pendahuluan latar belakang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. berdasarkan data tahun 1999,...
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi Mangrove di Indonesia
Wilayah Indonesia terdiri atas 17.508 pulau dan memiliki panjang garis
pantai sekitar 81.000 KM, merupakan negara yang memiliki hutan mangrove
terluas di dunia. Luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 4,25 juta ha.
Sebagian besar terdapat di Irian Jaya terdapat 69% dari jumlah total, Sumatra
16%, dan Kalimantan 9% (Abdullah et al., 1990 dalam Purnobasuki H.,2006).
Gambar 1. Persebaran Karang, Mangrove dan Rumput Laut di Dunia (Sumber: http://maps.grida.no/go/graphic/distribution_of_coral_mangrove_and_seagrass_diversity)
Peranan Mangrove di Indonesia sebagai Green Belt
Potensi mangrove yang dimiliki oleh Indonesia ini memiliki peranan penting
dalam menjaga kestabilan kehidupan ekosistem disekitar mangrove. Selain itu,
Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menjelaskan bahwa
vegetasi mangrove, terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang
tsunami dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove
Sehingga, dengan potensi hutan mangrove terluas di dunia ini, kondisi hutan
pantai di Indonesia cenderung relatif lebih baik dikarenakan rumpun mangrove ini
dapat mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari gelombang tsunami (green
belt)
Tingginya Angka Pengrusakan Mangrove
Namun sayangnya, begitu pentingnya peranan mangrove yang merupakan aset
ekosistem potensial di Indonesia tidak diimbangi oleh upaya penting tindakan
budidaya yang dilakukan secara berkala oleh manusia. Yang terjadi malah
sebaliknya, manusia mulai bertindak sembrono dengan melakukan proses
penebangan terhadap hutan mangrove yang presentasenya kerusakannya
2
senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data tahun 1999, luas
hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar dan 5,30 juta
hektar di antaranya dalam kondisi rusak (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial, 2001).
Faktor utama penyebab kerusakan mangrove adalah karena ulah manusia yang
ingin menggunakan lahan mangrove sebagai ladang komersil. Data menunjukkan
bahwasannya 36,84 % penyebab kerusakan mangrove di Indonesia adalah karena
adanya pengkonversian lahan mangrove menjadi tambak ikan. Dan 21,05%
diantaranya dirusak dan ditebang secara liar untuk didirikan lahan bangunan dan
pemukiman (Djamali,2004)
Tabel 1. Parameter Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove Di Indonesia
Sumber : Djamali,2004
Tabel 2. Parameter Pelaku Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove Di
Indonesia
Sumber : Djamali,2004
Jika aksi penebangan dan pengrusakan mangrove ini tidak diimbangi dengan
upaya penanaman perbaikan dan budidaya kembali, maka keberadaan ekosistem
mangrove di Indonesia terancam rusak dan punah. Hal ini tentunya akan
memberikan imbas yang signifikan terhadap kehidupan dan kestabilan ekosistem
di sekitar mangrove baik biotik maupun abiotik
MraC (Mangrove RhizophoraChitecture) sebagai solusi pelestarian mangrove
Agar hutan mangrove di Indonesia senantiasa tidak dirusak oleh tangan-tangan
manusia, maka upaya pelestarian mangrove harus mampu menanamkan
pemahaman bahwasannya keberadaan mangrove ini memiliki peranan penting
dalam stabilitas kehidupan manusia di garis pantai. Dalam dunia arsitektur,
terdapat pengertian bahwasannya manusia seharusnya mampu hidup bersinergis
dengan alam, bukan malah merusaknya. Konsep ini dikenal dengan nama konsep
3
arsitektur hijau (green architecture) yaitu arsitektur yang memanfaatkan alam.
Lima prinsip green architecture menurut (Thomas A. Fisher, 1992): (1)
Lingkungan interior yang sehat, (2) Efisiensi energi, (3) Material yang ramah
lingkungan, (4) Bentukan alam dan (5) Desain yang bagus.
