penatalaksanaan farmakologik pada nyeri akut akibat trauma
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas Stase AnestesiTRANSCRIPT

PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIK PADA NYERI AKUT AKIBAT TRAUMA
Shalini Dhir, Veerabadran Velayutham, dan Sugantha Ganapathy
PENDAHULUAN
Definisi mengenai nyeri yang diterima secara luas oleh suatu sistem klasifikasi International
Association for the Study of Pain : “Nyeri adalah suatu perasaan dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan potensi kerusakan jaringan atau kerusakan jaringan
sesungguhnya yang seperti diungkapkan dalam istilah”. Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dalam
beberapa cara dan menyediakan penghilang rasa nyeri yang adekuat yang membentuk suatu bagian vital
dalam penanganan awal trauma. Analgesia yang tidak adekuat dalam situasi akut dapat menyebabkan
efek yang menganggu sistem imun, proses penyembuhan, dan aktivitas otonomik dan dapat mengarah ke
perkembangan nyeri kronik (lihat bab 35).
PATOFISIOLOGI RESPON STRES TERHADAP LUKA DAN NYERI
Nyeri adalah respon yang bersifat protektif. Refleks ini memiliki efek pada beberapa sistem
dalam tubuh. Hal ini mencakup respon stres yang berlebihan, tidak dapat tidur, gangguan hemostasis
glukosa, peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, dan gangguan gastrointestinal, renal, dan fungsi
endokrin. Respon stress menyebabkan efek terhadap berbagai sistem organ seperti sistem kardiovaskular,
imun, endokrin, dan pernapasan. Jadi, respon stres terhadap luka adalah suatu proses hormonal dan
neurologik yang kompleks. Pada pasien trauma, konsekuensi dari respon ini multifaktorial. Biasanya
terjadi peningkatan katekolamin, hormon pertumbuhan, kortisol, renin, hormon antidiuretik, enkephalin,
dan endorfin yang menyebabkan takikardia, hipertensi, dan penurunan aliran darah menuju renal dan lien,
dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Respon katabolik utama adalah gangguan homeostasis glukosa
yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan penurunan pergantian glukosa. Terjadi pula peningkatan
produksi glukosa secara endogen. Suatu hal yang susah untuk membedakan peranan trauma dalam respon
stres yang disebabkan oleh nyeri, tetapi menyediakan analgesia sudah dibuktikan kebenarannya untuk
menurunkan respon endokrin terhadap nyeri, yaitu, hormon adrenokortikotropik, hormon antidiuretik, dan
enkephalin. Tujuan penanganan nyeri dalam trauma adalah mengurangi respon stres sebisa mungkin dan
menyediakan pasien rasa penghilang nyeri sementara berusaha mempertahankan stabilitas kardiovaskular
dan homeostasis jaringan.
1

PENANGANAN NYERI PADA TRAUMA
Analgesia yang aman dan cocok adalah salah satu hambatan dalam penanganan trauma.
Penanganan nyeri pada trauma dapat bersifat kompleks dan harus dilakukan dengan pendekatan
multimodal.
Menilai nyeri sangat penting dalam keadaan trauma. Kunci penanganan nyeri yang efektif adalah
penilaian yang sesuai dan teliti. Pemberi pelayanan kesehatan sering meremehkan tingkat nyeri yang
dirasakan oleh pasien, yang menyebabkan nyeri tidak dapat ditangani dengan baik. Penilaian nyeri
menggunakan visual analog scale (VAS) atau verbal reporting score sangat tidak dapat dipercaya karena
membutuhkan kerja sama pasien. Lebih lanjut, penilaian masing-masing pasien, perawat, dan dokter
berbeda-beda. Walaupun penilaian skor nyeri tidak adekuat pada banyak keadaan, tetapi sebuah penelitian
pada tahun 2004 menunjukkan bahwa penilaian skor nyeri yang tepat meningkatkan pelaksanaan
analgesia pada trauma akut. Walaupun alat penilaian ini secara rutin digunakan, alat ini sering tidak
efektif untuk pemberi pelayanan kesehatan untuk mengenali rasa tidak enak dan nyeri. Pasien mungkin
diintubasi, dilumpuhkan, dan atau tidak dapat berkomunikasi, meningkatkan tingkat kerumitan
penanganan nyeri.
Kelly telah menunjukkan bahwa kebijakan mengenai pemberian obat-obatan narkotik oleh suster
mendorong peningkatan biasa dalam penanganan nyeri pada instalasi rawat darurat. Penggunaan
intervensi farmakologik dan nonfarmakologik telah dibuktikan efektif dalam berbagai tingkatan
penanganan nyeri pada trauma. Kuncinya adalah menangani nyeri secepatnya dan seadekuat mungkin
untuk menghindari perjalanan penyakit menuju nyeri kronik dan perkembangan gangguan stres
posttraumatik.
The American Geriatric Society telah mengumumkan panduan untuk penanganan nyeri pada
orang tua. Mereka mengulangi pertanyaan tentang pentingnya keluhan subjektif : “Bukti yang paling
akurat dan dapat dipercaya dari keberadaan nyeri dan intensitasnya adalah keluhan pasien. Pasien usia
lanjut, seperti orang dewasa, memerlukan penanganan dan penilaian nyeri yang bersifat agresif. (lihat bab
25).
Pada anak-anak, faktor tambahan mungkin mengubah penilaian dari nyeri, faktor mayor adalah
respons psikologik terhadap trauma akut dan intervensi berulang. (lihat bab 24). Trauma sering
menyebabkan anak-anak berpisah dari orang tuanya, yang memperlihatkan kesulitan dalam mengevaluasi
dan menangani nyeri.
2

Banyak korban trauma tidak diberikan intake oral sebagai antisipasi untuk operasi, Jadi tidak
diberikan obat-obatan oral. Pemberian secara parenteral mungkin sulit pada pasien yang mengalami
vasokonstriksi. Sejauh ini, alasan yang paling umum dari tidak adekuatnya penanganan nyeri adalah
ketakutan menyerupai tanda dan gejala gagal organ dan gangguan stabilitas sirkulasi.
ASPEK FARMAKOLOGIK : OBAT-OBAT ANALGESIK
ACETAMINOPHEN (PARACETAMOL)
Acetaminophen dan zat metabolik sebelumnya, phenacetin, menghasilkan efek analgesia melalui
inhibisi dari siklooksigenase (COX), enzim yang membatasi laju sintesis prostaglandin. Acetaminophen
adalah salah satu obat analgesik/antipiretik yang paling populer di dunia. Meskipun telah digunakan lama
dan popular, acetaminophen tidak memiliki mekanisme kerja yang jelas.
Flower dan Vane menunjukkan bahwa acetaminophen menghambat aktivitas COX dalam otak
anjing. Walapun dua enzim COX diketahui, tidak ada isoenzim yang sensitif terhadap acetaminophen
pada konsentrasi terapeutik. Telah dikemukakan bahwa terdapat COX-3 yang secara selektif dihambat
oleh acetaminophen. Juga telah diusulkan bahwa acetaminophen mungkin menghambat aktivitas COX-2
dengan mengurangi enzim dalam bentuk aktif yang teroksidasi menjadi bentuk inaktif. Mekanisme ketiga
juga telah dikemukakan. Data eksperimental mengemukakan bahwa antinosisepsi paracetamol melibatkan
opioid sistem saraf pusat. Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar dinorfin pada korteks frontal
yang dicegah dengan antagonis reseptor k dan bahwa aktivitas analgesik acetaminophen secara parsial
tergantung pada pelepasan dinorfin. Penemuan terbaru bahwa paracetamol bekerja sebagai prodrug
( pemberi separuh cannabinomimetik endogenous) dengan memicu reseptor cannabinoid-1 (CB-1) yang
mengaktifkan sistem cannabinoid menjelaskan efek-efek aneh dari obat ini.
Keuntungan utama acetaminophen adalah relatif aman jika dibandingkan dengan obat anti
inflamasi lainnya. Karena bersifat non asam dan memiliki afinitas yang rendah terhadap protein plasma,
obat ini memiliki sedikit efek yang tidak diinginkan dan tidak terakumulasi pada sistem gastrointestinal,
renal, dan hemopoetik pada dosis terapeutik. Obat ini dapat diberikan secara enteral dan, baru-baru ini,
dalam bentuk parenteral. Bentuk parenteral adalah prodrug dari acetaminophen. Berkaitan dengan profil
obat ini, obat ini dapat digunakan pada pediatrik dan orang dewasa tanpa banyak kekuatiran, walaupun,
dosis harus disesuaikan dengan berat badan untuk mencapai efektivitas yang dapat dipercaya. Obat ini
sangat berguna sebagai adjuvan dalam penanganan nyeri akut.
Paracetamol telah ditunjukkan efektif pada penanganan nyeri sedang yang berhubungan degnan
prosedur bedah minor. Suatu metaanalisis baru-baru ini menyimpulkan bahwa dosis tunggal paracetamol
3

