penolakan terhadap pendidikan pemerintah kolonial jepang

19
Penolakan terhadap Pendidikan Pemerintah Kolonial Jepang dalam Novel Redimeideu Insaeng Karya Chae Mansik: Analisis Tema Lovelyta, Tommy Christommy Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia [email protected] Abstrak Penelitian ini mengkaji tema pada novel Korea yang berjudul Redimeideu Insaeng karya Chae Man Shik melalui gagasan-gagasan pendukung dan gaya penceritaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode close reading dengan seluruh analisis yang merujuk pada teks. Pendekatan new historicism juga digunakan karena adanya keterkaitan antara karya sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya. Temuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa tema dari novel Redimeideu Insaeng adalah penolakan terhadap pendidikan pemerintah kolonial Jepang. Karya ini juga merupakan upaya pengarang untuk menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri rakyat Korea. The Rejection of the Japanese Colonial Government Education in Redimeideu Insaeng by Chae Mansik: Theme Analysis Abstract This research is focused on a study of theme in Korean short novel, Redimeideu Insaeng, written by Chae Mansik through its supporting ideas and writing style. The research method used in this thesis is a close reading method with all its analysis refers to the text. The new historicism approach is also used because of the relationship between literature and the power of social, economy, and politic around it. The result of the study is that the theme of Redimeideu Insaeng is the rejection of the Japanese colonial government education. It is also found that this work is the author’s effort to encourage Korean people of their awareness to nationalism. Keywords: critic; new historicism; japanese colonialism; satire; theme Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013

Upload: others

Post on 08-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Microsoft Word - lovelyta-skripsi-fakultas_ilmu_budaya-naskah_ringkas-2013.docxLovelyta, Tommy Christommy
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini mengkaji tema pada novel Korea yang berjudul Redimeideu Insaeng karya Chae Man Shik melalui gagasan-gagasan pendukung dan gaya penceritaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode close reading dengan seluruh analisis yang merujuk pada teks. Pendekatan new historicism juga digunakan karena adanya keterkaitan antara karya sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya. Temuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa tema dari novel Redimeideu Insaeng adalah penolakan terhadap pendidikan pemerintah kolonial Jepang. Karya ini juga merupakan upaya pengarang untuk menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri rakyat Korea.
The Rejection of the Japanese Colonial Government Education in Redimeideu Insaeng
by Chae Mansik: Theme Analysis
Abstract
This research is focused on a study of theme in Korean short novel, Redimeideu Insaeng, written by Chae Mansik through its supporting ideas and writing style. The research method used in this thesis is a close reading method with all its analysis refers to the text. The new historicism approach is also used because of the relationship between literature and the power of social, economy, and politic around it. The result of the study is that the theme of Redimeideu Insaeng is the rejection of the Japanese colonial government education. It is also found that this work is the author’s effort to encourage Korean people of their awareness to nationalism.
Keywords: critic; new historicism; japanese colonialism; satire; theme
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
Pendahuluan
Korea mengalami penjajahan Jepang dari tahun 1910 hingga tahun kekalahan Jepang
di Perang Dunia II, yaitu tahun 1945. Selama masa penjajahannya, Jepang membawa Korea
pada modernisasi. Modernisasi tersebut terjadi di berbagai bidang, di antaranya ekonomi,
sosial, dan budaya. Di bidang ekonomi, modernisasi terlihat dari berubahnya struktur
ekonomi masyarakat Korea yang semula agraris menjadi industri. Di bidang sosial, perubahan
terjadi pada masyarakat yang tadinya bersifat feodal yang mementingkan status dan keturunan
menjadi kapitalis yang mementingkan modal (uang). Sementara itu di bidang budaya,
modernisasi ditunjukkan dengan terbukanya akses yang luas terhadap pendidikan dan
perkembangan kesusastraan.
Secara garis besar, terdapat dua jenis aliran dalam kesusastraan modern Korea dalam
proses penyerapan pengaruh kesusastraan asing (Sohn, 1984: 308). Jenis pertama adalah
penulis beraliran satire. Penulis seperti ini bertujuan untuk menumbuhkan semangat
kemerdekaan, patriotisme, dan nasionalisme. Jenis yang kedua adalah penulis yang
berlandaskan pada pengaruh asing dan berusaha memasukkan nilai-nilai transisi modern ke
dalam kesusastraan Korea. Penulis yang beraliran satire adalah Shin Chaeho, An Kukson,
Park Unsik, Chae Mansik, dan lain-lain, sedangkan penulis jenis kedua adalah Lee Injik.
Dalam penelitian ini, penulis akan membahas lebih dalam mengenai novel pendek atau cerpen
Chae Mansik yang berjudul Redimeideu Insaeng (Kehidupan Ready-Made).
Redimeideu Insaeng adalah novel pendek Chae Mansik yang menuai banyak
kontroversi karena secara tak langsung mengkritik pemerintahan kolonial Jepang pada saat itu.
Novel yang diterbitkan pada tahun 1934 ini bercerita tentang kehidupan seorang jisikin atau
intelektual bernama P yang mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan. Di dalam
novel ini Chae Mansik juga menyampaikan pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial
Korea melalui pemikiran dan perasaan tokoh P. Redimeideu Insaeng menunjukkan kepada
kita sebuah ironi dari industrialisasi dan modernisasi, bagaimana pengaruh kapitalisme dalam
masyarakat dan ketidakberdayaan kaum intelektual dalam menghadapinya. Semuanya
diceritakan dengan gaya satire khas Chae Mansik. Berdasarkan keunikannya tersebut, penulis
tertarik untuk meneliti novel ini. Persoalan yang diteliti adalah: apakah tema utama dari novel
ini dan gagasan apa sajakah yang mendukung tema utama tersebut? Berdasarkan
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tema utama
dan gagasan-gagasan pendudukung dalam novel Redimeideu Insaeng karya Chae Mansik.
