pengaruh sektor ekonomi dominan terhadap kemandirian
TRANSCRIPT
i
PENGARUH SEKTOR EKONOMI DOMINAN TERHADAPKEMANDIRIAN FISKAL
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
INFLUENCE OF DOMINANT ECONOMIC SECTORON FISCAL INDEPENDENCY
REGENCY/CITY IN SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE
WILDA FATMALA
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2015
ii
PENGARUH SEKTOR EKONOMI DOMINAN TERHADAPKEMANDIRIAN FISKAL
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
T E S I S
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister
PROGRAM STUDIMAGISTER KEUANGAN DAERAH
Disusun dan diajukan oleh
WILDA FATMALA
Kepada
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2015
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : WILDA FATMALA
Nomor Mahasiswa : P2600212509
Program Studi : Magister Keuangan Daerah
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa
pernyataan ini tidak benar maka saya sanggup menerima sanksi/ hukuman
apapun sesuai peraturan yang berlaku.
Makassar, Januari 2015
Yang menyatakan
WILDA FATMALA
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wataala yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini dengan baik sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian studi pada
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud jika
hanya bertumpu pada kemampuan penulis sebagai manusia biasa yang
penuh kekurangan, akan tetapi karya ini dihasilkan atas bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan
hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada yang terhormat Bapak Dr. Sanusi Fattah, SE., M.Si., selaku
Pembimbing I dan Dr. R. A. Damayanti, SE., AK., M.Soc. Sc., CA., selaku
Pembimbing II, atas bimbingannya dalam penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, tak lupa penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Idrus Paturusi, mantan Rektor Universitas Hasanuddin,
dan ibu Prof. Dr. Dwia Tina Palubuhu, MA., Rektor Universitas
Hasanuddin selaku Pembina Program Pengembangan Keuangan
Daerah.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mursalim, mantan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin dan Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S., selaku
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
vi
3. Bapak Prof. Dr. H. Gagaring Pagalung, SE., M.S., AK., CA., selaku
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Dr. Sumardi, SE., M.Si., selaku Ketua Program Studi Magister
Keuangan Daerah.
5. Bapak/Ibu dosen pada Program Studi Magister Keuangan Daerah dan
Pengelola Magister Keuangan Daerah yang banyak memberikan
bimbingan dan arahan.
6. Keluargaku tercinta dan terkhusus kedua orang tuaku La Mala dan
Sumarni, S.Pd. SD. atas kasih sayang dan dukungan moril serta materil
yang tak pernah putus untuk penulis.
7. Suami tercinta Ridwan, S.Pd., atas dukungan dan pengertiannya pada
penulis.
8. Seluruhn rekan-rekan mahasiswa Magister Keuangan Daerah angkatan
2012 Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu, atas partisipasinya kepada penulis
semoga persahabatan kita tetap terjaga selalu.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu yang telah
memberikan partisipasinya dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan setiap orang yang
membacanya mudah-mudahan mendapat balasan pahala yang setimpal.
Makassar, Januari 2015
Wilda Fatmala
vii
ABSTRAK
Wilda Fatmala. Pengaruh Sektor Ekonomi Dominan terhadap KemandirianFiskal Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara (dibimbing oleh SanusiFattah dan R.A. Damayanti).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui besarnya derajatkemandirian fiskal; dan menguji pengaruh (2) sektor pertanian; (3) sektorkonstruksi/bangunan; (4) sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan (5)sektor jasa-jasa terhadap Derajat Kemandirian Fiskal seluruh pemerintahkabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa time series dancross section tahun 2008 sampai tahun 2012 yang dikumpulkan dengan caratelaah dokumentasi. Penelitian ini menjadikan sektor ekonomi dominan yaknisektor pertanian, sektor konstruksi/bangunan, sektor perdagangan, hotel danrestoran, dan sektor jasa-jasa sebagai variabel independennya dan DerajatKemandirian Fiskal sebagai variabel dependennya. Untuk menjawabpermasalahan dalam penelitian ini, data dianalisis dengan rasioperbandingan Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerahdan regresi data panel dengan pendekatan fixed effect menggunakan eviews7.0. Selanjutnya, dilakukan pengujian secara simultan dan parsial atashipotesis penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Derajat Kemandrian Fiskalseluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahunanggaran 2008 sampai dengan 2012 rata-rata sebesar 4.07%. Di manaperkembangan Derajat Kemandirian Fiskal secara positif dan signifikandipengaruhi oleh variabel sektor konstruksi/bangunan, secara positif namuntidak signifikan dipengaruhi oleh variabel sektor pertanian dan sektor jasa-jasa, sementara variabel sektor perdagangan, hotel dan restoran justrumemberikan pengaruh yang negatif dan signifikan.
Kata kunci: desentralisasi fiskal, kemandirian fiskal, Pendapatan AsliDaerah, Produk Domestik Regional Bruto
viii
ABSTRACT
Wilda Fatmala. Influence of Dominant Economic Sector on FiscalIndependency Regency/City in Southeast Sulawesi Province (supervised bySanusi Fattah dan R.A. Damayanti).
The aims of the research were to (1) find out to what extent the Degreeof Fiscal Independency; and examine the influence of (2) agricultural sector;(3) construction/building sector; (4) commerce, hotel and restaurant sectors;and (5) service sector on the Degree of Fiscal Independency of all thegovernments of regencies and cities in Southeast Sulawesi Province.
The research used secondary data in the form of time series and crosssection from 2008 until 2012 obtained using documentation. Independentvariables were agricultural sector, construction/building sector, commerce,hotel and restaurant sectors, and service sector, while dependent variablewas the Degree of Fiscal Independency. The data were analyzed withcomparative ratio between Regional Original Revenue and the Total ofRegional Revenue, and panel data regression and fixed effect approachusing eviews 7.0. Then, simultaneous and partial tests were done forresearch hypothesis.
The result of the research indicate that the Degree of FiscalIndependency of all regencies and cities in Southeast Sulawesi Province inthe budget year from 2008 to 2012 is 4.07% on average. The development ofthe Degree of Fiscal Independency is positively and significantly influenced byconstruction/building sector variable. It is positively but insignificantlyinfluenced agricultural sector and service sector. Meanwhile, commerce, hoteland restaurant sectors have a negative and significant influence.
Key words: fiscal decentralization, fiscal independency, Regional OriginalRevenue, Gross Regional Domestic Product.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.......................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................ v
ABSTRAK. .........................................................................................................vii
ABSTRACT. ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI.........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL..................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 11.1 Latar Belakang ............................................................................................. 11.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 121.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 131.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 152.1 Tinjauan Teoritis .......................................................................................... 15
2.1.1 Desentralisasi dan Desentralisasi Fiskal................................................ 152.1.2 Pendapatan Daerah .............................................................................. 27
2.1.2.1 Pendapatan Asli Daerah................................................................. 292.1.2.2 Dana Perimbangan......................................................................... 392.1.2.3 Lain-lain Pendapatan yang Sah...................................................... 43
2.1.3 Kemandirian Fiskal ................................................................................ 432.1.4 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ........................................... 472.1.5 Produk Domestik Regional Bruto ........................................................... 522.1.6 Penelitian Terdahulu.............................................................................. 56
2.2 Kerangka Pikir ............................................................................................. 612.3 Pengembangan Hipotesis............................................................................ 66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 743.1 Rancangan Penelitian................................................................................. 743.2 Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................................... 743.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel................................... 753.4 Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 76
x
3.5 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 763.6 Teknik Analisis Data ................................................................................... 773.7 Uji Hasil Regresi ......................................................................................... 84
3.7.1 Pengujian Asumsi............................................................................. 843.7.2 Pengujian Model............................................................................... 86
3.8 Definisi operasional .................................................................................... 87
BAB IV HASIL PENELITIAN.............................................................................. 894.1 Analisis Derajat Kemandirian Fiskal seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara .................................................................................... 894.2 Perkembangan Sektor Ekonomi Dominan seluruh Kabupaten dan Kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara....................................................................... 924.2.1 Sektor Pertanian................................................................................ 934.2.2 Sektor Konstruksi/Bangunan ............................................................. 954.2.3 Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ......................................... 964.2.4 Sektor Jasa-jasa................................................................................ 98
4.3 Analisis Pengaruh Sektor Ekonomi Dominan terhadap Derajat KemandirianFiskal seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara ........... 994.3.1 Estimasi regresi Data panel............................................................... 994.3.2 Uji Asumsi ....................................................................................... 1044.3.3 Analisis Hubungan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat ......... 1064.3.4Pengujian Hipotesis pada Masing-masing Variabel Bebas terhadap
Variabel Terikat ............................................................................... 107
BAB V PEMBAHASAN .................................................................................... 1105.1 Pengaruh Sektor Pertanian terhadap Derajat Kemandirian Fiskal ........... 1145.2 Pengaruh Sektor Konstruksi/Bangungan terhadap Derajat Kemandirian Fiskal
................................................................................................................. 1155.3 Pengaruh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap Derajat
Kemandirian Fiskal.................................................................................. 1165.4 Pengaruh Sektor Jasa-jasa terhadap Derajat Kemandirian Fiskal ........... 117
BAB VI PENUTUP........................................................................................... 1276.1 Kesimpulan............................................................................................... 1276.2 Keterbatasan ............................................................................................ 1306.3 Saran........................................................................................................ 132
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 134
LAMPIRAN ..................................................................................................... 141
xi
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 1.1Derajat Kemandirian Fiskal Seluruh Pemerintah Kabupaten danKota di Indonesia Tahun Anggaran 2008 sampai dengan 2012 .................. 4
Tabel 1.2 Realisasi Pendapatan Seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di ProvinsiSulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2007 sampai dengan 2011 (dalam jutarupiah).......................................................................................................... 5
Tabel 1.3 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Asli DaerahSeluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara TahunAnggaran 2008 sampai dengan 2011 (%) .................................................... 9
Tabel 2.1 Kelompok Negara dan Model Hubungan Fiskal ................................. 24
Tabel 2.2 Kriteria Penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal ................................. 27
Tabel 2.3 Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daera .................. 47
Tabel 4.1 Derajat Kemandirian Fiskal Seluruh Kanupaten dan Kota di ProvinsiSulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2008 sampai dengan 2012 (%) ........ 91
Tabel 4.2 Perkembangan Sektor Pertanian Seluruh Kabupaten dan Kota di ProvinsiSulawesi Tenggara Tahun 2008 sampai dengan 2012 (Juta Rupiah) ........ 94
Tabel 4.3 Perkembangan Sektor Konstruksi/Bangunan Seluruh Kabupaten dan Kotadi Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 sampai dengan 2012 (Juta Rupiah)................................................................................................................... 95
Tabel 4.4 Perkembangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran SeluruhKabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 sampai dengan2012 (Juta Rupiah) .................................................................................... 97
Tabel 4.5 Perkembangan Sektor Jasa-jasa Seluruh Kabupaten dan Kota di ProvinsiSulawesi Tenggara Tahun 2008 sampai dengan 2012 (Juta Rupiah)......... 98
Tabel 4.6 Perbandingan Koefisien Determinasi Model Random Effect dengan FixedEffec......................................................................................................... 102
Tabel 4.7 Efek Individual Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara 103
Tabel 4.8 Hubungan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat....................... 107
Tabel 5.1 Kontribusi Dana Perimbangan terhadap Total Pendapatan Daerah. 111
Tabel 5.2 Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Total Pendapatan Daerahseluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009 sampaidengan 2012 (%)...................................................................................... 120
xii
Tabel 5.3 Kontribusi Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap TotalPendapatan Daerah Seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi SulawesiTenggara Tahun 2009 sampai dengan 2012............................................ 121
Tabel 5.4 Kontribusi Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan DanaAlokasi Khusus terhadap Total Belanja Daerah seluruh Kabupaten dan Kota diProvinsi Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2008 Sampai Dengan 2012................................................................................................................. 122
Tabel 5.5 Perbandingan Pajak dan Retribusi Daerah terhadap Produk DomestikRegional Bruto Seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara................................................................................................................ 124
xiii
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
Gambar 2.1 Kerangka Pikir ............................................................................... 65
Gambar 3.1 Model Penelitian ........................................................................... 82
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
HALAMAN
Lampiran 1 Data Derajat Kemandirian Fiskal................................................... 142
Lampiran 2 Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sulawesi Tenggara AtasDasar Harga Konstan 2000 menurut Sektor Usaha Tahun 2008 sampaidengan 2012 (JutaRupiah) ....................................................................... 145
Lampiran 3 Hasil Transformasi Data Menjadi Logaritma Natural ..................... 146
Lampiran 4 Hasil Pooled Least Square............................................................ 148
Lampiran 5 Hasil Fixed Effect Model .............................................................. 149
Lampiran 6 Hasil Random Effect Model........................................................... 150
Lampiran 7 Hasil Uji Chow ............................................................................. 151
Lampiran 8 Hasil Uji Hausman ....................................................................... 152
Lampiran 9 Hasil Regresi Metode Fixed Effect dengan White-Test ................ 153
Lampiran 10 Statistik Deskriptif ...................................................................... 154
Lampiran 11 Uji Multikolinearitas .................................................................... 155
Lampiran 12 Estimasi Model Fixed Effect Setelah White Test ........................ 160
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan proses pelimpahan dan penyerahan
kewenangan dengan asas desentralisasi (Karianga, 2013). Pada prinsipnya asas
desentralisasi adalah: (1) penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau
pemerintah daerah tingkat atasnya kepada daerah untuk menjadi urusan rumah
tangganya sendiri; (2) merupakan suatu asas yang bermaksud melakukan
pembagian wilayah negara menjadi daerah besar dan daerah kecil yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri; (3) merupakan suatu asas
yang bermaksud membentuk pemerintahan di daerah yang diberi wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri; (4) menimbulkan
daerah-daerah otonom; dan (5) merupakan bentuk susunan organisasi negara
yang terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintahan yang lebih rendah yang
dibentuk baik berdasarkan teritorial maupun fungsi pemerintahan tertentu
(Handoyo, 2000). Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan
pemerintahan kepada pemerintah daerah antara lain menumbuh kembangkan
daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing daerah dalam
proses pertumbuhan (Widjaja, 2007).
Agar tujuan desentralisasi tersebut dapat tercapai, menurut Bird dan
Vaillancourt (2000), ada dua persyaratan penting untuk kesuksesan
desentralisasi, yaitu: (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus
demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus
transparan dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk
2
memengaruhi keputusan-keputusan tersebut; (2) yang lebih sesuai dengan
rancangan kebijakan biaya-biaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya
harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu
terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari jenjang pemerintahan
yang lain.
Pandangan yang dikemukakan oleh Bird dan Vaillancourt (2000), juga
didukung oleh pandangan yang dikemukakan oleh Halim (2004), bahwa suatu
daerah dianggap berhasil atau mampu melaksanakan otonomi apabila daerah
tersebut memiliki: (1) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus
memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber
keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahannya; dan (2) ketergantungan pada
bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar Pendapatan Asli Daerah dapat
menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah
menjadi lebih besar.
Menurut Livack dalam Karianga (2013), desentralisasi dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk yaitu: (1) desentralisasi politik; (2) desentralisasi
administrasi; dan (3) desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal tidak bisa
dilepaskan dari konsepsi desentralisasi sehingga apabila desentralisasi
merupakan distribusi kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah,
maka desentralisasi fiskal pun demikian adanya tetapi khusus untuk anggaran.
Desentralisasi fiskal dihubungkan dengan pandangan Bird dan
Vaillancourt (2000) dan Halim (2004), maka sudah seharusnya bagi daerah-
daerah otonom untuk meningkatkan sumber-sumber penerimaanya dengan
melibatkan masyarakat. Sumber-sumber penerimaan keuangan daerah dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok utama yakni: sumber Pendapatan Asli
3
Daerah dan sumber pendapatan non asli daerah (non-Pendapatan Asli Daerah).
Penyelenggaraan otonomi yang sehat hanya tercapai apabila sumber utama
keuangan daerah guna membiayai aktivitas daerah berasal dari Pendapatan Asli
Daerah atau paling tidak pembiayaan rutinnya ditutup oleh hasil Pendapatan Asli
Daerah (Karo, 2005).
Besar kecilnya perolehan Pendapatan Asli Daerah akan menunjukkan
besarnya tingkat kemandirian keuangan suatu daerah. Dalam kaitannya dengan
pemberian otonomi kepada daerah, Pendapatan Asli Daerah selalu dipandang
sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu
daerah kepada pemerintah pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan
Pendapatan Asli Daerah kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) maka akan menunjukkan semakin kecilnya ketergantungan pemerintah
daerah kepada pemerintah pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi
daerah sesuai dengan prinsip secara nyata dan bertanggung jawab (Rinaldi,
2012).
Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan otonomi yang telah berlangsung
kurang lebih 13 tahun, hanya ditemukan sebagian kecil daerah-daerah di
Indonesia yang memiliki tingkat ketergantungan yang kecil kepada pemerintah
pusat atau dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki kemandirian. Adapun
beberapa daerah di Indonesia yang memiliki tingkat ketergantungan yang kecil
pada pemerintah pusat diantaranya adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan
Bangka Belitung yang merupakan provinsi dengan kapasitas fiskal sangat tinggi.
Sementara Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali dan Kepulauan
Riau merupakan provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi. Selanjutnya Sumatera
Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Banten, dan
Papua Barat merupakan provinsi dengan kapasitas fiskal sedang. Sedangkan
4
kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal sangat tinggi antara lain Kota
Padang Panjang, Kota Sawahlunto, Kota Solok (Sumatera Barat), Kabupaten
Bengkalis, Kabupaten Siak dan Kota Dumai (Riau) (Investor Daily, 2013).
Sebagian besar daerah-daerah di Indonesia justru memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa
Pendapatan Asli Daerah di sebagian besar daerah-daerah di Indonesia tidak
berdaya dalam membiayai daerahnya sendiri dan kemampuan daerah dalam
menggali sumber-sember penerimaan daerah sangatlah rendah. Kenyataan ini
dapat dilihat pada tabel Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan kota
di Indonesia pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012 sebagai berikut:
Tabel 1.1Derajat Kemandirian Fiskal Seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di
Indonesia Tahun Anggaran 2008 sampai dengan 2012
TahunAnggaran
Derajat Kemandirian FiskalSeluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia Rata-rata
(%)Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah PAD/TPD
(dalam Juta Rupiah) (dalamJuta Rupiah) (%)
2008 20,243,578 279,106,690 7.25
8.12
2009 22,119,800 295,137,462 7.49
2010 24,555,374 331,832,650 7.40
2011 34,914,155 407,224,096 8.57
2012 45,540,971 460,949,544 9.88
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah tahun 2014)
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa rata-rata Derajat Kemandirian Fiskal
seluruh kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun anggaran 2008 sampai
dengan 2012 adalah sebesar 8.12%. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya
Pendapatan Asli Daerah seluruh kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun
anggaran 2008 sampai dengan 2012 hanya mampu berkontribusi rata-rata
5
sebesar 8.12% pada Total Pendapatan Daerah dan dalam membiayai rumah
tangga seluruh kabupaten dan kota di Indonesia.
Kecilnya kontribusi yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah dalam
membiayai rumah tangga seluruh kabupaten dan kota di Indonesia,
menunjukkan bahwa pada dasarnya sebagian besar kabupaten dan kota di
Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat.
Tingginya tingkat ketergantungan keuangan pada pemerintah pusat dan
rendahnya kemampuan keuangan yang dialami oleh sebagian besar daerah-
daerah di Indonesia, juga ditunjukkan oleh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Hal ini dapat dilihat pada tabel realisasi pendapatan sebagai
berikut:
Tabel 1.2Realisasi Pendapatan Seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2007 sampai dengan 2011(dalam juta rupiah)
No PendapatanTahun Anggaran Rata-rata
Kontribusi(%)
2007 2008 2009 2010 2011
1 Pendapatan Asli Daerah 142,673 186,108 198,478 238,727 265,020 4.01
2 Dana Perimbangan 3,563,039 4,087,472 4,521,454 4,652,656 4,999,532 84.95
3 Lain-lain pendapatan yang
sah183,212 361,706 380,363 673,518 1,237,698 11.04
Total 3,888,926 4,635,287 5,100,297 5,564,902 6,502,251 100.00Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah tahun 2014)
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2007 sampai
dengan 2011, transfer dari pemerintah pusat lah (dana perimbangan) yang
berkontribusi besar terhadap Total Pendapatan Daerah seluruh pemerintah
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Di mana pada tahun
anggaran tersebut pendapatan daerah yang bersumber dari pemerintah pusat
6
berkontribusi hingga rata-rata sebesar 84.95%. Selanjutnya, lain-lain pendapatan
yang sah berkontribusi rata-rata sebesar 11.04%, sedangkan Pendapatan Asli
Daerah hanya mampu berkontribusi rata-rata sebesar 4.01%. Hal ini
menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan dua sumber pendapatan lainnya,
sumber pendapatan yang memberikan kontribusi rendah terhadap total
pendapatan seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara adalah Pendapatan Asli Daerah. Rendahnya kontribusi dari
Pendapatan Asli Daerah pada tahun anggaran 2007 sampai dengan 2011
menunjukkan bahwa pada tahun tersebut seluruh pemerintah kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki ketergantungan yang sangat besar
pada pemerintah pusat dan memiliki kemampuan yang rendah dalam membiayai
daerahnya. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa seluruh pemerintah
kabupaten dan kota Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki kemampuan yang
rendah dalam menggali sumber penerimaan daerahnya untuk membangun
perekonomian di sektor pembangunan.
Ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah yang ditunjukkan oleh seluruh
kabupaten dan kota di Indonesia, khususnya seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara dalam membiayai daerahnya sendiri dapat
menunjukkan bahwa sebagian besar daerah-daerah di Indonesia belum berhasil
dalam menjawab berbagai tantangan otonomi yaitu desentralisasi, khususnya
desentralisasi fiskal. Di mana, desentralisasi fiskal merupakan bagian penting
dalam implementasi otonomi yakni upaya pemerintah daerah untuk memusatkan
perhatiannya untuk memerbesar peranan Pendapatan Asli Daerah dalam
struktur penerimaan daerah guna meningkatkan kemandirian keuangannya
(Zaenuddin, 2012). Sehubungan dengan rendahnya penerimaan daerah
melalui Pendapatan Asli Daerah, pemerintah daerah diharapkan untuk lebih
7
berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi. Hal ini didukung oleh pandangan Saragih (2003), yang
mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat memberi dampak positif
pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Saragih (2003), Peacok dan Wisemen dalam Mangkoesoebroto (2010),
mengemukakan bahwa perkembangan ekonomi akan menyebabkan berbagai
pemungutan pajak yang kemudian akan menyebabkan semakin meningkatnya
pengeluaran pemerintah. Secara tradisional, perubahan atau perkembangan
ekonomi dapat ditunjukkan melalui peningkatan yang berkelanjutan pada Produk
Domestik Bruto atau Produk Domestik Regional Bruto (Saragih dalam Adi,
2005). Produk Domestik Regional Bruto dapat disajikan berdasarkan sektor
lapangan usaha, yaitu: (1) sektor pertanian; (2) sektor pertambangan dan
penggalian; (3) sektor industri pengolahan; (4) sektor listrik, gas dan air bersih;
(6) sektor perdagangan hotel dan restoran; (7) sektor pengangkutan dan
komunikasi; (8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan (9)
Sektor jasa-jasa (Badan Pusat Statistik Kota Baubau, 2012). Di mana tidak
semua sektor ekonomi tersebut dapat berkontribusi atau berpengaruh secara
langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui pajak dan retribusi daerah
seperti halnya sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa,
misalnya sektor pertanian.
Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh Saragih (2003) dan
Peacok dan Wisemen dalam Mangkoesoebroto (2010) serta kaitannya dengan
upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, maka
pemerintah daerah harus selalu berupaya untuk melakukan pengelolalaan yang
baik atas sumber-sumber penerimaan daerah dalam hal ini adalah sektor-sektor
perekonomian yang dapat dijadikan sebagai potensi pajak daerah dan retribusi
8
daerah. Sektor perekonomian yang dapat dijadikan sebagai potensi pajak daerah
dan retribusi daerah diantaranya adalah sektor perdagangan hotel dan restoran
dan sektor jasa-jasa. Hal ini didukung oleh pandangan Samuelson (1955) dalam
teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) bahwa setiap daerah perlu mengetahui
sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat
dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor
itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan (Tarigan, 2005).
Sehubungan dengan adanya pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi
dapat memberi dampak positif pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah, maka
diharapkan bahwa apabila terjadi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah juga
akan diiringi dengan pertumbuhan pada Pendapatan Asli Daerah sebagai
indikator kemandirian keuangan suatu daerah. Namun, jika diamati lebih jauh
mengenai pertumbuhan ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, justru tidak menunjukkan
adanya pertumbuhan yang sejalan. Tidak sejalannya pertumbuhan ekonomi dan
Pendapatan Asli Daerah pada tiap kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara, dapat dilihat pada tabel berikut:
9
Tabel 1.3Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah Seluruh
Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi TenggaraTahun Anggaran 2008 sampai dengan 2011
(%)
Kabupaten/Kota Jenis PertumbuhanTahun
2008 2009 2010 2011
Kabupaten ButonEkonomi 8.7 8.6 7.73 10.84
Pendapatan Asli Daerah 27.15 18.06 26.09 -8.98
Kabupaten MunaEkonomi 8.46 9.86 7.78 9.49
Pendapatan Asli Daerah -7.11 23.91 50.73 -43.68
Kabupaten KonaweEkonomi 7.3 9.71 6.66 7.9
Pendapatan Asli Daerah -32.32 47.84 26.15 37.29
Kabupaten KolakaEkonomi 2.17 1.96 12.04 13.07
Pendapatan Asli Daerah 22.22 43.15 -8.00 15.20
Kabupaten Konawe
Selatan
Ekonomi 9.38 11.68 9.72 8.06
Pendapatan Asli Daerah -55.85 -29.13 77.37 8.81
Kabupaten BombanaEkonomi 8.24 7.74 8.06 7.49
Pendapatan Asli Daerah 467.90 -45.76 72.01 27.93
Kabupaten WakatobiEkonomi 7.21 13.67 11.49 10.43
Pendapatan Asli Daerah 96.13 -21.93 41.47 -17.05
Kabupaten Kolaka UtaraEkonomi 3.64 7.08 7.25 8.93
Pendapatan Asli Daerah 6.30 3.35 -19.37 385.66
Kabupaten Buton UtaraEkonomi 7.57 10.56 9.14 9.33
Pendapatan Asli Daerah - 322.34 42.35 -0.73
Kabupaten Konawe UtaraEkonomi 9.40 11.99 8.22 9.01
Pendapatan Asli Daerah - -26.93 -17.06 -47.97
Kota KendariEkonomi 10.49 11.88 9.89 10.02
Pendapatan Asli Daerah 14.05 5.39 38.07 34.37
Kota BaubauEkonomi 7.79 10.79 9.12 9.40
Pendapatan Asli Daerah 62.27 11.79 -1.73 -10.13
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2014)
10
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa dari 12 kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2011, hanya
Kota Kendari yang menunjukkan adanya perkembangan yang seimbang antara
pertumbuhan ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah yakni setiap kali terjadi
pertumbuhan ekonomi juga diikuti adanya pertumbuhan pada Pendapatan Asli
Daerah. Sementara di 11 kabupaten dan kota lainnya, menunjukkan bahwa
meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi pada tahun tertentu terkadang tidak
diikuti oleh adanya pertumbuhan pada Pendapatan Asli Daerah di tahun yang
sama.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
menitikberatkan pada pertumbuhan perekonomian yang diukur melalui Produk
Domestik Regional Bruto sebagai faktor yang dapat memberikan pengaruh pada
kemandirian fiskal yang juga dikenal sebagai Derajat Kemandirian Fiskal (DKF)
atau juga Derajat Otonomi Fiskal (DOF) dengan Pendapatan Asli Daerah
sebagai indikator utamanya. Zaenuddin (2012) mengemukakan bahwa semakin
tinggi Derajat Kemandirian Fiskal suatu daerah menunjukkan bahwa daerah
tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah pusat.
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Suprajitno
(2003) dengan hasil temuan bahwa pendapatan per kapita, pertumbuhan sektor
pertanian, pertumbuhan sektor industri dan pertumbuhan sektor jasa-jasa
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal
Kabupaten Banjarnegara. Sementara pertumbuhan sektor perdagangan dan
bantuan pemerintah pusat, mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
derajat kemandirian fiskal Kabupaten Banjarnegara. Adapun yang menjadi
perbedaan dalam penelitian ini yaitu pada penelitian Suprajitno (2003) dilakukan
11
di Kabupaten Banjarnegara dengan menetapkan pendapatan per kapita,
pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor industri, pertumbuhan sektor
perdagangan, hotel dan restoran, pertumbuhan sektor jasa-jasa serta bantuan
pemerintah pusat sebagai faktor-faktor yang memengaruhi kemandirian fiskal.
Penghitungan Derajat Kemandirian Fiskal digunakan rasio Pendapatan Asli
Daerah terhadap total penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (tidak termasuk transfer dari pemerintah pusat). Sedangkan dalam
penelitian ini, penulis hanya menetapkan sektor-sektor perekonomian yang
berkontribusi dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto sebagai faktor-
faktor yang dapat memengaruhi kemandirian fiskal seluruh pemerintah
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun sektor-sektor
ekonomi tersebut adalah sektor pertanian, sektor konstruksi/bangunan, sektor
perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa (lampiran 2). Alasan
pemilihannya lebih dikarenakan bahwa sektor ekonomi tersebut dengan
perannya yang besar dalam perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
maka dapat dijadikan sebagai potensi terbesar pajak dan retribusi daerah yang
dapat diserap. Selanjutnya, untuk penghitungan Derajat Kemandirian Fiskal
dalam penelitian ini digunakan rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total
Pendapatan Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selain
itu, data dalam penelitian ini diolah dengan regresi data panel menggunakan
eviews 7.0.
Penelitian ini akan dilakukan pada seluruh pemerintah kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan maksud untuk mengetahui pengaruh
dari tiap sektor ekonomi yang berkontribusi dominan dalam Produk Domestik
Regional Bruto terhadap Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara. Penulis memilih seluruh pemerintah kabupaten
12
dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dikarena seluruh kabupaten dan kota
tersebut masih memiliki tingkat kemandirian yang sangat rendah dalam
membiayai rumah tangganya sendiri dan memiliki ketergantungan yang sangat
besar pada pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari sangat kecilnya kontribusi
Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerah.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat
bagi penelitian-penelitian di masa depan. Khususnya, penelitian mengenai
pengaruh sektor-sektor perekonomian yang berkontribusi dominan dalam Produk
Domestik Regional Bruto terhadap kemandirian fiskal yang diukur dengan
Derajat Kemandirian Fiskal.
