pendekatan diagnose holistik pada penderita kusta fix.docx

57
PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA DI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS) ABSTRAK LATAR BELAKANG: Kusta dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Sampai saat ini, penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang, seperti Indonesia. The Indonesian Leprosy Elimination Taskforce menyatakan telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kusta, kurang dari 1 per 10.000 orang dipertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. HASIL: Tn. H, laki-laki, umur 33 tahun, BB 49 kg, TB 168 cm, datang ke Puskesmas Cendrawasih dengan keluhan bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Dilakukan pemeriksaan dengan hasil TD 110/70 mmHg, pada status lokalis kulit ditemukan plaque yang eritematous dan berbatas tegas berukuran 2x2 cm sampai dengan 5x10 cm pada regio facia, auricula, thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas superior dan inferior, pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi, terdapat penebalan dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, 1

Upload: iswan-rizal

Post on 04-Jan-2016

40 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA

DI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS)

ABSTRAK

LATAR BELAKANG:

Kusta dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Sampai saat ini, penyakit

kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara

berkembang, seperti Indonesia. The Indonesian Leprosy Elimination Taskforce

menyatakan telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kusta, kurang dari 1 per

10.000 orang dipertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan

bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

HASIL:

Tn. H, laki-laki, umur 33 tahun, BB 49 kg, TB 168 cm, datang ke

Puskesmas Cendrawasih dengan keluhan bercak merah pada seluruh tubuh yang

dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Dilakukan

pemeriksaan dengan hasil TD 110/70 mmHg, pada status lokalis kulit ditemukan

plaque yang eritematous dan berbatas tegas berukuran 2x2 cm sampai dengan

5x10 cm pada regio facia, auricula, thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas

superior dan inferior, pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi, terdapat

penebalan dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus tibialis posterior

sinistra dan dextra, terdapat gangguan fungsi sensorik setengah pada digiti IV dan

digiti V kedua tangan serta kedua telapak kaki, pada pemeriksaan kerokan kulit

didapatkan hasil indeks bakteri (IB) sebesar 1+. Tn. H didiagnosis menderita

kusta tipe MB dengan cacat tingkat I dan reaksi kusta tipe I, kemudian

ditatalaksana dengan regimen MDT 12 dosis selama 12-18 bulan dan prednison

selama 12 minggu. Selama ini Tn. H tidak berobat ke dokter karena khawatir

didiagnosa kusta. Tn. H tinggal bersama dengan 5 anggota keluarga lainnya. Tn.

H dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit kusta, anjuran untuk

melakukan pengobatan kusta secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya

hidup. Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan

penatalaksanana pasien dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik

1

Page 2: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

dan paripurna, berbasis Evidence Based Medicine. Perbaikan dapat dievaluasi

setiap 2 minggu untuk melihat perbaikan reaksi kusta dengan pemberian

prednison dan setelah pengobatan dengan regimen MDT telah selesai untuk

dinyatakan Release From Treatment (RFT) dengan tidak ditemukannya kelainan

kulit baru tanpa memperhatikan pemeriksaan BTA.

Kata Kunci: Kusta, Evidence Based Medicine, pelayanan dokter keluarga.

2

Page 3: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India

kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Sampai saat ini, penyakit

kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara

berkembang, seperti Indonesia.1,2

The Indonesian Leprosy Elimination Taskforce menyatakan telah

berhasil mengurangi tingkat kejadian kusta, kurang dari 1 per 10 000 orang di

pertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa

kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.2

Keterlambatan diagnosis MH dapat mengakibatkan kerusakan saraf

yang irreversibel, dan pada akhirnya mengalami cacat permanen. Cacat fisik

yang disebabkan oleh kusta sering disalahpahami dan dianggap menakutkan

oleh masyarakat. Penyakit ini masih terkait dengan stigma sosial yang tidak

diinginkan yang sangat berdampak pada kemampuan fisik pasien, ekonomi,

dan kehidupan sosialnya.2

1.2 Aspek disiplin ilmu yang terkait dengan judul pembahasan

Untuk pengendalian permasalahan kusta pada tingkat individu dan

masyarakat secara komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka mahasiswa program

profesi dokter Universitas Muslim Indonesia melakukan kegiatan kepanitraan

klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas

dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan

kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan

pengembangan diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi

mempunyai landasan berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu

kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.