Atas dasar lima prinsip green architecture, maka dirancanglah arsitektur yang
memaanfaatkan mangrove sebagai hunian hidup bagi manusia, yang mana hunian
pada dasarnya bisa didirikan di atas pohon mangrove. Konsep ini didasarkan pada
kekuatan mangrove famili Rhizophora yang mampu mereduksi energi tsunami
menjadi setengahnya di Teluk Grajagan Banyuwangi. Jika mangrove pada
dasarnya memiliki kekuatan yang sangat besar untuk menahan gaya yang sangat
kuat setingkat tsunami, maka untuk menahan struktur yang ditimbulkan oleh
hunian yang kekuatannya lebih rendah dari tsunami tentunya lebih mampu.
Konsep hunian hidup green architecture ini bernama MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture) dengan memanfaatkan mangrove jenis Rhizophora
apiculata sebagai struktur utama hunian hidup yang ramah lingkungan (bio
material )
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui potensi mangrove Rhizophora apiculata sebagai bio
material dalam MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
2. Untuk mengetahui desain bangunan dan hunian yang menggunakan
konsep MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) sebagai hunian green
architecture masa depan
Manfaat Penulisan
1. Sebagai solusi atas permasalahan tingginya angka penebangan dan
pengrusakan mangrove di Indonesia
2. Sebagai referensi mengenai arsitektur yang hidup, tumbuh dan
berkembang dengan bahan baku mangrove famili Rhizophora
3. Sebagai inovasi terbaru konsep bio-material yang ramah lingkungan
dengan pendekatan bentukan alam.
4. Untuk melestarikan hutan mangrove dengan menanamkan pemahaman
bahwasannya manusia mampu hidup dengan alam
RUMUSAN GAGASAN
Potensi mangrove Rhizophora appiculata sebagai Bio Material
1. Potensi Rhizophora appiculata Secara Alami sebagai Green Belt
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan
kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar
50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono,
2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan
energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan
mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002).
4
Gambar 2. Kemampuan Mangrove sebagai Green Belt
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
2. Potensi Kekuatan Fisik Rhizophora appiculata sebagai Material
Struktur Bangunan
Berdasarkan hasil tes fisik akar tunjang Rhizophora apiculata dengan mengambil
sampel rumpun mangrove di di desa Labuhan-Brondong-Lamongan (6˚52'51,94"
LS dan 112˚12'48,21" BT), didapatkan nilai sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil uji fisik akar tunjang Rhizophora apiculata
∂ Tarik
∂ Tekan
∂ Geser ∂ Lentur Sejajar serat
Tegak lurus
serat
Tahap I 153,02
kg/cm2
- - - -
Tahap II 894,82
kg/cm2
557,60
kg/cm2
- 77,00 kg/cm2
156,17
kg/cm2
Tahap III 656,90
kg/cm2
597,88
kg/cm2
87,30 kg/cm2 136,57
kg/cm2
259,36
kg/cm2
Sumber : Hasil uji fisik di laboratorium Beton dan Bahan Bangunan (B3) Teknik
Sipil ITS menggunakan alat Tokyo Testing Machine 1983.
Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwasannya mangrove jenis Rhizophora
apiculata memiliki kekuatan terbesar pada kekuatan tekan, yaitu sebesar 597,88
kg/cm2. Jika kekuatan tekan mangrove ini dibandingkan dengan standar kekuatan
beton, maka kekuatan tekan mangrove setara dengan beton dengan mutu k600
atau fc’ 50. Dalam praktiknya dilapangan, beton mutu ini digunakan sebagai tiang
panjang beton pra tekan bulat dan merupakan mutu beton yang memiliki kuat
tekan paling besar.
5
3. Potensi konfigurasi akar Rhizophora Appiculata sebagai pereduksi
beban
Mangrove terdiri dari tiga jenis akar: : akar tunggang (aerial roots), akar tunjang
(stilts roots) dan akar udara (air roots). Akar tunggang adalah akar utama yang
secara visual terlihat menerus dari batang ke tanah. Akar tunjang merupakan akar
yang tumbuh dari batang dan berfungsi sebagai struktur penahan batang agar tidak
roboh, akar ini merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam. Sedangkan
akar udara merupakan akar tunjang yang dapat keluar dari batang mencapai
ketinggian 5 m dari substrat. (Rusila Noor, Y.m. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra.
