pengaruh pemberian suplemen kalsium terhadap penyembuhan patah tulang osteoporotik

45
USULAN PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN KALSIUM TERHADAP PENYEMBUHAN PATAH TULANG OSTEOPOROTIK COLLES’ FRACTURE PENULIS ADRIANTO PRASETYO P. NIM: 010710379 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Upload: m-arif-hakim-jamhari

Post on 22-Nov-2015

44 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Proposal Penelitian

22

USULAN PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN KALSIUM TERHADAP PENYEMBUHAN PATAH TULANG OSTEOPOROTIK COLLES FRACTURE

PENULIS

ADRIANTO PRASETYO P.

NIM: 010710379

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2009

USULAN PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN KALSIUM TERHADAP PENYEMBUHAN PATAH TULANG OSTEOPOROTIK COLLES FRACTURE

PENULIS

ADRIANTO PRASETYO P.

NIM: 010710379

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2009

HALAMAN PENGESAHAN

Telah setuju untuk diujikan

Pembimbing I

(Heri Suroto, dr., Sp. OT)

NIP: 140226791

Pembimbing II

(Lilik Herawati, dr., M. Kes.)

NIP: 132303976

DAFTAR ISI

Sampul Depani

Daftar Halaman Pengesahanii

Daftar Isiiii

I.Pendahuluan1

1.1 Latar Belakang1

1.2 Rumusan Masalah3

1.3 Tujuan Penelitian3

1.3.1 Tujuan Umum3

1.3.2 Tujuan Khusus3

1.4 Manfaat Penelitian4

1.4.1 Manfaat Teoritis4

1.4.2 Manfaat Praktis4

II.Tinjauan Pustaka5

2.1 Osteoporosis5

2.1.1 Osteoporosis Paska Menopause (Tipe I)6

2.1.2 Senile Osteoporosis (Tipe II)6

2.2 Patah Tulang7

2.2.1 Colles Fracture7

2.2.2 Proses Penyembuhan Patah Tulang8

2.2.2.1 Inflamasi8

2.2.2.2 Soft Callus92.2.2.3 Hard Callus10

2.2.2.4 Remodelling10

2.2.3 Tahap Kesembuhan Patah Tulang11

2.2.3.1 Clinical Union11

2.2.3.2 Radiographical Union (Tahap Konsolidasi)12

2.3 Kalsium13

2.3.1 Absorpsi dan Ekskresi Kalsium13

2.3.2 Pengaruh Vitamin D Terhadap Absorpsi dan Ekskresi Kalsium13

2.3.3 Mekanisme Kalsifikasi Tulang14

III.Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian17

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian17

3.2 Hipotesis18

IV.Metode Penelitian19

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian19

4.1.1 Jenis Penelitian19

4.1.2 Rancangan Penelitian19

4.2 Populasi, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel19

4.2.1 Populasi Penelitian19

4.2.2 Besar Sampel20

4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel20

4.2.4 Kriteria Sampel20

4.2.4.1 Kriteria Inklusi20

4.2.4.2 Kriteria Eksklusi20

4.3 Variabel Penelitian20

4.3.1 Variabel Bebas20

4.3.2 Variabel Terikat21

4.3.3 Variabel Pengganggu21

4.3.4 Variabel Kontrol21

4.3.5 Definisi Operasional Variabel21

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian22

4.4.1 Lokasi Penelitian22

4.4.2 Waktu Penelitian22

4.5 Prosedur Pengambilan Data23

4.5.1 Tahap Perizinan23

4.5.2 Pemilihan Sampel23

4.5.3 Pengambilan Data23

4.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data24

Daftar Pustaka25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Osteoporosis adalah keadaan dimana kepadatan dan kualitas tulang menurun, menyebabkan lemahnya kerangka tubuh dan meningkatnya resiko terjadinya patah tulang. Resiko untuk terjadinya patah tulang osteoporosis pada wanita adalah 30 50%, dimana patah tulang yang sering terjadi adalah patah tulang pergelangan tangan (Colles fracture), tulang belakang, dan panggul (IOF, 2008). Di Indonesia, 22 25% wanita lansia terpengaruh osteoporosis (detikNews, 2007). Sebuah penelitian dari European Prospective Osteoporosis Study menunjukan bahwa insidensi Colles fracture pada wanita dengan usia rata rata 63,1 tahun adalah 7,3 kejadian pada setiap 1000 wanita (Silman, 2003). Selain itu, dikatakan bahwa seorang wanita berusia 50 tahun di Amerika Utara beresiko 16% terkena Colles fracture (Ettinger, 2003).

