peritonitis bakterial spontan

22
A. PENGERTIAN PERITONITIS BAKTERIALIS SPONTAN Peritonitis Bakterialis Spontan (PBS) adalah infeksi bakteri pada cairan asites tanpa adanya sebuah bukti sumber infeksi intra-abdomen, ditemukan sebagai suatu komplikasi dari sirosis hepatis. 1 PBS kadang-kadang disebut sebagai "peritonitis bakteri primer". PBS dapat terjadi pada semua usia dan sirosis adalah kondisi predisposisi yang paling sering terjadi. B. ETIOLOGI Infeksi bakteri dari cairan asites dapat diklasifikasikan dalam tabel di bawah: 1

Upload: cempaka-irawati

Post on 06-Jul-2016

272 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

tatalaksana peritonitis bakterial spontan

TRANSCRIPT

Page 1: peritonitis bakterial spontan

A. PENGERTIAN PERITONITIS BAKTERIALIS SPONTAN

Peritonitis Bakterialis Spontan (PBS) adalah infeksi bakteri pada cairan asites tanpa

adanya sebuah bukti sumber infeksi intra-abdomen, ditemukan sebagai suatu komplikasi

dari sirosis hepatis.1

PBS kadang-kadang disebut sebagai "peritonitis bakteri primer". PBS dapat terjadi

pada semua usia dan sirosis adalah kondisi predisposisi yang paling sering terjadi.

B. ETIOLOGI

Infeksi bakteri dari cairan asites dapat diklasifikasikan dalam tabel di bawah:

Tabel 1. Klasifikasi infeksi cairan asites.

Penyebab lain neutrositik ascites yang harus ikut dipertimbangkan:

a. deposito tumor peritoneal

b. pankreatitis

c. TB

1

Page 2: peritonitis bakterial spontan

d. penyakit jaringan ikat

e. perdarahan dalam cairan asites.

Mikroorganisme yang diisolasi dari pasien dengan PBS yang paling umum adalah

anggota flora mikroba normal saluran pencernaan termasuk Escherichia coli (70%), spesies

Klebsiella (10%), spesies Proteus (4%), Enterococcus faecalis (4%), Pseudomonas spesies

(2%) dan lainnya (6%). Streptokokus ẞ-hemoliticus dan Streptococcus pneumoniae juga

merupakan penyebab penting dalam sejumlah kecil pasien.2

Hasil kultur dari semua sampel cairan ascites yang ditumbuhi organisme tunggal di

Leeds selama 3 tahun (2006-2008) ditunjukkan pada Gambar 1. Data mentah disajikan tanpa

penilaian signifikansi klinis, jumlah besar kultur koagulase stafilokokus negatif (CNS)

menunjukkan sampel dengan kontaminasi tingkat tinggi dengan flora kulit.2

Gambar 1. Hasil kultur cairan asites yang ditumbuhi organisme tunggal dari

sampel yang dikirim Januari 2006-Desember 2008. 1875 sampel dikirim. CNS =

koagulase staphylococcus negatif.

2

Page 3: peritonitis bakterial spontan

C. INSIDENSI

Insiden yang dilaporkan pada pasien dengan asites bervariasi 7-30% per tahun .3

Pasien dengan sirosis juga dapat mengembangkan infeksi spontan serupa dari cairan pleura.2

PBS terjadi terutama pada pasien dengan asites dengan sirosis. Hal ini jarang terjadi pada

mereka dengan penyakit liver sub-akut misalnya hepatitis alkoholik.

Peritonitis Bakteri Spontan (PBS) terjadi pada 30% pasien dengan sirosis dan

diperkirakan angka mortalitas mencapai 90%, namun bila dilakukan diagnosis dan terapi

secara dini, maka angka tersebut akan turun mencapai 20%. Prevalensi PBS pada pasien

sirosis rawat jalan adalah 1,5-3,5% dan pada pasien rawat inap adalah sekitar 10%, bahkan

pada penderita sirosis dengan infeksi hepatitis B atau C prevalensi SBP mencapai 31%.