3

Page 4: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan

menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian kusta secara individual,

masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik moral dan

peraturan perundangan.

b. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu

mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis, sosial dan

budaya sendiri dalam penangan kusta, melakukan rujukan bagi kasus

kusta, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang berlaku

serta mengembangkan pengetahuan.

c. Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan

komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,

masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian kusta.

d. Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu

memanfaatkan teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan

dalam praktik kedokteran.

e. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu

menyelesaikan masalah pengendalian kusta secara holistik dan

komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas

berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang

optimum.

f. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan

prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah kusta dengan menerapkan

prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan

orang lain.

g. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu

mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat

secara komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan

berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer

1.3 Tujuan dan Manfaat Studi Kasus

4

Page 5: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana

masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh

terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga

dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran

terkini (evidence based medicine).

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat

menerapkan pelayanan dokter keluarga secara paripurna

(komprehensif) dan holistik, sesuai dengan Standar Kompetensi

Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine (EBM)

pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis

serta prinsip penatalaksanaan pasien.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

penunjang, serta menginterpretasikan hasilnya dalam menetukan

diagnosis.

b. Untuk mengidentifikasi permasalahan sosial dalam pengendalian

kusta secara individu, keluarga, maupun masyarakat.

c. Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi

pada level individu, keluarga, dan masyarakat dalam pengendalian

kusta.

d. Untuk melakukan prosedur tatalaksana kusta sesuai Program

Pengendalian Penyakit Kusta Nasional sesuai standar kompetensi

dokter Indonesia.

1.3.3 Manfaat Studi Kasus

a. Bagi Institusi Pendidikan.

b. Bagi Penderita (Pasien).

5

Page 6: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

c. Bagi Tenaga Kesehatan.

d. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)

1.4 Indikator Keberhasilan Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah untuk memutus mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit kusta, dan mencegah terjadinya cacat atau bila telah

terjadi cacat sebelum pengobatan akan mencegah bertambahnya cacat.

Indikator keberhasilan pengobatan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien

dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna,

berbasis evidence based medicine adalah:

Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas)

sudah teratur.

Perbaikan reaksi kusta dengan pemberian prednison selama 12 minggu

dievaluasi setiap 2 minggu.

Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan dengan regimen MDT

(multidrug therapy) selesai sesuai klasifikasi kusta yang diderita, yaitu

untuk penderita kusta Pauci baciler (PB) sebanyak 6 dosis dalam waktu

6-9 bulan dan untuk penderita kusta Multibaciler (MB) sebanyak 12

dosis dalam waktu 12-18 bulan, dengan tidak ditemukannya kelainan

kulit baru.

Penderita dinyatakan release from treatment (RFT) jika pengobatan dengan

regimen MDT telah selasai tanpa melihat pemeriksaan laboratorium.

Tidak terjadi relaps setelah pasien dinyatakan RFT. Pasien dikatakan relaps

apabila timbul kelainan kuit baru setelah penderita dinyatakan RFT, dan hasil

BTA terjadi peningkatan Index Bakteriologi 2 atau lebih dibandingkan saat

diagnosis.

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan

tindakan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

BTA.

6

Page 7: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN

2.1 Kerangka Teoritis

Gambaran Penyebab Kusta

Imunitas Pemaparan oleh bakteri Invasi Jaringan

Malnutrisi

Kesesakan Hygiene rumah

Faktor Resiko Kusta Mekanisme Kusta

2.2 Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di

Layanan Primer

Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:

- Comprehensive care and holistic approach

- Continuous care

- Prevention first

- Coordinative and collaborative care

- Personal care as the integral part of his/her family

- Family, community, and environment consideration

- Ethics and law awareness

- Cost effective care and quality assurance

- Can be audited and accountable care

7

PEJAMUPEKA

INFEKS

I

KUSTA

Page 8: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien adalah

seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan spiritual,

serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.

Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat dari

beberapa aspek yaitu:

Aspek personal : Keluhan utama, harapan, kekhawatiran.

Aspek klinis: diagnose klinis dan diagnose bandingnya

Aspek faktor resiko internal: perilaku kesehatan, persepsi kesehatan

Aspek faktor resiko eksternal: psikososial dan ekonomi keluarga,

keadaan lingkungan rumah dan pekerjaan.

