pengaruh variasi konsentrasi sukrosa terhadap …/pengaruh... · kultur kalus tapak dara...
TRANSCRIPT
Pengaruh VARIASI KONSENTRASI SUKROSA terhadap pertumbuhan dan
induksi embriogenesis somatik
Kultur kalus tapak dara
(catharanthus roseus (l.) G. Don)
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh: David Cahyo Herwinaldo
M0404032
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
i
PENGESAHAN
SKRIPSI
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI SUKROSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK
KULTUR KALUS TAPAK DARA (Catharanthus roseus (L.) G. Don)
Oleh: David Cahyo Herwinaldo
M0404032
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal 18 Januari 2009
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Surakarta, …………………….. Penguji I
Solichatun , M.SiNIP. 19710221 199702 2 001 Penguji III
Widya Mudyantini, M.SiNIP. 19730505 199903 2 001
Penguji II
Dra. Endang Anggarwulan, M.SiNIP. 19500320 197803 2 001 Penguji IV
Suratman, M. SiNIP. 19800705 200212 1 002
Mengesahkan Dekan FMIPA
Prof. Dr. Sutarno, M. Sc.NIP. 19600809 198612 1 001
Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M.SiNIP. 19500320 197803 2 001
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri
dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
di suatu Perguruan Tinggi serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
dituliskan atu diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar
kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau kembali dan/atau dicabut.
Surakarta, ………………………….
David Cahyo HerwinaldoM0404032
iii
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI SUKROSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK
KULTUR KALUS TAPAK DARA (Catharanthus roseus (L). G. Don).
DAVID CAHYO HERWINALDO Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh variasi konsentrasi sukrosa terhadap pertumbuhan dan induksi embriogenesis somatik kultur kalus tapak dara (Catharanthus roseus (L). G. Don).
Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu penambahan sukrosa pada media MS dengan 5 taraf perlakuan yaitu 0 g/L 10 g/L; 20 g/L; 30 g/L; dan 40 g/L, masing-masing dengan 5 ulangan. Data yang diambil berupa data kualitatif yaitu muncul tidaknya embrio somatik serta warna dan tekstur kalus, juga data kuantitatif meliputi berat basah dan berat kering kalus. Analisis data kuantitatif menggunakan ANAVA dan dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan embrio somatik pada semua perlakuan. Variasi konsentrasi sukrosa pada kultur kalus berpengaruh signifikan terhadap berat kering, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap berat basah kalus. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa maka semakin tinggi pula berat kering kalus.
Kata kunci: sukrosa, kalus, Catharanthus roseus L. (G). Don, embriogenesis somatik
iv
THE EFFECT OF CONCENTRATION VARIATION OF SUCROSE ON GROWTH AND SOMATIC EMBRYOGENESIS INDUCTION OF
PERIWINKLE (Catharanthus roseus (L.) G. Don) CALLUS CULTURE.
DAVID CAHYO HERWINALDO Department of Biology. Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas Maret University, Surakarta
ABSTRACT
The aims of this research were to study the effects of concentration variation of sucrose on growth and somatic embryogenesis induction of periwinkle (Catharanthus roseus (L.) G. Don) callus culture.
The research used Completely Randomized Design by treatment due sucrose concentration (0 g/L 10 g/L; 20 g/L; 30 g/L; dan 40 g/L), each with 5 replications. The qualitative parameters include appearance of somatic embryos, also the colour and texture of callus, were then descriptively analysed. Mean while the quantitative parameters, include the wet weight and dried weight of callus, were analysed using ANAVA.
The results showed there were no appearance of somatic embryos in all treatments. Concentration variation of sucrose did not give significant influence in wet weight of the callus, but gave significant influence in dried weight of the callus. The increasing of concentration of sucrose also increased the dried weight of the callus.
Key word: sucrose, callus, Catharanthus roseus (L.) G. Don, somatic embryogenesis
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Variasi Konsentrasi
Sukrosa terhadap Pertumbuhan dan Induksi Embriogenesis Somatik Kultur Kalus
Tapak Dara (Catharanthus Roseus L. (G). Don)”.
Tapak dara (Catharanthus roseus L. (G). Don) merupakan tanaman obat yang
memiliki banyak manfaat karena kandungan alkaloidnya yang tinggi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap
pertumbuhan dan induksi embriogenesis somatik kultur kalus tapak dara. Diharapkan
penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh konsentrasi sukrosa
terhadap pertumbuhan dan induksi embriogenesis kultur kalus tapak dara dan
bermanfaat dalam penelitian tentang embriogenesis somatik lebih lanjut.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Dra. Endang Anggarwulan M, Si. selaku Ketua Jurusan Biologi sekaligus
pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Solichatun, M.Si selaku pembimbing I sekaligus Pembimbing Akademis yang
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
viii
3. Widya Mudyantini, M.Si dan Suratman, M.Si. yang telah memberikan banyak
masukan dan pengarahan yang sangat berarti demi kesempurnaan penyusunan
skripsi ini.
4. Ari Pitoyo S.Si atas ide yang telah diberikan untuk judul dan penyusunan
skripsi ini serta semua bantuannya selama penyusunan skripsi ini.
5. Andriyani S.Si., Wiwin Andrias, S.Si, Usman, S.Si, Agit S.Si, Hafidh S.Si.,
Yayik S.Si., Beny, S. Si., Tri Warseno S.Si., Ajeng, S.Si., Tri Murdiyono
S.Si., Ani Fitri, Andhina Arum Puspita, Khoirul Anam, Roshid Fajar Ismail,
Werstant Adhityananda, Saseno, serta semua teman-teman di KMK FMIPA
UNS, KS Biotek, dan HIMABIO FMIPA UNS, terima kasih atas segala doa
dan bantuannya selama ini.
6. Semua staf laboratorium Pusat FMIPA UNS yang telah memberikan bantuan
dan kemudahan dalam melaksanakan penelitian, serta semua pihak yang tidak
dapat Penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini belumlah sempurna, namun
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.
Surakarta, Februari 2010
David Cahyo HerwinaldoM04040432
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK .. ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 5
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................ 6
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 6
1. Catharathus roseus (L.) G. Don .................................................... 6
2. Kultur In Vitro ............................................................................... 9
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 20
C. Hipotesis ............................................................................................. 21
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................... 22
A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 22
B. Alat dan Bahan ................................................................................... 22
1. Alat................................................................................................. 22
x
2. Bahan ............................................................................................. 23
C. Rancangan Percobaan......................................................................... 24
D. Cara Kerja........................................................................................... 25
1. Persiapan........................................................................................ 25
2. Induksi Pembentukan Kalus .......................................................... 27
3. Penanaman Kalus pada Media Perlakuan ...................................... 27
4. Uji Kuantitatif dan Kualitatif ........................................................ 28
E. Analisis Data ...................................................................................... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 30
A. Pertumbuhan Kalus pada Media Inisiasi ............................................ 30
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Kalus pada Media Perlakuan ........ 32
1. Morfologi (Warna dan Tekstur) Kalus pada Media Perlakuan...... 32
2. Embrio Somatik pada Kalus .......................................................... 38
C. Berat Basah Kalus .............................................................................. 41
D. Berat Kering Kalus ............................................................................. 43
BAB V PENUTUP.............................................................................................. 50
A. Kesimpulan ........................................................................................ 50
B. Saran ................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 51
LAMPIRAN ....................................................................................................... 58
HALAMAN RIWAYAT HIDUP PENULIS...................................................... 64
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Warna dan tekstur kalus Catharanthus roseus pada media perlakuan............................................................................................... 33
Tabel 2. Rata-rata pertambahan berat basah kalus Catharanthus roseus (g) setelah inkubasi selama seminggu pada media perlakuan .................. 42
Tabel 3. Rata-rata berat kering kalus Catharanthus roseus (g) setelah inkubasi selama seminggu pada media perlakuan............................................... 44
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Habitus Tapak Dara atau Catharanthus roseus................................. 8
Gambar 2. Tahap-tahap embriogenesis somatik tumbuhan ................................ 12
Gambar 3. Struktur kimia sukrosa ...................................................................... 18
Gambar 4. Kerangka pemikiran .......................................................................... 21
Gambar 5. Morfologi kalus pada media MS dengan perlakuan variasi sukrosa .................................................................................. 35
Gambar 6. Rata-rata pertambahan berat basah kalus Catharanthus roseus ........................................................................ 42
Gambar 7. Rata-rata berat kering kalus Catharanthus roseus ............................ 45
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Komposisi media MS (Murashige-Skoog). .................................... 58
Lampiran 2. Uji Statistik ANAVA terhadap berat basah.................................... 60
Lampiran 2. Uji Statistik ANAVA terhadap berat kering................................... 62
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperempat dari obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan
aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman. Permasalahannya adalah
bagaimana menjaga tingkat produksi obat herbal tersebut dengan bahan baku obat
herbal yang terbatas karena sebagian besar bahan baku obat herbal diambil dari
tanaman induknya (Radji, 2005).
Tumbuhan memiliki sifat totipotensi, artinya perkembangbiakannya tidak
hanya berasal dari sel telur atau sperma saja, akan tetapi juga bisa berasal dari sel-sel
akar, daun, batang, dan sel tumbuhan lainnya. Bila kita menggunakan sebuah sel yang
berasal dari tumbuhan, maka badan tumbuhan keseluruhannya dapat ditumbuhkan
kembali. Dengan metode kultur jaringan, perbanyakan klon tumbuhan dapat
dilakukan tanpa batas. Regenerasi tanaman dengan kultur jaringan ini terbukti
menghasilkan bahan kimia yang sama dengan tanaman induknya (Radji, 2005).
Penerapan kultur jaringan tumbuhan mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan dengan penggunaan konvensional. Keuntungan-keuntungan tersebut,
antara lain (1) dengan teknologi kultur jaringan dapat dibentuk senyawa bioaktif
dalam kondisi terkontrol dan waktu yang relatif lebih singkat, (2) kultur bebas dari
kontaminasi mikroba, (3) setiap sel dapat diperbanyak untuk menghasilkan senyawa
metabolit sekunder tertentu, pertumbuhan sel terawasi dan proses metabolismenya
1
dapat diatur secara rasional, (4) kultur jaringan tidak bergantung kepada kondisi
lingkungan seperti keadaan geografi, iklim dan musim, (5) metabolit sekunder bisa
dihasilkan secara terus-menerus, serta (6) tidak memerlukan lahan yang luas (Fowler,
1983; Sudirga, 2002).
Penggandaan biakan dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur
organogenesis dan embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik merupakan suatu
proses dimana sel somatik (dapat haploid maupun diploid) berkembang membentuk
tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa fusi gamet.
Embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula tidak
terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat serta dapat mendukung
program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika (Purnamaningsih, 2002).
Secara in vitro, produksi metabolit sekunder dapat dilakukan dengan metode
kultur jaringan. Kultur suspensi sel tumbuhan dianggap sebagai teknik alternatif
dalam mendapatkan metabolit sekunder pada skala industri, terutama alkaloid untuk
kepentingan farmasi (Radji, 2005). Menurut Croteau et al., (2000), banyak senyawa
penting justru tidak disintesis dalam jumlah yang patut diperhitungkan dalam kultur
sel, disebabkan oleh ekspresi gen penyandi biosintesis alkaloid bersifat spesifik hanya
pada jaringan tertentu. Menurut Zhao et al. (2001), kandungan ajmalisin pada kultur
suspensi kalus yang kompak lebih besar daripada kalus yang remah karena kalus
yang kompak mencerminkan tingkat diferensiasi selular dan jaringan yang tinggi.
Dalam hal ini, embrio somatik memiliki potensi dalam menghasilkan metabolit
2
sekunder sebab memiliki kemampuan diferensiasi sel yang tinggi seperti halnya
embrio yang berasal dari zigot.
Catharanthus roseus (tapak dara) memiliki sinonim Lochnera rosea
Reichenb. ex Endl. dan basionim Vinca rosea L., termasuk famili Apocynaceae.
