pendidikan (tina)

Upload: tina-lubh-semua

Post on 07-Apr-2018

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    1/23

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain

    dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (HumanDevelopment Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan

    penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesiamakin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-

    99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

    Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan diIndonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah

    Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki

    daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei didunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagaifollower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

    Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan

    disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karenakesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena

    beberapa hal yang mendasar.

    Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka.

    Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia

    tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbukasehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

    Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baikpendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya

    dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat

    meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber dayamanusia di negara-negara lain.

    Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan

    di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikanformal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang

    menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilanuntuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

    Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwadari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan

    dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    2/23

    juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle YearsProgram (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat

    pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

    Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,

    efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan diIndonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:

    (1). Rendahnya sarana fisik,

    (2). Rendahnya kualitas guru,

    (3). Rendahnya kesejahteraan guru,

    (4). Rendahnya prestasi siswa,

    (5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

    (6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,

    (7). Mahalnya biaya pendidikan.

    Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah

    yang berjudul Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia ini.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?

    2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?

    3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?

    4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di

    Indonesia?

    C. Tujuan Penulisan

    1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.

    2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.

    3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

    4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan diIndonesia.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    3/23

    D. Manfaat Penulisan

    1. Bagi Pemerintah

    Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

    2. Bagi Guru

    Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih

    baik dimasa yang akan datang.

    3. Bagi Mahasiswa

    Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada

    khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia

    Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di

    Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan dibumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.

    Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-

    pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama dimasyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan

    ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserapmelalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.

    Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruantinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa

    diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu sertamenyimpulkannya.

    B. Kualitas Pendidikan di Indonesia

    Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini

    terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punyaharapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru

    saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lainatau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya

    menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalammengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    4/23

    dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyakguru-guru berpengalaman yang pensiun.

    Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia,

    terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang

    tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja.Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakansiswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

    Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya, kata Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman,Jakarta, Senin (12/3/2007).

    Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangkameningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:

    y Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadapmasyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka

    partisipasi.

    y Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, sepertiketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.

    y Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi gurudan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.

    y Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidangkompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang

    dibutuhkan.y Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah

    jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.y Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini

    dianggarkan Rp 44 triliun.y Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.y Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas

    penddikan.

    C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

    Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesiasecara umum, yaitu:

    1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    5/23

    Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan

    peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuaidengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer)

    dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapatberguna.

    Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan

    penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuanpendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta

    didik dan pendidik tidak tahu goal apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyaigambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika

    kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita

    tidak tahu apa tujuan kita.

    Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi

    formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimanahasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di

    jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalahyang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai

    kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuaibakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

    Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang

    sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yanglebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai denganbakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya

    masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan diIndonesia.

    2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia

    Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebihmurah. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk

    memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang

    kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanyabagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.

    Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktuyang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan

    kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatansumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    6/23

    Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita.Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan

    Negara lain yang tidak mengambil sitemfree cost education. Namun mengapa kita menganggappendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan

    rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.

    Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah,training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga

    berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yangditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri,

    memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidakhanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain

    sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yangmengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu

    dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

    Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktupengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia

    relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolahmenengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan

    diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi,peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu

    tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti lesakademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama

    tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untukmelengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

    Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar.Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang

    diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

    Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak padakompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa,

    namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebutbenar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain

    adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudahdimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.

    Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di

    Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehinggamembingungkan pendidik dan peserta didik.

    Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994,kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi

    proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita jugamengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    7/23

    juga menambah costbiaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering menggantikurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang

    dinilai lebih efektif.

    Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal

    dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapatmenghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologisdan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran

    secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomistercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

    Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep

    efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadapharganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang

    efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumberpendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program

    yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumberpendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

    3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia

    Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentangstandardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan

    standar yang akan diambil.

    Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertusberunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi.

    Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslahmemenuhi standar.

    Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupuninformal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur

    oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan

    Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

    Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnyamembawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan

    adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dantujuan pendidikan tersebut.

    Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar

    pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan.Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh,yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    8/23

    Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna sajakarena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu

    pendidikan di Indonesia.

    Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di

    Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesimisalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yangkami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta

    didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalupeserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya

    berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpamengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.

    Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi

    pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, danmembutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi

    Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kamibahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal

    seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semogajika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di

    Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.

    Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkanpula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di

    Indonesia.

    1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

    Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita

    yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaantidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak

    memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

    Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang

    menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelastersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami

    kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisiMI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD

    pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun denganpersentase yang tidak sama.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    9/23

    2. Rendahnya Kualitas Guru

    Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memilikiprofesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39

    UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil

    pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian danmelakukan pengabdian masyarakat.

    Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentaseguru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:

    untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk

    SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

    Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data

    Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang

    berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guruSLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkatsekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di

    tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas(3,48% berpendidikan S3).

    Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi,

    pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenagapengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung

    jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnyatingkat kesejahteraan guru.

    3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

    Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikanIndonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan

    tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru

    honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terangsaja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah

    lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS,pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

    Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak

    lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itudisebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain

    meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangankhusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat

    pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    10/23

    Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Dilingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.

    Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat danBanten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru

    dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

    4. Rendahnya Prestasi Siswa

    Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraanguru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian

    prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. MenurutTrends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di

    ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negaradalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan

    Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

    Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak diseluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam

    laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabiladibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

    Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA

    (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timurmenunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.

    Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1(Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

    Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata

    mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal inimungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

    Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R,1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas

    2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam duniapendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik

    ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

    5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    11/23

    Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah

    Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal BinbagaDepartemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usiaSD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori

    tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam

    usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secarakeseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat

    untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

    6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

    Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996)yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi

    oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%,sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-

    masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data BalitbangDepdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki

    keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanyaketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum

    yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didikmemasuki dunia kerja.

    7. Mahalnya Biaya Pendidikan

    Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biayayang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya

    pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakatmiskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

    Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000.Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta

    sampai Rp 5 juta.

    Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yangmenerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih

    dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/DewanPendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

    Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite

    Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan Komite Sekolah.Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    12/23

    dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya

    menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikanrakyatnya.

    Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUUBHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memilikikonsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara

    mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badanhukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum

    Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakanpendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan

    di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

    Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas daritekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia

    sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasipendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi

    korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

    Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana

    untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). RencanaPemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-

    Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan PeraturanPemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar.

    Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara

    dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentukbadan hukum pendidikan.

    Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam

    operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar(Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah

    melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraanpendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan

    sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang

    mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakinterkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

    Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikanmerupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor

    lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP),Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi

    badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlakuuntuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    13/23

    Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan HukumMilik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus

    mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan dibeberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya

    pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

    Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah ataugratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya

    yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjaminakses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya

    Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapatdijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

    D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia

    Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan

    yaitu:

    Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan

    dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistemekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam

    konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lainmeminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan

    pendidikan.

    Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaanseperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan berarti

    menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkansistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem

    kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yangmenggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan

    negara.

    Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan

    pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

    Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untukmeningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi

    solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan

    kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitasdan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan

    sebagainya.

    BAB III

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    14/23

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan

    kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaituefektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:

    (1). Rendahnya sarana fisik,

    (2). Rendahnya kualitas guru,

    (3). Rendahnya kesejahteraan guru,

    (4). Rendahnya prestasi siswa,

    (5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

    (6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,

    (7). Mahalnya biaya pendidikan.

    Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubahsistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru

    serta prestasi siswa.

    B. Saran

    Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem

    pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang.Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan

    negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.

    Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akansemakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala

    bidang di dunia internasional.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    15/23

    Pungutan Liar didunia Pendidikan

    Indah Wahyuningtyas

    112072704EA04

    Pungutan liar di dunia pendidikan

    Latar BelakangPendidikan saat ini sangat mahal biayanya. Untuk itu pemerintah mempunyai program untuk

    meringankan beban masyarakat Indonesia agar tetap fokus pada pendidikan dan mengurangibeban biaya pendidikan. Pemerintah sudah meluncurkan program BOS untuk tingkat SD dan

    SMP. Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia masih dilingkupi rasa keprihatinan begitumendalam atas berbagai kasus yang menggelayuti dunia pendidikan kita. Mulai kasus minimnya

    pemerataan fasilitas, sarana dan prasarana penunjang pendidikan, kualitas pendidik,mengakarnya praktek tauran antar pelajar atau mahasiswa sekalipun, mendarah dagingnya tradisi

    pembocoran lembar soal dan jawaban oleh segelintir guru beserta kepala sekolah saat ujiannasional (UN) tiba demi ambisi dan pencitraan sekolah, sampai terjadinya tindakan kekerasan.

    Dengan demikian, segala elemen yang berkaitan dengan kualitas pendidakan, mulai dariemosional, spiritual, intelektual harus melekat dalam pribadi pendidik dan anak didik serta

    pengambilan keputusan sistem pembelajaran. Pelaku didunia pendidikan belum dapat membawaperubahan positif pada masyarakat Indonesia yang lebih baik dan arif, maka wajar bila praktik

    belajar-mengajar secara jelas telah terkalahkan oleh kekerasan. Carut-marutnya praktik pungutanliar pun telah mencoreng dunia pendidikan kita. Haruskah, kita tetap mempertahankan perayaan

    turun temurun itu? Sudikah sistem pendidikan kita jauh tertinggal oleh negara-negara tetangga?

