pendengaran - trauma sistem pendengaran

28
LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA PADA SISTEM PENDENGARAN I. PENGERTIAN 1. Trauma telinga adalah trauma yang dapat terjadi berbagai cidera traumatika yang nyeri pada aurikula, meatus akustikus eksterna dan membran timpani. (Cody, Kern, Pearson. 1991: 104) 2. Trauma telinga tengah adalah perforasi membran timpani yang dapat disebabkan oleh perubahan tekanan mendadak-barotrauma, trauma ledakan- atau karena benda asing dalam liang telinga (aplikator berujung kapas, ujung pena, klip kertas, dll). (Adams. 1997: 95) 3. Trauma telinga adalah tuli yang disertai gambaran atoskopik yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis trauma, meliputi kompresi udara mendadak, udara di meatus akustikus eksternus, masuknya benda asing ke dalam telinga mserta trauma kapitis yang menyebabkan fraktura os temporale. (Cody, Kern, Pearson. 1991: 90) 4. Trauma pada sistem pendengaran adalah trauma pada daun telinga yang dapat terjadi pada waktu bertinju atau akibat kecelakaan. (Harold. 1992) II. ETIOLOGI 1

Upload: diyanthi-andita

Post on 12-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

m

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA PADA SISTEM PENDENGARAN

I. PENGERTIAN

1. Trauma telinga adalah trauma yang dapat terjadi berbagai cidera traumatika yang nyeri pada aurikula, meatus akustikus eksterna dan membran timpani. (Cody, Kern, Pearson. 1991: 104)

2. Trauma telinga tengah adalah perforasi membran timpani yang dapat disebabkan oleh perubahan tekanan mendadak-barotrauma, trauma ledakan-atau karena benda asing dalam liang telinga (aplikator berujung kapas, ujung pena, klip kertas, dll). (Adams. 1997: 95)

3. Trauma telinga adalah tuli yang disertai gambaran atoskopik yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis trauma, meliputi kompresi udara mendadak, udara di meatus akustikus eksternus, masuknya benda asing ke dalam telinga mserta trauma kapitis yang menyebabkan fraktura os temporale. (Cody, Kern, Pearson. 1991: 90)4. Trauma pada sistem pendengaran adalah trauma pada daun telinga yang dapat terjadi pada waktu bertinju atau akibat kecelakaan.

(Harold. 1992)II. ETIOLOGI

1. Menurut Soepardi (2000: 30), penyebab utama dari trauma telinga antara lain:

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Perkelahian

c. Kecelakaan dalam bidang olahraga

d. Luka tembak

e. Kebiasaan mengorek kuping

2. Menurut Cody, Kern, Pearson (1991: 90), penyebab utama trauma telinga yaitu:

a. Kompresi mendadak udara di liang telinga.

b. Adanya benda-benda asing (misal: kapas lidi atau ranting-ranting pohon).

c. Trauma kapatis yang menyebabkan fraktur os temporale.

3. Menurut Adams (1997: 84, 95, 131), penyebabnya antara lain:

a. Kebiasaan mengorek kuping dengan jari atau suatu alat seperti jepit rambut/klip kertas.

b. Perubahan tekanan mendadak-barotrauma, trauma ledakan- atau karena benda asing dalam liang telinga (aplikator berujung kapas, ujung pena, klip kertas, dll).

c. Terpapar bising/suara industri yang berintensitas tinggi dan lamanya paparan.

III. KLASIFIKASI

Menurut Soepardi (2000: 30-31) dan Harold (1992):

1. Trauma Daun Telinga (liang telinga luar)

Trauma daun telinga mungkin dapat terjadi pada waktu bertinju atau akibat suatu kecelakaan, akibatnya timbul hematom di bawah kulit. Apabila hal ini terjadi, maka diperlukan beberapa kali aspirasi untuk mencegah terjadinya deformitas pada daun telinga (couliflower ear).