1999)
Gambar 3. Konfigurasi akar mangrove
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
Pada saat menerima beban secara vertikal, maka akar tunjang mangrove yang
berjumlah banyak dan bersifat ‘mencekram’ ke tanah mampu mendistribusikan
beban secara merata sehingga beban menjadil lebih ringan. Sementara itu, akar
tunggang yang berjumlah satu mampu menyalurkan beban tersebut ke dalam
lapisan tanah paling dalam. Sehingga, ketika menerima beban secara vertikal,
mangrove hanya akan mengalami penurunan bukan patahan.
Gambar 4. Kondisi akar tunjang dan akar tunggang
mangrove saat menerima beban vertical
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
6
Solusi yang Pernah Ditawarkan
Upaya pelestarian mangrove dengan menggunakan gagasan sebagai hunian belum
pernah dirancang sebelumnya. Sehingga, konsep MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture) ini adalah konsep arsitektur yang baru. Penerapan
mangrove sebagai bio material sebenarnya telah lama dimanfaatkan dalam bidang
konstruksi. Potensi mangrove terletak pada kekuatan konstruksinya sebagai kayu.
Dalam bidang konstruksi Rhizophora appiculata dapat dimanfaatkan sebagai kayu
tiang, konstruksi berat jembatan, bantalan rel kereta api serta kolom bangunan
(Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra, 1999). Selain itu R.
apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk
tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat
bertahan sampai 50 tahun (Inoue et al., 1999). Namun sayangnya, penggunaan
mangrove sebagai material kayu ini tindakan yang dapat mengakibatkan
pengrusakan ekosistem mangrove dikarenakan tidak diikuti oleh upaya
penghijauan dan rehabilitasi yang tepat. Upaya merehabilitasi daerah pesisir
pantai dengan penanaman jenis mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun
sembilan-puluhan. Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan
selama tahun 1999 hingga 2003 baru terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen
Kehutanan, 2004), namun tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Data ini
menunjukkan laju rehabilitasi hutan mangrove hanya sekitar 1.973 ha/tahun.
(Sudarmadji, 2001).
Jika tingginya angka pengrusakan mangrove dengan laju rehabilitasi mangrove ini
tidak sepadan, maka hutan magrove akan terancam mengalami kerusakan. Oleh
karena itu, pemanfaatan mangrove sebagai bio material seharusnya dapat
dilakukan dengaan tidak merusak dan mengambil bagian dari rumpun mangrove
tersebut. Salah satunya adalah dengan memanfaatkannnya sebagai hunian hidup
dengan menggunakan konsep arsitektur MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Inovasi konsep green architecture ini sangat jarang di temui namun dalam
penerapannya, namun tidak sedikit negara telah berhasil mencoba mendirikan
hunian hijau yang menyatu dengan pohon. Beberapa contoh inovasi konsep rumah
hidup yang pernah didirikan dapat terlihat seperti pada gambar berikut
Gambar 5. Konsep Hunian Green Architecture yang Menyatu dengan Pohon
Sumber: archiinspire.com dan sdenceray.com
7
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) sebagai solusi pelestarian
mangrove dengan Rhizophora appiculata sebagai bio material hidup
1. Lokasi dan Pemilihan lahan untuk hunian hidup “MRaC”
(Mangrove RhizophoraChitecture)
Pada proses pendirian hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
didasarkan prinsip : melestarikan lingkungan dan hidup harmoni dengan alam.
Sehingga dalam pemilihan lahan untuk desain hunian tidak dilakukan dengan
cara merusak ekosistem yang terdapat di sana, tetapi hanya menempati ruang
kosong dalam ekosistem tersebut.
Gambar 6. Lahan Kosong untuk didirikan hunian
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
Gambar 7. Maket peletakan hunian
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) di lokasi pendirian
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
8
2. Struktur hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
a. Pondasi
Material yang sering digunakan sebagai pondasi bangunan berlantai satu pada
tanah dengan daya dukung tinggi adalah batu kali atau pondasi umpak, sementara
pada tanah dengan daya dukung rendah adalah pondasi plat beton dengan
penambahan strouse pile pada bangunan 2 lantai atau lebih. (Riswanto dan
Kadarono. 1982).