1.2 Rumusan Masalah
Ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah bagi daerah-daerah di
Indonesia dalam membiayai daerahnya sendiri dapat menunjukkan bahwa
sebagian besar daerah-daerah di Indonesia tidak berhasil dalam menjawab
berbagai tantangan otonomi yaitu desentralisasi fiskal. Di mana, desentralisasi
fiskal merupakan bagian penting dalam implementasi otonomi yakni upaya
pemerintah daerah untuk memusatkan perhatiannya untuk memerbesar peranan
Pendapatan Asli Daerah dalam struktur penerimaan daerah guna meningkatkan
kemandirian keuangannya.
Ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai daerahnya
sendiri, menunjukkan bahwa kemampuan sebagian besar daerah-daerah di
Indonesia dalam meningkatkan penerimaannya melalui Pendapatan Asli Daerah
pada umumnya masih sangat rendah dan ketergantungan pada bantuan
pemerintah pusat masih tinggi. Hal ini menunjukkan rendahnya Derajat
Kemandirian Fiskal atau Derajat Otonomi Fiskal daerah. Rendahnya Derajat
13
Kemandirian Fiskal dipengaruhi oleh variabel tingkat perkembangan ekonomi
yang dapat diukur melalui perkembangan Produk Domestik Regional Bruto.
Sehubungan dengan penelitian ini, penulis menetapkan sektor ekonomi yang
berkontribusi dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto sebagai faktor
yang dapat memengaruhi Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan uraian di atas, masalah pokok dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Derajat Kemandirian Fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara?
2. Apakah sektor pertanian berpengaruh terhadap Derajat Kemandirian Fiskal
seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara?
3. Apakah sektor konstruksi/bangunan berpengaruh terhadap Derajat
Kemandirian Fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara?
4. Apakah sektor perdagangan, hotel dan restoran berpengaruh terhadap
Derajat Kemandirian Fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara?
5. Apakah sektor jasa-jasa berpengaruh terhadap Derajat Kemandirian Fiskal
seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui besarnya Derajat Kemandirian Fiskal seluruh pemerintah
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
14
2. Menguji pengaruh sektor pertanian terhadap Derajat Kemandirian Fiskal
seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
3. Menguji pengaruh sektor konstruksi/bangunan terhadap Derajat Kemandirian
Fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara.
4. Menguji pengaruh sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap Derajat
Kemandirian Fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara.
5. Menguji pengaruh sektor jasa-jasa terhadap Derajat Kemandirian Fiskal
seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
bahan bacaan mengenai faktor yang memengaruhi Derajat Kemandirian
Fiskal suatu daerah. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
masukan dan informasi bagi peneliti lain untuk mengadakan penelitian lebih
lanjut.
2. Manfaat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai
bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi seluruh pemerintah daerah
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menjalankan tugas
dan fungsi pemerintah guna perumusan kebijakan baru yang bersifat
administratif maupun teknis dalam rangka otonomi daerah khususnya yang
berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan Derajat Kemandirian Fiskal
dalam membiayai pembangunan dan melaksanakan pelayanan kepada
masyarakat.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Desentralisasi dan Desentralisasi Fiskal
Bird dan Vaillancourt (2000) mengemukakan bahwa dorongan
desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-
negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar belakang
atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia,
kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat
pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara,
dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan
sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif.
Desentralisasi merupakan sebuah strategi bagaimana membuat
demokrasi bekerja dalam suatu negara (making democracy work). Apabila
demokrasi dimaknai sebagai kerangka kerja bagi design demokrasi modern,
maka harus tercipta penyebaran kekuasaan di mana kedaulatan rakyat (people
sovereignty) memiliki peran yang sangat besar dalam mewujudkan dan
mengelola pemerintahan modern. Dalam konteks seperti ini, proses pembagian
dan pendelegasian kekuasaan dalam suatu negara seharusnya diletakkan dalam
kerangka mengembalikan kedaulatan rakyat dengan suatu kompensasi publik
(public compensation) untuk menata dan mengelola pemerintahan yang baik
mulai dari tingkat atas (pusat) sampai dengan tingkat bawah (daerah) (Saputra,
2012).
Kartasapoetra dalam Karianga (2013), mengemukakan bahwa
desentralisasi merupakan penyerahan urusan dari pemerintahan pusat kepada
16
daerah menjadi urusan rumah tangganya. Penyerahan urusan ini bertujuan
untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan serta sebagai
pendemokratisasian pemerintahan, untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pandangan serupa
juga dikemukakan oleh Adisubrata (2002), bahwa desentralisasi adalah
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di negara
kesatuan yang meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa
urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat seperti hubungan luar negeri,
pengadilan, moneter dan keuangan serta pertahanan keamanan. Jadi, secara riil
desentralisasi merupakan kewenangan daerah yang dilimpahkan oleh
pemerintah pusat, di mana dengan kewenangan yang telah diserahkan tersebut
pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat diharapkan dapat mengurus
rumuh tangganya sendiri. Menyangkut urusan rumah tangganya, tiap daerah
diharapkan dapat membiayai urusan rumah tangganya dengan menggali semua
potensi-potensi ekonomi yang ada di daerah dan dapat diserap menjadi
pendapatan daerah, dalam hal ini dengan meningkatkan perekonomian daerah
yakni Produk Domestik Regional Bruto dengan melibatkan masyarakat.
Menurut Bird dan Vaillancourt (2000), ada dua persyaratan penting untuk
kesuksesan desentralisasi terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi
mikro, yaitu: (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis,
yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan
dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk memengaruhi
keputusan-keputusan tersebut; (2) yang lebih sesuai dengan rancangan
kebijakan biaya-biaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya harus
ditanggung oleh masyarakat setempat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi
“ekspor pajak“ dan tidak ada tambahan transfer dari jenjang pemerintahan yang
17
lain. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah perlu memiliki kontrol atas tarif dari
paling tidak beberapa jenis pajak.
Selanjutnya, keberhasilan desentralisasi pada suatu daerah dapat
diketahui dengan memerhatikan derajat desentralisasi suatu daerah yang dapat
disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu (Fesler dalam Muluk, 2007), yakni:
1. Derajat desentralisasi dapat dilihat dari fungsi atau urusan yang dijalankan
oleh pemerintah daerah. Semakin banyak fungsi yang didesentralisasikan
maka semakin tinggi pula derajat desentralisasinya.
2. Jenis pendelegasian fungsi, yang terdiri dari open-end arrangement atau
general competence dan ultra-vires doctrine. Jika open-end arrangement
atau general competence maka dapat dianggap derajat desentralisasinya
lebih besar.
3. Jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah, di mana kontrol
represif derajat desentralisasinya lebih besar daripada kontrol yang bersifat
preventif.
4. Berkaitan dengan keuangan daerah yang menyangkut sejauh mana adanya
desentralisasi pengambilan keputusan, baik tentang penerimaan maupun
pengeluaran pemerintah daerah.
5. Tentang metode pembentukan pemerintah daerah. Derajat desentralisasi
akan lebih tinggi jika sumber otoritas daerah berasal dari ketetapan legislatif
daripada pendelegasian dari eksekutif.
6. Derajat ketergantungan finansial pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat. Semakin besar persentase bantuan pemerintah pusat daripada
penerimaan asli daerah. Hal ini berarti derajat desentralisasi lebih rendah.
7. Besarnya wilayah pemerintah daerah, di mana ada tanggapan bahwa
semakin luas wilayahnya maka semakin besar derajat desentralisasinya
18
karena pemerintah daerah lebih dapat mengatasi persoalan dominasi pusat
atas daerah. Meskipun demikian, hubungan antara besaran wilayah dengan
kontrol masih terbuka untuk diperdebatkan.
8. Politik partai. Jika perpolitikan di tingkat lokal masih didominasi oleh
organisasi politik nasional maka derajat desentralisasinya dianggap lebih
rendah daripada jika perpolitikan di tingkat lokal lebih mandiri dari organisasi
organisasi politik nasional.
9. Struktur dari sistem pemerintahan desentralisasi. Sistem pemerintahan yang
sederhana dianggap kurang desentralistis bila dibandingkan dengan sistem
yang kompleks.
Derajat desentralisasi dapat disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu
seperti yang telah dikemukakan di atas, di mana dua diantaranya adalah yang
berkaitan dengan keuangan (fiskal) yakni menyangkut sejauh mana adanya
desentralisasi pengambilan keputusan, baik tentang penerimaan maupun
pengeluaran pemerintah daerah dan juga derajat ketergantungan finansial
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Menurut Livack dalam Karianga (2013), desentralisasi dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk yaitu: (1) desentralisasi politik; (2) desentralisasi
administrasi; dan (3) desentralisasi fiskal. Hal yang tidak jauh berbeda dengan
yang dikemukakan oleh Livack, Dillinger dalam Ladjin (2008) bahwa
desentralisasi dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu:
1. Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada
warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat
untuk mengambil keputusan publik.
2. Desentralisasi adminitratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan
untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber
19
keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab
tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan
manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas
tertentu, atau perusahaan tertentu. Desentralisasi administratif pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hierarki
dengan pemerintah pusat
b. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu: pelimpahan
wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar
struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh
pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan
ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang
mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan
pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak
pemberi wewenang (sovereign-authority).
c. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas
pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang
tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana
pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya,
pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas
pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas
pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah
daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan
20
kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali
sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya.
Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki
organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of
administrative decentralization.
3. Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization), yaitu pelimpahan wewenang
dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup:
a. Self-financing atau cost recovery dalam pelayanan publik terutama
melalui pengenaan retribusi daerah
b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi
dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.
c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat serta
pinjaman daerah (sumber daya alam).
4. Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu
kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan
dengan kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari
pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi
ekonomi pasar.
Untuk melihat seberapa jauh desentralisasi sudah dilakukan lebih bersifat
dekonsentrasi, delegasi, atau devolusi, tergantung apakah seseorang
mengamatinya dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke atas (bottom
up) (Bird, 1980).
Konsep desentralisasi fiskal tidak dapat dilepaskan dari konsepsi
desentralisasi sehingga apabila desentralisasi merupakan distribusi kewenangan
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka desentralisasi fiskal pun
21
demikian adanya tetapi khusus untuk anggaran. Desentralisasi fiskal adalah
memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur anggaran sehingga
kebutuhan daerah menjadi tanggung jawab dari daerah dengan memanfaatkan
sumber-sumber penerimaan yang telah diatur dalam seluruh peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan negara dan daerah. Dalam hal ini,
peran pemerintah pusat dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan yaitu
pembagian penerimaan antar-tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-
fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi (Karianga, 2013).
Desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi,
efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana (Bird dan
Vailancourt, 2000), serta berbagi beban keuangan dengan kawasan dan kota
(Todaro dan Smith, 2004). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi
daya saing suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah
dapat menawarkan paket pajak dan pelayanan publik yang terbaik dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pilihan publik (Stocker, 1991).
Selanjutnya Khusaini (2006), mengemukakan bahwa dalam membahas
desentralisasi fiskal umumnya terdapat tiga variabel yang sering digunakan
sebagai representasi desentralisasi fiskal, yaitu:
1. Desentralisasi pengeluaran
Indikator variabel dari desentralisasi pengeluaran adalah rasio pengeluaran
total masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pemerintah
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta rasio pengeluaran daerah
terhadap total pengeluaran pemerintah (tidak termasuk pertahanan dan
tunjangan sosial). Variabel ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran
pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
22
2. Desentralisasi pengeluaran pembangunan
Variabel ini merupakan rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-
masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pembangunan nasional
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Variabel ini menunjukkan
besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara
pemerintah pusat dan daerah. Variabel ini juga mengekspresikan besarnya
alokasi pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah,
serta dasar untuk mengetahui kondisi pemerintah daerah dalam
melaksanakan investasi sektor publik. Hubungan positif yang terjadi antara
variabel terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa pemerintah
lokal dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor publik.
3. Desentralisasi penerimaan
Variabel ini merupakan rasio antara total penerimaan masing-masing
kabupaten/kota (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) terhadap total
penerimaan pemerintah dan menjelaskan besaran relatif antara pemerintah
daerah terhadap penerimaan pemerintah pusat.
Hubungannya dengan pengamatan dari atas ke bawah (top down) atau
dari bawah ke atas (bottom up), pendekatan desentralisasi fiskal dari bawah ke
atas (bottom up) umumnya menekankan nilai politis, misalnya perbaikan dalam
kaitannya dengan kemauan menerima saran dan partisipasi politik lokal dan
efisiensi alokasi dalam arti perbaikan kesejahteraan. Sedangkan pendekatan
fiskal dari atas ke bawah (top down) menekankan bahwa kriteria utama untuk
mengevaluasi desentralisasi fiskal adalah seberapa baik hal ini dapat membantu
tercapainya tujuan-tujuan kebijakan nasional (Bird dan Vaillancourt, 2000).
Perspektif bottom up (endogenous) mungkin lebih tepat untuk negara-
negara seperti India, Afrika Selatan, atau Bosnia- Herzegovina (dalam Bird dan
23
Vaillancourt, 2000), sebab heterogenitas daerah dan daerah memiliki potensi
untuk mandiri. Sedangkan perspektif top down (exogenous) tampak lebih tepat
pada negara-negara berkembang secara umum (Bird, 1993), misalnya di Cina
(Bird dan Vaillancourt, 2000) menyatakan bahwa reformasi perpajakan dan
perimbangan keuangan pusat-daerah, akhir-akhir ini bertujuan untuk
menegaskan kembali kontrol makro ekonomi dan untuk menjamin sumber-
sumber yang cukup bagi pusat untuk mencapai tujuan-tujuan, untuk
pembangunan infrastruktur penting antar daerah. Indonesia berdasarkan kajian
Shah dalam Bird dan Vaillancourt, 2000) menggolongkan desentralisasi fiskal
yang berjalan berdasarkan pendekatan perspektif top down, yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan nasional.
Bird dan Vaillancourt (2000) juga menjelaskan bahwa terdapat dua model
hubungan fiskal antara pemerintah yang berlaku saat ini, yaitu: federalisme fiskal
(fiscal federalism) dan keuangan federal (federal finance). Konsep federalisme
fiskal maksudnya adalah Pemerintahan Daerah Tingkat II (kabupaten/kota)
merupakan kepanjangan tangan dari pusat atau, di beberapa negara yang
berbentuk federal, pemerintahan negara bagian (state) bukan merupakan pelaku
otonom. Implikasi dari hubungan fiskal model federalisme fiskal ini adalah
berbagai bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
(Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II) dalam rangka untuk menggalakkan
otonomi regional dan untuk memerbaiki infrastruktur lokal, biasanya akan
dibelanjakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan pedoman dan sektor-sektor
yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Berbeda dengan model federalism
fiskal, dalam keuangan federal model hubungan fiskal yang terjadi adalah
hubungan fiskal antara pemerintah pusat (federal) dengan pemerintah negara
bagian/propinsi (state) dan hubungan fiskal antara pemerintah negara
24
bagian/propinsi (state) dengan pemerintah lokal (kabupaten/kota). Dimana
masing-masing pemerintahan memiliki kewenangan (otonomi) yang jelas
terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal.
Beberapa negara, baik negara maju maupun negara berkembang yang
menggunakan kedua model hubungan fiskal ini (termasuk) Indonesia, dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1Kelompok Negara dan Model Hubungan Fiskal
Kelompok Negara Federalisme Fiskal Keuangan Federal
Negara Maju Prancis, Jepang Amerika Serikat, Kanada
Negara BerkembangIndonesia, Kolombia,
Maroko, Tunisia
India, Brasil, Argentina,
Pakistan, Afrika Selatan
Negara Transisi Cina, VietnamRusia, Bosnia
Herzegovina
Sumber: Bird dan Vaillancourt (2000)
Desentralisasi fiskal akan mendekatkan pemerintah kepada masyarakat
(their constituents), sehingga dalam sistem pemerintahan yang desentralistik
akan menciptakan efisiensi dalam perekonoimian, public services dan
kesejahteraan masyarakat yang dapat dijelaskan oleh fiscal federalism theory
(Ross, 2002 dalam Khusaini, 2006). Berbagai kajian literatur tentang fiscal
federalism, terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak ekonomi dari
desentralisasi (Ross, 2002 dalam Khusaini,2006) yaitu :
1. Traditional theories (first generatioon theory)
Pandangan teori tradisional tentang fiscal federalism menekankan
keuntungan alokatif dari desentralisasi, untuk mendapatkan kemudahan
informasi dari masyarakat. Dalam hal ini, terdapat dua ide yang mendasari
keuntungan alokatif . Pertama, Penggunaan “ knowledge in society “, dimana
25
menurut Hayek (1945), proses pengambilan keputusan yang
terdesentralisasi akan memermudah penggunaan informasi yang efisien.
Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai informasi
yang lebih baik daripada pemerintah pusat tentang kondisi daerah sehingga
pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan tentang
penyediaan barang dan jasa publik daripada jika diserahkan ke pemerintah
pusat. Kedua, Tiebout (1956) mengenalkan dimensi persaingan dalam
pemerintah daerah dan mempunyai pandangan bahwa kompetisi antara
pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan
masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan
selera dan keinginan masyarakat. Suatu analogi argument lainnya yang
dikenel dengan ungkapan “love it or leave it“. Tiebout menekankan bahwa
tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak
yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat
lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal
di lingkungan yang angaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling
tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang
dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan
pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik
bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu
meninggalkan wilayah tersebut (leave) atau tetap tinggal di wilayah tersebut
(love) dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalaui
perwakilannya di daerah (DPRD) (Hyman,1993, dalam Khusaini, 2006).
Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk
mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan
barang publik pada tingkat lokal.
26
2. New perspective theories (second generation theories)
Second generation theories, menjelaskan bagaimana desentralisasi akan
memengaruhi perilaku pemerintah daerah. Dengan implementasi
desentralisasi fiskal apakah pemerintah daerah akan berprilaku berbeda
dengan ketika dalam sistem pemerintahan yang sentralistik. Secara teoritik,
seharusnya pemerintah daerah akan berprilaku berbeda ketika pemerintah
pusat menyerahkan berbagai kewenangan kepada pemerintah daerah, yaitu
semakin berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Implikasi
penting dari teori ini adalah bahwa desentralisasi akan mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
dimana hal tersebut sangat bergantung pada fiskal insentif yang diberikan
kepada masyarakat.
Sebelumnya telah dipaparkan tentang pandangan Bird dan Vaillancourt
(2000), bahwa ada dua persyaratan penting untuk kesuksesan desentralisasi
terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro. Dihubungkan dengan
desentralisasi fiskal yang didukung oleh pandangan yang dikemukakan oleh Bahl
(1999), bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan
pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing power). Adanya kemampuan
pajak, maka pemerintah daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang
besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah dapat berdampak positif, di
mana pajak tersebut akan digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur
dan membiayai berbagai pengeluaran publik (Bahl, 1999).
Untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan suatu daerah dalam
menjalankan desentralisasi fiskal, dapat diukur dengan menggunakan
perhitungan sebagai berikut: (1) Derajat Desentralisasi Fiskal adalah
27
perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan
daerah (TPD); (2) Derajat Desentralisasi Pajak adalah perbandingan antara bagi
hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap total penerimaan daerah (TPD);
dan (3) Derajat Desentralisasi Bantuan adalah perbandingan antara sumbangan
atau bantuan/transfer (SB) yang diterima pemerintah terhadap total penerimaan
daerah (TPD) (Zaenuddin, 2012). Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk
menetapkan Derajat Desentralisasi Fiskal adalah:
Tabel 2.2Kriteria Penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal
PAD, BHPBP dan SB terhadap TPD(%)
Derajat Desentralisasi Fiskal
0.00 – 10.00
10.01 – 20.00
20.01 - 30.00
30.01 – 40.00
40.01 – 50.00
> 50.00
Sangat Kurang
Kurang
Sedang
Cukup
Baik
Sangat Baik
Sumber : Tim Litbang Depdagri –Fisipol UGM (1991)
2.1.2 Pendapatan Daerah
Telah kita ketahui bahwa kegiatan pemerintah termasuk pemerintah
daerah semakin meningkat dari masa ke masa. Sebagai konsekuensinya maka
diperlukan pembiayaan atas pengeluaran pemerintah yang tidak sedikit
jumlahnya sesuai dengan semakin luasnya kegiatan pemerintah. Agar supaya
kebutuhan biaya bagi pengeluaran pemerintah daerah dapat dipenuhi maka
daerah memerluakan aliran uang masuk ke kas daerah sebagai penerimaan
atau pendapatan daerah.
Fauzi dan Iskandar (1982) dalam Saharuddin (2001) mendefinisikan
pendapatan daerah sebagai komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
28
Daerah untuk membiayai pembangunan dan melancarkan jalannya roda
pemerintahan. Karena itu, tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar
pendapatan daerah dapat dipungut seintensif mungkin.
Agar supaya kebutuhan biaya bagi pengeluaran pemerintah daerah dapat
dipenuhi, maka kepala daerah diberikan kewenangan-kewenangan untuk
melaksanakan berbagai urusan rumah tangganya, salah satu di antaranya
adalah kewenangan dalam bidang keuangan daerah (Adisasmita, 2011) yang
meliputi: (1) pemungutan sumber-sumber pendapatan daerah; (2)
penyelenggaraan, pengurusan, pertanggung jawaban dan pengawasan
keuangan daerah; dan (3) penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan perhitungan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002) dalam Safi (2012)
yang mengungkapkan bahwa pendapatan daerah adalah arus masuk bruto
manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas atau kegiatan operasi entitas
pemerintah selama satu periode yang mengakibatkan penambahan ekuitas dan
yang bukan berasal dari pinjaman yang harus dikembalikan. Selanjutnya, Safi
(2012) mengemukakan bahwa penerimaan atau pendapatan daerah adalah
semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sedangkan Aryanto (2001),
mendefinisikan pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui
rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar, yang
merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar
kembali oleh daerah. Bedasarkan ketiga pandangan tersebut, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pendapatan daerah merupakan semua penerimaan daerah
baik yang bersumber dari daerah yang bersangkutan maupun pemerintah di
29
atasnya sebagai arus masuk dari manfaat aktivitas ekonomi pada tahun
anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali
Adapun kelompok pendapatan yang dapat dikelola oleh daerah menurut
Rosdini (2008) adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2. Dana perimbangan (pendapatan transfer)
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
2.1.2.1 Pendapatan Asli Daerah
Salah satu tujuan utama dari desentralisasi fiskal adalah terciptanya
kemandirian daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu menggali sumber-
sumber keuangan lokal, khususnya melalui Pendapatan Asli Daerah. Daerah
yang memiliki tingkat pertumbuhan daerah yang positif mempunyai kemungkinan
memerbaiki kondisi perekonomian menjadi lebih baik (Sidik, 2002). Kemandirian
keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain
(Silaen, Widjayanto dan Effendy, 2012).
Pendapatan Asli Daerah sebagai indikator utama penentu tinggi
rendahnya derajat kemandirian fiskal suatu daerah, sejauh ini masih memiliki
kontribusi yang rendah dalam membiayai daerahnya. Rendahnya kontribusi
Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai daerahnya menunjukkan bahwa
daerah tersebut masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada
pemerintah pusat serta menunjukkan masih terbatasnya peran pemerintah
daerah dalam melaksanakan pembangunan (Sriyana, 1999). Adapun faktor-
faktor yang dapat memengaruhi rendahnya Pendapatan Asli Daerah pemerintah
kabupaten/kota antara lain: (1) banyak sumber pendapatan kabupaten/kota yang
30
besar tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan
bermotor dan Pajak Bumi dan Bangunan; (2) badan usaha milik negara belum
banyak bisa memberikan keuntungan kepada pemerintah daerah; (3) kurangnya
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan pungutan liar; (4)
adanya kebocoran-kebocoran; (5) biaya pungut yang masih tinggi; (6) banyak
peraturan daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan; (7) kemampuan
masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah (Widayat, 2000).
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang
harus terus menerus dipacu pertumbuhannya. Pendapatan Asli Daerah
bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Pendapatan Asli Daerah dapat dijadikan sebagai indikator dalam
menilai tingkat kemandirian suatu daerah dalam mengelola keuangan
daerahnya, makin tinggi rasio Pendapatan Asli Daerah jika dibandingkan dengan
total pendapatan makin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah (Kusnandar dan
Siswantoro, 2012)
Tambunan dalam Jolianis (2012) mengemukakan bahwa Pendapatan
Asli Daerah merupakan salah satu sumber pembelanjaan daerah, jika
Pendapatan Asli Daerah meningkat maka dana yang dimiliki oleh pemerintah
daerah akan lebih banyak dan tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula,
sehingga pemerintah daerah akan memiliki kesempatan yang tinggi untuk
membangun perekonomiannya. Sedangkan Mardiasmo (2002) menyatakan
bahwa Pendapatan Asli Daerah adalah suatu pendapatan yang akan
menunjukkan kemampuan daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana
untuk membiayai kegiatan rutin maupun pembangunan. Jadi, pengertian
Pendapatan Asli Daerah dapat dikatakan sebagai pendapatan rutin dari usaha-
31
usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi-potensi sumber
keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan tanggung jawabnya.
Ladjin (2008) mengemukakan bahwa dalam struktur keuangan daerah,
Pendapatan Asli Daerah dipandang sebagai kemampuan riil keuangan daerah.
Pendapatan Asli Daerah diperoleh dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah serta lain-
lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Senada dengan yang dikemukakan oleh
Ladjin (2008), Yani (2008) juga mengemukakan bahwa Pendapatan Asli Daerah
merupakan pendapatan yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan
Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan pada
pemerintah daerah dalam menggali pendanaan dalam melaksanakan otonomi
daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
2.1.2.1.1 Pajak Daerah
Menurut Soemitro dalam Adisasmita (2011), pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa imbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
digunakan untuk membayar pengeluaran uang. Selanjutnya Suandy (2002)
mendefinisikan pajak dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) pajak merupakan
peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah; (2) pajak dipungut
berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan; (3) dalam pembayaran pajak tidak
ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah; (4) pajak dipungut
oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; (5) pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dalam
32
pemasukkannya masih terdapat surplus dan dipergunakan untuk membiayai
public investment; (6) pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dari
pemerintah; dan (7) pajak dapat dipungut secara langsung maupun tidak
langsung.
Pajak dapat dikelompokkan menurut golongan dan sifatnya (Adisasmita,
2011), yaitu:
1. Menurut golongan, yaitu: (1) pajak langsung, adalah pajak yang
pembebanannya dapat dilimpahkan pada pihak lain, tetapi harus menjadi
beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah
pajak penghasilan; (2) pajak tak langsung, adalah pajak yang
pembebabanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sebagai contoh
adalah pajak pertambahan nilai.
2. Menurut sifat, yaitu: (1) pajak subjektif, adalah pajak berdasarkan pada
subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti
memerhatikan keadaan dari wajib pajak. Sebagai contoh adalah pajak
penghasilan; dan (2) pajak obyektif, adalah pajak yang dipungut sama untuk
wajib pajak secara adil.
Jenis-jenis pajak yang diberlakukan di daerah sesuai Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
a. Jenis pajak provinsi yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama
kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air
permukaan dan pajak rokok.
b. Jenis pajak kabupaten/kota yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,
pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan
batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi
33
dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan.
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah kepada masyarakat, menurut (Musgrave,
1993) memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Penyediaan barang sosial, atau proses pembagian keseluruhan sumber daya
untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang sosial, dan bagaimana
bauran/komposisi barang sosial ditentukan. Fungsi penyediaan ini dapat
disebut sebagai fungsi alokasi dari kebijakan anggaran.
2. Penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayakaan untuk
menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu
keadaan distribusi yang merata dan adil. Fungsi penyediaan terhadap
distribusi pendapatan dan kekayaan dapat disebut juga dengan fungsi
distribusi.
3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk memertahankan
tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan
laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan memerhitungkan segala
akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran. Fungsi ini juga
dikenal sebagai fungsi stabilisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pajak
memiliki tiga fungsi, yakni fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi.
Melalui fungsi alokasi, memungkinkan kebijakan perpajakan dapat memengaruhi
masyarakat untuk melakukan tindakan investasi dan perekonomian pada
umumnya, sehingga sumber daya yang ada dapat terbagi secara merata.
Sedangkan melalui fungsi distribusi, kebijakan perpajakan diharapkan mampu
menciptakan pemerataan penghasilan melalui perbedaan tarif. Misalnya, bagi
34
masyarakat dengan kemampuan lebih akan membayar pajak lebih tinggi dan
hasil penerimaan pajak akan disalurkan kembali kepada masyarakat dengan
kemampuan ekonomi yang rendah dalam bentuk subsidi. Sementara fungsi
stabilisasi menghendaki kebijakan perpajakan yang baik agar kemakmuran yang
sudah ada dapat dipertahankan.
Adam Smith telah mengajukan beberapa prinsip bagi pengenaan pajak
yang baik yang biasa disebut dengan istilah “Smith’s Canons” (Adisasmita,
2011), yaitu:
1. Prinsip kesamaan/keadilan (equity), artinya beban pajak harus sesuai
dengan kemampuan relatif dari setiap wajik pajak. Perbedaan dalam tingkat
penghasilan harus digunakan sebagai dasar di dalam distribusi beban pajak,
sehingga bukan beban pajak dalam arti uang yang penting, tetap beban riil
dalam arti kepuasan yang hilang.
2. Prinsip kepastian (certainfy), artinya pajak hendaknya tegas, jelas dan pasti
bagi setiap wajib pajak, sehingga mudah dimengerti oleh mereka dan juga
akan memudahkan administrasi pemerintah sendiri.
3. Prinsip kecocokan/kelayakan (convenience), artinya pajak jangan sampai
terlalu menekan wajib pajak, sehingga wajib pajak akan dengan suka dan
senang hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
4. Prinsip ekonomi (economy), artinya pajak hendaknya menimbulkan kerugian
minimal dalam arti jangan sampai biaya pemungutan lebih besar daripada
jumlah penerimaan pajaknya.
Prinsip Smith’s Canons masih perlu dilengkapi dengan satu prinsip lagi, yaitu
prinsip ketepatan (adequate), artinya pajak hendaknya dipungut tepat pada
waktunya dan jangan sampai memersulit posisi anggaran belanja pemerintah
(Soeparmoko dalam Adisasmita, 2011).
35
Prinsip Smith’s Canons menjadikan keadilan sebagai salah satu prinsip
utama dalam pemungutan pajak. Sehubungan dengan keadilan dalam
pemungutan pajak, ada beberapa teori yang dapat dijadikan sebagai dasar
pemungutan pajak. Adapun teori-teori pembagian pajak tersebut adalah teori-
teori kepentingan, teori prestasi negara, dan teori gaya pikul (Suparnyo, 2012).
1. Teori kepentingan
Menurut teori ini, pembagian beban atas pajak harus didasarkan atas
kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah, termasuk
juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Oleh
karena itu, sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka itu.