Jika terjadi patah tulang osteoporotik pada wanita paska menopause, maka penyembuhan akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Ini disebabkan karena pada kondisi menopause, terjadi keseimbangan yang negatif antara pembentukan dan perombakan tulang. Ini menyebabkan adanya kecenderungan untuk kehilangan massa tulang lebih besar.

Kalsium diperlukan sebagai materi dasar dalam proses mineralisasi pembentukan tulang, sehingga pada proses penyembuhan patah tulang, akan diperlukan jumlah asupan kalisum yang lebih banyak.

Menurut hasil penelitian Djoko Roeshadi (1996), didapatkan bahwa rata rata asupan kalsium wanita di Surabaya hanyalah 300 mg/hari, dimana menurut Institute of Medicine, National Academy of Science (2002), kebutuhan kalsium setiap harinya untuk wanita dengan usia 51 tahun, dianjurkan untuk mendapatkan asupan kalsium sebanyak 1200 mg setiap harinya. Bahkan kebutuhan akan kalsium ini akan meningkat hingga dua kali lipat pada keadaan penyembuhan patah tulang.

Sebuah peneltian oleh Hitz et al. (2007) pada kasus patah tulang ekstremitas atas (Colles Fracture, dan patah tulang humerus proksimal) menyebutkan bahwa pemberian suplemen kalsium karbonat dan vitamin D dibandingkan dengan kontrol yang hanya mendapat dosis vitamin D yang lebih kecil pada kasus patah tulang ekstremitas atas menunjukkan (1) peningkatan pada vitamin D serum lebih tinggi pada kelompok perlakuan, (2) hormon paratiroid (PTH) pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan kelompk kontrol, (3) pemeriksaan BMD (Bone Mineral Density) pada daerah lumbar menunjukkan peningkatan signifikan pada kelompok perlakuan. Namun pada penelitian tersebut tidak dilakukan pengukuran waktu penyembuhan dan kekuatan genggam dari pasien.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian suplemen kalsium, dalam hal ini kalsium karbonat, karena merupakan jenis yang memiliki 40% kandungan kalsiumnya (Mullins, 2004) pada penyembuhan patah tulang osteoporotik Colles Fracture tersebut dengan menilai waktu penyembuhan dan kekuatan genggam dari pasien. 1.2Rumusan Masalah

Apakah pemberian suplemen kalsium dapat meningkatkan proses penyembuhan patah tulang osteoporotik pada wanita paska menopause?1.3Tujuan Penelitian

1.3.1Tujuan Umum

Mengetahui efek pemberian suplemen kalsium karbonat terhadap penyembuhan patah tulang osteoporotik Colles Fracture pada wanita paska menopause.

1.3.2Tujuan Khusus1. Mengetahui efek pemberian suplemen kalsium dalam mempercepat proses penyembuhan patah tulang osteoporosik Colles Fracture.2. Mengetahui efek pemberian suplemen kalsium dapat meningkatkan kekuatan genggam dari hasil penyembuhan patah tulang osteoporosik Colles Fracture.3. Mengetahui adanya perbedaan antara pemberian kalsium dengan tanpa pemberian kalsium pada penyembuhan patah tulang.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat Teoritis

Memberikan informasi klinis efek pemberian suplemen kalsium terhadap penyembuhan patah tulang

1.4.2Manfaat Praktis

Mendapatkan guideline untuk pemberian suplemen kalsium (kalsium karbonat) yang benar untuk membantu penyembuhan patah tulang osteoporotik pada wanita paska menopause

