peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi indonesia pasca pengakuan kedaulatan
TRANSCRIPT
BAB III
PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA PASCA
PENGAKUAN KEDAULATAN
PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK INDONESIA PASCA PENGAKUAN
KEDAULATAN
Karena didesak Dewan Keamanan PBB, Belanda bersedia mengadakan
perundingan Renvile dengan Indonesia dan dilanjutkan dengan perundingan KMB di Den
Haag Belanda 1949 berhasil mengakhiri pertikaian Indonesia-Belanda dengan pengakuan
kedaulatan kepada Indonesia. Pada 2 November 1949 di Den Haag terbentuklah negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian dan sebagai presidennya
adalah Soekarno dan Moh. Hatta diangkat sebagai Perdama Menteri.
Proses Kembalinya Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan
Secara resmi Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 dengan
bentuk negara RIS. Ternyata sebagian besar rakyat Indonesiatidak menyukai bentuk negara
RIS dan menghendaki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
a. Terbentuknya Negara Federasi RIS
14 Desember 1949 wakil-wakil pemerintah RI dan negara-negara
bagian melakukan pertemuan musyawarah federal di Jalan Pegangsaan Timur 56
Jakarta. Pertemuan tersebut berhasil menyetujui Undang-undang Dasar RIS.
Berdasarkan UUD RIS negara federasi RIS terdiri atas tujuh negara bagian (RI,
NIT, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra
Timur-NST, Negara Sumatra Selatan), sembilan satuan kenegaraan (Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka,
Biliton-Belitung, Riau Kepulauan, Jawa Tengah) dan tiga daerah swapraja
(Waringin, Sabang, Padang). Selengkapnya negara-negara tersebut adalah sebagai
berikut:
- Republik Indonesia
RI berdiri 17 Agustus 1945, sebagai presiden dan wakil presidennya adalah
Soekarno dan Moh. Hatta. Pusat pemerintahan semula di Jakarta, tapi karena
ada kekacauan yang ditimbulkan oleh Sekutu dan NICA, maka dipindah
ke Yogyakarta. Dalam perjanjian Linggarjati secara de facto RI hanya terdiri
dari Sumatra, Jawa dan Madura, bahkan semakin mengecil setelah perjanjian
Renvile. Bahkan setelah KMB RI hanya merupakan salah satu negara bagian
dari RIS yang kepemimpinannya dijabat oleh Mr. Asaat (mantan ketua KNIP).
- Negara Pasundan
Diproklamasikan oleh Soeria Kartalegawa (Ketua Partai Rakyat Pasundan)
pada 4 Mei 1947 di Bandung, namun baru resmi terbentuk pada 5 Maret 1948
dengan wali negaranya RAA. Wiranatakusumah.
- Negara Indonesia Timur (NIT)
NIT merupakan negara pertama yang dibentuk Van Mook dalam konferensi
Denpasar pada 18-24 Desember 1946, wilayah NIT meliputi Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi dan Maluku dengan presidennya adalah Cokorde Gde
Raka Sukawati.
- Negara Madura
Dibentuk 23 Januari 1948 atas prakarsa Van Der Plas (tokoh Belanda yang
pandai bahasa Madura dan ahli agama islam) sebagai wali negaranya adalah
RAA. Cakraningrat.
- Negara Sumatra Timur
Berdiri berdasarkan surat keputusan Van Mook pada 24 Maret 1948,
wilayahnya meliputi Medan, Asahan Selatan, Labuhan Batu dan sekitarnya
dengan wali negaranya adalah Dr. Tengku Mansyur.
- Negara Sumatra Selatan (NSS)
Oleh Van Mook disetujui pada 30 Agustus 1948 dengan negaranya adalah
Abdul Malik. Wilayah NSS meliputiPalembang dan sekitarnya
- Negara Jawa Timur
Melalui konferensi di Bondowoso (16 November 1948) Van Der Plas
mendirikan Negara Jawa Timur, tapi secara resmi berdiri 26 November 1948
dengan wilayah meliputi Surabaya, Malang, daerah sebelah timur sampai
Banyuwangi dengan wali negaranya adalah RTP. Achmad Kusumonegoro.
- Daerah Istimewa Kalimantan Barat (Borneo)
Berdiri pada 12 Mei 1947 dan disetujui oleh Van Mook, dengan kepala
daerahnya adalah Sultan Hamid Algadrie II.
- Federasi Kalimantan Timur
Berdiri sejak Februari 1948, Tenggarong termasuk didalamnya.
- Daerah Otonom Dayak Besar
Dibentuk pada Desember 1946 dan baru memiliki konstitusi sejak Desember
1948, wilayahnya adalah daerah Kalimantan Tengah sekarang.
- Daerah Otonom Banjar
Terlahir sejak Januari 1948 dan meliputi Kalimantan Selatan sekarang.
- Dewan Federal Borneo Tenggara (DFBT)
Disetujui oleh Van Mook pada 9 Mei 1947, wilayahnya meliputi Pulau Laut
dan Kalimantan Tenggara, Pegatan, Cantung Sampanahan.
- Daerah Otonom Bangka, Biliton (Belitung) dan Riau Kepulauan
Diciptakan oleh Van Mook pada bulan Januari 1947 dan pada bulan Juni 1948
ketiganya bergabung menjadi federasi.
- Daerah Otonom Jawa Tengah
Dibentuk pada bulan Maret 1949 sesudah agresi militer Belanda II. Wilayah
Jawa Tengah meliputi sebagian Banyumas, Pekalongan dan Semarang.
b. Munculnya Gerakan Separatis
Sebagian masyarakat tidak mendukung terbentuknya RIS (kelompok unitaris) dan
sebagian lagi mendukung terbentuknya negara federal (kelompok federalis).