Jadi, dalam membagi beban pajak diantara penduduk hendaknya
disesuaikan dengan kepentingan masing-masing terhadap kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh negara. Makin besar kepentingannya terhadap kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh negara, berarti makin besar pula pajaknya.
Teori ini hanya dapat diterapkan pada pajak tidak langsung, sedang untuk
pajak langsung tidak dapat diterapkan. Pajak langsung adalah suatu jenis
pajak yang pemungutannya langsung kepada wajib pajak, tidak memerlukan
bantuan pihak ketiga, misalnya: pajak bumi dan bangunan, pajak
penghasilan dan lain-lain. Pajak tidak langsung adalah suatu jenis pajak yang
pemungutannya lewat pihak ketiga, misal: pajak tontonan, pajak penjualan,
pajak pertambahan nilai dan lain-lain (Suparnyo, 2012).
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suparnyo (2012) dalam bukunya,
Bohari (1995), mengemukakan bahwa pajak mempunyai hubungan dengan
kepentingan individu, yang diperoleh dari pekerjaan negara. Semakin banyak
36
individu yang mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah,
makin besar pula pajaknya. Sejauh ini, teori ini masih berlaku pada retribusi.
2. Teori prestasi negara
Teori ini berpangkal pada prestasi yang oleh penduduk diharapkan negara
akan melakukannya. Teori ini juga disebut dengan teori prestasi modern
yang berpangkal pada kemampuan ekonomi subjektif. Untuk mengetahui
kemampuan ekonomi subjektif, negara membuat suatu daftar yang berisi
daftar prestasi negara. Makin banyak yang diisi atau diminta berarti bersedia
memikul biaya, sehingga bersedia dipajaki lebih banyak dan makin sedikit
yang diisi berarti makin sedikit kesediaannya untuk dipajaki. Hipotesa teori
prestasi negara ini diletakkan pada kejujuran seseorang penduduk atau wajib
pajak. Hal ini juga merupakan suatu hipotesa kemampuan ekonomi yang sulit
dibuktikan kebenarannya.
3. Teori daya pikul
Teori ini menyatakan bahwa agar pemungutan pajak dirasa adil maka dalam
membagi beban pajak hendaknya disesuaikan dengan daya pikul Wajib
Pajak yang bersangkutan. De Langen mengatakan bahwa daya pikul adalah
kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa,
setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran
yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya. De
Langen berkesimpulan bahwa kekuatan untuk membayar pajak kepada
negara baru ada setelah kekuatan orang yang bersangkutan dikurangi
dengan minimum kehidupan.
Peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah secara tidak langsung
bisa tercermin dari kemampuan daerah dalam mengkonversi seluruh potensi
penerimaan pajak daerah menjadi pajak daerah yang bisa dipungut. Potensi
37
penerimaan pajak daerah bisa tercermin dari besarnya Pendapatan Domestik
Regional Bruto dari masing-masing daerah. Semakin besar rasio Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto maka
kemampuan daerah tersebut dalam mengkonversi seluruh potensi penerimaan
pajak daerah menjadi pajak daerah yang bisa dipungut juga semakin besar
(Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2013)
2.1.2.1.2 Retribusi Daerah
Retribusi dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai akibat adanya kontraprestasi yang diberikan oleh
pemerintah daerah atau pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang langsung dinikmati
secara perorangan oleh warga masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas
peraturan yang berlaku (Halim, 2004). Hal serupa juga diungkapkan oleh Basuki
(2007) bahwa retribusi daerah merupakan pemungutan yang dilakukan
pemerintah daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan. Menurut Kurniawan (2004) objek retribusi
dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Jasa umum, merupakan jasa yang disediakan oleh pemerintah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan. Misalnya pelayanan kesehatan.
2. Jasa usaha, adalah jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan menganut
prinsip komersial karena dapat pula disediakan oleh pihak swasta. Misalnya
penyediaan tempat penginapan dan usaha bengkel kendaraan.
38
3. Perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu pemerintah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengadilan dan pengawasan guna melindungi
kepentingan umum. Pengajuan izin oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah tidak dikenakan retribusi perizinan tertentu. Perizinan yang dapat
dipungut retribusi adalah izin mendirikan bangunan dan izin penggunaan
tanah.
2.1.2.1.3 Hasil Pengelolaan Daerah yang Dipisahkan
Menurut Halim (2004), hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan
merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah
dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Adapun yang menjadi objek
pendapatan dari hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, yaitu: (1) bagian
laba perusahaan milik daerah; (2) bagian laba lembaga keuangan bank; (3)
bagian laba keuangan non bank; dan (4) bagian laba atas penyertaan
modal/investasi.
2.1.2.1.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Menurut Halim (2004), lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah, yang
meliputi: (1) hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan; (2) penerimaan
jasa giro; (3) penerimaan bunga deposit; (4) denda keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan; dan (5) penerimaan ganti rugi atas kerugian/kehilangan kekayaan
daerah.
39
2.1.2.2 Dana Perimbangan
Dana perimbangan merupakan pembagian penerimaan antar-tingkatan
pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam kerangka
desentralisasi (Karianga, 2013). Alokasi dana perimbangan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah secara garis besar ditentukan oleh dua faktor, yaitu
kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiscal (fiscal need). Hyman
mengemukakan bahwa kapasitas fiskal mencerminkan kemampuan suatu
daerah untuk mendanai jasa-jasa pelayanan publik yang harus disediakan
pemerintah. Sedangkan kebutuhan fiskal menunjukkan total pengeluaran yang
dibutuhkan suatu daerah untuk melaksanakan aktivitas di daerahnya.
Selanjutnya Sutandi mengemukakan bahwa dana perimbangan adalah
pendanaan yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan diperuntukkan
guna mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Dalam proses pengurangan ketimpangan pada kebutuhan pembiayaan
dan penguasaan pajak antara pemerintah pusat dan daerah yaitu melalui
pelaksanaan Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) (Halim dan Iqbal, 2012).
Bantuan pemerintah pusat dalam konteks otonomi daerah bisa dalam
bentuk Dana Alokasi Umum maupun Dana Alokasi Khusus (Silaen, Widjayanto
dan Effendy, 2012). Adapun Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
yang dikemukakan oleh Kementrian Keuangan Indonesia (2012) adalah:
1. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan dengan tujuan
40
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sebagai equalization
grant, Dana Alokasi Umum merupakan instrument transfer yang alokasinya
ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah, sekaligus
memeratakan kemampuan antar daerah. Dana Alokasi Umum dialokasikan
untuk provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan jumlah keseluruhan Dana
Alokasi Umum (Dana Alokasi Umum Nasional) yang secara finansial
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yakni
sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. PDN
neto merupakan pendapatan dalam negeri setelah dikurangi dengan
penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Proporsi Dana
Alokasi Umum untuk provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan
perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
provinsi dan kabupaten/kota. Namun apabila proporsi Dana Alokasi Umum
untuk provinsi dan kabupaten/kota belum dapat dihitung secara kuantitatif,
proporsinya dapat ditetapkan dengan imbangan 10% untuk provinsi dan 90%
untuk kabupaten/kota.
Pengalokasian Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah didasarkan atas
formula yang memerhitungkan alokasi dasar dan celah fiskal (fiscal gap).
Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri daerah, yang
meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai
dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk di dalamnya
tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21).
Sedangkan celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan
kebutuhan fiskal. Kebutuhan fiskal mencerminkan kebutuhan dana yang
diperlukan oleh daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.
41
Sehingga untuk mengukur kebutuhan fiskal digunakan variabel jumlah
penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, Produk Domestik
Regional Bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Sementara
kapasitas fiskal mencerminkan kemampuan fiskal daerah dalam mendanai
pelaksanaan layanan dasar umum. Pengukuran kapasitas fiskal dilakukan
dengan berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil yang
secara cash basis diterima daerah.
Dana Alokasi Umum atas dasar celah fiskal untuk suatu provinsi dihitung
berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah
Dana Alokasi Umum seluruh provinsi, dimana angka bobot provinsinya
diperoleh dari perbandingan antara celah fiskal provinsi yang bersangkutan
dengan total celah fiskal untuk suatu seluruh provinsi. Begitu juga dengan
Dana Alokasi Umum atas dasar celah fiskal untuk suatu kabupaten/kota,
besarnya dihitung dengan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan
dengan jumlah Dana Alokasi Umum seluruh provinsi. Bobot kabupaten/kota
diperoleh dari perbandingan antara celah fiskal provinsi bersangkutan
dengan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota.
Untuk daerah otonom baru, Dana Alokasi Umum dialokasikan setelah
adanya penetapan definitif daerah yang bersangkutan melalui Undang-
undang pembentukan daerah. Dana Alokasi Umumnya dihitung setelah
tersedianya data yang digunakan untuk menghitung alokasi dasar dan celah
fiskal. Sebelum adanya ketersediaan data, Dana Alokasi Umum untuk daerah
tersebut dihitung dengan cara membagi Dana Alokasi Umum secara
proporsional dengan daerah induknya berdasarkan jumlah penduduk, luas
wilayah dan jumlah pegawai.
42
2. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari pendapatan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah
tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah sesuai prioritas nasional. Kegiatan khusus yang didanai Dana Alokasi
Khusus adalah penyediaan/perbaikan sarana dan prasarana pelayanan
dasar masyarakat serta kegiatan yang dapat mendorong percepatan
pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional.
Penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus dilakukan melalui dua tahapan,
yaitu (1) penentuan daerah tertentu yang menerima Dana Alokasi Khusus
dan (2) penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus untuk masing-masing
daerah. Penentuan daerah tertentu didasarkan atas tiga kriteria yang
dilakukan secara berjenjang, yaitu :
a. Kriteria Umum (KU), yang ditentukan berdasarkan kemampuan
keuangan daerah (indeks fiskal neto) yang dicerminkan dari penerimaan
umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi
belanja Pegawai Negeri Sipil di daerah. Penerimaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil kecuali Dana Bagi Hasil yang
penggunaannya diarahkan (earmarking). Daerah dengan Kriteria Umum
dibawah rata-rata, Kriteria Umum secara nasional adalah daerah yang
menjadi prioritas mendapatkan Dana Alokasi Khusus.
b. Kriteria Khusus (KK), yang ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus
dan aspek karakteristik daerah. Karakteristik daerah, meliputi daerah
tertinggal, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan
43
bencana, daerah pesisir dan/atau kepulauan, daerah ketahanan pangan
dan daerah pariwisata.
c. Kriteria Teknis (KT), yang ditentukan berdasarkan indikator-indikator
teknis yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana yang
akan didanai dari Dana Alokasi Khusus. Kriteria ini dirumuskan melalui
indeks teknis yang disusun oleh Menteri Teknis terkait.
2.1.2.3 Lain-Lain Pendapatan yang Sah
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana
darurat (Nurcholis, 2005). Hibah kepada daerah, yang bersumber dari luar
negeri, dilakukan melalui pemerintah (pusat). Pemerintah mengalokasikan dana
darurat yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
keperluan mendesak (bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa) yang tidak
dapat diatasi oleh daerah dengan menggunakan sumber Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
2.1.3 Kemandirian Fiskal
Salah satu syarat kesuksesan desentralisasi yang dikemukakan oleh Bird
dan Vaillancourt (2000) adalah biaya-biaya dari keputusan yang diambil,
sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Untuk itu, pemerintah
daerah diharapkan untuk memiliki kemandirian dalam membiayai segala
kegiatan pemerintah daerahnya.
Kemandirian daerah tidak hanya diartikan sebagai kemandirian dari sisi
keuangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, tetapi lebih luas lagi
dari sisi ekonomi di mana daerah benar-benar mampu membangun
perekonomian disemua sektor pembangunan (Yuniarti, 2008). Kemandirian fiskal
merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah
44
untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan yakni
tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat (World Bank
dalam Ladjin, 2008). Selanjutnya Silaen, Widjayanto dan Effendy (2012)
mengemukakan bahwa kemandirian keuangan daerah menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak
dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian
keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain.
Karo (2005) menjelaskan bahwa salah satu kriteria penting untuk
mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya adalah self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan
perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur
tingkat kemampuan daerah dalam pelaksanaan otonominya. Ini berarti, dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau
uang.
Menurut Munir (2004), kemampuan keuangan dan anggaran daerah pada
dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan
penerimaan Pendapatan Asli Daerahnya. Kemampuan keuangan daerah ini lebih
mengarah kepada aspek kemandirian dalam bidang keuangan, yang biasanya
diukur dengan desentralisasi fiskal atau otonomi fiskal daerah, yang dapat
diketahui melalui perhitungan kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap total
penerimaan daerah serta kontribusi sumbangan dan bantuan terhadap total
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Menurut Radianto (1997), kemandirian fiskal daerah menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
45
Hal ini dikarenakan otonomi daerah dan pembangunan daerah hanya bisa
diwujudkan apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa
pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap
pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain.
Selanjutnya, Kementrian Keuangan Republik Indonesia (2013) mengemukakan
bahwa dengan mengetahui kemandirian keuangan daerah akan menunjukkan
seberapa besar local taxing power suatu daerah, serta seberapa besar
kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam mendanai belanja daerah yang
dianggarkan untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
rangka mencapai kemandirian fiskal adalah dengan meningkatkan pendapatan
daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara (Sidik, 2002) sebagai
berikut:
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat
dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial,
antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah
pembayar pajak, memerbaiki basis data objek, memerbaiki penilaian,
menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara
lain mempercepat penyusunan peraturan daerah, mengubah tarif, khususnya
tarif retribusi dan peningkatan sumber daya manusia.
46
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan
secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan
sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta
meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.
4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur
administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan
efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi
terkait di daerah.
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui
kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang
lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya
perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem pembagian
langsung atau beberapa basis pajak pemerintah pusat yang lebih tepat dipungut
oleh daerah.
Untuk mengukur seberapa besar tingkat kemandirian fiskal suatu daerah
digunakan ukuran yang disebut administrative independency ratio (AIR) atau
dapat disebut derajat kemandirian fiskal atau derajat otonomi fiskal yaitu rasio
antara Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan anggaran pendapatan
dan belanja daerah pada tahun yang sama, tidak termasuk transfer dari
pemerintah pusat (Suprajitno, 2003). Selanjutnya menurut Kementrian Keuangan
Republik Indonesia (2013), untuk mengukur derajat kemandirian fiskal dapat
diproksi dari rasio antara Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan
47
Daerah (TPD) dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Rasio akan
menunjukkan tingkat kesehatan semakin baik bila terus meningkat, akan tetapi
perlu diperhatikan pula bila terjadi kenaikan secara kontinyu atas pendapatan
bunga, karena hal tersebut bisa diartikan terdapat peningkatan dana pemda
yang disimpan dalam bank dan tidak dibelanjakan (Kementrian Keuangan
Republik Indonesia, 2013).
Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan kemandirian
keuangan daerah adalah:
Tabel 2.3Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan DaerahPAD terhadap TPD
(%)Kemandirian Keuangan
0.00 - 10.00
10.01 - 20.00
20.01 - 30.00
30.01 - 40.00
40.01 - 50.00
> 50.00
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Cukup
Tinggi
Sangat Tinggi
Sumber : Tim Litbang Depdagri dan Fisipol UGM (1991)
2.1.4 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Setiap daerah perlu meningkatkan keadaan perekonomiannya, sehingga
perlu melakukan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah proses
perpaduan antara pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi.
Bertambahnya penduduk suatu negara harus diimbangi dengan kemajuan
teknologi dalam produksi untuk memenuhi permintaan kebutuhan dalam negeri
(Smith dalam Suryana, 2000).
48
Selanjutnya Sukirno (2004) mengemukakan bahwa pembangunan
ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan. Arti dari
pernyataan tersebut adalah pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada
suatu tahun tertentu tidak hanya diukur dari kenaikan produksi barang dan jasa
yang berlaku dari tahun ke tahun tetapi juga perlu diukur dari perubahan lain
yang berlaku dalam kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan,
perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan
infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran
masyarakat. Selanjutnya, Arsyad (2010), mengemukakan bahwa pembangunan
ekonomi adalah suatu proses. Proses yang dimaksud adalah proses yang
mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri
alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk
dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan,
dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Pembangunan ekonomi daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui
pembangunan yang serasi dan terpadu baik antar pembangunan sektoral
dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju
tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok
tanah air. Sedangkan pembangunan sektor ekonomi merupakan proses untuk
mengubah suatu keadaan agar lebih baik dengan tujuan untuk meningkatkan
pendapatan, kesempatan kerja dan kemakmuran masyarakat (Sukirno, 2004).
Adapun yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan seluruh komponen
masyarakat untuk mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk
suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan
49
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Arsyad,
2010).
Setiawan dan Handoko (2005) mengemukakan bahwa salah satu
indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi di
suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi, yang diukur dari perbedaan produk
domestik bruto (PDB) tahun tertentu dengan tahun sebelumnya. Selanjutnya,
Arsyad (2010) mengemukakan bahwa suatu wilayah dikatakan mengalami
pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan Produk Domestik Regional
Bruto riil di wilayah tersebut.
Secara umum pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan
kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa.
Dengan perkataan lain pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan
yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan
menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto, pendapatan dan/atau
output per kapita (Jhingan, 2002).
Menurut Adisasmita (2011), pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh
mana kegiatan perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan
masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena suatu proses penggunaan
faktor-faktor produksi adalah untuk menghasilkan output, maka proses ini pada
gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor-faktor
produksi yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat. Perekonomian dianggap
mengalami pertumbuhan apabila seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan
faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar dari tahun sebelumnya. Dengan
kata lain, perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan bila pendapatan riil
pemerintah dan masyarakat pada tahun tertentu lebih besar daripada
pendapatan riil pemerintah dan masyarakat pada tahun sebelumnya. Adapun
50
indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah tertentu
ditunjukkan oleh data Produk Domestik Regional Bruto baik atas dasar harga
berlaku maupun atas dasar harga konstan.
Pertumbuhan ekonomi dalam Sukirno (2004) adalah sebagai suatu
ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian
dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dengan membandingkan Produk
Domestik Regional Bruto pada satu tahun tertentu (PDRBt) dengan Produk
Domestik Regional Bruto tahun sebelumnya (PDRBt-1).
Tujuan utama dari perhitungan pertumbuhan ekonomi adalah untuk
melihat apakah kondisi perekonomian makin membaik atau sebaliknya. Apabila
tingkat pertumbuhan ekonomi bernilai negatif berarti kegiatan perekonomian
menunjukkan penurunan, sebaliknya jika tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut
bernilai positif berarti kegiatan perekonomian mengalami peningkatan (Erawati
dan Yasa, 2012).
Berdasarkan beberapa pandangan yang telah dikemukakan sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan
kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa yang
dapat dilihat pada Produk Domestik Regional Bruto. Sehubungan dengan hal ini,
Harrod-Domar bersesuaian dengan pendapat Keynes, yang menganggap bahwa
pertambahan dalam kesanggupan memproduksi tidak secara sendirinya akan
menciptakan pertambahan produksi dari kenaikan pendapatan nasional. Harrod-
Domar sependapat dengan Keynes bahwa pertambahan produksi dan
pendapatan nasional bukan ditentukan oleh pertambahan dalam kapasitas
memproduksi tetapi oleh kenaikan pengeluaran masyarakat. Dengan demikian,
walaupun kapasitas memproduksi bertambah, pendapatan nasional baru akan
51
bertambah, dan pertumbuhan ekonomi tercapai, apabila pengeluaran
masyarakat mengalami kenaikan pada masa sebelumnya (Adisasmita, 2013).
Untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, sebaiknya suatu wilayah
atau daerah lebih dulu memperhatikan dan menilai sektor mana yang harus
diprioritaskan untuk dikembangkan. Sehubungan dengan hal ini, Samuelson
(1955) dalam teorinya yakni teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike)
berpandangan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komiditi
apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik
karena potensi alam maupun karena sektor tersebut memiliki competitive
advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama
sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat
berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian
juga cukup besar (Tarigan, 2005)
Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi
(Arsyad, 2010) adalah:
1. Akumulasi modal, termasuk investasi baru yang berwujud tanah (lahan),
peralatan fiskal dan sumberdaya manusia (human resources). Akumulasi
modal akan terjadi jika ada bagian dari pendapatan sekarang yang akan
ditabung dan diinvestasikan untuk memerbesar output pada masa yang akan
datang. Akumulasi modal akan menambah sumberdaya-sumberdaya yang
baru dan meningkatkan sumberdaya-sumberdaya yang ada;
2. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan
jumlah angkatan kerja dianggap sebagai faktor yang positif dalam
merangsang pertumbuhan ekonomi, namun kemampuan merangsang
tergantung kepada kemampuan sistem ekonomi yang berlaku dalam
menyerap dan memerkerjakan tenaga kerja secara produktif; dan
52
3. Kemajuan teknologi, menurut para ekonom kemajuan teknologi merupakan
faktor yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuknya
yang paling sederhana, kemajuan teknologi disebabkan oleh cara-cara baru
dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan tradisional.
2.1.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto adalah total nilai pasar semua barang
dan jasa yang diproduksi suatu wilayah regional atau provinsi selama kurun
waktu satu tahun (Purnastuti dan Mustikawati, 2007). Sedangkan Simanjuntak
dalam Halim (2004) mengemukakan Produk Domestik Regional Bruto sebagai
barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh penduduk dalam suatu
daerah tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu dan dalam jangka waktu
satu tahun.
Alasan yang mendasari pemilihan Produk Domestik Regional Bruto
sebagai indikator untuk menilai pertumbuhan ekonomi (Adisasmita, 2011),
adalah:
1. Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan
oleh seluruh aktivitas produksi dalam perekonomian daerah. Hal ini berarti
bahwa peningkatan Produk Domestik Regional Bruto mencerminkan pula
peningkatan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan dalam
aktivitas produksi tersebut.
2. Produk Domestik Regional Bruto dihitung atas dasar arus barang, artinya
perhitungan Produk Domestik Regional Bruto hanya mencakup nilai produk
yang dihasilkan pada satu periode saja. Konsep aliran ini memungkinkan
untuk membandingkan jumlah output yang dihasilkan tahun ini dengan tahun
sebelumnya.
53
3. Batas wilayah perhitungan Produk Domestik Regional Bruto adalah daerah
(perekonomian domestik). Hal ini memungkinkan untuk mengukur sejauh
mana kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah mampu
mendorong aktivitas perekonomian domestik.
Menurut Badan Pusat Statistik, indikator ekonomi Provinsi Sulawesi
Selatan (2001) dalam Maryani (2002) bahwa Produk Domestik Regional Bruto
merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang diproduksi pada waktu
tertentu tanpa membedakan kepemilikan faktor-faktor produksi yang digunakan
dalam faktor produksi itu. Nilai Produk Domestik Regional Bruto dapat dihitung
dengan melalui tiga pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan produksi, Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah
netto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi
dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
2. Pendekatan pendapatan, Produk Domestik Regional Bruto merupakan
jumlah balas jasa (pendapatan) yang diterima oleh faktor-faktor produksi
karena ikut sertanya dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud
adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan yang
semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak tak langsung
lainnya. Dalam definisi ini, Produk Domestik Regional Bruto mencakup juga
penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Jumlah semua komponen
pendapatan per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh
karena itu Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah dari nilai
tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).
3. Pendekatan pengeluaran, Produk Domestik Regional Bruto merupakan
jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, pemerintah dan
54
lembaga swasta non profit, investasi serta eksport netto (eksport dikurang
import), biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
Secara konsep, ketiga pendekatan tersebut memberikan jumlah yang sama
antara jumlah pengeluaran dengan jumlah barang dan jasa akhir yang
dihasilkan, dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor
produksinya. Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
pasar masih mencakup komponen pajak tidak langsung neto (Badan Pusat
Statistik Kota Baubau, 2013).
Dalam penyajiannya, Produk Domestik Regional Bruto selalu dibedakan
atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. Adapun yang dimaksud
dengan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku adalah jumlah
nilai barang dan jasa (komoditi) atau pendapatan, atau pengeluaran yang dinilai
sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan. Sedangkan
Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan adalah nilai barang
dan jasa (komoditi), pendapatan, atau pengeluaran yang dinilai atas dasar harga
tetap. Adapun Produk Domestik Regional Bruto yang digunakan untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
konstan, karena Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan tidak
dipengaruhi oleh perubahan harga (tanpa memerhitungkan tekanan inflasi).
Sedangkan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku lasimnya
digunakan untuk melihat besarnya perekonomian suatu daerah (kesejahteraan
masyarakat) (Maryani, 2002).
Selanjutnya, Produk Domestik Regional Bruto dapat distimulasi
perkembangannya melalui kebijakan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Misalnya saja, dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah pemerintah
dapat menambah penyerapan tenaga kerja melalui pembukaan lahan pertanian
55
baru melalui alokasi pengeluaran pembiayaan pada pos “proyek pembangunan”
di mana lahan yang telah dibuka diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat
dan belanja modal/investasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dibayar
kembali dari hasil produksi lahan baru (Adisasmita dalam Ibrahim, 2012).
Menurut Badan Pusat Statistik (2012) Produk Domestik Regional Bruto
dapat disajikan berdasarkan sektor lapangan usaha, yaitu: (1) sektor pertanian,
yang mencakup sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan,
peternakan, kehutanan dan sub sektor perikanan; (2) sektor pertambangan dan
penggalian, yang mencakup sub sektor pertambangan dan penggalian; (3)
sektor industri pengolahan, yang meliputi industri migas dan non migas dalam
hal ini industri makanan, tekstil, barang dari kayu, semen dan barang galian
bukan logam dan lain-lain; (4) sektor listrik, gas dan air bersih, yang merupakan
sektor penunjang seluruh kegiatan perekonomian, (5) sektor
konstruksi/bangunan; (6) sektor perdagangan hotel dan restoran, yaitu sektor
yang berperan sebagai penunjang kegiatan ekonomi yang menghasilkan produk
barang dan jasa; (7) sektor pengangkutan dan komunikasi, merupakan sektor
yang memiliki peranan sebagai pendorong aktivitas disetiap sektor ekonomi; (8)
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yakni mencakup bank,
lembaga keuangan bukan bank, sewa bangunan dan jasa perusahaan disebut
sektor finansial karena secara umum kegiatan utamanya berhubungan dengan
kegiatan pengelolaan keuangan yang bersumber dari penarikan dana
masyarakat maupun penyaluran kembali.; dan (9) Sektor jasa-jasa, meliputi
pemerintahan umum dalam hal ini administrasi pemerintahan dan jasa
pemerintahan serta swasta yang mencakup sosial kemasyarakatan, hiburan dan
rekreasi juga perorangan dan rumah tangga.
56
2.1.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini merupakan pengembangan dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa sebagian besar daerah di Indonesia memiliki tingkat kemampuan yang
rendah dalam meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah dan
ketergantungan pada bantuan dari pemerintah pusat masih tinggi. Selain itu,
penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa derajat kemandirian fiskal suatu
daerah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah
pertumbuhan ekonomi yang dapat ditunjukkan melalui sektor-sektor
perekonomian pada Produk Domestik Regional Bruto.
Suprajitno (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa kemampuan
keuangan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara dalam kesiapannya
menghadapi otonomi daerah ditinjau dari derajat desentralisasi fiskal dinilai
masih kurang, atau dapat dinyatakan bahwa tingkat ketergantungan terhadap
pemerintah pusat masih cukup tinggi. Hal ini ditandai dari proporsi sumbangan
dan bantuan terhadap total penerimaan daerah yang relatif semakin besar.
Sebaliknya kontribusi Pendapatan Asli Daerah maupun bagi hasil pajak dan
bukan pajak terhadap total penerimaan daerah masih sangat rendah. Selain itu,
penelitian tersebut juga menemukan bahwa dari analisis Partial Adjusment
Model (PAM) terhadap variabel-variabel yang diteliti, diperoleh bahwa
pendapatan per kapita mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
derajat kemandirian fiskal Kabupaten Banjarnegara dengan elastisitas jangka
pendek sebesar 0.162 dan jangka panjang sebesar 0.182. Pertumbuhan sektor
pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal
Kabupaten Banjarnegara dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0.011 dan
jangka panjang sebesar 0.012. Pertumbuhan sektor industri mempunyai
57
pengaruh positif dan signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal Kabupaten
Banjarnegara dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0.0008 dan jangka
panjang sebesar 0.0009. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal
Kabupaten Banjarnegara dengan elastisitas jangka pendek sebesar -0.0038 dan
jangka panjang sebesar -0.0043. Pertumbuhan sektor jasa-jasa mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal Kabupaten
Banjarnegara dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0.011 dan jangka
panjang sebesar 0.012. Sementara bantuan pemerintah pusat berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal Kabupaten
Banjarnegara dengan elastisitas jangka pendek sebesar -0.183 dan jangka
panjang sebesar -0.206.
Sasana (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa sebelum
diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah yang direvisi menjadi
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kemampuan
finansial pemerintah Kabupaten Klaten dilihat dari tingkat kemandirian fiskalnya
cukup tinggi yakni memiliki derajat kemandirian fiskal di atas 15% per tahun.
Namun, setelah pelaksanaan otonomi daerah (tahun 2001 sampai dengan 2003)
derajat kemandirian fiskal Kabupaten Klaten justru mengalami penurunan yang
sangat serius yakni menjadi sebesar 4.13% per tahun. Selain itu, dalam
penelitiannya Sasana (2006) juga menemukan bahwa dari hasil analisis dengan
menggunakan partial adjusment model (PAM) terhadap variabel-variabel yang
diteliti, diperoleh bahwa dari sembilan sektor ekonomi daerah di Kabupaten
Klaten yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap derajat kemandirian
fiskal Kabupaten Klaten baik jangka pendek maupun jangka panjang adalah
sektor pertanian, diikuti oleh sektor bank dan sektor industri. Dalam jangka
58
pendek sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas dan air, sektor
bangunan, sektor angkutan dan komunikasi tidak mempunyai pengaruh
signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal Kabupaten Klaten. Sementara
untuk jangka panjang yang tidak signifikan adalah sektor pertambangan dan
penggalian dan sektor listrik, gas dan air.
Kasmita (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa sektor ekonomi
tanpa migas terbukti memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
Pendapatan Asli Daerah Provinsi Riau, dimana semakin tinggi nilai barang dan
jasa yang dihasilkan oleh sektor ekonomi, maka akan semakin meningkat pula
Pendapatan Asli Daerah Provinsi Riau. Berdasarkan penelitan ini juga dapat
dilihat bahwa sektor pertambangan, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan
komunikasi, serta sektor jasa-jasa merupakan sektor yang memberikan
pengaruh lebih besar terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi Riau
dibandingkan dengan sektor lain. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan
oleh Kusmiati (2012) juga ditemukan bahwa sektor ekonomi dengan Migas
terbukti memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah
Provinsi Riau, dimana semakin tinggi nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sektor ekonomi, maka akan semakin meningkat pula Pendapatan Asli Daerah
Provinsi Riau. Berdasarkan penelitan tersebut juga dapat dilihat bahwa sektor
pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, serta sektor
pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang memberikan pengaruh
lebih besar terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi Riau dibandingkan
dengan sektor lain.
