peritonitis generalisata ec perforasi gaster

61
LAPORAN KASUS RGB SEORANG LAKI-LAKI 76 TAHUN DENGAN PERITONITIS GENERALISATA et causa PERFORASI GASTER Oleh: Dokter Muda Stase Bedah Periode : 6 Oktober - 30 November 2014 Pembimbing: dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

Upload: aisya-fikritama

Post on 12-Apr-2016

198 views

Category:

Documents


39 download

DESCRIPTION

lnhlk

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS RGB

SEORANG LAKI-LAKI 76 TAHUN DENGAN PERITONITIS

GENERALISATA et causa PERFORASI GASTER

Oleh:

Dokter Muda Stase Bedah

Periode : 6 Oktober - 30 November 2014

Pembimbing:

dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2015

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. S

Umur : 33 tahun

Jenis Kelamin : Laki Laki

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Alamat : Serengan Rt/Rw 4/5 Surakarta, Jawa Tengah

Tanggal masuk : 7 Juni 2015

Tanggal pemeriksaan : 18 November 2014

No. RM : 01303678

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Passien merupakan rujukan dari RSOP, pasien mengeluh nyeri lutut

sebelah kiri.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

7 jam sebelum masuk rumah sakit spasien terjatuh ke selokan saat

ingin mengendarai motornya. Lutut sebelah kiri pasien terbentur selokan.

Pasien mengeluh nyeri pada lutut kiri dan tidak bisa berjalan. Oleh penolong

pasien dibawa ke RS dr. Oen Solo Baru. Karena pasien menggunakan BPJS,

pasien dirujuk ke RSOP dari RS dr. Oen Solo Baru. Saat di RSOP, dokter

mencurigai adanya cedera vaskular, oleh karena itu pasien dirujuk ke

RSDM.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat penyakit jantung/ ginjal/ liver : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat penyakit jantung/ ginjal/ liver : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaaan umum : compos mentis, tampak sakit sedang

Vital Sign:

Tekanan Darah : 110/60 mmHg

Frekuensi Nadi : 80x/menit

Frekuensi nafas : 18x/menit

Suhu : 36,5 C

Kepala : mesochepal.

Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor

(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+),

hematom periorbita (-/-), diplopia (-/-)

Hidung : deviasi septum (-), discharge (-)

Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)

Mulut : ulserasi (-)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), retraksi (-),

nyeri tekan (-), flailchest (-)

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo :

Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : SDV (+/+), ST Ronki (-/-)

Abdomen :

Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muskuler (-), massa (-)

Ekstremitas :

Superior Dx : akral dingin (-), edema (-), nyeri (-), deformitas (-),

krepitasi (-)

Superior Sn : akral dingin (-), edema (-), nyeri (-), deformitas (-),

krepitasi (-)

Inferior Dx : akral dingin (-), edema (-), nyeri (+), deformitas (-),

krepitasi (-)

Inferior Sn : lihat status lokalis

IV. STATUS LOKALIS

Regio Genu Sinistra

Look : skin intak (+), oedem (+), deformitas (+), hematom (+) di

poplitea

Feel : nyeri tekan (+), NVD (+), CRT <2 detik, akral dingin

Movement : ROM genu sulit dievaluasi

Status Vaskuler

Dextra Sinistra

Arteri femoralis + +

Arteri poplitea + Sulit dievaluasi

Arteri dorsalis pedis + + menurun

Arteri tibialis posterior + + menurun

Saturasi 100 0

V. ASSESMENT I

Tibial plateu Schatzker IV sinistra dengan suspect vaskular injury

VI. PLANNING I

1. IVFD RL 20 tpm

2. Injeksi analgetik (metamizol 1 g/8 jam)

3. Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam

4. Cek darah rutin

5. Rontgen cruris AP dan Lateral

6. Cito arteriografi

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Hasil Laboratorium (RSDM, 11 November 2014)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hemoglobin 10,3 g/dL 13,5 – 17,5

Hematokrit 33 % 33 – 45

Leukosit 14,5 Ribu/µl 4,5 – 11,0

Trombosit 6650 Ribu/µl 150 – 450

Eritrosit 3,6 Juta/µl 4,50 – 5,90

PT 13,9 Detik 10,0 – 15,0

APTT 34,3 Detik 20,0 – 40,0

INR 1,060

GDS 128 90 – 140 mg/dl

Creatinin 1,0 mg/dl 60 – 140

Ureum 26 mg/dl < 50

HBsAg Non reactive Non reactive

B. Foto Cruris AP dan Lateral (RSDM, .......)

Foto RO

- Tampak fraktur tibial plateu yang terpasang fiksasi (plateu dan screw) di

1/3 proksimal os tibia kiri dengan aligment dan oposisi baik

- Trabekulasi tulang diluar lesi dalam batas normal

- Tak tampak kalsifikasi abnormal.

- Tak tampak erosi atau destruksi tulang

- Terpasang drain dengan tip terproyeksi setinggi 1/3 proximal regio cruris

kiri.

Kesimpulan :

- Fr tibial plateu yang terpasang internal fiksasi plateu dan screw di 1/3

proximal os tibia kiri dengan alignment dan posisi baik.

- terpasang drain dengan tip proyeksi setinggi 1/3 proximal regio cruris kiri.

