pengaruh ekstrak daun sirih (piper betle) terhadap ...repositori.uin-alauddin.ac.id/9529/1/fifi...

79
1 PENGARUH EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle) TERHADAP PERTUMBUHAN Colletotrichum capsici PADA BUAH CABAI MERAH (Capsicum annum L.) ASAL DESA MANIMBAHOI KABUPATEN GOWA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi pada Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar Oleh: FIFI DISMAYANTI INDRIANI NAINU NIM. 60300111011 FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2015

Upload: hoangkhanh

Post on 30-Apr-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

PENGARUH EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle) TERHADAP PERTUMBUHAN Colletotrichum capsici PADA BUAH CABAI MERAH (Capsicum annum L.) ASAL DESA MANIMBAHOI

KABUPATEN GOWA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi pada Fakultas Sains dan Teknologi

UIN Alauddin Makassar

Oleh: FIFI DISMAYANTI INDRIANI NAINU

NIM. 60300111011

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2015

2

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fifi Dismayanti Indriani Nainu NIM : 60300111011 Tempat/Tgl. Lahir : Ujung Pandang/07 Desember 1992 Jur/Prodi : Biologi/S1 Fakultas : Sains dan Teknologi Alamat : BTN Asabri Blok C3 No. 17 Judul : Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle) Terhadap Pertumbuhan Colletotrichum capsici Pada Buah Cabai Merah (Capsicum annum L.) Asal Desa Manimbahoi Kabupaten Gowa.

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum. Makassar, Agustus 2015. Penyusun, Fifi Dismayanti Indriani Nainu NIM: 60300111011

3

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul, “Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle) Terhadap Pertumbuhan Colletotrichum capsici Pada Buah Cabai Merah (Capsicum annum L.) Asal Desa Manimbahoi Kabupaten Gowa”, yang disusun oleh Fifi Dismayanti Indriani Nainu, NIM: 60300111011, mahasiswa Jurusan Biologi pada Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar, telah diuji dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Jumat, tanggal 28 Agustus 2015 M, bertepatan dengan 13 Dzulkhaidah 1436 H, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Sains dan Teknologi, Jurusan Biologi (dengan beberapa perbaikan). Makassar, 28 Agustus 2015 M. 13 Dzulkhaidah 1436 H.

DEWAN PENGUJI:

Ketua : Prof. Dr. H.Arifuddin Ahmad, M.Ag. (………….……………….) Sekretaris : Fatmawati Nur, S.Si., M.Si. (.………………………….) Munaqisy I : Eka Sukmawaty, S.Si., M.Si. (.………………………….) Munaqisy II : Ulfa Triyani, S.Si., M.Pd . (.………………………….) Munaqisy IIII : Dr. Burhanuddin Darwis, M.Ag. (.………………………….) Pembimbing I : Dr. Mashuri Masri, S.Si., M.Kes. (......……………………….) Pembimbing II : Hafsan, S.Si., M.Pd. (......……………………….) Diketahui oleh: Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar,

Prof. Dr. H.Arifuddin Ahmad, M.Ag. NIP. 19691205 199303 1 001

4

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt, yang selalu mendengarkan segala pinta penulis

dan yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan bagi penulis sehingga

terselesaikannya skripsi ini.

Shalawat serta salam tercurahkan pada baginda Nabi Muhammad saw yang

akan memberi syafaat kepada umatnya yang taat, Allohumma Sholli’ala Sayyidina

Muhammad Wa’ala Ali Muhammad.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak akan terlepas

dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak sehingga terselesaikannya

skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Musafir Pabbari, M.Si, selaku Rektor Universitas Islam Negeri

(UIN) Alauddin Makassar, yang memberikan dukungan dan kewenangan

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Prof. Dr. Mardan, M.Ag, selaku Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri

(UIN) Alauddin Makassar.

3. Prof. Dr. H. Lomba Sultan, M.A, selaku Wakil Rektor II Universitas Islam

Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

4. Prof. Siti Aisyah, M.A., Ph.D selaku Wakil Rektor III Universitas Islam

Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

5

5. Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

6. Dr. Mashuri Masri, S.Si., M.Kes selaku Ketua Jurusan Biologi dan Dosen

Pembimbing I yang telah sabar memberikan bimbingan, arahan, dan

meluangkan waktu untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini

terselesaikan dengan baik.

7. Hafsan, S.Si., M.Pd selaku Dosen Pembimbing II yang sabar memberikan

bimbingan, arahan, dan telah meluangkan waktu walaupun dalam keadaan

sakit untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini terselesaikan dengan

baik.

8. Eka Sukmawaty, S.Si., M.Si, Ulfa Triyani, S.Si., M.Pd., dan Dr. Burhanuddin

Darwis, M.Ag selaku Penguji yang telah banyak memberikan masukan yang

sangat bermanfaat bagi penelitian dan penulisan skripsi penulis.

9. Baiq Farhatul Wahidah, S.Si., M.Si selaku Sekertaris Jurusan Biologi

Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

10. Fatmawati Nur, S.Si., M.Si dan Dr. Cut Muthiadin, S.Si., M.Kes.

11. Dosen-Dosen Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam

Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang telah banyak memberikan ilmu yang

insyaallah bermanfaat bagi penulis.

12. Kedua orangtua tercinta penulis, Bapak Nainu dan Ibu Zamrud yang tiada

henti-hentinya memberikan do’a, semangat, motivasi, dan nasehat-nasehat

6

dengan penuh keikhlasan, kesabaran serta kasih sayang yang tiada tara

sehingga penulis bisa mengenyah pendidikan setinggi ini.

13. Kedua kakak dan adik yang sangat disayangi oleh penulis, kakak Firzan

Nainu, kakak Nuni Diansari Nainu, dan adik Muh. Zahdil Nazam yang telah

memberi semangat dan do’a serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman-temanku Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Angkatan 2011 terima

kasih untuk semua persahabatannya. Sahabatku Ana, Eka, Fitriani, Fitri, Lilis,

dan Dita terima kasih atas motivasi dan candatawa kalian.

15. Ibu Handayani terima kasih atas waktu luangnya dalam membimbing penulis

dan saran serta nasihatnya.

16. Sahabat kecilku Ririn dan Sari terima kasih banyak untuk do’a dan

dukungannya.

17. Teman-teman JILC (Avoners) Ica dan Ita terima kasih banyak untuk do’a dan

dukungannya.

18. Kak Andri selaku Laboran Lab Farmasi Biologi , Kak Armis selaku Laboran

Lab. Mikrobiologi Farmasi, Ilham serta Tami terima kasih banyak atas

bimbingan dan arahannya di Laboratorium.

19. Kak biah terima kasih banyak atas nasihat dan bimbingannya.

20. Tak lupa pula terima kasih banyak kepada Kak Ririn yang selalu membantu

penulis dan meluangkan waktu dalam hal pengurusan surat.

7

Semoga Allah swt membalas budi baik semua yang penulis telah sebutkan

diatas maupun yang belum sempat ditulis. Akhir kata, meskipun telah bekerja dengan

semaksimal mungkin, skripsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, sebab

kesempurnaan hanya milik Allah swt. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Amin Amin

Amin Yaa Rabbal Alamin....

Makassar, Agustus 2015

Penulis

8

DAFTAR ISI

JUDUL …………………………….…………………………………..… i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ……………………..………..… ii PENGESAHAN ……………………..…………………………………… iii KATA PENGANTAR …………………………………………………… iv DAFTAR ISI …………………………………………………………….. viii DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. x DAFTAR ILUSTRASI ………………………………………………….. xi ABSTRAK ………………………………………………………………. xii ABSTRACT ……………………………………………………………… xiii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………. 1-7

A. Latar Belakang …………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah ………………………………….. 5 C. Ruang Lingkup Penelitian ……………………….…… 5 D. Kajian Pustaka / Penelitian Terdahulu………………. 6 E. Tujuan Penelitian ………………………………….. 7 F. Kegunaan Penelitian ……………………………….... 7

BAB II TINJAUAN TEORITIS ………………………………… 8-35

A. Teori Tentang Variabel Penelitian……………….…... 8 B. Teori-teori yang Relevan dengan Variabel ………….. 29 C. Ayat dan Hadis yang Relevan………………………… 31 D. Hipotesis …………………………………………….. 35 E. Kerangka Pikir…………………………………………. 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………….. 36-44

A. Jenis dan Lokasi Penelitian ……………….…………. 36 B. Variabel Penelitian …………………………………... 37 C. Defenisi Operasional Variabel ………………………. 37 D. Instrumen Penenelitian (Alat dan Bahan) …………….. 37 E. Prosedur Kerja …………………..………………….. 38 F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……………… 44

9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………… 45-55

A. Hasil Penelitian ………………………………………. 45 B. Pembahasan ………………………………………….. 50

BAB V PENUTUP ………………………………………………… 56

A. Kesimpulan ………………………………………….. 56 B. Implikasi Penelitian (Saran) ………………………… 56

KEPUSTAKAAN …………..……………………………………………. 57 LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………. 63 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………………………………………….... 78

10

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kriteria Kekuatan Zona Hambat ...................................................... 42

Tabel 4.1. Diameter Zona Hambat DMSO terhadap

Pertumbuhan Colletotrichum capsici .................................................... 45

Tabel 4.2. Hasil Uji One-Way Anova Pengaruh Berbagai

Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih terhadap Pertumbuhan

Colletotrichum capsici ........................................................................ 48

Tabel 4.3. Hasil Uji LSD Pengaruh Berbagai Konsentrasi

Ekstrak Daun Sirih terhadap Pertumbuhan

Colletotrichum capsici ......................................................................... 49

11

DAFTAR ILUSTRASI

Gambar 2.1. Tanaman Sirih .......................................................................... 8

Gambar 2.2. Tanaman Cabai Merah .............................................................. 14

Gambar 2.3. Penyakit Antraknosa Pada Buah Cabai Merah .......................... 17

Gambar 2.4. Peta Administratif Desa Manimbahoi Kecamatan

Parigi Kabupaten Gowa ............................................................ 30

Gambar 2.5. Lahan Pertanian Cabai di Dusun Lengkese Desa

Manimbahoi ............................................................................... 31

Gambar 3.1. Skema Pengukuran Zona Hambat ............................................. 41

Gambar 3.2. Alur Penelitian ........................................................................... 43

Gambar 4.1. Hasil Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Sirih terhadap

Pertumbuhan Colletotrichum capsici ........................................... 46

Gambar 4.2. Grafik Perbandingan Rata-Rata Diameter Zona

Hambat Ekstrak Daun Sirih terhadap Pertumbuhan

Colletotrichum capsici ............................................................... 47

12

ABSTRAK

Nama : Fifi Dismayanti Indriani Nainu NIM : 60300111011 Judul Skripsi : Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle) Terhadap Pertumbuhan Colletotrichum capsici Pada Buah Cabai Merah (Capsicum annum L.) Asal Desa Manimbahoi Kabupaten Gowa.

Colletotrichum capsici merupakan salah satu cendawan patogen yang sering

menyerang tanaman cabai merah pada bagian buah. Banyak tanaman yang telah diketahui mempunyai aktivitas antifungi sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif terhadap penyakit yang disebabkan Colletotrichum capsici. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun sirih dengan berbagai konsentrasi dan mengetahui konsentrasi yang baik untuk menghambat pertumbuhan Colletotrichum capsici buah cabai merah. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sirih kering yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 96%, sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak daun sirih dari hasil ekstraksi kemudian diujikan untuk aktivitas antifungi pada Colletotrichum capsici buah cabai merah dengan menggunakan metode difusi Kirby-Baeur dan konsentrasi yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%, serta Dimethilsulfoksida (DMSO) sebagai pembanding. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ekstrak daun sirih dapat menghambat pertumbuhan Colletotrichum capsici buah cabai merah. Konsentrasi yang baik dalam menghambat pertumbuhan Colletotrichum capsici buah cabai merah adalah 20%, dengan rata-rata diameter pertumbuhan cendawan patogen 0,84 mm. Kata kunci : Colletotrichum capsici, Cabai merah, Antifungi, Ekstrak daun sirih.

13

ABSTRACT

Name : Fifi Dismayanti Indriani Nainu NIM : 60300111011 Research Title : The effect of Betel (Piper betle) Leaf Extract Against the Colletotrichum capsici of Red Chillies (Capsicum annum L.) Originated From Manimbahoi Vilage of Gowa Regency.

