penyidikan tindak pidana korupsi di daerahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi m...
TRANSCRIPT
i
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
SKRIPSI
Oleh :
MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
iv
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
NIM : E1A009125
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya
orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.
Purwokerto, Februari 2014
MUCHAMMAD FAHMI ROSADIE1A009125
v
ABTRAKPENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )Oleh :
MUCHAMMAD FAHMI ROSADIE1A009125
Dalam suatu pemberantasan korupsi, tahap penyidikan merupakan salah satu bagianpenting dari tahap yang harus dilalui untuk menuju suatu pembuktian tindak pidana korupsidan akan menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil. Oleh sebab itukeberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yangmengatur tindak pidana korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh KPK, Kepolisian danKejaksaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis penerapan penyidikanterhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan di wilayah Cilacap dan mengetahui hambatanyang dihadapi oleh penyidik di wilayah Cilacap.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis danmenggunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Metode Pengambilan informan denganmenggunakan Purposive Sampling dengan criterian based selection dan metode analisis datasecara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, kewenangan penyidikan yang dilakukan di Cilacapdilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam proses penyidikan, penyidik bisamenggunakan upaya paksa khusus terhadap tersangka untuk menemukan barang bukti dandapat menggunakan ilmu bantu lain di tingkat pemeriksaan. Selain itu dalam prosespenyidikan, penyidik bisa melakukan gelar perkara untuk menemukan alat bukti baru danketerangan lain mengenai perkara. Faktor yang menghambat penyidikan di wilayah Cilacapyaitu faktor hukum, penegak hukum, sarana prasarana, masyarakat dan wilayah geografis.
Kata Kunci : Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi, Daerah
ABTRACT
vi
THE INVESTIGATION OF CORRUPTION IN THE REGION( The Study of Implementation Investigation of Corruption in Cilacap)
By :MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125
In the fight against corruption, the investigation stage was one of the important partfrom the procedure that must be followed to get a proof of corruption, and will produced adecision which could approach the material truth. There fore the existence of investigationstage cant be separated from the existence of legislative provision that arranged corruptionwhich the investigation was did by KPK, the police, and the attorney according to Act Number30 Year 2002 about corruption eradication commission.
The purposes of this research is to know and to analyze the applying investigation ofcorruption which commited in Cilacap and also to knowing the obstacle which faced by theinvestigator in Cilacap.
Approaching method that used in this research was socio-juridical and thespecification of this research was descriptive research. The Informant taking method with usedPurposive Sampling with criterian based selection and data analyze method used qualitativemethod.
Based on the result of research, the investigation which commited in Cilacap was didby the attorney and the police. In the investigation process, investigator can used the specialforce against suspect to find the evidence and can used criminal psycology in the interrogationlevel. In addition, in the process of investigation, the investigator may conduct his case to findnew evidence and other information about the case. The obstacle factor the investigation in theCilacap is a law factor, law enforcement, infrastructure, society and geographic area.
Key word : Investigation, Corruption, Region
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ).
Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak
secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
4. Pranoto, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberi masukan dan
bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis;
5. Kedua orang tua tercinta, yang tidak pernah habis memberikan doa, kasih sayang,
pengorbanan, dorongan dan semangat dari kecil hingga dewasa dan sepanjang
penulisan skripsi ini.
viii
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Namun dangan segala
kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif
yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga
tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.
Purwokerto, Februari 2014
Penulis
ix
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT beserta Sholawat dan salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasullah SAW, karya sederhana ini akhirnya
terseesaikan. Dengan penuh kerja keras ku persembahkan skripsi ini untuk orang-orang yang
penulis sayangi yaitu :
1. Secara khusus skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Drs.
Muchammad Suprayogo dan Musyarofah terima kasih telah merawat, menjaga,
membimbing, melindungi serta selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik
moril maupun materiil yang pastinya tidak ternilai dan tidak dapat terbayar oleh
apapun;
2. Kedua saudaraku, Qorianita Khajar Ikhsani dan Qurrotun Imammah yang selalu
memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini;
3. Untuk para Dosen di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih
yang sebesar - besarnya atas ilmu, bimbingan, kritik, saran, masukan dan lain
sebagainya guna menjadikan penulis pribadi yang lebih baik di masa depan;
4. Saryono Hanadi, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan
motivasi dan bimbingan dari semester awal hingga akhir;
5. Untuk Masayu Novalina, yang selalu memberi doa dan dukungan untuk cepat
terselesainya skripsi ini serta sudah mengisi dan memberi warna dalam hari-hariku
selama masa kuliah ini dan semoga seterusnya;
6. Keluarga besar UKM Law Football Club Fakultas Hukum Unsoed, yang memberi
pengalaman berharga mengenai organisasi maupun dalam bermain sepakbola dan
futsal;
x
7. Keluarga besar UKM Unsoed Football Club, yang telah memberi pengalaman baru
dalam berorganisasi di UKM Universitas serta kekeluargaan yang sangat erat di
organisasi ini;
8. Keluarga besar Milanisti Indonesia Sezione Purwokerto, yang selalu memberi
keceriaan selama ini karena kalian lebih dekat dari saudara dan lebih besar dari
keluarga;
9. Tim Sepakbola dan Futsal Fakultas Hukum Unsoed yang memberi pengalaman
berharga mengenai kekeluargaan dan semangat pantang menyerah baik saat bermain
maupun saat mendampingi kalian di dalam maupun luar lapangan;
10. Sahabatku Saikhu, Ajeng, Marno, Irvan, Dwina, Widya, Irfan Shidiq, Agung, Dita dan
Yenita yang berawal dari kelompok PLKH kalian sudah aku anggap seperti keluarga
sendiri karena kalianlah yang selalu peduli satu sama lain ketika senang maupun sedih;
11. Sahabatku Ali, Bayu Sendi, Tyas, Raymon, Subkhan, Rosi, Almas, Ardian Rizky, Tyo
dan Egi yang selalu memberi keceriaan baik saat futsal maupun saat main bareng,
kalianlah yang selalu bisa bikin tertawa, semoga kalian cepat menyusul menjadi Sarjana
Hukum;
12. Sahabatku Fahmi Fiqi, Rizqo, Alvian, Desi, Avry, Harley dan Damas dari kalianlah aku
belajar mengenai tanggung jawab dan kedewasaan;
13. Rekan seperjuangan, Rizka, Barkah, Daniel, Singgih dan Ohan yang sama-sama
berjuang dalam menyelesaikan skripsi kita. Kita harus sukses setelah ini;
14. Teman-teman kosan Adi Primanto, Bogo, Adi dan Dika yang selalu meramaikan
suasana di kosan sehingga menjadikan semangat selama di Purwokerto;
15. Serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
HALAMAN MOTTO
xi
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu
kebaikan, Maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan
kemajuan”
(Bung Karno)
“Ada kualitas yang harus dimiliki orang untuk menang, yaitu tujuan yang jelas, tahu
yang diinginkan, dan semangat membara untuk meraihnya”
(Napoleon Hill)
"Kenapa seorang juara selalu menang, Karena mereka punya mental dan kemauan
kuat untuk juara."
(Muchammad Fahmi Rosadi)
DAFTAR ISI
xii
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN ......................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
ABSTRACT.............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR.............................................................................................. vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. ix
HALAMAN MOTTO .............................................................................................. xi
DAFTAR ISI............................................................................................................. xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Pendahuluan .................................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah....................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan dan Azas dalam Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................................. 7
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana................................................. 9
3. Pihak Pihak Dalam Acara Pidana............................................................. 11
4. Azas – Azas Berlakunya Undang – Undang ............................................ 12
5. Azas – Azas Hukum Acara Pidana........................................................... 13
B. Penyidikan
1. Pengertian Penyidikan.............................................................................. 24
xiii
2. Pengertian Penyidik.................................................................................. 27
3. Kewenangan Lembaga Penyidik Dalam Penyidikan Tipikor .................. 29
C. Lembaga Penyidikan Tipikor di Indonesia
1. Komisi Pemberantasan Korupsi ............................................................... 36
2. Kepolisian................................................................................................. 38
3. Kejaksaan ................................................................................................. 41
D. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana......................................................................... 44
2. Korupsi ..................................................................................................... 47
a. Pengertian Korupsi............................................................................... 47
b. Sebab – Sebab Tindak Pidana Korupsi ................................................ 50
BAB III. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan........................................................................................ 53
2. Spesifikasi Penelitian ..................................................................................... 53
3. Lokasi Penelitian............................................................................................ 54
4. Sumber Data................................................................................................... 54
5. Metode Pengumpulan Data............................................................................ 55
6. Metode Penyajian Data .................................................................................. 55
7. Metode Penentuan Informan.......................................................................... 56
8. Metode Validitas Data ................................................................................... 56
9. Metode Analisis Data..................................................................................... 57
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Data Sekunder ..................................................................... 58
B. Hasil Penelitian Data Primer.......................................................................... 93
C. Pembahasan.................................................................................................... 105
xiv
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................................ 145
B. Saran .............................................................................................................. 147
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akhir –
akhir ini akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-
hak ekonomi masyarakat, karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah
menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Karena hal itu, korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah
yang kini telah akrab di telinga masyarakat Indonesia, hampir setiap hari
media massa memberitakan berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh
aparatur negara baik pegawai negeri ataupun pejabat negara. Dalam
kepustakaan kriminologi, korupsi merupakan salah satu kejahatan jenis
“white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Akrabnya istilah korupsi
di kalangan masyarakat telah menunjukkan tumbuh suburnya perhatian
masyarakat terhadap korupsi, “white collar crime” mampu menarik
perhatian masyarakat karena para pelakunya adalah orang-orang yang
dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-orang terkenal atau cukup
2
terpandang namun merekalah yang membuat kemelaratan dalam
masyarakat.1
Timbulnya kejahatan jenis tersebut menurut menurut J.E. Sahetapi
dikutip oleh Usman dalam Jurnalnya diungkapkan bahwa :
“Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudahtidak hanya kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknyakejahatan, melainkan faktor kemakmuran dan kemewahanmerupakan faktor pendorong orang-orang melakukan kejahatan.”2
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar
biasa. Pada saat ini kinerja aparat penegak hukum dalam menangani
masalah-masalah hukum khususnya yang terkait dengan tindak pidana
korupsi dipertanyakan kembali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman adalah lembaga-lembaga yang
melanggengkan korupsi sehingga menjadi suatu sistem yang buruk dalam
penegakan hukum. Bahkan karena sudah melembaganya korupsi di
lingkungan aparat penegak hukum itu sendiri hingga akhirnya timbul suatu
idiom tentang Kasih Uang Habis Perkara.
Berbagai kebijakan pemerintah tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi antara
lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
1Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) Hal. 63
2 Usman. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum.Volume 2Nomor 1.Hal. 68 ( Juni 2013 )
3
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dalam hal ini masih banyak
peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan korupsi.
Pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan, dirasakan tidak
cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai
korupsi serta cara- cara yang konvensional, diperlukan metode dan cara
tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara
adalah ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime), sehingga pemberantasaannya tidak lagi dapat
dilakukan secara biasa. Karena itu diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang
menangani pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan badan
khusus tersebut harus bersifat independen serta bebas korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara maksimal, optimal, intensif, efektif,
profesional dan berkesinambungan. Badan khusus itu disebut Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-
4
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bertindak pastilah terdapat
kendala maupun hambatan dalam upaya pemberantasan korupsi. Kendala
tersebut dapat dilihat pada realita saat ini yaitu terkait dengan masalah
pemeriksaan pada tingkat penyidikan. Bahwa sesuai dengan Pasal 6 ayat
(1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa
penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia dan pejabat pegawai
negeri sipil.
Hal yang menjadi kelemahan penyidikan tipikor daerah, bisa
dilihat jika lemahnya suatu penyidikan tersebut bisa menyebabkan
pengadilan menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku korupsi. Bahkan
jika dijatuhi hukumanpun, sewaktu – waktu pihak tersebut melakukan
banding bisa saja pengadilan membebaskan terdakwa karena lemahnya
penyidikan tipikor daerah.3
Dengan adanya pengadilan tipikor daerah, semua kasus Tipikor
yang ada di daerah akan disidik oleh penyidik kepolisian dan kejaksaan.
Jika dalam hal supervisi KPK tidak mampu melaksanakan tugasnya
dengan maksimal terhadap semua penyidikan, maka dalam penyidikan
tanggung jawab sepenuhnya nantinya akan jatuh kepada kepolisian dan
kejaksaan. Namun jika kualitas kejaksaan dan kepolisian masih seperti
3Diunduh dari : http://www.suaramerdeka.com/ v2/ index.php /read/ cetak/ 2011 /05 /09/145909 /Prospek-Peradilan-Tipikor-Daerah-. Diakses tanggal 22 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
5
dulu, hal ini dikhawatirkan akan memberatkan hakim Tipikor dalam
menyidangkan perkara.
Oleh karena itu patut dicermati kinerja kepolisian dan kejaksaan
sebagai penidik di daerah dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi yang ada di daerah. Dan berdasarkan latar belakang tersebut
penulis memberi judul skripsi PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ).
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal – hal yang telah diuraikan dalam latar belakang,
maka disusunlah perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penyidikan tipikor yang dilakukan di wilayah Cilacap?
2. Apakah ada hambatan dalam pelaksanaan penyidikan Tipikor di
wilayah Cilacap?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui penyidikan Tipikor di wilayah Cilacap.
2. Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan penyidikan Tipikor di
Cilacap.
C. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum. Dan sebagai
6
tambahan wacana referensi acuan penelitian yang sejenis dari
permasalahan yang berbeda dibidang Hukum Acara Pidana.
2. Kegunaan praktis
a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan Hukum Acara Pidana
khususnya mengenai penyidikan Tipikor.
b. Sebagai masukan kepada pihak-pihak yang terkait seperti aparatur
pemerintah, mahasiswa, advokat dalam memberikan penyelesaian
terhadap penyidikan Tipikor di daerah.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan dan Azas dalam Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh C.S.T. Kansil
Hukum Acara Pidana Adalah:
“Peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara alat- alatperlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperolehKeputusan Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harusdilaksanakan, jika ada seseorang atau kelompok orang yangmelakukan perbuatan pidana.”4
Perbedaannya dengan hukum pidana adalah Hukum Pidana
merupakan peraturan yang menentukan tentang perbuatan yang tergolong
perbuatan pidana. Syarat- syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu
perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana, pelaku perbuatan pidana dapat
dihukum dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku perbuatan pidana.
Hukum Acara Pidana disebut Hukum Pidana Formil (Formeel
Strafrech), sedang Hukum Pidana disebut sebagai Hukum Pidana Materiil
(Materieel Strafrecht). Jadi, Kedua hukum tersebut mempunyai hubungan
yang sangat erat.
Hukum Acara Pidana mempunyai tugas untuk:
1. Mencari dan mendapatkan kebenaran materiil;
4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : BalaiPustaka, 1986), Hal. 345
8
2. Memperoleh keputusan oleh hakim tentang bersalah tidaknya
seseorang atau sekelompok orang yang disangka/didakwa melakukan
perbuatan pidana;
3. Melaksanakan keputusan hakim.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menjadi pedoman dalam proses beracara para penegak hukum tidak
memberikan definisi tentang hukum acara pidana, yang ada hanyalah
berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum acara
pidana, misalnya pengertian penyelidikan, penyidikan, penangkapan,
penahanan, dan lain-lain.5
Untuk mengetahui pengertian tentang acara pidana, maka
didasarkan pada pendapat (doctrine) dari para sarjana.
Pengertian hukum acara pidana menurut Moeljatno, seperti yang
dikutip oleh Sutomo bahwa:
Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yangberlaku di suatu negara yang berisikan dasar-dasar dan aturan yangmenentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidanayang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, bagaimanacara dan prosedur dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwaorang telah melakukan delik tersebut.6
Simons juga memberikan pengertian hukum acara pidana yaitu hukum
yang mengatur bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya
5Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indoensia (Jakarta: Balai Aksara,2001) Hal. 4
6Sutomo, Handout Hukum Acara Pidana (Surabaya: Fakultas Hukum Airlangga, 2007)Hal. 1
9
mempergunakan haknya menghukum dan menjatuhkan hukuman
(memidana).7
De Bosch Kemper yang dikutip oleh Andi Hamzah, memberikan
pengertian hukum acara pidana, yaitu keseluruhan asas-asas dan peraturan
undang-undang mengenai mana negara menjalankan hak-haknya karena
terjadi pelanggaran undang-undang.8
Van Bemellen seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah dalam
bukunya, memberikan penjelasan hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yangdiciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadinya pelanggaranundang-undang hukum pidana.
1. Negara melalui alat-alat penyidik kebenaran;2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;3. Mengambil perbuatan-perbuatan yang perlu guna mengungkap si
pelaku dan kalau perlu menahannya;4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs material) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepadahakim dan membawa terdakwa kepada hakim tersebut;
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatanyang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkanpidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan sendiri;7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib itu.9
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa Hukum Acara Pidana tidak
semata- mata menerapkan Hukum Pidana. Akan tetapi lebih menitikberatkan
pada proses dari pertanggungjawaban seseorang atau sekelompok orang yang
diduga dan/atau didakwa telah melakukan perbuatan pidana. Selain itu jika
7 Ibid, Hal. 38 Ibid, Hal. 39Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 15
10
dalam hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan kekuatan undang-
undang dan acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana.
2. Tujuan Dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan tujuan
Hukum Pidana, yaitu menciptakan ketertiban, ketentraman, kedamaian,
keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Hukum Pidana memuat tentang
rincian perbuatan yang termasuk perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana
yang dapat dihukum, dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan
kepada pelanggar hukum pidana. Sebaliknya Hukum Acara Pidana mengatur
bagaimana proses yang harus dilalui aparat penegak hukum dalam rangka
mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggarnya.
Tujuan hukum acara pidana pada hakikatnya mencari kebenarann
materiil. Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya
didapatkan dengan pembuktian.
Selanjutnya menurut R. Soesilo memberikan pendapat mengenai
tujuan hukum acara pidana yaitu:
“Hakikatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulaidari polisi, jaksa sampa kepada hakim dalam menyidik, menuntut, danmengadili perkara senantiasa harus berdasarkan hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yangberpengalaman luas, berpendidikan bermutu, dan berotak cerdas jugaberkepribadian yang teguh, yang kuat mengelakan dan menolak segalagodaan.”10
10 R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 19
11
Menurut Andi Hamzah11 tujuan hukum acara pidana mencari
kebenaran itu hanyalah tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah
mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan dan
kesejahteraan dalam masyarakat. Selain itu sesuai dengan definisi-definisi di
atas, bahwa hukum acara pidana mempunyai suatu tujuan untuk membentuk
aparat penegak hukum yang bertanggung jawab serta menghormati hak asasi
manusia.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedua hukum tersebut
saling melengkapi, karena tanpa hukum pidana, hukum acara pidana tidak
berfungsi. Sebaliknya tanpa hukum acara pidana, hukum pidana juga tidak
dapat dijalankan (tidak berfungsi sesuai dengan tujuan).
Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran
materiil,putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim.
3. Pihak- Pihak Dalam Acara Pidana
Pihak- pihak yangh turu serta dalam proses pelaksanaan Hukum Acara
Pidana adalah sebagai berikut :
a. Tersangka dan terdakwa
Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
perbuatan pidana (Pasal 1 Butir 14 KUHAP). Sedangkan terdakwa
adalah Seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang
pengadilan.
11 Andi Hamzah, Op. Cit.
12
b. Penuntut Umum (Jaksa)
Penuntut umum adalah lembaga yang baru ada setelah HIR
berlaku. Sebelum itu belum ada penuntut umum, yang ada adalah
magistrate yang masih berada di bawah residen atau asisten residen.
Tetapi setelah HIR berlaku, penuntut umum ada dan berdiri sendiri
dibawah procureur general.
c. Penyidik dan Penyelidik
Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang- undang untuk melakukan penyidikan (butir 1 Pasal 1
KUHAP). Sedangkan penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk
melakukan penyelidikan (butir 4 Pasal 1 KUHAP).
d. Penasihat Hukum
Penasihat hukum adalah seseorang yang membantu tersangka atau
terdakwa sebagai pendamping dalam pemeriksaan.
4. Azas- Azas Berlakunya Undang- Undang
a. Azas Retroaktif, bahwa undang- undang tidak berlaku surut.
b. Lex Posterior Derogate Lex Priori, bahwa undang- undang yang
berlaku kemudian membatalkan undang- undang terdahulu sejauh itu
mengatur hal yang sama.
