pemberian astaxanthin oral mencegah gangguan
TRANSCRIPT
TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENCEGAH GANGGUAN SPERMATOGENESIS MENCIT
(Mus musculus) YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH
NI KETUT SOMOYANI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENCEGAH GANGGUAN SPERMATOGENESIS MENCIT
(Mus musculus) YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH
NI KETUT SOMOYANI
NIM : 0990761005
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENCEGAH GANGGUAN SPERMATOGENESIS MENCIT
(Mus musculus) YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH
NI KETUT SOMOYANI
NIM : 0990761005
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENCEGAH
GANGGUAN SPERMATOGENESIS MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI
PELATIHAN FISIK BERLEBIH
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI KETUT SOMOYANI NIM : 0990761005
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL,8 AGUSTUS 2011
Pembimbing I, Prof, Dr.dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And NIP:194402011964091001
Pembimbing II, Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK NIP: 194606191976021001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila,Sp.And.,FAACS NIP: 194612131971071001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP: 195902151985102001
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 8 Agustus 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1334/UN14.4/HK/2011
Tanggal 1 Agustus 2011
Ketua : Prof, Dr.dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And
Sekretaris : Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
Anggota :
1. Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila,Sp.And.,FAACS
2. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH.,Ph.D
3. Prof. Dr.dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro.,PA(K)
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke
hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas
asung wara nugraha-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Udayana yang telah menerima kami sebagai mahasiswa
Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Udayana Denpasar.
2. Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar atas kesempatan yang
diberikan kepada kami untuk mengikuti Program Pascasarjana Ilmu Biomedik
Universitas Udayana Denpasar.
3. Prof. Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, sebagai Ketua Program
Studi Ilmu Biomedik yang banyak memberikan ide, masukan, saran ilmiah
dan bimbingan selama penulis menyelesaikan tesis ini.
4. Prof. Dr.dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And, selaku Pembimbing I yang
banyak memberikan masukan, saran ilmiah, dan bimbingan serta dorongan
selama penulis menyelesaikan tesis ini.
5. Prof. dr. I.Gusti Made Aman, Sp.FK selaku pembimbing II, yang penuh
perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada
penulis dalam menyelesaikam tesis ini.
6. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH.,Ph.D, yang telah memberikan masukan dan
saran ilmiah terutama dalam bidang metodologi penelitian dan analisis
statistik data penelitian selama menyusun tesis ini.
7. Prof. Dr.dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro.,PA(K), yang telah
memberikan masukan, saran ilmiah, dan bimbingan terutama dalam bidang
kajian pustaka berkaitan dengan proses spermatogenesis mencit, selama
penyusunan tesis ini.
8. Drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes, yang telah membantu dan membimbing
dalam pembuatan, pembacaan, dan pembuatan foto preparat histopatologi.
9. I Gede Wiranatha, S.SI, yang telah membantu dan membimbing penulis
selama melakukan perlakuan penelitian terhadap hewan coba.
10. I Ketut Tunas, M.Si, yang telah memberikan masukan dan saran dalam bidang
statistik bagi penulis dalam menyusun tesis ini.
11. Staf administrasi serta teman-teman mahasiswa Program Magister Ilmu
Biomedik Kekhususan Kedokteran Reproduksi yang telah memberikan
dorongan dan semangat kepada penulis.
12. Orangtua, suami dan anak-anak tercinta, yang telah memberikan dorongan
moril dan material serta selalu setia mendampingi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
Semoga Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
Denpasar, 8 Agustus 2011
Penulis
ABSTRAK
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENCEGAH GANGGUAN
SPERMATOGENESIS MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH
Olah raga atau pelatihan fisik berlebih merupakan salah satu penyebab meningkatnya radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif yang terbentuk melalui rantai transpor elektron. Senyawa oksigen reaktif yang berlebihan akan memicu terjadinya reaksi peroksidasi lipid pada membran sel spermatozoa. Astaxanthin adalah antioksidan pemutus rantai yang bersifat lipofilik yang dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan spermatogenesis mencit(Mus musculus) yang diinduksi pelatihan fisik berlebih. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni menggunakan Pre-test Post-test Control Group Design. Sampel dalam penelitian ini adalah mencit jantan dewasa strain Balb-C dengan berat badan 20-22 gram, umur 2-3 bulan, sehat. Secara random, 32 ekor mencit dibagi 2 kelompok yaitu 16 ekor mencit kelompok kontrol (P0=kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih dan gliserin), dan 16 ekor mencit kelompok perlakuan (P1=kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih dan astaxanthin 0,01 mg yang dilarutkan dalam gliserin). Sebelum perlakuan, diambil 8 ekor dari setiap kelompok untuk pre-test dengan pembuatan preparat mikroskopis testis dan pemeriksaan sel-sel spermatogenik. Sisa mencit dipergunakan untuk post-test yang diberikan perlakuan selama 35 hari. Pada hari ke-36, seluruh sisa mencit dibedah dan dibuat preparat mikroskopis testis. Data dianalisis dengan uji statistik Independent-sample t-test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna (p<0,05) jumlah sel spermatogenik setelah pemberian astaxanthin.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian astaxanthin dapat mencegah gangguan spermatogenesis mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih. hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh astaxanthin terhadap fungsi organ reproduksi lainnya seperti tubulus seminiferus, sel Leydig, dan kadar hormon testosteron. Kata kunci : Astaxanthin, pelatihan fisik berlebih, spermatogenesis
ABSTRACT
ASTAXANTHIN PREVENTS DISTURBANCE SPERMATOGENESIS OF MICE (Mus musculus) INDUCED BY PHYSICAL OVERTRAINING
Physical overtraining is one of etiological factors causing increase in free radical or reactive oxygen compound formed through electron transport chain. Excessive reactive oxygen compound stimulates the process of lipid peroxide reaction in the membrane of spermatozoa. Astaxanthin is able to break the chain of free radical reactive oxygen in cell membrane to prevent lipid peroxidation. This study was aimed at determining the effect of astaxanthin in the spermatogenesis of mice (Mus musculus) induced by physical overtraining. This was a true experimental study with pre-test and post-test control group design. The samples of this study were strain Balb-C adult male mice with body weight between 20-22 grams, age 2-3 months, and healthy. Randomly, 32 mice were divided into two groups, 16 mice were used for control group ( P0=the group was given physical overtraining and glyserin), and 16 mice were used for treatment group (P1=the group was given physical overtraining and astaxanthin 0,01 mg which was dissolved in glyserin). Prior to the treatment, 8 mice were taken from each group for the pre-test, by preparing microscopic preparation testicle and examination was performed to the total spermathogenic cells. The rests of the mice were used for post-test examination after 35 days treatment. On the 36th day, all the rest mice were necropsied for microscopic testicle preparation. Data were analyzed by independent sample t-test. The result showed that there was a significant difference in the number of spermatogenic cells (p<0,05) after astaxanthin treatment.
It can be concluded that astaxanthin prevent disturbance spermatogenesis of mice induced by physical overtraining. The result of this study is expected to be used as a baseline of further study to test influence of astaxanthin on the function of the other reproduction organ like the function of tubulus seminiferus, Leydig cells, and level of testosterone hormone. Key words : Astaxanthin, pyisical overtraining, spermatogenesis.
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul Dalam ……………………………………………………………. i
Persyaratan Gelar ………………………………………………………… ii
Lembar Persetujuan Pembimbing Tesis …………………………………. iii
Penetapan Panitia Penguji ……………………………………………….. iv
Ucapan Terimakasih ……………………………………………………... v
Abstrak ………………………………………………………………........ vii
Abstract …………………………………………………………………... viii
Daftar Isi ………………………………………………………………….. ix
Daftar Tabel ………………………………………………………………. xii
Daftar Gambar ……………………………………………………………. xiii
Daftar Lampiran ………………………………………………………….. xiv
Daftar Singkatan …………………………………………………………. xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………... 4
1.3 Tujuan penelitian ……………………………………………………… 5
1.3.1 Tujuan Umum ……………………………………………………….. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ………………………………………………………. 5
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Spermatogenesis Pada Manusia ……………………………………….. 7
2.2 Mencit ………………………………………………………………….. 12
2.2.1 Nilai Fisiologis Mencit ……………………………………………… 12
2.2.2 Spermatogenesis Pada Mencit ……………………………………….. 13
2.3 Pelatihan Fisik Berlebih………………………………………………… 19
2.4 Antioksidan …………………………………………………………….. 22
2.4.1 Antioksidan Primer …………………………………………………... 23
2.4.2 Antioksidan Sekunder ………………………………………………... 24
2.4.3 Antioksidan Tersier ………………………………………………….. 24
2.5 Astaxanthin …………………………………………………………….. 25
2.5.1 Struktur Kimia, Absorpsi dan Metabolisme …………………………. 26
2.5.2 Astaxanthin sebagai Antioksidan …………………………………….. 26
2.6 Peran Astaxanthin dalam Spermatogenesis …………………………….. 28
BAB III KERANGKA BERPIKIR,KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………………………… 30
3.2 Konsep ………………………………………………………………….. 31
3.2 Hipotesis ……………………………………………………………….. 32
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian ………………………………………………….. 33
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………….. 34
4.3 Penentuan Sumber Data ………………………………………………… 34
4.3.1 Kriteria Sampel Penelitian ……………………………………………. 34
4.3.2 Besar Sampel …………………………………………………………. 35
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel ………………………………………….. 36
4.4 Variabel Penelitian ……………………………………………………… 36
4.4.1 Identifikasi Variabel ………………………………………………….. 36
4.4.2 Klasifikasi Variabel …………………………………………………… 36
4.4.3 Definisi Operasional Variabel ………………………………………… 37
4.4.4 Hubungan Antar Variabel …………………………………………….. 39
4.5 Alat dan Bahan …………………………………………………………. 39
4.5.1 Alat Penelitian ………………………………………………………… 39
4.5.2 Bahan Penelitian ………………………………………………………. 40
4.6 Prosedur Penelitian ……………………………………………………… 40
4.6.1 Persiapan Hewan Coba ………………………………………………. 40
4.6.2 Pemberian Perlakuan …………………………………………………. 40
4.6.3 Alur Penelitian ………………………………………………………… 42
4.6.4 Cara Membuat Sediaan Mikroskopis …………………………………. 42
4.6.5 Cara Pengumpulan Data ………………………………………………. 43
4.7 Analisis Data …………………………………………………………….. 43
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Deskriptif Hasil Penelitian …………………………………….. 45
5.2 Uji Normalitas data ……………………………………………………… 45
5.3 Uji Homogenitas ………………………………………………………… 46
5.4 Spermatogonium A ……………………………………………………… 47
5.4.1 Uji Komparabilitas ……………………………………………………. 47
5.4.2 Analisis Efek Perlakuan ………………………………………………. 48
5.5 Spermatosit Pakhiten ……………………………………………………... 49
5.5.1 Uji Komparabilitas ……………………………………………………. 49
5.5.2 Analisis Efek Perlakuan ………………………………………………. 50
5.6 Spermatid 7 ……………………………………………………………… 51
5.6.1 Uji Komparabilitas ……………………………………………………. 51
5.6.2 Analisis Efek Perlakuan ………………………………………………. 51
5.7 Spermatid 16 …………………………………………………………….. 53
5.7.1 Uji Komparabilitas ……………………………………………………. 53
5.7.2 Analisis Efek Perlakuan ………………………………………………. 53
5.8 Uji Paired T-Test Kelompok Penelitian …………………………………. 54
5.8.1 Kelompok Kontrol ……………………………………………………… 54
5.8.2 Kelompok Perlakuan …………………………………………………… 55
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1 Subyek Penelitian ……………………………………………………….. 56
6.2 Efek Astaxanthin Terhadap Spermatogenesis Mencit Yang Mengalami
Pelatihan Fisik Berlebih ………………………………………………… 56
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ………………………………………………………………… 62
7.2 Saran …………………………………………………………………….. 62
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 63
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. 67
DAFTAR TABEL
5.1 Jumlah Rerata Sel Spermatogenik Pre-Test Post-Test Kelompok
Kontrol dan Perlakuan …………………………………………………….. 45
5.2 Hasil Uji Normalitas Data Sel Spermatogenik Sebelum Perlakuan………. 46
5.3 Hasil Uji Normalitas Data Sel Spermatogenik Sesudah Perlakuan………. 46
5.4 Hasil Uji Homogenitas Data Sebelum dan sesudah Perlakuan ………….. 47
5.5 Rerata Spermatogonium A Antar Kelompok Sebelum Perlakuan ………. 47
5.6 Rerata Spermatogonium A Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ………. 48
5.7 Rerata Spermatosit Pakhiten Antar Kelompok Sebelum Perlakuan …….. 49
5.8 Rerata Spermatosit Pakhiten Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ……... 50
5.9 Rerata Spermatid 7 Antar Kelompok Sebelum Perlakuan ………. ……… 51
5.10 Rerata Spermatid 7 Antar kelompok Sesudah Perlakuan ………………..
52
5.11 Rerata Spermatid 16 Antar Kelompok Sebelum Perlakuan ………. ….. 53
5.12 Rerata Spermatid 16 Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ………. …… 54
5.13 Uji Paired T-Test Pre-Test dan Post-Test Kelompok Kontrol ………….. 55
5.14 Uji Paired T-Test Pre-Test dan Post-Test Kelompok Perlakuan.……….. 55
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Spermatogenesis Pada Manusia ……………………………… 8
2.2 Spermatogenesis Mencit ..……………………………………. 16
2.3 Tubulus Seminiferus Pada Pembesaran 400 kali ……………. 17
2.4 Rumus Bangun Astaxanthin ………………………………….. 26
3.1 Bagan Konsep Penelitian …………………………………….. 31
4.1 Bagan Rancangan Penelitian …………………………………. 33
4.2 Hubungan Antar Variabel ……………………………………... 39
4.3 Bagan Alur Penelitian …………………………………………. 42
5.1 Grafik Spermatogonium A Sebelum dan Sesudah Perlakuan … 48
5.2 Grafik Spermatosit Pakhiten Sebelum dan Sesudah Perlakuan ... 50
5.3 Grafik Spermatid 7 Sebelum dan Sesudah Perlakuan ………….. 52
5.4 Grafik Spermatid 16 Sebelum dan Sesudah Perlakuan ………… 54
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Uji Normalitas Data…………………………………… 67
Lampiran 2. Uji Independent t-Test Kelompok Pre-test ………….. 68
Lampiran 3. Uji Independent t-Test Kelompok Post-test …………. 69
Lampiran 4. Uji Paired T-Test ……………………………………… 70
Lampiran 5. Gambar Preparat Histopatologi Tubulus Seminiferus .. 72
Lampiran 6. Prosedur Penanganan Hewan Coba …………………... 76
Lampiran 7. Tabel Konversi Perhitungan Berbagai Jenis (Species)
Hewan Uji dan Manusia ………………………………. 80
Lampiran 8. Kelaikan Etik Penelitian ………………………………. 82
DAFTAR SINGKATAN
MDA : Malondialdehid
TBARS : Thiobarbituric Acid-Reactive Substance
ROS : Reactive Oxygen Species
DNA : Deoxyribonucleic Acid
SOD : Superoxide Dismutase
PGC : Primordial Germ Cell
FSH : Folicle Stimulating Hormone
GnRH : Gonadotropin Releasing Hormone
LH : Luteinizing Hormone
ABP : Androgen Binding Protein
FITT : Frequency, Intencity, Type, Time
ACTH : Adrenocorticotropic Hormone
CRH : Corticotropin Releasing Hormone
SD : Standar Deviasi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sistem reproduksi yang sehat adalah dambaan semua orang, oleh karena
kesehatan reproduksi sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Masalah kesuburan atau fertilitas merupakan hal yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup manusia. Kesuburan atau fertilitas pasangan dapat dinilai dari jumlah dan kualitas spermatozoa pada pria dan sel telur (ovum) pada wanita.