Derajat fungsional (1 - 5)

2.3 Penyakit Kusta

2.3.1 Definisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang bersifat inraseluler obligat. Saraf perifer

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius

bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

2.3.2 Epidemiologi

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain

sampai tersebar ke seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh

perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya

kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan

terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini di tiap-tiap

negara maupun dalam negara berbeda-beda. Faktor-faktor yang perlu

dipertimbangkan adalah cara penularan, patogenesis kuman penyebab,

keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan

kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.1

Prevalensi global kusta 0,2 dari 10.000 orang, sedangkan

prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang

8

Page 9: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

mempengaruhi 0,91 dari 10.000 orang pada tahun 2008, menurut

Departemen Kesehatan Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

juga melaporkan bahwa 17.441 kasus baru yang terdeteksi di Indonesia

pada tahun 2008, yang menempatkan negara Indonesia sebagai insiden

tertinggi ketiga kusta di seluruh dunia.2

Epidemiologi penyakit kusta dapat juga digambarkan menurut

Trias Epidemiologi yaitu agent, host, dan environmet sebagai berikut :

a. Agent

Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang

ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang

sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media

artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8

x 0,5 Um, bersifat tahan asam serta gram positif. Masa tunasnya

bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa

tahun, rata-rata 3-5 tahun.1

Cara penularan belum diketahui secara pasti, hanya

berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung

antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara

inhalasi, sebab Mycobacterium leprae masih dapat hidup beberapa

hari dalam droplet. Penderita yang mengandung Mycobacterium

leprae sampai 103 tiap gram jaringan, penularannya tiga sampai

sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang hanya

mengandung 107 basil tiap gram jaringan.1

Mycobacterium leprae dapat ditemukan di kulit, folikel

rambut, kelenjar keringat, air susu ibu, dan jarang ditemukan di

urin. Sputum dapat mengandung banyak Mycibacterium leprae

yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi

kuman tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.1

b. Host

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah

kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya

9

Page 10: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

imunitas. Mycobacterium leprae termasuk kuman yang obligat

intraselular, dan sistem kekebalan yang paling efektif adalah

kekebalan selular. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,

kehamilan serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan

perubahan klinis penyakit kusta.1

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya

sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular

tersebut sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang

menjadi sakit.1

c. Environment

Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negar-negar berkembang

sebgai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam

memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,

pendidikan, kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.

Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan

urbanisasi komunitas pedesaan. Pada lingkungan biologis dapat

berupa kontak langsung dan berulang-ulang dengan penderita.1

Epidemiologi penyakit kusta juga dapat digambarkan menurut Variabel

Epidemiologi yaitu person (orang), place (tempat), dan time (waktu),

sebagai berikut :1

a. Distribusi menurut orang

Distribusi menurut umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta

menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang

berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit

sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit

sering terkait pada umur saat timbulnya penyakit. Pada

penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data

prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit

mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta

diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai

10

Page 11: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang

terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.

Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut

catatan sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa

negara Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak

terserang daripada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta

pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau

faktr biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya

laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai

akibat gaya hidupnya.

Distribusi menurut etnik

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan

distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika

diamati dalam suatu negara atau wilayah yang sama kondisi

lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi

karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa

lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan

etnik India. Di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama,

kejadian kusta lepromatosa lebih banyak terjadi pada etnik

China dibandingkan etnik Melayu dan India. Demikian pula

kejadian kusta di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih

banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.

b. Distribusi menurut tempat

Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi

penyebaran kusta salah satunya adalah lingkungan yang kumuh

dan kotor. Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian

kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan

adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat

cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta impor pada negara

11

Page 12: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

tersebut ternyata tidak menular kepada orang-orang yang sosial

ekonominya tinggi.

c. Distribusi menurut waktu

Terdapat 17 negara termasuk Indonesia yang melaporkan 1000

atau lebih kasus baru selama tahun 2005. 17 negara ini mempunyai

kontribusi 94% dari seluruh kasus baru di dunia. Pada tahun 2002-

2005 pada berbagai negara terjadi peningkatan kasus baru seperti

di Republik Demokrasi Kongo, Indonesia, dan Philipina.

2.3.3 Gejala Klinis

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-

tanda utama atau cardinal sign, yaitu:3

a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputihan

(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa

(anaesthesia).

b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi

saraf

Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan

kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-

gangguan fungsi saraf tepi berupa:

Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau

kelumpuhan (paralise).

Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

c. Ditemukannya Mycobacterium leprae pada pemeriksaan

bakteriologis.

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat

dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer

sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi

terhadap Mycobacterium leprae, yang mendesak dan merusak jaringan

12

Page 13: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang

jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan

saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama

karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf :1

a. Nervus ulnaris

Anestesia pada ujung jari anterio kelingking dan jari manis.

Clawing kelingking dan jari manis.

Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot

lumbrikalis medial.

b. Nervus medianus

Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,

dan jari tengah.

Tidak mampu aduksi ibu jari.

Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

c. Nervus radialis

Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.

Tangan gantung (wrist drop).

Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.

d. Nervus poplitea lateralis

Anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis.

Kaki gantung (foot drop).

Kelemahan otot peroneus.

e. Nervus tibialis posterior

Anestesia telapak kaki.

Claw toes.

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.

f. Nervus facialis

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.

Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan

kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.

13

Page 14: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

g. Nervus trigeminus

Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata.

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer maupun

sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu

mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder

disebabkan oleh rusaknya Nervus facialis yang dapat membuat

paralisis Nervus orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,

mngakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan

bagian-bagian mata lainnya. Keadaan lagoftalmus dan ektropion yang

disebabkan oleh penyakit lepra atau morbus hansen, pada umumnya

disebabkan oleh adanya parese saraf fasialis yang akan menimbulkan

komplikasi keratitis eksposure sampai bisa terjadi ulkus kornea.1,4

Tabel 1. Klasifikasi cacat1

Cacat pada tangan dan kakiTingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada

kerusakan atau deformitas yang terlihat.Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau

deformitas yang terlihatTingkat 2 Terdapat kerusakan dan deformitasCacat pada mataTingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak

ada gangguan penglihatanTingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada

gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)

Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter

Catatan :Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi, kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri dari

kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat

14

Page 15: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat

timbul ginekomasti akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh

karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.1

2.3.4 Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk

tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit

kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah

lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi,

pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.3

Klasifikasi bertujuan untuk:3

Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.

Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang

menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai

target utama pengobatan.

Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat

Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya

adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi

menurut WHO.1,3

a. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)

Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas

Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B),

Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling

sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan

bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi

dari International Leprosy Association di Madrid tahun 1953.3

b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)

Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum

klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi

15

Page 16: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap

Mycobacterium leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler

(cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan

apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut

mendapat infeksi Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan

dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini

banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa

menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon

imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.

Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe

Lepromatous polar (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe

Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe

Tuberculoid polar (TT).1,3

c. Klasfikasi menurut WHO (1981)

Pada tahun 1981, WHO mengembangkan klasifikasi untuk

memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini

seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe

Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Multibasiler berarti

mengandung banyak basil, yaitu tipe LL, BL, dan BB.

Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT,

dan I. Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia

menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman

pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan

manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Pausibasiler (PB)1

Sifat Tuberkuloid polar (TT)

Borderline tuberculoid (BT)

Indeterminate (I)

LesiBentuk Makula saja;

makula dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltrat; infiltrat saja

Hanya infiltrat

16

Page 17: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Jumlah Satu, dapat beberapa

Beberapa atau satu dengan satelit

Satu atau beberapa

Distribusi Asimetris Masih asimetris VariasiPermukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak

berkilatBatas Jelas Jelas Dapat jelas atau

dapat tidak jelasAnestesia Jelas Jelas Tidak jelas sampai

tidak adaBTALesi kulit Hampir selalu

negatifNegatif atau hanya 1+

Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Multibasiler (MB)1

Sifat Lepromatosa polar (LL)

Borderline lepromatosa (BL)

Mid bordeline (BB)

LesiBentuk Makula

InfiltratPapulNodus

MakulaPlakatPapul

PlakatDome-shaped (kubah)Punched-out

Jumlah Tidak terhitung, hampir tidak ada kulit sehat

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris AsismetrisPermukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak

berkilatBatas Tidak jelas Agak jelas Agak jelasAnestesia Biasanya tidak

jelasTidak jelas Lebih jelas

BTALesi kulit Banyak (globus) Banyak Agak banyakSekret hidung Banyak (ada

globus)Biasanya negatif Negatif

Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

17

Page 18: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Tabel 4. Pedoman dalam menentukan klasifikasi kusta menurut WHO (1981)3

Tanda Utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)Bercak kusta 1 sampai dengan 5 Lebih dari 5Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi

Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf

Pemeriksaan bakteriologi

Tidak dijumpai basil tahan asam (BTA)

Dijumpai basil tahan asam (BTA)

Tabel 5. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi

kusta menurut WHO3

Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan

Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Bercak mati rasaUkuran Kecil dan besar Kecil-kecilDistribusi Unilateral atau bilateral

asimetrisBilateral simetris

Permukaan Kering dan kasar Halus, berkilatBatas Tegas Kurang tegasKehilangan rasa pada bercak

Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut

Kehilangan kemampuan berkeringat, rambut rontok pada bercak

Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut

InfiltratKulit Tidak ada Ada, kadang-kadang

tidak adaMembran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang

tidak adaCiri-ciri Central healing Punched out lesion

Madarosis GinekomastiHidung pelanaSuara sengau

Nodulus Tidak ada Kadang-kadang adaDeformitas Terjadi dini Biasanya asimetris

18

Page 19: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakteroskopik digunakan untuk membantu

menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan

dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan

mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil

tahan asam, antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik

negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak

mengandung basil Mycobacterium leprae.1

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel

steril. Setelah lesi didesinfeksi kemudian dijepit diantara ibu jari

dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan

mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu

gambaran sediaan. Irisan yang diambil harus sampai di dermis,

melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang

diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di

dalamnya mengandung basil Mycobacterium leprae. Kerokan

jaringan dioleskan pada gelas objek, difiksasi di atas api,

kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.1

Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung

dengan alat semacam skalpel kecil atau bahan olesan dengan

kapas lidi. Selanjutnya diambil dari daerah septum nasi, dan

dikerjakan seperti kerokan kulit lainnya.1

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid atau nonsolid

pada sebuh sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB)

dengan nilai 0 sampai dengan 6+ menurut Ridley.indeks Bakteri

tersebut adalah:1

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

19

Page 20: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

b. Pemeriksaan Histopatologik

Adanya proses imunologik mengakibatkan sel histiosit ke

tempat Mycobacterium leprae untuk difagosit. Jika makrofag

yang datang berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,

makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid. Adanya

massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang

disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan

jaringan dan cacat. Pada penderita dengan Sistem Imunitas

Seluler (SIS) rendah, histiosit tidak dapat menghancurkan

Mycobacterium leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan

dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau

sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut

penyebarluasan.1

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-

derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah

tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau

hanya sedikit dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat

subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah langsung di bawah

epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow

dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran

unsur-unsur tersebut.1

c. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya

antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh

Mycobacterium leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat

spesifik tehadap Mycobacterium leprae, yaitu antibodi anti

phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16

20

Page 21: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

kDserta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain

antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis.1

Macam-macam pemeriksan serologik kusta ialah:1

Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)

Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)

ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)

2.3.6 Pengobatan

a. Kusta tipe PB5

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa

Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan

petugas)

2 Kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)

1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)

1 tablet dapson (DDS 100 mg)

1 Blister untuk 1 bulan

Lama pengobatan : 6 Blister di

minum selama 6-9 bulan

b. Kusta tipe MB5

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa

Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan

petugas)

2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)

3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)

1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28

1 tablet Lampren 50 mg

1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

1 blister untuk 1 bulan

21

Page 22: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan

Tabel 6. Dosis MDT menurut umur pada penderita kusta tipe PB5

Nama Obat < 5 tahun 5-9 tahun10-14 tahun

> 15 tahun

Keterangan

Rifampisin10-15 mg/

kgBB300

mg/bulan450

mg/bulan600

mg/bulan

Minum di depan

petugas

DDS

1-2 mg/kgBB

25 mg/hari 50 mg/hari100

mg/hari

Minum di depan

petugas1-2

mg/kgBB25 mg/hari 50 mg/hari

100 mg/hari

Minum di rumah

Tabel 7. Dosis MDT menurut umur pada penderita kusta tipe MB5

Nama Obat < 5 tahun 5-9 tahun10-14 tahun

> 15 tahun

Keterangan

Rifampisin10-15 mg/

kgBB300

mg/bulan450

mg/bulan600

mg/bulan

Minum di depan

petugas

DDS

1-2 mg/kgBB

25 mg/hari 50 mg/hari100

mg/hari

Minum di depan

petugas1-2

mg/kgBB25 mg/hari 50 mg/hari

100 mg/hari

Minum di rumah

Clofazimin

1 mg/kgBB 100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/blnMinum di

depan petugas

1 mg/kgBB50 mg 2

kali seminggu

50 mg setiap 2

hari50 mg/hari

Minum di rumah

2.3.7 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan pada penderita kusta adalah sebagai berikut :5

22

Page 23: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam

waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT (Release From Tretment) tanpa

diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam

waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT (Release From Tretment)

tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

c. RFT (Release From Tretment) dapat dilaksanakan setelah dosis

dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan (surveillance) dan dapat

dilakukan oleh petugas kusta.

d. Masa pengamatan.

Pengamatan setelah RFT (Release From Tretment) dilakukan

secara pasif:

Tipe PB selama 2 tahun

Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan

laboratorium

e. Hilang/Out of Control (OOC)

Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1

tahun tidak mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register

pasien.

f. Relaps (kambuh)

Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh

atau RFT (Release From Tretment).