Sebagai akibat timbulnya proses organisasi bekuan darah di bawah kulit. Yang sering ditemui adalah edem laserasi, hilangnya sebagian atau seluruh daun telinga dan perdarahan. Pada pemeriksaan ditemukan rasa sakit, edema yang hebat pada liang telinga sering menyebabkan gangguan pendengaran, laserasi, luka robek dan hematom. Hematom terbentuk di antara perikondrium dan kondrium.2. Trauma Os Temporal

Pada beberapa jenis trauma dapat menyebabkan depresi mendadak pada fungsi vestibular, dengan akibat terjadi episode vertigo hebat yang berlarut-larut. Suatu kecelakaan selama tindakan untuk memperbaiki tuli konduktif atau untuk menghilangkan penyakit ini di celah telinga tengah dapat menyebabkan kerusakan telinga dalam. Pada trauma tulang temporal terdapat hematom, laserasi atau luka tembak. Pada permukaan radiologi terlihat garis fraktur. Garis fraktur dapat longitudinal, transversal atau campuran. Fraktur longitudinal ditemukan pada 8 % kasus akan merusak struktur telinga tengah sehingga terjadi tuli konduktif akibat dislokasi tulang-tulang pendengaran. Terjadi perdarahan pada meatus akustikus eksternus. Bila terdapat cairan serebrospinal merupakan tanda adanya fraktur basil krani, pada kasus ini jarang terjadi kontusio telinga dalam.

Fraktur transversal ditemukan pada 20 % kasus, mengenai os petrosum, telinga dalam sehingga terjadi sensory-neural hearing loss, vertigo dan ditemukan timpanum.

IV. PATOFISIOLOGI

Tuli yang disertai gambaran otoskopik dapat disebabkan oleh berbagai jenis trauma, meliputi kompresi mendadak udara di meatus akustikus eksternus, masuknya benda asing ke dalam telinga serta trauma kapitis yang menyebabkan fraktura os temporale. Penyebab yang pertama, kompresi mendadak udara di liang telinga. Suatu kejadian yang tampaknya ringan, seperti tamparan pada telinga mungkin cukup menyebabkan ruptura membran timpani. Pasien akan mengalami nyeri telinga yang hebat dan terdapat perdarahan yang bervariasi pada tepi perforasi. Dapat timbul tuli konduktif dengan derajat yang tergantung atas ukuran dan lokasi perforasi.

Penyebab yang kedua yaitu masuknya benda-benda asing, seperti kapas lidai atau ranting-ranting pohon, bila masuk ke dalam meatus akustikus eksternus dapat menimbulkan cidera yang terasa nyeri, bervariasi dari laserasi kulit liang telinga sampai destruksi total teinga dalam. Pada trauma hebat, dapat terjadi perforasi membran timpani disertai perdarahan dan disrupsi tulang-tulang pendengaran, serta pasien akan mengalami episode vertigo hebat berlarut-larut disertai gejala penyertanya, yang menunjukkan terkenanya telinga dalam. Trauma yang kurang berat yang menyebabkan tuli konduktif berupa perforasi membran timpani dengan atau tanpa dislokasi tulang-tulang pendengaran. (Cody, Kern, Pearson, 1991: 90)

(Cody, Kern, Pearson. 1991: 90)

V. MANIFESTASI KLINIK

1. Menurut Soepardi (2000: 30), manifestasi klinik trauma telinga antara lain:a. Edema

b. Laserasi

c. Luka robek

d. Hilangnya sebagian/seluruh daun telinga

e. Perdarahan

f. Hematom

g. Nyeri kepala

h. Nyeri tekan pada kulit kepala

i. Fraktur tulang temporal

2. Menurut Adams (1997: 95), manifestasi klinik trauma telinga antara lain:

a. Nyeri

b. Sekret berdarah dari telinga

c. Gangguan pendengaran

d. Gangguan kesadaran

e. Hematoma subdural/epidural/kontusi

VI. KOMPLIKASI

1. Tuli KonduktifTerjadi karena adanya perforasi membran timpani dengan atau tanpa dislokasi tulang-tulang pendengaran.

2. Paralisis Wajah Unilateral

Terjadi karena trauma yang mengenai nervus fasialis di sepanjang perjalanannya melalui os temporale sehingga dapat menyebabkan paralisis wajah unilateral.

3. Vertigo Hebat

Disebabkan oleh berbagai jenis trauma yang dapat menyebabkan depresi mendadak pada fungsi vestibular, sehingga terjadilah vertigo yang mendadak, hebat dan berlarut-larut.

4. Kehilangan Kesadaran

Terjadi karena kehilangan fungsi vestibular unilateral mendadak dan biasanya cideranya cukup hebat sehingga pasien akan mengalami periode kehilangan kesadaran.