Zaenuddin (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan
otonomi daerah di kabupaten/kota Provinsi D.I Yogyakarta kurang berhasil, hal
ini ditandai dengan rendahnya kenaikan derajat otonomi fiskal daerah di Provinsi
59
D.I Yogyakarta baik dilihat dari kinerja keuangan maupun tingkat kemandirian
keuangannya. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan tentang faktor-
faktor yang memengaruhi derajat otonomi fiskal dengan menggunakan metode
OLS. Adapun hasil yang diperoleh adalah tingkat sumbangan, tingkat bantuan,
pembiayaan pemerintah dan potensi ekonomi secara bersama-sama signifikan
memengaruhi derajat otonomi fiskal daerah di kabupaten/kota di Provinsi D.I
Yogyakarta.
Andriani dan Handayani (2008) dalam penelitiannya mengenai
Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Merangin selama periode 1999 sampai
dengan 2006. Hasilnya menunjukkan bahwa secara parsial Produk Domestik
Regional Bruto berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pendapatan Asli
Daerah sedangkan jumlah penduduk mempunyai hubungan negatif dan memiliki
pengaruh yang tidak signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah. Tetapi secara
simultan kedua variabel tersebut berpengaruh signifikan. Produk Domestik
Regional Bruto dan jumlah penduduk mempunyai hubungan sangat kuat dengan
Pendapatan Asli Daerah dan model yang diestimasi adalah tepat.
Triani dan Kuntari (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa Produk
Domestik Regional Bruto berpengaruh negatif terhadap Pendapatan Asli Daerah
karena kontribusi pajak dan retribusi daerah dalam penyusunan Pendapatan Asli
Daerah mengalami penurunan, sementara Produk Domestik Regional Bruto
selalu meningkat tiap tahunnya. Secara statistik jumlah penduduk berpengaruh
positif, dan inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan Pendapatan Asli
Daerah dan secara simultan variabel makro berpengaruh terhadap Pendapatan
Asli Daerah.
Masyhuri (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa sumber-sumber
pendapatan daerah mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 masih
60
didominasi oleh pendapatan yang berasal dari pemerintah yang lebih tinggi.
Komponen terbesar masih bersumber dari dana alokasi umum (DAU). Peranan
Pendapatan Asli Daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah
Kabupaten Merangin masih sangat kecil, dengan rata-rata 4.94% dari seluruh
total anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dari hasil proyeksi Pendapatan
Asli Daerah menunjukkan bahwa komponen ini masih tetap kecil kontribusinya
dalam penerimaan daerah. Artinya tingkat ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat juga masih tinggi. Selain itu, penelitian tersebut juga
menemukan bahwa dari hasil regresi diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar
0.015, yang berarti bahwa Produk Domestik Regional Bruto berpengaruh positif
terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Merangin. Jika terjadi peningkatan
Produk Domestik Regional Bruto sebesar satu satuan akan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah sebesar 0,015. Artinya terdapat hubungan yang
signifikan antara pertumbuhan ekonomi daerah terhadap penerimaan
Pendapatan Asli Daerah.
Haryanto (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa esensi utama
utama dari pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian
daerah. Di mana, empat variabel yang dipilih untuk mendukung terwujudnya
kapasitas fiskal daerah yang kuat sebagai pencerminan kemandiran daerah yaitu
pajak daerah, retribusi daerah, Produk Domestik Regional Bruto jasa, dan bagi
hasil pajak. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan metode path
analysis ditemukan bahwa variabel pajak daerah dan bagi hasil pajak memiliki
hubungan yang signifikan terhadap kapasitas fiskal daerah. Sedangkan retribusi
daerah dan Produk Domestik Regional Bruto jasa tidak terbukti mempengaruhi
kapasitas fiskal daerah secara signifikan.
61
2.2 Kerangka Pikir
Otonomi daerah merupakan proses pelimpahan dan penyerahan
kewenangan dengan asas desentralisasi (Karianga, 2013). Menurut Livack
dalam Karianga (2013) desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu;
(1) desentralisasi politik; (2) desentralisasi administrasi; dan (3) desentralisasi
fiskal. Desentralisasi fiskal tidak bisa dilepaskan dari konsepsi desentralisasi
sehingga apabila desentralisasi merupakan distribusi kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka desentralisasi fiskal pun demikian
adanya tetapi khusus untuk anggaran.
Menurut Bird dan Vaillancourt (2000), ada dua persyaratan penting untuk
kesuksesan desentralisasi terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi
mikro, yaitu: (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis,
yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan
dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk memengaruhi
keputusan-keputusan tersebut; (2) yang lebih sesuai dengan rancangan
kebijakan biaya-biaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya harus
ditanggung oleh masyarakat setempat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi
“ekspor pajak“ dan tidak ada tambahan transfer dari jenjang pemerintahan yang
lain. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah perlu memiliki kontrol atas tarif dari
paling tidak beberapa jenis pajak. Pandangan ini juga didukung pandangan yang
dikemukakan oleh Bahl (1999) bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal harus
diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing
power). Adanya kemampuan pajak, maka pemerintah daerah akan memiliki
sumber dana pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah
daerah dapat berdampak positif, di mana pajak tersebut akan digunakan untuk
62
membangun berbagai infrastruktur dan membiayai berbagai pengeluaran publik
(Bahl, 1999).
Kemampuan suatu pemerintah daerah dalam memungut pajak di
daerahnya, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan biaya urusan
pemerintahannya akan menunjukkan seberapa baik kontribusi Pendapatan Asli
Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pendapatan Asli
Daerah merupakan indikator utama kemandirian keuangan suatu daerah. Di
mana, kemandirian keuangan suatu daerah dapat dihitung dengan
menggunakan Derajat Kemandirian Fiskal yakni dengan membandingkan
Pendapatan Asli Daerah dengan Total Pendapatan Daerah (Kementrian
Keuangan Republik Indonesia, 2013).
Kemandirian fiskal suatu daerah sangat dipengaruhi oleh perkembangan
ekonomi yang dapat dilihat melalui Produk Domestik Regional Bruto. Hal ini
didukung oleh pandangan Saragih (2003), yang mengemukakan bahwa daerah
yang memiliki perekonomian yang baik akan memiliki Pendapatan Asli Daerah
yang tinggi yakni semakin baik kondisi perekonomian suatu daerah akan
menunjang peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perekonomian daerah berpengaruh secara positif terhadap
Pendapatan Asli Daerah. Pandangan ini juga didukung oleh pandangan Peacok
dan Wiseman (1961), dalam teorinya mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang terbaik berkesimpulan bahwa perkembangan ekonomi
menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak
tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
pemerintah juga semakin meningkat (Mangkoesoebroto, 2010). Oleh karena itu
dalam keadaan normal, meningkatnya gross national product menyebabkan
penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran
63
pemerintah menjadi semakin besar. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan
elastisitas antara pajak dearah yang diperoleh dan pertumbuhan ekonomi yang
dinilai dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto per kapita
menggambarkan pertumbuhan yang otomatis dari potensi pajak. Dengan kata
lain dalam konteks pajak daerah, semakin tinggi Produk Domestik Regional
Bruto secara otomatis semakin tinggi pula pajak yang diterima daerah. Hal ini
juga didukung oleh pernyataan Kementrian Keuangan Republik Indonesia
(2013), bahwa potensi penerimaan pajak daerah bisa tercermin dari besarnya
Produk Domestik Regional Bruto dari masing-masing daerah. Semakin besar
rasio peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap Produk Domestik
Regional Bruto maka kemampuan daerah tersebut dalam mengkonversi seluruh
potensi penerimaan pajak daerah menjadi pajak daerah yang bisa dipungut juga
semakin besar.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah daerah harus selalu
menumbuhkembangkan perekonomiannya yang dalam hal ini menumbuhkan
sektor-sektor usaha yang dapat menunjang peningkatan Produk Domestik
Regional Bruto. Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto akan
menunjukkan peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam
memproduksi barang dan jasa. Sehubungan dengan hal ini, Harrod-Domar
bersesuaian dengan pendapat Keynes, yang menganggap bahwa pertambahan
dalam kesanggupan memproduksi tidak secara sendirinya akan menciptakan
pertambahan produksi dari kenaikan pendapatan nasional. Harrod-Domar
sependapat dengan Keynes bahwa pertambahan produksi dan pendapatan
nasional bukan ditentukan oleh pertambahan dalam kapasitas memproduksi
tetapi oleh kenaikan pengeluaran masyarakat. Dengan demikian, walaupun
kapasitas memproduksi bertambah, pendapatan nasional baru akan bertambah,
64
dan pertumbuhan ekonomi tercapai, apabila pengeluaran masyarakat mengalami
kenaikan pada masa sebelumnya (Adisasmita, 2013).
Dalam upaya memercepat perkembangan ekonomi, sebaiknya suatu
wilayah atau daerah lebih dulu memerhatikan dan menilai sektor mana yang
harus diprioritaskan untuk dikembangkan. Sehubungan dengan hal ini,
Samuelson (1955) dalam teorinya yakni teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike)
berpandangan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komiditi
apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik
karena potensi alam maupun karena sektor tersebut memiliki competitive
advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama
sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat
berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian
juga cukup besar (Tarigan, 2005).
Berdasarkan atas beberapa penjelasan yang telah dikemukankan
sebelumnya, maka penelitian ini akan melihat seberapa besar suatu sektor
perekonomian dapat memengaruhi kemandirian fiskal suatu daerah khususnya
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sehubungan dengan
penelitian ini variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada variabel penelitian Suprajitno (2003) yakni sektor ekonomi yang memiliki
kontribusi dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto. Adapun sektor
ekonomi yang berkontribusi dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sektor
pertanian, sektor konstruksi/bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran
dan sektor jasa-jasa.
Penelitian ini secara ringkas dapat ditunjukkan pada gambar kerangka
pemikiran berikut :
65
Gambar 2.1Kerangka Pikir
Otonomi Daerah
Desentralisasi
Desentralisasi Politik
Desentralisasi Administrasi
Desentralisasi Fiskal
Derajat KemandirianFiskal (Y): PerbandinganPendapatan Asli Daerah
terhadap TotalPendapatan Daerah)
Produk DomestikRegional Bruto
Sektor Pertambangan & Penggalian
Sektor Pertanian (X1)
Sektor Industri Pengolahan
Sektor Listrik, Gas & Air Bersih
Sektor Keuangan, Persewaan &
Jasa Perusahaan
Sektor Pengangkutan & Komunikasi
Sektor Perdagangan, Hotel &Restoran (X3)
Sektor Konstruksi/Bangunan (X2)
Sektor Jasa-jasa (X4)
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Hasil PengelolaanKekayaan yangDipisahkan
Lain-lain Pendapatan AsliDaerah yang Sah
Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten/KotaProvinsi Sulawesi Tenggara
Pengeluaran Masyarakat
66
2.3 Pengembangan Hipotesis
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonom
yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonomi harus
memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber
keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan yang cukup
memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin,
sehingga Pendapatan Asli Daerah khususnya pajak dan retribusi daerah menjadi
bagian sumber keuangan terbesar (Koswara, 1999).
Kemampuan dari pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber
keuangannya sendiri demi meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah
akan mengarah pada aspek kemandirian keuangan daerah yang dapat diukur
dengan cara membandingkan Pendapatan Asli Daerah terhadap total
pendapatan daerah (Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2013). Dari
hasil peninjauan awal penelitian ini, diketahui bahwa rata-rata Derajat
Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun
anggaran 2008 sampai dengan 2012 berkisar pada angka 8.12%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada tahun anggaran tersebut, Pendapatan Asli Daerah
seluruh kabupaten dan kota di Indonesia hanya mampu berkontribusi sebesar
8.12% dalam membiayai rumah tangganya dan selebihnya dibiayai oleh dana
perimbangan atau dana yang diperoleh dari pemerintah pusat ataupun
pemerintah di atasnya.
Sehubungan dengan penelitian ini, seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai objek dalam penelitian ini diketahui bahwa
pada tahun anggaran 2007 sampai dengan 2011 memiliki Pendapatan Asli
Daerah yang hanya mampu berkontribusi rata-rata sebesar 4.01% dalam
67
membiayai rumah tangganya. Sehingga, sebagian besar kebutuhan dari seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara masih dibiayai oleh dana
perimbangan atau dana yang diperoleh dari pemerintah pusat ataupun
pemerintah di atasnya. Selain itu, rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran
2007 sampai dengan 2011 masih cukup jauh dibawah rata-rata kontribusi
Pendapatan Asli Daerah seluruh kabupaten dan kota di Indonesia yakni sebesar
8.12% (tabel 1.1). Dengan demikian, dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
H1 : derajat kemandirian fiskal seluruh kabupaten dan kota di ProvinsiSulawesi Tenggara Masih Rendah.
Ada beberapa faktor yang perlu diberdayakan dalam upaya
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, diantaranya adalah Produk Domestik
Regional Bruto per kapita (Ladjin, 2008). Produk Domestik Regional Bruto
merupakan indikator ekonomi makro suatu daerah yakni yang menggambarkan
ada atau tidaknya perkembangan perekonomian daerah (Kuncoro, 2004).
Daerah yang memiliki perekonomian yang baik akan memiliki
Pendapatan Asli Daerah yang tinggi yakni semakin baik kondisi perekonomian
suatu daerah akan menunjang peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perekonomian daerah berpengaruh secara
positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (Saragih, 2003). Hal ini juga didukung
oleh pandangan Davey (1988) yang mengemukakan bahwa Produk Domestik
Regional Bruto merupakan alat ukur pertumbuhan ekonomi yang
menggambarkan jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi dalam suatu wilayah atau region pada suatu jangka waktu
tertentu. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan elastisitas antara pajak dearah
68
yang diperoleh dan pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto per kapita menggambarkan pertumbuhan yang
otomatis dari potensi pajak. Dengan kata lain dalam konteks pajak daerah,
semakin tinggi Produk Domestik Regional Bruto secara otomatis semakin tinggi
pula pajak yang diterima daerah. Sehubungan dengan hubungan positif yang
diberikan oleh pertumbuhan ekonomi melalui Produk Domestik Regional Bruto
terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui pajak daerah, Musgrave dan
Musgrave (1993), menyatakan bahwa secara umum penerimaan pemerintah
(termasuk pemerintah daerah) dapat bersumber dari pajak (taxes), retribusi (user
charges) dan pinjaman. Adapun yang menjadi basis dalam pemungutan pajak
pusat dan daerah yaitu; (1) pajak daerah maupun pajak pusat yang berbasis
pendapatan dan perusahaan (income and corporate); (2) konsumsi
(comsumption); dan (3) kekayaan (wealth). Berdasarkan pandangan Musgrave
tersebut, Devas (1999) berpendapat bahwa pajak penerangan jalan adalah pajak
yang diperoleh atas konsumsi listrik masyarakat.
Peacok dan Wiseman (1961) dalam teorinya mengenai perkembangan
pengeluaran pemerintah yang terbaik berkesimpulan bahwa perkembangan
ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun
tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan
pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat (Mangkoesoebroto, 2010).
Oleh karena itu dalam keadaan normal, meningkatnya gross national product
menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan
pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Masyhuri (2007) mengemukakan bahwa hubungan antara Produk
Domestik Regional Bruto dengan pajak daerah merupakan hubungan secara
fungsional, karena pajak daerah merupakan fungsi dari Produk Domestik
69
Regional Bruto, yaitu dengan meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto
akan menambah penerimaan pemerintah yakni Pendapatan Asli Daerah yang
bersumber dari pajak daerah. Selanjutnya dengan bertambahnya penerimaan
pemerintah akan mendorong peningkatan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
masyarakat yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kembali.
Begitu juga sebaliknya dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita masyarakat, maka akan mendorong kemampuan
masyarakat untuk membayar pajak dan pungutan lainnya.
Menurut Halim (2004) Pendapatan Asli Daerah merupakan semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.
Berkembangnya suatu sub sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional
Bruto akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga
diharapkan dapat pula meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(Kasmita, 2013).
Sektor pertanian sebagai salah satu sektor perekonomian, World Bank
(2008) dalam Agustono (2013), mengemukakan bahwa pertanian dapat
berkontribusi pada pembangunan sebagai sebuah aktivitas ekonomi, mata
pencaharian dan sebagai cara untuk melestarikan lingkungan, sehingga sektor
ini dapat menjadi sebuah instrument yang unik bagi pembangunan. Sebagai
sebuah aktivitas ekonomi, pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan bagi
perekonomian wilayah, penyedia investasi bagi sektor swasta dan sebagai
penggerak utama industri-industri yang terkait dengan bidang pertanian.
Sektor pertanian sebagai suatu sektor perekonomian dapat menyerap
tenaga kerja. Tenaga kerja akan memeroleh pendapatan sebagai hasil kerja atau
balas jasa atas pekerjaannya pada sektor pertanian. Sehingga, tenaga kerja
70
pada sektor pertanian akan memiliki kemampuan untuk membayar balas jasa
atas kebutuhannya yang telah diberikan oleh pemerintah yakni berupa retribusi.
Atau juga tenaga kerja pada sektor pertanian dapat membeli barang-barang
yang dibutuhkannya pada sektor usaha lain.
Selain dapat menyerap tenaga kerja, sektor pertanian juga dapat menjadi
penggerak utama industri. Hal ini dimaksudkan bahwa hasil dari pertanian akan
banyak dibutuhkan oleh industri-industri lain untuk dijadikan sebagai bahan baku
industri. Besarnya kontribusi sektor pertanian bagi industri pengolahan di seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, dapat dlihat dari besarnya
kontribusi yang diberikan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (lampiran 2). Terpenuhinya bahan baku pada industri akan mendorong
pertumbuhan pada industri tersebut dan juga pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H2 : sektor pertanian diduga berpengaruh positif terhadap derajatkemandirian fiskal.
Menurut Musgrave (1993), pajak properti merupakan perwakilan utama
dari pajak atas kekayaan (wealth taxation) dalam sistem perpajakan. Pajak
properti atau pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang bersifat
kebendaan atau pajak yang bersifat objektif, yang berarti bahwa besarnya pajak
yang tertuang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau
bangunan (Widodo, Widodo dan Puspita, 2010). Bumi adalah permukaan bumi
serta tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan
(Samudra, 1995). Adapun yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
(1) jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan; (2) jalan
tol; (3) kolam renang; (4) pagar mewah; (5) tempat olah raga; (6) galangan kapal,
71
dermaga; (6) tanah mewah; (8) tempat penampungan/kilang minyak, gas, air,
dan pipa minyak; dan (9) fasilitas lain yang memberikan manfaat (Larmanto,
2008).
Sejak dekade terakhir ini sektor bangunan/konstruksi tumbuh pesat dan
menakjubkan. Hal ini ditandai dengan maraknya pembangunan dibidang properti
yang dipasarkan untuk memenuhi permintaan domestik yang semakin
meningkat. Kebijakan pemerintah dalam memenuhi permintaan dalam hal
moneter dan fiskal, terutama dalam hal kredit perbankan ikut memengaruhi
meningkatnya produk pembangunan. Misalnya, Kabupaten Gianyar memiliki
potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan pembangunan,
perekonomian masyarakat, serta dampak pariwisata baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adanya pengaruh pembangunan, perekonomian, dan
pariwisata mengakibatkan alih fungsi lahan dari tanah sawah/persawahan
menjadi tanah kering untuk permukiman/perumahan, akomodasi pariwisata,
seperti hotel, restoran, villa, ruko, art shop, toko-toko, perkantoran, dan lain
sebagainya sebagai penunjang atau pendukung pembangunan, perekonomian,
dan pariwisata. Dengan beralih fungsinya lahan pertanian/tanah sawah menjadi
tanah kering mengakibatkan nilai tanah berubah, di mana nilai jual objek pajak
akan naik, sehingga secara otomatis pajak bumi dan bangunan akan naik pula
(Putrawan dan Sudirman, 2013).
Berdasarkan penjelasan di atas, sehingga dibentuklah hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H3 : sektor konstruksi/bangunan diduga berpengaruh positif terhadapderajat kemandirian fiskal.
72
Keberhasilan pengembangan sektor pariwisata pada suatu daerah yang
direfleksikan oleh meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan
restoran terhadap Produk Domestik Regional Bruto serta kontribusi pajak hotel
dan restoran terhadap Pendapatan Asli Daerah, akan berpengaruh terhadap
kinerja keuangan daerah. Kinerja keuangan daerah dapat diukur dengan
menggunakan analisis rasio keuangan daerah terhadap laporan perhitungan
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Hasil analisis rasio selanjutnya
digunakan untuk menilai kinerja keuangan daerah yaitu untuk mengukur upaya
pemerintah daerah dalam menggali Pendapatan Asli Daerah, mengukur
kemandirian keuangan daerah serta mengukur aktivitas pemerintah dalam
mengalokasikan dananya untuk pelayanan publik (Widiastuti, 2013). Dari
penjelasan tersebut, sehingga dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut:
H4: sektor perdagangan, hotel dan restoran diduga berpengaruh positifterhadap derajat kemandirian fiskal.
Otonomi daerah dengan asas desentralisasi adalah diberikannya
kewenangan yang luas pada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
semua urusan pemerintahan daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian, pengelolaan dan penggalian potensi sumber daya
yang dimiliki guna memenuhi kebutuhan daerah dan pelayanan masyarakat.
Berdasarkan wewenang tersebut setiap daerah harus dapat mengenali potensi
dan mengidentifikasi sumber-sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah daerah
diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber penerimaan keuangan,
khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan
pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah. Salah satu sumber
Pendapatan Asli Daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah berasal dari
sektor retribusi daerah (Putra, Atmanto dan Nuzula, 2014)
73
Retribusi daerah merupakan pemungutan yang dipungut pemerintah
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan (Basuki, 2007). Sektor jasa-jasa yang terdapat pada Produk
Domestik Regional Bruto pada dasarnya terdiri atas jasa pemerintahan umum
dan swasta. Yang termaksud dalam jasa pemerintahan umum di antaranya
adalah jasa administrasi pemerintah dan pertahanan, dan jasa pemerintah
lainnya. Sedangkan jasa swasta di antaranya adalah jasa sosial
kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi, dan jasa perorangan dan rumah tangga
(Badan Pusat Statistik, 2013), merupakan objek pengutan bagi retribusi daerah.
Selanjutnya, Haryanto (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
variabel yang dapat mendukung terwujudnya kapasitas fiskal daerah yang kuat
sebagai pencerminan kemandiran daerah yaitu pajak daerah, retribusi daerah,
Produk Domestik Regional Bruto jasa, dan bagi hasil pajak.
Berdasarkan penjelasan di atas, sehingga dapat dibentuk hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H5: sektor jasa-jasa diduga berpengaruh positif terhadap derajatkemandirian fiskal.
74
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah pengujian hipotesis. Hipotesis
yang digunakan adalah hipotesis korelasional (hubungan) yakni suatu
pernyataan yang menunjukkan dugaan tentang hubungan antara dua variabel
atau lebih (Sugiyono, 2012).
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan
independen. Variabel dependennya adalah kemandirian fiskal yang diukur
dengan menggunakan Derajat Kemandirian Fiskal sedangkan variabel
independennya adalah sektor-sektor perekonomian yang berkontribusi dominan
dalam Produk Domestik Regional Bruto yakni sektor pertanian, sektor
konstruksi/bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-
jasa.
3.2 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan pada seluruh pemerintah kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara yakni Kabupaten Buton, Kabupaten Muna,
Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten
Bombana, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Buton
Utara, Kabupaten Konawe Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau. Waktu
penelitian dilakukan berdasarkan lama kegiatan penelitian mulai dari melakukan
usulan penelitian, pembuatan proposal, kegiatan penelitian mulai dari pembuatan
usulan penelitian, kegiatan penelitian, pengumpulan data penelitian sampai
75
dengan perampungan hasil penelitian dan proses penyelesaian penelitian yang
membutuhkan waktu kurang lebih dua bulan.
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi merupakan batas
ruang penelitian yang akan dilakukan. Selain dalam bentuk kuantitas, populasi
juga dapat berbentuk kumpulan karakteristik dari objek yang akan diteliti
(Sugiyono, 2012). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli
Daerah, Total Pendapatan Daerah dan Produk Domestik Regional Bruto.
Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012). Sampel dalam penelitian ini ditetapkan
dengan teknik judgemental sampling. Menurut Kuncoro (2007), judgemental
sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel dengan menentukan kriteria-
kriteria tertentu yang disesuaikan dengan maksud peneliti terhadap masing-
masing sampel. Adapun data yang digunakan sebagai sampel dan obyek dalam
penelitian ini adalah:
1. Data Pendapatan Asli Daerah dan Total Pendapatan Daerah di seluruh
pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008
sampai dengan 2012.
2. Data hasil produksi barang dan jasa sektor ekonomi yang berkontribusi
dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto yakni sektor pertanian,
sektor konstruksi/bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta
sektor jasa-jasa di seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi
76
Sulawesi Tenggara tahun 2008 sampai dengan 2012 atas dasar harga
konstan 2000.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yakni data yang diperoleh dalam bentuk jadi yang berupa publikasi, dengan kata
lain data telah dikumpulkan oleh instansi atau pihak lain (Supranto, 1992). Data
yang digunakan dalam penelitian ini berupa data runtun waktu (time series) dan
data silang (cross section). Penggabungan antara data runtun waktu (time
series) dan data silang (cross section) disebut dengan data panel (Wooldridge,
2006). Data runtun waktu (time serries) adalah data yang secara kronologis
disusun menurut waktu pada suatu variabel tertentu (Kuncoro, 2003).
Sedangkan data silang (cross section) adalah data pada satu atau lebih variabel
yang dikumpulkan pada satu waktu tertentu dengan objek penelitian seperti
perusahaan, rumah tangga, kabupaten, provinsi, negara dan perorangan atau
kelembagaan lainnya. Contoh data cross section adalah data biaya promosi di
sepuluh area pemasaran produk X selama bulan januari 2008 (Wooldridge,
2006). Adapun data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
buku laporan tahunan yakni data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui telaah dokumentasi yaitu dilakukan dengan meneliti dan mempelajari
dokumen-dokumen yang relevan dengan kepentingan penelitian, yakni data
yang menyangkut keseluruhan komponen data yang dibatasi dalam jangka
waktu 5 tahun pengamatan (tahun 2008 sampai dengan 2012).
77
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
analisis regresi data panel. Analisis regresi data panel digunakan untuk
menjawab tujuan penelitian kedua, ketiga, keempat dan kelima yaitu untuk
mengetahui pengaruh sektor-sektor perekonomian yang berkontribusi dominan
dalam Produk Domestik Regional Bruto terhadap Derajat KemandirianFfiskal
seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sebelum dilakukan analisis regresi data panel, lebih dulu harus dilakukan
penghitungan atas derajat kemandirian fiskal untuk menjawab tujuan penelitian
pertama. Adapun data-data yang dipergunakan untuk adalah:
1. Penerimaan daerah dari Pendapatan Asli Daerah seluruh pemerintah
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara; dan
2. Total Pendapatan Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Untuk mengetahui Derajat Kemandirian Fiskal seluruh pemerintah
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan dengan rasio
perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan
Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada tahun yang sama
(Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2013). Semakin kuat Pendapatan
Asli Daerah, maka semakin kuat pula tingkat kemandirian fiskal dari daerah
tersebut.
Adapun untuk mengetahui seberapa besar tingkat kemandirian
keuangan, digunakan kriteria yang telah ditetapkan oleh Tim Litbang Depdagri
dan Fisipol UGM (1991), yaitu :
1. Sangat rendah : 0.00% - 10.00%
2. Rendah : 10.01% - 20.00%
78
3. Sedang : 20.01% - 30.00%
4. Cukup : 30.01% - 40.00%
5. Tinggi : 40.01% - 50.00%
6. Sangat tinggi : > 50.00%
Perhitungan atas Derajat Kemandirian Fiskal dimaksudkan untuk
melengkapi kebutuhan atas data dalam penelitian ini demi menjawab tujuan
penelitian kedua. Untuk menjawab tujuan penelitian kedua, data-data tersebut
akan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi data panel.
Menurut Gujarati (2003) data panel ialah gabungan antara jenis data time
series dan cross section sehingga data panel ialah data yang memiliki dimensi
waktu dan ruang. Analisis data dengan melakukan penggabungan data cross-
sectional dan time serries, pada dasarnya memiliki kelebihan dibandingkan jika
menggunakan data cross-sectional atau time serries saja. Adapun keuntungan
yang dapat diperoleh dengan menggunakan data panel menurut Gujarati (2003)
adalah: (1) heterogeneity; (2) lebih informatif, bervariasi, degree of freedom lebih
besar dan lebih efisien; (3) menghindarkan masalah multikolinearitas; (4) lebih
unggul dalam mempelajari perubahan dinamis; (5) lebih dapat mendeteksi dan
mengukur pengaruh-pengaruh yang tidak dapat diobservasi pada data cross
section murni atau time series murni; (6) dapat digunakan untuk mempelajari
behavioral model; dan (7) meminimisasi bias.
Penggunaan data panel haruslah memerhatikan batasan minimum dalam
bahwa batasan minimum data panel adalah paling tidak 50 observasi (time
serries x cross-sectional) karena kurang dari 50 0bservasi memiliki power of test
kecil (Blog Ekonomi, Finansial dan Ekonometrika dalam Chadidjah dan Elfiyan,
2009). Selanjutnya, menurut Greene (1993) bahwa banyaknya unit waktu di
setiap unit individu akan memberikan ciri apakah data panel tersebut seimbang
79
atau tidak. Jika tiap-tiap unit individu diobservasi dalam waktu yang sama maka
data panel dapat dikatakan seimbang (balanced panel data). Sedangkan jika
tidak semua unit individu diobservasi pada waktu yang sama atau bisa juga
disebabkan adanya data yang hilang dalam suatu unit individu, maka data panel
dikatakan tidak seimbang (unbalanced panel data).
Menurut Pindyck dan Rubinfield dalam Aisyah (2007), bahwa pada model
data panel dikenal tiga macam pendekatan estimasi yaitu: (1) pooled least
squares; (2) fixed effect; dan (3) random effect. Pendekatan pooled least squares
yakni secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data time serries dan
cross-sectional dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan
metode ordinary least squares. Pendekatan fixed effect mencerminkan
perbedaan pada intersep untuk time serries atau cross-sectional. Sedangkan
pendekatan random effect, yakni pendekatan dengan maksud untuk memerbaiki
efisiensi proses least square dengan memerhitungkan error dari time serries atau
cross-sectional.