    MasalahSungguh mengerikan dan ironis tentang masalah yang terjadi di dunia pendidikan ini. Di tengah-

    tengat gencarnya upaya pemberantasan buta huruf, menggencarkan wajib sekolah sembilantahun dan tanpa dipungut biaya bagi kalangan tertentu. Nyatanya, masih banyak lembaga

    pendidikan tertentu yang akrab dengan budaya pungutan liar. Alih-alih peningkatan kualitas.Padahal menuntut ilmu secara formal merupakan sektor strategis dan kunci bagi bangsa ini untuk

    menapakan kaki ke arah kehidupan bangsa yang lebih baik.Pungutan liar biasanya dijumpai pada awal ajaran baru. Contohnya pasca penerimaan murid baru

    di tingkat SD dan SMP marak terjadi beberapa daerah. Besarnya pungutan beragam mulai dari450 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah. Hal itu terungkap ketika puluhan orang tua murid

    mengadukan adanya pungutan liar ke Posko Pengaduan Penerimaan Siswa Baru (PSB) yangdibuka Indonesia Corruption Watch (ICW) di beberapa daerah.

    Pungutan liar tersebut, biasanya banyak terjadi setelah siswa diterima di sekolah. Bukan padasaat proses penerimaan siswa baru. Bentuk pungutan tersebut dapat bermacam-macam, mulai

    dari uang bangunan, uang buku, uang pensiun guru, dan sebagainya. Jika sekolah tidakmenyampaikan pertanggungjawaban, maka itu masuk ke dalam pungutan liar.

    Banyaknya pungutan liar disekolah, terjadi karena tidak terbukanya sistem pengelolaanAnggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Padahal, untuk jenjang sekolah SD dan

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    16/23

    SMP, tidak diperkenankan memungut biaya apa pun yang terkait untuk biaya operasionalsekolah karena sudah ada Bantuan Operasional Siswa (BOS).

    Hipotesis dan Asumsi

    Hipotesis dari masalah etika bisnis ini tergambar dari latar belakang dan masalah, yaitu

    mengenai pungutan liar di sekolah-sekolah yang disebabkan karena kurangnya keterbukaansistem pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Setiap lembaga atausektor-sektor harus memiliki sifat transparansi demi adanya kepercayaan masyarakat terhadap

    lembaga tersebut.Asumsi dari masalah pungutan liar disekolah ini perlu dipertanyakan kemudian adalah komitmen

    pemerintah mengenai kebijakan di bidang pendidikan. Selama ini, sangat terasa janggal di manasubsidi pendidikan lebih kecil daripada subsidi militer. Hal ini merupakan bukti bahwa

    pemerintah kurang mendukung kecerdasan warga negaranya yang bisa muncul melaluipendidikan.

    Landasan Teori

    Etika bisnis adalah penerapan prinsip prinsip etika yang umum pada suatu wilayah perilakumanusia yag khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis.

    Sepanjang sejarah perkembangan teori etika bisnis, telah berkembang banyak teori teori yangmenjadi landasan dalam pegambilan keputusan, sehingga justifikasi dari berbagai perbuatan

    moral juga akan menjadi berbeda. Hal tersebut menyebabkan terjadinya banyak diskusi bagi parateoritis, walaupun dalam praktek nantinya, teori teori tadi akan menuju ke tujuan pemecahan

    masalah yang sama pula.Beberapa teori yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah di atas adalah sebagai

    berikut :1. Utilitarisme

    Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harusmenyangkut bukan saja satu dua orang, melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi,

    utilitarisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Menurut suatu perumusan terkenal,dalam rangka pemikiran utilitarsme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan

    adalah the greatest happiness of the great number, kebahagian terbesar dari jumlah orangterbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas

    adalah perbuatan yang terbaik. Dapat dipahami pula kalau utilitarisme sangat menekankanpentingnya konsekuensi perbuatan dan menilai baik buruknya. Kualitas suatu moral ditentukan

    oleh konsekuensi yang dibawa olehnya. Selain disebut sebagai teori konsekuensilialisme, teoriulitarisme ini juga disebut sebagai teori teleologis, sebab menurut teori ini kualitas etis suatu

    perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksudbaik tetapi tidak menghasilkan apa apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.