BAB II

TINJUAUAN PUSTAKA

2.1Osteoporosis

Osteoporosis menggambarkan keadaan dimana tulang sudah termineralisasi secara penuh tetapi strukturnya secara abnormal berpori dan kekuatannya dibawah normal untuk populasi dengan usia dan kelamin yang sama. Pada osteoporosis teradapat penurunan signifikan dari masa tulang untuk setiap unit volume jaringan tulang, dan disertai meningkatnya kerapuhan tulang tersebut (Solomon, 2001). WHO mendefinisikan osteoporosis sebagai keadaan dimana Bone Mineral Density (BMD) pasien berada 2,5 SD dibawah rata rata puncak pada dewasa muda dengan ras dan jenis kelamin yang sama (T-score -2,5).

Pengurangan tulang dapat diakibatkan dari banyaknya resorpsi, penurunan pembentukan tulang, atau kombinasi dari keduanya. Alasan utama dari menurunnya kekuatan tulang tidak hanya dari penurunan masa tulang; melainkan, dapat pula terjadi kehilangan dari kesinambungan struktural pada tulang trabekular yang masih ada. Hingga akhirnya tulang tersebut mencapai keadaan dimana cedera yang cukup ringan dapat menyebabkan patah tulang.

Bukti radiografik konklusif dari osteoporosis adalah hilangnya dari definisi trabekular dan menipisnya korteks. Osteoporosis dapat timbul pada sekelompok tulang saja (regional osteoporosis) atau secara keseluruhan (generalized osteoporosis). Selain itu dapat juga diklasifikasikan sebagai (1) primer, dimana tidak ada penyebab yang spesifik, namun dapat dikaitkan dengan proses penuaan dan penurunan fungsi gonad, dapat dibagi menjadi tipe I (paska menopause) dan tipe II (senile), dan (2) sekunder, disebabkan berbagai gangguan endokrin, metabolik, dan neoplastik) (Solomon, 2001).

2.1.1Osteoporosis Paska Menopause (tipe I)

Disebabkan oleh hilangnya estrogen. Terutama terjadi kehilangan dari tulang trabekular, dimana terjadinya 3 kali lebih cepat dari normal, ini diasosiasikan dengan penurunan yang lebih hebat dari tulang meduler dan pemeliharaan dari tulang cortikal.

Kejadian patah tulang yang sering dijumpai adalah patah tulang vertebra dan Colles fracture (distal radius). Ini disebabkan karena pada vertebra dan distal radius terdapat banyak tulang trabekuler sehingga mudah terjadi patah tulang (Wheeles, 2009).

2.1.2Senile Osteoporosis (tipe II)

Disebabkan oleh defisiensi kalsium yang berkepanjangan. Terdapat penurunan produksi 1,25 Vit D oleh ginjal yang berhubungan dengan usia lalu disertai hiperparatiroidisme dan kehilangan tulang. Pasien dengan tipe osteoporosis ini sudah kehilangan hampir seluruhnya dari seluruh tulang yang akan hilang. Terjadi pula kehilangan yang seimbang antara tulang kortikal dan tulang trabekular.

Pada pemeriksaan BMD, hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan penderita osteoporosis tipe II lainnya yang tidak mengalami patah tulang. Tipe ini biasa terjadi pada pasien dengan usia 75 tahun. Jenis patah tulang yang sering terjadi yaitu pada vertebra dan column femur, lalu diikuti patah tulang dari pelvis, humerus, dan tibia. (Wheeles, 2009).

2.2Patah Tulang

2.2.1Colles Fracture

Dijabarkan oleh Abraham Colles pada tahun 1814, merupakan sebuah patah tulang transversum dari radius tepat diatas pergelangan tangan, disertai perpindahan ke arah dorsal dari fragmen distalnya. Ini merupakan jenis patah tulang paling sering dijumpai pada lansia, insidensinya yang tinggi dikaitkan dengan timbulnya osteoporosis paska menopause. Maka dari itu, penderita biasanya seorang wanita tua dengan riwayat jatuh bertumpu pada tangan yang lurus.

Mekannisme terjadinya cedera diakbatikan oleh gaya yang terjadi sepanjang antebrachii dengan posisi ekstensi dari pergelangan tangan, sehingga tulang patah pada corticocancellous junction dan bagian distalnya kolaps menjadi posisi ekstensi, berpindah ke dorsal, pemendekan dan radial tilt.