80
1. Model common effect/pooled least square (PLS)
Teknik yang paling sederhana untuk mengestimasi data panel adalah dengan
mengkombinasikan data time series dan cross sections tanpa melihat
perbedaan antar waktu dan individu dan menggunakan metode ordinary least
square (OLS). Metode ini mengasumsikan perilaku yang sama antar individu
dalam kurun waktu yang berbeda. Hal ini menunjukkan model common effect
sulit melihat perubahan antar individu karena model ini menganggap semua
individu sama atau homogen (Nachrowi, 2006). Adapun persamaan yang
digunakan dalam penelitian ini berdasarkan model common effect, dapat
dituliskan sebagai berikut:
Yit = α + β1 X1it+ β2 X2it + β3 X3it + β4 X4it + εit……………………………………. (1)
2. Model Fixed Effect (FEM)
Model ini merupakan prosedur estimasi parameter α dan β dengan
memerhitungkan sifat dari individual yang diobservasi atau efek individu
(parameter α). Dalam hal ini nilai α1≠ α2≠ α3 … αi dan β1≠ β2≠ β3 … βi. Artinya
model ini mengasumsikan bahwa intersep berbeda antar individu namun
konstan antar waktu dan slope tetap sama antar individu dan waktu. Adapun
persamaan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan model fixed
effect, dapat dituliskan sebagai berikut:
Y it = αi + β1 X1it + β2 X2it + β3 X3it + β4 X4it + εit…………………….……………. (2)
3. Model Random Effect (REM)
Dalam model random effect, perbedaan karakteristik antara individu dan atau
waktu diakomodasi melalui error (Nachrowi, 2006). Individu memiliki nilai
mean yang umum pada intercept, sementara perbedaan individu pada nilai
81
intercept dicerminkan dalam error term (Gujarati, 2003). Adapun persamaan
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan model random effect, dapat
dituliskan sebagai berikut:
Y it = α + β1X1it + β2 X2it + β3 X3it + β4 X4it + ui + εit ……………………………… (3)
Di mana:
Y = Derajat Kemandirian Fiskal
X1 = sektor pertanian
X2 = sektor konstruksi/bangunan
X3 = sektor perdagangan, hotel dan restoran
X4 = sektor jasa-jasa
i = tempat (kabupaten dan kota)
t = tahun
β = koefisien konstanta.
Berdasarkan persamaan yang terbentuk dalam penelitian, sehingga
dapat dibentuk model penelitian sebagai berikut:
82
Gambar 3.1Model Penelitian
Selanjutnya, untuk memilih model estimasi yang tepat ada beberapa hal
yang harus dilakukan, di mana logika pemilihan tersebut dapat dilakukan secara
teoritis. Pada model fixed effect, diasumsikan terdapat perbedaan diantara
individu (unit), yang dilihat dari konstanta. Berbeda dengan fixed effect yang
memiliki korelasi pada konstanta tiap individu dengan variabel independen dalam
model, random effect mengasumsikan efek tiap individu tidak berkorelasi dengan
variabel independen. Konsekwensinya adalah konstanta yang menunjukkan
karakter tiap individu (individual specific) akan terdistribusi secara acak (random)
pada cross section (Wooldrige, 2006).
Untuk memilih fixed effect model atau random effect model sebagai
model yang sesuai menurut Nachrowi (2006), ada beberapa cara untuk
menentukan, yaitu: (1) jika T (jumlah data time serries) > N (jumlah data cross-
sectional), maka disarankan menggunakan fixed effect model (FEM); (2) jika N
(jumlah data cross-sectional) > T (jumlah data time serries), maka disarankan
menggunakan random effect model (REM); (3) jika efek cross-sectional
Sektor Pertanian (X1)
Derajat KemandirianFiskal (Y)
Sektor Jasa-jasa (X4)
Sektor Perdagangan, Hotel danRestoran (X3)
Sektor Pertanian/Konstruksi (X2)
83
berkorelasi dengan salah satu atau lebih variabel X, maka penaksir fixed effect
model yang tidak bias dan sesuai; (4) uji hipotesis yang dapat digunakan untuk
lebih meyakinkan keputusan dalam memilih model terbaik adalah dengan
menggunakan uji Hausman. Namun, menurut Nachrowi (2006) pemilihan metode
fixed effect ataupun random effect secara teoritis dan berdasarkan sampel data
bukanlah sesuatu yang mutlak.
Untuk melakukan pemilihan model yang tepat dalam penelitian ini,
terlebih dahulu harus dilakukan pengujian terhadap masing-masing model.
Adapun pemilihan model pooled/common effect, fixed effect ataukah random
effect didasarkan pada hasil uji chow dan uji hausman.
Uji Chow digunakan untuk pemilihan model pooled/common effect dan
fixed effect. Pengujian dilakukan dengan menggunakan hipotesa sebagai berikut:
H0: model pooled/common effect
H1: model fixed effect
Pengambilan keputusan dalam uji Chow didasarkan pada nilai probabilitas cross
section F. Di mana H0 ditolak apabila nilai probabilitas cross section berada pada
tingkat < 0.05 dan H0 diterima apabila nilai probabilitas cross section = 0.05.
Uji Hausman adalah pengujian untuk memilih antara penggunaan model
randome effect dan fixed effect. Uji Hausman ini dilakukan dengan
menggunakan hipotesa sebagai berikut:
H0: model random effect
H1: model fixed effect
Pengambilan keputusan dalam uji Haussman dilakukan dengan membandingkan
antara probabilitas hasil pengujian yang diperoleh dan tingkat kesalahan α. Jika
probabilitas hasil pengujian < 0.05, maka H0 ditolak sehingga digunakan model
84
fixed effect dan jika probabilitas hasil pengujian > 0.05 maka H0 tidak ditolak
(diterima) sehingga digunakan model random effect.
3.7 Uji Hasil Regresi
Setelah mendapatkan hasil regresi, selanjutnya dilakukan evaluasi hasil
regresi dengan tujuan untuk mengetahui seberapa baik hasil dari regresi
tersebut. Adapun evaluasi hasil regresi dapat dilakukan dengan melakukan
pengujian atas asumsi dan pengujian model.
3.7.1 Pengujian Asumsi
Tujuan dilakukannya pengujian asumsi adalah untuk mendapatkan
data/estimator yang bersifat best linear unbiased estimated (BLUE) yang berarti
memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Variansnya tetap atau bebas dari masalah heteroskedastisitas
Suatu model dapat dikatakan mengalami masalah heteroscedasticity bila
residual tidak mempunyai varians yang sama (konstan). Penggujian
heteroskedastisitas dalam regresi berganda data panel dapat dilakukan
dengan menggunakan uji white (white’s general heteroscedasticity test).
2. Tidak ada korelasi serial antar error atau bebas dari masalah autokorelasi
(autocorrelation).
Outokorelasi adalah adanya korelasi antara serangkaian data observasi.
Apabila korelasi di antara data terjadi dalam beberapa deret waktu maka
disebut serial correlation. Untuk dapat mengetahui ada tidaknya outokorelasi
pada suatu model, dapat digunakan uji formal yakni dengan melihat nilai
Durbin Watson (DW) pada hasil yang bersangkutan, di mana nilai DW yang
tidak terkena outokorelasi dapat terlihat pada DW statistik berdasarkan
jumlah sampel dan juga variabel penjelas (Gujarati, 2003).
85
3. Tidak terjadi hubungan antara independent variable atau bebas dari masalah
mulkolinearitas.
Multikolinearitas merupakan hubungan linear antara variabel independen di
dalam regresi. Untuk mendeteksi masalah multikolinearitas pada suatu
model, dapat dilakukan dengan melakukan regresi setiap variabel
independen dengan sisa variabel-variabel independen lain yang disebut
dengan regresi auxiliary (Widarjono, 2010). Di mana, nilai yang perlu untuk
diketahui adalah nilai R squared (R2) dari masing-masing hasil regresi
masing variabel. Multikolinearitas dapat diketahui dengan melakukan
perbandingan antara R squared (R2) hasil regresi variabel dependen dan
independen > R squared (R2) regresi setiap variabel independen dengan sisa
variabel-variabel independen lainnya.
4. Residual mempunyai distribusi normal
Widarjono (2010) mengemukakan bahwa suatu model harus memiliki
residual yang berdistribusi normal, karena jika suatu model tidak memiliki
residual yang berdistribusi normal akan mengakibatkan uji t untuk melihat
signifikansi variabel independen tehadap dependen tidak dapat diaplikasikan.
Adapun metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi masalah normalitas
yaitu uji Kolmorogov-Smirnov dan uji Jarque-Bera (JB).
Uji normalitas yang akan digunakan pada penelitian adalah uji JB, di mana
jika residual terdistribusi secara normal maka diharapkan nilai statistik JB
akan sama dengan 0. Nilai statistik JB didasarkan pada distribusi Chi
Squares dengan derajat kebebasan (df) dua. Hipotesis nol uji ini menyatakan
bahwa residual didistribusikan secara normal jika nilai statistik JB lebih besar
dari tingkat signifikansi yang kita tentukan maka kita dapat menerima
hipotesis nol bahwa residual mempunyai distribusi normal karena nilai
86
statistik JB mendekati nol. Sebalikanya, jika nilai probabilitas dari statistik JB
kecil atau signifikan maka kita menolak hipotesis bahwa residual mempunyai
distribusi normal karna JB tidak sama dengan nol (Widarjono, 2010).
Normal atau tidaknya data dapat ditetapkan dengan melihat statistik deskriptif
dengan menggunakan ketentuan bahwa nilai JB lebih kecil dari chi-squares
kritis dengan = 5% sehingga tidak signifikan. Di mana hal ini berarti bahwa
kita menerima hipotesis nol dengan kesimpulan bahwa distribusi residual
model regresi mempunyai distribusi normal. Ketidak signifikanan nilai JB juga
dapat dilihat dari nilai probabilitasnya, di mana nilai probabilitasnya harus
lebih besar dari tingkat signifikansi = 5%.
3.7.2 Pengujian Model
Model dalam penelitian ini akan di uji dengan menggunakan:
1. Uji signifikansi pengaruh semua variabel independen secara serentak atau
simultan terhadap variabel dependen (overall fit) yakni melalui uji F
(Widarjono, 2010).
Adapun hipotesis yang digunakan untuk pengujian ini adalah sebagai berikut:
H0: ß₁ = ß₂ = … = ßk = 0
Ha: ß₁ ≠ ß₂ ≠ … ≠ ßk ≠ 0
Keputusan menolak atau menerima H0 dilakukan dengan membandingkan F
hitung > F kritis, maka kita menolak H0 dan hal ini berarti bahwa secara
bersama-sama variabel independen memengaruhi variabel dependen.
Sebaliknya jika F hitung < F kritis maka menerima H0 yang berarti bahwa
secara bersama-sama semua variabel independen tidak memengaruhi
variabel dependen. Kita dapat menolak hipotesis H0 uji F ini dengan melihat
nilai probabilitasnya.
87
2. Uji signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen
secara individu atau parsial (significance test) yakni melalui uji t (Widarjono,
2010).
Adapun hipotesis yang digunakan untuk pengujian ini adalah:
H0: ß₁ = 0
Ha: ß₁ ≠ 0
Keputusan menolak atau menerima H0 dilakukan dengan membandingkan
jika nilai t hitung > nilai t kritis maka H0 ditolak atau menerima Ha dan jika nilai
t hitung < nilai t kritis maka H0 diterima atau menolak Ha. Jika menolak H0 atau
menerima Ha berarti secara statistik variabel independen signifikan
memengaruhi variabel dependen dan jika menerima H0 dan menolak Ha
berarti secara statistik variabel independen tidak signifikan memengaruhi
variabel dependen.
3.8 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini dikhususkan untuk
analisis regresi linier berganda data panel, yakni:
Yit = DKF, yaitu rasio perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah
tehadap Total Pendapatan Daerah yang terdapat pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah seluruh pemerintah kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara yang dinyatakan dalam
persen (Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2013).
X1it = total nilai produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan oleh
sektor pertanian dalam perekonomian setiap kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dalam jangka waktu
88
tertentu, berdasarkan harga konstan 2000 yang dinyatakan dalam
rupiah.
X2it = total nilai produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan oleh
sektor konstruksi/bangunan dalam perekonomian setiap
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dalam jangka
waktu tertentu, berdasarkan harga konstan 2000 yang dinyatakan
dalam rupiah.
X3it = total nilai produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan oleh
sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam perekonomian
setiap kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dalam
jangka waktu tertentu, berdasarkan harga konstan 2000 yang
dinyatakan dalam rupiah.
X4it = total nilai produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan oleh
sektor jasa-jasa dalam perekonomian setiap kabupaten dan kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara dalam jangka waktu tertentu,
berdasarkan harga konstan 2000 yang dinyatakan dalam rupiah.
89
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Derajat Kemandirian Fiskal Seluruh Pemerintah Kabupatendan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya
Derajat Kemandirian Fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kemandirian fiskal merupakan indikator utama dalam
mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan daerah yang dijalankan yakni tanpa tergantung bantuan dari luar,
termasuk dari pemerintah pusat (World Bank dalam Ladjin, 2008). Selanjutnya
Silaen, Widjayanto dan Effendy (2012) mengemukakan bahwa kemandirian
keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan
oleh besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan pendapatan
daerah yang berasal dari sumber yang lain.
Untuk mengukur seberapa besar tingkat kemandirian fiskal suatu daerah
digunakan ukuran yang disebut administrative independency ratio (AIR) atau
dapat disebut Derajat Kemandirian Fiskal atau Derajat Otonomi Fiskal. Menurut
Ladjin (2008) untuk mengukur Derajat Kemandirian Fiskal dapat diproksi dari
rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah
(TPD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan menurut
Kementrian Keuangan Republik Indonesia (2013), kemandirian fiskal dapat
diproksi dari rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total
90
Pendapatan Daerah (TPD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Adapun kriteria Derajat Kemandirian Fiskal yang digunakan untuk menentukan
kategori kemandirian fiskal dalam penelitian ini adalah kriteria yang telah
ditetapkan oleh Tim Litbang Depdagri dan Fisipol UGM (1991), yaitu:
Sangat rendah : 0.00% - 10.00%
Rendah : 10.01% - 20.00%
Sedang : 20.01% - 30.00%
Cukup : 30.01% - 40.00%
Tinggi : 40.01% - 50.00%
Sangat tinggi : > 50.00%
Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia
dengan 12 kabupaten dan kota, yakni Kabupaten Buton, Kabupaten Muna,
Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten
Bombana, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Buton
Utara, Kabupaten Konawe Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau. Pada
penelitian ini, penulis menjadikan seluruh pemerintah kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai lokasi penelitian.
Adapun gambaran singkat mengenai kemandirian keuangan seluruh
pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan
membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Total Pendapatan Daerah
(TPD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Kementrian Keuangan
Republik Indonesia, 2013) adalah sebagai berikut:
91
Tabel 4.1Derajat Kemandirian Fiskal Seluruh Kabupaten dan Kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2008 sampai dengan 2012(%)
No Kabupaten/KotaDerajat Kemandirian Fiskal Per Tahun
Rata-rata2008 2009 2010 2011 2012
1 Buton 2.59 3.08 3.40 2.51 2.93 2.90
2 Muna 3.92 4.28 6.32 3.21 2.48 4.04
3 Konawe 1.93 2.47 2.94 3.31 2.84 2.70
4 Kolaka 4.44 6.45 5.38 5.22 4.79 5.26
5 Konawe Selatan 2.09 1.44 2.32 2.14 2.71 2.14
6 Bombana 3.58 2.14 3.46 3.45 4.71 3.47
7 Wakatobi 2.97 2.48 3.42 2.45 4.21 3.11
8 Kolaka Utara 2.25 2.35 1.86 7.61 3.60 3.53
9 Buton Utara 0.76 1.46 1.63 1.57 2.73 1.63
10 Konawe Utara 11.98 4.45 3.39 1.86 2.23 4.78
11 Kendari 7.00 6.99 8.01 9.01 9.51 8.11
12 Baubau 6.29 6.75 6.50 4.51 4.97 5.80
Sulawesi Tenggara 4.02 3.89 4.29 4.08 4.06 4.07
Se Indonesia 7.25 7.49 7.40 8.57 9.88 8.12
Sumber: data diolah tahun 2014
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008
sampai dengan 2012 mengalami fluktuasi dan berdasarkan batasan kategori
Derajat Kemandirian Fiskal yang telah ditetapkan oleh Tim Litbang Depdagri dan
Fisipol UGM (1991), kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada
tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012 berada pada kategori sangat rendah.
Selain itu, tabel tersebut juga menunjukkan bahwa seluruh kabupaten dan kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012
memiliki Derajat Kemandirian Fiskal dibawah rata-rata Derajat Kemandirian
Fiskal seluruh kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun anggaran sama. Di
92
mana, rata-rata Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012
adalah sebesar 4.07%. Sedangkan rata-rata Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun anggaran yang sama adalah
sebesar 8.12%.
Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2008 sampai
dengan 2012, dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
hanya Kota Kendari yang memiliki rata-rata Derajat Kemandirian Fiskal yang
mampu menyamai rata-rata Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan
kota di Indonesia pada tahun anggaran yang sama yakni sebesar 8.11%.
Sementara, kabupaten dan kota lainnya memiliki rata-rata derajat Derajat
Kemandirian Fiskal dibawah rata-rata Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Indonesia.
4.2 Perkembangan Sektor Ekonomi Dominan Seluruh PemerintahKabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
Menurut Radianto (1997), kemandirian fiskal daerah menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal
dari sumber ekonomi asli daerah (Halim, 2004). Berkembangnya suatu sub
sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto akan berdampak pada
peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga diharapkan dapat pula
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (Kasmita, 2013).
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu faktor utama yang dapat
menentukan besar kecilnya Derajat Kemandirian Fiskal suatu daerah dalam
membiayai daerahnya dengan Pendapatan Asli Daerah sebagai indikator
93
utamanya. Sehubungan dengan penelitian ini, hanya dipilih sektor ekonomi yang
berkontribusi dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi
Sulawesi Tenggara yakni sektor pertanian, sektor konstruksi/bangunan, sektor
perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa-jasa sebagai variabel yang
dapat memengaruhi Derajat Kemandirian Fiskal diseluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Adapun perkembangan dari masing-masing sektor ekonomi yang
berkontribusi dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto berdasarkan
harga konstan 2000 seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
dapat dilihat melalui beberapa tabel berikut:
4.2.1 Sektor Pertanian
Sektor pertanian yang terdapat pada Produk Domestik Regional Bruto
pada dasarnya terdiri atas tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan,
peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan dan perikanan. Untuk mengetahui
perkembangan sektor pertanian seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012, berikut disajikan
tabel perkembangan sektor pertanian:
94
Tabel 4.2Perkembangan Sektor Pertanian Seluruh Kabupaten dan Kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 sampai dengan 2012(Juta Rupiah)
No Kabupaten/KotaSektor Pertanian
Rata-rata2008 2009 2010 2011 2012
1 Buton 242,141.09 262,480.94 281,090.54 294,120.60 305,288.12 277,024.26
2 Muna 328,432.71 344,128.55 359,526.50 384,551.28 405,112.63 364,350.33
3 Konawe 304,196.25 324,678.88 340,072.04 360,018.77 381,177.66 342,028.72
4 Kolaka 780,615.21 810,040.23 804,007.21 847,695.84 886,144.50 825,700.60
5 Konawe Selatan 364,993.73 381,240.04 388,391.44 399,637.74 416,714.22 390,195.43
6 Bombana 188,808.53 197,024.42 204,520.99 209,013.98 220,611.45 203,995.87
7 Wakatobi 73,517.88 80,019.54 84,627.36 89,639.40 91,000.88 83,761.01
8 Kolaka Utara 507,483.40 531,546.03 554,310.96 589,409.27 626,532.22 561,856.38
9 Buton Utara 147,992.83 163,661.54 175,942.56 187,805.38 193,871.80 173,854.82
10 Konawe Utara 202,732.46 222,226.36 236,767.26 248,625.15 253,108.41 232,691.93
11 Kendari 248,850.83 266,749.30 278,207.26 287,460.88 291,753.91 274,604.44
12 Baubau 58,484.51 62,820.01 64,202.98 65,486.03 66,596.84 63,518.07
Sumber: Badan Pusat Statistik
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sektor pertanian diseluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 sampai dengan 2012 selalu
mengalami perkembangan yang positif yakni selalu mengalami pertumbuhan dari
tahun ke tahunnya. Kecuali Kabupaten Kolaka ditahun anggaran 2010 justru
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun anggaran 2009 yakni
sebesar 810,040.23 di tahun 2009 dan menjadi sebesar 804,007.21 di tahun
anggaran 2010.
Tabel 4.2 juga menunjukkan bahwa dari seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012,
kabupaten dengan rata-rata perolehan sektor pertanian terbesar adalah
Kabupaten Kolaka yakni sebesar 825,700.60, yang kemudian diikuti oleh
95
kabupaten pecahannya yakni Kabupaten Kolaka Utara dengan perolehan sektor
pertanian sebesar 561,856.38.
4.2.2 Sektor Konstruksi/Bangunan
Untuk mengetahui perkembangan sektor konstruksi/bangunan seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008
sampai dengan 2012, berikut disajikan tabel perkembangan sektor
konstruksi/bangunan:
Tabel 4.3Perkembangan Sektor Konstruksi/Bangunan Seluruh Kabupaten dan Kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 sampai dengan 2012(Juta Rupiah)
No Kabupaten/KotaSektor Konstruksi/Bangunan
Rata-rata2008 2009 2010 2011 2012
1 Buton 31,235.56 33,000.37 36,144.09 39,023.65 41,819.13 36,244.56
2 Muna 76,686.56 82,870.68 90,923.78 98,540.10 106,506.28 91,105.48
3 Konawe 119,577.03 136,994.16 143,997.37 153,788.31 178,176.41 146,506.66
4 Kolaka 103,955.73 122,824.88 141,506.55 163,593.72 191,375.69 144,651.31
5 Konawe Selatan 81,207.58 87,754.19 101,478.94 115,203.69 121,815.95 101,492.07
6 Bombana 35,940.80 40,681.19 50,411.64 60,705.65 67,890.28 51,125.91
7 Wakatobi 12,064.36 15,121.26 18,788.86 21,179.98 24,000.13 18,230.92
8 Kolaka Utara 34,375.80 41,441.37 47,340.38 53,032.79 63,525.11 47,943.09
9 Buton Utara 24,160.57 29,928.35 37,066.66 44,362.16 52,458.26 37,595.20
10 Konawe Utara 44,540.58 54,860.49 60,723.47 71,756.65 84,228.67 63,221.97
11 Kendari 120,279.30 131,426.86 148,098.28 175,628.87 216,913.89 158,469.44
12 Baubau 125,452.78 139,915.65 169,353.90 190,202.01 226,916.27 170,368.12
Sumber: Badan Pusat Statistik
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sektor konstruksi/bangunan diseluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 sampai
dengan 2012 selalu mengalami perkembangan yang positif yakni selalu
96
mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Selain itu, tabel 4.3 juga
menunjukkan bahwa dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara, kabupaten atau kota yang memiliki rata-rata perolehan sektor
konstruksi/bangunan terbesar di tahun 2008 sampai dengan 2012 jika
dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya adalah Kota Baubau yakni
dengan perolehan sektor konstruksi/bangunan sebesar 170,368.12 yang diikuti
oleh Kota Kendari dengan perolehan sektor konstruksi/bangunan sebesar
158,469.44.
4.2.3 Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Sektor perdagangan, hotel dan restoran yang terdapat pada Produk
Domestik Regional Bruto pada dasarnya terdiri atas perdagangan besar dan
eceran, hotel dan restoran. Untuk mengetahui perkembangan sektor
perdagangan, hotel dan restoran seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012, berikut
disajikan tabel perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran:
97
Tabel 4.4Perkembangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi TenggaraTahun 2008 sampai dengan 2012
(Juta Rupiah)
No Kabupaten/KotaSektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Rata-rata2008 2009 2010 2011 2012
1 Buton 85,216.91 95,408.85 105,473.72 125,310.99 140,980.51 110,478.19
2 Muna 207,651.95 224,561.11 245,765.36 274,378.42 300,294.72 250,530.31
3 Konawe 98,262.54 108,870.50 123,842.60 134,492.21 149,500.99 122,993.77
4 Kolaka 400,857.31 436,659.80 503,782.20 593,189.74 697,667.77 526,431.36
5 Konawe Selatan 86,800.77 97,030.92 109,291.10 122,580.56 136,229.26 110,386.52
6 Bombana 37,742.46 42,799.55 47,953.62 51,700.65 56,861.62 47,411.58
7 Wakatobi 31,158.52 40,421.85 48,726.52 54,872.60 61,000.72 47,236.04
8 Kolaka Utara 112,263.22 123,134.17 140,619.44 163,942.81 195,764.82 147,144.89
9 Buton Utara 33,204.83 35,988.15 40,654.99 47,702.32 55,207.43 42,551.54
10 Konawe Utara 17,500.29 20,005.58 23,696.29 28,359.72 33,553.36 24,623.05
11 Kendari 310,095.56 348,299.14 385,719.55 428,452.51 470,331.26 388,579.60
12 Baubau 137,569.34 156,796.43 169,891.09 188,502.34 207,084.37 171,968.71
Sumber: Badan Pusat Statistik
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran
diseluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2008
sampai dengan 2012 selalu mengalami perkembangan yang positif yakni selalu
mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahunnya. Selain itu, tabel 4.4 juga
menunjukkan bahwa dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara, kabupaten atau kota yang memiliki rata-rata perolehan sektor
perdagangan, hotel dan restoran terbesar di tahun 2008 sampai dengan 2012
jika dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya adalah Kabupaten Kolaka
yakni dengan perolehan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar
526,431.36 yang diikuti oleh Kota Kendari dengan perolehan sektor sektor
perdagangan, hotel dan restoran sebesar 388,579.60.
98
4.2.4 Sektor Jasa-jasa
Sektor jasa-jasa yang terdapat pada Produk Domestik Regional Bruto
pada dasarnya terdiri atas jasa pemerintahan umum dan swasta. Yang
termaksud dalam jasa pemerintahan umum di antaranya adalah jasa
administrasi pemerintah dan pertahanan, dan jasa pemerintah lainnya.
Sedangkan jasa swasta di antaranya adalah jasa sosial kemasyarakatan,
hiburan dan rekreasi, dan jasa perorangan dan rumah tangga. Untuk mengetahui
perkembangan sektor jasa-jasa seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012, berikut disajikan
tabel perkembangan sektor jasa-jasa:
Tabel 4.5Perkembangan Sektor Jasa-jasa Seluruh Kabupaten dan Kota
di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 sampai dengan 2012(Juta Rupiah)
No Kabupaten/KotaSektor Jasa-jasa
Rata-rata2008 2009 2010 2011 2012
1 Buton 115,152.27 122,165.04 129,603.02 133,706.51 136,824.04 127,490.18
2 Muna 182,680.46 200,100.02 210,318.81 217,321.06 231,176.39 208,319.35
3 Konawe 136,382.94 147,246.49 155,369.31 161,089.09 169,678.65 153,953.30
4 Kolaka 192,304.84 209,445.64 215,691.68 225,150.53 234,625.78 215,443.69
5 Konawe Selatan 114,852.45 124,457.16 131,993.43 137,388.80 144,450.31 130,628.43
6 Bombana 51,268.47 55,623.05 56,460.72 58,024.43 61,464.38 56,568.21
7 Wakatobi 44,965.38 49,701.73 53,780.50 59,098.75 63,000.97 54,109.47
8 Kolaka Utara 50,912.65 56,429.66 61,384.13 65,432.90 71,265.73 61,085.01
9 Buton Utara 50,245.77 54,451.22 57,491.10 59,919.83 63,999.34 57,221.45
10 Konawe Utara 18,926.16 20,855.74 22,420.08 23,419.76 25,022.54 22,128.86
11 Kendari 187,966.55 203,550.79 212,182.16 219,368.19 238,356.10 212,284.76
12 Baubau 156,015.80 167,297.95 175,541.71 182,726.76 188,642.70 174,044.98
Sumber: Badan Pusat Statistik
99
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sektor jasa-jasa diseluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 sampai dengan 2012 selalu
mengalami perkembangan yang positif yakni selalu mengalami pertumbuhan dari
tahun ke tahunnya, sama halnya dengan sektor ekonomi dominan lainnya.
Selain itu, tabel 4.5 juga menunjukkan bahwa dari seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara, kabupaten atau kota yang memiliki rata-rata
perolehan sektor jasa-jasa terbesar di tahun 2008 sampai dengan 2012 jika
dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya adalah Kabupaten Kolaka
yakni dengan perolehan sektor jasa-jasa sebesar 215,443.69 yang diikuti oleh
Kota Kendari dengan perolehan sektor jasa-jasa sebesar 212,284.76.
4.3 Analisis Pengaruh Sektor Ekonomi Dominan terhadap DerajatKemandirian Fiskal Seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota diProvinsi Sulawesi Tenggara
4.3.1 Estimasi Model Regresi Data Panel
Penelitian ini menjadikan 12 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara sebagai lokasi penelitian, dengan periode data selama lima tahun
anggaran yang dimulai dari tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012. Dari hal
tersebut, sehingga menghasilkan 60 data Derajat Kemandirian Fiskal sebagai
variabel terikat dan 60 data sektor pertanian, sektor konstruksi/bangunan, sektor
perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa sebagai variabel bebas.
Berdasarkan data dari variabel-variabel tersebut, sebagai tahap awal
pengujian atas hipotesis penelitian ini dilakukan pengolahan data menggunakan
regresi data panel dengan pendekatan atau metode pooled least square (PLS),
fixed effect model (FEM) dan random effect model (REM). Pengolahan data
variabel dependen yakni Derajat Kemandirian Fiskal (Y) dan variabel independen
yakni sektor pertanian (X1), sektor konstruksi atau bangunan (X2), sektor
100
perdagangan, hotel dan restoran (X3) dan sektor jasa-jasa (X4) seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan data time series dari
tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012 dilakukan dengan menggunakan
software eviews 7.0.
Setelah dilakukan estimasi dengan ketiga pendekatan atau metode
tersebut, sehingga diperoleh hasil estimasi seperti yang terlihat pada lampiran 4,
lampiran 5 dan lampiran 6. Dari hasil estimasi tersebut, selanjutnya dilakukan
pemilihan estimasi regresi data panel yang tepat untuk digunakan pada
penelitian ini. Untuk menentukan pendekatan atau metode yang tepat atas
estimasi regresi data panel, harus dilakukan prosedur pengujian atas masing-
masing hasil estimasi data panel. Di mana jenis pengujian yang harus dilakukan
adalah: (1) uji chow; dan (2) uji hausman.
1. Uji chow
Uji chow digunakan untuk memilih pendekatan pooled least square (PLS)
dan fixed effect model (FEM), dengan hipotesis sebagai berikut:
H0: model pooled least square (PLS)
H1: model fixed effect model (FEM)
Pengambilan keputusan dalam uji chow didasarkan pada nilai probabilitas cross
section F. Di mana H0 ditolak apabila nilai probabilitas cross section berada pada
tingkat < 0.05 dan H0 diterima apabila nilai probabilitas cross section = 0.05.