    2. DeontologiJika utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensinya, pada deontologi

    melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Yang menjadi dasar dari baikburuknya perbuatan adalah kewajiban. Sadar atau tidak, orang yang beragama, berpegang pada

    teori deontologi. Karena pegangan deontologi, setidak tidaknya dengan implisit, sudah diterimadalam konteks agama, dan sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang penting.

    3. Teori HakSebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena hak berkaitan dengan

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    17/23

    kewajiban. Tetapi, kini teori hak telah memiliki pendekatannya tersendiri. Hak didasarkan atasmartabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu, teori ini cocok untuk

    pemikiran yang demokratis.4. Teori Keutamaan

    Teori keutamaan memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan tidak boleh dibatasi dari

    taraf pribadi saja, melainkan harus ditempatkan dalam konteks komuniter.Dan dilihat dari kelima teori diatas, bisa diperhatikan bagaimana masalah yang terjadi padasemangat Go Green yang terjadi pada saat ini, telah dijadikan sebagai sebuah daya tarik baru

    dalam dunia pemasaran dan inovasi suatu produk.Diperhatikan dari teori utilitarisme yang berlandaskan pada manfaat, maka dari segi produsen,

    maka perbuatan yang dilakuakan ini bisa dianggap benar. Namun, jika diperhatikan dari segikonsumen yang lebih luas, perbuatan ini bisa dianggap melanggar etika. Karena si produsen

    hanya mementingkan keuntungan perusahannnya semata dengan memanfaatkan trend semangatGo Green, tapi hanya sebagai slogan, dan produsen tadi telah melakukan Greenwashing yang

    hanya mengumbar umbar semangat tanpa realisasi. Terlihat tanpa manfaat dari segi umum. Dandari teori deontologi yang berdasarkan pada masalah Greenwashing di atas, perbuatan itu bisa

    dikatakan sebagai melanggar moral karena dalam segi agama, Greenwashing tidaklah tepatdilakukan. Kemudian diperhatikan dari teori hak, maka si produsen memiliki kewajiban untuk

    bersikap jujur pada konsumennya, sementara si konsumen memiliki hak untuk memilih danmemahami apakah semangat Go Green yang dihembuskan oleh si produsen adalah jujur atau

    hanya sebagai inovasi untuk menarik konsumen semata. Kemudian teori terakhir adalah teorikeutamaan yang berlandaskan pada akhlak seseorang untuk kepentingan orang banyak. Maka

    Greenwashing akan dipertanyakan sebagi sesuatu yang benar atau salah. Semua dikembalikanpada hati nurani.

    PenutupKesimpulan

    Minimnya keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan maka kini bertebaranlah mental-mental"rapuh" yang muncul dalam perilaku korupsi pada pribadi-pribadi pejabat bangsa ini. Korupsi

    yang merambah ke semua sektor, termasuk sektor pendidikan sendiri, kini seolah menjadi"benang basah yang sulit ditegakkan". Bahkan, hingga hari ini penyelenggaraan pendidikan

    sering kali mempraktikkan tindakan tercela dalam berbagai kegiatan sekolah dan proyek-proyeklainnya.

    SaranUntuk itu demi perubahan yang baik disektor pendidikan Indonesia dan disektor-sektor lain demi

    generasi penerus bangsa dan kemajuan bangsa, pemerintah harus memiliki peraturan yang tegasuntuk dunia pendidikan. Pemerataan fasilitas sekolah, tunjangan yang layak bagi para guru atau

    pengajar, sistem pembelajaran yang baik. Apabila hal itu sudah teratasi maka akanmeminimalisir atau dapat menghilangkan budaya pungutan liar di sekolah. Pemerintah juga

    harus mengusahakan agar biaya pendidikan tetap murah tanpa pungutan-pungutan wajib bahkanpungutan liar.

    Dengan penyelenggaraan pendidikan murah juga akan mudah mengontrol perilaku korupsi yangmarak terjadi pada berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan itu sendiri

    karena dana yang sedikit akan mudah diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dan, denganpendidikan murah diskriminasi terhadap orang miskin untuk tidak boleh sekolah bisa

    dihindarkan. Singkat kata, dengan penyelenggaraan pendidikan murah, orang miskin tidak lagidilarang untuk sekolah.

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    18/23

    Mahalnya Biaya Pendidikan

    Senin, 21/06/2010 13:15 WIB

    Bulan Juni dan Juli adalah bulan yang sangat memusingkan buat orang tua murid. Pasalnya,mereka akan berhadapan dengan biaya pendidikan di sekolah baru yang kian hari sangat sulit

    terjangkau untuk rakyat kebanyakan di negeri ini.

    Hampir di semua jenjang pendidikan, kecuali sekolah negeri SD dan SMP yang sudahdigratiskan di beberapa daerah, biaya pendidikan sudah bermain di kisaran jutaan hingga ratusan

    juta rupiah.

