penanganan rawan pangan

30
PENANGANAN RAWAN PANGAN Penanganan Daerah Rawan Pangan Saat ini Indonesia menghadapi permasalahan dibidang sosial, ekonomi, dan politik. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, dengan demikian semakin banyak orang yang menghadapi rawan pangan. Secara umum, Indonesia mempunyai permasalahan serius yang berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga untuk 10 tahun terakhir seperti halnya prevalensi anak-anak kurang gizi. Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah yang cukup kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan program-program yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu sendiri. Masalah ketahanan pangan memiliki dimensi tersendiri dilihat dari keamanan pangan, keanekaragaman pangan dan kualitas pangan. Pangan sebagai kebutuhan pokok terpenting, memiliki keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan kondisi kesehatan, kecerdasan dan produktivitas sumberdaya manusia. Di samping itu pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia merupakan fondasi kuat untuk pembentukan kualitas manusia bangsa Indonesia, merupakan pilar bagi pembangunan ekonomi dan sektor lainnya, serta

Upload: helloim-qudscarter

Post on 05-Jul-2015

988 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENANGANAN RAWAN PANGAN

PENANGANAN RAWAN PANGAN

Penanganan  Daerah  Rawan  Pangan

Saat ini Indonesia menghadapi permasalahan dibidang sosial, ekonomi, dan politik. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, dengan demikian semakin banyak orang yang menghadapi rawan pangan. Secara umum, Indonesia mempunyai permasalahan serius yang berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga untuk 10 tahun terakhir seperti halnya prevalensi anak-anak kurang gizi.

Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah yang cukup kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan program-program yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu sendiri.

Masalah ketahanan pangan memiliki dimensi tersendiri dilihat dari keamanan pangan, keanekaragaman pangan dan kualitas pangan. Pangan sebagai kebutuhan pokok terpenting, memiliki keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan kondisi kesehatan, kecerdasan dan produktivitas sumberdaya manusia. Di samping itu pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia merupakan fondasi kuat untuk pembentukan kualitas manusia bangsa Indonesia, merupakan pilar bagi pembangunan ekonomi dan sektor lainnya, serta merupakan wahana untuk memenuhi hak azasi setiap insan atas pangan.

Oleh karena itu berbagai program pembangunan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat kabupaten/kota perlu lebih diarahkan pada  dukungan fasilitasi peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, distribusi dan aksesibilitas pangan dan perbaikan konsumsi pangan antara lain: (1) pemanfaatan potensi dan keragaman sumberdaya lokal secara efisien dengan memanfaatkan teknologi spesifik lokasi; (2) pengembangan sarana prasarana yang mendukung produksi pangan; (3) peningkatan pelayanan penyuluhan dan pendampingan ketahanan pangan masyarakat (4) pengembangan perdagangan pangan regional dan antar daerah; (5) pengembangan lumbung pangan dan cadangan pangan  (6) peningkatan kualitas konsumsi pangan melalui upaya diversifikasi konsumsi pangan (7) revitalisasi Kewaspadaan Pangan dan Gizi sebagai sistem pemantauan secara dini rawan pangan serta (8) serta fasilitasi terhadap permasalahan lain yang terkait dengan  penanganan kelompok rawan pangan diatas.

Page 2: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Dalam upaya penanganan kerawanan pangan, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan World Food Programe (WFP) telah menyusun peta kerawanan pangan/Food Insecurity Atlas (FIA) yaitu suatu alat untuk mengetahui daerah rawan pangan dengan permasalahan yang melatarbelakangi kejadian rawan pangan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan kebijakan bagi penanggulangan kerawanan pangan.

Analisis yang dilakukan pada pemetaan FIA tidak mengikutsertakan daerah perkotaan, tetapi hanya dilakukan pada 265 kabupaten di 30 propinsi, karena kerawanan pangan di daerah perkotaan harus dianalisis  secara terpisah sebab mempunyai karakteristik tersendiri.

Penyusunan peta FIA dilakukan pada daerah rawan pangan kronis dan rawan pangan transien. Rawan Pangan Kronis adalah keadaan  rawan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang dapat disebabkan karena keterbatasan SDA dan keterbatasan kemampuan SDM sehingga menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin. Rawan Pangan Transien adalah keadaan kerawanan pangan yang disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga antara lain berbagai musibah, bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak.

Indikator kerawanan pangan  kronis tercakup dalam 3 aspek/dimensi rawan pangan yaitu:  Masalah Kesehatan,  Masalah Ketersediaan Pangan, Masalah Kemiskinan. Sedangkan indikator untuk kerawanan pangan transien,  menggambarkan aspek dari pengaruh lingkungan alam dan iklim, meliputi indikator : (1) Persentase daerah tak berhutan; (2) Persentase Puso, (3) Daerah rawan longsor dan banjir ; (4) Fluktuasi/penyimpangan curah hujan.

Berdasarkan analisis peta FIA yang melatarbelakangi terjadinya kerawanan pangan pada 100 kabupaten sesuai dengan tingkat prioritasnya, maka permasalahan dominan yang ditemui pada masing-masing kabupaten antara lain : (1) aspek ketersediaan pangan, meliputi : konsumsi normatif perkapita terhadap ratio ketersediaan bersih padi, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu; (2) akses terhadap pangan dan matapencaharian, meliputi indikator : persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meliputi : persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, Persentase penduduk tanpa akses listrik ;  (3) aspek kesehatan dan gizi, meliputi : angka harapan hidup pada saat lahir, berat badan balita dibawah standar,  angka kematian bayi, Penduduk tanpa akses ke air bersih, Persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari Puskesmas ; (4)  masalah sarana, meliputi ketiadaan akses jalan,  ketiadaan akses listrik,  ketiadaan akses ke air bersih; (5}  masalah pendidikan : perempuan buta huruf

Informasi permasalahan hendaknya menjadikan perhatian untuk diwaspadai dan dipelajari oleh Pemerintah Daerah, mengingat kejadian rawan pangan dapat berkembang 

Page 3: PENANGANAN RAWAN PANGAN

ketingkat yang lebih serius, seperti kelaparan atau gizi buruk jika  tidak mendapat penanganan secara cepat dan tepat.

Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Kerawanan pangan ini terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80 % kebutuhan pangan dan gizi hariannya.

Pada dasarnya terjadinya kerawanan pangan dan kelaparan disebabkan masalah kekurangan pangan akibat antara lain: (1) rendahnya ketersediaan pangan dari produksi setempat maupun pasokan dari luar; (2) gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta keamanan distribusi; (3) terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah/daerah terisolasi; (4) kegagalan produksi pangan; (5) gangguan kondisi sosial.

Munculnya kasus rawan pangan dan gizi menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pangan dan akses terhadap pangan serta konsumsi pangan yang bergizi dan seimbang masih menjadi masalah bagi masyarakat. Terjadinya rawan pangan dikarenakan laju pertumbuhan produksi pangan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk, serta adanya faktor alam, seperti bencana alam, anomali iklim, rusaknya sumberdaya alam dan lingkungan.