23

Page 24: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

BAB III

METODOLOGI STUDI KASUS

3.1 Waktu dan Lokasi Melakukan Studi Kasus

3.1.1 Waktu Studi Kasus

Studi kasus dilakukan pada tanggal 22 Juni 2015 sampai dengan 11 Juli

2015.

3.1.2 Lokasi Studi Kasus

Jln. Bulu Kumba 3 blok 3 /386, Kelurahan Sudiang Raya, Kecamatan

Biring Kanaya.

3.2 Pengumpulan data dilakukan dengan komunikasi personal dengan

pasien/keluarganya secara langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why,

who, where, when, dan how.

3.3 Pengumpulan data/informasi tentang penyakit atau permasalahan kesehatan

dengan melakukan komunikasi personal dengan pasien dan atau keluarganya dan

analisis data.

24

Page 25: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Studi Kasus

4.1.1 Anamnesis

Tn. H, laki-laki, umur 33 tahun, BB 49 kg, TB 168 cm,

datang ke poliklinik Puskesmas Sudiang Raya dengan keluhan

bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun yang

lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Awalnya bercak

kemerahan muncul di dada sebelah kiri, kemudian 3 bulan yang lalu

bercak menyebar ke seluruh tubuh. 1 bulan terakhir bercak

kemerahan timbul pada wajah dan daun telinga. Riwayat alergi

makanan, obat-obatan, cuaca, dan debu tidak ada. Riwayat keluarga

yang mengalami keluhan yang sama tidak ada. Riwayat kontak

terhadap penderita dengan keluhan yang sama ada, yaitu tetangga

pasien.

Selama ini Tn. H enggan berobat ke dokter karena khawatir

didiagnosa kusta. Tn. H tinggal bersama dengan 5 anggota keluarga

lainnya. Tn. H dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit

kusta, anjuran untuk melakukan pengobatan kusta secara teratur, dan

melaksanakan modifikasi gaya hidup. Tn. H bekerja sebagai buruh di

sebuah toko bahan bangunan, dan masih dapat bekerja dengan baik

tanpa bantuan siapapun.

a. Pemeriksaan fisis

25

Page 26: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

BB 49 kg, TB 168 cm

TD 110/70 mmHg, nadi 78 kali/menit, pernafasan 18

kali/menit, suhu 36,7º C

Status lokalis kulit ditemukan : pada regio facia, auricula,

thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas superior dan

inferior tampak plaque yang eritematous dan berbatas tegas

yang berukuran 2x2 cm sampai dengan 5x10 cm, serta pada

regio facia dan auricula tampak edema dan eritema.

Pemeriksaan rasa raba terhadap lesi : dengan menggunakan

kapas yang ujungnya diruncingkan di dapatkan hasil bahwa

pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi.

Pemeriksaan saraf: ditemukan bahwa terdapat penebalan

saraf dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus

tibialis posterior sinistra dan dextra.

Pemeriksaan gangguan fungsi saraf yaitu pada pemeriksaan

fungsi sensorik : pemeriksaan rasa raba pada tangan kanan

ditemukan rasa raba setengah digiti IV dan digiti V

kehilangan rasa, serta pada pemeriksaan rasa raba telapak

kaki kanan dan kiri, ditemukan rasa raba pada kedua telapak

kaki kehilangan rasa.

b. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan kerokan kulit yang dilakukan pada

kedua daun telinga dan beberapa lesi yang aktif didapatkan hasil

indeks bakteri (IB) sebesar 1+.

4.1.2 Keluarga

Tn. H tinggal serumah dengan ayah mertua, ibu mertua, 1 saudara

ipar, istri, dan 1 orang anaknya, di rumah sederhana dengan

ventilasi yang kurang memadai.

Tn. H tidak ingin anggota keluarganya mengetahui bahwa dirinya

menderita kusta.

26

Page 27: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Tn. H takut dipecat dari pekerjaannya jika benar dirinya

menderita kusta.

4.1.3 Pemeriksaan Fisis

BB 49 kg, TB 168 cm

TD 110/70 mmHg, nadi 78 kali/menit, pernafasan 18 kali/menit,

suhu 36,7º C

Status lokalis kulit ditemukan : pada regio thoraks, abdomen,

punggung, ekstremitas superior dan inferior tampak plaque yang

eritematous dan berbatas tegas yang berukuran 2x2 cm sampai

dengan 5x10 cm, serta pada regio facia dan auricula tampak edema

dan eritema.