VIII. ASSESMENT II

Closed fraktur tibial plateu (sinistra) Schatzker IV dengan vaskuler injury

IX. PLANNING II

Eksplorasi vaskuler

X. LAPORAN OPERASI

A. Tanggal dilakukan operasi : 7 Juni 2015 Cito

Leader Tim Operasi : dr. Darmawan, Sp.BTKV

Jenis Anestesi : General Anaesthesia

Operator : dr. Thomas, dr. Esti, dr. Zaki

Diagnosis Pre-Op : Lesi vaskuler plus close fraktur tibia plateu

Diagnosis Post-Op : Oklusi a. poplitea sinistra ec thrombus

Nama Tindakan : Eksplorasi vaskuler, Trombectomy

Laporan Operasi :

1. Posisi pronasi dalam general anesthesia, toilet medan operasi, tutup duk

steril berlubang

2. Incisi S shape di poplitea, perdalam lapis demi lapis.

3. Hematom (+), aktif bleeding (-); Identifikasi a/v poplitea: arteri poplitea

intak, pulsasi (+) sampai dengan fraktur site ke distal.

4. Dilakukan arteriostomi, masukan cateter fogasti no. 6 ke distal, thrombus

(+), back flow (+). Cateter masuk melewati fraktur site, masukan kateter

ke proximal, lancar.

5. Jahit arteri dengan monofilamen non absorbable 6,0.

6. Kontrol perdarahan.

7. Jahit luka operasi lapis demi lapis.

8. Operasi selesai.

B. Tanggal dilakukan operasi : 16 Juni 2015 Elektif

Leader Tim Operasi : dr. Ryan, Sp.OT, M.Kes

Jenis Anestesi : General Anaesthesia

Operator :

Diagnosis Pre OP : CF Tibial plateu (S)

Diagnosis Post OP : CF Tibial plateu (S)

Tindakan : ORIF Tibial plateu

Laporan Operasi:

1. Pasien posisi supine, dalam GA, toilet medan operasi, tutup duk steril

berlubang.

2. Incisi anteromedial setinggi fraktur site, perdalam lapis demi lapis.

3. Incisi pes anserinus, tampak fraktur tibia plateu.

4. Dilakukan reduksi dan fiksasi dengan bahan wire temporary difiksasi

dengan T plate 4 hide dan screw, combat 5 cm diameter 4,5 4 buah,

conceli 5 cm diameter 4,5 2 buah.

5. Cek stabilitas, hasil stabil.

6. Cuci luka operasi.

7. Jahit luka operasi lapis demi lapis.

8. Tutup dengan kassa steril.

9. Operasi selesai

XI. ASSESSMENT POST OPERASI

Post laparotomi a.i. peritonitis generalisata e.c. perforasi gaster bagian antrum

XII. PLAN

Mondok bangsal RGB

Injeksi cefazolin 1 gr/12 jam

Injeksi ketorolac 30 mg/8 jam

Injeksi ranitidin 50 gr/12 jam

  12/11 13/11 14/11 15/11 16/11 17/11 18/11 19/11

Teka-

nan

Darah

S: BAB (-),

flatus (-)

mual (-),

muntah (-),

nyeri bekas

operasi (+)

KU: CM

TD :129/79

S: Flatus

(-), BAB

(+) encer,

warna

kekuninga

n , Nyeri

Bekas

operasi (+)

KU: CM

TD:128/60

S: Nyeri

Bekas Operasi

(+), flatus (+),

BAB (+)

KU: CM

TD: 142/64

S: Nyeri

Bekas

Operasi (+) ↓

KU: CM

TD: 128/64

S: Nyeri

Bekas Operasi

(+)↓

KU: CM

TD:129/68

S: Nyeri Bekas

Operasi (-)

KU: CM

TD:128/74

S: Nyeri Bekas

Operasi (-)

KU: CM

TD:131/80

S : (-)

KU : CM

TD : 110/70

Nadi 66 88 60 88 88 84 88

Suhu 36,6 36,8 36,4 36,0 36,2 36,4 36.5

Input

Cairan

2500 2500 2500 2500 2500 2500 2500

Output

Cairan

2150 1780 1920 1850 1920 2100 1800

BC +350 +720 +480 +650 +580 +400 +700

PERAWATAN PASCA OPERASI (FOLLOW UP)

Px fisik Tampak

terpasang

NGT dengan

residu 50 cc,

serous,

Abdomen :

I : distensi

(-), luka

operasi

rembes (-),

drain ±50 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Tampak

terpasang

NGT kecil

untuk

feeding test

D5%

Dilakukan

feeding test

100 cc,

residu 50

cc.

Abdomen :

I : distensi

(-), luka

operasi

rembes (-),

drain ±50

cc

kemerahan

Abdomen :

I : distensi (-),

luka operasi

rembes (-),

drain ± 40 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi

(-), luka

operasi

rembes (-),

drain ± 20 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi (-),

luka operasi

rembes (-),

drain ± 10 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi (-

9), luka

operasi

rembes (-),

drain ± 10 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi (-9),

luka operasi

rembes (-), drain

± 10 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT (-)

bekas operasi

Abdomen :

I : distensi (-),

luka operasi

rembes (-), pus

(-)

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT (-)

bekas operasi

A : BU (+)

N

P : tympani

P : supel,

NT (+)

bekas

operasi

Terapi 1. IVFD

NaCl 0.9% :

Kaen 3B:

Aminofel :

RL= 1 : 1 :

1 : 1 /24jam

2. Inj

Ciproflo-

xacin

500mg/8

jam

1. IVF

D NaCl

0.9% :

Kaen 3B:

Aminofel

: RL= 1 :

1 : 1 : 1 /

24jam

2. Inj

Ceftri-

axon

1. Mobilisasi

gerak

2. Medikasi

luka

3. IVFD NaCl

0.9% :

Kaen 3B:

Aminofel :

RL= 1 : 1 :

1 : 1 /

1. Mobilisasi

gerak

2. Aff Drain

3. Medikasi

Luka

4. Diet Lunak

1700 kkal.

