pengaruh edible coating kitosan terhadap (1)

52
EDIBLE COATING KITOSAN SEBAGAI PENGANTI TEPUNG pada PEMPEK SEPTIVIRGIN WULANSARI 05071010024

Upload: ardinifashion-rajut-grosireceran

Post on 10-Aug-2015

438 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

EDIBLE COATING KITOSAN SEBAGAI PENGANTI TEPUNG pada PEMPEK

SEPTIVIRGIN WULANSARI05071010024

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANANFAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA2012

Page 2: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pempek adalah salah satu bentuk diversifikasi produk perikanan yang

disukai dan sudah dikenal oleh masyarakat, tidak hanya di Palembang tapi juga di

daerah lain. Di daerah asalnya, pempek dikonsumsi hampir setiap hari. Selain itu,

pempek juga sering disajikan dalam berbagai acara baik formal maupun non-

formal. Kebanyakan orang dari luar kota Palembang mencari makanan ini sebagai

oleh-oleh. Kendala yang dihadapi pempek sebagai oleh-oleh adalah umur produk

yang relatif singkat.

Pempek yang disimpan pada suhu ruang biasanya bertahan selama lebih

kurang dua hari, selebihnya pempek akan berlendir, berbau tengik dan rasanya

tidak enak. Untuk mempertahankan kualitas pempek, biasanya pempek dilapisi

dengan tapioka pada permukaan pempek agar permukaan pempek tetap kering.

Hal ini biasa dilakukan pada pempek yang akan dibawa ke luar kota Palembang.

Kekurangan lainnya dari penggunaan tepung tapioka adalah membuat pempek

menjadi kurang menarik, perlu dilakukan pencucian dan pemanasan ulang

sebelum dikonsumsi. Oleh sebab itu pempek belum bisa didistribusikan ke tempat

yang jauh dengan waktu tempuh yang lama untuk tiba di tempat tujuan

(Saputra dan Yulianti 2003 dalam Hilpini 2006).

Kemasan yang dapat mempertahankan kualitas pempek dalam waktu yang

cukup lama serta menjaga tampilan agar tetap menarik sangat diperlukan untuk

pendistribusian pempek. Salah satu alternatif kemasan yang dapat digunakan

Page 3: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

adalah dengan menggunakan edible coating sebagai bahan pelapis menggantikan

tepung. Menurut Gennadios dan Weller (1990) dalam Permana (2000), edible

coating merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang bisa dimakan. Bahan

ini dapat digunakan di permukaan atau di antara produk dengan cara dibungkus,

direndam, disikat atau disemprot untuk memberikan tahanan yang selektif

terhadap transmisi gas dan uap air dan memberi perlindungan terhadap kerusakan

mekanis. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai edible coating antara

lain kitosan.

Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin yakni produk

samping limbah (zero waste) dari pengolahan industri perikanan, yaitu limbah

pembekuan udang (bagian kulit dan kepala). Kitosan dapat digunakan sebagai

pengawet karena sifat-sifat yang dimiliki yaitu dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme perusak sekaligus melapisi produk (coating) sehingga terjadi

interaksi minimal antara produk dan lingkungannya. Keunggulan pengawet alami

kitosan lebih baik dibanding dengan formalin yang meliputi aspek organoleptik,

daya awet, keamanan pangan serta nilai ekonomis. Keunggulan lain dari kitosan

adalah sifatnya yang hidrokoloid, tidak berasa dan berbau (Jusnita, 2007). Hal

inilah yang menyebabkan kitosan dapat diaplikasikan sebagai alternatif kemasan.

Berdasarkan penelitian menurut Irianto et al. (2009), diketahui bahwa

hasil uji total jumlah bakteri yang menempel pada ikan asin yang dilapisi kitosan

menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang dilapisi formalin.

Hasil ini didukung oleh uji organoleptik yang meliputi rasa, bau, penampakan dan

tekstur yang juga memberikan hasil lebih baik. Pada konsentrasi kitosan 1,5 %

Page 4: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

dapat mengurangi jumlah lalat yang signifikan. Daya simpan kitosan ikan asin

yang diberikan perlakuan kitosan dapat bertahan selama 3 bulan yang hampir

sama dengan ikan asin yang diberi perlakuan dengan formalin. Menurut Suptijah

et al. (2008), pelapisan fillet ikan patin dengan menggunakan kitosan sebagai

edible coating menunjukkan laju penurunan nilai organoleptik lebih lambat bila

dibandingkan dengan fillet ikan patin tanpa perlakuan kitosan. Melihat

kemampuan kitosan sebagai pengawet pada berbagai produk, maka akan

dilakukan penggunaan kitosan sebagai edible coating pada pempek sebagai upaya

memperpanjang umur pempek yang sebelumnya telah dibekukan dengan variasi

kitosan menggunakan penyimpanan suhu ruang.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan

berbagai konsentrasi kitosan terhadap masa simpan pempek pada suhu ruang.

C. Hipotesis

Diduga penggunaan berbagai konsentrasi kitosan berpengaruh terhadap

masa simpan pempek pada suhu ruang

Page 5: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pempek

Pempek merupakan makanan tradisional dari daerah Palembang Sumatera

Selatan. Makanan ini terbuat dari campuran daging ikan giling dengan tepung

tapioka, air dan garam yang dimasak dengan cara direbus dan sering dikonsumsi

bersama cuka. Dalam pemuatan pempek, daging ikan sebagai sumber protein,

tepung berfungsi untuk menyatukan daging ikan dan air sehingga dapat dibentuk

adonan, memberi tekstur dan mengikat air (Komariah, 1995).

Pempek merupakan produk sejenis gel yang bertekstur kenyal dan elastis.