Pada sebagian besar kasus, PBS merupakan hasil dari translokasi bakteri dari lumen usus.

Sebuah penelitian mengatakan PBS juga bisa berasal dari infeksi yang lain, salah satunya

adalah infeksi saluran kemih, tetapi sangat jarang terjadi dan hal ini masih membutuhkan

penelitian. Sebagian besar kasus PBS disebabkan oleh kuman enterik gram negatif, seperti

Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae. Faktor risiko untuk perkembangan PBS

termasuk total protein cairan asites < 1 g / dL, perdarahan gastrointestinal, dan riwayat PBS.4

Faktor risiko PBS meliputi:

a. episode PBS sebelumnya - (dua pertiganya mengalami kekambuhan dalam satu tahun)

b. perdarahan GI (perdarahan varises)

c. total protein ascites <1,0 g / dl

d. skor Child-Pugh.2

20% pasien dengan sirosis yang mengalami perdarahan varises juga terjadi

perkembangan PBS pada saat masuk dan 50% dari ini berkembang dengan PBS selama

penerimaan. Infeksi yang berhubungan dengan tingkat perdarahan ulang yang lebih tinggi

dan mortalitas yang lebih tinggi.5,6,7

3

Page 4: peritonitis bakterial spontan

B. PATOFISIOLOGI

Pertumbuhan bakteri pada cairan asites adalah penyebab umum dari infeksi cairan

asites. Namun rute masuk bakteri masih kontroversial. Dua teori langkah awal dalam

patogenesis yang diusulkan, yang pertama adalah:

a. Translokasi.

Pathogenesis PBS pada pasien sirosis disebabkan terutama oleh translokasi bakteri.

Translokasi bakteri merupakan proses perpindahan produk bakteri (DNA bakteri atau

endotoksin) melewati lumen intestinal menuju kelenjar getah bening mesenterika atau

ekstraintestinal. Translokasi bakteri menyebabkan gangguan keseimbangan antara flora

normal di usus dengan organisme lain yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan

berakhir dengan infeksi. 8,9

Mekanisme translokasi bakteri pada sirosis:

1. Pertumbuhan bakteri usus yang berlebihan

Faktor predisposisi utama mungkin pertumbuhan berlebih bakteri usus yang

ditemukan pada orang dengan sirosis, terutama dikaitkan dengan waktu transit usus

tertunda. Pertumbuhan bakteri usus yang berlebihan, gangguan fungsi fagositosis, dan

penurunan aktivitas sistem retikuloendotelial memberikan kontribusi terhadap

peningkatan jumlah mikroorganisme dan penurunan kemampuan untuk membersihkan

mereka dari aliran darah, sehingga terjadi migrasi dan proliferasi ke dalam cairan

ascites.

2. Sistem pertahanan pada mukosa intestinal

Pada pasien sirosis permeabilitas usus meningkat dengan hipertensi portal dan

edema saluran cerna sehingga translokasi lebih mudah ke vena porta atau ke limfatik.

Organisme dapat mencapai sirkulasis sistemik dari nodus limfe mesenteric sehingga

menyebabkan bakteremia.

4

Page 5: peritonitis bakterial spontan

3. Penurunan fungsi imun lokal

Pada pasien sirosis terdapat defisiensi pada system retikoendotel yang dapat

menyebabkan bakteri tidak dapat dibersihkan dari system sirkulasi, sehingga akhirnya

terjadi kolonisasi pada cairan asites. Aktivitas antimikroba endogen berkurang atau

bahkan tidak ada pada pasien dengan asites protein rendah, dan jika sistem imun gagal

menghancurkan bakteri, bakterasites (kultur dari cairan asites positif tapi jumlah PMN

<250sel/mm3) bisa berkembang menjadi PBS (kultur positif dan PMN ≥250sel/mm3).10

b. Hematogen.