13
c. Lex Superior Derogate Legi Inferior, bahwa undang- undang yang
dibuat oleh penguasa tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi.
d. Lex Specialis derogate Legi Generalis, bahwa undang- undang khusus
mengalahkan undang- undang umum.
5. Asas – Asas Hukum Acara Pidana
Suatu hukum menggunakan asas sebagai landasan berpijak dalam
operasional pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana. dalam hukum
acara pidana terdapat beberapa asas-asas penting yang perlu diketahui.
Menurut Andi Hamzah,12 terdapat sembilan asas penting dalam hukum acara
pidana yaitu:
1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan;
Suatu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan
biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan penjelasan
umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan sebagai berikut:
Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biayaringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkansecara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
Berdasarkan ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan
Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang pada intinya bahwa
tersangka dan terdakwa berhak:
a. Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik;
b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;
12 Ibid, Hal. 23
14
c. Berhak perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; dan
d. Berhak segera diadili oleh pengadilan.
KUHAP menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak
menggunakan istilah “segera”. Menurut Andi Hamzah13 bahwa istilah
“satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah “segera”.
Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan
dalam praktik penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah
“segera”, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan
diganti dengan “satu kali dua puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh
empat jam”, “dua bulan”, dan seterusnya.
Mengenai pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding juga diatur
sedemikian rupa, agar tercapai pengadilan yang bersifat tepat. Pasal 110
KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik
dengan kata “segera.”
Pasal 140 ayat (1) KUHAP, bahwa:
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasilpenyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktusecepatnya membuat surat dakwaan.
Berdasarkan pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya,
berarti penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh
ditunda-tunda dalam penyelesaian dan harus sesuai dengan tanggung
jawab. Dalam KUHAP Tentang asas sederhana dan biaya ringan:
13Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 19
15
a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti
rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami
kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa (Pasal 98);
b. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat;
c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti
rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai
pelaksanaan prinsip mempercepat dan menyederhanakan poses
penahanan;
d. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-nyata
memberi kesederhanaan penanganan fungsi dan wewenang
penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, timpang tindih
dan saling bertentangan.
Proses perkara pidana dengan biaya ringan diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya
para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan
atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan.
Menurut Andi Hamzah tentang peradilan cepat yaitu :
“Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yanglama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hakasasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidakmemihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.” 14
Secara ringkasnya menurut Sudikno Mertokusumo yaitu :
14Ibid, Hal. 11
16
“Sederhana adalah sederhana peraturannya, sederhana untukdipahami dan tidak berbelit-belit, cepat berarti tidak berlarut-larutproses penyelesaiannya, biaya ringan berarti beaya untuk mencarikeadilan itu dapat terpikul oleh rakyat semuanya dengan tanpamengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.”15
2. Praduga tak bersalah (Presumption of innocence);
Asas ini dapat di lihat dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP,
bahwa:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan ataudihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalahsampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya danmemperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas ini merupakan asas penghormatan kepada seseorang yang
berhadapan dengan hukum dikatakan tidak bersalah sebelum adanya
putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP merupakan
salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan
sewenang-wenang dari aparat hukum.
Namun menurut Rohmini tentang pengaturan asas praduga tidak
bersalah yaitu :
“Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam Penjelasan UmumButir 3c KUHAP, dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya,karena ketentuan tersebut tidak di atur dalam batang tubuh tetapihanya dalam penjelasan.13 Kendala dalam penerapan asas pradugatidak bersalah dalam perkara pidana bukan karena pengaturannyatidak secara tegas dalam batang tubuh KUHAP, tetapi lebih kepadakesadaran hukum dari aparat hukumnya, yang kurang
15Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 2003) Hal. 123
17
memperhatikan hak-hak tersangka yang juga mempunyaikepentingan untuk pembelaan hukum.”16
Sebagaimana dikemukakan oleh Soekanto, bahwa :
“Penegakan hukum yang baik tidak hanya dilandasi faktor hukum(undang- undang) yang baik dan lengkap melainkan jugadipengaruhi oleh aparat penegak hukum, fasilitas, dan budayahukum masyarakat.”17
Senada dengan pendapat tersebut Winarta18 mengemukakan
bahwa:
“Melemahnya penegakan hukum di Indonesia, dikarenakan aparat
penegak hukum yang belum menunjukkan sikap profesional dan
tidak memiliki integritas serta moral yang tinggi.”
Oleh karenanya dapat disebutkan bahwa budaya hukum yang
merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi bekerjanya sistem
hukum adalah kesadaran hukum dari para pelaksana fungsi kekuasaan
kehakiman.
Penerapan asas presumption of innocence dalam perkara pidana
merupakan akibat proses pemidanaan oleh para penegak hukum, seperti
penyidik dan penuntut umum berhadapan dengan tersangka atau terdakwa
sering dihadapkan dengan hak asasi manusia, sehingga asas ini
kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
16 Mien Rohmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tak Bersalah dan AsasPersamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bandung:Alumni, 2003) Hal. 67.
17 Frans H.Winarta, Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral, Vol. 20No. 1 (Jakarta: Pro Justitia, 2003) Hal. 8
18 E. Nurhaini Butarbutar, Sistem Peradilan dalam Negara Hukum RepublikIndonesia (Jakarta: Legalitas, 2010) Hal. 10
18
tentang Hak Asasi Manusia. Meskipun sebenarnya hak asasi yang
merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia tidak membutuhkan
legitimasi yuridis untuk memberlakukannya, namun sifat negara yang
sekuler dan positivistik mengakibatkan eksistensi hak kod- rati manusia
tersebut memerlukan landasan yuridis dalam mengatur kehidupan
bersama-sama dengan manusia yang lain.
Proses pemidanaan tersebut sering tidak mengindahkan hak-hak
tersangka, yang seharusnya dilindungi karena perbuataan pidana yang
disangkakan kepadanya tidak selalu terbukti. Dijatuhkannya putusan
hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap terhadap perkara tersebut,
maka peristiwa yang disangkakan atau diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dianggap sebagai suatu kebenaran. Sesuai dengan fungsi
hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat (a tool social engineering)
maka diharapkan putusan hakim dapat merubah pola tingkah laku
masyarakat ke arah yang lebih baik sehingga tujuan negara yang sudah
dituangkan dalam alinea keempat Pembukaaan UUD 1945 dapat
diwujudkan.
3. Oportunitas;
Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan
delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.
Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan Agung sesuai dengan
ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004,
bahwa:
19
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkansuatu perkara demi kepentingan umum.
A.Z. Abidin19 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi
suatu rumusan tentang asas oportunitas adalah
“Asas hukum yang memberikan wewenangnya kepada PenuntutUmum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpasyarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delikdemi kepentingan umum.”
4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
Pada dasarnya setiap persidangan adalah terbuka untuk umum
kecuali persidangan mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-
anak. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3)
KUHAP, bahwa:
“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membukasidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkaramengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Apabila hakim tidak membuka sidang tersebut untuk umum maka
hakim melanggar ketentuan ketentuan dan mengakibatkan putusan hakim
pengadilan menjadi “batal demi hukum.” Terhadap ketentuan ini ada
kecualinya mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan dan
terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini persidangan dapat
dilakukan dengan tertutup.
Menurut pendapat Andi Hamzah20 bahwa:
“Ketentuan yang terdapat di dalam pasal tersebut terlalu limitatif,seharusnya hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai
19 Ibid, Hal. 1420 Andi Hamzah, Op. Cit
20
situasi dan kondisi apakah sidang tersebut terbuka atau tertutupuntuk umum.”
Yahya Harahap berpendapat bahwa:
“Semua sidang pengadilan terbuka untuk umum. Pada saat majelishakim hendak membuka sidang, harus menyatakan “sidang terbukauntuk umum.” Setiap orang yang hendak mengikuti jalannyapersidangan, dapat hadir memasuki ruang sidang. Pintu dan jendelaruangan sidang pun terbuka, sehingga dengan demikian maknaprinsip persidangan terbuka untuk umum benar-benar tercapai.Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum disebut sebagaiasas demokrasi. Asas ini memberi makna yang mengarahkantindakan penegakan hukum di Sistem Peradilan Indonesia (SPP)Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan “keterbukaan”serta musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalammengambil keputusan.” 21
5. Semua orang diperlakukan sama didepan hakim;
Penjelasan Umum Butir 3a KUHAP bahwa perlakuan yang sama
atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan. Jadi sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas
telah ditegaskan bahwa peradilan memberikan perlakuan yang sama
kepada setiap orang di dalam pemeriksaan hakim tanpa adanya
pembedaan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo,
dimuka hukum semua orang adalah sama (equality before the law).
Pengadilan tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang seperti
yang tercantum dalam Pasal 20AB, tetapi mengadili menurut hukum.22
Menurut Barda Nawawi Arif23 bahwa :
21M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) edisi kedua,(Jakarta: Sinar Grafika, 2003) Hal. 110
22 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.23 Barda Nawawi Arif, Op. Cit
21
“Adanya pembedaan perlakuan hukum dari apara penegak hukum,berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before thelaw), seharusnya secara hukum tidak ada perbedaan perlakuanyang diberikan oleh aparat penegak hukum kepada sesamatersangka, karena proses hukum yang digunakan merupakan proseshukum yang adil dan jujur (dueprocess model) dalam sistempenegakan hukum yang in concreto.”
Dalam due process model, perbedaan perlakuan hukum antara
tersangka satu dengan tersangka lainnya oleh majelis hakim berdasarkan
penggunaan hak subyektifnya berakibat telah terjadinya pelanggaran asas
kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang
dianut oleh KUHAP.
6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;
Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa
dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk
jabatannya hakim-hakim ini diangkat oleh Kepala Negara. Berdasarkan
rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdekauntuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dankeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya NegaraHukum Republik Indonesia.
Prinsip ini sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut undang-
undang, yakni sistem pembuktian undang-undang secara negatif.
Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki (ultimate truth) di dalam
22
membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan batas minimum
pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.24
7. Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
Asas ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau
terdakwa bahwa mereka sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan
hukum dapat diperoleh oleh tersangka sejak saat di tangkap atau di tahan
pada semua tingkat pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 69 sampai dengan 74
KUHAP dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa mendapatkan:
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atauditahan (Pasal 69);
b. Bantuan hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal69);
c. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa padasemua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu (Pasal 70 ayat (1));
d. Pembicaraan antara penasehat hukum saat menghubungi tersangkatidak didengar oleh penyisik dan penuntut umum kecuali pada delikyang menyangkut keamanan negara (Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2));
e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penuntutumum guna kepentingan pembelaan (Pasal 72);
f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat daritersangka atau terdakwa (Pasal 73).
Pengecualian dari pasal tersebut di atas terdapat pada ketentuan
Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan kewajiban dari aparat penegak
hukum menegaskan bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15
tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
24 M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 112
23
Menurut Andi Hamzah25 bahwa :
“Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukummenyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dankelonggaran-kelonggaran tersebut hanya dari segi yuridis semata-mata bukan dari segi politik, sosial dan ekonomi.”
8. Akusator dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir);
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum
menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator. Ini artinya
perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang
pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.
Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau
terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai subyek, bukan obyek
pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau terdakwa harus
didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat.
Kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa
menjadi obyek dalam prinsip akusator.26
Menurut Andi Hamzah27, prisnsip inkusitor adalah menempatkan
tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Sedangkan menurut L. J. Van Apeldoorn28 yang
dimaksud akusator dan inkusitor adalah:
Sifat accusatoir ialah prinsip, bahwa dalam acara pidana,pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagaipihak yang sama haknya. Penuntut umum dan terdakwamelakukan pertarungan hukum (rechtsstriid) di muka hakim yang
25 Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 2126 ibid, Hal. 2227 Loc. Cit28 L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009)
Hal.338
24
tidak berpihak; Kebalikannya ialah asas inquisitoir dalam manahakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiribertindak sebagai pendakwa, jadi dalam mana tugas dari orangyang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukandalam satu orang.
9. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan.
Pemeriksaan di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung,
artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan
acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.
Menurut Andi Hamzah29 hal ini berkaitan dengan tujuan hukum
acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, di mana hakim melakukan
pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah secara langsung. Pemeriksaan
hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan
terdakwa.
B. Penyidikan
1. Pengertian Penyidikan
Salah satu rangkaian dalam menyelesaikan kasus dalam acara
pidana termasuk tindak pidana korupsi adalah melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
ataupun tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting
dalam suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat
penyidikan.
Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting
dalam rangkaian tahap- tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju
29Ibid
25
pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu
tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa
dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur
mengenai tindak pidannanya.30
Penyidikan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang tercantung dalan Pasal 1 angka 2 diartikan :
“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yangdiatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana untukmencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuatterang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukantersangkanya.”
Penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk
mencari dan mengumpulkan bukti agar dapat ditemukan tersangka.31
Sedangkan menurut K. wantjik Saleh yang dikutip dalam
jurnal hukum Sahuri Lasmadi32, penyidikan sendiri diartikan yaitu:
“Usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenarantentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yangmelakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu sertasiapakah yang terlibat dengan perbuatan itu.”
Penyidik sendiri menurut Pasal 45 angka 1 Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 adalah :
“Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dandiberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penyidikmelaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.”
30 Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Jakarta:Media Aksara Prima, 2012) Hal. 67
31 Hibnu Nugroho, Kedaulatan rakyat (18 Juli 2012) Hal. 132 Sahuri Lasmadi, “Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana
Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum , Volume 2, 3 ( Juli 2010 )Hal. 10
26
Dalam penyidikan sendiri ada yang disebut penyidik yaitu
orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yang
dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana. Pejabat penyidik sendiri terdiri dari Penyidik Polri dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.33
Tahap penyidikan terhadap suatu perkara biasanya dilakukan
setelah penyidik mengetahui adanya suatu peristiwa yang diduga
merupakan suatu tindak pidana. Disamping itu, penyidikan juga akan
dimulai apabila penyidik menerima laporan ataupun pengaduan
tentang dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, Yahya Harahap34
memberikan penjelasan mengenai penyidik dan penyidikan yaitu :
“Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuanumum Pasal I Butir 1 dan 2, Merumuskan pengertian penyidikanyang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabatpegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalamundang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dandengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidanayang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelakutindak pidananya.”
Sedangkan Andi Hamzah35 menyimpulkan bahwa definisi
dari Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yaitu :
33 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta:Sinar Grafika, 2000) Hal. 112
34 Ibid., Hal. 11535 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, 2000, Hlm.119
27
“Penyidikan dalam acara pidana hanya dapat dilakukanberdasarkan undang-undang, hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata “menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut
de Pinto yang dikutip dalam jurnal Bambang Tri Bawono36
menyebutkan bahwa menyidik (opsporing) berarti:
“Pemeriksaan permulaan oleh pejabat- pejabat yang untuk ituditunjuk oleh undang- undang segera setelah mereka dengan jalanapapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadisesuatu pelanggaran hukum.”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyidikan
merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu
proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidik dan
diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana, dari
pengertian tersebut, maka bagian-bagian dari hukum acara pidana
yang menyangkut tentang Penyidikan adalah ketentuan tentang alat-
alat bukti, ketentuan tentang terjadinya delik, pemeriksaan di tempat
kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahan sementara,
penggeledahan, pemeriksaan dan introgasi, berita acara, penyitaan,
penyampingan perkara, pelimpahan perkara kepada penuntut umum
dan pengembalian kepada penyidik untuk disempurnakan.
2. Pengertian Penyidik
36 Bambang Tri Bawono, “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Tersangka dalam PemeriksaanPendahuluan”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 245 ( Agustus 2011 ) Hal. 62
28
Dalam melakukan proses penyidikan tentunya ada pejabat
yang berwenang melakukan penyidikan tersebut. Pejabat tersebut
lebih dikenal dengan penyidik.
Menurut Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana ditegaskan bahwa penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesiab. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
Penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
KUHAP karena kewajibanya menurut Pasal 7 KUHAP mempunyai
wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentangadanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal dari tersangka;d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;h. Mendengarkan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya
dengan pemeriksaan perkara;i. Mengadakan penghentian penyidikan;j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
b KUHAP mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
29
pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan
penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP.
Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik wajib menjunjung
tinggi hukum yang berlaku. Penyidik sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP mempunyai wewenang
melakukan tugas masing masing pada umumnya di seluruh wilayah
Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing dimana ia
diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
3. Kewenangan Lembaga Penyidik Dalam Penyidikan Tipikor
Dalam perjalanan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin
membantu dalam penanganan kasus – kasus tindak pidana korupsi di
Indonesia. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya
disebut Komisi Pemberantsan Korupsi adalah lembaga Negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang- Undang Nomor 30
Tahun 2002 yaitu :
“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakanuntuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melaluiupaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan,
30
penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan, dengan peranserta masyarakat berdasarkan peraturan perundang- undangan yangberlaku.”
Komisi pemberantasan korupsi dalam hal penanganan tipikor
harus sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku sebagai
ketentuan yang memuat tata cara dan suatu proses perkara pidana,
mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut
dalam proses perkara serta mengatur pelaksanaan peradilan menurut
Undang-Undang. Pengertian hukum acara pidana menurut
Moeljatno37 bahwa:
“Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yangberlaku disuatu negara yang berisikan dasar-dasar dan aturan yangmenentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidanayang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan,bagaimana cara dan prosedur dapat dilaksanakan apabila adasangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.”
Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro hukum acara
pidana erat hubungannya dengan hukum pidana. Wirjono
Projodikoro38 memberi pengertian hukum acara pidana:
“Hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yangmemuat cara, bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasayakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gunamencapai tujuan negara yang mengadakan hukum pidana.”
Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri dapat dilihat
dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu :
a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukantindak pidana korupsi.
37 Topo Santoso,”Polisi dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, JurnalIlmu Hukum. Volume 10 ( September 2001 ) Hal. 12
38 Ibid. Hal. 2
31
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukanpemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenangadalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan PengawasKeuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan KekayaanPenyelenggara Negara, inspekorat pada Departemen atau LembagaPemerintah Non- Departemen.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadaptindak pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.e. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan pemerintah
Negara.f. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
tindak pidana korupsi.g. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenangadalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan PengawasKeuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan KekayaanPenyelenggara Negara, inspekorat pada Departemen atau LembagaPemerintah Non- Departemen.
h. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadaptindak pidana korupsi.
i. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.j. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan pemerintah
Negara.
Salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting dalam
suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat penyidikan.
Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting
dalam rangkaian tahap- tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju
pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu
tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa
32
dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur
mengenai tindak pidannanya.39
Dalam sejarah hukum acara pidana bahwa sebelum
berlakunya KUHAP, kekuasaan melakukan penyidikan dimiliki oleh
kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang
Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi:
“Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan danpelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat- alat penyidikmenurut ketentuan- ketentuan dalam Undang- Undang Hukum AcaraPidana dan lain- lain peraturan negara”.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan untuk kesempurnaan
tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas- jelasnya
semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara
pidana dari permulaan sampai akhir yang seluruhnya itu harus
dilakukan atas dasar hukum. Hal ini dapat dilihat bahwa yang
memimpin dalam hal penyidikan pada periode sebelum berlakunya
KUHAP adalah kejaksaan, yaitu dengan tugas selaku pengawas dan
koordinator di bidang penyidikan yang dilakukan oleh pihak- pihak
lain, termasuk polisi.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang-
undang Kepolisian yang baru pada tahun 2002, menyatakan polisi
dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Dalam arti
39 Hibnu Nugroho, Op.Cit., Hal. 67
33
kata baik polisi maupun kejaksaan mempunyai kewenangan yang
dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus.
Dari ketiga lembaga penyidikan tersebut dapat menimbulkan
tumpang tindihnya kewenangan antara sub sistem dalam sistem
peradilan pidana tentang siapa yang berwenang melakukan
penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi setelah keluarnya
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan rumusan Pasal 26 Undang –
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, merumuskan:
“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan
terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang ini.”
Hal ini sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-undang No.
30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Secara
Gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara yang berlaku
tentunya merujuk kepada Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, karena selain
KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di
Indonesia. Hal tersebut juga berarti bahwa terhadap tindak pidana
korupsi, harus dilakukan penyidikan berdasarkan Pasal 106 sampai
136 KUHAP oleh penyidik menurut Pasal 1 angka 1 sampai 5, yaitu
polisi. Sedangkan penuntutan tindak pidana dilakukan menurut Pasal
34
137 sampai 144 KUHAP oleh penuntut umum menurut Pasal 1
angka 6 dan 7 KUHAP, yaitu Jaksa.
