pengelolaan sda

26
Bagian IV.32 - 1 BAB 32 PERBAIKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP Sumber daya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian sumber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Hingga saat ini, sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah. Namun di lain pihak, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan. Atas dasar fungsi ganda tersebut, sumber daya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Penerapan prinsip- prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam mendorong investasi pembangunan jangka menengah (2004-2009). Prinsip-prinsip tersebut saling sinergis dan melengkapi dengan pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mendasarkan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. A. PERMASALAHAN Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi

Upload: raqyduwl

Post on 24-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Lingkungan dan sumberdaya alam

TRANSCRIPT

Bagian IV.32 - 1

BAB 32

PERBAIKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAMDAN PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP

Sumber daya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian

sumber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi

(resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life

support system). Hingga saat ini, sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang

punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah.

Namun di lain pihak, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka

pendek telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan

ekspansif sehingga daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun,

bahkan mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan.

Atas dasar fungsi ganda tersebut, sumber daya alam senantiasa harus dikelola

secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Penerapan prinsip-

prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor

dan wilayah menjadi prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan

peraturan perundangan, terutama dalam mendorong investasi pembangunan jangka

menengah (2004-2009). Prinsip-prinsip tersebut saling sinergis dan melengkapi dengan

pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mendasarkan

pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang mendorong upaya perbaikan

pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

A. PERMASALAHAN

Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya

alam dan lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi

Bagian IV.32 - 2

kehidupan makhluk di bumi, terutama manusia yang populasinya semakin besar.

Beberapa permasalahan pokok dapat digambarkan berikut ini:

Terus menurunnya kondisi hutan. Hutan merupakan salah satu sumber daya

yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam

menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Provinsi

NAD merupakan salah satu daerah dengan luas hutan yang besar dibanding dengan

provinsi lainnya di Indonesia. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagian besar

terletak di Provinsi NAD yaitu seluas 625.000 Ha dari keseluruhan luas TNGL.

Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Praktik penebangan liar dan

konversi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam

tatanan DAS. Kerusakan DAS tersebut juga dipacu oleh pengelolaan DAS yang kurang

terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih lemah. Hal ini akan

mengancam keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan

air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah

tangga.

Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Kerusakan habitat

ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat

kegiatan seperti pantai utara dan timur Provinsi NAD. Rusaknya habitat ekosistem

pesisir seperti deforestasi hutan mangrove telah mengakibatkan erosi pantai dan

berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh

perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa

kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain

pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-

kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara

itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa

muara sungai mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi

yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar,

bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di

Bagian IV.32 - 3

beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat

memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari

darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga

berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan

kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik

penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu

karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir

dan laut.

Citra pertambangan yang merusak lingkungan. Sifat usaha pertambangan,

khususnya tambang terbuka (open pit mining), selalu merubah bentang alam sehingga

mempengaruhi ekosistem dan habitat aslinya. Dalam skala besar akan mengganggu

keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan berdampak buruk bagi kehidupan manusia.

Dengan citra semacam ini usaha pertambangan cenderung ditolak masyarakat. Citra ini

diperburuk oleh banyaknya pertambangan tanpa ijin (PETI) yang sangat merusak

lingkungan.

Sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan belum optimal

dilaksanakan. Sejak tahun 1970-an hutan telah dimanfaatkan sebagai mesin ekonomi

melalui ekspor log maupun industri berbasis kehutanan. Sistem pengelolaan hutan

didominasi oleh pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada pihak-pihak tertentu

secara tidak transparan tanpa mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat

adat, maupun pemerintah daerah. Kontrol sosial tidak berjalan, kasus KKN marak, dan

pelaku cenderung mengejar keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Pada masa

yang akan datang, sistem pengelolaan hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan

(sustainable forest management) yang memperhatikan aspek ekonomi – sosial –

lingkungan secara bersamaan.

Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan belum

jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan pusat–daerah. Titik berat otonomi

daerah di Kabupaten/Kota mengakibatkan pola hubungan Pemerintah Pusat–Propinsi–

Bagian IV.32 - 4

Kabupaten/Kota berubah, dan karena kurang diatur dalam peraturan perundang-

undangan, menjadi berbeda-beda penafsirannya. Akibatnya kondisi hutan cenderung

tertekan karena belum ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan lebih menitikberatkan pada aspek-aspek pengelolaan

hutan secara ideal, sementara aspek kewenangan pengelolaan hutan tidak

terakomodasi secara jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah yang merupakan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, walaupun sudah

menegaskan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal

kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian, bagi hasil,

penyerasian lingkungan dan tata ruang, masih memerlukan peraturan perundang-

undangan lebih lanjut.

Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal

logging) dan penyelundupan kayu. Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya

pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang

efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan

liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan illegal lainnya

banyak terjadi. Diperkirakan kegiatan-kegiatan illegal tersebut saja telah menyebabkan

hilangnya hutan seluas 1,2 juta hektar per tahun, melebihi luas hutan yang ditebang

berdasarkan ijin Departemen Kehutanan. Selain penegakan hukum yang lemah, juga

disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik

pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap

sumber daya hutan.

Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan. Sumber daya manusia,

pendanaan, sarana-prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan

sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus

dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian

kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Di samping itu,

partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga sangat rendah.

Bagian IV.32 - 5

Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-

jasa lingkungan. Hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan,

seperti nilai hutan sebagai sumber air, keanekaragaman hayati, udara bersih,

keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas asimilasi lingkungan yang memiliki

manfaat besar sebagai penyangga sistem kehidupan, dan memiliki potensi ekonomi,

belum berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai jasa

ekosistem hutan jauh lebih besar dari nilai produk kayunya. Diperkirakan nilai hasil

hutan kayu hanya sekitar 7 persen dari total nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil

hutan non-kayu dan jasa lingkungan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan

mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata alam,

dan sebagainya. Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya

belum berkembang secara maksimal.

Potensi kelautan belum didayagunakan secara optimal. Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam memiliki potensi sumberdaya kelautan yang besar dengan

panjang garis pantai + 1.660 km dan luas wilayah perairan + 295.370 km 2 terdiri dari

laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km 2 dan Zona Ekonomi

Ekslusif (ZEE) seluas 238.807 km 2.

Potensi sumberdaya ikannya sebesar + 423.410 ton terdiri dari perairan teritorial

dan perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan ZEE sebesar 203.320 ton, dengan

potensi lestari (MSY) sebesar 272.707 ton dan tingkat pemanfaatan (2004) sebesar

102.555 ton atau 37,60 persen. Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat potensi

pengembangan sebesar 62,40 persen atau sebesar 170.152 ton.

Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak.

Terjadinya illegal fishing unregulated fishing dan unreported fishing (IUU) di perairan

Aceh dan ZEE di sekitar perairan Aceh masih terus terjadi, baik dilakukan oleh kapal-

kapal dalam negeri maupun oleh kapal asing. Hal ini terjadi karena masih lemahnya

pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan.

Bagian IV.32 - 6

Kondisi ini bila tidak dikendalikan akan merugikan daerah, antara laoin berupa:

1. Mengurangi pendapatan daerah dan menurunnya ekspor hasil perikanan.

2. Mengurangi daya serap tenaga lokal

3. Jumlah sumberdaya ikan yang dimanfaatkan akibat illegal fishing, unregulated

fishing dan unreported fishing tidak dapat diketahui.

4. Dapat menganggu kegiatan nelayan lokal.

Pemanfaatan dan Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal. Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam memiliki 119 pulau, namun menurut data dari Badan Riset

Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan bahwa di

Nanggroe Aceh Darussalam terdapat 180 buah pulau.

Data tresebut diatas menunjukan bahwa ada perbedaan jumlah pulau yang

cukup besar yaitu sebanyak 61 buah pulau. Agar pulau-pulau kecil yang ada di perairan

Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikelola dan dimanfaatkan secara arif dan

berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat, harus dilakukan identifikasi dan

inventarisasi data pulau-pulau yang ada secara menyeluruh baik yang ada penghuni

maupun tidak, termasuk pemberian nama bagi pulau-pulau yang belum ada nama.

Karena pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan alam disebabkan

daya dukung lingkungannya yang sangat terbatas, maka pemanfaatan dan pengelolaan

pulau-pulau kecil harus berbasis masyarakat dan daya dukung lingkungan. Sehingga

pemanfaatannya daya terkendali dan lestari serta berkelanjutan.

Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan. Secara geografis

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di atas tiga lempeng aktif besar dunia yaitu

lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Kondisi ini, dari satu sisi, menggambarkan

begitu rentannya wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terhadap bencana alam,

seperti gempa bumi dan tsunami. Apabila tidak disikapi dengan pengembangan sistem

kewaspadaan dini (early warning system) maka bencana alam tersebut akan

mengancam kehidupan manusia, flora, fauna, dan infrastruktur prasarana publik yang

Bagian IV.32 - 7

telah dibangun; seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam jangka menengah ini, pengembangan kebijakan

sistem mitigasi bencana alam menjadi sangat penting, yang antara lain melalui

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membantu mengurangi

dampak negatif bencana tersebut. Disamping itu, dukungan pemahaman akan

“kawasan rawan bencana geologi” (Geological Hazards Mapping) perlu dipetakan secara

baik, dan rencana tata ruang yang disusun dengan memperhitungkan kawasan rawan

bencana geologi dan lokasi kegiatan ekonomi, serta pola pembangunan kota

disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal. Upaya-upaya lain yang perlu

dilakukan adalah pembangunan sabuk alami (hutan mangrove dan terumbu karang) di

wilayah pesisir.

Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan. Hal ini terjadi akibat

belum selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi daerah

juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya peraturan daerah yang

menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan

lainnya yang memperpanjang rantai perijinan usaha pertambangan yang harus dilalui.

Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan

limbah secara terpadu dan sistematis. Meningkatnya pendapatan dan perubahan

gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan pencemaran akibat

limbah padat, cair, maupun gas secara signifikan. Untuk limbah padat, hal ini

membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah

(TPA). Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya

ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan

leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Penurunan kualitas air di badan-

badan air akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan industri juga memerlukan

upaya pengelolaan limbah cair yang terpadu antar sektor terkait. Semakin tingginya

intensitas kegiatan industri dan pergerakan penduduk menjadi pemicu memburuknya

kualitas udara, terutama di perkotaan. Pengaturan mengenai sistem pengelolaan dan

Bagian IV.32 - 8

pengendalian gas buang (emisi), baik industri maupun transportasi diperlukan sebagai

upaya peningkatan perbaikan kualitas udara. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya

dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman

juga belum dikelola secara serius.

Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan. Alokasi dana

pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi

dana pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap

tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan daerah, maka upaya pendanaan alternatif

harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for nature

swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax.

Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan daerah sangat

kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif.

Selain itu, perlu dikembangkan pula alternatif pendanaan dari sumber-sumber

pendapatan daerah dengan mengembangkan berbagai mekanisme pengelolaan

pendanaan melalui lembaga keuangan maupun lembaga independen lainnya.

Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup. Hukum

lingkungan atau peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup masih kurang

bersinergi dengan peraturan perundangan sektor lainnya. Banyak terjadi inkonsistensi,

tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan baik peraturan perundangan yang ada

baik di tingkat nasional maupun peraturan perundangan daerah. Untuk memberikan

penguatan sebagai upaya pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

maka pengembangan hukum lingkungan perlu terus dilakukan.

Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan

lingkungan. Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam akan

tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara,

iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan

pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu

Bagian IV.32 - 9

memulihkan daya dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian

sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta

memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit

dengan adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan

keserakahan.

B. SASARAN

Dengan permasalahan-permasalahan di atas, sasaran pembangunan yang ingin

dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan

hidup bagi terciptanya keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam

sebagai modal pertumbuhan ekonomi (kontribusi sektor perikanan, kehutanan,

pertambangan dan mineral terhadap PDB) dengan aspek perlindungan terhadap

kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas.

Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan,

karenanya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di

seluruh sektor menjadi suatu keharusan. Yang dimaksud dengan sustainable

development adalah upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa

mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus

dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang, yaitu menguntungkan secara

ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah

lingkungan (environmentally sound). Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk

instrumen kebijakan dan peraturan perundangan lingkungan yang dapat mendorong

investasi pembangunan jangka menengah di seluruh sektor dan bidang yang terkait

dengan sasaran pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti di

bawah ini:

Sasaran pembangunan kehutanan adalah: (1) Tegaknya hukum, khususnya

dalam pemberantasan pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu; (2)

Penetapan kawasan hutan dalam tata-ruang provinsi di kabupaten/kota; (3)

Bagian IV.32 - 10

Penyelesaian penetapan kesatuan pengelolaan hutan (4) Optimalisasi nilai tambah dan

manfaat hasil hutan kayu; (5) Meningkatkan hasil hutan non-kayu; (6) Bertambahnya

hutan tanaman industri (HTI), sebagai basis pengembangan ekonomi-hutan; (7)

Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan untuk menjamin pasokan air dan sistem

penopang kehidupan lainnya; (8) Pengelolaan hutan secara lestari; (9) Penerapan iptek

yang inovatif pada sektor kehutanan.