Berdasarkan sifatnya kerawanan pangan dibedakan menjadi dua yaitu kerawanan pangan sementara dan kerawanan pangan khronis. Kerawanan pangan sementara terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup pada suatu waktu karena sebab-sebab tertentu yang terjadi secara mendadak seperti bencana alam. Kerawanan pangan khronis terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup dalam jangka waktu yang lama.

Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah akan berdampak pada terjadinya kelaparan dimana individu tidak mampu memenuhi 70 % dari kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selama 2 bulan dan diikuti dengan penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau masalah ketersediaan pangan.

Dampak dari kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi pada skala makro dan skala mikro. Pada skala mikro dampaknya terhadap semua kelompok umur yaitu para orang tua, orang dewasa, anak-anak, bayi dan para wanita termasuk juga wanita hamil. Berbagai dampak yang ditimbulkan  sebagai berikut:

(1)   Malnutrisi pada orang tua disebabkan kekurangan makanan dan penurunan kesehatan, menyebabkan kesempatan bekerja & pendapatan menurun dan umur harapan hidup rendah

(2)   Penurunan derajat kesehatan dan kemampuan fisik usia produktif. Kesakitan meningkat, absensi meningkat, pertumbuhan & daya tangkap menurun, kesegaran

Page 4: PENANGANAN RAWAN PANGAN

fisik menurun, prestasi oleh raga jelek, interaksi sosial kurang, kriminalitas meningkat

(3)   Malnutrisi pada wanita hamil dan meningkatnya angka kematian ibu, perkembangan otak janin dan pertumbuhan terhambat,  berat bayi ahir rendah

(4)   Penurunan derajad kesehatan pada anak-anak, keterbelakangan mental, penyapihan yang tidak cukup waktu sehingga mudah terkena infeksi serta kekurangan makanan.

(5)   Penurunan berat badan bayi, meningkatnya angka kematian, terganggunya perkembangan mental dan meningkatnya resiko terkena penyakit kronis setelah dewasa.

Sedangkan dampak yang terjadi pada skala makro, adalah  timbulnya permasalahan pada kehidupan masyarakat,  dengan ditandai sulitnya mata pencaharian, daya beli masyarakat menurun tajam yang kemudian dapat menjadi penyebab tingginya tingkat kriminalitas seperti pencurian, perampokan dan lain sebagainya. Akibat yang lebih membahayakan lagi adalah, dimana setiap individu berupaya untuk memperoleh kebutuhan hidup tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, sehingga dapat menimbulkan perpecahan  di masyarakat.

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KERAWANAN PANGAN

1.      Sistem kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dimaksudkan sebagai rangkaian kegiatan pengamatan situasi pangan dan gizi melalui penyediaan data/informasi, pengolahan data, dan analisis serta rencana intervensi untuk penanganan masalah gangguan pangan dan gizi. SKPG merupakan suatu sistem pendeteksian dan pengelolaan informasi tentang situasi pangan dan gizi, yang berjalan terus menerus.  Oleh karena itu penerapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi diharapkan dapat diandalkan sebagai alat pemantauan dini, pengolahan dan analisis data, peramalan, pemetaan, maupun perencanaan penanggulangan/intervensi masalah kerawanan pangan dan gizi dengan mengoptimalkan koordinasi lintas sektor.

Melalui kegiatan analisis situasi pangan dan gizi yang didasarkan pada data laporan rutin yang tersedia, atau berdasar hasil survei-survei khusus, dapat dijadikan bahan pengambilan Keputusan ataupun Tindakan Penanganan  Masalah Krisis Pangan dan Gizi. Informasi yang dihasilkan menjadi dasar perencanaan, penentuan kebijakan, koordinasi program dan kegiatan penanggulangan kerawanan pangan dan gizi serta evaluasi program jangka panjang maupun program jangka pendek.

Informasi yang dihasilkan dari penerapan SKPG melalui tindakan peramalan secara berkala dapat dijadikan bahan tindakan prefentif terhadap produksi pangan, dengan

Page 5: PENANGANAN RAWAN PANGAN

mewaspadai situasi, melakukan  pemantauan tanda-tanda secara intensif Selain itu dipergunakan apabila terjadi ancaman terjadinya krisis pangan, dengan melakukan analisis Indikator dan, krisis pangan/ kelaparan tingkat rumah tangga, gizi kurang dan gizi buruk,

Dengan terjadinya krisis pangan akibat kekeringan, banjir, serangan hama dan penyakit membawa dampak yang memberatkan kehidupan masyarakat, terutama yang tidak memiliki ketahanan ekonomi termasuk para petani di pedesaan yang ikut dalam proses produksi. Untuk menanggulangi dampak krisis tersebut dilaksanakan langkah mendesak melalui intervensi. Jenis intervensi sebagai upaya penanggulangan masalah pangan ditetapkan berdasarkan jenis masalah dengan memperhatikan keadaan daerah.

Melalui kegiatan SKPG dilakukan identifikasi dan inventarisasi daerah rawan pangan kronis dan transient secara dini, sehingga dapat diketahui daerah dan kelompok masyarakat tani (beberapa kelompoktani) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya dan sebab-sebab terjadinya kerawanan pangan

2.      Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan (PDRP)

Kegiatan penanganan daerah rawan pangan telah dimulai sejak tahun 2002 dalam bentuk kegiatan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan (PDRP). Pada tahun berikutnya PDRP tidak lagi dalam bentuk BLM, akan tetapi merupakan kegiatan bantuan kepada masyarakat yang mengalami rawan pangan karena terkena dampak  bencana.

PDRP tahun 2004 selain sudah diberikan batasan-batasan dalam Pedoman Umum Program Peningkatan Ketahanan Pangan TA 2004 tentang bentuk bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam pemanfaatan dana PDRP, masih dipandang perlu untuk memberikan Pedomam Umum Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan Tahun 2004.

Pada tahun 2006  alokasi dana dikabupaten digabungkan dengan dana kegiatan Desa Mandiri Pangan yaitu rata-rata sebesar Rp.50 juta. Pemanfaatan dana di kabupaten adalah Rp.25 juta untuk kegiatan identifikasi melalui penerapan SKPG dan Rp.25 juta untuk keperluan intervensi.

Bagi kabupaten yang tidak terdapat alokasi dana Tugas Pembantuan, maka  dananya dititipkan di provinsi berupa dana dekonsentrasi yang besarnya bervariasi sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan. Bagi daerah yang tidak ada alokasi dana Tugas Pembantuan tugas, apabila terjadi kerawanan pangan maka dana sebesar Rp.25 juta yang dititipkan di provinsi dapat dipergunakan.

   Pada tahun 2006 akan diselenggarakan Workshop Penguatan PDRP  dalam rangka menyempurnakan Pedum PDRP yang sebelumnya dijadikan acuan dalam pelaksanaan PDRP.