Tinjauan Teoritis
Sebuah cerita memiliki unsur-unsur penting yang berfungsi menyusun cerita tersebut
sehingga enak dibaca dan dapat menyampaikan maksud yang terkandung di dalamnya kepada
pembaca dengan baik. Unsur-unsur terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah hal-hal yang menyusun cerita itu sendiri, seperti tema, alur, penokohan, latar,
dan lain-lain, sedangkan unsur ekstrinsik adalah hal-hal yang berasal dari luar cerita namun
secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita, seperti sikap, keyakinan, dan pandangan
hidup pengarang.
Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah tema dari novel Redimeideu Insaeng
karya Chae Mansik. Tema merupakan salah satu unsur intrinsik yang paling penting dalam
membangun sebuah karya sastra, karena melalui tema pengarang menyampaikan gagasannya.
Bersama dengan tokoh utama dan konflik utama, tema utama saling berkaitan erat dengan
keduanya dan membentuk suatu kesatuan yang padu, kesatuan organisme cerita.
(Nurgiyantoro, 1995: 25).
Dalam Writing Themes about Literature, Roberts (1969) mengatakan bahwa sebuah
tema haruslah menampilkan ide-ide atau deskripsi yang singkat, akurat, dan kuat, yang
bergabung dalam satu kesatuan. Ide-ide tersebut tidak disampaikan secara bertele-tele, namun
berada di bawah lingkup pemikiran yang mendominasi atau ide utama. Berdasarkan hal ini
dapat dipahami bahwa meskipun merupakan tujuan utama (central purpose) dari seorang
pengarang, tema tidak disampaikan secara langsung dan sendirian. Tema disampaikan melalui
beberapa gagasan yang meskipun tersebar di dalam cerita, gagasan-gagasan tersebut tetap
berada di bawah ‘payung’ tema utama. Gagasan-gagasan tersebut disampaikan dengan bentuk
yang berbeda-beda, namun tetap sejalan dan mendukung tema utama. Oleh karena itu, untuk
dapat memahami tema utama dari sebuah cerita, kita harus menemukan gagasan-gagasan
pendukungnya terlebih dahulu.
Dalam menyampaikan gagasannya di dalam cerita, setiap pengarang memiliki cara
dan gaya tersendiri. Salah satunya adalah gaya satire yang digunakan oleh Chae Mansik
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
dalam karya-karyanya, termasuk Redimeideu Insaeng yang menjadi objek dalam penelitian
ini. Satire adalah gaya bahasa yang digunakan dalam kesusastraan untuk menyerang nilai-
nilai atau sistem otoritas yang dianggap tidak masuk akal1. Gaya bahasa ini menghindari
serangan langsung dalam mengkritik kelemahan objek dan mengejek secara tidak langsung
melalui cemoohan atau menggunakan humor sebagai alat penyampaiannya. Sementara itu
menurut Gorys Keraf dalam Diksi dan Gaya Bahasa (1985: 144), satire mengandung kritik
tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis
maupun estetis. Sementara itu, untuk dapat mengetahui apakah sebuah teks bersifat menyindir
atau tidak, pembaca harus meresapi implikasi-implikasi yang tersirat dalam baris-baris, bukan
hanya pada pernyataan yang eksplisit itu. Pembaca harus berhati-hati menelusuri batas antara
perasaan dan kegamblangan arti harfiahnya (Keraf, 1985: 144). Sama seperti pemahaman atas
tema utama, pemahaman atas makna di satire tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan
bagian-bagian tertentu dalam teks. Walaupun demikian, penulis tidak mengkaji gaya satire
yang digunakan dalam novel Redimeideu Insaeng secara khusus. Penjelasan mengenai gaya
satire ini penulis gunakan sebagai salah satu acuan untuk menganalisa tema utama dan
gagasan-gagasan pendukung dalam cerita.
Selain memperhatikan gagasan pendukung atau tema tambahan yang terdapat di dalam
cerita, usaha penafsiran tema juga harus memperhatikan hal-hal yang berada di luar cerita
atau unsur ekstrinsik cerita. Hal tersebut sejalan dengan pendekatan new historicism yang
penulis gunakan dalam penelitian ini. New Historicism adalah teori yang melihat sastra dan
aspek-aspek ‘luar’ seperti praktik sosial, ekonomi, dan politik sebagai satu kesatuan. Hal ini
disebabkan kehadiran sastra itu sendiri yang ikut ambil bagian dalam aspek-aspek tersebut.
Kegiatan membaca sejarah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan membaca nilai, lembaga dan
praktik budaya. Untuk itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan salah satu pertanyaan
yang dipakai oleh New Historicism dalam menganalisa teks, yaitu perilaku atau praktek sosial
apa yang didukung oleh karya sastra tersebut? (Greenblatt dalam Kesey, 1994: 446,
terjemahan Melanie Budianta). Jawaban dari pertanyaan tersebut dicari dari unsur-unsur
formal teks, dengan melihat bagaimana kekuatan-kekuatan sosial budaya dihadirkan oleh teks
itu sendiri.
Isi
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa kritik terhadap pemerintah
kolonial Jepang menjadi sorotan utama dalam novel pendek ini. Kritik tersebut berupa
penolakan terhadap pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Jepang kepada
rakyat Korea. Berkaitan dengan tema tersebut, penulis menemukan gagasan-gagasan yang
menonjol dalam Redimeideu Insaeng yaitu mengenai: kritik terhadap modernisasi yang
dilancarkan Jepang di Korea, kritik terhadap masyarakat kapitalis, kritik terhadap kaum
intelektual pada masa penjajahan Korea, dan kritik terhadap pendidikan yang diberikan
pemerintah kolonial Jepang kepada rakyat Korea. Berikut ditunjukkan gagasan-gagasan
tersebut yang disertai dengan bukti pendukung dari dalam karya sastra tersebut beserta gaya
satire yang digunakan.