Kelompok unitaris banyak terdapat di negara Pasundan dan negara Jawa Timur,
mereka menghendaki negara yang sesuai dengan UUD 1945 dan cita-cita
proklamasi 17 Agustus 1945. Kelompok federalis mulai melemah setelah
beberapa tokohnya berkhianat terhadap RIS yaitu Sultan Hamid II yang
bersekongkol dengan Raymond Westerling membantai rakyat di Sulawesi Selatan,
membunuh tentara republik di Bandung dan merencanakan pembunuhan terhadap
sejumlah petinggi RIS di Jakarta. Kelompok ini menamakan diri Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA) yang ingin tetap mempertahankan negara Pasundan.
Di Sulawesi Selatan kapten Andi Azis menyerang markas TNI di Makasar dan
sejak 5 April 1950 Andi Azis menyatakan mempertahankan NIT. Di Maluku
Selatan muncul gerakan separatis RMS di bawah pimpinan Dr. Soumokil pada 25
April 1950.
c. Perjuangan Kembali ke Negara Kesatuan
RI, BFO dan Belanda menyepakati terbentuknya RIS, negara RIS yang berbentuk
federasi ini pada hakikatnya tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi. Belanda
mendirikan RIS dengan maksud untuk mempermudah memecah belah
bangsaIndonesia. Belanda tetap berkeinginan bahwa pada suatu saat mereka akan
datang lagi untuk menguasai Indonesia. RakyatIndonesia menyadari bahwa RIS
adalah bentukan Belanda dan bukan keinginan rakyat negara-negara bagian
(apalagi tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak memiliki ideologi yang kuat, tidak
memiliki tentara, kekuasaan dll). Pada awal Februari 1950 rakyat Jawa Barat,
Jawa Timur dan negara-negara bagian lainnya menuntut pembubaran negara-
negara bagian. Menanggapi situasi politik tersebut pada 8 Maret 1950 pemerintah
RIS mengeluarkan UU darurat No.11 tahun 1950 tentang tata cara perubahan
susunan kenegaraan RIS. Hingga pada 5 April 1950 terdapat tiga negara bagian
yaitu RI, NST dan NIT, negara yang lainnya bergabung dengan RI di Yogyakarta.
19 Mei 1950 dilangsungkan perundingan antara pemerintah RIS (Moh. Hatta-
wakil dari NST dan NIT) dengan pemerintah RI yang diwakili oleh Abdul Halim.
Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan: RIS dan RI sepakat membentuk
negara kesatuan berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 dan RI dan RI akan
membentuk panitia bersama yang bertugas menyusun undang-undang dasar
negara kesatuan. Untuk menyusun konstitusi negara kesatuan yang baru maka
dibentuklah panitia gabungan RIS dan RI dengan ketua bersama, menteri
kehakiman Prof. Dr. Mr. Soepomo dan wakil perdana menteri RI Abdul Halim.
Pada 14 Agustus 1950 parlemen RI dan senat RIS mengesahkan UUD NKRI
(UUD Sementara 1950). NKRI resmi berlaku sejak 17 Agustus 1950, secara
otomatis RIS bubar.
Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah Pasca Pembentukan NKRI
Persoalan pertentangan antara pemerintah pusat dengan daerah, baik yang berupa
pertentangan ideologi antar partai maupun antar kepentingan, pergolakan sosial-politik ini
terjadi pada kurun waktu 1950-1965. Ditengah-tengah memburuknya keadaan pemerintahan
akibat pemberontakan di daerah, presiden Soekarno melontarkan suatu gagasan “Konsepsi
Presiden” pada 21 Februari 1957 di Istana Merdeka yang bertujuan untuk memperbaiki
kondisi dan kinerja pemerintahan. Isi Konsepsi Presiden tersebut adalah:
- Sistem demokrasi parlementer model barat tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia dan harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.
- Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk kabinet gotong royong yang
beranggotakan wakil-wakil semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan
kekuatan yang ada dalam masyarakat.
- Dibentuk dewan nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan fungsional dalam
masyarakat, dewan ini bertugas memberi nasehat kepada kabinet.
Pertentangan antara pusat dan daerah tersebut mengakibatkan munculnya berbagai
pembrontakan antara lain:
a. Peristiwa PRRI di Sumatra
Muncul setelah ada reuni mantan divisi banteng di Padangpada 20-25 November
1956. pertemuan ini melahirkan kesepakatan bahwa otonomi daerah yang seluas-
luasnya untuk menggali potensi daerah dan kekayaan daerah guna memenuhi
pembangunan dan disepakati pembentukan Dewan Banteng yang diketuai oleh
Achmad Husein (komandan Resimen IV dan Teritorium I di Padang).
Sejak 9 Desember 1956 Kasad mengeluarkan pengumuman yang melarang
perwira-perwira angatan darat melakukan kegiatan politik. Larangan tersebut
tidak diindahkan bahkan Achmad Husein mengambil alih kekuasaan gubernur
Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956. Selain dewan Banteng, muncul pula
dewan-dewan lain di daerah lain seperti:
- Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kolonel Maludin Simbolon)
- Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Letkol Barlian)
- Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol Ventje Sumual)
Pemerintah pusat berusaha menyelesaikan perselisihan pusat-daerah melalui cara
musyawarah. Pada bulan Maret 1957 diadakan konferensi Panglima Tentara dan
Teritorium seluruhIndonesia untuk menyelesaikan masalah pusat-daerah.
Kemudian diselenggarakan Munas (musyawarah nasional) pada bulan September
1957 dan Munap (musyawarah nasional pembangunan) pada bulan November
1957 yang bertujuan mempersiapkan usaha pembangunan di daerah-daerah secara
integral.
9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan yang membicarakan pembentukan
pemerintahan baru di Sungai Dareh, Sumtera Barat, pertemuan ini dihadiri oleh
pimpinan dewan-dewan dan tokoh-tokoh sipil seperti Syarif Usman, Burhanudin
Harahap dan Syafruddin Prawiranegara. Keesokan harinya Letkol Achmad Husein
mengeluarkan ultimatun kepada pemerintah pusat agar kabinet Djuanda
menyerahkan mandat kepada presiden dalam waktu 5 x 24 jam dan presiden
diminta untuk kembali kepada kedudukan sebagai presiden yang konstitusional.