    Untuk masuk SMU Negeri di Jakarta misalnya, orang tua murid sedikitnya harus menyiapkan

    uang di atas 7 juta rupiah. Itu belum termasuk uang bulanan yang harus mereka keluarkan yangbesarnya antara 300 ribu hingga 400 ribu rupiah per bulan.

    Begitu pun dengan SMK Negeri di Jakarta. Sebelum calon murid resmi masuk sekolah, pihak

    sekolah memanggil orang tua murid untuk dimintai kesanggupannya dalam soal biaya. Pihaksekolah akan memaparkan besaran biaya yang dibutuhkan untuk operasional sekolah. Jika setuju,

    orang tua bisa terus, dan jika ragu, orang tua bisa mencari sekolah lain.

    Soal biaya selangit juga tanpa kecuali untuk sekolah-sekolah Islam unggulan seperti SD Islam

    terpadu hingga SMU terpadu. Besaran biaya masuk bisa mencapai belasan juta rupiah dan biayabulanan yang bisa mencapai 1,5 juta rupiah.

    Besaran biaya sekolah kian tak terjangkau jika memasuki level perguruan tinggi negeri. Soalnya,

    biaya masuk ke perguruan tinggi negeri bisa mencapai di atas 100 juta rupiah. Dan biaya persemester yang bisa mencapai 70 juta rupiah.

    Bandingkan dengan biaya kuliah di National University of Singapore yang biayanya berkisar

    9.540 dollar-27.350 dollar Singapura atau di Universitas Kebangsaan Malaysia yang memasangbiaya 1.167 ringgit hingga 1.500 ringgit Malaysia atau senilai 3,5 juta hingga 4,5 juta rupiah.

    Pertanyaan mendasar, kewajiban siapakah sebenarnya pendidikan untuk anak negeri ini? Hanya

    orang tua dan masyarakatkah, atau juga negara? Lalu, seperti apa wajah negeri ini kedepan jikagenerasi mudanya tidak punya pendidikan yang memadai?

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    19/23

    Mahalnya biaya pendidikan

    Tanggal 1 Juli kemarin ketika saya menyaksikan berita di sebuat setasiun televisi lokal JawaTengah, hati saya heran plus terharu ketika manyaksikan seorang ibu tua menuturkan mengapa

    anaknya tidak diterima di sebuah sekolah SLTA Negeri favorit di Semarang, anak saya tidak

    diterima karena uang pangkal (baca: sumbangan untuk sekolah) kurang besar., tuturnya.Padahal anak dari orang tua tersebut memiliki nilai rata-rata kelulusan yang cukup tinggi jikadibandingkan dengan anak-anak lainnya yang diterima di sekolah tersebut. (Kok bisa ya? Ya

    iyalah.. ada uang gitu lho) Uniknya lagi hal yang sama tidak hanya terjadi pada orang tua dananaknya tersebut, hal yang sama juga dialami oleh anak-nak yang memiliki prestasi tinggi namun

    secara keuangan mereka kurang mampu. Akhirnya mereka harus memilih alternatif sekolah lain,yang belum tentu cocok dengan keinginan dan mungkin kualitasnya belum tentu sama dengan

    sekolah-sekolah negeri favorit yang ada.Berdasarkanebut Surat Keputusan Wali Kota Semarang (Sukawi Sutarip) Nomor 6 Tahun 2008,

    tahun ajaran baru ini sistem penerimaan siswa baru di sekolah negeri Kota Semarangmenggunakan dua jalur, yakni jalur khusus dan reguler. Sukawi mengizinkan sekolah memungut

    sumbangan dari wali murid lewat jalur khusus. Maka sejumlah SMP dan SMA negeri, terutamayang favorit, berlomba mengeruk uang orang tua murid, mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 20 juta(wooow..), sebagai persyaratan penerimaan siswa baru. "Kalau ada wali murid yang mau

    menyumbang sekolah, masak ya dilarang?" kata Sukawi, Rabu pekan lalu.

    Kok bisa gitu yaa..? (Anda bingung? sama) Disadari atau tidak oleh oleh yang berujar, apa yangtelah dilakukan sebetulnya telah melegalkan segala bentuk pungutan liar oleh sekolah, apa lagi

    dengan nominal yang begitu besar. Sekolah yang dianggap favorit ramai-ramai kendurimenyantap hidangan yang enak tersebut, siapa yang mau bayar mahal dialah yang bisa masuk ke

    sekolah kami (mungkin itu kata mereka yaa..).