Modernisasi di Korea pada masa penjajahan Jepang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan Jepang yang pada saat itu tengah menjalankan pendudukan terhadap negara-negara
di Asia. Modernisasi tersebut mencakup di semua bidang, baik ekonomi, sosial, maupun
budaya. Dalam bidang ekonomi, Jepang mengenalkan teknologi industrial seperti mesin-
mesin pabrik yang canggih, yang merupakan hal baru bagi bangsa Korea. Perkembangan
teknologi industri ini beriringan dengan industrialisasi yang dijalankan pemerintah kolonial
Jepang di Korea. Tujuannya adalah semata-mata agar Korea bisa memproduksi barang-barang
yang dibutuhkan oleh Jepang. Industrialisasi dilakukan dengan merampas tanah-tanah rakyat
dan membangun pabrik-pabrik di atasnya, sehingga mau tak mau rakyat Korea yang tadinya
bersifat agraris beralih ke industri. Di bidang sosial dan budaya, modernisasi terlihat dalam
pendidikan. Pendidikan yang tadinya terbatas untuk bangsawan kini bisa dinikmati oleh
semua orang. Terbukanya akses yang luas untuk pendidikan memberi harapan kepada rakyat
Korea untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, ternyata hal itu tidak menjamin
kesejahteraan hidup mereka karena setelah memperoleh pendidikan yang cukup, lapangan
pekerjaan yang tersedia tidak memadai. Akhirnya muncul banyak pengangguran. Dalam
novel ini, secara tersirat Jepang dianggap sebagai penyebab dari masalah ini. Akibat
perubahan struktur ekonomi dan sosial yang dilakukan oleh Jepang, Korea mengalami
kerugian, dalam hal ini meningkatnya pengangguran.
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
Semangat modernisasi yang telah muncul sejak akhir dinasti Joseon dan ‘diwujudkan’
Jepang melalui penjajahan tidak menyentuh seluruh bagian masyarakat. Modernisasi dalam
bidang ekonomi, sosial, dan budaya hanya menguntungkan kaum tertentu, yaitu kaum borjuis.
Modernisasi bahkan memperburuk keadaan rakyat kecil seperti kaum buruh dan petani Korea
pada masa itu. Kekecewaan terhadap situasi tersebut disampaikan melalui sikap pesimis tokoh
utama terhadap modernisasi, seperti yang tertera dalam kutipan berikut.
“ . , . ? ” “ ? ” “ .” ( , 40- 1)
Terjemahan bebas:
“Tapi, para lulusan universitas atau sekolah spesialis yang datang ke desa demi pemberantasan buta huruf atau modernisasi, kedatangan mereka bukanlah hal yang menyenangkan melainkan hal yang memusingkan.... Kebodohan atau ketertinggalan kaum petani, juga kehidupan mereka yang menyedihkan bukan disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan alfabet atau modernisasi. Lalu, apakah menurut Anda seluruh kaum intelek muda Joseon akan menjadi orang yang berperikemanusiaan?” “Tentu saja. Apa hal itu tidak mungkin?” “Kalau begitu, humanisme adalah sejenis khayalan saja.”
Kutipan di atas adalah perdebatan yang terjadi di antara tokoh P dengan Direktur K
saat P melamar pekerjaan di perusahaan penerbitan koran milik Direktur K. Setelah menolak
P untuk bekerja di perusahaannya, Direktur K menyarankan P untuk melakukan kegiatan lain
yang bermanfaat bagi masyarakat. Kaum intelektual seperti P seharusnya berusaha untuk
memajukan masyarakat dengan ilmu yang dimilikinya. P pun melontarkan argumennya
tentang modernisasi yang dianggapnya tidak berguna bagi rakyat kecil Korea. Kedatangan
kaum intelektual ke desa untuk memberantas buta huruf dan menyebarluaskan modernisasi
yang diusung oleh Jepang bukanlah hal yang diinginkan oleh penduduk desa. Hal-hal tersebut
justru menambah beban hidup dan membuat mereka semakin pusing. Kaum petani boleh jadi
dianggap bodoh karena tidak bisa membaca atau tidak tahu tentang modernisasi yang tengah
melanda negeri mereka, namun menurut P hal itu sebenarnya bukanlah penyebab dari
ketertinggalan dan kemiskinan mereka. Modernisasi, baik di bidang ekonomi maupun budaya
(pendidikan), tidak memberikan pemecahan atas masalah kemiskinan dan ketertinggalan
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
kaum petani. Selain itu, rasa pesimis P juga disampaikannya dalam pandangannya terhadap
humanisme kaum intelektual muda. P menyangsikan bahwa kaum intelektual muda Korea
akan rela menghabiskan waktu dan tenaganya untuk memodernisasikan kaum petani di desa.
Daripada melakukan hal itu, kaum intelektual muda seperti dirinya lebih baik mencari
pekerjaan dan menghidupi dirinya sendiri yang sudah kesusahan. Sikap pesimis tersebut
dipertegas dengan pernyataan bahwa humanisme semacam itu hanyalah khayalan semata.
Dengan kata lain, hal itu tidak akan pernah terjadi.
2. Kritik terhadap Masyarakat Kapitalis
Perubahan struktur ekonomi juga mengubah struktur sosial masyarakat Korea. Pada
awalnya masyarakat Korea bercorak feodal agraris. Sejak Jepang masuk dan melancarkan
industrialisasi di Korea, sistem ekonomi berubah menjadi kapitalis. Kapitalisme adalah sistem
dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan
industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri
persaingan dalam pasaran bebas (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 389). Dalam
masyarakat yang menganut sistem ekonomi kapitalis, pemilik modal memegang peranan yang
penting dalam perekonomian. Salah satu ciri masyarakat kapitalis adalah setiap tindakan
didasari oleh prinsip ekonomi, yaitu memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
pengorbanan yang minimum. Dalam masyarakat kapitalis, uang menjadi sesuatu yang sangat
penting dan menjadi landasan dari segala tindakan. Kim Taegil dalam bukunya yang berjudul
Value of Korean People Mirrored in Fiction (1990) menyebutkan bahwa salah satu perubahan
nilai dalam masyarakat Korea pada masa penjajahan Jepang adalah munculnya budaya
mammonisme. Mammonisme adalah sebuah paham yang menganggap uang adalah segala-
galanya2. Pada awalnya, bangsa Korea tidak terlalu memandang uang sebagai hal yang
penting. Ini dikarenakan Konfusianisme yang telah mereka anut selama berabad-abad. Dalam
Konfusianisme mereka diajarkan untuk merasa bahagia dan cukup dalam kesederhanaan, serta
lebih menjunjung ilmu pengetahuan dan kebajikan dibandingkan materi. Namun gelombang
modernisasi dan penjajahan Jepang membuat mereka menjadi lebih materialistis. Pemikiran
ini dapat menimbulkan kemerosotan moral, karena orang dapat melakukan apa saja demi
mendapatkan uang. Fenomena ini ditampilkan pengarang dalam cuplikan berikut.