50% dari episode PBS disertai dengan bakteremia. Organisme yang identik dengan

kultur dari cairan asites dan kadang-kadang dapat diisolasi dari urin atau sputum. Hal ini

menunjukkan pertumbuhan bakteri secara hematogen dari cairan asites mungkin menjadi

langkah kunci awal dalam patogenesis.11

C. GEJALA KLINIS

Pada PBS terdapat gejala dan tanda dengan jangkauan yang luas, diperlukan

pengawasan yang ketat pada pasien dengan asites, terutama dengan perburukan klinis akut.

30% pasien dilaporkan tidak mengalami gejala.12

Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi

takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan

nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium.

Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau

mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes

psoas, atau tes lainnya.12

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda

rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans

muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik

usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.

5

Page 6: peritonitis bakterial spontan

Tanda dan gejala lain yang mungkin ditemukan :

a) Ensefalopati

b) Diare

c) Asites yang tidak membaik dengan diuretic

d) Gagal ginjal yang makin memburuk atau onset yang baru

D. INDIKASI UNTUK PENGUJIAN

Pada pasien dengan asites, adanya demam onset baru (suhu > 37,8 °C atau 100 °F),

nyeri perut, ensefalopati, asidosis metabolik, gagal ginjal, hipotensi, diare, ileus paralitik,

hipotermia, leukositosis, atau tanda dan gejala infeksi lainnya harus segera dilakukan

parasentesis diagnostik untuk analisis cairan asites dan kultur.4

Sekitar 13% pasien dengan PBS dapat ditemukan tanpa gejala apapun. Karena PBS

begitu sering terdapat pada setiap pasien sirosis, paracentesis diagnostik direkomendasikan

secara rutin untuk pasien ini pada saat masuk. Tidak perlu transfusi plasma atau trombosit

sebelum ke parasentesis diagnostik, mengingat resiko komplikasi hemoragik yang sangat

rendah, kecuali pada DIC atau fibrinolisis dengan klinis yang jelas.4

E. KRITERIA DIAGNOSTIK

a. Anamnesis

Manifestasi klinis dari PBS (Peritonitis Bakteri Spontan) tidak spesifik. Gejala

dan tanda yang paling sering dijumpai adalah demam (69%), nyeri perut (59%), tanda-

tanda ensefalopati hepatik, nyeri perut (sangat jarang), diare, ileus, syok dan hipotermia.

Sekitar 10% dari pasien dengan PBS tidak menunjukkan gejala.13,14,15

b. Pemeriksaan fisik

Pasien dengan asites dan PBS tidak memiliki perut yang kaku (rigid) karena

cairan asites dalam jumlah besar yang mencegah kontak antara membran peritoneum

6

Page 7: peritonitis bakterial spontan

(visceral dan parietal). Tanda yang sering didapat pada pasien PBS adalah pireksia,

linglung, ileus dan gejala sistemik lain atau sepsis berat.12

Banyaknya gambaran dari kegagalan fungsi hati menyebabkan diagnosis sepsis

menjadi sulit, sebagai contoh, pengurangan jumlah neutrophil perifer yang disebabkan

oleh pembesaran lien, peningkatan detak jantung, dan hipotensi relative karena sirkulasi

hiperdinamik dan hiperventilasi basal karena ensefalopati.3

PBS mungkin dapat dicurigai dari temuan klinis, akan tetapi untuk penegakan

diagnosis harus dikonfirmasi dan diklasifikasi dengan temuan laborat.

c. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis PBS ditegakkan dengan analisis cairan asites yang didapatkan dari

parasentesis. Indikasi utama untuk parasentesis pada pasien dengan sirosis hati, meliputi:

pemburukan klinis yang tidak jelas, timbulnya komplikasi (ensefalopati hepatik dan

perdarahan gastrointestinal), onset baru asites dan pada setiap pasien rawat inap di rumah

sakit. Parasentesis harus dihindari hanya dalam kasus dugaan fibrinolisis atau DIC.