Colletotrichum capsici is a fungal pathogent that frequently attacks the red

chillies crop on the fruit. Many plants that have been known to have antifungal activity so that it can be used as an alternative to the disease caused by Colletotrichum capsici.This study was carried out to examine whether betel leaf extract is pharmacologically active against the Colletotrichum capsici of red chillies (Capsicum annum L.) originated from Manimbahoi Village of Gowa Regency and furthermore to determine its proper antifungal concentration. Using an extraction procedure with 96% ethanol, a viscous extract was prepared from dried betel leaves. A series of extract concentration, 5% to 20% with an increment of 5, was then subjected to the Kirby-Baeur disc diffusion test to examine its antifungal activity against the Colletotrichum capsici of red chillies. From the experiments, it was evident that the antifungal properties of betel leaf extract, demonstrated by an average 0,84 mm diameter of the inhibition zone on the growth of the respective fungi, was suitably achieved at concentration of 20%.

Key word : Colletotrichum capsici, Red chillies, Antifungal, Betel leaf extract.

14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang berpotensi menjadi surga

biodiversitas hortikultura. Dari sekian banyak jenis, salah satu tanaman hortikultura

yang dianggap sebagai komoditas utama adalah cabai merah (Capsicum annuum L.).

Menurut Setiadi (2001: 16-17), kandungan gizi yang dimiliki cabai merah sangat

bervariasi, diantaranya dalam 100 g cabai merah terdiri dari 1 g protein, 0,3 g lemak,

7,3 g karbohidrat, 29 mg kalsium, 24 mg fosfor, 0,5 mg zat besi, 470 mg vitamin A,

0,05 mg vitamin B1, 460 mg vitamin C, air 90,9 g serta 31 kalori. Hal tersebut

mendorong masyarakat untuk memanfaatkan cabai merah dalam berbagai aspek

kehidupan, mulai dari fungsinya sebagai bumbu dapur dan penyedap makanan hingga

dalam pembuatan produk-produk olahan industri dan pengobatan (Ali et al., 2012).

Kebutuhan masyarakat Indonesia akan cabai merah terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini tampaknya sejalan dengan laju pertambahan

jumlah penduduk serta semakin berkembangnya serapan dari sektor industri yang

menggunakan cabai sebagai bahan baku (Ratulangi et al., 2012). Di lingkup yang

lebih sempit, tingkat kebutuhan masyarakat Sulawesi Selatan akan cabai merah juga

relatif tinggi. Dengan asumsi tingkat kebutuhan yang sama di tiap daerah, apabila

15

jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta, berarti per tahunnya dibutuhkan

sebanyak 750.000 ton (Warisno, 2010: 2).

Pada tahun 2009 produksi cabai merah di Indonesia mencapai 7,04 ton/ha,

sedangkan pada tahun 2010 produksi cabai merah di Indonesia mencapai 3,83 ton/ha

(BPS, 2011). Tampaknya, kebutuhan masyarakat yang tinggi terhadap cabai merah

tidak dapat diimbangi oleh kemampuan produksi nasional sehingga akhirnya memicu

impor berkelanjutan, dan pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga cabai merah.

Tanaman cabai merah dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di dataran

tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya para petani yang mengusahakan

menanam cabai merah secara komersial di dataran rendah maupun di dataran tinggi.

Karena semakin banyak petani yang menanam cabai merah menunjukkan bahwa

pengusahaan tanaman cabai merah cukup menguntungkan (Liestiany et al., 2012).

Penurunan produksi cabai merah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah

satunya adalah adanya serangan jasad pengganggu tanaman seperti patogen. Patogen

dapat menyebabkan penyakit pada tanaman cabai merah yang mengakibatkan

produksi buah cabai merah mengalami penurunan. Salah satu patogen penyebab

penyakit yang umum terdapat pada tanaman cabai merah adalah cendawan

Colletotrichum capsici (Ali et al., 2012). Menurut laporan Balai Penelitian

Hortikultura Lembang (2002) dan Duriat dan Sudorwahadi (1995) dalam Yani (2003),

produksi cabai merah dapat mencapai penurunan 14-100% akibat penyakit yang

disebabkan oleh Colletotrichum capsici pada penanaman musim hujan.

16

Siswadi (2007), juga melaporkan bahwa penurunan produksi buah cabai

merah dapat terjadi hingga 100% bila pengendalian Colletotrichum capsici kurang

tepat, khususnya pada musim hujan. Colletotrichum capsici dapat ditemukan baik

pada buah yang masih muda maupun buah yang telah masak di lapangan. Apabila

kondisi lingkungan mendukung, Colletotrichum capsici dapat terus berkembang

selama pengangkutan dan penyimpanan (pasca panen) pada buah muda dan buah siap

panen. Berkembangnya Colletotrichum capsici tersebut dapat merugikan hasil buah

cabai merah selama pasca panen, sehingga diperlukan suatu tindakan pengendalian

pasca panen yang efektif dan aman untuk menekan kerugian hasil pasca panen.

Saat ini penggunaan pestisida kimia sintetik banyak digunakan untuk

mengendalikan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah. Selama beberapa

tahun penggunaan pestisida kimia sintetik dianggap sebagai pilihan utama karena

mampu mengendalikan Colletotrichum capsici secara cepat dan praktis. Namun,

pemakaian pestisida kimia sintetik memiliki beberapa dampak negatif terhadap

lingkungan maupun manusia bila digunakan secara tidak bijaksana. Adanya dampak

negatif yang ditimbulkan oleh pestisida kimia sintetik telah mendorong para peneliti

untuk mencari bahan pestisida alternatif yang lebih ramah lingkungan. Penelitian-

penelitian mengenai pestisida yang berbahan dasar tanaman belakangan ini telah

banyak dilakukan secara intensif. Ekstrak tanaman dapat menjadi bahan pestisida

alternatif untuk mengendalikan Colletotrichum capsici. Hal ini dikarenakan ekstrak

tanaman mengandung bahan-bahan bioaktif yang sangat tinggi serta penggunaan

17

pestisida dari ekstrak tanaman juga dapat menjaga keseimbangan lingkungan

(Kardinan, 2002: 6-7).

Salah satu tanaman yang berpotensi dijadikan pestisida alternatif adalah sirih

(Piper betle). Sirih banyak digunakan sebagai antimikroba terhadap bakteri patogen

pada manusia seperti menahan pendarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan

gangguan pencernaan. Sirih merupakan tanaman yang memiliki senyawa metabolit

sekunder yang berpotensi untuk dijadikan biofungisida. Hal tersebut ditunjang oleh

hasil penelitian Gunawan et al (2007), mengenai aplikasi ekstrak daun sirih yang

secara nyata dapat menghambat perkembangan Colletotrichum capsici. Kandungan

kimia yang terdapat pada sirih adalah minyak atsiri, karoten, tiamin, riboflavin, asam

nikotinat, vitamin C, tanin, gula, pati dan asam amino (Achmad et al, 2009).

Penggunaan sirih sebagai antifungi terhadap Colletotrichum capsici pada

tanaman belum banyak dilakukan, maka peneliti mencoba menggunakan ekstrak daun

sirih sebagai antifungi dalam menekan pertumbuhan Colletotrichum capsici.

Berdasarkan paparan tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh

ekstrak daun sirih dengan berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan Colletotrichum

capsici pada buah cabai merah.

18

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah di kemukakan, adapun masalah

yang akan dikaji pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh ekstrak daun sirih dengan berbagai konsentrasi terhadap

pertumbuhan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah?

2. Pada konsentrasi berapakah yang dapat memberikan penghambatan yang baik

terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup penelitian yang dilakukan yaitu:

1. Sampel buah cabai merah diambil dari lahan pertanian di Desa Manimbahoi

Kabupaten Gowa.

2. Ekstrak tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sirih dengan

konsentrasi 5%; 10%; 15%; dan 20%.

3. Colletotrichum capsici yang digunakan adalah isolat murni yang ditumbuhkan

pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) di Laboratorium Penyakit Tumbuhan

Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

4. Parameter yang diukur adalah diameter/zona bening yang terbentuk

5. Pengukuran diameter/zona bening pertumbuhan cendawan patogen menggunakan

jangka sorong dalam satuan milimeter (mm)

19

D. Kajian Pustaka

1. Nurhayati, 2007. Telah melakukan penelitian dengan judul penelitian

Pertumbuhan Colletotrichum capsici Penyebab Antraknosa Buah Cabai Pada

Berbagai Media yang Mengandung Ekstrak Tanaman di Laboratorium Penyakit

Tumbuhan Jurusan HPT (Hama dan Penyakit Tumbuhan) Universitas Sriwijaya.

Ekstrak tanaman yang digunakan salah satunya adalah daun sirih. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberian ekstrak daun sirih memberikan

hasil yang terbaik dalam hal menekan pertumbuhan diameter koloni.

2. Elly Liestiany et al, 2012. Telah melakuakn penelitian dengan judul penelitian

Pengaruh Pupuk dan Pestisida Organik Terhadap Penyakit Antraknosa

(Colletotricum capsici) Pada Cabai di Kelurahan Sei Besar Kecamatan Banjarbaru.

Dimana pestisida organik yang digunakan sakah satunya adalah ekstrak daun sirih.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pestisida organik mampu menekan intensitas

serangan Colletotricum capsici.

3. Sugiarti, 2008. Telah melakukan penelitian dengan judul penelitian Ekstrak Sirih

(Piper betle) Sebagai Biofungisida dalam Menekan Penyakit Antraknosa pada

Buah Cabai Merah (Capsicum annum) di Laboratorium Mikrobiologi dan

Laboratorium PGSM Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dimana

biofungisida yang digunakan adalah ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 2%, 4%,

6%, dan 8%. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi 4% sudah efektif dalam

menghambat penyakit antraknosa.

20

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh ekstrak daun sirih dengan berbagai konsentrasi terhadap

pertumbuhan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah.

2. Mengetahui konsentrasi yang baik untuk menghambat pertumbuhan

Colletotrichum capsici buah cabai merah.

F. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat diantaranya:

1. Sebagai alternatif untuk mengurangi penggunaan pestisida.

2. Memberikan informasi yang penting bagi masyarakat umumnya petani dan

peneliti khususnya tentang efektivitas ekstrak daun sirih dalam menekan

pertumbuhan Colletotrichum capsici.

3. Sebagai bahan rujukan dan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya agar dapat

menghasilkan penelitian yang lebih maksimal dan relevan.

21

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Tentang Variabel Bebas

1. Tinjauan Umum Tentang Sirih

Sirih merupakan tanaman yang banyak tumbuh di beberapa bagian India.

Selain di India, sirih juga tumbuh subur di Srilangka, Malaysia, Thailand, Taiwan,

dan beberapa negara di Asia tenggara. Tanaman tersebut dibeberapa negara lain

dikenal dengan berbagai macam nama diantaranya betel (di Inggris), paan (di India),

phlu (di Thailand) dan sirih (di Indonesia) (Datta, 2011).

Tanaman sirih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai macam

nama yakni Suruh, Seda (Jawa); Seureh (Sunda); Base (Bali); Donile, Parigi

(Sulawesi); dan Bido, Gies (Maluku) (Utami, 2008: 227).

Gambar 2.1 Tanaman Sirih (Piper betle)

22

Tanaman ini dapat diperbanyak dengan menggunakan stek sulur, yaitu stek

yang diambil dari sulur yang tumbuh di bagian ujung atas yang panjangnya 40-50 cm.

Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik diperlukan yang kaya akan humus, subur,

dan pengairan yang baik (Heyne, 2006: 95).

Sirih merupakan tanaman perdu yang tumbuh merambat dengan panjang

mencapai puluhan meter. Batang berkayu, berbentuk bulat, berbuku-buku, beralur,

dan berwarna hijau kecoklatan. Daun tunggal, berbentuk pipih menyerupai jantung,

tangkai agak panjang, permukaan licin, pertulangan menyirip, dan berwana hijau tua.

Bunga majemuk dengan bulir, berbentuk bulat panjang, panjang daun pelindung 1

mm, bulir jantan pangjangnya 1,5-3 cm, benang sari dua dan pendek, bulir betina

panjangnya 1,5-6 cm, kepala putik tiga sampai lima dan berwarna putih, dan warna

bunga hijau kekuningan. Buah buni, berbentuk bulat, dan berwarna hijau keabuan

(Utami, 2008: 227).