Sasaran pembangunan kelautan adalah: (1) Berkurangnya pelanggaran dan

perusakan sumber daya pesisir dan laut; (2) Membaiknya pengelolaan ekosistem

pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara lestari, terpadu, dan berbasis

masyarakat; (3) Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut; (4) Terselenggaranya desentralisasi yang

mendorong pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang efisien dan berkelanjutan;

(5) Meningkatnya luas kawasan konservasi laut dan meningkatnya jenis/genetik biota

laut langka dan terancan punah; (6) Terintegrasinya pembangunan laut, pesisir, dan

daratan dalam satu kesatuan pengembangan wilayah; (7) Terselenggaranya

pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara serasi sesuai dengan daya

dukung lingkungannya; (8) Terwujudnya ekosistem pesisir dan laut yang terjaga

kebersihan, kesehatan, dan produktivitasnya; serta (9) Meningkatnya upaya mitigasi

bencana alam laut, dan keselamatan masyarakat yang bekerja di laut dan yang tinggal

di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sasaran pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral adalah: (1)

Optimalisasi peran migas dalam penerimaan daerah guna menunjang pertumbuhan

ekonomi; (2) Meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas; (3) Meningkatnya

investasi pertambangan dan sumber daya mineral dengan perluasan lapangan kerja dan

kesempatan berusaha; (4) Meningkatnya produksi dan nilai tambah produk

pertambangan; (5) Terjadinya alih teknologi dan kompetensi tenaga kerja; (6)

Meningkatnya kualitas industri hilir yang berbasis sumber daya mineral; (7)

Meningkatnya keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; (8) Teridentifikasinya

“kawasan rawan bencana geologi” sebagai upaya pengembangan sistem mitigasi

Bagian IV.32 - 11

bencana; (9) Berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI) dan usaha-usaha

pertambangan yang merusak dan yang menimbulkan pencemaran; (10) Meningkatnya

kesadaran pembangunan berkelanjutan dalam eksploitasi energi dan sumber daya

mineral; dan (11) Dilakukannya usaha pertambangan yang mencegah timbulnya

pencemaran dan kerusakan lingkungan

Sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah: (1) Meningkatnya kualitas

air permukaan (sungai, danau dan situ) dan kualitas air tanah disertai pengendalian dan

pemantauan terpadu antar sektor; (2) Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut

melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi tanah di wilayah daratan

dengan ekosistem pesisir dan laut; (3) Meningkatnya kualitas udara perkotaan

khususnya di kawasan perkotaan yang didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem

transportasi kota yang ramah lingkungan; (4) Berkurangnya penggunaan bahan

perusak ozon (BPO) secara bertahap dan sama sekali hapus pada tahun 2010; (5)

Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global; (6) Pelestarian

dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP

2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan); (7) Meningkatnya upaya

pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan perlindungan lingkungan sebagai

salah satu faktor penentu kebijakan; (8) Meningkatnya sistem pengelolaan dan

pelayanan limbah B3 (bahan berbahaya beracun) bagi kegiatan-kegiatan yang

berpotensi mencemari lingkungan; (9) Tersusunnya informasi dan peta wilayah-wilayah

yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, bencana banjir, kekeringan, gempa bumi,

dan tsunami, serta bencana-bencana alam lainnya; (10) Tersusunnya aturan

pendanaan-lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi rendahnya

pembiayaan sektor lingkungan hidup; dan (11) Meningkatnya kesadaran masyarakat

akan pentingnya memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Bagian IV.32 - 12

C. ARAH KEBIJAKAN

Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang akan ditempuh

meliputi perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi

manfaat ekonomi dari sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, pengembangan

peraturan perundangan lingkungan, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan

cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Melalui

arah kebijakan ini diharapkan sumber daya alam tetap sebagai pendukung

perekonomian daerah dan berperan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya. Secara lebih rinci

arah kebijakan yang ditempuh dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian

fungsi lingkungan hidup adalah sebagai berikut.

Pembangunan kehutanan diarahkan untuk:

1. Memperbaiki sistem pengelolaan hutan dengan meningkatkan keterlibatan

masyarakat secara langsung dalam pengelolaan hutan, meningkatkan koordinasi

dan penguatan kelembagaan dalam wilayah DAS, serta meningkatkan pengawasan

dan penegakan hukumnya;

2. Mencapai kesepakatan ditingkat pemerintahan kabupaten/kota dalam

mengimplementasikan pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan

hutan;

3. Mengefektifkan sumber daya yang tersedia dalam pengelolaan hutan;

4. Memberlakukan moratorium di kawasan tertentu;

5. Memanfaatkan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya secara optimal.

Pembangunan kelautan diarahkan untuk:

1. Mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau

kecil secara lestari berbasis masyarakat;

Bagian IV.32 - 13

2. Membangun sistem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya

perikanan melalui penegakan hukum;