Elastisitas produk gel dari ikan dipengaruhi oleh jenis kesegaran dan komposisi

ikan yang digunakan serta metode pengolahannya. Komponen penyusun daging

ikan yang sangat berpengaruh dalam pembentukan gel adalah protein aktomiosin

(myofibril) dan protein sarkoplasma (myogen) yang bersifat larut dalam air, tetapi

tidak larut dalam larutan garam (deMan 1997 dalam Bachtiyar 2007). Menurut

Astawan et al. (2005), gel ikan pada pempek yang diperoleh dengan memanaskan

pasta pada suhu tinggi dan waktu singkat lebih kuat dibandingkan dengan gel

yang diperoleh melalui pemanasan suhu rendah dan waktu yang lama.

Prinsip pengolahan pempek terdiri dari penggilingan daging, pencampuran

bahan, pembentukan pempek dan pemasakan. Kadar protein, lemak dan

karbohidrat pempek dapat bervariasi sesuai dengan proporsi ikan dan tapioka

yang digunakan. Menurut Iljas (1995), semakin banyak ikan yang ditambahkan

maka protein pempek yang dihasilkan juga akan meningkat. Komposisi gizi

Page 6: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

pempek cukup baik sebagai makanan selingan. Adapun komposisi pempek dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia pempek (dalam 100 gr bahan yang dapat dimakan)Komponen KomposisiProtein 4,2 %Lemak 1,4 %Karbohidrat 31,6 %Air 61,4 %Serat 0,2 %Abu 1,2 %Kalsium 100 mgFosfor 55 mgBesi 3,3 mgVitamin A 0Vitamin B1 0,03 mgVitamin C 0Kalori 156 (kal)

Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2004)

Pempek terdiri dari berbagai jenis dan variasi tergantung bahan baku, cara

pengolahan dan penambahan bahan lain ataupun isi dari pempek yang digunakan.

Jenisnya antara lain pempek telur, pempek kapal selam (pempek telur besar),

pempek lenjer (berbentuk silinder tanpa isi), pempek pastel (isi pepaya muda),

pempek kerupuk, pempek tahu (isi tahu), pempek lenggang, pempek panggang

dan pempek adaan. Pempek lenjer banyak disukai karna proses pembuatannya

yang sederhana dan mudah untuk dibawa (Astawan et al., 2005).

Pempek lenjer dibuat dengan cara direbus dalam panci berisi air mendidih.

Pempek yang telah matang akan mengapung di permukaan air rebusan. Lamanya

proses perebusan harus dikendalikan supaya tidak terlalu banyak menghilangkan

zat gizi. Sebagaimana diketahui, zat protein, vitamin, dan mineral dari bahan

dapat larut ke dalam air perebus, sehingga kadarnya menjadi berkurang pada

pempek (Sembiring, 2011)

Page 7: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Lama perebusan dipengaruhi oleh ukuran lenjeran. Namun, biasanya

membutuhkan waktu sekitar 20-90 menit. Proses perebusan bertujuan agar pati

mengalami proses gelatinisasi, sehingga granula pati mengembang dan proteinnya

terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan molekul air melakukan

penetrasi ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekul-molekul

amilosa dan amilopektin (Muchtadi et al., 1988).

Berdasarkan kemunduran mutunya, pempek mempunyai umur simpan

yang relatif rendah yaitu tahan sekitar satu hari pada suhu kamar. Indikator yang

menunjukkan terjadinya kemunduran mutu diawali dengan adanya lendir, bau

tengik, perubahan warna dan rasa yang tidak enak. Hal ini di karenakan pempek

merupakan produk olahan ikan yang termasuk ke dalam kelompok pangan semi

basah yang cepat mengalami kerusakan disebabkan kadar airnya yang tinggi.

Menurut Murniyati et al. (1997) dalam Firdaus (2006), menyatakan bahwa ikan

dan produk olahannya cepat mengalami kerusakan karena kadar protein, kadar air

dan asam lemak tidak jenuh omega-3 dan omega-6 pada ikan tinggi.

B. Kitosan

Kitin merupakan poli (2-asetamido-2deoksi-β-(1 4)-D-glukopiranosa)

dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan

40% O. Sedangkan kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-

glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari

deasetilasi kitin. Struktur kitin menyerupai strruktur selulosa dan hanya berbeda

pada gugus yang terikat di posisi atom C-2. Di alam, kitin dikenal sebagai

polisakarida yang paling melimpah setelah selulosa. Kitin umumnya banyak

Page 8: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

dijumpai pada hewan avertebrata laut, darat, dan jamur dari genus Mucor,

Phycomyces, dan Saccharomyce. Sebagian besar kelompok Crustacea, seperti

kepiting, udang, dan lobster, merupakan sumber utama kitin komersial

(Sugita et al., 2009).

Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi mauoun

enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH, dan dapat

menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-

93%. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus

amino yang bermuatan positif sehingga kitosan bersifat polikationik. Adanya

gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan

menyebabkan kitosan memiliki kemampuan sebagai pengawet dan penstabil

warna, sebagai floculant dan membantu proses reserve osmosis dalam penjernihan

air, sebagai aditif untuk produk agrokimia dan pengawet benih

(Sugita et al., 2009). Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 9: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

a) Kitin(1 4)-2-acetamido-2-deoxy-β-D-glucopyranosyl

b) Kitosan(1 4)-2-acetamido-2-deoxy-β-D-glucopyranosyl

(1 4)-2-amino-2-deoxy-β-D-glucopyranosyl

Gambar 1. Struktur kimia (a) kitin dan (b) kitosan

Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung

tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder.

Adanya gugus fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai rektifitas kimia yang

tinggi. Sifat inilah yang menyebabkan kitosan mampu mengikat air dan minyak.

Karena kemampuan tersebut, kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental

atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk

Page 10: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

tekstur (Brzeski, 1987). Sifatnya yang dapat membentuk film yang kuat, elastis,

fleksibel dan sulit dirobek menjadikan edible dimanfaatkan sebagai bahan

pengemas (Butler et al., 1996).

Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan

diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi (karena mengandung gugus

OH dan gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan

penukar ion). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik, tidak larut

dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan

HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada

konsentrasi 10% (Sugita et al., 2009).

Kitin dan kitosan mempunyai sifat fungsional dan sifat kimia yang unik.

Kitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), alkohol serta tidak larut dalam

asam maupun alkali encer. Kitin dapat larut dengan proses degradasi

menggunakan asam-asam mineral pekat, seperti asam formiat anhidrous, namun

tidak jelas apakah semua jenis kitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous.

Mudah tidaknya kitin terlarut sangat tergantung pada derajat kristalisasi, karena

hanya ß-kitin yang terlarut dalam asam formiat anhidrous. Sifat kitin yang penting

untuk aplikasinya adalah kemampuan mengikat air dan minyak yang hilang dari

polimer kitin, interaksi antara ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat.

Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang

mempunyai sifat kimia yang lebih baik, yaitu kitosan. Kitosan tidak larut dalam

air namun larut dalam asam, memiliki viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan,

sebagian besar reaksi karakteristik kitosan merupakan reaksi karakteristik kitin.

Page 11: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Adapun berbagai solvent yang digunakan umumnya tidak beracun untuk aplikasi

dalam bidang makanan. Solvent yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah

asam format/air, asam asetat/air, asam laktat/air dan asam glutamat/air

(Lee 1974 dalam Sembiring 2011).

Aplikasi kitosan dalam bidang pertanian dan pangan kitin dan kitosan

digunakan antara lain untuk antimikrob, antijamur, serat bahan pangan, penstabil,

pembentuk gel, pengemulsi produk olahan pangan dan menurunkan kadar

kolesterol. Dalam bidang kesehatan dapat berperan sebagai antibakteri, anti

koagulan dalam darah, pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah, anti

tumor (penggumpal) sel-sel leukimia (Sugita et al., 2009). Chen et al. (1996)

meneliti aplikasi kitosan sebagai antimikrobial untuk pengemas dan Kittur et al.

(1998) menggunakan kitosan sebagai bahan dasar pengemas berupa coating dan

film.

Pelapisan dengan kitosan dapat menghambat atau mempertahankan

senyawa senyawa yang dapat menimbulkan bau atau aroma makanan seperti

glukosa-6 fosfat, prolina, aldehid, hidrogensulfida, minyak atsiri, metri

merpaktan, dimetilsulfida, dan pirazina serta asam-asam amino lainnya pada

daging ikan yang dapat bereaksi dengan gula pereduksi dalam reaksi maillard

(Buckle et al. 1987 dalam Sembiring 2011).

C. Edible Coating

Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang

dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di

antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap

Page 12: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut). Edible

coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basa,

produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-

obatan terutama untuk pelapis kapsul. Cara aplikasi edible coating tergantung dari

bentuk, besar, sifat produk serta edible coating jadi yang diinginkan. Biasanya

proses pencelupan yang dilakukan digunakan untuk jumlah produk yang sedikit

(Gennadios dan Weller, 1990).

Menurut Gennadios dan Weller (1990) dalam Permana (2000), tidak ada

perbedaan yang jelas antara edible coating dan edible film. Biasanya edible

coating langsung digunakan dan dibentuk di atas permukaan produk, sedangkan

edible film dibentuk secara terpisah terlebih dahulu baru digunakan untuk

mengemas produk. Krochta dalam Rahardyani (2011), menyatakan bahwa

kemasan edible plastic yang selanjutnya disebut sebagai edible film, mempunyai

karakteristik potensial untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap pangan

bergizi tinggi lebih awet atau lama disimpan serta memenuhi tuntutan lingkungan

semakin meningkat. Dalam hal gizi, edible film dapat menambah nilai gizi dari

pangan yang dikemas. Edible film juga mampu mengatur transmisi uap air, CO2,

O2 dan gas, sehingga mampu memperpanjang masa simpan dari produk yang

dikemas. Penggabungan antioksidan atau anti mikroba yang terkontrol pada edible

film atau edible coating dapat memberikan masa simpan produk yang lebih lama.

Bahan dasar pembuatan edible coating adalah hidrokoloid (protein,

polisakarida), lipid (asam lemak), dan komposit (campuran hidrokoloid dan

lipid). Protein dapat diperoleh dari jagung, kedelai, keratin, kolagen, gelatin,

Page 13: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

kasein, protein susu, albumin telur, dan protein ikan. Polisakarida dapat diperoleh

dari selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi

progfil metil selulosa), tepung dan turunannya, pektin ekstrak ganggang laut

(aginat, karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya), xanthan, chitosan, dan

lain-lain (Gennadios dan Weller 1990 dalam Permana 2000).

Komponen lain yang cukup berperan dalam plastilizer seperti

gliserol, monogliserida asetat, polietilen-glikol, sukrosa dan lain-lain.

Penambahan komponen ini diperlukan untuk mengatasi sifat rapuh film yang

disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. plastilizer didefinisikan

sebagai substansi non volatil yang mempunyai titik didih tinggi, jika

ditambahkan ke senyawa lain akan mengubah sifat dan mekanik senyawa itu

(Gennadios dan Weller 1990 dalam Permana 2000).

Menurut Kester dan Fennema (1989), plastilizer ditambahkan untuk

mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama

jika disimpan pada suhu rendah. Penambahan plastilizer akan menghindarkan film

dari keretakan selama penanganan maupun penyimpanan yang dapat mengurangi

sifat-sifat tahanan film. Jenis plastilizer yang digunakan adalah gliserol.

Gliserol merupakan senyawa polyol yang memiliki tiga gugus hidroksil

dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimianya adalah C3H8O3, berat

molekul gliserol 92,10, masa jenisnya 1,23 gr/cm3 dan titik didihnya 204 °C.

Gliserol mempunyai sifat mudah larut air, meningkatkan viskositas lautan,

mengikat air, bersifat hidrofilik dengan titik didih yang tinggi,polar dan non volati

(Winarno, 1992).