Menurut Abdullah (2009), klasifikasi dari sirih adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae

Genus : Piper

Spesies : Piper betle.

23

Menurut Moeljanto (2003: 9-10 dalam Saraswati, 2011), tanaman sirih

mengandung minyak yang disebut minyak atsiri. Kandungan terbesar minyak atsiri

ini adalah kavikol dan betlephenol serta tanin. Kavikol dan betlephenol menyebabkan

daun sirih mempunyai aroma dan rasa yang khas, sedap, pedas, tajam dan

merangsang. Dari hasil penelitian, ternyata sepertiga minyak atsiri terdiri dari phenol

dan sebagian besar kavikol. Kedua zat tersebut merupakan kandungan terbesar

minyak atsiri yang ada dalam daun sirih. Adanya kandungan pada daun sirih tersebut

memungkinkan daun sirih memiliki kemampuan antiseptik, antioksida, dan fungisida.

Tanaman sirih dapat digunakan untuk obat sakit kulit, obat bisul, hidung

berdarah, radang selaput lender mata, trachoma, keputihan, gigi goyah, gusi bengkak,

radang tenggorokan, encok, jantung berdebar-debar, kepala pusing, terlalu banyak

keluar ASI, batuk kering, demam nifas, dan sariawan. Getahnya dapat juga digunakan

untuk menghentikan gusi berdarah, sakit gigi, dan mengurangi produksi ASI yang

berlebihan (Burt, 2004: 223-253).

Selain kegunaan sirih seperti yang telah disebutkan, sirih juga banyak

digunakan sebagai penyegar mulut oleh masyarakat India dan beberapa masyarakat di

Asia. Sirih digunakan sebagai penyegar mulut karena memiliki aroma yang khas dan

rasa yang kuat. Selain itu, sirih juga telah banyak digunakan dalam bidang kedokteran

dan kesehatan seperti di India yang dalam pengobatan menggunakan sirih sebagai

antiseptik (Datta et al, 2011).

24

2. Tinjauan Umum Tentang Ekstraksi

Ekstraksi berasal dari bahasa Latin extractio atau extrahere yang berarti

menarik keluar. Senyawa aktif ditarik keluar dari sel tumbuhan oleh pelarut organik

dengan cara penyarian, diperas (dipres) atau distilasi. Bahan baku alami berupa

tumbuhan susunannya komplek dan tidak tunggal. Bahan berkhasiatnya biasa ada

yang larut dalam satu pelarut atau lebih, sehingga dalam pengerjaannya harus selalu

dipertimbangkan pemilihan pelarut (menstruum) yang tepat (Tim Pengajar, 2013: 7).

Bahan aktif di dalam tanaman antara lain alkaloida, tanin, resin, oleoresin,

minyak lemak, dan minyak atsiri. Harus diperhatikan juga bahwa pada tumbuhan

terkandung senyawa lain yang dapat mengganggu proses ekstraksi bahan berkhasiat

yang diinginkan. Bahan-bahan semacam gula, pati, gom, lendir, albumin, protein,

pektin, lemak, dan selulose mungkin ada yang tidak diperlukan, tetapi tidak jarang

justru bahan-bahan tersebut yang akan disari. Dengan demikian tujuan ekstraksi atau

penyarian adalah menarik keluar bahan yang diperlukan saja, atau apabila bahan

tersebut ikut tersari maka harus dilakukan tahapan berikutnya, yaitu partisi atau

isolasi bahan yang dikehendaki saja (Tim Pengajar, 2013: 7).

Proses pemisahan senyawa dalam simplisia, menggunakan pelarut tertentu

sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan pelarut berdasarkan

kaidah ‘like dissolved like’ artinya suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut

polar. Pelarut yang digunakan adalah etanol 96%. Etanol digunakan karena pelarut ini

bersifat antioksidan dan antibakteri sehingga ketika diaplikasikan pada produk

makanan, minuman, serta obat-obatan aman di konsumsi. Selain itu, etanol tidak

25

menyebabkan pembengkakan sel dan memperbaiki stabilitas bahan terlarut.

(Wicaksono, 2013).

Menurut Ditjen POM (1995: 183-184), metode ekstraksi dapat dibedakan

dalam 2 cara, yaitu cara dingin dan cara panas. Termasuk cara dingin yaitu maserasi,

perlokasi dan soksletasi, sedang cara panas, yaitu refluks, infudasi, dan distilasi.

1) Maserasi

Metode maserasi merupakan suatu metode yang sangat sederhana, jadi bagi

yang terampil cara ini cukup memuaskan dibandingkan metode perkolasi. Alat yang

digunakan cukup dengan bejana atau toples kaca atau logam anti karat. Maserasi

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

temperatur ruangan (kamar).

2) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai penyarian

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Pada teknik perkolasi

ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara khusus yang apabila tidak dikerjakan

secara tepat hasilnya dapat menyimpang jauh bahkan sama sekali tidak tersari.

3) Refluks

Metode ini memang tidak termasuk cara resmi, akan tetapi sangat cocok untuk

menyari bahan yang keras seperti kayu (lignum) dan akar (radix), tetapi cara ini tidak

boleh apabila bahan aktifnya mudah menguap atau terurai atau rusak oleh pemanasan.

Refluks tidak ada ketentuan yang baku, berapa lama proses penyarian dilakukan.

Sekali refluks 4-8 jam, itupun tidak selalu menjamin.

26

4) Infudasi

Infudasi berasal dari kata infodere yang berarti menuangi. Cara inipun bukan

metode resmi untuk penyarian seperti maserasi, perkolasi tetapi sama halnya dengan

dekok atau rebusan.

5) Distilasi

Distilasi uap air untuk bahan aktif yang mudah menguap tetapi tidak

bercampur dengan air, maka bahan ini dapat disari dengan uap air.

B. Teori Tentang Variabel Terikat

1. Tinjauan Umum Tentang Cabai

Tanaman cabai pada mulanya diketahui berasal dari Meksiko, dan menyebar di

negara-negara sekitarnya di Amerika Selatan dan Amerika Tengah pada sekitar abad ke-8.

Dari Benua Amerika kemudian menyebar ke benua Eropa diperkirakan pada sekitar abad

ke-15. Kini tanaman cabai sudah menyebar ke berbagai negara tropik terutama di benua

Asia, dan Afrika (Setiadi, 2006: 2-3).

Di Indonesia pengembangan budidaya tanaman cabai mendapat prioritas

perhatian sejak tahun 1961. Jenis ini tersebar di seluruh kepulauan, hal ini karena

hampir sebagian besar penduduk telah memanfaatkannya secara luas baik sebagai

bumbu maupun sayuran (Djarwaningsih, 2005).

27

Gambar 2.2 Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.).

Cabai merah merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di

Indonesia, baik sebagai komoditas yang dikonsumsi di dalam negeri maupun sebagai

komoditas ekspor. Sebagai sayuran, cabai merah selain memiliki nilai gizi yang

cukup tinggi, juga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatannya sebagai bumbu

masak atau sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan

membuat cabai merah semakin menarik untuk diusahakan (Sumarni, 2005: 4).

a) Morfologi

Tanaman ini berbentuk perdu yang tingginya mencapai mencapa 1,5–2 m dan

lebar tajuk tanaman dapat mencapai 1,2 m. Daun cabai pada umumnya berwarna

hijau cerah pada saat muda dan akan berubah menjadi hijau gelap pada saat bila daun

sudah tua. Daun cabai ditopang oleh tangkai daun yang menyupai tulang menyirip.

Bentuk daun umumnya bulat telur, lonjong, dan oval dengan ujung runcing,

tergantung pada jenis dan varietasnya. Bunga cabai berbentuk terompet, sama dengan

bentuk bunga keluarga solanaceae lainnya. Bunga cabai merupakan bunga sempurna

dan berwarna putih. Buahnya bulat sampai bulat panjang, berwarna hijau saat masih

28

muda dan berwarna merah pada saat sudah tua. Ada dua spesies cabai yang terkenal

yaitu cabai besar atau cabai merah dan cabai kecil atau cabai rawit. Cabai yang

termasuk ke dalam cabai besar atau cabai merah adalah paprika, cabai manis, dan

lain-lain. Dan cabai yang termasuk ke dalam golongan cabai kecil adalah cabai rawit,

cabai kancing, cabai udel, dan cabai yang biasanya dipelihara sebagai tanaman hias.

Pada umumnya cabai kecil ini lebih panjang umurnya, lebih tahan terhadap hujan,

dan rasanya lebih pedas. Bijinya kecil, bulat pipih seperti ginjal yang warnanya

kuning kecoklatan (Girsang, 2008).

b) Klasifikasi

Menurut Girsang (2008), tanaman ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliapsida

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annum L.

c) Syarat Tumbuh dan Penanaman

Cabai merah dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran tinggi,

pada lahan sawah atau tegalan dengan ketinggian 0-1000 m dpl. Tanah yang baik

untuk pertanaman cabai merah adalah yang bertekstur remah atau gembur, subur,

banyak mengandung bahan organik, pH tanah antara 6-7. Waktu tanam yang baik

29

juga tergantung jenis lahan, pada lahan kering pada awal musim hujan, pada lahan

sawah pada akhir musim hujan (Maret-April) (Wardani, 2008: 1-6).

Waktu penanaman cabai merah juga dapat dilakukan antara bulan April–Mei

untuk periode tanam pertama dan antara bulan September–Oktober untuk periode

kedua. Waktu penanaman tersebut berlaku untuk musim tanam di dataran tinggi

(Wardani, 2008: 1-6).

Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai merah adalah 25-27

oC pada siang hari dan 18-20

oC pada malam hari. Suhu malam di bawah 16

oC dan

suhu siang hari di atas 32 oC dapat menggagalkan pembuahan (Moekasan, 2011: 3).

d) Prospek dan Manfaat Buah Cabai Merah

Indonesia menempati posisi keempat di dunia sebagai produsen cabai dengan

jumlah produksi 1.332.360 ton per tahun. Produksi cabai di pulau-pulau utama di

Indonesia yang berkontribusi pada produksi nasional tertinggi ada di Jawa, disusul

Sumatra, Bali, NTT, Sulawesi, dan Kalimantan (Supriyanti, 2013).

Cabai banyak di budidayakan hampir di seluruh bagian Indonesia.

Keunggulan membudidayakan cabai yaitu memiliki nilai ekonomi tinggi, memiliki

pemasaran luas, dapat dijual dalam beberapa produk (cabai segar dan cabai bubuk),

dapat di tanam dalam berbagai lahan (sawah, tegalan, dan pot/polibag), dapat di

tanam pada berbagai musim, dan dapat di tanam pada berbagai lingkungan (dataran

tinggi, dataran rendah, lahan pasir pantai) (Supriyanti, 2013).

30

Harga cabai di Indonesia biasanya kurang stabil, hal tersebut dipengaruhi oleh

pola konsumsi, produksi, distribusi, dan kebijakan pemerintah. Sebagian masyarakat

mengonsumsi cabai dalam keadaan segar sebanyak 70%, sisanya 30% dimanfaatkan

untuk industri. Areal produksi yang tidak merata dan adanya serangan organisme

pengganggu tanaman pada musim kemarau (hama) dan penyakit yang disebabkan

salah satunya oleh cendawan pada musim hujan dapat mengurangi produksi cabai

sehingga mempengaruhi harga cabai di pasaran (Supriyanti, 2013).

e) Penyakit pada Tanaman Buah Cabai Merah

Penyakit adalah salah satu faktor yang dapat menggagalkan budidaya cabai

merah. Pada buah cabai merah penyakit yang sering kali dijumpai adalah penyakit

antraknosa atau biasa juga disebut dengan penyakit patek (Moekasan, 2011: 17).

Gambar 2.3 Penyakit antraknosa pada buah cabai merah (Capsicum annum L.)

31

Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan jenis Colletotrichum sp, salah

satu jenisnya adalah Colletotrichum capsici. Cendawan ini termasuk ke dalam kelas

Pyrenomycetes. Menurut Sulastri (2014) klasifikasi dari Colletotrichum capsici

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Ascomycotina

Kelas : Pyrenomycetes

Ordo : Sphaeriales

Famili : Polystigmataceae

Genus : Colletotrichum

Spesies : Colletotrichum capsici.

Cendawan pada buah masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji,

sehingga dapat menginfeksi persemaian yang tumbuh dari benih yang sakit.