“ ? ”
“? ”                                                                                                                           2  Berdasarkan pengertian dari mamonist, yaitu “one devoted to the ideal or pursuit of wealth” (Merriam-Webster, 2013)  
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
“ … , .” P . . . “, ! ” P . . ( , 65)
Terjemahan bebas:
“Berapa?”
“Terserah...lima puluh chon, atau bahkan dua puluh.”
P segera bangkit dan merogoh kantungnya, meraup semua yang ada di sana, lalu melemparkannya ke lantai. Dua lembar uang 1 Won dan koin-koin berhamburan di lantai.
“Ini, uang!”
P berlari keluar. Matanya meneteskan airmata.
Wanita penghibur yang ditemui P di bar menjual dirinya seharga 20 chon. Hal ini membuat P
sangat terkejut dan akhirnya melemparkan semua uang yang dimilikinya ke wanita itu. Ia
tidak menyangka seorang wanita muda rela ditiduri hanya demi uang yang sedikit. Adegan ini
menunjukkan kemerosotan moral yang terjadi di Korea saat itu.
3. Kritik terhadap Kaum Intelektual
Sebagai bagian dari kaum intelektual pada masa penjajahan Jepang, Chae Mansik
turut memahami apa yang dirasakan dan terjadi pada kaum intelektual pada masa penjajahan
Jepang. Melalui penceritaan dan penokohan tokoh utama dalam novel ini, Chae Mansik
menyampaikan kritiknya terhadap kaum intelektual pada masa itu. Kritik itu ditujukan pada
ketidakberdayaan kaum intelektual dalam menghadapi industrialisasi dan sikap-sikap kaum
intelektual pada masa penjajahan Jepang.
Ketidakberdayaan kaum intelektual dalam menjalani hidup di bawah industrialisasi
dan modernisasi pada masa pendudukan Jepang ditunjukkan oleh kegagalan dalam
menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Berdasarkan jenisnya, pekerja
dibedakan menjadi dua, yaitu blue-collar (kerah biru: buruh) dan white-collar (kerah putih:
karyawan). Pekerja blue-collar adalah kelompok pekerja yang mengandalkan keterampilan
fisik dalam bekerja, sementara pekerja white-collar adalah pekerja yang lebih mengandalkan
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
pengetahuan dan keterampilan mental dalam bekerja. Sebagai orang yang berpendidikan,
kaum intelektual seperti tokoh P tentu saja berharap untuk bekerja sebagai white-collar.
Namun lahan pekerjaan yang tersedia di kota tak dapat menampung mereka, sehingga mereka
terpaksa mencari pekerjaan lain. Keadaan tersebut digambarkan dalam kutipan berikut:
(7- 8 —) , 99%. , . . ( , 47)
Terjemahan bebas:
Jika saja mereka tidak menjadi intelek, lebih baik (7-8 huruf dihapus—editor) mereka akan menjadi buruh. Namun berhubung mereka berpendidikan, 99% dari mereka yang mencoba untuk menjadi kaum blue-collar (buruh) tidak dapat menyesuaikan diri dan akhirnya keluar. Sisanya adalah orang-orang intelek yang lemah, tak punya pekerjaan, dan hanya bisa menghela nafas. Mereka seperti anjing yang kehilangan tuan dan dibuang. Itulah kehidupan ready-made.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pilihan terbatas yang dimiliki oleh kaum
intelektual yang tidak memperoleh pekerjaan, yaitu menjadi buruh atau menganggur. Kata
‘’ (charari - lebih baik) pada kalimat pertama menyiratkan penyesalan karena telah
menjadi kaum intelektual. Dibandingkan menjadi seorang intelektual yang tidak punya
pekerjaan, menjadi buruh dianggap lebih baik. Penggunaan ungkapan ‘lebih baik menjadi
buruh’ juga menunjukkan gaya satire yang digunakan oleh Chae Mansik. Buruh adalah
pekerjaan yang jelas-jelas tidak diharapkan oleh kaum intelektual yang mengandalkan ilmu,
karena sifatnya yang kasar dan mengandalkan tenaga. Namun sebaliknya, kalimat ini justru
mengungkapkan penyesalan dan keinginan kaum intelektual untuk menjadi buruh. Melalui
penggunaan gaya ironi ini, pengarang menggambarkan betapa peliknya kesulitan yang
dihadapi oleh kaum intelektual dalam memperoleh pekerjaan. Kemudian dijelaskan juga
bahwa di antara kaum intelektual itu ada yang menyerah dan memilih untuk menjadi buruh,
namun ternyata tidak semua dari mereka dapat bertahan dalam pekerjaan itu. Hal ini
dikarenakan yang mereka miliki hanyalah ijazah yang bersifat akademis, bukan keterampilan
yang notabene dituntut dari seorang buruh. Akhirnya banyak dari mereka yang terkatung-
katung di kota karena tak kunjung mendapat pekerjaan. Situasi ini digambarkan melalui
ungkapan ‘anjing yang kehilangan tuannya dan dibuang’. Kaum intelektual dianalogikan
sebagai ‘anjing’ dan ‘tuan’ melambangkan pekerjaan yang diharapkan. Anjing dikenal
sebagai hewan yang setia kepada majikannya dan selalu mengikuti ke manapun majikannya
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
pergi. Hal ini sama seperti kaum intelektual yang mengejar pekerjaan yang diinginkannya.