Berdasarkan uraian dan pemikiran tersebut di atas, jelas
bahwa masalah kewenangan masing-masing sub sistem dalam sistem
peradilan pidana sangat menentukan sekali dalam rangka penegakan
hukum terutama pada tindak pidana korupsi, agar kepastian hukum
dan kesebandingan hukum dapat tercapai.
Hal ini sebagaima sebagaimana dijelaskan oleh Muladi40,
bahwa :
“Sistem peradilan didalamnya terkandung gerak sistemik darisubsistem – subsistem pendukung ( Kepolisian, Kejaksaan, KPK,Pengadilan ) yang secara keseluruhan dan merupakan satu kesatuan(totalitas) berusaha mentrasformasikan masukan menjadi keluaranyang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yang berupayaresosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahankejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangkapanjang). Untuk itu perlu adanya sinkronisasi pelaksanaan penegakanhukum dikalangan subsistem-subsistem. Jika keterpaduan subsistem-subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak terwujud, masyarakatdapat beranggapan bahwa sistem peradilan pidana menyebabkantimbulnya kejahatan.”
Berdasarkan hal tersebut diatas maka, diantara ketiga
lembaga pemberantasan tipikor tersebut yaitu Kepolisian, Kejaksaan
dan KPK harus adanya hubungan yang sinergis dan kerjasama yang
baik begitu pula dalam halnya penyidikan di tingkat daerah.
Menurut “ Kamus besar bahasa Indonesia “bahwa yang
dikatakan harmonisasi adalah pengharmonisan, pencarian
40Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan PenerbitUniversitas Diponegoro, 2000) Hal. 7
35
keselarasan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
pengharmonisasian atau pencarian keselarasan antara hukum pidana
formil yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981
dengan Undang- Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Karena hal inilah yang bisa menjadi satu
hambatan dalam penyidikan tindak pidana korupsi jika tidak ada
hubungan sinergis diantara ketiga lembaga tersebut.
Penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang
telah terjadi di daerah sesuai dengan Pasal 50 angka 1 Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai penyidik di daerah yaitu :
“Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukanpenyidikan, sedangkan perkara telah dilakukan penyidikan olehkepolisisan atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukankepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empatBelas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.”
Selain itu, jika penyidikan sudah dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan maka lembaga tersebut wajib melakukan koordinasi
terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam perkara lain jika Komisi Pemberantasan Korupsi
sudah mulai melakukan penyidikan, maka sesuai dengan Pasal 50
ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu kepolisian
atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Jika
penyidikan dilakukan secara bersamaan maka penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan. Oleh
karena itu juga untuk menghindari terjadi tumpang tindih, penyidik
36
Polri yang telah menyepakati untuk melakukan penandatangan
MoU.41
Pada intinya MoU tersebut berisi tentang kesepakatan bahwa
KPK akan memberitahukan kepada institusi kepolisian dan
kejaksaan pada saat mulai melakukan penyidikan suatu kasus dengan
menerbitkan SPDP (Surat Penghentian Dimulainya Penyidikan),
karena selama ini yang telah melakukan hal tersebut baru antara
lembaga kepolisian dengan kejaksaan, sedang KPK tidak pernah
melakukan hal tersebut baik kepada kepolisian maupun kejaksaan.
Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan
Kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilihat
dalam Pasal 6 huruf a Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas – tugas :
“Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi”
Tugas tersebut haruslah dilaksanakan dengan baik oleh
penyidik dalam penyidikan tipikor di daerah agar berjalanya
pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
C. Lembaga Penyidikan Tipikor di Indonesia
1. Komisi Pemberantasan Korupsi
41 Hibnu Nugroho, Op. Cit hlm. Hal. 104
37
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) yang sampai hingga saat ini masih terus dilakukan upaya
untuk menanganinya. Karena korupsi merupakan kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) sehingga pemberantasannya harus
dilakukan dengan cara- cara luar biasa juga. Aparat penegak hukum
di Indonesia mengalami kesulitan bahkan kurang maksimal dalam
mengatasi pemberantasan korupsi. Kenyataannya bahwa lembaga
Negara sebelumnya yang menangani tipikor belum berfungsi efektif
dan efisiensi42.
Oleh Karena itu dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi
ini sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi
tidak ditemukan pengertian tentang korupsi. Akan tetapi, dengan
memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil,
maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak
pidana korupsi dimaksud. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun
1999, menyatakan sebagai berikut :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatanmemperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yangdapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.”
42 Ganjar Laksmana B, “Penyidik Independen KPK”, Tempo edisi 8- 14 Oktober 2012,hal. 40.
38
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun
1999, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan ataukedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atauperekonomian Negara.”
Dari hal tersebut diatas bisa dilihat pengertian Korupsi
menurut Huntington adalah perilaku pejabat publik yang
menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi.43
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya
disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun.
2. Kepolisian
Kepolisian merupakan salah satu lembaga yang bertugas
melakukan penyidikan, termasuk di dalamnya adalah melakukan
43Diunduh dari : http://www.psychologymania.com/2012/11/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html . Diakses tanggal 22 Mei 2013 Pukul 15.00 WIB
39
penyidikan tindak pidana korupsi. Disamping itu kepolisian juga
mempunyai tugas lain, tugas kepolisian utamanya bersangkut paut
dengan penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan
umum, meliputi: tugas bidang penegakan hukum sebagai penyelidik
dan penyidik (yustisi), tugas social dan kemanusiaan, tugas
pendidikan kesadaran hukum, dan tugas menjalankan pemerintahan
(bestuurlijk) terbatas.
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP,
menyebutkan bahwa salah satu instansi yang diberi wewenang untuk
melakukan Penyidikan ialah “Pejabat Polisi Negara RI”. Namun agar
seseorang pejabat Kepolisian diberi jabatan sebagai Penyidik, maka
ia harus memenuhi “syarat kepangkatan” menurut penjelasan Pasal 6
ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa syarat kepangkatan Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian dalam penjelasannya
dikatakan kepangkatan yang ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah itu diselaraskan dengan kepangkatan Penuntut Umum
dan Hakim pengadilan umum.44
Penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001, penyidik Kepolisian bukan lagi sebagai penyidik
44 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan, dan Penerapan KUHAP (Penyidikandan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2002. Hal. 110-111.
40
tunggal sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang
kepolisian, melainkan munculnya penyidik lain yang diakui oleh
undang-undang sebagai penyidik yaitu penyidik kejaksaan dan
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang-
undang Kepolisian yang baru pada tahun 2002, menyatakan polisi
dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Dalam arti
mempunyai kewenangan yang dalam melakukan penyidikan tindak
pidana khusus.
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP,
dapat diketahui bahwa tidak semua pejabat polisi negara adalah
penyidik. Ketentuan ini mengatur bahwa yang bisa menjadi penyidik
adalah pejabat polisi negara yang telah ditunjuk dan diangkat sebagai
penyidik sesusai dengan Surat Keputusan Kapolri tanggal 24
Desember 1983 Nomor Pol. SKEP/619/XII/1983, tentang ketentuan
Penunjukan Penyidik dan Kepangkatan Penyidik Pembantu dalam
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dari ketentuan diatas dapat diartikan bahwa kepolisian
mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi namun yang bisa menjadi penyidik diatur sesuai
41
dengan aturan tentang penunjukan dan pengangkatan penyidik
kepolisian itu sendiri.
3. Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Negara yang
melaksanakan kekuasaan Negara, khususnya di bidang penuntutan.
Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan
keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh
dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan
negara khususnya di bidang penuntutan, di mana semuanya
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.45
Selain itu kejaksaan mempunyai kewenangan yang lainnya
sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang- Undang Nomor 16
Tahun 2004 bahwa salah satu kewenangan kejaksaan dibidang
pidana yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang- undang.
Pengertian Jaksa dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 ayat (6)a dan ayat (6) huruf b KUHAP, sebagai berikut :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undangini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakanputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap.
45 Hibnu Nugroho, Op.Cit. hal.87.
42
b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang olehundang-undang ini untuk melakukan penuntutan danmelaksanakan penetapan hakim.
Rumusan pada Pasal 1 ayat (6) a KUHAP ini mengenai
“Jaksa” diperluas dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada bagian
ketentuan umum sebagai berikut :
a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang olehundang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum danpelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum serta wewenang lain berdasarkan undang- undang.
b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang olehundang-undang ini untuk melakukan penuntutan danmelaksanakan penetapan hakim.
c. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkanperkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal danmenurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana denganpermintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidangpengadilan.
d. Jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknisdalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinyamemungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.
Dari pengertian tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian
Jaksa berkolerasi dengan aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”,
sedangkan pengertian “penuntut umum” berkolerasi dengan aspek
“fungsi” dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hukum hakim di depan persindangan.
43
Sedangkan yang dimaksud Kejaksaan menurut Pasal 6
Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia memberikan pengertian :
a. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yangmelaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan sertakewenangan lain berdasarkan undang-undang.
b. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilaksanakan secara merdeka.
c. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dantidak terpisahkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo.Pasal
17 PP No.27 Tahun 1983 jo.Pasal 26 Undang-Undang nomor 31
Tahun 1999 jo.Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 44 ayat (4) serta
Pasal 50 ayat 1,2,3,4 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 30 huruf d
Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum
yang diberi wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 17 PP No.27/1983
tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
menegaskan bahwa :
44
“Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang
diatur secara khusus oleh undang - undang tertentu dilakukan oleh
Penyidik, Jaksa dan Pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang
ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
D. Tindak Pidana Korupsi
1. Tindak Pidana
a. Pengertian
Tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang
berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda.
Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai
terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang
dipergunakan untuk menterjemahkan strafbaarfeit oleh sarjana-
sarjana di Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan
pidana.
Menurut P.A.F. Lamintang46 mengenai tindak pidana
tersebut yaitu:
“Pembentuk undang-undang tidak memberikan suatupenjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksuddengan “strafbaarfeit”, maka timbulah di dalam doktrinberbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yangdimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut”
Dari sekian banyak pandangan mengenai istilah apa yang
paling tepat untuk “strafbaar feit”, pembentuk undang-undang
46 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) 181
45
akhirnya menyatakan bahwa istilah yang cocok untuk“strafbaar
feit” tersebut adalah tindak pidana. Alasan yang mendasari hal
tersebut adalah aspek socio-yuridis, dimana hampir semua
perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana.
Berkaitan dengan pengertian tindak piidana, dikenal dua
pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis.
Pandangan monistis memberikan menjelaskan bahwa didalam
pengertian perbuatan pidana / tindak pidana sudah tercakup
didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan
pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal responsibility).
Sedangkan dalam pandangan dualistis, memberikan pandangan
bahwa dalam tindak pidana hanya terdapat perbuatan yang dilarang
(criminal act), dan pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal
responsibility) tidak menjadi unsur tindak pidana.47
Sarjana yang menganut paham monisme adalah Simons,
menurut Simons yang dikutip dalam bukunya P.A.F. Lamintang48
yang dimaksud dengan tindak pidana adalah
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengansengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yangdapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yangoleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakanyang dapat dihukum.”
Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, unsur-unsur
yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana adalah:
47 Tongat, Op. Cit, Hal. 105 -10648 Ibid, Hal. 185
46
1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)
maupun perbuatan negatif (tidak berbuat).
2) Diancam dengan pidana
3) Melawan hukum
4) Dilakukan dengan kesalahan
5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Lain dengan Simons, J. Baumann49 mengatakan bahwa
tindak pidana adalah Perbuatan yang memenuhi rumusan delik,
bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan.
Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpandangan tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dipidana.50
Sarjana yang menganut paham dualisme adalah Moeljatno,
menurutnya yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melangggar
larangan tersebut. Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut,
unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana
adalah:
1) Adanya perbuatan (manusia);2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini
merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya Pasal 1 ayat(1) KUHP;
3) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil,terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiildalam fungsinya yang negatif).51
49 Sudarto, Op. Cit, Hal. 31-3250 Tongat, Op. Cit, Hal. 10651 Ibid, Hal. 107
47
Selain Moeljatno, sarjana lain yang tergolong menganut
pandangan dualism adalah Pompe. Menurut Pompe52 yaitu:
Dalam hukum positif stafbaarfeit tidak lain feit (tindakan)yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang dandalam hokum positif sifat melawan hukum dan kesalahanbukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”.
Jika dicermati secara seksama, terdapat persamaan dalam
pandangan monisme dan dualisme. Baik pandangan monisme dan
dualisme, keduanya mengharuskan bahwa untuk adanya pidana
harus terdapat tindak pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana (criminal responsibility). Adapun perbedaannya telah
dijelaskan pada penjelasan sebelumnya.
2. Korupsi
a. Pengertian
Ditinjau dalam sudut pandang etimologi, korupsi merupakan
istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia, Dalam Webster
Studen Dictionary, Korupsi merupakan istilah yang berasal dari
bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa
corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata
dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke
banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt;
Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie),
52 Ibid, Hal. 10
48
dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda
dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”53.
Di dalam Black’s Law Dictionary dalam bukunya Marwan
Effendi54 menyebutkan tentang korupsi itu sendiri yaitu
“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untukmemberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengankewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salahmenggunakan jabatannya atau karakternya untukmendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atauuntuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Pengertian korupsi secara harafiah menurut A. I. N. Kramer
SR mengartikan kata korupsi sebagai: busuk, rusak atau dapat
disuap.55
Sedangkan arti korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh
Poerwadarminta bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya56.
Beberapa pengertian dalam sudut pandang etimologi tersebut
pada akhirnya nampak bahwa korupsi memiliki pengertian yang
sangat luas. Sependapat dengan ini adalah pengertian dari
53Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)Hal. 6
54Marwan Effendy, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap BeberapaPerkembangan Hukum Pidana (Jakarta: Referensi, 2012) Hal. 80
55John M. Echols dan Hassan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: GramediaPustaka Utama, 1997) Hal. 149
56 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1976) Hal. 524
49
Encyclopedia Americana yang dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah57 yaitu:
“Korupsi adalah suatu hal yang sangat buruk dengan
bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat,
dan bangsa.”
Beberapa sarjana mencoba mendefinisakan korupsi,
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmer58,
menguraikan arti istilah korupsi dari berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan
manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangut bidang
kepentingan umum.
Sedangkan Sudarto59 menjelaskan pengertian korupsi dari
unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atausuatu badan.
2) Perbuatan itu bersifat melawan hukum.3) Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan / atau perekonomian negara, atauperbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuatbahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu, perlu diperhatikan mengenai pernyataan dari
World Bank60 yang dikutip dalam bukunya Marwan Effendy
berdasarkan hasil penelitiannya yang menjelaskan bahwa:
57 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional danInternasional (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005) Hal. 6
58 Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Hal. 959 Ibid, Hal. 1860Marwan Effendy,Op. Cit, Hal. 81
50
“Korupsi adalah “An Abuse Of Public Power For Private
Gains” atau penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan
untuk kepentingan pribadi.”
Dalam sudut pandang normatif, pengertian korupsi dapat
dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 dijelaskan pengertian korupsi melalui unsur-unsur dari tindak
pidana korupsi. unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2
ayat (1) adalah:
1) Melawan hukum,2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3
adalah:
1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan,3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Sebab-Sebab Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan suatu perbuatan, oleh karenanya terdapat
alasan-alasan atau sebab-sebab mengapa orang melakukan perbuatan
korupsi. Andi Hamzah61 membuat hipotesis mengenai sebab-sebab
korupsi sebagai berikut:
1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkandengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
61 Andi Hamzah, Op.Cit, Hal. 13–23
51
2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia;3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan
efisien;4) Modernisasi
Marwan Effendy turut mengambil bagian dalam
menemukan jawaban dari sebab-sebab korupsi, dengan berangkat
dari pengertian korupsi yang disampaikan oleh Sheldon S.
Steinberg dan David T. Ausytern62 yang menyatakan bahwa
“Korupsi adalah perbuatan tidak etis yang merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik yang disebabkan olehminimnya integritas, sistem karier dan penggajian yang tidakberbasis kinerja serta standar pelayanan minimal dan perilakumasyarakat yang serba instan dalam setiap urusan.”
Mengenai korupsi tersebut Patrick Glynn, Stephen J.
Korbin, dan Moise Naim dalam buku terjemahan Kimberly Ann
Elliot63 berpandangan bahwa:
“Korupsi disebabkan sebagai akibat dari perubahan politiksecara sistematis, sehingga memperlemah ataumengahancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapijuga hukum.
Pendapat mereka tersebut nampak terbukti dalam perubahan
politik di Indonesia yang kini sedang dalam tahap reformasi.
Sebelum reformasi atau ketika orde baru, korupsi menjadi sistemik
dan hierarkis. Kemudian dengan jatuhnya orde baru yang kemudian
munculnya pengenalan sistem pemilihan umum yang baru di tahun
1999 dan implementasi desentralisasi di tahun 2001 membuat pola
62Marwan Effendy, Op. Cit, Hal. 83-8463 Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia 1999) Hal. 11
52
korupsi era orde baru menyusut, tetapi dalam perkembangannya
justru korupsi dalam skala kecil semakin meningkat karena pemain
lama yakni para pejabat kakap sudah absen. Meningkatnya korupsi
dalam skala kecil ini melah ternyata telah membuat suatu budaya
yang dapat memaklumi keikutsertaan dalam korupsi.64
64 Ibid
53
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penelitian kualitatif ini menggunakan
pendekatan yuridis sosiologis. Kajian aspek hukumnya secara yuridis
sosiologis yaitu penelitian yang menggunakan fakta-fakta empiris yang
diambil dari perilaku manusia baik perilaku verbal yang didapat melalui
wawancara atau perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan
langsung dengan peneliti ikut terlibat langsung dalam penelitian yang
dimaksud. Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa:
(1) hukum dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna
simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari
aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat; (2) agar dapat mengungkap
dan mendapatkan makna yang mendalam dan rinci terhadap obyek
penelitian dari informan.65
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu
suatu penelitian yang hanya menggambarkan obyek yang menjadi
pokok permasalahan saja.66 Pada penelitian ini penulis akan
menggambarkan bagaimana penyidikan yang dilakukan terhadap kasus
tindak pidana korupsi di daerah.
65 Sutandyo Wignyosoebroto, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian danMetode Penelitiannya, Makalah Lokakarya, (Semarang: Yayasan Dewis Sartka,2006) hal. 2.
66 Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia,1990) Hal. 13
54
3. Lokasi Penelitian
Peneliti menggunakan lokasi penelitian di Kejaksaaan Negeri
Cilacap, Polres Cilacap.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini, data yang digunakan oleh peneliti adalah:
a. Data sekunder
Data sekunder akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian
yaitu:
a.1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
bersifat mengikat, terdiri dari:
a.1.1. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar
1945,
a.1.2. Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
1.2.1. Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana ( KUHAP )
1.2.2. Undang–Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
1.2.3. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
55
1.2.4. Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
a.2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,
terdiri dari:
a.2.1.Pustaka di bidang ilmu hukum,
a.2.2.Hasil penelitian di bidang hukum,
a.2.3.Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun
internet.
a.3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu kamus besar Bahasa Indonesia, kamus
hukum, dan kamus-kamus ilmiah lainnya.
b. Data primer
Data primer adalah data yang diambil langsung dari informan
penelitian yakni Penyidik Tipikor di wilayah Cilacap yaitu
Kejaksaan dan Kepolisian.
5. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah wawancara,
kepustakaan dan dokumentasi.
6. Metode Penyajian Data
56
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh
kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang
disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan
data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh.
7. Metode Penentuan Informan
Proses penetuan sampel dalam penelitian ini menggunakan
Purposive Sampling, Snowball Sampling dan Criterian Based Selection.
Melalui pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling dengan
Criterian Based selection, maka peneliti cenderung memilih narasumber
yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data
yang mantap dan mengetahui masalah secara mendalam.
Melihat fokus kajian dalam penelitian ini, maka disajikan atau
ditentukan sebagai informan dalam penelitian ini adalah:
1. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Cilacap
Sunarko,S.H.,M.H.
2. Anggota Sub Unit Tindak Pidana Korupsi Reserse Kriminal
Kepolisian Resort Cilacap Brigadir Polisi Triawan
8. Metode Validitas Data
Cara yang digunakan untuk menguji validitas atau kebenaran data
yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan triangulasi.
Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber yaitu
57
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif. Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik
pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu.67
9. Metode Analisis Data
Data bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara
normatif-kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari
peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Kualitatif
karena data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis, untuk
selanjutnya dianalisa secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan
masalah yang akan dibahas.68
67 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. (Bandung: PT RemajaRosada Karya,2006) Hal. 330
68 Ibid. Hal. 98
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah ( Studi
Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologis, oleh karena itu penelitian ini
menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer berupa pendapat langsung dari informan, yaitu penyidik dari
Kejaksaan Negeri dan Kepolisian Resort di wilayah Kabupaten Cilacap. Data
sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literatur dan doktrin yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Implementasi penyidikan yang
diteliti oleh penulis adalah penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan dan
kepolisian terhadap tindak pidana korupsi di wilayah Cilacap.
A. Hasil Penelitian Data sekunder
Penyidikan merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan
hukum, karena berdasarkan hasil penyidikan yang baik akan menghasilkan
surat dakwaan yang tepat, sehingga proses persidangan akan berjalan dengan
benar serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil.
Asas-asas dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi
pedoman pelaksana tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan
tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan
59
bersentuhan dengan pembatasan hak-hak asasi manusia sebagai tersangka,
maka kedudukan dari asas-asas penyidikan tidak boleh dikesampingkan.
Hal ini juga sama halnya terhadap penyidikan dalam tindak pidana
korupsi karena tahap-tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting
dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju
pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak
pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari
adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya.
Hal ini berlaku baik penyidikan tersebut dilakukan oleh kejaksaan maupun
kepolisian.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
penyidikan dirumuskan di dalam pasal-pasal di beberapa peraturan perudang-
undangan yaitu:
1. Pengaturan Perundangan Mengenai Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi Di Indonesia
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur tentang perlindungan
terhadap terjaminnnya hukum bagi setiap orang. Hal tersebut
dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa:
60
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukumdan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum danpemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan melihat pasal tersebut, walaupun tidak disampaikan
mengenai penyidikan itu sendiri terjaminnya hukum bagi setiap orang
merupakan hak konstitusional yang wajib diberikan oleh Negara.
Termasuk halnya dalam penyidikan.
Artinya setiap warga negara mempunyai hak diperlakukan
sama dimuka hukum (equality before the law) dan hak untuk
mendapatkan keadilan (access to justice).
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan salah
satu acuan dalam beracara untuk menangani kasus-kasus hukum
pidana. Dan sampai saat ini yang masih berlaku di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. Salah satu tahapan dalam beracara yang tertuang
dalam KUHAP adalah tahap penyidikan. Tahap penyidikan merupakan
salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus
dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya
dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan
tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan
perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya.
61
Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana diartikan :
“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut carayang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum AcaraPidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang denganbukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadidan guna menemukan tersangkanya.”
Dalam melaksanakan penyidikan dilakukan oleh penyidik
sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yaitu :
“Penyidik adalah pejabat pejabat polisi Negara RepublikIndonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberiwewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakanpenyidikan.
Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a
KUHAP, menyebutkan bahwa:
Penyidik adalah :
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khususoleh undang-undang.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
62
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tugas dan wewenang kepolisian dalam melakukan
penyidikan. Hal itu bisa kita lihat Berdasarkan Pasal 14 huruf f yang
dirumuskan bahwa salah satu tugas kepolisian yaitu:
“Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semuatindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana danperaturan perundang-undangan lainnya.”
Dengan melihat rumusan pasal tersebut menunjukan bahwa
salah satu tugas dari kepolisian adalah melakukan penyidikan terhadap
semua tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Jadi jelas bahwa Kepolisian berwenang
dalam melakukan proses penyidikan terhadap tersangka suatu tindak
pidana.
d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan terbaru
yang mengatur mengenai kejaksaan di Indonesia. Dalam hal mengenai
wewenang jaksa dalam melakukan penyidikan diatur dalam Pasal 30
ayat (1) huruf d yaitu :
“Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentuberdasarkan undang-undang.”
63
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa jaksa hanya
berwenang untuk melakukan Penyelidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan Penyidikan
menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang
ditetapkan pada tanggal 13 Nopember 1998 merupakan tindak lanjut
atas ketidaksesuaian lagi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum mengenai tindak pidana korupsi. Dikatakan tidak
sesuai lagi karena setelah diberlakukan selama 28 (dua puluh delapan)
tahun berlaku ternyata telah terjadi perkembangan tindak pidana
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara
negara dengan para pengusaha.69 Sebuah Aide Memorie Bank Dunia
yang diterbitkan pada Oktober 1998 menyatakan bahwa benar terjadi
korupsi pada proyek-proyek di Indonesia yang didanai Bank Dunia
69 Ermasyarah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Cetakan Kedua, SinarGrafika, Jakarta, hal. 9.
64
dan dana bantuan dari lembaga-lembaga internasional lainnya
sehingga disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga.70
Dalam konsideransnya ada dua pertimbangan pokok lahirnya
TAP MPR ini:
1) Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-
praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok
tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha
sehingga merusak sendi-sendi penyelenggara negara dalam
berbagai aspek kehidupan nasional;
2) Bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan
nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara
yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta
kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara
serta keluarganya yang diduga berasal dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
TAP MPR ini bertujuan untuk memfungsikan secara
proporsional dan benar lembaga-lembaga negara yang ada, sehingga
penyelenggaraan negara dapat berlangsung sesuai dengan UUD 1945.
Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan
70Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern (Yogyakarta: FH UII Press, 2008),Hal. 85
65
yudikatif harus melaksanakan fungsinya dengan baik dan
bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan
sikap jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan
diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.71 Dari TAP MPR ini,
lahirlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999 agar TAP
MPR ini dapat dijalankan.
f. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
disahkan pada tanggal 19 Mei 1999, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa undang-undang ini dirumuskan karena undang-
undang ini diamanatkan secara langsung oleh TAP MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini sangat
rinci merumusakan fokus upaya tata kelola negara yang bebas dari
KKN antara lain melalui definisi penyelenggara negara,
71 Ermansyah Djaja, Op. Cit, hal 16 – 17.
66
penyelenggaraan negara yang bersih, korupsi, kolusi, dan nepotisme
dalam Pasal 1 secara berututan72.
Adapun bunyi Pasal 1 tersebut adalah berikut:
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, danpejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan denganpenyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah PenyelenggaraNegara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negaradan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, sertaperbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturtentang tindak pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawanhukum antar-Penyelenggara Negara atau antara PenyelenggaraNegara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakatdan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negarasecara melawan hukum yang menguntungkan kepentingankeluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,bangsa, dan negara.
Selain itu, undang-undang ini dalam Pasal 2 nya secara
tegas merumusakan siapa-siapa saja yang terkategori sebagai
penyelenggara negara, adapun bunyi Pasal 2 tersebut adalah
sebagai berikut:
Penyelenggara Negara meliputi:1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara3. Menteri;4. Gubernur;5. Hakim;
72 Servas Pandur, 2011, Testimoni Antasari Azhar Untuk Hukum dan keadilan, Larasindra Semesta, Jakarta, hal. 365.
67
6. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memilki fungsi strategis dalam kaitannyadengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara yang dimaksud Pasal 2 tersebut pun memiliki
hak secara limitatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 4. Berkaitan
dengan mewujudkan penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN,
undang-undang ini mewajibkan kepada penyelenggara untuk
melakukan pemeriksaan kekayaan dalam rangka pencegahan praktek
KKN bagi penyelenggara negara. Kewajiban pemeriksaan kekayaan
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 yang berbunyi:
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya
sebelum memangku jabatannya;2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat;3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan
setelah menjabat;
Pelaksanaan kewajiban pemeriksaan kekayaan bagi
penyelenggara negara dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara.
Undang-undang ini memungkinkan untuk adanya peluang
peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara
yang bebas dari KKN. Peluang tersebut diberikan undang-undang
ini dalam Pasal 8, kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peran serta
68
masyarakat diwujudkan dalam beberapa bentuk sebagaimana bunyi
pasal tersebut sebagai berikut:
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8diwujudkan dalam bentuk:a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
tentang penyelenggaraan negara;b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara
bartanggungjawab terhadap kebijakan PenyelenggaraNegara; dan
d. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
bentuk a, b, dan c;2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan,
dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi,dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Negara. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan
perlindungan hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan bentuk-
bentuk peran serta masyarakat tersebut dengan ketentuan
melakukan pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi yang
berwenang.
g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi merupakan undang-undang yang menggantikan
69
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dalam considerans Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 dinayatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan
lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Sisi penting Undang-Undang ini adalah mengakui bahwa
tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional
sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan risiko korupsi yang terjadi selama ini di Negara RI adalah:
1) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
2) Menghambat pertumbuhan dan kelangsungan negara
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.73
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang
bersifat fundamental, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Perumusan Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi dirumuskan pengertiannya dalam Pasal
2 ayat (1) sebagai berikut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukanperbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
73 Ibid, Hal. 366.
70
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara,”
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga unsur
dalam tindak pidana korupsi yakni:
a) Melawan hukum;
b) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
c) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Berkaitan dengan unsur melawan hukum, penjelasan Pasal 2
ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa melawan hukum dalam
undang-undang ini adalah melawan hukum secara formil dan materiil.
Adapun bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah berikut:
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalamPasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam artiformil maupun dalam arti materiil, yakni meskipunperbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggaptercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan ataunorma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, makaperbuatan tersebut dapat dipidana.”
Ketentuan perumusan ini merupakan ketentuan yang
menguntungkan bagi Penuntut Umum karena mempermudah dalam
menjerat terdakwa karena tidak perlu membuktian bahwa perbuatan
yang didakwakan telah melanggar ketentuan pasal yang mana. Dalam
perkembangannya, ketentuan sifat melawan hukum materiil berhenti
diterapkan sejak tahun 2006 karena ketentuan ini dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konsitusi karena
71
digugat oleh Ir. Dawud Djatmiko dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006.
Senada dengan Putusan Mahmakah Konstitusi tersebut, Andi
Hamzah74 mengemukakan bahwa:
“Dengan adanya kata “tidak sesuai dengan rasa keadilan danseterusnya, hal ini menjadi sangat luas sehingga sangat sulitbagaimana hakim dapat menyatakan bahwa unsur rasa keadilanmasyarakat itu terbukti. Dapatkah dikatakan jika adademonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor merupakanmanifestasi rasa keadilan masyarakat. Jika demikian halnya,orang dapat mengumpulkan seribu orang dengan bayaran untukberdemonstrasi menunut orang sebagai koruptor, misalnyadengan motif politik. Gejala seperti ini sangat berbahaya bagikepastian hukum dan telah terlihat pada beberapa kasuspilkada. Mencantumkan kata-kata “rasa keadilan masyarakat”sangat bersifat karet, dan menjadi sama dengan penyingkiranasas legalitas Jaman Nazi dengan kata-kata yang sama yaitu“rasa keadilan masyarakat” (the sound sense of justice of thepeople) menuntut agar seseorang dipidana maka orang itu harusdipidana, walaupun tidak tercantum di dalam undang-undang.Setiap orang dapat mengatasnamakan masyarakat untukmenuduh orang telah melakukan korupsi.”
Berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi, nampak bahwa unsur ini merupakan tujuan dari
korupsi. Istilah “memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel)
merupakan istilah yang baru dalam hukum pidana di Indonesia
mengingat bahwa dalam KUHP tidaklah dikenal istilah demikian.75
Secara harafiah, istilah “memperkaya” mengandung makna
mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya), pengertian istilah
“memperkaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
74 Ermasnjah Djaja, Op. Cit, Hal. 34 -3575 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), Hal. 174.
72
menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang
sudah kaya menjadi bertambah kaya.76
Unsur memperkaya ini tidak seperti unsur melawan hukum
yang diberikan penjelasannya oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, berbeda dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang
dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 dinyatakan sebagai berikut:
“Perkataan "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau"suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada terdakwa untukmemberikan keterangan tentang sumber kekayaannyasedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbangdengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut,dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lainbahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.”
Dengan memperbandingkan ketentuan tersebut, nampak bahwa
terdapat kemunduran dalam kebijakan formulasi dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya yang berkaitan dengan
pemahaman unsur “memperkaya”, namun kekurangan ini sebenarnya
tertutupi dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme yang memberikan kewajiban bagi penyelenggara
negara untuk melaporkan kekayaannya. Lebih dari itu, Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 dapat dijalankan secara efektif karena
memiliki peraturan pelaksanaanya yakni Peraturan Pemerintah Nomor
76 Ibid., Hal. 174 – 175.
73
65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara dan dengan disahkannya Undang-Undang ini
telah memunculkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN).
Berkaitan dengan unsur terakhir yakni dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, undang-undang ini
memberikan makna dalam penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai
berikut:
“Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikankeuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwatindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanyatindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsurperbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnyaakibat.”
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah
dianggap terjadi atau selesai dengan telah dilakukannya perbuatan
yang dilarang dalam undang-undang.77 Konsekuen dari klasifikasi
tindak p[idana korupsi menjadi tindak pidana formil dapat dilihat
dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomiannegara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
77 Tongat, Op. Cit., Hal. 118 – 119.
74
Pengertian korupsi tidak hanya dirumuskan dalam Pasal 2 ayat
(1) saja, melainkan pula dirumuskan dalam Pasal 3 yaitu:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiriatau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakankewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karenajabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangannegara atau perekonomian negara”
Dari rumusan pasal tersebut, diketahui beberapa unsur dalam
pengertian tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 3, adapun unsur-unsur dalam Pasal 3 tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi,
b) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
c) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Perumusan dalam ketentuan Pasal 3 ini memiliki perbedaan
dengan perumusan dalam ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1). Perbedaan
pertama dalam Pasal 3 ini adalah tidak mencantumkan unsur sifat
melawan hukum secara eksplisit, unsur sifat melawan hukum dalam
pasal ini lebih bersifat implisit dimana apabila semua unsur dalam
pasal ini dapat dipenuhi maka hal tersebut secara otomatis telah
membuktikan adanya sifat melawan hukum. Logika yang demikian
pada hakikatnya mudah dipahami oleh karena setiap tindak pidana
75
pada hakikatnya selalu dianggap bersifat melawan hukum, dimana
justru karena perbuatan itu dianggap bersifat melawan hukum maka
perbuatan itu dirumuskan sebagi perbuatan pidana.78
Perbedaan kedua dalam perumusan Pasal 3 ini adalah
pencantuman unsur “menguntungkan”, berbeda dengan perumusan
dalam Pasal 2 ayat (1) yang mencantumkan unsur “memperkaya”.
Kedua perbedaan ini menunjukan peluang kemudahan bagi Penuntut
Umum karena kedua unsur tersebut relatif lebih mudah dibuktikan,
dimana unsur pertama tidak perlu membuktikan sifat melawan
hukumnya perbuatan dan unsur kedua tidak perlu membuktikan
apakah ada peningkatan harta kekayaan.
Dalam prakteknya, perumusan tindak pidana korupsi dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
merupakan perumusan yang paling banyak diterapkan dalam formulasi
surat dakwaan oleh penuntut umum dimana “semestinya” Pasal 2 ayat
(1) dikualifikasikan sebagai dakwaan primair dan pasal 3
dikulifikasikan sebagai dakwaan subsiadair.79
2) Ancaman Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan
beberapa perubahan dalam ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Dalam undang-undang ini dikenal ancaman pidana mati
78 Ibid., Hal. 214.79 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 191
76
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) yang bunyinya sebagai
berikut:
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana matidapat dijatuhkan.”
Istilah “keadaaan tertentu” tersebut diberikan makna dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuanini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidanakorupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktunegara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undangyang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional,sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktunegara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Dengan adanya ancaman pidana mati ini, Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang paling keras
dan berat di ASEAN.80 Dalam perkembangannya, penjelasan ini
dinyatakan tidak berlaku karena Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah merumuskan baru
penjelasan pasal tersebut.
Perubahan ancaman pidana selain ancaman pidana mati adalah
ancaman pidana minimum baik untuk pidana penjara ataupun denda,
konsep ancaman pidana minimum ini merupakan konsep baru yang
tidak dikenal dalam KUHP.
80 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 73
77
Menurut Barda Nawawi Arief81 yaitu :
“rumusan ancaman pidana minimum ini terdapat kekuranganyakni tidak merumuskan pedoman pemidanaan untukmenerapkan ancaman pidana minimum ini. Seharusnyaundang-undang khusus di luar KUHP membuat aturantersendiri untuk penerapannya, karena ini merupakankonsekuensi logis dari Pasal 103 KUHP.”
Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana minimal ini maka
tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal dapat diperingan atau
dapat diperberat. Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana
minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20
tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4 tahun penjara seperti
dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada delik yang diancam
dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara namun ancaman pidana
minimalnya 1 tahun penjara seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk delik
lainnya, pidana minimal 1 tahun diancam dengan pidana maksimal 5
tahun penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11.82
Barda Nawawi Arief83 juga mengkritik konsep sistem
perumusan kumulatif dan sistem perumusan kumulatif alternatif dalam
ancaman pidana undang-undang ini yaitu:
“Konsep yang dipergunakan tidaklah jelas karena konseptersebut menimbulkan pertanyaan sederhana yang palingmendasar yakni mengapa delik korupsi berupa memperkayadiri dalam Pasal 2 diancam dengan pidana secara kumulatifsedangkan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3diancamn dengan pidana secara kumulatif alternatif. Padahal
81 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalamPenanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), Hal. 149
82 Ibid., Hal. 15083 Ibid.
78
kedua delik ini ancaman pidana maksimumnya sama dan bobotkualitas deliknya juga sama.”
Menurutnya secara teoritis, delik yang diancam dengan pidana
kumulatif lebih berat daripada yang diancam dengan kumulatif
alternatif. Ini berarti pembentuk undang-undang menganggap delik
memperkaya diri dipandang lebih berat daripada delik
menyalahgunakan kewenangan. Padahal dilihat dari sudut pandang
masyarakat dan sudut pandang hakikat korupsi sebagai delik jabatan,
perbuatan menyalahgunakan kewenangan dirasakan lebih berat atau
lebih jahat daripada memperkaya diri atau setidak-tidaknya kedua
delik tersebut sama berat atau sama jahatnya. Patut perlu dicatat pula
menurutnya, bahwa konsep kumulatif mengandung kelemahan karena
bersifat imperatif dan kaku apabila dilihat dari sudut pandang
kebijakana operasionalisasi pidana.84
3) Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat yang diatur dalam undang-undang ini
diatur secara khusus dalam BAB V yang terdiri dari Pasal 41 dan Pasal
42. Masyarakat diberikan peluang oleh undang-undang ini untuk
berperan serta, adapun bentuk peran serta tersebut diatur dalam Pasal
41 ayat (2). Urgensi diakomodirnya peran serta masyarakat dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Deklarasi
Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional Ministerial Meeting
of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret 1998, urgensi peran serta
84 Ibid, Hal. 150 – 151.
79
masyarakat dalam deklarasi tersebut adalah untuk melibatkan peran
masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi, khususnya dalam
mengembangkan tindakan pencegahan dan pengawasan yang
memajukan “a culture of accountability and transparency” atau
budaya pertanggungjawaban dan keterbukaan.85
Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang ini
merupakan bentuk peran serta yang mirip diatur dalam Pasal 9 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN seperti yang dirumuskan
dalam Pasal 41 ayat (2) yaitu:
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diwujudkan dalam bentuk :a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaantelah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukumyang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkaratindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentanglaporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalamwaktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c;2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan,
dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi,atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.
85Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,Hal. 139.
80
Berbeda dengan ketentuan peran serta masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, peran serta masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan amanat bagi
pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat yang
berjasa membantu upaya menanggulangi tindak pidana korupsi dimana
ketentuan tersebut dapat dilihat dalam pasal 43 ayat (1):
“Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggotamasyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan,pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.”
Undang-undang ini sebenarnya memerintahkan kepada
Pemerintah untuk membuat dua Peraturan Pemerintah dalam rangka
melaksanakan tata cara peran serta masyarakat dan tata cara pemberian
penghargaan bagi masyarakat yang berjasa, namun dalam
kenyataannya hingga disusunnya penelitian ini amanat penyusunan
peraturan pemerintah tersebut belum terealisasi.86
4)Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Agar undang-undang ini dapat dilaksankan sebagaimana
mestinya, pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
mengamanatkan agar dibentuk lembaga baru yang dinamakan dengan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. amanat ini termaktub
dalam Pasal 43, dimana dalam Pasal 43 ayat (2) dinyatakan bahwa
Komisi tersebut mempunyai tugas dan wewenang melakukan
86 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 117
81
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
“Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyaitugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi,termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutansesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.”
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan pada tanggal
16 Agustus 1999. Melihat ketentuan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut
nampak bahwa dengan hadirnya Komisi yang dimaksud akan merubah
sistem peradilan pidana, karena selama ini penyidikan dan penuntutan
dilakukan oleh polisi sedangkan penuntutan dilakukan oleh jaksa.