Ultimatum ini ditolak oleh pemerintah bahkan Letkol Achmad Husein di pecat
dari Angkatan Darat. Achmad Husein kemudian mengumumkan berdirinya
pemerintah revolusioner republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 15 Februari
1958 dengan perdama menterinya Syarifudin Prawiranegara.
Untuk menumpas gerakan separatis PRRI pemerintah melakukan operasi militer
antara lain:
- Operasi Tegas (Letkol Kaharudin Nasution) untuk mengamankan Riau
- Operasi 17 Agustus (Kol Ahmad Yani) untuk mengamankan Sumatera Barat
- Operasi Saptamarga (Brigjen Djatikukumo) untuk mengamankan Sumatera Utara
- Operasi Sadar (Letkol Ibnu Sutowo) untuk mengamankan Sumatera Selatan
Dalam waktu singkat operasi gabungan ini dapat menumpas PRRI, Achmad
Husein beserta pasukannya menyerahkan diri pada 29 Mei 1961.
a. Peristiwa Permesta di Sulawesi
Di Makasar panglima tentara dan teritorium III Letkol Ventje Sumual
memproklamasikan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) pada 2
Maret 1957 yang meliputi wilayah Sulawesi, Kep. Nusa Tenggara dan Maluku.
DJ. Somba (komando daerah militer Sulawesi Utara dan tengah) mengeluarkan
pernyataan bahwa sejak 17 Februari 1958 Sulawesi Utara dan Tenggara
memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.
Pemerintah segera bersikap tegas untuk menumpas Permesta dengan melancarkan
operasi gabungan yaitu Operasi Merdeka (dipimpin Letkol Rukmito
Hendraningrat). Operasi ini terdiri dari beberapa bagian antara lain:
- Operasi Saptamarga I (Letkol Soemarsono) untuk mengamankan Sulawesi Utara
bagian tengah
- Operasi Saptamarga II (Letkol Agus Prasmono) untuk mengamankan Sulawesi
Utara bagian selatan
- Operasi Saptamarga III (Letkol Magenda) untuk mengamankan Kepulauan
sebelah utara Manado
- Operasi Saptamarga IV (Letkol Rukmito Hendraningrat) untuk mengamankan
Sulawesi Utara
- Operasi Mena I (Letkol Pieters) untuk mengamankan Jailolo
- Operasi Mena II (Letkol KKO Hunholz) untuk merebut lapangan udara Morotai
di sebelah utara Halmahera
Operasi militer APRI di Indonesia bagian timur merupakan operasi yang terberat
karena kondisi geografis yang sangat menguntungkan permesta dan pemberontak
memiliki persenjataan yang modern berupa pesawat pembon B-26 dan pemburu
Mustang yang diduga merupakan bantuan Amerika Serikat, hal ini terbukti
dengan ditembak pesawat yang dipiloti Allan Pope (orang Amerika Serikat).
a. Peristiwa APRA di Bandung
Adanya tuntutan dari mantan anggota tentara KNIL yang dibubarkan untuk tetap
menjadi angkatan peran negara bagian dan keengganan TNI bergabung dengan
KNIL merupakan salah satu penyebab munculnya pemberontakan APRA. Di
Bandung bekas anggota KNIL yang tidak mau bergabung dengan APRIS
membentuk organisasi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh
Raymond Westerling. APRA menuntut kepada pemerintah RIS agar organisasinya
diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya negara Pasundan.
Tuntutan APRA tidak dihiraukan oleh pemerintah, maka pada 23 Januari 1950
APRA melancarkan serangan terhadapa kota Bandung. Mereka membunuh
anggota TNI yang dijumpai dan berhasil menduduki markas staf Divisi Siliwangi
setelah membunuh 15 orang regu jaga diantaranya adalah Letkol Lembong.
Penyerbuan APRA tidak diduga sebelumnya sehingga gerombolan in berhasil
menguasai kota Bandung. Apalagi pada waktu yang bersamaan kesatuan divisi
siliwangi baru beberapa saat memasuki kota Bandung setelah melakukan Long
March dari Yogyakarta. Demikian juga panglima divisi siliwangi kolonel Sadikin
yang sedang mengadakan peninjauan ke Subang bersama Gubernur Jawa Barat
Sewaka.
Untuk menanggulangi APRA, pemerintah RIS segera mengirimkan kesatuan-
kesatuan polisi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ketika itu di
berada Jakarta untuk ke Bandung. R Westeling berhasil meloloskan diri dari
pasukan TNI dan melanjutkan makarnya di Jakarta untuk menangkap semua
menteri RIS dan pejabat penting lainnya. Berkat kesigapan TNI gerakan
Westerling dapat digagalkan.
b. Peristiwa Andi Azis di Makasar
Pada 5 April 1950 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh bekas tentara KNIL
dipimpin oleh Andi Azis. Alasan pemberontakan yang dilakukan Andi Azis
adalah tidak mau menerima kehadiran 900 pasukan APRIS yang berasal dari TNI
pimpinan Letkol Mokoginta dan ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur
(NIT). Dalam pemberontakannya Andi Azis menuntut agar tentara bekas KNIL
diberi kekuasaan untuk bertanggung jawab atas keamanan di wilayah NIT.
Ultimatum dari pemerintah pusat agar Andi Azis bertanggung jawab atas
perbuatannya tidak diindahkan sehingga dalam waktu 4 x 24 jam pemerintah
mengirim pasukan di bawah pimpinan Alex Kawilarang untuk menumpas
pemberontakan Andi Azis. Hasilnya pada 15 April 1950 Andi Azis menyerahkan
diri.
c. Peristiwa RMS di Maluku
Didirikan oleh Dr. Soumokil (bekas Jaksa Agung NIT) pada 25 April 1950,
gerakan ini tidak menginginkan Indonesia kembali ke negara kesatuan dan tidak
menyetujui penggabungan KNIL ke dalam APRIS. Bekerjasama dengan Andi
Azis di Makasar tentara KNIL melakukan intimidasi dan teror terhadap rakyat
diAmbon. Pemerintah RIS berupaya menyelesaikan persoalan RMS dengan cara
damai yang dipimpin oleh Dr. J. Leimena, akan tetapi usaha ini tidak berhasil
sehingga dikirimlah pasukan yang dipimpin oleh Alex Kawilarang untuk
meredam pemberontakan RMS pada 14 Juli 1950. Pada saat berupaya menguasai
Ambon, pasukan APRIS dibagi menjadi 3 kelompok dengan pimpinan Mayor
Achmad Wiranatakusumah, Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Suryo Subandrio
yang mendarat di Ambon pada 28 September 1950. Pertempuran terjadi dengan
RMS yang bertahan di Benteng Nieuw Victoria dan berhasil menangkap Dr.