Cendawan dapat bertahan dalam sisa-sisa tanaman yang sakit. Pada musim kemarau

pada lahan yang berdrainase baik, perkembangan penyakit agak berkurang.

Perkembangan lebih cepat pada buah yang lebih tua, sedangkan pada buah mudah

lebih cepat gugur akibat infeksi. Gejalah serangan awal berupa bercak coklat

kehitaman pada permukaan buah, kemudian menjadi busuk lunak. Ekspansi bercak

yang maksimal membentuk lekukan dengan warna merah tua ke coklat muda dengan

berbagai bentuk konsentrik dari garis yang berwarna gelap. Bagian tengah bercak

terdapat kumpulan titik-titik hitam yang merupakan kelompok spora konidium.

Serangan berat menyebabkan seluruh buah keriput dan mengering. Warna kulit buah

32

menyerupai jerami padi. Dalam kondisi cuaca panas dan lembab dapat mempercepat

penyebaran penyakit (Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi Hortikultura, 2011:

31).

f) Pengendalian Penyakit pada Buah Cabai Merah

Pengendalian penyakit antraknosa dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu

dengan menanam benih bebas patogen, cabai yang terkena dibuang atau dimusnakan,

dan pemberian fungisida (Nurfalach, 2010).

Selain pengendalian diatas, ada beberapa pengendalian yang juga dapat

dilakukan yakni dengan menggunakan ekstrak berbagai macam tanaman. Penggunaan

ekstrak tanaman sekarang ini lebih banyak dianjurkan oleh para peneliti karena

menggunakan bahan alami. Ekstrak tanaman yang digunakan harus mempunyai

kandungkan kimia yang berfungsi sebagai zat antifungi.

2. Tinjauan Umum Cendawan

Cendawan merupakan jasad eukariot, yang berbentuk benang atau sel tunggal,

multiseluler atau uniseluler. Sel-sel cendawan tidak berklorofil, dinding sel tersusun

dari khitin, dan belum ada diferensiasi jaringan. Cendawan bersifat

khemoorganoheterotrof karena memperoleh energi dari oksidasi senyawa organik.

Cendawan memerlukan oksigen untuk hidupnya (bersifat aerobik). Habitat (tempat

hidup) cendawan terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebas atau bersimbiosis,

tumbuh sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan dan manusia (Sumarsi,

2003: 33).

33

Cendawan terdiri atas massa benang yang bercabang-cabang yang disebut

miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang merupakan benang-benang

tunggal. Badan vegetatif cendawan yang tersusun dari filamen-filamen disebut thallus

(Sumarsi, 2003: 33).

Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam hifa, yaitu hifa fertil dan hifa

vegetatif. Hifa fertil adalah hifa yang dapat membentuk sel-sel reproduksi atau spora-

spora. Apabila hifa tersebut arah pertumbuhannya keluar dari media disebut hifa

udara. Hifa vegetatif adalah hifa yang berfungsi untuk menyerap makanan dari

substrat. Berdasarkan bentuknya dibedakan pula menjadi dua macam hifa, yaitu hifa

tidak bersepta dan hifa bersepta. Hifa yang tidak bersepta merupakan ciri cendawan

yang termasuk Phycomycetes (tingkat rendah). Hifa ini merupakan sel yang

memanjang, bercabang-cabang, terdiri atas sitoplasma dengan banyak inti

(soenositik). Hifa yang bersepta merupakan ciri dari cendawan tingkat tinggi, atau

yang termasuk Eumycetes (Sumarsi, 2003: 33).

Cendawan berkembang biak secara aseksual (vegetatif) maupun seksual

(generatif). Secara aseksual dilakukan dengan cara pembentukan spora dan terjadinya

pemutusan hifa atau miselium. Perkembang biakan secara seksual, dilakukan dengan

pembentukan spora seksual dan peleburan gamet (sel seksual) (Sumarsi, 2003: 34).

34

Menurut Sumarsi (2003: 34-39), cendawan terbagi ke dalam beberapa kelas

yaitu:

a. Acrasiomycetes

Cendawan ini merupakan kelompok cendawan lendir selular, yang hidup

bebas di dalam tanah, biasanya diisolasi dari tanah humus. Ciri-ciri sel cendawan ini

adalah dapat bergerak diatas media padat (pseudopodia), makan dengan cara

fagositosis, misalnya dengan memakan bakteri. Sifatnya yang mirip fungi adalah

adanya stadium badan buah, dan terbentuknya spora. Struktur spora seperti bentuk

kista dari amoeba. Contoh adalah Dictyostelium mucoroides dan D. Discoideum.

b. Myxomycetes

Cendawan ini merupakan cendawan lendir sejati. cendawan ini dapat

ditemukan pada kayu terombak, guguran daun, kulit kayu, dan kayu. Contoh adalah

Lycogala epidendron, Cribraria rufa , dan Fuligo septica.

c. Phycomycetes

Cendawan ini termasuk cendawan benang yang mempunyai hifa tidak

bersepta, sel vegetatif multinukleat, atau disebut thalus soenositik. Contoh cendawan

yang termasuk klas Oomycetes adalah Saprolegnia sp (cendawan air). dan cendawan

patogen seperti Phytophthora infestans (penyebab penyakit potato blight),

Plasmopora viticola (penyebab penyakit embun tepung pada tanaman) yang termasuk

Zygomycetes ada 3 order, yaitu Mucorales, Entomophthorales, dan 37 Zoopagales.

Jenis yang penting dari kelompok Mucorales adalah Mucor sp dan Rhizopus sp.

35

Rhizopus nigricans adalah jamur roti, R. oryzae, R. olygosporus, dan R. stolonifer

biasa digunakan pada fermentasi tempe.

d. Ascomycetes

Ciri cendawan ini mempunyai hifa bersepta, dan dapat membentuk

konidiofor. Contoh yang penting adalah genus Aspergillus dan Penicillium. Jenis ini

umumnya dapat menghasilkan pigmen hitam, coklat, merah, dan hijau.

e. Basiodiomycetes

Ciri khusus yaitu mempunyai basidium yang berbentuk seperti gada, tidak

bersekat, dan mengandung 4 basidiospora di ujungnya. Contohnya adalah Pleurotus

sp (Jamur Tiram), Cyantus sp, dan khamir Sporobolomyces sp.

f. Deuteromycetes

Ciri khusus yaitu tidak mempunyai bentuk (fase) seksual dimasukkan ke

dalam kelas Deuteromycetes. Contoh kelas ini adalah beberapa spesies Aspergillus,

Penicillium, dan Monilia.

3. Teknik Biakan Murni

Menurut Waluyo (2008: 180-182), di alam bebas tidak ada mikroorganisme

yang hidup tersendiri terlepas dari spesies yang lain. Seringkali mikroorganisme

patogen kedapatan secara bersama-sama dengan mikroorganisme saproba. Dalam

teknik biakan murni tidak saja diperlukan bagaimana memperoleh suatu biakan

murni, tetapi juga bagaimana memelihara serta mencegah pencemaran dari luar.

Medium untuk membiakkan mikroorganisme haruslah steril sebelum digunakan.

Pencemaran (kontaminasi) dari luar terutama dari udara yang mengandung banyak

36

mikroorganisme. Teknik biakan murni untuk suatu spesies dikenal dengan beberapa

cara yaitu sebagai berikut:

a. Cara Pengenceran

Cara ini pertama kali dilakukan oleh Lister pada tahun 1865. Caranya adalah

dengan mengencerkan suatu suspensi yang berupa campuran bermacam-macam

spesies kemudian diencerkan dalam suatu tabung tersendiri. Dari pengenceran ini

kemudian diambil 1 ml untuk diencerkan lagi. Kalau perlu, dari enceran yang kedua

ini diambil 1 ml untuk diencerkan lebih laanjut.

Langkah selanjutnya adalah dari pengenceran yang ketiga di atas, diambil 0,1

ml untuk disebarkan pada suatu medium padat, kemungkinan besar kita akan

mendapatkan beberapa koloni tumbuh dalam suatu medium tersebut, tetapi mungkin

juga kita memperoleh satu koloni saja. Dalam hal demikian, kita telah memperoleh

satu koloni murni saja, dan selanjutnya spesies ini dapat kita jadikan biakan murni.

Prinsip melakukan pengenceran adalah menurunkan mikroorganisme sehingga suatu

saat hanya ditemukan satu sel dalam satu tabung.

b. Cara Penuangan

Metode ini pertama kali dilakukan oleh Robert Koch. Cara penuangan atau

yang sekarang lebih dikenal dengan teknik agar tuang mempunyai prinsip yang sama

dengan pengenceran. Pada cara agar tuang, dilakukan dengan mengambil sedikit

sampel campuran spesies yang sudah diencerkan, dan sampel itu kemudian

disebarkan dalam satu medium.

37

c. Cara Penyebaran (Agar sebar)

Pengenceran sampel sama seperti pada cara penuangan, dengan memipet

sebanyak 0,1 ml cairan dari botol pengencer dan biakan cairan mengalir ke atas

permukaan agar. Pada teknik ini sterilisasi penyebar dilakukan dengan mencelupkan

ke dalam alkohol dan kemudian dipanaskan sehingga alkohol terbakar habis.

Penyebar didinginkan dahulu sebelum digunakan untuk menyebarkan cairan sampel

pada permukaan agar. Penyebaran cairan dilakukan dengan memutar agar lempengan

tersebut.

4. Metode Pengujian Mikroorganisme

Pada uji ini, yang akan dilakukan adalah respon pertumbuhan mikroorganisme

terhadap agen antimikroba. Salah satu dari uji antimikroba adalah diperolehnya satu

sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Penentuan setiap kepekaan

mikroorganisme terhadap suatu zat antimikroba dengan menentukan kadar zat

antimikroba terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme secara in

vitro (Prayoga, 2013: 21).

Ada beberapa cara pengujian mikroorganisme yang sering dilakukan adalah

sebagai berikut:

a. Metode Difusi

Pada metode ini, penentuan aktivitas didasarkan pada kemampuan difusi dari

zat antimikroba dalam lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan

mikroorganisme uji. Hasil pengamatan yang akan diperoleh berupa ada atau tidaknya

38

zona hambat atau zona bening yang akan terbentuk disekeliling zat antimikroba pada

waktu tertentu masa inkubasi (Brook, 2007: 224).

Pada Metode difusi ada 3 cara yang sering dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Cara Cakram (disk)

Cara ini yang paling sering dilakukan untuk menentukan kepekaan

mikroorganisme terhadap berbagai macam zat antimikroba. Pada cara ini, digunakan

suatu cakram kertas saring (paper disk) yang berfungsi sebagai tempat menampung

zat antimikroba. Paper disk tersebut kemudian diletakkan pada lempeng agar yang

telah diinokulasikan mikroorganisme uji, kemudian diinkubasi pada waktu tertentu

dan suhu tertentu, sesuai dengan kondisi optimum dari mikroorganisme uji. Hasil

pengamatan yang diperoleh berupa ada atau tidaknya daerah bening yang terbentuk

disekeliling paper disc yang menunjukkan zona hambat atau zona bening pada

pertumbuhan mikroorganisme. Metode paper disk ini memiliki kelebihan yaitu

mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus, dan relatif murah (Pelczar,

1988: 535).

2) Cara Parit (ditch)

Suatu lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan mikroorganisme uji

dibuat sebidang parit. Parit tersebut berisi zat antimikroba, kemudian diinkubasi pada

waktu dan suhu optimum yang sesuai dengan mikroorganisme uji. Hasil pengamatan

yang akan diperoleh berupa ada atau tidaknya zona hambat yang akan terbentuk di

sekitar parit (Bonang, 1992: 239-244).