Dengan kata lain, hadirnya Komisi tersebut akan menghadirkan pula
sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.
h. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) di bentuk pada Desember 2003. Dalam Undang-Undang
tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah
yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK
memiliki visi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dan misi
penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi.
KPK memiliki lima juga tugas utama yaitu :
82
1. Penyelidikan-Penyidikan-Penuntutan
2. Koordinasi
3. Supervisi
4. Pencegahan
5. Monitoring
Tugas-tugas tersebut diatas sesuai dengan Pasal 6 Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi yaitu :
a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenangmelakukan tindak pidana korupsi.
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenangmelakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; insatansi yangberwenang adalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan,Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, KomisiPemeriksaan Kekayaan Pemyelenggara Negara, inspekorat padaDepartemen atau Lembaga Pemerintah Non- Departemen.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadaptindak pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidanakorupsi.
e. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraanpemerintah Negara.
Salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu
tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat penyidikan.
Dalam penyidikan sendiri ada yang disebut penyidik yaitu
orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yang
dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 Kitab Undang – Undang Hukum
83
Pidana. Pejabat penyidik sendiri terdiri dari Penyidik Polri dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Penyidik sendiri menurut Pasal 45 angka 1 Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 adalah :
“Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkatdan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi danPenyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidanakorupsi.”
Dari uraian pasal tersebut diatas dapat dilihat bahwa penyidik
dari Komisi Pemberantasan Korupsi hanya melaksanakan tugas
penyidikan mengenai perkara-perkara tindak pidana korupsi saja yang
biasanya melibatkan pejabat-pejabat negara dengan nominal korupsi
diatas 1 Milyar.
Sedangkan mengenai penyidik selain dari Komisi
Pemberantasan Korupsi juga ada penyidik dari Kepolisian dan
Kejaksaan. Dan KPK harus terus berkoordinasi dengan Instansi lain
yang berwenang dalam menangani tindak pidana korupsi yaitu
Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 huruf a
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dirumuskan sebagai
berikut:
“Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukanpembernatasan tindak pidana korupsi”
Selain itu dalam hal penyidikan dilakukan oleh kepolisian dan
kejaksaan harus melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,
hal ini sesuai dengan Pasal 50 angka 1 yaitu :
84
“Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KomisiPemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan,sedangkan perkara tersebut telah dilakukan oleh Kepolisian danKejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepadaKomisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas)hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan”
Selain itu penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan
Kejaksaan haruslah terus berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi sesuai dengan Pasal 50 angka 2 yaitu :
“Penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaansebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukankoordinasi secara terus menerus dengan Komisi PemberantasanKorupsi”
Lain halnya dalam hal penyidikan yang dilakukan bersamaan
oleh ketiga lembaga tersebut seperti yang dirumuskan dalam Pasal 50
angka 4 yaitu :
“Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan olehKepolisian dan/atau Kejaksaan dan Komisi PemberantasanKorupsi, penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian atauKejaksaan tersebut segera dihentikan”
Jadi dalam hal di atas Komisi Pemberantasan Korupsi yang
berwenang dalam malaksanakan penyidikan dalam tindak pidana
korupsi tersebut.
2. Lembaga Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah
Sekalipun perundang-undangan di bidang tindak pidana
korupsi telah dirumuskan, perundang-undangan ini tentu tidak akan
dapat berjalan efektif apabila tidak ada lembaga penegak hukum di
bidang tindak pidana korupsi. Lembaga yang demikian dibutuhkan
karena pada hakikatnya perundang-undangan hanyalah sekumpulan
85
peraturan, agar sekumpualn tersebut dapat ditaati maka dibutuhkan
aparat penegak hukum. Berikut adalah lembaga penegak hukum yang
didirikan dalam rangka menanggulangi tindak pidana di Indonesia.
a. Kepolisian
Dalam konteks sistem peradilan pidana, Polisi merupakan
lembaga yang memiliki kekuasaan pada sub sistem penyidikan.
Definisi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHAP adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Adapun dalam Pasal 1
KUHAP turut pula didefinisikan penyidik yakni pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Ketentuan dalam kepolisian diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai tugas pokok dari
kepolisian. Pengaturan menganai tugas pokok kepolisian diatur dalam
Pasal 13, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa tugas pokok
kepolisian adalah:
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;2) Menegakkan hukum; dan3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat
86
Agar dapat menjalankan tugas pokok tersebut, kepolisian
diberikan beberapa tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 14 undang-
undang kepolisian. Diantara beberapa tugas tersebut, terdapat satu
tugas yang kemudian dengan tugas ini dapat membuktikan bahwa
kepolisian memgang kekuasaan sub sistem penyidikan, tugas tersebut
adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Tugas tersebut terlihat dalam Pasal 14 huruf g
Undang-Undang Kepolisian.
Khusus tindak pidana korupsi, tugas ini tidak dapat dijalankan
begitu saja karena adanya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan,
penuntutan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, danorang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsiyang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggaranegara;
2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Dengan demikian, Kepolisian dapat menjalankan tugas
melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi apabila
tindak pidana korupsi yang dilakukan tidaklah memenuhi keadaan
yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
87
b. Kejaksaan
Seperti halnya Kepolisian, Kejaksaan juga bertindak sebagai
pemegang kekuasaan dalam sub sistem penuntutan dalam sistem
peradilan pidana. Kejaksaan tunduk pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perlu
dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penuntutan,
karena penuntutan adalah wilayah kekuasaan dari kejaksaan.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Kejaksaan dinyatakan bahwa
penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Selanjutnya yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kemudian yang
dimaksud dengan jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut
umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-
undang.
Sebagai salah satu pemegang peran dalam sistem peradilan
pidana, jaksa mempunyai tugas dan kewenangan dalam bidang pidana
88
yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, dalam
Pasal tersebut dinyatakan bahawa tugas dan kewenangan jaksa adalah:
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yangtelah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidanabersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepasbersyarat;
4) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentuberdasarkan undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapatmelakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan denganpenyidik.
Terkait dengan point pertama yakni melakukan penuntutan,
dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan secara
otomatis karena telah berlaku Undang-Undang KPK. Dengan adanya
undang-undang ini, jaksa hanya dapat melakukan penuntutan dalam
perkara tindak pidana korupsi diluar tiga keadaan yang dirumuskan
dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga keadaan tersebut adalah tindak
pidana korupsi yang:
1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, danorang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsiyang dilakukan oleh aparat penegak hukum ataupenyelenggara negara;
2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
3. Prosedur Dilakukan Penyidikan
a. Penyidikan Kepolisian
89
Tugas dan wewenang dari penyelidik salah satunya adalah
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana sesuai dengan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Penyelidik dalam hal ini polisi sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan/pengaduan tersebut mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Di dalam
penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidik/polisi
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Di dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana, dasar dilakukan penyidikan adalah:
a. Laporan polisi/pengaduan;b. Surat perintah tugas;c. Laporan hasil penyelidikan (LHP);d. Surat perintah penyidikan; dane. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 21 Peraturan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia menyatakan:
“Bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu)alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorangtelah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukanpenangkapan.”
90
Dari Pasal 184 KUHAP menjabarkan bahwa alat bukti yang
sah sebagai berikut:
a. Keterangan saksi;b. Keterangan ahli;c. Surat;d. Petunjuk;e. Keterangan terdakwa.
Atas pengertian dan penjelasan di atas dapat diketahui polisi
dengan adanya laporan polisi/pengaduan dan keterangan saksi korban
dapat menindaklanjuti laporan tersebut.
b. Penyidikan Kejaksaan
Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan
terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi juga berdasarkan Keputusan
Jaksa Agung RI No.KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November
2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia No.Kep 132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang
Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik
penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi
terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik
sendiri atau karena laporan atau informasi seseorang tentang telah
terjadinya tindak pidana korupsi.
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum yaitu yang biasa
dikenal dengan SPDP/Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan
91
sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Setelah bukti-bukti
dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka
penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk
dilimpahkan kepada Penuntut Umum atau ternyata bukan merupakan
tindak pidana.
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum
“Pemberhentian Penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut
Umum dan kepada tersangka/keluarganya. Namun, jika peristiwa
tersebut merupakan peristiwa tindak pidana, maka setelah dilakukan
penyidikan, berkas diserahkan kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat
(2) KUHAP).
c. Penyidikan Terhadap Pejabat Negara
Prosedur pemeriksaan atau penyidikan merupakan administrasi
yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan
dalam rangkaian tindakan kepolisian, sehingga pemeriksaan yang
dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administrative. Adapun
prosedur penyidikan meliputi :
a. Prosedur umum berdasarkan KUHAP ( Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.)
b. Prosedur khusus berdasarakan Undang-undang yang mengaturnya
yang ditujukan kepada :
- Kepala Daerah / wakil
92
- Anggota MPR,DPR dan DPD
- Anggota DPRD
- Dewan Gubernur BI
- Hakim
- Jaksa
- Notaris
- Kepala Desa
Prosedur pemanggilan atau penyidikan terhadap Kepala Daerah
dan Wakilnya berdasarkan Pasal 36 (1) Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8
tahun 2005 :
a. Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerahdan/atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanyapersetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
b. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enampuluh hari) terhitung sejak diterimanya permohonan, prosespenyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
c. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanandiperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).
d. Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) adalah :1. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau2. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindakpidana kejahatan terhadap keamanan negara.
e. Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelahdilakukan wajib dilaporkan kepada presiden paling lambat dalamwaktu 2 kali 24 jam.
93
Adapun tata caranya berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa
Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah atau
Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis
dari Presiden RI, dengan tata cara yaitu:
a. Penyidik mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis untukmemeriksa Kepala Daerah / Wakil melalui Bareskrim Mabes Polri,dengan menyebut status terperiksa sebagai tersangka atau saksi,serta mencantumkan identitas penyidiknya.
b. Permohonan disertai dengan laporan hasil kemajuan perkara.c. Dalam hal terperiksa sebagai saksi, harus menyebutkan siapa
tersangkanya.d. Sebelum mulai pemeriksaan, terlebih dahulu dokumen asli
persetujuan tertulis Presiden diperlihatkan / untuk dibacaterperiksa.
B. Hasil Penelitian Data Primer
1. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah ( Studi Implementasi
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
Informan dalam penelitian ini adalah penyidik kepolisian serta
penyidik kejaksaan dan dilakukan di Kabupaten Cilacap. Wawancara
dilakukan secara semi terstruktur berkaitan tentang penerapan
penyidikan tindak pidana korupsi di wilayah Kabupaten Cilacap.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan di kota tersebut maka
diperoleh data sebagai berikut:
1. Penyidik Kepolisian Wilayah Cilacap
1.1. Peraturan Mengenai penyidikan yang dilakukan oleh
kepolisian
94
Berdasarkan hasil wawancara dengan Brigadir Polisi
Triawan selaku anggota Sub Unit Tindak Pidana Korupsi Reserse
Kepolisian Resort Cilacap, bahwa kepolisian mempunyai peran
utama dalam hal penyidikan suatu tindak pidana.87
Penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang
merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang
perlu diselidik dan diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan
pidana, hal ini juga sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002, bahwa kedudukan penyidik Polri dalam hal
tugas penyidikan merupakan pemegang peran utama melakukan
penyidikan terhadap semua tindak pidana.
Mengenai penyidikan kasus tindak pidana korupsi, menurut
Brigadir Polisi Triawan, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002, Kedudukan Penyidik Kepolisian hanya sub
ordinat dibawah penyidik KPK, sebagai sentral penyidikan
Tindak Pidana Korupsi, dengan kewenangan Koordinasi,
supervisi, dan pengambilalihan perkara, serta menetapkan Standar
Pelaporan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.88
1.2. Prosedur penyidikan oleh kepolisian.
Menurut Brigadir Polisi Triawan89 mengenai kewenangan
penyidikan yaitu:
87 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, anggota Sub Unit Tindak PidanaKorupsi Reserse Kepolisian Resort Cilacap pada tanggal 26 November 2013
88 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit89 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
95
“Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini bahwakewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidanakorupsi yang biasa dilakukan oleh lembaga penyidikkepolisian adalah tindak pidana korupsi yang kerugiannegaranya di bawah satu miliar rupiah, tidak mendapatperhatian dari masyarakat serta tindak pidana korupsitersebut tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum danpenyelenggara negara.”
Untuk prosedur penyidikan sendiri, sama seperti tindak
pidana lainnya yaitu menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 5
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyelidik dalam
hal ini polisi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP,
atas laporan/pengaduan tersebut mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Di dalam penyidikan
berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidik/polisi mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Dalam hal akan melaksanakan penyidikan tindak pidana
korupsi sendiri, kepolisian selalu berkoordinasi dengan lembaga
lain yang berwenang yaitu kejaksaan dan Komisi Pemberantasan
Korupsi sesuai dengan Undang-Undang KPK. Namun dalam
melakukan koordinasi ada struktur yang berbeda dalam instansi
kepolisian, yaitu dari penyidik kepolisian di tingkat Polres
melaporkan ke Polda dan Polda melaporkan ke Mabes Polri guna
96
melaporkan penyidikan yang sedang dilakukan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.90
Dalam hal koordinasi bertujuan agar tidak terjadi tumpang
tindih dalam proses penyidikan. Oleh karena itu juga untuk
menghindari terjadi tumpang tindih, penyidik Polri, Kejaksaan
Agung dan KPK telah menyepakati untuk melakukan
penandatangan MoU. Berdasarkan Memorandum of
Understanding (MoU) yang telah ditandatangani bersama oleh
KPK, POLRI dan Kejaksaan, dalam pasal 8 menyebutkan
apabila KPK, POLRI atau Kejaksaan melakukan penyidikan
dalam satu kasus yang sama, maka yang mempunyai wewenang
adalah lembaga yang lebih dahulu melakukan penyidikan.
1.3. Struktur penyidikan tipikor oleh kepolisian
Menurut Brigadir Polisi Triawan91 mengenai struktur
penyidikan tindak pidana korupsi yaitu:
“Tindak pidana korupsi merupakan jenis pidana yangberbeda dengan tindak pidana lain pada umumnya, ada cirikhusus yang melekat pada pelaku tindak pidana tersebut.Maka penanganan tindak pidana korupsi juga memerlukanpersonil khusus yang menangani kasus tersebut. Personiltersebut sendiri untuk tingkat Polres masih dibawah SatuanReserse Kriminal yaitu Sub Unit Tindak Pidana Korupsi,sedang pada tingkat Polda terdapat satuan khusus yangdisebut Satuan Tipikor Direktorat Kriminal Polda dantingkat Mabes adalah Direktorat III/Tipikor dan WhiteCollar Crime Badan Reserse dan Kriminal Polri.”
90 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit91 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
97
Salah satu ciri khas yang dimiliki anggota kepolisian adalah
sistem komando di dalam proses pelaksanaan tugas. Penyidik
sebagai salah satu sistem bagian dari anggota Polri tentu saja
terikat pada sistem komando tersebut.
Selain itu dalam melakukan gelar perkara, kepolisian
mengundang kejaksaan dan juga BPKB.
1.4. Faktor yang menghambat proses penyidikan tindak pidana
korupsi oleh kepolisian
Suatu perundangan normatif di dalam pelaksanaan
penyidikan pastilah memiliki hambatan dalam bekerjanya.
Hambatan tersebut bisa berasal dari dalam maupun luar. Brigadir
Polisi Triawan92 menyatakan bahwa hambatan itu bisa berasal dari
faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah
faktor yang ada dalam instansi kepolisian tersebut. Faktor tersebut
adalah :
a. Kualitas Sumber Daya ManusiaDapat diketahui bahwa salah satu permasalahan yang dihadapioleh penyidik kepolisian adalah masalah kualitas SDM yangbelum memadai. Padahal pada sisi lain untuk menangani kasustipikor diperlukan SDM yang memiliki kualitas danpengalaman memadai. Akibat pendidikan yang kurang, munculrasa rendah diri pada saat harus menyidik pihak tersangka yangdari segi pendidikan jauh lebih tinggi.
b. Sarana PrasaranaModus operandi tindak pidana korupsi yang canggih tentumembutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Sebagaiinstitusi penyidik tentu saja faktor sarana dan fasilitaspendukung penyidikan yang dibutuhkan oleh polri juga tidakboleh tertinggal dan harus mendapat perhatian. Satu hal yang
92 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
98
masih kurang mengenai sarana dan prasarana. Saat ini saranayang disediakan terhadap kepolisian masih sebatas biayapenyidikan itupun dirasa kurang memadahi dalam hal untukmelakukan penyidikan tipikor. Selain itu hanya ada alattransportasi yang diberikan untuk menangani kasus tindakpidana korupsi. Seharusnya dengan modus operandi yangsemakin canggih, kepolisian juga dibekali sarana yang canggihpula seperti untuk melakukan penyadapan maupun peralatanlain yang diperlukan untuk melakukan penyidikan.
c. Kebudayaan dalam institusi kepolisianSalah satu faktor penghambat lain dalam kepolisian adalahbudaya dalam institusi kepolisian sendiri. Salah satu ciri khasyang dimiliki anggota kepolisian adalah sistem komando didalam pelaksanaan tugas. Penyidik sebagai salah satu bagiandari anggota kepolisian tentu saja terikat pada sistem komandotersebut. Masih melekatnya sistem komando tersebutmenyebabkan masih kurangnya keterbukaan antara atasan danbawahan. Padahal dalam tugas penyidikan suatu tindak pidanakorupsi sangat dibutuhkan banyak pertimbangan serta masukanagar sikap, langkah dan arahan yang dijalankan oleh penyidikdi lapangan menjadi lebih professional dan proporsional.
Selain faktor internal dari kepolisian sebagai penghambat
dalam pelaksanaan tugas penyidikan, juga ada faktor eksternal
sebagai penghambat dalam terlaksananya penyidikan suatu tindak
pidana korupsi yaitu :
a. MasyarakatDalam hal terlaksananya penyidikan yang dilakukan olehkepolisian terdapat peran dari masyarakat sendiri. Faktorpenghambat dari masyarakat biasanya adalah kurang terbukaterhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di lingkungan itusendiri. Sehingga kurang tanggap jika ada tindak pidanakorupsi yang ada di lingkungannya. Selain itu masyarakat jugatidak terbuka dalam memberi informasi dan masih salingmenutupi jika ada suatu tindak pidana. Hal inilah yang menjadipenghambat bagi penyidik dalam melaksanakan penyidikanterhadap tindak pidana korupsi.
2. Penyidik Kejaksaan di Wilayah Cilacap
99
2.1. Peraturan mengenai penyidikan yang dilakukan oleh
kejaksaan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H.
bahwa peraturan mengenai penyidikan yang dilakukan oleh
kejaksaan mengenai tindak pidana korupsi telah sesuai berdasarkan
.Pasal 30 huruf d Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan adalah salah satu
institusi penegak hukum yang diberi wewenang melakukan
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.93
Menurutnya, sebagai landasan pijak Kejaksaan dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagai hukum materil dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana
formil, serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
2.2. Prosedur Penyidikan oleh Kejaksaan
93 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Kepala Seksi Pidana Khusus KejaksaanNegeri Cilacap pada tanggal 19 November 2013
100
Menurut Sunarko, S.H.,M.H.94 mengenai kewenangan
penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan yaitu :
“Kewenangan Kejaksaan menjadi lebih sempit semenjakditetapkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yangpada Undang-Undang sebelumnya selain memilikiwewenang penyelidikan juga memiliki wewenang dalampenyidikan. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang untukmembina hubungan kerjasama dengan badan penegakhukum serta instansi lainnya.”
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum yang dikenal
dengan SPDP/Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan sesuai
dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Setelah bukti-bukti
dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka
penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk
dilimpahkan kepada Penuntut Umum atau ternyata bukan
merupakan tindak pidana.
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum
atau pemberhentian penyidikan dan diberitahukan kepada
Penuntut Umum dan kepada tersangka/keluarganya. Namun, jika
peristiwa tersebut merupakan peristiwa tindak pidana, maka setelah
dilakukan penyidikan, berkas diserahkan kepada Penuntut Umum
94 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
101
sesuai Pasal 8 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Mengenai kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan
sendiri pada tahun 2013 mencapai 11 perkara. Salah satu yang
sudah sampai vonis adalah kasus PLTU Bunton dengan total
korupsi 2 Milyar rupiah.