3. Meningkatkan upaya konservasi dan merehabilitasi ekosistem yang rusak;

4. Mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan wilayah pesisir, laut, dan

perairan tawar;

5. Memperkuat kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi

iptek, SDM, kelembagaan dan peraturan perundangan;

6. Meningkatkan riset dan pengembangan teknologi kelautan;

7. Mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir, meningkatkan

keselamatan bekerja, dan meminimalkan resiko terhadap bencana alam laut bagi

masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

8. Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dan swasta

dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

Pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral diarahkan untuk:

1. Meningkatkan eksplorasi dalam upaya menambah cadangan migas dan sumber

daya mineral lainnya;

2. Meningkatkan eksploitasi dengan selalu memperhatikan aspek pembangunan

berkelanjutan, khususnya mempertimbangkan kerusakan hutan, keanekaragaman

hayati dan pencemaran lingkungan;

3. Meningkatkan peluang usaha pertambangan skala kecil di wilayah terpencil dengan

memperhatikan aspek sosial dan lingkungan hidup;

4. Meningkatkan manfaat pertambangan dan nilai tambah;

5. Menerapkan good mining practice di lokasi tambang yang sudah ada;

6. Merehabilitasi kawasan bekas pertambangan;

Bagian IV.32 - 14

7. Menjamin kepastian hukum melalui penyerasian aturan dan penegakan hukum

secara konsekuen;

8. Meningkatkan pembinaan dan pengawasan pengelolaan pertambangan;

9. Meningkatkan pelayanan dan informasi pertambangan, termasuk informasi

kawasan-kawasan yang rentan terhadap bencana geologi;

10. Evaluasi kebijakan/ peraturan yang tidak sesuai.

Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk:

1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke

seluruh bidang pembangunan;

2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat propinsi dan

kabupaten/kota;

3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan

penegakannya secara konsisten terhadap pencemar lingkungan;

4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan

pembangunan;

5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat provinsi

maupun kabupaten/kota, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat

akumulasi, fenomena alam yang bersifat musiman dan bencana;

6. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan

berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup;

dan

7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi

wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan

dini terhadap bencana.

Bagian IV.32 - 15

D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

Untuk menterjemahkan sasaran pembangunan dan arah kebijakan di atas, maka

pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam lima tahun mendatang

akan mencakup program-program sebagaimana tersebut di bawah ini. Selain program-

program tersebut, sasaran dari prioritas perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan

pelestarian fungsi lingkungan hidup memerlukan dukungan dari program-program

pembangunan lain yang berada pada berbagai sektor pembangunan.

1. PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI KEHUTANAN

Program ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi hutan secara lebih

efisien, optimal, adil, dan berkelanjutan dengan mewujudkan unit-unit

pengelolaan hutan produksi lestari dan memenuhi kaidah sustainable forest

management (SFM) serta didukung oleh industri kehutanan yang kompetitif.

Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:

1. Penetapan kawasan hutan;

2. Penetapan kesatuan pengelolaan hutan;

3. Penatagunaan hutan dan pengendalian alih fungsi dan status kawasan hutan;

4. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat;

5. Pembinaan kelembagaan hutan produksi;

6. Pengembangan sertifikasi pengelolaan hutan lestari;

7. Pengembangan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya;

8. Konservasi sumber daya hutan.

2. PROGRAM REHABILITASI LAHAN KRITIS

Program ini bertujuan untuk melakukan upaya-upaya perlindungan

sumber daya hutan dan memulihkan fungsi hutan serta lahan yang telah

mengalami degradasi sehingga fungsi lindungan dan fungsi produksinya dapat

Bagian IV.32 - 16

ditingkatkan. Kebijakan yang ditempuh adalah memulihkan lahan kritis;

meningkatkan ketrampilan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan

reboisasi/penghijauan serta meningkatkan partisipasi dan pengetahuan

masyarakat tentang pengelolan SDA.

Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:

1. Pengembangan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan;

2. Penunjang Pengembangan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan,

Pengembangan Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu dan Pengembangan

Penelitian Kehutanan;

3. Pengelolaan Kawasan Lindung;

4. Penunjang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Konservasi Keanekaragaman

Hayati;

5. Pengelolaan dan Pembinaan Reboisasi/Penghijauan;

6. Penunjang Pengelolaan dan Pembinaan Reboisasi/Penghijauan.

3. PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYAKELAUTAN

Program ini bertujuan untuk mengelola dan mendayagunakan potensi

sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimal, adil, dan lestari

melalui keterpaduan antar berbagai pemanfaatan sehingga memberikan

kontribusi yang layak bagi pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan

rakyat.