5. NistagmusNistagmus merupakan sesuatu yang khas bagi kehilangan fungsi vestibular unilateral mendadak.

(Cody, Kern, Pearson. 1991: 23)

VII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Rontgenogram Tengkorak RutinMungkin memperlihatkan fraktura os temporale, tetapi sering tidak ditemukan.

2. Rontgenogram Stereo Atas Basis Tengkorak dan Tomogram

Diperlukan untuk mengidentifikasi fraktura.

3. Tes Audiometri

Dapat menunjukkan tuli sensorineural lengkap di elinga yang terkena. Tes audiometri harus dilakukan untuk mengetahui jumlah sisa pendengaran di telinga yang terkena jika terdeteksi.

4. Tes KaloriAkan menunjukkan hilangnya fungsi vestibular. Tetapi tes kalori tidak boleh dilakukan bila terdapat atorea.

(Cody, Kern, Pearson. 1991: 24)

VIII. PENATALAKSANAAN

Trauma Telinga Luar

Luka akibat trauma tajam baik di tulang rawan maupun di kulit dijahit kembali, kemudian diberi pembalut. Pada luka daun telinga sedapat mungkin tulang rawan ditutup dengan kulit untuk mencegah terjadinya kondritis yang sangat nyeri dan dapat mengakibatkan nekrosis tulang rawan. Jika luka tidak dapat langsung ditutup, daun telinga harus ditutup dengan flap kulit dari retroaulikuler sehingga rawan telinga tertutup kulit untuk beberapa waktu. Setelah luka sembuh, dapat direncanakan bedah rekonstruksi. Daun telinga yang tercabik dapat dicangkokkan kembali dengan menjahit perikondrium segera dan kedua sisi kulit bila bagian yang tercabik tidak hancur.

Trauma tumpul pada daun telinga dapat mengakibatkan timbulnya othemortoma (hematoma pada telinga). Othematoma harus ditangani secara agresif karena pungsi sering menimbulkan residif. Sebaiknya dilakukan insisi dan evakuasi hematomnya, agar kulit dan perikondrium dapat melekat. Kemudian ditekan selama sepuluh hari dengan pembalut dan kassa pada bagian depan dan belakang telinga yang seanteronya ditekan dengan balutan sekeliling kepala (Sjamsuhidajat, 1998: 470).

Menurut Supardi (2000: 30-32), penatalaksanaan pada trauma pada sistem pendengaran adalah:

Tempat terjadinya laserasi dan luka dibersihkan secara sempurna dari kotoran dan dilakukan debridemen, hentikan perdarahan. Perdarahan dari liang telinga dibersihkan, sumber perdarahan dicari dan dihentikan. Dipasang tampon steril yang dibasahi antiseptik atau salep antibiotik. Tampon dipertahankan 2-3 hari, bila waktu tampon dibuka masih terjadi perdarahan, tampon ulang dipasang lagi.

Hematoma yang terjadi bila kecil diobservasi, bila besar perlu dilakukan evaluasi dan pasang bidai penekan, hal ini membutuhkan waktu yang lebih lama. Bila timbul rasa sakit berarti bidai penekan tersebut terlalu kencang dan komplikasi yang dapat terjadi adalah perikondritis. Diberikan antibiotik ampisilin atau amoksilin sesuai dosisnya.

Cegah masuknya infeksi melalui telinga dengan memasang tampon yang dibasahi antibiotik. Bila ditemukan cairan serebrospinal, tampon telinga diberi obat Sulfa. Bila cairan serebrospinal tampon telinga masih ditemukan sesudah 7-l0 hari, hal ini biasanya disebabkan oleh fraktur fosa kranio medialis, untuk ini harus dilakukan eksplorasi dengan bantuan bedah syaraf.

Menurut Cody, Kern, Pearson (1991: 24-25):

1. Terapi pada trauma os temporal

Pasien harus dirumahsakitkan dan diberikan cairan infus IV. Kasus cedera multipel harus diterapi sesuai derajat keparahanya. Pasien harus diobservasi dengan teliti bagi tanda-tanda. hematoma subdural dan tidak boleh memberikan obat-obatan untuk menekan vertigo dan sedativa. Sampai keadaan pasien stabil.

Bila kerusakan hanya pada telinga dalam, maka terapi serupa seperti kasus neuronitis vestibulari. Bila terjadi robekan pada membran timpani, maka tepi-tepi perforasi harus disatukan kembali secepat keadaan pasien memungkinkan.