Meskipun pasien dengan sirosis memiliki gangguan koagulasi, parasentesis

dikaitkan dengan risiko komplikasi yang sangat rendah: hematoma dinding abdomen

(1%), hemoperitoneum (0,1%) dan infeksi iatrogenik (0,1%).

Diagnosis konfirmasi peritonitis bakteri spontan membutuhkan cairan asites

dengan peningkatan jumlah mutlak leukosit polimorfonuklear (PMN) dengan jumlah

7

Tabel 2. Gejala dan tanda dari PBS menurut Sleisenger dan Fordtran ‘ Gastrointestinal & Liver Disease, 7th Ed, Elsevier.

Page 8: peritonitis bakterial spontan

minimal 250 sel/mm3 (0,25 x 109 / L) dan kultur bakteri cairan asites positif cairan tanpa

sumber infeksi intra-abdominal yang jelas. Tes diagnostik cairan asites harus dilakukan

sebelum pengobatan dimulai, bahkan dosis tunggal antibiotik spektrum luas dapat

menyebabkan tidak ada pertumbuhan pada kultur bakteri pada 86% kasus. Sekitar 1 mL

cairan asites harus disuntikkan ke dalam "purple-top" tabung EDTA untuk hitung jumlah

sel dan analisis diferensial. Dalam kasus parasentesis traumatis, dengan masuknya darah

ke dalam cairan asites (biasanya sel darah merah pada asites > 10.000 sel/mm3) jumlah

PMN harus dikoreksi dengan mengurangkan satu PMN untuk setiap 250 sel darah

merah/mm3 dari jumlah PMN mutlak.4

a. Kultur bakteri:

Sebelum pemberian antibiotik, cairan asites (setidaknya 10 mL) harus

diinokulasi langsung ke dalam botol kultur darah di samping tempat tidur, daripada

mengirim cairan ke laboratorium dalam jarum suntik atau wadah, karena inokulasi

langsung meningkatkan hasil pada kultur bakteri dari sekitar 65% sampai 90%, pada

jumlah hitung sel pada cairan asites setidaknya 250 sel/mm3 (0,25 x 109 / L). Kultur

darah terpisah dan simultan juga harus diperoleh, karena hingga 50% dari pasien dengan

PBS mengalami konkomitan bakteremia.4

b. Tes Diagnostik lainnya pada cairan asites:

Untuk paracentesis diagnostik awal, tes lainnya harus dilakukan sebagai klinis

memungkinkan pada cairan asites yang tersisa. Tes ini dapat dikirimkan kepada

laboratorium menggunakan tabung "red-top" dan mungkin termasuk albumin, protein

total, glukosa, laktat dehidrogenase, amilase, dan bilirubin. Gradien serum asites

(SAAG) dari 1,1 g/dL atau lebih adalah konsisten dengan hipertensi portal. Tingkat

protein total kurang dari 1,0 g/dL berhubungan dengan peningkatan risiko peritonitis

bakteri spontan. Total protein tinggi, konsentrasi glukosa yang rendah, dan peningkatan

laktat dehidrogenase terlihat pada peritonitis bakteri sekunder. Peningkatan amilase

asites dapat dilihat pada pankreatitis dan perforasi usus. Kebocoran empedu ke

peritoneum dapat dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi bilirubin pada cairan asites.

Pada pasien dengan parasentesis sebelumnya, terutama parasentesis baru-baru ini,

sebagian besar tes diagnostik tambahan ini tidak perlu diulang.4

8

Page 9: peritonitis bakterial spontan

Dari cairan asites serangkaian tes dapat dilakukan, seperti: tes rutin - wajib

bahkan dalam kasus terapeutik parasentesis (hitung leukosit dengan rumus, kadar

serum dan tingkat albumin pada cairan asites, kultur darah, tes opsional (jumlah total