Patah tulang ini dapat diidentifikasi tanpa perlu radiografi melalui penampakan dinner fork yang khas, dengan penonjolan pada belakang pergelangan tangan dan depresi pada bagian depan. Pada pasien dengan deformitas yang tidak terlalu jelas, dapat terjadi rasa lunak pada lokasi cedera dan nyeri pada pergerakan dari pergelangan tangan (Solomon, 2001).2.2.2Proses Penyembuhan Patah Tulang

Pada saat terjadinya benturan, nenrgi yang diserap oleh tulang menyebabkan kegagalan secara mekanis maupun struktural. Selain putusnya kelangsungan pada jaringan tulang, terjadi pula gangguan pada pasokan darah untuk tulang pada daerah terjadinya patah tulang tersebut. Secara biologis, penyembuhan patah tulang sebenarnya merupakan proses regenerasi jaringan daripada proses penyembuhan, bagian yang cedera digantikan dengan jaringan tulang dan bukan dengan jaringan parut. Proses regenerasi patah tulang dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu (1) inflamasi, (2) soft callus, (3) hard callus, (4) remodelling.

2.2.2.1Inflamasi

Inflamasi terjadi seketika setelah patah tulang terjadi dan diawali dengan terjadinya hematoma dan bekuan fibrin disertai platelet, neutrofil PMN, dan monosit atau makrofag pada lokasi terjadinya patah tulang. Ditemukan juga hemorrhage dan kematian sel pada tempat terjadi robeknya pembuluh darah.

Pada ujung tulang yang patah, terjadi nekrosis disertai dilepasnya enzim enzim lisosom dan zat hasil dari kematian sel. Lalu diikuti dengan munculnya fibroblast, sel mesenchym, dan sel osteoprogenitor.

Pembuluh darah pada periosteal callus ini seluruhnya baru dan berasal dari jaringan ekstraskeletal di sekelilingnya dan dari medullary canal. Gradien oksigen jaringan deibutuhkan untuk pemeliharaan angiogenesis pada jaringan dalam masa penymbuhan ini. Angiogenesis ini diatur oleh makrofag yang memproduksi faktor faktor angiogenic pada keadaan hipoksik.

2.2.2.2Soft Callus

Aspek perifer dari callus eksternal hanya memperlihatkan pembentukan tulang rawan, sedangkan daerah yang lebih dekat dengan ujung tulang memperlihatkan pembentukan tulang.

Tahap soft callus ini dapat didefinisikan berawal sejak nyeri dan bengkak mereda dan berlanjut hingga fragmen dari tulang tersebut disatukan oleh jaringan fibrous atau tulang rawan dan tidak lagi dapat bergerak bebas.

Pada akhir tahap ini, stabilitas mulai dapat terlihat untuk menghindari terjadinya pemendekan, tetapi angulasi pada daerah patah tulang masih dapat terjadi.

Periode ini ditandai dengan peningkatan secara signifikan dari peredaran darah pada daerah patah tulang. Tahap ini dapat diilustrasikan dengan jelas pada patah tulang pediatrik femur, dimana terdapat callus besar yang dapat dipalpasi, namun tidak terlihat kalsifikasi callus pada radiograf.2.2.2.3Hard Callus

Proses perbaikan lalu dilanjutkan menuju tahap hard callus dimana callus yang terjadi sebelumnya berubah dari jaringan tulang rawan menjadi tulang teranyam (woven bone). Pengembalian kekuatan dan kekakuannya tampak berhubungan dengan jumlah tulang baru yang menghubungkan fragmen patahan tulangyang ada dan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah keseluruhan persatuan callus.

Patah tulang panjang yang khas memperlihatkan pembentukan tulang endochondral, dimana tulang yang baru terbentuk pada cetakan tulang rawan layaknya pada callus eksternal, dan pembentukan tulang membran, dimana tulang dibentuk secara langsung dari sel mesenkim atau proteoblast seperti pada callus periosteal.2.2.2.4Remodelling

Selama proses ini, tahap terkhir dari perbaikan patah tulang, Tulang teranyam secara perlahan berubah menjadi tulang lamellar, dan medullary canal terbangun kembali. Tahap ini merupakan tahap yang paling lama dan dapat memakan waktu hingga beberapa tahun.