Page 6: PENANGANAN RAWAN PANGAN

3.      Koordinasi Penanganan Kerawanan di Papua, NTB dan NTT

Tiga propinsi yang cukup menonjol masalah kerawanan pangan dan perlu diupayakan penanganannya melalui koordinasi yang baik dengan melibatkan berbagai instansi terkait antara lain di propinsi Papua, khususnya di Yahukimo, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Fokus kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mengindentifikasi masalah rawan pangan dan gizi buruk, menginventarisasi upaya yang telah dilakukan, mengindentifikasi kebutuhan akan bantuan yang diperlukan, melakukan intervensi terbatas sebagai pemicu stakeholder untuk melakukan hal serupa dan sebagai acuan dalam menghapuskan kerawanan pangan.

a.      Penanganan di Papua (Yahukimo)

   Berdasarkan laporan yang dihimpun, pada dasarnya di Yahukimo belum ada masalah kesehatan yang terkait dengan busung lapar, namun ada indikasi kekurangan bahan pangan. Hal tersebut ditandai dengan dikonsumsinya sayur-sayuran dan buah-buahan dari hutan, karena kebun yang ditanami belum menghasilkan. Sedangkan kasus kematian yang dilaporkan disebabkan karena dehidrasi diare, penyakit ispa dan malaria. Beberapa anak juga diindikasikan mengalami gizi kurang dan kekurangan vitamin.

   Untuk mengatasi masalah di Yahukimo telah dilakukan koordinasi penanganan lintas sektoral dengan fokus kegiatan seperti : penataan pemukiman, pengembangan infrastruktur, pembangunan pertanian dan cadangan pangan, penguatan/pemberdayaan kapasitas kelembagaan masyarakat. Rencana yang akan dilakukan dalam jangka menengah adalah pemukiman kembali masyarakat lokal yang tersebar dengan memberikan bantuan perumahan dan pembangunan infrastrtuktur pedesaan, serta bantuan saprodi. Kegiatan lainya adalah pengembangan pangan alternatif (jagung, talas dan sukun), peningkatan pelayanan medis dan penyuluhan pertanian serta pengelolaan cadangan pangan. Rencana jangka panjang adalah peningkatan kemampuan produksi pangan, pengelolaan cadangan pangan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Rencana tersebut diimplementasikan melalui kegiatan perbaikan dan pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan, pembangunan dan perbaikan sistem usahatani, pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan, pembangunan infrastruktur penelitian lapangan, peningkatan kemampuan masyarakat dan aparat dalam mengelola usahatani dan lumbung pangan serta revitalisasi TPG.

b.      Penanganan di Nusa Tenggara Barat

Masalah yang timbul di NTB adalah gizi kurang. Sampai dengan Juni 2005 tercatat 1.355 balita mengalami gizi kurang, 1.300 gizi buruk, termasuk 596 balita mengalami marasmus, 22 balita mengalami kwashiorkor, dan 17 balita mengalami kasus marasmus – kwashiorkor.

Page 7: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Upaya penanganan balita gizi kurang dan gizi buruk memerlukan pendekatan menyeluruh melalui tahapan pencegahan, tanggap darurat dan rehabilitasi konstruksi. Yang pelaksanaannya harus berkoordinasi antar instansi terkait. Fokus kegiatan yang jangka menengah dan jangka panjang adalah peningkatan ekonomi dan perbaikan konsumsi gizi rumah tangga. Dalam jangka menengah fokus kegiatannya adalah penyediaan sarana produksi dan pengembangan pekarangan, penyebaran ternak ayam dan kambing, gerakan diversifikasi pangan dan gizi, revitalisasi TPG, replikasi kegiatan PIDRA, SPFS dan Desa Mandiri Pangan. Fokus pembangunan jangka panjang adalah perbaikan infrastruktur pedesaan, pengembangan lumbung pangan masyarakat, pangan olahan dan olahannya, pengembangan tanaman bernilai ekonomi (sukun, nangka, mangga dan jambu mete), pengembangan warung desa sebagai sarana promosi pangan beragam dan bergizi seimbang, melanjutkan kegiatan PIDRA, SPFS dan Desa Mandiri Pangan.

c.       Penanganan di Nusa Tenggara Timur

Masalah penyebab gizi buruk dan rawan pangan lebih kompleks karena menyangkut masalah kekeringan dan kemiskinan serta faktor lain seperti pemahaman soal gizi seimbang dan lainnya. Jumlah penderita gizi buruk 11.440 orang dengan rincian mengalami marasmus 292 orang, kwashiorkor 1 orang dan marasmus-kwashiorkor 4 orang (Juni 2005).

Dalam rangka mengatasi masalah gizi buruk dan rawan pangan, fokus kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas produksi pangan dan peningkatan pendapatan ekonomi rumah tangga. Untuk jangka menengah kegiatan yang dilaksanakan adalah penguatan dan pengembangan kapasitas produksi pangan melalui bantuan benih padi, jagung, kacang tanah dan kacang hijau, serta bantuan sarana produksi pertanian. Selain hal tersebut, dilakukan upaya pemanfaatan lahan pekarangan, pengembangan usaha pasca panen dan pengolahan, pengembangan usaha pasca panen dan pengolahan, pengembangan usaha non farm (padat karya), revitalisasi TPG serta replikasi kegiatan PIDRA dan Desa Mandiri Pangan.

Pada tanggal 18 Nopember 2005 Wakil Presiden telah melaunching penanganan bantuan rawan pangan dan gizi buruk di desa Tesabela kabupaten Kupang dengan alokasi anggaran penanganan/intervensi penanggulangan kerawanan pangan dan gizi buruk yang dihimpun dari berbagai instansi terkait mencapai Rp.334.797.761.500.

Untuk efektifitas pelaksanaan kegiatan di tingkat pusat telah dibentuk Tim Koordinasi Penanganan Gizi Buruk dan Rawan Pangan dengan penanggung jawab Menteri Pertanian, Ketua Pelaksana Kepala Badan Ketahanan Pangan, dan anggota dari berbagai instansi terkait. Tim yang sama juga dibentuk di tingkat propinsi dan kabupaten.

Page 8: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Jumat, 22 Februari, 2002 oleh: Gsianturi

Daerah Rawan Pangan dan Gizi dan Kompensasi Dana BBMGizi.net - Atasi Rawan Pangan

Dana Kompensasi BBM Diarahkan ke Bengkulu

Dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) boleh diprioritaskan ke daerah rawan pangan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Selain itu, 2.000 warga Kecamatan Bermani Ilir, Kabupaten Rejang Lebong, yang kurang mampu membeli beras, dapat dimasukkan dalam program Jaring Pengaman Sosial (JPS) agar mereka dapat membeli beras dengan harga amat murah dan memperoleh pendidikan gratis.

Pernyataan ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla ketika dihubungi di Kota Mekkah, Arab Saudi, Rabu (20/2). Jusuf Kalla berada di Kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menurut rencana akan kembali ke Tanah Air pada akhir Februari.

Seperti diberitakan Rabu, sedikitnya 2.000 warga Desa Kembang Seri, Desa Limbur Lama, Desa Cinta Mandi, Kecamatan Bermani Ilir, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, sudah empat bulan mengonsumsi gadung atau umbi hutan beracun karena tak mampu lagi membeli beras. Warga di daerah produsen kopi ini mengalami kerawanan pangan setelah harga komoditas tersebut jatuh.