oral efektif untuk penanganan nyeri akut postoperatif sedang hingga berat dan dengan demikian mungkin
efisien dalam trauma minor. Paracetamol harus dipertimbangkan sebagai alternatif aman dari obat
antiinflamasi non steroid (OAINS) untuk menghilangkan nyeri ringan hingga sedang pada usia lanjut dan
pada pasien dengan penyakit ginjal, hipertensi, dan gagal jantung kongestif.
Pemberian secara IV adalah pilihan rutin jika pemberian secara oral tidak memungkinkan atau
ketik analgesia yang cepat dibutuhkan selesai operasi. Sediaan dalam bentuk IV (propacetamol) sekarang
tersedia di banyak negara. IV propacetamol, diberikan dengan infus selama 15 menit adalah obat
analgesik kerja cepat dan lebih efektif dalam hal mula kerja analgesia dibandingkan sediaan oral. Dosis
yang direkomendasikan untuk injeksi intravena propacetamol adalah 1 gram, walaupun dari aspek
farmakokinetik dan farmakodinamik, efek analgesia yang lebih baik bisa didapatkan dengan dosis
permulaan 2 gram.
Acetaminophen penting sebagai adjuvan analgesia opioid karena acetaminophen menurunkan
penggunaan jumlah opioid dan efek samping dari opioid pada pembedahan dan instalasi rawat darurat.
Perlu diingat bahwa acetaminophen memilik efek tertinggi pada dosis oral 1 gram dan mungkin
pada dosis IV 5 mg/kg, peningkatan dosis lebih lanjut tidak meningkatkan efek analgesik. Bagaimanapun,
dokter harus waspada dengan paracetamol yang merupakan salah satu etiologi yang mungkin dari
hepatotoksisitas, karena telah dilaporkan beberapa kasus mengenai toksisitas acetaminophen pada dosis
terapeutik. Direkomendasikan bahwa dosis total per hari dikurangi menjadi 2 gram pada pasien
malnutrisi, khususnya pada periode puasa baru-baru ini, bahkan jika tidak ada riwayat penggunaan
alkohol dalam jangka panjang atau paparan terhadap sitokrom P-450 yang disebabkan oleh obat.
Paracetamol memiliki kerugian harus diberikan 4 kali per hari untuk memelihara tingkat serum
terapeutik. Perkenalan baru-baru ini dari sustained-release paracetamol mengurangi pemberian
paracetamol menjadi 3 kali per hari.
Acetaminophen dalam sediaan suppositoria rektal juga tersedia. Bagaimanapun, ada variasi yang
luas tentang bioavaibilitas dalam pemberian secara rektal. Penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan
untuk loading dose yang lebih tinggi (40 mg/kg) untuk mencapai target konsentrasi plasma 10 mg/L
setelah pemberian secara rektal. Pemberian obat ini secara rektal dikontraindikasikan pada pasien
neutropenia (faktor risiko sepsis) dan pada pasien dengan kondisi ulseratif atau inflamasi akut pada
rektum atau anus. Meskipun bioavaibilitas tidak menentu, pemberian secara rektal terutama menarik
digunakan pada anak-anak yang mungkin tidak kooperatif, memiliki akses ke vena yang jelek, memiliki
4

pengosongan lambung yang terlambat atau tidak menentu, atau tidak dapat dimasukkan secara oral akibat
trauma.
Jenis
ObatMekanisme Kerja
Jalur
PemberianObat-Obatan Keuntungan Spesifik Kerugian
Opioid Bekerja pada
reseptor opioid (µ,
k, δ)
Agonis
Antagonis
Agonis parsial
Campuran agonis/
antagonis
PO, Subkutan ,
IV, IM, IT,
bukal, inhalasi,
hidung, rektal,
transmukosal,
transdermal,
lokal dalam
luka
Morfin
Demerol
Kodein
Fentanyl
Hydromorphone
Oxycodone
Methadone
Pentazocine
Buprenorphine
Jalur pemberian
multipel
Pemberian mudah
Analgesia yang kuat
Bergantung dari
jalur pemberian
Depresi pernafasan
Ileus
Gatal-gatal
Hipotensi
ketergantungan
Asetaminofen
(Parasetamol)
Lacks clear
mechanism
Inhibisi COX 2
pada SSP dan sel
endotelial
Inhibisi COX3
mengaktifkan
reseptor
cannabinoid CB1
PO, rektal
suposoria,
cairan
suspensi,
intravena*,
intramuskular
Dipasarkan
sebagai obat
generik atau
sebagai
Panadol,
tylenon,
Anacin -3,
Tempra, Datril,
dan lain-lain
Rute multipel
Memiliki gambaran
yang relatif aman
Pemberian mudah
Mungkin
diformulasikan
dengan opioid
(oxycodone,
hydrocodone) atau
propoxyphene
(Darvocet)
antipiretik
Tidak tersedia
dalam bentuk
intravena di USA
Ceiling effect
Hepatotoksik pada
dosis tinggi
NSAIDs Inhibisi COX
Inhibisi LOX /
COX
PO, IA, IV,
IM,
Transdermalm
intranasal,
rektal
Ketorolak
Diklofenak
Ibuprofen
Asetaminofen
Coxibs
Obat analgesik lini
pertama yang kuat
Mencegah sensitisasi
sentral
Analgesia
preemptive
Mengurangi
pemakaian opioid
Menurunkan
pembentukan
tulang,
penyembuhan
Ulserasi lambung
Disfungsi renal,
platelet
5

Derivat
phenycyclidin
e
Inhibisi reseptor
NMDA
IV, IT, IM,
rektal
Ketamin Amnesia
Analgesia kuat
Stabilitas
hemodinamik
Sekresi
Agitasi
Meningkatkan
TIK / TIO
Halusinasi
Campuran Agonis µlema
Inhibisi dari
pengambilan
kembali 5HT dan
norepinefrin
PO, IV*, IA,
epidural*
Tramadol Potensi penyalah
gunaan rendah
Berinteraksi dengan
obat antikoagulan /
antiepilepsi
Anastesi lokal Memblok saluran
neuronal sodium
IT, epidural,
blok nervus
perifer, IV,
Subkutan, IA,
topikal
Lidokain
Bupivakain
Ropivakain
Prilokain
Masa kerja singkat /
lama
Toksisitas sistemik
Methemoglobinemi
a
Antidepresan
trisiklik
Menghambat
pengambilan
kembali dari
serotonin,
norepinefrin,
histamin, NMDA,
dan reseptor
kolinergik.
PO Imiprimine
Doxepin
Desipramine
Amitriptyline
Nortriptyline
Nyeri neuropatik
Mengurangi
pemakaian opioid
Mengontrol cemas,
stress
Antidepresan
Onset kerja
tertunda
Ileus
Agitasi
Hipertensi
Aritmia
Antikonvulsan Hiperpolarisasai
Penurunan aktivitas
neuronal
Pelepasan substansi
P, norepinefrin,
glutamat
PO Gabapentin
Pregabalin
Nyeri neuropatik
Mengurangi
pemakaian opioid
Analgesia
preemptive
Sinergis dengan
COX-2
Sedasi
Pusing
Bingung
Ataksia
Agonis α2 Meningkatkan
aktivasi jalur
inhibisi
Menurunkan
PO, IV*, IT*,
IM*,
transdermal
Klonidin
dexmedetomidi
ne
Sinergis dengan opiat
Sedasi
Hipotensi
Bradikardi
Hiperglikemia
6

pelepasan substansi
P
Benzodiazepin Meningkatkan
aktivitas reseptor
GABA
Meningkatkan
konduksi ion
klorida
Menghambat aksi
potensial
PO, IV, IM,
IT, rektal,
bukkal, nasal,
inhalasi
Diazepam
Midazolam
Lorazepam
Mengurangi
pemakaian opioid
Sedasi
Ansiolisis
Jalur pemberian
multipel
Depresi pernafasan
Entonox Tidak jelas Inhalasi Gabungan 50:50
dari N20 dan
O2
Sedasi sadar
Anxiolisis
Bekerja cepat
Regurgitasi
Mual
Dapat dirangsang
Peralatan khusus
Trauma kepala
tertutup
Pneumothoraks
Tabel 34.1: Modalitas Farmakologik Untuk Penanganan Nyeri Akut Pada Trauma
PO, Oral; IV, intravena; IM, intramuskular; IT, intratekal; IA, intraartikular; NSAIDS, Non Steroidal anti
– inflammatory drugs; COX, cyclooxygenase; LOX, lipooxygenase; GABA, Gamma Aminobutyric Acid;
NMDA, N-methyl-D-Aspartame; 5HT, %-hydroxytryptamine; TIK, tekanan intrakranial; TIO, tekanan
intraokular; N2O, nitrous oksida; O2, oksigen
*tidak tersedia di seluruh negara.
Cormack dkk telah menunjukkan bahwa dosis rektal tunggal paracetamol (40 mg/kg) pada anak-
anak dengan penyakit hati mungkin aman dan merupakan alternatif analgesik yang memuaskan.
Meskipun insidens efek samping sedikit, paracetamol berpotensi untuk terjadinya hepatotoksisitas dan
dipikirkan bertanggung jawab atas kurang lebih 42 % kasus penyakit hati akut pada pusat penyembuhan
tersier dam sepertiga dari kematian di Amerika Serikat.
Nitroksiparacetamol (nitroacetaminophen) adalah versi baru nitrit oksida dari paracetamol dengan
efek analgesik dan anti inflamasi, walaupun mekanisme kerja secara molecular belum diketahui dengan
pasti. Model hewan menunjukkan bahwa pengurangan kerusakan hati pada situasi overdosis, dan
nitroparacetamol mungkin merupakan alternatif yang lebih aman dari paracetamol. Obat ini juga menekan
7