5. IVFD

NaCl 20

tpm

1. Mobili

sasi miring

kanan kiri,

duduk

2. NGT

feeding d5%

3. Puasa oral

lanjut

4. IVFD

Nacl :

Aminofel :

1. Diet bubur

TKTP

2. Aff drain

3. Klem NGT

4. Mobilisasi

duduk

5. Pindah

bangsal

6. IVFD NaCl

0.9%:Amin

ofel:d5 % =

1. Diet bubur

TKTP

2. Aff drain

3. Klem NGT

4. Mobilisasi

duduk

5. Medikasi

luka

6. Pindah

bangsal

7. IVFD NaCl

1. Inj ceftriaxone

1gr/12jam

2. Inj

metronidazole

500mg/8jam

3. Inj Ketorolac

30mg/8jam

4. Inj Ranitidin

50mg/8jam

5. Inf

aminofuchsin :

3. Inj Raniti-

din

50mg/12

jam

4. Inj

Metami-

zol 1gr/24

jam

5. Inf

metroni-

dazol

500mg/8j

am

6. D5%

(feeding)

7. Medikasi

1gr/24

jam

3. Inj

Raniti-

din 50

mg/12

jam

4. Inj

Meta-

mizol

1gr/24

jam

1. D5 %

(fee-

ding)

24jam

4. Inj

Ceftriaxon

1gr/24 jam

5. Inj

Ranitidin

50 mg/12

jam

6. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

6. Inj Ceftri-

axon

1gr/24

jam

7. Inj

Ranitidin

50 mg/12

jam

8. Inj

Metami-

zol 1gr/24

jam

d5 % =

2:1:1/24 jam

5. Inj

Ranitidin50

mg/8jam

6. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

7. Inf

metroni-

dazol

500mg/8jam

II:I:I/24jam

7. Inj ciproflo-

xacin

500mg/8ja

m

8. Inj

Ranitidin 50

mg/12 jam

9. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

10. Inf

metronidazol

500mg/8jam

0.9%:Amino

fel:d5 % =

II:I:I/24jam

8. Inj ciproflo-

xacin

500mg/8jam

9. Inj Ranitidin

50 mg/12

jam

10. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

11. Inf

metroni-

dazol

500mg/8jam

Kaen 3B :

NaCl 0.9% :

RL = 1:1:1:1

TINJAUAN PUSTAKA

I. FRAKTUR TIBIA PLATEU

A. Epidemiologi

Predisposisi fraktur tibia plateu sebesar 1% dari keseluruhan fraktur

dan 8% dari keseluruhan fraktur yang biasa terjadi pada usia tua. Trauma

yang terbatas pada bagian lateral plateu mencapai 55% hingga 70% dari

fraktur tibia plateu, dibandingkan dengan fraktur yang terjadi di medial

hanya sebesar 10% hingga 25%, sedangkan 10% hingga 30% fraktur tibia

adalaha bikondilar. 1% hingga 3% dari fraktur ini merupakan fraktur

terbuka.

B. Anatomi

Tibia merupakan tulan penumpu berat badan yang besar di kaki,

kurang lebih sebesar 85% bertumpu kepadanya. Tibial plateu tersusun

atas permukaan sendi lateral dan medial, yang terdiri dari meniskus

kartilago. Plateu medial lebih besar dan cekung pada bagian axis sagital

dan koronal. Plateu lateral lebih tinggi dan cembung pada bagian sagital

dan koronal.

Plateu tibia normal mempunyai bagian lembah sebesar 10 derajat.

Dua plateu dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh ligamen

interkondilar, dimana tidak mempunyai artikulasi dan merupakan

perlekatan dari ligamentum cruciatum tibia.Terdapat tiga penonjolan

tulang sepanjang 2 hingga 3 cm di bagian distal dari tibia plateu. DI

bagian anterior, tuberkel tibia yang merupakan insersi dari ligamen patela.

Di medial, terdapat pes anserinus yang merupakan dari ligamen medial.

Di bagian lateral, terdapat tuberkulum Gerdy yang merupakan insersi dari

iliotibial.

Permukaan sendi medial dan kondilus medial lebih kuat

dibandingkan bagian lateralnya. Sebagai hasilnya, fraktur di bagian lateral

plateu lebih sering terjadi. Fraktur medial plateu berhubungan dengan

trauma karena energi yang tinggi dan sebagian besar berhubungan dengan

kerusakan jaringan lunak seperti rusaknya ligamentum kolateral yang

komplek. Lesi pada nervus peroneal dan kerusakan pada pembuluh

popliteal.

C. Mekanisme Trauma

Fraktur pada tibial plateu terjadi oleh karena benturan dari medial

maupun lateral yang disertai dengan fraktur axial. Kecelakaan karena

mengendarai sepeda motor merupakan kejadian penyebab terbesar

terjadinya fraktur tersebut pada anak muda , tetapi pada orang tua

osteopenik tulang dapat terjadi hanya karena jatuh.