Page 14: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Menurut Guilbert (1993), beberapa keuntungan penggunaan edible coating

adalah :

1. Dapat dimakan

2. Biaya umumnya rendah

3. Kegunaannya dapat mengurangi limbah

4. Mampu meningkatkan sifat organoleptik, mekanik dan nutrisi pada makanan.

5. Mampu menambah nilai nutrisi makanan (terutama oleh film yang terbuat

dari protein)

6. Dapat berfungsi sebagai carier atau zat pembawa untuk senyawa antimikroba

dan antioksidan.

7. Dapat digunakan sebagai pembungkus primer makanan, bersama-sama

dengan film yang tidak dapat dimakan.

Penggunaan edible coating terus mengalami peningkatan karena

memiliki keuntungan sifat dibandingkan dengan bahan kemas tradisional. Selain

dapat meningkatkan daya simpan bahan pangan, edible coating dapat

meningkatkan nilai gizi bahan pangan dan memperbaiki penampakannya. Edible

coating juga dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif seperti antimikroba dan

antioksidan.

D. Kitosan Sebagai Edible Coating

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala dan ekornya.

Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang yaitu sebagai pelindung. Ekstrasi

kitin dari limbah cangkang udang mempunyai rendemen sebesar 20 % sedangkan

rendemen kitosan dari kitin yang diperoleh adalah sekitar 80 %. Maka dari itu,

Page 15: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

dengan mengekstrak limbah cangkang udang sebanyak 100.000 ton, akan

diperoleh kitosan sebesar 16.000 ton. Untuk kedepannya, apabila limbah

cangkang udang ini dikelolah dengan teknologi yang tepat, akan menjadi alternatif

bahan pengawet yang murah, alami, ramah lingkungan, dan bisa mendapatkan

devisa negara jika di ekspor ke luar negeri (Prasetio, 2004).

Kitin dan kitosan merupakan hasil samping yang didapat dari limbah

udang. Limbah udang ini dihasilkan dari kegiatan pengolahan udang segar

menjadi udang beku. Proses pembuatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada

Gambar 2.

Page 16: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Gambar 2. Proses pembuatan kitosan dari kulit udang (Shahidi et al.,1999)

Mekanisme kerja dari larutan kitosan yang bersifat bakteriostatik diduga

hanya menghambat mekanisme kerja sel bakteri sehingga dapat menghambat

pertumbuhannya. Tetapi sifat bakteriostatik ini dapat berubah menjadi efek

bakteriosidal apabila konsentrasi larutan kitosan yang diberikan semakin tinggi.

Mekanisme yang bersifat bakteriosidal ini meliputi kerusakan dinding selnya

sehingga menjadi pecah, dengan demikian bakteri tidak dapat bertahan terhadap

pengaruh luar, dengan mengganggu keutuhan membran sel bakteri sehingga

Page 17: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

pertukaran zat aktif atau metabolit kedalam dan keluar sel menjadi terganggu

(Pelczar dan Chan 1986 dalam Wardhani 2008).

Edible coating adalah produk yang ramah lingkungan tanpa efek negatif,

tidak seperti bahan pengemas sintetis yang tidak dapat didegradasi. Edible coating

menjadi salah satu alternatif dalam pengemasan produk untuk menjaga kualitas

dan memperpanjang daya awetnya. Edible coating dan edible film merupakan satu

terobosan baru yang dapat menjawab tantangan yang berkembang dalam

pemasaran makanan yang bergizi, aman, berkualitas tinggi, stabil dan ekonornis

(Krochta 1994 dalam Muttaqin 2008).

Bahan dasar pembentuk pelapis edible sangat mempengaruhi sifat-sifat

pelapis edible itu sendiri. Pelapis edible yang berasal dari hidrokoloid memiliki

ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik,

namun memiliki ketahanan terhadap uap air yang sangat rendah akibat sifat

hidrofiliknya. Oleh karena itu protein dan polisakarida tidak dapat digunakan

sebagai barrier terhadap bahan yang mempunyai Aw permukaan tinggi

(Wong 1994 dalam Sambiring 2011).

Pelapisan dengan kitosan dapat menghambat atau mempertahankan

senyawa senyawa yang dapat menimbulkan bau atau aroma makanan seperti

glukosa-6 fosfat, prolina, aldehid, hidrogensulfida, minyak atsiri, metri

merpaktan, dimetilsulfida, dan pirazina serta asam-asam amino lainnya pada

daging ikan yang dapat bereaksi dengan gula pereduksi dalam reaksi maillard

(Buckle 1987 dalam Sembiring 2011).

Page 18: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Kitosan sebagai polimer alam telah menunjukkan mampu memenuhi

syarat sebagai bahan utama untuk edible coating atau film karena tidak beracun,

bersifat biodegradable, biokompatibilitas, biofunctionality, dan bersifat

antimikroba (Wang, 1992). Ada beberapa teknik aplikasi edible coating pada

produk pangan menurut Krochta et al. (1994) dalam Muttaqin (2008), yaitu :

1. Pencelupan (dipping)

Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki permukaan

kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang.

Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini

telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.

2. Penyemprotan (spraying)

Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis atau lebih

seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang

mempunyai dua sisi permukaan, seperti pizza.

3. Pembungkusan (casing)

Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri sendiri, terpisah

dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non-edible

coating.

4. Pengolesan (brushing)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk.

III.PELAKSANAAN PENELITIAN

Page 19: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil

Perikanan Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Laboratorium Bioproses

Jurusan Teknik Kimia, dan Laboratorium Kimia Teknologi Hasil Pertanian,

Universitas Sriwijaya, Indralaya, mulai bulan Februari sampai dengan selesai.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan

pembuatan pempek, larutan kitosan (edible coating) dan bahan analisis. Bahan

untuk pembuatan pempek yaitu daging giling ikan gabus (Channa striata),

tapioka, air dan garam. Sedangkan untuk pembuatan larutan kitosan yaitu serbuk

kitosan, asam asetat glasial 1% dan akuades. Analisis yang dilakukan

menggunakan bahan seperti asam sulfat pekat, larutan buffer, akuades, H3BO3,

HgO, H2SO4, HCl, larutan BaCl2, larutan butterfields phospate buffered, larutan

PCA (Plate Count Agar), K2SO4, Mg(NO3)2, NaCl, dan NaOH.