Namun pada akhirnya anjing itu kehilangan tuannya lalu dibuang, kaum intelektual tidak
dapat meraih pekerjaan yang diinginkannya dan menjadi kaum yang terbuang, terkatung-
katung di kota seperti yang dialami tokoh P.
Kesulitan kaum intelek dalam mencari pekerjaan pada masa itu juga termaktub dalam
Value of Korean People Mirrored in Fiction I (Kim, 1990). Menurut Kim, salah satu nilai
yang diangkat dalam karya sastra pada masa pendudukan Jepang adalah pengembaraan kaum
intelek (wandering intelligentsia). Kata ‘mengembara’ (wandering) mengacu pada usaha
pencarian jati diri yang dilakukan kaum intelek pada masa itu. Kaum intelektual Korea harus
mengembara di antara kota dan desa, anti-Jepang dan pro-Jepang, dan di antara tradisi dan
budaya baru (new ways). Chae Mansik menggambarkan ‘pengembaraan’ tersebut melalui
usaha pencarian pekerjaan yang dilakukan oleh tokoh P dalam Redimeideu Insaeng.
Sebagai orang yang berpendidikan, P memiliki rasa gengsi yang tinggi. Ia tidak ingin
orang memandang rendah kepadanya. Meskipun menyadari kemampuan finansialnya yang
terbatas, ia tidak ingin menunjukkannya kepada orang lain karena tidak ingin terlihat lemah.
Sifatnya ini yang menyebabkan P seringkali memaksakan dirinya untuk sesuatu yang
sebenarnya bisa ia hindari, seperti yang terlihat pada kutipan berikut.
P .
“ ” “, ?” .
P . .
“ .”
P . “” .
P . ( , 48)
Terjemahan bebas:
P berjalan sampai ke samping Paviliun Dongsipja dan menuju ke warung rokok yang berada di seberangnya.
“Rokok satu bungkus” katanya sambil merogoh kantungnya untuk mengambil uang. “Makko?” tanya pemilik warung.
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
P melihat pemilik warung sekali lagi, kemudian melirik penampilan dirinya sendiri yang lusuh, dan menjadi jengkel. Ia yang tadinya hendak memberikan uang receh berubah pikiran dan mengeluarkan satu Won, namun pemilik warung sudah terlanjur menyodorkan sebungkus Makko dan pemantik api.
“Tolong berikan aku Haetae.”
P menyodorkan uangnya sambil berteriak. Tapi pemilik warung hanya menjawab “Ya” dengan tak acuh dan menukar Makko tersebut dengan Haetae, kemudian memberi kembalian 18 Chon. Ketidakpekaan orang itu membuat P semakin kesal.
Berdasarkan kemampuan finansialnya yang lemah dan sisa uang yang makin menipis,
seharusnya P membeli Makko (rokok yang murah). Namun ia merasa tersinggung dengan
sikap penjual yang langsung menawarinya Makko setelah melihat penampilannya yang lusuh.
P merasa penjual rokok telah memandang rendah dirinya. Oleh karena itu, ia ingin
menunjukkan pada penjual rokok kalau ia tidak lemah secara finansial, ia bisa membeli rokok
yang harganya mahal yaitu Haetae. P membayar rokoknya sambil berteriak. Selain karena
emosi, tindakan ini juga dilakukan agar penjual rokok tersebut menyadari kemampuan P
untuk membeli rokok yang mahal. Namun sayangnya, tindakan P tersebut tidak diindahkan
sama sekali oleh penjual rokok. Penjual rokok tersebut tidak peduli pada rokok yang dibeli P,
baginya yang penting ia memperoleh uang. Ketidakpekaan dan ketidakpedulian orang
tersebut membuat P semakin kesal. Ia merasa direndahkan.
Ketidakberhasilannya dalam mencari pekerjaan membuat P memiliki banyak waktu
luang yang akhirnya ia gunakan untuk melamun. Ia sering memikirkan dan membayangkan
hal-hal yang belum terjadi. Meskipun mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, P
pandai dalam berkhayal. Ia dapat mengkhayalkan sesuatu dengan detail dan penuh
perhitungan, seperti yang ditunjukkan dalam kutipan berikut.
..... K .
.
P . ? ?...... , , .....
P .
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
. ( , 49)
Terjemahan bebas:
Jika tiga Won dikalikan sebanyak delapan belas kali, akan menjadi 1.500.000 Won......... Dengan uang itu, dengan seratus ribu Won ia bisa memproduksi koran enam belas halaman seharga lima puluh Chon kemudian menyaksikan Direktur K menangis tersedu-sedu.
Namun sayangnya, hanya dengan 150.000 Won, 15.000 Won, 1.500 Won, 150 Won, atau bahkan 15 Won saja, ia sudah bisa membayar sewa kamar dan tagihan listrik, serta memiliki sisa uang untuk hidup selama sebulan.
P menghela nafas panjang. Sebulan? Setelah itu bagaimana?...... Kalau begitu ia harus punya beberapa ratus Won, beberapa ribu Won, atau puluhan ribu Won....
Sudah menjadi kebiasaan bagi P untuk melamun seperti itu.
Sejak sering melamun seperti itu, hasrat P untuk mencari pekerjaan semakin pudar.
P membayangkan jika uang yang dimilikinya berlipat ganda. Dengan uang yang
banyak itu ia akan bisa membayar utang dan menghidupi dirinya. Kecerdasan P sebagai kaum
intelektual terlihat dari perhitungannya terhadap uang. Ia bisa memperhitungkan dengan tepat
jumlah uang yang dibutuhkannya untuk membuka usaha penerbitan koran dan jumlah
halaman serta harga koran yang akan dijualnya. Dalam khayalannya, P bahkan juga
menyertakan rasa sakit hatinya dan keinginannya untuk membalas perlakuan Direktur K yang
telah menolaknya saat melamar kerja. Lamunan P ini kemudian berubah menjadi lebih
realistis. Ia menyadari kalau yang paling penting saat ini adalah uang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, seperti membayar sewa kamar, tagihan listrik, dan makan. Jumlah uang
yang dikhayalkannya mengecil seiring dengan semakin realistis ia berpikir. Walaupun begitu,
pemikirannya yang jauh ke depan membuatnya terus menghitung berapa jumlah uang yang
dibutuhkannya agar ia bisa tetap hidup. Yang menarik, perilaku melamun seperti ini ternyata
bukan merupakan hal yang asing untuk P dan telah menjadi kebiasaan. Perilaku ini bahkan
telah membuat keinginan dan semangat P untuk mencari pekerjaan semakin memudar.