Gambar 8. Maket peletakan pondasi pada
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
Sedangkan pada hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture), pondasi
bangunan memanfaatkan memanfaatkan kekuatan akar tunjang dan akar
tunggang mangrove. Akar tunjang mangrove berjumlah lebih dari satu dan
memiliki struktrur ’mencekram’ sehingga dapat menahan bangunan agar tidak
roboh. Sedangkan akar tunggang pada mangrove mempu menembus lapisan tanah
hingga lapisan substrat paling dasar sehingga berpotensi untuk mereduksi beban
horizontal dari hunian di atasnya
b. Dinding
Pada hunian umumnya, struktur dinding terdiri atas tembok yang terbuat dari batu
bata dan semen, sementara itu, untuk menahan agar tembok tersebut tetap
kompleks dan tidak roboh adalah dengan menempatkan balok kolom yang terdiri
dari beton dan baja (Sekang) tiap 5-10 meter bentang bangunan
Gambar 9. Maket peletakan dinding pada
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
9
Sedangkan pada hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture), konsep
dinding sebagai struktur utama dapat memanfaatkan akar udara yang menjulang
dari bagian atas pepohonan mangrove ke bagian. Akar udara ini memiliki jumlah
yang banyak dengan struktur yang kuat dan mampu untuk menyalurkan beban
dinding ke pondasi.
c. Atap
Untuk hunian umumnya, atap dirancang dengan menggunakan kuda-kuda kayu
dan genteng. Sedangkan pada MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) atap
dirancang memanfaatkan percabangan mangrove bagian atas dan ditopang
dengan kuda-kuda yang menyesuaikan bentuk percabangan tersebut. Penutup atap
dapat disusun dari genteng ataupun dari kayu maupun tripleks
Gambar 10. Maket peletakan atap pada
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
Pihak yang Dapat Mengimplementasikan konsep hunian MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture)
Agar konsep hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) dapat
terealisasikan, maka pihak-pihak yang daapat membantu agar dapat
terimplementasikan antara lain:
1. Arsitek Peran dari seorang arsitek dalam mewujudkan hunian MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture) sangat penting. Peran pertama dari seorang arsitek adalah
mentransformasikan ruang alami MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) yang
tidak teratur menjadi ”ruang dalam” yang teratur. Seorang arsitek alias perancang
dapat menggunakan elemen-elemen arsitektural sebagai penegasan. Proses
penegasan dengan elemen-elemen arsitektural tersebut harus memperhatikan
konsep ruang yang terbentuk baik oleh individu tanaman, beberapa tanaman
maupun kedua-duanya. Yang mana dari space yang ditimbulkan oleh ruang
kosong tersebutlah dapat digunakan sebagai tempat hunian.
10
Gambar 11. Ilustrasi ruang yang tebentuk oleh individu
pada Sistem perakaran Rhizophora spp.
Sumber: Prawiro, Nuansa, Yustiana, Andini, Fajri., 2009
Peran kedua dari seorang arsitek harus mampu membuat desain hunian yang
fleksibel mengikuti distribusi akar mangrove, hal ini dikarenakan luas lahan dan
bentuk hunian dalam MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) menyesuaikan
konfigurasi akar dan titik persebaran mangrove. Lahan yang digunakan untuk
pendirian hunian didapatkan dengan mengikuti space ruang kosong yang terdapat
dari titik persebaran mangrove Penelitian lapangan membuktikan bahwa pada
sela-sela antara individu Rhizophora apiculata dapat dimanfaatkan sebagai lahan
untuk hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Gambar 12. Titik persebaran Mangrove dan space kosong untuk lahan hunian
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
(Sumber: Prawiro. 2009)
Peran ketiga dari seorang arsitektur adalah menganalisa aspek distribusi
keruangan dalam hunian mangrove. Sehingga dengan bentuk hunian yang
mengikuti konfigurasi perakaran mangrove dan luas lahan yang mengikuti titik
persebaran tersebut seorang arsitek dapat menentukan ruang apa saja yang cocok
untuk ditempatkan di sana. Selain itu seorang arsitek juga perlu menganalisa
aspek kelayakan huni dari konsep MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
2. Kontraktor Bangunan Seorang kontraktor bangunan memiliki peranan dalam menganalisa kelayakan
hunian mangrove jika ditinjau dari kekuatan struktur. Analisa yang dilakukan
meliputi (1) analisa daya dukung tanah, (2) analisa kekuatan perakaran mangrove
rhizophora architecture sebagai struktur utama bangunan, (3) analisa konfigurasi
perakaran mangrove sebagai pereduksi beban (4) analisa pengaruh bebaan hidup
seperti manusia dan angin terhadap keseimbangan hunian mangrove dan (5)
proses pemilihan material yang cocok, kuat dan murah sebagai elemen dalam
pembuatan hunian mangrove.