sintesis beberapa sitokin proinflamasi dan pada kenyataannya, merupakan terapi yang berguna pada
kerusakan hati yang disebabkan paracetamol.
OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID (OAINS)
OAINS nonselektif adalah inhibitor COX yang kuat dan merupakan terapi lini pertama pada
kondisi nyeri yang yang sangat hebat. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin pada
sebagian besar daerah perifer dan juga pada sistem saraf pusat (gambar 34.1). Ada beberapa kategori
enzim COX. Beberapa mencakup fungsi fisiologik tubuh ketika yang lain dikeluarkan pada permulaan
terjadinya luka. Obat yang menghambat enzim jenis ini memegang peranan penting dalam penanganan
nyeri. Obat ini efektif pada penanganan nyeri sedang hingga nyeri hebat. Kekurangan utama dari
penghambat COX adalah efek pada sistem gastrointestinal, renal, dan fungsi platelet yang berhubungan
dengan sifat asam dan ikatan protein plasma yang tinggi. Obat ini juga menghambat proses penyembuhan
luka dan fusi tulang, oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi.
Penghambat selektif COX-2 (coxib) memberikan keuntungan berupa pereda nyeri dari OAINS
nonselektif tetapi dengan efek samping pada gastrointestinal yang lebih kecil. Telah dikemukakan bahwa
nyeri postoperatif menjadi lebih baik dengan mencegah perkembangan sensitisasi sentral. Sebagai
tambahan selektivitas dari isoenzim COX-2. Perbedaan unik diantara coxib, seperti waktu paruh plasma,
mungkin memberi keuntungan klinis tertentu.
Samad dkk telah menunjukkan bahwa pengaturan COX-2 yang penting pada parenkim sistem
saraf pusat sebagai respons terhadap nyeri inflamasi akut pada bagian perifer. Peningkatan sintesis
prostaglandin diketahui meningkatkan eksitabilitas neuronal dan mungkin memegang peranan pada
remodeling sistem saraf pusat.
Rofecoxib, lumaricoxib, dan celexocib semuanya adalah penghambat COX-2 selektif yang telah
diteliti. Pada manusia, plasma dari rofecoxib memasuki cairan likuor serebrospinalis dengan rasio
konsentrasi plasma / likuor serebrospinalis hampir mencapai 15%. Penemuan ini menyatakan bahwa
rofecoxib mampu melakukan penetrasi dan mungkin mengurangi respons sistem saraf pusat untuk
mensintesis prostaglandin E2 (PGE2) secara lokal. Sayangnya, obat ini telah ditarik dari pasaran. Sediaan
lumaricoxib yang tersedia sekarang kelihatannya memperlihatkan keamanan terhadap sistem
gastrointestinal dibandingkan OAINS nonselektif.
Coxib dapat bersifat sinergis dengan acetaminophen dalam pereda rasa nyeri. Efek rofecoxib dan
celexocib sendirian dan kombinasi dengan acetaminophen dibandingkan dan ditemukan bahwa rofecoxib
8

dan celecoxib dengan kombinasi acetaminophen menghasilkan penurunan berarti pada penggunaan
fentanil dan peningkatan bermakna pada kepuasan pasien.
Gambar 34.1. OAINS, Obat Anti Inflamasi Non Steroid; COX, siklooksigenase; PLA2, phospolipase
A2; PG, Prostaglandin; TXA, Tromboksan A2.
PENGURANGAN RASA NYERI YANG MENJALAR
Disebabkan oleh kerja spesifik COX-2 pada PGE2, penghambat selektif COX-2 dapat digunakan
tepat sebelum operasi, sebagus post operasi, dengan cara mencegah nyeri yang menjalar dan
menyebabkan sensitisasi sentral. Idealnya, obat ini telah diumumkan dapat menyediakan analgesia yang
lebih baik ketika diberikan preemptif. Sayangnya, pada situasi trauma tidak mungkin diberikan untuk
mendapatkan keuntungan dari efek preemptif.
Walaupun obat tersebut memberikan adjuvan analgesia yang unggul dengan teknik multimodal,
pada situasi trauma dan berhubungan dengan stres, harus ditanamkan dalam pikiran mengenai efek
kombinasi dari stres dan OAINS pada mukosa lambung. Trauma sering dihubungkan dengan gangguan
hemodinamik dan atau sepsis, yang memegang peranan sebab terjadinya gagal ginjal akut dan stress
9

ulcer. Pemberian OAINS harus mempertimbangkan faktor ini. Tingginya angka kejadian infark miokard
akut dengan penggunaan OAINS yang berkepanjangan atau penggunaan COX-2 telah dikemukakan dala
beberapa penelitian, walaupun data yang ada saling bertentangan.
Pada analisis mereka mengenai 114 percobaan acak, Zhang dkk memperlihatkan bahwa rofecoxib
meningkatkan risiko kejadian ginjal dan aritmia, walaupun mekanisme pasti tetap belum jelas.
Karena prostaglandin dan leukotrien penting dalam proses inflamasi, penghambat enzim
siklooksigenase dan 5-lipooksigenase dikembangkan oleh perusahaan farmasi. Data eksperimental
dengan penghambat licofelone (LOX/COX) menunjukkan bahwa obat ini memiliki efek antipiretik,
analgesik, anti inflamasi, dan antiplatelet pada OAINS konvensional dan juga memperlihatkan efek anti
alergi. Pada percobaan menggunakan hewan, obat ini kelihatannya menimbulkan kerusakan yang lebih
sedikit pada gastrointestinal. Keamanan obat ini tetap perlu dibuktikan pada manusia. Telah diperlihatkan
bahwa obat ini menyediakan efek analgesik sama dengan celexocib tetapi lebih sedikit efek pada sistem
gastrointestinal.
Siasat protektif mengenai resep obat yang bersifat gastroprotektif seperti misoprostol atau proton
pump inhibitor dengan OAINS. Penambahan proton pump inhibitor pada penggunaan celexocib
memberikan proteksi ekstra untuk pasien umur 75 tahun ke atas. Profilaksis menggunakan proton pump
inhibitor telah direkomendasikan pada pasien yang telah mendapatkan terapi penghambat COX-2 jangka
panjang dan pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi. Dosis normal antagonis H2 tidak efektif
mencegah ulkus lambung yang disebabkan OAINS dan pada kenyataannya dapat menyerupai gejala-
gejala tanda peringatan.
Ketoroloac tersedia dalam sediaan parenteral dan menyediakan efek sinergis dengan opioid. Obat
ini memiliki keuntungan pada pasien yang tidak dapat diberikan secara oral. Penggunaan ketorolac secara
parenteral harus dibatasi tidak lebih dari 5 hari pada orang dewasa dengan nyeri setelah operasi yang
hebat. Ketorolac tromethamine memuat albumin dalam partikel yang kecil untuk pemberian satu kali per
hari secara intramuskular, sistem transdermal ketorolac, dan sediaan intranasal yang masih kurang
formulasi dan evaluasi.
Pada penelitian baru-baru ini, penemuan terbaru diklofenak ditemukan efektif dan aman untuk
penanganan luka tumpul.
10