Jusuf Kalla menekankan, pemerintah pusat perlu memperoleh data atau informasi lebih detail tentang kerawanan pangan di wilayah itu. Perlu diketahui pula apakah kerawanan itu karena gagal panen, tanaman diganggu hama, produk pertanian yang dihasilkan jatuh harganya, atau ada sebab-sebab lain sehingga sebagian masyarakat tak mampu membeli beras.

Kalau soal hama, produk dan harga komoditas jatuh, berarti ini bukan kejadian tiba-tiba. Peristiwa ini mestinya sudah dapat diketahui atau dapat diprediksi sekian lama sebelumnya. Karena itulah, tambah Kalla, dibutuhkan data lebih lengkap.

"Pejabat berwenang di daerah, misalnya bupati dan gubernur, mestinya juga yang pertama menangani masalah ini. Dan, kalau soal ini diungkapkan, bukan untuk menghindari pekerjaan atau memanjangkan birokrasi. Sama sekali bukan begitu. Akan tetapi, harap diingat, sekarang ini zamannya otonomi daerah," tutur Kalla.

Namun, dengan cepat, ia menyebutkan bahwa pihaknya siap segera mengucurkan bantuan. Ia bahkan telah meminta sejumlah stafnya untuk mengecek peristiwa menyedihkan di Bengkulu itu dan mengambil langkah-langkah cepat yang dibutuhkan.

Untuk membantu warga yang terkena rawan pangan ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu telah menyalurkan bantuan 7,5 ton beras. Bantuan juga diberikan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Rejang Lebong sebanyak 15 ton dalam dua kali pengiriman.

Namun, bantuan itu hanya cukup untuk meragamkan makanan warga beberapa hari saja. Kini warga tiga desa di Rejang Lebong itu kembali melewati hari-hari mereka tanpa beras.

Jual perabot

Page 9: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Dari kunjungan ke beberapa desa di Kecamatan Bermani Ilir, Selasa, kondisi kesulitan pangan sangat tergambar dari upaya warga untuk menjual berbagai peralatan rumah tangga mereka dengan harga murah, sekadar untuk membeli beras, minyak tanah, gula, dan barang kebutuhan sehari-hari lainnya.

Barang-barang seperti magic jar, lemari es, televisi, sepeda motor, rela mereka lepas dengan harga murah. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh beberapa orang dari Bengkulu untuk mendapatkan barang-barang murah. Magic jar, misalnya, bisa dilepas dengan harga Rp 20.000, televisi berwarna 14 inci cuma Rp 100.000. Padahal, dua tahun lalu barang-barang itu mereka beli dengan sangat mudah, meskipun harganya mahal.

Bahkan, ada juga warga yang menawarkan rumahnya untuk dijual, dengan memasang "iklan" rumah dijual di dinding depannya. "Tapi, dalam kondisi seperti ini, siapa yang mau beli rumah yang jauh dari mana-mana. Itulah gambaran betapa sudah frustrasinya masyarakat," ungkap Kepala Desa Limbur Lama Syarkawi HD.

"Ini seperti kembali ke zaman Jepang. Dulu orang makan gadung karena memang tidak ada beras. Sekarang ini beras ada, tapi kami tidak mampu membelinya," tambah M Rasyid, tokoh agama Desa Limbur Lama yang memasuki usia 67 tahun.

Ia menambahkan, hanya karena terpaksalah, sejak empat bulan lalu banyak warga harus makan gadung setiap hari. Kadang gadung itu ditumbuk halus setelah dikeringkan, untuk diolah menjadi bubur bagi anak-anak. Tidak jarang gadung dikeringkan menjadi kerupuk atau dibiarkan basah untuk kemudian dimasak dengan cara dikukus.

Kondisi desa yang biasanya sepi, karena ditinggal banyak warganya ke ladang, kini justru ramai karena tidak ada lagi yang bisa mereka dapatkan di ladang. Para bapak pun kini ikut sibuk mengolah gadung di halaman rumah mereka atau di sungai.

Butuh bantuan

Sekretaris Kecamatan Bermani Ilir Arsan Yasad mengemukakan, dalam waktu dekat ini tampaknya belum akan ada bantuan dari pemerintah kabupaten. Namun, masyarakat memang masih menunggu bantuan beras, baik dari provinsi maupun dari pemerintah pusat.

"Program yang sudah disiapkan pemerintah kabupaten adalah untuk bulan Juni-Juli, yaitu program penanaman palawija. Untuk sekarang ini, belum ada program karena sekarang ini warga menghadapi musim panen kopi. Artinya, penghasilan dari kopi diharapkan akan semakin bertambah meskipun disadari itu tidak bisa mengalahkan kondisi rawan pangan mereka. Paling tidak, kondisi menjelang panen raya yang akan jatuh sekitar April-Mei ini bisa membantu mereka untuk sementara waktu," ungkap Arsan. (as/oki/har)

Sumber: Kompas, Kamis, 21 Februari 2002

Page 10: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Minggu, 31 Januari 2010Atasi Rawan Pangan, Enam Desa Dapat Injeksi Beras

Walaupun belum ada tanda-tanda rawan pangan, namun, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian (BKP3) Kabupaten Alor sudah melakukan antisipasi sejak awal. Lembaga yang diarsitek Kepala BKP3, Ir.Johannis B.N.Francis itu, di akhir tahun 2009 lalu mendapat alokasi dana untuk kegiatan penaganan daerah rawan pangan.

Kegiatan in i secara teknis diimplementasikan dengan mengacu pada metode sistim kewaspadaan pangan dan gisi (SKPG). Antisipasi rawan pangan ini diawali dengan peramalan dan analisis serta klasifikasi kondisi daerah beresiko rawan pangan di setiap desa yang akan menjadi fokus/prioritas untuk mendapat suport bantuan tersebut.

Hal ini disampaikan Kepala BKP3 Kabupaten Alor, Ir. Johanis B.N.Francis, melalui Rukiah Oramahi, S.Pt, MP, Kabid Kewaspadaan dan Konsumsi Pangan BKP3 Kabupaten Alor. Rukiah Oramahi yang ditemui di sela-sela kegiatan Jumat bersih di Taman Kota Kalabahi, Jumat (8/1/2010) lalu, menjelaskan, program ini dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Propinsi melalui BKP3 Alor. Pelaksanaan program ini, jelasnya, mempertimbangkan beberapa asapek antara lain, bencana, kekeringan, banjir, angin taufan, tanah longsor, serangan organisme penggangu tanaman yang menyebabkan terjadinya gagal tanam, gagal panen maupun puso dari berbagai komoditi pertanian. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya ganguan/ penurunan produksi pangan yang berimplikasi pada rawan pangan bahkan gisi buruk. Kabid Oramahi, menambahkan, langkah-langkah penanggulangan darurat di masyarakat yang mengalami rawan pangan difokuskan pada bantuan pangan maupun sarana produksi, yang mana disesuaikan dengan penyebab, dampak dan kebutuhan masyarakat (needs and impact public). Intervensi daerah rawan pangan, kata dia, merupakan bentuk kegiatan (action) yang diarahkan untuk membantu memulihkan (rehabilitation) kondisi masyarakat terhadap akses pangan pada kondisi darurat akibat bencana alam maupun faktor penyebab lainya. Interfensi daerah rawan pangan, lanjutnya, merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam upaya meringankan beban masyarakat /rumah tangga yang mengalami rawan pangan dan gisi buruk. Bantuan ini menjadi tanggung jawab dan di fasilitasi oleh bidang kewaspadaan dan konsumsi pangan BKP3 Alor. Ini dilakukan setelah diseleksi semua adaministrasi maupun persyaratan dari kelompok penerima bantuan tersebut. Diharapkan, bantuan intervensi daerah rawan pangan ini dapat memberikan manfaat (benefit) dalam membantu penyediaan pangan masyarakat untuk mengatasi kerawanan pangan, gisi buruk maupun kelaparan. Kabid Oramahi, mengatakan, tujuan dari program ini adalah membuka akses pangan kepada masyarakat dan menanggulangi kekurangan pangan di rumah tangga, memberdayakan kelompok masyarakat rawan pangan melalui usaha pertanian secara berkesinambungan. Dikatakannya, untuk menghindari