Alat yang akan digunakan untuk membuat pempek adalah baskom,

kompor, mangkok, panci, penggorengan, piring, pisau, saringan, sendok, spatula,

talenan, dan timbangan analitik. Untuk membuat larutan kitosan (edible coating)

adalah gelas ukur, pengaduk, labu ukur, dan timbangan analitik. Sedangkan alat

Color reader CR-10, batang pengaduk, cawan petri, cawan porselen, desikator,

erlemeyer, gelas ukur, jarum ose, labu Kjeldahl, labu ukur, oven, pemanas, pipet

tetes, pH-meter, tabung reaksi, dan timbangan analitik digunakan untuk analisis.

Page 20: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

C. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL),

dengan perbedaan konsentrasi kitosan sebagai perlakuan dan diulang sebanyak

tiga kali. Adapun perlakuan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

- Kemasan edible coating

Ao = kontrol

A1 = larutan kitosan 1%

A2 = larutan kitosan 1,5%

A3 = larutan kitosan 2%

- Lama penyimpanan

To = penyimpanan hari ke-0

T1 = penyimpanan hari ke-1

T2 = penyimpanan hari ke-2

T3 = penyimpanan hari ke-3

T4 = penyimpanan hari ke-4

D. Cara Kerja

Adapun tahapan penelitian yang akan dilakukan terdiri dari tiga tahap

yaitu tahap pembuatan pempek, pembuatan larutan edible coating dan pelapisan.

1. Tahap I (pembuatan pempek)

Adapun cara kerja dari penelitian ini berdasarkan Winarno et al. (2000).

Cara kerjanya adalah daging ikan gabus yang telah halus sebanyak 1 kg dicampur

dengan air dingin sebanyak 500 ml, setelah homogen masukkan garam halus

secukupnya aduk kembali. Tepung tapioka dimasukkan sebanyak 1 kg berlahan-

lahan sambil diaduk sampai tercampur rata. Adonan kemudian dibentuk lonjong

Page 21: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

dengan mengunakan tangan. Proses akhir pempek yang telah jadi direbus dalam

air mendidih sampai mengapung (± 20 menit), angkat dan tiriskan.

2. Tahap II (pembuatan larutan edible coating)

Cara kerja dari penelitian ini berdasarkan metode yang digunakan oleh

Sembiring (2011) yang kemudian telah dimodifikasi. Cara kerjanya adalah

sebagai berikut, kitosan yang masih dalam bentuk serbuk sebanyak (1 gr, 1,5 gr,

dan 2 gr), kemudian dilarutkan dengan asam asetat glasial 1% sampai terbentuk

larutan tersuspensi 40 ml, lalu ditambah akuades hingga volumenya mencapai

100 ml.

3. Tahap III (pelapisan)

Pempek yang telah disiapkan kemudian dilapisi dengan metode

pencelupan dengan larutan kitosan 1%, 1,5%, dan 2% selama waktu pencelupan

yaitu sekitar 5 menit (Hadi, 2008), kemudian didinginkan. Lalu dilakukan

pengujian parameter sesuai dengan perlakuan. Kemudian pempek yang telah

dilapisi disimpan pada suhu ruang dalam kantong bening dan diletakkan di dalam

kardus.

E. Parameter dan Pengujian

Parameter dan pengujian yang akan digunakan pada penelitian ini

meliputi: analisis kimia, analisis fisik (uji warna), analisis mikrobiologi (TPC) dan

uji organoleptik (uji mutu hedonik). Analisis kimia meliputi analisis kadar air,

kadar protein, kadar karbohidrat, analisis aw (water activity), dan pengukuran

Page 22: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

pH. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai pempek tidak layak lagi

dikonsumsi.

1. Analisis kimia

Analisa kimia yang akan dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar

protein, kadar karbohidrat, analisis aw (water activity), pengukuran pH.

a. Kadar Air (AOAC, 2005)

Analisis kadar air yang akan dilakukan menggunakan metode oven.

Adapun prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam

sampel. Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang

diasumsikan semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih

bobot sebelum dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang

diuapkan. Adapun prosedur analisis kadar air sebagai berikut:

a. Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada

suhu 100-105 °C, kemudian didinginkan selama 15 menit dalam desikator

untuk menghilangkan uap air dan ditimbang.

b. Sampel pempek dihaluskan hingga homogen lalu ditimbang sebanyak kurang

lebih 5 gr dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya.

c. Kemudian dipanaskan dengan menggunakan oven pada suhu 105 oC selama 6

jam, lalu dinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kemudian dioven

kembali hingga beratnya konstan.

d. Kadar air pempek ditentukan dari berat air yang menguap.

Page 23: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

e. Persentase kadar air dihitung menggunakan basis basah dengan rumus

sebagai berikut :

Kadar air basis basah (%) = A - BA

X 100 %

Keterangan :

A = Berat sampel awal (gr)

B = Berat sampel setelah dikeringkan/ berat akhir (gr)

b. Kadar protein (AOAC, 2005)

Analisis kadar protein yang akan dilakukan menggunakan metode

makro-kjeldahl. Prinsipnya adalah oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi

nitrogen menjadi amonia oleh asam sulfat, selanjutnya amonia bereaksi dengan

kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Amonium sulfat yang terbentuk

diuraikan dan larutan dijadikan basa dengan NaOH. Amonia yang diuapkan akan

diikat dengan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan

jumlahnya dengan titrasi menggunakan larutan baku asam. Adapun cara kerja

yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Sampel dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak 2 gr dan dimasukkan ke

dalam labu Kjeldahl 30 ml, ditambahkan 1,9 gr K2SO4, 0,39 HgO dan 2,5 ml

H2SO4 pekat.

b. Sampel didihkan selama satu jam sampai cairan menjadi jerni kemudian

didinginkan. Isi dalam labu dituangkan ke dalam alat destilat, labu dibilas

dengan akuades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam labu destilat

dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml.