39

3) Cara Sumuran (hole/cup)

Pada lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan mikroorganisme uji

dibuat suatu lubang yang selanjutnya diisi dengan zat antimikroba uji. Kemudian

setiap lubang itu diisi dengan zat uji. Setelah itu diinkubasi pada suhu dan waktu

yang sesuai dengan mikroorganisme uji. Hasil pengamatan yang akan diperoleh

berupa ada atau tidaknya zona hambat yang akan terbentuk di sekitar lubang

(Bonang, 1992: 239-244).

b. Metode Dilusi

Pada metode ini dilakukan dengan mencampurkan zat antimikroba dan media

agar, yang kemudian diinokulasikan dengan mikroorganisme uji. Hasil pengamatan

yang akan diperoleh berupa tumbuh atau tidaknya di dalam media. Aktivitas zat

antimikroba ditentukan dengan melihat konsentrasi hambat minimum (KHM) yang

merupakan konsentrasi terkecil dari zat antimikroba uji yang masih memberikan efek

penghambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme uji. Metode terdiri atas dua

cara yaitu pengenceran serial dalam tabung dan penipisan lempeng agar (Pratiwi,

2008: 22).

c. Metode Difusi-Dilusi

E-test atau biasa yang disebut juga dengan tes epsilometer adalah metode tes

di mana huruf “E” dalam nama E-test menunjukkan simbol epsilon. E-test merupakan

metode kuantitatif untuk uji antimikroba. Metode ini termasuk gabungan antara

metode dilusi dari antimikroba dan metode difusi antimikroba ke dalam media.

Metode ini dilakukan dengan menggunakan strip plastic yang sudah mengandung zat

40

antimikroba dengan konsentrasi terendah sampai konsentrasi tertinggi diletakkan

pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Hambatan pertumbuhan

mikroorganisme bisa diamati dengan adanya area jernih disekitar strip tersebut

(Pratiwi, 2008: 43).

5. Antifungi

Menurut Pelczar (1988: 487), antifungi adalah suatu bahan yang dapat

mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan

tersebut merupakan suatu usaha untuk mengendalikan mikroorganisme, yaitu segala

kegiatan yang dapat menghambat, membasmi, atau menyingkirkan mikroorganisme.

Tujuan utama pengendalian mikroorganisme untuk mencegah penyebaran penyakit

dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah

pembusukan dan perusakan oleh mikroorganisme. Ada beberapa hal yang harus

dipenuhi oleh suatu bahan antifungi, seperti:

a. mampu mematikan mikroorganisme

b. mudah larut dan bersifat stabil

c. tidak bersifat racun bagi manusia dan hewan

d. tidak bergabung dengan bahan organik

e. efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh

f. tidak menimbulkan karat dan warna

g. berkemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap

h. murah dan mudah didapat

41

Antifungi menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara

microbicidal (membunuh mikroorganisme) ataupun microbiostatik (menghambat

pertumbuhan mikroorganisme). Hambatan ini terjadi sebagai akibat gangguan reaksi

yang esensial untuk pertumbuhan. Reaksi tersebut merupakan satu-satunya jalan

untuk mensintesis makromolekul seperti protein atau asam nukleat, sintesis struktur

sel seperti dinding sel atau membran sel dan sebagainya. Antifungi tertentu dapat

menghambat beberapa reaksi, reaksi tersebut ada yang esensial untuk pertumbuhan

dan ada yang kurang esensial (Yusriani, 2015).

Mekanisme antifungi dapat dikelompokkan sebagai gangguan pada membran

sel, gangguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel cendawan, ini adalah

komponen sterol yang sangat penting sangat mudah diserang oleh antibiotik turunan

polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori dan

melalui pori tersebut konstituen essensial sel jamur seperti ion K, fosfat anorganik,

asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat bocor keluar hingga menyebabkan

kematian sel cendawan. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel cendawan,

mekanisme ini merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan

imidazol karena mampu menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma

cendawan dengan cara mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi

membran dalam proses pengangkutan senyawa–senyawa essensial yang dapat

menyebabkan ketidakseimbangan metabolik sehingga menghambat pertumbuhan atau

menimbulkan kematian sel tersebut (Anggriawin, 2012).

42

Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein cendawan, merupakan

mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antifungi terjadi

karena senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel jamur

menjadi suatu antimetabolit. Metabolik antagonis tersebut kemudian bergabung

dengan asam ribonukleat dan kemudian menghambat sintesis asam nukleat dan

protein cendawan. Penghambatan mitosis cendawan, efek antifungi ini terjadi karena

adanya senyawa antibiotik griseofulvin yang mampu mengikat protein mikrotubuli

dalam sel, kemudian merusak struktur spindle mitotic dan menghentikan metafasa

pembelahan sel tesebut (Anggriawin, 2012).

C. Teori yang Relevan dengan Variabel

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Manimbahoi adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Parigi

Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Manimbahoi berada pada

koordinat 5018’7”S dan 119051’49”E. Di sebelah Utara berbatasan dengan

Kecamatan Tinggimoncong, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai,

disebelah Selatan berbatasan dengan desa Bilanrengi, sedangkan di sebelah Barat

berbatasan dengan desa Majannang (BPS, 2012).

Desa Manimbahoi terdiri dari dusun Lengkese, Pattiro, Bawakaraeng dan

beberapa dusun lainnya. Secara umum keadaan topografi desa Manimbahoi adalah

daerah dataran tinggi dan daerah perbukitan, yang berada di sekitar kaki gunung

43

Bawakaraeng. Desa Manimbahoi berada pada ketinggian sekitar 1.400 m di atas

permukaan laut (BPS, 2012).

Gambar 2.4 Peta Administratif Desa Manimbahoi Kecamatan Parigi Kabupaten

Gowa.

Iklim desa Manimbahoi sebagaimana desa lain di wilayah kabupaten gowa

yaitu iklim tropis dengan dua musim yakni kemarau dan hujan. Di musim hujan,

terdapat lebih banyak curah hujan daripada musim kemarau, suhu rata-rata di desa

Manimbahoi adalah 18,30C. Dalam setahun, curah hujan rata-rata adalah 3.768 mm.

Curah hujan paling sedikit terlihat pada bulan September. Suhu tertinggi adalah rata-

rata pada bulan Oktober di sekitar 19,00C. Suhu terendah pada bulan Juli yakni rata-

rata suhunya 17,30C (BPS, 2012).

Desa ini jauh dari kota Gowa dan berada di sekitar lereng gunung

Bawakaraeng. Mata pencaharian utama penduduk yaitu pada umumnya bergerak di

bidang pertanian dan perkebunan seperti kopi, cengkeh, cabai, dan sebagainya jadi

sebagian besar penduduknya merupakan petani (BPS, 2012).

44

Gambar 2.5 Lahan Pertanian Cabai Merah di Dusun Lengkese Desa Manimbahoi

D. Ayat dan Hadits yang Revelan

1. Ayat

Adapun ayat yang relevan tentang penelitian ini yaitu sebagaimana Firman

Allah swt dalam QS Luqman/31: 10 yang berbunyi:

يم ر ج ك ل زو ن ك ا م يه ا ف ن تـ أنب اء ف اء م السم ن ا م لن أنز .....و

Terjemahnya: “Dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik” (Departemen Agama, 2006).

Ayat ini memaparkan kekuasaan dan kehebatan ciptaan Allah yang terdapat di

alam ini, menciptakan alam semesta dengan segala macam isinya sekaligus sebagai

bukti keperkasaan-Nya. Ayat di atas menyatakan: dan Kami turunkan air hujan dari

langit, baik yang cair maupun yang membeku, lalu Kami tumbuhkan padanya setelah

45

pencampuran tanah dengan air yang turun itu segala macam pasangan tumbuh-

tumbuhan yang baik (Quraish Shihab, 2002: 118).

Allah swt menurunkan air hujan dari langit. Hujan itu berasal dari awan yang

dihalau-Nya ke suatu tempat tertentu, kemudian berubah menjadi hujan yang

membasahi permukaan bumi. Dengan air hujan itu tumbuhlah segala macam tumbuh-

tumbuhan yang beraneka ragam, dengan warna yang indah dan bermanfaat bagi

kehidupan manusia. Salah satu tumbuhan yang bermanfaat adalah sirih, dimana sirih

ini dapat juga dimanfaatkan sebagai antifungi untuk menghambat cendawan patogen.

Adapun ayat lain yang relevan tentang penelitian ini yaitu sebagaimana

Firman Allah swt dalam QS Asy-Syu’ara/26: 7 yang berbunyi:

ض ر ا إلى األ و ر يـ لم ج أو ل زو ن ك ا م يه ا ف ن تـ أنب م كيم ر ك

Terjemahnya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, betapa banyak Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam (tumbuhan-tumbuhan) yang baik?” (Departemen Agama, 2006).

Ayat ini menerangkan tentang kekuasaan Allah swt mengeluarkan tumbuh-

tumbuhan yang hidup di bumi dan dijadikan-Nya berpasang-pasangan (jantan dan

betina). Kadangkala keduanya terpisah seperti yang terjadi pada sebagian golongan

tumbuh-tumbuhan, dan kadangkala terhimpun menjadi satu seperti yang terjadi pada

sebagian besar alam tumbuh-tumbuhan. Hal ini terjadi berulang-ulang di bumi di

46

sekitar tempat tinggal manusia pada setiap waktu. “Dan apakah mereka tidak

memperhatikan bumi....”. Sesungguhnya metode Al-qur’an dalam mendidik adalah

menyatukan antara hati dan fenomena-fenomena alam semesta. Menyaksikan dan

memperhatikan keindahaan dan keistimewaan ciptaan Allah swt. “.....betapa banyak

Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam (tumbuhan-tumbuhan) yang baik?”.

Tumbuh-tumbuhan itu mulia dengan segala kehidupan yang ada di dalamnya yang

bersumber dari Allah Yang Mahamulia. Ungkapan ini mengisyaratkan kepada jiwa

untuk menerima dan merespon ciptaan Allah swt dengan sikap yang memuliakan,

memperhatikan, dan memperhitungkannya, bukan menghinakan, melalaikan, dan

meremehkannya (Sayyid Quthb, 2004: 325).

Allah swt menciptakan bumi dengan segala macam isinya yaitu salah satunya

adalah tumbuhan. Tumbuhan diciptakan oleh Allah swt dengan berbagai macam jenis

yang berguna, yang dapat dimakan dan dimanfaatkan oleh manusia dan binatang

ternak. Salah satunya adalah daun sirih, selain dimanfaatkan sebagai obat,daun sirih

juga dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan cendawan patogen pada buah

cabai merah.

2. Hadits

Allah swt menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dengan

berpasang-pasangan, seperti seorang laki-laki dan perempuan, hujan dan panas, siang

dan malam, serta penyakit dengan obat. Allah tidak akan menurunkan suatu penyakit

melainkan menurunkan pula (obat) penyembuh bagi penyakit tersebut. Sebagaimana

dari hadits riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

47

اء ف إال أنـزل له ش اء ل اهللا د ا أنـز م

Artinya: “Dari Abu Hurairah R.A, ia berkata: Rasulullah saw. Telah bersabda: Allah tidak akan menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia menurunkan juga obat untuk penyakit itu” (HR. Al-Bukhari no. 5678).

Menurut Qayyim al-Jauziyah (1994 dalam Hidahyati, 2011), bahwa setiap

penyakit pasti ada obatnya dalah bersifat umum, mencakup segala penyakit dan

segala macam obat yang dapat menyembuhkan penderita, karena sesungguhnya Allah

swt telah menyiapkan segala macam obat untuk penyembuhan penyakit baik ringan

maupun penyakit yang berat.

Hadits di atas telah menjelaskan dengan jelas bahwa setiap penyakit pasti ada

obatnya, begitu pula dengan Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa segala

macam penyakit pasti ada segala macam obat yang dapat menyembuhkan. Obat untuk

penyembuh ini tentu saja manusia sendiri yang harus berusaha menemukannya.

Salah satu contoh penyakit yang saat ini telah ditemukan obatnya adalah

pemanfaatan ekstrak daun sirih untuk dapat menanggulangi (menghambat) penyakit

yang disebabkan oleh cendawan pada buah cabai merah.

48

E. Hipotesis

Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah:

H0 : Tidak ada pengaruh ekstrak daun sirih dalam menghambat pertumbuhan

Colletotrichum capsici pada buah cabai merah.

H1 : Ada pengaruh ekstrak daun sirih dalam menghambat pertumbuhan

Colletotrichum capsici pada buah cabai merah.

F. Kerangka Pikir

Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini adalah:

INPUT

PROSES

OUTPUT

Cabai merupakan tanaman hortikultura yang

dianggap sebagai komoditas utama

Cabai digunakan untuk bumbu dapur, penyedap

makanan, dan pengobatan

Produksi cabai menurun akibat adanya Colletotrichum

capsici bersifat patogen

Pengendalian Colletotrichum capsici pada cabai dengan ekstrak tanaman

Peremajaan cendawan patogen uji

Ekstraksi daun sirih (Piper betle) asal Moncongloe

Lappara Kabupaten Maros

Daya hambat Colletotrichum capsici pada buah cabai merah (Capsicum annum L.)