Soumokil pada 12 Desember 1963 dan dijatuhi hukuman mati.
Pergantian Antar Kabinet yang Cepat dalam Sistem Kabinet Parlementer
Sejak RIS bubar, Indonesia berbentuk NKRI dengan berpedoman UUDS 1950 dan menganut
demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi liberal berlaku sistem kabinet parlementer dengan
ciri-ciri:
- Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat
- Kabinet dipimpin perdana menteri yang bertanggung jawab pada parlemen
- Susunan anggota dan program kabinet didasarkan dengan suara terbanyak dalam
parlemen
- Masa jabatan kabinet tidak ditentukan dengan pasti
- Kabinet dapat dijatuhkan pada setiap waktu oleh parlemen dan pemerintah juga dapat
membubarkan parlemen
Pada masa demokrasi liberal telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 7 kali. Tiap-tiap
kabinet tidak dapat berumur panjang rata-rata hanya berumur 1 tahun, padahal idealnya
pergantian 7 kali kabinet minimal akan menghabiskan waktu selama 35 tahun, jadi tidak
mengherankan apabila program-program setiap kabinet tidak sempat dilaksanakan.
Berikut kabinet yang pernah berkuasa diIndonesia pada masa demokrasi liberal:
a. Kabinet Natsir (6 Oktober 1950 - 21 Maret 1951)
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi dan
dilantik presiden pada 6 September 1950 dengan perdana menterinya Muhammad
Natsir. Kabinet ini memiliki formasi yang kuat karena didukung para tokoh yang
mempunyai keahlian dibidangnya seperti: Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.
Asaat, Ir. Djuanda dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo.
Program kabinet Natsir antara lain:
- Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
- Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan
- Menyempurnakan organisasi angkatan perang
- Mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat
- Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat
Kabinet Natsir merintis perundingan bilateral masalah Irian Barat dengan
Belanda. Namun perundingan ini menemui jalan buntu sehingga dimanfaatkan
partai oposisi PNI dengan mengajukan mosi (kepercayaan) tidak percaya, selain
masalah Irian Barat mosi tidak percaya juga muncul terhadap persoalan
pembentukan DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi ini diajukan
PNI pada 22 Januari 1951 dan dimenangkan oleh PNI, sehingga kabinet Natsir
menyerahkan mandatnya kepada presiden pada 21 Maret 1951
a. Kabinet Sukiman-Suwiryo (21 April 1951 - 23 Februari 1952) – 10 bulan
Pada 27 April 1951 dibentuklah kabinet baru yang merupakan koalisi partai PNI
dan Masyumi dengan dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan
Suwiryo (PNI).
Program kabinet Sukiman-Suwiryo antara lain:
- Menjalankan tindakan tegas sebagai negara hukum guna menjamin negara
hukum guna menjamin keamanan dan ketentraman
- Mengusahakan kemakmuran rakyat secepat-cepatnya
- Mempercepat persiapan pemilihan umum
- Menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan secepat-cepatnya memasukkan
Irian Barat ke dalam wilayah RI
Kabinet Sukiman-Suwiryo tidak berusia lama karena mendapat tentangan dari
partai koalisinya dan sejak 23 Februari 1952 kabinet ini demisioner. Penyebab
jatuhnya kabinet ini adalah karena ditandatanganinya bantuan ekonomi, teknik
dan persenjataan dari Amerika Serikat atas dasar Mutual Security Act (MSA),
ditafsirkan Indonesia telah memasuki blok barat dan bertentangan politik luar
negeri bebas aktif.
a. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953) – 14 bulan
Muncul gagasan untuk membentuk zaken kabinet (kabinet yang didukung menteri
yang memiliki keahlian dibidangnya) dengan menunjuk Wilopo (PNI) sebagai
perdana menterinya.
Program Kabinet Wilopo antara lain:
- Melaksanakan Pemilu secepatnya
- Memajukan taraf hidup rakyat dan keamanan dalam negeri
- Memperjuangkan pengembalian Irian Barat dan melaksanakan politik luar negeri
bebas aktif menuju perdamaian dunia
Semasa kabinet ini berkuasa timbul separatisme dan terjadinya peristiwa Tanjung
Morawa (Sumatera Utara) yang ditunggangi PKI, sehingga parlemen bereaksi
keras dan mengajukan mosi tidak percaya.
a. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 24 Juli 1955) – 2 tahun
Dengan dukungan dari PNI dan NU, Mr. Ali Sastroamidjojo ditunjuk menjadi
perdana menteri.
Program kabinet Ali Sastroamidjojo I antara lain:
- Keamanan, pemilu, kemakmuran, keuangan, organisasi negara, perburuhan, dan
perundang-undangan
- Pengembalian Irian Barat
- Politik luar negeri bebas aktif
Pada masa ini muncul gerakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan
serta beberapa gerakan perlawanan di daerah. Kabinet Ali Sastroamidjojo I
berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA). Penyebab jatuhnya
kabinet Ali Sastroamidjojo I adalah mosi tidak percaya menyangkut pergantian
pimpinan di AD, kabinet Ali Sastroamidjojo I dianggap tidak mampu
menyelesaikan pertentangan pendapat antara pemerintah dengan TNI-AD.
e. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956) – 7 bulan
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai partai inti.