Pemeriksaan rasa raba terhadap lesi : dengan menggunakan kapas

yang ujungnya diruncingkan di dapatkan hasil bahwa pasien tidak

merasakan sentuhan kapas pada lesi.

Pemeriksaan saraf: ditemukan bahwa terdapat penebalan saraf dan

nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus tibialis posterior

sinistra dan dextra.

Pemeriksaan gangguan fungsi saraf yaitu pada pemeriksaan fungsi

sensorik : pemeriksaan rasa raba pada tangan kanan ditemukan rasa

raba setengah digiti IV dan digiti V kehilangan rasa, serta pada

pemeriksaan rasa raba telapak kaki kanan dan kiri, ditemukan rasa

raba pada kedua telapak kaki kehilangan rasa.

4.1.4 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan kerokan kulit yang dilakukan pada kedua daun

telinga dan beberapa lesi yang aktif didapatkan hasil indeks bakteri

(IB) sebesar 1+.

4.1.5 Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)

a. Diagnosa Klinis : Kusta tipe MB, dengan cacat tingkat I dan reaksi

kusta tipe I

27

Page 28: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

b. Diagnosa Psikososial : kekhawatiran menderita kusta, takut

diketahui oleh anggota kelurga lainnya bahwa dirinya menderita

kusta, takut dipecat dari tempat kerja.

4.2 Aspek sosial

c. Aspek Personal

Tn. H, laki-laki, 33 tahun

Datang ke poliklinik Puskesmas Sudiang Raya dengan

keluhan bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1

tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Awalnya

bercak kemerahan muncul di dada sebelah kiri, kemudian 3

bulan yang lalu bercak menyebar ke seluruh tubuh. 1 bulan

terakhir bercak kemerahan timbul pada wajah dan daun

telinga. Riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca, dan debu

tidak ada. Riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang

sama tidak ada. Riwayat kontak terhadap penderita dengan

keluhan yang sama ada, yaitu tetangga pasien.

Kekhawatiran

- Takut menderita penyakit kusta

- Takut anggota keluarga lainnya mengetahui bahwa dirinya

menderita penyakit kusta

- Takut dipecat dari pekerjaannya jika benar dirinya

menderita kusta

Harapan

- Tidak menderita kusta

d. Aspek Klinik

Bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun

yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir.

Awalnya bercak kemerahan muncul di dada sebelah kiri,

kemudian 3 bulan yang lalu bercak menyebar ke seluruh tubuh.

28

Page 29: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

1 bulan terakhir bercak kemerahan timbul pada wajah dan

daun telinga

c. Aspek Faktor Resiko Internal

Kurangnya pengetahuan tentang kusta

Kepatuhan dalam berobat kurang

Perilaku terhadap bercak kemerahan pada tubuh yang buruk

Gizi buruk

d. Aspek Faktor Resiko Eksternal

Tinggal di rumah dengan ayah mertu, ibu mertua, 1 saudara

ipar, isteri, dan 1 orang anak.

Tempat tinggal : Rumah susun sederhana, padat dan ventilasi

kurang memadai.

Pekerjaan sebagai buruh di sebuah toko bahan bangunan.

e. Derajat Fungsional

Tn. H masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun

(derajat 1 minimal)

4.2.1 Genogram (Pohon keluarga)

Pohon Keluarga

Keterangan :

= Ayah mertua

= Ibu mertua

= Saudara ipar

29

Page 30: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

= Isteri

= Tn. H, menderita penyakit kusta

= Anak

4.3 komunikasi

Promosi kesehatan dengan pendekatan Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS).

1. Perbaikan kondisi ventilasi rumah

2. Meningkatkan status gizi

3. Memperbaiki perilaku terhadap bercak kemerahan, misalnya

tetap menjaga kebersihan diri.

4.4 tatalaksana

Terapi untuk Pasien

Medikamentosa : dengan regimen MDT 12 dosis selama

12-18 bulan. 1 blister (1 dosis) untuk 1 bulan.

Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di

depan petugas)

- 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)

- 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)

- 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28

- 1 tablet Lampren 50 mg

- 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Sedangkan untuk reaksi kusta diberikan obat

kortikosteroid berupa prednison dengan skema pemberian:

2 minggu I : 40 mg/hari (1x8 tablet) pagi hari sesudah

makan.

2 minggu II : 30 mg/hari (1x6 tablet) pagi hari

sesudah makan.

30

Page 31: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

2 minggu III : 20 mg/hari (1x4 tablet) pagi hari

sesudah makan.

2 minggu IV : 15 mg/hari (1x3 tablet) pagi hari

sesudah makan.