Deformitas anguler pada dewasa akan membulat (round-off) tetapi tidak akan dibetulkan selayaknya pada anak anak yang masih memiliki growth plate yang terbuka (Simon, 1994).

2.2.3Tahap Kesembuhan Patah Tulang

2.2.3.1Clinical Union

Sebuah callus internal dan eksternal sementara, mengelilingi lokasi patah tulang, menciptakan sebuah lem biologis yang mengeras secara bertahap bersamaan dengan penggantian bagian tulang rawan dari callus dengan tulang melalui proses ossifikasi endochondral.

Saat callus yang terbentuk sudah cukup kuat dan pergerakan tidak lagi terjadi pada lokasi patah tulang, dikatakan sudah memasuki tahap persatuan klinis (Clinical Union), tetapi belum kembali pada kekuatan semula.

Pemeriksaan radiografis memperlihatkan bukti adanya tulang di dalam callus, namun garis patah tulang masih terlihat. Pemeriksaan histologis memperlihatkan berbagai macam jumlah dari tulang teranyam (woven bone) primer, begitu juga dengan tulang rawan yang sedang mengalami ossifikasi endochondral.

2.2.3.2Radiographical Union (Tahap Konsolidasi)

Seiring berjalannya waktu, callus primer tersebut secara bertahap digantikan oleh tulang lamelar yan matang, dan callus yang berlebih akan diserap kembali.

Sekian bulan setelah patah tulang, saat seluruh tulang yg belum matang dan tulang rawan dari callus sementara telah digantikan oleh tulang lamelar yang matang, patah tulang tersebut dikatakan suda terkonsolidasi (consolidated) oleh persatuan tulang yang kuat (radiographic union).

Saat persatuan tulang sudah terbentuk, callus yang sudah tidak berguna akan diserao, dan tulang tersebut akan kembali mendekati diameter semulanya. Ujung lancip dari angulasi residual, displacement, atau penimpaan menjadi dihaluskan dan di bentuk kembali melalui proses yang bersamaan antara deposisi tulang dan absorpsi tulang. Walapun ujung dari angulasi residual menjadi membulat, perubahan sesungguhnya dalam penjajaran cenderung tetap tinggal, kecuali pada keadaan tertentu saat anak anak saat pertumbuhan epifisis dapat secara sebagian membetulkannya (Salter, 1999).

2.3Kalsium

2.3.1Absorpsi dan Ekskresi Kalsium

Kalsium mengalami absorpsi di usus dan diekskresikan melalui feces dan juga oleh ginjal. Pada umumnya, ion kalsium tidak dapat diserap secara baik di usus. Namun, Vitamin D dapat meningkatkan absorpsi kalsium oleh usus, dan sekitar 35% dari asupan kalsium seseorang akan diserap, dan sisa kalsium yang terdapat dalam usus akan dibuang melalui feces. Tambahan 25% kalsium akan memasuki usus melalui cairan gastrointestinal. Ini mengakibatkan sekitar 90% asupan kalsium akan dibuang melalui feces.

Sekitar 10% asupan kalsium akan dibuang bersama urine. Sekitar 41% kalsium plasma berikatan dengan protein plasma dan tidak difiltrasi oleh glomerulus. Sisanya bergabung dengan anion seperti fosfat (9%) atau terionisasi (50%) dan terfiltrasi melalui glomerulus menuju tubulus ginjal. Biasanya,tubulus ginjal menyerap kembali 99% kalsium yang terfiltrasi, dan sekitar 100 mg/hari akan dibuang bersama urine. Saat konsentrasi kalsium rendah, reabsorpsi ini sangat tinggi, sehingga hampir tidak ada kalsium yang terbuang bersama urine. Begitu juga sebaliknya jika terjadi peningkatan ion kalsium darah sekecil apapun.