Karena kandungan zatnya, tapak dara tidak hanya dipakai untuk obat tradisional
tetapi juga menarik para ahli obat-obatan modern (Suryowinoto, 1997). Pentingnya
tanaman ini karena kehadiran dua senyawa alkaloid antitumor yaitu vinblastin dan
vinkristin yang ditemukan pada daun serta ajmalisin, suatu alkaloid yang dijumpai
pada akar (El-Sayed dan Verpoorte, 2004). C. roseus menghasilkan indol alkaloid
yang sangat kompleks, sehingga senyawa penting seperti vinblastin dan vinkristin
hanya menghasilkan proporsi yang sangat kecil (sekitar 0,00025% dari berat kering),
menyebabkan ekstraksi dan purifikasi senyawa tersebut sangat sulit dan mahal
(Hopkins, 1999).
Usaha untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder, khususnya
ajmalisin pada C. roseus telah banyak dilakukan, antara lain dengan stres lingkungan
(Sukarman dkk., 2000) maupun dengan metode kultur jaringan secara organogenesis
(tanpa melalui embriogenesis) melalui pengasaman dan penambahan triptofan
(Pitoyo, 2002) penambahan elisitor (Fitriyani, 2004), transformasi akar (Ciau-Uitz et
al., 1994), dan kultur suspensi dengan bioreaktor airlift (Esyanti dan Muspiah, 2006).
Penggunaan metode embriogenesis somatik pada C. roseus masih jarang dilakukan
(Junaid et al., 2007) termasuk usaha meningkatkan metabolit sekundernya. Menurut
Junaid et al. (2006), embrio somatik yang terbentuk berpotensi sebagai bahan mentah
3
untuk modifikasi genetik terhadap sel prekursor embrio untuk meningkatkan
kandungan alkaloid.
Penelitian mengenai pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap embriogenesis
somatik pada kultur kalus dan kultur suspensi C. roseus telah dilakukan (Junaid et al.,
2007), namun pengaruh variasi sukrosa pada media belum pernah dipelajari.
Konsentrasi sukrosa optimal bagi proses embriogenesis somatik pada spesies lain
telah diketahui, seperti pada kacang tanah (Arachis hypogea L.) oleh Srilestari (2005)
yaitu sebesar 40 g/l dan konsentrasi sukrosa media sebesar 5-10% pada nimba
(Azadirachta indica A. Juss) oleh Shrikhande (1993). Sukrosa penting dalam proses
embriogenesis somatik sebab berperan ganda, selain sebagai sumber energi juga
sebagai pengatur konsentrasi osmotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap inisiasi embrio somatik.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS terhadap
pertumbuhan kultur kalus C. roseus?
2. Apakah variasi konsentrasi sukrosa terhadap kultur kalus C. roseus dalam
media MS berpengaruh dalam induksi embriogenesis somatik?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS terhadap
pertumbuhan kultur kalus C. roseus.
2. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS terhadap
induksi embriogenesis somatik kultur kalus C. roseus.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi konsentrasi sukrosa
terhadap pertumbuhan kultur kalus C. roseus.
2. Memberikan informasi pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS
terhadap induksi embriogenesis somatik kultur kalus C. roseus.
3. Memberikan informasi mengenai potensi embriogenesis somatik pada kultur
kalus C. roseus dalam manfaatnya untuk propagasi dan budidaya tanaman
maupun produksi metabolit sekunder secara massal.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Catharathus roseus (L.) G. Don.
a. Klasifikasi
Tanaman C. roseus memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Apocynales
Famili : Apocynaceae
Genus : Catharanthus
Spesies : Catharathus roseus (L.) G. Don
(Suryowinoto, 1997; van Steenis, 1997)
b. Sinonim/Basionim
Tapak dara (C. roseus) memiliki sinonim: Ammocallis rosea (L.) Small,
Lochnera rosea (L.) Reichenb. ex Endl., dan Pervinca rosea (L.) Gaterau.
Sementara basionimnya adalah Vinca rosea L. (Anonim, 2009).
6
c. Nama Daerah
Tapak Dara (C. roseus) dikenal dengan berbagai nama di beberapa daerah,
antara lain Kembang Tapakdoro (Jawa), Kembang Tembaga (Jawa Barat),
Kemunting Cina dan Tapak Liman (Sumatra), serta Sindapor (Sulawesi)
(Suryowinoto, 1997).
d. Morfologi
Tapak dara merupakan jenis herba dengan ketingggian mencapai 60 cm.
Akarnya tunggang. Batang berwarna hijau atau coklat kemerahan, mengandung
getah berwarna putih susu dengan pangkal batang berkayu. Daun berwarna hijau,
berhadapan, mengkilap, bentuk bulat telur dengan kerangka daun keputihan.
Panjang daunnya 2-6 cm dengan lebar 1-3 m.. Tangkai daunnya sangat pendek. C.
roseus merupakan tipe tumbuhan yang berbunga sepanjang tahun. Bunga tapak
dara termasuk bunga tunggal yang memiliki dua macam warna yaitu putih dan
merah muda. Kelopak bunganya kecil, taju berbentuk paku, dan berbulu. Mahkota
bunganya berbentuk terompet, panjang 2,5-3 cm, dengan tabung sempit dan
melebar pada ujungnya; leher bunganya menebal dan berbulu. Buahnya kotak
dua, berbentuk silindris dengan ujung lancip, berbulu, panjang 2-2,5 cm, dan
berbiji banyak. Biji berukuran kecil dan berwarna hitam (Backer dan van den
Brink, 1965; Suryowinoto, 1997).
7
Gambar 1. Habitus Tapak Dara atau Catharanthus roseus (Oakeley, 2007)
e. Habitat, Ekologi, dan Distribusi
Tapak dara tumbuh di tempat yang berpasir tapi juga dapat tumbuh di
pinggir sungai yang lembap dan ternaungi, vegetasi savana dan tempat kering,
serta di hutan sampai 750 dpl. Tapak dara merupakan tanaman yang memiliki
toleransi tinggi terhadap garam sehingga sebagian besar ditemukan di dekat laut,
tapi seringkali ditemukan hingga 1500 m di atas permukaan laut. Tapak dara
dapat hidup di lingkungan yang tidak terlalu panas. C. roseus berasal dari
Madagaskar dan penyebaran meliputi Amerika tengah, Brazil, Afrika tengah
Indonesia, Florida, Thailand , Taiwan dan Eropa (Suprianto, 2009). Di Pulau
Jawa sendiri ditemukan dua macam warna bunga C. roseus yaitu warna pink
dengan bagian tengah berwarna merah (C. roseus var. roseus) serta warna putih
dengan bagian tengah berwarna merah gelap atau kuning cerah (C. roseus var.
albus) (Backer dan van den Brink Jr., 1965).
8
f. Manfaat dan Kandungan Kimia
Tapak dara sering dimanfaatkan sebagai tanaman hias maupun tanaman
obat (Suryowinoto, 1997). Sebagai obat tradisional, dari akar, batang, daun,
hingga bunga, tapak dara mengandung unsur-unsur zat kimiawi yang bermanfaat
untuk pengobatan. Tapak dara berkhasiat untuk pengobatan diabetes melitus,
hipertensi, leukimia, asma dan bronkhitis, demam, radang perut, dan disentri
(Thomas, 1989). C. roseus mengandung lebih dari 100 jenis alkaloid indol
monoterpenoid yang berbeda (Croteau et al., 2000). Pentingnya C. roseus secara
farmasi berkaitan dengan kehadiran dua alkaloid antitumor yaitu vinkristin dan
vinblastin serta ajmalisin dan serpentin yang meningkatkan sirkulasi darah pada
otak sehingga dapat digunakan sebagai obat antihipertensi (Roytrakul dan
Verportee, 2004; Esyanti dan Muspiah, 2006). Alkaloid ajmalisin, leurosin,
loknerin, tetrahidroalstonin, vindolin, dan vindolinin menurunkan kadar gula
dalam darah, sementara alkaloid lain ada yang bertindak sebagai hemostatik atau
menghentikan pendarahan (Pandiangan, 2006). Alkaloid yang paling umum
ditemukan dalam tapak dara adalah ajmalisin, valesiakhotamin, stemadenin,
akuamisin, vindolinin, horhamerinin, dan lohnerisin, baik jika digunakan kultur
tapak dara berbunga merah muda maupun putih (Kurz dan Constabel, 1991).
Menurut Marfori dan Alejar (1993), kandungan alkaloid terutama ajmalisin pada
C. roseus varietas bunga ungu lebih besar daripada varietas bunga warna putih.
9
2. Kultur In Vitro
a. Definisi dan Manfaat
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman, seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali
(Gunawan, 1988). Kultur in vitro dikerjakan pada media dengan nutrisi yang
harus dikerjakan dalam kondisi yang steril. Pencegahan kontaminasi oleh jamur,
bakteri, dan lain sebagainya adalah persyaratan keberhasilan kultur in vitro
(Suryowinoto, 1996). Komponen media kultur jaringan tumbuhan meliputi
makronutrien, mikronutrien, suplemen ion yang terpisah, vitamin, sumber karbon,
dan zat pengatur tumbuh serta vitamin dan asam amino (Dodds dan Roberts,
1995). Menurut Gamborg (1991), media Murashige-Skoog (MS) tampaknya
mengandung jumlah hara anorganik yang layak untuk memenuhi kebutuhan
banyak jenis sel tanaman dalam kultur.
b. Kultur Kalus
Kultur kalus bertujuan untuk memperoleh kalus dari eksplan yang
diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus adalah suatu
kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri
secara terus-menerus (Gunawan, 1988). Menurut Suryowinoto (1996), kalus
merupakan salah satu wujud dediferensiasi, yaitu reversi dari sel-sel hidup yang
telah terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi lagi, atau dengan kata lain,
10
menjadi meristematik kembali. Beberapa kalus bertekstur keras dan kompak,
sementara beberapa lainnya sangat mudah remuk menjadi remah-remahan kecil.
Pertumbuhan kalus yang rapuh dan dapat dengan mudah remuk disebut kalus
remah (Dodds dan Roberts, 1995).
c. Embriogenesis somatik
Embriogenesis somatik adalah proses terbentuknya embrio bukan dari
zigot, melainkan dari sel-sel somatik (Gunawan, 1988). Embriogenesis somatik
dapat terjadi secara alami seperti terlihat pada Kalanchoe dimana embrio somatik
terbentuk pada tepi-tepi daun, atau melalui induksi secara eksperimental dalam
kultur in vitro (Dodeman et al., 1997). Dalam metode ini, eksplan diberi hormon
dengan kadar yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan yang normal dikacaukan
sama sekali sehingga terbentuk jaringan–jaringan kalus atau sel-sel yang
tersuspensi dalam media kultur. Jaringan kalus atau sel-sel tersebut akan terus
berkembang sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak. Kemudian susunan
hormon diubah sama sekali, sehingga sebagian besar dari sel-sel tersebut mulai
memisah dan berubah menjadi embrioid (Wetherell, 1982). Embrioid berarti
mempunyai sifat seperti embrio. Embrioid yang merupakan kelompok sel
meristematis ini berkutub (polar) dan kerap kali bentuknya seperti jantung. Dari
sebuah kutub tumbuh tunas dan dari kutub yang lain tumbuh akar (Suryowinoto,
1996).
Embrioid somatik dapat diinduksi secara in vitro melalui tiga sumber yaitu
sel vegetatif dari tanaman dewasa, jaringan reproduktif tanaman selain zigot, serta
11
hipokotil dan kotiledon dari embrio (Dodds dan Roberts, 1995). Tahap-tahap
perkembangan embrio somatik sama dengan perkembangan embrio zigotik yaitu
globular, bentuk jantung (heart-shaped), bentuk torpedo (torpedo-shaped), dan
cotyledonary pada tumbuhan dikotil (Toonen dan Vries, 1996), perbedaannya
hanya perkembangan embrio somatik terjadi di luar jaringan maternal
(Zimmerman, 1993). Proses embriogenesis dapat berlangsung pada kultur agar
(Kurz dan Constabel, 1991).
Gambar 2. Tahap-tahap embriogenesis somatik tumbuhan, dari kiri ke kanan: tahap globular, tahap bentuk jantung (heart-shaped), tahap bentuk torpedo (torpedo-shaped), dan tahap cotyledonary (Anonim, 2007).
Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung
maupun tidak langsung karena melewati fase kalus (Purnamaningsih, 2002).
Sebagai contoh, pada kol (Brassica oleacrea L.) dan kentang (Solanum
tuberosum L.), embrio somatik dapat muncul secara langsung dari jaringan
eksplan. Embriogenesis somatik juga dapat muncul dari kultur kalus dari
asparagus (Asparagus officinalis L.), wortel (Daucus carota L.), seledri (Apium
12
graveolens L.), singkong (Manihot esculenta Crantz.), labu (Cucurbita pepo L.),
dan dari kultur suspensi Daucus carota L. atau wortel (Torres, 1989).
Menurut Torres (1989), embriogenesis merupakan salah satu tipe
perkembangan yang terorganisir. Embrio yang terbentuk pada kultur in vitro
mampu membentuk planlet yang lengkap melewati tahap serupa dengan yang
terjadi pada embriogeni normal. Ciri khas dari suatu embrio adalah
bipolaritasnya, yaitu kutub batang dan kutub akar pada sisi yang berlawanan.
Diferensiasi pada sel embrio somatik juga dibuktikan dari sebuah kutub tumbuh
tunas dan dari kutub lain tumbuh akar tanpa adanya stimuli hormon seperti pada
kalus non-embriogenik (Suryowinoto, 1996). Toonen dan Vries (1996)
membatasi pengertian sel embriogenik sebagai sel yang telah melengkapi transisi
dari tahap sel somatik ke tahap dimana tidak dibutuhkan stimulus eksternal untuk
menghasilkan embrio somatik. Sel yang masih berada pada tahap transisi dan
telah mulai menjadi embriogenik, namun masih memerlukan stimulus dari luar,
disebut sel kompeten.
Keberhasilan untuk mendapatkan embrio dari sel somatik akan tercapai
apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik, dicirikan oleh sel
yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan
mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari
kultur kalus (Purnamaningsih, 2002). Menurut Torres (1989), embriogenesis
dalam kultur suspensi meliputi beberapa tahap yaitu (1) mendapatkan kalus yang
aktif tumbuh pada medium yang kekurangan sumber nitrogen (contoh: NH4NO3)
13
dan mengandung auksin seperti 2,4-D, (2) perkembangan sel yang aktif tumbuh
dalam kultur suspensi yang mengandung media mirip dengan kultur kalus, (3)
pemindahan auksin atau pengurangan konsentrasi auksin, dan (4) perkecambahan
dan perkembangan menjadi planlet.
Dalam banyak kasus, 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) digunakan
untuk menginduksi pembentukan embrio somatik dari sel eksplan (Toonen dan
Vries, 1996) seperti pada bawang putih atau Allium sativum L. (Trisnawati et al.,
1999), kapas atau Gossypium klotzschianum Anderss. (Zhang et al., 2001), dan
jagung atau Zea mays L. (Sutjahjo, 2006). Menurut Endress (1994), 2,4-D
menyebabkan hipermetilasi DNA yang menjaga sel tetap berada pada tahap
pembelahan mitotik yang tinggi sehingga sel berada pada tahap pro-embrionik.
2,4-D adalah senyawa tanpa ciri-ciri indol tapi memiliki gugus asam asetat dan
memiliki keaktifan biologis seperti IAA. Dibandingkan dengan IAA, senyawa
2,4-D menunjukkan aktivitas auksin yang lebih tinggi. Sifat kelarutan dalam
lemak dan air antara IAA dan 2,4-D adalah sama. Selain itu, 2,4-D lebih resisten
terhadap IAA-oksidase sehingga lebih stabil (Wetherrel, 1982; Wattimena, 1988).
Perkembangan embrio selanjutnya dapat terhambat karena tingginya
kadar auksin pada media, oleh karena itu dua macam media yang berbeda
diperlukan, yaitu media untuk inisiasi sel embrionik dan lainnya untuk
perkembangan selanjutnya dari sel ini untuk menjadi embrioid. Media pertama
(induksi) harus mengandung auksin, namun media kedua mengandung auksin
14
yang sama, atau berbeda dalam kadar yang lebih kecil, atau tidak mengandung
auksin (Dodds dan Roberts, 1995).
NAA (Naphtalene Acetic Acid) merupakan ZPT dari golongan auksin
yang bersifat lebih stabil daripada IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim-
enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Wetter dan
Constabel, 1991), karena itu NAA bisa diberikan pada konsentrasi yang lebih
sedikit dibandingkan IAA (Doods dan Roberts, 1995). Untuk jenis sitokinin bisa
digunakan Benzyl-Adenine atau BA (Purnamaningsih, 2002), yaitu sitokinin
sintetik yang tidak umum ditemukan pada tumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995).
Junaid et al. (2007) dalam penelitiannya menginduksi kalus embriogenik
dari C. roseus, mendapatkan persentase keberhasilan tertinggi sebesar 85% ketika
menggunakan 2,4 D dengan konsentrasi 1 mg/l, namun perkembangan embrio
somatik tercepat diperoleh dengan media yang mengandung 1 mg/l NAA
dikombinasikan dengan 1,5 mg/l BA. Kalus embriogenik dalam penelitian
tersebut hanya berhasil diinduksi dari eksplan berupa hipokotil, sementara kalus
yang diinisiasi dari akar, batang, dan daun kesemuanya bersifat non-embriogenik.
d. Produksi Metabolit Sekunder melalui Kultur In Vitro
Tanaman obat merupakan sumber daya biologi (bioresource) utama dalam
pengembangan obat herbal. Pengembangan obat yang berasal dari produk alam
telah terbukti berhasil di masa lalu dan teknologi baru telah dikembangkan untuk
memperoleh senyawa-senyawa turunan dari berbagai jenis tanaman
(Mulyaningsih dan Darmawan, 2006). Sebagian besar komponen kimia yang
15
berasal dari tanaman yang digunakan sebagai obat atau bahan obat merupakan
metabolit sekunder (Radji, 2005).
Dalam kultur sel tanaman secara in vitro, produksi metabolit sekunder,
terutama senyawa obat, dianggap merupakan pilihan yang mempunyai harapan
dibandingkan dengan produksi tanaman utuh. Kultur sel dapat menghasilkan
senyawa sepanjang tahun pada kondisi lingkungan yang diatur. Dengan demikian
pasokan yang stabil dapat dijamin, serta dimungkinkan pula mengatur proses
metabolismenya untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya (Kurz dan
Constabel, 1991).
Hingga kini, produksi senyawa obat penting seperti vinblastin, katarantin,
ajmalisin, dan serpentin belum dapat dengan sukses diindustrialisasi karena
berbagai keterbatasan. Salah satunya adalah hasil yang sangat rendah dari
senyawa ini pada kultur sel C. roseus. Banyak faktor bertanggung jawab atas hal
ini, namun kurangnya diferensiasi selular dan jaringan pada kultur suspensi sel
dianggap sebagai faktor utama (Moreno et al., 1995)). Diferensiasi molekular,
selular, dan diferensiasi organ mempengaruhi produk biosintesis. Peran
diferensiasi sedikit diketahui karena biosintesis metabolit tanaman diatur oleh
beberapa gen (Heble, 1996).
Zhao et al. (2001) dalam penelitiannya membuktikan bahwa kumpulan
kalus yang kompak atau Compact Callus Clusters (CCC) pada media MS cair
menghasilkan alkaloid indol lebih tinggi daripada kultur suspensi sel yang remah
dan tersebar. CCC menunjukkan tingkat diferensiasi selular dan jaringan, maka
16
dapat disimpulkan tingkat diferensiasi selular dan jaringan bertanggung jawab
terhadap perbedaan kemampuan menghasilkan indol alkaloid tersebut. Sel
suspensi tanaman biasanya cenderung membentuk agregat sel kohesif atau
kumpulan sel yang lebih besar selama kultur karena polisakarida yang diekskret
oleh sel tanaman meningkatkan viskositas kultur sel. Beberapa agregat tidak
hanya beragregasi, namun terorganisir dengan baik. Beberapa struktur yang
terdiferensiasi dengan canggih telah dilaporkan muncul pada kultur sel. Struktur
ini secara fungsional membawa oksigen, nutrisi, juga metabolit sekunder
melewati bagian dalam dan luar agregat. Struktur ini juga berkaitan erat dengan
metabolisme sekunder. Beberapa tingkat diferensiasi pada kultur dibutuhkan
untuk aktivasi beberapa gen atau enzim yang terlibat dalam biosintesis, transport,
dan penyimpanan metabolit sekunder. Kultur akar, rambut akar, serta kultur CCC
terbukti mensintesis indol alkaloid lebih banyak daripada kultur suspensi. Hal ini
membuktikan bahwa biosintesis ajmalisin berkaitan dengan diferensiasi.
Teknik embriogenesis somatik juga mulai diarahkan pada produksi
metabolit sekunder, antara lain dalam produksi senyawa alkaloid morfinan
padaopium (Papaver somniferum L.) (Kassem dan Jacquin, 2001). Pengujian
kualitatif juga telah dilakukan terhadap tanaman ginseng (Panax quinquefolius L.)
menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kandungan saponin triterpenoid
(ginsenosides) dari tanaman yang berasal dari biji dan planlet yang berasal dari
embrio somatik (Punja et al., 2004).
17
e. Sumber Karbon dalam Media
Media kultur jaringan menyediakan tidak hanya unsur-unsur hara tetapi
juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon
yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis. Gula putih yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari cukup memenuhi syarat untuk mendukung
pertumbuhan kultur. Selain sebagai sumber energi, gula juga berfungsi sebagai
tekanan osmotik media. Dalam media MS, setengah dari potensial osmotik
disebabkan oleh adanya gula. Pada wortel, sukrosa adalah sumber karbon yang
paling baik, lalu glukosa, maltosa, dan rafinosa. Fruktosa dan galaktosa kurang
efektif, sedangkan manosa dan laktosa merupakan karbohidrat yang paling tidak
efektif. Pada umumnya urutan yang demikian berlaku untuk hampir semua
tanaman (Gunawan, 1988).
Sukrosa adalah disakarida dari glukosa dan fruktosa. Dalam tanaman,
sukrosa merupakan produk fotosintesis antara yang paling utama. Sukrosa
merupakan bentuk utama dalam transport gula dari daun ke bagian-bagian lain
tanaman melalui sistem vaskular. Keuntungan sukrosa dibandingkan glukosa
sebagai bentuk transport gula mungkin karena atom karbon anomernya berada
dalam keadaan terikat, jadi melindungi sukrosa dari serangan oksidatif atau
hidrolitik oleh enzim-enzim tanaman sampai molekul ini mencapai tujuan
akhirnya di dalam tanaman (Lehninger, 1982).
18
Gambar 3. Struktur kimia sukrosa (The Chemical Heritage Foundation, 2001)
Menurut Iraqi dan Tremblay (2001), sukrosa pada media berperan dalam
induksi maupun pendewasaan embrio somatik karena (1) sukrosa dihidrolisis
enzim invertase dan sukrosa-sintase menjadi heksosa yaitu glukosa dan fruktosa
yang bisa langsung dimanfaatkan tumbuhan, (2) hasil hidrolisis sukrosa
meningkatkan konsentrasi osmotik media, dan (3) sukrosa berperan sebagai sinyal
bagi sintesis protein penyimpan.
Konsentrasi karbohidrat telah terbukti mempengaruhi perolehan kalus.
Konsentrasi sukrosa antara 20-60 g/l telah digunakan untuk mendukung
pertumbuhan kalus. Konsentrasi sukrosa yang optimal untuk pertumbuhan in vitro
dari jaringan wortel dilaporkan sebesar 3% (Torres, 1989). Pemberian manitol
pada kultur jagung yang merupakan gula alkohol serta sumber energi berperan
dalam memperbaiki tekanan osmotik media sehingga sel-sel lebih aktif
membentuk kalus embriogenik (Sutjahjo, 2006). Srilestari (2005) mengatakan
konsentrasi sukrosa sebesar 40 g/l mampu menghasilkan embrio somatik
terbanyak dalam waktu relatif singkat pada kacang tanah (Arachis hypogea L.).