Pada pria, proses spermatogenesis dimulai pada usia pubertas yang kemudian mengalami penurunan seiring bertambahnya usia. Testis dalam proses reproduksi pria mempunyai dua fungsi utama yaitu memproduksi hormon dan spermatozoa. Kedua fungsi tersebut secara fisiologis berlangsung terpisah, yaitu hormon testosteron dihasilkan oleh sel Leydig, sedangkan sel spermatozoa dihasilkan oleh sel epitel tubulus seminiferus (Sadller, 2010). Spermatogenesis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain umur, hormon, psikologi, radikal bebas, dan genetik. Faktor eksternal antara lain suhu, radiasi sinar X, nutrisi, trauma, dan polusi lingkungan (Gupta, 2005; Huhtaniemi, 2009).
Olah raga atau aktivitas fisik merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena olah raga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh. Olah raga dengan intensitas tinggi dan durasi lama terbukti dapat menimbulkan kerusakan sel (Sutarina dan Edward, 2004). Penelitian yang dilakukan pada tikus yang diberikan beban kerja aktivitas fisik (swimming stress) dengan beban ekor 2% dari berat badan tikus menunjukkan adanya peningkatan kadar Malondialdehide (MDA) yang bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan beban kerja aktivitas fisik (Maslachah, 2008). Penelitian pada tikus yang direnangkan sampai hampir tenggelam, kurang lebih selama 60 menit yang dilakukan setiap hari selama 28 hari, didapatkan pada jaringan testis radikal bebas Asam Reactive Thiobarbituric (TBARS) pada kelompok perlakuan 235,27 nmol/mg jaringan, sedangkan pada kelompok kontrol 196,79 nmol/mg jaringan (Misra et al., 2005).
Aktivitas fisik berat seperti olah raga berlebihan, bekerja terlalu berat dengan waktu istirahat yang sedikit, dapat meningkatkan konsumsi oksigen 100-200 kali lipat karena terjadi peningkatan metabolisme di dalam tubuh. Oksigen dalam jumlah berlebihan merupakan molekul tinggi yang merusak organisme hidup dengan memproduksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang banyak mengandung radikal bebas. Radikal bebas diyakini dapat menimbulkan kerusakan sel dan komponen sel seperti lipid, protein, Deoxyribonucleic Acid ( DNA), mutasi sel, dan bersifat karsinogenik (Thannical dan Fanburg, 2000).
Pelatihan fisik berlebih juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan motilitas spermatozoa (Binekada, 2002; Manna et al., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Indira (2008), menunjukkan adanya penurunan sel-sel spermatogenik pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih. Penelitian tentang pelatihan fisik berlebih (stres fisik) yang disertai dengan penurunan kualitas spermatozoa menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) dalam seminal plasma dan penurunan perlindungan oleh
antioksidan (Tremellen, 2008). Sitoplasma sel spermatogenik mengandung sejumlah kecil scavenging enzyme, namun enzim antioksidan intrasel ini tidak mampu melindungi membran plasma yang melingkupi akrosom dan ekor spermatozoa dari serangan radikal bebas. Pada pelatihan fisik berlebih jumlah antioksidan tidak mampu menetralisir radikal bebas, akibatnya muncul stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan testis terutama tubulus seminiferus (Safarinejad et al., 2009). Tubulus seminiferus merupakan tempat berlangsungnya spermatogenesis (Gupta, 2005).
Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas fisik berlebih antara lain dengan meningkatkan antioksidan di dalam tubuh. Antioksidan diyakini dapat melindungi biomolekul terhadap stres oksidatif. Antioksidan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Antioksidan enzimatik disebut juga antioksidan pencegah, terdiri dari superoksid dismutase (SOD), katalase, dan glutathione peroksidase. Antioksidan non-enzimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai yang terdiri dari vitamin C, vitamin E, dan beta karoten (Winarsi, 2007).
Antioksidan baik endogen maupun eksogen sangat penting bagi fungsi tubuh, karena antioksidan tersebut mampu meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan endogen misalnya enzim superoksidase dismutase (SOD), katalase, dan glutathione peroksidase, sedangkan antioksidan eksogen misalnya vitamin E, vitamin C, β-karoten, flavanoid, asam urat, bilirubin, dan albumin. Pemanfaatan senyawa antioksidan eksogen secara efektif sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya stres oksidatif. Antioksidan eksogen merupakan sistem pertahanan preventif, dimana sistem kerja antioksidan adalah dengan memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan mengikatnya (Winarsi, 2007).
Astaxanthin merupakan salah satu pigmen karotenoid (seperti beta karoten), yang diekstraksi dari strain mikroalga tropis yang disebut Haematococcus pluvialis. Senyawa ini memiliki gugus radikal yang mampu melindungi tubuh terhadap proses peroksidasi lipid dan kerusakan yang diakibatkan oleh proses-proses oksidasi pada membran sel dalam jaringan tubuh (Winarsi,2007). Penelitian yang dilakukan oleh Wood dan Yamasitha (2009), menyimpulkan bahwa astaxanthin adalah antioksidan kuat, bersifat alami dan memiliki elektron untuk menetralkan radikal bebas. Penelitian terhadap 30 pria infertil yang terpapar radikal bebas dan diberikan 16 mg astaxanthin setiap hari selama 3 bulan menunjukkan terjadi peningkatan angka kehamilan sebesar 54,5%, dan pada kelompok yang diberikan plasebo sebesar 10,5% (Comhaire et al., 2005).
Belum banyak dilakukan penelitian tentang pemberian astaxanthin terhadap proses spermatogenesis. Berdasarkan dari uraian di atas, maka penulis ingin membuktikan bahwa pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan spermatogenesis mencit yang terpapar radikal bebas oleh karena pelatihan fisik berlebih.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apakah pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatogonium A pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih?
1.2.2 Apakah pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatosit Pakhiten pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih?
1.2.3Apakah pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatid 7 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih?
1.2.4 Apakah pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatid 16 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum :
Untuk mengetahui pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan spermatogenesis mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
1.3.2 Tujuan Khusus : 1.3.2.1 Mengetahui pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan
pembentukan sel-sel Spermatogonium A pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
1.3.2.2 Mengetahui pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatosit Pakhiten pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
1.3.2.3 Mengetahui pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatid 7 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
1.3.2.4 Mengetahui pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatid 16 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah
Memberikan informasi ilmiah mengenai pemberian asthaxanthin oral dapat mencegah gangguan spermatogenesis pada mencit (Mus musculus) yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
1.4.2 Manfaat Praktis Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak astaxanthin oral sebagai antioksidan terhadap sistem reproduksi pria yaitu proses spermatogenesis yang akan mempengaruhi kualitas spermatozoa.
1.4.3 Manfaat Sosial Masyarakat yang bekerja dengan aktivitas fisik berlebih, dapat mempertimbangkan penggunaan astaxanthin untuk mencegah gangguan spermatogenesis oleh radikal bebas yang terbentuk karena pelatihan fisik yang berlebih.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spermatogenesis Pada Manusia
Spermatogenesis adalah perkembangan spermatogonium menjadi spermatozoa. Perkembangan ini diawali dari Primordial Germ Cell (PGC) membentuk sel tunas spermatogonia. Dari populasi sel tunas ini muncul sel – sel dalam interval yang teratur untuk membentuk spermatogonia tipe A. Sel tipe A mengalami pembelahan mitotik dan menghasilkan spermatogonia tipe B, kemudian membelah membentuk spermatosit primer (meiosis I), dan menjadi spermatosit sekunder kemudian menjadi spermatid dan akhirnya menjadi spermatozoa (Sadler, 2010). Pada manusia spermatogenesis berlangsung dalam waktu rata-rata 70 hari, bisa lebih atau kurang empat hari (Ganong, 2002).
Spermatogenesis terjadi secara berkala pada tubulus seminiferus, sehingga peristiwa tersebut disebut juga daur epitel seminifer. Daur ini diawali dengan spermatositogenesis, meiosis kemudian spermiogenesis dan berakhir dengan spermiasi, yaitu lepasnya spermatozoa ke lumen tubulus. Pada epitel seminiferus terdapat sel-sel Sertoli yang merupakan sel berbentuk segitiga menyelimuti sel-sel germinal dengan cabang-cabang sitoplasmanya (Ganong, 2002; Gupta, 2005).
Sel Sertoli memegang peranan dalam koordinasi spermatogenesis, yaitu memberikan nutrisi untuk metabolisme sel-sel germinal sebelum dilepas ke lumen tubulus, juga berperan pada sistem endokrin dengan menghasilkan Androgen Binding Protein (ABP) yang berfungsi sebagai pengikat testosteron, membentuk inhibin yang berperan sebagai umpan balik negatif terhadap sekresi Folicle Stimulating Hormone (FSH), memfagositosis sel-sel germinal yang mengalami degenerasi dan residual body serta membentuk blood testis barrier (Ganong, 2002).
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses spermatogenesis (Gupta, 2005; Huhtaniemi, 2009) yaitu : a. Faktor dalam (endogen): hormonal, psikologis, genetik, umur, radikal bebas. b. Faktor luar (eksogen): bahan kimia, suhu, radiasi, nutrisi, trauma, polusi. SPERMATOGENESIS Spermatogonia Spermatosit Primer Spermatosit Sekunder Spermatid
Gambar 2.1 Spermatogenesis Pada Manusia (Sumber : Sadler, 2010)
2.1.1. Tahap-tahap Spermatogenesis Pada Manusia Pada potongan melintang tubulus seminiferus terlihat sejumlah besar sel epitel germinal, yang disebut spermatogonia. Spermatogonia terus menerus mengalami mitosis untuk memperbanyak diri dan sebagian dari spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk membentuk spermatozoa.
Tahap spermatogenesis dibagi menjadi tiga fase yaitu spermatositogenesis, meiosis, dan spermiogenesis (Ganong, 2002; Sherwood, 2002; Gupta, 2005). 2.1.1.1 Spermatositogenesis Pada tahap ini, spermatogonia A-dark (Ad) yaitu spermatogonium dengan kromatin warna gelap dan tebal dengan bagian tengah yang terang, sitoplasma yang menempel dekat basal lamina tubulus seminiferus. Spermatogonia Ad kemudian mengalami pembelahan mitosis untuk mengisi kembali spermatogonia yang terpakai dan juga memproduksi spermatogonia A-pale (Ap) yang memiliki kromatin pucat serta satu sampai dua nukleoli yang menempel pada membran nukleus. Spermatogonia A-pale (Ap) mengalami mitosis lebih lanjut dan berdiferensiasi menjadi spermatogonia B yang memiliki gumpalan kromatin berwarna gelap. Kromosom diploid yang berpasangan (46 kromosom pada manusia) tetap dipertahankan selama mitosis dan pembaharuan sel induk pada tahap proliferasi spermatogenesis (Gupta, 2005; Sadler, 2010).
Spermatogonia B mengalami mitosis lagi untuk memproduksi spermatosit preleptoten atau resting primer spermatocyte. Sel ini memasuki fase meiosis yang paling panjang dari spermatogenesis (± 24 hari pada manusia). Spermatogonium tidak terpisah secara lengkap selama mitosis, karena kelompok sel induk ini tetap berhubungan satu sama lain melalui jembatan sitoplasma yang tipis dan
Spermatid
Spermatosit Sekunder
Spermatosit Primer
Sel Sertoli Spermatogonia
mengalami perkembangan lanjutan di dalam sinstitiumnya dengan cara yang sinkron sepanjang proses spermatogenesis.
2.1.1.2 Meiosis Pada fase meiosis terjadi pembelahan dari spermatosit primer menjadi
spermatosit sekunder dan diikuti dengan terjadinya reduksi jumlah kromosomnya. Dalam fase meiosis ini ada dua tahap yaitu meiosis I dan meiosis II. Pada meiosis I, setelah sintesis DNA dan pembentukan kromatid sejenis lengkap, spermatosit preleptoten memasuki profase (profase I). Selama profase, ukuran sel induk dan nukleusnya meningkat secara progresif, bentuk nukleus yang menunjukkan perubahan penting dari kromosom adalah dasar untuk mengklarifikasikan spermatosit primer. Tahap-tahap urutan profase adalah leptoten I, zygoten I, pakhiten I, diploten I, dan diakinesis I. Pada spermatosit leptoten, kromosom menjadi padat, tetapi tidak berpasangan dan nampak seperti filamen halus dan benang kromatin berbintik-bintik dalam nukleus. Spermatosit zygoten, sedikit lebih besar ditunjukkan oleh benang kromatin yang panjang dan lebih tebal, mulai tampak seperti karangan bunga, karena kromosom mengumpul pada satu sisi nukleus. Pada spermatosit pakhiten, kromosom sudah lengkap berpasangan dan bertahan sampai sekitar dua minggu. Setiap kromosom terdiri dari kromatid sejenis yang bergabung pada sentromernya.