Arah dan besarnya hantaman, umur pasien, dan kualitas tulang

sertabesranya fleksi lutut pada saat terjadinya benturan akan

mempengarhui ukuran, lokasi, dan perpindahan fragmen fraktur. Dewasa

muda dengan tulang yang kuat dan kaku akan lebih banyak memgalami

fraktur yang berhubungan dengan kerusakan ligamen. Dewasa tua dengan

penurunan kekuatan tulang dan tekanan dari kekakuan akan mengalami

sedikit kerusakan ligamen.

Kerusakan pada meniskus terjadi pada lebih dari 50% kasus fraktur

tibia plateu. Fraktur ligamen yang berhubungan dengan ligamen cruciatum

atau kolateral terjadi hingga lebih dari 30% fraktur tibia plateu. Dewasa

muda yang mempunyai tulan subkondral yang kuat akan tahan terhadap

tekanan, tetapi beresiko tinggi mengalami ruptur ligamentum cruciatum

atau kolateral.

Fraktur yang mengenai bagian medial tibia berhubungan dengan

meningkatnya insiden dari lesi neurovaskular poplitea atau nervus

peroneal akibat mekanisme energi yang tinggi, hal tersebut menunjukkan

beberapa diantaranya berupa dislokasi lutut yang secara spontan

berkuarang.

Cedera pada nervus peroneus disebabkan karena adanya tarikan

(neuropraksia), yang biasanya akan menghilang beberapa waktu

kemudian. Cedera pada arteri umunya menunjukkan tarikan yang akan

menyebabkan kerusakan seperti trombosis, dan jarang menunjukan adanya

kerusakan sekunder seperti laserasi ataupun avulsi.

D. Evaluasi Klinis dan Evaluasi Radiologi

Pemeriksaan neurovaskular merupakan hal yang penting,

khususnya trauma dengan energi yang tinggi. Cabang arteri poplitea keluar

diantara hiatus aduktor proksimal dan soleus komplek distal. Nervus

peroneal berjalan di bagian lateral dan mengelilingi bagian leher fibula.

Hemarthosis seringkali terjadi pada bengkak yang nyata, nyeri pada

lutut di mana pasien tidak dapat menopang berat badan. Aspirasi lutut

dapat mengetahui adanya lemak pada sumsum tulang. Trauma langsung

biasanya terlihat jelas saat pemeriksaan pada jaringan lunak di atasnya,

dan fraktu terbuka harus dikesampingkan. Pemberian salin pada

intraartikular sebanyak 50 hingga 70 ml terus menerus penting untuk

mengetahui adanya laserasi yang mungkin.

Kompartemen sindrom harus dikesampingkan, sebagian dengan

trauma dengan energi tinggi. Penilaian dari kerusakan ligamen merupakan

hal yang penting.

Pada proyeksi anteroposterior dan lateral dengan gambaran 40

derajat internal ( lateral plateu) dan eksternal rotasi (medial plateu),

poyeksi oblik seharusnya dilarang. Avuulsi dari head fibula, tanda Sign

( avulsi kapsul lateral) dan lesi Pellegrini –Steata ( kalsifikasi sepanjang

insersi dari ligamentum kolateral medial merupakan keseluruhan tanda

yang berhubungan dengan kerusakan ligamen.

Foto dengan traksi membantu pada trauma karena energi tinggi

dengan imapkasi yang berat dan fragmentasi metadiafisis untuk

menggambarkan pola fraktur yang lebih baik dan untuk menentukan

keberhasilan dari ligamentotaxis untuk mengurangi fraktur. Foto dengan

tekanan, lebih baik digunakan pada pasien dibawah pengaruh zat sedatif

atau anastesi dengan intensifikasi gambaran fluoroskopik, yang kadang-

kadang berguna untuk mendeteksi ruptur ligamentum kolateral.

CT dengan rekonstruksi dua atau tiga dimensi berguna untuk

mendeteksi derajat fragmentasi atau depresi dari permukaan sendi sebaik

untuk rencana perioperasi. MRI berguna untuk mengevaluasi kerusakan

dari meniskus, ligamentum cruciatum dan kolateral, dan kapsul dari

jaringan lunak.

Arteriografi seharusnya dilakukan jika curiga terjadi cedera

vaskular.

E. Klasifikasi

Menurut Schatzker:

- Tipe I (a) : Plateu lateral, fraktur terbagi

- Tipe II (b) : Plateu lateral, fraktur tekanan terbagi

- Tipe III (c) : Plateu lateral, fraktur tekanan

- Tipe IV (d) : Fraktur plateu medial

- Tipe V (e) : Fraktur plateu bikondilar

- Tipe VI (f) : Fraktur plateu dengan pemisahan dari metafisis

dari diafisis

     

       

Tipe I hingga III dikarenakan trauma karena energi yang rendah

Tipe IV hingga VI dikarenakan trauma karena energi yang tinggi

Tipe I biasanya terjadi pada anak muda dan berhubungan dengan trauma

pada ligamnetum kolateral medial

Tipe III biasanya terjadi pada orang yang lebuh tua

F. PENATATALAKSANAAN

a. Non Operatif

Diindikasikan untuk fraktur nondisplace atau displace minimal dan

pasien osteoporosis yang progresif

Direkomendasikan latihan beban yang terlindungi dan rangkaian

gerakan lutut dalam penjepit berengsel untuk fraktur (hinged collar

brace)

Diindikasikan latihan quadriceps isometric dan latihan ROM

passive meningkat menjadi ROM aktif dibantu dan akhirnya ROM

aktif

Diperbolehkan Latihan beban parsial (30 sampai 50 lb) selama 8

sampai 12 minggu yang meningkat menjadi latihan beban penuh

b. Operatif

1) Indikasi Bedah:

Depresi persendian berkisar < 2mm sampai 1 cm

Ketidakstabilan > 10⁰ mendekati lutut yang ekstensi dibandingkan sisi

kontralateral.