Page 24: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

c. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 250 ml

berisi larutan 5 ml H3BO3 dan tezs indikator (campuran metil merah 0,2 %

dalam alkohol dan metil biru 0,2 % dalam alkohol 2:1) yang ada di bawah

kondensor.

d. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200ml destilat yang bercampur

dengan H3BO3 dan indikator dalam labu erlenmeyer.

e. Kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan

warna menjadi merah.

f. Kadar protein dihitung berdasarkan kadar N dalam bahan dengan dikalikan

faktor konversi.

g. Perhitungan persentase protein :

(ml HCl) x (N HCl) x 14,008% N = ──────────────────────── x 100 %

mg sampel% protein = % N x faktor konversi (6,25)

c. Kadar Karbohidrat

Perhitungan kadar karbohidrat yang akan dilakukan berdasarkan SNI 01-

2891-1992 dilakukan dengan menggunakan luff school. Cara kerjanya adalah

sebagai berikut:

a. Sampel 5 gr ditambahkan 200 ml HCl 3%.

b. Direfluk dengan pendinginan balik selama 2,5 jam dalam under brooth.

c. Sampel didinginkan, dinetralkan sampai pH 7 dengan NaOH 40%.

d. Kemudian dianalisis dengan metode luff school, diambil sampel 25 ml dan

ditambahkan dengan 25 ml luff school, dipanaskan selama 10 menit.

e. Didinginkan, lalu ditambahkan KI 15% sebanyak 15 ml.

Page 25: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

f. Ditambahkan lagi H2SO4 25% sebanyak 25 ml.

g. Dititrasi dengan larutan tiosulfat 0,1N dengan indikator amilum 1% sampai

larutan titrasi berwarna larutan susu, dicatat penggunaan larutan tiosulfat

0,1N.

h. Dilakukan langkah sama dengan larutan blanko.

i. Adapun perhitungan kadar karbohidrat sebagai berikut:

Ml Na2S2O3 = ml Na2S2O3 (Blanko-sampel) x N. Na2S2O3 x10

Mg Glukosa = bilangan konversi + (ml Na2S2O3 x Faktor Konversi)

Kadar karbohidrat = berat glukosa (mg ) x P

berat sampel(g) x 100%

P = pengenceran sampel : volume yang diambil untuk analisis

d. Analisis aw (water activity) (Apriyantono et al., 1989)

Sampel sebanyak 2-5 g ditumbuk sampai halus kemudian dimasukkan ke

dalam plastik. Setelah itu, dimasukkan ke dalam aw meter untuk pengukuran nilai

aw tersebut. Sebelum dilakukan pengukuran, aw meter distandarisasi dengan

NaCl, Mg(NO3)2 dan BaCl2 masing-masing selama 30 menit. Kemudian

dilakukan pengukuran aw masing-masing sampel selama 15 menit.

e. Pengukuran pH (Cahyadi, 2006)

Pengukuran pH akan dilakukan dengan menggunakan pH-meter. pH-

meter diaktifkan dan elektroda dari pH-meter dimasukkan ke dalam larutan buffer

terlebih dahulu untuk kalibrasi alat. Kemudian dimasukkan ke dalam larutan

sampel yang akan dianalisa pH-nya.

Page 26: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

2. Analisis Fisik

Analisis fisik yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah uji warna.

Analisis warna akan dilakukan dengan menggunakan alat Color reader CR-10

berdasarkan Munsell (1997). Cara kerja pengujiannya sebagai berikut:

1. Hidupkan Color Reader CR-10 kemudian sampel diletakkan pada ujung alat.

2. Tekan tombol start hingga didapatkan data yang tertera pada layar alat terdiri

dari nilai lightness, chroma, dan hue.

3. Data yang tertera pada alat kemudian dicatat.

3. Analisis Mikrobiologi

Analisis mikrobiologi yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah

Total Plate Count (TPC). Pengujian Total Plate Count (TPC) akan dilakukan

sesuai dengan SNI 01-2332.3-2006, prosedur perhitungan mikroba dengan metode

pour plate adalah sebagai berikut :

1. Sampel ditimbang sebanyak 25 gram dan dimasukkan kedalam wadah.

Kemudian sampel ditambahkan 225 ml larutan butterfields phospate buffered

dan dihomogenkan. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1.

2. Dengan menggunakan pipet yang sudah steril diambil sebanyak 1 ml contoh

homogenat dan dimasukkan kedalam tabung yang berisi 9 ml larutan

butterfields phospate buffered untuk mendapatkan pengenceran 10-2.

3. Siapkan pengenceran selanjutnya (10-3) dengan mengambil 1 ml dari

pengenceran 10-2 kedalam larutan butterfields phospate buffered, hingga

Page 27: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

mendapatkan pengenceran 10-4 kemudian dimasukkan pada cawan petri steril.

Setiap pengenceran dilakukan secara duplo.

4. Kedalam tiap cawan petri dimasukkan media PCA yang telah diencerkan ±

12– 15 ml dengan suhu 37 0C. Supaya contoh dan media PCA tercampur

sempurna lakukan pemutaran cawan ke depan ke belakang dan kekiri ke-

kanan.

5. Setelah agar menjadi padat, untuk penentuan mikroorganisme cawan tersebut

diinkubasi dalam inkubator selama ± 24 jam dengan suhu 37 0C.

6. Catat pengenceran yang digunakan dan hitung jumlah total koloni.

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus :

N =

Keterangan :

N = Jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml/ koloni per gram

Σ C = Jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung per gram

n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung

n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung

d = Pengenceran pertama dihitung

4. Uji Mutu Hedonik

Mutu hedonik terhadap pempek mengacu pada Sembiring (2011), yang

telah dimodifikasi. Sampel dievaluasi oleh 25 panelis semi terlatih. Panelis

diminta untuk menilai penampakan, aroma, rasa, warna dan tekstur. Skala

peringkat 1-5. Skor karakteristik pempek dijumlahkan untuk memberikan skor

Σ C [ ( 1 x n1 ) ] + [ ( 0,1 x n2) ] x (d)

Page 28: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

sensori secara keseluruhan. Kemudian di analisis dengan menggunakan uji

Kruskal-Wallis.