Pada spermatosit diploten, pasangan kromosom telah berpisah hampir disepanjang lengannya, kecuali pada tempat dimana kiasma berlokasi. Bila dibandingkan spermatosit pakhiten, spermatosit diploten merupakan tipe sel induk yang terbesar. Dengan nukleus yang lebih besar dan daerah yang lebih terang diantara tonjolan pita kromatin. Selama diakinesis I kromosom terus memendek untuk mencapai pemadatan maksimal dan terlepas seluruhnya dari membran nukleus. Setelah masa profase I yang panjang, tahap selanjutnya adalah meiosis I berjalan secara cepat. Diakinesis I akan segera diikuti oleh metafase I. Pada tahap ini membran nukleus mulai memisah, timbul benang-benang spindel dan pasangan kromosom mensejajarkan diri pada poros ekuatorial sel dengan berorientasi pada sentromer di kutub yang berbeda. Pasangan kromosom homolog tersebut selanjutnya berpisah, sedangkan sentromer dengan kromatid sejenis bergerak menuju kutub sel yang berlawanan selama anafase I. Pada telofase I, kromosom haploid akan berkelompok pada sel yang berlawanan. Setelah tahap ini, sel akan membelah membentuk dua spermatosit sekunder yang masing-masing berisi pasangan haploid, dengan kromatid sejenis yang masih bergabung pada sentromernya. Spermatosit sekunder berbentuk spheris dan lebih kecil dari spermatosit primer. Nukleusnya bulat dan berwarna lebih gelap, berisi pola kromatid yang relatif lebih homogen dengan beberapa gumpalan kromatid yang besar. Spermatosit sekunder, waktu hidup pendek lebih kurang delapan jam, gambaran kurang spesifik sehingga secara histologik sulit diidentifikasikan.
Pada meiosis II, menempuh fase-fase sama seperti meiosis I, tetapi profase disini tidak lagi terbagi-bagi dalam sub fase. Selesai meiosis I terbentuk spermatosit II, dan selesai meiosis II terbentuk spermatid. Meiosis berlangsung
cepat, sehingga sulit menemukannya dalam sediaan mikroteknik testis (Gupta, 2005). 2.1.1.3 Spermiogenesis
Spermiogenesis merupakan tahap transformasi, yaitu tahap perubahan bentuk dan komposisi spermatid yang bundar menjadi bentuk cebong yang memiliki kepala, leher, dan ekor serta berkemampuan untuk bergerak. Spermiogenesis dibagi dalam 4 fase yaitu fase golgi, fase cap (tutup), fase akrosom, dan fase pematangan atau maturasi (Sherwood, 2001; Gupta, 2005). 1. Fase golgi, terbentuk butiran proakrosom dalam alat golgi spermatid. Butiran
ini akan bersatu membentuk satu bentukan dengan akrosom disebut granula
akrosom. Granula ini melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian
depan spermatozoa.
2. Pada fase cap (fase tutup), granula akrosom bertambah besar, pipih dan
menuju bagian inti, sehingga akhirnya terbentuk semacam tutup (cap
spermatozoa).
3. Pada fase akrosom, terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleoplasma
berkondensasi, inti spermatid memanjang dengan batas kaudal menyempit
dan membentuk sudut, sehingga inti kelihatan lebih pipih dan tutup (cap)
mengitari bagian dalam inti. Bahan-bahan akrosom menyebar dan berada
pada bagian ventral inti, pemanjangan dan pemipihan inti berlangsung terus
sehingga bagian anterior spermatid menjadi sempit. Selanjutnya terjadi
perubahan ujung kaudal spermatid dari bentuk bundar menjadi agak pipih.
4. Pada fase maturasi (pematangan), bentuk spermatid sudah hampir sama
dengan spermatozoa dewasa, terjadi penyempurnaan akrosom, bentuk inti
serta maturasi dinding spermatozoa. Selanjutnya melepaskan diri dari epitel
seminiferus menuju ke lumen menjadi spermatozoa bebas.
2.2 Mencit 2.2.1 Nilai Fisiologis Mencit
Data biologis mencit laboratorium menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) adalah sebagai berikut: lama hidup 1 - 3 tahun, lama produksi ekonomis 9 bulan, lama bunting 19-21 hari, kawin sudah beranak 1-24 jam, umur disapih 21 hari, umur dewasa 35 hari, umur dikawinkan 8 minggu, siklus estrus 4-5 hari, lama estrus 12-24 jam, berat badan dewasa 20-40 gram jantan dan 18-35 gram betina, jumlah anak rata-rata 6 ekor, bisa mencapai 15 ekor, perkawinan kelompok 4 betina dan satu jantan. 2.2.2 Spermatogenesis Mencit
Tempat terjadinya spermatogenesis adalah epitel germinal tubulus seminiferus (Daryono, 2005; Gupta, 2005). Spermatogenesis pada mencit memerlukan waktu 35,5 hari setelah menempuh 4 kali daur epitel seminiferus. Lama satu daur epitel seminiferus pada mencit adalah 207±6 jam(Isnaeni, 2006).
Pada mamalia spermatogenesis berlangsung melalui tiga tahap yaitu spermatositogenesis, meiosis, dan spermiogenesis. Pada tahap spermatositogenesis, spermatogonia mengalami pembelahan beberapa kali sehingga menghasilkan spermatogonia tipe A2, A3, dan A4. Spermatogonia tipe A4 mengalami pembelahan dan menghasilkan spermatogonia intermediet yang selanjutnya akan membelah menghasilkan spermatogonia tipe B, spermatogonia ini akan mengalami mitosis membentuk spermatosit primer yang pada tahap praleptoten memasuki fase istirahat. Tahap meiosis terdiri atas dua fase yaitu meiosis I dan meiosis II. Masing-masing tahap tersebut akan mengalami tahap profase, metaphase, anaphase dan telofase. Tahap profase pada meiosis I meliputi subtahap leptoten, zigoten, pakhiten, diploten, dan diakinesis. Hasil akhir dari meiosis I adalah spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder memasuki tahap meiosis II dan mengalami pembelahan sampai terbentuk spermatid yang haploid. Spermiogenesis adalah tahap transformasi dimana spermatid mengalami perubahan bentuk dari bundar menjadi spermatozoa yang terdiri dari kepala, leher, dan ekor. Pada tahap ini terjadi perubahan morfologi dan fungsional tanpa diikuti pembelahan sel lagi ( Pramesemara, 2010). Fase spermiogenesis dibagi menjadi empat fase, yaitu: 1. Fase golgi, yaitu terjadi pembentukan kantong akrosom yang selanjutnya
akan menjadi bagian kranial spermatid
2. Fase cap, yaitu terbentuk semacam tudung (kap) yang meliputi bagian kranial
inti
3. Fase akrosom, yaitu terjadi redistribusi bahan akrosom, kondensasi inti, inti
spermatid memanjang dengan batas kaudal menyempit dan membentuk sudut
sehingga inti nampak lebih pipih dan tudung (kap) mengitari bagian dalam
inti. Bahan-bahan akrosom menyebar dan berada dibagian ventral inti. Ujung
kaudal spermatid bertambah pipih sampai spermatid mencapai panjang
maksimal
4. Fase maturasi, yaitu morfologi spermatid sudah meyerupai spermatozoa
dewasa. Setelah itu spermatozoa akan melepaskan diri dari epitel tubulus
seminiferus menuju lumen sampai menjadi spermatozoa bebas.
Spermiogenesis pada mencit terdiri dari 16 tingkat yaitu: 1. Tahap 1, diawali dengan pembentukan spermatid yang baru yang merupakan
hasil pembelahan meiosis yang kedua, pada daerah golgi timbul beberapa
struktur yang bulat yang disebut idiosom.
2. Tahap 2, terlihat adanya granula proakrosom pada idiosom, jumlah granula
biasanya dua dimana yang satu biasanya lebih besar.
3. Tahap 3, terjadi penggabungan granula proakrosom sehingga terbentuk
granula akrosom yang besar yang berbatasan dengan nukleus.
4. Tahap 4, terjadi pembesaran granula dan letaknya lurus di atas nukleus.
5. Tahap 5, ditandai dengan bertambah pipihnya kap (tudung) dan bergerak
menuju ke samping nukleus perpanjangannya.
6. Tahap 6, pertumbuhan kap (tudung) mengalami kemajuan yang cukup pada
permukaan luar nukleus.
7. Tahap 7, terjadi pertumbuhan pada bagian depan kap terus berlangsung
sampai menutup sepertiga sampai setengah bagian inti dan disebut sebagai
head cap.
8. Tahap 8, dimulai dengan tahap akrosom. Sistem akrosom bergerak ke arah
basal nukleus dan nukleus spermatid memanjang.
9. Tahap 9, ditandai dengan perubahan bentuk nukleus spermatid nyata, yaitu
ujung kaudal menyempit dan membentuk sudut sehingga terlihat lebih pipih.
10. Tahap 10, bahan-bahan akrosom telah berada pada dinding dorsal inti,
pemanjangan dan pemipihan inti berjalan terus sehingga spermatid menjadi
sempit pada bagian depan.
11. Tahap 11, terjadi perubahan ujung kaudal spermatid bentuk bundar sampai
menjadi agak pipih.
12. Tahap 12, spermatid telah mencapai panjang yang maksimum, akrosom telah
menutup seperempat bagian anterior spermatid dan tampak seperti struktur
bentuk biji di atas nukleus.
13. Tahap 13, bentuk spermatid sudah hampir sama dengan spermatozoa dewasa,
yaitu mengalami pemendekan drastis hampir 20%.
14. Tahap 14, terjadi penyempurnaan akrosom, bentuk dan penampakan
spermatozoa dewasa telah tercapai.
15. Tahap 15, terjadi penyempurnaan bentuk inti dan perkembangan serta
maturasi dinding spermatozoa.
16. Tahap 16, menggambarkan spermatozoa melepaskan diri dari epitel
seminiferus menuju ke lumen menjadi spermatozoa bebas.
Gambar 2.2 Spermatogenesis Mencit (Mus Musculus)
(Sumber : Pramesemara, 2010) Setelah spermatozoa dilepaskan ke lumen tubulus seminiferus, spermatozoa akan menuju ke rete testis dan vasa eferensia. Vasa eferensia mendorong spermatozoa ke arah epididimis. Berlangsungnya spermatogenesis pada tubulus seminiferus adalah karena adanya kontrol FSH dan testosteron yang melibatkan poros hipotalamus, hipofisis, dan testis. Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) merangsang sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior. LH mempengaruhi spermatogenesis melalui testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig. FSH berpengaruh langsung terhadap sel sertoli dalam tubulus seminiferus. FSH meningkatkan sintesis protein pengikat hormon androgen atau Androgen Binding Protein (ABP). ABP merupakan glikoprotein yang mengikat testosteron. ABP disekresikan ke dalam lumen tubulus seminiferus dan dalam proses ini testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig diangkut dengan konsentrasi tinggi ke tempat spermatogenesis (De Kretser et al., 2007).
Gambar 2.3 Tubulus Seminiferus pada Pembesaran 400 kali
(Sumber; Pusparini, 2010)
Spermatid 16
Spermatid 7
Spermatosit Pakiten
Spermatogonium A
Sel-sel spermatogenik yang diamati pada penelitian ini adalah sel Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16. Beberapa pertimbangan dalam memilih keempat sel- sel spermatogenik tersebut antara lain : 1. Keempat sel spermatogenik tersebut mewakili setiap tahapan dari
spermatogenesis mencit yaitu:
a. Spermatogonium A berada pada tahap proliferasi dimana pada tahap ini,
spermatogonia A-dark (Ad) mengalami pembelahan mitosis untuk mengisi
kembali spermatogonia yang terpakai dan juga memproduksi
spermatogonia A-pale (Ap).
b. Spermatosit Pakhiten berada pada fase meiosis terjadi pembelahan dari
spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder dan diikuti dengan
terjadinya reduksi jumlah kromosomnya. Dalam fase meiosis ini ada dua
tahap yaitu meiosis I dan meiosis II.
c. Spermatid 7 dan Spermatid 16 terjadi pada tahap s ermiogenesis.
2. Keempat sel spermatogenik tersebut memiliki waktu perubahan dan masa
hidup lebih lama sehingga lebih mudah diamati:
a. Spermatogonium A berlangsung sekitar 24 hari.
b. Spermatosit Pakhiten berlangsung sekitar 2 minggu.
c. Spermatid 7 dan Spermatid 16 memiliki masa hidup lebih lama.
3. Keempat sel-sel spermatogenik tersebut mempunyai bentuk yang lebih mudah
diamati secara mikroskopis:
a. Spermatogonium A yaitu sel berbentuk bulat, inti lonjong, oval, kromatin
warna gelap dan tebal dengan bagian tengah yang terang, sitoplasma yang
menempel dekat basal lamina tubulus seminiferus. Spermatogonia Ad
kemudian mengalami pembelahan mitosis untuk mengisi spermatogonia
yang terpakai dan memperoduksi A pale yang memiliki kromatin pucat
serta satu sampai dua nukleoli yang menempel pada membran nukleus.
b. Spermatosit Pakhiten, terjadi pada meiosis I, setelah sintesis DNA dan
pembentukan kromatid sejenis lengkap, spermatosit preleptoten memasuki
profase (profase I). Selama profase, ukuran sel induk dan nukleusnya
meningkat secara progresif, bentuk nukleus yang menunjukkan perubahan
penting dari kromosom adalah dasar untuk mengklarifikasikan spermatosit
primer. Pada spermatosit pakhiten, kromosom sudah lengkap berpasangan
dan bertahan sampai sekitar dua minggu. Setiap kromosom terdiri dari
kromatid sejenis yang bergabung pada sentromernya.
c. Spermatid 7, dimana sel berbentuk bulat, lebih kecil dari spermatosit
pakhiten, inti bulat, pucat, dan terang. Pada saat ini terjadi pertumbuhan
pada bagian depan kap terus berlangsung sampai menutup sepertiga
sampai setengah bagian inti dan disebut sebagai head cap.
d. Spermatid 16, merupakan tahap akhir dari spermiogenesis. Sel yang
menunjukkan spermatozoa yang telah lengkap sempurna, berada dekat
lumen dengan ekor menghadap ke lumen. Menggambarkan spermatozoa
melepaskan diri dari epitel seminiferus menuju ke lumen menjadi
spermatozoa bebas.
2.3 Pelatihan Fisik Berlebih
Olahraga teratur sangat penting dilakukan untuk memelihara kebugaran tubuh. Olah raga atau aktivitas fisik merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena olah raga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh. Kebugaran fisik adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas fisik
dengan sempurna tanpa menimbulkan kelelahan berarti. Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua hari, dengan intensitas kurang lebih 72% - 87% dari denyut jantung maksimal: 220 – umur (dalam tahun). Lama latihan sekitar 30 sampai 60 menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan latihan inti 35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit (Pangkahila, 2010). Pelatihan berlebih seringkali akibat dari: 1).Volume pelatihan yang terlalu banyak. 2). Intensitas pelatihan yang terlalu banyak. 3). Durasi pelatihan terlalu panjang. 4). Frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfeld, 2001).