2.3.2Pengaruh Vitamin D Terhadap Absorpsi dan Ekskresi Kalsium

Vitamin D memiliki bentuk aktif 1,25-Dihydroxycholecalciferol yang merupakan perubahan bentuk terakhir cholecalciferol (bentuk tidak aktif yang terdapat di kulit) yang berubah menjadi 25-Hydroxycholecalciferol di hati, yang kemudian baru menjadi bentuk aktif setelah dirubah di ginjal dengan bantuan kontrol aktifasi dari hormon paratiroid dan inhibisi dari ion kalsium plasma.

1,25-Dihydroxycholecalciferol berfungsi seperti hormon untuk meningkatkan absorpsi kalsium oleh usus. Ini dilakukan dengan cara meningkatkan, melalui periode 2 hari, pembentukan dari calcium-binding protein dalam sel epitel usus. Kadar absorpsi kalsium ini berbanding lurus dengan jumlah dari calcium-binding protein tersebut. Protein ini mampu bertahan di dalam sel hingga beberapa minggu setelah 1,25-Dihydroxycholecalciferol terbuang dari tubuh, sehingga menyebabkan efek lebih panjang terhadap penyerapan kalsium.

2.3.3Mekanisme Kalsifikasi Tulang

Tahap pertama dalam produksi tulang adalah sekresi dari molekul kolagen (monomer kolagen) dan ground substance (terutama proteoglycans) oleh osteoblast. Monomer kolagen berpolimerisasi dengan cepat untuk menghasilkan serat kolagen, jaringan resultantenya menjadi osteoid, sebuah materi seperti tulang rawan yang berbeda dari tulang rawan biasa dari adanya garam kalsium yang mengendap di dalamnya. Seiring terbentuknya osteoid, sejumlah osteoblast terperangkap di dalam osteoid dan menjadi tidak aktif. Pada tahap ini mereka disebut osteosit.

Dalam beberapa hari setelah terbetuknya osteoid tersebut, garam kalsium mulai mengendap pada permukaan serat kolagen. Endapan tersebut awalnya mucul dalam interval sepanjang tiap serat kolagen, membentuk sarang kecil yang dengan cepat memperbanyak dan berkembang dalam hitungan hari dan minggu menjadi produk akhirnya, kristal hydroxyapatite.

Garam kalsium awal yang disimpan bukanlah kristal hydroxyapatite namun bahan amorf (nonkristalin), sebuah campuran garam seperti CaHPO4 2H2O,Ca3(PO4)2 3H2O dan lainnya. Lalu melalui substitusi dan penambahan atom, atau reabsorpsi dan pengendapan kembali, garam garam ini berubah menjadi kristal hydroxyapatite setelah hitungan minggu atau bulan. Beberapa persen dapat tinggal secara permanen dalam bentuk amorf. Hal ini cukup penting karena garam amorf tersebut dapat diabsorpsi seketika saat ada kebutuhan tambahan kalsium dalam carian ekstrasel.

Mekanisme yang menyebabkan garam kalsium untuk tersimpan dalan osteoid belum dimengerti sepenuhnya. Sebuah teori menyatakan bahwa disaat terbentuk, serat kolagen terbentuk secara khusus agar menyebabkan pengendapan garam kalsium. Osteoblast lalu diperkirakan mensekresi sebuah zat kedalam osteoid untuk menetralisasi sebuah inhibitor (diyakini merupakan pyrophosphate) yang secara normal mencegah kristalisasi hydroxyapatite. Setelah pyrophosphate tersebut dinetralisasi,afinitas natural dari serat kolagen terhadap garam kalsium menyebabkan pengendapan (Guyton, 2006).

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1Kerangka Konseptual Penelitian

Pada osteoporosis terjadi peningkatan dari absorpsi kembali tulang dan menurunnya pembentukan tulang yang baru. Kedua hal tersebut menyebabkan turunnya masa tulang. Jumlah penurunan masa dari tulang trabekular lebih banyak dibandingkan dengan penurunan masa dari tulang kortikal.

Penurunan dari masa tulang ini menyebabkan menurunnya kekuatan dari tulang secara keseluruhan. Dengan menurunnya kekutan tulang, maka resiko untuk terjadinya patah tulang menjadi meningkat.