11
Selain itu, seorang kontraktor juga yang pada nantinya merancang sistem sanitasi
dari hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) dan kelayakannya.
Kontraktor juga berperan dalam menentukan aspek keruangan atau desain,
sehingga dapat menentukan desain yang kompleks dan kuat yang mampu
menahan beban diakibatkan dari hunian mangrove
3. Pemerintah Lingkungan Hidup Peran dari Pemerintah yang dalam hal ini adalah Pemerintah Lingkungan Hidup
adalah membantu mewacanakan kepada masyarakat akan konsep hunian MRaC
(Mangrove RhizophoraChitecture). Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk
mensosialisasikan program MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) ini antara
lain melalui iklan di media massa, pematenan produk dan legalitas dari kegiatan.
Dengan adanya dukungan dari Pemerintah Lingkungan Hidup, maka program
hunian hijau dengan konsep MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) dapat
terealisasikan dengan baik
4. Masyarakat sekitar kawasan mangrove
Karena sasaran dari hunian yang dibentuk dengan menggunakan konsep MRaC
(Mangrove RhizophoraChitecture) adalah masyarakat, maka masyarakat kawasan
sekitar mangrove adalah subyek dari penggunaan mangrove ini. Salah satu contoh
yang relevan adala untuk kawasan pantai Bantul . Proses pembangunan
infrastruktur disana mengalami masalah dikarenakan pengadaan bahan kontruksi
masih sulit dikarenakan terpencilnya lahan dan sulitnya medan. Dengan
menerapkan hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture), maka masyarakat
dapat memaanfaatkan mangrove sebagai hunian mereka. Sementara itu, untuk di
daerah pantai komersil, hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) ini juga
dapat dimanfaatkan sebagai wisata hunian yang dapat disewakan bagi para
pengunjung
Tahapan Penelitian dan Pengembangan MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture)
Permasalahan yang ada sekarang adalah belum dimanfaatkannya mangrove famili
Rhizophora sebagai bio-material pada dunia arsitektur lokal maupun global,
sehingga penelitian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) merupakan sebuah
penelitian yang baru. Oleh karena itu, sebelum hunian MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture) dapat didirikan, maka harus melalui beberapa tahapan
penelitian. Antara lain:
1. Tahap 1
Pada tahap pertama ini, penelitian yang dilakukan adalah pada kemampuan
mangrove jenis Rhizophora Appiculata sebagai bio material struktur utama
bangunan. Pada tahap ini, dilakukan pengujian atau tes fisik pada akar mangrove
Rhizophora Appiculata yang meliputi tes tekan, tes tarik dan tes struktur. Output
dari tahapan ini adalah didapatkan nilai kekuatan fisik Rhizophora Appiculata
yang memenuhi standar untuk menahan beban yang ditimbulkan oleh hunian
2. Tahap 2
Pada tahap kedua adalah penelitian mengenai lahan yang cocok digunakan
sebagai hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture). Pada tahapan ini,
12
dianalisasa mengenai aspek kelayakan hunian yang meliputi daya dukung tanah
untuk dapat menahan beban dari hunian MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture). Selain itu, pada tahap ini juga dianalisa mengenai titik
persebaran mangrove dan tempat kosong yang dapat digunakan sebagai hunian
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture). Output dari tahapan ini adalah lokasi
tentang pendirian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) yang cocok dan
layak tanpa merusak ekosistem mangrove
3. Tahap 3
Pada tahap ketiga,mulai dirancang desain hunian dan bangunan yang cocok untuk
didirikan di atas pohon mangrove. Pemilihan desain harus fleksibel, karena desain
mengikuti konfigurasi akar mangrove dan titik persebaran mangrove. Pada tahap
ini juga dilakukan analisa mengenai tata letak ruang, desain interior dan eksterior
hunian serta pemilihan material bangunan yang mendukung. Output pada
penelitian ini adalah berupa desain dan tata letak hunian MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture)