Tenaga aerobik maksimum (VO2 max) sebagai ukuran kesegaran fisik yang dinyatakan sebagai kemampuan bekerja berat untuk waktu lama dipengaruhi kerja otot secara aerobik seperti: 1). Tipe pelatihan yang meliputi intensitas, durasi, otot yang terlihat, posisi tubuh. 2). Aktivitas otot secara aerobik tergantung jenis kelamin dan umur. 3). Lingkungan (ketinggian, dingin, panas). 4). Adaptasi. Tenaga aerobik maksimun dikaitkan dengan pengambilan O2 maksimum yang erat terkait umur (Hatfeld, 2001).
Bila pada permulaan kerja langsung dilakukan pembebanan berat, kebutuhan energi hanya dapat dipenuhi dengan mengaktifkan proses anaerob yang menghasilkan asam laktat dan konsentrasinya tetap meninggi selama kerja berlangsung dan dapat dipertahankan terus-menerus selama 30 menit atau lebih. Pada kerja yang sangat berat terjadi defisit penyediaan O2 yang bertambah besar sehingga konsentrasi asam laktat semakin meningkat. Akumulasi asam laktat dalam otot menyebabkan kelelahan otot. Pada pelatihan aerobik pemecahan glikogen menjadi CO2 dan H2O yang dikenal sebagai metabolisme aerobik merupakan sumber energi yang ekonomis dan asam laktat tidak terakumulasi. Pelatihan berlebih menyebabkan banyak asam laktat yang dihasilkan dalam otot, kehilangan glikogen meningkat, dua-duanya penyebab stres fisik. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan masa pemulihan yang tepat. Waktu pemulihan yang singkat (satu menit istirahat) pada pelatihan dengan multipel set dapat meningkatkan asam laktat lebih dari 10 nmol/L.
Sindrom latihan fisik berlebih memiliki karakteristik penurunan penampilan dan timbulnya gejala inflamasi yang terjadi pascalatihan fisik berlebih yang memberikan dampak kesehatan yang serius. Saat ini tidak terdapat penanda diagnosis tunggal untuk latihan fisik berlebih. Pemeriksaan yang tersedia bertujuan untuk memeriksa respon biomarker dari stres fisik yang disebabkan karena latihan fisik berlebih. Latihan fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan isoproston dalam urine (7-fold), TBARS (56%), protein karbonil (73%), katalase (96%), glutathione peroxidase, serta glutathione yang teroksidasi (25%). Sebaliknya latihan fisik berlebih akan menurunkan glutathione tereduksi (31%). Dapat disimpulkan, latihan fisik berlebih merangsang respon terhadap biomarker stress oksidatif (Margonis et al.,2007).
Pelatihan fisik berlebih juga akan dapat menimbulkan gangguan pada fungsi endokrin, seperti peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar testosteron
(Maffetone, 2007). Pada pelatihan fisik berlebih terjadi peningkatan ACTH dan penurunan kadar Luteinizing Hormone (LH) plasma. Setelah pelatihan fisik berlebih, Corticotropin Releasing Hormone (CRH) menginduksi pelepasan ACTH dan β-endorphin. Peningkatan β-endorphin dapat menghambat pelepasan gonadotropin (sekresi LH). Penurunan sekresi LH dapat menyebabkan terjadinya penurunan hormon testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig (Colon, 2007; Safarirejad et al., 2007 ).
2.4 Antioksidan Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors).
Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif okidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya pada senyawa yang bersifat oksidan sehingga senyawa oksidan tersebut bisa dihambat. Keseimbangan antioksidan dan oksidan dalam tubuh sangat penting karena berkaitan dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh, yaitu menjaga integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel, dan asam nukleat serta mengontrol transduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun (Winarsi, 2007).
Komponen terbesar yang menyusun membran sel adalah senyawa asam lemak tak jenuh yang sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan dan antioksidan. Membran merupakan barier penting demi berfungsinya sel. Oleh sebab itu, sel imun memerlukan antioksidan dalam kadar lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel lain. Defisiensi antioksidan yang berupa vitamin C, vitamin E, Se, Zn, dan glutation sangat berpengaruh terhadap respon imun (Winarsi, 2007).
Penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh adalah senyawa oksidan, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun bentuk senyawa oksigen reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai akibat dari rendahnya antioksidan dalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan.
Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya superoxide dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatis masih dibagi dalam dua kelompok lagi, yaitu: Antioksidan larut lemak seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, bilirubin, dan antioksidan larut air seperti asam askorbat, protein pengikat logam, dan ptotein pengikat heme
Antioksidan enzimatis dan non-enzimatis tersebut bekerjasama meredam aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non-enzimatik. Secara fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh yaitu, pertama sebagai sistem pertahanan preventif, dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder. Pembentukan senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau jika senyawa ROS sudah terbentuk akan dirusak. Pengkelatan metal terjadi dalam cairan ekstrasel, sedangkan perusakan senyawa ROS terjadi di dalam sel, terutama oleh sistem enzim. Kedua sebagai sistem pertahanan melalui pemutusan
reaksi radikal berantai, dilakukan oleh kelompok antioksidan primer (Winarsi, 2007).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan antioksidan tersier. 2.4.1 Antioksidan Primer
Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Senyawa yang termasuk antioksidan primer adalah senyawa yang dapat memberikan atom hidrogen secara cepat pada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase . (Winarsi, 2007).
Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif. Sebagai antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan dalam kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant (Winarsi, 2007). 2.4.2 Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenous atau non- enzimatis. Dalam sistem pertahanan ini, terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya. Pengekelatan metal terjadi di dalam cairan ekstraseluler (Winarsi, 2007).
Antioksidan non-enzimatis dapat berupa komponen non-nutrisi dan komponen nutrisi dari sayur-sayuran dan buah-buahan. Kerja sistem antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Senyawa antioksidan non enzimatis bekerja dengan cara menangkap radikal bebas (free radical scavenger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. Ketika jumlah radikal berlebihan, kadar antioksidan non- enzimatik dalam cairan biologis menurun (Winarsi, 2007). 2.4.3 Antioksidan Tersier
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas.
Perbaikan kerusakan basa dalam mtDNA dan DNA inti yang diinduksi senyawa oksigen reaktif terjadi melalui perbaikan jalur eksisi basa. Pada umumnya eksisi basa terjadi dengan cara memusnahkan basa yang rusak, yang dilakukan oleh DNA glikosilase (Winarsi, 2007).
2.5 Astaxanthin
Astaxanthin (3,3’-dihydro-β,β-carotene-4,4’-diodine), adalah pigmen merah yang termasuk grup pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan yang kuat dan dapat ditemukan secara luas di alam. Senyawa ini memiliki gugus radikal yang mampu melindungi tubuh terhadap proses peroksidasi lipid dan kerusakan yang diakibatkan oleh proses-proses oksidasi
pada membran sel dan jaringan tubuh. Secara alami, astaxanthin ditemukan pada berbagai jenis makanan manusia yang biasa dikonsumsi sehari-hari (Winarsi, 2007).
Biota laut yang paling memungkinkan sebagai sumber astaxanthin tertinggi adalah alga hijau (Haematococus pluvialis). Alga hijau adalah satu-satunya spesies yang saat ini diketahui dapat mensintesis dan mengakumulasi astaxanthin dalam jumlah tinggi. Kandungan astaxanthinnya mencapai 1000 hingga 3000 kali lipat astaxanthin yang dapat diakumulasi pada daging ikan salmon (Suseela et al, 2006). Selain itu astaxanthin juga dapat diperoleh melalui proses permentasi khamir Xanthophyllomyces dendrorhous atau di ekstrak dari udang-udangan (Winarsi, 2007).
2.5.1 Struktur Kimia, Absorpsi, dan Metabolisme Secara umum, molekul astaxanthin mirip dengan molekul β-karoten, tetapi
perbedaan-perbedaan kecil dalam struktur, memberi perbedaan besar dalam sifat kimia dan biologis dari kedua molekul. Astaxanthin merupakan salah satu jenis karotenoid. Seperti karotenoid lainnya, terbentuk dari rantai 40-karbon poliene, yang menjadi tulang punggung molekulnya. Rantai ini diakhiri dengan kelompok siklik (cincin) yang dilengkapi dengan kelompok oksigen fungsional. Struktur karotenoid berbeda potensinya berdasarkan pigmen yang dimiliki ( Winarsi,2007). Kekuatan astaxanthin terletak pada potensinya dalam mencegah berbagai penyakit dan gangguan kesehatan lain. Sebagai antioksidan, astaxanthin memiliki aktivitas menetralkan singlet oksigen dan peroksida lipid. Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin (Vincent, 2007).
Gambar 2.4 Rumus Bangun Astaxanthin
Sumber : Winarsi, 2007 2.5.2 Astaxanthin sebagai Antioksidan
Astaxanthin sebagai salah satu jenis karotenoid berperan dalam melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui dua mekanisme yaitu menetralkan singlet oksigen dan peroksidase lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lemak dan kerusakan oksidasi oleh membran sel dan jaringan (Goto et al., 2001; Suseela et al., 2006).
Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur
karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas, sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai. Astaxanthin memiliki potensi menghambat terjadinya singlet oksigen yang merupakan radikal bebas, lebih besar dibandingkan karotenoid lain dan vitamin E. Stabilitas astaxanthin terhadap radiasi sinar ditemukan bahwa astaxanthin lebih stabil dibandingkan dengan tokoferol dan likopen (Goto et al., 2001).
Astaxanthin seperti vitamin E merupakan antioksidan yang larut dalam lemak, sehingga memungkinkan melewati membran sel yang kaya lemak dan jaringan. Astaxanthin mampu bereaksi dengan radikal lain dengan berbagai cara, hal tersebut disebabkan karena karakteristik karotenoid yang kaya akan elektron, sehingga sangat atraktif terhadap radikal, oleh sebab itu mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Winarsi, 2007; Sofia, 2010 ).
Studi banding antara astaxanthin dan jenis karoten lainnya telah memperlihatkan bahwa astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan 40 kali lebih kuat dari kelompok karoten seperti β-karoten, canthaxanthin, lutein, dan zeaxanthin. Astaxanthin memiliki efektivitas 500 – 1000 kali lebih baik dibandingkan vitamin E dalam hal pencegahan peroksidasi lemak secara in vivo, 6000 kali vitamin C, 800 kali Coenzym Q10, 560 kali ekstrak green tea, 75 kali α lipoic acid. Absorpsi astaxanthin sangat cepat, dengan waktu penyerapan maksimum dua sampai enam jam setelah makanan masuk ke dalam pencernaan (Wood dan Yamasitha, 2009). Ada beberapa antioksidan yang pada keadaan tertentu dapat menjadi prooksidan sehingga mempunyai efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Antioksidan dari golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu β-karoten, likopen, dan zeaxanthin (Naguib, 2000). Bahkan antioksidan yang sudah dikenal seperti vitamin C, vitamin E, dan Zinc dapat menjadi prooksidan. Sedangkan astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan. Hal ini merupakan faktor penting lain yang membedakan astaxanthin dari antioksidan lainnya.
2.6 Peranan Astaxanthin dalam Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan urutan kejadian pada perkembangan spermatozoa dari spermatogonia. Pada mamalia spermatogenesis berlangsung melalui tiga tahap yaitu spermatositogenesis, meiosis, dan spermiogenesis. Tempat terjadinya spermatogenesis adalah epitel germinal tubulus seminiferus (Ganong, 2002).
Pelatihan fisik yang berlebih menyebabkan timbulnya radikal bebas sehingga akan dapat menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan (stres oksidatif). Radikal bebas yang terbentuk berefek pada kerusakan sel-sel spermatogenik dengan cara merusak komponen lipid dari membran sel spermatozoa yang sangat tinggi kandungan asam lemak tak jenuhnya, yang penting untuk mengatur proses spermatogenesis. Radikal bebas dapat mempengaruhi proses spermatogenesis pada manusia maupun mencit dengan menurunnya kadar hormon testosteron. Hormon tersebut berfungsi dalam spermatogenesis dan pematangan spermatozoa (Sukmaningsih, 2003).
Pelatihan fisik berlebih juga akan dapat menimbulkan gangguan pada fungsi endokrin, seperti peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar testosteron (Maffetone, 2007). Pada pelatihan fisik berlebih terjadi peningkatan ACTH dan penurunan kadar LH plasma. Setelah pelatihan fisik berlebih, corticotropin releasing hormon (CRH) menginduksi pelepasan ACTH dan β-endorphin. Peningkatan β-endorphin dapat menghambat pelepasan gonadotropin (sekresi LH). Penurunan sekresi LH dapat menyebabkan terjadinya penurunan hormon testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig (Colon, 2007; Safarirejad et al.,2007).
Pemberian astaxanthin sebagai antioksidan eksogen dapat membantu mencegah terjadinya kerusakan sel, termasuk sel-sel spermatogenik. Astaxhantin sebagaimana halnya dengan beta karoten mempunyai sifat pemutus rantai, bersifat lipofilik dapat berperan pada membran sel termasuk sel spermatozoa untuk mencegah terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid adalah reaksi yamg timbul oleh radikal hidroksil terhadap asam lemak tak jenuh dari fosfolipid dan glikolipid yang menyusun membran sel (Mayes, 2003).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Spermatogenesis merupakan urutan kejadian pada perkembangan spermatozoa dari spermatogonia. Pada mamalia spermatogenesis berlangsung melalui tiga tahap yaitu spermatositogenesis, meiosis dan spermiogenesis. Tempat terjadinya spermatogenesis adalah epitel germinal tubulus seminiferus. Spermatogenesis pada mencit memerlukan waktu ± 35,5 hari. Spermatogenesis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain radikal bebas, umur, hormon, psikologi, dan genetik. Faktor eksternal antara lain suhu, radiasi sinar X, nutrisi, trauma, dan polusi lingkungan.
Pelatihan fisik berlebih menyebabkan timbulnya radikal bebas sehingga akan dapat menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan (stres oksidatif). Radikal bebas yang terbentuk berefek pada kerusakan sel-sel spermatogenik dengan cara merusak komponen lipid dari membran sel spermatozoa yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi, yang sangat penting untuk mengatur proses spermatogenesis. Pelatihan fisik berlebih juga dapat menimbulkan gangguan pada fungsi endokrin, seperti peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar testosteron. Setelah pelatihan fisik berlebih, corticotropin releasing hormon (CRH) menginduksi pelepasan ACTH dan β-endorphin. Peningkatan β-endorphin dapat menghambat pelepasan gonadotropin (sekresi LH). Penurunan sekresi LH dapat menyebabkan terjadinya penurunan hormon
testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig. Penurunan kadar hormon testosteron akan mengganggu proses spermatogenesis dan pematangan spermatozoa.