Program kabinet Burhanudin Harahap antara lain:
- Mengembalikan kewibawaan pemerintah dengan memupuk kepercayaan
Angkatan Darat
- Pemilu, Desentralisasi, Mengatasi inflasi, Pemberantasan korupsi, Perjuangan
Irian Barat
- Memajukan kerjasama Asia-Afrika atas dasar politik bebas aktif
Keberhasilan kabinet Burhanudin Harahap adalah suksesnya penyelenggaraan
pemilu I dan pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) yaitu Abdul
Haris Nasution. Kabinet ini jatuh karena dianggap telah menyelesaikan tugas
menyelenggarakan pemilu I.
f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957) – 1 tahun
Kabinet Ali Sastroamidjojo II merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi
dan NU.
Program kabinet Ali Sastroamidjojo II antara lain:
- Merencanakan dan melaksanakan pembangunan 5 tahun
- Mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI
- Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II ternyata di daerah banyak terjadi gerakan
separatis seperti: munculnya Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda,
Dewan Lambung Mangkurat (Kalsel) dan Dewan Manguni (Sulut). Sehingga
melemahkan kabinet.
g. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959) – 26 bulan
Dengan menyusun program kerja yang disebut Pancakarya kabinet ini
memprogramkan:
- Membentuk dewan nasional
- Normalisasi keadaan republik
- Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
- Perjuangan Irian Barat
- Mempergiat pembangunan
Dewan nasional berfungsi sebagai dewan penasihat kabinet untuk memperlancar
roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan
negara. Dewan ini beranggotakan 45 orang dengan ketua adalah Ir. Soekarno.
Tetapi kondisi negara semakin memburuk, terutama disebabkan oleh
pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Oleh karena itu pada 10-14
September 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Gedung
Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Munas berhasil mengambil
keputusan yang intinya adalah saling pengertian untuk tetap membina persatuan
dan kesatuan bangsa dan negaraIndonesia. Namun upaya pemerintah ini dalam
kenyataannya tidak berjalan mulus, pada 30 November 1957 terjadi percobaan
pembunuhan terhadap presiden Soekarno yang terkenal dengan Peristiwa Cikini.
Pada masa demokrasi liberal pergantian kabinet berlangsung terlalu cepat. Tokoh-
tokoh politik saling berebut kursi “politik dagang sapi”, sehingga berdampak
pada:
- Setiap kabinet hampir tidak sempat menjalankan program yang direncanakan
- Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin pudar
- Kondisi negara menjadi tidak stabil karena pergolakan sosial politik diberbagai
daerah belum tertangani
2. Terselenggaranya Pemilihan Umum 1955
a. Partai-partai Peserta Pemilu Pertama
Partai politik adalah kelompok terorganisir yang mempunyai orientasi, nilai-nilai
dan cita-cita yang sama untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan
kekuasaan secara konstitusional. Masa pergerakan nasional mahasiswa memiliki
andil besar dalam upaya melahirkan partai-partai politik, apalagi setelah kelahiran
Budi Utomo 1908 banyak partai yang bermunculan, seperti SI (Sarekat Islam), IP
(Indische Partij) dsb.
Partai-partai pada masa pergerakan nasional dari segi perjuanganya dapat
dibedakan menjadi 2 macam:
- Partai-partai radikal (non kooperatif) seperti SI, PNI, Perhimpunan Indonesia
(PI), Indische Partij (IP), dan PKI. Partai-partai ini tidak mau bekerjasama
dengan pemerintah Belanda dengan tidak mau duduk daalam Dewan Rakyat
(Volksraad) bentukan Belanda.
- Partai-partai moderat (kooperatif) seperti Budi Utomo, Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Gerakan Rakyat Indonesia
(Gerindo), dan Gabungan Politik Indonesia (Gapi).
Sedangkan bila dilihat aspek orientasinya dapat dibedakan dalam hal ekonomi
(Sarekat Dagang Islam/SDI), agama (Sarekat Islam, PSII), nasionalis (Budi
Utomo, PNI, PBI, Parindra, IP, Partindo, Gapi) dan sosialis (ISDV dan PKI).
Partai-partai politik yang eksis pada masa radikal, gerak langkah perjuanganya
selalu mendapat pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda melalui Politiek
Inlichtingen Dienst (PID) sebagai dinas rahasia yang bekerja menindas kaum
pergerakan. Keberadaan partai politik ketika itu amat diperlukan sebagai wadah
perjuangan rakyat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Pada masa pendudukan Jepang partai-partai politik dilarang berdiri. Semua
kegiatan banyak diarahkan pada upaya memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Hanya organisasi sosial keagamaan yang mendapat kesempatan berdiri yaitu
MIAI yang kelak berubah menjadi Masyumi. Izin yang diberikan Jepang terhadap
MIAI berkaitan dengan upaya menarik simpati masyarakat islam agar membantu
proyek perang Jepang.
Setelah kemerdekaan pemerintah RI memerlukan adanya DPR/MPR sebagai
cerminan wakil rakyat yang sesuai dengan amanat UUD 1945. keberadaan
DPR/MPR tidak terlepas dari kebutuhan perangkat partai politik. Pada gilirannya
tiap partai politik tersebut akan berebut kursi untuk duduk di lembaga legislatif.
Pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah 3 November 1945 yang intinya
menyatakan pemerintah menghargai timbulnya partai-partai politik untuk
menyalurkan aliran dan paham yang ada dalam masyarakat. Sejak saat itu lahirlah
partai-partai politik yang hidup dengan partai-partai lama. Adapun partai-partai
politik tersebut adalah:
- Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dipimpin oleh dr. Sukiman sejak
7 November 1945
- Partai Komunis Indonesia (PKI) dipimpin oleh Moh. Jusuf sejak 7 November
1945
- Partai Buruh Indonesia (PBI) dipimpin oleh Nyono didirikan sejak 8 November
1945
- Partai Rakyat Jelata dipimpin oleh Sutan Dewanis didirikan sejak 8 November
1945
- Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dipimpin oleh Probowinoto didirikan 10
November 1945
- Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin didirikan 10
November 1945
- Partai Rakyat Sosialis (PRS) dipimpin oleh Sutan Syahrir didirikan 20 November
1945
- Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) dipimpin oleh I.J Kasimo didirikan 8
November 1945
- Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) dipimpin oleh JB. Assa didirikan
17 Desember 1945
- Partai Nasional Indonesia (PNI) dipimpin oleh Didik Joyosukarto sejak 29
Januari 1946
b. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pertama RI
Sejak kembali ke NKRI sebagian partai-partai politik yang ada tidak bekerja
sebagai penyalur aspirasi rakyat. Mereka hanya memperjuangkan kepentigan
golongan atau pribadi. RakyatIndonesia menjadi frustasi melihat kepincangan
politik, sehingga rakyat menuntut segera diadakan pemilihan umum.