4. Tahap 4
Pada tahap keempat, dilakukan analisa kelayakan huni jika manusia ditempaatkan
di hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture). Penelitian ini meliputi
pengaruh faktor luar, seperti (1) pengaruh tiupan angin, (2) pengaruh air laut
pasang, (3) keberadan hewan-hewan liar, (4) sirkulasi CO2 di malam hari antara
manusia dan tumbuhan (5) faktor keamanan hunian, dan (6) faktor kenyamanan
hunian
5. Tahap 5
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari rangkaian proses penelitian, pada tahap
ini mulai dibahas faktor teknis hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture),
yang meliputi sistem (1) sanitasi, (2) aksebilitas ke lokasi hunian, (3) jenis lantai
dan dinding yang digunakan dan jenis atap yang cocok untuk digunakan
KESIMPULAN
Inti gagasan MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Hal pokok dari dirancangnya hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
ini adalah sebagai bentuk inovasi dari upaya pelestarian hutan mangrove di
Indonesia yang senantiasa mengalami kerusakan. Dengan potensi Rhizophora
Appiculata yang meliputi (1) potensi alami sebagai green belt yang mampu
mereduksi gelombang hingga 50% (2) potensi pada kekuatan tekan yang setara
dengan beton K600 dan (3) potensi pada konfigurasi akar yang mampu meredam
beban vertikal, maka Rhizophora appiculata cocok digunakan sebagai bio
material, yang dalam konsep hunian sebagai MRaC (Mangrove
RhizophoraChitecture).
Dalam konsep desain untuk hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture),
maka sistem ruang dalam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pondasi dengan
memanfaatkan akar tunjang dan akar tunggang, dinding dengan memanfaatkan
konfigurasi akar udara dan atap dengan memafaatkan perakaran ujung dari
mangrove Rhizophora appiculata
13
Diharapkan dengan dirancangnya MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) ini,
manusia mulai menyadari bahwasannya pada dasarnya manusia bisa hidup dengan
alam, bukan malah merusak dan menebangnya. Sehingga pelestarian hutan
mangrove yang merupakan potensi Indonesia ini senantiasa dapat terpelihara.
Teknik Implementasi Gagasan MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Agar gagasan MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) terimplementasikan,
maka diperlukan kerja sama antra ketiga komponen pihak pendukung
terselenggaranya MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture). Sebelum hunian
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) ini bisa terealisasikan, maka seorang
peneliti, yang dalam hal ini adalah arsitektur dan kontraktor bangunan harus
senantiasa bekerja sama dalam menyelesaikan 5 tahapan penelitian tadi (Sekarang
pada tahapan ketiga) . Seorang peneliti ini adalah dari kalangan mahasiswa yang
masih menempuh studi di perguruan tinggi. Agar penelitian berjalan lancar, maka
pemerintah yang dalam hal ini adalah Pemerintah Lingkungan Hidup, bersedia
memberikan suntikan dana yang telah direncanakan oleh peneliti tadi.
Setelah penelitian tentang MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) ini selesai,
maka seorang peneliti dapat mematenkan dan merealisasikan karyana. Peran
Pemerintah lingkungan hidup adalah membantu dalam mensosialisasikan kepada
masyarakat umum dan membantu dalam merealisasikan hunian MRaC
(Mangrove RhizophoraChitecture) ini dengan memberikan bantuan hibah bagi
peneliti untuk mengimplementasikan karyanya
Prediksi keberhasilan Gagasan MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
Dengan direalisasikannya hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) ini di
masyarakat, maka akan didapatkan dua kemanfaatan, yang pertama adalah bagi
masyarakat yang hidup di kawasan pesisir pantai dan mengalami kesulitan dalam
pembangunan infrastruktur rumahnya dikarenakan sulitnya pengadaan material
berat ke medan, maka masyarakat dapat memanfaatkan rumpun mangrove sebagai
hunian MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture).