Fraktur split lebih tidak stabil dibandingkan fraktur depresi murni

dimana tepinya masih utuh

Fraktur terbuka yang seharusnya dirawat secara bedah

Sindrom kompartemen

Terkait trauma vascular

2) Prinsip Penatalaksanaan secara operatif

Rekonstruksi permukaan sendi, diikuti pembangunan kembali kelurusan

dari tibia adalah tujuannya

Pengobatan meliputi menopang segmen sendi yang dielevasikan dengan

bone graft atau subtitusi bone graft.

Fiksasi fraktur dapat menggunakan plat dan skrup, skrup sendiri atau

fiksasi eksternal

Pilihan implant berkaitan dengan pola fraktur, derajat pergeseran dan

kecakapan ahli bedah

Rekonstruksi jaringan lunak yang adekuat termasuk preservative dan

atau memperbaiki meniscus beserta ligamentum intraartikuler dan

ekstraartikuler.

3) Mencakup fiksasi eksternal melalui lutut dapat digunaka sebagai

pengukuran temporal pada pasien dengan trauma energy tinggi. Fiksator

eksternal digunakan untuk tetap menjaga panjang dari jaringan lunak dan

menyediakan beberapa derajat reduksi fraktur sebelum pembedahan

definitive

4) Arthroscopy dapat digunakan untuk mengevaluasi permukaan sendi,

meniscus, dan ligament cruciatum. Juga dapat digunakan sebagai evakuasi

hemarthrosis dan partikulat debris, untuk prosedural meniscus. Perannya

dalam evaluasi kelainan bantalan sendi dan manfaatnya dalam manajemen

komplikasi fraktur dibatasi

5) Avulsi ligamentum cruciatum anterior dengan fragmen tulang yang besar

sebaiknya direparasi. Jika fragmen minimal, atau robekan dalam substansi

intraligamentum, rekonstruksi harus ditunda.

6) Pembedahan dalam trauma tertutup sebaiknya tetap dilanjutkan setelah

penilaian dari karakter fraktur. Penundaan dapat menyebabkan

pembengkakan pada sisinya dan local pada kondisi kulit untuk diperbaiki.

7) Fraktur Schatzsker tipe I sampai IV dapat diperbaiki dengan sekrup

perkutaneus, atau plat yang ditempatkan di periartikuler. Jika reduksi

tertutup yang memuaskan (penurunan persendian <-1mm ) tidak

didapatkan dengan teknik tertutup, maka reduksi terbuka dan fiksasi

internal diindikasikan

8) Meniscus tidak boleh dipotong untuk mempermudah eksposure

9) Fragment yang terdepresi dapat dinaikkan dari bawah secara bersamaan

dengan menggunakan tampon tulang yang bekerja melalui komponen yang

retak atau jendela korteks. Defek metafise harus diisi dengan autograft

bagian yang lunak, allograft, atau substitusi sintetik

10) Fraktur Tipe V dan VI dapat ditatalaksana menggunakan plat dan sekrup,

cincin fiksator, atau fiksator hybrid. Pembatasan fiksasi internal dapat

ditambahkan untuk mengembalikan permukaan sendi.

11) Plat yang dimasukkan secara perkutan, lebih mendekati biologis. Dalam

teknik ini, plat meluncur ke bawah melalui subcutan tanpa pengelupasan

jaringan lunak

12) Penggunaan plat yang terkunci mengeliminasi kebutuhan plat double pada

fraktur bicondylar tibial plateau

13) Fraktur plateau medial posterior memerlukan insisi posteromedial untuk

reduksi fraktur dan stabilisasi plat.

14) Postoperative, pasien didukung dengan latihan passive ROM continuous

tanpa beban dan aktif ROM

15) Uji latih beban diperbolehkan selama 8 sampai 12 minggu

G. Komplikasi

a. Kekakuan sendi. Ini merupakan hal yang sering terjadi berhubungan

dengan trauma karena cedera dan diseksi bedah, kerusakan retinakular

ekstensor, skar, dan imobilisasi post operasi

b. Infeksi. Hal ini dihubungkan dengan incisi melalui jaringan lunak yang

berhubungan dengan ekstensif diseksi untuk menempatkan implan.

c. Kompartemen sindrom . Hal ini bukanlah hal umum, tetapi dapat terjadi

komplikasi yang berkembang dari kompartemen fascia kaki. Hal ini

membutuhkan perhatian klinis yang cukup besar, pemeriksaan

neurovaskular yang bertahap, evaluasi yang agresif, termasuk

pengukuran tekanan dalam kompartemen jika dibutuhkan, dan

pengobatan pada fasiotomi emergensi pada semua kompartemen kaki.

d. Malunion dan nonunion. Hal ini sering terjadi pada fraktur Schatzker

VI pada perbatasan metafisis dan diafisis, yang berhubungan dengan

fraktur kominutif, fiksasi yang tidak stabil, kegagalan implan, atau

infeksi.

e. Posttrauma osteoartritis. Hal ini merupakan hasil dari persendian yang

tidak sebangun, kerusakan tulang rawan pada cedera, atau

ketidaklurusan karena aksis mekanik.

f. Cedera nervus peroneal. Hal ini merupakan hal yang sering terjadi pada

trauma yang mengenai bagian lateral aki dimana nervus peronela

berjalan pada bagian proximal head fibula dan lateral tibia plateu.

g. Laserasi arteri poplitea

h. Avaskular nekrosis dari fragmen sendi yang kecil. Hal ini akan

menghasilkan hilangnya bagian dari lutut.