Kegiatan pokok yang tercakup, antara lain:

1. Perumusan kebijakan dan penyusunan peraturan dalam pengelolaan sumber

daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara terintegrasi;

Bagian IV.32 - 17

2. Pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara efisien,

dan lestari berbasis masyarakat;

3. Pengembangan sistem MCS (monitoring, controlling, and surveillance) dalam

pengendalian dan pengawasan, termasuk pemberdayaan masyarakat dalam

sistem pengawasan;

4. Penataan ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sesuai dengan

daya dukung lingkungannya;

5. Pelaksanaan riset dan pengembangan teknologi kelautan, serta riset sumber

daya non hayati lainnya;

6. Pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi laut, dan rehabilitasi

habitat ekosistem yang rusak seperti terumbu karang, hutan mangrove,

padang lamun, dan estuaria;

7. Peningkatan peran aktif masyarakat dan swasta melalui kemitraan dalam

pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;

8. Penataan dan peningkatan kelembagaan, termasuk lembaga masyarakat di

tingkat lokal;

9. Penegakan hukum terhadap pelanggar dan pelaku tindak pidana perikanan;

10. Peningkatan keselamatan, mitigasi bencana alam laut, dan prakiraan iklim

laut;

11. Pengembangan wawasan kelautan, terutama bagi generasi muda dan anak-

anak sekolah.

4. PROGRAM PEMBINAAN USAHA PERTAMBANGAN MIGAS

4.1 PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA PERTAMBANGAN

Program ini bertujuan untuk mengelola kegiatan usaha migas agar tetap

berperan sebagai sumber penerimaan daerah yang penting, meningkatkan

Bagian IV.32 - 18

investasi di bidang usaha hulu dan hilir, mengembangkan potensi migas

secara optimal, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia bidang

migas.

Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah:

1. Pembinaan usaha di bidang migas;

2. Pembinaan usaha penunjang migas;

3. Peningkatan kandungan lokal;

4. Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja bidang migas;

5. Pembinaan masyarakat (community development) di wilayah sekitar

pertambangan migas;

6. Pengelolaan sumur-sumur minyak;

7. Pembinaan teknis instalasi dan peralatan kegiatan usaha migas;

8. Penyusunan dan evaluasi kegiatan eksplorasi;

9. Pengawasan/monitoring POD (Plan of Development) lapangan;

10. Pendidikan dan pelatihan bidang migas;

11. Eksplorasi pencarian cadangan migas baru;

12. Peningkatan manfaat gas bumi;

13. Optimalisasi lapangan migas;

14. Peningkatan nilai tambah hasil migas;

15. Pengelolaan data dan informasi migas;

16. Penelitian dan pengembangan migas;

17. Eksplorasi dan eksploitasi dengan mempertimbangkan fungsi dan daya

dukung lingkungan

Bagian IV.32 - 19

5. PROGRAM PEMBINAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DANBATUBARA

5.1 PROGRAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ENERGI, MINERAL DANAIR BAWAH TANAH

Program ini bertujuan untuk mencapai optimalisasi pemanfaatan sumber

daya mineral, batubara, panas bumi dan air tanah melalui usaha

pertambangan dengan prinsip good mining practice.

Kegiatan pokoknya antara lain:

1. Penyusunan regulasi, pedoman teknis, dan standar pertambangan mineral

dan batubara panas bumi dan air tanah;

2. Pembinaan dan pengawasan kegiatan penambangan;

3. Pengawasan produksi, pemasaran, dan pengelolaan mineral dan batubara,

panas bumi dan air tanah;

4. Evaluasi perencanaan produksi dan pemasaran mineral dan batubara,

panas bumi dan air tanah;

5. Evaluasi pelaksanaan kebijakan program pengembangan masyarakat di

wilayah pertambangan;

6. Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi

mencemari lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri dan sianida

dalam usaha pertambangan emas rakyat termasuk pertambangan tanpa

ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada

industri kecil;

7. Bimbingan teknis pertambangan;

8. Pengelolaan data dan informasi mineral dan batubara, panas bumi, air

tanah, dan penyebarluasan informasi geologi yang berkaitan dengan

upaya mitigasi bencana;

9. Sosialisasi kebijakan dan regulasi bidang pertambangan;

Bagian IV.32 - 20

10. Peningkatan manfaat dan nilai tambah hasil pertambangan;

11. Penelitian dan pengembangan geologi, mineral dan batubara, panas bumi

dan air tanah;

12. Pendidikan dan pelatihan bidang geologi, teknologi mineral dan batubara,

panas bumi dan air tanah; serta

13. Pemulihan lingkungan pasca tambang dan penerapan kebijakan

pengelolaan pasca tambang dan produksi migas yang berwawasan

lingkungan.