2.3. Struktur Penyidikan Tipikor oleh Kejaksaan
Mengenai struktur penyidkan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh kejaksaan menurut Sunarko,S.H.,M.H. tidak
seperti kepolisian yang tetap struktur organisasi dalam melakukan
penyidikan, di kejaksaan tidak ada.95
Dalam gelar perkara Kejaksaan dikenal dengan “ekspose”
yang biasanya dilakukan dikalangan jaksa saja, BPKP akan
disertakan bila perkara yang ditangani memerlukan audit dari
BPKP.
Dan selanjutnya dalam hal penuntut umum bisa dilakukan
oleh orang yang sama dengan penyidik, sehingga nantinya tidak
ada istilah bolak – balik perkara dari masyarakat.
2.4. Faktor yang menghambat proses penyidikan tindak pidana
korupsi oleh kejaksaan
Suatu perundangan normatif di dalam pelaksanaan
penyidikan pastilah memiliki hambatan dalam bekerjanya.
95 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
102
Hambatan tersebut bisa berasal dari dalam maupun luar. Menurut
Sunarko,S.H.,M.H. menyatakan bahwa hambatan itu bisa berasal
dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud
adalah faktor yang ada dalam kejaksaan tersebut.96
Faktor tersebut adalah :
a. Jumlah Personil
Dapat diketahui bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi
oleh penyidik kejaksaan adalah kurangnya personil dalam
penyidikan tindak pidana korupsi. Berbeda halnya dengan
kepolisian, untuk kejaksaan tidak ada masalah mengenai
sumber daya manusia para penyidiknya karena semua penyidik
adalah lulusan dari sarjana hukum dengan rekruitmen PNS
setelah melalui tahap seleksi. Oleh karena itu kurangnya
personel kejaksaan bisa menjadi hambatan untuk penanganan
secara cepat kasus tindak pidana korupsi.
b. Sarana Prasarana
Modus operandi tindak pidana korupsi yang canggih
tentuembutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Sebagai
institusi penyidik tentu saja faktor sarana dan fasilitas
pendukung penyidikan yang dibutuhkan oleh kejaksaan juga
tidak boleh tertinggal dan harus mendapat perhatian. Satu hal
yang masih kurang mengenai sarana dan prasarana. Saat ini
96 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
103
sama seperti kepolisian, kejaksaan juga masih hanya diberikan
fasilitas transportasi dan biaya operasional. Mengenai biaya
operasional dalam penanganan kasus korupsi kadang masih
kurang. Adanya target dari pimpinan yang ketat tetapi tidak
diimbangi dengan pemenuhan fasilitas dan sarana yang
memadahi sering menjadikan tekanan psychis bagi penyidik.
Dalam hal menangani kasus korupsi pasti langsung berhadapan
dengan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Hal inilah yang
menjadi tantangan untuk penyidik kejaksaan agar jangan
sampai tergelincir terhadap tindakan yang melanggar hukum
sendiri, sekalipun dengan meinimnya fasilitas. Oleh karena itu
sarana dan prasarana saat ini menjadi hambatan yang cukup
besar yang dialami oleh kejaksaan dalam melaksanakan
penyidikan tindak pidana korupsi.
Selain faktor internal dari kepolisian sebagai penghambat
dalam pelaksanaan tugas penyidikan, juga ada faktor eksternal
sebagai penghambat dalam terlaksananya penyidikan suatu tindak
pidana korupsi yaitu :
a. Keterbukaan Saksi
Dalam hal terlaksananya penyidikan yang dilakukan oleh
kejaksaan terdapat peran dari saksi yang mengetahui suatu
perkara. Hal yang menjadi penghambat kejaksaan adalah saksi
yang belum terbuka dan masih menutupi suatu kasus yang
104
mereka ketahui. Padahal keterangan saksi sangat penting
perihal penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan.
b. Masyarakat
Faktor penghambat dari masyarakat biasanya adalah kurang
terbuka terhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di
lingkungan itu sendiri. Sehingga kurang tanggap jika ada
tindak pidana korupsi yang ada di lingkungannya. Selain itu
masyarakat juga tidak terbuka dalam memberi informasi dan
masih saling menutupi jika ada suatu tindak pidana. Hal inilah
yang menjadi penghambat bagi penyidik dalam melaksanakan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu justru
masyarakat yang sering menutupi ada suatu perkara korupsi di
wilayahnya agar wilayahnya tidak mendapat preseden buruk
dari masyarakat lain.
c. Wilayah dan Geografis
Tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah Kabupaten Cilacap
merupakan wilayah yang cukup luas di provinsi Jawa Tengah.
Ada 23 kecamatan yang berada di kabupaten ini. Hal ini
merupakan salah satu hambatan yang dialami oleh kejaksaan
dalam menangani tindak pidana korupsi. Karena dengan sarana
transportasi yang masih menggunakan transportasi darat,
kejaksaan harus menjangkau wilayah-wilayah yang jauh dari
pusat kabupaten cilacap dengan kondisi jalan yang berbeda-
105
beda. Oleh karena itu hal inilah yang menjadi hambatan dalam
efisiensi penyidikan korupsi di wilayah Cilacap.97
C. Pembahasan
1. Penyidikan Tipikor Yang Dilakukan di Wilayah Cilacap
Implementasi penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan di
wilayah cilacap sudah sesuai dengan asas-asas penting sebuah penyidikan
yang berlaku yaitu :
1. Asas Legalitas
Menurut asas ini yang dijelaskan oleh Yahya Harahap98 seperti yang
dikutip oleh Hibnu Nugroho adalah :
“ketentuan dalam KUHAP menganut asas legalitas kerena meletakankepentingan hukum dan perundang-undangan di atas kepentingan-kepentingan yang lain sehingga menciptakan bangsa yang takluk dibawah “supremasi Hukum”, yang selaras dengan ketentuan-ketentuanperundangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia”
Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik yang menjadi informan
dalam penelitian ini yaitu penyidik kepolisian dan kejaksaan (
Brigadir Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.) sepakat bahwa
proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan
telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku bagi kedua instansi
tersebut dalam melaksanakan penyidikan.
97 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.98 Hibnu Nugroho., Op.Cit. Hal. 33
106
Dalam hal penyidikan yang dilaksanakan oleh kepolisian dalam
menangani perkara tindak pidana korupsi sudah sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Selain itu, mengenai penyidikan terlepas dari
undang-undang tersebut telah sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa kedudukan penyidik Polri dalam
hal tugas penyidikan merupakan pemegang peran utama melakukan
penyidikan terhadap semua tindak pidana walaupun menurutnya
setelah lahir Undang-Undang KPK kedudukan kepolisian hanya
sebagai sub ordinat di bawah KPK.99
Hal ini juga sama dengan Kejaksaan bahwa penyidikan yang dilakukan
oleh kejaksaan sebagai landasan pijak kejaksaan dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana sebagai hukum pidana formil, serta Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam hal prosedur penyidikan yang dilakukan kepolisian dan
kejaksaan tidak ada perbedaan dan juga telah sesuai dengan prosedur
99 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan
107
yang berlaku yaitu dengan tidak memberikan perlakuan yang
diskriminatif pada tersangka dan juga memberikan hak-hak yang
diberikan oleh undang-undang terhadap tersangka.
Jadi dari keterangan kedua narasumber bisa disimpulkan bahwa
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan
aturan yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
2. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah merupakan salah satu bukti penghargaan
KUHAP pada hak asasi manusia. Hal ini senada dengan pendapat
kedua penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan.
Dalam hal dilaksanakannya penyidikan selalu menghormati hak dari
tersangka itu sendiri, karena saat ini penegakan hukum di Indonesia
telah menganut asas aqusatoir sehingga penyidik melaksanakan
penyidikan tidak menggunakan cara-cara penyidikan dengan
menggunakan kekerasan dan sudah tidak sesuai pada masa sekarang
karena pengakuan terdakwa tidak lagi menjadi alat bukti.100
3. Asas Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Dalam pelaksanakan penyidikan, asas ini merupakan salah satu asas
penting proses suatu penyidikan bagi para penegak hukum. Penjabaran
100 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H.
108
asas ini tercermin dalam ketentuan adanya batas waktu penyelidikan,
penyidikan, penuntutan sampai pada proses persidangan yang
berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dalam penelitian ini
(Brigadir Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.) pelaksanaan asas
ini sudah diusahakan semaksimal mungkin untuk dilaksanakan dalam
proses penyidikan namun kadang terkendala oleh tersangka maupun
saksi yang kurang kooperatif dalam memberikan keterangan sehingga
proses penyidikan tidak cepat terselesaikan.
4. Asas Diferensiasi Fungsional
Dalam KUHAP diatur pembagian tugas dan wewenang atas aparat
penegak hukum, mulai dari permulaan penyidikan hingga eksekusi.
Dari tahapan tersebut selalu terjalin hubungan fungsi yang
berkelanjutan dan pengawasan antar lembaga penegak hukum.
Menurut keterangan narasumber, bahwa fungsi ini selama ini sudah
dilaksanakan oleh kepolisian maupun kejaksaan namun dalam
melaksanakan penyidikan ada pembagian tugas antara kepolisian dan
kejaksaan.
Jika penyidikan yang dilakukan di kepolisian, polisi hanya
mempunyai tugas melakukan penyidikan suatu tindak pidana korupsi
109
dan setelah selesai penyidikan dilimpahkan kejaksaan untuk
dilaksanakan penuntutan.101
Berbeda dengan kejaksaan sendiri yang bisa melakukan penyidikan
sendiri dan kemudian dilanjutkan ke tahap penuntutan bisa dilakukan
oleh orang yang sama dengan penyidik, sehingga nantinya tidak ada
istilah bolak – balik perkara dari masyarakat.102
5. Asas Saling Koordinasi
Asas saling koordinasi dianut oleh KUHAP berkaitan erat dengan asas
diferensiasi fungsional, sehingga dapat dikatakan bahwa sekalipun
terjadi pembagian kewenangan yang tegas antara masing-masing
instansi penegak hukum, namun ada hubungan koordinasi di antara
instansi tersebut dalam proses penegakan hukum itu sendiri.103
Dalam hal pelaksanaan koordinasi ketika melaksanakan penyidikan
yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian ketika menangani
tindak pidana korupsi di daerah, menurut narasumber sudah
dilaksanakan koordinasi ketika akan memulai suatu penyidikan. Dalam
hal penyidik mana yang didahulukan, adalah penyidik yang
mempunyai alat bukti yang cukup dalam hal mengetahui suatu tindak
pidana korupsi. Jadi selalu ada koordinasi antara kepolisian dan
101 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, Op.Cit.102 Hasil Wawancara dengan Sunarko,S.H.,M.H., Op.Cit.103 Hibnu Nugroho, Op.Cit. Hal.35
110
kejaksaan ketika melakukan suatu penyidikan agar tidak terjadi
tumpang tindih antara kedua instansi tersebut.
Selain itu, menurut Sunarko,S.H.,M.H. menambahkan ketika
kejaksaan memulai suatu penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
kejaksaan akan selalu berkoordinasi dengan kepolisian dan
melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi tentang kasus yang
ditangani. Namun sebaliknya KPK sendiri tidak pernah melakukan
supervise dan koordinasi kepada kejaksaan yang ada di wilayah
Cilacap.104
Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa bahwa instansi penegak
hukum di wilayah cilacap sudah melaksanakan penyidikan sesuai
dengan asas saling koordinasi antar instansi penegak hukum. Namun
berkebalikan dengan KPK sendiri yang belum pernah melakukan
supervise maupun koordinansi dengan instansi penegak hukum di
daerah kususnya wilayah Cilacap sebagai objek penelitian.
6. Asas Persamaan di Muka Hukum
Ketentuan dalam KUHAP mengenai asas ini tidak ada satu pasal pun
yang mengarah pada suatu kelompok dan memberikan
ketidakistimewaan kepada kelompok lain.
Namun menurut kedua narasumber pada penerapan penyidikan tindak
pidana korupsi ada prosedur tambahan jika tindak pidana tersebut
104 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
111
menjerat pejabat negara. Ada prosedur khusus yang harus
diperhatikan dan diberikan terhadap pejabat negara yang terkena kasus
korupsi. Tetapi untuk hal persamaan di muka hukum sama dengan
tersangka lainnya yaitu dengan menjunjung tinggi HAM dengan tetap
mendapat perlindungan yang memadai. Karena pelanggaran terhadap
ketentuan ini dapat dilakukan pra peradilan.105
7. Asas akusator dan inqusitoir
Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik tidak
diperkenankan untuk melakukan tekanan dalam bentuk apapun pada
tersangka. Karena KUHAP sendiri tidak menjadikan pengakuan
tersangka sebagai salah satu jenis alat bukti. Dengan hal tersebut
menyebutkan bahwa sudah menganut asas akusatoir.
Mengenai asas ini menurut narasumber sudah dilakukan oleh
kepolisian maupun kejaksaan, karena sudah tidak ada lagi perlakuan
yang tidak manusiawi terhadap tersangka. Hal itu ditujukan dengan
penyidikan yang manusiawi dengan pendekatan psikologi,
kriminalistik, psikiatri dan ilmu bantu yang lain tetapi tetap tidak
menghilangkan ketegasan dari penyidik itu sendiri sehingga tersangka
tetap menghormati penyidik. Sehingga penyidik tetap mendapatkan
hasil penyidikan yang diinginkan.106
105Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H.106 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H.
112
Dari asas-asas tersebut di atas sangat penting untuk diperhatikan
dan dilaksanakan oleh penyidik karena penyidikan merupakan bagian
terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan hasil
penyidikan yang baik akan mengasilkan surat dakwaan yang baik pula dan
tepat sehingga akan sesuai dengan perkara yang sedang ditangani serta
menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil.
Hal ini sesuai dengan pendapat K. wantjik Saleh107 yang dikutip
dalam jurnal hukum Sahuri Lasmadi, penyidikan sendiri diartikan yaitu:
“Usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenarantentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yangmelakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu sertasiapakah yang terlibat dengan perbuatan itu.”
Dalam implementasi suatu penyidikan tentu saja menggunakan
pendekatan sistem peradilan pidana yang berlaku, hal ini sesuai dengan
pendapat Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Hibnu Nugroho108
yaitu:
“Pendekatan system peradilan pidana menitikberatkan padakoordinasi dan sinkronisasi dengan disertainya pengawasan danpengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilanpidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembagapemasyarakatan) dan menggunakan hukum sebagai instrumentuntuk menetapkan the administration of justice”
107 Sahuri Lasmadi, “Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak PidanaKorupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum , Volume 2, 3 ( Juli 2010 )Hal. 10
108 Hibnu Nugroho, Op.Cit., Hal. 47
113
Dalam hal penegakan tindak pidana korupsi di daerah ada dua
penegak hukum yang lebih dominan dalam pelaksanaan penyidikan tindak
pidana korupsi yaitu kepolisian dan kejaksaan walaupun komando
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tetap ada di KPK setelah
lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Keberadaan lembaga –
lembaga yang berbeda dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi
sebenarnya dikhawatirkan akan menjadi kelemahan dalam penanganan
tindak pidana ini karena mempunyai target tersendiri bagi tiap lembaga.
Karena menurut KUHAP mengatur kewenangan penyidikan jatuh
kepada kepolisian. Sedangkan kejaksaan hanya melakukan fungsi korektif
yaitu pada saat penuntutan agar terjadi keteraturan dalam suatu
penanganan sebuah perkara pidana. Berbeda halnya jika kejaksaan
melaksanakan fungsi penyidikan maka akan dikhawatirkan munculnya ego
sektoral dari kejaksaan itu sendiri.
Namun kondisi beberapa lembaga yang menangani tindak pidana
korupsi tersebut, diharapkan oleh pemerintah sebagai upaya mendorong
percepatan penanganan kasus-kasus korupsi.
Dari hal di atas menurut R. Soesilo109 memberikan pendapat
mengenai tujuan hukum acara pidana yaitu:
“Hakikatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulaidari polisi, jaksa sampa kepada hakim dalam menyidik, menuntut, danmengadili perkara senantiasa harus berdasarkan hal yang sungguh-
109 R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 19
114
sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yangberpengalaman luas, berpendidikan bermutu, dan berotak cerdas jugaberkepribadian yang teguh, yang kuat mengelakan dan menolak segalagodaan.”
Oleh karena itu dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi
harus ada hubungan yang sinergis antara instansi penegak hukum yang
berwenang menangani tindak pidana korupsi.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada proses
penyidikan, hubungan antara penyidik dengan JPU sangatlah erat,
sehingga KUHAP memberikan sarana pra penuntutan. Ketentuan
mengenai hal ini diatur dalam Pasal 110 KUHAP yang berbunyi:
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidikwajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntutumum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikantersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segeramengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertaipetunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untukdilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikantambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empatbelas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikanatau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah adapemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepadapenyidik.
115
Dari pasal pasal tersebut diatas, menurut Hibnu Nugroho110 pasal
ini meletakan kewajiban kepada penyidik untuk melakukan hal-hal sebagai
berikut yaitu :
1. Apabila telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikansecepatnya wajib diserahkan kepada penuntut umum.
2. Menerima kembali berkas penyidikan dari penuntut umum, apabilamenurut penilaian penuntut umum hasil penyidikan yang telahdilakukan oleh penyidik dianggap kurang lengap.
3. Secepat mungkin melengkapi kekurangan yang diperlukan sesuaipetunjuk penuntut umum.
Sedangkan kewajiban dari penuntut umum adalah melakukan
koreksi hasil penyidikan dari penyidik dalam waktu singkat sesuai
ketentuan pasal tersebut yaitu tidak melebihi 14 hari sejak diterimanya
berkas penyidikan. Apabila menurut penilaian penilaian penuntut umum
hasil penyidikan masih kurang tajam, maka penuntut umum wajib
memberi petunjuk hal-hal mana saja yang harus dipertajam guna
kepentingan pembuatan surat dakwaan dan requisitoir nantinya.
Menurut Yahya Harahap111 mengenai kewenangan penyidikan
yaitu:
“Dalam hal yang menyangkut tindak pidana khusus secara jelasdiatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang merupakanketentuan peralihan dari HIR ke KUHAP yang masih menyisakankewenangan penyidikan kepada kejaksaan. Namun setelahberlakunya KUHAP fungsi penyidikan yang diserahkan kepadalembaga kepolisian.”
110 Hibnu Nugroho, Op.Cit. Hal. 59111 Yahya Harahap, Op.Cit., Hal. 357
116
Namun dalam beberapa tindak pidana khusus jaksa masih
mempunyai wewenang melakukan penyidikan seperti dalam tindak
pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi oleh karena undang-undang
pidana khusus itu sendiri mengatur kewenangan tersebut.112
Selain itu mengenai wewenang penyidikan oleh kejaksan
diperkuat setelah lahirnya ketentuan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan
peraturan perundang-undangan terbaru yang mengatur mengenai
kejaksaan di Indonesia. Dalam hal mengenai wewenang jaksa dalam
melakukan penyidikan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu :
“Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentuberdasarkan undang-undang.”
Selanjutnya mengenai pengaturan penanganan perkara tindak
pidana korupsi menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus
tersebut disebut Komisi pemberantasan korupsi yang memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervise, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban,
tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.
112 Ibid.
117
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
yang termasuk dalam kategori sebagai berikut:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, danorang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidanakorupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ataupenyelenggara negara,
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Dari kategori tersebut dapat diartikan bahwa kewenangan
kepolisan maupun kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana
korupsi yang jumlahnya di bawah 1 miliar rupiah.113
Namun dalam hal tertentu menurut Sunarko,S.H.,M.H.114
menerangkan bahwa:
“Untuk kasus-kasus dimana KPK mempunyai kewenangan untukmenyidik, misalnya untuk kasus diatas 1 Miliar, maka pihakpenyidik harus menunggu jawaban dari KPK apakah kasustersebut akan diambil alih oleh KPK atau tidak. Jika ternyatapihak KPK akan mengambil alih kasus tersebut maka pihakpenyidik harus menyerahkan kasus tersebut kepada KPK, namunjika pihak KPK menolak maka penyidikan dilanjutkan olehpenyidik baik kasus itu ketika ditangani kejaksaan maupunkepolisian. Dengan kata lain KPK memiliki prioritas dalammenangani suatu kasus tindak pidana korupsi.
113 Evi Hartati., Op.Cit. Hal. 69114 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
118
Jadi penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan bisa menangani
kasus tindak pidana korupsi di atas 1 Miliar jika kasus tersebut tidak
dimabil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam hal penerapan penyidikan yang ada di instansi kepolisian
dilakukan dengan mengacu pada KUHAP. Yaitu setelah adanya indikasi
korupsi kepolisian mempunyai intelejen dan mengumpulkan data guna
melakukan penyelidikan dan selanjutnya melaksanakan penyidikan dengan
mencari keterangan saksi dan tersangkanya dan melakukan penyitaan jika
diperlukan.