    Penggalan cerita dan sedikit uraian di atas tadi sanggat menarik untuk disimak lantaranmengandung dua alasan utama. Pertama, cerita itu sangat "mengharukan" karena hanya dapat

    ditarik kesimpulan bahwa betapa di negeri ini untuk sebuah bangku sekolah itu harus "dibeli"dengan harga yang mahal, yang tentunya begitu berat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat.

    Betapa tidak, untuk memasukkan anaknya ke sekolah pada saat ini orangtua diharuskan terlebih

    dahulu membayar uang pangkal Rp 2 jutaan. Bahkan lebih. Itu baru masuk SD. Semakin tinggijenjang pendidikannya, uang pangkalnya juga akan semakin tinggi. Bisa mencapai 4 juta hingga

    20 jutaa. (Wooow) Dan lagi-lagi, itu baru perkara uang pangkal. Tagihan lainnya yangmencekik leher orangtua adalah SPP yang berkisar antara Rp 150.000 - Rp 700.000 per bulan

    (tergantung status dan favorit tidaknya sebuah sekolah), uang pakaian seragam, uang buku, uang

    kegiatan, dan tagihan lainnya dari sekolah. Begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan, makasekolah akhirnya hanya bisa dimasuki mereka yang berduit semata, sedangkan mereka yangberekonomi lemah terpaksa harus gigit jari dan mata melotot melihat mereka yang menikmati

    ceriahnya bangku sekolah.

    Kedua, cerita yang sama, juga memberi kita "rasa takjub" sebab ada kegigihan yang luar biasadari para orangtua untuk menyelamatkan masa depan anak mereka di sebuah tempat bernama

    sekolah. Bagi orangtua, sekolah tampaknya masih dijadikan tempat yang bisa mengubah nasib

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    20/23

    anak-anak mereka. Rasa takjub yang sama akan kita saksikan jika kita berlibur di desa-desa padasaat liburan sekolah. Ternyata di sana juga tidak sedikit orangtua yang disibukkan dengan

    menjual sawah dan berbagai ternak untuk biaya sekolah anaknya.

    Begitulah kenyataan yang menjadi kalender tetap yang tersembunyi di balik kalender pendidikan

    nasional kita. Penggalan sedikit cerita itu menghadirkan satu pertanyaan menggelitik; masihadakah sekolah bagi mereka yang miskin dan kurang di negeri ini?Kisah "mengharukan" dan "menakjubkan" di atas sepertinya memperjelas terminologi bahwa

    "orang miskin di negeri ini dilarang sekolah". Dari hari ke hari kaum miskin makin kehilanganhak-haknya yang telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Kian hari jumlah

    orang miskin kian bertambah, sedangkan kekuasaan makin menjauh dari mereka.

    Semenjak neoliberalisme menjadi program utama yang dianut bangsa ini, sejak itu juga orangmiskin semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang

    memadai, dan pekerjaan yang layak. Neoliberalisme sebagai ideologi dunia seolah telah suksesmeluluhlantakkan pertahanan hidup orang miskin untuk berpendidikan.

    Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa pendidikan model pasar telah menjadi mesin produksi yang

    harus bekerja terus-menerus dengan logika "efektivitas dan efisiensi" untuk menciptakan"generasi intelektual instan" yang serba seragam, termasuk seragam dalam cara pemikirannya.

    Model pendidikan seperti ini kemudian mengenyampingkan sebuah proses pendidikan yang didalamnya terdapat titik-titik pencerahan dan pembebasan manusia dari keterkungkungan. Hasil

    dari proses pendidikan dengan logika efektivitas dan efisiensi itu adalah hadirnya para koruptordan munculnya manusia yang berwatak kasar.

    Perlu dipertanyakan kemudian adalah komitmen pemerintah mengenai kebijakan di bidang

    pendidikan. Selama ini, sangat terasa janggal di mana subsidi pendidikan lebih kecil daripadasubsidi militer. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah lebih bangga dan senang dengan

    kekerasan daripada kecerdasan warga negaranya yang bisa muncul melalui pendidikan.

    Sekadar perbandingan saja, kalau kita menengok kebijakan Pemerintah Republik Rakyat China(RRC), misalnya, di sana pemerintahnya mampu membiayai 5.000-10.000 mahasiswa untuk

    belajar ke Eropa. Hal yang sama dilakukan oleh Perdana Menteri Malaysia yang tiap tahunmengirim 50.000 calon doktor, antara lain, ke Inggris dan Amerika. Jumlah seperti itu dibiayai

    sepenuhnya oleh pemerintah karena pemerintah di dua negeri ini "melek pengetahuan".