Kesulitan dalam mencari pekerjaan dan kehidupan kota yang keras yang dihadapi
oleh P berdampak pada kepeduliannya terhadap masalah sosial yang ditemuinya. Setelah
bertemu dengan seorang wanita penghibur yang menjual dirinya dengan harga yang sangat
murah, P mengalami pergolakan batin. Konflik batin dan pemikiran P yang mendalam
terhadap kejadian tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya ia peduli terhadap masalah sosial
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
tersebut, namun pada akhirnya P memutuskan bahwa hal itu bukanlah suatu hal yang penting
yang harus dipikirkannya. Perubahan pemikiran itu ditunjukkan dalam kutipan berikut.
. ( , 72)
Terjemahan bebas:
Selain itu, dalam observasi tentang kenyataan yang abnormal ini, masalahnya memang terletak di sejarah kelompok (tertentu), namun hal ini bukanlah masalah yang harus dikritisi dan diramaikan oleh kaum pengangguran intelektual.
Masalah moralitas seksual yang terjadi pada wanita penghibur tersebut memang
merupakan suatu hal yang abnormal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 2),
abnormal adalah ‘tidak sesuai dengan keadaan biasa; tidak normal’. Kata abnormal digunakan
oleh pengarang untuk menunjukkan kalau masalah tersebut tergolong baru dan tidak ada
sebelumnya dalam masyarakat Korea. Walau demikian, P memandang moralitas seksual
bukanlah masalah yang bagi kaum pengangguran intelektual seperti dirinya. Sebagai orang
yang berpendidikan, adalah hal yang wajar jika kaum intelektual mengkritisi masalah sosial
yang ada di sekelilingnya, namun bagi P hal itu tidak perlu. Cukup kelompok tertentu yang
terkait dengan masalah itu saja yang memikirkannya. Pandangan P tersebut mencerminkan
sikap apatis, yaitu ‘acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh’ (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2003: 45).
Dualisme dalam penokohan tokoh P diperlihatkan melalui dua sikapnya, yaitu idealis
dan realistis. P memiliki prinsip dan standar tersendiri dalam hidupnya. Sebagai seorang laki-
laki muda yang telah mengenyam pendidikan di luar negeri (Jepang) ia menginginkan
kehidupan yang menantang dan berbeda dengan kehidupan pada umumnya di Korea. Prinsip
dan standar hidup yang dianggap P ideal ditunjukkan dalam kutipan berikut.
. . () P . …. ( , 50) Terjemahan bebas: Bahkan meskipun ia memperoleh pekerjaan, gajinya hanya empatpuluh sampai enampuluh won saja sebulan. Dengan gaji sebesar itu, kesenangan apa yang bisa diperoleh seseorang? Misalkan jika ia bekerja dengan rajin, ia bisa menabung, membeli rumah, beristri, dan disukai direktur atau dewan direksi sehingga diangkat
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
menjadi kepala bagian atau semacamnya. Kestabilan yang seperti ini akan mengakhiri kerja keras dalam hidupnya. Namun bagi P yang masih dipenuhi dengan ambisi darah muda, kestabilan sementara atau kehidupan yang hambar seperti itu justru merupakan hal yang ingin dihindarinya. Ia ingin terlihat hebat di mata orang lain, kemudian kehidupan yang menarik dan bebas....
Pekerjaan dan uang adalah hal yang paling dibutuhkan oleh P untuk bertahan hidup.
Walaupun demikian, P memandang kedua hal tersebut bukanlah hal yang bisa membuatnya
senang. Kestabilan hidup seperti memiliki rumah, istri, dan jabatan tinggi di perusahaan bagi
kebanyakan orang adalah tujuan utama dalam hidup dan dianggap sebagai akhir dari kerja
keras, yaitu kesuksesan. Pada umumnya orang-orang rela melakukan apapun demi mencapai
tujuan tersebut. Namun hal itu tidak berlaku untuk P. Hidup yang stabil seperti itu justru
merupakan hal yang ingin dihindarinya. Baginya kehidupan yang stabil tersebut adalah hal
yang hambar dan tidak menarik. Di usianya yang masih muda P masih dikuasai oleh ambisi
dan semangat mudanya. Akan tetapi, meskipun memiliki prinsip dan standar hidup tersendiri,
P tidak bisa lari dari kenyataan kalau ia membutuhkan pekerjaan dan uang untuk tetap hidup.
Ambisi dan semangat mudanya kalah oleh tuntutan hidup yang harus dihadapinya. Kondisi
tersebut diperlihatkan melalui kutipan di bawah ini.