Jadi sesuai dengan sistem peradilan hukum pidana, tugas
penyelidikan, dan penyidikan korupsi dilakukan oleh penyidik polisi. Di
Indonesia sejak bergulirnya era reformasi. Kondisi penegakan hukum
khususnya terhadap tindakan hukum tindak pidana korupsi, kondisinya
sudah dianggap sebagai darurat tindak terhadap korupsi. karena itulah
dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan
berarti penyidik polisi tidak berhak lagi mengusut kasus korupsi.
Pengusutan terhadap tindak pidana korupsi merupakan salah satu tugas
polisi dalam rangka penegakan hukum. Dalam Undang-Undang
Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 14 ayat (1) g, disebutkan bahwa :
119
“Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadapsemua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana danperaturan perundang-undangan lainnya”
Korupsi termasuk dalam salah satu tindak pidana sehingga dapat
dilakukan tindakan hukum oleh penyidik polisi. Dengan demikian,
keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi bukan sebagai penghambat
kerja polisi. Namun demikian berdasarkan ketentuan undang-undang
secara substansial, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan
hubungan fungsional atas kewenangan, seperti tindakan hukum
koordinasi, supervisi, bersama penyidik kepolisian dan kejaksaan atau
bahkan pengambilalihan terkait kasus korupsi sesuai dengan persyaratan
yang ditentukan undang-undang.
Untuk pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian
Menurut Brigadir Polisi Triawan115 yaitu:
“Tindak pidana korupsi merupakan jenis pidana yang berbedadengan tindak pidana lain pada umumnya, ada ciri khusus yangmelekat pada pelaku tindak pidana tersebut. Maka penanganantindak pidana korupsi juga memerlukan personil khusus yangmenangani kasus tersebut. Personil tersebut sendiri untuk tingkatPolres masih dibawah Satuan Reserse Kriminal yaitu Sub UnitTindak Pidana Korupsi, sedang pada tingkat Polda terdapat satuankhusus yang disebut Satuan Tipikor Direktorat Kriminal Poldadan tingkat Mabes adalah Direktorat III/Tipikor dan White CollarCrime Badan Reserse dan Kriminal Polri.”
Salah satu ciri khas yang dimiliki anggota kepolisian adalah
system komando di dalam proses pelaksanaan tugas. Penyidik sebagai
115 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
120
salah satu sistem bagian dari anggota Polri tentu saja terikat pada sistem
komando tersebut.
Sementara itu Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak
Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi juga berdasarkan
Keputusan Jaksa Agung RI No.KEP-518/A/ J.A/11/2001 tanggal 1
November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang
Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan
perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara
korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan
atau informasi seseorang tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan juga
mengacu pada aturan yang ada dalam KUHAP. Ketika penyidik telah
mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (dikenal
dengan SPDP/Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan sesuai
dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Setelah bukti-bukti dikumpulkan
dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai
dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut
Umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana.
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum
121
“Pemberhentian Penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut
Umum dan kepada tersangka/keluarganya. Namun, jika peristiwa tersebut
merupakan peristiwa tindak pidana, maka setelah dilakukan penyidikan,
berkas diserahkan kepada Penuntut Umum hal ini sesuai dengan Pasal 8
ayat (2) KUHAP.
Mengenai kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan sama
seperti kepolisian yaitu di bawah 1 miliar. Namun kejaksaan bisa
menangani kasus diatas 1 Miliar jika penyidikan yang dilakukan oleh
kejaksaan tersebut tidak diambil alih oleh KPK.
Untuk struktur penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh kejaksaan menurut Sunarko,S.H.,M.H. tidak seperti kepolisian yang
tetap struktur organisasi dalam melakukan penyidikan, di kejaksaan tidak
ada.
Mengenai prosedur melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi baik yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian sama
dengan tindak pidana umum lainya yaitu mengacu pada KUHAP.
Menurut Pasal 102 KUHAP, dalam memulai penyidikan didahului
oleh penyelidikan, sumber tindakan yang dilakukan oleh penyelidik
berdasar pada empat hal, yaitu diketahui sendiri oleh petugas, laporan,
pengaduan dan tertangkap tangan.
Selain itu karena kewajibannya penyelidik mempunyai wewenang
antara lain menerima laporan/ pengaduan, mencari keterangan dan barang
122
bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan memeriksa tanda
pengenal, Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggug
jawab.
Penyidik wajib dengan inisiatif sendiri melakukan tindakan yang
dianggap perlu untuk penyidikan, segera setelah ia menerima laporan-
laporan atau timbul dugaan yang beralasan bagi penyidik tentang adanya
tindak pidana korupsi.
Pada saat dimulainya penyidikan, penyidik memberitahukan
kepada penuntut umum perihal dimulainya penyidikan tindak pidana. Hal
ini berkaitan dengan fungsi pengawasan fungsional dalam sistem peradilan
pidana oleh penuntut umum. Pemberitahuan ini disebut dengan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Penyidikan dimulai ketika penyidik berpendapat bahwa telah
terdapat bukti permulaan yang cukup, maka selanjutnya penyidik
memerintahkan agar tindak pidana korupsi tersebut diteruskan ke tahap
penyidikan.
Menurut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang dimaksud
dengan bukti permulaan yang cukup adalah:
“Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telahditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dantidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,diterima atau disimpan baik secara biasa maupun secara elektronikatau optik.”
123
Berdasarkan ketentuan tersebut maka agar penyelidikan tindak
pidana korupsi dapat ditingkatkan menjadi penyidikan maka harus
diperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu berupa sekurang-kurangnya 2
alat bukti.
Selanjutnya menurut ilmu kriminalistik, penyidik dalam mencari
tersangka/saksi/korban apabila ditemukan, maka perlu diadakan
identifikasi yang berguna untuk:
a. Melakukan penyidikan lebih terarah
b. Mencari hubungan tersangka dengan korban
c. Mempermudah membuat daftar orang yang dicurigai
Dan Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan untuk
melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan dan
penyitaan surat, Mengambil sidik jari dan membawa dan menghadapkan
seseorang pada penyidik.
Kemudian ketika seseorang diperiksa oleh penyidik, menurut
kedua narasumber (Brigadir Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.)
menyebutkan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik pada
prinsipnya untuk menggali informasi tentang tindak pidana yang
dilakukan, tetapi tersangka berhak untuk memberikan keterangan secara
bebas dan tanpa tekanan, serta kepada tersangka tidak boleh diajukan
pertanyaan yang menjerat.
124
Jadi dalam proses pemeriksaan oleh penyidik yang dilakukan di
Cilacap bisa dilihat bahwa tersangka selama dalam proses pemeriksaan
tidak boleh ditekan, diintimidasi, diancam, memberikan keterangan diluar
apa yang tersangka ketahui, dipaksa untuk melakukan sesuatu.
Penyidik harus mencari serta menemukan kebenaran tentang
apakah benar telah terjadi tindak pidana, Siapa yang melakukannya,
bagaimana sifat perbuatan itu serta siapa-siapa yang ikut terlibat dalam
perkara itu. Dalam rangka mencarai bukti-bukti maka denagan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang rahasia Bank, Bank
wajib memberikan keterangan tentang keadaan keuangan tersangka dan
dengan meperlihatkan surat-surat Bank dari tersangka, istri/suami, anak
yang diminta oleh Jaksa. Permintaan izin untuk memerintah keadaan
keuangan tersangka diajukan pada Menteri Keuanagan, izin mana yang
harus diberikan dalam waktu paling lama dua minggu terhitung tanggal
penyampaian permintaan tesebut.apabila dalam jangka waktu dua minggu
ternyata permintaan izin tersebut belum juga diminta jawabannya, maka
izin tersebut dianggap telah diberikan oleh Menteri Keuangan.
Selain itu dalam menggali informasi dari tersangka maupun saksi
menurut narasumber bahwa institusi Kejaksaan maupun Kepolisian
menggunakan pendekatan ilmu bantu Psikologi Kriminal. Konsep-konsep
utama psikologi dipergunakan untuk penegakan hukum agar tercapai
keadilan, yaitu dengan menggunakan tehnik-tehnik tertentu yang lazim
diterapkan oleh psikologi sehingga penyidik dalam melakukan
125
pemeriksaan terhadap tersangka tidak perlu marah-marah dan dapat
mengarahkan tersangka agar dapat memberikan jawaban-jawaban yang
benar, terlepas dari kenyataan apakah dia bersalah atau tidak, serta dalam
psikologi kriminal dihadapkan pihak penyidik sebagai pemeriksa dapat
menghadapi si pelaku tindak pidana secara lebih baik demi untuk
memperlancar jalannya pemeriksaan dalam tingkat penyidikan.
Dalam melakukan pemeriksaan biasanya digunakan metode:
a. Interview;
b. Interogasi;
c. Konfrontasi.
Dalam pemeriksaan terhadap tersangka menurut kedua
narasumber pelaku tindak pidana korupsi perlu dilakukan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penyidik memberitahukan kepada tersangka tentang hak-
haknya, terutama haknya untuk mendapatkan bantuan hukum;
b. Memberitahukan kepada saksi atau orang lain yang terkait
untuk tidak menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal
lain yang dapat memberi kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor .
126
c. Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada
cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir
dalam pemeriksaan di pengadilan. Saksi diperiksa secara
tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang
lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang
sebenarnya. Penyidik menanyakan kepada tersangka apakah
memiliki saksi atau ahli yang menguntungkan yang akan
diajukan olehnya. Bilamana ada maka hal tersebut dicatat
dalam Berita Acara Pemeriksaan, kemudian penyidik
memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
d. Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik
diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk
apapun.
e. Penyidik mengusahakan untuk mengetahui peranan
tersangka dalam tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa
(apakah sebagai dader, mede dader, mede pleger, uitlokker,
atau peran lainnya).
f. Setelah memperoleh keterangan penyidik mencatat keterangan
tersebut ke dalam berita acara yang kemudian ditandatangani
oleh penyidik dan oleh yang memberikan keterangan tersebut
setelah mereka menyetujui isinya. Dalam hal tersangka atau
saksi tidak tidak mau membubuhkan tandatangannya, penyidik
127
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut
alasannya.
g. Agar diperoleh keterangan, petunjuk-petunjuk dan bukti-bukti
yang kuat, maka hasil pemeriksaan tersangka atau saksi yang
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan baik secara
sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan dievaluasi guna
mengembangkan dan mengarahkan pemeriksaan selanjutnya
atau untuk membuat simpulan dari hasil penyidikan yang telah
dilakukan. Dari hasil evaluasi tersebut penyidik dapat
menyusun resume untuk pemberkasan dan penyerahan berkas
perkara.
Selain itu menurut Brigadir Polisi Triawan, ketika memasuki
tahap pemeriksaan terhadap tersangka maupun mengambil keterangan
terhadap saksi, penyidik selain menggunakan ilmu bantu Psikologi
Kriminal seharusnya bisa menggunakan alat Lie Detector agar mengetahui
kebenaran informasi yang diberikan oleh tersangka maupun saksi apakah
benar apa bohong. Namun kendala yang dihadapi belum tersedianya alat
tersebut di Kepolisian.
Selanjutnya, dalam penyidikan yang dilakukan di Cilacap,
menurut Sunarko,S.H.,M.H.116 yaitu:
116 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
128
“Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat-suratdan kiriman-kiriman melaului jawatan pos, telegraf, telepon danlain-lain yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkarapidana korupsi yang diperiksa.”
Jadi bisa dilihat bahwa ada kewenangan khusus terhadap penyidik
untuk melakukan upaya paksa khusus guna menemukan bukti-bukti
dugaan tindak pidana korupsi.
Menurut Brigadir Polisi Triawan117, terhadap tersangka dapat
dilakukan penangkapan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup yaitu
yang meliputi antara lain:
a. Laporan Polisi;
b. Berita Acara Pemeriksaan Polisi;
c. Laporan Hasil Penyelidikan;
d. Keterangan Saksi/ Ahli; dan
e. Barang Bukti.
Setelah dilakukan penangkapan, dalam proses penyidikan
selanjutnya penyidik bisa melakukan penahanan terhadap tersangka.
Menurut Pasal 21 KUHAP Penahanan dapat dilakukan dengan syarat
antara lain:
a. Tersangka/ terdakwa diduga keras melakukan tindak pidanaberdasarkan bukti yang cukup;
b. Memenuhi syarat subjektif;
c. Memenuhi syarat objektif;
117 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, Op.Cit
129
d. Dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim
Mengenai lamanya penahanan sesuai dengan KUHAP yaitu
maksimum 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum
maksimum 40 hari. Dan yang berwenang memberi perpanjangan
penahanan itu atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan pada tingkat
penyidikan ialah Ketua Pengadilan Negeri.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan
badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang- undang. Penyidik
setiap waktu berwenang memasuki setiap tempat yang dipandangnya perlu
dalam hubungannya dengan tugas pemeriksaan, dan jika keadaan
mengharuskannya, dibantu dengan alat kekuasaan negara lainnya.
Adapun penggeledahan yang dilakukan di wilayah Cilapap
menurut kedua narasumber (Brigadir Polisi Triyawan dan Sunarko,
S.H.,M.H.) dengan tata cara penggeledahan sebagai berikut :
a. Dilakukan oleh Penyidik;
b. Surat Ijin dari Ketua Pengadilan Negeri;
c. Memperlihatkan surat tugas penggeledahan;
d. Pendamping atau saksi dalam melakukan penggeledahan;
130
e. Membuat berita acara penggeledahan (Pasal 33ayat (5)
KUHAP).
Apabila penghuni sebuah rumah menolak untuk dimasuki
rumahnya, penyidik hanya dapat masuk bersama-sama dua orang saksi.
Dalam waktu dua kali dua puluh empat jam tentang pemasukan rumah itu
dibuat berita acaranya dan selanjutnya tembusannya disampaikan kepada
penghuni rumah yang bersangkutan untuk kepentingannya. Kewajiban
membuat berita acara tersebut berlaku juga apabila penyidik melakukan
penyitaan.
Mengenai benda yang dapat disita menurut Pasal 39 KUHAP
adalah :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atausebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagaihasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untukmelakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangipenyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukantindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindakpidana yang dilakukan
131
Dan tata cara penyitaan menurut Brigadir Polisi Triawan118
selalu berpedoman dengan KUHAP yaitu dengan cara:
a. Dilakukan oleh Penyidik;
b. Surat Ijin dari Ketua Pengadilan Negeri;
c. Memperlihatkan tanda pengenal;
d. Memperlihatkan barang yang akan disita kepada saksi;
e. Membungkus benda sitaan;
f. Menyimpan benda sitaan di RUPBASAN.
Selanjutnya setelah penyidik mempelajari dan meneliti perkara
tindak pidana korupsi penyidik dapat melanjutkan ke pelimpahan perkara
ataupun menghentikan penyidikan. Jika penyidik menghentikan
penyidikan, Pasal 109 ayat (2) KUHAP memberikan kewenangan kepada
penyidik untuk menghentikan penyidikan dengan alasan:
a. Perkara tidak cukup bukti;
b. Bukan merupakan tindak pidana;
c. Dihentikan demi hukum (berkaitan dengan ne bis in idem,
tersangka meninggal dunia, dan daluwarsanya perkara).
Dan Penghentian penyidikan ditandai dengan dikeluarkannya
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
118 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, Op.Cit
132
Lain halnya jika perkara tersebut dilanjutkan dengan pelimpahan
perkara ke Penuntut Umum. Pelimpahan perkara dari penyidik kepada
penuntut umum dilakukan dengan dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkaranya saja
kepada penuntut umum sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP
dengan tahapan:
a. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidikmelimpahkan berkas perkara ke penuntut umum;
b. Dalam waktu 7 hari penuntut umum harus memberitahukan danmengembalikan berkas perkara apabila berkas dinyatakan belumlengkap sehingga perlu dilakukan penyidikan tambahan;
c. Dalam waktu 14 hari penyidik harus mengembalikan hasilpenyidikan tambahan (Pasal 138 ayat (2) KUHAP).
2. Tahap kedua, penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti kepada penuntut umum sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) butir b
KUHAP yaitu dengan tahapan:
a. Penyidikan dinyatakan selesai apabila dalam waktu 14 hariPenuntut Umum tidak mengembalikan berkas perkara atau dalamwaktu kurang dari itu dinyatakan berkas telah lengkap.
b. Setelah berkas dinyatakan lengkap, pelimpahan tahap kedua adalahpenyerahan tersangka dan barang bukti (Pasal 8 ayat (3) huruf bKUHAP)
Dalam proses penyidikan untuk menemukan tersangka maupun
barang bukti biasanya dilakukan gelar perkara. Gelar perkara dilakukan
dalam rangka menangani tindak pidana korupsi tersebut secara tuntas
133
sebelum diajukan kepada Penuntut Umum. Tujuan dilaksanakan gelar
perkara antara lain untuk mencegah terjadinya pra peradilan,
memantapkan penetapan unsur-unsur pasal yang dituduhkan, sebagai
wadah komunikasi antar penegak hukum serta mencapai efisiensi dan
penuntasan dalam penanganan perkara. Gelar perkara sendiri bisa
dilakukan ketika sedang dilakukanyya penyidikan maupun sudah sampai
tahap pengadilan jika itu dianggap perlu untuk kepentingan penegakan
hukum.
Dalam melakukan gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik
kepolisian mengundang kejaksaan dan juga BPKB. Hal ini sesuai dengan
nota kesepahaman antara Kepolisian, Kejaksaan dan BPKB.
Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) dalam Nota Kesepahaman
Nomor KEP-1093/K106/2007 antara Kejaksaan Republik Indonesia,
Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan yaitu :
“Dalam setiap penyelidikan dan/atau penyidikan baik yangdilakukan oleh Kejaksaan maupun POLRI, BPKP menugaskanauditor professional untuk melakukan audit investigative ataupenghitungan kerugian keuangan negara sesual denganpermintaan.”
Sementara itu, gelar perkara oleh Kejaksaan dikenal dengan
“ekspose” yang biasanya dilakukan dikalangan jaksa saja, BPKP akan
disertakan bila perkara yang ditangani memerlukan audit dari BPKP sesuai
dengan Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia,
134
Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan.
Dalam pelaksanaan penanganan perkara tindak pidana korupsi
yang dilakukan kejaksaan terdapat hal yang berbeda dari penyidikan yang
dilakukan kepolisian, karena di kejaksaan pelapor, penyidik dan penuntut
umum dalam kasus tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang yang
sama, sehingga nantinya tidak ada istilah bolak – balik perkara dari
masyarakat. Berbeda dengan wewenang kepolisian yang hanya ada pada
tingkat penyidikan.
Dalam beberapa kasus dimana kasus korupsi dilakukan oleh
pejabat negara, maka harus ada perizinan yang harus dilengkapi sebelum
melakukan penyidikan yaitu:
1. Jika yang melakukan korupsi adalah anggota DPRD tingkat II, maka
harus ada izin dari Gubernur untuk memeriksanya.
2. Jika yang melakukan korupsi adalah anggota DPRD tingkat I, maka
harus ada izin dari Menteri Dalam Negeri untuk memeriksanya.
3. Jika yang melakukan korupsi adalah kepala daerah, maka harus ada
izin dari presiden untuk memeriksanya.
Setelah didapat bukti-bukti permulaan yang cukup dalam proses
penyidikan, maka dapat dilakukan penangkapan terhadap tersangka. Hal
ini juga sama dengan proses penyidikan terhadap tersangka yang bukan
135
sebagai pejabat negara. Penangkapan ini menggunakan surat perintah
penangkapan yang ditandatangani penyidik dan kepala Kejaksaan Negeri.
Penangkapan tersebut dilanjutkan dengan pemeriksaan awal untuk
menentukan apakah penangkapan tersebut aka dilanjutkan dengan
penahanan. Jika harus ditahan, maka hal tersebut dilakukan untuk
memudahkan penyidikan agar pelaku tidak kabur untuk melenyapkan
barang bukti maupun mempengaruhi para saksi. Penahanan dapat
dilakukan selama 20 hari dan apabila dirasa kurang dapat diperpanjang
maksimum 40 hari atas persetujuan ketua Pengadilan Negeri.
Mengenai siapa yang diprioritaskan melakukan penyidikan oleh
Kejaksaan maupun Kepolisian tidak ada. Namun yang mempunyai bukti
permulaan yang cukup dan mempunyai keyakinan tentang tindak pidana
korupsi lah yang bisa memulai melakukan penyelidikan hingga penyidikan
namun tetap harus melakukan koordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih
dalam melaksanakan tugas penyidikan.
