pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek...

93
PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR) PERKAWINAN DI MASYARAKAT BUTON Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Razak NIM. 1111044100011 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2018 M/ 1439 H

Upload: dangkhuong

Post on 16-May-2019

243 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

PERKAWINAN DI MASYARAKAT BUTON

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Razak

NIM. 1111044100011

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2018 M/ 1439 H

Page 2: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 3: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 4: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 5: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

v

ABSTRAK

RAZAK. NIM 1111044100011. PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP

PRAKTEK BOKA (MAHAR) PERKAWINAN DI MASYARAKAT BUTON. Kosentrasi

Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. ix +78 halaman + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana takaran nilai boka atau papolo

masyarakat adat Buton yang mempunyai stratifikasi sosial tinggi dan ingin malaksanakan

upacara perkawinan. Masyarakat yang strata sosialnya tinggi maka nilai boka atau papolo nya

akan tinggi juga, bahwasanya keturunan kaomu harus menikahi kaomu, keturunan walaka

menikahi walaka. Oleh karena itu, Praktek mahar perkawinan di masyarakat Buton tergantung

bagaimana stratifikasi sosial pada masyarakat Buton. Pada penelitian ini penulis melakukan

penelitian langsung turun ke lapangan melakukan wawancara terhadap para toko adat Buton dan

juga sumber pustaka sebagai tumpuan utamanya, ini digunakan agar dapat melakukan efesiensi

dalam penelitian dan memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang diperlukan.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian yang langsung

turun ke lapangan (field research) melakukan wawancara terhadap para tokoh adat Buton dan

juga sumber pustaka sebagai tumpuan utamanya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah praktek boka di masyarakat

Buton dari dulu sampai sekarang masih tetap berlaku dan dilestarikan oleh masyarakat setempat.

Toko adat dan masyarakat Buton masih memberlakukan adat boka jika melaksanakan upacara

perkawinan. Nilai atau nominal boka masih tetap sama nilainya dari zaman dulu sampai sekarang

ini yang berubah itu adalah nilai tukarnya karena alat-alat perlengkapan perkawinan dulu dan

sekarang sangatlah berbedah. Oleh karena itu, kedua bela pihak mempelai laki-laki dan

perempuan bisa melakukan negosiasi.

Kata Kunci : Boka, Papolo, Stratifikasi, Kaomu, Walaka, Negosiasi

Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA

Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d Tahun 2015

Page 6: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji dan syukur penulis

panjatkan kepada Allah Suhanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dan juga telah memberikan petunjuk

dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat pertolongan-Nya dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi

Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.

Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh

setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju

gerbang masa depan yang cerah. Maka dari itu penulis mencoba untuk

menyelesaikan suatu karya tulis ilmiah yang merupakan salah satu syarat demi

menggapai masa depan tersebut yaitu dengan cara menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun oleh penulis untuk memenuhi persyaratan dalam meraih

gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Namun penulis sadar dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan

didalamnya, akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini bisa banyak

bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi orang banyak.

Dalam penyusunan skripsi ini, perlu diketahui penulis tidak akan dapat

menyelesaikannya jika tanpa dukungan, bantuan dan saran dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dengan tulus kepada

yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan

Bapak Indra Rahmatullah S.H.I, M.H., Sekretaris Program Studi Hukum

Keluarga (Al- Ahwal Al- Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

vii

3. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dosen Pembimbing Akademik sekaligus

Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan

arahannya yang juga tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan

memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga beliau senantiasa

diberikan kesehatan oleh Allah swt.

4. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis dan

membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi

ini, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.

5. Bapak Faza, Ibu Siti Sholehah, S.Ag, dan Ibu Yanti, terima kasih atas

bantuan administrasi pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.

6. Seluruh staff dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Para toko adat Buton yaitu bapak Al-Mujazi Mulku Zahari dan bapak La

Jaati yang telah memberikan informasi dan data

8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan

dalam mengumpulkan referensi kepada penulis.

9. Yang tercinta dan selalu penulis cintai dan sayangi sepanjang hayat,

ayahanda La Arabu dan ibunda Hamzia orang tua penulis, nenek tercinta,

(Alm.) kakek tercinta, kakak tercinta Rina, Rini dan Darlin, ibu Salmira

dan bapak Aezu La Heda yang saya sudah anggap sebagai orang tua

senidiri, calon teman hidupku Nining Paramita Heda, terima kasih tak

terhingga atas do’a, semangat, kasih sayang, pengorbanan dan ketulusan

dalam mendampingi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga kalian selalu

diberi kesehatan dan semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt.

10. Teman-teman keluarga Besar prodi Peradilan Agama angkatan 2011 kelas

A dan B yang menjadi teman seperjuangan. Khusus kepada Fauzan

Hakim, Muhammad Rizki Romdan, Edi Sudrajat, Muhammad Taufiq

Rahman, Samsul Bahri, Ibnu Iqbal, Raza Nur Fikri, Ma’mun Siraj,

Muhammad Nazir, serta teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan

Page 8: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

viii

semua namanya satu persatu. Terima kasih atas kebersamaannya,

motivasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian

semuanya.

11. Kepada La Ode Chusnul Khuluk, Harsin Hamid, Muhammad Awaluddin

dan sahabat seperjuanganku Yudhi asfar Fahruddin terimah kasih tak

terhinggah yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi sejak

pertama datang di Jakarta sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

12. Untuk keluarga besar Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Buton

(HIPPMIB-Bersatu Jakarta) sangat banyak mengucapkan terimah kasih.

13. Seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi, yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah

swt. Hanya untaian kata terimakasih serta do’a yang dapat penulis berikan.

Semoga semua pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, serta

arahannya kepada penulis senantiasa diberi kesehatan dan dalam

lindungan Allah swt, diridhoi setiap langkah kehidupannya serta

mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat kelak.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan

dukungannya, hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah

swt dengan balasan yang berlipat ganda. Penulispun berharap agar skripsi

ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca

pada umumnya.

Tangerang, 06 Juli 2018

Penulis

Page 9: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

ix

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv

ABSTRAK ............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 6

E. Kerangka Teori ......................................................................... 7

F. Tinjauan Studi Terdahulu .......................................................... 9

G. Metode Penelitian .....................................................................

H. Sistematika Penulisan ………………………………………...

10

14

BAB II : KONSEP MAHAR DALAM ISLAM ........................................ 16

A. Pengertian Mahar …………………………………………….. 16

B. Mahar Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat …… 19

Page 10: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

x

C. Pengertian Stratifikasi ............................................................... 27

BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON ................... 32

A. Wilayah Geografis Buton ......................................................... 32

B. Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka ..................................... 39

C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton .............................. 44

BAB IV : MAHAR DAN STATUS SOSIAL DI BUTON ......................... 48

A. Praktek Boka dalam Perkawinan Adat Buton .......................... 48

B. Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Penentuan Jumlah

Kadar Boka di Buton ..................................................................... 57

C. Pandangan Penulis tentang Praktek Mahar Dalam Perkawinan

Masyarakat Buton ...................................................... 62

BAB V : PENUTUP .................................................................................... 65

A. Kesimpulan ............................................................................... 65

B. Saran ......................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67

Page 11: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan negara yang meiliki banyak keberagaman.

Baik itu suku, budaya, agama dan adat istiadat. Oleh karena itu, Indonesia

terlahir dan terikat oleh norma dan agama sehinggah setiap orang memiliki

kebebasan untuk menganut dan mempercayai segala ketentuan norma dan

agama. Dengan demikian, norma itu mulai masuk ke dalam lapisan

masyarakat. Umat muslim, diatur perilakunya oleh hukum-hukum yang ada

pada agama Islam. Baik itu yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia,

maupun hubungan manusian dengan Tuhan. Dilihat dari segi fungsi hukum

Islam, masyarakat Muslim menjani kehidupannya dengan melakukan interaksi

sosial antar sesama.1 Adanya norma, membuat masyarakat mempunyai aturan

yang harus dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari sehinggah norma merupakan

bukti nyata yang melekat kuat pada masyarakat.2

Penegakan syariat Islam, Dilihat dari segi fungsi sangatlah bagus dan

memberikan kesan yang baik dalam membangun masyarakat yang beradab,

peduli dan sadar akan hukum. Namun, Islam hadir ditengah masyarakat yang

sebelumnya sudah memiliki tradisi. Disamping itu, ada agama lain yang

tumbuh dan memiliki hak yang sama di depan hukum sehinggah saat

menjalankan syariat Islam dibutuhkan toleransi antar sesama umat beragama

agar terhindar dari segala pertikaian. Indonesia bukanlah negara agama

melainkan negara yang beragama dan berdasarkan terhadap ideologi dan

memiliki semangat kebangsaan, yang mayoritas rakyatnya penganut agama

Islam. Penerapan syariat Islam harus memiliki semangat dan jiwa “Islam

rahmatan li al-aalamin”. Dalam penataan sistem hukum sebisa mungkin tidak

1 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional,

(Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h., 11. 2 Hans Kelsen, Dasar-Dasar hukum Normatif, Penerjemah Nurlita Yusron, (Bandung:

Nusa Media, 2009), Cet. II, h., 214.

Page 12: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

2

bertabrakan dengan sifat masyarakat yang memiliki banyak perbedaan agar

tidak bersifat kontra sehinggah menghasilkan sistem hukum yang disetujui.3

Perkawinan menurut ajaran Islam terdapat beberapa hal yang harus

dipenuhi diantaranya kewajiban memberikan mahar oleh suami kepada istri

(QS. An-Nisa‟ (4): 3). Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian itu ialah

maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak.

Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas pada dasarnya.

Berdasarkan ayat itu dapat kita pahami bahwa mahar adalah sesuatu yang

diberikan oleh pihak suami kepada istri untuk dimiliki sebagai penghalal

hubungan mereka.

Mengenai perkawinan, memang banyak adat yang mengatur disetiap

daerah. Baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak

dapat kita pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di

daerah tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang

mengikuti berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang

teguh kepada hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan

tersebut. Karena hukum adat efektif apabila mempunyai basis sosial yang

relative kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat

secara sukarela.4

Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari

masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dengan suku

bangsa yang lain, antara yang bergama islam berbeda dari yang beragama

Kristen, Hinndu, dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari

masyarakat kota. Dikarenakan perbedaan tata tertib adat maka seringkali dalam

menyelesaikan perkawinan antar adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadang-

kadang tidak tercapai kesepakatan antar kedua pihak dan menimbulkan

ketegangan.5

3 Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar pada buku Yayan Sopyan, Islam Negara:

Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, h., 12. 4 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.,

34. 5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakri, 1990),

h., 12.

Page 13: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

3

Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat

melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh

masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap

masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam

melakukan pelamaran atau peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan,

namun perbedaan-perbedaannya hanyalah (kira-kira) terdapat pada alat atau

sarana pendukung proses peminangan tersebut.6

Mahar selalu memainkan fungsi dan perannya yang sangat penting

terutama berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dan juga ekonomi. Ada

banyak istilah tentang mahar misalnya mahr (Arab) ke dalam pakem lokal

seperti dower dan dowry (Inggris), jujuran (Banjar), sompa, dui‟ menre atau

dui balanca (Bugis), uang panaik (Makassar), mahar, pisuka dan ajikrama

(sasak), serta maskawin (Jawa), menunjukkan bahwa mahar sangat banyak

pemaknaannya. Pada kalangan tertentu, mahar menunjukkan kelas sosial

seseorang. Zaman dulu dan sekarang, di masyarakat Jawa mahar selalu

ditunjukkan ke publik dan sosial.7

Mahar adalah syarat pernikahan. Dalam sejarah hukum Islam, jenis dan

jumlah mahar tidak pernah ditentukan jumlahnya. Mahar berfungsi sebagai alat

yang selalu digunakan praktek pernikahan. Praktek mahar mendapat banyak

sorotan dari banyak masyarakat sebagai bentuk keberpihakan terhadap

perempuan, ekonomis atau makna moralnya.8

Di dalam perkawinan mahar merupakan suatu bagian yang penting dari

perkawinan seorang Muslim. Mahar diberikan oleh pengantin laki-laki kepada

pengantin perempuan dan khusus menjadi harta milik perempuan tersebut.

Dengan demikian, derajat kaum wanita terangkat dan juga merupakan suatu

tanda penghormatan kepadanya.9

6 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberti, 2007), h., 107.

7 Geertz, The Javance Family, Sebuah Studi tentang Kekerabatan dan Sosialisasi, (New

York: The Free of Glencoe, 1961), h., 45. 8 Noryamin Aini, Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur

Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia. Ahkam jurnal Ilmu Syariah, h., 14. 9Abd. Rahman, Perkawinan Syariat Islam. PT. Rineka Cipta, Jakarta, h., 63.

Page 14: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

4

Praktek mahar erat kaitannya dengan kelas atau status sosial seseorang

(baik pengantin laki-laki atau perempuan). Dalam hal ini tradisi mahar dalam

wujud uang identik dengan kultur masyarakat kelas bawah. Mereka umumnya

menekuni pekerjaan tradisional, sebagai petani, pelaut, nelayan, buruh, pekerja

domestik, sopir, masinis, mandor, tukang ojek, tukang becak, penjahit, tukang

cukur, karyawan rendahan, tenaga keamanan dan kebersihan, pesuruh kantor,

pelayan warung/toko, tukang kebun, penjual makanan keliling, kondektur dan

kenek.

Pola praktek mahar uang secara teoritis dapat dipahami dari perspektif

ekonomi. Kecenderungan masyarakat kelas bawah untuk memilih uang sebagai

mahar harus dipahami dengan logika praktis pemenuhan kebutuhan dasar.

Kehidupan kelas bawah relatif sederhana dan masih terbatas pada pemenuhan

kebutuhan dasar. Dalam konteks ini uang menjadi media yang sangat praktis

untuk segala kebutuhan. Harapan masyarakat kelas bawah umumnya masih

relatif sederhana yang tergambar dari trdisi praktek mahar. Dengan dinamika

hidup dan kebutuhan yang serba nyata dan sederhana, setiap sesuatu, termasuk

mahar, akan lebih dimaknai eksposisif, praktis dan apa adanya, tanpa

pemaknaan simbolik ideologis yang lebih bernuansa gaya hidup glamour.

Dalam hukum Islam mahar dapat diistilahkan dengan maskawin,

sedangkan dalam hukum adat Buton mahar dapat diistilahkan dengan Boka

atau Papolo. Boka adalah suatu standar nilai yang umum yang digunakan oleh

masyarakat Buton, sedangkan papolo adalah bagian dari boka tersebut. Jadi

tidak ada perbedaan antara boka dan papolo yaitu sama-sama mempunyai arti

yang sama yaitu mahar. Yang wajib menurut Agama dalam perkawinan adat

Buton disebut juga dengan maskawin, sedangkan yang wajib menurut adat

dalam perkawinan adat Buton yaitu Boka atau Papolo.

Boka atau Papolo tersebut dapat digunakan dalam upacara-upacara

perkawinan dan kematian. Dalam perkawinan adat buton, Boka (mahar)

digunakan sebagai acuan untuk menentukan jumlah biaya yang akan

dikeluarkan untuk serangkaian upacara-upacara adat perkawinan. Karena

masyarakat Buton mengandung sistem patrilinear maka pihak laki-laki yang

Page 15: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

5

akan meminang perempuan harus menyiapkan boka (mahar). Besaran mahar

tersebut sesuai dengan derajat keluarga pihak perempuan. Semakin tinggi

status sosial calon mempelai perempuan, maka nilai mahar yang harus dibayar

juga semakin tinggi. Begitupula jika perempuan itu memiliki pendidikan yang

tinggi, maka semakin tinggi pula boka yang harus dikeluarkan. Namun seiring

berkembangnya zaman, praktek tradisi boka mengalami reduksi. Pada saat ini

prinsip-prinsip yang dipegang dalam praktek tradisi boka mengalami dinamika

perubahan. Sebagian masyarakat Buton enggan menggunakan ukuran boka

yang telah ditentukan pemuka adat dalam rangkaian proses perkawinan. Soal

kerumitan dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan memunkinkan mereka

untuk lebih memilih bernegosiasi langsung dengan pihak mempelai.10

Berangkat dari uraian di atas, maka penulis ingin meneliti dan mengkaji

lebih lanjut persoalan tersebut, dengan kajian ini dapat menambah wawasan

terkait dengan persoalan yang dimaksud. Adapun tema penulisan skiripsi ini

adalah “Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Praktek Boka (Mahar)

Perkawinan di Masyarakat Buton”

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian di atas penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana praktek boka (mahar) terhadap masyarakat Muslim

Buton?

2. Bagaimanakah boka dijadikan sebagai acuan untuk menentukan

jumlah biaya dalam perkawinan masyarakat Buton?

3. Apakah pengaruh status atau derajat perempuan dapat

mempengaruhi jumlah boka?