F. Analisa Statistik

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik. Pengolahan

data dilakukan secara kuantitatif menggunakan teknik pengolahan data analisa

statistik parametrik dan analisa statistik non parametrik.

1. Analisa Statistik Parametrik

Dari hasil yang akan diperoleh, selanjutnya data dianalisa menggunakan

statistik parametrik dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), menurut Gomez

dan Gomez (1995). Dengan persamaan sebagai berikut :

Yij = μ + αi + εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan

μ = nilai rata-rata

αi = pengaruh konsentrasi kitosan

εij = kesalahan percobaan (galat)

Hasil pengukuran diolah dengan analisa statistik parametrik. Analisa

keragaman dalam statistik adalah seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Daftar analisa keragaman Rancangan Acak Lengkap Sumber

Keragaman (SK)

Derajat Bebas(db)

Jumlah Kuadrat

(JK)

Jumlah Kuadrat Tengah(JKT)

Fhitung

Ftabel

5% 1%

Perlakuan V1 = (n.t-1) JKP JKP/ V1 KTP/KTG (V1, V3) Galat V2 = V3 – V1 JKG JKG/ V3

Total V3 = (n.t.)-1 JKTotal JKTotal/ V3

Sumber : Gomez dan Gomez (1995)

Page 29: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Signifikansi pada analisa keragaman dilakukan dengan membandingkan

Ftabel pada uji 5% dan 1% dengan dasar perbandingan sebagai berikut :

1. Jika Fhitung lebih besar dari pada Ftabel 5% dan lebih kecil atau sama dengan Ftabel

1%, maka dinyatakan berpengaruh nyata dan diberi tanda *.

2. Jika Fhitung lebih besar dari pada Ftabel 1%, maka dinyatakan berpengaruh sangat

nyata dan diberi tanda **.

3. Jika Fhitung lebih kecil atau sama dengan Ftabel 5%, maka dinyatakan

berpengaruh tidak nyata dan diberi tanda ns.

Bila hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa Fhitung lebih besar

daripada Ftabel dilanjutkan dengan uji BNJ untuk mengetahui beda rerata yang ada

dalam setiap percobaan. Rumus yang digunakan untuk uji BNJ adalah sebagai

berikut :

BNJ = Qα (p,v) x Sy

Qα (p,v) = nilai baku q pada uji α, jumlah perlakuan p dan derajat bebas galat v.

Sy =√ KTGr

Keterangan :

q = nilai pada tabel q pada taraf uji 5% dan 1%

p = jumlah perlakuan yang diuji

v = derajat bebas kesalahan

KTG = kuadrat tengah galat

r = jumlah ulangan

Untuk mengetahui tingkat ketelitian menurut Gomez dan Gomez (1995)

digunakan uji Koefisien Keragaman (KK) dengan rumus sebagai berikut :

Page 30: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

KK =

√KTGY

x100 %

Keterangan :

KK = koefisien keragaman

KTG = kuadrat tengah galat

Y = nilai rata-rata seluruh data percobaan

2. Analisis Statistik Non Parametrik

Data yang diperoleh dari uji kesukaan metode mutu hedonik yang meliputi

penampakan, aroma, rasa, warna, dan tekstur dihitung secara statistik. Analisis

statistik yang digunakan adalah analisis statistik non parametrik model Kruskal

Wallis.

H=12n( n+1)∑i 2i

krιni – 3 (n+1)

Keterangan :

H : nilai Kruskal-Wallis dari hasilperhitungan

rt : jumlah rank dari kategori/perlakuan ke i

ni : Banyaknya ulanganpada kategori/perlakuan ke-i

k : banyaknya kategori/perlakuan (i=1,2,3,…..,k)

n :Jumlah seluruh data (N=n1+n2+n3+………..+nk)

Apabila hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukan hasil yang berbeda

nyata, maka dilanjutkan dengan uji perbandingan (Multiple Comparison), yaitu

dengan rumus (Steel dan Torie, 1991 dalam Hasanah,. 2007) :

Page 31: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Keterangan :

Ri = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i

Rj = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j

K = Banyaknya perlakuan

N = Jumlah total data yamng dibandingkan

Page 32: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Lampiran 1SCORESHEET UJI MUTU HEDONIK

Beri tanda (√) pada kolom yang tersedia

Parameter Penilaian Nilai Kode sampel

468 379 135 246

penampakan

Utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan rata, tidak berlendir, sangat mengkilat

5

Utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan kurang rata, tidak berlendir, mengkilat

4

Utuh, rapi, permukaan kurang rata, ketebalan kurang rata, tidak berlendir, agak mengkilat

3

Utuh, kurang rapi, permukaan kurang rata, ketebalan kurang rata, berlendir, kurang mengkilat

2

Kurang utuh, kurang rapi, kurang rata, ketebalan kurang rata, sangat berlendir, tidak mengkilat

1

Aroma

Sangat tercium aroma ikan dan tidak tercium bau asam

5

Tercium aroma ikan dan tidak tercium bau asam

4

Agak tercium aroma ikan dan sedikit tercium bau asam.

3

Agak tidak tercium aroma ikan dan asam

2

Tidak tercium aroma ikan dan asam. 1

Rasa

Terasa ikan, gurih, dan tidak terasa asam 5Terasa ikan, kurang gurih dan tidak terasa asam

4

Kurang terasa ikan, gurih dan tidak terasa asam

3

Tidak terasa ikan, gurih dan agak terasa asam

2

Tidak terasa ikan, tidak gurih dan agak terasa asam

1

Warna

Putih 5Putih kekuningan 4Sedikit kuning 3Kuning 2Kuning kecoklatan 1

Tekstur

Kenyal, kompak, padat 5Kenyal, kompak, kurang padat 4Kenyal, kurang kompak, kurang padat 3Kurang kenyal, kurang kompak, kurang padat

2

Tidak kenyal, tidak kompak, tidak padat 1Sumber : Sembiring (2011) yang dimodifikasi

Page 33: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A., Fardiaz., D., Piuspitasari, N. L., Sedarnawati dan Susilo, B. 1989. Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Association of Official Analytycal Chemistry. 2005. Official Methods af Analysis. Association of Official Analytycal Chemistry, Washington DC. United State of America.