Pada kondisi tulang osteoporosis ini, dengan adanya stress yang minimal pada tulang sudah dapat menyebabkan terjadinya patah tulang. Tulang yang mengalami cedera lalu memasuki tahap penyembuhan yang terdiri dari 4 tahap. Pemberian suplemen kalsium diharapkan dapat mempengaruhi secara positif kualitas dari penyembuhan patah tulang tersebut.

3.2Hipotesis

1. Pemberian suplemen kalsium dapat mempercepat waktu dari penyembuhan patah tulang osteoporotik Colles fracture.

2. Pemberian suplemen kalsium dapat meningkatkan kekuatan genggam dari hasil penyembuhan patah tulang osteoporotik Colles fracture.3. Terdapat perbedaan antara pemberian kalsium dengan tanpa pemberian kalsium pada penyembuhan patah tulang osteoporotik Colles fracture.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1Jenis dan Rancangan Penelitian

4.1.1Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat prospektif dengan rancangan penelitian post test only control group design.

4.2.2Rancangan Penelitian

4.2Populasi, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

4.2.1Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah sejumlah pasien di Poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, Rumah Sakit Adi Husada Undaan Wetan, Rumah Sakit Katolik Vincentius Paulo Surabaya dengan patah tulang pergelangan tangan (Colles fracture) osteoporotik yang memenuhi kriteria inklusi di Surabaya.

4.2.2Besar Sampel

Besar sampel ditentukan sesuai dengan banyaknya sampel yang memenuhi kriteria inklusi pada populasi penelitian. Selanjutnya sampel dibagi dalam (1) kelompok kontrol yaitu, kelompok yang hanya mendapat suplemen Vitamin D tanpa mendapat suplemen Kalsium dan, (2) kelompok perlakuan yaitu, kelompok yang mendapat suplemen Vitamin D dan juga suplemen Kalsium.

4.2.3Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini bersifat proposif.

4.2.4Kriteria Sampel

4.2.4.1Kriteria Inklusi

a. Wanita paska menopause (sudah tidak mengalami menstruasi)

b. Mengalami Colles Fracture

c. Mengalami osteoporosis

4.2.4.2Kriteria Eksklusi

a. Menjalani terapi pembedahan

4.3Variabel Penelitian

4.3.1Variabel Bebas

a. Suplemen Kalsium Karbonat

4.3.2Variabel Terikat

a. Waktu Penyembuhan

b. Kekuatan Genggam

4.3.4Variabel Pengganggu

a. Disiplin pasien mengkonsumsi suplemen

4.3.5Variabel Kontrol

a. Suplemen Vitamin D

4.3.6Definisi Operasional Variabel

a. Suplemen Kalsium Karbonat

Suplemen kalsium karbonat ini diberikan dalam dosis 3000mg (setara 1200mg kalsium) secara oral dan dikonsumsi setelah makan. Dosis dibagi menjadi 3 kali, masing masing 1000mg.

b. Waktu Penyembuhan

Merupakan waktu yang dibutuhkan oleh pasien dalam mencapai penyembuhan patah tulang di tahap clinical union (tampak pada pemeriksaan radiografis tampak adanya tulang di dalam callus).

c. Kekuatan Genggam

Merupakan kekuatan genggam (grasping power) dari pasien.

d. Disiplin Pasien Mengkonsumsi Suplemen

Merupakan faktor pengganggu yang dapat mempengaruhi penelitian dikarenakan jika pasien lalai dalam mengkonsumsi suplemen yang diberikan, maka dosis yang diharapkan dapat tidak tercapai, atau absorpsi yang terjadi oleh tubuh tidak maksimal, sehingga hasil yang didapatkan dapat menyimpang.

e. Suplemen Vitamin D

Suplemen Vitamin D diberikan sebanyak 1400 IU (35g) dikonsumsi dengan cara yang sama seperti pemberian suplemen Kalsium Karbonat yang disebutkan di atas.

4.4Lokasi dan Waktu Penelitian

4.4.1Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, Rumah Sakit Adi Husada Undaan Wetan, Rumah Sakit Katolik Vincentius Paulo Surabaya.