PERANAN COXIB PADA PENYEMBUHAN TULANG DAN LUKA
Perhatian mengenai penggunaan coxib dan efeknya pada penyembuhan tulang dan luka telah
diungkapkan. Kebanyakan berdasarkan penelitian pada OAINS nonselektif pada model hewan. Reuben
dan Connelly membandingkan rofecoxib dan celecoxib dengan placebo untuk menentukan efek
postoperatif pada patient-controlled analgesia (PCA) morfin dan skor nyeri ketika diberikan tepat
sebelum operasi penyatuan spinal. Mereka tidak menemukan perbedaan pada angka penyatuan diantara
rofecoxib, celecoxib, dan placebo pada percobaan. Berbagai model eksperimental perbaikan tulang,
ligamentum, dan tendon telah mendapatkan efek penghambat COX selektif dan nonselektif pada hewan
dengan spesies yang sama dan spesies yang berbeda, yang membatasi perkiraan data hewan pada
manusia. Telah ditunjukkan bahwa pada model tikus yang yang mendapatkan OAINS yang menjalani
operasi perbaikan rotator cuff secara nyata menghambat penyembuhan tulang hingga tendon.
Bagaimanapun, hasil ini perlu diverifikasi pada hewan yang lebih besar seperti pada model manusia
sebelum menyatakan suatu kesimpulan.
OPIOID
Opioid merupakan dasar penanganan nyeri akut selama berabad-abad. Obat ini merupakan obat
lini pertama yang digunakan untuk analgesia pada situasi trauma.
Efek analgesik yang poten berhubungan dengan mekanisme kerja pada reseptor opioid. Reseptor
opioid ada dimana-mana. Ada peningkatan ekspresi pada daerah perifer setelah luka. Reseptor ini hadir
pada lokasi yang berbeda-beda dalam sistem saraf pusat, vas deferens, saraf spinalis, traktus
gastrointestinal, paru-paru, dan sinovium. Ada reseptor sentral dan perifer, walaupun efek pada reseptor
perifer belum jelas. Opioid dipikirkan bekerja dalam berbagai cara mulai dari hiperpolarisasi membran
hingga voltage-gated ion channel untuk memberikan supresi pada adenil-siklase yang diperantarai G-
protein. Reseptor ini diklasifikasikan sebagai mu (u), kappa (k), delta (δ), dan epsilon (ε) tergantung pada
agonis yang berhubungan dengan reseptor ini. Reseptor yang umum adalah u dan k. Reseptor ini juga
dihubungkan dengan beberapa efek samping yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, sedasi, dan
depresi pernapasan. Opiat juga telah diklasifikasikan sebagai agonis murni dan parsial dan antagonis
parsial, bergantung pada afinitas terhadap reseptor ini yang menghasilkan efek samping yang berbeda.
Pada umumnya, opioid dipikirkan dapat mengurangi respon afektif terhadap nosisepsi. Obat ini
juga menganggu respon fisik terhadap nyeri. Pasien mungkin masih tetap dapat merasakan nyeri tetapi
mereka mengatakan bahwa mereka nyaman.
11

Opioid secara nyata menurunkan skor nyeri, khususnya pada trauma thoraks, walaupun dengan
efek samping yang berarti. Opioid sistemik kontinyu yang dititrasi dengan hati-hati menjadi penanganan
nyeri paling umum yang diaplikasikan entah dengan memperbaiki dosis atau dengan teknik patient
controlled analgesia (PCA). Opioid neuraksial, khususnya opioid epidural, menawatkan metode yang
relatif aman dalam menyediakan analgesia yang baik seperti yang ditunjukkan dalam penelitian
penanganan nyeri postoperatif pada trauma thoraks. Opiat neuraksial menyediakan analgesia yang hebat
dalam dosis yang kecil. Jadi, opioid masih tetap merupakan analgesia utama dalam trauma. Tetapi
bagaimanapun, telah terjadi beberapa perubahan pada bagaimana obat ini digunakan, diresepkan, dan
diberikan.
Opioid dapat diberikan melalui beberapa jalur, membuat obat ini menjadi serbaguna dalam
aplikasi klinis. Rute pemberian tradisional yang telah diketahui mencakup oral, subkutan, intramuskular,
intravena, intratekal, dan epidural, sementara nasal, transmukosal, buccal, transdermal, inhalan,
intraartikular, serta injeksi lokal pada luka adalah rute alternatif yang masih diteliti.
Pemberian secara transmukosal memiliki kelebihan yaitu menghindari metabolism first pass
sehingga memiliki onset kerja yang lebih cepat. Sediaan slow-released terutama digunakan pada
penanganan nyeri pada periode yang lama setelah trauma.
Fulda dkk mempelajari mengenai morfin yang diberikan melalui nebulisasi dan menemukan
bahwa obat ini dapat digunakan secara aman dan efektif untuk mengontrol nyeri thoraks post trauma dan
obat ini meemberikan pereda nyeri yang setara dengan efek sedative yang kecil jika dibandingkan dengan
morfin IV. Inhalasi aerosolized liposome-encapsulated fentanyl sedang diteliti dan menunjukkan hasil
yang menjanjikan.
Patient-controlled transdermal system (IONSYS), OrthoMcNeil Pharmaceutical, Inc., Raritan,
NJ) dengan fentanil menggunakan arus langusung yang tidak kelihatan yang memiliki intensitas rendah
untuk melakukan perpindahan fentanil sesuai keinginan melewati kulit menuju sirkulasi sistemik. Alat ini
dapat diaplikasikan pada lengan atas atau dada pasien dan didesain untuk menangani nyeri sedang hingga
nyeri hebat yang memerlukan analgesia opioid. Sementara fentanil dalam sediaan patch efektif sebagai
pereda rasa nyeri jangka panjang, peranannya dalam penanganan nyeri akut terbatas karena memerlukan
waktu 24 jam untuk mencapai efek yang maksimal.
Infiltrasi luka dengan morfin dapat mengurangi insidens baik nyeri sedang maupun nyeri kronik
setelah operasi. Pemberian morfin perifer dapat menghambat pelepasan neuropeptida proinflamasi pada
jaringan-jaringan perifer. Reuben dkk menunjukkan bahwa hal ini berhubungan skor nyeri yang lebih
12

kecil, penurunan penggunaan morfin dalam 24 jam, dan menurunkan insidens nyeri pada daerah krista
iliaka yang dilakukan graft tulang 1 tahun setelah operasi penggabungan tulang dengan teknik spinal.
Seluruh 3 reseptor opioid telah ditunjukkan berada pada ujung saraf perifer dan bertanggung jawab dalam
mediasi antinosisepsi perifer. Infiltrasi opioid periartikular sendiri atau sebagai bagian dari regimen obat
injeksi multimodal telah memperlihatkan analgesia yang berarti, mengurangi kebutuhan PCA, dan
meningkatkan kepuasan pasien.
Karena PCA memerlukan akses intravena, beberapa rute nontradisional mungkin berguna
terutama pada populasi pediatrik.
Efek samping yang tidak diinginkan dari opioid mencakup sedasi, gangguan sensoris, dan
disfungsi kognitif yang dapat menyebabkan pemantauan sistem saraf pusat menjadi susah. Depresi
pernapasan dan hipoksia yang ditimbulkan mungkin menggambarkan hipoksia yang disebabkan trauma
paru menyeluruh. Mual dan muntah adalah efek samping yang tidak disukai pasien.
Opioid telah dilibatkan pada pseduoobstruksi kolon akut atau Ogilivie syndrome, yang dapat
berpotensi menimbulkan kondisi fatal yang memiliki ciri-ciri klinis dan gambaran radiologic dari
obstruksi kolon tanpa ada kelainan anatomik yang menyebabkan obstruksi. Obat opioid dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi kontraksi fasik yang tidak bersifat mendorong, kontraksi propulsif
yang berpindah-pindah, menaikkan reabsorpsi air, sehingga meningkatkan durasi ileus postoperatif. Hal
ini dikombinasikan dengan insufisiensi vaskular sebelumnya, yang dapat menyebabkan iskemia dan
distensi kolon (pemicu Ogilivie syndrome). Pengurangan faktor predisposisi, perawatan usus yang baik,
diet oral dini, mobilisasi dini, hidrasi yang bagus, dan rotasi penggunaa opioid sangat penting dalam
mencegah pseudoobstruksi kolon akut. Deteksi dini dan terapi agresif penting.
13

Gambar 34.2. Patient-controlled transdermal system : IONSYS (OrthoMcNeil Pharmaceutical, Inc,
Raritan, NJ). Sistem ini mentransfer fentanil sesuai keinginan melewati kulit menuju sirkulasi
sistemik.
Bukti yang ada menunjukkan bahwa ada risiko yang nyata dan tidak disadari dari luka serius dari
PCA dan opioid neuraksial pada periode postoperatif. Sementara risiko ini khususnya tinggi pada
populasi pasien yang beresiko, tetap ada insidens mengancam nyawa walau kecil tetapi tidak dapat
diprediksi, depresi pernapasan yang diakibatkan opioid pada pasien muda dan sehat. Meskipun perhatian
tertuju kepada biaya, The Anesthesia Patient Safely Foundation menganjurkan penggunaan rutin
monitoring pernapasan kontinyu psotoperatif (pulse oxymetry dan pengukuran kontinyu laju pernapasan)
pada pasien yang beresiko yang mendapatkan PCA atau opioid neuraksial.
Efek opioid pada sistem imun rumit. Singkatnya, baik penanganan opioid akut dan kronik dapat
mempengaruhi imunitas bawaan dan imunitas yang dapat menyesuaikan. Efek ini akan memiliki
konsekuensi terapeutik yang besar sekali. Morfin telah ditunjukkan bahwa dapat menyebabkan efek ini
14