2. Faktor yang Menghambat Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi di Wilayah Cilacap
Pada hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti yang
diungkapkan Syamsuddin Pasamai119 dalam bukunya Sosiologi dan
Sosiologi Hukum yaitu:
119 Diunduh Dari : http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html ( Pada Tanggal 28 Januari 2014 Pukul 9.47 WIB )
136
“Persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangaterat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakanhukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum.Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, juridis dansosiologis”
Untuk menmbahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu
penerapan hukum. Hal ini sejalan dengan penerpanan suatu penyidikan
seperti apa yang diungkapkan Ishaq120 dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu
Hukum yang menyebutkan:
“Dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yangmempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dannegatifnya terletak pada isi faktor tersebut.”
Dari pendapat tersebut, Soerjono Soekanto121 mengambil
kesimpulan bahwa bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.
Mendasarkan pada pendapat Soerjono Soekanto dan penelitian
yang dilakukan, maka diperoleh data bahwa faktor yang menghambat
120 Ibid.121 Ibid.
137
implementasi penyidikan tindak pidana korupsi di wilayah Cilacap, dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang akan dibatasi pada undang-undang
saja, undang-undang dalam arti materiel adalah peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang
sah
Keberadaan suatu perundang-undangan dalam suatu sistem
hukum merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya
suatu tertib hukum karena untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya
undang-undang. Terlebih lagi undang-undang merupakan sumber
hukum yang utama, yang mana kaidah-kaidah hukum yang banyak itu
memang berasal dari perundang-undangan, yang menuliskan hukum
dalam berbagai undang-undang dan membukukannya dalam kitab
undang-undang.122
Dalam hal penyidikan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Kedudukan
Penyidik Kepolisian hanya sub ordinat dibawah penyidik KPK
jadi ketentuan penyidikan tidak sepenuhnya dipegang oleh Kepolisian
seperti yang diatur dalam KUHAP.
Walaupun demikian koordinasi antar ketiga lembaga tersebut
bisa mengurangi hambatan tentang wewenang melakukan penyidikan
yang dilakukan oleh instansi yang berwenang karena untuk tindak
122 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia,2001), 147.
138
pidana korupsi di bawah 1 miliar masih dilaksanakan oleh kepolisian
maupun kejaksaan.
2. Faktor penegak hukum
Faktor penegak hukum ini dititikberatkan kepada Kepolisian
dan Kejaksaan yang melaksanakan tugas penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi di daerah.
Untuk instansi kejaksaan masalah sumber daya manusia
sebagai penyidik mungkin tidak mengalami masalah dikarenakan
memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi di bidang hukum.
Namun demikian upaya meningkatkan keprofesionalan aparat
kejaksaan secara terus menerus perlu ditingkatkan. Salah satu
kebijaksanaan pemerintah guna meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang mengacu pada syarat keterampilan, keahlian, dan
profesi, dengan memperakukan fungsi jabatan jaksa dalam pelaksanaan
penyidikan tindak pidana korupsi.
Menurut Sunarko,S.H.,M.H. yang menjadi kendala penegak
hukum kejaksaan adalah jumlah personel kejaksaan yang menangani
kasus tindak pidana korupsi di wilayah Cilacap yang masih sangat
minim sehingga perlua ada tambahan personel dengan rekruitmen baru
dan kualitas jaksa dengan sumber daya manusia yang unggul.123
Lain halnya dengan hambatan penegak hukum kepolisian.
Menurut Brigadir Polisi Triawan, hambatan dari penegak hukum
123 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
139
untuk kepolisian adalah masalah sumber daya manusia penyidik
sendiri. Masalah SDM merupakan masalah kompleks yang tidak dapat
diselesaikan dalam waktu singkat.124
Ketersediaan SDM yang memadai berkaitan erat salah satunya
dengan masalah rekruitmen. Menurut Suwarni sebenarnya dalam
melakukan rekruitmen anggota kepolisian apabila dilihat dari sisi
pendidikan saat ini telah mengalami peningkatan. Namun demikian
untuk pendidikan khusus dirasakan masih perlu penanganan yang
konsisten dan juga berkelanjutan125
Untuk faktor ini ada juga hambatan jika penegak hukumnya itu
sendiri memerlukan ilmu bantu yaitu ketika pada tahap pemeriksaan
belum adanya ahli psikologi kriminal dan terbatasnya jumlah personel.
Namun dalam perjalanannya di wilayah Cilacap dalam hal wewenang
melakukan pemeriksaan karena harus adanya permintaan terlebih
dahulu dari pihak penyidik, yang tentunya membatasi gerak psikologi
dari kepolisian maupn kejaksaan untuk lebih berperan dalam
melakukan penyidikan.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penyidikan.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak
mungkin penyidikan akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau
fasilitas tersebut, antara lain peralatan yang memadai, keuangan yang
124 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit125 Suwarni, Perilaku Polisi Studi Atas Budaya Organisasi dan Pola Komunikasi,
(Bandung : Nusa Media, 2009), Hal. 79
140
cukup, kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi maka mustahil penegakan
hukum akan mencapai tujuanya.
Faktor keuangan atau ekonomi adalah faktor yang paling
berpengaruh dalam hal sarana. Faktor ekonomi ini dilihat dari sudut
pandang kejaksaan dan kepolisian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melaksanakan penyidikan
suatu tindak pidana korupsi tentu memerlukan biaya operasional yang
cukup besar. Karena penyidikan ini sendiri menangani kasus yang
berhubungan dengan uang.
Hal inilah yang disebutkan oleh kedua narasumber (Brigadir
Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.) yaitu dalam hal menangani
kasus korupsi pasti langsung berhadapan dengan uang yang jumlahnya
tidak sedikit. Hal inilah yang menjadi tantangan untuk penyidik
kejaksaan dan kepolisian agar jangan sampai tergelincir terhadap
tindakan yang melanggar hukum sendiri, sekalipun dengan meinimnya
fasilitas. Oleh karena itu sarana dan prasarana saat ini menjadi
hambatan yang cukup besar yang dialami oleh kejaksaan dalam
melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi.126
Modus operandi tindak pidana korupsi yang canggih
tentuembutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Sebagai
institusi penyidik tentu saja faktor sarana dan fasilitas pendukung
penyidikan yang dibutuhkan oleh Kejaksaan dan Kepolisian juga tidak
126 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H
141
boleh tertinggal dan harus mendapat perhatian. Satu hal yang masih
kurang mengenai sarana dan prasarana. Seharusnya dengan modus
operandi yang semakin canggih, penyidik juga dibekali sarana yang
canggih pula seperti untuk melakukan penyadapanmaupun peralatan
lain yang diperlukan untuk melakukan penyidikan.
Dalam proses pemeriksaan juga diperlukan alat-alat khusus
untuk mengungkap kebenaran yang diberikan oleh saksi seperti
menggunakan alat Lie Detector. Namun alat ini belum tersedia di
Kepolisian maupun Kejaksaan, sehingga hal ini juga bisa menjadi
penghambat.
4. Faktor masyarakat
Dalam pelaksanaan penyidikan hambatan yang dijumpai salah
stunya dari masyarakat sendiri. Dalam hal ini masyarakat yang
dimaksud adalah saksi yang mengetahui tindak pidana korupsi
tersebut. Dalam hal terlaksananya penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik terdapat peran dari saksi yang mengetahui suatu perkara.
Hal yang menjadi penghambat penyidik adalah saksi yang
belum terbuka dan masih menutupi suatu kasus yang mereka ketahui.
Padahal keterangan saksi sangat penting perihal penyidikan yang
dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian.127
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
127 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H
142
Dalam penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
banyak masyarakat menolak melaporkan suatu kasus korupsi di
wilayahnya. Faktor penghambat dari masyarakat biasanya adalah
kurang terbuka terhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di
lingkungan itu sendiri. Sehingga kurang tanggap jika ada tindak pidana
korupsi yang ada di lingkungannya. Selain itu masyarakat juga tidak
terbuka dalam memberi informasi dan masih saling menutupi jika ada
suatu tindak pidana. Hal inilah yang menjadi penghambat bagi
penyidik dalam melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi.128
Faktor ini terbentuk juga disebabkan oleh faktor pendidikan.
Faktor pendidikan dapat di klasifikasikan menjadi pendidikan formal
dan informal. Pendidikan formal yaitu suatu jenjang pendidikan yang
ditentukan oleh Pemerintah seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan
seterusnya. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memberantas buta hukum.
Masyarakat yang kurang pendidikan, baik itu pendidikan
formal maupun informal membentuk suatu “phobia hukum.” Phobia
hukum adalah suatu ketakutan berhadapan dengan hukum yang
ketakutan tersebut lahir tanpa suatu alasan yang jelas.
128 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H
143
Phobia hukum tersebut apabila dibenturkan dengan asas
perundangan Indonesia yaitu asas fiksi hukum adalah sesuatu yang
tidak akan pernah bertemu. Tidak akan mungkin seorang yang
mempunyai phobia terhadap hukum akan coba mengenal hukum.
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung
jawab seharusnya semakin meningkatkan sosialisasi hukum kepada
masyarakat, yang bisa di lakukan oleh lembaga Pemerintah atau
Pemerintah bisa ikut mengajak organisasi keadvokatan untuk
melakukan program sosialisasi hukum mengenai tindak pidana
korupsi.
6. Wilayah yang luas
Dalam hal penanganan suatu tindak pidana korupsi pasti
diharapkan agar sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah Kabupaten Cilacap
merupakan wilayah yang cukup luas di provinsi Jawa Tengah. Ada 23
kecamatan yang berada di kabupaten ini. Hal ini merupakan salah satu
hambatan yang dialami oleh kejaksaan dalam menangani tindak pidana
korupsi. Karena dengan sarana transportasi yang masih menggunakan
transportasi darat, kejaksaan harus menjangkau wilayah-wilayah yang
jauh dari pusat kabupaten cilacap dengan kondisi jalan yang berbeda-
beda. Oleh karena itu hal inilah yang menjadi hambatan dalam
efisiensi penyidikan korupsi di wilayah Cilacap.129
129 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
144
Dalam proses penyidikan faktor ini sangat menghambat ketika
penyidik harus melakukan penyidikan dengan cepat, namun tempat
kejadian berada jauh dari pusat kota Cilacap. Tentu mobiltas penyidik
menjadi terhambat dalam mencari bukti-bukti yang terkait dengan
tindak pidana korupsi tersebut.
145
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Penyidikan yang dilakukan di wilayah Cilacap yang dilakukan oleh
Kejaksaan Negeri Cilacap dan Kepolisian Resort Cilacap yaitu :
a. Dalam melaksanakan proses penyidikan, prosedur yang dilaksanakan
oleh penyidik sama dengan tindak pidana lain yaitu sesuai dengan
peraturan yang ada di KUHAP yaitu dari tahap penyelidikan hingga
pelimpahan perkara ke Penuntut Umum. Hanya saja dalam melakukan
pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi, penyidik memerlukan
ilmu bantu lain yaitu dengan pendekatan Psikologi Kriminal untuk
menggali informasi yang diperlukan dari tersangka.
b. Dalam melakukan gelar perkara, kepolisian mengundang kejaksaan
dan juga BPKB. Pada Kejaksaan dikenal gelar perkara dikenal dengan
istilah “ekspose” yang biasanya dilakukan dikalangan jaksa saja,
BPKP akan disertakan bila perkara yang ditangani memerlukan audit
dari BPKP.
c. Di kejaksaan pelapor, penyidik dan penuntut umum dalam kasus
tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang yang sama, sehingga
nantinya tidak ada istilah bolak – balik perkara dari masyarakat.
146
Sedangkan kepolisian wewenangnya hanya melakukan penyidikan
saja.
d. Dalam beberapa kasus dimana kasus korupsi dilakukan oleh pejabat
negara, maka harus ada perizinan yang harus dilengkapi sebelum
melakukan penyidikan.
2. Faktor-faktor yang menghambat penerapan penyidikan tindak pidana
korupsi antara lain:
a. Faktor hukumnya sendiri, bahwa aturan yang ada saat ini dalam
penanggulangan korupsi mempersempit kewenangan kepolisian dalam
melakukan penyidikan karena ada dua lembaga lain yang berwenang
melakukan penyidikan yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Namun bisa
diatasi dengan adanya koordinasi yang berkelanjutan.
b. Faktor penegak hukum, kurangnya personel dari penyidik kepolisian
maupun kejaksaan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.
Selain itu juga SDM dari penyidik yang masih perlu ditingkatkan
karena biasanya pelaku tindak pidana korupsi mempunyai intelektual
yang tinggi. Hal lain yang dirasa kurang adalah tidak adanya personel
lain yang mempunyai keahlian di bidang ilmu lain dalam proses
penyidikan seperti Ahli Psikologi Kriminal yang dirasa kurang.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung, selain masalah biaya
operasional, Modus operandi tindak pidana korupsi yang canggih tentu
membutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Seharusnya
dengan modus operandi yang semakin canggih, penyidik juga dibekali
147
sarana yang canggih pula seperti untuk melakukan penyadapanmaupun
peralatan lain yang diperlukan untuk melakukan penyidikan. Agar
penyidik terhindar dari ancaman suap.
d. Faktor masyarakat, hal yang menjadi penghambat penyidik adalah
saksi yang belum terbuka dan masih menutupi suatu kasus yang
mereka ketahui. Padahal keterangan saksi sangat penting perihal
penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dalam
penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, banyak
masyarakat menolak melaporkan suatu kasus korupsi di wilayahnya.
Faktor penghambat dari masyarakat biasanya adalah kurang terbuka
terhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di lingkungan itu
sendiri. Karena takut terbongkarnya suatu aib di lingkungannya.
f. Faktor wilayah geografis, fator wilayah penyidikan yang luas dan
kondisi geografis alam di wilayah Cilacap bisa menghambat
terciptanya asas penyidikan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
B. Saran
Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu adanya kerja sama baik di kalangan pemerintah, penegak hukum
maupun masyarakat dalam upaya perwujudan pemberantasan korupsi
148
supaya tujuan dalam pemberantasan korupsi dapat tercapai dengan
baik;
2. Perlunya meningkatkan pendidikan bagi para penyidik baik penyidik
kepolisian maupun kejaksaan sehingga dalam melaksanakan tugas
penyidikan penyidik tersebut mempunyai pengetahuan yang lebih
karena pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya berasal dari kaum
intelek.
3. Perlu penambahan personel dalam pelaksanaan penyidikan tindak
pidana korupsi, terutama yang mempunyai keahlian dalam ilmu bantu
lain yang menunjang dalam proses penyidikan.
4. Pemenuhan sarana dan prasarana dari pemerintah untuk kelancaran
proses penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur
Arief, Barda Nawawi. 2005, Pembaharuan Kejaksaan Dalam Konteks SistimPeradilan Pidana Terpadu dalam Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan danPengembangan Hukum Pidana , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti;
Butarbutar, E. Nurhaini. 2010. “Sistem Peradilan dalam Negara Hukum RepublikIndonesia,” Jakarta: Legalitas ;
Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama Komisi PemberantasanKorupsi. Balikpapan : Sinar Grafika;
Djamal, Abdoel. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: PenerbitPT Raja Grafindo Persada;
Effendy, Marwan. 2012, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap BeberapaPerkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi;
Elliot, Kimberly Ann. 1999, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama,Terjemahan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia;
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Total. Jakarta :Sinar Grafika;
Harahap, Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Penyidikandan Penuntutan. Edisi Kedua. Cetakan Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika;
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Semarang: Sinar Grafika;
Jefry, Mochammad. 2004. Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Penyidikan Korupsi.Palembang : Universitas Sriwijaya;
Kholiq, Abdul. 2000. Buku Pedoman kuliah hukum pidana. Yogyakarta: FakultasHukum UII;
Lamintang, P.A.F. 2000, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Cetakan Keempat,Bandung: Citra Aditya Bakti;
Makarao, Mohammad Taufik, Suharsil. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Teori DanPraktek. Jakarta : Ghalia Indonesia;
Marpaung, Leden. 2005. Azas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika;
-----------------------. 2011. Proses Penanganan Perkara (Penyelidikan danPenyidikan). Jakarta: Sinar Grafika;
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Surabaya: Kencana;
Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Edisi Kelima. Yogyakarta: Liberty;
Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta;
Moleong, Lexi. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PTRemaja Rosada Karya;
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.Jakarta: Media Prima Aksara;
Raharjo, Satjipto. 1983. Hukum dan Pembaharuan Sosial: Suatu Tujuan Teoritis sertaPengalaman-Pengalaman di Indonesia. Bandung: Alumni;
Rohmini, Mien. 2003. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tak Bersalah danAsas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan PidanaIndonesia, Bandung : Alumni;
Salam, Mochamad Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam teori Dan Praktek.Bandung : Mandar Maju;
Sidharta, Bernanrd Arief. 1991. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum SebuahPenelitian Tentang Fungsi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu HukumSebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia.Bandung : Mandar Maju;
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Cetakan Pertama;
Sulista, Teguh & Zurnetti, Aria. 2011. Hukum Pidana: Horizon Baru PascaReformasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada;
Suyatno. 2005. Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan;
Soemitro, Rony Hanitijo. 2008. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: PTGrafindo Persada;
Sutomo. 2008. Handout Hukum Acara Pidana. Surabaya: Fakultas Hukum UniversitasAirlangga;
Wignyosoebroto, Sutandyo. 2006. Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajiandan Metode Penelitiannya. Makalah Lokakarya. Semarang: Yayasan DewiSartka;
Winarta Frans. 2003. “Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral”,Vol. 20 No. 1, Jakarta : Pro Justitia;
Wiryono, R. 2005. Pembahasan Undang- Undang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi. Ngunut : Sinar Grafika;
Waluyo, Bambang. 2002. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Edisi Pertama. CetakanKetiga. Jakarta : Sinar Grafika;
Waluyo,R. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi. Jakarta : Sinar Grafika.
Peraturan Perundang- Undangan
Indonesia, Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RepublikIndonesia;
_______, Undang- Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RepublikIndonesia;
_______, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi;
_______, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
_______, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- ketentuanPokok Kejaksaan Republik Indonesia;
_______, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem ManajemenSumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi.Undang- UndangNomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
_______,Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- ketentuanPokok Kejaksaan Republik Indonesia;
_______, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi;
_______, Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi;
Jurnal
Bawono, Bambang Tri. 2011. Tinjauan Yuridis Hak – Hak Tersangka dalamPemeriksaan Pendahuluan. Jurnal Ilmu Hukum ( Online ) .Volume24.Nomor 2. (http://cyber.unissula.ac.id/ ), diakses 25 Juli 2013);
Lasmadi, Sahuri. 2010. Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada TindakPidana Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jurnal IlmuHukum (Online), Volume 2, Nomor 3 ( http:// online-journal.unja.ac.id ,diakses 23 Juli 2013);
R, Mukhlis. 2012. Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik Polri denganPerkembangan Delik-Delik diluar KUHP. Jurnal Ilmu Hukum (Online),Volume 3, Nomor 1,( http://ejournal.unri.ac.id, diakses 23 Juli 2013) ;
Usman. 2012. Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana. Jurnal Ilmu Hukum(Online), Volume 2 Nomor 1.( http://online-journal.unja.ac.id/, diakses 24Juli 2013 );
Topo Santoso. 2001. Polisi dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia.Jurnal Ilmu Hukum (Online). Volume 10. Nomor 1. ( http://psi.ut.ac.Di/Jurnal / 101topo . Ham, diakses 5 Desember 2013 ).
Karya Ilmiah, Majalah dan Koran
Laksmana B, Gandjar; Penyidik Independen Komisi Pemberantasan Korupsi; MajalahTempo edisi 8- 14 Oktober 2012;
Nugroho. Hibnu. 2012. Analisis Penyidik Independen Komisi PemberantasanKorupsi; Kedaulatan Rakyat 18 Juli 2012;
Internet
Azhar, Antasari. 17 Maret 2009 : Persamaan Persepi , Solusi Hambatan PerizinanPemeriksaan Kepala Daerah. http://www.hukumonline.com/. diakses tanggal20 Maret 2013;
Maryam, Siti. 26 Februari 2012 : Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia.http://hukum.kompasiana.com/ . diakses tanggal 4 April 2013;
Nugroho, Hibnu. 9 Mei 2011 : Prospek Peradilan Tipikor Daerah .http://www.suaramerdeka.com/ . diakses tanggal 20 Maret 2013;
Pasamai, Samsudin. 26 Juni 2014 : Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Hukum.http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html diakses tanggal 28 Januari 2014.