4. Bagaimana pengaruh dinamika perubahan sosial praktek boka yang

telah ditentukan secara adat?

5. Apakah penetapan mahar jumlah boka itu harus melalui rapat

keluarga?

10

Proyek Penelitian dan Pencacatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan

Kebudyaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara, h., 105.

Page 16: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

6

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, Pembahasan skiripsi ini akan dibatasi pada

penerapan boka dalam perkawinan di masyarakat Buton yang akan

ditinjau baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum adat di Buton

dengan menggunakan analisis deskriptif:

a. Praktek mahar di masyarakat Muslim Buton

b. Perubahan sosial berpengaruh dalam penentuan praktek boka

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dan untuk memudahkan

penulis melakukan kajian lebih mendalam, maka penulis merumuskan

beberapa masalah yaitu:

a. Bagaimana cara menentukan jumlah atau jenis mahar di masyarakat

muslim Buton?

b. Apakah stratifikasi sosial berpengaruh dalam penentuan jumlah

praktek boka?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahuibagaimana praktek mahar di masyarakat muslim

Buton

b. Untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial berpengaruh dalam

penentuan jumlah kadar boka

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara Teoritis

Secara teoritis tujuan penelitian ini adalah untuk menambah

wawasan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum keluarga

mengenai pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar

perkawinan di masyarakat Buton.

b. Secara praktis

Page 17: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

7

Secara praktis, tujuan penelitian ini adalah untuk memperluas

pengetahuan penulis khususnya, dan umumnya bagi semua orang yang

ingin membaca skiripsi ini yaitu pengaruh stratifikasi sosial terhadap

praktek mahar perkawinan di masyarakat Buton, serta untuk

memenuhi syarat akademis dalam rangka memperoleh gelar sarjana di

Fakultas Syariah dan Hukum.

E. Kerangka Teori

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,

melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada

Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk

itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang

menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera

(mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.11

Dalam akad nikah tersebut disebutkan nilai, rupa, atau jumlah mahar yang

akan diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan.

Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian wajib

berupa uang atau barang dan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai

perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.12

Menurut Peunoh Daly mahar

adalah hak istri yang di terimah dari suaminya, pihak suami memberikannya

dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai pernyataan kasih sayang

dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya. Mahar bukanlah

imbalan daripada budkhul (menggauli) istri karena kenikmatan dan

kesenangan bergaul itu dirasakan oleh kedua belah pihak.13

Dasar diwajibkan memberikan mahar terkandung dalam QS. An-Nisa‟ (4): ا آر

سئب ئب فسب فني ء ش ع ىن طج حيخ فب اىسبء صدقبر

Artinya: Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi)

sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan

11

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

(Jakarta, Kencana, 2004), h., 206. 12

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai

Pustaka, 2005) h., 696. 13

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Stadi Perbandingan Dalam Kalangan

Ahklus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2005), h., 219.

Page 18: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

8

kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah

pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

4 dan QS. An-Nisa‟ (4) 24,

ن عي مزبة اىي بن ينذ أ ب اىسبء اىب حصبد اى زاء ذىن ب أحو ىن

أجز فآر ث زعز ب اسز ف سبفح س غ حص اىن رجزغا ثؤ أ

ثعد اىفسعخ ث ز ب رساظ ف ن ىب جبح عي ب فسعخ ب حن عي مب اىي ا

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,

kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum

itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain

yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini

bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)

di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),

sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap

sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar

itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

dan aturan mengenai tatacara pemberiannya tertuang dalam QS. Al-

Baqarah

(2): 237, ى ز سظ د ف ق س ر و أ ج ق ز ق ي ط ا

بح ن ح اى د ق ع د ث ر اى ف ع أ ف ع ب أ ى ا ز سظ ب ف صف خ ف ع س ف

ي ع ب ر ث ىي ا ا ن عو ث ف ا اى س ب ر ى ق ز ي ة ى س ق ا أ ف ع ر أ

س ص ثArtinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur

dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan

maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan

itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang

yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada

takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

dan QS. Al-Baqarah (2): 236,

ظا ى س ف ر أ س ر ب ى بء س اى ز ق ي ط ا ن ي بح ع ب ج ى

ب بع ز ز د س ق ز ق اى ي ع ز د ع ق س اى ي ع ع ز خ ع س ف

س ح اى ي ب ع ق ف ح س ع بى ث Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu

menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka

dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan

Page 19: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

9

suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut

kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),

yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan

ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Yang mengindikasikan tidak ada batasan maksimal dalam memberikan

mahar, meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menentukan

batasan minimal mahar. Namun dalam salah satu hadisth yang diriwayatkan

Ahmad

ئ سس اىنبح ثسمخ ا اعظ ه اهلل ص قبه: ا زس عبئشخ زض ا خع

Dari „Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Nikah

yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya”. [HR.

Ahmad]

Dalam prosesi pernikahan adat istiadat Buton, mahar dikenal dengan

istilah boka. Boka sama halnya dengan mahar yang pada umumnya dimaksud,

disebutkan dalam akad nikah, namun dalam ketentuan adat istiadat Buton,

nilai dan jumlahnya harus disesuaikan berdasarkan strata sosial yang dimiliki

oleh pihak mempelai perempuan. Perlu diketahui juga, bahwasanya boka tidak

hanya digunakan dalam upacara pernikahan semata, akan tetapi juga

digunakan dalam upacara kematian.

F. Tinjauan Studi Terdahulu

Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik

yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupuan

perpustakaan fakultas syariah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti

lainnya. Namun terdapat beberapa tulisan yang memiliki hubungan dengan

penelitian ini yaitu:

1. Konsep Mahar Menurut Empat Mazhab oleh Eva Fatimah pada Tahun

2004. (Universistas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas

Syariah dan Hukum. Skripsi ini membahas tentang mahar menurut

imam mazhab empat dalam hal syarat-syarat mahar, diwajibkannya

mahar, macam-macam mahar, dan hikmah pemberian mahar.

Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis susun adalah

skripsi tersebut lebih menekankan pada kajian mahar menurut empat

Page 20: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

10

mazhab sedangkan pembahasan yang disusun oleh penulis mengenai

pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar perkawinan di

masyarakat Buton.

2. Konsep Mahar dalam Counter Legal Draft (CLD) Hukum Islam oleh

Azhar Anas pada Tahun 2011. (Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum. Skripsi ini

membahas tentang konsep mahar dalam counter legal draft yang berisi

tentang syarat-syarat mahar, bentuk mahar, dan kadar mahar.

Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis susun lebih

menekankan pada pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar

perkawinan di masyarakat Buton sedangkan skripsi tersebut lebih

menekankan konsep mahar dalam counter legal draft (LCD) hukum

islam.

3. Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur

Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia oleh Noryamin Aini pada

Tahun 2014. (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

Fakultas Syariah dan Hukum). Membahas tentang Tradisi Mahar di

Ranah Lokalitas Umat Islam yang berisi tentang mahar dan status

sosial, dan tren praktek mahar di masyarakat muslim indonesia.

Perbedaan dengan jurnal yang ditulis oleh Noryamin Aini tersebut

adalah beliau membahas tradisi mahar di ranah lokalitas umat Islam di

masyarakat muslim Indonesia sedangkan skripsi ini lebih fokus kepada

pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar di masyarakat

Buton.

G. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu

metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang

dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat.

Terdapat beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain:

Page 21: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

11

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini diketegorikan sebagai penelitian lapangan (field

research) yang sumber datanya terutama diambil dari obyek penelitian

(masyarakat dan tokoh adat) secara langsung di daerah penelitian.14

Penelitian ini merupakan penelitian etnografi. tentu saja sebagai suatu

rancangan penelitian, metode etnografi dengan sendirinya

menyediakan perangkat-perangkat yang memungkinkan proses

penelitian berlangsung secara lebih baik. Terdapat dua kelompok

dalam memandang etnografi yaitu etnografi sebagai paradigma

filosofis dan etnografi sebagai sebuah metode dalam penelitian.

Namun ada yang menganggap etnografi sebagai keduanya, Artinya di

satu sisi sebagai paradigma filosofis, sedangkan dilain sisi merupakan

rancangan penelitian yang hendak dilakukan.15

Terdapat dua jenis penelitian etnografi, yaitu Tradisional

Ethnography dan Problem-Oriented Ethnography. Tradisional

Ethnography mencoba untuk memberikan gambaran lengkap untuk

seluruh budaya berdasarkan pengalaman dari para etnografer yang

hidup ditengah-tengah masyarakat paling tidak selama satu tahun. Di

masa lampau inilah tujuan utama dari etnografi, pada masa kini,

banyak etnografer menggunakan pendekatan melalui masalah-masalah

yang berorientasi (issue-oriented approach) ke lapangan, yang

berkonsentrasi pada satu aspek dari sebuah budaya16

. Dan penelitian

etnografi ini termasuk kedalam jenis problem-oriented ethnography.

Jadi dapat dikatakan bahwa etnografi adalah suatu kebudayaan

yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu

bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi,

dan sebagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali

14

Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2009), h., 28. 15

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h., 59. 16

Robert Edward Leinkeit, Perkenalan Antropologi Budaya, (New York: The Mc Graw-

Hill Campanies, 2004), Lampiran A, h., 2.

Page 22: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

12

bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik

mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah

mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi berikut

yaitu pengetahuan dari semua kebudayaan itu sangat tinggi nilainya.17

2. Metode Pendekatan

Saat ini banyak para etnografer mengambil sebuah pendekatan

yang disebut etnografi reflektif. Kategori yang luas ini mengacu pada

bagian-bagian yang mencakup perspektif pribadi dan reaksi dari

peneliti di lapangan ketika sedang tenggelam dalam hiruk pikuk situasi

di lapangan. Data sering disajikan seolah-olah seperti sebuah dialog

yang terjadi antara satu atau lebih informan dari masyarakat asli

dengan etnografer tersebut, sehinggah lebih menyerupai penulisan

sastra daripada sebuah deskripsi ilmiah. Biasanya etnografi tidak

memasukan data pembanding atau kuatifikasi data. Etnografi

merupakan cerminan dari pandangan humanistik dan posmedernis.18

Etnografer lainnya masih mencampurkan beberapa pendekatan,

etnografer ini menujukkan komitmennya pada metode ilmiah, dengan

penekanan pada pengamatan yang objektif, metode komparatif, dan

kuantifikasi data. Di saat yang sama para etnografer memasukan

beberapa elemen refleksif, seperti komentar mengenai perasaan

mereka pada saat pengumpulan data, serta sudut pandang dan pendapat

dari penduduk asli.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga

menggunakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologis lebih

diarahkan pada penelusuran pola-pola yang dicita-citakan dalam

masyarakat. Antropologi lebih memusatkan pada usaha-usaha untuk

merekonstruksikan kebudayaan-kebudayaan didalam suatu

keseluruhan atau kebulatan. Pendekatan antropologis akan

menghasilkan pola-pola yang ideal dari hukum, yang didasarkan pada

17

James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth.

(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12. 18

Robert Edward Leinkeit, Perkenalan Antropologi Budaya, h., 54.

Page 23: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

13

aspirasi-aspirasi para warga masyarakat. Bedanya dengan pendekatan

filosofis adalah bahwa antropologi memperoleh hasil-hasilnya dari

kontak langsung dengan masyarakat (melalui penelitian di lapangan).19

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian

deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan

karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan

mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.20

4. Lokasi Penelitian

Lokasi ini dilaksanakan pada satu kabupaten yang berada di

Propinsi Sulawesi Tenggara yaitu kabupaten Buton.Kabupaten ini

dipilih karena merupakan pusat Kerajaan Keraton Buton.Dimana adat

dan tradisi budayanya masih kental mengikuti orang-orang terdahulu

dengan aturan keraton tersebut.Apalagi dalam tradisi pernikahan.

Adapun lokasi penelitian yang akan penulis fokuskan untuk melakukan

penelitian adalah di wilayah Keraton, Tolandona dan Lipu.

5. Kriteria dan Sumber Data

a) Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara

lansung dengan tokoh adat Buton, dan masyarakat setempat.

Termasuk keberadaan penulis yang juga berasal dari

masyarakat atau suku Buton yang berdomisili di daerah

tersebut.

b) Data sekunder, dalam penelitian ini data yang digunakan

penulis adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada

waktu penelitian dimulai data telah tersedia.21

Selain itu data

yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang

didapatkan selain data primer. Data ini juga dikumpulkan

19

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarat: CV.

Rajawali, 1981), h., 397-398. 20

Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, h., 20. 21

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2007), h., 37.

Page 24: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

14

melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya buku-buku

fikih, dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan

dengan tema ini.

6. Metode Pengumpulan Data

Dalam upaya pengumpulan data untuk memahami realitas yang

ada serta untuk lebih memfokuskan penelitin ini, penulis menggunakan

beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan data yang

maksimal:

a) Wawancara: yaitu dalam penelitian ini penulis menggunakan

wawancara tertutup dan terbuka kepaada pelaku, tokoh adat,

dan sebagian anggota masyarakat.

b) Dokumen: dalam penelitian ini penulis mengumpulkan

sejumlah besar informasi atau data tersimpan dalam bahan

yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data dapat

berbentuk surat-surat, catatan harian, data tersimpan di website,

dan lain sebagainya.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skiripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman

Penulisan Skiripsi yang diterbitkan oleh pusat peningkatan jaminan Mutu

(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 201222

.

Agar pembahasan skiripsi ini lebih sistematis maka dari itu, di susun menjadi

lima bagian yang akan dipaparkan sebagai berikut:

BAB 1: Merupakan bab dari skiripsi ini. Dalam pendahuluan ini penulis

menguraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerngka teori,

tinjauan studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan

skiripsi.

22

Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, Pedoman Penulisan Skripsi.

Page 25: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

15

BAB II: Dalam bab ini penulis akan membahas tentang pengertian dan

perspektif tentang mahar, mahar dalam perspektif adat, hukum islam, dan

istilah stratifikasi sosial

BAB III: Dalam bab ini penulis membahas tentang gambaran umum

tentang wilayah geografis buton, istilah kekerabatan dan sistem

perkawinan, agama dan sistem wilayah budaya buton.

BAB IV: Dalam bab ini penulis akan menganalisis praktek boka dalam

perkawinan, pengaruh stratifikasi sosial terhadap penentuan jumlah kadar

boka di Buton, pandangan penulis tentang praktek mahar dalam

perkawinan di masyarakat Buton

BAB V: Adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

Page 26: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

16

BAB II

KONSEP MAHAR DALAM ISLAM

A. Pengertian Mahar

Secara bahasa mahar berasal dari bahasa Arab merupakan kata benda

yang berbentuk mashdar سأ -س -س (kata kerja) فعو yang berasal dari أس ,

sedangkan jika digunakan dalam sebuah kalmia tseperti س اىسأح (dia laki-laki

memberikan mahar kepada perempuan) atau ىب جعو artinya (membrinya سأ

mahar).23

Adapun اىس (jamak: ز) bermakna اىصداق yang berarti maskawin.24

Secara istilah, mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada

calon istri sebagai bentuk ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa

cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian

yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk

benda maupun jasa (memerdekakan. Mengajar dan sebagainya).25

Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian

wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai

perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.26

Mahar dapat di artikan juga yaitu pemberian dalam pernikahan atau

sejenisnya yang diberikan berdasarkan kesepakatan kedua mempelai atau

berdasarkan putusan hakim. Dalam bahasa Arab, mahar juga disebut shadaq.

Tampaknya, penamaan itu menunjukkan kesungguhan atau keseriusan (shidq)

seorang suami untuk menikah.27

Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau

barang berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih

sederhana. Hal ini tergambar dalam bentuk sabdanya dari Uqbah bin Amir

23

Ibrahim Madzkur, al-Mu‟jam al-Wasiih, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilidke 2, h., 889. 24

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progresif, 1997), h., 1363. 25

Abdurrahman Ghazali, fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 84. 26

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005), h., 696. 27

Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita 2, (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2007), h.,

174.

Page 27: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

17

yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan di sahkan oleh Hakim, dan Nabi

mengucapkan sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah

(perempuan agar tidak menuntut mahar yang tinggi kepada pihak laki-laki).

Mahar juga di tafsirkan dalam Undang-Undang keluarga Islam 1984

dengan definisi: “Pembayaran maskawin yang wajib dibayar di bawa hukum

syara‟ oleh suami kepada istri pada masa perkawinan dalam akad nikah, sama

halnya berupa uang yang sebenarnya di bayar atau diakui sebagai utang

dengan atau tanpa uang muka, atau berupa suatu yang menurut hukum syara‟

dan dinilai dengan uang”.

Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang (harta

kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berbentuk barang

atau harta, di syaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang

mempunyai nilai atau harga, halal dan suci. Sedangkan bila maharnya

berbentuk jasa atau manfaat, maka di syaratkan harus dalam arti yang baik.

Di samping itu mahar juga akan memperkokoh ikatan dan

menimbulkan kasih sayang dari istri kepada suaminya sebagai teman hidup

dan mengeratka hubungan kekeluargaan dan di mana hubungan keduanya itu

diridhoi oleh Allah yang Maha pencipta lagi Maha mengetahui atas segalanya.

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang

wanita dan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima

mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon

istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat

dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya,

meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridho dan kerelaan si istri.28

Menurut Peunoh Daly mahar adalah hak istri yang di terimah dari

suaminya; pihak suami memberikannya dengan sukarela tanpa mengharap

imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas

28

Abdurrahman Ghozali, Fiqih Munakat, (Jakarta: Kencana, 2008), h., 84.

Page 28: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

18

kesejahteraan keluargnya. Mahar bukanlah imbalan dari pada budhu‟

(menggauli) karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan oleh

kedua belah pihak.29

Mahar atau shadaqa dalam hukum perkawinan Islam merupakan

kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada

pengantin perempuan.30

Mahar adalah satu dari hak istri yang didasarkan atas

kitabullah, Sunnah Rasul, dan ijma‟ kaum muslimin.31

Mahar dalam bahasa

Indonesia dikenal atau disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar

menurut Abd.Shomad adalah:32

a. Pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau

pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib.

b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon istri dalam

rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambing

kecintaan calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon

istri untuk menjadi istrinya.

Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal

1 huruf d disebutkan; “Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon

mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak

bertentangan dengan hukum Islam.

Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib

diberikan seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai

seluruh anggota badannya.33

29

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan

Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h., 21. 30

SayutiThalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI

Press, 1986), h., 68. 31

Muhammad Jawad Mugniyyah, fiqih Lima mazhab. Penerjemah Maskur A.B. dkk.,

(Jakarta: Lantera, 1999), h., 364. 32

Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana Grup, 2010), h., 299. 33

Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh „alaMadzhibal-Arbah, Juz 4, h., 94.

Page 29: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

19

B. Mahar dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat

Mahar itu ditetapkan dalam al-qur‟an dan hadist Nabi dari definisi

mahar tersebut di atas jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar itu adalah

wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib

menyerahkan mahar terhadap istrinya itu dan berdosa suami yang tidak

menyerahkan mahar terhadap istrinya.

Dasar wajibnya menyerahkan. Dalil dalam ayat al-qur‟an adalah

firman Allah dalam surat an-Nisa‟ ayat 4 yang berbunyi:

سئب ئب فسب فني ء ش ع ىن طج حيخ فب آرا اىسبء صدقبر

Artinya: Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi)

sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan

kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah

pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Penjelasan tentang mahar juga diuraikan dalam hadist yang berasal

dari Sahal bin Sa‟ad al-Sa‟idi dalam suatu kisah panjang dalam bentuk hadist

muttafaq alaih:

سعد ع سو ث ع اث اث حبش ب عجداىعصصث ب قزجخ حدث قبه حدث اىسعبعد

ت ىل فس جئذ ا فقيذ ب زسه اىي سي عي صي اىي جبءد اساح اى زسه اىي

ث ص ب سي فصعد اىظس ف عي صي اىي ب زسه اىي غءطب قبه فظس اى ث

ب شعب جيسذ ى قط ف ساح ا ب زاد اى في سي زاءس عي صي اىي زسه اىي

و ب فقبه ب حبجخفص ا ى ن ىل ث فقبه ب زسه اىي اصحبث زجو فقب

ت ع و رجد شعب فر ايل فبظس ت اى فقبه اذ بزسه اىي اىي شء قبه ال دك

حدد ب ىخبر سي اظس عي جدد شعب فقبه صي اىي ب اىي زجع فقبه ال ث

زج ت ث و فر را اشاز قبه س ىن حدد ب الخبر ب زسه اىي اىي ع فقبه ال

ن ب رصع ثئشازك ا ىجسز سي عي صي اىي فقبه زسه اىي ب صف زداحفي بى

ا ش ء ب عي شء فجيس اىجو حز اذا طبه جيس قب ن عيل ث ىجسز

عل ب جبء قبه بد فدع في سي ئىب فبس ث عي صي اىي زسه اىي فسا

سزحه مراع ع سزح مر ت اىقسا قبه ع ظس قبه ع قبه اذ ب فقبه رقسإ دد

اىقسا عل ب فقد ينزنب ث

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah

menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari

Sahl bin Sa'd bahwasanya, ada seorang wanita mendatangi Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk

menyerahkan diriku padamu." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

pun memandangi wanita dari atas hingga ke bawah lalu beliau menunduk. Dan

Page 30: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

20

ketika wanita itu melihat, bahwa beliau belum memberikan keputusan akan

dirinya, ia pun duduk. Tiba-tiba seorang laki-laki dari sahabat beliau berdiri

dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat dengannya, maka

nikahkanlah aku dengannya."

Lalu beliau pun bertanya: "Apakah kamu punya sesuatu (untuk

dijadikan sebagai mahar)?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai

Rasulullah." Kemudian beliau bersabda: "Kembalilah kepada keluargamu dan

lihatlah apakah ada sesuatu?" Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya

bersabda: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-

apa?" beliau bersabda: "Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin

besi." Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi

Allah wahai Rasulullah, meskipun cincin emas aku tak punya, tetapi yang ada

hanyalah kainku ini."

Sahal berkata, "Tidaklah kain yang ia punyai itu kecuali hanya

setengahnya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya:

"Apa yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu

mengenakannya, maka ia tidak akan memperoleh apa-apa dan bila ia

memakainya, maka kamu juga tak memperoleh apa-apa." Lalu laki-laki itu

pun duduk agak lama dan kemudian beranjak. Rasulullah shallallahu 'alaihi

wasallam melihatnya dan beliau pun langsung menyuruh seseorang untuk

memanggilkannya.

Ia pun dipanggil, dan ketika datang, beliau bertanya, "Apakah kamu

punya hafalan Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan

ini." Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi, "Apakah kamu benar-

benar menghafalnya?" ia menjawab, "Ya.” Akhirnya beliau bersabda: "Kalau

begitu, perigilah. Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan

mahar apa yang telah kamu hafal dari Al Qur`an."

Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan

mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar

kepada istri. Tidak ditemukan dalam kitab fikih bahwa mahar yang

menetapkan sebagai rukun nikah. Mereka sepakat menempatkan sebagai

syarat sah bagi suatu perkawinan, dalam arti perkawinan yang tidak pakai

mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama Zhahiriyah mengatakan bahwa bila

dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan

tersebut dapat dibatalkan.

Namun demikian, bila setelah menerima mahar si istri memberikan

lagi sebagian dari mahar tersebut kepada suaminya secara sukarela, suami

boleh mengambilnya. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ujung ayat 4

surat an-Nisa tersebut di atas.

Page 31: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

21

Walaupun mahar itu disepakati kedudukannya sebagai syarat sah

perkawinan, namun sebagian ulama di antaranya ulama Zhahiriyah

menyatakan tidak mestinya mahar tersebut disebutkan dan diserahkan ketika

akad nikah itu berlangsung. Namun dalam masa ikatan perkawinan mahar itu

harus sudah diserahkan.

Jumhur Ulama berpendapat sebelum istri menerima pendahuluan

mahar yang di tetapkan ia boleh menolak memberikan hak-hak suami seperti

bergaul dan melakukan hubungan kelamin, karena mahar itu adalah adalah

haknya dan sebelum haknya itu diterimahnya ia boleh tidak menjalankan

kewajibannya.34

Dalam tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalm kitab-

kitab fiqih mahar itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu

berlangsungnya akad nikah dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan

boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah itu. Definisi yang diberikan

oleh ulama waktu itu sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh

karena itu, definisi tepat yang dapat mencakup dua kemunkinan itu adalah:

“pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang

diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat

dari berlangsungnya akad nikah”.35

Definisi tersebut mengandung pengertian

bahwa pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai

perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa

akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan

secara sukarela diluar akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti

pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan

akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki

dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak

disebut mahar.36

34

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, Edisi I, cet ke-3, h., 95. 35

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs

honogami barat, (Jakarta: Pedoman ilmu Jaya), cet ke-1, h., 85. 36

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, April 2006, cet ke-1, h., 173.

Page 32: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

22

Saat ini terdapat tiga pandangan tentang kedudukan mahar dalam

hukum perkawinan Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

Pendapat pertama, pendapat para fuqaha yang dirumuskan dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 34 ayat (1), bahwa mahar adalah bukan rukun

dalam perkawinan. Tetapi mahar merupakan kewajiban calon mempelai laki-

laki atau suami untuk memberikannya kepada calon mempelai perempuan

atau istri (pasal 30 KHI), dan mahar adalah menjadi hak pribadi istri (pasal 32

KHI).

Pendapat kedua, sebagaiman dikembangkan oleh kalangan Islam

liberal, bahwa mahar adalah suatu pemberian dari calon suami atau calon istri

kepada pasangannya untuk kepentingan perkawinan (pasal 1 angka 6 CLD-

KHI). Dalam Bab IV tentang Mahar, pasal 16 ayat (1) Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam CLD-KHI, dirumuskan bahwa “calon suami dan

calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai

kebiasaan (budaya) setempat”.

Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 2, bahwa kalangan Islam

liberal yang telah membuat buku Pembaruan Hukum Islam Conter Legal

Draft Kompilasi Hukum Islam berpendapat bahwa mahar tidak hanya

keharusan pemberian suami terhadap istri, tetapi juga merupakan keharusan

pemberian istri kepada suami sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat.

Menurut Neng Djubaidah, ajaran tersebut merupakan pendapat yang tidak

sesuai dengan Hukim Islam dan tujuan Hukum Islam.

Hukum Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat

dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, buakn pihak yang

sama-sama memberi mahar. Persamaan hak laki-laki dan perempuan bukan

diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan

lambang jual-beli, tetapi lambang penghormatan terhadap perempuan

sekaligus lambang kewajiban dan tanggung jawab suami memberi nafkah

Page 33: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

23

kepada istri, selain lambang cinta dan kasih sayang suami terhadap istri,

sebagaimana dikemukakan ulama Syafi‟iyah.37

Pendapat ketiga terdapat dalam Pasal 13 Rancangan Undang-Undang

Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU-HM-PA-BP

Tahun 2007), bahwa mahar merupakan salah satu “rukun nikah”. Jika akad

nikah tidak memenuhi rukun yang ditentukan dalam pasal 13 ayat (1), antara

lain pemberian mahar oleh calon mempelai laki-laki atau suami terhadap calon

mempelai perempuan, ayat (2) RUU-HM-PA-BPerkw Tahun 2007). Pada

kalangan ini mahar didudukkan sebagai salah satu rukun perkawinan, yang

berakibat perkawinan berstatus “batal demi hukum” jika mahar tidak

disebutkan dalam akad nikah. Hal ini pun tidak sesuai dengan surat Al-

Baqarah (2) ayat 236 dan hadis Rasulullah saw.

Maskawin atau mahar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari

suatu perkawinan di Indonesia, baik menurut Hukum Islam maupun menurut

Hukum Adat, sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 2, tetapi mahar

bukan rukun nikah.

Materi ketentuan tentang mahar atau maskawin yang berlaku bagi

umat Islam di Indonesia, tentu tidak dapat dilepaskan dari ketentan-ketentuan

yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk

ketentuan yang terdapat dalam Kontitusi Negara Republik Indonesia,

berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945.

Jika ketentuan mahar itu dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang tersebut telah memuatkan

secara tegas dalam konsiderans mengingat bahwa:

37

Ash-Shan‟ani, Subulus Salam III, diterjemahkan oleh Abubakar Muhammad, cet. 1

(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h., 535.

Page 34: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

24

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang

Dasar 1945.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973.

Ketentuan pasal 13 RUU-HM-PA-BP Tahun 2007 yang memasukkan

mahar menjadi rukun nikah dan menjadi salah satu faktor penentu sah atau

tidaknya perkawinan, adalah tidak tepat, karena mahar adalah bukan rukun

nikah yang berakibat perkawinan “batal demi hukum”.

Rumusan Pasal 13 RUU-HM-PA-BP Tahun 2007 menimbulkan reaksi

dikalangan umat Islam, terutama kalangan aktivis yang senantiasa mengamati

dan mengikuti perkembangan atau perubahan pemikiran tentang Hukum

Islam di Indonesia, dan mereka selalu berusaha meluruskan pendapat yang

menyimpang dan tidak sesuai dengan Hukum Islam melalui cara-cara

akademik.

Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan

kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada

pengantin perempuan. Hukum pemberian mahar adalah wajib. Dan benda

atau uang pemberian itu adalah menjadi milik perempuan itu. Sungguhpun

demikian kalau dikehendaki oleh perempuan itu sendiri dan timbulnya

kehendak atau inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah si suami sekedar

ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang diberikannya yang telah

menjadi milik si istri itu.

Mahar tidak sama dengan maskawin yang biasa dalam adat kita

bangsa Indonesia. Pada masyarakat kita berkembang sejak lama kebiasaan

dan adat memberikan maskawin atau hantaran dari pihak laki-laki kepada

pihak perempuan untuk terlaksananya suatu perkawinan. Dapat berupa benda-

benda berharga yang bersifat sakti atau magis. Jalan pikirannya adalah karena

dengan suatu perkawinan, tercabutlah salah satu unsur penting yang ada

dalam lingkungan keluarga semula yaitu wanita yang hendak dikawinkan itu.

Tercabut dalam arti pindah kepada keluarga lain yang telah ada yaitu keluarga

suaminya dalam masyarakat yang menjadikan pindahnya seorang wanita

kemarga atau keluarga suaminya setelah dia kawin. Dan pindah keluarga itu

Page 35: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

25

dapat pula diartikan dalam arti yang lebih umum, yaitu pindah dan keluar dari

keluarganya semula karena membentuk keluarga baru beserta suaminya.

Dalam hal keluarganya wanita itu dari keluarganya semula akan

terjadilah kegoncangan atau ketidak seimbangan dalam masyarakat yang

lama itu. Akibatnya akan timbul bancana-bencana alam, kebanjiran,

kebakaran dan bahaya-bahaya lain. Hal ini dapat diganti dengan mengganti

benda berharga dan magis yang ditarik keluar dari keluarga itu dengan benda

magis yang lain, berupa keris pusaka, binatang ternak, dan kain-kain tenunan

yang mempunyai nilai-nilai magis pula. Dengan demikian terjadilah

maskawin itu. Keadaan ini lama-lama berubah juga kemudian akhirnya

diganti uang. Dan akhirnya sekalipun uang atau benda yang diberikan sebagai

maskawin itu oleh family si calon pengantin perempuan tidak lagi

diperuntukkan bagi kepentingan nilai-nilai magis keluarga malahan diberikan

juga kepada calon pengantin perempuan itu misalnya dalam bentuk biaya

penyelenggaraan perkawinan atau keperluan rumah tangganya sesudah

perkawinan.38

Sungguhpun tetaplah bahwa maskawin itu berbeda dengan mahar atau

sadaq itu. Mahar langsung diberikan kepada pengantin perempuan.39

Pada

masa-masa terakhir ini di Indonesia biasanya mahar telah dilaksanakan

dengan memberikan sebuah al-qur‟an atau terjemahan al-qur‟an atau

perlengkapan mukena untuk sembahyang. Di samping itu adakalanya

dibarengi juga dengan sekedar perhiasan berbentuk cincin untuk sitri.

Menurut ketentuan Departeman Agama, mahar dibuat sedemikian ringannya

sehingga tidak menghalangi perkawinan. Ini tidak pula berarti menghinakan

perempuan yang akan dikawini itu malahan untuk kebaikan secara umum

anggota masyarakat Islam Indonesia.

Di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk mahar yang mengikuti

kebiasaan di daerah dan ketentuan adatnya masing-masing, diantaranya

adalah:

38

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h., 69. 39

Hamka, Dalam Lembah Kehidupan, cetakan ke-8, 1967, h., 201.