Adanya atore CSS menimbulkan resiko tinggi untuk meningitis. Pada keadaan ini, telinga harus diperiksa dengan teknik steril, dan harus dihindarkan manipulasi pada telinga tersebut. Berikan pembalut steril ke telinga, dan pasien harus diterlentangkan dengan kepala ditinggikan bersama diinstruksi tidak boleh berbaring. Pada sisi yang terkena harus diberikan antibiotika berspektrum luas. Pada kebanyakan kasus, kebocoran CSS akan berhenti spontan dalam beberapa hari. Bila tidak berhenti, mungkin diperlukan mastoidektomi dan perbaikan kebocoran tersebut.

2. Terapi pada trauma karena adanya benda asing yang masuk ke telinga

Pasien harus dirumahsakitkan dan diterapi sebagai kegawatdaruratan bedah. Setelah dimulai infus IV, harus diberikan antibiotika dan obat-obatan anti vertigo. Antibiotika dapat berupa penisili parenteral, obat untuk mendepresi vertigo. Secepat mungkin dilakukan eksplorasi bedah pada telinga yang biasanya dilakukan dengan anestesi lokal, melalui meatus akustikus eksternus. Stapes yang telah didislokasi ke dalam telinga dalam harus dikeluarkan, dan kadang-kadang bila tidak fraktur, dapat dikembalikan ke posisi yang normal. Bila tidak mungkin melakukan perbaikan, mungkin diperlukan penggantian dengan prosetesa. Tetapi bila stapes telah rusak, maka mungkin inkus juga telah terkena pula dan hubungan antara maleus dan foramen ovale mungkin harus terbentuk kembali. Segera menutup foramen ovale dan memperbaiki cacat pada tulang-tulang pendengaran akan menghindarkan kemungkinan labirinitis supurativa, menawarkan kemungkinan penyelamatan pendengaran yang bermanfaat, dan kemudian akan memperpendek episode vertigo. Jelas bila trauma telah merusak seluruh telinga dalam, maka kedua tujuan akhir itu tidak dapat dicapai.ASUHAN KEPERAWATANTRAUMA PADA SISTEM PENDENGARAN

I. PENGKAJIAN

Pengkajian Fokus

a. Data subyektif

Data yang dikurnpulkan meliputi:1) Tanyakan waktu terjadinya trauma/benturan pada telinga.

2) Tanyakan apakah telinga sering di korek-korek.

3) Tanyakan adanya perasaan pekak/tertekan pada telinga.

4) Tanyakan adanya penurunan pendengaran.

5) Tanyakan adanya dengungan (telinga berdengung) disertai nyeri.

b. Data obyektif

1) Kaji kemampuan pendengaran antara keseimbangan dengan pendengaran pada telinga dalam.2) Kaji warna dan kelembaban kulit (pucat dan berkeringat).

3) Periksa adanya kelainan pada telinga.

a) Kemerahan

b) Cairan

c) Perdarahan

4) Catat tingkat tinitus (berdengung disertai nyeri/sangat keras).

5) Kaji adanya nistagmus (gerakan bola mata involunter) dengan catatan apakah nistagmus terjadi pada waktu satu rnata atau kedua mata.

c. Pemeriksaan fisik1) Inspeksi

a) Periksa keadaan pinna terhadap ukuran, bentuk, warna, lesi dan adanya massa.

b) Amati pintu masuk lubang telinga dan perhatikan terhadap ada atau tidaknya peradangan, perdarahan/kotoran.

c) Amati dinding lubang telinga terhadap kotoran, serumen, peradangan/adanya benda asing.

d) Amati membran timpani mengenai bentuk, warna transparansi, perforasi atau terhadap adanya darah/cairan.

2) Palpasi

a) Palpasi kartilago tiroid luas secara sistematis yaitu dari jaringan lunak, kemudian jaringan keras dan catat bila ada nyeri.

b) Tekan bagian tragus ke dalam dan tekan pula tulang telinga di bawah daun tetinga, bila ada peradangan, maka akan terasa nyeri.