melalui kerja langsung baik pada reseptor yang terdapat pada sel imun dan pada jalur perantara. Hal ini
mungkin menjadi persetujuan umum bahwa pengobatan opioid menurunkan sistem imun host.
Penyakit ketergantungan mempengaruhi kurang lebih 10% populasi walaupun prevalensinya
dapat lebih tinggi pada subpopulasi tertentu. Baik ketergantungan aktif dan ketergantungan yang dapat
sembuh dapat menyulitkan penggunaan obat-obat seperti opioid, yang penting untuk penanganan nyeri.
Ada kesalahpahaman diantara penyedia jasa kesehatan, pengatur sistem, dan populasi umum mengenai
sifat dasar dan manifestasi ketergantungan sehingga dapat menyebabkan nyeri tidak dapat ditangani
dengan baik. Hal ini dapat menimbulkan komplikasi dengan ketergantungan nyata dengan penggunaan
luas.
Secara tradisional, opiat oral kerja lama telah digunakan untuk nyeri kronik. Tetapi
bagaimanapun, dalam analisis prospektif, Illgen dkk menunjukkan bahwa pemberian opoid kerja lama
secara oral dapat menimbulkan efek hemat opioid. Telah dibuat anggapan bahwa opioid oral kerja lama
menyediakan perjalanan lebih baik dalam mengontrol nyeri akut sedang hingga nyeri akut hebat dengan
menyediakan tingkat medikasi yang kuat dan menyenangkan, menghindari puncak dan bak dan celah
pada kontrol nyeri menjelang tidur.
Nebulisasi opioid yang tidak diberi nama telah digunakan sebagai metode alternatif pada
penanganan prosedur minor pada pasien yang beresiko memiliki efek samping sistemik. Tetapi
bagaimanapun, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi pemberian melalui jalur ini.
TRAMADOL
Tramadol merupakan suatu agen yang tidak biasa, dimana aktivitas analgesiknya dimediasi
melalui dua mekanisme yang berbeda. Ketika pertama kali digunakan secara klinis, tramadol dianggap
sebagai opioid dari gologan aminocyclohexanol yang bekerja sentral. Sementara itu, efek samping dari
tramadol menyerupai antagonis reseptor µ, dimana afinitas ikatan untuk reseptor ini lemah dan efek
analgesiknya hanya berkebalikan dari naloxone. Namun belakangan ini, penggunaan multimodal telah
dibuktikan dan dikaitkan dengan inhibisi dari 5-hydroxytyptamine dan pengambilan noradrenalin,
bersamaan dengan stimulasi presinaps dari pelepasan 5-hydroxytyptamine.
Tramadol rupanya memiliki potensi penyalah gunaan yang lebih jarang, meskipun kemungkinan
ketergantungan pada penggunaan jangka panjang tidak dapat disingkirkan. Obat ini hanya memiliki satu
(dari 11 yang dapat diidentifikasi) metabolit yang aktif secara farmakologis. Pasien dengan defisiensi
genetik enxim sitokrom P450 3A4 (CYP3A4) mungkin menunjukkan penurunan respon terhadap obat.
Meskipun data yang tersedia bertolak belakang, obat ini kemungkinan memiliki interaksi dengan
antikoagulan oral dan obat antiepilepsi serta harus dihindari pemberiannya pada pasien epilepsi.
15

Tramadol menghasilakan efek anti inflamasi tanpa secara langsung mempengaruhi enzim yang
merupakan metabolit dari generasi asam arakidonat. Gambaran farmakodinamik sangat berbeda dengan
NSAIDS mencakup inhibitor COX 2.
Tramadol intraartikular telah digunakan untuk mengontrol nyeri dengan efektif pada operasi
operasi atroskopik sendi lutut.
Sebagai obat tambahan pada anastesi regional intravena, tramadol memiliki peran yang terbatas.
Meskipun dengan penambahan tramadol dapat menurunkan onset waktu blok sensoris, obat ini tidak
menurunkan nyeri atau memperpanjang analgesia postoperatif.
Tramadol terlihat memiliki kandungan anestesi lokal yang serupa dengan prilokain dan lidokain,
dan insidens dari efek yang merugikan dapat menghidarkan penggunaanya sebagai obat anestesi lokal.
Tramadol intravena 50-150 mg memiliki efek analgesik yang sama efektifnya dengan morfin 5-
15 mg. Bagaimanapun juga, preparat parenteral dari tramadol tidak tersedia di Amerika Utara.
Tramadol epidural merupakan analgesik yang lebih aman dan dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif dari morfin epidural pada pasien yang menjalani operasi thorax, meskipun durasi dari
pemulihan nyeri lebih singkat. Tramadol yang dilapisi dengan polyhydroxibutyrate microspheres untuk
penggunaan epidural sekarang ini sedang dievaluasi pada hewan.
KETAMIN
Ketamin merupakan derivat dari phencyclidine. Obat ini merupakan inhibitor nonkompetitif pada
reseptor N-methyl-D-aspartane (NMDA). Obat ini dipikirkan memiliki efek kerja yang agonis dengan
reseptor opioid dan antagonis dengan reseptor muskarinik. Keunikannya disebabkan karena obat ini
menghasilkan keadaan disosiatif yang menyebabkan amnesia dan analgesia yang kuat dengan melindungi
fungsi vital dari batang otak dan stabilitas hemodinamik. Ketamin menghasilkan keadaan klinis dimana
respon terhadap nyeri dan stimulus bahaya menjadi berkurang, sementara itu ketamin juga menjaga
kestabilan dari fungsi pernafasan dan kardiovaskular. Obat ini dapat menyebabkan amnesia dan analgesia
yang dalam. Hal ini telah diperlihatkan dapat mengurangi hiperalgesia yang disebabkan oleh opiat ketika
digunakan perioperatif dan juga menurunkan kebutuhan akan opioid. Gabungan propofol dan ketamin
50:50 (ketofol) telah digunakan untuk memberi efek analgesi-sedasi pada prosedur minor penanganan
trauma pada departemen kegawatdaruratan.
Kekurangan dari ketamin adalah sekresi yang berlebihan, agitasi pada masa pemulihan, dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokular, dan menyebabkan halusinasi (dipikirkan dapat
berkurang dengan pemberian benzodiazepin). Untuk alasan ini, ketamin digunakan secara hati-hati pada
16

pasien dengan trauma akut yang kemungkinan mengalami trauma pada kepala. Meskipun begitu, ketamin
merupakan obat yang sangat penting dalam menangani nyeri luka bakar, penggantian perban, dan
prosedur minor seperti debridemen luka. Obat ini juga berfungsi pada lokasi triase untuk melepaskan
pasien dari lokasi trauma ketika pengamanan terhadap jalan nafas sulit atau terbatasnya peralatan.
ANASTESI LOKAL
Obat anestesi lokal bekerja dengan memberikan blokade yang reversibel reversibel terhadap
saluran sodium dalam sel saraf. Obat ini menyebabkan hiperpolarisasi dari sel saraf dan mencegah
transmisi impuls. Terdapat beragam obat anestesi lokal yang tersedia dengan aksi kerja yang singkat, aksi
kerja lama, maupun dengan onset yang sangat cepat. Jalur tersering dari pemberian obat anestesi lokal
adalah melalui perifer dan neuraksial.
Lidokain intravena telah ditemukan memiliki efek preventif terhadap nyeri post operatif,
mengurangi nyeri post-amputasi, dan nyeri visceral, sebaik mengontrol nyeri post-operatif akut yang
tidak berkurang. Pemberian sistemik dari lidokain telah digunakan untuk mengurangi nyeri neuropatik
baik pada daerah luka maupun pada daerah dibawahnya (bekerja sentral melalui blok saluran sodium).
Keamanan penggunaan lidokain intravena untuk analgesia jauh dari yang diyakini dari penelitian kecil
yang tersedia dan terdapat kemungkinan akumulasi dari lidokain dalam darah selama periode pemberian
infus meskipun hanya dalam dosis kecil. Lidokain intravena merupakan metode yang sederhana dan tidak
mahal untuk mendapatkan beberapa kentungan yang serupa dengan teknik yang lebih mahal dan invasif,
namun kami kekurangan penelitian untuk menunjukkan keamanan dan efisiensi penggunaannya dalam
situasi trauma.
Obat anestesi lokal sangat bermanfaat dalam perawatan luka bakar dimana penggunaan topikal
telah dibuktikan efektif untuk luka bakar superfisial. Obat anestesi topikal yang biasa digunakan
membutuhkan waktu 30-60 menit untuk memberikan efek anestesi. Lidokain dosis rendah dengan sistem
iontophoresis sedang dievaluasi sebagai obat anestesi onset cepat (10 menit) dalam dosis rendah.
Terdapat beberapa laporan tentang toksisitas obat anestesi lokal, terutama pada anak, yang
diobservasi pada pemberian topikal melalui membran mukosa.
ANTIDEPRESAN
Obat antidepresan trisiklik (TCAs) memiliki sejarah panjang pada penggunaannya dalam kondisi
nyeri neuropatik dan dapat mengurangi nyeri, mengurangi depresi, dan memudahkan tidur pada pasien
dengan luka trauma. Antidepresan trisiklik bekerja dengan cara mencegah pengambilan neuronal kembali
dari serotonin dan norepinefrin. Obat tersebut dipikirkan dapat memodulasi jalur nosispesi ke struktur
17