. . ( , 50) Terjemahan bebas: Tentu saja jika sekarang ada yang datang menawarinya pekerjaan dengan gaji tigapuluh won, ia akan menyambarnya seperti seekor anjing kelaparan yang melompat kegirangan saat melihat daging. Itu adalah kenyataan, namun ia mengatakan hal yang sebaliknya. Dalam kutipan di atas digambarkan, betapapun P menginginkan kehidupan yang
menarik dan menantang, ia tidak akan menolak jika ada yang menawarinya pekerjaan, bahkan
jika gajinya lebih rendah dari yang seharusnya. Pada kutipan sebelumnya dijelaskan bahwa
gaji yang akan diperoleh P jika ia mendapat pekerjaan berkisar antara empatpuluh sampai
enampuluh won. P menganggap pekerjaan dengan gaji sebesar itu tidak memberikan
kesenangan untuknya. Kestabilan hidup seperti memiliki rumah, istri, dan jabatan tinggi pun
ingin dihindarinya. Ini menunjukkan standar hidup yang dimiliki P sangat tinggi dan berbeda
dengan orang-orang kebanyakan. Walaupun demikian, ternyata P tidak berpegang teguh pada
standarnya tersebut. Meskipun gajinya lebih rendah, yaitu sebesar tigapuluh won, ia akan
menerimanya dengan senang hati. Keadaan itu digambarkan Chae Mansik melalui ungkapan
‘seperti seekor anjing kelaparan yang melompat kegirangan saat melihat daging’. ‘Anjing
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
yang kelaparan’ menggambarkan tokoh P yang membutuhkan pekerjaan dan uang, sedangkan
‘daging’ adalah pekerjaan yang ditawarkan. Ungkapan ini menunjukkan hasrat P yang tinggi
terhadap pekerjaan dan uang. Kedua hal tersebut merupakan kebutuhan yang sangat penting,
karena dengan bekerja P akan memperoleh uang dan dengan cara itu ia bisa bertahan hidup,
sama seperti seekor anjing yang membutuhkan daging untuk memenuhi rasa laparnya.
Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dikatakan dalam kutipan sebelumnya,
yaitu P menginginkan kehidupan yang menarik dan menantang. P memahami kenyataan
bahwa ia membutuhkan pekerjaan dan uang berapapun jumlahnya, namun ia justru
mengatakan hal yang sebaliknya.
Dualisme yang terjadi dalam diri P merupakan cerminan dari masyarakat Korea pada
masa penjajahan Jepang, terutama kaum intelektual. Melalui sikap dualisme ini, Chae Mansik
menyindir orang-orang yang bermuka dua alias munafik. Orang-orang seperti ini bersikap
seolah-olah ia adalah orang yang idealis, namun ia tidak bisa mempertahankan prinsipnya
hingga akhirnya menerima dan mengikuti kenyataan yang ada, meskipun kenyataan itu
bertolak belakang dengan prinsip yang dipegang sebelumnya. Senada dengan tema utama
novel ini yang menolak pendidikan yang diberikan oleh Jepang, melalui gagasan tentang
dualisme ini Chae Mansik mengkritik fenomena dualisme yang terjadi di dalam diri kaum
intelektual.
Kritik terhadap pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Jepang
disampaikan melalui bagian dalam novel yang berupa penyesalan terhadap pendidikan.
Penyesalan itu diperlihatkan melalui kata-kata P yang menunjukkan rasa pesimisnya terhadap
pendidikan. Setelah mengalami kegagalan dalam mencari pekerjaan, P menganggap
pendidikan adalah hal yang sia-sia. Pendidikan tidak membuat kehidupannya menjadi lebih
baik, malah membuatnya semakin buruk karena ia hidup lontang-lantung di kota. Pemikiran
tersebut dapat dilihat dalam kutipan selanjutnya.
“! ! ! ” ( , 54)
Terjemahan bebas:
“Huh! Reputasi! Belajar! Matipun aku tidak akan menjadikannya (anakku) intelektual (sepertiku).”
Kegagalannya dalam mencari pekerjaan dan kehidupan yang sulit di kota perlahan-
lahan membuat pemikirannya berubah. Ia tidak lagi memandang pendidikan sebagai sesuatu
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
yang penting. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin menyekolahkan dan menjadikan anaknya
seorang intelektual seperti dirinya. Baginya belajar (pendidikan) hanya sekedar gengsi saja,
untuk menjaga reputasi.
Penolakan terhadap pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Jepang yang
tersirat itu dipertegas di bagian akhir cerita. Diceritakan bahwa tokoh P akhirnya tidak
menyekolahkan putranya namun malah memperkerjakannya di pabrik percetakan. Kisah ini
kemudian ditutup dengan sebuah kalimat yang diucapkan oleh tokoh P setelah ia
mengantarkan putranya ke pabrik percetakan untuk menjadi buruh.
“ .” ( , 78) Terjemahan bebas: “Kehidupan ready-made ini akhirnya dengan susah payah terjual dan menemukan pemiliknya.” Dari kutipan di atas dapat terlihat kelegaan dalam diri P karena mempekerjakan
putranya di pabrik percetakan. Kehidupan ready-made, yaitu kehidupan yang sudah disiapkan
untuk rakyat Korea oleh Jepang tersebut akhirnya dengan susah payah menemukan
‘pemiliknya’. Jika diibaratkan sebagai barang, kehidupan tersebut adalah sebuah barang
dagangan yang siap pakai. Setelah sekian lama bersusah payah karena tidak kunjung laku,
barang tersebut akhirnya terjual juga dan menemukan pemilik yang tepat. Ungkapan ‘terjual
dan menemukan pemiliknya’ memiliki arti bahwa kehidupan tersebut akhirnya menemukan
pemiliknya yang tepat, yaitu orang yang memiliki hidup itu sendiri.
Dengan tidak menyekolahkan anaknya dan malah mempekerjakannya sebagai buruh,
P telah memilihkan kehidupan yang tidak ready-made untuk anaknya. Kehidupan tersebut
disebut tidak ready-made karena P tidak mengikuti apa yang telah digariskan Jepang untuk
rakyat Korea, yaitu menempuh pendidikan dan menjadi warga negara yang loyal serta
bermanfaat untuk kepentingan Jepang.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, tindakan P yang tidak menyekolahkan putranya dan
kalimatnya tentang kehidupan ready-made tersebut menjadi penegas tema utama dari novel
Redimeideu Insaeng ini, yaitu penolakan terhadap pendidikan pemerintah kolonial Jepang. Di
balik kelegaan P karena telah mempekerjakan anaknya di pabrik percetakan tersebut, tersirat
penolakan P terhadap pendidikan yang diberikan oleh Jepang kepada rakyat Korea. Dengan
menjadikan anaknya buruh, P telah menolak pendidikan dari pemerintah Jepang. Sebelumnya
P telah membuktikan kalau pendidikan dari Jepang tidak membuatnya dapat memperoleh
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
pekerjaan dan membuat hidupnya lebih baik. P juga akhirnya membuktikan bahwa tanpa
memperoleh pendidikan pun, anaknya Changsun dapat memperoleh pekerjaan, meskipun
hanya sebagai buruh di pabrik percetakan. Dengan kata lain, menjadi buruh yang tidak
berpendidikan lebih baik daripada menjadi seorang intelektual yang pengangguran.