Berdasarkan hasil uji chow yang terlihat pada lampiran 7, diketahui
bahwa H0 ditolak karena probabilitas cross section F < 0.05 yakni sebesar
0.0084. Dari nilai probabilitas cross section F yang ditunjukkan pada hasil uji
chow, maka metode yang dipilih adalah model fixed effect. Namun, hal tersebut
belum merupakan hasil akhir atas metode pengolahan data dalam penelitian,
karena belum dilakukan pengujian kembali dengan membandingkan model fixed
101
effect dan random effect. Untuk itu, perlu dilihat kembali hasil yang ada dari
model random effect yakni dengan melakukan uji hausman.
2. Uji Hausman
Uji hausman dilakukan untuk menentukan model yang paling baik antara
fixed effect model (FEM) dan random effect model (REM) dengan hipotesis
sebagai berikut:
H0: random effect model (REM)
H1: fixed effect model (FEM)
Pengambilan keputusan dalam uji hausman didasarkan pada nilai probabilitas
cross section random. Di mana H0 diterima apabila nilai probabilitas cross section
berada pada tingkat = 0.05 dan H0 ditolak apabila nilai probabilitas cross
section < 0.05.
Berdasarkan hasil uji hausman yang terlihat pada lampiran 8, diketahui
bahwa H0 diterima karena probabilitas cross section random > 0.05 yakni
sebesar 0.0866. Hal ini berarti bahwa model/pendekatan yang paling tepat
digunakan dalam penelitian ini adalah model random effect.
Dari hasil uji chow dan uji hausman yang dilakukan, maka metode yang
tepat digunakan pada penelitian ini adalah model random effect dan fixed effect.
Sehubungan dengan terpilihnya dua model tepat pada penelitian ini, maka akan
dilakukan perbandingan nilai statistik pada masing-masing metode untuk memilih
salah satu metode. Untuk melihat perbandingan nilai statistik dari hasil estimasi
antara fixed effect ataupun random effect, dapat dilihat pada tabel berikut:
102
Tabel 4.6Perbandingan Koefisien Determinasi Model Random Effect dengan
Fixed Effect
Koefisien DeterminasiModel
Random Effect Fixed Effect
R-squared 0.231219 0.678041
Adjusted R-squared 0.175308 0.568283
Prob(F-statistic) 0.005325 0.000001
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
Tabel 4.6 yakni tabel perbandingan hasil estimasi antara model fixed
effect dan random effect, menunjukkan bahwa model random effect tidak dapat
memberikan interprestasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil
estimasi dari model fixed effect. Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk
mengetahui pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen
dalam penelitian ini, maka dipilihlah model fixed effect. Di mana, hal ini didukung
oleh pandangan yang dikemukakan oleh Nachrowi (2006). Meskipun Gujarati
(2003), mengemukakan bahwa apabila jumlah data cross section (N) lebih besar
dari jumlah data time series (T), maka motode yang digunakan adalah random
effect. Namun, menurut Nachrowi (2006) pemilihan metode fixed effect ataupun
random effect secara teoritis dan berdasarkan sampel data bukanlah sesuatu
yang mutlak.
Adapun persamaan model fixed effect yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
Y it = αi + β1 X1it + β2 X2it + β3 X3it + β4 X4it + uit
yang kemudian ditransformasikan ke dalam logaritma natural (ln) menjadi:
Ln Y it = β0i + β1 lnX1it + β2 lnX2it + β3 lnX3it + β4 lnX4it + uit
Berdasarkan persamaan dari model fixed effect di atas, sehingga dapat
dibentuk model fixed effect sebagai berikut:
103
LnY = -7.338626+ 0.720995 lnX1it + 0.838972 lnX2it - 2.100229 lnX3it + 2.102779
lnX4it
Di mana, efek individual yang ditimbulkan oleh masing-masing kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan hasil pengolahan data dengan
menggunakan model fixed effect, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.7Efek Individual Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
Kabupaten/KotaCoefficientFixed Effect
(C)
IndividualCoefficient Fixed
Effect (Ci)
Individual Effect(C+Ci)
_BAUBAU -7.338626 0.228420 -7.110206
_BOMBANA -7.338626 -0.086562 -7.425188
_BUTON -7.338626 -0.105978 -7.444604
_BUTUR -7.338626 -0.335420 -7.674046
_KENDARI -7.338626 0.494428 -6.844198
_KOLAKA -7.338626 0.253569 -7.085057
_KONAWE -7.338626 -0.785815 -8.124441
_KONSEL -7.338626 -0.745136 -8.083762
_KONUT -7.338626 0.085746 -7.25288
_MUNA -7.338626 -0.091029 -7.429655
_WAKATOBI -7.338626 0.555261 -6.783365
_KOLUT -7.338626 0.532516 -6.80611
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
Tabel 4.7 menunjukkan efek individual dari masing-masing kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 sampai dengan 2012
atas pengaruh dari sektor ekonomi dominan terhadap angka Derajat
Kemandirian Fiskal yang diperoleh dari nilai intersep model fixed effect (C)
ditambah dengan nilai intersep individu (Ci). Dari tabel efek individual tersebut,
diketahui bahwa Kabupaten Wakatobi memiliki efek individual terbesar jika
dibandingkan 11 kabupaten dan kota lainnya yakni dengan nilai -6.783365.
104
Sedangkan Kabupaten Konawe memiliki efek individual terkecil jika
dibandingkan 11 kabupaten dan kota lainnya yakni dengan nilai -8.124441.
4.3.2 Uji Asumsi
Pengujian asumsi dalam penelitian ini menggunakan model regresi linear
berganda. Penggunaan regresi linear berganda sebagai alat pengujian asumsi
memungkinkan munculnya empat buah permasalahan atau pelanggaran asumsi.
Di mana pelanggaran asumsi yang dimaksud adalah normalitas,
heterokedastisitas, outokorelasi dan multikolinearitas.
Salah satu asumsi dalam model regresi adalah residual harus
mempunyai distribusi yang normal. Hal ini dapat diketahui dari hasil analisis
deskriptif penelitian. Hasil analisis deskriptif penelitian ini, dapat dilihat pada
lampiran 10. Pada lampiran tersebut memperlihatkan bahwa nilai JB dari
masing-masing variabel independen dalam penelitian ini sebesar 2.208693 untuk
variabel X1 (sektor pertanian), sebesar 2.709436 untuk variabel X2 (sektor
konstruksi/bangun), sebesar 1.680186 untuk variabel X3 (sektor perdagangan,
hotel dan restoran) dan sebesar 5.012072 untuk variabel X4 (sektor jasa-jasa).
Sedangkan nilai chi-squares kritis dengan = 5% dan df = 2 yakni sebesar 5.99.
Berdasarkan nilai JB dari masing-masing variabel bebas, maka diketahui bahwa
semua variabel bebas dalam penelitian ini berdistribusi normal karena memiliki
nilai JB lebih kecil dari nilai chi-squares kritis dengan = 5% dan df = 2 yakni
sebesar 5.99. Selanjutnya, kesimpulan yang diperoleh melalui uji JB juga dapat
diperoleh dengan melihat nilai probabilitasnya yakni sebesar 0.331427 untuk
variabel X1, sebesar 0.258020 untuk variabel X2, sebesar 0.431670 untuk
variabel X3 dan sebesar 0.081591 untuk variabel X4. Dari nilai probabilitas
tersebut dapat diketahui bahwa semua variabel bebas dalam penelitian ini
105
berdistribusi normal karena nilai probabilitanya besar dari tingkat signifikansi =
5%.
Untuk permasalahan heteroskedasitas menurut Gujarati (2003) dapat
diatasi dengan menggunakan metode GLS (generalized least square). Metode
generalized least square telah diberi perlakuan “white heteroscedasticity-
consistent covariace” untuk mengatisipasi data yang tidak bersifat homokedastis.
Adapun hasil regresi metode fixed effect dengan menggunakan white
heteroscedasticity cross section error and covariace dapat dilihat pada lampiran
9. Di mana, lampiran tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan yakni
kesignifikanan secara statistik pada beberapa variabel bebasnya. Perubahan
yang terjadi tersebut merupakan hasil dari dikonsistensikannya varians eror yang
menunjukkan bahwa pada model awal memang terdapat heterokedastisitas.
Pada lampiran 9 juga menunjukkan bahwa nilai Durbin Watson-statistik
yang diperoleh pada model penelitian ini adalah sebesar 1.774638 yang tidak
berada pada kisaran angka 1.4 < DW-stat < 1.7. Hal ini berarti bahwa pada
model tersebut mempunyai masalah otokorelasi. Namun, sesuai dengan yang
dikatakan oleh Gujarati (2003) bahwa bila suatu penelitian menggunakan model
generalized least square maka hasil output tidak memiliki masalah dalam
otokorelasi. Dikarenakan penelitian ini menggunakan model generalized least
square, sehingga dapat disimpulkan bahwa permasalahan otokorelasi dalam
penelitian ini sudah dapat teratasi.
Untuk mengetahui apakah suatu model dalam penelitian mengalami
masalah multikolinearitas atau tidak, dapat diketahui dengan melakukan
pengujian korelasi secara parsial atas masing-masing variabel independen
terhadap variabel independen lainnya. Berdasarkan hasil regresi dengan
menggunakan model fixed effect seperti yang terlihat pada lampiran 11,
106
diperoleh nilai R squared 1 sebesar 0.678041, R squared 2 sebesar 0.999072, R
squared 3 sebesar 0.993867, R squared 4 sebesar 0.998333 dan R squared 5
sebesar 0.999228. Dari perolehan nilai R squared yang menunjukkan bahwa
nilai R squared 1< nilai R squared 2, R squared 3, R squared 4, dan R squared
5. Hal ini berarti bahwa model fixed effect dalam penelitian ini ditemukan adanya
multikolinearitas. Namun menurut Gujarati (2003), suatu permasalahan
multikolinearitas telah dapat terselesaikan ketika menggunakan data penel atau
dengan kata lain data panel menjadi solusi jika data mengalami multikolinearitas.
4.3.3 Analisa Hubungan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat
Analisa regresi yang telah dilakukan bertujuan untuk menginvestigasi
hubungan yang dapat diukur dari variabel sektor pertanian, sektor
konstruksi/bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa-
jasa serta derajat kemandirian fiskal. Pada hasil akhir dari regresi panel dengan
menggunakan metode fixed effect yang telah diuji dengan white test, diperoleh
nilai adjusted R2 sebesar 0.678041. Hal ini berarti bahwa dengan metode fixed
effect, variabel bebas dapat menjelaskan variasi perubahan variabel terikat yakni
Derajat Kemandirian Fiskal diseluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara sebesar 67.80%. Selain itu, pada hasil regresi tersebut juga
menunjukkan bahwa variabel bebas pada model ini dapat memberikan pengaruh
secara serempak atau bersama-sama terhadap variabel terikat dengan nilai F-
statistik sebasar 6.177568 dan signifikan dengan nilai p-value sebesar 0.000001
yang mengindikasikan tingkat keyakinan 95% ( = 5%). Adapun rangkuman
hubungan yang terjadi antara variabel bebas dan variabel terikat pada penelitian
ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
107
Tabel 4.8Hubungan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat
VariabelHubungan yang
ditemukanSignifikansi
Coefficient Negatif (+) Signifikan
Sektor Pertanian Positif (+) Tidak Signifikan
Sektor
Konstruksi/BangunanPositif (+) Signifikan
Sektor Perdagangan,
hotel dan restoranNegatif (-) Signifikan
Sektor Jasa-jasa Positif (+) Tidak Signifikan
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
4.3.4 Pengujian Hipotesis pada Masing-masing Variabel Bebas terhadapVariabel Terikat
Pengujian hipotesis pada masing-masing variabel bebas terhadap
varibael terikat (Derajat Kemandirian Fiskal) dapat dilakukan dengan uji t-
statistik. Uji t-statistik pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh
masing-masing variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi
variabel terikat. Di mana tingkat signifikansi pengaruh masing-masing variabel
bebas yang ditunjukkan oleh t-statistik dapat diketahui melalui nilai probabilitas.
Berdasarkan nilai t-statistik dan probabilitas dari estimasi data panel dengan
model fixed effect diperoleh pengaruh sektor pertanian, sektor
konstruksi/bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-
jasa sebagai berikut:
1. Variabel sektor pertanian
Dengan perolehan nilai thitung sebesar 0.589298 menunjukkan bahwa variabel
sektor pertanian (X1) dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap
Derajat Kemandirian Fiskal (Y) seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan koefisien sebesar 0.720995. Hal ini berarti bahwa
108
jika terjadi kenaikan sebanyak satu persen pada sektor pertanian, akan
mengakibatkan kenaikan pada Derajat Kemandirian Fiskal sebesar
0.720995. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sektor pertanian
merupakan variabel yang memengaruhi Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun, pengaruh yang
diberikan oleh variabel sektor pertanian terhadap Derajat Kemandirian Fiskal
tidaklah signifikan. Ketidak signifikanan pengaruh sektor pertanian terhadap
derajat kemandirian fiskal ditunjukkan oleh nilai p-value t-stat sebesar 0.5587
yakni > 0.10.
2. Variabel sektor konstruksi/bangunan
Dengan perolehan nilai thitung sebesar 1.841490 dan p-value t-stat sebesar
0.0723 menunjukkan bahwa variabel sektor konstruksi/bangunan (X2)
memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Derajat
Kemandirian Fiskal (Y) seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara dengan koefisien sebesar 0.838972. Hal ini berarti bahwa jika
terjadi kenaikan sebanyak satu persen pada sektor konstruksi/bangunan,
akan mengakibatkan kenaikan pada Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 0.838972.
3. Variabel sektor perdagangan, hotel dan restoran
Dengan perolehan nilai thitung sebesar -4.411517 menunjukkan bahwa
variabel sektor perdagangan, hotel dan restoran (X3) memberikan pengaruh
yang negatif terhadap Derajat Kemandirian Fiskal (Y) seluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tingkat signifikansi p-value t-stat
sebesar 0.0001. Hal ini berarti bahwa meskipun terjadi kenaikan sebanyak
satu persen pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, tetap tidak dapat
109
memberikan peningkatan pada Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
4. Variabel sektor jasa-jasa
Dengan perolehan nilai thitung sebesar 0.881483 menunjukkan bahwa variabel
sektor jasa-jasa (X4) dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap
Derajat Kemandirian Fiskal (Y) seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan koefisien sebesar 2.102779. Hal ini berarti bahwa
jika terjadi kenaikan sebanyak satu persen pada sektor jasa-jasa, akan
mengakibatkan kenaikan pada Derajat Kemandirian Fiskal sebesar
2.102779. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa variabel sektor jasa-
jasa merupakan variabel yang memengaruhi Derajat Kemandirian Fiskal
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun,
pengaruh yang diberikan oleh variabel sektor jasa-jasa terhadap Derajat
Kemandirian Fiskal tidaklah signifikan. Ketidak signifikanan pengaruh
variabel sektor jasa-jasa terhadap Derajat Kemandirian Fiskal ditunjukkan
oleh nilai p-value t-stat sebesar 0.3828 yakni > 0.10.
110
BAB V
PEMBAHASAN
Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah,
salah satunya dapat dilihat melalui kinerja keuangan yang diukur dengan
menggunakan Derajat Kemandirian Fiskal. Di mana semakin tinggi Derajat
Kemandirian Fiskal suatu daerah, maka semakin baik pula kemampuan suatu
daerah dalam menjawab tantangan otonomi daerah yakni desentralisasi fiskal.
Setelah dilakukan perhitungan atas Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008
sampai dengan 2012, diperoleh Derajat Kemandirian Fiskal dengan rata-rata
sebesar 4.07%. Selain itu, Derajat Kemandirian Fiskal pada tahun anggaran
tersebut juga cukup jauh dari rata-rata Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun anggaran yang sama yakni sebesar
8.12%. Hal ini berarti bahwa pada tahun anggaran tersebut seluruh kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki Derajat Kemandirian Fiskal
dengan kategori yang sangat rendah. Sangat rendahnya Derajat Kemandirian
Fiskal yang ditunjukkan oleh seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012 menunjukkan bahwa
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran
tersebut belum mampu menjawab tantangan otonomi daerah yakni
desentralisasi fiskal. Hal ini ditunjukkan dengan proporsi transfer dari pemerintah
pusat tehadap Total Pendapatan Daerah yang relatif semakin besar, seperti
terlihat pada tabel berikut:
111
Tabel 5.1Kontribusi Dana Perimbangan terhadap Total Pendapatan Daerah
No TahunDana
Perimbangan(Ribu Rupiah)
Total PendapatanDaerah
(Ribu Rupiah)Kontribusi (%)
1 2008 4,087,472,861 4,635,287,032 88.18
2 2009 4,521,454,475 5,100,297,388 88.65
3 2010 4,652,656,354 5,564,902,120 83.61
4 2011 4,999,532,190 6,502,251,091 76.89
5 2012 6,190,698,873 7,327,501,330 84.49
Rata-rata 4,890,362,950.60 5,826,047,792.20 84.36Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2014)
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2008 sampai
dengan 2012, dana yang bersumber dari pemerintah pusat (dana perimbangan)
rata-rata berkontribusi hingga 84%. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian
besar kebutuhan dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
dibiayai oleh pemerintah pusat.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Suprajitno
(2003) yang dilakukan di Kabupaten Banjarnegara dan Zaenuddin (2012), yang
dilakukan pada lima kabupaten dan kota di Provinsi D.I. Yogyakarta. Penelitian
yang dilakukan oleh Suprajitno menunjukkan bahwa kemampuan keuangan
daerah Kabupaten Banjarnegara dalam kesiapannya menghadapi otonomi
daerah yang ditinjau dari Derajat Desentralisasi Fiskal dinilai masih kurang atau
dapat dikatakan bahwa tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat masih
cukup tinggi. Hal ini ditandai dari proporsi sumbangan/bantuan tehadap total
penerimaan daerah yang relatif semakin besar, sebaliknya kontribusi
Pendapatan Asli Daerah maupun bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total
penerimaan daerah masih sangat rendah.
112
Penelitian yang dilakukan oleh Zaenuddin (2012) menunjukkan bahwa
rasio antara Pendapatan Asli Daerah dan total penerimaan daerah untuk semua
kabupaten dan kota di Provinsi D.I Yogyakarta sangat rendah yakni di bawah
10%. Begitu pula halnya rasio antara bagi hasil pajak dan bukan pajak dengan
total penerimaan daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa derajat otonomi fiskal
(dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sangat rendah. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Zaenuddin (2012) menunjukkan bahwa rasio
Pendapatan Asli Daerah terhadap total pengeluaran daerah sangat rendah,
yakni di bawah 10%. Hal ini menunjukkan bahwa peran Pendapatan Asli Daerah
terhadap total pengeluaran daerah masih sangat rendah.
Ketiga penelitian yang hasilnya telah dijabarkan di atas, menunjukkan
bahwa kabupaten dan kota yang dijadikan sebagai lokasi penelitian belum
mampu menjawab tantangan otonomi yakni desentralisasi fiskal. Di mana,
menurut Bird dan Vaillancourt (2000) ada dua persyaratan penting untuk
kesuksesan desentralisasi, yaitu: (1) proses pengambilan keputusan di daerah
harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya
harus transparan dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk
memengaruhi keputusan-keputusan tersebut; (2) yang lebih sesuai dengan
rancangan kebijakan biaya-biaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya
harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu
terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari jenjang pemerintahan
yang lain.
Berdasarkan pandangan yang telah dikemukakan oleh Bird dan
Vaillancourt (2000), maka sudah seharusnya bagi daerah-daerah otonom untuk
meningkatkan sumber-sumber penerimaanya dengan melibatkan masyarakat.
113
Sumber-sumber penerimaan keuangan daerah dapat dikelompokkan ke dalam
dua kelompok utama yakni: sumber Pendapatan Asli Daerah dan sumber
pendapatan non asli daerah (non-Pendapatan Asli Daerah). Penyelenggaraan
otonomi yang sehat hanya tercapai apabila sumber utama keuangan daerah
guna membiayai aktivitas daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah atau
paling tidak pembiayaan rutinnya ditutup oleh hasil Pendapatan Asli Daerah
(Karo, 2005).
Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan sumber-sumber
penerimaanya dalam hal ini Pendapatan Asli Daerah adalah dengan
meningkatkan faktor-faktor produksi atau sektor-sektor perekonomian dalam
Produk Domestik Regional Bruto. Hal ini didukung oleh pandangan yang
dikemukakan oleh Ladjin (2008) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah ada beberapa faktor yang perlu diberdayakan
diantaranya adalah Produk Domestik Regional Bruto per kapita. Hal ini juga
didukung oleh pandangan Davey (1988) yang mengemukakan bahwa Produk
Domestik Regional Bruto merupakan alat ukur pertumbuhan ekonomi yang
menggambarkan jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi dalam suatu wilayah atau region pada suatu jangka waktu
tertentu. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan elastisitas antara pajak dearah
yang diperoleh dan pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto per kapita menggambarkan pertumbuhan yang
otomatis dari potensi pajak. Dengan kata lain dalam konteks pajak daerah,
semakin tinggi Produk Domestik Regional Bruto secara otomatis semakin tinggi
pula pajak yang diterima daerah.
Pandangan yang dikemukakan oleh Davey (1988) tidak jauh berbeda
dengan pandangan yang dikemukakan oleh Peacok dan Wiseman (1961) dalam
114
teorinya mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik
berkesimpulan bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak
yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya
penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin
meningkat (Mangkoesoebroto, 2010).
Sehubungan dengan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa semakin meningkat Produk Domestik Regional Bruto suatu daerah atau
wilayah, maka akan semakin meningkat pula Derajat Kemandirian Fiskal suatu
daerah yang diakibatkan oleh meningkatnya perolehan Pendapatan Asli Daerah
baik yang bersumber dari pajak maupun retribusi daerah. Selanjutnya akan
dijabarkan mengenai pengaruh Produk Domestik Regional Bruto yang dalam hal
ini adalah sektor ekonomi yang berkontribusi dominan dalam Produk Domestik
Regional Bruto yakni sektor pertanian, sektor konstruksi/bangunan, sektor
perdagangan dan sektor jasa-jasa sebagai varibel bebas dan Derajat
Kemandirian Fiskal sebagai variabel terikat.
5.1 Pengaruh Sektor Pertanian terhadap Derajat Kemandirian Fiskal
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan model fixed effect
menunjukkan bahwa variabel sektor pertanian memberikan pengaruh yang
positif namun tidak signifikan terhadap derajat kemandirian fiskal. Sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa variabel sektor pertanian merupakan variabel
yang dapat memengaruhi Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian ini mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Suprajitno (2003), yang dilakukan di Kabupaten
Banjanegara dengan menggunakan metode partial adjustmen model.
115
Hasil penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Suprajitno (2003)
sejalan dengan yang dikemukakan oleh World Bank (2008) dalam Agustono
(2013) yang mengemukakan bahwa pertanian dapat berkontribusi pada
pembangunan sebagai sebuah aktivitas ekonomi, mata pencaharian dan sebagai
cara untuk melestarikan lingkungan, sehingga sektor ini dapat menjadi sebuah
instrument yang unik bagi pembangunan. Sebagai sebuah aktivitas ekonomi,
pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan bagi perekonomian wilayah,
penyedia investasi bagi sektor swasta dan sebagai penggerak utama industri-
industri yang terkait dengan bidang pertanian.
Sektor pertanian sebagai suatu sektor perekonomian dapat menyerap
tenaga kerja. Tenaga kerja akan memeroleh pendapatan sebagai hasil kerja atau
balas jasa atas pekerjaannya pada sektor pertanian. Sehingga, tenaga kerja
pada sektor pertanian akan memiliki kemampuan untuk membayar balas jasa
atas kebutuhannya yang telah diberikan oleh pemerintah yakni berupa retribusi
ataupun pajak. Atau juga tenaga kerja pada sektor pertanian dapat membeli
barang-barang yang dibutuhkannya pada sektor usaha lain.
Selain dapat menyerap tenaga kerja, sektor pertanian juga dapat menjadi
penggerak utama industri. Hal ini dimaksudkan bahwa hasil dari pertanian akan
banyak dibutuhkan oleh industri-industri lain untuk dijadikan sebagai bahan baku
industri. Terpenuhinya bahan baku pada industri tersebut akan mendorong
pertumbuhan pada industri tersebut.
5.2 Pengaruh Sektor Konstruksi/Bangunan terhadap Derajat KemandirianFiskal
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan model fixed effect
menunjukkan bahwa Variabel sektor konstruksi/bangunan memberikan pengaruh
yang positif dan signifikan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa variabel
116
sektor konstruksi/bangunan merupakan variabel yang dapat memengaruhi
Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh
Putrawan dan Sudirman (2013) bahwa sejak dekade terakhir ini sektor
bangunan/konstruksi tumbuh pesat dan menakjubkan. Peristiwa ini ditandai
dengan maraknya pembangunan dibidang properti yang dipasarkan untuk
memenuhi permintaan domestik yang semakin meningkat. Kebijakan pemerintah
dalam memenuhi permintaan dalam hal moneter dan fiskal, terutama dalam hal
kredit perbankan ikut memengaruhi meningkatnya produk pembangunan.
Adanya pengaruh pembangunan, perekonomian, dan pariwisata mengakibatkan
alih fungsi lahan dari tanah sawah/persawahan menjadi tanah kering untuk
permukiman/perumahan, akomodasi pariwisata, seperti hotel, restoran, villa,
ruko, art shop, toko-toko, perkantoran, dan lain sebagainya sebagai penunjang
atau pendukung pembangunan, perekonomian, dan pariwisata. Dengan beralih
fungsinya lahan pertanian/tanah sawah menjadi tanah kering mengakibatkan
nilai tanah berubah, di mana nilai jual objek pajak akan naik, sehingga secara
otomatis perolehan atas pajak bumi dan bangunan akan naik pula.
5.3 Pengaruh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap DerajatKemandirian Fiskal
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan model fixed effect
menunjukkan bahwa variabel sektor perdagangan, hotel dan restoran
memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap Derajat Kemandirian
Fiskal. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa variabel sektor perdagangan,
hotel dan restoran merupakan variabel yang belum dapat memengaruhi Derajat
Kemandirian Fiskal diseluruh kabupaten dan kota Provinsi Sulawesi Tenggara.
117
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Suprajitno (2012) yang dilakukan di Kabupaten Banjanegara dengan
menggunakan metode partial adjustmen model. Hal ini menunjukkan bahwa
penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Suprajitno (2012) bertolak
belakang dengan pandangan yang dikemukakan Widiastuti (2013) bahwa
meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap
Produk Domestik Regional Bruto serta kontribusi pajak hotel dan restoran
terhadap Pendapatan Asli Daerah, akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan
daerah. Kinerja keuangan daerah dapat diukur dengan menggunakan analisis
rasio keuangan daerah terhadap laporan perhitungan anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Hasil analisis rasio selanjutnya digunakan untuk menilai kinerja
keuangan daerah yaitu untuk mengukur upaya pemerintah daerah dalam
menggali Pendapatan Asli Daerah, mengukur kemandirian keuangan daerah
serta mengukur aktivitas pemerintah dalam mengalokasikan dananya untuk
pelayanan publik.
5.4 Pengaruh Pertumbuhan Sektor Jasa-jasa terhadap DerajatKemandirian Fiskal
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan model fixed effect
menunjukkan bahwa variabel sektor jasa-jasa memberikan pengaruh yang positif
namun tidak signifikan terhadap Derajat Kemandirian Fiskal. Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa variabel sektor jasa-jasa merupakan variabel yang
memengaruhi derajat kemandirian fiskal seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Suprajitno (2012) yang dilakukan di Kabupaten Banjanegara dengan
menggunakan metode partial adjustmen model. Hasil dari penelitian ini dan
118
penelitian yang dilakukan oleh Suprajitno (2012) didukung oleh pandangan yang
dikemukakan oleh Haryanto (2006), bahwa tinggi rendahnya kapasitas fiskal
daerah sebagai pencerminan kemandiran daerah dipengaruhi oleh pajak daerah,
retribusi daerah, Produk Domestik Regional Bruto jasa, dan bagi hasil pajak.
Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-
sumber penerimaan keuangan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan
Asli Daerah. Salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang dikelola oleh
pemerintah daerah berasal dari sektor retribusi daerah (Putra, Atmanto dan
Nuzula, 2014). Retribusi daerah merupakan pungutan yang dipungut pemerintah
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan (Basuki, 2007). Sektor jasa-jasa yang meliputi pemerintahan
umum dalam hal ini administrasi pemerintahan serta swasta yang mencakup
sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi juga perorangan dan rumah tangga
(Badan Pusat Statistik Kota Baubau, 2012), merupakan objek pengutan bagi
retribusi daerah.
Berdasarkan penjabaran atas pengaruh dari masing-masing variabel
bebas terhadap variabel terikat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hanya
satu variabel bebas yang dapat memberikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012 yaitu
variabel sektor konstruksi/bangunan. Sementara sektor pertanian dan sektor
jasa-jasa memberikan pengaruh yang positif namun tidak signifikan dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran justru memberikan pengaruh yang negatif dan
signifikan pada Derajat Kemandirian Fiskal.
119
Variabel sektor konstruksi/bangunan yang memberikan pengaruh positif
dan signifikan pada penelitian ini, jika dibandingkan dengan tiga sektor ekonomi
dominan lainnya pada Produk Domestik Regional Bruto pada dasarnya adalah
sektor dengan kontribusi terkecil. Sementara sektor yang memberikan pengaruh
negatif yang signifikan (sektor perdagangan, hotel dan restoran) dan positif
namun tidak signifikan (sektor pertanian dan sektor jasa-jasa), pada dasarnya
merupakan sektor dengan kontribusi yang lebih besar jika dibandingkan dengan
sektor konstruksi/bangunan. Untuk dapat melihat persentase kontribusi dari
masing-masing sektor ekonomi, dapat dilihat pada lampiran 2.
Signifikannya pengaruh negatif dan tidak signifikannya pengaruh positif
varibel bebas yang dalam hal ini adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran,
sektor pertanian dan sektor jasa-jasa terhadap variabel terikat yakni Derajat
Kemandirian Fiskal pada dasarnya disebabkan oleh meskipun terjadi
pertumbuhan pada Pendapatan Asli Daerah seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun tertentu, namun juga diiringi oleh
pertumbuhan pada Total Pendapatan Daerah seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara di tahun yang sama. Untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Total Pendapatan Daerah seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, dapat dilihat pada tabel
berikut:
120
Tabel 5.2Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Total Pendapatan Daerah
Seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi TenggaraTahun 2009 sampai dengan 2012
(%)
TahunPendapatan Asli
DaerahTotal Pendapatan
Daerah2009 6.65 10.032010 20.28 9.112011 11.01 16.842012 12.24 12.69
Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah tahun 2014
Tabel 5.2, menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2009
sampai dengan 2012 selalu mengalami pertumbuhan. Namun, setiap kali terjadi
pertumbuhan atau peningkatan pada Pendapatan Asli Daerah, juga diiringi oleh
pertumbuhan pada Total Pendapatan Daerah.