II. PATHWAY KEPERAWATAN

III. ANALISA DATA

No.Data FokusProblemEtiologi

1.Ds: Pasien mengatakan sakit pada telinganya

Do:- Skala nyeri 4

- Pasien meringis manahan sakit.Nyeri akutPerforasi membran timpani

2.Ds: Pasien mengatakan fungsi pendengarannya berkurang

Do:Tes pemeriksaan pendengaran menunjukkan pasien menderita trauma telinga

Gangguan persepsi sensori (pendengaran)Kerusakan struktur tulang pendengaran

3.Ds: Pasien mengatakan takut apabila fungsi pendengarannya tidak kembali normal

Do:Pasien terlihat ketakutanTakut Kemungkinan kehilangan pendengaran

4.Ds: Pasien mengatakan merasa malu dengan kondisi pendengarannya yang tidak berfungsi dengan baik saat ini

Do:Pasien terlihat menyendiriHarga Diri Rendah situasionalKerusakan/gangguan fungsi pendengaran

5.Ds: Pasien mengatakan kurang mengerti tentang kondisi penyakitnya saat ini

Do:Pasien terlihat kebingungan saat dilakukan pengkajianKurang pengetahuanKeterbatasan pengetahuan dan kesalahan interpretasi informasi

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan dengan perforasi membran timpani.

2. Gangguan persepsi sensori (pendengaran) berhubungan dengan kerusakan struktur tulang pendengaran.

3. Takut berhubungan dengan kemungkinan kehilangan pendengaran.

4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan atau gangguan fungsi pendengaran.

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan pengetahuan dan kesalahan interpretasi informasi.

V. INTERVENSI

Diagnosa Keperawatan INyeri akut berhubungan dengan perforasi membran timpani.

Tujuan:Seteleh dilakukan tindakan keperawatan, nyeri terkontrol, tingkat nyeni berkurang, skala nyeri 2-3.

Kriteria hasil:

1. Menggunakan skala nyeri untuk mengidentifikasi tingkat yang umum dan intensitas nyeri.

2. Klien dapat mendeskripsikan bagaimana cara manajemen pembebasan nyeri di tingkat yang memuaskan yang dapat diterima atau dikendalikan pengaruhnya.

3. Klien dapat melakukan aktifitas yang merubah dengan melaporkan tingkat nyeri yang dapat diterima (jika nyeri diatas menyenangkan/tujuan tercapai, berikan tindakan yang mengurangi nyeri atau memberitahukan kepada anggota perawat kesehatan).

4. Dapat mendeskripsikan metode non farmakologi yang digunakan untuk mengontrol nyeri.

Intervensi:

1. Tentukan suhu klien adalah pengalaman nyeri saat wawancara permulaan, dan juga tindakan saat itu untuk mengurangi nyeri.

Rasional:Intensitas, karakteristik serangan, durasi dan faktor yang memberatkan serta mengurangi nyeri harus dikaji dan didokumentasikan selama evaluasi permulaan dari pasien.

2. Tanyakan pasien untuk mendeskripsikan pengalaman yang lalu dengan nyeri dan metode efektif yang digunakan untuk mengontrol nyeri, meliputi pengalaman dengan efeknya, respon koping istimewa dan bagaimana klien mengekspresikan nyerinya.

Rasional:Jumlah dari perencanaan (penghalang) mungkin mengenal pasien, mempunyai kemauan untuk melaporkan nyeri dan menggunakan analgesik.

3. Deskripsikan efek yang kurang baik dan mengurangi nyeri.

Rasional:Banyak patophysiologi atau psikologikal faktor kesakitan yang mungkin dapat dihubungkan dengan nyeri.

4. Katakan pada klien untuk melaporkan lokasi, intensitas (menggunakan skala nyeri) dan kualitas saat merasakan nyeri.

Rasional:Intensitas nyeri dan ketidaknyamanan harus dikaji dan dilakukan, pendokumentasian setelah mengetahui nyeri, prosedur yang dilakukan dengan beberapa laporan baru dari nyeri dan interval reguler.

5. Tentukan penggunaan obat yang umum pada klien (analgesik).

Rasional:Untuk pertolongan pada rencana penatalaksanaan nyeri.

Diagnosa Keperawatan II

Gangguan persepsi sensori (pendengaran) berhubungan dengan kerusakan struktur tulang pendengaran.

Tujuan:

Klien dapat berorientasi kognitif, mudah menangkap informasi dalam berkomunikasi dapat mengontrol pikiran dan dapat mendengar.

