penatalaksanaan nyeri

54
Paper PENATALAKSANAAN KASUS NYERI Oleh : Andik Sunaryanto NIM.0402005114 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI 1

Upload: sofie-berkatie

Post on 28-Dec-2015

112 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

penatalaksanaan nyeri

TRANSCRIPT

Page 1: penatalaksanaan nyeri

Paper

PENATALAKSANAAN KASUS NYERI

Oleh :

Andik Sunaryanto

NIM.0402005114

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FK UNUD/RS SANGLAH

2009

1

Page 2: penatalaksanaan nyeri

BAB 1

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat yang

unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi lain

nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori

tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the

Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi

rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.3,4

Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif

(aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).3

Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi

manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif, dan

membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah merupakan

derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan

perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ.2 Bila tidak teratasi dengan baik

nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek

psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur

dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.9

Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang

tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan

ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh

penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan

hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi

terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita

oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan

baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.2

Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya

berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga

2

Page 3: penatalaksanaan nyeri

menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf.

Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.

3

Page 4: penatalaksanaan nyeri

BAB 2

NYERI AKUT

2.1 Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai

berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,4 Berdasarkan definisi tersebut

nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri)

dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).1

Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu

penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan

dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan

disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju

proses penyembuhan. 1,5

2.2 Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:

a. Nyeri somatik luar

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa.

Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi

b. Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada

otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat

c. Nyeri viseral

Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura

parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral

terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2

Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri

Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri

Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)

Aksis IV : awitan terjadinya nyeri

Aksis V : etiologi nyeri

4

Page 5: penatalaksanaan nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:7

a. Nyeri nosiseptif

Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik

secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator

inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

b. Nyeri neurogenik

Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem

saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi

sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang

dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya

rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat

menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau

peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan

sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri

kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian

analgetik konvensional.

c. Nyeri psikogenik

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.

Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2

a. Nyeri akut

Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan

adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat

dan midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut

dapat berupa:

1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa

2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat

3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral

b. Nyeri kronik

Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas otonom kecuali

serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah

5

Page 6: penatalaksanaan nyeri

penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap

sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :

1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf

2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Nyeri onkologik

b. Nyeri non onkologik

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan

menjelang tidur.

b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila

penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur

dan dering terjaga akibat nyeri.

2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri.

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang

ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan

nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus

pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai

beberapa komponen (gambar 2.1):6

a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi

dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)

b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke

CNS.

c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara

serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara

lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.

d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan

ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.

(orde 2)

6

Page 7: penatalaksanaan nyeri

e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay

sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)

Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas10

f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif

nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris

(termasuk withdrawl respon).

g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level

medulla spinalis.

2.4 Patofisiologi Nyeri

Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan

akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia

bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi

pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk

seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-

mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.2,3

7

Page 8: penatalaksanaan nyeri

Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri 3

Zat Sumber Menimbulkan nyeri

Efek pada aferen primer

KaliumSeroroninBradikininHistramin ProstaglandinLekotrienSubstansi P

Sel-sel rusakTrombosisKininogen plasmaSel-sel mastAsam arakidonat dan sel rusakAsam arakidonat dan sel rusakAferen primer

++++

++++±±±

MengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanSensitisasiSensitisasiSensitisasi

Gambar 2.2 Fisiologi nyeri6

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai

dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu

proses nosisepsi yaitu:2,3

1. Tranduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-

ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,

substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau

mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung

8

Page 9: penatalaksanaan nyeri

bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan

kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A

delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik

nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan

reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

2. Transmisi

Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul

proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral,

yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C

yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-

delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta

menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5

m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi

nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi

oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di

kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior

medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan

peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat

ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan

menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.

3. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input

nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta

dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya

diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi

antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun

sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk

lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem

inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

4. Persepsi

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,

termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

9

Page 10: penatalaksanaan nyeri

Gambar 2.3. Proses perjalanan nyeri10

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang

bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat).

Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta

menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5

m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki

perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu

posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan

termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik,

termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal

nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps

adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga

substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.

Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan

terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari

sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang

melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan

permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.1,3,5,6

10

TRANSDUCTION

TRANSMISSION

MODULATION

PERCEPTION

Page 11: penatalaksanaan nyeri

Gambar 2.4. Skema Sensitasi perifer11

Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion

kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk

siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan

prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor

tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak

menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer

yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah

jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan

neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin

menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator

kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi

non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.

Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat

pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis.

Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut.

Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu

stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan

akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari

11

Tissue Damage Inflammation Sympathetic Terminals

Sensitizing SOUP “Soup”

Hydrogen ion Histamine Purines LeucotrineNorepinephrine Potassium ion Cytokines Nerve Growth FactorBradykinin Prostaglandins 5-HT Neuropeptides

High Treshold Nociceptor

Transduction Sensitivity

Low Treshold ‘Nociceptor’

Primary Hyperalgesia

Page 12: penatalaksanaan nyeri

nuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat

memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di

kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang

secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua

disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius

maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta

meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak

menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6

Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu

dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai

sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut

menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini

menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang

kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan

jaringan atau inflamasi.

Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini

telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari

serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu

dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang

sulit disembuhkan.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan

sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron

spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus

nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang

lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas

sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan

informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti

nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi

sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.

Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu

dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal

aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini

berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu

12

Page 13: penatalaksanaan nyeri

dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara

fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan

informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input

nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan

ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.

Gambar 2.5. Skema sensitasi sentral11

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-

reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari

reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru.

Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui

bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris,

namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan

patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk

proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan

demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat

reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum

operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena

penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor

NMDA.

13

Page 14: penatalaksanaan nyeri

Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses

biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi

NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler

akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan

mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin

menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.

Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.

Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak

sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi

reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat

produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan

penanganan nyeri.

Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana

memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini

mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan

terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.

Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari

hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri.

Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang

pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA.

Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral.

Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi

sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada

proses nyeri.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma

adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar

pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer

dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau

mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau

anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.

14

Page 15: penatalaksanaan nyeri

2.5. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri

Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi karena

ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena

ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti :2

1. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.

Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron

inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan

alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.

2. Serat inhibisi desendens.

Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :

a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.

b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus

c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal

Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri

neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini

akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.

Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG

kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan

ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang

dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan

endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.

3. Betha endorphin.

Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini

dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia

gelatinosa.

4. Opioid

PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis

juga kaya dengan reseptor opioid.

Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan

reseptor opioid di substansia gelatinosa.

15

Page 16: penatalaksanaan nyeri

2.6. Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri.

Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh

serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla

spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior

medulla spinalis.1

Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang

sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat

saraf afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis

dan juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla

spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi

dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera

(distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga

mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan

imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap

psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.3,8

Gambar 2.6. Respon tubuh terhadap nyeri6

16

Page 17: penatalaksanaan nyeri

Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan

sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan

teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada

tubuh seperti :

a. Sistem respirasi

Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental,

dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan

kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya

peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini

menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan

penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan

kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis,

intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.3,8

b. Sistem kardiovaskuler

Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi,

hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa

peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH)

sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan

peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac

output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan

mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk

keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard,

sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.3,8

c. Sistem gastrointestinal

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan

motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan

menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial

menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan

konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru

dan pulmonary dysfunction. 3,8

d. Sistem urogenital

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan

menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.

17

Page 18: penatalaksanaan nyeri

e. Sistem metabolisme dan endokrin

Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.

Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat.

Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti

katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik

seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah

mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan

gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong

pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis.

Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen,

intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol

bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon

antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder

dari ruangan ekstraseluler. 3,8

f. Sistem hematologi

Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan

hiperkoagulopati. 3

g. Sistem imunitas

Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat

mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien

beresiko menjadi mudah terinfeksi. 3

h. Efek psikologis

Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),

ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri

berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. 8

i. Homeostasis cairan dan elektrolit

Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom

berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi

cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol

menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.8

18

Page 19: penatalaksanaan nyeri

2.8 Pengukuran Intensitas Nyeri

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,

kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang

relatif sulit.

Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara

lain :1,7

1. Verbal Rating Scale (VRSs)

Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.

Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik

nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk

mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.

Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:

- tidak nyeri (none)

- nyeri ringan (mild)

- nyeri sedang (moderate)

- nyeri berat (severe)

- nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas

nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari

angka 0-10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri

yang hebat.

Gambar 2.7. Numeric pain intensity scale7

19

Page 20: penatalaksanaan nyeri

3. Visual Analogue Scale (VASs)

Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini

menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai

nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan

intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif

untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan

dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat

digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien

sedang berada dalam nyeri hebat.

No Pain The most intense pain imaginable

Gambar 2.8. Visual Analog scale7

4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang

dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik,

afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai

”3”.

5. The Faces Pain Scale

Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai

intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 2.9. Faces Pain Scale7

Faces Pain Rating Scale (untuk anak)Faces Pain Rating Scale (untuk anak)

20

Page 21: penatalaksanaan nyeri

2.9. Diagnostik Nyeri

Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri

sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi

langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu

pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian

diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab,

keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk

menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.2,3

Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan sebelum

pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan

nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam

setelah pemberian peroral.

a. Anamnesis yang teliti

Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana kualitas

nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk

mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri

yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu.

intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan

pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang

penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.4

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri.

Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya

dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia,

hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale rutin dilaksanakan

untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.4

Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting

dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia,

hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan

nyeri neurogenik.3,9

c. Pemeriksaan psikologis

Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang

subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan

21

Page 22: penatalaksanaan nyeri

dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai.Test

yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the Minnesota

Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui permasalahan psikologis

yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk

penaggulangan nyeri. 3,4

d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari

nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging

seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan. 3,4

22

Page 23: penatalaksanaan nyeri

BAB 3

PENATALAKSANAAN NYERI AKUT

3.1. Terapi Multimodal13

Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol

nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi dengan obat

dan teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk

memodifikasi pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca

bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.

Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya

biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju

proses penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk

menanggulangi nyeri akut ini. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih

dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita

juga diatasi. Intinya, diagnosa penyebab ditegakkan, usaha mengatasi nyeri sejalan dengan

usaha mengatasi penyebabnya.1,2,3

Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu

berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai

berikut13 :

a. Modalitas fisik

Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan

posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.

b. Modalitas kognitif-behavioral

Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual.

c. Modalitas Invasif

Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.

d. Modalitas Psikoterapi

Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka yang

mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri

e. Modalitas Farmakoterapi

Mengikuti ”WHO Three-Step Analgesic Ladder”

23

Page 24: penatalaksanaan nyeri

3.2. Farmakoterapi Nyeri

Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri akut.

Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan laju

proses penyembuhan jaringan yang sakit.

Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan

nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut:

Bisakan pasien minum analgesik oral?

Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?

Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi

dengan analgesik sistemik?

Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan

bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Gambar 3.1. ”WHO Three Step Analgesic Ladder”

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti ”WHO

Three Step Analgesic Ladder” yaitu :1

1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau

COX2 spesific inhibitors.

2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-

obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.

Non opioid +/- Adjuvant Non opioid +/- Adjuvant

Opioid for mild to moderate pain +/- Non opioid , +/- Adjuvant Opioid for mild to moderate pain +/- Non opioid , +/- Adjuvant

Opioid for moderate to severe pain

+/- Adjuvant

Opioid for moderate to severe pain

+/- Adjuvant

Step 1Step 1

Step 2Step 2

Step 3Step 3

Persisting Pain

Persisting Pain

Freedom from pain

24

Page 25: penatalaksanaan nyeri

3. Tahap ketiga, dengan

memberikan obat pada tahap

2 ditambah opiat yang lebih

kuat.