Pemberian astaxanthin sebagai antioksidan eksogen dapat membantu mencegah terjadinya kerusakan sel, termasuk sel-sel spermatogenik. Astaxhantin yang mempunyai sifat pemutus rantai, bersifat lipofilik dapat berperan pada membran sel termasuk sel spermatozoa untuk mencegah terjadinya peroksidasilipid. Jadi, pemberian astaxanthin diharapkan mampu meningkatkan proses spermatogenesis pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih. 3.2 Konsep
Adapun konsep dalam penelitian ini yaitu:
Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis 3.3.1 Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel- sel
Spermatogonium A pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
3.3.2 Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatosit Pakhiten pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
3.3.3 Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatid 7 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
3.3.4 Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel Spermatid 16 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
Mencit Pelatihan fisik berlebih
Spermatogenesis Spermatogonium A
Spermatosit pakhiten Spermatid 7
Spermatid 16
Faktor Internal Psikologi Genetika Hormon
Radikal bebas Umur
Faktor Eksternal Suhu
Radiasi Nutrisi Polusi
Trauma
Astaxanthin
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan pretest-postest control group design (Pocock, 2008). Adapun skema penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: 01 P0 02 P S R 03 P1 04
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian Keterangan : P = Populasi S = Sampel R = Randomisasi 01 = Pemeriksaan awal sel-sel spermatogenik pada kelompok
kontrol. 02 = Pemeriksaan sel-sel spermatogenik pada kelompok
kontrol setelah 35 hari pasca induksi pelatihan fisik berlebih tanpa pemberian astaxanthin.
03 = Pemeriksaan awal sel-sel spermatogenik pada kelompok perlakuan.
04 P0 P1
= = =
Pemeriksaan sel-sel spermatogenik pada kelompok perlakuan setelah 35 hari pasca pelatihan fisik berlebih dengan pemberian astaxanthin. Perlakuan pada kelompok kontrol dengan pemberian plasebo (gliserin) 0,5 cc pasca induksi pelatihan fisik berlebih. Perlakuan pada kelompok perlakuan dengan pemberian astaxanthin 0,01 mg dalam larutan gliserin 0,5 cc per hari pasca induksi pelatihan fisik berlebih.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, dan pemeriksaan histopatologi dikerjakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2011. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Kriteria Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah mencit jantan dewasa dengan kriteria sebagai berikut : 4.3.1.1 Kriteria inklusi
Berat badan 20-22 gram Umur 2 – 3 bulan Sehat, satu hibrid, Galur Balb-C
4.3.1.2 Kriteria eksklusi Mencit tidak mau makan.
4.3.1.3 Kriteria Drop Out Mencit sakit atau mati saat penelitian berlangsung.
4.3.2 Besar Sampel Besar sampel yang akan diperlukan dalam penelitian ini didasarkan pada
rumus Pocock (2008): 2σ2
n = _____ x f (α, β) (µ2 - µ1)2
Keterangan : n : jumlah sampel δ : standar deviasi (SD) kelompok perlakuan µ1 :rerata hasil Spermatid 7 pada kelompok setelah perlakuan µ2 : rerata hasil Spermatid 7 pada kelompok sebelum perlakuan f (α,β) : besarnya didapat dari tabel Pocock (2008) Dari penelitian Pusparini (2010) terhadap proses spermatogenesis mencit dengan pemberian beta karoten oral setelah diinduksi pelatihan fisik berlebih, didapatkan data :
1. Standar deviasi (δ) kelompok perlakuan = 7,37
2. Rerata hasil Spermatid 7 pada kelompok pre-test (µ2) = 104,91
3. Rerata hasil Spermatid 7 pada kelompok post-test (µ1) = 99,90
4. f (α,β) = besarnya dilihat pada tabel Pocock sebesar 10,5
Jadi jumlah sampel (n) yang didapat 6,17 dibulatkan menjadi 7. dan ditambah
1 ekor mencit untuk masing-masing kelompok sebagai cadangan. Dalam hal ini, pada masing-masing kelompok terdapat 8 ekor mencit, sehingga jumlah mencit yang diperlukan adalah 32 ekor.
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel Oleh karena sampel ini bersifat homogen yaitu mencit jantan yang memenuhi
syarat sebagai sampel penelitian berdasarkan kriteria inklusi, maka diambil secara acak sederhana untuk mendapatkan jumlah sampel. Sampel yang dipilih dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang diinduksi pelatihan fisik berlebih tanpa diberi astaxanthin, dan kelompok perlakuan yang diinduksi pelatihan fisik berlebih dengan pemberian astaxanthin 0,01 mg. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel yang diukur adalah jumlah sel spermatogonium A, spermatosit pakhiten, spermatid 7 dan spermatid 16 setelah perlakuan selama 35 hari. 4.4.2 Klasifikasi Variabel 4.4.2.1 Variabel Bebas : Astaxanthin oral 4.4.2.2 Variabel Tergantung : Jumlah sel Spermatogonium A, Spermatosit
Pakhiten, Spermatid 7, Spermatid 16. 4.4.2.3 Variabel Kendali : Strain mencit Balb C, jenis kelamin, umur,
berat badan, lingkungan (suhu, cahaya, dan kelembaban).
4.4.3 Definisi Operasional Variabel 4.4.3.1 Pelatihan fisik berlebih pada mencit adalah waktu pelatihan yang diukur
berdasarkan waktu maksimal kemampuan renang mencit pada ember berdiameter 35 cm dengan kedalaman air 20 cm, yang dilakukan setiap hari selama 60 menit atau hampir tenggelam (Binekada, 2002), dengan lama pelatihan 35 hari.
4.4.3.2 Astaxanthin oral adalah konsentrasi sediaan antioksidan dalam bentuk serbuk yang dilarutkan dengan gliserin sehingga menjadi 0,5 ml yang diberikan satu kali sehari secara oral melalui zonde, dan diberikan setelah dilakukan pelatihan fisik berlebih. Dosis pemberian astaxanthin mengacu pada kebutuhan astaxanthin bagi orang dewasa yaitu 4 mg/hari. Berdasarkan tabel konversi perhitungan dosis menurut Laurance dan Bacharah (Get dan Barnes, 1994), maka perhitungan konversi untuk astaxanthin adalah sebagai berikut : Dosis manusia dewasa (rata-rata berat 70 kg) = 4 mg Dosis mencit 20 gr = 0,0026 x 4 mg = 0,0104 mg Jadi dosis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 0,01 mg per hari.
4.4.3.3 Sel-sel spermatogenik yaitu jumlah sel-sel spermatogonium A dengan 5 lapangan pandang. Hasil penghitungan yang diperoleh adalah hasil rata-rata dari semua pengamatan. Jumlah sel berbentuk bulat, dekat lamina basalis, inti lonjong, oval, kromatin halus, dan selaput inti tipis.
4.4.3.4 Jumlah sel spermatosit pakhiten yaitu jumlah sel berbentuk bulat, besar, inti gelap dengan kromosom yang jelas dalam 5 lapangan pandang secara mikroskopis. Hasil penghitungan yang diperoleh adalah rata-rata dari semua pengamatan.
4.4.3.5 Jumlah sel spermatid 7 yaitu jumlah sel berbentuk bulat, lebih kecil dari spermatosit pakhiten, inti bulat, pucat, dan terang, yang diamati dalam 5 lapangan pandang secara mikroskopis. Hasil penghitungan yang diperoleh adalah rata-rata dari semua pengamatan..
4.4.3.6 Jumlah sel spermatid 16 yaitu jumlah sel yang menunjukkan spermatozoa yang telah lengkap sempurna, berada dekat lumen dengan ekor menghadap ke lumen, yang diamati dalam 5 lapangan pandang secara mikroskopis. Hasil penghitungan yang diperoleh adalah rata-rata dari semua pengamatan.
4.4.3.7 Berat badan adalah berat badan mencit jantan yang ditimbang dengan timbangan gram.
4.4.3.8 Umur mencit ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran yang telah dicatat pada kandang percobaan.
4.4.3.9 Cahaya, suhu, dan kelembaban merupakan kondisi lingkungan yang dialami mencit. Pada penelitian kondisi lingkungan disamakan dengan mengandangkan mencit pada satu lingkungan dengan cahaya, suhu, dan kelembaban yang sama. Cahaya yang digunakan berupa cahaya lampu neon 10 watt, suhu kamar 250 C dan kelembaban 70%.
4.4.4 Hubungan Antar Variabel
Gambar 4.2 : Bagan Hubungan Antar Variabel 4.5 Alat dan Bahan 4.5.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam pengambilan data penelitian adalah sebagai berikut : 1. Kandang mencit terbuat dari besi, di dalamnya terdapat sekam dan botol
minuman.
Variabel Bebas Astaxanthin oral
Variabel Tergantung Spermatogenesis: Jumlah sel-sel spermatogenik (Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, spermatid 16).
Variabel kendali Strain ,Berat badan, Lingkungan, Kesehatan
2. Ember berdiameter 35 cm dan kedalaman air 20 cm.
3. Mikroskop elektrik.
4. Stop watch.
5. Timbangan.
6. Spuit injeksi 1 ml.
7. Slang plastik, panjang ± 2 cm.
8. Alat bedah minor (bak parafin, pisau bedah, pinset dan gunting bedah).
9. Duplex Tissue Prosessor.
10. Peralatan untuk sediaan histologis seperti mikroton, oven, scalpel, holder,
spatula, hotplate, staining jar, obyek gelas dan kaca penutup.
4.5.2 Bahan Penelitian 1. Astaxanthin 4 mg , larutan gliserin 2. Mencit putih jantan. 3. Makanan mencit berupa pellet dan air minum dari ledeng. 4. Larutan buffer formalin 10%. 5. Bahan kimia untuk pembuatan sediaan histologis antara lain alkohol 70%,
alkohol 75%, alkohol 95/96%, alkohol 100%, xylol, parafin cair, bahan pewarna hematoxylin-eosin, entelan.
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Persiapan Hewan Coba
Mencit jantan dewasa, strain Balb-C, sehat, berumur dua sampai tiga bulan dengan berat badan 20-22 gram , dilakukan aklitimatisasi selama satu minggu di tempat penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan. Setelah itu, mencit-mencit akan dikelompokkan secara random menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok dimasukkan ke dalam kandang yang terbuat dari besi. 4.6.2 Pemberian Perlakuan 1. Perlakuan diberikan setelah hewan coba diadaptasikan dalam kandang selama
tujuh hari, yaitu kelompok P0 tanpa diberi astaxanthin pasca diinduksi pelatihan fisik berlebih, dan kelompok P1 diberi astaxanthin 0,01 mg pasca diinduksi pelatihan fisik berlebih, kemudian dimasukkan dalam kandang masing-masing kelompok. Selama perlakuan hewan coba diberikan makan dan minum secara teratur, kebersihan dan kenyamanan kandang dijaga.
2. Sebelum perlakuan delapan ekor mencit pada masing-masing kelompok dilakukan pembedahan untuk pemeriksaan histologis pada kelompok pre-test.
Setelah dilakukan pembedahan untuk pengambilan testis, mencit tersebut dikubur supaya tidak menimbulkan bau tidak sedap serta efek negatifnya.
3. Kemudian sisa mencit delapan ekor pada masing-masing kelompok diberi perlakuan berupa pelatihan fisik berlebih dengan cara merenangkan mencit selama 60 menit atau sampai hampir tenggelam, dilakukan setiap hari selama 35 hari. Selama perlakuan pelatihan fisik berlebih, mencit diberi plasebo (gliserin) pada kelompok kontrol, astaxanthin 0,01 mg pada kelompok perlakuan.
4. Hari ke-36, delapan ekor mencit pada masing-masing kelompok dibedah dan diambil testisnya untuk pemeriksaan histopatologi (post-test).
4.6.3 Alur Penelitian
Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian 4.6.4 Cara Membuat Sediaan Mikroskopis
Mencit dipingsankan dengan eter, kemudian daerah perineum dibuka dengan gunting bedah secara hati-hati lalu testis diangkat. Testis dipisahkan kemudian difiksasi pada larutan buffer formalin 10% selama 3 jam, lalu dilakukan dehidrasi. Mula-mula alkohol 70% selama ½ jam, kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 95% selama ½ jam, kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 100% pertama (I) selama ½ jam, kedua (II) selama 1 jam, ketiga (III) selama 1 jam dan keempat (IV) selama 1 jam. Kemudian proses clearing dimasukkan ke dalam xylol pertama (I) selama 1 jam dan xylol kedua (II) selama 4 jam. Kemudian dibuat blok parafin dan disimpan dalam almari es. Selanjutnya dilakukan pewarnaan (stainning). Pewarnaan sediaan testis dengan Hematoxylin-Eosin (HE), dengan cara pertama deparafinisasi dengan xylol, hidrasi dengan serial alkohol 100% (2 x 2 menit) -
Mencit (32 ekor)
Kontrol (16 ekor)
Perlakuan (16 ekor)
Pre-Test (8 ekor)
Pre-Test (8 ekor)
Pelatihan fisik berlebih dan pemberian plasebo 0,5
ml & (8 ekor)
Pelatihan fisik berlebih dan pemberian astaxanthin
0,01 mg (8 ekor) Post-Test
(8 ekor) Post-Test (8 ekor)
Histopatologi Jumlah sel spermatogenik
Histopatologi Jumlah sel Spermatogenik
95% (2 menit) – 80% (2 menit) – 70% (2 menit) kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 1 menit, lalu dicuci dengan air keran beberapa menit sampai air bersih, lalu diwarnai dengan eosin biarkan selama 5 menit, lalu cuci 2 kali dengan alkohol 75%, kemudian dilakukan dehidrasi dengan alkohol 95%, kemudian bersihkan dengan xylol sebanyak 2 kali masing-masing 5 menit selanjutnya dilakukan mounting menggunakan entelan (Jusuf, 2009). 4.6.5 Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh dari : 1. Hasil pemeriksaan pre-test terhadap masing-masing kelompok yang diambil
testisnya dan diamati secara mikroskopis.