Kriteria hasil:

1. Klien dapat memperagakan mengerti dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun tindakan.

2. Dapat memperagakan keluwesan bahasa tubuh/gerakan tubuh dan ekspresi wajah.

3. Dapat menerangkan rencana modifikasi gaya hidup untuk menyesuaikan dengan pendengaran.

4. Bebas dari bekas luka fisik dari kekurangan keseimbangan atau kehilangan pendengaran.

Intervensi:

1. Jaga dasar belakang hidung untuk minimal. Matikan televisi dan radio saat berkomunikasi dengan klien.

Rasional:Dasar belakang hidung mempunyai hubungan yang berarti dengan pendengaran pada klien dengan gangguan pendengaran.

2. Berdiri atau duduk berhadapan di depan klien saat berkomunikasi, berikan pencahayan lebih pada wajah perawat, hindari memamah gusi atau menutupi mutut atau wajah dengan tangan untuk beberapa lama saat berbicara. Menetapkan kontak mata dan rnenggunakan gerak tangan non verbal.

Rasional:Ukuran ini membuat mudah untuk membaca bibir dan melihat komunikasi non verbal yang mana adalah komponen besar dari komunikasi.

3. Bicara dengan nada suara yang rendah jika mungkin jangan lakukan pengucapan berlebih atau memekik pada klien.Rasional:Pada pada banyak jenis dari kehilangan pendengaran, klien kehilangan kemampuan untuk mendengar dentuman nada tinggi tapi dapat selalu mendengar dentuman nada rendah. Pengucapan berlebih membuat kesulitan untuk membaca bibir berteriak membuat kata tidak jelas dan mungkin nyeri.4. Coba selipkan bagian telinga dari stetoskop ke dalam telinga klien dan bicaralah pada bagian diafragma.Rasional:Stetoskop membesarkan suara dan dapat membantu klien mendengar lebih baik.5. Jika perlu, sediakan papan atau orang yang rnengetahui bahasa isyarat untuk komunikasi.Rasional:Alternatif bentuk dari indikasi membantu mengurangi isolasi sosial.Diagnosa Keperawatan III

Takut berhubungan dengan kemungkinan kehilangan pendengaran.

Tujuan:

1. Mengemukakan kesadaran/penyebab perasaan takutnya.

2. Mendemonstrasikan kemampuan mengatasi masalah dan menggunakan sumber-sumber secara efektif.

3. Memperlihatkan keadaan relaksasi.

Intervensi:1. Kaji tingkat ketakutan secara terus-menerus.

Rasional:Peningkatan rasa takut mungkin mengacu pada keadaan agitasi dan perilaku menyerang karena pasien tidak berada pada kontrol yang penuh terhadap tindakan/respon.

2. Pahami kewaspadaan akan perasaan pasien, misal: rasa takut, nyeri, gembira yang meluap, panik, cemas, dan bingung.

Rasional:Empati dapat membantu pasien untuk mentoleransi/berhadapan dengan perasaannya sendiri.

3. Evaluasi mekanisme selama digunakan untuk berhadapan dengan perasaan atau ancaman yang sesungguhnya.

Rasional:Mungkin dapat menghadapi situasi yang baik pada waktu itu, misal: penolakan dan regresi mungkin dapat membantu mekanisme koping untuk suatu waktu tertentu.

4. Ulangi mekanisme koping yang digunakan pada waktu lampau, misal: kemampuan memecahkan masalah, pengenalan/permintaan bantuan.

Rasional:Memberi kesempatan untuk menbangun sumber-sumber yang dapat digunakan secara baik oleh pasien/orang terdekat.

5. Identifikasi cara-cara dimana pasien mendapat bantuan jika dibutuhkan.

Rasional:Memberi jaminan bahwa staf bersedia untuk menolong/membantu.6. Temani atau atur supaya ada seseorang bersama pasien sesuai indikasi.Rasional:Dukungan yang terus-menerus mungkin membantu pasien memperoleh kembali kontrol lokus internal dan mengurangi rasa takut ke tingkat yang dapat diatasi.Diagnosa Keperawatan IV

Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan atau gangguan fungsi pendengaran.

Tujuan:

1. Klien dapat mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping terhadap persepsi diri negatif.

2. Klien dapat mengakui diri sebagai orang yang berguna, bertanggungjawab pada diri sendiri.

Intervensi:

1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang dapat meningkatkan harga diri rendah.