    Di negara ini kondisinya malah kebalikannya. Hingga saat ini, hanya mereka yang berkantongtebal yang bisa menikmati pendidikan bermutu di luar negeri. Karena mereka harus

    mengeluarkan biaya sendiri untuk biaya pendidikannya di negeri orang, maka sepulangnya keTanah Air para ilmuwan itu berusaha untuk "mengembalikan modal" dengan berbagai cara.

    Korupsi kemudian menjadi sesuatu hal yang tidak luput dari perilaku mereka. Dan, kasus korupsimiliaran di negeri ini justru banyak dilakukan oleh para intelektual dan akademisi.

    Selain pemerintah tidak memberikan perhatian besar pada dunia pendidikan, pemerintah bahkan

    ikut merusak lembaga pendidikan dengan "menciptakan suasana tidak aman" di dalam negeri.Konflik yang berlarut-larut di banyak daerah dan "tambal sulamnya" kebijakan dalam dunia

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    21/23

    pendidikan, membuat dunia pendidikan di negeri ini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

    Ekses dari minimnya keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan maka kini bertebaranlahmental-mental "rapuh" yang muncul dalam perilaku korupsi pada pribadi-pribadi pejabat bangsa

    ini. Korupsi yang merambah ke semua sektor, termasuk sektor pendidikan sendiri, kini seolah

    menjadi "benang basah yang sulit ditegakkan". Bahkan, hingga hari ini penyelenggaraanpendidikan sering kali tanpa tahu malu dan basa basi terutama dalam mempraktikkan tindakantercela dalam berbagai kegiatan sekolah dan proyek-proyek lainnya.

    Kini sudah saatnya kebohongan besar seperti ini harus dihentikan dan proses penyadaran bagi

    masyarakat harus diteriakkan. Bukan pendidikan yang menipu kita selama ini, melainkan pihak-pihak (oknum-oknum) yang memanfaatkan pendidikan untuk meraup laba yang telah menipu

    masyarakat bangsa ini. Pendidikan telah dipoles cantik dengan gedung-gedung megah dan janji-janji menggiurkan, yang membuat terbatasnya akses masyarakat ke dunia pendidikan.

    Hanya dengan pendidikan murah, negeri ini akan diselamatkan. Dengan pendidikan murah,

    masyarakat akan bergembira menduduki bangku sekolah. Dengan perasaan senang, masyarakatbebas mengungkapkan berbagai kreativitas yang ada dalam dirinya.

    Dan, dengan penyelenggaraan pendidikan murah juga akan mudah mengontrol perilaku korupsi

    yang marak terjadi pada berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan itusendiri; karena dana yang sedikit akan mudah diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dan,

    dengan pendidikan murah diskriminasi terhadap orang miskin untuk tidak boleh sekolah bisadihindarkan. Singkat kata, dengan penyelenggaraan pendidikan murah, orang miskin tidak lagi

    dilarang untuk sekolah.

    Faktor - Faktor Mahalnya Biaya Pendidikan

    Gaji Guru dan PegawaiUntuk poin ini sepertinya tidak perlu dijelaskan panjang lebar ya. Sama dengan gaji/penghasilan

    profesi lainnya, gaji guru dan karyawan sekolah hampir pasti juga selalu naik setiap tahun.Walaupun terkadang naiknya tidak banyak tapi kalau dikalikan seluruh guru dan karyawan

    jatuhnya berat juga di anggaran. Ujung-ujungnya, tarikan ke wali murid juga ikut membengkak.

    Biaya GedungNah, ini dia biang kerok yang paling ganas menyedot fulus para wali murid. Biaya

    pembangunan/renovasi gedung yang menghabiskan ratusan juta rupiah itu biasanya menjaditanggungan para wali murid. Kronologisnya setiap tahun ajaran baru, sekolah selalu membuat

    rencana pembangunan/renovasi gedung. Setelah dihitung-hitung ketemulah nominal sekian ratusjuta. Katakanlah nominalnya Rp 500.000.000,- . Dari jumlah itu kemudian dibagi dengan jumlahseluruh siswa baru yang masuk, misalnya saja ada 500 siswa. Maka, setiap wali murid kebagian

    jatah patungan sebesar Rp 1.000.000,- . Semakin banyak siswa yang masuk maka semakinsedikit biaya patungannya, begitu pula sebaliknya.

    Sebagai catatan, kronologis semacam itu berlaku untuk sekolah yang 100% mengandalkan

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    22/23

    pembiayaan dari wali murid. Di beberapa sekolah, pembiayaan gedung semacam ini biasanyajuga dibantu oleh pemda, investor, atau dari hasil usaha sekolah.