4.4.2Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan mulai dari saat proposal penelitian ini disetujui, hingga batas akhir pengumpulan laporan hasil penelitian yang ditetapkan oleh PBL.

4.5Prosedur Pengumpulan Data

4.5.1Tahap Perizinan

Melakukan permohonan izin melalui Bagian PBL FK UNAIR untuk agar diberi surat pengentar penelitian untuk melakukan pengumpulan data dan mengajukan pada Rumah Sakit lokasi penelitian.

4.5.2Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan dengan menyesuaikan pada kriteria inklusi dan kriteria ekskluasi sebagaimana telah disebutkan diatas. Penyesuaian dilakukan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

4.5.3Pengambilan Data

Pengambilan data diawali dengan membagi sampel ke dalam 2 kelompok, yaitu:

a. Kelompok Kontrol

Merupakan kelompok yang tidak diberikan perlakuan, yaitu pemberian Suplemen Kalsium, hanya mendapatkan Vitamin D.

b. Kelompok Perlakuan

Merupakan kelompok yang diberikan perlakuan, yaitu Suplemen Kalsium, dengan tetap mendapatkan Vitamin D.

Lalu dilakukan pencatatan data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi variabel yang akan diamati dengan mengisi LPD (Lembar Pengumpulan Data).

4.6Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang sudah diperoleh akan diolah dan dianalisis menggunakan menggunakan program SPSS untuk menilai perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Ettinger, Mark P.. 2005. Aging Bone and Osteoporosis; Strategies for Preventing Fractures in the Elderly. Arch Intern Med, no 163 (Oct 13): 2237-2246. http://www.archinternmed.com (accessed November 25, 2007).

Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Inc.

Hitz, Mette F., et al.. 2007. Bone mineral density and bone markers in patients with a recent low-energy fracture: effect of 1 y of treatment with calcium and vitamin D. American Journal of Clinical Nutrition, no 86 (March 5): 251-9. http://www.acjn.org (accessed July 29, 2009).

International Osteoporosis Foundation. (2008). Osteoporosis Fact Sheet. Switzerland: International Osteoporosis Foundation.

Mullins, Veronica A.. 2004. Calcium Supplement Guidelines. Arizona: The University of Arizona Cooperative Extension. http://ag.arizona.edu/pubs/health/az1042.pdf (accessed July 3, 2009)

Nograhany, Widhi K.. 2007. 22-55% Wanita Lansia Indonesia Terkena Osteoporosis. detikNews, November 2, Web Edition. http://www.detiknews.com/read/2007/11/02/060358/847660/10/22-55-wanita-lansia-indonesia-terkena-osteoporosis (accessed July 29, 2009).

Salter, Robert B.. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System. 3rd ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.

Silman, A. J.. 2003. Risk factors for Colles fracture in men and women: results from the European Prospective Osteoporosis Study. Osteoporosis International, no 14 (April 10): 213-18. http://www.proquest.com (accessed July 17, 2009).

Simon, Sheldon R. (ed.). 1994. Orthopaedic Basic Science. Columbus, OH: American Academy of Orthopaedic Surgeons

Solomon, L., David Warwick, and Selvadurai Nayagam. 2001. Apleys System of Orthopaedics and Fractures. 8th ed. London: Arnold.

Wheeless, Clifford R.. 2009. Duke Orthopaedics presents Wheeless Textbook of Orthopaedics. http://www.wheelessonline.com (accessed July 27, 2009)

Masa Tulang

Tulang Trabekular

Hard Callus

Kekuatan Tulang

Tulang kortikal

Inflamasi

Suplemen Kalsium

Kekuatan Genggam

Waktu Penyembuhan

Patah Tulang

Sampel

Bandingkan

Resiko Patah Tulang

Resorpsi Tulang

Kelompok Perlakuan

(Vitamin D + Kalsium)

Remodelling

Soft callus

Pembentukan Tulang

Osteoporosis

Stress Minimal

Populasi Penelitian

Kelompok Kontrol

(Vitamin D)

Proses Penyembuhan

Kualitas Penyembuhan

11