Rasional:Identifikasi dengan segera dapat membantu proses pemecahan masalah.

2. Bantu klien untuk mengidentifikasi akibat perilaku dari harga diri rendah.

Rasional:Harga diri rendah dapat meningkatkan resiko tingkah laku yang tidak sehat.

3. Besarkan hati klien untuk mengungkapkan pikiran dengan perasaan tentang situasi yang dialami.

Rasional:Klasifikasi pikiran dan perasaan dapat meningkatkan penerimaan diri.

4. Ajarkan klien dalam proses pemecahan masalah

Rasional:Kesempatan dalam proses pemecahan masalah efektif dalam kemampuan koping.Diagnosa Keperawatan V

Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan pengetahuan dan kesalahan interpretasi informasi.Tujuan:1. Klien dapat menjelaskan tingkat penyakit.2. Klien dapat mendemonstrasikan bagaimana menjalankan prosedur dengan baik.Intervensi:1. Observasi tingkat kemampuan dan pengetahuan klien.Rasional:Faktor ini secara langsung mempengaruhi kemampuan untuk berpartisipasi.2. Kaji ulang proses penyakit, prosedur, dan tujuan dialisis dalam istilah yang dapat dipahami pada pasien, ulangi penjelasan sesuai kebutuhan.Rasional:Memberikan informasi pada tingkat pemahaman pasien/orang terdekat akan menurunkan kesalahan konsep tentang apa yang dialami pasien.3. Akui bahwa respon perasaan/pola tertentu normal selama terapi.Rasional:Pasien/orang terdekat awalnya membantu dan positif tentang masa depan, tetapi sesuai berlanjutnya pengobatan dan kemajuan yang kurang menyolok, menekan menjadi kecewa/depresi, dan dapat terjadi konflik dependen/kemandirian.

4. Dorong pasien untuk menginformasikan semua pemberian asuhan tentang riwayat pendarahan.Rasional:Dapat mempengaruhi pilihan obat dan atau pemantauan resep.DAFTAR PUSTAKAAdams, George L. (1997). Boles: buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC.Cody, D Thane, Kern, Eugene & Pearson, W Bruce. (1991). Penyakit telinga hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC.Doengoes, M.E., Moorhouse, Many Frances, & Geissler, Alice CC. (1999). Rencana asuhan keperawatan:pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. edisi 3. Jakarta: EGC.Haryani, Ani. (2004). Nursing diagnosis a guide to planning care. 4th ed.

Harold, Ludman. (1992). Petunjuk penting pada penyakit THT. Jakarta: Hipokrates.Ignativicius, Donna D., Bayne, Marilynn V. (1991). Medical surgical nursing: a nursing process approach. Philadelphia: WB Saunders Company.Nanda. (2001). Nursing diagnosis: definition and classification, 2001-2002. Philadelphia: North American Nursing Diagnosis Association.Priharjo, Robert. (1996). Pengkajian kepala dan leher. Dalam 4 Asih, Ni Luh Gede.Smeltzer, Suzzane C., Bare G. Brenda. (2000). Brunner and Suddarts: textbook of medical-surgical nursing. Philadelphia: Lippincett.Soepardi, Efiaty Arsyad, Hadjat, Fachri, Iskandar, Nurbaiti. (2000). Penatalaksanaan penyakit dan kelainan telinga, hidung, tenggorokan. Jakarta: FKUI.Sjamsuhidajat, R. (1998). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC.

Kompresi mendadak udara di liang telinga

Benda-benda asing

Ruptura membran timpani

Masuk ke dalam meatus akustikus eksternus

Laserasi kulit liang telinga sampai destruksi total telinga dalam

Nyeri telinga yang hebat

Perforasi membran timpani dan perdarahan

Tuli konduktif

Trauma benda tumpul

Telinga basalis/telinga

Tamparan pada telinga

Benda asing

Kompensasi mendadak udara di liang telinga

Kerusakan membran timpani

Perforasi membran timpani

Tuli konduktif

Nyeri akut

Gangguan fungsi pendengaran

Harga Diri Rendah situasional

Takut

Masuk dalam meatus akustikus eksternus

Menekan membran timpani

Menekan rongga telinga dalam

Kerusakan struktur tulang pendengaran

(Malleus, Incus, Stapes)

Gangguan persepsi sensori pendengaran

PAGE 1