Penanganan nyeri

berdasarkan patofisiologi

nyeri paada proses transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non

steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses

modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada

persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol

Gambar 3.1. Tangga dosis obat analgetik

Dari gambar tangga dosis di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi inisial dilakukan pada

dosis yang lebih tinggi, dan kemudian diturunkan pelan-pelan hingga sesuai dosis

analgesia yang tepat.

Tabel 3.1. Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri

25

Page 26: penatalaksanaan nyeri

4-6 jam sekali4-6 jam sekali

8-12 jam sekali8-12 jam sekali

4-6 jam sekali4-6 jam sekali

12,5 mg12,5 mg

Awalan 440 mgSelanjutnya 220 mgAwalan 440 mgSelanjutnya 220 mg

200 mg200 mg

KetoprofenKetoprofen

Sodium NaproksenSodium Naproksen

IbuprofenIbuprofen

Farmakoterapi Tingkat IIFarmakoterapi Tingkat II

4-6 jam sekali4-6 jam sekali325-650 mg325-650 mgAsetaminofenAsetaminofen

4 jam sekali4 jam sekali325-650 mg, maks 4 g/hari325-650 mg, maks 4 g/hariAspirinAspirin

DosisDosis

Farmakoterapi Tingkat IFarmakoterapi Tingkat I

JadwalJadwalNama ObatNama Obat

NYERI RINGANNYERI RINGAN

Opioid (misal:codein)Opioid (misal:codein)Farmakoterapi Tingkat VFarmakoterapi Tingkat V

Jika farmakoterapi tingkat III gagal, OAINS yang dipilih dapat diganti. Pilihan OAINS ke-2 sebaiknya dari kelompok kimia yang berbeda (Lihat tabel analgesik non-opioid yang sering digunakan)

Jika farmakoterapi tingkat III gagal, OAINS yang dipilih dapat diganti. Pilihan OAINS ke-2 sebaiknya dari kelompok kimia yang berbeda (Lihat tabel analgesik non-opioid yang sering digunakan)

Farmakoterapi Tingkat IVFarmakoterapi Tingkat IV4-6 jam sekali4-6 jam sekali

8-12 jam sekali8-12 jam sekali

4-6 jam sekali4-6 jam sekali

4-6 jam sekali4-6 jam sekaliJadwalJadwal

Penyesuaian dosis.Misal: Aspirin 1000 mgPenyesuaian dosis.Misal: Aspirin 1000 mg

DosisDosis

KetoprofenKetoprofen

Sodium NaproksenSodium Naproksen

IbuprofenIbuprofen

AsetaminofenAsetaminofenNama ObatNama Obat

Farmakoterapi Tingkat IIIFarmakoterapi Tingkat IIINYERI SEDANGNYERI SEDANG

26

Page 27: penatalaksanaan nyeri

Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat

digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.

1. Obat analgetika nonnarkotika.

Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)

Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum

memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik

tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa

prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.

Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang.

Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul,

sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler,

dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia

dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria

Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah

mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah

Blok aktifasi komponen m kompleks reseptorBlok aktifasi komponen m kompleks reseptor

Blok aktifasi komponen m kompleks reseptorBlok aktifasi komponen m kompleks reseptor

MekanismeMekanismeIndikasiIndikasiNama ObatNama ObatBila terapi non narkotik tidak efektif & terdapat riwayat terapi narkotik untuk nyeri

Bila terapi non narkotik tidak efektif & terdapat riwayat terapi narkotik untuk nyeri

Agonis parsialAgonis parsial

Campuran agonis-antagonis pentazosinCampuran agonis-antagonis pentazosin

MorfinMorfin

Farmakoterapi Tingkat VIIFarmakoterapi Tingkat VII

NYERI BERATNYERI BERAT

Farmakoterapi Tingkat VIFarmakoterapi Tingkat VI

50-100 mg50-100 mg

DosisDosis JadwalJadwalNama ObatNama Obat4-6 jam4-6 jamTramadolTramadol

NYERI SEDANGNYERI SEDANG

27

Page 28: penatalaksanaan nyeri

mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi

dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.

Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah.

Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral

lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa

menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.

Kontraindikasi AINS

Riwayat tukak peptik

Insufisiensi ginjal atau oliguria

Hiperkalemia

Transplantasi ginjal

Antikoagulasi atau koagulopati lain

Disfungsi hati berat

Dehidrasi atau hipovolemia

Terapi dengan frusemide

Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada :

Pasien > 65 tahun

Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh

darah ginjal

Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata

Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor

Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta,

cyclosporin, atau metoreksat.

Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal

atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.

Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung

memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2

(COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap

sistem COX gastrointestinal dan ginjal.

28

Page 29: penatalaksanaan nyeri

Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping

daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin)

yang diberikan bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.

.

2. Obat analgetika narkotik

Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat

didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut

dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma,

Delta dan Epsilon.

Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat

alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek

depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi.

Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual

sampai muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat

diikuti oleh efek toleransi dan ketergantungan.

Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik

intra muskuler maupun intravena.

Pemberian intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural

atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid

Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau

dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga

tersedia dalam kemasan supositoria.

Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan

ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi

pengawas penggunaan obat-obat narkotika.

29

Page 30: penatalaksanaan nyeri

Gambar 3.3. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1 nyeri

ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk

kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur; 3, sukar dibangunkan. Morfin:berat

40-65 kg: 7,5 mg; berat 65- 100 kg: 10 mg : Naloxone:200 g iv, sesuai

kebutuhan.

Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla

spinalis di tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang

epidural atau kedalam ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang

digunakan menjadi sangat kecil, menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan

durasi analgesia yang sangat lama/panjang.

Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau intratekal, dapat

dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase atau adrenalin.

30

Page 31: penatalaksanaan nyeri

Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat

serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat

kecil.

3. Kelompok obat anestesia lokal.

Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada

saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah

perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan

plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau interatekal.

Tabel 3.2. Dosis maksimum aman dari anestesi lokal

Obat Maksimum

untuk infiltrasi

lokal

Maksimum

untuk anestesi

pleksus

Lidocaine

(lignocaine)

3 mg/kg 4 mg/kg

Lidocaine

(lignocaine) dengan

adrenalin (epinefrin)

5 mg/kg 7 mg/kg

Bupivacaine 1,5 mg/kg 2 mg/kg

Bupivacaine dengan

adrenalin(epinefrin)

2 mg/kg 3,5 mg/kg

Prilocaine 5 mg/kg 7 mg/kg

Prilocaine dengan

adrenalin(epinefrin)

5 mg/kg 8 mg/kg

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat

dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia

yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal

hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia

lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia

tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh

terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir

prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak

31

Page 32: penatalaksanaan nyeri

menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung

beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.

Komplikasi bisa terjadi:

Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada

anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok

saraf besar.

Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian

aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari

kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti

jantung.

Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal.

Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.

3.3. Analgesia Balans12

Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas ringan

sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan

intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan. 2 Tidak jarang,

untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini

dapat diikuti oleh timbulnya efek samping.

Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa

macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat

digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan

ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan

menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang.

Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat

dihindari.

32

Page 33: penatalaksanaan nyeri

Gambar 3.4. Skema Farmakoterapi pada analgesia balans

Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan

pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan

AINS, proses transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat.