Astawan, M. 2005. Nilai gizi pempek. (Online). (http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_tknpress_pempek.php.html diakses 23 Sept 2011).

Bachtiyar, M. 2007. Karakteristik pempek ikan gabus (ophiocephallus striatus) dengan penambahan rumput laut kappaphycus alvarezzi sebagai substitusi tepung tapioka. Skripsi. Fakultas pertanian. Universitas Sriwijaya.

Badan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-2891-1992. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 2006. Cara Uji Uji Mikrobiologi – Bagian 3 :

Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. SNI 01-2332. 3-2006. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Brezki, M. M. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish 5/87 : 31-33.

Butler BL, Vernago PJ, Testin RF, Bunn JM, Wiles JL. 1996. Mechanical and barier properties of edible chitosan films as affected by composition and storage. Journal of Food Science 61: 953-955.

Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Chen, M. C., G. H. C. Yeh, B. H. Chiang. 1996. Antimicrobial and physicochemical properties of methylcellulosa and chitosan films containing aqueus preserpative. J. Food Processing and Preservation 20: 379-390.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Daftar Komposisi Gizi Bahan Makanan. Jakarta : Depkes RI.

Page 34: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Firdaus, RA. 2006. Pengemasan pempek lenjer secara vakum. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.

Gomez, K. A dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Pertanian. Edisi 2. Penerjemah Endang Sjamsuddin dan Justika S. Baharsjah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Guilbert, S. 1993. Technology And Application of Edible Protestive Films. In Food Packaging and Preservation. Theory and Practice, M, Mathlouthi, ed, London.

Gennadios, A, dan C.L.Weller. 1990. Edible film and coating from eheat and corn protein. Food Technol. 44 (10) : 63.

Hadi, HN. 2008. Aplikasi kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai pengawet dan edible coating bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Hasanah, R.U. 2007. Pemanfaatan rumput laut (Gracilaria sp.) dalam meningkatkan kandungan serat pangan pada sponge cake. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hilpini, L. 2006. Umur simpan pempek lenjer setengah basah yang dikemas vakum. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.

Iljas, N. 1995. Peranan teknologi pangan dalam upaya meningkatkan citra makanan tradisional Sumatera Selatan. Makanan pada pengukuhan guru besar tetap pada Fakultas pertanian. Universitas Sriwijaya.

Irianto, D., Purwaningrum, E., Istiana, dan Cahyaningrum, SR. 2009. Pengaruh penambahan kitosan yang diisolasi dari limbah cangkang udang windu (Penaeus monodoni) terhadap mutu organoleptik, mutu kimia, dan daya simpan mi basah. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Surabaya.

Jusnita, N. 2007. Kajian penggunaan kitosan terhadap mutu produk olahan ikan selama penyimpanan pada suhu kamar. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Kester, J.J. dan O.R. Fennema. 1989. Edible films and coatings : A review. Food Tecknol 40 (12) : 47-59.

Kittur, F.S., K.R. Kumar dan R.N. Tharanathan. 1998. Functional packaging properties of chitosan film. Z. Lebesm Unters Forsch A 206: 44-47.

Page 35: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Komariah, S. 1995. Telaah teknologi proses dan pengemasan pada industri kecil pempek dan kerupuk kemplang palembang. Laporan praktik lapangan. Fakultas Pertania. Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi D. 1989. Keracunan sodium nitrit. (Online). (http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_keracunannitrit.php. html diakses 12 Maret 2011).

Munsell. 1997. Colour Chart for Plant Tissu Mecbelt Division of Kalmorgen Instrument Corporation. Baltimore Maryland.

Muttaqin, S. 2008. Karakteristik Kitosan Rajungan dan Aplikasinya Sebaga Edible Coatinng pada Ikan Cucut (Carcharhinus sp.) Asin. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Permana, R. (2000). Pengaruh suhu terhadap karakteristik buah apel malang (Mallus pumilla) yang dilapisi edible coating selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Prasetiyo, K.W. 2004. Pemanfaatan limbah cangakang udang. (Online). (http://www.kompas.com/teknologi/index.html diakses 12 Februari 2013)

Rahardyani, R. 2011. Efek daya hambat kitosan sebagai edible coating terhadap mutu daging sapi selama penyimpanan suhu dingin. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Sembiring, WB. 2011. Penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan edible coating serta pengaruh penyimpanan suhu ruang terhadap mutu dan daya awet empek-empek. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.

Shahidi, F., Arachi, J. K. V. dan Jeon, Y. J. 1999. Food application of chitin and chitosan. Review. Trends in Food Science and Technology. 10: 37-51.

Sugita, P., Wukirsari, T., Sjahriza, A., Wahyono, D. 2009. Kitosan sumber biomaterial masa depan. IPB Press. Bogor.

Suptijah P, Gushagia Y, dan Sukarsa DR. 2008. Kajian efek daya hambat kitosan terhadap kemunduran mutu fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus) pada penyimpanan suhu ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. vol XI no 2 : 89-101.

Wardhani, S.K. 2008. Efikasi kemasan anti mikroba berbahan kitosan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Page 36: Pengaruh Edible Coating Kitosan Terhadap (1)

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno FG, Wirakusumah ES, Rimbawan, Natakusuma S, Rustamsyah. 2000. Kumpulan Makanan Tradisional II. Jakarta : Pusat Kajian Makanan Tradisional. Perguruan Tinggi, Dep. Pendidikan Nasional.