Page 11: PENANGANAN RAWAN PANGAN

terjadinya keseimbangan sosial (social equibilirium) dan kecemburuan sosial di masyarakat, maka sasaran kegiatan inteervensi daerah rawan pangan adalah masyarakat beresiko rawan pangan maupun gisi buruk yang arasnya ditentukan secara obyektif dan porposional berdasarkan hasil identifikasi/analisi indikator sistim kewaspadaan pangan dan gisi serta kondisi riil di lapangan atau desa dengan berpijak pada sejumlah kriteria. Kriteria yang dimaksudkannya adalah masyarakat/ rumah tangga yang mengalami rawan pangan/ beresiko rawan pangan hasil analisis indikator seperti kekeringan, banjir, gagal panen, serangan organisme penggangu tanaman, serta kelompok masyarakat yang belum mendapat bantuan dari sumber lain. Ditanya tentang sumber dana untuk kegiatan ini, jelas Kabid Rukiah Oramahi, bersumber dari APBN tahun anggaran 2009 sebesar Rp. 25 juta dan APBD Propinsi NTT tahun anggaran 2009 sebesar Rp. 30 juta. Kegiatanya telah di realisasikan oleh bidang kewaspadaan dan konsumsi pangan pada awal Januari 2010 dengan rincian setelah pengadaan beras maka didistribusikan 20 kg per kepala keluarga. Magister Pertanian ini juga menjelaskan tentang enam desa penerima dana pengadaan beras untuk kegiatan intervensi daerah rawan pangan antara lain; Desa Elok Kecamatan Alor Timur, Wolwal Tengah Kecamatan Alor Barat Daya, Pura Utara di Kecamatan Pulau Pura, Mauta di Kcamatan Pantar Tengah, Baolang di Kecamatan Pantar dan Desa Treweng di Kecamatan Pantar Timur. Rukiah Oramahi, mengingatkan, agar kita tidak menialai banyak atau sedikitnya yang diberikan tapi itulah sebuah bentuk kepedulian, perhatian, keberpihakan dari pemerintah kepada masyarakat. “Mari kita bangkitkan semangat juang bersama dalam menyukseskan rawan pangan di daerah ini dengan melestarikan dan memilihara lingkungan. Jika kita ingin panen maka tanamlah saat musimnya tiba. Jika kita mau panen sepanjang masa maka tanam lah pohon-pohonan di lingkungan sekitar kita, karena kalau bukan kita sekarang maka kapan lagi, “ujarnya. ==> oktotefi Diposkan oleh Silvester Nusa di 20:14

Page 12: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Menyebar Ternak di Titik Rawan PanganKategori: Gurat - Dibaca: 1 kali

Malam itu udara tampak bersahabat. Cahaya temaram beberapa lampu minyak menyelisik diantara gelapnya malam. Meski langit cerah, tidak ada cahaya bulan yang datang. Di tengah ruangan masjid, tampak beberapa wanita sibuk menata puluhan bungkusan nasi dengan aroma khas masakan daging kambing.   Bagi masyarakat Dusun Minte, Desa Dadi Bou, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat, malam itu merupakan malam yang spesial. Ada amanah pelaksanaan akikah atas nama ananda Syafiyah Putri Athaya, putri dari Bapak Alamsyah Tari di Jakarta. ”Ini menunjukkan bahwa sesama muslim adalah saudara, seandainya ada banyak saudara kami mengirimkan akikah rutin, tidak hanya pas kurban, kondisi kami akan lebih baik. Masyarakat sini jarang sekali makan daging. Dan suatu kehormatan diberi kepercayaan untuk pelaksanaan ibadah akikah dari Jakarta” ungkap imam masjid, Ustadz Muhammad Landa saat memberikan sambutan.  Seusai memanjatkan doa, acara santap dimulai. ”Gembira dan terharu melihat tujuh puluhan pasang mata menyantap hidangan akikah tersebut. Meski shahibul hajat nun jauh di kota metropilitan, kekhusyuan dan ketulusan mereka seperti menghadirkan secara nyata sang shahibul hajat” kenang Abdul Jabbar, manajer Marketing Kampoeng Ternak Dompet Dhuafa Republika yang ikut hadir dalam acara tersebut.  Lain dari Minte, arah timur menyusuri  lautan Flores, tepatnya di Desa Wakat Ehak, Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata, titik busung lapar. Lebih dari tujuh bulan hujan tidak turun. Tanaman jagung sebagai bahan makanan pokok sudah mengering saat masih muda. Untuk memasak saja harus mengambil air dengan perahu di pulau seberang. Sedangkan untuk mandi, masyarakat Ile Ape mengandalkan air laut.  Saat tim akikah datang, beberapa orang menyambutnya dengan hangat. Maklum, tim ini sudah kenal dekat dengan masyarakat. ”Desa ini adalah satu-satunya desa di pesisir ini yang hampir semua penduduknya muslim. Dan teman-teman inilah yang senantiasa membantu mengembangkan dakwah di daerah ini” jelas tokoh desa kepada anggota tim dari Jakarta.  Sesaat setelah koordinasi kilat, orang-orang bertebaran. Ada yang mencari kayu bakar, peralatan dapur, sebagian mencari ternak kambing yang akan dipotong, dan sebagian menyiapkan ”panggung” untuk acara.  Menjelang malam semua persiapan telah selesai. Tidak kurang dari 50 orang hadir dalam acara malam itu, terutama anak-anak. Untuk memeriahkan acara, Qashidah anak-anak pun ditampilkan. Jadilah acara yang meriah, meski tetap sederhana. ”Jauhnya lokasi dan beratnya medan benar-benar luruh melihat kebersamaan menjalankan amanah dan kebahagiaan berbagi dengan yang membutuhkan” ungkap Bang Arifudin Anwar, mitra pemberdayaan peternak di Nusa Tenggara Timur.  Mula Gagasan