Page 36: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

26

1. Masyarakat Batak Toba menyebut maskawin itu sebagai pangolin.

Pembayaran maskawinnya biasanya terdiri dari uang dan ternak.40

2. Suku Komering di Sumatera Selatan menggunakan emas sebagai

mahar/maskawinnya.41

3. Di Maluku, mahar biasanya (selain kain) juga terdiri sepasang

anting emas dan gading gajah yang ditaruh di dalam wadah sirih

dan disebut tol‟a kemudian ditempatkan di dalam lumbumg di

bumbungan rumah, terus digunakan sebagai mahar dalam

perkawinan generasi selanjutnya.42

4. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) proses meminang gadis di

kalangan suku Lamaholot sangat unik. Meski penduduk wilayah

ini tidak memelihara gajah, gading gajah sudah menjadi mahar

kawin sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat Lamaholot,

ukuran atau jumlah mahar kawin (belis) atau gading gajah

tergantung pada status sosial gadis atau calon mempelai perempuan

yang akan dipinang.43

5. Di masyarakat Bugis, mahar yang dikenal dengan istilah sungrang

(Bugis) atau sompa (Makassar). Sompa atau sunrang itu besar

kecilnya sesuai dengan derajat sesuai dengan derajat sosialdari

gadis yang dipinang. Sompa atau sunrang menggunakan nominal

uang atau saja dapat terdiri dari sawah, kebun, keris pusaka,

perahu, yang semuanya mempunyai makna penting dalam

perkawinan.44

40

J. C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: LKiS, 2004), h.,

225. 41

Hattam Rosid dkk., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta: Balai

Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h., 399. 42

Shariva Alaidrus, “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”, artikel

diakses pada 04 Oktober 2015 dari http://www.antarnews.com/berita/431398/mahar-dalam-tradisi-

pernikaha-bangsawan-babar 43

Kornelis Kewa Ama, “Mahar kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses pada

04 Oktober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejak peradabanntt/read/2010/12/10/08361911 44

Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, h., 269.

Page 37: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

27

6. Di masyarakat Buton, mahar yang dikenal dengan istilah Boka atau

papolo. Boka atau papolo tersebut harus sesuai dengan pendidikan,

dan derajat sosial gadis yang akan dipinang.45

C. Pengertian Stratifikasi

Manusia adalah makhluk yang mampu mengadakan evaluasi. Ia tidak

saja menggolong-pembagian masyarakat ke dalam kelas atau tingkatan

sedemikian rupa, sehingga orang dalam kelas tertentu digolongkan sama;

tetapi tingkatan-tingkatan itu sendiri disusun secara hierakis. Kriteria mana

yang diperguanaka untuk menempatkan orang dalam tiap-tiap kelas berbeda

dari satu masyarakat kepada yang lain: keberanian dan keahlian dalam

peperangan, pengetahuan teknik, pendidikan kesusastraan, dan kemanusiaan,

kesucian, atau keberhasilan keuangan. Sistem stratifikasi dapat pula

dibandingkan dengan menggunakan berbagai variabel, seperti umpamanya

criteria untuk penempatan kelas, bagaimana sulitnya berpindah dari satu kelas

ke kelas, bagaimana tajamnya perbedaan kelas-kelas itu, bagaimana secara

sosial jauhnya perbedaan antara kelas atas dan kelas bawah, atau bagaimana

jumlah keseluruhan penduduk terbagi diantara kelas-kelas.46

Masyarakat berbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang

terdiri dari berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat

heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan adanya atau

terjadinya kelompok sosial ini maka terbentukla pelapisan suatu masyarakat

atau terbentuklah masyarakat yang berstrata.

Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan ikatan-ikatan

yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan ini, maka

dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan yang dalam

pembentukannya mempunyai gejala yang sama.

45

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, Adat dan

Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara, h. 106-107 46

Wiliam J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT Bumi Arkasa, 2002), h., 162.

Page 38: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

28

Masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa individu, seperti juga

individu tidak dapat dibayangkan tanpa adanya masyarakat.

Betapa individu dan masyarakat adalah komplementer dapat kita lihat

dari kenyataan, bahwa:

a. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan

pribadinya;

b. Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan bisa menyebabkan

(berdasarkan pengaruhnya) perubahan besar masyarakatnya.

Setelah itu kita mengerti bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang

selalu mengalami perubahan sosial, marilah kita pelajari apa yang dimaksud

dengan Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Masyarakat.

Istilah Stratifikasi atau Stratification berasal dari kata STRATA atau

STRATUM yang berarti LAPISAN. Karena itu Social Stratification sering

diterjemahkan dengan Pelapisan Masyarakat. Sejumlah individu yang

mempunyai kedudukan (status) yang sama menurut ukuran masyarakatnya,

dikatakan berada dalam suatu lapisan atau stratum.47

Pitirim A. Sorokin memberikan definisi pelapisan masyarakat sebagai

berikut: “Pelapisan masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat

kedalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarkis).”

Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.

Selanjutnya disebutka bahwa dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat

adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban,

kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara

anggota-anggota masyarakat.48

Lebih lengkap lagi batasan yang dikemukakan oleh Theodorson dkk.

Di dalam Dictionory of Sociology, oleh merek dikatakan sebagai berikut:

Pelapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif

permanen yang terdapat dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke

masyarakat) di dalam hal perbedaan hak, pengaruh dan kekuasaan.

47

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1998), h., 2004. 48

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,

(Jakarta: Kencana, 2007), h., 153.

Page 39: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

29

Masyarakat yang sering berstratifikasi sering dilukiskan sebagai suatu

kerucut atau pramida, di mana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan

ini menyempit keatas.

Di dalam organisasi masyarakat primitif pun di mana belum mengenal

tulisan, pelapisan masyarakat itu sudah ada. Hal ini terwujud berbagai bentuk

sebagai berikut:

1. Adanya kelompok berdasarkan jenis kelamin dan umur dengan

pembedaan-pembedaan hak dan kewajiban;

2. Adanya kelompok-kelompok pemimpin suku yang berpengaruh

dan memiliki hak-hak yang istimewa;

3. Adanya pemimpin yang paling berpengaruh;

4. Adanya orang-orang dikecilkan di luar kasta dan orang di luar

perlindungan hukum (cutlaw men);

5. Adanya pembagian kerja di dalam suku itu sendiri;

6. Adanya pembedaan standar ekonomi dan di dalam ketidaksamaan

ekonomi itu secara umum.

Jika kita tidak dapat menemukan masyarakat yang tidak berlapis-lapis

di antara masyarakat yang primitif, maka lebih tidak munkin lagi

menemukannya di dalam masyarakat yang telah maju/berkembang. Bentuk

dan proporsi pelapisan masyarakat yang telah maju bervariasi; tetapi pada

dasarnya pelapisan masyarakat itu ada di mana-mana dan sepanjang waktu.

Di dalam masyarakt pertanian dan khususnya di dalam masyarakat

industripelapisan itu tampak menyolok mata dan jelas. Di demokrasi-

demokrasi yang modern pun tidak dapat mengecualikan adanya hukum-

hukum pelapisan masyarakat, walaupun di dalam konstitusinya menyatakan

bahwa “Semua manusia adalah sama (all men are created equal). Gradasi itu

dapat kita lihat misalnya: multi dari memilih modal yang kaya sampai kepada

buruh yang termiskin; dari presiden kepada lurah; dan jendral sampai kepada

prajurit dan sebagainya yang semua itu menunjukkan sebagai jenjang-jenjang

Page 40: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

30

dan gradasi sosial yang menunjukkan walaupun di dalam sistem demokrasi

yang paling mutakhir pun ada pelapisan masyarakat.49

Orang yang menduduki lapisan (atau istilah lain ada yang

menggunakan dengan kelas) tertentu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti

misalnya: keturunan, kecakapan, pengaruh, kekuatan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu beberapa sarjana memiliki tekanan yang berbeda-beda

di dalam menyampaikan teori-teori tentang pelapisan masyarakat. Beberapa

dicantumkan di sini yaitu:

1) Kurt B. Mayer, istilah kelas hanya dipergunakan untuk lapisan

yang bersandarkan atas unsur-unsur ekonomis, sedangkan

lapisan yang berdasarkan atas kehormatan kemasyarakatan

dinamakan kelompok kedudukan (status grup).50

2) Max Weber, berpendapat adalah membuat pembedaan antara

dasar-dasar ekonomi dan dasar-dasar kedudukan sosial, dan

tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya

kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi dalam kelas yang

bersandarkan atas pemilikan tanah dan benda-benda, serta kelas

yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan

kecakapannya. Adanya golongan yang mendapat kehormatan

khusus dari masyarakat yang dinamakan stand.51

3) Joseph Schumpeter, berpendapat bahwa, terbentuknya kelas

dalam masyarakat karena diperlukan untuk menyesuaikan

masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata, akan

tetapi makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya

hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat

terjadinya.52

Dari apa yang diuraikan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa

ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolong-golongkan

49

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991), h., 199. 50

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h., 205. 51

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h., 205. 52

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h., 205.

Page 41: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

31

anggot-anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial adalah sebagai

berikut:

1) Ukuran kekayaan: Ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan

suatu ukuran; barang siapa yang mempunyai kekayaan yang banyak,

termasuk ke dalam lapisan sosial teratas. Kenyataan tersebut,

misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, berupa

mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan

pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang

mahal dan sebagainya.

2) Ukuran kekuasaan: Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang

mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan sosial teratas.

3) Ukuran kehormatan: Ukuran kehormatan mungkin terlepas dari

ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani

dan dihormati, mendapatkan atau menduduki lapisan teratas. Ukuran

semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat

tradisional. Biasnya mereka adalah golongan tua atau mereka yang

pernah berjasa besar kepada masyarakat.

4) Ukuran ilmu pengetahuan: ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh

masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-

kadang menyebabkan menjadi negatif, karena ternyata bahwa ukuran

ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar

kesarjanaannya. Sudah tentu hal itu mengakibatkan segala macam

usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak halal.

Ukuran-ukuran tersebut di atas, tidaklah bersifat limitatif (terbatas),

tetapi masih ada ukuran-ukuran lainnya yang dapat dipergunakan. Akan tetapi

ukuran-ukuran yang di atas yang menonjol sebagai dasar timbulnya pelapisan

sosial dalam masyarakat. Jadi kriteria pelapisan sosial hakikatnya tergantung

pada sistem nilai yang dianut oleh angota-anggota masyarakat yang

bersangkutan.53

53

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h., 205.

Page 42: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

32

BAB III

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON

A. Wilayah Geografis Buton

Sebelum membahas wilayah geografis Buton, kita perlu mengetahui

apa pengertian dari kata Buton tersebut. Kata „Buton‟ memiliki empat

pengertian. Pertama sebagai nama pulau, maka kata itu mengacu kepada satu

pulau dengan panjang sekitar 100 Km yang terletak di dalam kepulauan

Jazirah Tenggara pulau Sulawesi.54

Pulau Buton ini termasuk kedalam

wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan terletak persis di sebelah tenggara

tanjung Sulawesi, Indonesia.55

Kedua, sebagai nama menyebut orang Buton, maka kata ini mengacu

pada penduduk yang tinggal di Pulau Buton. Ketiga sebagai nama sebuah

kabupaten, maka kata ini mengacu pada satu wilayah kabupaten yang terletak

di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara

4,96°- 6, 25° Lintang Selatan, dan membentang dari barat ke timur di antara

120,00° -123,34° Bujur Timur.56

Keempat, sebagai nama sebuah kesultanan, yang sebelum masuknya

Islam masih berbentuk kerajaan, dan diperkirakan telah ada sebelum abad ke-

14. Kekuasaan kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama, seperti Buton,

Muna, dan Kabaena, serta kepulauan Tukang Besi dan dua daerah di bagian

tenggara pulau Sulawesi, yakni Rumbia dan Poleang. Pada sekitar tahun 1542,

kerajaan ini berubah menjadi kesultanan ketika raja keenam yang bernama

Lakilaponto masuk Islam,57

dan menjadi sultan pertama dengan gelar Sultan

Kaimuddin Khalifatul Khamis. Pada masa hidupnya beliau terkenal dengan

54

Para Pelaut di Kepulauan Nusantara Sering Kali Singgah dan Menyebutkan Pulau ini

„Butun‟, Yang Berasal Dari Kata Butu (Barringtonia asiatica, Lihat Anceaux, 1987), h., 25. 55

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 55. 56

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 55. 57

Zahari, 1980. h. 72

Page 43: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

33

sebutan Murhum sebgai gelar kehormatannya. Di bawah pemerintahannya

seluruh kerajaan secara resmi masuk Islam.58

Dengan penjelasan diatas, kita sudah mengetahui bersama apa

pengertian dari kata Buton. Untuk itu, kita juga perlu membahas wilayah

geografis Buton. Kabupaten Buton di sebelah utara berbatasan dengan

kabupaten Muna, di sebelah selatan dengan laut Flores, di sebelah timur

dengan Kabupaten Wakatobi59

dan sebelah barat dengan Kabupaten Bombana

yang meliputi Kecamatan Poleang dan Rumbia di daratan Sulawesi

Tenggara.60

Kabupaten Buton memiliki wilayah daratan seluas lebih kurang

2.488,71 Km2 atau 248.871 Ha dan wilayah perairan laut seluas lebih kurang

21.054,69 Km2. Berdasarkan data statistic yang diterbitkan Badan Pusat

Statistik Kabupaten Buton, yang terbagi ke dalam tiga kelompok utama,

yakni:61

1. Yang terdapat di dalam pulau Buton, yaitu:62

1) Kecamatan Lasalimu

2) Kecamatan Lasalimu Selatan

3) Kecamatan Pasar Wajo

4) Kecamatan Siontapina

5) Kecamatan Wolowa

6) Kecamatan Sampolawa

7) Kecamatan Batauga

8) Kecamatan Kapontori

9) Kecamatan lapandewa

10) Kecamatan Wabula

58

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 55. 59

Kata Wakatobi berasal dari singkatan nama pulau-pulau yang termasuk ke dalam

kabupaten ini, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko. 60

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 59. 61

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 59. 62

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 59.

Page 44: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

34

2. Yang terdapat di pulau Muna, yaitu:63

1) Kecamatan Mawasangka

2) Kecamatan Mawasangka Timur

3) Kecamatan Mawasangka Tengah

4) Kecamatan Gu

5) Kecamatan Lakudo

6) Kecamatan Sangia Mambulu

3. Dan yang terdapat di pulau-pulau kecil lainnya, yaitu:64

1) Kecamatan Batu Atas

2) Kecamatan Talaga Raya

3) Kecamatan Siompu

4) Kecamatan Siompu Barat

5) Kecamatan Kadatua

Semenjak tahun 2002, Kabupaten Buton mengalami pemekaran

dengan terbentuknya Kotamadya BauBau yang melepaskan diri dari

Kabupaten Buton. Sebelumnya pemekaran ini terjadi, Ibukota Kabupaten

Buton berada di kota BauBau, namun setelah kota BauBau melepaskan

diri dari Kabupaten Buton, dan menjadi kotamadya tersendiri, maka

Ibukota Kabupaten Buton dipindahkan ke Kota Pasar Wajo di Kecamatan

Pasar Wajo. Wilayah Kotamadya BauBau sekarang ini terdiri dari 6

kecamatan, yakni: Kecamatan Betoambari, Kecamatan Wolio, Kecamatan

Murhum, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan

Bungi.65

Adapun keadaan iklim di Kabupaten Buton pada umumnya sama

dengan daerah lainnya di Indonesia yang memiliki dua musim, yakni

63

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 59. 64

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 60. 65

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 60

Page 45: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

35

musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan di kawasan Nusantara

yang terletak di belahan bumi bagian selatan hamper bersamaan waktunya

dengan terjadinya musim dingin di belahan bumi utara. Hal ini terjadi pada

bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret. Saat itu matahari berada di

belahan bumi selatan, sehingga pemanasan matahari lebih tinggi di

belahan bumi selatan dibandingkan di belahan bumi bagian utara.

Akibatnya, daerah pusat tekanan tinggi terjadi di benua Asia (tepatnya di

Siberia). Sementara itu, daerah pusat tekanan rendah berada di benua

Australia. Hal ini mengakibatkan angin monson bertiup dengan

mengandung banyak uap air dari benua Asia menuju benua Australia.

Pada periode waktu inilah wilayah yang berada di Indonesia mengalami

musim hujan, atau disebut juga dengan musim angin Monson Barat.

Sedangkan saat musim dingin terjadi di belahan bumi selatan, yaitu

pada bulan Juni, Juli dan Agustus, matahari berada di belahan bumi bagian

utara. Pada saat itu pusat tekanan tinggi terjadi di benua Australia,

sebaliknya pusat tekanan rendah berada di benua Asia. Akibatnya, angin

bertiup dengan sedikit kandunngan uap air dari benua Australia melalui

kepulauan Nusantara menuju benua Asia. Karena angin Monson Timur ini

relatif kering dan membawa tidak cukup banyak kandungan air, maka

wilayah yang berada di dalam kepulauan Nusantara mengalami musim

kering atau kemarau pada periode waktu ini. Musim kemarau ini disebut

juga dengan musim angin Monson Timur.66

Khusus pada bulan April dan Mei di daerah Kabupaten Buton arah

angin tidak menentu, demikian juga dengan curah hujan, sehungga pada

bulan-bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba.