2. Hasil pemeriksaan post-test terhadap kedua kelompok yang diambil testisnya
diamati secara mikroskopis.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah sel-sel spermatogenik secara mikroskopis dengan pembesaran 400 kali dan 1000 kali pada testis kanan dan kiri. Dipilih tubulus seminiferus VII dan VIII yang terpotong melintang tegak lurus sehingga penampang tubulus tampak bulat.
4.7 Analisis Data
Hasil pengamatan spermatogenesis dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut : 4.7.1 Analisis Deskriptif.
4.7.2 Uji Normalitas data dilakukan dengan Shapiro-Wilk, didapat data
berdistribusi normal dengan nilai p> 0,05.
4.7.3 Uji Homogenitas antar kelompok dengan Levene’s Test, didapat hasil
varian antar kelompok homogen dengan nilai p> 0,05.
4.7.4 Uji Komparabilitas.
Karena data yang diperoleh berdistribusi normal, maka analisis yang digunakan meliputi : a. Independent t-test, untuk membandingkan pre-test kelompok kontrol
dengan pre-test kelompok perlakuan, dan post-test kelompok kontrol
dengan post-test kelompok perlakuan.
b. Paired t-test, untuk analisis perbandingan pre-test kelompok kontrol
dengan post-test kelompok kontrol, dan pre-test kelompok perlakuan
dengan post-test kelompok perlakuan.
4.7.5 Analisis data menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau dinyatakan
berbeda bila p< 0,05.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Deskriptif Hasil Penelitian Data jumlah rerata sel spermatogenik dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terlihat pada tabel 5.1
Tabel 5.1 Jumlah Rerata Sel Spermatogenik Pre-Test Post-Test dari
Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan
Sel Spermatogenik Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan
Pre-Test Post-Test
Pre-Test Post-Test
Spermatogonium A
38,13 27,18 38,25 39,40
Spermatosit Pakhiten
41,00 29,73 40,75 41,03
Spermatid 7
26,88 18,93 27,88 26,45
Spermatid 16 31,75 26,53 30.88 31,38
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok kontrol
mengalami penurunan jumlah sel-sel spermatogenik, sedangkan pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan jumlah sel-sel spermatogenik.
5.2 Uji Normalitas Data
Data jumlah sel Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2 dan 5.3.
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten,
Spermatid 7, dan Spermatid 16 Sebelum Perlakuan
Sel-sel Spermatogenik
Kelompok n p Keterangan
Spermatogonium A Kontrol Perlakuan
8 8
.123
.592 Normal Normal
Spermatosit Pakhiten Kontrol Perlakuan
8 8
.342
.801 Normal Normal
Spermatid 7 Kontrol Perlakuan
8 8
.451
.369 Normal Normal
Spermatid 16 Kontrol perlakuan
8 8
.525
.858 Normal Normal
Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas Data Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten,
Spermatid 7, dan Spermatid 16 Sesudah Perlakuan
Sel-sel Spermatogenik
Kelompok n p Keterangan
Spermatogonium A Kontrol Perlakuan
8 8
.484
.184 Normal Normal
Spermatosit Pakhiten Kontrol Perlakuan
8 8
.688
.992 Normal Normal
Spermatid 7 Kontrol Perlakuan
8 8
.067
.343 Normal Normal
Spermatid 16 Kontrol perlakuan
8 8
.213
.599 Normal Normal
5.3 Uji Homogenitas Data antar Kelompok
Data Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Hasil Uji Homogenitas antar Kelompok Data Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 Sebelum dan Sesudah
Perlakuan
Kelompok Subjek F p Keterangan
Spermatogonium A pre Spermatosit Pakhiten pre Spermatid 7 pre Spermatid 16 pre Spermatogonium A post Spermatosit Pakhiten post Spermatid 7 post Spermatid 16 post
.516
.010 2.511
.223
.046
.023
.136 3.147
.484
.921
.135
.644
.833
.883
.718
.098
Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen
5.4 Spermatogonium A 5.4.1. Uji Komparabilitas
Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata Spermatogonium A antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan dalam tabel 5.5 berikut.
Tabel 5.5
Rerata Spermatogonium A antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata
Spermatogonium A
SB t p
Kontrol Astaxanthin
8 8
38,13
38,25
1,96
1,28 0,151 0,882
Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatogonium A
kelompok kontrol adalah 38,131,96, rerata kelompok astaxanthin adalah 38,251,28. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 0,151 nilai p =0,882. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatogonium A pada kedua kelompok adalah sama (p > 0,05). 5.4.2 Analisis Efek Perlakuan
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata Spermatogonium A antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.6 berikut.
Tabel 5.6
Rerata Spermatogonium A antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata Spermatogonium A SB t p
Kontrol
Astaxanthin
8
8
27,18
39,40
2,11
2,75 9,975 0,000
Tabel 5.6 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatogonium A
kelompok kontrol adalah 27,182,11, rerata kelompok astaxanthin adalah 39,402,75. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 9,975 nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatogonium A pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05).
0
10
20
30
40
kontrol perlakuan
38,13 38,25
27,18
39,4
pre
post
Gambar 5.1 Grafik Spermatogonium A Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Gambar 5.1 di atas menggambarkan bahwa pemberian astaxanthin mencegah penurunan Spermatogonium A dibandingkan dengan kontrol yang diberikan pelatihan berlebih.
5.5 Spermatosit Pakhiten 5.5.1 Uji Komparabilitas
Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata Spermatosit Pakhiten antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.7 berikut.
Tabel 5.7 Rerata Spermatosit Pakhiten antar Kelompok Sebelum Diberikan
Perlakuan
Kelompok Subjek n
Rerata Spermatosit
Pakhiten
SB t p
Kontrol
Astaxanthin
8
8
41,00
40,75
2,00
1,67 0,271 0,790
Tabel 5.7 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatosit pakhiten
kelompok kontrol adalah 41,002,00, rerata kelompok astaxanthin adalah 40,751,67. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 0,271 nilai p =0,790. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatosit pakhiten pada kedua kelompok adalah sama (p > 0,05).
5.4.2 Analisis Efek Perlakuan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata Spermatosit pakhiten
antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.8 berikut.
Tabel 5.8 Rerata Spermatosit Pakhiten antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata
Spermatosit pakhiten
SB t p
Kontrol
Astaxanthin
8
8
29,73
41,03
1,56
1,61 14,26 0,000
Tabel 5.8 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatosit pakhiten
kelompok kontrol adalah 29,731,56, rerata kelompok astaxanthin adalah 41,031,61. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 14,26 nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatosit Pakhiten pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05).
05
1015202530354045
kontrol perlakuan
41 40,75
29,73
41,03
pre
post
Gambar 5.2 Grafik Spermatosit Pakhiten Sebelum dan Sesudah Perlakuan Gambar 5.2 di atas menggambarkan bahwa pemberian astaxanthin
mencegah penurunan Spermatosit Pakhiten dibandingkan dengan kontrol yang diberikan pelatihan berlebih.
5.6 Spermatid 7 5.6.1 Uji Komparabilitas
Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata Spermatid 7 antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.9 berikut.
Tabel 5.9 Rerata Spermatid 7 antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata
Spermatid 7
SB t p
Kontrol
Astaxanthin
8
8
26,88
27,88
2,64
1,64 0,909 0,379
Tabel 5.9 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatid 7 kelompok
kontrol adalah 26,882,64, rerata kelompok astaxanthin adalah 27,881,64. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 0,909 nilai p =0,379. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatid 7 pada kedua kelompok adalah sama (p > 0,05). 5.6.2 Analisis Efek Perlakuan
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata Spermatid 7 antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.10 berikut.
Tabel 5.10
Rerata Spermatid 7 antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata Spermatid 7 SB t p
Kontrol
Astaxanthin
8
8
18,93
26,45
1,92
1,52 8,700 0,000
Tabel 5.10 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatid 7 kelompok
kontrol adalah 18,931,92, rerata kelompok astaxanthin adalah 26,451,52. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 8,700 nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatid 7 pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05).
0
5
10
15
20
25
30
kontrol perlakuan
26,88 27,88
18,93
26,45
pre
post
Gambar 5.3 Grafik Spermatid 7 Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Gambar 5.3 di atas menggambarkan bahwa pemberian astaxanthin mencegah penurunan Spermatid 7 dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan pelatihan berlebih. 5.7 Spermatid 16 5.7.1 Uji Komparabilitas
Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata Spermatid 16 antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.11 berikut.
Tabel 5.11 Rerata Spermatid 16 antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata
Spermatid 16
SB t p
Kontrol
Astaxanthin
8
8
31,75
30,88
3,69
2,95 0,524 0,609
Tabel 5.11 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatid 16 kelompok
kontrol adalah 31,753,69, rerata kelompok astaxanthin adalah 30,882,95. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 0,524 nilai p =0,609. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatid 16 pada kedua kelompok adalah sama (p > 0,05).
5.7.2 Analisis Efek Perlakuan
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata Spermatid 16 antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.12 berikut.
Tabel 5.12
Rerata Spermatid 16 antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata Spermatid 16 SB t p
Kontrol
Astaxanthin
8
8
26,53
31,38
1,59
2,54 4,576 0,001
Tabel 5.12 di atas, menunjukkan bahwa rerata Spermatid 16 kelompok
kontrol adalah 26,531,59, rerata kelompok astaxanthin adalah 31,382,54. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 4,576 nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata Spermatid 16 pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05).
22
24
26
28
30
32
kontrol perlakuan
31,7530,88
26,53
31,38
pre
post
Gambar 5.4 Grafik Spermatid 16 Sebelum dan Sesudah Perlakuan Gambar 5.4 di atas menggambarkan bahwa pemberian astaxanthin mencegah
penurunan Spermatid 16 dibandingkan dengan kontrol yang diberikan pelatihan berlebih.
5.8 Uji Paired T-Test Kelompok Penelitian 5.8.1 Kelompok Kontrol Analisis Paired T-test dilakukan untuk mengetahui rata-rata antara kelompok pre-test dengan post-test. Hasil analisis kemaknaan dengan Paired T-test dari data sel-sel spermatogenik sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol sangat berbeda bermakna (p< 0,05), seperti pada Tabel 5.13.
Tabel 5.13 Uji Paired T-Test Pre-Test dan Post-Test Kelompok Kontrol
Pair Pre-test Post-Test
Kontrol Perbedaaan T df p
Mean Standar Deviasi Spermatogonium A
1,09 2,22 13,959 7 0,000
Spermatosit Pakhiten
1,13 1,78 17,893 7 0,000
Spermatid 7
7,95 2,41 9,316 7 0,000
Spermatid 16
5,23 4,32 3,419 7 0,011
5.8.2 Kelompok Perlakuan Analisis Paired T-test dilakukan untuk mengetahui rata-rata antara
kelompok pre-test dan post-test. Hasil analisis kemaknaan dengan Paired T-test dari data sel-sel spermatogenik sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna (p> 0,05),tunjukkan pada Tabel 5.14
Tabel 5.14 Uji Paired T-Test Pre-Test dan Post-Test Kelompok Perlakuan
Pair Pre-test Post-Test
Perlakuan Perbedaaan T df p
Mean Standar Deviasi
Spermatogonium A
-1,15 3,38 -0,962 7 0,368
Spermatosit Pakhiten
-0,275 0,667 -1,166 7 0,282
Spermatid 7
1,425 1,47 2,725 7 0,055
Spermatid 16
-0,50 1,42 0,997 7 0,352
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah mencit, karena mencit merupakan hewan
mamalia yang memiliki struktur organ yang menyerupai manusia. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 32 ekor mencit galur Balb-C yang berumur dua sampai tiga bulan dengan berat badan 20-22 gram sebagai sampel, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompk kontrol (plasebo) dan kelompok perlakuan (astaxanthin 0,01 mg). 16 ekor mencit dialokasikan sebagai sampel pre-test dan 16 ekor sebagai post-test, sehingga masing-masing kelompok berjumlah 8 ekor. Data jumlah sel Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dan homogenitasnya diuji dengan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan bahwa semua data berdistribusi normal dan homogen sehingga digunakan uji t-independent
6.2 Efek Astaxanthin Terhadap Spermatogenesis Mencit yang mengalami
Pelatihan Fisik Berlebih. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata Spermatogonium A
sebelum perlakuan pada kelompok kontrol adalah 38,131,96, rerata kelompok astaxanthin adalah 38,251,28; rerata Spermatosit Pakhiten kelompok kontrol adalah 41,002,00, rerata kelompok astaxanthin adalah 40,751,67; rerata Spermatid 7 kelompok kontrol adalah 26,882,64, rerata kelompok astaxanthin adalah 27,881,64, dan rerata Spermatid 16 kelompok kontrol adalah 31,753,69, rerata kelompok astaxanthin adalah 30,882,95. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa sebelum diberikan perlakuan tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok (p > 0,05).
Sedangkan setelah diberikan perlakuan berupa astaxanthin didapatkan rerata Spermatogonium A kelompok kontrol adalah 27,182,11, rerata kelompok astaxanthin adalah 39,402,75; rerata Spermatosit Pakhiten kelompok kontrol adalah 29,731,56, rerata kelompok astaxanthin adalah 41,031,61; rerata Spermatid 7 kelompok kontrol adalah 18,931,92, rerata kelompok astaxanthin adalah 26,451,52; dan rerata Spermatid 16 kelompok kontrol adalah 26,531,59, rerata kelompok astaxanthin adalah 31,382,54. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent didapatkan bahwa kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Terjadinya penurunan Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 setelah diberikan pelatihan berlebih disebabkan karena pelatihan fisik berlebih atau dengan intensitas tinggi dan durasi lama dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan sel. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sutarina dan Edward (2004) yang menyatakan bahwa olah raga dengan intensitas tinggi dan durasi lama terbukti dapat menimbulkan kerusakan
sel. Di samping itu, penelitian yang dilakukan pada tikus yang diberikan beban kerja aktivitas fisik (swimming stress) dengan beban ekor 2% dari berat badan tikus menunjukkan adanya peningkatan kadar Malondialdehide (MDA) yang bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan beban kerja aktivitas fisik (Maslachah, 2008). Senyawa MDA menyebabkan kerusakan membran spermatozoa dan penurunan integritas membran spermatozoa sehingga akan terjadi penurunan kualitas spermatozoa (Hayati et al., 2006).