    Instrumen KBMSekolah yang baik, umumnya memiliki instrumen kegiatan belajar mengajar (KBM) yang

    lengkap. Maksud instrumen di sini adalah alat peraga atau pelengkap kegiatan belajar mengajar.Termasuk di antaranya laboratorium IPA, laboratorium komputer, Lapangan olahraga, kolamrenang, sound sistem, VCD player, televisi, tape recorder, handycam, dll. Pengadaan instrumen

    semacam ini tidak jarang juga dibebankan oleh sekolah kepada wali murid.

    Seragam SekolahBelum dianggap sekolah kalau tidak memakai seragam. Kalaupun ada sekolah yang tidak

    mewajibkan siswanya berseragam, paling-paling home scholling dan sekolah kejar paket. Untuksiswa yang reguler, seragam sudah menjadi kewajiban. Hampir tiap tahun orang tua

    mengeluarkan anggaran ekstra untuk pengadaan seragam sekolah anak-anaknya. Terlebih lagikalau pertumbuhan fisik anaknya sangat pesat bisa-bisa tiap semester harus membeli seragam

    baru. Dan biasanya, sekolah tidak menerapkan satu stel saja tetapi tiga stel dengan motif danwarna yang berbeda-beda untuk dipakai selama seminggu. Ditambah lagi dengan satu stel

    seragam olahraga.Wali murid pun terkadang tidak leluasa untuk membeli bahan seragam dari luar. Artinya, mau

    tidak mau mereka harus membeli bahan seragam dari sekolah yang harganya jauh lebih mahaldaripada beli di luar sekolah. Kenapa seperti itu? Anda pasti bisa menebak, ada motif

    memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan dari segelintir orang di sekolah.

    Buku PelajaranSetali tiga uang dengan seragam sekolah, buku-buku pelajaran pun hampir setiap tahun berganti-

    ganti. Bukan karena buku yang lama tidak bagus, tapi kembali pada memanfaatkan kesempatanuntuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Karena iming-iming bonus yang besar dari pihak

    penerbit buku, sekolah pun memaksakan siswanya membeli buku tertentu. Buku-buku yangditentukan pun biasanya tidak ada di toko buku, kalau pun ada siswa tetap tidak diperbolehkan

    membeli buku di luar. Kalau nekad, bisa menjadi masalah dikemudian hari. Entah itu dikucilkan,tidak diperhatikan kebutuhannya oleh sekolah, dll.

    Lho, sekarang kan sudah ada buku BSE (Buku Sekolah Elekronik) yang bisa didownload secaragratis di internet. Halaahhh...kenyataannya banyak sekolah yang tidak tertarik memakai buku-

    buku rekomendasi Depdiknas (BSE). Alasannya, tidak ada internetlah, repot downloadnyalah,repot cetaknyalah, dll. Padahal sebenarnya hanya alibi saja agar bisa menjual buku dari penerbit

    dengan harapan mendapat untung dan bonus besar dari penerbit. Sekedar diketahui saja, penerbittidak segan memberi bonus sepeda motor, televisi, kulkas, komputer, atau beberapa laptop secara

    cuma-cuma jika target penjualan buku di sekolah tertentu terpenuhi.

    Daftar UlangHmmm...sekilas terdengar agak janggal. Wong sudah terdaftar kok masih harus daftar ulang.

    Tapi begitulah faktanya. Sekolah mewajibkan setiap siswanya melakukan daftar ulang saatpergantian tahun ajaran atau kenaikan kelas. Sebenarnya tidak ada hal yang sangat penting

    mengenai proses daftar ulang ini selain motif mencari dana segar. Sekolah sengaja membuat pos-pos daftar pengeluaran selama setahun yang seringkali hanya sekedar rekayasa saja. Karena

  • 8/6/2019 pendidikan (tina)

    23/23

    sebenarnya pos-pos itu sudah dibiayai oleh SPP bulanan. Namun, wali murid sering tidakmenyadari hal itu dan kebanyakan tidak mau tahu. Pokoknya bayar, bayar, bayar tanpa pernah

    meneliti untuk apa saja dana yang sudah disetorkannya tersebut.

    Program Sekolah

    Poin terakhir ini memang sifatnya temporer. Terkadang ada terkadang tidak. Tapi sekalidiadakan, maka dapat dipastikan akan menelan anggaran yang lumayan besar. Program-programseperti ini umumnya tidak terkait langsung dengan proses belajar mengajar. Alih-alih ingin

    rekreasi pihak sekolah mewajibkan siswanya mengikuti kegiatan study tour. Selain itu ada jugaperkemahan, kegiatan ekstrakurikuler, ldks, studi banding, praktek lapangan, kegiatan

    keagamaan, dll.