Persiapan pemilu mulai dirintis semasa kabinet Ali I dan pelaksanaannya
dilakukan pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu pertama berlangsung 2
tahap yaitu:
- Tahap pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR
- Tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota dewan konstituante
(badan pembuat undang-undang dasar)
Dari 28 kontestan, pemilu pertama Indonesia memunculkan empat partai besar
yaitu: Masyumi, PNI, NU dan PKI. Perolehan kursi DPR antara lain Masyumi 60,
PNI 58, NU 47 dan PKI 32, sedangkan perolehan kursi dewan konstituante antara
lain PNI 119, Masyumi 112, NU 91 dan PKI 80.
3. Latar Belakang Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkan
a. Upaya Dewan Konstituante Menyusun UUD
Tugas Dewan Konstituante adalah merancang UUD baru sebagai pengganti
UUDS 1950. anggota dewan ini bersidang pada 10 November 1956, ternyata
sampai tahun 1958 dewan konstituante belum berhasil merumuskan UUD. Hal ini
disebabkan sering timbulnya perdebatan yang berlarut-larut, masing-masing partai
mementingkan partainya. Sementara dikalangan masyarakat menuntut agar
diberlakukannya kembali ke UUD 1945. menanggapi hal tersebut presiden
Soekarno menyampaikan amanatnya di depan sidang dewan konstituante pada 25
April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. amanat ini
menjadi perdebatan dan akhirnya diputuskan melakukan pemungutan suara. 30
Mei 1959 pemungutan suara dengan hasil 269 suara menyetujui UUD 1945 dan
199 suara tidak setuju. Tetapi suara terbanyak belum memenuhi kuorum (dua
pertiga jumlah minimal anggota yang hadir) sehingga pemungutan suara harus
diulang. Pemungutan suara kembali diadakan pada 1 dan 2 Juni 1959, tetapi selalu
gagal mencapai kuorum, sehingga untuk meredam kebuntuan dewan konstituante
memutuskan reses (istirahat dari kegiatan sidang). Kegagalan dewan konstituante
menetapkan UUD baru tentu saja sangat membahayakan kelangsungan negara.
Pemberontakan-pemberontakan di daerah terus bergejolak dan gangguan
keamanan pun semakin gawat. Timbulnya ketidakstabilan negara itu disebabkan
negara tidak memiliki pedoman konstitusi yang jelas. Untuk mencegah ekses yang
membahayakan negara pada 3 Juni 1959 penguasa perang pusat (Letjen AH
Nasution) atas nama pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang kegiatan-
kegiatan politik.
b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah dewan konstituante gagal menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi RI,
presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di
Istana Merdeka pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 yang berisi antara lain:
- Pembubaran Dewan Konstituante
- Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
- Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Dekrit presiden tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Kasad
memerintahkan kepada segenap anggota TNI untuk melaksanakan dan
mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut.
DPR dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaanya
untuk terus bekerja dengan berpedoman kepada UUD 1945.
c. Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Semenjak pemerintah RI menetapkan dekrit presiden 5 Juli
1959, Indonesia memasuki babak sejarah baru, yakni berlakunya kembali UUD
1945 dalam kerangka “Demokrasi Terpimpin”. Menurut UUD 1945 demokrasi
terpimpin mengandung pengertian kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang dimaksud
permusyawaratan/perwakilan adalah majelis pemusyawaratan rakyat (MPR)
sebagai pemegang kedaulatan. Dengan demikian harus dimaknai bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat dan sepenuhnya dilakukan oleh MPR. Namun
makna ini kemudian ditafsirkan lain oleh pemerintah saat itu. Presiden Soekarno
menafsirkan pengertian terpimpin sebagai suatu figur pimpinan yang memiliki
peran menentukan dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat agar
pemerintah dapat berjalan dengan baik. Akibatnya kekuasaan lebih banyak
berpusat di tangan presiden daripada kekuasaan lembaga legislatif (DPR).
Dalam perjalanan selanjutnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditindaklanjuti dengan penataan
bidang politik, sosial-ekonomi dan pertahanan keamanan. Sebagai realisasinya pada 20
Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan surat No.2262/HK/59 kepada DPR yang
isinya menekankan kepada kewenangan presiden untuk memberlakukan peraturan negara
baru. Selain ia juga harus membuat peraturan negara menurut UUD 1945. atas dasar
peraturan negara baru tersebut, presiden membentuk lembaga negara seperti: MPRS, DPAS,
DPR-GR, Kabinet Kerja dan Front Nasional.
1) Pembentukan MPRS
Dibentuk melalui penetapan presiden No.2 Tahun 1959. keanggotaan MPRS terdiri atas
anggota-anggota DPR sebanyak 261 orang, utusan daerah 94 orang dan wakil golongan
sebanyak 200 orang. Susunan pimpinan MPRS adalah sebagai berikut:
Ketua : Chaerul Saleh
Wakil Ketua : Mr. Ali Sastroamidjojo
Wakil Ketua : JH. Idham Khalid
Wakil Ketua : DN Aidit
Wakil Ketua : Wiluyo Puspoyudo
Menurut penetapan presiden No.12 Tahun 1959, tugas MPRS hanya sebatas pada
kewenangan menetapkan GBHN. Hal ini menunjukkan bahwa presiden berusaha
membatasi kewenangan MPRS. Demikian pula tentang keberadaan semua pimpinan
MPRS yang dalam praktiknya diangkat oleh presiden. Para pimpinan MPRS yang
diangkat presiden tersebut adalah para menteri yang memegang departemen-
departemen. Sebagai pimpinan MPRS sekaligus anggota kabinet. Hal ini berarti bahwa
MPRS bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi. MPRS mempunyai kedudukan di
bawah presiden. Dengan demikian kedaulatan rakyat berada di bawah presiden.