Pemberian 5-10% sukrosa pada media merupakan konsentrasi optimal bagi
19
embriogenesis somatik pada nimba atau Azadirachta indica A. Juss (Shrikhande
et al., 1993). Pada kacang gude atau Cajanus cajan (L.) Millsp., konsentrasi
sukrosa yang memberikan perolehan embrio somatik terbanyak adalah 87,64 mM
(Purnamaningsih, 2002). Dari hasil penelitiannya, Park dan Facchini (2001)
menyarankan konsentrasi sukrosa sebesar 40 g/l untuk embriogenesis somatik
pada California poppy (Eschscholzia californica Vault.).
B. Kerangka Pemikiran
Eksplan berupa hipokotil C. roseus ditanam di media inisiasi yang
mengandung hormon 2,4-D untuk menginisasi terbentuknya kalus. Kalus yang
diperoleh dari media inisiasi kemudian dipindahkan ke media perlakuan dan diamati
terbentuk tidaknya kalus embriogenik. Kalus yang diperoleh selama inkubasi
seminggu dalam media perlakuan kemudian diamati pertumbuhan dan
perkembangannya, meliputi pengamatan kualitatif berupa morfologi dan warna kalus
serta terbentuk tidaknya embrio somatik, juga pengamatan kuantitatif berupa
pengukuran berat basah dan berat kering kalus.
Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan sebagai
berikut:
20
Gambar 5. Kerangka pemikiran
C. Hipotesis
1. Variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS akan mempengaruhi
pertumbuhan kultur kalus C. roseus.
2. Variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS akan menginduksi embrio
somatik pada kultur kalus C. roseus.
Eksplan hipokotil C. roseus
Ditanam dalam media inisiasi
Kultur kalus
Dipindahkan dalam media perlakuan
Variasi konsentrasi sukrosa
Pertumbuhan kultur kalus Embrio somatik
21
7. BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu pada bulan Juni-
November 2008, bertempat di Sub Lab Biologi Laboratorium Pusat FMIPA UNS.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat-alat yang dipakai pada penelitian ini meliputi:
a. Sterilisasi
Autoklaf yang telah diatur pada suhu 121°C dan tekanan 1,5 atm digunakan
untuk keperluan sterilisasi alat dan media.
b. Pembuatan media
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan media meliputi hot plate dengan
magnetic stirrer, timbangan analitik, gelas beker, gelas erlenmeyer, botol stok,
pipet tetes, pipet volume, spatula, dan pH meter.
c. Penanaman biji
Alat-alat yang digunakan adalah botol steril, kapas steril, serta aluminium
foil.
22
d. Penanaman eksplan
Alat-alat yang dipakai adalah laminar air flow cabinet, botol-botol kultur,
labu erlenmeyer, bunsen burner, cawan petri, gunting, skalpel, tissue, dan hand
sprayer.
e. Inkubasi Kultur
Alat-alat yang diperlukan untuk inkubasi kultur adalah rak kultur dan lampu
flourescence.
f. Pengamatan pertumbuhan dan perkembangan kalus
Alat yang dipakai untuk mengukur pertumbuhan dan mengamati
perkembangan kalus adalah kamera, oven, dan timbangan analitik.
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Bahan Tanaman Sumber Eksplan
Bagian tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah beberapa
potongan hipokotil yang berasal dari biji tapak dara C. roseus (L). G. Don var.
roseus (bunga warna ungu) yang berkecambah. Biji yang diperoleh berasal dari
tanaman C. roseus yang ditumbuhkan di rumah kaca.
b. Bahan Kimia
1) Sterilisasi eksplan
Bahan yang digunakan untuk sterilisasi eksplan adalah air mengalir,
akuades steril, tween 20, dan merkuri klorida (HgCl2) 0,5%.
23
2) Penanaman biji
Bahan yang digunakan dalam penanaman biji akuades steril.
3) Pembuatan media
a) Media inisiasi kalus
Bahan-bahan untuk pembuatan media inisiasi kalus terdiri dari bahan-
bahan kimia pada komposisi dasar media Murashige-Skoog (MS) (Lampiran 1),
sukrosa 30 g/l, bahan pemadat berupa agar, KOH 1 N, HCl 1 N, 2,4-D 1 mg/l,
dan akuades.
b) Media perlakuan
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan media perlakuan terdiri
dari bahan-bahan kimia pada komposisi dasar media MS, KOH 1 N, HCl 1 N,
NAA 1 mg/l, BA 1,5 mg/l dan akuades. Media perlakuan ditambah dengan
sukrosa dengan variasi konsentrasi 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l, dan 40 g/l.
C. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan, yaitu penambahan sukrosa
dengan lima taraf konsentrasi 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l, dan 40 g/l) dengan lima
ulangan.
24
D. Cara Kerja
1. Persiapan
a. Sterilisasi alat
Alat-alat dan botol kultur dicuci dengan detergen, dibilas dengan air,
kemudian dikeringkan. Setelah kering, botol kultur dan alat yang berbentuk tabung
ditutup mulutnya dengan alumunium foil, sedangkan alat-alat lainnya (cawan petri,
skalpel, pinset, spatula, dan pipet) dibungkus dengan kertas. Semua alat dan botol
kultur tersebut disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1,5 atm
selama satu jam.
b. Pembuatan Larutan Stok
Bahan-bahan kimia untuk stok media MS ditimbang kemudian dilarutkan ke
dalam 50 ml akuades dalam gelas beker dan diaduk dengan magnetic stirrer.
Setelah bahan larut, volume ditetapkan hingga 100 ml, kemudian larutan
dimasukkan ke dalam botol stok dan diberi label. Untuk membuat larutan FeEDTA,
setelah larutan Na2EDTA dilarutkan baru ditambahkan Fe2SO4 yang telah digerus.
Setelah bahan kimia larut, volume ditetapkan hingga 100 ml, kemudian dimasukkan
dalam botol stok dan diberi label. Semua botol berisi larutan stok ditutup dengan
aluminium foil lalu disimpan dalam lemari es.
c. Pembuatan Media
1) Media Inisiasi Kalus
Larutan-larutan stok diambil dari lemari es. Gelas beker dengan volume 1
liter diletakkan di atas hot plate dan diisi sepertiganya dengan akuades. Masing-
25
masing larutan stok kemudian dimasukkan sesuai dengan komposisi media MS
yang tercantum pada Lampiran 1. Sukrosa ditambahkan ke dalam gelas beker dan
diaduk hingga larut dengan sempurna. Akuades kemudian dimasukkan hingga
mencapai ¾ kapasitas gelas beker. Keasaman (pH) larutan diukur dengan pH
meter. Apabila pH larutan belum mencapai kisaran 5,6-5,8 maka pH disesuaikan
dengan penambahan HCl bila pH terlalu tinggi atau KOH bila pH terlalu rendah.
Setelah pH mencapai optimal, zat pengatur tumbuh (ZPT) berupa 2,4-D sebanyak
1 mg ditambahkan ke dalam larutan. Larutan media diaduk hingga semua bahan
larut, kemudian dimasukkan agar dan ditambahkan akuades hingga mencapai
volume total 1 liter. Media dipanaskan hingga mendidih, kemudian baru
dipindahkan ke dalam botol-botol kultur dalam keadaan panas. Botol-botol kultur
berisi media kemudian ditutup dengan aluminium foil dan disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit
(Junaid et al., 2007).
2) Media Perlakuan
Pembuatan media perlakuan hampir sama dengan media inisiasi kalus,
namun ZPT 2,4-D diganti dengan NAA 1 mg/l dan BA 1,5 mg/l (Junaid et al.,
2007). Sukrosa ditambahkan ke dalam media perlakuan sesuai dengan konsentrasi
yang telah ditentukan.
26
2. Induksi Pembentukan Kalus
a. Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi permukaan biji C. roseus dilakukan dengan mencuci biji dengan
air mengalir kemudian dimasukkan ke dalam larutan merkuri klorida 0,5 % selama
2 menit, dan dicuci kembali dengan akuades.
b. Perkecambahan Biji secara in Vitro
Biji yang telah steril dimasukkan ke dalam botol kultur berisi tissue steril
yang telah dibasahi dengan akuades steril. Botol kemudian ditutup rapat dengan
alumunium foil dan disimpan dalam ruang gelap. Hipokotil yang dikecambahkan
kemudian dikeluarkan dari dalam botol kultur dan dipotong menjadi beberapa
bagian dalam laminar air flow (Junaid et al, 2007).
c. Inisiasi kalus dari hipokotil
Untuk inisiasi kalus, hipokotil dimasukkan ke dalam botol kultur berisi
media MS yang mengandung 2,4-D sebesar 1 mg/l secara aseptik di dalam laminar
air flow cabinet. Botol kultur kemudian ditutup rapat dengan aluminium foil dan
diinkubasi di dalam rak kultur. Untuk mencegah kontaminasi, rak kultur disemprot
dengan alkohol 70% minimal 3 hari sekali.
3. Penanaman Kalus pada Media Perlakuan
Kalus yang diperoleh dari media inisiasi kalus dipindah ke media perlakuan
secara aseptik dalam laminar air flow cabinet dengan menggunakan pinset steril ke
dalam media perlakuan. Setelah kalus dimasukkan, botol kultur ditutup rapat dengan
27
aluminium foil dan diinkubasi di dalam rak kultur selama 1 minggu. Setelah
penanaman selama 1 minggu, kalus yang terbentuk dipanen.
4. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Kalus
Uji kualitatif kalus dilakukan antara lain melalui pengamatan morfologi kalus
apakah kalus embriogenik atau kalus non-embriogenik terbentuk. Parameter yang
diamati berupa bentuk, warna, dan tekstur kalus. Diamati pula pada hari ke berapa
kalus embriogenik muncul selama masa inkubasi. Uji kuantitatif dilakukan dengan
menimbang berat keseluruhan kalus baik berat basah maupun berat kering.
Pengukuran berat basah kalus dilakukan dengan menimbang berat basah kalus awal
dan dan berat basah kalus akhir. Berat basah kalus embriogenik diperoleh dengan
menimbang kalus beserta botol kultur, media, dan aluminium foil. Selisih berat basah
kalus awal dan akhir dianggap sebagai pertambahan berat basah kalus. Berat kering
kalus diperoleh dengan mengukur berat kalus yang telah dikeringkan dalam oven
pada suhu 50°C. Pengukuran berat dilakukan setiap 24 jam sampai diperoleh berat
yang konstan.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif
berupa data morfologi, meliputi warna dan tekstur kalus serta terbentuk tidaknya
embrio somatik. Data kuantitatif meliputi berat basah dan berat kering kalus. Data
28
kualitatif dianalisis secara deskriptif, sementara data kuantitatif dianalisis secara
statistik dengan uji ANAVA dan dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5%.
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Kalus pada media Inisiasi
Eksplan yang digunakan adalah hipokotil C. roseus yang ditumbuhkan
dalam kondisi aseptik. Media yang digunakan adalah media Murashige-Skoog
(MS) karena media ini mempunyai kandungan garam mineral yang tinggi dan
umumnya banyak digunakan dalam kultur in vitro (Lestari dan Purwaningsih,
1996). Media inisiasi yang digunakan adalah media MS ditambah hormon auksin
berupa 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D).
Kalus pada eksplan mulai terbentuk setelah seminggu ditanam pada media
inisiasi. Kalus muncul pada bagian ujung hipokotil yang terpotong, karena bagian
itu bersentuhan langsung dengan media dan mengandung berkas pengangkut.
Menurut Gunawan (1988), terbentuknya kalus pada bagian eksplan yang luka
disebabkan terjadinya otolisis sel dan dari sel yang rusak tersebut akan dihasilkan
senyawa-senyawa yang akan merangsang pembelahan sel di lapisan berikutnya.