Pelatihan fisik berlebih dapat meningkatkan radikal bebas yang disebabkan antara lain karena selama latihan fisik berlebih, seluruh tubuh mengkonsumsi oksigen (VO2) menjadi 20 kali lebih besar dibandingkan saat istirahat. Mitokondria adalah tempat utama pembentukan ROS selama latihan melalui jalur elektron. Akibatnya akan terbentuk radikal bebas superoksida. Radikal bebas superoksida secara cepat akan direduksi menjadi hidrogen peroksida oleh enzim superoksida dismutase oleh mitokondria. Bila molekul hidrogen peroksida ini bereaksi dengan logam transisi seperti Fe++ dan CU++ akam meningkatkan pembentukan radikal hidroksil. Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling reaktif yang terjadi di dalam organ hati, ginjal, dan usus. Keadaan ini akan menyebabkan aktivasi xantin oksidase dengan reduksi satu elektron oksigen sehingga akan meningkatkan pembentukan radikal superoksida. Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel-sel spermatogenik melalui mekanisme peroksidasi komponen lipid dari membran sel (Saleh et al., 2002). Kerentanan spermatozoa dari proses lipid peroksidasi karena struktur dari membran sel spermatozoa sangat tinggi kandungan asam lemak tak jenuh khususnya Docosahexaenoic dimana penting dalam mengatur proses spermatogenesis dan fluiditas membran. Peroksidasi dari asam lemak tak jenuh yang terjadi pada membran sel spermatozoa adalah reaksi self-propagation, yang dapat meningkatkan disfungsi sel akibat hilangnya fungsi dan integritas membran(Sanocka, 2004).
Pelatihan fisik berlebih juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan motilitas spermatozoa (Binekada, 2002; Manna et al., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Indira (2008), menunjukkan adanya penurunan sel-sel spermatogenik pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih. Penurunan sel-sel spermatogenik ini disebabkan oleh degenerasi maupun kerusakan sel-sel spermatogenik yang disebabkan oleh adanya radikal bebas yang terbentuk dari pelatihan fisik berlebihan yang dialami oleh hewan coba (Maneesh dan Jayalakshmi, 2006). Penelitian tentang pelatihan fisik berlebih (stres fisik) yang disertai dengan penurunan kualitas spermatozoa menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) dalam seminal plasma dan penurunan perlindungan oleh antioksidan (Tremellen, 2008). Sitoplasma sel spermatogenik mengandung sejumlah kecil scavenging enzyme, namun enzim antioksidan intrasel ini tidak mampu melindungi membran plasma yang melingkupi akrosom dan ekor spermatozoa dari serangan radikal bebas. Pada pelatihan fisik berlebih jumlah antioksidan tidak mampu menetralisir radikal bebas, akibatnya muncul stres oksidatif. Stres oksidatif akibat pelatihan fisik berlebih pada spermatozoa akan menyebabkan gangguan pada proses oksidasi fosforilasi sehingga terjadi peningkatan produksi ROS spermatozoa. Peningkatan ROS ini dapat juga disebabkan karena antioksidan yang tersedia dalam sperma
tidak mampu lagi mengubah oksigen reaktif menjadi senyawa yang netral (Hayati et al., 2006).
Pada penelitian ini data sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan dengan pemberian astaxanthin oral 0,01 mg setiap hari pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih, menunjukkan tidak ada perbedaan secara bermakna dengan nilai p>0,05 (sesuai dengan Tabel 5.14). Hasil ini menunjukkan bahwa, pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-sel spermatogenik pada mencit yang mengalami pelatihan fisik berlebih. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Pusparini (2010), bahwa pemberian antioksidan betakaroten selama 35 hari pada mencit yang mengalami pelatihan fisik berlebih mampu mencegah terjadinya gangguan spermatogenesis. Tidak terjadinya penurunan Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 setelah diberikan astaxanthin, disebabkan karena astaxanthin merupakan salah satu pigmen karotenoid (seperti beta karoten) yang memiliki gugus radikal yang mampu melindungi tubuh terhadap proses peroksidasi lipid dan kerusakan sel yang diakibatkan oleh proses-proses oksidasi pada membran sel dalam jaringan tubuh (Winarsi,2007). Penelitian yang dilakukan oleh Wood dan Yamasitha (2009), menyimpulkan bahwa astaxanthin adalah antioksidan kuat, bersifat alami dan memiliki elektron untuk menetralkan radikal bebas. Penelitian terhadap 30 pria infertil yang terpapar radikal bebas dan diberikan astaxanthin setiap hari selama 3 bulan menunjukkan terjadi peningkatan angka kehamilan sebesar 54,5%, dan pada kelompok yang diberikan plasebo sebesar 10,5% (Comhaire et al., 2005).
Astaxanthin sebagai salah satu jenis karotenoid berperan dalam melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui dua mekanisme yaitu menetralkan singlet oksigen dan peroksidase lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lemak dan mencegah kerusakan membran sel dan jaringan (Goto et al., 2001; Suseela et al., 2006). Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas, sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai. Astaxanthin memiliki potensi menghambat terjadinya singlet oksigen yang merupakan radikal bebas, lebih besar dibandingkan karotenoid lain dan vitamin E. Stabilitas astaxanthin terhadap radiasi sinar ditemukan bahwa astaxanthin lebih stabil dibandingkan dengan tokoferol dan likopen (Goto et al., 2001). Astaxanthin seperti vitamin E merupakan antioksidan yang larut dalam lemak, sehingga memungkinkan melewati membran sel yang kaya lemak dan jaringan. Astaxanthin mampu bereaksi dengan radikal lain dengan berbagai cara, hal tersebut disebabkan karena karakteristik karotenoid yang kaya akan elektron, sehingga sangat atraktif terhadap radikal, oleh sebab itu mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Winarsi, 2007; Sofia, 2010 ). Pemberian astaxanthin pada pelatihan fisik berlebih dapat mencegah atau memutus rantai radikal superoksida menjadi radikal hidrogen peroksida.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pada mencit didapatkan simpulan sebagai berikut:
1. Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-
sel Spermatogonium A pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi
pelatihan fisik berlebih.
2. Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-
sel Spermatosit Pakhiten pada tubulus seminiferus mencit yang diinduksi
pelatihan fisik berlebih.
3. Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-
sel Spermatid 7 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
4. Pemberian astaxanthin oral dapat mencegah gangguan pembentukan sel-
sel Spermatid 16 pada mencit yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh
astaxanthin terhadap proses spermatogenesis mencit yang terpapar oleh
radikal bebas lain dan terhadap kadar hormon LH, dan testosteron.
2. Meskipun pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian astaxanthin
oral dapat mencegah gangguan spermatogenesis mencit, maka perlu
mempertimbangkan penggunaanya pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis, Dan Disertasi. Denpasar. Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Binekada, M.C. 2002. Pelatihan Fisik Berlebih Menurunkan Konsentrasi dan
Motilitas Spermatozoa Mencit (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Colon,E. 2007. Autocrine and Paracrine Regulation of Leydig Cells Survival in
The Postnatal Testis. Stockholm. Karolika Institute. Comhaire,F.H.,Garem,YR.,Mahmoud.,Eertmans.,Schoonjans. 2004. Combined
Conventional/antiokxidant”Astaxanthin” Treatment fopr Male Infertility: a double blind, Randomized Trial. Asian Journal Andrology(2005) 7, 257-262;doi:10.1111/j.1745-7262.2005.00047.x. Available at: http://www.nature.com/aja/journal/v7/n3/abs/aja200549a.html. accessed: Januari 2010.
Daryono, S. 2010. Buku Histologi. Solo. Lembaga Pengembangan Pendidikan
(LPP)UNS. Dellmann, H.D. and E.M. Brown. 1989. Buku Histologi Veteriner II. Jakarta:
Universitas Indonesia. De Kretser, D.M. 2010 Endocrinology of the Male Reproductive System.
Available at: http//www.endotext.org/male/male7/maleframe7.htm. Accessed: January 7th 2011.
Ganong, W.F. 2002. Fisiologi Kedokteran. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC Get, P.A. and Barnes, J.M. 1994. Toxicity Test in D.R Laurence and A.I.
Bachrach. Evaluation Drug Activities: Farmacometric Vol.1.Academic Pres. P: 161.
Goto, S., Kogure,K., Abe,K., Kitahama,K., Yamasitha, E., Terada,H. 2001.
Efficient Radical Trapping at Surface and Inside The Phospholipid Membrane is Responsible for Highly Potent Antiperoxidative Activity of The Carotenoid Astaxanthin. Biochemica et Biophysica Acta. Vol 1512:251-258.
Gupta, G.S. 2005. Proteomics of Spermatogenesis. Departemen of Biophysis Panjab University. India.
Hatfield, F.C. 2001. The Simplicity of Periodicity. International Sport Sciences
Association. Available at:http://www/timivermont,com/fitness/period.htm. Accessed : Nopember 2010.
Hayati, A., Mangkoewidjojo,S., Hinting, A., and Moeljopawiro,S. 2006.
Hubungan Kadar MDA Sperma dengan Integritas Membran Spermatozoa Tiklus Setelah Pemaparan 2-Methoxyethanol. Available from: http://www/berk.penel.hayati/11. Accessed: April 2011.
Huhtaniemi, I.T. 2009. Endocrine Regulation Of Male Reproduction. University
of Turku. Finland. Indira, D. 2010. Glutathion Meningkatkan Kualitas Tubulus Seminiferus Mencit
Yang Mendapat Pelatihan Fisik Berlebih (tesis). Denpasar. Fakultas Kedoktran Hewan. Universitas Udayana.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta. Penerbit: Kanisius. Jusuf, A.A. 2009. Histoteknik Dasar. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Maffetone, P. 2007. The Training Syndrome. Available from :
http://www.philmaffetone.com. Accessed: Nopember 2010. Manifah, I . 2009. Astaxanthin: Senyawa Antioksidan Karoten. Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Available at: http://www.scribd.com/doc/8875209/01 warta-astaxanthin. Accessed : Pebruari 2010.
Maneesh, M and Jayaleshmi, H. 2006. Role of Reactive Oxygen Species and
Antioxidant on Pathophisiology of Male Reproduction. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 21 (2) 80-89.
Manna. 2007. Effect Intensive Exercise-Induced Testicular Gametogenic
Disorders Strain Rats: Correlative Approach to Oxidative Stress. Journal Acta Physiologica Scandinavica volume 178 Issue 1.p.33-40. Available at: http://www.blackwell-synergy.com. Accessed : Desember 2010.
Margonis . 2007. Oxidative Stress Biomarkers Respons to Physical Overtraining:
Implication for Diagnosis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17697935. Accessed Januari 2011.
Maslachah. 2008. Pengaruh Antioksidan Probucal Terhadap kadar Malondialdehide (MDA) dalam Darah dan Jumlah Circulating Endotel pada Tikus Putih Yang menerima Stressor. Available from: http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunar-gld-res-2001-maslachah2c-435-probucal. Accessed: Desember 2010.
Mayes, P.A. 2003. Lipid of Physiologic Significance. Dalam Harper, H.A.(ed)
Harper’s Biochemistry 25th Edition. McGraw Hill Company International Edition. p:160-171.
Misra, D.S., Maiti, R., Bera, S.,Das, K., Ghosh, D. 2005. Protective Effect of
Composite Extract of Withania Somnifera, Ocimum Sanctum and Zingiber Officinale on Swimming-Induced Reproductive Endocrine Dysfuction in Male Rat. Available at: http://ijpt.jums.ac.jr. Accessed: desember 2010.
Naguib, Y.M.A. 2000. Antioksidant Acticities Astaxanthin and Related
Carotenoids. Journal of Agricultural Chemicals. Pangkahila, J.A. 2010. Kebugaran Fisik Menunjang Penampilan dan Potensi
Seksual. Bahan Ajar. Denpasar: Unud. Pocock, S.J. 2008. The Size of A Clinical Trial, Clinical Trials, A Practical
Approach, p 123-127. Pramesemara. 2010. Spermatogenesis Pada Mencit (Mus Musculus). Available
from : http://www.pramreola14.wordpress.com. Accessed: 15 Maret 2011. Pusparini, S.I. 2010. Pemberian Beta Karoten Mencegah Gangguan
Spermatogenesis pada Mencit Yang Menerima Pelatihan Fisik Berlebih (tesis). Denpasar. Universitas Udayana.
Sadller, T.W. 2010. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 10. Alih Bahasa:
Brahm U Pendit; Editor: Andita Novariani. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 30-34
Safarinejad, M.R., Amza, K., Kolahi, AA. 2009. The Effect of Intensive Long-
Term Treadmill Running on Reproductive Hormones, Hypothalamus-Pituitary-Testis Axis, and Semen Quality: A Randomized Controlled Study. Available at: http://www.endocrinology.journals.org. Accessed : Januari 2011.
Saleh, A. 2002. Oxidative Stress and Male Infertility : From Research Bench to
Clinical Practice. Available at: http://www/andrologyjournal. org/ci/content/full/23/6/737. Accessed: April 2011.
Sherwood, L. 2002. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 2. Jakarta: EGC..
Sukmaningsih, K. Sg, A,.A. 2003. Paparan Asap Rokok Menghambat
Spermatogenesis dan Perilaku Seksual Mencit Jantan (Mus musculus Strain Balb C.). (tesis). Program Pascasarjana Program Studi Kedokteran Reproduksi Universitas Udayana. Denpasar.
Suseela, M.R.., Toppo, K. 2006. Haemotococcus pluvialis-a Green Algae, Richest
Natural Source of Astaxanthin. Current Science. Vol 90 (12): 1602-1603. Sutarina, N., Edward, T. 2004. Pemberian Suplemen pada Olahraga. Majalah
GizMindo. Vol.3 No.9 September 2004. Thannical, V.J., Fanburg, B.L. 2000. Reactive Oxygen Species in Cell Signaling,
Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol . Available at: http://humupd.oxfordjournals.org/cgi/content/full/14/3/243. Accessed : Januari 2011
Tremellen,K. 2008. Oxidative Stress and Male Infertility-A Clinical Perspective.
Available at: http://humupd.oxfordjournals.org/cgi/content/full/14/3/243. Accessed : Januari 2011
Vincent, W. 2007. Terapi dan Pencegahan Penyakit dengan Astaxanthin. Jurnal
Simposia Vol.6, No.12. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan. Penerbit Kanisius. Jakarta. Wood, V., Yamashita, E. 2009. Antioxidant Symposium 2009: An Update on
Clinical Research. Jakarta. Available at: http://blog.perriconemd.com/astaxanthin-side-effects. Accessed Januari 2011
Lampiran 1. Uji Normalitas Data
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig. Spermatogonium A pre
Kontrol .225 8 .200* .861 8 .123 Perlakuan .221 8 .200* .938 8 .592
S pakhiten pre Kontrol .250 8 .150 .908 8 .342 Perlakuan .185 8 .200* .959 8 .801
Spermatid 7 pre Kontrol .138 8 .200* .923 8 .451 Perlakuan .220 8 .200* .912 8 .369
Spermatid 16 pre Kontrol .186 8 .200* .931 8 .525 Perlakuan .149 8 .200* .965 8 .858
Spermatogonium A post
Kontrol .181 8 .200* .926 8 .484 Perlakuan .221 8 .200* .879 8 .184
S pakhiten post Kontrol .167 8 .200* .948 8 .688 Perlakuan .147 8 .200* .988 8 .992
Spermatid 7 post Kontrol .317 8 .017 .835 8 .067 Perlakuan .190 8 .200* .908 8 .343
Spermatid 16 post
Kontrol .294 8 .040 .886 8 .213 Perlakuan .191 8 .200* .939 8 .599
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 2. Uji Independent t-Test kelompok Pre-test
Group Statistics
Kelompok N Mean Std.
