam pemikiran hukum Islam
Menurut para ulama ushul fiqih bahwa adat atau „urf yang
merupakan suatu kebiasaan yang hidup di masyarakat hukumnya
boleh selama tidak ada nash yang melarangnya. Jadi perkawinan adat
desa Ngrombo yang terdiri dari Langkahan atau Nglangkahi, Dodol
Dawet, Nebus Kembar Mayang, Midodareni, Nyantri Ngerik, Ngrias,
Akad Nikah, Panggih Temanten, Adang-adangan, Sindhur Binayang,
Kacar-kucur, Dhahar Kembul, Bupak Kawah, Sungkeman, Resepsi,
Hiburan Temanten, Pengajian Temanten hukumya mubah. Tetapi
apabila melaksanakan perkawinan adat dengan niat untuk meminta
sesuatu kepada selain Allah itu yang dilarang dalam syariat dan dalam
hukum Islam, seperti pemberian sesaji yang di tujukan kepada roh dan
setan penunggu desa. Kemudian untuk hiburan temanten seperti yang
ada di desa Ngrombo merupakan acara musik yang dilarang dalam
syariat Islam, karena mengumbar aurat dan nafsu.
B. Saran
99
1. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat desa Ngrombo khususnya yang beragama Islam
diharapkan dapat mengarahkan pada sesama penduduk desa Ngrombo
kecamatan Plupuh kabupaten Sragen bahwa apabila melaksanakan
perkawinan adat tetap menjaga aqidah dan niatnya.
2. Bagi Pelaku Perkawinan Adat
Apabila akan melaksanakan perkawinan adat, maka harus lebih
berhati-hati. Sehingga dapat melaksanakan dan menjaga budaya tetapi
tidak melanggar syariat-syariat agama Islam, sehingga akan
mendatagkan rasa ketenangan dalam hidup.
C. Penutup
Alhamdulillah hirabbil „alamin, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam.
Atas ridho dan izinnya maka tulisan ini telah selesai ditulis dalam bentuk
skripsi. Skripsi ini banyak kekurangan baik dalam tulisan maupun
penulisannya. Dari sebab itulah, penulis harapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk tulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak teria
kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet & Aminnudin. 1999. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia.
100
Al Ansori, Ali. Al Mizan Al Kubra, Juz II. Semarang: Toha Putra.
Al Ghozali, Muhammad. tt. Ihya‟ „Ulum Ad-Din, Juz 2, Dar al Ihya‟ al Kutub al
Arabiyah Indonesia.
Al Hamdani. 2002. Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam. Edisi Kedua.
Jakarta: Pustaka Amani.
Alhamdani, H.S.A. 1989. Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Hukum
Perkawinan Islam. Cet. ke 3. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1990. Kitab Al Fiqh „Ala Madzahib Al Arba‟ah. Beirut-
Libanon: Dar al Kutub al Alamiyah.
Arianto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ariij binti Abdur Rahman As-Sanan. 2006. Adil Terhadap Para Istri (Etika
Berpoligami). Jakarta: Darus Sunnah Press.
Ayyub, Syaikh Hasan. 2003. Fiqih Keluarga, Terjemahan M. Abdul Ghoffar,
E.M. jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Azzam, Aziz Muh & Hawwas, Abdul Wahab Sayyed. 2009. Fiqh Munakahat.
Jakarta: AMZAH.
Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke 8. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Chafid, Afnan & Asrori, Ma‟ruf. 2006. Tradisi Islami. Lombardbaya: Kharisma.
Endraswara, Suwardi. 2010. Etika Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: NARASI
(Anggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2011. Kebatinan Jawa Dan Jagad Mistik Kejawen.
Yogyakarta: Lembu Jawa.
Fadlillah. 2012. Menikah Itu Indah. Yogyakarta: Elangit7 Publishing.
Fajri & Senja. (Tahun). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Kota Terbit). Difa
Publisher.
Hakim, Abdul Hamid. 1927. Mabadi‟ul Awaliyah. kt.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqih 1. Jakarta: Logos.
101
Hassan, Saleh. 2008. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
IAIN Salatiga. 2016. Materi Ujian Komprehensif Lisan (UKL) Prodi Ahwal Al
Syakhshiyyah.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2015. Tarekat Tasawuf Tahlilan & Maulidan. Solo:
Wacana Ilmiyah Press.
Khallaf, A. Wahhab. 1991. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali press.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cet. VI. Jakarta: Aksara
Baru.
Mahmud, Ali Abdul Halim. 2007. Jalan Dakwah Muslimah. Solo: Era Intermedia.
Moleong, lexy. 1999. Metodologi. Bandung: PT.Remaja Rosada Karya.
Mulder, Miels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa:
Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Cet. Ke 2. Jakarta:
Gramedia.
Qardhawi, Yusuf. 2000. Halal Haram Dalam Islam. Cet ke 4. Solo: Era
Intermedia.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam. Solo: Intermedia.
Qardhawi, Yusuf. tt. Halal dan Haram. Jakarta: Robbani press.
Ramulyo, Mohd Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Cet Ke 2. Jakarta: Bumi
Aksara.
Shiddieq, Umay Muhammad Dja‟far. 2004. Indahnya Keluarga Sakinah. Cet. I.
Jakarta: Zakia Press.
Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Soejono, Soekanto & Maudji, Sri. 1983. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajawali Press.
Soekanto, Soejono. 1982. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: CV Rajawali.
STAIN Salatiga. 2008. Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir. Salatiga.
Sudarmojo, Haryo Agus. 2009. Perjalanan Akbar Ras Adam. Bandung: Mizania.
102
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukmadinata, Saudih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remeja
Rosdakarya.
Sulaiman, Al-Mufarraj. 2003. Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah,
Kisah, Syair, Wasiat & Kata Mutiara. Jakarta: Kuais Mandiri Cipta
Persada.
Surakhmad, winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media.
Tim Penyusun Pusat Studi Islam Al Manar. 2007. Fiqih Nikah. Cet. Ke 3.
Bandung: Syamil cipta Media.
Uwaidah, Kamil Muhammad. 2014. Fiqih Wanita. Jakarta: Al Kautsar.
Yazid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Ali Terhadap Wacana Hukum
Islam Kontemporer. Cet. I. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.eramuslim.com/ustadz-menJawab/pernikahan-yang-sesuai-Islam.htm.
diakses pada 06 Agustus 2016 pukul 22:30.
http://www.khabib.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&i
d=12&Itemid=8 diakses pada 06-08-2016 pukul 22:26.
http://www.mutiarahadits.com/98/32/75/doa-untuk-mempelai.htm di akses pada
tanggal 26-08-2016 pada jam 11.06
http://id.wikipedia.org/wiki/kejawen diakses pada tanggal 28-07-2016 diakses
pada 09 Agustus 2016 09:33
http://rindutulisanislam.blogspot.co.id/2013/12/al-quran-dan-al-hadist-tentang-
syirik.html diakses pada 29 September 2016 15:32.
www.latansanasibaka.blogspot.com diakses pada 29 September 2016 15:06.