II. TRAUMA VASKULAR

A. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di

rumah sakit setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan

pasien berumur 25-44 tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok

dengan risiko tertinggi karena mereka sering melakukan aktivitas yang

juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko kematian yang disebabkan

trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih tinggi pada populasi

pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di antaranya

adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan

terkena benda tajam.

Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma

vaskular. Dan kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi

pada ekstremitas bawah. Kasus- kasus trauma vaskular tersebut terutama

disebabkan oleh luka tembak kecepatan tinggi (70- 80%), luka tusuk (10-

15%), dan luka tumpul (5-10%).

B. Mekanisme Trauma

Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam

dan tumpul. Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi

lokal atau deselerasi dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma

tajam diakibatkan oleh kehancuran dan separasi jaringan. Dengan

memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan memudahkan

untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan

dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi

hemodinamik, dan mekanisme trauma.

Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi

kinetik (KE) yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari

massa (M) dan kecepatan (V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE

= M x V2/2. Rumus ini berlaku baik untuk trauma tumpul maupun

penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih siginifikan

dibandingkan dengan perubahan pada massa.

Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan

bergerak menjauhi titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh,

menghindari objek penyebab trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan

terbentuk kavitas jaringan sementara yang disebabkan oleh deselerasi atau

akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik fiksasi anatomis

selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi

baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan

sumbu transversal (teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan

deformitas, robekan, dan fraktur jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi

menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan oleh penyaluran energi

kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal ini dapat

diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan oleh

pemindahan jaringan.

Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma

arteri yang dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi

parsial dan transeksi komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada

retraksi dan trombosis pada ujung proksimal dan distal pembuluh darah,

yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi parsial dapat

menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma.

Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap

intima, yang dapat berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil

dengan intima flap yang terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan

hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini

disebut sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari

angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil, dan

seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan vena yang

bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.

Tipe Trauma Gejala Klinis

Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan

Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia

Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normalDapat progresif menjadi thrombosis

Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur diluruskan

C. Diagnosis

Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada

daerah yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi

terutama pada kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan

trauma tumpul yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan

trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya trauma, mekanisme,

tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.

Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan

luar, iskemia, hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai

tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering pada trauma arteri

ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri terus-

menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan fisik

yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup

untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma

vaskular pada ekstremitas dapat diketahui denganmelihat tanda dan

gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut berupa hard sign

dan soft sign.

Hard Sign Soft Sign

Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal

Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang

Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama

Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis

Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas

Hematoma yang meluas

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan

menunjukkan gejala soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal.

Salah satu cara yang praktis adalah dengan ABI (ankle-brachial index).

Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan adanya trauma arteri. Adanya

psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan pada kasus

trauma penetrasi ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan

disertai bruit atau thrill.

Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan

suatu indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya

trauma vaskular. Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma vaskular

sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah tulang tertutup. Tanda

lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit neurologis

baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan

motoris pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat

menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas akan tampak pucat dan dingin

pada perabaan. Pengisian kapiler tidak menggambarkan keadaan sirkulasi

karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun penting untuk

menentukan viabilitas jaringan.

Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse

oxymetry, doppler ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan

lesi vaskular, tapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu

ada arteriografi intra-operatif yang berguna dalam mengetahui hasil

rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang

tertinggal.

Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama

penanganan sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih

lama lagi. Arteriografi dilakukan bila

terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi.

Arteriografi juga dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi

vaskular yang multiple dan kondisi kolateral yang ada.

Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi

distal, dan perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni

92-98%. Alat ini terutama berguna untuk mendiagnosis trauma arteri

minimal yang dapat luput dari pengamatan karena minimalnya gejala

klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi di antaranya

trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan

dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi

multipel pada ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis.

Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien dengan luka

tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu,

dengan nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan

pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama

12 – 24 jam.

Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan

gelombang suara yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat

menilai aliran darah. Selain untuk diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat

menilai hasil sesudah anastomosis arteri.Ultrasonografi color-flow duplex

(CFD) telah disarankan sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan

arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak

menimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai

tempat tidur pasien, unit gawat darurat, maupun ruang

operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan

mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih murah.

Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

D. Penatalaksanaan

Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila

ada perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan

membahayakan jiwa, tentunya pertolongan pertama adalah menghentikan

perdarahan sedangkan tindakan definitif dilakukan setelah perdarahan

berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas daerah perdarahan.

Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak sistem

kolateral yang ikut terbendung.

Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda

iskemia yang jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan

saraf lebih tidak tahan terhadap adanya iskemia.