Page 13: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Kurun satu dasawarsa ini, menebar hewan kurban sudah menjadi tradisi banyak lembaga amil zakat (LAZ). Kini, menebar akikah juga mulai ditradisikan. Penggalan kisah di atas merupakan cermin bahwa menebar ternak tidak harus setahun sekali. Bisa rutin, bahkan tiap hari.  Dalam momen kurban, berpuluh bahkan beratus ribu kambing-domba, sapi, dan kerbau menjadi target tiap tahunnya. Jumlah ini terus meningkat tiap tahun. Sementara, pengembangbiakkan populasi ternak sepenuhnya masih diserahkan pada masyarakat secara alami, tanpa rekayasa. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka akan terjadi krisis populasi ternak. Yang dipotong jauh lebih banyak dari yang lahir.  Disisi lain, peternakan merupakan media yang cocok untuk pemberdayaan kaum dhuafa dengan tujuh alasan : Pertama, penopang utama populasi ternak adalah peternakan rakyat yang didominasi oleh peternakan skala rumah tangga. Kedua, beternak sudah menjadi keahlian turun temurun. Bukanlah hal yang sulit untuk dipelajari. Ketiga, potensi alam untuk peternakan sangat melimpah. Keempat, permintaan pasar yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kelima, ternak bagi petani juga berfungsi sebagai tabungan (saving) yang dapat digunakan pada waktu kebutuhan mendesak. Keenam, di daerah yang relatif kering dan tandus seperti daerah rawan pangan di NTT, ternak masih dapat hidup dengan baik ketika tanaman-tanaman sudah lama mengering. Dalam kondisi seperti ini, penghasilan dari ternak merupakan satu-satunya solusi. Ketujuh, pengembangbiakan ternak ini adalah upaya untuk melestarikan kekayaan ternak lokal Indonesia.  Alasan tersebut yang memicu Dompet Dhuafa (DD) merilis Kampoeng Ternak sebagai jejaring yang mengembangkan pemberdayaan peternak. Hingga paruh pertama 2005 ini Kampoeng Ternak telah menjangkau 15 propinsi mulai dari Aceh hingga Papua.  Konsep PemberdayaanPemberdayaan peternak dibangun dengan pembentukan kelompok-kelompok peternak di daerah-daerah bidikan. Kriteria sasaran adalah mustahik, mampu memelihara ternak, dan lingkungan mendukung untuk pemeliharaan ternak. Selama proses pembentukan kelompok hingga perjalanan beternak, mereka akan didampingi secara intensif oleh pendamping yang disiapkan secara khusus.  Selain mendapatkan ternak, kelompok juga mendapatkan dukungan pembuatan kandang, obat-obatan, dan bibit rumput jika diperlukan. Di beberapa kelompok, sewa lahan untuk kandang juga difasilitasi. Jenis ternak diutamakan dari jenis ternak lokal, seperti Domba Garut di Jawa Barat, Domba Ekor Gemuk di Jawa Timur, Kambing kacang dan ’wedus gembel’ di Jawa Tengah, Jogja dan Jawa Timur serta Kambing Peranakan Etawah di Lampung dan Jawa Tengah.   Sapi dikembangkan di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, dan Papua. Walhasil, di masa mendatang, daerah-daerah ini diharapkan akan tumbuh menjadi sentra produksi peternakan yang berbasis pada peternakan rakyat. 

Page 14: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Pola kemitraan menggunakan konsep bagi hasil 50:50 atau 60:40. Bagian 40% untuk Kampoeng Ternak digunakan kembali untuk mengembangkan kelompok dan pembiayaan kegiatan pendampingan. Pendampingan sendiri tidak terbatas pada pendampingan peternakan, tetapi juga menekankan pembiasaan etos kerja, pelaksanaan tuntunan agama, kebiasaan hidup sehat, dan penumbuhan kepedulian serta kebersamaan diantara kelompok secara khusus dan masyarakat pada umumnya.  Untuk membingkai sentra-sentra produksi ternak tersebut, Kampoeng Ternak juga membangun jaringan pemasaran ternak (Marketing Board). Fungsinya selain menjamin pemasaran bagi produk ternak, juga memberikan advokasi kepada pemerintah agar kebijakan peternakan senantiasa kondusif untuk pengembangan peternakan rakyat.  PenutupDengan program ini saudara-saudara kita di daerah-daerah rawan mendapatkan alternatif matapencaharian untuk ketahanan pangan mereka. Pun mereka dapat menikmati kelezatan daging yang seringkali mereka makan hanya pada saat hari raya kurban, itu pun jika ada ”kiriman” pekurban dari daerah lain.  Semakin banyak jumlah dan sebaran program seperti ini kita berharap nikmatnya Zakat dapat dirasakan oleh mustahik dan muzakki. Semoga kandang-kandang dan keratan-keratan daging yang tersebar menjadi saksi kepedulian dan persaudaraan yang semakin kokoh. Zakat benar-benar menjadi keberkahan.

Page 15: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Pemerintah Salurkan Rp132 Miliar Lebih Untuk Atasi Rawan PanganPosted by Redaksi on Desember 16, 2009 · Leave a Comment 

MEDAN (Berita): Sejak diluncurkan tahun 2006 hingga sekarang, pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan (BKP) Pusat sudah menyalurkan Rp132 miliar lebih untuk mengatasi ribuan desa rawan pangan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sekretaris BKP Pusat melalui Kabag Perencanaan Ir Agus Widodo mengatakan hal itu kepada wartawan di sela acara ‘Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Propinsi dengan kabupaen/kota se-Sumatera Utara’ di Hotel Madani Medan Rabu [16/12]  siang  tadi. Saat itu dia didampingi staf BKP Sumut Ir Erpison.

Hadir disana Kepala BKP Sumut Ir Setyo Purwadi, MM, Ketua Komisi B DPRD Sumut, Ketua Tim Teknis Dewan Ketahanan Pagan (DKP) Propsu Prof Dr Ir Bilter Sirait, MSc dan peserta dari BKP maupun DKP  kabupaten/kota se-Sumut.

Agus memaparkan dana itu khusus diberikan sebagai sasaran pengurangan rawan pangan di Indonesia. Tahun ini baru dilakukan kepada 1.750 desa dan  tahun 2014 bertambah menjadi 5.000 desa.  Upaya yang dilakukan untuk pengurangan rawan pangan antara lain melalui pengendalian kelompok-kelompok rawan pangan sebesar Rp100 juta per kelompok. Satu kelompok terdiri dari 5 sub kelompok beranggotakan sekira 100 orang. Jadi total dana yang diluncurkan sekira Rp132 juta lebih.

Menurut dia, sejak diluncurkan pengendalian rawan pangan, tercatat hampir 10 persen sudah dianggap tidak rawan pangan lagi.  Dari 1.750 desa maka ada 122 desa yang sudah selesai rawan pangannya melalui pemberdayaan desa mandiri pangan. Sedangkan untuk Sumut, ada 60 desa rawan pangan yang kini terus dibina menjadi desa mandiri pangan.

Selain upaya rawan pangan, pemerintah juga membuat program percepatan penganekaragaman pangan untuk tahun 2010 ditargetkan sebanyak 2.000 desa dan tahun 2011 bertambah menjadi 19.000 desa. Jadi target ketahanan pangan sasarannya ada dua yakni pengurangan daerah rawan pangan melalui desa mandiri pangan dan daerah sentra produksi melalui Lembaga Penguatan Distribusi Pangan (LPDP) yang dulu namanya Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP).