Kesimpulan
Modernisasi masuk ke Korea sebelum pendudukan, salah satunya melalui Jepang.
Setelah memaksa Korea untuk menghentikan politik isolasinya melalui Perjanjian Kanghwa3,
perlahan tapi pasti Jepang mulai memasukkan pengaruhnya hingga akhirnya menduduki
Korea pada tahun 1910. Sejak membuka dirinya terhadap pihak asing, berbagai macam
paham asing masuk dan semangat modernisasi meluas di Korea. Modernisasi tersebut
diwujudkan oleh Jepang saat menduduki Korea. Tentu saja, modernisasi Korea dimanfaatkan
Jepang untuk kepentingan negaranya. Oleh karena itu tampak jelas bahwa modernisasi yang
dibawa sebagian oleh Jepang mendapat kritik tajam dalam karya ini, khususnya modernisasi
yang berbentuk pendidikan. Kritik tersebut berupa penolakan terhadap pendidikan yang
diberikan kepada rakyat Korea pada masa penjajahan Jepang. Tema ini didukung oleh lima
gagasan penting, yaitu kritik terhadap industrialisasi dan modernisasi Korea oleh Jepang,
kritik terhadap masyarakat kapitalis, kritik terhadap kaum intelektual, dan kritik terhadap
pendidikan pemerintah kolonial Jepang.
Setelah membaca dan meneliti novel pendek ini, ada beberapa hal yang menarik
perhatian penulis terkait dengan tema novel ini. Yang pertama adalah judul novel, yaitu
Redimeideu Insaeng (Ready-Made Life). Judul yang berarti ‘kehidupan yang sudah jadi’ ini
memiliki tujuan yang ambigu. Bagi pemerintah kolonial Jepang, judul ini seperti mengamini
tindakannya yang menyiapkan dan memegang kendali atas kehidupan rakyat Korea. Namun
jika dilihat dari kacamata rakyat Korea, judul ini sebenarnya merupakan kritik terhadap
pemerintah kolonial Jepang sekaligus cambuk bagi bangsa Korea agar tidak menerima begitu
saja kehidupan yang telah disiapkan oleh pemerintah kolonial Jepang. Yang berhak
menentukan kehidupan bangsa Korea adalah orang Korea sendiri, bukan Jepang yang
notabene adalah penjajah. Akhir cerita yang mengisahkan tokoh utama akhirnya memutuskan                                                                                                                           3  Perjanjian  Kanghwa  (1876):  Perjanjian  antara  Jepang  dan  Korea  yang  isinya  menuntut  Korea  untuk  membuka   hubungan  diplomatik  dengan  Jepang.  
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
untuk memperkerjakan anaknya di pabrik ketimbang menyekolahkannya juga mempertegas
makna yang terkandung dalam judul tersebut. Keputusannya itu menunjukkan kalau ia tidak
mau mengikuti alur kehidupan yang sudah disiapkan oleh pemerintah kolonial Jepang, yaitu
menempuh pendidikan untuk kemudian bekerja dan membantu kepentingan Jepang. Tindakan
ini mencerminkan nasionalisme yang masih ada dalam diri tokoh utama, meskipun seringkali
ia bersikap apatis.
Semangat nasionalisme yang disampaikan secara implisit oleh Chae Mansik dalam
novel ini juga menjadi jawaban atas pertanyaan dari teori new historicism yang juga
digunakan sebagai alat bantu dalam menganalisis tema novel ini. Pertanyaan tersebut adalah
‘perilaku atau praktik sosial apa yang didukung (atau ditolak) oleh karya sastra tersebut?’.
Jawabannya tercermin dalam indakan tokoh utama yang memperkerjakan anaknya sebagai
buruh di akhir cerita. Praktik sosial yang didukung oleh novel ini adalah tindakan tidak
mengikuti dan menerima begitu saja ‘kehidupan’ yang telah disiapkan Jepang. Dengan kata
lain, novel ini menolak tindakan rakyat Korea yang menerima begitu saja modernisasi
(pendidikan) yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Menerimanya berarti mengkhianati
bangsa sendiri karena hal tersebut dibuat semata-mata untuk kepentingan penjajah. Dengan
demikian, keseluruhan novel ini secara tidak langsung menunjukkan satu sikap penolakan atas
modernisasi yang ditawarkan Jepang lewat pendidikan.
Daftar Referensi
. (2006.) . : .
. (2004). . : .
Keraf, Gorys. (1985).Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia,
Kim, Taegil. (1990).Values of Korean People Mirrorred in Fiction Vol 1. Seoul: Dae Kwang
Munhwasa,
Lee, Namho, Chanje Woo, Kwangho Lee dan Mihyeon Kim. (2005).Twentieth-century
Korean Literature. Korea: Eastbridge Library of Korea.
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013
Nurgiyantoro, Burhan. (1995).Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
INC,
The Association of Korean Literary Criticism. (2006). . Seoul: Saemi.
Tim Penyusun Pusat Bahasa. (2003).Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sudjiman, Panuti. (1988). Pengkajian Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sohn, Pow Key, Kim Cholchoon, & Hong Yiseob. (1984).The History of Korea. Seoul: Korea
National Commision.
Budianta, Melanie. (2006). “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam
Perkembangan Kritik Sastra.” Jurnal Susastra Volume 2, No.3: 2-18.
“Mammonist.” Definition and More from the Free Merriam-Webster Dictionary. Accessed on
Mei 13, 2013 from <http://www.merriam-webster.com/dictionary/mammonist>
Penolakan Terhadap..., Lovelyta, FIB UI 2013