Pandangan penulis ini muncul karena pada dasarnya Derajat
Kemandirian Fiskal dibentuk dari hasil perbandingan Pendapatan Asli Daerah
terhadap Total Pendapatan Daerah yang dibentuk oleh Pendapatan Asli Daerah,
dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Pada Total Pendapatan
Daerah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara lebih
didominasi oleh dana yang bersumber dari pemerintah pusat dalam hal ini
berupa dana perimbangan sebagai bantuan kepada daerah. Di mana Silaen,
Widjayanto dan Effendy (2012), mengemukakan bahwa bantuan pemerintah
pusat dalam konteks otonomi daerah bisa berbentuk Dana Alokasi Umum dan
Dana Alokasi Khusus. Untuk mengetahui besarnya dominasi bantuan dari
pemerintah pusat yang berupa Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
terhadap Total Pendapatan Daerah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara, dapat dilihat pada tabel berikut:
121
Tabel 5.3Kontribusi Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap
Total Pendapatan Daerah Seluruh Kabupaten dan Kotadi Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2009 sampai dengan 2012
No Tahun DAU & DAK(Ribu Rupiah)
Total Pendapatan Daerah(Ribu Rupiah)
Kontribusi(%)
1 2008 3,756,802,828 4,635,287,032 81.052 2009 4,199,299,796 5,100,297,388 82.333 2010 4,235,261,757 5,564,902,120 76.114 2011 4,646,499,754 6,502,251,091 71.465 2012 5,713,144,714 7,327,501,330 77.97Rata-rata 4,510,201,770 5,826,047,792 77.78Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah tahun 2014
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa transfer dari pemerintah pusat dalam
bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus yang diberikan pada
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki kontribusi
yang sangat besar pada Total Pendapatan Daerah. Di mana, pada tahun
anggaran 2008 sampai dengan 2012 Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus berkontribusi hingga rata-rata sebesar 77.78% terhadap Total
Pendapatan Daerah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Besarnya kontribusi Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus pada
Total Pendapatan Daerah, pada dasarnya menunjukkan bahwa Dana Alokasi
Umum dan Dana Alokasi Khusus memiliki peran yang besar dalam membiayai
kebutuhan pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah seluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Besarnya peran Dana Alokasi Umum dan
Dana Alokasi khusus pada dasarnya lebih disebabkan oleh Pendapatan Asli
Daerah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara belum
mampu memenuhi seluruh kebutuhannya termasuk kebutuhan dasar daerah. Di
mana untuk mengetahui bagaimana besarnya peran Dana Alokasi Umum dan
Dana Alokasi Khusus dalam memenuhi sebagian besar kebutuhan daerah yang
122
tidak dapat dibiayai hanya dengan Pendapatan Asli Daerah, dapat dilakukan
dengan membandingkan kontribusi dari Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus serta Pendapatan Asli Daerah terhadap total belanja seluruh kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk itu, dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5.4Kontribusi Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum
dan Dana Alokasi Khusus terhadap Total Belanjaseluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun Anggaran 2008 Sampai Dengan 2012
No TahunPendapatan Asli
Daerah(Ribu Rupiah)
DAU dan DAK(Ribu Rupiah)
Belanja(Ribu Rupiah)
KontribusiPAD(%)
KontribusiDAU dan DAK
(%)
1 2008 186,108,020 3,756,802,828 4,717,360,484 3.95 79.64
2 2009 198,478,970 4,199,299,796 5,450,013,486 3.64 77.05
3 2010 238,727,683 4,235,261,757 5,515,332,078 4.33 76.79
4 2011 265,020,355 4,646,499,754 6,372,867,847 4.16 72.91
5 2012 297,447,161 5,713,144,714 7,029,982,462 4.23 81.27
Rata-rata 237,156,438 4,510,201,770 5,817,111,271 4.06 77.53
Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah tahun 2014
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2008 sampai
dengan 2012 Pendapatan Asli Daerah hanya mampu berkontribusi rata-rata
sebesar 4.06% dalam membiayai belanja seluruh pemerintah kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sedangkan Dana Alokasi Umum dan Dana
Aloksi Khusus dapat berkontribusi hingga rata-rata sebesar 77.53% dalam
membiayai belanja pemerintah daerah seluruh pemerintah kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tabel 5.4 juga menunjukkan bahwa besarnya kontribusi atau peranan
bantuan pemerintah pusat belum dapat dimbangi oleh peranan Pendapatan Asli
123
Daerah terhadap Belanja Daerah. Hal ini berarti bahwa bantuan pemerintah
pusat yang diperuntukkan pada pemerataan pembangunan bagi seluruh daerah
di Indonesia dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sebagai
indikator utama dari kemandirian fiskal belum dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Belum dimanfaatkannya bantuan pemerintah pusat dengan baik untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, dapat telihat dari belum optimalnya
kinerja pemerintah daerah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara dalam mengkonversi potensi penerimaan Pendapatan Asli Daerah
yakni melalui potensi pajak dan retribusi daerah menjadi pajak dan retribusi
daerah yang bisa dipungut. Potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah bisa
tercermin dari besarnya Produk Domestik Regional Bruto dari masing-masing
daerah. Di mana, semakin besar rasio peningkatan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto maka kemampuan daerah
tersebut dalam mengkonversi seluruh potensi penerimaan pajak daerah menjadi
pajak daerah yang bisa dipungut juga semakin besar (Kementrian Keuangan
Republik Indonesia, 2013).
Untuk melihat kemampuan seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam mengkonversi pajak, dapat dilihat pada tabel berikut:
124
Tabel 5.5Perbandingan Pajak dan Retribusi Daerah terhadap
Produk Domestik Regional BrutoSeluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
No Kabupaten/Kota
Perbandingan Pajak danRetribusi Daerah terhadap PDRB (%)
Rata-rata(%)
2008 2009 2010 2011 2012
1 Buton 0.74 0.79 1.20 1.11 1.20 1.01
2 Muna 1.19 1.27 1.49 1.09 0.77 1.16
3 Konawe 0.54 0.61 1.28 0.71 0.56 0.74
4 Kolaka 0.68 0.74 0.73 0.68 0.47 0.66
5 Konawe Selatan 0.50 0.38 0.43 0.55 0.63 0.50
6 Bombana 1.55 0.81 0.72 0.84 1.02 0.99
7 Wakatobi 0.57 1.01 1.14 1.09 1.97 1.16
8 Kolaka Utara 0.40 0.54 0.41 0.60 0.67 0.52
9 Buton Utara 0.21 0.79 0.67 0.48 0.67 0.56
10 Konawe Utara 2.95 5.16 3.33 1.18 2.10 2.94
11 Kendari 1.35 1.47 1.56 2.49 2.56 1.89
12 Baubau 1.44 1.65 1.84 1.88 1.94 1.75
Provinsi SulawesiTenggara
0.92 1.07 1.13 1.16 1.15 1.09
Indonesia 0.62 0.63 0.65 0.92 1.11 0.56
Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah tahun 2014
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2008 sampai
dengan 2012 kemampuan seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara dalam mengkonversi seluruh potensi penerimaan pajak daerah
menjadi pajak daerah yang bisa dipungut mengalami fluktuasi. Berfluktuasinya
kemampuan dalam mengkonversi seluruh potensi penerimaan pajak daerah
menjadi pajak daerah yang bisa dipungut menunjukkan bahwa meskipun terjadi
kenaikan pada Produk Domestik Regional Bruto seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara, namun tidak selalu diimbangi dengan kemampuan
pemerintah daerah dalam menyerap pajak (hanya terjadi pada tahun 2012).
125
Selain itu, tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2008 sampai
dengan 2012 kemampuan seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara dalam menyerap potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah
menjadi pajak dan retribusi daerah adalah sebesar 1.09%.
Meskipun kemampuan dalam menyerap pajak dan retribusi seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara hanya sebesar 1.09%,
namun jika dibandingkan dengan rata-rata kemampuan penyerapan pajak dan
retribusi seluruh kabupaten dan kota di Indonesia kemampuan seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara masih lebih baik. Di mana,
rata-rata kemampuan menyerap pajak dan retribusi seluruh kabupaten dan kota
di Indonesia pada tahun yang sama hanya sebesar 0.56%.
Belum optimalnya kemampuan seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam menyerap potensi penerimaan pajak dan retribusi
daerah menjadi pajak dan retribusi daerah, pada dasarnya dikarenakan tidak
semua sektor ekonomi yang terdapat dalam Produk Domestik Regional Bruto
dapat dijadikan sebagai potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah yang
dapat diserap, misalnya sektor pertanian. Meskipun sektor pertanian merupakan
sektor ekonomi dengan kontribusi dominan jika dibandingkan sektor ekonomi
lainnya dalam Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Sulawesi Tenggara,
namun sektor ekonomi tersebut tidak dapat diserap secara langsung sebagai
pajak maupun retribusi daerah seperti halnya sektor perdagangan, hotel dan
restoran serta sektor jasa-jasa.
Dominannya kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik
Regional Bruto, menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh pemerintah daerah
di Provinsi Sulawesi Tenggara lebih banyak memprioritaskan perhatiannya untuk
mengembangkan sektor ekonomi yang tidak dapat memberikan pengaruh atau
126
kontribusi secara langsung pada Pendapatan Asli Daerah baik melalui pajak
maupun retribusi daerah. Dengan kata lain, seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara belum memusatkan perhatiannya pada
pengembangan potensi ekonomi yang dapat diserap sebagai pajak dan retribusi
daerah untuk memerbesar peranan Pendapatan Asli Daerah. Di mana, hal ini
bertentangan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Zaenuddin (2012),
bahwa desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dalam implementasi
otonomi yakni upaya pemerintah daerah untuk memusatkan perhatiannya untuk
memerbesar peranan Pendapatan Asli Daerah dalam struktur penerimaan
daerah guna meningkatkan kemandirian keuangannya.
127
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan pada bab IV
dan V dimaksudkan untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini. Untuk
menjawab tujuan dalam penelitian ini, dilakukan perhitungan atas Derajat
Kemandirian Fiskal yakni dengan menggunakan rasio perbandingan antara
Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerah dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah pada tahun yang sama serta melakukan
analisis regresi data panel yakni dengan menggunakan model fixed effect.
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan tersebut, adalah:
1. Berdasarkan batasan kategori kemandirian fiskal yang dikeluarkan oleh
Badan Litbang Depdagri RI dan Fisipol UGM (1991) diketahui bahwa pada
tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012 seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki Derajat Kemandirian Fiskal dengan
kategori yang sangat rendah. Sangat rendahnya derajat kemandirian fiskal
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun
anggaran 2008 sampai dengan 2012 menunjukkan bahwa seluruh kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran tersebut masih
memiliki ketergantungan yang sangat besar pada bantuan pemerintah pusat
dalam membiayai urusan pemerintahannya.
Ketidakmampuan seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
dalam membiayai urusan pemerintahannya menunjukkan bahwa kabupaten
dan kota tersebut belum mampu menjawab tantangan dari otonomi daerah
128
yakni desentralisasi. Di mana Bird dan Vaillancourt (2000) mengemukakan
bahwa ada dua persyararatan penting untuk kesuksesan desentralisasi dan
salah satu di antaranya adalah bahwa kebijakan biaya-biaya dari keputusan
yang diambil, sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat.
Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi ekspor pajak dan tidak ada
tambahan transfer dari jenjang pemerintahan yang lain.
2. Variabel sektor pertanian dapat memberikan pengaruh yang positif namun
tidak signifikanan terhadap Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi pengaruh variabel sektor pertanian pada tahun
anggaran 2008 sampai dengan 2012. Sehubungan dengan hal ini World
Bank (2008) dalam Agustono (2013) mengemukakan bahwa sebagai sebuah
aktivitas ekonomi, pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan bagi
perekonomian wilayah, penyedia investasi bagi sektor swasta dan sebagai
penggerak utama industri-industri yang terkait dengan bidang pertanian.
Dengan meningkatnya kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik
Regional Bruto akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Di
mana, Saragih (2003) menyatakan bahwa daerah yang memiliki
perekonomian yang baik akan memiliki Pendapatan Asli Daerah yang tinggi
yakni semakin baik kondisi perekonomian suatu daerah akan menunjang
peningkatan Pendapatan Asli Daerah.
3. Variabel sektor konstruksi/bangunan memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan
2012. Hal ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Putrawan
dan Sudirman (2013) yang menyatakan bahwa ketika nilai tanah berubah
129
maka nilai jual objek pajak akan naik, sehingga secara otomatis pajak bumi
dan bangunan akan naik pula.
4. Variabel sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan pengaruh yang
negatif dan signifikan terhadap Derajat Kemandirian Fiskal seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran
2008 sampai dengan 2012. Di mana hal ini tidak sejalan dengan pandangan
yang dikemukakan oleh Widiastuti (2013) yang menyatakan bahwa
meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap
Produk Domestik Regional Bruto serta kontribusi pajak hotel dan restoran
terhadap Pendapatan Asli Daerah, akan berpengaruh terhadap kinerja
keuangan daerah.
5. Variabel sektor jasa-jasa dapat memberikan pengaruh yang positif namun
tidak signifikan terhadap Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai
dengan 2012. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Haryanto
(2006), bahwa tinggi rendahnya kapasitas fiskal daerah sebagai pencerminan
kemandiran daerah dipengaruhi oleh pajak daerah, retribusi daerah, Produk
Domestik Regional Bruto jasa, dan bagi hasil pajak.
Signifikannya pengaruh negatif varibel sektor perdagangan, hotel dan
restoran dan tidak signifikannya pengaruh positif variabel sektor pertanian dan
sektor jasa-jasa terhadap Derajat Kemandirian Fiskal pada dasarnya disebabkan
oleh pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012
yang juga diiringi oleh pertumbuhan pada Total Pendapatan Daerah di tahun
yang sama. Di mana, Total Pendapatan Daerah seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara lebih didominasi oleh dana yang bersumber dari
130
pemerintah pusat dalam hal ini berupa dana perimbangan sebagai bantuan
kepada daerah.
Besarnya dominasi bantuan pemerintah pusat pada Total Pendapatan
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, berarti bahwa
kemampuan menyerap potensi Pendapatan Asli Daerah yakni potensi
penerimaan pajak dan retribusi menjadi pajak dan retribusi daerah belum
optimal. Belum optimalnya kemampuan daerah dalam menyerap potensi
penerimaan pajak dan retribusi daerah menjadi pajak dan retribusi daerah, pada
dasarnya dikarenakan tidak semua sektor ekonomi yang terdapat dalam Produk
Domestik Regional Bruto dapat dijadikan sebagai potensi penerimaan pajak dan
retribusi daerah yang dapat diserap, misalnya sektor pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang memberikan kontribusi
dominan jika dibandingkan sektor ekonomi lainnya dalam Produk Domestik
Regional Bruto di Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun, sektor ekonomi tersebut
tidak dapat diserap secara langsung sebagai pajak dan retribusi daerah seperti
halnya sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa.
Dominannya kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Regional Bruto,
menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh pemerintah daerah di Provinsi
Sulawesi Tenggara lebih banyak memprioritaskan perhatiannya untuk
mengembangkan sektor ekonomi yang tidak dapat memberikan pengaruh atau
kontribusi secara langsung pada Pendapatan Asli Daerah baik melalui pajak
maupun retribusi daerah.
6.2 Keterbatasan
Pada penelitian ini ditemukan ada satu variabel independen yang tidak
dapat memberikan pengaruh terhadap variabel dependen. Hal ini menunjukkan
131
bahwa ada satu variabel yang tidak memenuhi hipotesis penelitian yang telah
ditetapkan. Tidak terpenuhinya hipotesis pada penelitian ini diduga sebagai
akibat dari pendeknya rentan waktu sampel penelitian yakni hanya lima tahun
(tahun anggaran 2008 sampai dengan 2012) atas 12 kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai sampel. Selanjutnya, penelitian ini hanya
menggunakan sektor ekonomi dominan sebagai hal yang dapat memengaruhi
perkembangan Derajat Kemandirian Fiskal suatu daerah, sementara diduga
masih banyak hal lain yang dimungkinkan dapat memengaruhi Derajat
Kemandirian Fiskal. Hal ini ditunjukkan dengan meskipun sektor ekonomi selalu
mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahunnya, namun belum dapat
mendorong Derajat Kemandirian Fiskal. Selain itu, tidak semua sektor ekonomi
tersebut dapat memberikan pengaruh secara langsung terhadap peningkatan
Pendapatan Asli Daerah melalui pajak dan retribusi daerah (misalnya, sektor
pertanian).
Tidak terdorongnya Derajat Kemandirian Fiskal seluruh kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Tenggara pada dasarnya disebabkan lebih besarnya
bantuan dari pemerintah pusat maupun pemerintah di atasnya dalam membiayai
rumah tangganya. Di mana besarnya bantuan pemerintah pusat maupun
pemerintah di atasnya terhadap suatu daerah, pada dasarnya menunjukkan
bahwa daerah tersebut tidak mampu membiayai seluruh keperluan pemerintah
daerahnya dengan hanya mengandalkan Pendapatan Asli Daerah sebagai
sumber keuangan.
Upaya pemerintah daerah dalam mencapai kemandirian fiskal yakni
dengan meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah (Sidik, 2002). Belum optimalnya
intensifikasi pemengutan pajak diduga disebabkan oleh (1) basis penerimaan
132
yang tidak luas; (2) proses pemungutan yang tidak kuat; (3) pengawasan yang
tidak mengalami peningkatan; (4) tidak meningkatnya efisiensi administrasi dan
menekan biaya pemungutan; (5) tidak meningkatnya kapasitas penerimaan
melalui perencanaan yang lebih baik.
6.3 Saran
Berdasarkan permasalahan pada penelitian ini, penulis menyarankan
agar:
1. Pemerintah daerah harus selalu berupaya untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerahnya
yang salah satu di antaranya adalah dengan menumbuhkembangkan
perekonomian daerah demi menjawab tantangan otonomi daerah yakni
desentralisasi fiskal.
2. Dalam upaya menumbuhkembangkan perekonomian daerah, pemerintah
daerah harus memilih sektor ataupun komoditi mana saja yang memiliki
potensi pengaruh yang besar dalam perekonomian. Hubungannya dengan
Pendapatan Asli Daerah, pemerintah daerah harus lebih memprioritaskan
sektor perekonomian yang dapat dijadikan sebagai potensi pajak dan
retribusi daerah yang dapat diserap menjadi pajak dan retribusi daerah.
Misalnya, pada seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
harus lebih memprioritaskan pengembangan sektor konstruksi/bangunan,
sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa-jasa.
3. Setelah pemerintah daerah menggali sumber-sumber pendapatan daerah
dengan menumbuhkembangkan perekonomian daerah yakni dengan cara
menyediakan infrastruktur sebagai sarana dan prasana penunjang bagi
pelaku ekonomi yakni masyarakat dan pemerintah. Pemerintah daerah harus
133
mampu menarik/memungut balas jasa atas pemanfaatan infrastruktur yang
telah disediakan oleh pemerintah tersebut. Balas jasa tersebut berupa pajak
dan retribusi daerah sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah yang
merupakan indikator utama kemandirian fiskal.
4. Bagi peneliti selanjutnya yang hendak melakukan penelitian serupa, harus
lebih menitikberatkan pada sektor ekonomi yang dapat dijadikan sebagai
potensi pajak dan retribusi daerah dan memberikan pengaruh langsung pada
peningkatan Pendapatan Asli Daerah.
134
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Prio Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap PertumbuhanEkonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana : 3.
Adisasmita, Rahardjo. 2011. Pembiayaan Pembangunan Daerah. Yogyakarta :Graha Ilmu.
Adisasmita, Rahardjo. 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Adisasmita, Rahardjo. 2013. Teori-teori Pembangunan Ekonomi: PertumbuhanEkonomi dan Pertumbuhan Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adisubrata, Winarna Surya. 2002. Otonomi Daerah di Era Reformasi.Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Adriani, Evi dan Sri Indah Handayani. 2008. “Pengaruh PDRB dan JumlahPenduduk Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Merangin”.(Online) (www.http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/820816.pdf, diakses02 April 2014).
Agustono. 2013. Analisis Sektor Pertanian Ditinjau dari Peran terhadapPertumbuhan dan Stabilitas Produk Domestik Regional Bruto di ProvinsiJawa Tengah. Jurnal SEPA. Vol. 9, No. 2: 283-296.
Aisyah, Siti. 2007. Peranan Sktor Publik Lokal dalam Pertumbuhan EkonomiRegional di Wilayah Surakarta. Jurnal Fakultas Ekonomi universitasIndonesia.
Arsyad. Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : UPP STIE YKPN.
Astuti, Tutut Dewi dan Di Asih I Maruddani. 2009. Analisis Data Panel UntukMenguji Pengaruh Risiko Terhadap Return Saham Sektor Farmasidengan Least Square Dummy Variable. Jurnal Media Statistika. Vol. 2,No. 2: 71 - 80.
Badan Litbang Depdagri RI dan Fisipol UGM. 1991. Pengukuran KemampuanKeuangan Daerah Tingkat II dalam Rangka Otonomi Daerah yang Nyatadan Bertanggung Jawab. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Baubau dalam Angka 2012. Baubau: Badan PusatStatistik.
Badan Pusat Statistik. 2013. Produk Domestik Regional Bruto. Baubau: BadanPusat Statistik.
Bahl. 1999. Implementation Rules For Fiscal Decentralization. New York: WorldBank.
135
Basuki. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bird, Richard M. 1980. Central-Local Provision of Urban Public Service.Canberra: Center For Research on Federal Financial Relation, AustralianNational University.
Bird, Richard M. 1993. Threading The Fiscal Labyrinth: Some Issus in FiscalDecentralization. National Tax Journal. 46 (3): 207-227.
Bird, Richard M dan Francois Vaillancourt. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bohari. 1995. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Brotodihardjo, Santoso. 1982. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT.Eresco.
Chadidjah, Anna dan Indra Elfiyan. 2009. Model Regresi Data Panel untukMenaksir Realisasi Total Investasi Asing dan Dalam Negeri (Studi Kasusdi Provinsi Jawa Barat. Seminar Nasional Matematika dan PendidikanMatematika. Hal 690-730.
Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah, Praktek-PraktekInternational dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Jakarta : Penerbit UIPress.
Devas, Nick, Brian Binder, Anne Both, Kenneth Davey, Roy Kelly. 1999.Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta. UI Press.
Erawati, Ni Komang dan I Nyoman Mahaendra Yasa. 2012. Analisis PolaPertumbuhan Ekonomi dan Sektor Potensial Kabupaten Klungkung.Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Udayana : 5.
Greene, W.H. 1993. Econometric Analysis. New York: Macmillan PublishingCompany.
Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics. Singapore : McGraw Hill Inc.
Halim, Abdul. 2004. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMPYKPN.
Halim, Abdul dan Muhammad Iqbal. 2012. Seri Bunga Rampai KeuanganDaerah: Pengelolaan Keuangan (Edisi Ketiga). Yogyakarta : STIM YKPN.
Handoyo, B Hestu Cipto dan Y Thresianti. 2000. Dasar-dasar Hukum TataNegara Indonesia. Jakarta : Universitas Atmajaya.
Handoyo, Rossanto Dwi. 2010. Penerimaan Pendapatan Asli Daerah di JawaTimur, Efisienkah?. Majalah Ekonomi. Vol. XX. No. 1: 1-19.
136
Haryanto, Joko Tri. 2006. Kemandirian Daerah Sebuah Perspektif denganMetoda Path Analysis. Jurnal Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
Ibrahim, Muhammad Achyar. 2012. Analisis Aspek Keuanagan dalamPengembangan Empat Komoditi Unggulan dan Penyiapan AplikasiPenganggaran Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi SektorPertanian Kabupaten Bantaeng. Tesis. Makassar : UniversitasHasanuddin.
Investor Daily. 2013. Menkeu Tetapkan Peta Kapasitas Fiskal Daerah. (Online)(http://www.investor.co.id/home/menkeu-tetapkan-peta-kapasitas-fiskal-daerah/52199, diakses 11 Maret 2014).
Jhingan, M.L., 2002, Ekonomi pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Jolianis. 2012. Analisis Perekonomian Daerah dan Pendapatan Asli DaerahKabupaten/Kota di Provinsi Sumatra Barat. Jurnal Program StudiPendidikan Ekonomi STKIP PGRI Sumatera Barat. Vol. 1 No. 1 : 5.
Karianga, Hendra. 2013. Politik Hukum dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.Jakarta: Kencana.
Karo, Josef Riwu. 2005. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia(Identifikasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan OtonomiDaerah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kasmita, Dian Alfira. 2013. Pengaruh Sektor Ekonomi terhadap Pendapatan AsliDaerah Provinsi Riau. Jurnal Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUniversitas Riau.
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2012. PenyelenggaraanPemerintahan dan Pembangunan Daerah (Kebijakan HubunganKeuangan Pusat dan Daerah) 2012. Jakarta: Kementrian KeuanganRepublik Indonesia.
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2013. Analisis Realisasi AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012. Jakarta:Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
Khusaini, Muhammad. 2006. Ekonomi Publik – Desentralisasi Fiskal danPembangunan Daerah. Malang: BPFE Unibraw.
Koswara, E, 1999. Menyongsong Kebijaksanaan dan Implementasi OtonomiLuas dan Bertanggungjawab Menurut UU NO. 22 tahun 1999. MakalahSeminar ISEI Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Repelita VII.Yogyakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta :Erlangga.
137
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah:Reformasi, Perencanaan, Strategis dan Peluang. Jakarta : Erlangga.
Kuncoro, Mudrajat. 2007. Metode Kuantitatif, Teori dan Aplikasi untuk Bisnis danEkonomi. Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto. 2004. Pajak Daerah dan RetribusiDaerah di Indonesia. Malang: Bayumedia.
Kusnandar dan Dodik Siswantoro. 2012. Pengaruh Dana Alokasi Umum,Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan LuasWilayah terhadap Belanja Modal. Jurnal Universitas Indonesia : 7.
Ladjin, Nurjanna. 2008. Analisis Kemandirian Fiskal di Era Otonomi Daerah(Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Tengah. Tesis. Semarang: UniversitasDiponegoro.
Larmanto. 2008. Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi danBangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Tesis.Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2010. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
Maryani. 2002. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomiuntuk Menciptakan Kesempatan Kerja di Kota Makassar SulawesiSelatan. Tesis. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Masyhuri. 2007. Analisis Penerimaan Pendapatan Asli Daerah dan PertumbuhanEkonomi Kabupaten Merangin. Artikel Ilmiah Pasca Sarjana UiversitasAndalas : 17.
Muluk, M.R. Khairul. 2007. Desentralisasi Pemerintah dan Daerah. Malang :Bayumedia.
Munir, Dasril H. 2004. Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta : YPAPA.
Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1993. Keuangan Negara dalamTeori dan Praktek. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nachrowi, D Nachrowi. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrikauntuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
Nanga, Munga. 1991. Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II (Studi Kasus diKabupaten Malang, Probolinggo, dan Trenggalek Provinsi Jawa Timur).Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.Jakarta: Grasindo
138
Purnastuti, Losina dan Rr. Indah Mustikawati. 2007. Ekonomi untuk SMA/MAKelas X. Jakarta : Grasindo.
Putra, Boby Fandi, Dwi Atmanto dan Nila Firdaus Nuzula. 2014. AnalisisEfektifitas Penerimaan dan Kontribusi Retribusi Daerah terhadapPendapatan Asli Daerah (Studi Pada Dinas Pengelola Keuangan DaerahKota Blitar). Jurnal Administrasi Bisnis. Vol.10, No. 1.
Putrawan, Anak Agung Gde dan I Wayan Sudirman. 2013. Potensi PenerimaanPajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Gianyar. Jurnal FakultasEkonomi Universitas Udayana Bali.
Radianto, Elia. 1997. Ekonomi Keuangan Daerah Tingkat II (Studi di Maluku).Prisma. No. 3: 39 - 50
Rahardja, Prathama. 2004. Teori Ekonomi Makro: Suatu Pengantar. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Rinaldi, Udin. 2012. Kemandirian Keuangan Dalam Pelaksanaan OtonomiDaerah. Jurnal Eksos Vol. 8, No. 2.
Rosdini, Dini. 2008. Akuntansi Pendapatan dan Belanja Bagi PemerintahDaerah. Bandung: Universitas Padjajaran.
Safi. Mahmud. 2012. Analisis Kemandirian Keuangan Daerah terhadapPembangunan Daerah (Studi Kasus pada Pemerintah KabupatenKaimana). Tesis. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Saharuddin. 2001. Analisis Peningkatan Pendapatan Daerah MelaluiPemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Pangkajene diKepulauan Makassar. Tesis. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Samudra, Azhari A. 1995. Perpajakan di Indonesia, Keuangan, Pajak danRetribusi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Saputra, Bambang. 2012. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Korupsi diIndonesia. Jurnal Borneo Administrator. Vol. 8, No. 3: 293 – 309.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerahdalam Otonomi Daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sasana, Hadi. 2006. Analisis Kemandirian Fiskal Dilihat dari Sektor-sektorEkonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Klaten). Jurnal Ekonomidan Bisnis. Vol. 1, No. 2: 112-125.
Setiawan, Sigit dan Rudi Handoko, 2005, Pertumbuhan Ekonomi 2006: SuatuEstimasi dan Arah Pencapaian Pertumbuhan Yang Merata danBerkualitas. Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 9, No. 4 : 1.
139
Sidik, Machfud , 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah SebagaiPelaksanaaan Desentralisasi Fiskal. Makalah Seminar SetahunImplementasi Kebijaksanaaan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta,13 Maret 2002.
Sidik, Machfud , 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dalam Rangka MeningkatkanKemampuan Keuangan Daerah. Orasi Ilmiah. Bandung: STIA LAN.
Silaen, Kristina R, Eko Budi Widjayanto dan Sofyan Effendy. 2012. KemampuanKeuangan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2008-2010. NaskahPublikasi. Inderalaya : Universitas Sriwijaya.
Soemitro, Rachmat dan Dewi Kania Sagiharti. 2004. Asas dan DasarPerpajakan. Bandung: Rafika Aditama.
Sriyana, Jaka. 1999. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Reformasi Perpajakandan Kemandirian Pembiayaan Pembangunan Daerah. Jurnal Ekonomidan Pembangunan. Vol. 4, No. 1.
Stocker, G. 1991. The Politics of Local Surie H. G.: Ilmu AdministrasiTerjemahan Samekto. Jakarta: Gramedia.