1. Penatalaksanaan non operatif

Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih

kontroversial. Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera

arteri yang terdeteksi harus diperbaiki,sedangkan yang lain

mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria klinis dan

radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang

minimal (< 5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada

perdarahan aktif, dan sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat

dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan terutama pada orang

muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan untuk

melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau

stabilisasi.

2. Penatalaksanaan endovaskular

Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk

terapi beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah,

khususnya pada lokasi anatomis yang jauh. Coil berguna untuk

mengoklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa.

Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah

dengan penggunaan teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat

fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan endoluminal pada false

aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.

3. Penatalaksanaan operasi

Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan

persiapan seluruh ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan,

ekstremitas atas atau bawah kontralateral yang sehat harus ikut

disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena.

Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada

pembuluh darah yang cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau

distal sesuai dengan kebutuhan.

Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur

pada cedera. Arteri proksimal dikontrol dengan benang kasar yang

melingkari arteri (seperti jerat) atau bila perlu dengan menggunakan

klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal. Terkadang

diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus

(thromboresistent plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi.

Debridemen, fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy, reparasi vena

dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru. Pemakaian heparin

secara sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun

pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke

bagian distal dapat mencegah terbentuknya trombus.

Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme

trauma. Reparasi cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral

suture patch angioplasty, end-to-end anastomosis, interposition graft,

dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft berguna pada pasien

dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.

Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau

tegangan pada anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri

lebih dari 1.5 cm.. Pada umumnya graft vena autogen lebih disenangi

untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena pertama kali

dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.

Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan

rutin bahan prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman

membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap infeksi daripada

bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi

ketika digunakan pada posisi di atas lutut.

Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat

dilakukan rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan

sistem arteri. Sebaiknya dilakukan penyambungan vena lebih dahulu

setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi terutama pada vena utama,

sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat menolong

untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi

pada penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan

tulang yang hebat serta membantu memperbaiki aliran arteri.

Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka

sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan

fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan

otot yang rusak kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan

trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia dapat

menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima), bila

sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan

iskemia otot menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.

Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang,

dianjurkan batasan waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam

dilakukan perbaikan arteri terlebih dahulu. Untuk menangani fraktur ini

terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama pada fraktur

ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai

kerusakan jaringan lunak.

Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada

trauma ekstremitas pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak

remuk, perbaikan vaskular yang terhambat dan fraktur tibia yang

segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi kerusakan

jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan

penderita akan kehilangan tungkai walaupun pembuluh darahnya

berfungsi dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah proksimal dan

perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat ditangani, maka hasilnya

akan jauh lebih memuaskan.

Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya

kegagalan graft (35%), dan kegagalan graft menyebabkan harus

dilakukannya amputasi. Faktor resiko independen yang menyebabkan

harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri adalah oklusi

bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi

arteri.

Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk

menurunkan angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita

lakukan adalah:

a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan

b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik

mungkin

c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal

d. Pemakaian heparin yang sepantasnya

e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.

E. Komplikasi

Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan

perbaikan lesi pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa

tindakan yang adekuat. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain

thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma palsu.

Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi

segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu

merupakan komplikasi lama.

Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-

sungguh dan teliti sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi

karena ceroboh atau penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah,

akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi,

atau terjadi emboli paru.

1. Trombosis

Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah

komplikasi yang paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi

segera dapat memberikan hasil yang memuaskan. Bila debridemen

arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang akurat pada

waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi

trombosis segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki

kesinambungan pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh

lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis

ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas. Beberapa kesalahan

teknis yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis:

a. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan

sisa-sisa dinding arteri, dimana platelet dan trombin dapat

lengket dan menyebabkan trombosis.

b. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif

sangat besar artinya dalam kasus ini untuk melihat daerah

anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus balik saja tidak

cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular

sebelah distal, karena aliran darah balik dapat pula terjadi

melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering dianjurkan untuk

membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.

c. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis

pada anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan

heparin dengan perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk

membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa

bekuan darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk

membilas ke arah distal agar arus balik mengalir dengan lebih

lancar. Untuk meyakinkan tidak ada thrombus yang tertinggal

dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon Fogarthy

sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong

trombus keluar. Bila persediaan ada, maka dianjurkan memakai

larutan trobolitik untuk menghancurkan thrombus yang masih

tersisa.

d. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh

tarikan yang berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan

terjadi pada jahitan bila dinding pembuluh arteri tidak cukup

untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi bila

pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis

ujung ke ujung tetap dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2

cm sudah cukup untuk melakukan graft dengan interposisi vena

autogen. Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang

memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan

(kinking) yang dapat mengganggu aliran darah laminar.

e. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi

trombosis. Graft sintesis biasanya sudah mempunyai garis

hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai pegangan agar

jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis

ini dapat dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur

sepanjang graft itu dilapiskan adventisia.

Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu

berhasil atau tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah

distal. Namun kita harus waspada, karena pulsasi sebelah distal ini

belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu panjang. Apabila

pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera

melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan thrombosis,

terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila

tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka

sebaiknya dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai

keadaan umum mengizinkan karenatindakan operatif yang berulang

kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila

cukup waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan

Doppler (Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong menentukan

ada tidaknya aliran kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari

sumbatan.

Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada

kemungkinan adanya trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic

blocks serig menambah keragu-raguan dalam menangani kasus trauma

vaskular. Hematoma di bawah lapisan intima atau robekan pada

intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tetapi

memang spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma vaskular,

yang biasanya dapat diatasi dengan pemberian Papaverin hydroclorida

atau procain hydrochloride 1%.

Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6

jam akan menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti

oleh jaringan ikat, sehingga terjadi kontraktur, misalnya Volkmann

ischemic contracture.

2. Infeksi

Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada

rekonstruksi trauma vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang

hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk membantu pencegahan terhadap

infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat ditegakkan, pemberian

antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat, kesinambungan

pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian

nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan

observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan

dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat

mungkin dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan

antibiotik.

Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi.

Tidak saja karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan

kegagalan langsung, tetapi juga berbahaya untuk kelangsungan hidup

pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi. Yang harus

dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari

daerah infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah

infeksi ini adalah debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah

infeksi dengan larutan antibiotic secara teratur dan terus-menerus serta

pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi adalah penyebab kedua dari

kegagalan rekonstruksi arteri pada trauma vaskular.

3. Stenosis

Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):

a. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.

b. Hiperplasia lapisan intima terjadi dijahitan anastomosis setelah beberapa minggu atau bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.

4. Fistula arteri vena

Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu

kelainan bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan

oleh cedera luka tembus yang mengenai arteri dan vena yang

berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir dari arteri ke vena.

Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan

arteri yang kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.

Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri

akan mengalir melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya

diteruskan ke jantung. Ini menyebabkan menurunnya resistensi

pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan menurun dan denyut

jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik,

sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang setelah

beberapa waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta

arteri dan vena yang terlibat juga akan melebar menyebabkan volume

darah yang melalui pintasan ini akan bertambah besar. Pembuluh vena

melebar demikian rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini bila

berlangsung lama dapat menyebabkan payah jantung karena curahnya

yang bertambah.

Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan.

Riwayat trauma tajam, adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada

perabaan dan pada auskultasi terdengar bissng seperti bunyi mesin,

semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh arteri

dengan pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal

dari fistula adalah klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena

yang berkelok-kelok dan disertai warna kulit yang agak kebiruan.

Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk

penentuan lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat

untuk melakukan tindakan operasi adalah segera setelah diagnostik

ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah vaskular juga berlaku di sini,

yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada proksimal dan

distal dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum fistulnya dieksisi. Bila

mungkin pembuluh arterinya direkonstruksidengan jahitan langsung

atau graft dengan vena autogen, sedangkan lesi pembuluh darah vena

biasanya dapat dijahit lateral langsung. Kelainan struktur dan

hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri dan vena traumatic

biasanya pasca operasi menjadi normal kembali.

5. Aneurisma palsu

Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga

lapisan dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial).

Kadang-kadang disebabkan oleh kesalahan pada prosedur diagnostik

atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang disebabkan oleh jarum

atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus

pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun

jarang trauma tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma

palsu.

Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara

anatomik mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang

dapat mengadakan tamponade terhadap hematoma. Kemudian dengan

tumbuhnya lapisan endotel baru yang berasal dari pinggir luka lesi

vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu.

Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari

aneurisma palsu. Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak

begitu tegas karena benjolan ini terletak di bawah jaringa fasia yang

kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada seluruh benjolan ini,

kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi

bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan angiografi

diperlukan bila ragu atau bila letak lesinya sukar dicapai pada

pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat pula menolong

untuk menentukan besar serta letak aneurisma palsu ini.

Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan

distal dari lesi ini, maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan

leluasa. Kadang hanya diperlukan beberapa jahitan lateral untuk

menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan secara spontan

sangat kecil.

6. Sindrom kompartemen

Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal

pada kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah

dan syaraf tepi. Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan

akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot. Sindrom

kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia,

pallor, dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:

a. Kerusakan jaringan akibat hipoksia

Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan

intramuskuler (IM) dan kolaps aliran darah lokal sering terjadi

pada cedera dengan hematoma otot, cedera remuk (crushed

injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah

sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat

menyebabkan hipoperfusi lokal. Pada pasien normotermik,

shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan sistolik sekitar

80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada

tekanan darah lebih tinggi.

b. Kerusakan akibat reperfusi

Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah)

berlangsung lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan

kerusakan pembuluh darah yang ekstensif. Pada kasus-kasus

ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan akibat

reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena

itu dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen

di lengan atas.

DAFTAR PUSTAKA

Azer, Samy A., Intestinal Perforation – emedicine available

from, http://www.emedicine.com/med/topic2822.htm

Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis.Diakses pada 6 Juni

2012. http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#aw2aab6b

2b4aa Cole et al. 1970.

Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp, Hal

784-795 Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical

Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is

not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra

Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63

Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1,

McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917

Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric Perforation in

Neonatal Period, available

from http://www.medicaljournal-ias.org/14_2/Gharehbaghy.pdf

Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4

Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense

Mechanisms. Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36 Iwagaki,

H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious

Complications. Res CommunMol Pathol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1):

25-34

Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,

Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas

Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000

Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.

Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37 Schwartz et al. 1989. Priciple of

Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467

Medcyclopaedia – Gastric rupture, available

from http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/g/gastri

c_rupture

Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan

Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004.

Hal.541-59. 

Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early radiological

diagnostics of gastrointestinal perforation, available

from http://www.onko-i.si/uploads/articles/Radiology_40_2_2.pdf