BKP sendiri, jelas Agus, target 2010-2011 antara lain peningkatan swasembada pangan dan diversifikasi pangan. Untuk berbagai komoditi sudah swasembada seperti beras dan jagung. Sedangkan gula, daging sapi dan kedelai masih banyak diimpor dari luar negeri, padahal potensi untuk menanam cukup besar di Indoesia.

“Yang sangat penting lagi, pengembangan cadangan pangan  di mana masyarakat melalui lumbung-lumbung warga dan pemerintah melalui Bulog,” terangnya. Gubsu dalam sambutan tertulis dibacakan tertulis dibacakan Kepala BKP Sumut Ir Setyo Purwadi mengatakan kebijakan program peningkatan ketahanan pangan tahun 2011 tak bisa lepas dari kondisi tahun 2010. Pembangunan ketahanan pangan akan difokuskan untuk

Page 16: PENANGANAN RAWAN PANGAN

mewujudkan ‘rakyat tidak lapar’, yang merupakan komitmen dasar visi dan misi Gubsu/Wagub tahun 2008-2012.

Menurut Gubsu, komitmen dasar itu juga telah menjadi komitmen bersama antara Pemprov dan Pemkab/Pemko yang ditandai dengan kesepakatan bersama Gubsu, bupati dan walikota pada peringatan hari pangan sedunia tingkat Sumut di halaman kantor BKP pada 3 Desember 2009. “Perwujudan rakyat tidak lapar di Sumut akan dicapai melalui aksi Gema Pangan dan swasembada pangan,” tulis Gubsu.

Tahun 2011, kata Gubsu, sasaran pembangunan ketahanan pangan haruslah mampu menghasilkan ketersediaan energi minimal 2.200 Kkal/kapita/hari sesuai angka kecukupan gizi dengan skor  pola pangan harapan (PPH) minimal 80. Sebab saat ini masih ditemukan sebagian masyarakat kita dengan konsumsi di bawah 1.400 Kkal/kapita/hari.

Page 17: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Daerah Rawan Pangan Terima Modal Rp40 M

17 Dec 2009

Berita Kota

Nasional

BANDUNG. BK

Pemerintan Provinsijawa Barat Pemprovjabar) menyerahkan bantuan modal usaha Rp40 miliar

kepada 1.200 kelompok masyarakat di daerah rawan pangan. Bantuan kepada 850 desa di 26

kabupaten/ kota se-Jabar tersehut untuk program Pemberdayaan Ekonomi Kelompok

Masyarakat (PEKM)

Menurut Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Rabu (16/12), ketersediaan dan ketahanan pangan

merupakan fokus pembangunan di Jabar. Sebab itu, kemandirian pangan menjadi agenda

utama yang harus dicapai. "Mendorong desa mandiri pa ngan dan lumbung pangan adalah hal

yang harus diwujudkan," katanya.

Dijelaskan, saat ini Jabar memberikan kontribusi produksi beras nasional mencapai 18% dan

menjadi produsen beras tingkat pertama nasional pada 2008. Untuk itu, kepada semua

stakeholder. Heryawan meminta supaya memantapkan program ketahanan pangan melalui

pengembangan desa mandiri dan lumbung pangan serta pencadangan pangan pemerintah,

baik provinsi maupun kabupaten kota

Sementara itu. Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Jabar Lucki Rulyaman menjelaskan,

penerima bantuan modal itu adalah 49 Lembaga Distribusi Pangan Mayarakat (LDPM), 767 Ke

lompok Usaha Ekonomi Produktif (KLKP), II kelompok pengolah organik, 165 kelompok

lumbung pangan, 10 komite sekolah dan kerjasama pengadaan beras cadangan pangan

daerah.

Page 18: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Revitalisasi Peran Lumbung Desa untuk Atasi Rawan Pangan

Oleh Posman Sibuea

ENTAH siapa yang paling beruntung dalam bisnis impor beras "Spanyol"-meminjam istilah yang digunakan Kompas-alias separuh nyolong, tepatnya mendatangkan beras secara ilegal dengan mencuri tarif impor, yang jumlahnya sekitar 800.000 ton. Yang jelas, rakyat kecil yang konon makin miskin tak pernah "menikmati" gurihnya beras impor yang kehadirannya di Tanah Air selalu meninggalkan masalah. Buktinya, impor beras sepanjang tahun 2000 yang jumlahnya mencapai 2,6 juta ton-yang tercatat di Badan Urusan Logistik (Bulog), lumbung pangan masa kini-tak cukup tangguh mengatasi rawan pangan yang makin kerap menyengsarakan rakyat kecil.

Mengimpor beras besar-besaran agar rakyat makan nasi tiga kali sehari ternyata tak cukup sakti menepis rawan pangan yang selalu berulang setiap tahun. Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dan Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, merupakan contoh daerah yang penduduknya dilaporkan mengalami rawan pangan (Kompas, 7/4 dan 20/2/2002). Kedua daerah ini hanya merupakan puncak gunung es, dalam arti yang tampak baru satu dua saja. Padahal, bila ada satu kasus rawan pangan, itu berarti ada seratus kasus yang sama tidak dilaporkan karena berbagai alasan.

Ketidakmampuan pemerintah mengatasi rawan pangan dan peran Bulog hanya sebatas stabilisator harga. Dalam konteks demikian ketahanan pangan tradisional lewat lumbung desa yang dikelola masyarakat desa bisa dihidupkan kembali.

Mengapa hilang?

Sayang, dengan makin merosotnya nilai tukar petani belakangan ini mengakibatkan mereka tak sempat lagi menyisihkan sebagian padinya untuk disimpan di lumbung desa. Budaya petani menyimpan padi di lumbung untuk stok pangan saat musim paceklik makin hilang ditelan waktu.

Seharusnya, sebagai institusi sosial ekonomi yang tumbuh dari masyarakat petani, pemerintah terus membina dan mendorong pengembangan lumbung desa, sebab memiliki potensi besar sebagai basis perekonomian masyarakat desa. Lantas, mengapa pemerintah tidak mendorong pengembangan kelembagaan ini? Alasan berikut mungkin menjadi penyebabnya. Pertama, mitologi Dewi Sri yang konon sakti untuk menaungi tanaman padi sehingga mengondisikan sikap petani harus sopan dan lemah lembut terhadap padi agar sang dewi padi tidak murka dan selalu berkenan menganugerahkan hasil panen yang baik dan menjadikan lumbung petani tetap terisi, makin dilupakan. Kini, petani tidak perlu lagi melakukan upacara adat petik saat akan memulai panen padi. Kedua, ada anggapan dari pemerintah, dengan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, rawan pangan akan dapat teratasi. Ketiga, introduksi bibit unggul, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit dapat meningkatkan produksi. Keempat, dengan produksi yang melimpah ini, lumbung desa tak dibutuhkan lagi, tetapi yang lebih mendesak adalah lumbung pangan nasional yang dikelola secara modern bernama Bulog.

Namun, Bulog yang diberi berbagai fasilitas dan diharapkan dapat mengganti peran lumbung desa yang dianggap kuno, jauh dari harapan. Pada saat musim paceklik, Bulog tidak sigap menjalankan fungsinya menyalurkan beras ke daerah rawan pangan. Dalam arti, tak mampu menjamin perputaran beras dari desa kembali ke desa. Demikian juga intensifikasi tak mampu lagi meningkatkan produktivitas lahan sawah padi.