Suandy, Erly. 2002. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
Sugiyono. 2012. Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Sukirno, Sudono. 2004. Makro Ekonomi: Teori Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suparnyo. 2012. Hukum Pajak Suatu Sketsa Asas. Semarang. PustakaMagister.
Suprajitno. Pudji. 2003. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi KemandirianFiskal Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Banjarnegara). Tesis.Semarang : Universitas Diponegoro.
Supranto, J. 1992. Statistik Pasar Modal. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryana. 2000. Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan. Jakarta:Salemba Empat.
Syarifuddin, Darwis Said, Ratna Ayu Damayanti, Idriyanti Sudirman, YohanisRura, Yansor Djaya, Grace T. Ponto, Sanusi Fattah dan NursalimNohong. 2013. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Makassar:Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: BumiAksara.
Todaro, Michael. P dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi diDunia Ketiga, Alih Bahasa Aris Munandar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
140
Triani dan Yeni Kuntari. 2010. Pengaruh Variabel Makro terhadap PenerimaanPendapatan Asli Daerah Kabupaten Karanganyar. ASET Jurnal IlmuEkonomi, Vol. 12 No. 1 : 94.
Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistika Multivariat Terapan. Yogyakarta : UPPSTIM YKPN.
Widayat, Wahyu. 2000. Maksimisasi Pendapatan Asli Daerah sebagai KekuatanEkonomi Daerah. Jurnal Akuntansi dan Manajemen STIE YKPN.
Widiastuti, Ni Komang. 2013. Pengaruh Sektor Pariwisata terhadap KinerjaKeuangan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota diProvinsi Bali. Jurnal Ekonomi Universitas Udayana Bali.
Widjaja, HAW. 2007. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia : dalam RangkaSosialisasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahDaerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Widodo, A.T.M. Widodo, dan Adrea Hendro Puspita. 2010. Pajak Bumi danBangunan untuk Para Praktisi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Wooldrige, Jeffrey M. 2006. Introductory Econometric: A Modern Approach.South Western: Thomson.
Yani, Ahmad. 2008. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerahdi Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yuniarti, Ari. 2008. Pengaruh Pertumbuhan Pendapatan Perkapita, TingkatInvestasi dan Tingkat Industrialisasi terhadap Kemandirian Daerah StudiKasus Kabupaten dan Kota di Wilayah Soloraya. Tesis. Surakarta :Universitas Sebelas Maret.
Zaenuddin, Muhammad. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah denganAlat Analisis Derajat Otonomi Fiskal Daerah Studi Kasus 5Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal : 9.
141
LAMPIRAN
142
LAMPIRAN 1
Data Derajat Kemandirian Fiskal
Kabupaten/KotaTahun
Anggaran
Derajat Kemandirian Fiskal Seluruh kabupaten danKota Provinsi Sulawesi Tenggara
Rata-rata
Pendapatan AsliDaerah
Total PendapatanDaerah
PAD/TPD
(Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) (%)
Buton
2008 11,844,043 458,036,510 2.59
2.90
2009 13,982,856 453,455,375 3.08
2010 17,631,380 518,945,426 3.40
2011 16,048,693 639,235,913 2.51
2012 20,533,412 701,632,886 2.93
Muna
2008 21,067,868 537,995,096 3.92
4.04
2009 26,104,816 610,015,397 4.28
2010 39,349,069 622,259,438 6.32
2011 22,162,667 691,128,088 3.21
2012 19,382,596 781,268,838 2.48
Konawe
2008 8,640,920 446,859,100 1.93
2.70
2009 12,774,849 517,519,734 2.47
2010 16,115,724 548,546,722 2.94
2011 22,125,721 667,968,284 3.31
2012 21,638,492 762,693,535 2.84
Kolaka
2008 24,698,876 556,733,887 4.44
5.26
2009 35,356,173 548,108,223 6.45
2010 32,529,382 604,270,191 5.38
2011 37,472,900 717,761,925 5.22
2012 39,840,226 831,739,414 4.79
Konawe Selatan
2008 9,102,593 434,784,477 2.09
2.14
2009 6,450,728 446,491,861 1.44
2010 11,441,751 494,199,990 2.32
2011 12,449,694 581,012,862 2.14
2012 18,035,018 665,029,243 2.71
143
Bombana
2008 12,327,518 344,000,117 3.58
3.47
2009 6,686,231 312,098,355 2.14
2010 11,501,060 332,542,709 3.46
2011 14,713,439 426,363,116 3.45
2012 22,710,060 481,786,379 4.71
Wakatobi
2008 10,899,274 366,379,108 2.97
3.11
2009 8,508,883 343,615,019 2.48
2010 12,037,649 351,941,797 3.42
2011 9,985,161 407,740,345 2.45
2012 18,195,073 431,820,921 4.21
Kolaka Utara
2008 7,919,435 352,723,191 2.25
3.53
2009 8,185,001 348,765,791 2.35
2010 6,599,261 354,845,799 1.86
2011 32,050,000 420,916,084 7.61
2012 17,991,027 499,464,239 3.60
Buton Utara
2008 928,175 122,067,575 0.76
1.63
2009 3,920,062 268,379,213 1.46
2010 5,580,064 343,001,800 1.63
2011 5,539,521 352,965,622 1.57
2012 10,600,881 387,737,299 2.73
Konawe Utara
2008 24,254,841 202,381,220 11.98
4.78
2009 17,721,878 398,344,268 4.45
2010 14,697,650 434,133,094 3.39
2011 7,647,158 411,574,246 1.86
2012 11,391,163 510,572,392 2.23
Kendari
2008 32,116,294 458,766,081 7.00
8.11
2009 33,848,814 484,056,981 6.99
2010 46,736,680 583,316,167 8.01
2011 62,800,129 696,804,773 9.01
2012 70,857,916 745,296,446 9.51
2008 22,308,183 354,560,670 6.295.80
2009 24,938,679 369,447,171 6.75
144
Baubau 2010 24,508,013 376,898,987 6.50
2011 22,025,272 488,779,833 4.51
2012 26,271,297 528,459,738 4.97
Kab. dan Kota
Provinsi
Sulawesi
Tenggara
2008 186,108,020 4,635,287,032 4.02
4.07
2009 198,478,970 5,100,297,388 3.89
2010 238,727,683 5,564,902,120 4.29
2011 265,020,355 6,502,251,091 4.08
2012 297,447,161 7,327,501,330 4.06
2008 20,243,578,574 279,106,690,138 7.25
8.12
Kab. dan Kota 2009 22,119,800,351 295,137,462,535 7.49
Indonesia 2010 24,555,374,138 331,832,650,112 7.40
2011 34,914,155,160 407,224,096,085 8.57
2012 45,540,971,484 460,949,544,814 9.88
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah tahun 2014)
145
LAMPIRAN 2
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sulawesi Tenggara Atas DasarHarga Konstan 2000 menurut Sektor Usaha
Tahun 2008 sampai dengan 2012(Juta Rupiah)
No LAPANGAN USAHA 2008 2009 2010 2011* 2012** Rata-rataKontribusi
(%)
1 Pertanian 3,469,894.91 3,564,767.39 3,610,532.84 3,702,808.97 3,853,952.03 3,640,391.23 30.77
2Pertambangan dan
Penggalian519,175.06 550,582.51 677,167.15 914,990.55 1,308,721.02 794,127.26 6.71
3 Industri Pengolahan 887,092.82 862,645.26 1,024,638.80 1,091,287.72 1,116,907.31 996,514.38 8.42
4Listrik, Gas dan Air
Bersih69,556.67 80,434.84 87,502.02 97,217.90 117,024.25 90,347.14 0.76
5 Konstruksi/Bangunan 815,608.87 919,170.64 1,060,548.57 1,195,882.84 1,346,974.13 1,067,637.01 9.02
6Perdagangan, Hotel
dan Restoran1,577,137.62 1,807,817.91 2,023,227.69 2,249,444.67 2,517,689.80 2,035,063.54 17.20
7Pengangkutan dan
Komunikasi789,659.51 944,051.20 1,029,413.72 1,128,516.51 1,239,432.50 1,026,214.69 8.67
8
Keuangan,
Persewaan dan Jasa
Perusahaan
576,339.93 618,325.07 700,137.69 825,544.69 916,165.15 727,302.51 6.15
9 Jasa-jasa 1,306,120.96 1,420,782.37 1,440,737.93 1,492,426.92 1,603,483.72 1,452,710.38 12.28
PDRB TANPA MIGAS 10,010,586.35 10,768,577.19 11,653,906.41 12,698,120.77 14,020,349.91 11,830,308.13 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik
146
LAMPIRAN 3
Hasil Transformasi Data Menjadi Logaritma Natural
ID Y X1 X2 X3 X4
_Bau2008 0.80 4.77 5.10 5.14 5.19
_Bau2009 0.83 4.80 5.15 5.20 5.22
_Bau2010 0.81 4.81 5.23 5.23 5.24
_Bau2011 0.65 4.82 5.28 5.28 5.26
_Bau2012 0.70 4.82 5.36 5.32 5.28
_Bmbn2008 0.55 5.28 4.56 4.58 4.71
_Bmbn2009 0.33 5.29 4.61 4.63 4.75
_Bmbn2010 0.54 5.31 4.70 4.68 4.75
_Bmbn2011 0.54 5.32 4.78 4.71 4.76
_Bmbn2012 0.67 5.34 4.83 4.75 4.79
_Btn2008 0.41 5.38 4.49 4.93 5.06
_Btn2009 0.49 5.42 4.52 4.98 5.09
_Btn2010 0.53 5.45 4.56 5.02 5.11
_Btn2011 0.40 5.47 4.59 5.10 5.13
_Btn2012 0.47 5.48 4.62 5.15 5.14
_BtnUtr2008 0.12 5.17 4.38 4.52 4.70
_BtnUtr2009 0.16 5.21 4.48 4.56 4.74
_BtnUtr2010 0.21 5.25 4.57 4.61 4.76
_BtnUtr2011 0.20 5.27 4.65 4.68 4.78
_BtnUtr2012 0.44 5.29 4.72 4.74 4.81
_Kdi2008 0.85 5.40 5.08 5.49 5.27
_Kdi2009 0.84 5.43 5.12 5.54 5.31
_Kdi2010 0.90 5.44 5.17 5.59 5.33
_Kdi2011 0.95 5.46 5.24 5.63 5.34
_Kdi2012 0.98 5.47 5.34 5.67 5.38
_Klk2008 0.65 5.89 5.02 5.60 5.28
_Klk2009 0.81 5.91 5.09 5.64 5.32
_Klk2010 0.73 5.91 5.15 5.70 5.33
_Klk2011 0.72 5.93 5.21 5.77 5.35
_Klk2012 0.68 5.95 5.28 5.84 5.37
147
_KlkUtr2008 0.35 5.71 4.54 5.05 4.71
_KlkUtr2009 0.37 5.73 4.62 5.09 4.75
_KlkUtr2010 0.27 5.74 4.68 5.15 4.79
_KlkUtr2011 0.88 5.77 4.72 5.21 4.82
_KlkUtr2012 0.56 5.80 4.80 5.29 4.85
_Knw2008 0.29 5.48 5.08 4.99 5.13
_Knw2009 0.39 5.51 5.14 5.04 5.17
_Knw2010 0.47 5.53 5.16 5.09 5.19
_Knw2011 0.52 5.56 5.19 5.13 5.21
_Knw2012 0.45 5.58 5.25 5.17 5.23
_KnwSltn2008 0.32 5.56 4.91 4.94 5.06
_KnwSltn2009 0.16 5.58 4.94 4.99 5.10
_KnwSltn2010 0.36 5.59 5.01 5.04 5.12
_KnwSltn2011 0.33 5.60 5.06 5.09 5.14
_KnwSltn2012 0.43 5.62 5.09 5.13 5.16
_KnwUtr2008 1.08 5.31 4.65 4.24 4.28
_KnwUtr2009 0.65 5.35 4.74 4.30 4.32
_KnwUtr2010 0.53 5.37 4.78 4.37 4.35
_KnwUtr2011 0.27 5.40 4.86 4.45 4.37
_KnwUtr2012 0.35 5.40 4.93 4.53 4.40
_Mun2008 0.59 5.52 4.88 5.32 5.26
_Mun2009 0.63 5.54 4.92 5.35 5.30
_Mun2010 0.80 5.56 4.96 5.39 5.32
_Mun2011 0.51 5.58 4.99 5.44 5.34
_Mun2012 0.39 5.61 5.03 5.48 5.36
_Wktb2008 0.47 4.87 4.08 4.49 4.65
_Wktb2009 0.39 4.90 4.18 4.61 4.70
_Wktb2010 0.53 4.93 4.27 4.69 4.73
_Wktb2011 0.39 4.95 4.33 4.74 4.77
_Wktb2012 0.62 4.96 4.38 4.79 4.80
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah tahun 2014)
148
LAMPIRAN 4
Hasil Pooled Least Square
Dependent Variable: Y?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 01:46Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1.075058 0.597071 1.800553 0.0773X1? -0.363673 0.091208 -3.987303 0.0002X2? 0.207883 0.098977 2.100313 0.0403X3? 0.752636 0.154200 4.880916 0.0000X4? -0.675796 0.182145 -3.710214 0.0005
R-squared 0.456664 Mean dependent var 0.538500Adjusted R-squared 0.417148 S.D. dependent var 0.224649S.E. of regression 0.171508 Akaike info criterion -0.608722Sum squared resid 1.617819 Schwarz criterion -0.434193Log likelihood 23.26166 Hannan-Quinn criter. -0.540454F-statistic 11.55662 Durbin-Watson stat 1.074784Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
149
LAMPIRAN 5
Hasil Fixed Effect Model
Dependent Variable: Y?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 01:47Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -7.338626 7.736593 -0.948560 0.3480X1? 0.720995 2.062569 0.349562 0.7283X2? 0.838972 0.782170 1.072621 0.2893X3? -2.100229 1.176409 -1.785288 0.0811X4? 2.102779 2.247610 0.935562 0.3546
Fixed Effects (Cross)_BAUBAU--C 0.228420
_BOMBANA--C -0.086562_BUTON--C -0.105978_BUTUR--C -0.335420
_KENDARI--C 0.494428_KOLAKA--C 0.253569_KONAWE--C -0.785815_KONSEL--C -0.745136_KONUT--C 0.085746_MUNA—C -0.091029
_WAKATOBI--C 0.555261_KOLUT—C 0.532516
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.678041 Mean dependent var 0.538500Adjusted R-squared 0.568283 S.D. dependent var 0.224649S.E. of regression 0.147606 Akaike info criterion -0.765361Sum squared resid 0.958653 Schwarz criterion -0.206869Log likelihood 38.96082 Hannan-Quinn criter. -0.546904F-statistic 6.177568 Durbin-Watson stat 1.774638Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
150
LAMPIRAN 6
Hasil Random Effect Model
Dependent Variable: Y?Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)Date: 01/08/15 Time: 01:48Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.995735 0.887305 1.122201 0.2667X1? -0.329594 0.135652 -2.429700 0.0184X2? 0.166348 0.140985 1.179895 0.2431X3? 0.633880 0.224421 2.824519 0.0066X4? -0.536555 0.263706 -2.034670 0.0467
Random Effects (Cross)_BAUBAU—C -0.020516
_BOMBANA—C 0.059015_BUTON—C 0.031365_BUTUR—C -0.119764
_KENDARI—C 0.104545_KOLAKA—C 0.037857_KONAWE—C -0.031836_KONSEL—C -0.076286_KONUT—C 0.071965_MUNA—C 0.019405
_WAKATOBI—C -0.012482_KOLUT—C -0.063268
Effects SpecificationS.D. Rho
Cross-section random 0.094076 0.2889Idiosyncratic random 0.147606 0.7111
Weighted Statistics
R-squared 0.231219 Mean dependent var 0.309307Adjusted R-squared 0.175308 S.D. dependent var 0.168544S.E. of regression 0.153059 Sum squared resid 1.288496F-statistic 4.135463 Durbin-Watson stat 1.334026Prob(F-statistic) 0.005325
Unweighted Statistics
R-squared 0.446624 Mean dependent var 0.538500Sum squared resid 1.647714 Durbin-Watson stat 1.043195
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
151
LAMPIRAN 7
Hasil Uji ChowRedundant Fixed Effects TestsPool: POOLTest cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 2.750385 (11,44) 0.0084Cross-section Chi-square 31.398307 11 0.0010
Cross-section fixed effects test equation:Dependent Variable: Y?Method: Panel Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 01:47Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1.075058 0.597071 1.800553 0.0773X1? -0.363673 0.091208 -3.987303 0.0002X2? 0.207883 0.098977 2.100313 0.0403X3? 0.752636 0.154200 4.880916 0.0000X4? -0.675796 0.182145 -3.710214 0.0005
R-squared 0.456664 Mean dependent var 0.538500Adjusted R-squared 0.417148 S.D. dependent var 0.224649S.E. of regression 0.171508 Akaike info criterion -0.608722Sum squared resid 1.617819 Schwarz criterion -0.434193Log likelihood 23.26166 Hannan-Quinn criter. -0.540454F-statistic 11.55662 Durbin-Watson stat 1.074784Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber: Hasil Eviews,data diolah tahun
2014
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
152
LAMPIRAN 8
Hasil Uji HausmanCorrelated Random Effects - Hausman TestPool: POOLTest cross-section random effects
Test SummaryChi-Sq.Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 8.139052 4 0.0866
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
X1? 0.720995 -0.329594 4.235788 0.6097X2? 0.838972 0.166348 0.591912 0.3820X3? -2.100229 0.633880 1.333574 0.0179X4? 2.102779 -0.536555 4.982212 0.2370
Cross-section random effects test equation:Dependent Variable: Y?Method: Panel Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 01:48Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -7.338626 7.736593 -0.948560 0.3480X1? 0.720995 2.062569 0.349562 0.7283X2? 0.838972 0.782170 1.072621 0.2893X3? -2.100229 1.176409 -1.785288 0.0811X4? 2.102779 2.247610 0.935562 0.3546
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.678041 Mean dependent var 0.538500Adjusted R-squared 0.568283 S.D. dependent var 0.224649S.E. of regression 0.147606 Akaike info criterion -0.765361Sum squared resid 0.958653 Schwarz criterion -0.206869Log likelihood 38.96082 Hannan-Quinn criter. -0.546904F-statistic 6.177568 Durbin-Watson stat 1.774638Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
153
LAMPIRAN 9
Hasil Regresi Metode Fixed Effect dengan White-Test
Dependent Variable: Y?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 01:49Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -7.338626 2.348544 -3.124756 0.0031X1? 0.720995 1.223481 0.589298 0.5587X2? 0.838972 0.455594 1.841490 0.0723X3? -2.100229 0.476079 -4.411517 0.0001X4? 2.102779 2.385500 0.881483 0.3828
Fixed Effects (Cross)_BAUBAU—C 0.228420
_BOMBANA—C -0.086562_BUTON—C -0.105978_BUTUR—C -0.335420
_KENDARI—C 0.494428_KOLAKA—C 0.253569_KONAWE—C -0.785815_KONSEL—C -0.745136_KONUT—C 0.085746_MUNA—C -0.091029
_WAKATOBI—C 0.555261_KOLUT—C 0.532516
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.678041 Mean dependent var 0.538500Adjusted R-squared 0.568283 S.D. dependent var 0.224649S.E. of regression 0.147606 Akaike info criterion -0.765361Sum squared resid 0.958653 Schwarz criterion -0.206869Log likelihood 38.96082 Hannan-Quinn criter. -0.546904F-statistic 6.177568 Durbin-Watson stat 1.774638Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
154
LAMPIRAN 10
Statistik Deskriptif
Y? X1? X2? X3? X4?
Mean 0.538500 5.405833 4.850833 5.047833 4.998833
Median 0.525000 5.445000 4.895000 5.090000 5.115000
Maximum 1.080000 5.950000 5.360000 5.840000 5.380000
Minimum 0.120000 4.770000 4.080000 4.240000 4.280000
Std. Dev. 0.224649 0.305849 0.313722 0.400051 0.307731
Skewness 0.306542 -0.448660 -0.389597 -0.014068 -0.634204
Kurtosis 2.415338 2.720188 2.309615 2.180681 2.370739
Jarque-Bera 1.794255 2.208693 2.709436 1.680186 5.012072
Probability 0.407739 0.331427 0.258020 0.431670 0.081591
Sum 32.31000 324.3500 291.0500 302.8700 299.9300
Sum Sq. Dev. 2.977565 5.519058 5.806858 9.442418 5.587218
Observations 60 60 60 60 60
Cross
sections 12 12 12 12 12
Sumber: Hasil Output Eviews, data diolah tahun 2014
155
LAMPIRAN 11
Uji Multikolinearitas
1. Regresi 1 (R1)
Dependent Variable: Y?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 01:49Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -7.338626 2.348544 -3.124756 0.0031X1? 0.720995 1.223481 0.589298 0.5587X2? 0.838972 0.455594 1.841490 0.0723X3? -2.100229 0.476079 -4.411517 0.0001X4? 2.102779 2.385500 0.881483 0.3828
Fixed Effects (Cross)_BAUBAU—C 0.228420
_BOMBANA—C -0.086562_BUTON—C -0.105978_BUTUR—C -0.335420
_KENDARI—C 0.494428_KOLAKA—C 0.253569_KONAWE—C -0.785815_KONSEL—C -0.745136_KONUT—C 0.085746_MUNA—C -0.091029
_WAKATOBI—C 0.555261_KOLUT—C 0.532516
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.678041 Mean dependent var 0.538500Adjusted R-squared 0.568283 S.D. dependent var 0.224649S.E. of regression 0.147606 Akaike info criterion -0.765361Sum squared resid 0.958653 Schwarz criterion -0.206869Log likelihood 38.96082 Hannan-Quinn criter. -0.546904F-statistic 6.177568 Durbin-Watson stat 1.774638Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
156
2. Regresi 2 (R2)
Dependent Variable: X1?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 02:16Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.465782 0.183063 13.46959 0.0000X2? -0.003019 0.031981 -0.094410 0.9252
X3G? 0.177725 0.036561 4.861079 0.0000X4? 0.411610 0.073015 5.637340 0.0000
Fixed Effects (Cross)_BAUBAU—C -0.732237
_BOMBANA—C 0.070449_BUTON—C -0.008731_BUTUR—C 0.006099
_KENDARI—C -0.194765_KOLAKA—C 0.259075_KONAWE—C 0.043645_KONSEL—C 0.138144_KONUT—C 0.348571_MUNA—C -0.035943
_WAKATOBI—C -0.306782_KOLUT—C 0.412475
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.999072 Mean dependent var 5.405833Adjusted R-squared 0.998783 S.D. dependent var 0.305849S.E. of regression 0.010668 Akaike info criterion -6.030788Sum squared resid 0.005121 Schwarz criterion -5.507202Log likelihood 195.9236 Hannan-Quinn criter. -5.825984F-statistic 3460.624 Durbin-Watson stat 1.182995Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
157
3. Regresi 3 (R3)
Dependent Variable: X2?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 02:20Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -2.409200 0.733256 -3.285618 0.0020X1? -0.020995 0.223528 -0.093928 0.9256X3? 0.746438 0.145365 5.134937 0.0000X4? 0.721296 0.440461 1.637591 0.1085
Fixed Effects (Cross)_BAUBAU—C 0.049059
_BOMBANA—C 0.303182_BUTON—C -0.362582_BUTUR—C 0.197213
_KENDARI—C -0.296315_KOLAKA—C -0.423216_KONAWE—C 0.153817_KONSEL—C 0.077862_KONUT—C 0.912648_MUNA—C -0.380210
_WAKATOBI—C -0.132576_KOLUT—C -0.098882
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.993867 Mean dependent var 4.850833Adjusted R-squared 0.991959 S.D. dependent var 0.313722S.E. of regression 0.028132 Akaike info criterion -4.091516Sum squared resid 0.035613 Schwarz criterion -3.567930Log likelihood 137.7455 Hannan-Quinn criter. -3.886713F-statistic 520.8915 Durbin-Watson stat 0.922088Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
158
4. Regresi 4 (R4)
Dependent Variable: X3?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 02:21Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -3.898433 0.631087 -6.177334 0.0000X1? 0.546323 0.161607 3.380558 0.0015X2? 0.329973 0.036128 9.133497 0.0000X4? 0.878663 0.095554 9.195435 0.0000
Fixed Effects (Cross)_BAUBAU—C 0.181680
_BOMBANA—C -0.056411_BUTON—C -0.027376_BUTUR—C -0.026564
_KENDARI—C 0.118115_KOLAKA—C -0.007343_KONAWE—C -0.300554_KONSEL—C -0.263279_KONUT—C -0.053280_MUNA—C -0.050536
_WAKATOBI—C 0.315629_KOLUT—C 0.169917
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.998333 Mean dependent var 5.047833Adjusted R-squared 0.997814 S.D. dependent var 0.400051S.E. of regression 0.018704 Akaike info criterion -4.907817Sum squared resid 0.015743 Schwarz criterion -4.384231Log likelihood 162.2345 Hannan-Quinn criter. -4.703013F-statistic 1924.647 Durbin-Watson stat 1.342475Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Eviews,data diolah tahun
2014
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
159
5. Regresi 5 (R5)
Dependent Variable: X4?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/08/15 Time: 02:22Sample: 2008 2012Included observations: 5Cross-sections included: 12Total pool (balanced) observations: 60White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1.486232 0.157547 9.433600 0.0000X1? 0.346626 0.041596 8.333159 0.0000X2? 0.087352 0.043741 1.997025 0.0519X3? 0.240711 0.056339 4.272520 0.0001
Fixed Effects (Cross)_BAUBAU—C 0.370368
_BOMBANA—C -0.108448_BUTON—C 0.123926_BUTUR—C -0.054750
_KENDARI—C 0.156635_KOLAKA—C -0.031887_KONAWE—C 0.107373_KONSEL—C 0.042492_KONUT—C -0.474650_MUNA—C 0.170041
_WAKATOBI—C 0.043927_KOLUT—C -0.345027
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.999228 Mean dependent var 4.998833Adjusted R-squared 0.998988 S.D. dependent var 0.307731S.E. of regression 0.009790 Akaike info criterion -6.202619Sum squared resid 0.004313 Schwarz criterion -5.679033Log likelihood 201.0786 Hannan-Quinn criter. -5.997815F-statistic 4160.813 Durbin-Watson stat 1.541679Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Eviews, data diolah tahun 2014
160
LAMPIRAN 12
Estimasi Model Fixed Effect Setelah White Test
Estimation Command:=====================LS(CX=F,COV=CXWHITE) Y? C X1? X2? X3? X4?
Estimation Equations:=====================Y_BAUBAU = C(6) + C(1) + C(2)*X1_BAUBAU + C(3)*X2_BAUBAU + C(4)*X3_BAUBAU +C(5)*X4_BAUBAU
Y_BOMBANA = C(7) + C(1) + C(2)*X1_BOMBANA + C(3)*X2_BOMBANA + C(4)*X3_BOMBANA+ C(5)*X4_BOMBANA
Y_BUTON = C(8) + C(1) + C(2)*X1_BUTON + C(3)*X2_BUTON + C(4)*X3_BUTON +C(5)*X4_BUTON
Y_BUTUR = C(9) + C(1) + C(2)*X1_BUTUR + C(3)*X2_BUTUR + C(4)*X3_BUTUR +C(5)*X4_BUTUR
Y_KENDARI = C(10) + C(1) + C(2)*X1_KENDARI + C(3)*X2_KENDARI + C(4)*X3_KENDARI +C(5)*X4_KENDARI
Y_KOLAKA = C(11) + C(1) + C(2)*X1_KOLAKA + C(3)*X2_KOLAKA + C(4)*X3_KOLAKA +C(5)*X4_KOLAKA
Y_KONAWE = C(12) + C(1) + C(2)*X1_KONAWE + C(3)*X2_KONAWE + C(4)*X3_KONAWE +C(5)*X4_KONAWE
Y_KONSEL = C(13) + C(1) + C(2)*X1_KONSEL + C(3)*X2_KONSEL + C(4)*X3_KONSEL +C(5)*X4_KONSEL
Y_KONUT = C(14) + C(1) + C(2)*X1_KONUT + C(3)*X2_KONUT + C(4)*X3_KONUT +C(5)*X4_KONUT
Y_MUNA = C(15) + C(1) + C(2)*X1_MUNA + C(3)*X2_MUNA + C(4)*X3_MUNA + C(5)*X4_MUNA
Y_WAKATOBI = C(16) + C(1) + C(2)*X1_WAKATOBI + C(3)*X2_WAKATOBI +C(4)*X3_WAKATOBI + C(5)*X4_WAKATOBI
Y_KOLUT = C(17) + C(1) + C(2)*X1_KOLUT + C(3)*X2_KOLUT + C(4)*X3_KOLUT +C(5)*X4_KOLUT
Substituted Coefficients:=====================Y_BAUBAU = 0.228420270036 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_BAUBAU +0.838971703283*X2_BAUBAU - 2.10022857934*X3_BAUBAU + 2.1027788007*X4_BAUBAU
Y_BOMBANA = -0.0865623733109 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_BOMBANA +0.838971703283*X2_BOMBANA - 2.10022857934*X3_BOMBANA +2.1027788007*X4_BOMBANA
Y_BUTON = -0.105977658161 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_BUTON +0.838971703283*X2_BUTON - 2.10022857934*X3_BUTON + 2.1027788007*X4_BUTON
Y_BUTUR = -0.335420243906 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_BUTUR +0.838971703283*X2_BUTUR - 2.10022857934*X3_BUTUR + 2.1027788007*X4_BUTUR
161
Y_KENDARI = 0.494428207283 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_KENDARI +0.838971703283*X2_KENDARI - 2.10022857934*X3_KENDARI + 2.1027788007*X4_KENDARI
Y_KOLAKA = 0.253569339874 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_KOLAKA +0.838971703283*X2_KOLAKA - 2.10022857934*X3_KOLAKA + 2.1027788007*X4_KOLAKA
Y_KONAWE = -0.785815289692 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_KONAWE +0.838971703283*X2_KONAWE - 2.10022857934*X3_KONAWE + 2.1027788007*X4_KONAWE
Y_KONSEL = -0.745135559469 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_KONSEL +0.838971703283*X2_KONSEL - 2.10022857934*X3_KONSEL + 2.1027788007*X4_KONSEL
Y_KONUT = 0.0857456615849 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_KONUT +0.838971703283*X2_KONUT - 2.10022857934*X3_KONUT + 2.1027788007*X4_KONUT
Y_MUNA = -0.0910289409052 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_MUNA +0.838971703283*X2_MUNA - 2.10022857934*X3_MUNA + 2.1027788007*X4_MUNA
Y_WAKATOBI = 0.555260629546 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_WAKATOBI +0.838971703283*X2_WAKATOBI - 2.10022857934*X3_WAKATOBI +2.1027788007*X4_WAKATOBI
Y_KOLUT = 0.53251595712 - 7.33862550566 + 0.720994605303*X1_KOLUT +0.838971703283*X2_KOLUT - 2.10022857934*X3_KOLUT + 2.1027788007*X4_KOLUT