Sedangkan yang kedua, MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) dapat
dijadikan sebagai objek penambah daya tarik bagi kawan pantai yang memiliki
keindahan laut dan masih perawan sehigga dapat dijadikan objek wisata hunian
mangrove. Konsep MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) yang unik dan tidak
ditemukan di daerah manapun ini dapat menjadi nilai tambah bagi objek wisata
tersebut sehingga dapat dijadikan mata pencaharian bagi masyarakat
Berbagai kelebihan yang dimiliki Indonesia terutama dalam variasi mangrove
yang beragam dan dalam jumlah yang sangat besar seharusnya menjadikan
Indonesia sebagai negara pelopor gerakan green architecture yang berbasis
material yang hidup tumbuh dan berkembang yaitu Mangrove
RhizophoraChitecture karena beberapa alasan:
1. Isu global warming dan habisnya sumber daya alam mendorong setiap
bidang profesi maupun keilmuan terutama arsitektur untuk menerapkan
konsep ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam desainnya. Apabila hal
14
ini tidak didukung dengan penerapan teknologi penggunaan bio-material
maka akan menyebabkan kerusakan alam serta ekosistem alam yang telah
ada. Sehingga penelitian tentang MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture)
perlu dikembangkan terutama di Indonesia yang kaya akan ekosistem
mangrove.
2. MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) dapat memberikan masukan serta
pengertian kepada pengembang maupun arsitek muda masa depan untuk
menjaga ekosistem alam meskipun harus mendesain dengan bentukan yang
beragam.
3. MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) mengajarkan seseorang untuk
menanam mangrove, karena untuk membangun sebuah rumah pada tempat
berair misal rawa atau danau seseorang dapat memulainya dengan menanam
mangrove sebagai pondasi bangunan, tanpa perlu mengurug lahan tersebut
dengan mendatangkan tanah dari luar, hal ini akan menjadikan orang sadar
tentang ekosistem alam serta memelihara mangrove tersebut agar tetap
hidup untuk kelangsungan rumahnya, sehingga kerusakan mangrove dapat
dikurangi.
4. Isu penanaman mangrove secara massal sedang dilakukan secara besar-
besaran di dunia, terutama di Indonesia sudah banyak program penanaman
kembali mangrove yang telah rusak, sehingga diharapkan dengan adanya
MRaC (Mangrove RhizophoraChitecture) dapat memberikan salah satu
solusi pendekatan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
- Anderson, E. J. (2007) Green Cement: Finding a solution for a sustainable
cement industry, Green Cities Competition, Department of Civil and
Environmental Engineering, University of California, Berkeley, 22
April.http://bigideas2.berkeley.edu/BBB%202007/Anderson_Green%2
0Cities.pdf [5 September 2008]
- Anwar C. dan Gunawan H. (2006) Peranan Ekologis Dan Sosial Ekonomis
Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir,
Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi
Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September. http://www.dephut.go.id-
files
- Handbook of Mangroves in Indonesia. (1997), JICA.
- McGraw (2006) Mangrove forests and tsunami protection.
- Photo: Distribution of coral, mangrove and seagrass diversity.
http://maps.grida.no/go/graphic/distribution_of_coral_mangrove_and_s
eagrass_diversity
- Purnobasuki, Heri. (2005) Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove.
Airlangga University Press, Surabaya.
- Sudarmadji (2001) Rehabilitasi Hutan Mangrove Dengan Pendekatan
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Jurnal ILMU DASAR, Vol.2 No.2,
68-71, Universitas Negeri Jember.
15
- Prawiro R., Arya Brima N., Nurul Andini, Erieta Y., M. Dhanar
S.R.F.2009.Penelitian MraC (Mangrove RhizophoraChitecture) tahap I
- Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Surabaya
Airlangga University Press: Surabaya
- Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor
- Onrizal. 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi Hutan
Mangrove. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.