Menurut Suryowinoto (1996), kalus akan mulai terbentuk dari bagian
pelukaan eksplan atau bagian tepi irisan eksplan, karena kalus merupakan
jaringan penutup luka yang bersifat meristematis. Hal ini juga dimungkinkan
karena adanya salah satu bentuk respon tumbuhan terhadap terjadinya pelukaan
pada jaringan ataupun selnya. Seperti yang dijelaskan oleh Leon et al. (2001)
bahwa luka yang dialami jaringan atau sel tumbuhan akan mengaktivasi
30
mekanisme pertahanan diri tumbuhan baik secara lokal maupun sistemik (pada
jaringan yang tidak mengalami luka) dalam bentuk perubahan arah jalur
metabolisme dan menginduksi ekspresi gen-gen tertentu, dan hanya pada jaringan
yang rusak yang akan terbentuk struktur sel yang tidak beraturan, mengalami
dediferensiasi, mengeluarkan senyawa simpanan, dan kehilangan banyak air.
Struktur sel yang tak beraturan ini akan berkembang menjadi kalus. Kalus sendiri
merupakan massa sel yang tak terdeferensiasi.
Kalus bisa muncul di sekitar berkas pengangkut karena secara histologi,
kalus berasal dari pembelahan berkali-kali sel-sel parenkim di sekitar berkas
pengangkut kecuali xilem. Kalus yang muncul pada bekas irisan hipokotil
disebabkan sel-sel perifer eksplan lebih cepat mengalami pembelahan karena
dipengaruhi faktor-faktor seperti ketersediaan oksigen yang lebih tinggi,
keluarnya CO2, dan adanya cahaya (Gunawan, 1988).
Penggunaan hormon 2,4-D berfungsi untuk menginisiasi kalus pada
ekplan. Menurut Agustina (2003), 2,4-D dapat meningkatkan tekanan osmosis,
meningkatkan sintesis protein, meningkatkan permeabilitas terhadap dinding sel
terhadap air, dan melunakkan dinding sel yang diikuti dengan menurunnya
tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel, yang akibatnya
terjadinya kenaikan volume sel dan kalus lama-lama membesar. Sintesis protein
yang didorong oleh 2,4-D juga akan memacu pertumbuhan. Hal ini menyebabkan
lama-kelamaan kalus akan bertambah besar, karena tumbuh dan menyerap air dari
lingkungannya.
31
Kalus-kalus yang terbentuk kemudian disubkultur beberapa kali ke media
dengan komposisi yang sama agar didapatkan jumlah kalus yang cukup untuk
disubkultur kembali ke media perlakuan. Kalus yang ditumbuhkan pada suatu
media perlu dipindahkan secara teratur dalam jangka waktu tertentu. Masa kultur
yang panjang dalam media yang tetap akan menyebabkan terjadinya kehabisan
hara dan air. Kehabisan air dapat terjadi selain karena terhisap oleh pertumbuhan
juga karena media menguapkan air dari waktu ke waktu. Selain kehabisan hara,
sel-sel dalam kalus juga mengeluarkan persenyawaan hasil metabolisme yang
menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menjaga
kehidupan dan perbanyakan yang berkesinambungan, kalus yang dihasilkan perlu
disubkulturkan (Gunawan, 1988). Subkultur juga berfungsi memperbanyak kalus,
sebab media baru berarti menjaga kalus tetap pada fase eksponensial.
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Kalus pada Media Perlakuan
1. Morfologi (Warna dan Tekstur) Kalus pada Media Perlakuan
Kalus hasil inisiasi kemudian dipindahkan ke media perlakuan berupa media
MS yang ditambahkan hormon NAA dan BA. Setelah seminggu, diamati warna
maupun tekstur kalus yang terbentuk. Data warna maupun tekstur kalus disajikan
dalam Tabel 1, sementara foto morfologi kalus dapat diamati pada Gambar 6.
32
Tabel 1. Warna dan tekstur kalus C. roseus pada media perlakuan
Morfologi Kalus Media Perlakuan
Warna Tekstur
A1 Coklat kehitaman Kompak
A2 Kuning kecoklatan Kompak
A3 coklat Kompak
A4 Kuning Kompak
A5 Kuning Kompak
B1 Coklat kehitaman Kompak
B2 Putih bening Kompak
B3 Kuning Kompak
B4 Kuning bening Kompak
B5 Coklat kompak
C1 Coklat kehitaman Remah
C2 Kuning bening Remah
C3 Kuning bening Kompak
C4 Kuning bening Kompak
C5 Kuning kecoklatan Kompak
33
Morfologi Kalus Media Perlakuan
Warna Tekstur
D1 Kuning keruh Remah
D2 Putih kekuningan agak kecoklatan Remah
D3 Kuning Remah
D4 Kuning Remah
D5 Coklat Remah
E1 Putih kekuningan Remah
E2 Putih kekuningan Remah
E3 Kuning Remah
E4 Putih kekuningan Remah
E5 Putih kekuningan Remah
Keterangan: A1, A2, A3, A4, A5: kalus pada media dengan penambahan sukrosa 0 g/L ulangan 1, 2, 3, 4, dan 5. B1, B2, B3, B4, B5: kalus pada media dengan penambahan sukrosa 10 g/L ulangan 1, 2, 3, 4, dan 5. C1, C2, C3, C4, C5: kalus pada media dengan penambahan sukrosa 20 g/L ulangan 1, 2, 3, 4, dan 5. D1, D2, D3, D4, D5: kalus pada media dengan penambahan sukrosa 30 g/L ulangan 1, 2, 3, 4, dan 5. E1, E2, E3, E4, E5: kalus pada media dengan penambahan sukrosa 40 g/L ulangan 1, 2, 3, 4, dan 5.
34
Ula
ngan
3
Kon
s.su
kros
a0
g/L
Ula
ngan
1 Ula
ngan
2 Ula
ngan
4 Ula
ngan
5
Kon
s.su
kros
a40
g/L
Kon
s.su
kros
a30
g/L
Kon
s.su
kros
a20
g/L
Kon
s.su
kros
a10
g/L
Gambar 6. Foto morfologi kalus pada media MS dengan perlakuan variasi sukrosa
35
Dari warna kalus yang diamati, ada kalus yang berwarna putih seperti ketika
pertama kali diiniasi, ada yang berubah menjadi kekuningan, bahkan ada yang
telah mengalami pencoklatan (browning) hingga berwarna coklat kehitaman.
Kalus berwarna kuning muda disebabkan karena kalus diinisiasi pada tempat
yang terkena cahaya sehingga kalus kemudian berpigmen (kuning) (Sudirga,
2002). Kalus yang masih berwarna putih bening dan kuning, atau dengan kata lain
belum mengalami browning diduga belum mengalami senesensi atau penuaan.
Hal ini kemungkinan disebabkan kandungan BA yang diberikan pada media
perlakuan yang menghambat proses penuaan. Menurut Wattimena (1998), BA
merupakan salah satu sitokinin yang berperan dalam memperlambat proses
senesensi sel dengan menghambat perombakan butir-butir klorofil dan protein
dalam sel.
Warna coklat pada kalus kemungkinan disebabkan gejala alamiah dari
proses penuaan maupun produksi senyawa fenol sebagai respon terhadap
pemotongan yang menyebabkan terjadinya luka pada jaringan. Beberapa senyawa
fenolik adalah pelindung auksin (auxin protectors), yaitu antioksidan yang
berfungsi sebagai inhibitor proses oksidasi IAA yang dikatalisasi oleh enzim
peroksidase. Secara umum fenolik adalah produk yang sangat labil dan sangat
mudah teroksidasi menjadi senyawa fitotoksik (Debergh dan Zimmerman, 1991).
Hal ini dapat diatasi dengan pemberian arang aktif pada media (Dodds dan
Roberts, 1995).
36
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada perlakuan sukrosa sebesar 0 g/L
hingga 30 g/L masih didapatkan kalus yang berwarna kecoklatan, smentara kalus
yang ditumbuhkan pada konsentrasi sukrosa 40 g/L masih berada dalam keadaan
segar. Perbedaan antara warna kalus ini disebabkan oleh umur hipokotil yang
digunakan. Pada kalus yang telah berwarna kecoklatan, kemungkinan besar
berasal dari potongan hipokotil yang letaknya dekat dengan akar (berumur lebih
tua), sementara kalus yang masih segar berasal dari potongan hipokotil yang
terletak dekat dengan ujung tunas (berumur lebih muda).
Pada pengamatan, didapatkan bahwa tekstur kalus ada yang kompak dan
ada yang remah. Kalus yang kompak mempunyai struktur sel yang rapat, padat,
dan sulit dipisah-pisahkan dan mempunyai vakuola yang lebih besar dalam sel-
selnya serta mempunyai dinding polisakarida yang lebih besar. Vakuola yang
besar ini memungkinkan kalus dapat menyimpan air di dalam sel sehingga
kandungan airnya lebih tinggi. Menurut Zhao et al. (2001), kalus kompak
terbentuk oleh NAA yang tidak menginduksi sintesis enzim selulase dan
pektinase yang memiliki aktivitas lisis terhadap lamela tengah sehingga ikatan
antarsel menjadi tidak renggang dan memberikan struktur yang kompak.
Kalus yang remah mempunyai susunan sel yang longgar sehingga mudah
dipisah-pisahkan dan sel-selnya bersifat meristematik serta aktif membelah
(Street, 1993). Disebutkan oleh Steves dan Sussex (1994), sel-sel yang bertekstur
remah cenderung berbentuk tidak teratur, relatif kecil ukurannya, inti selnya besar
dan sitoplasmanya masih kental. Terbentuknya kalus yang bertekstur remah ini
37
juga dipicu oleh adanya hormon auksin endogen yang diproduksi secara internal
oleh eksplan yang telah tumbuh membentuk kalus tersebut.
2. Embrio Somatik pada Kalus
Kalus diamati setiap hari selama seminggu untuk mengamati ada tidaknya
embrio somatik. Pada semua perlakuan tidak ditemukan adanya kalus
embriogenik. Menurut penelitian Trisnawati (1999) terhadap Allium sativum L,
embrio somatik dapat terbentuk secara langsung di dalam mesofil eksplan
(endogen), namun dapat mengalami degradasi menjadi kalus kembali. Hanya
embrio somatik yang terbentuk di permukaan kalus (eksogen) yang bisa diamati.
Parameter yang menentukan keberhasilan embriogenesis somatik adalah
jenis eksplan, tahap perkembangan dari eksplan, dan interaksi antara eksplan dan
media pertumbuhan (Debergh dan Zimmerman, 1991). Jenis eksplan yang
berbeda memerlukan waktu yang berbeda-beda pula dalam media induksi embrio
somatik yang mengandung auksin. Hal ini disebabkan peran auksin eksogen
dalam induksi embrio somatik bergantung pada sifat alami eksplan yang
digunakan dalam penelitian. Sebagai contoh pada tanaman wortel (Daucus
carota L.), eksplan yang berasal dari petiolus, hipokotil, dan sel yang diisolasi
dari kultur suspensi berturut-turut membutuhkan pemberian auksin selama 1, 2,
dan 7 hari dalam media inisiasi sebelum akhirnya menjadi kompeten untuk
mengalami embriogenesis setelah dipindahkan ke dalam media tanpa auksin
(Zimmerman, 1993). Dalam penelitian ini tidak didapatkannya embrio somatik
38
kemungkinan karena kalus terlalu lama berada dalam media inisiasi. Semula
tujuan kalus diinisiasi cukup lama dalam media yang mengandung 2,4-D adalah
untuk memperoleh kalus yang cukup banyak dan memadai untuk disubkultur
dalam media perlakuan, namun langkah ini ternyata tidak efektif dalam
menumbuhkan embrio somatik. Menurut penelitian Junaid et al. (2007) waktu
yang efektif untuk kultur kalus hipokotil C. roseus dalam media inisiasi adalah
kurang lebih 1 bulan sebelum akhirnya dipindahkan dalam media perlakuan.
Eksplan yang digunakan dapat berbeda tergantung jenis tanaman sumber
eksplan dan tahap perkembangan (developmental stage) dari eksplan.
Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan
keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang
digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata
tunas, epikotil maupun hipokotil (Purnamaningsih, 2002). Dalam hipokotil juga
terdapat perbedaan kemampuan meristematik pada sel-selnya. Sel-sel yang
terletak dekat dengan ujung tunas berumur lebih muda dan lebih meristematik
daripada sel-sel pada bagian yang mendekati akar yang berumur lebih tua.