49

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian jenis kuantitatif dengan pendekatan

eksperimental, dimana untuk mengetahui kemampuan daya antifungi ekstrak daun

sirih terhadap Colletotrichum capsici yang dilakukan dengan lima perlakuan dan tiga

kali ulangan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi Biologi dan Laboratorium

Mikrobiologi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin pada bulan April-Mei

2015.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal

tersebut, kemudian ditarik kesimpulan.

Berdasarkan Peran (Fungsi dan Kedudukan), variabel terbagi atas 2 yaitu

variabel tergantung atau terikat (dependent variable) adalah variabel yang dalam

penelitian tersebut nilainya tergantung pada variabel lainnya. Sedangkan variabel

tidak tergantung/bebas (independent variable) adalah variabel yang dalam penelitian

tersebut nilainya tidak tergantung pada nilai variabel lain.

50

Dalam penelitian ini memiliki variabel bebas berupa ekstrak daun sirih

dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan 20%. Variabel terikat berupa daya hambat

pertumbuhan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah.

E. Defenisi Operasional Variabel

1. Daya antifungi ekstrak daun sirih adalah kemampuan ekstrak daun sirih dalam

menghambat pertumbuhan Colletotrichum capsici buah cabai merah dengan

menggunakan metode difusi disk (Kirby-Baeur) yang diindikasikan oleh

terbentuknya zona bening di sekitar paper disk suspensi ekstrak daun sirih pada

medium PDA (Potato Dextrose Agar).

2. Terhambatnya pertumbuhan Colletotrichum capsici tersebut ditandai dengan

terbentuknya zona bening karena senyawa antifungi yang dihasilkan ekstrak

daun sirih yang mengakibatkan pembentukan cincin hambatan di dalam area

pertumbuhan Colletotrichum capsici yang padat sehingga tidak ada Colletotrichum

capsici yang tumbuh di dalam cincin tersebut.

F. Instrumen Penelitian

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf (Hirayama),

Laminar Air Flow (LAF), rotavavor (Heidolph), bejana maserasi, water bath

(Memmert), vortex (Vortex merk), timbangan analitik (Kern), mikropipet

(Dragonmed), jangka sorong (Tricle brand), batang pengaduk, cawan petri (Iwaki

51

pyrex), erlemeyer (Iwaki pyrex), lampu spritus, ose bulat, sendok tanduk, toples, vial,

spoit (One med), pipet ukur, tabung reaksi (Pyrex), rak tabung, mangkok dan tissu.

2. Bahan

Daun sirih (Piper betle), aquadest steril, aluminium foil, biakan murni

Colletotrichum capsici, etanol 96%, kapas steril, Medium Potato Dextrose Agar

(PDA), NaCl, Dimetil Sulfoksida (DMSO), paper disk.

I. Prosedur Kerja

1. Pengambilan Sampel

Sampel penelitian yang digunakan adalah daun sirih yang diperoleh di Kecamatan

Moncongloe Lappara, Kabupaten Maros.

2. Pengolahan Sampel

Sampel daun sirih yang telah dikumpulkan ditimbang sebanyak 750 g (± 165 helai

daun) kemudian dikeringkan selama 1 hari dengan oven pada suhu 40oC (Hoque et

all, 2011).

3. Pembuatan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle)

Pada proses pembuatan ekstrak daun sirih menggunakan metode ekstraksi

maserasi. Metode maserasi digunakan karena cara pengerjaan dan peralatan yang

digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Proses pengerjaannya adalah sampel

daun sirih yang telah kering diremas kemudian di masukkan ke dalam bejana

maserasi lalu diberi cairan penyari etanol 96% secukupnya, etanol digunakan karena

etanol termasuk pelarut polar sehingga pelarut diharapkan dapat menarik zat-zat aktif

52

yang sifatnya polar (yang dibutuhkan) kemudian ditutup dan disimpan pada tempat

yang terlindungi dari cahaya matahari langsung, sambil berulang-ulang diaduk.

Setelah 2 hari sampel tersebut disaring, kemudian ampasnya di masukkan kembali ke

dalam bejana maserasi dan dilakukan seperti semula. Proses Maserasi dilakukan

sebanyak 4 kali perendaman. Hasil saringan diuapkan dalam rotavavor dengan suhu

40oC kemudian di water bath hingga diperoleh ekstrak yang kental (Harman, 2013).

4. Sterilisasi Alat

Semua alat yang digunakan untuk melalui tahap sterilisasi yang bertujuan untuk

mematikan bentuk kehidupan mikroorganisme yang ada pada alat. Khusus alat-alat

gelas disterilkan dalam oven dengan suhu 180oC selama 2 jam, alat berupa ose dan

pinset disterilkan dengan cara pemijaran diatas api spiritus sedangkan alat yang

mempunyai ukuran atau skala disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama

15 menit.

5. Pembuatan Medium

Medium yang digunakan untuk cendawan adalah Potato Dextrose Agar (PDA).

Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA) adalah sebagai berikut: Sebanyak 3,9 gram

serbuk PDA instan dilarutkan dalam 1 Liter aquadest di dalam Erlenmeyer ukuran 2

Liter, kemudian didihkan sambil sesekali diaduk. Media yang telah dibuat, kemudian

ditutup rapat dengan kapas untuk selanjutnya disterilisasi di dalam autoklaf selama 15

menit pada suhu 121OC dengan tekanan 1,5 atm.

53

6. Peremajaan Isolat Uji.

Tujuan dari peremajaan adalah untuk membuat stok isolat Colletotrichum capsici.

Medium Potato Dextrose Agar (PDA) yang telah dibuat dimasukkan kedalam

tabung-tabung reaksi lalu dimiringkan, setelah medium Potato Dextrose Agar (PDA)

memadat, diambil 1 ose isolat Colletotrichum capsici dengan menggunakan ose bulat

steril kemudian digoreskan pada permukaan medium Potato Dextrose Agar (PDA)

lalu disimpan dalam ruangan pada suhu 25-27oC selama 3 hari (Achmad, 2009).

7. Pembuatan Suspensi Isolat Uji.

Pada proses ini, metode yang digunakan adalah metode tuang yaitu mengambil 9

mL PDA dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam botol vial lalu

Colletotrichum capsici yang sebelumnya telah diberi NaCl sebanyak 3 mL

dimasukkan kedalam botol vial kemudian dituang ke cawan petri.

8. Pembuatan Konsentrasi Suspensi Ekstrak Daun Sirih

Konsentrasi suspensi dibuat dengan cara ekstrak daun sirih ditimbang sebanyak

20.000 mg, kemudian ditambahkan DMSO sedikit demi sedikit (0,4 mL) hingga

homogen menggunakan vortex. Setelah itu tambahkan aquadest steril sebanyak 9,6

mL untuk konsentrasi suspensi 20%. Selanjutnya untuk membuat konsentrasi

suspensi 15% dilakukan pengenceran dengan cara memipet 7,5 mL konsentrasi

suspensi 20% lalu dimasukkan ke dalam botol vial dan ditambahkan aquadest 2,5

mL. Selanjutnya untuk konsentrasi suspensi 10% yaitu memipet 6,7 mL konsentrasi

suspensi ekstrak 15% lalu ditambahkan 3,3 mL aquadest steril. Untuk konsentrasi 5%

54

yaitu memipet 5 mL konsentrasi suspensi ekstrak 10% lalu ditambahkan 5 mL

aquadest steril.

9. Uji Daya Antifungi Ekstrak Daun Sirih terhadap Colletotrichum capsici.

Metode difusi cakram standar, yaitu metode difusi Kirby-Baeur yang sering

digunakan untuk menentukan aktivitas antimikroba (Babiah et all, 2014). Dimana

Medium PDA yang sebelumnya telah dicampur dengan Colletotrichum capsici

dibiarkan memadat. Kemudian memipet masing-masing konsentrasi suspensi ekstrak

daun sirih ke paper disk. Setelah medium padat, dipasang paper disk di dalam cawan

petri sesuai dengan konsentrasi dan diatur jaraknya. Setelah itu disimpan dalam suhu

ruang 25 – 27oC selama 3 hari. Kemudian diukur zona bening yang terbentuk di

sekitar paper disk dengan menggunakan jangka sorong dalam satuan milimeter (mm).

Diameter zona hambat dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Diameter rata-rata (mm) = (A-0,4) + (B-0,4) + (C-0,4) + (D-0,4)

4

Area cendawan patogen

Zona bening/hambat

Paper disk (d=0,4)

Gambar 3.1. Skema pengukuran zona hambat (Sumber:Wiyana, 2011: 22)

55

Tabel 3.1. Kriteria kekuatan zona hambat (Wijayanti, 2013 dan Morales,

2003).

Zona Bening (mm) Keterangan

0 Resisten < 5 Lemah

6 - 10 Intermedit 11-20 Sensitif 21-30 Sangat sensitive

56

Secara Keseluruhan alur penelitian ini disajikan dengan skema kerja dari

penelitian ini adalah sebagaimana Gambar 3.3.

Gambar 3.2. Alur Penelitian

Pengambilan dan Pengolahan Sampel

Maserasi

Pembuatan Medium

Sterilisai Alat dan Bahan

Pembuatan Suspensi Isolat Uji.

Peremajaan Isolat Uji.

Pembuatan Konsentrasi

Suspensi Ekstrak Daun

Sirih

Uji Daya Antifungi Ekstrak Daun Sirih Terhadap Colletotrichum capsici.

Zona Bening di Sekeliling Paper disk

Pengolahan dan Analisis Data

57

J. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan data dilakukan dengan model penyajian seperti dalam

bentuk tabel atau grafik dan memastikan analisis statistiknya. Data yang diperoleh

dianalisis secara statistik inferensial dengan menggunakan uji One-Way Anova untuk

mengetahui apakah terdapat pengaruh ekstrak daun sirih terhadap pertumbuhan

Colletotrichum capsici yang dilanjutkan Least Significant Difference (LSD) untuk

mengetahui lebih lanjut perbedaan yang terjadi antar perlakuan dengan menggunakan

program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) for Microsoft Windows

release 20 dan p < 0,05 dipilih sebagai tingkat minimal signifikasinya.

58

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun sirih terhadap pertumbuhan

Colletotrichum capsici buah cabai merah, menunjukkan hasil terbentuknya zona

hambat di sekitar paper disk yang telah diberi perlakuan ekstrak daun sirih 5%, 10%,

15%, dan 20%, dimana hasil dari pengukuran zona hambat disajikan pada tabel

dibawah ini.

Tabel 4.1. Diameter zona hambat terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici.

Perlakuan

Diameter Zona bening

(mm) Jumlah Rata-

Rata I II III

A0B1 0 0 0 0 0

A0B2 0 0 0 0 0

A0B3 0 0 0 0 0

A0B4 0 0 0 0 0

A1B1 1,05 1,05 0,42 2,52 *0,84

A1B2 0,48 0,48 0,22 1,18 *0,39

A1B3 0,22 0,22 0 0,44 *0,14

A1B4 0 0 0 0 0

59

Keterangan:

A0B1, A0B2, A0B3, A0B4 = Dimetil Sulfoksida (DMSO) (Kontrol negatif)

A1B1 : Ekstrak daun sirih konsentrasi 20%

A1B2 : Ekstrak daun sirih konsentrasi 15%

A1B3 : Ekstrak daun sirih konsentrasi 10%

A1B4 : Ekstrak daun sirih konsentrasi 5%

0 : Resisten (tidak ada zona bening)

* : Lemah

Jika ditampilkan dalam gambar, hasil yang diperoleh dapat dilihat pada

gambar dibawah ini.

Gambar 4.1. Hasil uji daya hambat ekstrak daun sirih terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici.

60

Berdasarkan tabel di atas, Apabila perbandingan rata-rata diameter zona

hambat ekstrak daun sirih terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici dengan masa

inkubasi 3 hari dan 5 hari dibuat dalam bentuk diagram batang hasilnya seperti pada

gambar 4.2. dibawah ini:

Gambar 4.2. Grafik perbandingan rata-rata diameter zona hambat ekstrak daun sirih terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici.