Deviation Std. Error
Mean Spermatogonium A pre
Kontrol 8 38.1250 1.95941 .69276 Perlakuan 8 38.2500 1.28174 .45316
S pakhiten pre Kontrol 8 41.0000 2.00000 .70711 Perlakuan 8 40.7500 1.66905 .59010
Spermatid 7 pre Kontrol 8 26.8750 2.64237 .93422 Perlakuan 8 27.8750 1.64208 .58056
Spermatid 16 pre Kontrol 8 31.7500 3.69362 1.30589 Perlakuan 8 30.8750 2.94897 1.04262
Independent Samples Test
Levene's Test t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence
Interval Lower Upper Spermato
Equal variances assumed .516 .484 -
.151 14 .882 -.12500 .82781 -1.900 1.6504
gonium A pre
Equal variances not assumed
-.151
12.064 .882 -
.12500 .82781 -1.928 1.6775
S pakhiten pre
Equal variances assumed .010 .921 .271 14 .790 .25000 .92099 -1.725 2.2253
Equal variances not assumed
.271 13.566 .790 .25000 .92099 -1.731 2.2312
Spermatid 7 pre
Equal variances assumed
2.511 .135 -
.909 14 .379 -1.0000 1.0999 -3.359 1.3590
Equal variances not assumed
-.909
11.705 .382 -
1.0000 1.0999 -3.403 1.4032
Spermatid 16 pre
Equal variances assumed .223 .644 .524 14 .609 .87500 1.6710 -
2.7095 4.4590
Equal variances not assumed
.524 13.346 .609 .87500 1.6710 -2.725 4.4756
Lampiran 3. Uji Independent t-test Kelompok Post-test
Group Statistics
Kelompok N Mean Std.
Deviation Std. Error
Mean Spermatogonium A post
Kontrol 8 27.1750 2.11238 .74684 Perlakuan 8 39.4000 2.74851 .97174
S pakhiten post Kontrol 8 29.7250 1.55999 .55154 Perlakuan 8 41.0250 1.60868 .56875
Spermatid 7 post Kontrol 8 18.9250 1.91815 .67817 Perlakuan 8 26.4500 1.51846 .53686
Spermatid 16 post Kontrol 8 26.5250 1.59262 .56308 Perlakuan 8 31.3750 2.53983 .89796
Independent Samples Test Levene's
Test t-test for Equality of Means
F Sig. T df
Sig. (2-
tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence
Interval Lower Upper
Spermatogonium A post
Equal variances assumed .046 .833 -9.975 14 .000 -12.22 1.2256 -14.85 -9.596
Equal variances not assumed
-9.975 13.1 .000 -12.22 1.225 -14.87 -9.579
S pakhiten post
Equal variances assumed .023 .883 -14.26 14 .000 -11.30 .79226 -12.99 -9.600
Equal variances not assumed
-14.26 13.9 .000 -11.30 .79226 -12.99 -9.600
Spermatid 7 post
Equal variances assumed .136 .718 -8.700 14 .000 -7.525 .86494 -9.380 -5.669
Equal variances not assumed
-8.700 13.2 .000 -7.5250 .86494 -9.389 -5.660
Spermatid 16 post
Equal variances assumed 3.147 .098 -4.576 14 .000
-4.8500
0 1.059 -7.123 -2.576
Equal variances not assumed
-4.576 11.7 .001 -4.850 1.0590 -7.164 -2.536
Lampiran 4. Uji Paired T-Test Paired T-Test Kontrol
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std Error Mean
Pair 1 SpApre SpApost
38.1250 27.1750
8 8
1.95941 2.11238
.69276
.74684 Pair 2 SpPpre
SpPpost 41.0000 29.7250
8 8
2.00000 1.55999
.70711
.55154 Pair 3 Sp7pre
Sp7post 26.8750 18.9250
8 8
2.64237 1.91815
.93422
.67817 Pair 4 Sp16pre
Sp16post 31.7500 26.5250
8 8
3.69362 1.59262
1.30689 .56300
Paired Samples Correlations
N Correlations Sig. Pair 1 SpApre & SpApost 8 .408 .315 Pair 2 SpPpre & SpPpost 8 .522 .185 Pair 3 Sp7pre & Sp7post 8 .477 .232 Pair 4 Sp16pre & Sp16post 8 -.212 .613
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower
Upper
Pair 1 SpApre- SpApost
1.09500 2.21875 .78445 9.09508 12.80492 13.959 7 .000
Pair 2 SpPpre- SpPpost
1.12750 1.78225 .63012 9.78500 12.76500 17.893 7 .000
Pair 3 Sp7pre Sp7post
7.95000 2.41365 .85335 5.93214 9.96786 9.316 7 .000
Pair 4 Sp16pre Sp16post
5.22500 4.32195 1.52804 1.61176 8.83824 3.419 7 .011
Paired T-Test Perlakuan
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std Error Mean
Pair 1 SpApre SpApost
38.2500 39.4000
8 8
1.28174 2.74851
.45316
.97174 Pair 2 SpPpre
SpPpost 40.7500 41.0250
8 8
1.66905 1.60868
.59010
.56875 Pair 3 Sp7pre
Sp7post 27.8750 26.4500
8 8
1.64208 1.51846
.58056
.53686 Pair 4 Sp16pre
Sp16post 30.8750 31.3750
8 8
2.94897 2.53983
1.04262 .89796
Paired Samples Correlations
N Correlations Sig. Pair 1 SpApre & SpApost 8 -.316 .445 Pair 2 SpPpre & SpPpost 8 .918 .001 Pair 3 Sp7pre & Sp7post 8 .564 .145 Pair 4 Sp16pre & Sp16post 8 .877 .004
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower
Upper
Pair 1 SpApre- SpApost
-1.15000 3.38019 1.1950 -3.97591 1.67591 -.962 7 .368
Pair 2 SpPpre- SpPpost
-.27500 .66708 .23585 -.83270 .28270 -1.166 7 .282
Pair 3 Sp7pre Sp7post
1.42500 1.47914 .52296 .18841 2.66159 2.725 7 .055
Pair 4 Sp16pre Sp16post
-50000 1.41825 -50143 -1.68569 .68589 -.997 7 .352
Lampiran 5. Gambar Preparat Histopatologi Tubulus Seminiferus.
Gambar 5.1 Spermatogonium A kelompok Pre-test
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.2 Spermatosit Pakhiten Pre-test
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.3 Spermatid 7 Kelompok Pre-test
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.4 Spermatid 16 Kelompok Pre-test
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.5 Spermatogonium A Post-Test Kontrol
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.6 Spermatosit Pakhiten Post-Test Kontrol
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.7 Spermatid 7 Post-Test Kontrol
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.8 Spermatid 16 Post-Test Kontrol
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.9 Spermatogonium A Kelompok Post-test
Perlakuan (Pembesaran 1000x).
Gambar 5.10 Spermatosit Pakhiten Kelompok Post-test
(Pembesaran 1000x)
Gambar 5.11 Spermatid 7 Kelompok Post-test
Perlakuan (Pembesaran 1000x)
Gambar 5.12 Spermatid 16 Kelompok Post-test
Perlakuan (Pembesaran 1000x Lampiran 6. Prosedur Penanganan Hewan Coba Percobaan di laboratorium yang menggunakan hewan coba sebagai subyek penelitian dalam penelitian ini mencit (Mus Musculus), harus memperhatikan beberapa prinsip dalam penanganannya. Pemeliharaan yang baik diharapkan mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian dan juga dipandang dari segi etika penelitian yang berkaitan dengan penggunaan hewan coba (etihcal clearance). Beberapa prinsip yang harus dipenuhi yaitu: 1. Pengawasan lingkungan
Prinsip yang penting terkait dengan lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologis jenis hewan coba. Suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara ekstrim harus dihindari. Pembuatan ventilasi yang baik mendukung kelancaran pertukaran udara, serta memungkinkan mengurangi penyebaran penyakit. Suhu ruangan yang optimum untuk pemeliharaan mencit berkisar antara 250 – 300C.
2. Pengawasan kenyamanan
Kenyamanan hewan coba terkait dengan kondisi kandang tempat pemeliharaan. Bahan kandang yang baik terbuat dari plastik yang ditutup kawat. Prinsip yang paling penting dalam memilih bahan untuk kandang mencit adalah mudah dibersihkan, tahan lama, tahan digigit mencit. Kisaran ukuran kandang 35 cm x 20 cm x 10 cm. Ukuran kandang tersebut cukup untuk memelihara 10-15 ekor mencit. Dengan asumsi memberi ruang cukup bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi. Sistem kandang juga dilengkapi tempat makanan dan minuman yang mudah dijangkau oleh seluruh mencit.
3. Pengawasan nutrisi (makan dan minum)
Selama penelitian hewan coba diberikan makan dan minum dengan kualitas yang optimum pula. Apabila hal ini tidak terpenuhi tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan, kesehatan mencit, dan bias terhadap hasil penelitian. Misalnya mencit memerlukan makanan yang mengandung protein 20%, maka untuk mendapatkan makanan dengan komposisi tersebut digunakan makanan dalam bentuk pelet yang komposisinya sudah tertera dalam kemasannya. Air minum bersih dan bebas dari kontaminasi harus selalu tersedia untuk hewan coba. Alat-alat minum harus sering dicuci dan disterilkan misalnya dua minggu sekali.
4. Pengawasan kesehatan
Kandang hewan coba harus selalu dijaga kebersihannya, agar hewan berbiak dengan baik dan percobaan berhasil sesuai yang diharapkan. Kandang mencit harus dibersihkan sekurang-kuramgnya seminggu sekali. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumbuhnya jamur dan bakteri yang dapat mempengaruhi kesehatan mencit. Biasanya kandang mencit yang terbuat dari plastik dapat dibersihkan dengan mencuci kotak tersebut dan mengganti sekam yang dipakai sebagai alas kandang.
Secara lengkap penanganan mencit yang dipakai dalam penelitian ini dapat dijabarkan seperti di bawah ini: 1. Penanganan sebelum penelitian
Beberapa hal yang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian terhadap mencit antara lain : a. Menyiapkan kandang pemeliharaan yang optimal dan nyaman bagi
mencit; terkait dengan ukuran, keadaan kandang (ventilasi cukup, sekam
padi untuk alas kandang) dan tempat makan dan minum yang mudah
dijangkau oleh seluruh mencit.
b. Melakukan aklimatisasi; menyesuaikan mencit terhadap kondisi
lingkungan tempat percobaan. Aklimatisasi dilakukan pada kandang
pemeliharaan selama tujuh hari sebelum pelaksanaan penelitian.
c. Pemberian makan dan minum secara teratur.
d. Pemeriksaan kesehatan mencit; apabila ada mencit yang sakit langsung
dikeluarkan dari kelompok.
2. Penanganan selama penelitian
Selama penelitian mencit harus selalu dalam keadaan terkontrol. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
a. Kenyamanan dan kesehatan mencit; selama penelitian kandang mencit
dijaga kebersihannya dan sekam padi diganti seminggu sekali.
b. Pemberian makan dan minum yang teratur; diberi makanan dalam bentuk
pelet secara ad libitum, mencit juga tidak boleh dalam keadaan tanpa air
minum. Air minum harus tersedia dan air tidak terkontaminasi. Air
minum diberikan dengan botol-botol plastik dan mencit dapat minum air
tersebut melalui pipa plastik.
c. Penanganan pemberian pelatihan fisik berlebih dan astaxanthin; dua jam
sebelum direnangkan, mencit diberi makan dan minum. Setelah itu
dilakukan pelatihan fisik berlebih, di mana pertama-tama ember diisi air
dengan kedalaman 20 cm, kemudian mencit direnangkan sampai hampir
tenggelam pada masing-masing ember yang telah disiapkan. Setelah
perlakuan, mencit dikeringkan dan satu jam kemudian diberikan
astaxanthin oral dengan dosis 0,01 mg yang dilarutkan dalam gliserin 0,5
ml pada kelompok perlakuan, dan gliserin 0,5 ml pada kelompok kontrol.
Setelah perlakuan mencit distirahatkan pada kandang yang telah disiapkan
dan diberi makan dan minum sepuasnya. Pelatihan fisik berlebih dilakukan
setiap hari sampai hampir tenggelam dengan lama total pelatihan 35 hari.
3. Penanganan setelah penelitian
Setelah penelitian dilakukan pembedahan untuk pemeriksaan histopatologi. Mencit dieutanasi dengan eter, dan dilakukan pembedahan untuk mengambil jaringan testis. Setelah mencit dieutanasi kemudian dikubur untuk menghindari bau yang tidak sedap atau efek negatif lainnya.
Lampiran 7. Tabel Konversi Perhitungan untuk Berbagai Jenis (Species) Hewan Uji dan Manusia dalam Get dan Barnes (1994).
Mencit 20 gr
Tikus 200 gr
Marmut 400 gr
Kelinci 1,5 kg
Kucing 2 kg
Kera 4 kg
Anjing 12 kg
Manusia 70 kg
Mencit 20 gr
1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,3 124,2 387,9
Tikus 200 gr
0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
Marmut 400 gr
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Kelinci 1,5 kg
0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
Kucing 2 kg
0,05 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 6,1 13,0
Kera 4 kg
0,016 0,11 0,15 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Anjing 12 kg
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
Manusia 70 kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
Dosis pemberian astaxanthin mengacu pada kebutuhan astaxanthin bagi manusia dewasa yaitu 4 mg/hari. Berdasarkan tabel konversi di atas, maka perhitungan dosis astaxanthin bagi mencit dengan berat 20 gram adalah : Dosis manusia dewasa (rata-rata berat badan 70 kg) = 4 mg Dosis mencit 20 gram: 0,0026 x 4 mg = 0,0104 mg (dibulatkan menjadi 0,01 mg).