dibawahnya dan mengurangi nyeri yang disebabkan karena trauma. Obat antidepresan memiliki profil
farmakologi klinik yang berbeda ketika digunakan dalam manajemen nyeri, yang bertentangan dengan
depresi endogen. Secara acak, beberapa uji coba yang dikontrol memberikan bukti kuat bahwa
antidepresan trisiklik dapat mengobati nyeri neuropatik, dengan efek analgesik yang tidak bergantung dari
efek kerja antidepresannya. Obat ini dapat memberi efek hemat opioid dan mengurangi penggunaan
opioid. Hal ini dapat menguntungkan pada pasien trauma yang sangat bergantung pada narkotik. Banyak
pasien dengan trauma mendapatkan stress psikologik yang hebat dan kecemasan yang dapat
mempengaruhi persepsi terhadap nyeri. Kecemasan preoperasi telah digambarkan sebagai suatu faktor
tunggal yang berhubungan dengan penggunaan bolus berulang kali dengan PCA; sehingga penting untuk
mengontrol kecemasan pada pasien trauma.
Amitriptilin dapat digunakan pada dosis rendah (dosis awal 10-25 mg). Bagaimanapun juga,
onset kerja memerlukan waktu beberapa hari. Efek samping seperti efek antikolinergik dan sedasi
kebanyakan bergantung pada dosis dan adanya efek samping ini akan membatasi penggunaan
antidepresan.
Antidepresan menunjukkan beberapa mekanisme farmakologik, mencakup modulasi serotonin
dan norepinefrin, efek langsung maupun tidak langsung terhadap reseptor opioid, menghambat reseptor
histamin, kolinergik dan NMDA, menghambat aktivitas saluran ion. Meskipun tidak jelas mekanisme
mana yang menyebabkan analgesia dan seberapa luas penyebarannya, tersedianya data percobaan
terhadap hewan dan uji klinis menunjukkan bahwa antidepresan efektif dalam mengatasi banyak tipe
nyeri. Obat-obat ini dapat diberikan secara oral dan memiliki penggunaan yang terbatas pada situasi
trauma akut, disamping itu sangat bermanfaat sebagai adjuvan pada manajemen nyeri post trauma.
Beberapa antidepresan trisiklik dapat menyebabkan interval QT memanjang, aritmia, ileus
paralitik, dan sindrom Ogilvie’s. Obat penghambat reuptake serotonin-noradrenalin lebih aman digunakan
digunakan dibandingkan antidepresan trisiklik dan merupakan pilihan yang lebih baik pada pasien dengan
penyakit jantung. Obat tersebut diyakini lebih efektif untuk nyeri akibat neuropati. Bagaimanapun juga,
efek sampingnya (agitasi, gangguan gastrointestinal, dan hipertensi) harus tetap dipikirkan.
ANTIKONVULSAN
Beragam antikonvulsan telah dicoba dalam menangani nyeri, terutama nyeri neuropatik.
Antikonvulsan bekerja dengan menyebabkan hiperpolarisasi dan menurunkan kerja neuronal spontan
pada sistem saraf pusat. Hingga sekarang, antikonvulsan tidak dipikirkan untuk digunakan pada keadaan
akut. Bagaimanapun juga, serupa dengan trauma sel saraf, trauma pada jaringan diketahui dapat
menyebabkan perubahan neuroplastik, yang menyebabkan sensitisasi spinal dan menimbulkan ekspresi
hiperalgesia yang dibangkitkan oleh stimulus dan allodinia. Efek farmakologik dari obat antikonvulsan
18

yang mungkin penting dalam modulasi perubahan sel saraf mencakup supresi dari saluran sodium,
kalsium, dan aktivitas reseptor glutamat pada daerah perifer, spinal, dan supraspinal. Meskipun beberapa
obat antikonvulsan merangsang neurotransmitter inhibisi gamma-amino-butyric acid (GABA) yang
berperan dalam modulasi nyeri, efek analgesik dari antikonvulsan GABA-ergik seperti benzodiazepin dan
barbiturat belum diobservasi. Antikonvulsan gabapentin merupakan struktur yang analog dengan GABA
dan berikatan dengan α2δ subunit dari saluran kalsium yang bergantung pada energi listrik sehingga
mencegah pelepasan neurotransmiter nosiseptif yaitu glutamat, substansi P, dan noradrenalin. Obat ini
telah ditunjukkan dapat mengurangi hiperalgesia yang terjadi pada saat injeksi capsaicin.
Tersedia banyak laporan tentang efektivitas gabapentin dan obat sejenisnya yaitu pregabalin.
Gabapentin telah ditemukan sangat berhasil dalam menangani nyeri neuropatik dan postoperatif, serta
nyeri post-traumatik. Pada trauma, obat ini dapat bermanfaat dalam mengobati atau mencegah nyeri
neuropatik. Obat ini memiliki beragam efek samping namun dapat berhubungan dengan sedasi, pusing,
sakit kepala, kebingungan, dan ataksia, yang sangat berhubungan dengan dosis pemberian. Induksi enzim
hati rendah, sehingga meminimalkan interaksi obat yang signifikan. Analgesia preemptif dengan
gabapentin ditemukan dapat menurunkan skor VAS dan penggunaan opioid. Sementara itu, efektivitas
dari analgesik dari antikonvulsan yang tersedia saat ini cukup untuk mengurangi kebutuhan terhadap
opioid, antikonvulsan dapat seperti NSAID yang menghasilkan efek serupa dengan opioid. Bukti yang
tesedia menunjukkan bahwa antikonvulsan dapat menurunkan konsumsi opioid baik dengan menekan
mekanisme toleransi atau penarikan obat.
Pregabalin merupakan α2δ ligand yang strukturnya berkaitan dengan gabapentin tanpa
mengetahui aktivitas pada reseptor asam γ-aminobutirik atau benzodiazepin. Pregabalin mencegah
masuknya kalsium dengan menghambat secara presinaps neurotransmiter eksitatorik, yaitu glutamat,
substansi P, dan gen related peptide. Obat ini memiliki aktivitas analgesik, antikonvulsan, dan anxiolitik.
Reuben et al. menunjukkan bahwa kombinasi dari pregabalin dan celecoxib lebih baik dibandingkan
hanya satu jenis obat saja dalam menurunkan skor nyeri dan penggunaan morfin dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit. Terdapat sinergis yang kuat dari kerja kedua obat ini dengan COX2 inhibitor
untuk menghasilkan analgesia yang lebih efektif.
Sekarang ini, hanya terdapat sediaan oral dari obat-obatan ini. Bioavailabilitas dari gabapentin
sangat bergantung pada dosis, dimana lebih tinggi pada dosis rendah. Jadi makin banyak obat yang
diberikan maka sedikit yang berada dalam tubuh. Pregabalin memiliki lebih banyak hubungan efek
farmakokinetik dan telah dilaporkan sebagai anxiolitik yang bagus, sebuah ciri yang dapat memainkan
peran yang sangat penting dalam manajemen nyeri.
19

Efek samping yang sangat sering timbul dengan penggunaan jangka panjang dari α2δ ligand
adalah pusing, somnolen, dan edema perifer. Obat-obatan ini dieleminasi melalui ginjal sehingga untuk
menentukan dosis pemberian harus lebih berhati-hati terhadap fungsi ginjal / kreatinin klirens.
AGONIS α2
Reseptor α2 memainkan peran penting dalam modulasi nyeri. Cara kerjanya adalah dengan
meningkatkan aktivasi dari jalur inhibisi descending melalui lokus ceruleus, menghambat sel saraf secara
langsung pada reseptor pada substansia gelatinosa, dan mengurangi pelepasan dari substansi P. Klonidin
merupakan obat golongan agonis α2 yang sangat penting dengan kandungan analgesik dan sedatif yang
tersedia untuk penggunaan klinis dan mungkin dapat bermanfaat dalam nyeri trauma. Menariknya, secara
mula-mula klonidin diteliti sebagai obat dekongestan hidung namun karena menyebabkan hipotensi dan
sedasi sehingga membuatnya tidak digunakan. Sejak itu, obat ini telah digunakan sebagai obat
antihipertensi yang bekerja secara sentral, sebagai terapi putus obat akut, mencegah menggigil setelah
anestesi umum, dan juga dapat menurunkan kebutuhan terhadap obat-obat anestesi. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa klonidin dapat mengurangi kebutuhan obat analgesik perioperatif, memperpanjang
durasi kerja dari obat anestesi, dan meningkatkan efek analgesia opioid. Klonidin dapat diberikan secara
oral, intravena, transdermal, intramuskular, dan neuraksial. Nasal dexmedetomidine akhir-akhir ini telah
dievaluasi untuk sedasi pada anak dan ditemukan sebanding dengan midazolam.
Mekanisme kerja dari agonis α2-adrenoreseptor sinergis dengan opiat karena kedua reseptor
memiliki distribusi yang serupa di otak, dan berpasangan dengan sistem efektor dari siklik GMP. Nitrit
oksida sintetase juga ditemukan pada lokasi yang sama pada medulla spinalis, dan antinosisepsi dari
agonis α2-adrenoreseptor dapat bergantung secara parsial pada sintesis nitrit oksida. Efek sedatif dari
agonis α2-adrenoreseptor juga dapat menurunkan persepsi nyeri. Meskipun banyak bukti dari studi in
vivo dan in vitro, mekanisme neuroprotektif dari agonis α2-adrenoreseptor telah dibatasi dalam percobaan
laboratorium. Karena reseptor α2 lebih penting dalam modulasi nyeri, perhatian telah difokuskan pada
dexmedetomidine (D-enantiomer dari medetomidine) yang memiliki rasio selektivitas α2: α1 yaitu 1,620:
1 (dibandingkan dengan 220:1 untuk klonidin). Dexmedetomidine telah menunjukkan aktivitas
menjanjikan pada percobaan manusia, tapi tidak tanpa efek samping. Obat ini mungkin memiliki peran
penting pada pasien trauma yang kondisi klinisnya menghalangi penggunaan analgesik lainnya.
Hipotensi dan bradikardi berhubungan dengan obat-obatan ini mungkin tidak dapat ditoleransi
oleh beberapa pasien trauma. Agonis α2 adrenoreseptor dapat menyebabkan hipoglikemia pada manusia.
Mekanismenya yaitu mempengaruhi postsinaps α2-adrenoreseptor stimulasi dari sel beta pankreas, yang
menghambat pelepasan insulin, bagaimanapun juga, penurunan dari respon simpatoadrenal terhadap
trauma dan stres dapat menghalangi respon hiperglikemik ini.
20