Eksplan juga akan berinteraksi dengan baik dengan media pertumbuhan
dan menghasilkan embrio somatik bila zat-zat yang diperlukan untuk induksi
embriogenesis somatik telah tercukupi dalam media. Interaksi mencakup nutrisi
pada media, terutama sumber nitrogen sebagai faktor utama yang memacu
morfogenesis dalam kultur in vitro dan juga secara tak langsung akan
39
mempengaruhi pH kultur, sumber karbon (gula), serta zat pengatur tumbuh
(Purnamaningsih, 2002).
Menurut Junaid et al. (2007), media perlakuan yang sama sangat cocok
dan efektif dalam menghasilkan kalus embriogenik dari eksplan berupa hipokotil
C. roseus. Dalam penelitian ini, ternyata media tersebut hanya menghasilkan
kalus non-embriogenik bila diterapkan pada eksplan yang sama. Kemungkinan
hal ini terjadi karena umur hipokotil yang digunakan terlalu tua, menyebabkan
perbedaan kemampuan meristematik dibandingkan dengan jaringan yang lebih
muda dan adanya variasi tingkat zat pengatur tumbuh endogen pada hipokotil
yang digunakan. Kemampuan jaringan muda untuk membelah tentu lebih cepat
dibandingkan jaringan dewasa pada hipokotil. Umur hipokotil ditunjukkan
dengan panjang hipokotil.
Kultur in vitro, terutama embriogenesis somatik sangat berpotensi dalam
menghasilkan metabolit sekunder dengan lebih efektif, jika dibandingkan metode
lain seperti kultur suspensi. Metode kultur yang umumya digunakan untuk
memproduksi metabolit sekunder dalam jumlah besar mengalami berbagai
hambatan, salah satu diantaranya senyawa obat penting seperti vinblastin,
katarantin, ajmalisin, dan serpentin justru diproduksi dalam kadar yang sangat
rendah pada kultur sel C. roseus. Banyak faktor bertanggung jawab atas hal ini,
namun kurangnya diferensiasi selular dan jaringan pada kultur suspensi sel
dianggap sebagai faktor utama (Moreno et al., 1995 dalam Zhao et al., 2001).
Diferensiasi molekular, selular, dan diferensiasi organ mempengaruhi produk
40
biosintesis (Heble, 1996). Menurut Torres (1989), embriogenesis merupakan
salah satu tipe perkembangan yang terorganisir. Hal ini dibuktikan dengan
kemampuan embrio yang terbentuk pada kultur in vitro untuk membentuk planlet
yang lengkap melewati tahap serupa dengan yang terjadi pada embriogeni normal.
Embriogenesis somatik sangat berpotensi dalam menghasilkan metabolit
sekunder, terutama senyawa obat, karena tingkat diferensiasi selnya yang sangat
tinggi, sehingga lebih efektif daripada metode kultur lainnya.
3. Berat Basah Kalus
Untuk mengetahui pertumbuhan volume dan massa sel dapat ditentukan
dengan mengukur berat segar (berat basah) tanaman (Salisbury dan Ross, 1995).
Sel akan mengalami pemanjangan yang akan diikuti dengan pembesaran sel dan
peningkatan berat basahnya. Peningkatan berat basah kalus menunjukkan sudah
berlangsungnya proses pertumbuhan sel dalam kalus.
Berat basah hasil kultur eksplan dihitung dengan menimbang kalus beserta
botol dan tutup aluminium foil sebelum dan sesudah disubkultur ke dalam media
perlakuan, kemudian dihitung selisihnya untuk mendapatkan nilai pertambahan
berat basah kalus. Berat basah dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan
hasil kultur eksplan, tapi kurang bisa dijadikan standar, sebab berat basah
dipengaruhi oleh banyaknya air yang berada dalam sel, metabolisme tanaman,
dan kondisi kelembaban tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Data rata-rata
pertambahan berat basah kalus disajikan pada Tabel 2.
41
Tabel 2. Rata-rata pertambahan berat basah kalus C. roseus (g) setelah inkubasi selama seminggu pada media perlakuan.
Konsentrasi sukrosa (g/L) 0 10 20 30 40
Rata-rata pertambahan berat basah kalus (g)
-0,285a -0,439a -0,615a -0,295a -0,670a
Keterangan: angka yang diikuti huruf superscript yang sama dalam baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
0
-0,285
-0,439
-0,615
-0,295
-0,67-0,8-0,7-0,6-0,5-0,4-0,3-0,2-0,1
0
Konsentrasisukrosa
(g/L) 0 10 20 30 40
rata
-rata
perta
mba
han
bera
tbas
ahka
lus(
g)
Gambar 7. Rata-rata pertambahan berat basah kalus C. roseus.
Dari hasil rata-rata pertambahan berat basah kalus didapatkan nilai yang
kesemuanya negatif, disebabkan oleh berat basah kalus pada media perlakuan
semakin lama semakin berkurang. Hasil uji ANAVA menunjukkan hasil yang
tidak beda nyata. Hal ini berarti perlakuan variasi konsentrasi sukrosa yang
diberikan tidak berpengaruh terhadap peningkatan berat basah kalus C. roseus.
Konsentrasi sukrosa (g/L)
42
Pengukuran berat basah kalus masih sangat tergantung pada kandungan
air dalam kalus, sehingga penurunan berat basah kalus kemungkinan besar
disebabkan penurunan kandungan air dalam kalus. Perbedaan penurunan berat
basah diduga oleh kemampuan jaringan dalam menyimpan air dan unsur hara
yang berbeda, dalam hal ini meliputi kemampuan mengadakan difusi, osmosis,
dan pengaturan tekanan turgor sel (Sriyanti, 2000). Menurunnya berat basah juga
disebabkan oleh akumulasi metabolit sekunder yang bersifat racun bagi sel dan
terjadinya lisis (kematian sel).
Penurunan berat basah kalus kemungkinan juga disebabkan karena kalus
diduga telah memiliki hormon auksin endogen sehingga kandungan hormon pada
media menjadi terlalu tinggi. Peran auksin adalah merubah tekanan osmotik
dalam sel yang akan mempengaruhi proses-proses biokimia dalam sel
(Wattimena, 1991). Tingginya konsentrasi auksin menyebabkan penurunan
tekanan osmotik yang diikuti keluarnya air dari dalam sel (Palupi, 2004).
Perbedaan penurunan berat basah antar perlakuan kemungkinan disebabkan
perbedaan kadar auksin endogen pada kalus. Auksin endogen berperan dalam
meningkatkan permeabilitas sel terhadap air. Kalus diinisiasi dari hipokotil yang
berbeda umur, sehingga kadar auksin endogen tiap kalus berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan tingkat permeabilitas sel terhadap air pada masing-masing kalus
juga berbeda-beda (Abidin, 1990).
4. Berat kering
43
Produk tanaman biasanya lebih akurat dinyatakan dengan ukuran bahan
kering total dibandingkan dengan berat basah. Berat kering total tanaman
merupakan manifestasi dari proses dan peristiwa yang terjadi di dalam
pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Berat kering memberikan
estimasi yang dapat diterima mengenai aktivitas metabolik pada suatu kultur
dibandingkan dengan berat basah (Doods dan Roberts, 1995).
Menurut Gardner et al. (1991), pengukuran terhadap berat basah kurang
mewakili parameter pertumbuhan karena angkanya berfluktuasi, bergantung pada
keadaan kelembaban tanaman. Angka pengukuran terhadap berat kering kalus
tidak berfluktuasi karena berat kering kalus diukur dari berat konstan. Berat
kering diperoleh dengan mengeringkan kalus yang telah dipanen pada akhir
perlakuan di dalam oven hingga beratnya konstan. Menurut Sitompul dan Guritno
(1995), pengeringan bahan bertujuan untuk menghentikan aktivitas metabolisme
yang ada di dalam bahan, berbeda dengan pengukuran berat basah yang masih
dipengaruhi oleh aktivitas metabolisme seperti transpirasi yang menyebabkan
kesulitan dalam pemgukuran dan perolehan berat yang konstan. Biomassa yang
dihasilkan sangat tergantung pada kecepatan sel-sel tersebut membelah serta
memperbanyak diri, yang dapat dipengaruhi oleh komposisi media (Wattimena,
1992).
44
Tabel 3. Berat kering kalus Catharanthus roseus (g) setelah inkubasi selama seminggu pada media perlakuan.
Konsentrasi sukrosa (g/L) 0 10 20 30 40
Berat kering kalus (g) 0,015a 0,017a 0,024ab 0,033bc 0,037c
Keterangan: angka yang diikuti huruf superscript yang sama dalam baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
0,0150,017
0,024
0,033
0,037
0
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
0,03
0,035
0,04
0 10 20 30 40
konsentrasi sukrosa (g/L)
rata
-rat
abe
ratk
erin
gka
lus
(g)
Gambar 8. Rata-rata berat kering kalus Catharanthus roseus (g).
Hasil uji statistik ANAVA terhadap berat kering kalus menunjukkan
bahwa pemberian sukrosa dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap berat kering kalus pada setiap perlakuan. Dari Tabel 3
terlihat bahwa rata-rata berat kalus tertinggi diperoleh dengan media dengan
konsentrasi sukrosa 40 g/L yaitu sebesar 0,037 gram yang berbeda nyata dengan
45
semua perlakuan. Hasil ini belum menunjukkan hasil yang optimum sebab belum
terlihat adanya penurunan berat kering kalus pada penelitian ini.
Keberhasilan kultur jaringan tanaman sangat bergantung pada media yang
digunakan. Media kultur jaringan tanaman tidak hanya menyediakan unsur hara
makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang umumnya berupa gula. Gula ini
merupakan sumber karbon sebagai pengganti karbon yang biasanya didapat
tanaman dari atmosfer dalam bentuk CO2 yang menjadi komponen dalam
fotosintesis. Menurut George dan Sherrington (1984), sukrosa merupakan sumber
karbon yang penting yang digunakan sebagai penyusun sel. Dengan adanya
sukrosa yang cukup maka pembelahan sel, pembesaran sel, dan diferensiasi sel
selanjutnya dapat berlangsung dengan baik. Sukrosa merupakan sumber energi
dan karbon untuk pertumbuhan kalus serta komponen penyusun sel. Ketersediaan
sukrosa yang besar memungkinkan terjadinya cukup energi serta bahan-bahan
penting untuk pertumbuhan dan pembentukan biomassa.
Sukrosa memiliki berbagai peranan penting yaitu sumber karbon dan
energi, pengatur tekanan osmotik, sebagai faktor kunci dalam stabilisasi membran
sehingga berperan sebagai pelindung terhadap stress, dan sebagai molekul sinyal
(Lipavska dan Konradova, 2004; Tomaz et al., 2001). Sementara menurut Iraqi
dan Tremblay (2001), pentingnya sukrosa dalam media berkaitan dengan: (1)
sukrosa dihidrolisis enzim invertase dan sukrosa-sintase menjadi heksosa yaitu
glukosa dan fruktosa yang bisa langsung dimanfaatkan tumbuhan, (2) hasil
46
hidrolisis sukrosa meningkatkan konsentrasi osmotik media, dan (3) sukrosa
berperan sebagai sinyal bagi sintesis protein penyimpan.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa peningkatan berat kering kalus seiring
dengan peningkatan konsentrasi sukrosa. Diduga peningkatan konsentrasi sukrosa
menyebabkan pembentukan metabolit untuk mendorong pembelahan dan
pertumbuhan kalus. Sukrosa dalam media menyebabkan sel-sel kalus aktif
membelah (Suskendriyati, 2003).
Menurut Sitompul dan Guritno (1995), sukrosa yang terangkut ke dalam
sel sebagian akan masuk ke dalam metabolisme untuk menghasilkan energi dan
karbon, sementara sebagian lagi diubah menjadi bahan esensial seperti bahan
dinding sel, protein, dan bahan lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan. Di
dalam tubuh tumbuhan, sukrosa akan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa.