Berkenaan dengan musim angin Monson Barat dan musim angin

Monson Timur ini, ada dua pelabuhan yang penting untuk kawasan

Kabupaten Buton, yakni pelabuhan masiri di Batauga yang berperan

penting dalam musim angin Monson timur dan pelabuhan Kamaru di

66

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 64.

Page 46: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

36

Lasalimu yang berperan penting dalam musim angin Monson Barat.

Keduanya berada di Pulau Buton. Pelabuhan masiri di Batauga pada

musim Monson Timur itu sangat membantu pelaut Buton dalam pelayaran

mereka ke arah Barat menuju ke pulau-pulau dan pelabuhan-pelabuhan

lain di Nusantara, seperti Muna, Kabaena, Ujung Pandang,

Surabaya/Gresik, dan Riau, hingga Bandar-bandar pelabuhan di luar

Nusantara, seperti malaka dan singapura. Sedangkan pada musim angin

Monson Barat, pelabuhan Kamaru di Kecamatan Lasalimu melayani

pelayaran mereka ke wilayah bagian Timur, seperti Wangi-Wangi,

Kaledupa, Binongko, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Timor

Timur, dan pantai Australia. Di masa lampau, ketika kapal mereka belum

menggunakan tenaga bermotor, para pelaut Buton sangat tergantung pada

arah bertiupnya angin dari kedua musim ini untuk keperluan pelayaran

mereka. Di masa kini ketika mekanisasi perahu-perahu tradisonal sudah

terjadi, meskipun mereka relatif dapat lebih bebas melakukan pelayaran ke

tempat-tempat manapun tanpa keharusan mempertimbangkan tiupan

angin, tetap saja mereka mempertimbangkan pergerakan angina dari kedua

musim itu apabila hendak melakukan pelayaran dengan biaya yang lebih

hemat. Perahu-perahu tradisional tersebut dalam istilah setempat disebut

lambo atau bote atau bangka.67

Kedua pelabuhan ini (baca: Masiri di Batauga dan Kamaru)

sekarang lebih diperuntukkan melayani pelayaran prahu-perahu

tradisional, yang termasuk dalam kategori sektor Pelayaran Lokal dan

Pelayaran Rakyat. Untuk keperluan perdagangan antar pulau maupun

sebagai kapal-kapal perangkap ikan. Sedangkan bagi kapal-kapal besar

untuk pengangkut penumpang beserta barang bawaannya, seperti kapal-

kapal pelni, maka di pulau Buton ada pelabuhan lain, yakni pelabuhan

Murhum yang beada di kota BauBau. Pelabuhan Murhum di BauBau ini

67

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 65.

Page 47: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

37

terutama dimaksudkan untuk melayani sektor pelayaran modern yang

sering kali disebut dengan istilah Pelayaran Nusantara.68

Terlepas dari keadaan iklim yang ada di Buton, kita perlu

mengetahui juga apa hasil bumi dan laut di Buton. Adapun hasil bumi dan

laut di pulau Buton yaitu enam puluh delapan persen dari seluruh lahan

yang ada di Kabupaten Buton digunakan untuk usaha pertanian, seperti

untuk tegal/kebun, ladang/huma, tambak, kolam/empang, lahan untuk

tanaman kayu-kayuan/hutan rakyat, hutan Negara, dan perkebunan rakyat.

Tanaman bahan makanan penting yang dihasilkan di Kabupaten

Buton adalah padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar.69

Penghasil utama padi

di Kabupaten Buton adalah Kecamatan Lasalimu, Kapotori dan Lasalimu

Selatan. Pada tahun 2005 Kecamatan Lasalimu menghasilkan 1.120 ton

padi sawah dan 1.058 ton padi ladang. Kecamatan Lasalimu Selatan

menghasilkan 3.962 ton padi ladang dan 628 ton padi sawah. Sedangkan

Kecamatan Kapontori menghasilkan pada tahun yang sama 1.970 ton padi

sawah dan 183 ton padi ladang. Tanaman jagung dihasilkan hampir

seluruh di Kecamatan yang ada di Kabupaten Buton. Empat penghasil

utama jagung pada tahun 2005 secara berurutan adalah Kecamatan Pasar

Wajo dengan hasil 4.662 ton, Kecamatan Sampolawa menghasilkan 4.572

ton, Kecamatan mawasangka 3.912 ton, dan Kecamatan Gu 3.165 ton.

Begitu juga ubi kayu dihasilkan hampir seluruh kecamatan dalam

Kabupaten Buton. Tempat penghasil ubi kayu terpenting adalah

Kecamatan Mawasangka yang pada tahun 2005 menghasilkan 23.319 ton,

disusul oleh Kecamatan Gu dengan hasil 22.533 ton pada tahun yang

sama. Sedangkan ubi jalar terutama dihasilkan di Kecamatan Lasalimu

dengan hasil pada tahun 2005 sebesar 1.628 ton.70

68

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 66. 69

Uraian Mengenai Angka Produksi Tanaman Bahan Makanan Berikut diambil Dari

Kabupaten Buton Dalam Angka, 2005, hal 157-158 70

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 67.

Page 48: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

38

Hasil perkebunan rakyat yang utama di Kabupaten Buton adalah

jambu mete dengan produksi sebesar 6.585,71 ton, kelapa dengan produksi

sebesar 1.093,46 ton, dan kakao sebesar 630,63 ton (kesemua pada tahun

2005). Sedangkan hasil hutan utama adalah rotan, kayu jati, dan kayu

rimba campuran. Rotan dihasilkan di Kecamatan Lasalimu, Kecamatan

Lasalimu Selatan, Kecamatan Pasar Wajo, Kecamatan Batauga, dan

Kecamatan Kapontori. Pada tahun 2005 Kecamatan Pasar Wajo

menghasilkan 135.720 ton rotan batang dan 44.280 ton rotan lambing,

Kecamatan Kapontori menghasilkan 84.056 ton rotan batang dan 20.625

ton rotan lambing, Kecamatan Batauga menghasilkan 85.603 ton rotan

batang, Kecamatan Lasalimu menghasilkan 71.400 ton rotan batang dan

6.600 ton rotan lambing, sedangkan Kecamatan Lasalimu Selatan 49.000

ton rotan batang dan 11.000 ton rotan lambang. Kayu jati yang dihasilkan

di Kecamatan Gu sebanyak 103.890 M dalam bentuk batang gelondongan

dan sebanyak 1. 154,8246 M dalam bentuk papan gergajian pada tahun

2005. Sedangkan Kecamatan Kapontori pada tahun yang sama

menghasilkan 208.740 M kayu jati dalam bentuk batang gelondongan dan

497,5825 M kayu jati dalam bentuk papan gergajian. Terakhir Kecamatan

Batauga pada tahun 2005 menghasilkan 760,1726 M kayu jati dalam

bentuk papan gergajian. Sedangkan untuk kayu rimba campuran

dihasilkan di Kecamatan Lasalimu, Lasalimu Selatan, Pasar Wajo,

Batauga, Kapontori, dan Mawasangka. Pada tahun 2005 Kecamatan

Lasalimu menghasilkan kayu rimba campuran sebanyak 304,42 M,

Kecamatan Lasalimu Selatan 183,14 M, Kecamatan Pasar Wajo 145,81 M,

Kecamatan Batauga 21,08 M, Kecamatan Kapontori 220,70 M dan

Kecamatan Mawasangka 60,09 M.71

Produksi perikanan di Kabupaten Buton pada tahun 2005

berjumlah 104.914,88 ton yang terdiri dari perikanan laut sebesar

89.842,28 ton, hasil budidaya laut sebesar 7.078,30 ton dan rumput laut

71

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 68.

Page 49: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

39

sebesar 15.071,88 ton. Hasil perikanan yang terbanyak berasal dari

Kecamatan Mawasangka berjumlah 14.848,52 ton. Di susul Kecamatan

Sampolawa dengan hasil 13.700,56 ton, Kecamatan Pasar Wajo 11.948,20

ton, Kecamatan Kapontori, 10.969,56 ton, Kecamatan Talaga Raya

3.403,34 ton, Kecamatan Mawasangka Timur 3.265,46 ton, Kecamatan Gu

2.594,26 ton, dan Kecamatan Lasalimu 2.566,84 ton.72

Adapun bahasa yang ada di dalam wilayah bekas kesultanan Wolio

ini sangat beragam dan rumit. Terdapat banyak sekali aneka ragam bahasa

yang diakui oleh penduduk setempat: Wolio, Wowoni, Kalingsusu,

Kambowa, Kumbewaha, Kamaru, Katobengke, Gonda Baru, Todanga,

Wabula, dan Cia-Cia (kesemua bahasa ini terdapat di Pulau Buton);

Wasilomata, Muna, Jawa (ketiganya terdapat di Pulau Muna), Siompu,

Rahantari (di Pulau Kabaena); dan Pulo (Kapota), Pulo (Kaledupa), Pulo

(Tomia), Pulo (Binongko), keempat bahasa yang terakhir ini terdapat di

Kepulauan Besi.73

Beragamnya bahasa yang ada mencerminkan beragamnya

penduduk yang mendiami Wilayah bekas kesultanan Wolio. Dahulu hanya

bahasa Wolio yang merupakan bahasa tertulis dengan menggunakan

aksara arab. Di zaman kesultanan, bahasa Wolio ini digunakan sebagai

lingua franca di dalam wilayah kesultanan.

B. Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka

Sebelum melaksanakan suatu perkawinan, sejatinya terlebih dulu

melakukan persiapan agar perkawinan tersebut berjalan dengan baik dan

sesuai apa yang diinginkan oleh kedua mempelai tersebut. Adapun persiapan

pernikahan yang dilakukan di Buton, tepatnya di daerah keraton dan baadia

sangatlah rinci dan rumit. Mulku Zahari telah menulis tentang berbagai

kebiasaan dalam perkawinan di Wolio (wilayah keraton dan Baadia serta desa

lain yang berhubungan dengan keraton).

72

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 68. 73

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h., 69.

Page 50: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

40

Adapun di kalangan suku Wolio ada beberapa bentuk perkawinan,

yaitu pobaisa, uncura, popalaisaka, humbuni dan lawati.

Pobaisa (kawin biasa) adalah suatu bentuk perkawinan yang didahului

dengan perundingan dan persetujuan orang tua kedua belah pihak. Persetujuan

ini melalui perantara atau penghubung yang disebut tolowea. Upacara

peminangan kadang-kadang didahului dengan pennyelidikan pendahuluan

terhadap perempuan yang akan dipinang. Maksudnya adalah untuk

mengetahui apakah si gadis telah dipinang atau belum.74

Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi penolakan dalam upacara

peminangan. Setelah peminangan, pertunangan diresmikan untuk kepastian

perkawinan.

Uncura, artinya duduk. Perkawinan ini terjadi dimana seorang laki-laki

datang di rumah perempuan yang dikehendaki dengan maksud untuk

mengawininya. Hal ini biasa terjadi bagi mereka yang sementara bertunangan

dan laki-laki menghendaki agar perkawinan segera dilaksanakan. Sebab lain

adalah karena pinangan ditolak. Laki-laki yang datang itu diantar oleh seorang

tua atau pengawal lain, tetapi pengawal ini tidak menampakkan diri. Di

hadapan orang tua pihak perempuan, orang tua yang mengawal tadi

mengemukakan sebagai berikut:75

“Si A (nama laki-laki) datang kepada si B (nama perempuan) dan

sekarang ia telah berada dihadapan bapak, mati atau hidup terserah kepada

bapak, tetapi ia telah berada di hadapan bapak”.

Cepat lambatnya pelaksanaan perkawinan tergantung dari pihak

perempuan. Kadang-kadang dilaksanakan pada malam itu juga, tetapi juga

dalam waktu yang lama.

Selama laki-laki berada di rumah perempuan, orang tuanya melalui

tolowea mengirim sejumlah uang yang disebut balanja artinya uang belanja.

Bila pihak perempuan telah merestui maksud laki-laki itu, maka segala

74

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:

1978-1979), h., 106. 75

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:

1978-1979), h., 106-107.

Page 51: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

41

kerugian laki-laki tunangan perempuan itu, harus dikembalikan oleh laki-laki

yang datang itu.76

Sebaliknya kalau tidak diterima dan keluarga perempuan mengadakan

penganiayaan sampai terbunuh, karena adat yang melakukan penganiayaan

tidak mendapat tuntutan hukum. Tindakan hukum ini adalah adat Wolio

dinamakan amate alandakia ajara, artinya mati diinjak kuda.

Meskipun adat menentukan demikian, tetapi sepanjang penelitian ini

kasus semacam itu tidak pernah terjadi.

Popalaisaka, artinya membawa lari perempuan. Arti yang sebenarnya

lari bersama atau “silariang” seperti orang Makassar mengatakan. Dalam hal

ini biasanya bukan hanya karena keinginan sepihak tetapi atas persetujuan

keduanya.

Humbuni, artinya membawa lari perempuan dengan paksaan dan

kekerasan untuk dikawini. Cara ini jarang terjadi, karena resikonya sangat

berat bila diketahui keluarga pihak perempuan. Laki-laki yang membawa lari,

biasa dikenakan sanksi yang berat.

Lawati, artinya terimah. Yang dimaksud dengan lawati adalah

perempuan yang diterimah oleh pihak laki-laki dan upacara peresmian

perkawinannya dilaksanakan di rumah pihak laki-laki. Hal ini antara lain

disebabkan oleh kurangnya kemampuan puhak perempuan, tetapi ada

persetujuan dari kedua belah pihak.

Selain yang telah disebutkan di atas, di Wolio dikenal juga bentuk

perkawinan bersusun, dimana dua orang laki-laki yang bersaudara mengawini

dua orang perempuan yang bersaudara. Hal ini di Wolio disebut sarope. Di

samping itu dikenal juga bentuk perkawinan bertukar yang di Wolio disebut

sempa dula.77

76

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:

1978-1979), h., 107.

77

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:

1978-1979), h., 108.

Page 52: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

42

Adapun tujuan dari perkawinan menurut adat di Wolio pada azasnya

adalah untuk memperoleh keturunan. Hal ini berkaitan juga dengan

kepentingan kehidupan dan status sosial dari lingkungan keluarga itu sendiri.

Materi yang cukup dan sanggup tidaknya seseorang bertanggung jawab

terhadap keluarga.

Melaksanakan perkawinan melalui pengucapan ikrar, dalam suatu akad

nikah yang berlaku di desa penelitian, pada keseluruhan bekas kesultanan

Wolio (Buton) telah menjadi ketentuan adat yang mendapat pengarug hukum

islam sebagaimana yang tercantum dalam buku Ajonga Inda Malusa:

“Okawi yaitu osunatina naby” artinya kawin itu adalah sunnah nabi.

Tujuan inilah yang mendapat pengertian secara umum di Wolio.78

Di samping itu khusus bagi pembesar-pembesar kerajaan (sultan)

sering melakukan perkawinan dengan seorang perempuan di daerah tertentu,

dengan tujuan untuk memperluas pengaruh dan memperkuat kedudukannya.

Di sini Nampak tujuan perkawinan untuk status sosial. Dengan lahirnya putra-

putri hasil perkawinan di berbagai kadie (kampumg) dalam kerajaan,

kedudukan sultan dan aparat kerajaan pada umumnya, mendapat dukungan

dari rakyat umum.

Bagian penting dari acara pernikahan adalah pembayaran maskawin,

dalam bahasa adat disebut dengan popolo atau boka. Besarnya uang yang

diminta tergantung dari kedudukan wanita dan pria. Pada dasarnya kedudukan

perempuan menentukan jumlahnya. Akan tetapi, jika laki-laki lebih rendah

kedudukannya, jumlah mahar akan berlipat dua atau tiga dari biasanya.

Dahulu sarana Wolio mengawasi jumlah maskawin, karena itu mencerminkan

kedudukan para mempelai di masyarakat Buton. Di tiga daerah terdapat

kecenderungan untuk meratakan perbedaan. Namun, perbedaan dalam hal

pernikahan di antara kaum La Ode (bangsawan) masih saja ada.

78

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:

1978-1979), h., 105.