Selanjutnya dilakukan uji One-Way Anova untuk mengetahui apakah terdapat

pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun sirih terhadap pertumbuhan

Colletotrichum capsici dimana hasil uji One-Way Anova disajkan pada tabel 4.2.

dibawah ini.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1 2 3 4

Dia

met

er Z

ona

Ben

ing

(mm

)

Konsentrasi

20% 15% 10% 5%

61

Tabel 4.2. Hasil Uji One-Way Anova Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan Colletotrichum capsici.

JK Db RK F Sig

Beetween

Group 13,583 4 3,396 16,779 ,001

Within Group 1,417 7 ,202

Total 15,000 11

Keterangan:

JK : Jumlah Kuadrat

Db : Derajat Bebas

Sig : Nilai signifikansi

Nilai signifikansi > 0,05 maka H1 diterima.

Nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak.

Hasil uji One-Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 16,779 dengan nilai

signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,001 < 0,05), maka H0 ditolak. Artinya terdapat

pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap rata-rata diameter pertumbuhan

Colletotrichum capsici.

Kemudian dilakukan uji LSD (Lest Significance Different) atau yang lebih

dikenal sebagai uji BNt (Beda Nyata terkecil) dengan program Statistical Product

and Service Solutions (SPSS) for Microsoft Windows Release 20 dengan tingkat

kepercayaan 95% untuk mengetahui kemaknaan pada setiap kelompok perlakuan.

Signifikansi perbedaan hambatan pertumbuhan Colletotrichum capsici ditunjukkan

62

pada masing-masing zona hambat antara konsentrasi ekstrak daun sirih 5%, 10%,

15%, dan 20% disajikan pada tabel 4.3 dibawah ini.

Tabel 4.3. Hasil Uji LSD Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan Colletotrichum capsici.

(I)

Konsentrasi

(J)

Konsentrasi

Perbedaan

rerata (I-J)

Std.

Error Sig. Kesimpulan

20%

15% ,4500* ,16729 ,027 Bermakna

10% ,6917* ,16729 ,003 Bermakna

5% ,8417* ,16729 ,001 Sangat

Bermakna

15%

20% -,4500* ,16729 ,027 Bermakna

10% ,2417 ,16729 ,187 Bermakna

5% ,3917* ,16729 ,047 Bermakna

10%

20% -,6917* ,16729 ,003 Bermakna

15% -,2417 ,16729 ,187 Bermakna

5% ,1500 ,16729 ,396 Bermakna

5%

20% -,8417* ,16729 ,001 Sangat

Bermakna

15% -,3917* ,16729 ,047 Bermakna

10% -,1500 ,16729 ,396 Bermakna

Keterangan:

20%, 15%, 10%, dan 5% : Konsentrasi ekstrak daun sirih

* : Bermakna (0,02 – 0,049)

** : Sangat Bermakna (0,00 – 0,01)

63

Hasil uji LSD dengan nilai sig 0,000 (sig < 0,05) pada Tabel 4.3 menunjukkan

bahwa perbedaan yang sangat bermakna lebih dominan antara kelompok perlakuan

konsentrasi 20% dengan konsentrasi 15% dan 10%, dan 5%.

B. Pembahasan

Pada umumnya tanaman seringkali terserang berbagai penyakit, begitupun

juga dengan tanaman cabai merah yang salah satu bagiannya yaitu buah juga

seringkali terserang penyakit. Penyakit pada buah cabai merah ini biasanya disebut

dengan penyakit antraknosa atau biasa juga dikenal dengan istilah “patek”.

Penyakit tersebut disebabkan oleh adanya jenis cendawan Colletotrichum

capsici. Cendawan ini menyebabkan kerusakan dan kerugian pada buah cabai merah

saat pra dan pasca panen. Lebih dari 50% hasil panen buah cabai merah mengalami

kerugian. Cendawan ini merusak benih buah cabai merah baik secara internal dan

eksternal. Buah cabai merah yang terinfeksi mula-mula berbentuk bercak kehitaman

yang kemudian meluas menjadi busuk lunak bahkan busuk kering. Bercak kehitaman

tersebut akan berkembang sangat cepat bila kondisi memungkinkan seperti

kelembaban yang tinggi (Rahman et al, 2011).

Umumnya dalam mengatasi cendawan yang bersifat patogen dapat dilakukan

dengan menggunakan berbagai bahan kimia. Selama bertahun-tahun bahan kimia

digunakan sebagai agen antifungi, namun penggunaannya dinilai tidak efektif karena

banyak pakar menilai bahwa cendawan tersebut sudah kebal dan menggunakan bahan

kimia yang dapat merusak lingkungan. Dengan demikian, banyak para peneliti yang

64

berminat melakukan penelitian tentang penggunaan produk alami seperti minyak

nabati dan ekstrak tanaman yang dapat mengatasi penyakit yang disebabkan

cendawan. Penggunaan ekstrak tanaman dalam mengendalikan cendawan, saat ini

sedang intensif dilakukan karena ekstrak tanaman lebih ramah lingkungan dan kaya

akan zat bioaktif (Bajpai et al, 2012).

Pada penelitian ini juga menggunakan aplikasi ekstrak tanaman yaitu daun

sirih dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen buah cabai merah yang

berasal dari Desa Manimbahoi Kabupaten Gowa.

Jenis cendawan patogen yang terdapat pada buah cabai merah adalah

Colletotrichum capsici. Untuk mengetahui penghambatan Colletotrichum capsici

maka yang dilihat adalah zona bening yang terbentuk pada medium disekitar paper

disk.

Adapun pembahasan yang diperoleh dari penghambatan pertumbuhan

Colletotrichum capsici pada buah cabai merah dengan menggunakan ekstrak daun

sirih yaitu:

Pada tabel 4.1 menunjukkan diameter zona bening pada setiap perlakuan

berbeda-beda, dimana dapat dilihat bahwa pada perlakuan A0B1, A0B2, A0B3, dan

A0B4 tidak terbentuknya zona bening, hal ini disebabkan DMSO yang digunakan

sebagai kontrol negatif (-) tidak bersifat microbicidal (membunuh mikroorganisme)

ataupun microbiostatik (menghambat pertumbuhan mikroorganisme). Kontrol negatif

(-) digunakan untuk membuktikan bahwa zona bening yang terbentuk bukan

65

disebabkan oleh pelarut, melainkan disebabkan oleh senyawa-senyawa antifungi pada

daun sirih.

Sedangkan pada perlakuan A1B1 (Ekstrak daun sirih konsentrasi 20%), A1B2

(Ekstrak daun sirih konsentrasi 15%), A1B3 (Ekstrak daun sirih konsentrasi 10%), dan

A1B4 (Ekstrak daun sirih konsentrasi 5%) dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan

diameter zona bening pada setiap kelompok perlakuan. Rata-rata diameter zona

bening setelah perlakuan pada kelompok ekstrak daun sirih konsentrasi 20% memiliki

nilai terbesar yaitu 0,84 mm jika dibandingkan dengan kelompok ekstrak daun sirih

konsentrasi 15%, 10%, dan 5% yang memiliki rata-rata diameter zona bening masing-

masing secara berurutan sebesar 0,39 mm, 0,14 mm, dan 0 mm.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan rata-rata diameter

zona bening antara perlakuan pada kelompok ekstrak daun sirih 5%, 10%, 15%, dan

20%. Peningkatan rata-rata diameter zona bening disebabkan karena adanya

peningkatan konsentrasi ekstrak daun sirih dan menunjukkan bahwa dengan

meningkatnya konsentrasi, semakin besar kadar bahan aktif yang berfungsi sebagai

antifungi yang mengakibatkan semakin besar pula zona bening yang terbentuk.

Menurut Wasilah (2010) semakin besar konsentrasi ekstrak daun sirih yang

terdapat dalam medium, maka jumlah ekstrak yang berdifusi ke dalam sel cendawan

semakin meningkat yang menyebabkan sel cendawan menjadi hipertonik dan terjadi

berbagai mekanisme gangguan di dalam sel cendawan yang menyebabkan

terganggunya pertumbuhan cendawan bahkan dapat menyebabkan kematian.

66

Hasil analisis data dengan menggunakan One-Way Anova menunjukkan

bahwa nilai signifikansi 0,001 lebih kecil dari 0,005. Dengan demikian H0 ditolak

artinya ekstrak daun sirih memiliki aktivitas antifungi untuk menghambat

pertumbuhan Colletotrichum capsici. Jika dilihat dari rata-rata (RK) dari hasil uji

One-Way Anova dapat dijelaskan bahwa setiap adanya penambahan konsentrasi

ekstrak memperlihatkan adanya penambahan daya hambat.

Hasil yang diperoleh yakni ekstrak daun sirih memiliki aktivitas antifungi

untuk menghambat pertumbuhan cendawan patogen, sesuai dengan pendapat Jhonny

(2010) dalam penelitiannya mengenai “efek ekstrak tanaman herbal dalam

menghambat pertumbuhan Colletotrichum”, dimana ekstrak tanaman herbal yang

digunakan adalah ekstrak daun sirih. Hasilnya menunjukkan ekstrak daun sirih

memberikan penghambatan yang terbaik terhadap pertumbuhan Colletotrichum. Jenis

daun sirih telah banyak diteliti kandungan kimianya, dimana sejumlah senyawa

fisiologis aktif ditemukan seperti alkaloid/amina, fenol berupa kavikol, eugonel,

kavibekol, estragol, terpinen, dan karvakol mempunyai daya antifungi yang tinggi.

Menurut Lee et al (2004), kandungan kimia daun sirih sangat berpotensi digunakan

sebagai obat-obatan dan pestisida dan lebih dari 90% kandungan senyawa pada daun

sirih bersifat sebagai sitotoksin, antifungi, antitumor atau digunakan manusia.

Kandungan ekstrak daun sirih dapat merusak membran sel pada cendawan

sehingga menyebabkan terganggungnya pertumbuhan cendawan bahkan

menyebabkan kematian. Membran sel kaya akan lipida, terutama fosfolipida.

Membran mencakup hanya 8-15% dari massa kering sel dan mengandung sampai 70-

67

90% lipida sel. Dengan adanya senyawan yang bersifat sebagai antifungi, maka

senyawa ini akan melarutkan lipid yang terdapat pada membran sel cendawan,

sehingga dapat merusak struktur membran sel itu sendiri. Membran merupakan

penahan osmosis dari sel dan mengendalikan masuk keluarnya berbagai zat, serta

tempat terjadinya sistem transpor aktif. Melihat begitu banyak dan pentingnya fungsi

membran bagi keberlangsungan suatu sel, maka rusaknya membran sel akan

mengganggu mekanisme kerja yang terdapat di dalam sel (Wasilah, 2010).

Hasil analisis data dengan uji LSD, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

yang sangat bermakna dan bermakna antara kelompok ekstrak daun sirih konsentrasi

20%, 15%, 10%, dan 5%. Dimana perbedaan bermakna lebih dominan dibandingkan

dengan sangat bermakna. Bermakna maksudnya adalah konsentrasi berpengaruh

antara konsentrasi lain. Sedangkan sangat bermakna artinya konsentrasi yang satu

sangat berpengaruh terhadap konsentrasi lainnya.

Konsentrasi ekstrak yang digunakan pada saat uji zona hambat tidak akan

bercampur ataupun mengganggu konsentrasi satu dengan yang lainnya walaupun

ditempatkan dalam satu cawan petri. Menurut Hudzicki (2013), ketika sebuah filter

paper disk yang telah dicelupkan pada senyawa antimikroba (dengan konsentrasi

yang diketahui), diletakkan pada medium agar dan senyawa antimikroba tersebut

akan mulai keluar dari paper disk dan berdifusi ke medium disekitarnya. Ada dua hal

yang terjadi: 1. Difusi senyawa antimikroba keluar dari paper disk, 2. Difusi senyawa

antimikroba ke medium agar. Kecepatan difusi senyawa antimikroba melalui medium

agar tidak secepat kecepatan difusi senyawa antimikroba keluar dari paper disk

68

sehingga senyawa antimikroba akan terakumulasi di sekeliling area terdekat paper

disk. Konsentrasi paling tinggi dari senyawa tersebut akan berada paling dekat

dengan paper disk dan konsentrasi senyawa terendah berada pada jarak difusi terjauh.

Kecepatan difusi senyawa antimikroba melalui medium agar tergantung pada sifat

difusi dan kelarutan dari senyawa tersebut di dalam medium yang bersengkutan. Juga

tergantung pada berat molekul (BM) senyawa antimikroba tersebut. Semakin besar

BM, semakin rendah kecepatan difusi. Faktor-faktor tersebut menyebabkan setiap

senyawa antimikroba akan memiliki zona bening yang unik terhadap mikroba uji.