Keduanya berperan penting dalam pertumbuhan sel. Menurut Strum (1999),
glukosa dan fruktosa yang terfosforilasi akan digunakan sel untuk metabolisme
lebih lanjut. Glukosa dapat masuk ke dalam glikolisis dan siklus Krebs untuk
membentuk ATP dan NADH yang merupakan sumber energi dalam
pertumbuhan. Fruktosa juga berperan penting sebagai antioksidan dalam menjaga
stabilisasi membran (van den Ende and Vallumu, 2009). Selain menghasilkan
energi, metabolisme sukrosa juga menyediakan kerangka karbon, antara lain yang
dapat digunakan untuk menghasilkan produk esensial lainnya dalam tumbuhan,
misalnya metabolit sekunder (Salisbury dan Ross, 1995).
47
Media yang banyak mengandung sukrosa akan lebih pekat daripada media
yang tidak mengandung sukrosa. Media dengan konsentrasi yang pekat berarti
banyak terdapat molekul, sehingga arah gerakan difusi adalah ke tempat yang
kekurangan molekul atau yang berkonsentrasi rendah. Keadaan demikian
menyebabkan sel-sel pada jaringan eksplan yang ditumbuhkan pada media
dengan penambahan sukrosa tertinggi yaitu 40 g/L dapat lebih cepat menerima
unsur-unsur hara yang diperlukan bagi perkembangannya. Selain itu, sukrosa bila
disterilisasi pada suhu yang tepat akan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa.
Glukosa merupakan sumber energi bagi sel untuk tumbuh dan berkembang
membentuk sel-sel baru. Hal ini menyebabkan berat kering tertinggi yaitu 0,037
gram didapatkan pada perlakuan dengan konsentrasi sukrosa tertinggi. Berat
kering kalus terendah diperoleh pada media tanpa pemberian sukrosa yaitu
sebesar 0,015 gram. Pada media ini kalus tidak memperoleh cukup bahan untuk
membentuk biomassa sebab jumlah karbohidrat (sukrosa) yang berfungsi sebagai
sumber energi dan karbon sangat kurang, bahkan mungkin tidak ada.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil yang berbeda dari pengukuran berat
basah dan berat kering kalus. Pengukuran berat basah menunjukkan penurunan
pertumbuhan pada kalus, sementara pemberian sukrosa pada pengukuran berat
kering justru menunjukkan peningkatan seiring kenaikan konsentrasi sukrosa.
Hal ini disebabkan berat basah kalus masih sangat dipengaruhi oleh kandungan
air dalam kalus. Kemampuan kalus dalam menyerap dan menyimpan air
dipengaruhi oleh tekstur kalus. Menurut Abidin (1990), sel yang berada di
48
lapisan luar dan mengadakan kontak dengan media lebih mudah menyerap air
daripada sel yang berada di lapisan dalam. Tekstur kalus yang tidak rata
menyebabkan tidak semua sel kalus mampu menyentuh media, terutama sel kalus
di bagian dalam. Akibatnya, kemampuan kalus untuk menyerap dan menyimpan
air tidak sama. Sel kalus yang memiliki vakuola lebih besar akan menyimpan air
lebih banyak dibanding sel dengan vakuola kecil. Penurunan berat basah pada
penelitian ini bukan berarti terjadi penurunan pertumbuhan, sebab parameter
yang lebih tepat untuk menunjukkan kenaikan atau penurunan pertumbuhan
adalah berat kering. Penurunan berat basah hanya dipengaruhi oleh kandungan
air yang menurun, bukan karena terjadi penurunan pertumbuhan. Hal ini
dibuktikan dengan semakin tingginya berat kering kalus seiring dengan
meningkatnya konsentrasi sukrosa, mengindikasikan dalam kalus masih terjadi
proses pertumbuhan. Hal inilah yang diduga menyebabkan perbedaan pola di
antara berat basah dan berat kering kalus.
49
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pemberian sukrosa pada berbagai konsentrasi (0; 10; 20; 30; 40 g/L)
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat kering kalus, tetapi
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat basah kalus C.
roseus.
2. Pemberian sukrosa pada berbagai konsentrasi (0; 10; 20; 30; 40 g/L) tidak
berpengaruh terhadap pembentukan embrio somatik pada kultur kalus C.
roseus.
B. SARAN
1. Disarankan untuk mengambil kecambah pada bagian yang paling dekat
dengan pucuk untuk memperbesar kemungkinan ditemukannya embrio
somatik.
2. Disarankan untuk membatasi lama subkultur dari media inisiasi ke media
perlakuan selama seminggu untuk mendapatkan embrio somatik dari kalus
yang berumur lebih muda dan lebih aktif membelah.
3. Disarankan untuk menambah konsentrasi sukrosa untuk menemukan
konsentrasi sukrosa yang optimal.
4. Disarankan untuk mengukur kadar alkaloid total maupun metabolit-metabolit
sekunder yang terkandung dalam kalus secara terperinci
50
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1990. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit Angkasa, Bandung.
Agustina, I.I. 2003. Pengaruh Pemberian L-Triptofan, Amonium Nitrat, dan L-
Glutamin pada Kultur Kalus Tapak Dara (Catharanthus roseus (L). G. Don) terhadap Pembentukan Indol Alkaloid (Reserpin). Skripsi. Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Anonim. 2007. Somatic Embryogenesis: The Development of Syntheyic Seeds.
www.plant.uogelph.ca/research/embry/IMG00003.GIF [5 Mei 2008] Anonim. 2009. Catharanthus roseus.
http://species.wikimedia.org/wiki/Catharanthus_roseus_var._roseus [19 Januari 2009]
Backer, C.A. and R.C.B. van den Brink Jr. 1965. Flora of Java (Spermatophytes
Only) vol. II. N.V.P. Noordhoff, Groningen. Barlass, M. and KGM. Skene. 1986. Citrus. In: Bajaj, YPS. (ed) Biotechnology in
Agriculture and Forestry 1. Trees I. Springer-Verlag, Heidelberg. pp207-219 Bhojwani, J.S. and M.K, Razdan. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice.
Elsevier, Amsterdam. Ciau-Uitz, R., M.L. Miranda-Ham, J. Coello-Coello, B. Chi, M. Pacheco. 1994.
Indole Alkaloid Production by Transformed and Non-Transformed Root Cultures of Catharanthus roseus. In Vitro Cell. Dev. Biol. 30P: 84-88.
Croteau, R., T.M. Kutchan, N.G. Lewis, 2000. Natural Products (Secondary
Metabolites). In Buchanan, B., W. Gruissem, R. Jones. (Eds). Biochemistry and Molecular Biology of Plants. American Society of Plant Physiologist, Rockwell. pp.1250-1318.
Debergh, P.C. and P.E. Zimmerman. 1991. Micropropagation: Technology and
Application. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. Dicosmo, F. 1989. Tissue Culture Secondary Metabolism. Bio International
Inc.,Toronto. Dodds, J.H. and L.W. Roberts, 1995. Experiments in Plant Tissue Culture.
Cambrigde University Press, London.
51
Dodeman, V.L., G. Ducreux, M. Kreis, 1997. Zygotic Embryogenesis Versus Somatic Embryogenesis. Journal of Experimental Botany 48(313): 1493-1509.
Esyanti, R.R. dan A. Muspiah. 2006. Pola Produksi Ajmalisin dari Kultur Agregat Sel
Catharanthus roseus (L.) G. Don dalam Bioreaktor Airlift. Hayati 13 (4): 161-165.
Endress, R. 1994. Plant Cell Biotechnology. Springer-Verlag, Berlin. El-Sayed, M.A. and R. Verpoorte, 2004. Catharanthus Terpenoid Indole Alkaloids:
Biosynthesis and Regulation. In El-Sayed, M.A. Regulation of Alkaloid Pathways After Strictosidine Glucosidase in Catharanthus roseus. Leiden University, Leiden pp. 5-46.
Fitriani, F. 2004. Pengaruh Pemberian Homogenat Jamur Phytium aphanidermatum
terhadap Kandungan Ajmalisin dalam Kultur Kalus Tapak Dara (Catharanthus roseus). Theses. Universitas Gunadarma, Depok.
Fitriyani, I. B. Margono, Dahlia. 1999. Pengaruh Asam 2,4-diklorofenoksisetat (2,4-
D) terhadap Klorofil dan Glukosa Kalus Morinda citrifolia L. Chimaera 4(1): 37-46.
Fowler, M.W., 1983. Commercial Application and Economic Aspects of Mass Plant
Cell Culture. In Mantell, S.H. dan H. Smith. (Eds.). Plant Biotechnology.Cambridge University Press, London, pp. 3-38.
Gardner, F.P., R.B. Perace, R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya
(diterjemahkan oleh Susilo, H.). UI Press, Jakarta. Gerungan, R.F.I. dan I. Sumardi. 1995. Organogensesis Padi (Oryza sativa L.)
melalui Budidaya secara In Vitro. Berkala Penelitian Pasca Sarjana 8 (2B): 247-259.
George E.P. and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Handbook and Directory of Commercial Laboratories: Exigetic Limited, Eversley.
Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur
Jaringan Tumbuhan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB, Bogor.
52
Heble, M.R. 1996. Production of Secondary Metabolites through Tissue Culture and Its Prospects for Commercial Use. In Islam, A.S. (Eds). Plant Tissue Culture.Science Publisher Inc., Lebanon. pp: 161-168.
Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta,
Kanisius. Hopkins, W.G. 1999. Introduction to Plant Physiology. Jhon Wiley and Sons, New
York. Iraqi, G. and F.M. Tremblay. 2001. Analysis of Carbohydrate Metabolism Enzymes
and Cellular Contents of Sugar and Protein during Spruce Somatic Embryogenesis Suggest a Regulatory Role of Exogenous Sucrose in Embryo Development. Journal of Experimental Biology 52(365): 2301-2311.
Irmawati. 2007. Pertumbuhan dan Kandungan Reserpin Kultur Kalus Rauvolfia
verticillata (Lour.) Baillon pada Variasi Konsentrasi Sukrosa dalam Media MS. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNS, Surakarta.
Junaid, A., A. Mujib, M.A. Bhat, M.P. Sharma. 2006. Somatic Embryo Proliferation,
Maturation, Germination in Catharanthus roseus. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture 84(3): 325-332.
Junaid, A., A. Mujib, M.P. Sharma, W. Tang. 2007. Growth Regulator Affect
Primary and Secondary Somatic Embryogenesis in Madagascar Periwinkle (Catharanthus roseus (L). G. Don) at Morphological and Biochemical Levels. Plant Growth Regul. 51(3): 271-281.
Lehninger, J. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid II (diterjemahkan oleh Maggy
Thenawidjaja). Penerbit Erlangga, Jakarta. Leon, J.E., J.J. Rojo, R. Sanchez-Serano. 2001. Wound Signalling in Plants. J. Exp.
Bot. 52(34):1-9. Lestari, E.G. dan R. Purnamaningsih. 1996. Respon Jaringan Talinum paniculatum
pada Media Dasar MS dan Monnier. Prosiding Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatik. APINMAP BALITTRO, Bogor. hal 298-305.
Lipavska, H. and H. Konradova. 2004. Somatic Embryogenesis in Conifers: The Role
of Carbohydrate Metabolism. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 40:23–30. Litz RE, G.A. Moore, C. Srinivasan. 1985. Tissue Culture for Propagation and
Improvement of Tropical Fruits and Palms. Hort. Rev. 7: 157-200.
53
Kassem, A. and A. Jacquin. 2001. Somatic Embryogenesis, Rhizogenesis, and Morphinan Alkaloid Production in Two Species of Opium Poppy. Biomed. Biotechnol. 1(2):70-78.
Kurz, W.G.W. dan F. Constabel. 1991. Produksi dan Isolasi Metabolit Sekunder.
Dalam Wetter, L.R. dan Constabel, F. (Editor). Metode Kultur Jaringan Tanaman (diterjemahkan oleh Widianto, M. B.). ITB, Bandung pp. 168-173.
Manuhara, Y.S.W. 1995. Pengaruh Manipulasi Media terhadap Kandungan Alkaloid
Vinkristin Kalus Daun Catharanthus roseus (L.) G. Don. Berkala Penelitian Hayati 1:1-7.