BENZODIAZEPIN
Benzodiazepin memiliki efek sedasi, anxiolisis, dan relaksasi otot tapi tidak memiliki bahan-
bahan analgesik. Meskipun banyak peneliti telah menunjukkan bahwa kecemasan meningkatkan nyeri,
data untuk ini masih belum dikonfirmasi. Ketika benzodiazepin digunakan dengan opioid, dosis opioid
untuk memberikan efek analgesia menjadi berkurang. Pada penelitian terhadap pasien dengan luka bakar,
dosis opioid yang digunakan menurun secara signifikan bersamaan dengan pemberian lorazepam. Obat
ini memiliki peran yang penting dalam mengobati pasien yang cemas. Dengan menurunkan tingkat
kecemasan pasien diharapkan dapat mengubah persepsi mereka terhadap nyeri. Perlu perhatian ketika
menggunakan benzodiazepin dengan opioid, karena efek keduanya sinergik. Obat yang biasanya
digunakan pada departemen kegawatdaruratan adalah midazolam dan diazepam. Midazolam biasanya
lebih disukai karena durasi kerjanya lebih singkat (60 hingga 90 menit) untuk mencegah efek samping
yang tidak menguntungkan. Jalur pemberian yang paling efektif adalah melalui intravena. Pada anak
dengan kurang atau tidak memiliki akses intravena, penggunaan secara oral, rektal, inhalasi, bukkal, dan
nasal telah dibuktikan efektif.
Midazolam intratekal telah digunakan secara klinis. Penggunaan rasional midazolam intratekal
berfokus pada kewaspadaan bahwa itu adalah agonis pada lokasi pengikatan benzodiazepin pada subunit
reseptor pentamerik GABA A, menyebabkan analgesia yang diperantarai oleh medulla spinalis. Beberapa
laporan terakhir menganjurkan bahwa penggunaan midazolam dalam satu dosis pada konsentrasi yang
tidak melebihi 1-2 mg dan tidak melebihi pemberian 1mg/ml baik yang diberikan sendirian atau sebagai
adjuvan intratekal, memiliki efek positif pada terapi nyeri perioperatif dan terapi nyeri kronik dan tidak
diikuti dengan peningkatan insidens dari kejadian yang merugikan.
ENTONOX
Entonox merupakan gabungan 50:50 dari oksigen dan nitrous oksida. Obat ini meberikan
analgesia yang lebih aman dan efektif tanpa kehilangan kesadaran pada prosedur yang berkaitan dengan
nyeri trauma sedang. Biasanya digunakan pada pasien yang sadar dan dapat bekerja sama. Patient
controlled analgesia secara praktis menggunakan masker atau sungkup mulut melalui on demand valve.
Entonox memberikan analgesia dan anxiolisis selama 20 menit setelah inhalasi, dengan efek puncak
terjadi dalam 2 menit. Obat ini sedap dihirup namun mungkin dapat menyebabkan kantuk, eksitabilitas,
atau parastesia. Kerugian utama adalah mual, dan terdapat resiko regurgitasi pada pasien trauma dengan
kondisi lambung yang penuh. Efek samping kardiovaskular minimal. Entonox harus dihindari
pemberiannya pada pasien dengan penurunan kesadaran, obstruksi saluran cerna, pneumothoraks,
penyakit dekompresi, atau emboli udara. Meskipun begitu, obat ini merupakan metode pertolongan
21

pertama yang baik untuk memulihkan nyeri sedang dan dalam prosedur minor seperti manipulasi dan
reduksi fraktur pada anak dan orang dewasa.
Paparan terhadap petugas diluar area ruang operasi cukup tinggi, karena kontrol lingkungan sulit
diaplikasikan. Paparan kronik terhadap nitrous oksida mungkin berhubungan dengan tingginya kadar
homosistein plasma dan merupakan resiko dari depresi klinis, menurunkan fertilitas, dan meningkatkan
kasus keguguran, meskipun beberapa hal ini tidak dibahas dalam penelitan besar selanjutnya.
Peralatan khusus dengan masker atau sungkup mulut dan demand valve diperlukan. Karena sikap
koperatif dari pasien dibutuhkan untuk pemberian yang efektif, maka sakit yang kritis dan atau pasien
yang tidak koperatif bukan mrupakan kandidat yang baik untuk mendapatkan Entonox.
TRAUMA TIPE SPESIFIK
TRAUMA THORAKS
Trauma thoraks, khususnya trauma tumpul dinding dada, dapat menyebabkan kematian dan
kecacatan. Penanganan nyeri pada trauma thoraks sering tidak adekuat karena komplikasi ventilasi adalah
hal yang paling dikhawatirkan oleh tenaga kesehatan professional. Populasi lansia memiliki morbiditas
yang tinggi pada kasus trauma thoraks. Analgesia yang adekuat adalah salah satu faktor penting yang
menentukan morbiditas pada pasien lansia. Opioid, neuraksial yang melebihi sistemik, telah ditemukan
sangat efektif dengan efek samping sedikit. Anestesi lokal melalui blok neuraksial, paravertebral, atau
nervus interkostalis berguna (lihat bab 18).
Banyak trauma dada dihubungkan dengan trauma pada paru-paru dan jantung, yang
menyebabkan pasien mudah mengalami perubahan hemodinamik. Sehingga, pemberian opioid harus
dititrasi secara hati-hati. Seringkali pasien dengan trauma thoraks membutuhkan bantuan pernapasan,
menyebabkan pemberian opiate menjadi kurang beresiko.
LUKA BAKAR
Proporsi cukup besar dari pasien luka bakar mengalami nyeri kronik. Hal ini merupakan akibat
hiperalgesia sekunder yang disebabkan sensitisasi ujung saraf oleh luka bakar. Suatu proses sensitisasi
sentral terjadi dan nyeri neuropati akhirnya berkembang. Pendekatan multimodal diperlukan untuk
mengontrol berbagai derajat nyeri akibat luka bakar. Pad fase akut, terjadi pengurangan volume darah
intravaskular pasien, melebih-lebihkan respon hemodinamik terhadap opioid IV (lihat bab 20 dan 21).
Pada akhirnya, kunjungan berulang ke kamar operasi dan sulitnya akses IV merupakan masalah tambahan
pada penanganan nyeri. Tanpa kecuali, pasien ini menerima terapi opioid kronik, yang juga dapat
menyebabkan pada ketergantungan dan hiperalgesia yang disebabkan opioid.
22