2 minggu V : 10 mg/hari (1x2 tablet) pagi hari

sesudah makan.

2 minggu VI : 5 mg/hari (1x1 tablet) pagi hari sesudah

makan

Perbaikan status gizi (diet TKTP) yang disesuaikan

dengan berat badan ideal dan istirahat di rumah agar tidak

menular ke orang lain

Faktor internal : Edukasi memperbaiki pengetahuan

tentang kusta, menyampaikan agar tetap menjaga

kebersihan diri.

Faktor eksternal: memperbaiki ventilasi rumah (dengan

membuka pintu dan jendela khususnya pada pagi hari).

Motivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan

pasien

Terapi untuk Keluarga

Proteksi diri dan edukasi untuk anggota keluarga yang tinggal

serumah dengan Tn. H.

31

Page 32: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi kasus kusta yang dilakukan di layanan primer

(PUSKESMAS) mengenai penatalaksanaan kusta dengan pendekatan

diagnosa holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang

Tn. H didiagnosa menderita kusta tipe MB (multibasiler) dengan derajat

cacat tingkat 1 dan reaksi kusta tipe 1 Trias epidemiologi pada kasus ini,

Agent : Mycobacterium leprae, host : pasien Tn. H, environment :

lingkungan rumah yang kumuh dan ventilasi rumah yang tidak memadai.

Transmisi terjadi karena kontak yang lama dan erat terhadap penderita

dengan keluhan yang sama (tetangga pasien).

b. Permasalahan sosial : Tn. H takut diketahui oleh anggota kelurga lainnya

jika benar dirinya menderita kusta, dan takut dipecat dari tempat kerja.

c. Pemberian informasi untuk memperbaiki pengetahuan tentang kusta,

edukasi tentang pengobatan secara teratur, modifikasi gaya hidup, dan

memotivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan pasien.

32

Page 33: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

d. Tatalaksana medikamentosa kusta tipe MB yaitu pemberian regimen

MDT 12 dosis selama 12-18 bulan, dan pemberian prednison selama 12

minggu untuk reaksi kusta. Evaluasi pengobatan setiap 2 minggu untuk

melihat perbaikan reaksi kusta dengan pemberian prednison selama 12

minggu, dan setelah pengobatan dengan regimen MDT selesai untuk

dinyatakan Relese From Treatment (RFT).

5.2 Saran

Dari beberapa masalah yang ditemukan pada Tn. H berupa: penyakit kusta,

pola hidup dan kebersihan rumah, serta gizi kurang, maka disarankan untuk:

a. Melakukan screening kepada orang yang terkontak, yaitu anggota

keluarga yang tinggal serumah dan teman kerja

b. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit kusta

c. Memberikan penatalaksanaan kepada pasien dengan modifikasi gaya

hidup berupa:

- Mengkonsumsi makanan yang seimbang dan penuh dengan vitamin

- Menjaga kebersihan, kelembaban, dan pencahayaan di dalam rumah

- Latihan fisik atau olahraga teratur

- Berobat secara teratur.

33

Page 34: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi, Prof. DR. dr. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.

Dalam : Kusta. 2011. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Halaman : 64-72.

2. Widodo, Arini Astari, & Menaldi, Sri Linuwah. Characteristic of Leprosy

Patient in Jakarta. 2012. [cited 5 Juli 2015]. Available at:

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/

1261/1237

3. Lubis, SR. Penyakit Kusta. 2013. [cited 5 Juli 2015]. Available at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37321/4/Chapter%20II.pdf.

4. Doemilah Ratna, Faradis Hani, Witjaksana Nugraha. Management of

Paralitic Lagophthalmos caused by Leprosy Reaction. 2012. [cited 5 April

2015]. Available at: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Lap%20Kas.%20dr.

%20Hani%20F.pdf.

5. Makaminan, A. Morbus hansen. 2012 . [cited 5 Juli 2015].

http://eprints.ung.ac.id/6342/5/2012-1-13201-811408003-bab2-

13082012035518.pdf

34

Page 35: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

LAMPIRAN

1. Gambaran klinis sebelum pemberian regimen MDT dan prednison

Regio facia Regio auricula

35

Page 36: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Regio thorax

Regio Abdomen

Regio punggung

36

Page 37: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Regio ekstremitas

2. Evaluasi perbaikan reaksi kusta setelah pemberian prednison 40 mg/hari

selama 2 minggu:

Regio facia Regio auricula

37

Page 38: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Regio thorax

Regio abdomen

Regio punggung

38

Page 39: PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA fix.docx

Regio ekstremitas

3. Tempat tinggal pasien

39