Marfori, E.C. and A.A. Alejar. 1993. Alkaloid Yield Variation in Callus Cultures
Derived from Different Plant Parts of White and Rosy-Purple Periwinkle (Catharanthus roseus (L.) G. Don.). Phillipine J. Biotechnol. 4:1-8 .
Moreno, P.R.H., R. van der Heidjen, R. Verpoorte. 1996. Cell and Tissue Culture of
Catharanthus roseus: a Literature Survey II Updating from 1988-1993. Plant Cell Tissue Organ Cult. 42(1): 1-25.
Mulyaningsih, S. dan E. Darmawan. 2006. Efek Anti Artritis Pisang Ambon (Musa
paradisiaca var. sapientum L.) dan Lidah Buaya (Aloe vera L.) terhadap Adjuvant-Induced Arthritic pada Tikus. Biodiversitas 7(3): 273-277.
Novak, F.J., R. Afza, M. Van Duren, M. Pera-Dallos, B.V. Conger, T. Xiolang. 1988.
Somatic Embryogenesis and Plant Regeneration in Suspension Culture of Dessert (AA and AAA) and Cooking (ABB) Bananas (Musa spp.). Biotechnology 7: 154-159.
Oakeley, H. 2007. Notes from the College Garden, July 2007.
www.rcplondon.ac.uk/garden/2007-07/Catharanthus-roseus.jpg [5 Mei 2008] Park, S.U and P.J. Facchini. 2001. Somatic Embryogenesis from Embryogenic Cell
Cultures from California Poppy, Eschscholzia californica Cham.. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 37: 35-39.
Pandiangan, D. 2006. Respon Pertumbuhan Kalus Catharanthus roseus yang Diberi
Perlakuan Triptofan. Biotika 5(2): 48-56. Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman Melalui Embriogenesis Somatik dan
Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Buletin AgroBio 5(2): 51-58.
54
Radji, M. 2005. Peranan Mikrobiologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3): 113-126.
Roytrakul, S. and R. Verportee. 2004. Role of Vacuolar Transporter Proteins in Secondary Metabolism Catharanthus roseus Cell Culture. In Roytrakul, S. Transport of Alkaloid and Its Precursors Through the Vacuolar Membrane of Catharanthus roseus. Leiden University, Leiden. pp. 5-17.
Palupi, A.D., Solichatun, S.D. Marliana. 2004. Pengaruh Asam 2,4-Diklorofenoksi-
asetat (2,4-D) dan Benziladenin (BA) terhadap Kandungan Minyak Atsiri Kalus Daun Nilam (Pogostemon cablin Benth.). BioSMART 6(2): 99-103.
Pitoyo, A. 2002. Optimalisasi Produksi Alkaloid Indol Terpenoid pada Kultur Kalus
dan Suspensi Sel Catharanthus roseus (L.) G. Don. Skripsi. Jurusan Biologi, FMIPA UNS, Surakarta.
Punja, Z.K., M. Feeney, C. Schluter, T. Tautorus. 2004. Multiplication and
Germination of Somatic Embryo American Ginseng Derived From Suspension Cultures and Biochemical and Molecular Analysis of Plantlets. In Vitro Cell. Dev. Biol. 40: 329-338.
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 (diterjemahkan oleh
Lukman, D.R. dan Sumaryono). ITB Press, Bandung. Santoso, U. dan F. Nursandi. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Penerbit UMM,
Malang. Satdive, R.K., D.P. Fulzele, S. Eapen. 2003. Studies on Production of Ajmalicine in
Shake Flasks in Hairy Roots Transformed with Ri Plasmid. VI International Congress of Plant Tissue and Cell Culture: Abstract Book: 250.
Shrikandhe, M., S.R. Thengane, A.S. Mascarenhas. 1993. Somatic Embryogenesis
and Plant Regeneration of Azadiractha indica A. Juss. In Vitro Cell. Dev. Biol.29: 38-42.
Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. Srilestari, R. 2005. Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah pada Berbagai Macam
Vitamin dan Sukrosa. Ilmu Pertanian 12 (1): 43-50.
55
Sriyanti, D.P. 2000. Pelestarian Tanaman Nilam (Pogostemon heyneasus Benth.) melalui Kultur Mikrostek. Biosmart 2(2): 19-22.
Sriyanti, D.P. dan A. Wijayanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius, Yogyakarta. Steeves, T.A. and I.M. Sussex. 1994. Patterns in Plant Development: 2nd Ed.
Cambrigde University Press, New York. Street, H.E. 1993. Plant Tissue and Cell Culture. University of California Press, Los
Angeles. Strum, A. 1999. Invertases: Primary Structure, Functions, and Roles in Plant
Development and Sucrose Postioning. Journal of Plant Physiology 121:1-8. Sudirga, S.K. 2002. Analisis Kandungan Senyawa Bioaktif Azadirachtin dalam
Kultur Suspensi Sel Tanaman Nimba (Azadiracta indica A. Juss). Jurnal Biologi 4(2): 60-63.
Suprianto. 2009. Catharanthus roseus. http://ekahasbi-
chemistry.blogspot.com/?zx=8f02d951808a8136 [19 Januari 2009]
Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara in Vitro. Kanisius, Yogyakarta. Suryowinoto, S.M. 1997. Flora Eksotika, Tanaman Hias Berbunga. Kanisius,
Yogyakarta. Suskendriyati, H., Solichatun, A.D. Setyawan. 2004. Pertumbuhan dan Produksi
Saponin Kultur Kalus Talinum paniculatum Gaertn. dengan Variasi Pemberian Sumber Karbon. BioSMART 6(1): 19-23.
Sutjahjo, S.H. 2006. Daya Regenerasi Galur Jagung pada Beberapa Macam Suplemen
dalam Media Kultur in Vitro. J. Agroland.13(1): 1-6. The Chemical Heritage Foundation. 2001. Sucrose.
www.chemheritage.org/Education/Services/FACES/glossary/sucrose.gif [5 Mei 2008]
Thomas, A.N.S. 1989. Tanaman Obat Tradisional. Kanisius, Yogyakarta. Tomaz, M.L., B.M.J. Mendes, F.M. Filho, C.G.B. Demeatrio, N. Jansakul, A.P.M.
Rodriguez. 2001. Somatic Embryogenesis in Citrus spp.: Carbohydrate Stimulation and Histodifferentiation. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 37:446-452.
56
Toonen, M.A.J. and S.C. de Vries. 1996. Initiation of Somatic Embryos from Single Cell. In T.L. Wang and A. Cuming (Eds). Embryogenesis: The Generation of a Plant. Information Press, Oxford. pp.172-189.
Trisnawati, N.N., A.C. Lawrie, I. Sumardi. 1999. The Developmental Pattern of
Callus and Somatic Embryo from Young Leaf of Garlic (Allium sativum L.). Biologi 2(7): 365-379.
Torres, K.C. 1989. Tissue Culture Techniques for Horticultural Crops. Van Nostrand
Reinhold, New York. van den Endel, W. and R. Vallumu.2009. Sucrose, Sucrosyl Oligosaccharides, and
Oxidative Stress: Scavenging or Salvaging? Journal of Experimental Botany 60(1): 9-18.
van Steenis, C.G.G.J. 1997. Flora untuk Sekolah di Indonesia. P.T. Prandnya
Paramita, Jakarta. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas
IPB, Bogor. Wattimena, G.A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, E. Syamsudin, N.A. Wiendi, A.
Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Wetherrel, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro (diterjemahkan
oleh Koensoemardiyah). IKIP Semarang Press, Semarang. Zhao, J. W.H. Zhu, Q. Hu, Y.Q. Guo, 2001. Compact Callus Cluster Suspension
Cultures of Catharanthus roseus with Enhanced Indole Alkaloid Biosynthesis. In Vitro Cell. Dev. Biol. 37: 68-72.
Zhang, B.H., R. Feng, F. Liu, Q. Wang. 2001. High Frequency Somatic
Embryogenesis and Plant Regeneration of an Elite Chinese Cotton Variety. Bot. Bull. Acad. Sin. 42: 9-16.
Zimmerman, J.L. 1993. Somatic Embryogenesis: A Model from Early Development
In Higher Plants. The Plant Cell 5: 1411-1423.
57
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi media MS (Murashige-Skoog) (Dodds dan Roberts, 1995)
No. Komposisi Konsentrasi (mg/l)
Makronutrien
1 NH4NO3 1.650
2 KNO3 1.900
3 CaCl2.2H2O 440
4 MgSO4.7H2O 370
5 KH2PO4 170
Mikronutrien
6 FeSO4.7H2O 27,8
7 Na2EDTA.2H2O 37,2
8 MnSO4.4H2O 22,3
9 ZnSO4.7H2O 8,6
10 H3BO3 6,2
11 KI 0,83
12 Na2MoO4.2H2O 0,25
13 CuSO4.5H2O 0,025
14 CoCl2.6H2O 0,025
Vitamin
15 Myoinositol 100
58
16 Nicotinic acid 0,5
17 Pyridoxin.HCl 0,5
18 Thiamine.HCl 0,1
Sumber Karbon
19 Sukrosa 30.000
Asam amino
20 Glisin 3
59
Lampiran 2. Uji Statistik ANAVA terhadap Berat Basah
ONEWAY berat_basah BY konsentrasi_sukrosa /STATISTICS HOMOGENEITY /PLOT MEANS /MISSING ANALYSIS
/POSTHOC=DUNCAN ALPHA(0.05). Oneway
Test of Homogeneity of Variances
rata-rata pertambahan berat basah
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.640 4 27 .193
ANOVA
rata-rata pertambahan berat basah
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .786 4 .197 1.313 .290
Within Groups 4.042 27 .150
Total 4.828 31
60
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets rata-rata pertambahan berat basah
Duncan
Subset for alpha
= 0.05
variasi
konsent
rasi
sukrosa N 1
0 5 .284500
30 5 .295000
10 5 .438500
20 5 .615000
40 5 .669500
Sig. .129
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Means Plots
61
Lampiran 2. Uji Statistik ANAVA terhadap berat kering ONEWAY berat_kering BY konsentrasi_sukrosa /STATISTICS HOMOGENEITY /PLOT MEANS /MISSING ANALYSIS
/POSTHOC=DUNCAN ALPHA(0.05).
Test of Homogeneity of Variances
rata-rata berat kering
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.913 4 20 .148
ANOVA
rata-rata berat kering
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .002 4 .000 6.221 .002
Within Groups .002 20 .000
Total .004 24
62
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
rata-rata berat kering
Duncan
Subset for alpha = 0.05 variasi
konsent
rasi
sukrosa N 1 2 3
0 5 .014640
10 5 .016600
20 5 .023800 .023800
30 5 .033120 .033120
40 5 .037200
Sig. .138 .113 .477
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Means Plots
63
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama : David Cahyo Herwinaldo Tempat & Tanggal Lahir : Surakarta, 6 April 1986 Agama : Katholik Alamat rumah : Jl. Bawean No. 11 Timuran, Surakarta 57131 Nomor telepon : 0271- 652336 (rumah) 087836428250 (mobilephone) e-mail : [email protected] Riwayat Pendidikan Formal: 1992-1998 SD Negeri Bromantakan 56 Surakarta 1998-2001 SLTP PL Bintang Laut Surakarta 2001-2004 SMU Negeri 1 Surakarta 2004 - 2010 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Non Formal:
2008 Kursus Komputer MS Office Alfabank, Surakarta
Pengalaman Organisasi
2004-2006 Staf Departemen Pendidikan dan Keilmiahan HIMABIO FMIPA UNS
2006-2007 Ketua KMK FMIPA UNS
2007-2008 Ketua Kelompok Studi Bioteknologi Juruasn Biologi FMIPA UNS
Pengalaman Kerja
64
2007-2009 Asisten Praktikum Struktur Perkembangan Tumbuhan I dan II
2007-2008 Asisten Praktikum Biologi Umum
2007 Asisten Praktikum Fisiologi Tumbuhan, Kultur Jaringan Tumbuhan, Taksonomi Tumbuhan, dan Ekologi
2007 Tentor Biologi Delta Private
2008 Tentor SD Renata Private
Beasiswa yang Pernah Diperoleh
2005-2007 Beasiswa BBM (selama dua periode)
65