MANAJEMEN
ANESTESI TOPIKAL
Perawatan luka bakar tradisional terdiri dari obat antimikroba topikal yang dioleskan pada luka
bakar yang telah dilakukan debridement atau didevitalisasi. Walaupun obat ini sangat efektif dalam
melindungi infeksi dari permukaan, obat antimikroba biasanya diberikan sering untuk menjaga
efektivitasnya. Untuk anak-anak, pengobatan ini cukup sangat menyakitkan dan dihubungkan dengan
kecemasan yang nyata. Sementara beberapa obat (silver sulfadiazine) kurang bersifat iritan, kebanyakan
pengobatan cukup menyakitkan. Penggunaan anestesi lokal topikal untuk mengurangi ketidaknyamanan
ini adalah teknik yang dikenal. Lidokain topikal dioleskan pada kulit tempat lesi akan menghasilkan efek
analgesia dan mengurangi kebutuhan penggunaan narkotik pada pasien luka bakar yang akan menjalani
prosedur graft berulang-ulang. Toksisitas sistemik dari penggunaan topikal telah dilaporkan, khususnya
kejang pada anak-anak. Lidokain intravena telah dilaporkan memiliki beberapa keuntungan pada luka
bakar. Penggunaan topikal krim EMLA (campuran eutektik antara lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%)
berguna, tetapi ada laporan terjadi toksisitas sistem saraf pusat dan methemoglobinemia pada penggunaan
berlebihan.
Selama proses penyembuhan luka bakar, anestesi lokal yang dikombinasikan dengan anti
histamine telah digunakan untuk menangani secara sukses gatal hebat yang dapat terjadi.
OPIOID
Opioid tetap merupakan penanganan luka bakar di dunia luas. Kemampuan dan efek analgesia
membuat opioid merupakan obat lini pertama. Pemberian secara intravena oleh PCA ditemukan sangat
efektif dalam menyediakan pereda rasa nyeri yang adekuat. Fleksibilitas, mudah digunakan, efek
ketergantungan yang kecil pada anggota kesehatan, dan pengurangan keperluan sumber daya adalah
sistem yang lebih efektif. Kekhawatiran mengenai farmakokinetik yang terganggu dan tingkat plasma
obat karena efek katabolik dan gangguan protein plasma telah dicela. Teknik yang umum digunakan
mencakup infus opioid dasar secara konstan dengan permintaan bolus. Pasien luka bakar memiliki
kebutuhan opioid yang tinggi dan mungkin tidak mempan dengan opioid. Ketika mengganti pengobatan
ke oral, dosis analgesik opioid kerja lama yang sama perlu ditambahkan dengan nonopiod adjuvan.
Opioid metadon memiliki efek antagonis pada reuptake NMDA dan serotonin dan sehingga menyediakan
formulasi enteral yang ideal.
NONOPIOID ADJUVAN
OAINS dapat digunakan untuk menangani nyeri akibat luka bakar, tetapi kekhawatiran terbesar
adalah efeknya pada gangguan ginjal dan mukosa gastrointestinal. Acetaminophen mungkin merupakan
23

obat yang lebih disukai pada situasi begini karena efek samping yang lebih menguntungkan. Teratur,
dibandingkan pemberian PRN, lebih disukai. Acetaminophen sendiri dapat menyediakan kontrol nyeri
yang bagus.
Ketamin seperti dideskripsikan terlebih dahulu adalah analgesik poten dan amnesik. Efek pada
sistem saraf pusat membatasi penggunaannya tetapi telah ditemukan bahwa obat ini sangat berguna pada
pasien yang resisten terhadap opioid. Sedasi sadar dengan ketamin dan midazolam yang diberikan per
rektal dapat menjadi aman dan tidak nyeri selama proses dressing setelah luka bakar pada anak-anak.
Benzodiazepin atau tranquilizer mayor lainnya dapat digunakan sabagai anxiolisis. Aspek
emosional dan persoalan psikologis mencakup penanganan nyeri mempertinggi persepsi nyeri. Obat ini
efektif pada kasus begini. Lorazepam adalah obat yang disukai karena jalur metabolic yang relatif aman
(glukoronidasi).
Antihistamin adalah pengobatan standar pada pusat luka bakar. Alasannya adalah gatal yang
hebat selama proses penyembuhan. C-fiber, yang memiliki banyak cara, menghantarkan rasa gatal yang
seringkali lebih bersifat iritasi dibandingkan nyeri. Efek sedasi dari antihistamin dapat berguna dalam
menambahkan tidur dan mengurangi kecemasan dan mungkin menurunkan kebutuhan narkotik.
Gabapentin telah ditunjukkan efektif mengurangi rasa gatal pada pasien luka bakar.
TRAUMA PEDIATRIK
Tantangan utama pada trauma pediatrik adalah komponen fisik, akses IV yang sulit, dan
ketidakmampuan menilai nyeri (lihat bab 24). Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak cenderung
tidak diobati dengan baik setelah trauma karena ketakutan akan overdosis. Ada bukti yang muncul bahwa
penanganan nyeri yang adekuat pada anak-anak bukan hanya aman tetapi juga dapat meningkatkan hasil
akhir.
Selama transpor dari tempat kecelakaan, analgesik parenteral harus digunakan pada ank-anak
yang terluka parah. Opioid intramuskular dan atau infus opioid dosis rendah memberikan pereda rasa
nyeri selama pakaian pasien dikeluarkan, mobilisasi, dan reduksi fraktur. OAINS menyediakan analgesia
yang bagus pada instalasi rawat darurat dengan nyeri akibat trauma muskuloskeletal akut. Falanga dkk
telah memperlihatkan bahwa pada anak-anak, prosedur yang dikontrol suster untuk pereda nyeri
ditemukan aman dan efektif karena fokus dengan kombinasi analgesia yang teratur, penilaian nyeri yang
sering, dan keputusan terapeutik yang memenuhi standar. Ketamin, biasanya digunakan dengan
benzodiazepine, juga dapat digunakan untuk prosedur pereda rasa nyeri. Penting untuk memberikan
semangat dan ketenteraman pada pasien anak-anak yang mengalami trauma untuk mengurangi rasa takut.
VAS, skala wajah, atau skala fisik dan tingkah laku dapat digunakan pada anak-anak untuk penilaian
nyeri.
24

Blok nervus mungkin cocok pada anak-anak baik pada saat perawatan akut dan sebelum prosedur
yang menyakitkan dimulai. (lihat bab 24).
ANALGESIA MULTIMODAL
Analgesia multimodal adalah suatu konsep menggunakan dua atau lebih agen obat pada siklus
nyeri. Dosis cukup tinggi pada suatu individu akan menghasilkan hasil yang bagus, tetapi pendekatan
multimodal dapat memaksimalkan keuntungan sementara meminimalkan efek samping dengan
menggunakan obat yang bekerja secara sinergis.
Karena nyeri bervariasi dalam intensitas dan durasi berdasarkan derajat kerusakan tulang atau
jaringan lunak, kebutuhan fisioterapi, kebutuhan rawat inap, kondisi penyerta, dan batas ambang nyeri
individu, tidak dapat diberikan resep tunggal untuk mengontrol nyeri. Panduan prinsip adalah obat-obat
yang seimbang yang dapat menghasilakn kontrol nyeri yang optimal. Tujuannya adalah untuk
memaksimalkan aspek positif pengobatan dan membatasi efek samping. Pada strategi ini, coxib dapat
digunakan untuk menurunkan sensitisasi perifer dan sentral, anestesi lokal dan opioid dapat digunakan
selama dan segera setelah prosedur operasi, dan obat seperti ketamin dapat dikenalkan sebagai antagonis
reseptor NMDA untuk meminimalisasi sensitisasi sentral. Hal ini menyebabkan tambahan analgesia atau
analgesia yang sinergis denan kontrol nyeri yang lebih bagus, menurunkan dosis total , lebih sedikit efek
samping, dan mengurangi respon terhadap stres.
PENDEKATAN NONFARMAKOLOGIK
Dukungan psikologis adalah bagian utama dari penanganan trauma akut atau luka bakar dan juga
fase rehabilitasi. Pengurangan kecemasan, pengurangan ketakutan, dan menjamin tertidur memegang
peranan penting. Dalam jangka panjang, mimpi buruk dan gangguan berupa stres post traumatic
merupakan hal cukup umum setelah trauma. Konseling merupakan bagian yang sangat dibutuhkan untuk
meminimalkan komplikasi akibat trauma. Hipnosis, teknik relaksasi, mekanisme umpan balik, dan
akupuntur dilaporkan menurunkan intensitas nyeri luka bakar.
Stimulasi nervus menggunakan listrik secara transkutaneus (TENS) adalah penanganan nyeri
yang berharga dan kerja cepat pada keadaan sulit di luar jangkauan pertolongan rumah sakit dan memiliki
efek samping yang kurang. Telah ditunjukkan bahwa untuk mengurangi skor nyeri, kecemasan, denyut
jantung, dan tekanan darah berhubungan dengan transpor setelah fraktur hip akibat trauma. Satu-satunya
faktor penghambat adalah aplikasi alat yang tepat dan pasien memilik alat elektronik yang ditanamkan
seperti pacemaker, defibrillator, atau stimulasi otak atau medulla spinalis.
Penanganan dengan microamperage telah menunjukkan pengurangan secara nyata dalam skor
nyeri dan penanda biologik untuk nyeri dan sitokin-sitokin pro inflamasi, dan juga peningkatan serum
25

kortisol dan pelepasan endorfin beta pada fibromialgia yang berhubungan dengan trauma spinal servikal .
Hal ini masih menunggu janji.
KESIMPULAN
Penanganan nyeri memegang peranan yang sangat penting pada penanganan pasien trauma.
Target ideal, tujuan yang menyenangkan bagi kebanyakan pasien kelihatannya meminimalkan rasa sakit,
mencapai suatu keadaan tidur dengan menghindari sedasi yang berlebihan, dan melakukan evaluasi nyeri
dan fungsi neurologik. Telah menjadi jelas bahwa kontrol nyeri yang cepat dan tepat dapat memiliki
pengaruh positif pada hasil akhir. Pengukuran mekanik dini seperti fiksasi fraktur dan reposisi dislokasi
penting dalam penanganan nyeri. Sementara obat penting dalam penanganan nyeri akut, penenteraman
hati, empati, dan penjelasan mengenai kondisinya dan prosedur yang akan dilakukan tidak kalah penting.
26