Pada tahun 1960 – 1965 MPRS telah melakukan 3 kali persidangan yang dilaksanakan
di Gedung Merdeka Bandung. Adapun sidang-sidang tersebut adalah:
a. Sidang umum pertama (10 November – 7 Desember 1960) menghasilkan ketetapan
MPRS No. I/MPRS/1960 yang menetapkan manifesto politik
republik Indonesia sebagai GBHN, ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang
garis-garis pola pembangunan nasional semesta berencana tahapan pertama 1961 –
1969.
b. Sidang umum kedua (15 22 Mei 1963) diantaranya menghasilkan ketatapan MPRS
No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden Soekarno/mandataris MPRS
menjadi presiden seumur hidup.
c. Sidang umum ketiga (11 – 16 April 1965) diantaranya menghasilkan ketetapan
MPRS No. V/MPRS/1965 tentang pidato presiden Soekarno berjudul “Berdiri di
atas kaki sendiri (Berdikari)” sebagai pedoman revolusi dan politik luar
negeriIndonesia.
2) Pembentukan DPAS
Dibentuk berdasarkan penetapan presiden No.3 tahun 1959 antara lain:
a. Anggota DPAS diangkat dan diberhentikan oleh presiden
b. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pernyataan presiden dan mengajukan usul
kepada pemerintah
c. Anggota DPAS sebanyak 45 orang yang terdiri dari wakil golongan politik, ututsan
daerah, wakil golongan dan seorang ketua.
d. DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua
e. Sebelum memangku jabatan, wakil ketua dan anggota DPAS mengangkat
sumpah/janji di hadapan presiden
3) Pembentukan DPR-GR
Dibentuk melalui penetapan presiden No. 4 tahun 1960. DPR-GR dibentuk
menggantikan DPR hasil pemilu 1955 yang dibubarkan presiden sejak 5 Maret 1960
karena menolak mengesahkan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara
(RAPBN) untuk tahun 1961 yang diajukan presiden. Semua anggota DPR-GR diangkat
oleh presiden sebanyak 283 orang yang terdiri dari 153 mewakili partai dan 130
mewakili golongan-golongan. Menurut Penpres No.32 Tahun 1964, DPR-GR adalah
sebagai pembantu presiden menurut bidangnya masing-masing dan melaporkan kepada
presiden pada waktu-waktu tertentu.
4) Pembentukan Kabinet Kerja
10 Juli 1959 Kabinet Djuanda (kabinet karya) dibubarkan dan sebagai gantinya adalah
kabinet kerja yang dipimpin oleh presiden (sebagai perdana menteri) dan Ir. Djuanda
ditunjuk sebagai menteri pertama. Kabinet kerja mempunyai 3 program yaitu:
mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara dan melanjutkan
perjuangan merebut Irian Barat.
5) Pembentukan Front Nasional
Dibentuk dengan Penpres No.13 Tahun 1959 pada 31 Desember 1959. lembaga ini
merupakan organisasi masa yang berusaha memperjuangkan cita-cita proklamasi dan
cita-cita bangsa seperti yang terkandung dalam UUD 1945. front Nasional diketuai oleh
presiden Soekarno dengan tujuan: menyelesaikan revolusi nasionalindonesia,
melaksanakan pembangunan semesta nasinal dan mengembalikan Irian Barat ke dalam
wilayah RI.
PERISTIWA-PERISTIWA EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN
KEDAULATAN
Kondisi Ekonomi Indonesia Menjelang Pengakuan Kedaulatan
Republik Indonesia yang baru berdiri mewarisi kondisi ekonomi yang kacau akibat
pendudukan Jepang. Awal kemerdekaan, kondisi ekonomi dilanda inflasi. Penyebabnya
adalah mata uang Jepang beredarnya mata uang Jepang yang tidak
terkendali. Pemerintah RI belum bisa menyatakan bahwa mata uang Jepang tidak berlaku,
karena belum memiliki uang sendiri sebagai penggantinya. Untuk sementara pemerintah
mengakui beredarnya 3 mata uang yaitu mata uang De Javanche Bank, mata uang Hindia
Belanda dan mata uang Jepang. Situasi perekonomian diperparah dengan adanya blokade laut
oleh Beland sejak kedatangannya kembali keIndonesia bersama sekutu. Dalam upaya untuk
mengatasi hal tersebut pemerintah RI melalui menteri keuangan (Ir. Surachman)
mengeluarkan kebijakan “pinjaman nasional” yang disetujui oleh BPKNIP. Pinjaman itu
direncanakan akan mencapai Rp. 1.000.000.000. yang dibagi dalam dua tahap. Pinjaman
akan dibayar kembali selambatnya dalam waktu 40 tahun. Ternyata kebijakan pemerintah
mendapat sambutan dan dukungan yang baik dari rakyat. Buktinya pemerintah berhasil
mengumpulkan uang sejumlah pegadaian. Sukses yang dicapai ini merupakan suatu ukuran
bagi besarnya kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah dan aparatnya. Pada 6
Maret 1946 Belanda mengumumkan pemberlakuan uang baru yaitu mata uang NICA untuk
menggantikan mata uang Jepang.Pemerintah RI mengingatkan kepada masyarakat bahwa di
wilayah RI hanya berlaku 3 mata uang sebagaiman yang telah diumumkan pada 1 Oktober
1945. sebagai tindak lanjut pemerintah mengeluarkan uang kertas baru yang dinamai Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI). Sejak saat itu terjadi penukaran 1.000 mata uang Jepang ditukar
dengan Rp. 1 mata uang ORI. Kebijakan pemerintah ini cukup memperbaiki kondisi
ekonomi Indonesiakendatai belum memperbaiki keadaan seluruhnya.