Meskipun dalam penelitian ini, ekstrak daun sirih dapat menghambat

pertumbuhan Colletotrichum capsici, namun zona bening atau daya hambat yang

dihasilkan sangatlah rendah, hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sugiarti (2008) yang menguji ekstrak sirih (Piper betle) sebagai

biofungisida dalam menekan penyakit antraknosa pada buah cabai merah (Capsicum

annum) dimana ekstrak sirih konsentrasi 4% sudah efektif dalam menghambat

penyakit tersebut.

Adanya perbedaan hasil penelitian yang dilakukan dengan penelitian

sebelumnya, disebabkan karena adanya senyawa polar yang terdapat dalam daun sirih,

misalnya mineral, karbohidrat, dan protein sederhana yang tertarik atau terlarut dalam

etanol selama proses maserasi sehingga mengakibatkan ekstrak daun sirih tidak

terlalu efektif dalam menghambat Colletotrichum capsici (Hidayati, 2002: 44).

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ekstrak daun sirih pada konsentrasi 10%, 15%, dan 20% dapat menghambat

pertumbuhan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah. Sedangkan

Ekstrak daun sirih pada konsentrasi 5% tidak dapat menghambat pertumbuhan

Colletotrichum capsici pada buah cabai merah.

2. Konsentrasi yang dapat memberikan penghambatan yang baik terhadap

pertumbuhan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah adalah 20%

dengan rata-rata diameter zona hambat 0,84 mm dibandingkan dengan

konsentrasi lain dan kontrol.

B. Saran

Setelah dilakukan penelitian tentang pengaruh ekstrak daun sirih (Piper betle)

terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah (Capsicum

annum L.), maka disarankan bila akan dilakukan penelitian selanjutnya perlu

ditingkatkankan lagi konsentrasi ekstrak yang digunakan.

70

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah MN. “Daya Hambat Infusum Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus yang Diisolasi dari Denture Stomatis”. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2009.

Achmad, Eny Puspita Sari. “Pengaruh Media Terhadap Pertumbuhan Cendawan Fusarium oxysporum”. Buletin RISRTRI 1 no. 4 (2009): 159-168.

Achmad, Ido Suryono. “Pengujian Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) terhadap Rhizoctonia sp secara In Vitro”. Bul littro 20 no. 1 (2009): 92-98.

Ali M, Fifi Puspita. “Uji Beberapa Konsentrasi Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap Penyakit Antraknosa yang disebabkan Jamur Colletotrichum capsici pada Buah Cabai Merah Pascapanen”. Agricultural Science and Technology 11 no. 2 (2012): 6.

-------, Yunel Venita, dan Benny Rahman.”Uji Beberapa Konsentrasi Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A.Juss) untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa yang disebabkan Jamur Colletotrichum capsici pada Buah Cabai Merah Pascapanen”. Agricultural Science and Technology 11 no. 1 (2012): 14.

Anggriawin M. “Kemampuan Bakteri Penghasil Antijamur dalam Menghambat Beberapa Jenis Fusarium pada Benih Tomat (Solanum lycopersicum L.)”. Skripsi. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, 2012.

Babiah, Preeti S, D.K. Upreti, dan S.A. John. “An in Vitro Analysis of Antifungal Potential of Lichen Spesies Parmotrema reticulum Against Phytopathogenic Fungi”. Internasional Journal of Current Microbiology and Applied Sciences 3 no. 12 (2014): 551-518.

Badan Pusat Statistik. Desa Manimbahoi. Parigi: Balai Pustaka, 2012. -------. Daftar Produksi Cabai Merah. Gowa: Balai Pustaka, 2011.

Bajpai VK. S-C Kang.”InVitro and In Vivo Inhibition of Plant Pathogenic Fungi by Essential Oil and Extract of Magnolia Liliflora Desr. Journal Agro Science Technology 11 (2012): 845-856.

Bonang G. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan Edisi 16. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 1992.

Brooks GF. Medical Microbiology 24th Ed. USA: Mc Graw Hill, 2007.

71

Burt S. “Esensial Oil Their Antibacterial Properties and Potensial Application in Foods”. Elsevier International Journal of Food Microbiology. 94 (2004): 223- 253.

Datta A, Shreya Ghos, H Dastidar, Mukesh Sigh. “Antimicrobial Property of Piper betle Leaf Against Clinical Isolates of Bacterial”. Internasional Journal of Pharma Sciences and Research (IJPSR) 2 no. 3 (2011): 104-109.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2006.

Direktorat Perbenihan dan Sarana produksi. Standar Prosedur Operasional Annual Produksi Benih Cabe (Capsicum annum). Ciamis: Direktorat Perbenihan dan Sarana produksi, 2011.

Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Djarwaningsih T. “Capsicum sp. (Cabai): Asal, Persebaran dan Nilai Ekonomi”. Biodiversitas 6 no. 4 (Oktober 2005): 292-296. Girsang EM. “Uji Ketahan Varietas Tanaman Cabai (Capsicum annum L) terhadap Serangan Penyakit Antraknosa dengan Pemakaian Mulsa Plastik”. Skripsi. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, 2008. Gunawan S. “Mekanisme Daya Hambat Kombinasi Daun Sirih Hijau dan Ekstrak Daun Sirih Merah terhadap Pertumbuhan Candida albicans. Oral Biology Dental 2 no. 2 (2010): 16-9.

Harman, Ditha Tri. “Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Sirih Terhadap Bakteri Enterococcus faecalis (Penelitian) in Vitro”. Skripsi. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, 2013.

Hermawan A. “Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk”. Artikel Ilmiah. Surabaya: Fakultas Kedikteran Hewan Universitas Airlangga, 2007.

Heyne K. “Tumbuhan Berguna Indonesia”.Jilid II. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya, 1987.

72

Hidahyati, N. “Isolasi dan Identifikasi Jamur Endofit Pada Umbi Bawang Putih (Allium sativum) Sebagai Penghasil Senyawa Antibakteri Terhadap Bakteri Streptococcus mutans dan Escherichia coli”. Skripsi. Malang: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang, 2010.

Hidayati E. “Isolasi Enterobacteriacea Patogen dari Makanan Berbumbu dan Tidak Berbumbu Kunyi (Curcuma longa L.) serta Uji Pengaruh Ekstrak Kunyit (Curcuma longa L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri yang Diisolasi”. Skripsi. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, 2002.

Hoque, M. Mahrizul, Shewna Rattila, M. Asaduzzma Shihir, M.L. Bari, dan S.Kawamoto. “Antibacterial Activity of Ethanol Extract of Betel Leaf (Piper betle L.) Againt Some Food Borne Pathogens”. Bangladesh Journal Microbiol 28 no. 2 (Desember 2011): 58-63.

Hudzicki, Jan. “Kirby-Baeur Disk Diffusion Susceptibility Test Protocol”. American Society for Microbiology 2009; URL:http//www.microbelibrary.org/component/resource/laboratory-test/3189- kirby-bauer-disk-diffusion-susceptibility-test-protocol.

Jhonny Lucy. “The Effect of Herbal Plant Extract on the Growth and Sporulation of Colletotrichum gloesporioides”. Journal of Applied Biosciences 34 (2010): 2218-2224.

Kardinan A. Pestisida Nabati, Ramuan, dan Aplikasinya. Jakarta: Penebar Swadaya, 2002. Lee SW, Musa N, Chuah TS, Wee W, Shazili NAM. “Antimicrobial Properties of Tropical Plant Againt 12 Phatogenic Bacteria Isolated From Aquatic Organisms”. African Journal of Biotechnology 17 no. 13 (2008): 2275-2278. Liestiany E, Edwin NF. “Pengaruh Pupuk dan Pestisida Organik terhadap Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Cabai”. Agroscientiae 19 no. 3 (Desember 2012): 5.

Moekasan TK. Budidaya Cabai Merah di Bawah Naungan Untu Menekan Serangan Hama dan Penyakit. Bandung: Yayasan Bina Tani Sejahtera, 2011.

Moeljanto. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih. Bandung: Agromedia Pustaka, 2003.

Morales. “Secondary Metabolites from Four Medicinal Plants from Northern Chile, Antimicrobial Activity and Biotoxicity Against Artemia salina”. Journal of the Chilean Chemical Society 48 no. 2. (2003).: 13-18.

73

Nurfalach DR. “Budidaya Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.) di UPTD Perbibitan Tanaman Holtikultura Desa Pakopen Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang”. Skripsi. Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, 2010. Nurhayati. “Pertumbuhan Colletotrichum capsici Penyebab Antraknosa Buah Cabai pada Berbagai Media yang Mengandung Ekstrak Tanaman”. Jurnal Penelitian Rafflesia 1 no.9 (2007): 4.

Pelczar MJ. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: Universitas Indonesia, 1988.

Pratiwi ST. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga, 2008.

Prayoga E. “Perbandingan Efek Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) dengan Metode Difusi Disk dan Sumuran Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus”. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, 2013. Ratulangi MM, Sembel DT. “Diagnosis dan Insidensi Penyakit Antraknosa pada Beberapa Varietas Tanaman Cabe di Kota Bitung dan Kabupaten Minahasa”. Eugenia 18 no. 2 (Agustus 2012): 8.

Rahman MA. “Inhibitory Effect of Different Plant Exctract and Antifungal Metabolites of Trichoderma Strain on the Conidial Germination and Germ Tube Growth of Colletrotrichum capsici Causing Chili Antracnose”. Internasional Journal of Agronomy and Agricultural Research (IJAAR) 1 no.1 (2011): 20-28. Saraswati D. “Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih terhadap Daya Hambat Escherichia coli”. Health and Sport 3 no. 2 (Agustus 2011): 285-362. Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema insani, 2004. Setiadi. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya, 2001. -------. Bertanam Cabai. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya, 2006.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 11. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Siswadi. “Penanganan Pasca Panen Buah-Buahan dan Sayuran”. Inovasi Pertanian 6 no. 1 (2007): 68-71.

74

Sulastri, Sri. “ Identifikasi Penyakit yang Disebabkan Oleh Jamur dan Intensitas Serangannya pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau”. Agricultural Science and Technology 11 no. 3 (2014): 9. Sugiarti. “Ekstrak sirih (Piper betle) sebagai Biofungisida dalam Menekan Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai Merah (Capsicum annum). Skripsi. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia, 2008. Sumarni. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran, 2005. Sumarsi S. Mikrobiologi Dasar. Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran, 2003.

Supriyanti A. “Perakitan dan Seleksi Tanaman Cabai (Capsicum annum) Tahan CMV (Cucumber Mozaik Virus). Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, 2013. Tim Pengajar. Teori dan Praktek Farmakognosi II. Makassar: Politeknik Kesehatan, 2013. Utami. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta: Agromedia, 2008.

Waluyo, Lud. Teknik Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2008.

Wardani, Nila. Teknologi Budidaya Cabai Merah. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008.

Warisno. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Wasilah F. “Pengaruh Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val) terhadap Pertumbuhan Jmaur Fusarium oxyforum Schlect Secara In Vitro”. Skripsi. Bandung: Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia, 2010. Wicaksono P. “Daya Perendaman Radikal Bebas Ekstrak Etanol Buah Papino Putih dan Ungu (Solanum muricatum Aiton var putih dan ungu) terhadap DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl)”. Caliptra 2 no. 2 (2013).

75

Wijayanti NP. Pengaruh Ekstrak Metanol Daun Biduri (Calotropis gigantea W.) Terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumonia Isolat Penderita Pneumonia. Artikel Ilmiah. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, 2012.

Wiyana, Aip. “Karakteristik Ketahanan Bakteri Asam Laktat Indigenous Kefir Sebagai Kandidat bakteri Probiotik Pada Kondisi Saluran Pencernaan in Vitro”. Skripsi. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, 2011.

Yani A. “Pengendalian cendawan pascapanen Colletotrichum capsici penyebab antraknosa pada buah cabai (Capsicum annum L.)”. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Kering (2003).

Yusriani. “Bioaktivitas Senyawa Asam Heksadekanoat dan β Sitosterol dari Hydroid Aglaophenia cupressina Lamour Reoux Sebagai Bahan Antijamur Terhadap Busuk Buah Solanum lycopersicum Varietas Ratna”. Skripsi. Makassar: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, 2015.

76

77

78

79