protein, kadar glukosa, LDH dan tingkat amilase, pewarnaan Gram) dan tes khusus

(Ziehl-Nielsendan kultur medium Lowenstein, sitologi, konsentrasi bilirubin dan

trigliserida). Suspek PBS bila jumlah PMN dalam cairan asites adalah lebih dari

250/mm3.4

Setelah parasentesis, cairan asites harus diinokulasi segera (di samping tempat

tidur pasien) ke dalam tabung kultur darah (10ml di setiap tabung).Dengan

menggunakan resipien tersebut bisa meningkatkan tingkat diagnosis asites dengan

neutrofil hingga 50-80%.4

Penilaian kuantitas albumin dalam cairan asites berguna untuk menghitung

serum albumin/ gradien asites, sebuah gradien > 1,1 g/dl menjadi karakteristik adanya

hipertensi portal.

Jika aspek klinis cenderung mengarah pada PBS, kultur dari cairan asites yang

monomicrobial dan respon klinis terhadap pengobatan yang segera, maka parasentesis

kedua tidak dibutuhkan. Jika terdapat unsur-unsur yang mendukung ke arah peritonitis

sekunder atau cairan asites memiliki karakteristik bakteri asites yang non netrositik

monomicrobial , parasentesis harus diulang setelah 48 jam.

Karena hampir setengah kasus PBS berhubungan dengan bakteremia dan infeksi

bakteri pada pasien sirosis dapat menyebabkan manifestasi yang mirip dengan PBS,

kultur darah dan urin dari pasien ini diperlukan.7,14

Foto rontgen dada dapat menunjukkan hidrotoraks dengan tepat. Jika dicurigai

infeksi (dan diagnosis PBS telah dikesampingkan), thoracentesis diperlukan untuk

menegakkan diagnosis karena empiema bakteri spontan dapat terjadi bahkan tanpa

asites atau PBS. Dari cairan pleura, tes umum (beberapa seperti untuk cairan asites) dan

inokulasi kultur darah dapat dilakukan.16

9

Page 10: peritonitis bakterial spontan

Gambar 1. Indikasi untuk melakukan parasentesis diagnostik

Gambar 2. Pendekatan ke Diagnosis dan Pengobatan Spontan bakteri Peritonitis 17

Algoritma ini memberikan pendekatan umum untuk diagnosis dan manajemen pasien

dengan kemungkinan peritonitis bakteri spontan. Dokter harus menduga bakteri sekunder

peritonitis dengan salah satu dari berikut: pasien memiliki respon yang tidak adekuat

terhadap antibiotik, lebih dari satu organisme isolasi dari hasil kultur, atau setidaknya dua

10

Page 11: peritonitis bakterial spontan

dari penilaian cairan asites berikut ditemukan (protein lebih > 1 g/dL, LDH lebih besar dari

tingkat serum ULN, dan glukosa < 50 mg/dL). Jika diduga peritonitis bakteri sekunder,

pencitraan yang tepat harus dilakukan, cakupan antibiotik diperluas untuk mencakup

anaerob, dan laparotomi perlu dipertimbangkan.

Pada banyak kasus PBS, parasentesis diagnostik sering tidak dapat dilakukan

sehingga pasien diterapi dengan antibiotik empiris tanpa pemeriksaan cairan peritoneum.

F. PENATALAKSANAAN

Tata laksana non-operatif merupakan terapi utama pada PBS, terdiri atas pemberian

antibiotik dan terapi suportif. Antibiotik spektrum luas digunakan pada terapi awal

kemudian disesuaikan menjadi spektrum yang lebih sempit berdasarkan hasil biakan. Terapi

antibiotik awal merupakan terapi empiris berdasarkan organisme yang sering menyebabkan