6. PROGRAM PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

Program ini bertujuan untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan

dan mengelola kawasan konservasi yang sudah ada untuk menjamin kualitas

ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga

dengan baik.

Kegiatan pokok yang tercakup antara lain:

1. Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi sumber daya

alam;

2. Perlindungan sumber daya alam dari pemanfaatan yang eksploitatif dan tidak

terkendali terutama di kawasan konservasi, termasuk kawasan konservasi laut

dan lahan basah, serta kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan;

3. Perlindungan hutan dari kebakaran;

4. Pengembangan koordinasi kelembagaan pengelolaan DAS terpadu;

5. Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari ancaman

kepunahan, baik yang ada di daratan, maupun di pesisir dan laut;

6. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam perlindungan dan

konservasi sumber daya alam;

Bagian IV.32 - 21

7. Perumusan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan dan

konservasi sumber daya alam;

8. Pengembangan kemitraan dengan perguruan tinggi, masyarakat setempat,

lembaga swadaya masyarakat, legislatif, dan dunia usaha dalam perlindungan

dan pelestarian sumber daya alam;

9. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan

sumber daya alam;

10. Pengembangan sistem perlindungan tanaman dan hewan melalui

pengendalian hama, penyakit, dan gulma secara terpadu yang ramah

lingkungan;

11. Pengkajian dampak hujan asam (acid deposition) di sektor pertanian;

12. Penyusunan tata-ruang dan zonasi untuk perlindungan sumber daya alam,

terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap gempa bumi tektonis dan

tsunami, banjir, kekeringan, serta bencana alam lainnya;

13. Pengembangan hak-paten jenis-jenis keanekaragaman hayati dan sertifikasi

jenis;

14. Pengembangan daya dukung dan daya tampung lingkungan; serta

15. Penetapan kriteria baku kerusakan.

7. PROGRAM REHABILITASI DAN PEMULIHAN CADANGAN SUMBER DAYAALAM

Program ini bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah rusak dan

mempercepat pemulihan cadangan sumber daya alam, sehingga selain berfungsi

sebagai penyangga sistem kehidupan juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan

secara berkelanjutan.

Bagian IV.32 - 22

Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan meliputi:

1. Penetapan wilayah prioritas rehabilitasi pertambangan, hutan, lahan, dan

kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil;

2. Peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana, dan prasarana rehabilitasi hutan,

lahan, dan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil;

3. Peningkatan efektivitas reboisasi yang dilaksanakan secara terpadu;

4. Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak di kawasan hutan, pesisir

(terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan estuaria), perairan, bekas

kawasan pertambangan, disertai pengembangan sistem manajemen

pengelolaannya;

5. Pengkayaan atau restocking sumber daya pertanian dan perikanan;

6. Rehabilitasi daerah hulu untuk menjamin pasokan air irigasi pertanian dan

mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi di wilayah sungai dan pesisir;

serta

7. Revitalisasi danau, situ-situ, dan sumber-sumber air lainnya.

8. PROGRAM PENGEMBANGAN KAPASITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYAALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

8.1 PROGRAM PENATAAN KELEMBAGAAN PENEGAKAN HUKUMPENGELOLAAN SDA DAN PELESTARIAN LH

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan

sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup melalui tata kelola yang baik

(good environmental governance) berdasarkan prinsip transparansi,

partisipasi dan akuntabilitas.

Kegiatan pokoknya meliputi:

1. Pengkajian dan analisis instrumen pemanfaatan sumber daya alam

secara berkelanjutan;

Bagian IV.32 - 23

2. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola sumber daya alam dan

lingkungan hidup, termasuk lembaga masyarakat adat;

3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya

alam dan lingkungan hidup melalui pola kemitraan;

4. Pengembangan sistem pengendalian dan pengawasan sumber daya alam

termasuk sistem penanggulangan bencana;

5. Pengembangan sistem pendanaan alternatif untuk lingkungan hidup;

6. Peningkatan koordinasi antar lembaga;

7. Pengembangan peraturan perundangan lingkungan dalam pengendalian

pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;

8. Penegakan hukum terpadu dan penyelesaian hukum atas kasus

perusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup;

9. Pengkajian kembali dan penerapan kebijakan pembangunan melalui

internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan;

10. Peningkatan pendidikan lingkungan hidup formal dan non formal; dan

11. Pengembangan program Good Environmental Governance (GEG) secara

terpadu dengan program Good Governance lainnya.

9. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS DAN AKSES INFORMASI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

9.1 PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN AKSES INFORMASISDA DAN LH

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan akses informasi

sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka mendukung

perencanaan pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan fungsi

lingkungan hidup.

Bagian IV.32 - 24

Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:

1. Penyusunan data sumber daya alam baik data potensi maupun data daya

dukung kawasan ekosistem, termasuk di pulau-pulau kecil;

2. Pengembangan valuasi sumber daya alam meliputi hutan, air, pesisir, dan

cadangan mineral;

3. Penyusunan neraca sumber daya alam dan neraca lingkungan hidup;

4. Penyusunan dan penerapan produk domestik bruto hijau (PDB Hijau);

5. Penyusunan data potensi sumber daya hutan dan Neraca Sumber Daya

Hutan (NSDH);

6. Pendataan dan penyelesaian tata-batas hutan dan kawasan perbatasan;

7. Penyusunan indikator keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan hidup;

8. Penyebaran dan peningkatan akses informasi kepada masyarakat,

termasuk informasi mitigasi bencana dan potensi sumber daya alam dan

lingkungan;

9. Pengembangan sistem informasi dini yang berkaitan dengan dinamika

global dan perubahan kondisi alam, seperti gempa bumi, tsunami, banjir

dan kekeringan.

10. PROGRAM PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKANLINGKUNGAN HIDUP

10.1 PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KERUSAKAN DANPENCEMARAN LH

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup

dalam upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup

baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara sehingga masyarakat

memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Bagian IV.32 - 25

Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:

1. Pemantauan kualitas udara dan air tanah khususnya di perkotaan dan

kawasan industri; kualitas air permukaan terutama pada kawasan sungai

padat pembangunan, serta kualitas air laut di kawasan pesisir secara

berkesinambungan dan terkoordinasi antar daerah dan antar sektor;

2. Pengawasan penaatan baku mutu air limbah, emisi atau gas buang dan

pengelolaan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dari sumber

institusi (point sources) dan sumber non institusi (non point sources);

3. Peningkatan fasilitas laboratorium lingkungan serta fasilitas pemantauan

udara (ambient);

4. Penyusunan regulasi dalam pengendalian pencemaran dan perusakan

lingkungan hidup, pedoman teknis, baku mutu (standar kualitas)

lingkungan hidup dan penyelesaian kasus pencemaran dan perusakan

lingkungan secara hukum;

5. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan terutama bensin tanpa

timbal dan sejenisnya di sektor transportasi dan energi dalam upaya

mengurangi polusi udara perkotaan dengan mengacu kepada standar

emisi kendaraan Euro II;

6. Sosialisasi penggunaan teknologi bersih dan eko-efisiensi di berbagai

kegiatan manufaktur dan transportasi;

7. Perbaikan sistem perdagangan dan impor bahan perusak ozon (BPO)

hingga akhir tahun 2007 dan menghapuskan BPO pada tahun 2010,

dengan sosialisasi kepada produsen dan konsumen;

8. Pengawasan penaatan penghapusan BPO di tingkat kabupaten/ kota;

9. Pengkajian mendalam terhadap dampak perubahan iklim global dan

upaya antisipasinya pada sektor-sektor prioritas;

Bagian IV.32 - 26

10. Adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor

maupun rencana pembangunan daerah;

11. Peningkatan produksi dan penggunaan pupuk kompos yang berasal dari

limbah domestik perkotaan;

12. Peningkatan peran masyarakat dan sektor informal khususnya

pemulung dan lapak dalam upaya pemisahan sampah dan 3R (Reduce,

Reuse, Recycle);

13. Pengkajian pendirian perusahaan TPA regional.;

14. Pengembangan sistem dan mekanisme pengelolaan limbah B3 (bahan

berbahaya dan beracun) serta pendirian sekurangnya satu fasilitas

pengelola limbah B3;

15. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif terhadap kegiatan-

kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan seperti industri dan

pertambangan;

16. Pengembangan dan penerapan berbagai instrumen pengelolaan

lingkungan hidup termasuk tata ruang, kajian dampak lingkungan dan

perijinan;

17. Pengintegrasian biaya-biaya lingkungan ke dalam biaya produksi

termasuk pengembangan pajak-progesif dalam pengelolaan sumber

daya alam dan lingkungan hidup;

18. Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, termasuk

teknologi tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan

limbah, dan teknologi industri yang ramah lingkungan; serta

19. Perumusan aturan dan mekanisme pelaksanaan tentang alternatif

pendanaan lingkungan, seperti DNS (debt for nature swap), CDM (Clean

Development Mechanism), retribusi lingkungan, dan sebagainya.