Pertanyaan yang masih mengganjal, bagaimana merevitalisasi lumbung desa (padi dan pangan lainnya) di tengah makin bertambahnya jumlah petani berlahan sempit alias gurem dan penggunaan teknologi pertanian yang sudah ketinggalan zaman? Kedua faktor utama inilah yang menjadi akar kemiskinan di sektor pertanian kita.

Page 19: PENANGANAN RAWAN PANGAN

Pertama-tama harus dipahami bersama, petani gurem yang pemilikan lahan sawahnya makin lama makin menyempit tidak bisa dibiarkan terus demikian, tetapi harus diinternalisasi dalam konsep konsolidasi lahan. Jika tidak, Indonesia akan menghadapi malapetaka di bidang pangan tiga puluh tahun mendatang, sebab saat itu diperkirakan jumlah penduduk sudah mendekati 400 juta jiwa.

Upaya konsolidasi lahan ini harus didorong pemerintah lewat penyelenggaran corporate farming (CF) yang realistis. Lahan persawahan yang sempit dikonsolidasikan menjadi suatu hamparan yang luasnya menjadi puluhan hektar sehingga produktivitas lahan bisa ditingkatkan. Bila ini terjadi, penggunaan mesin dan peralatan mesin pertanian secara intensif untuk menggantikan kekurangan tenaga kerja terutama dalam pengolahan tanah dan pemanenan dapat lebih efisien.

Tampaknya tak bisa ditawar lagi, reformasi pertanian harus dilakukan guna mendorong petani makin produktif mengusahakan lahan sawah lebih luas, didukung penguasaan teknologi pertanian yang lebih maju. Bila reformasi pertanian dilakukan melalui program corporate farming akan diperoleh hamparan lahan sawah luas tanpa dibatasi pematang dan memungkinkan penerapan full mekanisasi pertanian. Konsekuensinya, pertanian modern bermodel CF membutuhkan investasi besar guna menjamin keniscayaan ketahanan pangan berkelanjutan.

Bila reformasi pertanian seperti ini bisa diwujudkan di tiap daerah di era otonomi ini, ditambah penguasaan teknologi pascapanen padi dan pelatihan manajemen usaha tani, sejatinya dapat mendorong kelompok tani membangun lumbung pangan yang perannya sudah diakui amat berarti menggerakkan perkembangan ekonomi pedesaan. Bahkan di masa datang, dengan manajemen lebih baik, diharapkan peran lumbung pangan tidak hanya sebagai tempat penyimpanan saat over produksi, namun juga sebagai sarana penundaan penjualan untuk sementara waktu sampai harga ada pada tingkat yang memberi keuntungan petani sekaligus mematikan mata rantai pengijon.

Ini artinya akan ada metamorfosa lumbung desa menjadi lumbung pangan modern yang langsung dikelola petani. Embrionya sudah muncul di Sumatera Selatan.

Posman Sibuea Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara Medan

Page 20: PENANGANAN RAWAN PANGAN

BPM INTENSIFKAN LUMBUNG PANGAN MASYARAKAT DESA Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Maluku berupaya mengintensifkan

pengembangan lumbung pangan masyarakat desa untuk mengantisipasi kemungkinan

rawan pangan jika terjadi kemarau panjang. "Berdasarkan inventarisasi pada sembilan

kabupaten dan dua kota di Maluku ternyata pengembangan lumbung pangan

masyarakat desa kurang aktif sehingga perlu diintensifkan agar tidak terjadi rawan

pangan sekiranya terjadi kemarau panjang," kata Pelaksana tugas (PLT) Kepala BPM

Maluku Rusdy Ambon di Ambon, Minggu. Dia mengatakan melalui APBD Maluku 2010

dialokasikan dana Rp80 miliar untuk kegiatan fasilitasi dan pembinaan lumbung pangan

di Kebupaten Buru, Seram Bagian Timur dan Maluku Tengah. "Pelaksanaan

programnya berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan

Daerah (BKP) Maluku karena dua lembaga ini lebih memahami kondisi maupun

karakteristik wilayah," ujar Rusdy. Ditanya mengapa program tersebut tidak diarahkan

ke Maluku Barat Daya (MBD) yang tergolong rentan rawan pangan, dia menjelaskan,

dalam tugas pokok dan fungsi sebenarnya BPM hanya berkoordinasi sehingga

realisasinya ditangani Dinas Pertanian dan BKP. "Rawan pangan di MBD siap ditangani

Perum Bulog Divre Maluku dengan menyalurkan 100 ton beras untuk menangani

bencana alam maupun sosial sehingga tidak menjadi masalah karena sebenarnya di

sana terjadi krissi beras sehubungan keterbatasan pelayaran akibat cuaca ekstrem

maupun gelombang tinggi pada Januari hingga pertengahan Februari 2010," kata

Rusdy. Pada kesempatan lain Kepala Badan Ketahan Pangan (BKP) Maluku

menyiapkan Rp6 miliar untuk mengantisipasi rawan pangan dengan menggalakkan

program pengembangan pulau mandiri pangan berbasis pangan lokal. "Kami akan

menggalakkan diversifikasi berbasiskan pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan

pada beras, minimal 1,5 persen pertahun dari 23,5 juta ton pertahun di Indonesia,"

katanya. Ia mengatakan, Rp6 miliar berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja

Nasional (APBN) yang dialokasikan untuk program desa mandiri pangan, yakni

membangun lembaga distribusi pangan masyarakat, penanganan keamanan pangan

segar dan daerah rawan pangan, terutama di daerah lahan kering, penguatan

kelembagaan ketahanan pangan, serta perumusan dan analisis kebijakan ketahanan

pangan di Maluku. "10 persen dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Departemen Pertanian

(Deptan) sebesar Rp33,2 miliar akan digunakan untuk membangun lumbung pangan di

sembilan kabupaten di Maluku," kata Sabirin. Ia mengatakan, dua lumbung atau gudang

pangan segera dibangun di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur

sebagai proyek percontohan dengan anggaran senilai Rp620 juta. Selain mengantisipasi

rawan pangan, program tersebut juga bertujuan memberdayakan masyarakat miskin

dengan kemampuan memproduksi pangan di wilayah masing-masing, mengakses dari

pasar dan meningkatkan daya beli konsumen. "Ini untuk menjaga harga pangan tetap

Page 21: PENANGANAN RAWAN PANGAN

stabil saat panen raya, juga membangun kemampuan cadangan pangan masyarakat,

serta mendorong pengembangan ekonomi warga," ujarnya. Sabirin menambahkan,

target Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP) Maluku pada 2010 di tujuh

kabupaten/kota karena lebih strategis manakala terjadi bencana alam atau gizi buruk.

Program difokuskan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat mengantisipasi

kemungkinan itu melalui peningkatan penerapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

(SKPG) dan intervensi bantuan rawan pangan apabila terjadi bencana alam.

Page 22: PENANGANAN RAWAN PANGAN