Page 53: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

43

Uraian boka pada adat pernikahan masyarakat Buton menurut syara

Wolio dapat ditinjau menurut tingkatnya masing-masing (data adat syara

Wolio, BauBau, 2004)79

Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk kaomu, yaitu:80

Popolo 60 boka = Rp. 1.440.000

Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000

Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000

Katandui 5 boka = Rp. 144.000

Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

Jumlah semua 117,5 boka = Rp. 2.892.000

Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat walaka yaitu:81

Popolo 30 boka = Rp. 720.000

Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000

Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000

Katandui 5 boka = Rp. 144.000

Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 2.172.000

Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat papara, yaitu:82

Popolo 30 boka = Rp. 720.000

Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000

Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

Bakena kau 5 boka = Rp.144.000

Katandui 5 boka = Rp. 144.000

79

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton). 80

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton). 81

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton) 82

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton)

Page 54: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

44

Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 2.172.000

Perhitungan maskawin berdasarkan syara Wolio untuk tingkat

kaomu/walaka bagi orang pendatang yaitu:83

Popolo 60 boka = Rp. 1.440.000

Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

Kapobianga 10 boka = Rp. 240.000

Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000

Katandui 5 boka = Rp. 144.000

Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

Karangani 10 boka = Rp. 240.000

Jumlah semua 127,5 boka = Rp. 3.132.000

Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat papara/batua,

yaitu:

Popolo 15 boka = Rp. 360.000

Kalamboka 15 boka = Rp. 360.000

Kapobiangi 2 boka = Rp. 48.000

Katalosi 1 boka = Rp. 24.000

Bakena kau 3 boka = Rp. 72.000

Katandui 2 boka = Rp. 48.000

Kaempesi 1 boka = Rp. 24.000

Jumlah semua 39 boka = Rp. 936.000

Dari uraian diatas, tingkatan perhitungan maskawin berdasarkan boka

sara Wolio dalam pernikahan adat Buton, akan mengalami perkembangan

sesuai dengan sepakat dan mufakat seluruh toko adat keraton yang berada di

Buton.

C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton

83

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton)

Page 55: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

45

Secara historis etnik Buton, merupakan gabungan dari berbagai etnik

yang dari penduduk asli dari pendatang yang berasal dari Melayu dan

Tiongkok. Dengan demikian sejak mula pembentukannya, etnik ini telah

mengacuh pada rinsip nilai-nilai keagamaan, sehinggah secara geonologi

orang Buton atau disebut juga dengan orang Wolio, sudah akrab dengan nilai-

nilai pluralitas yang mengendalikan pentingnya toleransi dan penguatan nilai-

nilai kebersamaan. 84

Menurut Tarimana, empat pilar penyangga etika dan integrasi sosial

masyarakat Buton, berikut empat nilai yang harus dihindari oleh masyarakat

sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang Martabat Tujuh kesultanan

Buton didasarkan atas sebuah hadisth فقد عسف زث عسف فس Artinya:

Barang siapa yang mengenal keadaan dirinya yang sejati, tentu ia akan

mengenal keadaan Tuhannya yang kekal. Maksudnya hubungan antara Tuhan

dan hambahnya sedemikian dekat eratannya, konsep ini dalam kearifan Buton

dirangkai dalam untaian kalimat “Poromu inda sanga pogaa inda kolota”

artinya, “berkumpul bukannya satu, berantai tidak berantai”.

Subtansi “Poromu inda sanga pogaa inda kolota” dalam perspektif

budaya Jawa, mirip dengan ungkapan “Cedhak tanpa senggolan-Adoh tanpa

wangenan” yang merupakan pantulan dari konsep falsafah “Manunggalin

kawali usti”. Seperti yang terjadi dalam pemahaman budaya masyarakat Jawa

mengenai konsep “Cedhak tanpa senggolan-Adoh tanpa wangenan” sebagai

konsep yang berdimensi keyakinan kepada Tuhan, konsep “Paromu inda

sanga poga inda kolota” dalam masyarakat Buton juga terkait erat dengan

paham keyakinan tentang Tuhan, dalam perspektif tasawuf dikenal dengan

paham “ittihad” ataupun “wihdat al-wujud”.

Pandangan di atas bukan tanpa alasan, bila pada corak keislaman

masyarakat Buton yang dalam berbagai hal lebih menonjolkan aspek

mistisme. Konsep atau ajaran “Martabat Tujuh” dalam kehidupan masyarakat

84

Harsin Hamid, Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton, (Jakarta:

Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 21.

Page 56: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

46

Buton dapat dilihat dua perspektif, yaitu sosio kultural dan religio spritural.

Dalam perspektif yang pertama, konsep Martabat Tujuh diartikan sebagai

sistem yang mengatur kehidupan social masyarakat Buton, dalam hal ini

sebagai undang-undang atau falsafah kenegaraan atau konstitusi resmi

kerajaan yang di berlakukan secara formal pada abad 17 hinggah abad 19.

Sedangkan dalam perspektif religio spiritual, konsep ini di jadikan landasan

yang mendasari segala pemahaman dan pengalaman rohani masyarakat Buton.

85

Deskripsi singkat di atas menunjukkan, betapa pengaruh mistik Islam

mengenai sifat Ilahi yang menampak pada wujud insani, memberi warna yang

menyolok dalam sistem dan konsep kekuasaan dan kesultanan buton yang

dalam konsep mistik Islam tampil dengan istilah hulul, ittihad, tajalli, serta

semacamnya. Dalam Bahasa setempat ungkapan tersebut terangkai dalam

sebuah kalimat “poromu inda sangu poga‟a inda kolota”. Perwujudan sifat

Ilahi dalam diri pemegang kekuasaan dalam koteks sejarah Buton masa lalu,

secara ekspelisit digambarkan dan dituangkan dalam undang-undang

Martabat tujuh kesultanan Buton.

Pengaruh kuat paham perwujudan sifat Ilahi yang nampak dalam

wujud insani di Buton, selain disebabkan oleh pengaruh paham mistik

monoteistik Islam, juga dapat dilepaskan dari kemunkinan adanya pengaruh

budya lokal atau peninggalan Hindu. Pandangan ini beralasan mengingat jauh

sebelum penduduk lokal melakukan konversi agama ke dalam Islam, di daerah

ini telah lebih lama terkena pengaruh ajaran Hindu, dimana dalam filsafat ke

Hinduan dikenal dengan konsep: advaita, angsha, aradhana, dan pathisa.

Oleh karena itu, penerimaan konsep mistik Islam tentang sifat Ilahi yang

nampak dalam wujud insani, boleh jadi karena konsep yang mirip telah

terbangun dalam benak masyarakat setempat sebelum Islam datang, sehingga

ajaran Islam dan doktrin yang sama datang dalam bingkai Islam, maka

85

Harsin Hamid, Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton, (Jakarta:

Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 23.

Page 57: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

47

masyarakat setempat tidak mengalami kesulitan untuk mengakomodir paham

tersebut.

Namun demikian, dengan berakhirnya sistem kesultanan dan

terkovensinya Buton kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak

dapat disangkal berdampak pada tatanan pelapisan sosial, demikian juga pada

pemahaman budaya dan religius masyarakat. Jika dalam perspektif historis,

masyarakat Buton dahulunya secara formal dipandu oleh sistem budaya yang

menjadi undang-undang dasar mereka, yaitu Martabat Tujuh dengan sultan

sebagai pemimpin yang diyakini sebagai manusia sempurna, maka pandangan

tersebut telah hilang terkikis bahkan hilang dari permukaan masyarakat Buton.

Dari uraian sekilas tentang tatanan budaya masyarakat Buton, dan

dapat dinyatakan, bahwa konsep nilai budaya masyarakat Buton yang

berkembang dari generasi kegenerasi sangat dipengaruhi oleh faktor

keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat. Dengan kata lain, keyakinan

dan kepercayaan agama yang dipegang memiliki pengaruh yang berarti dalam

menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat

Buton. Kalau ditinjau dari sudut pandang kesejarahan, tradisi beragam orang

Buton telah melewati tiga fase perkembangan yaitu animisme dan dinamisme,

fase Hindu Jawa dan terakhir adalah pengaruh Islam. Dari ketiga fase tersebut,

maka fase pengaruh Islamlah yang dapat dikatakan sebagai ideologi yang

memiliki atau memberi dampak budaya yang sangat besar dan luas. 86

86

Harsin Hamid, Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton, (Jakarta:

Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 24.

Page 58: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

48

BAB IV

MAHAR DAN STATUS SOSIAL DI BUTON

A. Praktek Boka dalam Perkawinan Adat Buton

Sebelum penulis menjelaskan praktek boka dalam perkawinan adat

Buton, saya akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan boka itu. Seperti

yang telah dijelaskan oleh bapak Al-Mujazi Mulku Zahari dan bapak Jaati

yaitu:

Boka adalah aturan (sistem) satuan nilai mahar pernikahan dalam

kebudayaan kesultanan Buton (wawancara tokoh adat Buton, 16 September

2016).87

Kita bisa lihat dari wawancara di atas, bahwasanya boka adalah suatu

bentuk sistem adat yang dilaksanakan pada pernikahan masyarakat Buton

untuk mengatur satuan nilai tukar mahar yang akan dikeluarkan oleh

mempelai pria untuk mempelai wanita, untuk masyarakat setempat khususnya

pada tataran Kesultanan Buton yang harus wajib mengikuti adat dan tradisi

budaya Buton.

Adapun bentuk pengamatan mahar adat syara Wolio Buton menurut

tingkatannya masing-masing 88

Mahar (boka) pada syara adat Wolio Buton terbagi atas tiga tingkatan

yaitu:

Mahar Lalaki (bangsawan)

Mahar Walaka

Mahar Maradika

Mahar Lalaki (bangsawan) Wolio (Buton) terbagi atas tiga tingkatan:

Mahar semua Lalaki (bangsawan) di Buton sebagai dasar (popolo

lalaki)

87

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk Al Mujazi Mulku Zahari 16 September 2016 di

Rumah (Keraton). 88

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk Al Mujazi Mulku Zahari 16 September 2016 di

Rumah (Keraton).

Page 59: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

49

Sultan Sakiul Darul Alam (oputa sangia)

Yang melalui Sultan Idrus (oputa Moko Baadiana)

Mahar Lalaki sebagai dasar popolo lalaki Wolio (Buton) telah

dicantumkan menurut mufakat aparat Sultan, syara Wolio, dengan dasar Rp.

200 perak (200 perak mata kupa) dalam bahasa Buton, dan akan tetapi setelah

dipikirkan kembali, (real dalam bahasa Buton/Wolio, setiap Rp. 200 (200

mata kupa) menjadi 36 rupiah (36 boka). Jadi setiap 200 rupiah berarti sama

dengan: 72 atau 60 boka. dan jika di uraikan menurut hakikatnya, (data yang

tertulis dalam arsip adat masyarakat Buton, November 2004).

Berikut ini di uraikan mengenai beberapa tingkat Boka yang berlaku

pada masyarakat Buton, menurut data pegangan para tokoh adat:89

- Popolo 30 boka = 36 rupiah/perak

- Kalambako 30 boka = 36 rupiah/perak

- Kapobianga 10 boka = 12 rupiah/perak

- Katolosi 5 boka = 6 rupiah/perak

- Kakena kau 5 boka = 6 rupiah/perak

- Katandui 5 boka = 6 rupiah/perak

- Kaempesi 2,5 boka = 3 rupiah/perak

Jumlah semua 87,5 boka = 105 rupiah/perak

Kemudian yang disetor pada pihak perempuan hanya sebanyak 75

boka saja.

Hitungan boka (mahar) sekarang ini sudah menjadi 1 boka 60.000

untuk hitungan nilai tukarnya.

Dengan demikian, bahwa untuk satuan perhitungan boka sekarang

seperti yang di bawa ini:90

- Popolo 30 boka = Rp. 1. 800.000,-

- Kalamboko 30 boka = Rp. 1. 800.000,-

- Kapobiangi 10 boka = Rp. 600.000,-

89

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton). 90

Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton).

Page 60: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

50

- Katolosi 5 boka = Rp. 300.000,-

- Bakena kau 5 boka = Rp. 300.000,-

- Katandui 5 boka = Rp. 300.000,-

- Kaempesi 2,5 boka = Rp. 150.000,-

Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 5. 250.000,-

Dari pemaran boka di atas, terjadi perkembangan dan perubahan

dalam nominal disebabkan waktu dan zaman, maka perhitungan mahar

yang dikeluarkan mengikuti perkembangan zaman, namun tradisi boka

saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat adat Buton.

Budaya dan adat tradisi boka merupakan sistem adat masyarakat

Buton yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat setempat.

Pelaksanaan boka dilakukan setelah empat hari dari kedatangan

penghubung atau tolowea ke pihak keluarga wanita dan mendapat

persetujuan atau mufakat dengan membawa katindana oda (buah-buahan)

belum pasuo (pingitan) bisa juga disebut PEMONEA dan katangkana oni

(kalambe) yang sudah pasuo (pingitan). Empat hari selanjutnya disusul

pula dengan penyerahan suatu pemberian dari piahak pria yang disebut

bakena kau (buah-buahan) penyerahan bakena kau dilakukan dua kali

pada saat penyerahan katindana oda dan pada saat penyerahan boka

(mahar). Pada mempelai wanita ketika diadakan pasuo (pingitan) selama

delapan hari maka pihak pria membawakan beberapa penyerahan yaitu

antuna suo (isi atau biaya pingitan), langsa (dua potong kain masing-

masing panjang dua meter), mantumo (kunyit, burupa buah-buahan dan

makanan), bura (bedak, berupa padi (gabah) sebanyak satu karung), dan

kasipo (suapan uang), semua yang dipaparkan di atas merupakan proses

boka, namun proses adat tersebut mengalami dinamika perubahan dengan

bentuk penyerahan tanpa proses yang panjang, boka tersebut diberikan

ketika lamaran dilaksanakan dan keseluruhan boka dinominalkan ke mata

uang rupiah.

Page 61: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

51

Meskipun demikian, bentuk-bentuk pelaksanaan boka pada

masyarakat Buton mengalami perkembangan dan perubahan, namun tidak

merubah makna adat. Artinya walaupun ada bagian kecil yang berubah,

tetapi secara garis besar adat boka itu masih ada dan masih dijaga serta di

lestarikan sampai sekarang.

Perlu diketahui juga, bahwasanya untuk melakukan perkawinan

bagi orang Buton adalah melalui salah satu yang tersebut di bawah ini;

1. Porbaisa atau Poporae

Pobaisa artinya perkawinan yang melalui persetujuan dari kedua

belah pihak yaitu antara orangtua laki-laki dan orangtua perempuan,

persetujauan ini melalui perantara atau penghbung yang dinamakan

tolowea.

Tolowea ini biasanya laki-laki yang sudah berumur atau pegawai

dan bekas pegawai syarat agama atau yang lain menurut pilihan yang

berkepentingan. Biasa pula berlaku dalam lingkungan keluarga yang

dekat, sebelum ada penghubung yang resmi lebih dahulu diadakan

penghubung rahasia. Maksud penghubung rahasia ini adalah untuk

menghubungi pihak perempuan yang dipinang itu belum atau sudah

ada tunangannya, dan kemunkinan diterimah tidaknya nanti pinangan

yang akan diantarkan. Ini disebut dalam bahasa adat “posolio”.

Akhir-akhir para tolowea atau orang tua perempuan sudah

menambahnya dengan pekerjaan atau pendidikan dari laki-laki. Tepat

pada waktu yang dijanjikan 4 hari sesudah mengantarkan sirih pinang

Tolowea datang kembali pada orang tua perempuan. Beberapa

lamanya bercakap-cakap pihak perempuan membuka pembicaraan:

Adapun maksud kedatangan saudara beberapa hari yang lalu telah

kami terimah baik. (kalau tidak diterimah dikatakan “amadaki okilala”

artinya tidak baik nujumnya). Kalau persetujuan sudah ada dari

perempuan maka diantarkanlah kepada pihak perempuan juga melalui

tolowea apa yang disebut “bale-bale na kau” artinya buah-buahan.

Page 62: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

52

Bagi mereka yang tidak mampu untuk mengantarkan buah-buahan,

dapat diganti dengan uang yang besarnya sebagai berikut:

5 (lima) boka bagi kaum bangsawan = Rp. 6,

3 (tiga) boka bagi kaum walaka = Rp. 3,60

Seandainya perempuan itu belum dipingit yaitu masih “kabua-

bua” maka disamping “bake-bakena kau” juga disertai dengan

“katindana oda”. Ini berupa perhiasan perempuan berupa giwang,

cincin, dan lain-lain. Sekarang sudah menjadi umum walaupun sudah

dipingit juga disertai dengan “katindana oda”.91

Katindana oda kalau diuangkan sebagai berikut:

30 (tiga puluh) boka atau Rp. 36, bagi kaum bangsawan

3 (tiga) boka atau Rp. 3,60, bagi kaum walaka.

Besarnya mas kawin yang disebut dengan bahasa adat “popolo”

ada bertingkat-tingkat menurut adat dan lengkapnya sebagai berikut:92

1) 1000 boka real untuk putri Sultan yang sementara dalam

jabatan.

2) 600 boka real untuk anak cucu Sultan Lang Kariri apabila laki-

laki tidak berasal dari Lang Kariri, tetapi dari bangsawan lain.

3) 400 boka real bagi anak cucu sulta Lang Kariri sendiri.

4) 300 boka real bagi golongan bangsawan lain.

5) Kurang satali 100 boka untuk anak cucu Bontogena 1 Wantiro

dan Bontogena 1 Gama kalau orang tua dari yang bersangkutan

sementara di dalam jabatan sebagai Menteri Besar.