Pemerintah RI selanjutnya mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946 dan
mendirikan Banking and Trading Corporation (BTC). BTC berhasil mengadakan kesepakatan
dagang dengan perusahaan swasta Amerika Serikat-Isbrantsen Inc yang bersedia membeli
gula, karet, teh dll dari Indonesia. Konferensi ekonomi pertama (Feb 1946) dan kedua (6 Mei
1946) diselenggaarakan dalam upaya untuk menanggulangi masalah ekonomi. Kebijakan
yang berhasil dibuat antara lain yaitu mendirikan Badan Persediaan dan Pembagian Bahan
Makanan (PPBM-kemudian sekarang dikenal dengan Bulog), pembentukan Perusahaan
Perkebunan Negara (PPN), pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) pada
19 Januari 1947 atas usul dr. AK Gani (menteri kemakmuran). Kebijakan Planning Board
antara lain: menyatakan semua banguan umum, perkebunan dan industri yang sebelum
perang milik negara jatuh ke tangan pemerintah RI. Bangunan umum vital milik asing akan
dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi. Perusahaan modal asing akan
dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian RI-Belanda. Ternyata usaha
Planning Board ini belum membawa hasil yang diharapkan, sehingga menteri urusan bahan
makanan IJ Kasimo merencanakan kegiatan ekonomi selama lima tahun yang terkenal
dengan Plan Kasimo. Isi Plan Kasimo adalah anjuran untuk memperbanyak kebun bibit dan
padi unggul. Penyembelihan hewan pertanian harus dicegah dan tanah kosong harus ditanami
kembali, transmigrasi penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera.
Kebijakan-kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
Gunting Syarifudin
Adalah pemotongan nilai mata uang (sanering) diatas Rp. 2,50 menjadi setengahnya, ini
dilakukan pada 20 Maret 1950 oleh menteri keuangan RIS Syarifudin Prawiranegara.
Program Benteng (Benteng Group)
Dr. Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa hal yang perlu dilakukan dalam
pembangunan ekonomi Indonesia adalah mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional. Untuk itu perlu ditumbuhkan pengusaha-pengusaha pribumi agar
dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Pemerintah mencoba berperan
dalam membantu memberikan bantuan kredit dan memberikan bimbingan konkret. Gagasan
Sumitro tersebut selanjutnya dituangkan dalan program kabinet Natsir. Program benteng
dimulai pada April 1950 dan selama 3 tahun tidak kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia
menerima bantuan kredit, akan tetapi program ini tidak berjalan mulus karena karena
pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dan mentalitas
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif.
Nasionalisasi de Javasche Bank
Ketentuan dalam KMB mengenai De Javasche Bank sangat merugikan bangsa Indonesia.
Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa suatu peraturan pemerintah Indonesia tentang De
Javasche Bank dan pemberian kredit dari De Javasche Bank kepada
pemerintah Indonesia harus dikonsultasikan kepada pemerintah Belanda. Pada 19 Juni 1951
kabinet sukiman membentuk panitia nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan keputusan
pemerintah RI No.122 dan 123 tanggal 12 Juli 1951 pemerintah menghentikan Dr. Houwink
sebagai presiden De Javasche Bank dan mengangkat Mr. Syarifudin Prawiranegara sebagai
presiden De Javasche Bank yang baru. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesiasebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi.
Sistem Ekonomi Ali Baba
Atas prakarsa Mr. Iskaq Cokrohadisuryo menteri perekonomian dalam kabinet Ali
Sastroamijoyo I. kabinet ini memprioritaskan kebijakan Indonesianisasi dengan
mengutamakan pertumbuhan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Dalam sistim ini Ali digambarkan sebagai
pengusaha pribumi sedangkan Baba sebagai pengusaha non pribumi. Untuk memajukan
ekonomi Indonesia perlu ada kerja sama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Pengusaha non pribumi diwajibkan memberikan latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-
tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduk jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan
kredit dan lisensi bagi usaha-uasaha swata nasional dan memberikan perlindungan agar
mampu bersaing dengan perusahaan asing. Program ini tidak berjalan mulus karena
pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah.
Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintah kabinet burhanudin harahap Indonesia mengirim delegasi ke Jenewa
untuk merundingkan masalah finansial ekonomi antaraIndonesia dengan Belanda. Misi
dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana
persetujuan finansial ekonomi yaitu:
- Persetujuan finek hasil KMB dibubarkan
- Hubungan finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
- Hubungan finek didasarkan pada UU nasional dan tidak boleh diikat oleh perjanjian lain
antara kedua belah pihak
Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangi rencana persetujuan ini, maka
pemerintah RI mengambil langkah sepihak dengan melakukan pembubaran Uni Indonesia-
Belanda pada tanggal 13 Februari 1956. hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari
keterikatan ekonomi dengan Belanda. Pada 3 Mei 1956 presiden Soekarno menandatangai
undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya, sementara itu pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-
perusahaan tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Ketidakstabilan politik dan ekonomi menjadi penyebab terjadinya kemerosotan ekonomi,
inflasi dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II,
Pemerintah membentuk badan perencanaan pembangunan nasional yang disebut Biro
Perancang Negara untuk merencanakan pembangunan jangka panjang dengan Ir. Djuanda
sebagai menteri perancang nasional.
Bulan Mei 1956 biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. RUU rencana pembangunan ini
disetujui oleh DPR pada 11 November 1958. pada tahun 1957 akibat perubahan politik dan
ekonomi sasaran dan prioritas RPLT ini diubah dalam Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). RPLT tidak berjalan dengan baik karena:
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang mengakibatkan ekspor
dan pendapatan negara merosot
- Perjuangan membebaskan Irian barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolah ekonomi
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah, sehingga banyak daerah yang melakukan
kebijakan ekonominya sendiri-sendiri
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa kabinet Djuanda untuk sementara waktu
dapat diredakan dengan diadakannya Munap. Ir. Djuanda memberikan kesempatan kepada
Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana
pembanguan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini
tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kesulitan dalam menentukan prioritas. Selain itu
masih belum redanya ketegangan politik antara pusat dengan daerah menjadi penyebab
macetnya rencana pembangunan tersebut.