PBS. Terapi empiris yang biasa diberikan adalah kombinasi golongan penisilin dan

aminoglikosida intravena selama 2 minggu, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan

uji resistensi Amoksisilin diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dan

golongan aminoglikosida, antara lain amikasin dengan dosis 15 mg/kgBB/hari atau

gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Bila dicurigai terdapat infeksi

pneumococcusyang resisten, dapat diberikan penisilin dosis tinggi. Dapat juga diberikan

antibiotik golongan sefalosporin, seperti sefotaksim dengan dosis 75-100 mg/kgbb/hari,

seftriakson 75-100 mg/kgBB/hari, atau seftazidim 50-100 mg/kgBB/hari Antibiotik

golongan vankomisin (30-40 mg/kgBB/hari), kloramfenikol (75-100 mg/kgBB/hari), dan

imipenem (50 mg/kgBB/hari) efektif digunakan untuk infeksi oleh Streptococcus

pneumoniae resisten penisilin.6,16

Beberapa kepustakaan melaporkan kejadian infeksi pneumococcus resisten penisilin

pada kasus PBS, bahkan angka kejadiannya meningkat di beberapa daerah. Peningkatan

frekuensi infeksi pneumokokus resisten penisilin ini mempengaruhi dosis terapi. Pada tahun

1996, di Amerika Serikat dilaporkan kasus peritonitis oleh kuman pneumokokus resisten

penisilin. Berdasarkan kasus tersebut direkomendasikan penggunaan penisilin dan

sefalosporin dosis tinggi untuk infeksi selain meningitis pada Streptococcus pneumonia yang

intermediet berdasarkan hasil biakan.6

11

Page 12: peritonitis bakterial spontan

Perlu diwaspadai penggunaan antibiotik spektrum luas dapat meningkatkan angka

resistensi dan mendorong pertumbuhan jamur serta organisme patogen lain yang akan

memperparah keadaan pasien.

Rekomendasi terakhir berdasarkan epidemiologi local dan pola resistensi digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 3. Menggambarkan persentase resistensi bakteri gram negative terhadap antibiotic.

Amo, amoxicillin; CIP, ciprofloxacin; CXM, cefuroxime; COT, cotrimoxazole; PTA,

piperacillin/tazobactam; GEN, gentamisin.

Piperacillin/tazobactam dipilih untuk mendapatkan antibiotic yang sesuai (termasuk

enterococci, streptococci, dan gram negative yang resisten termasuk spesies pseudomonas) dan untuk

menghindari penggunaan sefalosporin, quinolone dan gentamisin. Kombinasi vankomisisn dan

aztreonam juga menghasilkan efek yang hamper sama. Tigecycline memiliki aktifitas yang sesuai

(melawan staphylococcus aureus, enterococci dan beberapa gram negative tetapi tidak melawan

pseudomonas). Tigecycline digunakan pada infeksi intraabdominal tetapi penggunaan pada PBS

masih sedikit.

Apabila hasil kultur cairan asites positif maka antibiotic harus diganti sesuai dengan hasil

kultur untuk meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping. Terapi oral dapat diberikan

12

Page 13: peritonitis bakterial spontan

pada awal terapi pada pasien tanpa inflamasi sistemik atau gagal ginjal. Pada pemberian

ciprofloxacin/ofloxacin oral, co-amoxiclav, dan sefalosporin generasi ke-3 tidaka ada perbedaan

signifikan, seperti jumlah kematian, efektifitas dan hasil jika dibandingkan dengan terapi iv.

Pemberian terapi oral bisa dipertimbangkan pada pasien dengan kondisi baik, tidak demam dan tidak

ada tanda-tanda inflamasi sistemik.

Pada banyak penelitian lama terapi diberikan berdasarkan pada gejala dan tanda. Sebuah

penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kematian atau perbaikan pasien PBS pada pemberian

cefotaxime iv selama 5 atau 10 hari. Untuk mengurangi efek samping obat dan resistensi terhadapa

antibiotic, pemberian antibiotic selama 5 hari bisa dijadikan standar, perpanjangan dapat dilakukan

hingga 10 hari jika didapatkan respon yang lambat.16

Perlu diperhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit serta kalori karena pasien sering

mual muntah dan demam tinggi yang menyebabkan asupan cairan dan kalori berkurang dan

pengeluaran cairan dan elektrolit meningkat. Selain itu, perlu diperhatikan terapi suportif

lainnya. Jika perlu, dapat diberikan terapi simtomatik.6

Penggunaan albumin mengurangi angka kematian pada PBS dari 29% menjadi 10%.