6) 80 boka real bagi kaum walaka keturunan Siolimbona.

7) 40 boka real bagi golongan Limbo.

8) 100 boka real bagi golongan analalaki.

9) 20 boka real untuk kaum papara.

91

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

(Jakarta: 1977), h., 97. 92

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

(Jakarta: 1977), h., 100.

Page 63: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

53

10) 40 boka real untuk golongan budak dari sultan yang sementara

dalam jabatan.

Mas kawin tersebut di atas menjadi nama sebegitu banyak, tetapi

setelah diatur sedemikian rupa pada suatu tempat tertentu yaitu dalam

kopo-kopo dan kimia yang didudukkan di atas kimia kemudian kimia dan

kopo-kopo itu didudukkan di atas kabintingia yaitu baki persegi empat

terbuat dari blit bagi bangsawan dan kayu untuk walaka, kemudian

kabintingia itu dibungkus dengan kain berwarna lalu diantarka ke rumah

perempuan dengan syarat-syarat tertentu.93

Untuk menggampangkan perhitungan mahar maka besarnya itu

dibagi dua, kemudian dari hal itu, tiap-tiap 10 boka dinilai menjadi 3

boka.94

Mahar Putri Sultan

100 boka dibagi dua adalah 500 boka.

500 boka dibagi 10 x 3 = 150 boka atau Rp. 180,-

40 boka kalamboko (kiriman) Rp. 48,-

10 boka kapapobilangi Rp. 12,-

10 boka antona kawi (isi kawin) Rp. 12,-

Jumlah Rp. 252,-

Mahar 600 real

Popolo 300 dibagi 10 x 3 = 90 boka atau Rp. 108,-

Kalamboko 40 boka atau Rp. 48,-

Kapapobiangi 10 boka atau Rp. 12,-

Isi kawin 6 boka atau Rp. 7,2-

Jumlah Rp. 175,20

93

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

(Jakarta: 1977), h., 100. 94

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

(Jakarta: 1977), h., 101.

Page 64: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

54

Katolisiana dingkana 5 boka atau Rp. 6-

Yang di terimah Tolowea:

Katandui 90 x 10 sen = Rp. 9-

Kayempesi 90 x 5 sen = Rp. 4,50-

Junmlah Rp. 13,50

Mahar 400 real

Popolo 200 dibagi 10 x 3 = 600 boka atau Rp. 72,-

Kalamboko 40 boka atau Rp. 48,-

Kapapobingia 10 boka atau Rp. 12,-

Jumlah Rp. 132,-

Katolosina dingkana 5 boka atau Rp. 6,-

Yang di terimah Tolowea:

Katandui 60 x 10 sen = Rp. 6,-

Kayempesi 60 x 5 sen = Rp. 3,-

Rp. 9,-

Mahar 300 real

Popolo 150 dibagi 10 x 3 = 45 boka atau Rp. 54,-

Kalamboko 40 boka atau Rp. 48,-

Kapapobiangi 10 boka atau Rp. 12,-

Rp. 114,-

Katolosina dingkana 5 boka atau Rp. 6,-

Yang d iterimah Tolowea:

Katandui 45 x 10 sen = Rp. 4,50

Kayempesi 45 x 5 sen = Rp. 2,25

Rp. 6,75

Mahar Kura Sarali 100 real

Page 65: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

55

Popolo 50 dibagi 10 x 3 = 15 boka atau Rp. 18,-

Kalamboko 15 boka atau Rp. 18,-

Kapapobiangi 2 boka atau Rp. 2,40

Rp. 38,40

Katolosina dingkana 1 boka atau Rp. 1,20

Yang di terimah Tolowea:

Katandui 15 x 10 sen = Rp. 1,50

Kayempesi 15 x 5 sen = Rp. 0,75

Rp. 2,25

Mahar 80 boka real

Popolo 40 dibagi 10 x 3 = 12 boka atau Rp. 14,40

Kalamboko 12 boka atau Rp. 14,40

Kapapobiangi 2 boka atau Rp. 2,40

Rp. 31,20

Katolosina dingkana 1 boka atau Rp. 1,20

Yang di terimah Tolewa:

Katandui 12 x 10 sen = Rp. 1,20

Kayempesi 12 x 5 sen = Rp. 0,60

Rp. 1,80

Mahar 40 boka real

Popolo 20 dibagi 10 x 3 = 6 boka atau Rp. 7,20

Kalamboko 6 boka atau Rp. 7,20

Rp. 14,40

Page 66: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

56

Yang di terimah Tolowea:

Katandui 6 x 10 sen = Rp. 0,60

Kayempesi 6 x 5 sen = Rp. 0,30

Rp. 6,90

Perlu dijelaskan bahwa perhitungan popolo dari analalaki tidak

diperhitungkan seperti ketentuan popolo lainnya, melainkan langsung

ditetapkan seperti tersebut, oleh karena mengingatkan popolo dari anak

cucu Bontogena 1 Wantiro, yang dimaksud utamanya hanya sekedar untuk

diketahui dengan jelas kalau popolo menurut keturunan siapa. Karena itu

maka diadakan perbedaan.

Demikian perhitungan uang mahar dan penerimaannya yang

selanjutnya dapat diuraikan bahwa pada hari diantarkan uang mahar begitu

pila penerimaannya di rumah kedua bela pihak berkumpul keluarga untuk

turut memeriahkan dan menyaksikan upacara adat. Sebelum diadakan

jamuan makan lebih dahulu Tolowea bersama dengan seorang pengikutnya

(dapat lebih dari satu orang) yang memegang bingkisan mahar,

mengantarkan uang mahar ke rumah pihak perempuan.

2. Uncura

Uncura adalah seorang laki-laki biasa terpaksa untuk datang

sendiri ke rumah perempuan yang dikehendakinya. Dalam hal ini baik

sudah ada ikatan dengan bertunangan menurut adat maupun belum,

dengan maksud untuk mengawininya.

Cepat tidaknya perkawinan ini dilangsungkannya tergantung dari

pihak perempuan, ada kalanya pada malam itu juga tetapi sebaliknya dapat

juga terjadi agak lama sampai satu atau dua tahun. Selama laki-laki berada

di rumah perempuan dari pihak orang tuanya mengirim sejumlah uang

melalui perantara yang dinamakan “balanja” yaitu maksudnya untuk

belanja laki-laki selama berada di rumah perempuan.

Page 67: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

57

3. Popalaisaka

Popalaisaka yaitu membawa lari perempuan. Arti yang

sebennyarnya adalah lari bersama atau “silariang” dalam bahasa

Makassar. Dalam hal ini biasanya bukan hanya karena keinginan sepihak

tetapi atas persetujuan keduanya.

Popalaisaka dilakukan berdasarkan pertimbangan tidak adanya

kemungkinan lagi untuk ditempuh jalan pobaisa atau uncura. Mengenai

ketentuan-ketentuan adat seperti pembayaran uang mahar dan lain-lain

tempat seperti yang diuraikan di atas pada uncura, atau pobaisa tergantung

dari prosedurnya silariang. Kalau atas persetujuan dan perempuan ada

tunangannya maka seperti pobaisa.

4. Humbuni

Humbuni adalah mengambil perempuan dengan jalan kekerasan

yang disertai ancaman. Umumnya terjadi pada larut malam. Inilah jalan

satu-satunya yang terakhir yang ditempuh dimana laki-laki nekad,

disetujui atau tidak oleh pihak perempuan. Dalam hal ini, betapa besarnya

resiko yang harus ditanggung oleh laki-laki.

B. Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Penentuan Jumlah Kadar Boka di

Buton

Sebelum menjelaskan pengaruh stratifikasi sosial terhadap penentuan

jumlah kadar boka di Buton, terlebih dahulu menjelaskan mengapa terjadinya

stratifikasi sosial itu. Statifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang

dibanggakan oleh setiap orang atau kelompok orang dalam kehidupan

masyarakat. Stratifikasi ini dapat terjadi pada setiap masyarakat, bahkan

terjadi pada masyarakat yang paling sederhana sekalipun. Hanya jarak dan

tingkatan antara lapisan-lapisan itu yang berbeda. Pada masyarakat modern

orang berobat cenderung meminta pertolongan Dokter karena tingkatan

ekonomi dan pengetahuannya lebih tinggi dari pada masyarakat sederhana.

Pada masyarakat sederhana orang berobat cenderung meminta pertolongan

Page 68: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

58

pada seorang dukun, bahkan pada zaman modernpun masih banyak anggota

masyarakat yang berobat dengan dukun.

Stratifikasi sosial dapat terjadi dengan sendirinya dalam masyarakat,

dapat pula dibentuk dengan sengaja dalam rangka usaha manusia untuk

mengejar cita-cita bersama. Stratifikasi sosial yang terjadi dengan sendirinya,

seperti pembedaan umur, sifat keaslian adat istiadat, atau munkin harta benda

karena warisan. Sedangkan stratifikasi yang dibentuk dengan sengaja,

biasanya berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan wewnang yang

resmi dalam organisai-organisasi formal, seperti pemerintahan, partai politik,

angkatan bersenjata dan lain-lain bentuk perkumpulan.

Pembagian kekuasaan dan sebagainya itu sama halnya dengan sistem

berlapis-lapisan dalam masyarakat yang menyangkut pembagian uang, tanah,

kehormatan dan benda-benda ekonomis lainnya. Uang dapat dibagi secara

bebas di antara anggota suatu organisasi berdasarkan kepangkatan atau ukuran

senioritas tanpa merusak keutuhan organisasi yang bersangkutan. Malah

apabila dalam suatu system pemerintahan, kekuasaan dan wewenang tidak

dibagi-bagi secara teratur sesuai dengan ukuran stratanya masing-masing,

maka justru akan menimbulkan kekacauan-kekacauan yang tidak hanya

berbahaya bagi keutuhan kehidupan masyarakat, akan tetapi berbahaya pula

bagi suatu Negara.

Menurut Soerjono Soekanto, semua manusia dapat dianggap sederajat,

akan tetapi sesuai dengan kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok

sosial, halnya tidak demikian. Pembedaan atas lapisan-lapisan merupakan

gejala universal yang merupakan bagian dari sistem sosial setiap masyarakat.

Mengenai sumber dasar dari terbentuknya stratifikasi dalam

masyarakat adalah suku bangsa (etnis) dan unsur sosial. Stratifikasi yang

terbentuk bersumber dari etnis apabila ada dua atau lebih grup etnis, di mana

grup etnis yang satu menguasai etnis yang lainnya dalam waktu yang relatif

sama. Sedangkan stratifikasi yang terbentuk dari sumber sosial, karena adanya

tuntutan masyarakat terhadap faktor-faktor sosial tertentu. Faktor-faktor sosial

itu merupakan ukuran yang biasanya ditetapkan masyarakat berdasarkan

Page 69: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

59

sistem nilai yang dipandang berharga. Faktor-faktor sosial yang berharga itu

kemudian dimasukkan pada level tertentu sesuai dengan tinggi rendahnya

daya guna yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya.95

Menurut tradisi Buton, stratifikasi masyarakat Buton ditetapkan pada

masa kekuasaan sultan ke-4, Dayyan Ihsan ad-Din.96

Sultan yang menetapkan

lapisan-lapisan masyarakat ini untuk membedakan golongan yang boleh dan

tidak boleh menduduki tiga jabatan tinggi kesultanan, yaitu sultan, sapati, dan

kenepulu. Dengan demikian, terjadinya klasifikasi disebabkan oleh alasan

politik dan kekuasaan.97

Meskipun stratifikasi masyarakat Buton terjadi karena alasan politis

atau kekuasaan, yang terjadi batas pemisah antara satu dan lain lapisan adalah

garis keturunan, yaitu garis keturunan raja-raja dan garis keturunan bonto

(kepala kampung) sebelum Islam. Wakaka adalah raja pertama di negri Buton.

Disebutkan bahwa perkawinannya dengan Sibatara menghasilkan tujuh orang

putri, yang tertua bernama Bulawambona. Karena suatu sebab, Wakaka

bersama semua anaknya kecuali Bulawambona, pergi meninggalkan Buton.

Putrinya yang ditinggal menggantikannya menjadi raja (ratu). Dari

perkawinan raja ke-2 ini dengan La Baluwu, putra Dungkucangian, Raja

kerajaan Tobe-Tobe, lahirlah beberapa orang anak, Bancapatola atau bernama

juga Bataraguru dan Sembilan saudaranya. Bataraguru menggantikan

kedudukan ibunya sebagai raja ketiga, sementara saudara-saudaranya yang

lain menduduki jabatan bonto (kepala kampung). Raja keenam atau sultan

pertama, Murhum adalah cicit Bataraguru. Dayyan Ihsan ad-Din, La Singga

dan La Bula yang menjadi pangkal keturunan kaomu adalah cucu Sultan

Murhum dari pihak ibu. Awal dari penetapan garis keturunan ini bermula pada

95

Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, (Jakarta: Pt Bumi Askara,

Cetakan Kedua 2002, Cetakan Ketiga 2007, Cetakan Keempat 2012), h., 84-85. 96

Naskah Tertua Yang Menceritakan Hal Ini Berasal Dari Perempat Pertama Abad Ke-

19, Pada Masa Kekuasaan Sultan Muhammad „Aidrus. Dan Menurut Sumber Ini Stratifikasi

Masyarakat itu ditetapkan Oleh Sultan Dayyan Ihsan ad-Din. Lihat Zahari, Asrar, h. 7; Hazirun, h.,

9. 97

Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),

h., 24.

Page 70: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

60

masa pemerintahan Dayyan Ihsan ad-Din. Pada masa kekuasaannya, Sultan

Dayyan Ihsan ad-Din mufakat dengan sapatinya, Sapati La Singga dan

Kenepulunya, Kenepulu La Bula, menetapkan bahwa (sultan, sapati, dan

kenepulu). Keturunan mereka bertiga inilah yang dikenal dengan golongan

kaomu atau disebut juga lalaki atau lakina. Dan keturunan para bonto atau

kepala-kepala kampong pada masa itu yang menjadi golongan walaka atau

maradika.98

Jika ditarik garis keturunan ke atas, golongan kaomu dan walaka

ini bertemu pada satu nenek, La Baluwu dan Bulawambona. Keturunannya

melalui Bataraguru melahirkan golongan kaomu sementara keturunannya

melalui saudara-saudara Bataraguru menurunkan golongan Walaka.99

Mereka yang tidak mempunyai garis keturunan dari kedua golongan di

atas masuk golongan papara. Mereka adalah penghuni daerah kekuasaan

kerajaan yang dikenal dengan limbo atau kadie. Sesuai asal usulnya, ada

papara keturunan dari masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan, da ada

pula yang dtang dri luar dan tunduk di bawah kekuasaan kerajaan dengan

sukarela.100

Lapisan terbawah adalah budak, dikenal dengan nama golongan batua.

Masuk dalam kategori lapisan ini ialah orang yang diturunkan dari ibu-bapak

yang budak. Dan jika ibunya saja yang budak, maka keturunannya tidak

masuk kategori ini, tetapi mengikuti derajat bapaknya. Sedangkan yang masuk

golongan budak adalah: orang papara yang tunduk di bawah kekuasaan

kerajaan dengan paksa, yang disebut dalam adat dengan bente; musuh

kerajaan yang kalah dalam peperangan; orang luar kerajaan yang dirampas

dan dijual kepada golongan pertama atau kedua di atas.

98

Dalam Hal Ini, Zahari Berbedah Dengan Vonk. Menurut Zahari Bataraguru Dengan

Saudara-Saudaranya Yang Menjadi Pangkal Keturunan Walaka, Adalah Saudara Seayah Saja.

Tetapi Menurut Vonk, Mereka Saudara Seibu Dan Seayah. Lihat Zahari, Sejarah I, h., 37, h., 21.

Memorie Van Overgave Yang Ditulis Tahun 1919 Menyebutnya Maradika. Lihat Militaire

Memorie, Militaire Memorie Van Overgave, Boeton, Alg. Rijksarchief, 1919, h. 29. 99

Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),

h., 24-25. 100

Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),

h., 25.

Page 71: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

61

Pemisahan garis keturunan ini sangat keras dalam masyarakat Buton.

Hal ini ditandai dengan tidak dibolehkannya seorang laki-laki walaka

mengawini perempuan kaumu oleh karena kelas kaumu lebih tinggi dari kelas

walaka, meskipun sebaliknya dibolehkan. Orang yang melanggar ketentuan

adat ini pada zaman kesultanan dikenakan hukuman mati.101

Stratifikasi masyarakat Buton bukan hanya dengan atas dasar

kekuasaan, akan tetapi dengan faktor domisili juga. Karena faktor domisili,

lahirlah lapisan-lapisan baru dalam tubuh kaumu dan walaka. Kaumu dan

walaka dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:102

a. Kaumu dan walaka yang menetap di Keraton, pusat Kerajaan.

b. Kaumu dan walaka yang menetap di daerah kekuasaan kerajaan

dan tidak kembali ke Keraton pada waktu Sultan ke-6, Dayyan

Ihsan ad-Din, membagikan daerah kekuasaan kepada para

pembesar kaumu. Hak mereka sebagai kaumu atau walaka hilang.