Pendekatan ini, memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang

berbeda seperti obat obat analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat

anesthesia lokal secara kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.12

OtakOtak

MedullaSpinalisMedullaSpinalis

Inhibisidesenden

NE/5HT

Reseptoropioid

Inhibisidesenden

NE/5HT

Reseptoropioid

Sensitisasi perifer/ ion Na

Sensitisasi perifer/ ion Na

LesiLesi

GABAPENTINKarbamasepinOkskarbasepinPHENYTOINMexiletineLidocain, dll

GABAPENTINKarbamasepinOkskarbasepinPHENYTOINMexiletineLidocain, dll

Th/

Th/

Th/

Th/

TCATramadolOpioiddll

TCATramadolOpioiddll

Sensitisasisentral(NMDA,Calcium)

Sensitisasisentral(NMDA,Calcium)

Th/Th/

GABAPENTINOkskarbasepinLamotriginKetaminDextrome-thorphan

GABAPENTINOkskarbasepinLamotriginKetaminDextrome-thorphan

33

Page 34: penatalaksanaan nyeri

3.4. Analgesia Preemptif.

Diatas sudah dijelaskan bahwa bila seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan

menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh

perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu

dorsalis) terhadap stimulus yang masuk.2

Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf.

Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat

analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia

merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab,

keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk

melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena

awitan dari sensari nyeri diketahui.

3.5. PCA (patient controlled administration)

Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular

dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan lebih

dari 24 jam.1,6 PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi

intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien.6

Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien

mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia

dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada :

Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.

Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat

Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.

Dana : pompa infus PCA mahal.

Tabel 3.3. Regimen PCA tipikal

Obat: morfin

Konsentrasi: 1 mg/ml

Dosis bolus: 1 mg

Waktu stop: 5 menit

Dosis bolus: jumlah obat yang diberikan oleh pompa bila

pasien bisa menentukan kebutuhan.

Waktu stop (lockout time): jumlah waktu di mana pasien

34

Page 35: penatalaksanaan nyeri

akan mendapat hanya satu dosis dari pompa

Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar

itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun

lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien

dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih

dalam batasan terapi).6 Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan

individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada

infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar

opioid dalam infus

3.6. Tim nyeri akut8

Tim nyeri akut ada pada banyak rumah sakit. Ini merupakan sumber bantuan dan informasi

bagi staf bedah yunior. Biasanya dikepalai oleh spesialis anestesi, dengan perawat spesialis

yang menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika apoteker dan dokter bedah terlibat,

perbaikan dalam praktek dan penerapan perubahan lebih mudah.

Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan memelihara standar dalam manajemen

nyeri akut. Tanggung jawab mereka adalah:

Melatih dan mengajarkan staf dokter dan perawat

Memberikan informasi kepada pasien

Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan manajemen nyeri akut

Audit efek-efek (diinginkan dan tak-diinginkan) dalam praktek manajemen nyeri.

Servis Nyeri Akut

Acute Pain Service (APS) merupakan pelayanan terhadap nyeri akut yang dilakukan secara

kontinyu dan bertujuan sedini mungkin mengatasi nyeri, menilai nyeri secara rutin, menilai

pilihan pengontrolan nyeri, dengan mnggunakan pendekatan multimodal yang disesuaikan

dengan keadaan dan respons pasien.

35

Page 36: penatalaksanaan nyeri

BAB 3

PENUTUP

Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai

saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari

suatu proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri

yang mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak

dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa

prinsip dalam diagnosis dan penatalaksanaan nyeri sebagai berikut :

Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu

didengarkan dan dipercaya.

Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa

seseorang sedang berpura-pura nyeri.

Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi

pada berbagai pasien.

Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.

Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.

Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi,

tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.

Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’

Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan

kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan

anestesi lokal)

Diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri

Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya

biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju

proses penyembuhan jaringan yang sakit.

Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan

usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi.Pengobatan

yang direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit

yang mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang patofisiologi

terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita

oleh penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini.

36

Page 37: penatalaksanaan nyeri

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:

Appleton and Lange, 1996, 274-316.

2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.

3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi

Intensif FK UI, Jakarta, 2001.

4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain

Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25

5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s

Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65

6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain

Management and Intensive Care, London, 2003, 78-102

7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional

Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,

Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.

9. Melati, Endang., Melati, Endang., Pediatric Pain Management In TraumaPediatric Pain Management In Trauma, , Bagian/SMF

Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,

Palembang, 2003.

10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan

Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.

11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF

Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,

Makasar, 2002.

12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan

Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.

13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.

14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 33-

37.

15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,

Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420

37