Pada penelitiannya tidak digunakan control plasma expander. Albumin memiliki peran

dalam penyebaran cairan: dia mungkin mengikat endotoksin, meningkatkan opsonisasi

dengan cairan asites, dan menstabilkan pembuluh darah endotel. Jika pasien mengalami

hipovolemik pertimbangkan pemberian 1.5 mg/kgBB albumin pada 6 jam pemberian

pertama antibiotik. Dosis pengulangan dapat diberikan 1mg/kgBB pada hari ke-3.16

Pemberian obat spasmolitik tidak dianjurkan dan malah dapat merupakan

kontraindikasi Pada sindrom nefrotik dengan keadaan infeksi berat seperti PBS, pemberian

steroid atau prednison perlu dihentikan sementara atau dosisnya dikurangi atau di-taper-off,

dan dilanjutkan lagi setelah infeksi teratasi.6

13

Page 14: peritonitis bakterial spontan

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. Kamus Kedokteran Dorland. EG. Jakarta. 2007

2. Arroyo V et al. Spontaneous Bacterial Peritonitis, Eds. O’Grady and Lake’s

comprehensive clinical hepatology, 1st Ed. Barcelona: Mosby, 2000:7.10-7.14.

3. Wong F et al. Sepsis in cirrhosis: report on the 7th meeting of the International Ascites

Club. Gut 2005; 54:718-25.

4. Recognition and Management of Spontaneous Bacterial Peritonitis. Hepatitis C-online.

[Diakses pada 6 September 2015]

5. Garcia-Tsao G. Spontaneous bacterial peritonitis. Gastroenterol Clin N Am 1992; 21:257-

75.

6. Garcia-Tsao G. Current management of the complications of cirrhosis and portal

hypertension: variceal haemorrhage, ascites and spontaneous bacterial peritonitis.

Gastroenterology 2001; 120:726-48.

7. Garcia-Tsao G. Spontaneous Bacterial Peritonitis: a historical perspective. J Hepatol 2004; 41: 522-

7.

8. Caruntu F, Benea L. Spontaneous Bacterial Peritonitis: Pathogenesis, Diagnosis,

Treatment.

9. Frances R et al. Bacterial DNA activates cell mediated immune response and nitric oxide

overproduction in peritoneal macrophages from patients with cirrhosis and ascites. Gut

2004; 53:860-4.

10. 10.Cirera I et al. Bacterial translocation of enteric organisms in patients with cirrhosis. J

Hepatol 2001; 34:32-7.

11. Friedman LS, Keeffe EB. Handbook of Liver Disease. 2nd Ed. Elsevier Inc 2004.

12. Sleisenger’s & Fordtran’s Gastrointestinal & Liver Disease, 7th Ed, Elsevier Inc.

13. Levison ME, Bush LM. Peritonitis and intraperitoneal abcesses. In Mandell GL, Bennett

JE, Dolin R. Principles and Practice of Infectious Diseases. 6th Edition, Elsevier, Churchill

Livingstone, Philadelphia, 2005, Vol 1, 927- 951

14. Such J, Runyon BA. Spontaneous bacterial peritonitis. Clin Infect Dis 1998; 27: 669-674

15. Parsi MA, Atreja A, Zein NN. Spontaneous bacterial peritonitis: recent data on incidence

and treatment. Cleve Clin J Med 2004;71: 569-565

14

Page 15: peritonitis bakterial spontan

16. Rimoli A, Garcia-Tsao G, Navasa M et al. Diagnosis, treatment and prophylaxis of

spontaneous bacterial peritonitis: a consensus document. J Hepatol 2000; 32: 142- 153

17. Runyon BA. Pengelolaan pasien dewasa dengan asites karena sirosis: An update:

Hepatologi. 2009; 49: 2087-107

15