Derajat mereka turun, dan dalam stratifikasi sosial mereka disebut

analakilaki atau limbo. Yang pertama adalah orang yang berasal

dari kaumu, sementara yang kedua dari golongan walaka.

Meskipun hak mereka hilang, derajat mereka tidak turun menjadi

golongan papara.

c. Kaumu isambali, yaitu kaumu yang lahir dari kaumu yang sudah

menetap diluar Keraton dan beristri orang biasa. Jika mereka kawin

dengan kaumu dan kembali menetap di Keraton, mereka tetap

dianggap sebagai kaumu. Sebaliknya, jika mereka tetap di kadie,

hak mereka untuk menduduki kekuasaan akan hilang, seperti

halnya kaumu yang menetap di Keraton. Kaumu, walaka yang

sudah lama menetap diluar Keraton dan kawin dengan orang kadie,

101

La Ode Man Arfa, Boeton en Haar Standenstelsel, Skiripsi, 1948, h., 23. 102

Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),

h., 26.

Page 72: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

62

kehilangan hak mereka sebagai orang walaka yang menetap di

Keraton.

Berdasarkan domisilinya, papara dapat juga dibagi menjadi:103

a. Papara yang menghuni wilayah yang berada di bawah

kekuasaan langsung penguasa pusat wilayah mereka inilah

yang disebut kadie.

b. Papara yang menghuni wilayah yang tunduk di bawah

kekuasaan kerajaan dan mempunyai struktur pemerintahan

sendiri. Wilayah mereka disebut barata.

Stratifikasi masyarakat Buton sebagaimana disebutkan di atas, baik

atas dasar keturunan atau domisili, menyebabkan terjadinya stratifikasi

masyarakat golongan kaomu dan walaka dalam lapisan-lapisan yang bisa atau

tidak bisa memegang kekuasaan dalam kerajaan.104

C. Pandangan Penulis Tentang Praktek Mahar Dalam Perkawinan

Masyarakat Buton

Pernikahan yang ada di Buton dahulunya merupakan pernikahan

klasifikasi pembentukan masyarakat dengan melihat status sosial dan

keturunan keluarga, bahwasanya keturunan kaomu harus menikahi koamu,

keturunan walaka menikahi walaka, dan kalau dari keturunan walaka

menikahi kaomu maka akan dikenakan pasali dan mata kupa sesuai adat yang

sudah disepakati, namun semenjak perubahan waktu yang bergulir proses

pernikahan sekarang hampir tidak menengok atau melihat status sosial

masyarakat lagi, sehinggah pernikahan adat pun mulai bergeser.

103

Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),

h., 26.

104

Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),

h. ,26.

Page 73: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

63

Dulu pernikahan di Buton sangatlah susah tidak semudah sekarang

dikarenakan semua proses tradisi dalam adat dilakukan secara detail, dari

sebelum pernikahan sampai pernikahan itu selesai, contoh yang dahulu,

sebelum pernikahan keluarga dari pihak laki-laki mereka itu tidak langsung

datang ke rumah pihak perempuan, tetapi memilih dari salah satu orang tua

bekas pegawai syarah atau pemerintah swapraja atau bekas pegawai masjid

Keraton yang disebut tolowea untuk menjadi penghubung. Salah satu dari

orang tua mereka itulah yang menjadi penghubung antara orang tua laki-laki

dan orang tua perempuan yang akan dipinang. Dari hasil konsultasi

penghubung ke pihak keluarga perempuan dapat diketahui jadi tidaknya

pertunangan laki-laki dengan perempuan yang diinginkan, bedah dengan yang

sekarang ini melakukan lamaran kadang dilakukan sendiri oleh pria yang

datang ke pihak orang tua wanita, kemudian pria ini menyatakan sendiri ke

pihak orang tua wanita tersebut untuk langsung melamar wanita tersebut.

Pelaksanaan adat boka dulu dan sekarang sangatlah berbedah dan

pastinya mengalami perubahan. Kalau dulu pelaksanaannya sangat teratur dan

mengikuti adat boka yang berlaku sesuai dengan ketentuannya, akan tetapi

sekarang masyarakat yang melaksanakan adat boka tidak sesuai dengan

ketentuan adat setempat, penyebabnya adalah dinamika perkembangan yang

terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Adapun bentuk perubahannya adalah

berlakunya adat Limba Dolango berubah menjadi adat Mata Kupa.

Limba Dolango adalah bukan suatu ketentuan adat dan juga sistem

adat dari syara‟ agama, tapi suatu luapan hati masyarakat yang dinikahi oleh

masyarakat pendatang, dengan boka yang berlebihan atau bisa disebut sebagai

hukuman bagi pendatang yang menikahi masyarakat Buton. Sedang

perubahan yang terjadi menjadi Mata kupa adalah mahar yang diminta dari

pihak mempelai wanita tanpa diuraikan perhitungan bokanya artinya bagi

masyarakat pendatang menikahi masyarakat Buton asli sudah mendapat

hitungan boka yang tidak ditentukan oleh adat.

Menurut pendapat saya, Praktek mahar dalam masyarakat Buton

sampai sekarang masih sangat dilestarikan dan selalu dijaga oleh toko adat

Page 74: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

64

dan masyarakat setempat. Mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat

yang berlaku di daerah tersebut umumnya dan khususnya adat boka dalam

melaksanakan perkawinan di masyarakat Buton. Dalam pelaksanaan

perkawinan di masyarakat Buton pertama-tama harus membawa cincin dan

katindanaoda. Katindanaoda adalah tanda ikatan atau langkah awal menuju

perkawinan, setelah itu diwajibkan untuk membayar boka. Bagi kaomu

membayar 5 boka sedangkan walaka membayar 3 boka dan masing-masing

satu cincin, sekarang satu boka nilainya Rp 60.000, perlu diketahui

bahwasanya boka ini tidak boleh dilebih-lebihkan dan juga dikurangi itu

semua sudah ditentukan oleh adat.

Page 75: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang sudah penulis paparkan pada

bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil atau menarik kesimpulan

bahwa:

1. Cara menentukan jumlah boka (mahar) di masyarakat adat Buton

jika melangsungkan upacara adat perkawinan yaitu tergantung

status sosial masyarakat Buton, apabila status masyarakat tersebut

tinggi yaitu dari kalangan bangsawan maka jumlah nilai boka

(mahar) nya juga tinggi. Status sosial di masyarakat adat Buton

mempunyai tingkatan yaitu kaomu, walaka dan papara. Dan status

tertinggi di masyarakat adat Buton adalah kaomu (bangsawan).

2. Stratifikasi sosial tidak berpengaruh dalam penentuan jumlah

praktek boka. Letak dan kondisi georafis yang sangat strartegis

oleh sebab itu, banyak masyarakat yang berdatangan dari luar

Buton untuk berdagang, dengan kedatangan masyarakat dari luar

Buton peningkatan ekonomi menjadi tinggi. Dengan demikian,

mempengaruhi jumlah nilai boka. Jadi yang mempengaruhi boka

adalah faktor ekonomi bukan faktor stratifikasi sosial.

B. Saran

Dari kesimpulan yang telah ditulis diatas, akhirnya penulis dapat

memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Hendaknya para toko adat agar bekerjasama dengan mahasiswa

yang berada dalam daerah atau diluar daerah agar budaya dan adat

masyarakat Buton khususnya tradisi boka dan umumnya semua

budaya yang ada di daerah Buton bisa di perkenalkan kesemua

lapisan masyarakat.

2. Bagi masyarakat di daerah atau diluar daerah jika ingin mengetahui

lebih mendalam lagi tentang tradisi boka, agar sekiranya mencari

Page 76: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

66

informasi atau menanyakan langsung dari sumber toko adat yang

ada di Keraton.

3. Bagi para toko adat, cendikiawan dan budayawan yang berada di

daerah agar lebih bisa mengekspor lagi pengetahuan masalah

tentang tradsi boka yang ada di Buton.

Page 77: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

67

DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, ISLAM BUTON. Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal. Badan Litbang

dan Diklat Departemen Agama RI, Oktober 2007.

Aini, Noryamin. Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan

Sturuktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia.

Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991).

Aljaziri, Abdurrahman. Al-fiqh „alaMadzhibal-Arba;ah, Juz 4

Alaidrus, Shariya. “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”,

artikel diakses pada 04 Oktober 2015 dari

http://www.antarnews.com/berita/431398/mahar-dalam-tradisi-pernikaha-

bangsawan-babar

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan Dalam

Dkk, Rosyid, Hatam. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta:

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009).

Ghazali, Abdurrahman. fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006).

Ghazali, Abdurrahman. Fiqih Munakat, (Jakarta: Kencana, 2008).

Hadeli, Metode Penelitian, (Padang: Baitul Hikmah, 2001)

Hamid, Harsin. Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton

(Skripsi 2015).

J. Goode, Wiliam. Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT Bumi Arkasa, 2002).

Kewa Ama, Kornelis. “Mahar kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses

pada 04 Oktober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejak

peradabanntt/read/2010/12/10/08361911

Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

2005).

Kamal, Abdul Malik. Fiqih Sunnah Wanita 2, (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2007).

Page 78: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

68

Lakebo, Berthyn, Zeth Meisu, Zahari, Abd Mulku. Ibu, La Ode. Hasanuddin, Adat

dan Upacara Pernikahan Daerah Sulawesi Tenggara, Proyek Penelitian

dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, 1978/1979

Mazhkur, Ibrahim. al-Mu,jam al-Wasiih, (Beirut: Dar al-Fikr). Jilid ke-2

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,

Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”

Mugniyyah, Muhammad Jawad. fiqih Lima mazhab,Penerjemah Maskur A.B.

dkk., (Jakarta: Lantera, 1999).

Narwoko J. Dwi, Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,

(Jakarta: Kencana, 2007)

Pim, School. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Djambatan-bekerja sama

dengan Perwakilan KITLV-Jakarta, 2003.

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan (Jakarta: 1977).

Rudyansjah, Tony. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers,

2009).

Rahman, abdur. Perkawinan Syariat Islam, (PT. Rineka Cipta, Jakarta)

Sopyan, Yayan. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2009)

Susanto, Zuhdi. Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta,

Rajawali Pers, 2010).

Shomad, Abdul. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum

Indonesia, (Jakarta: Kencana Grup, 2010).

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih

Munakahat dan Undang_Undang Perkawinan.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 2005).

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam,

(Jakarta: UI Press, 1986).

Page 79: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

69

Vergouwen, J. C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: LKiS, 2004).

Yunus, Abd Rahim. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan

Buton Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in

Islamic Studies (INIS), 1994).

Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat Fi Darul Butuni (Buton), (Jakarta:

Depdikbud RI, 1997).

Wawancara:

Wawancara Bpk Al Mujazi Mulku Zahari

Wawancara Bpk La Jaati

Page 80: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

Lampiran 1

DAFTAR PERTANYAAN

Nama : AL MUJAZI MULKU ZAHARI

Umur : 62

Jenis kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Tokoh Adat

1. Bagaimana tataran boka pada masa dahulu?

Jawab: Bagi orang-orang dulu kalau melakukan pernikahan itu dilihat dari istilah

keturunannya, karena dengan silsilahnya itu di masyarakat Buton menjadi keluarga

terpandang, dan apabila ingin melakukan pernikahan prosesnya itu sangatlah Panjang

karena proses pemberian boka itu tidak sekali pemberiannya akan tetapi dilakukan

beberapakali sesui dengan aturan yang telah ditetapkan oleh swapraja.

2. Apa pengertian dari Boka (mahar)?

Jawab: Boka (mahar) adalah aturan (sistem) satuan nilai mahar pernikahan dalam

kebudayaan kesultanan Buton.

3. Bagaimana Cara Menentukan jumlah atau jenis boka (mahar) di masyarakat

Buton?

Jawab: Cara menentukannya yaitu tergantung status masyarakat, apabila status

masyarakat tersebut tinggi maka nilai boka (mahar) nya tinggi juga.

4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

Jawab: Kalau misalkan dulu itu ada aturan yang ditetapkan dan tidak diubah, tapi

kalau sekarang itu harus disesuaikan dengan nilai ekonomi, ekonomi dulu dan

sekarang itu sangatlah bedah di zaman sekarang ini ekonomi sangat tinggi tidak sama

dengan zaman dulu. Jadi menurut saya aturan dan batasan itu ada ada, akan tetapi

harus menyesuaikan waktu.

5. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan penduduk

pendatang, apakah adat boka masih berlaku?

Jawab: Masih tetap berlaku, jadi penduduk asli maupun pendatang jika melaksanakan

upacara perkawinan adat boka tersebut tetap berlaku karena dalam tradisi perkawinan

adat Buton menikah tanpa melakukan prosesi adat boka serasa kurang lengkap dalam

pelaksanaan pernikahan.

6. Apakah stratifkasi sosial berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka?

Page 81: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

Jawab: Stratifikasi sosial tidak berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka

akan tetapi yang mempengaruhi itu adalah peningkatan ekonomi.

7. Apakah ada upaya tertentu yang harus dilakukan untuk mempertahankan adat

dan tradisi boka di kampung ini dan apa saja upaya tersebut?

Jawab: Kalau saya pribadi kita kembali lagi pada peraturan-peraturan yang dulu dan

tetap dilestarikan sampai sekarang seperti apa kata orang tua dulu yaitu bahwa

melestarikan adat dan tradisi tanpa mencampuradukan dengan zaman.

Page 82: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

Lampiran II

DAFTAR PERTANYAAN

Nama : La Jaati

Umur : 51

Jenis kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Tokoh Adat

1. Bagaimana tataran boka pada masa dahulu?

Jawab: Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, tradisi boka dari zaman dulu sampai

dengan saat ini pada tetap dipegang dan dilestarikan yaitu dengan menggunakan

sislsilah keturunan atau status sosial, bagi orang dulu atau para sultan, pernikahan

merupakan sistem pembentukan kekuasaan untuk wilayah, sehinggah boka pada saat

ini masih sangat diperhitungkan melalui silsilah keturunan atau status sosial.

2. Apa pengertian dari Boka (mahar)?

Jawab: Boka itu disebut juga sebongka artinya sebuah atau benda, yang sekarang

dijadikan aturan nilai tukar untuk sistem pernikahan di masyarakat Buton dahulu dan

sampai sekarang.

3. Bagaimana Cara Menentukan jumlah atau jenis boka (mahar) di masyarakat

Buton?

Jawab: Cara menentukannya yaitu tergantung status masyarakat, apabila status

masyarakat tersebut tinggi maka nilai boka (mahar) nya juga tinggi. Kaomu harus

menikah dengan kaomu juga dan walaka menikah dengan walaka juga.

4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

Jawab: Menurut adat Buton itu adalah aturan yang dibuat oleh para tokoh adat Buton

dan juga petuah Buton dan telah disepakati bersama, sedangkan boka tersebut adalah

bagian dari adat. Berarti dalam tradisi boka mempunyai aturan dan batasan dalam

perhitungannya, akan tetapi dilihat dari status sosial dari masyarakat tersebut.

5. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan penduduk

pendatang, apakah adat boka masih berlaku?

Jawab: Ketika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang itu sudah

hal yang biasa bagi masyarakat Buton pada saat sekarang ini, dan boka itu masih tetap

berlaku bagi pendatang, jika dibandingkan dengan zaman dulu atau orang-orang dulu

pernikahan antara penduduk asli dengan pendatang itu sangatlah merusak silsilah

keturunan. bagi masyarakat Buton, hal tersebut bisa memunahkan keturunan atau

Page 83: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)

silsilah akan hilang. Oleh karena itu, para orang tua dulu selalu mengingatkan anak-

anak dan cucunya untuk menikah dengan satu suku atau satu daerah.

6. Apakah stratifkasi sosial berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka?

Jawab: Statifikasi sosial tidak berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka

akan tetapi yang mempengaruhi itu adalah peningkatan ekonomi dan juga gaya hidup

masyarakat.

7. Apakah ada upaya tertentu yang harus dilakukan untuk mempertahankan adat

dan tradisi boka di kampung ini dan apa saja upaya tersebut?

Jawab: Upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan dan menjaga

kelestarian boka tersebut adalah salah satunya dengan menikahkan anak-anak dan

cucu dengan satu daerah dan suku juga, sehinggah adat dan budaya yang ada pada

kita saat ini bisa dijaga dan dilestarikan turun temurun sampai tua kelak.

Page 84: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 85: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 86: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 87: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 88: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 89: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 90: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 91: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 92: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
Page 93: PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44643/1/RAZAK-FSH.pdfPENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)